KONSEP ADIL DALAM POLIGAMI
(Analisis Perspektif Hukum Islam
Dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Abdul Khoir
NIM: 106044101375
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974)
SkripsiDiajukan kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: Abdul Khoir NIM: 106044101375
Dibawah bimbingan :
Pembimbing I Pembimbing II
Dr.H.Umar Haddad, MA Dr.Hj.Mesraini, MA NIP. 196 809 041 994 011 001 NIP. 197 602 132 003122 001
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur bagi Allah SWT, yang telah memberikan nikmat iman, Islam dan atas rahmat serta dengan petunjuk dan bimbingan-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Konsep Adil dalam Poligami (Analisis Perspektif Hukum Islam dan UU No.1 Tahun 1974)”.
Lantunan shalawat dan salam tak lupa penulis kepada Nabi besar kita Muhammad Saw semoga selalu tercurahkan, yang telah membawa umat-Nya dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang dengan dien yang diridhai oleh Nya.seperti yang dirasakan Ummat-Nya saat ini.
Penulis menyadari, bahwa tugas ini selesai bukan semata-mata dari buah tangan penulis sendiri, akan tetapi tugas ini selesai karena adanya dorongan, motivasi, bimbingan, do’a dan bantuan yang senantiasa mengalir dari para hamba Allah SWT baik secara langsung atau tidak langsung. Mereka yang dengan tulus hati meluangkan waktunya dan memberikan inspirasi kepada penulis, pastinya tugas ini akan lebih berat tanpa adanya mereka. Melalui kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis persembahkan untaian kata terima kasih kepada yang terhormat:
ii
Ahwal Syakhshiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr.H.Umar Haddad dan Dr.Hj.Mesraini, MA, Selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini.
4. Dr. Hj. Azizah, MA dan Rosdiana, MA, selaku penguji yang telah memberikan kritik konstruktif dalam penulisan skripsi ini.
5. Segenap Ibu dan Bapak Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberi ilmu yang tidak ternilai kepada penulis.
6. Pimpinan dan Karyawan perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan referensi yang diperlukan penulis.
7. Ayahanda H. Khomsi dan Ibunda tercinta Hj. Ummi Kultsum serta kakak-kakak & adik-adik tersayang yang telah memberikan motivasi dan doa serta dukungan materiil kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan S1.
8. Kepada Eva Latifah yang selalu setia mendampingi penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
iii
atas segala bantuan, informasi serta motivasi yang diberikan dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya dengan penuh kerendahan hati, penulis haturkan terima kasih yang mendalam atas segala keikhlasan dukungan, motivasi, pengarahan serta bantuan baik moril maupun materiil. Penulis hanya mampu berdoa semoga Allah membalas semua amal perbuatan dengan kasih sayang-Nya. Harapan penulis, mudah-mudahan skripsi ini bisa memberikan manfaat bagi penulis maupun bagi pembaca. Amin.
iv
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Kerangka Pemikiran ... 6
E. Metodologi Penelitian ... 12
F. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II : PERKAWINAN POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN
A. Pengertian Perkawinan ... 15B. Tujuan dan Hikmah Perkawinan ... 18
C. Pengertian Poligami ... 20
D. Syarat-Syarat Poligami ... 22
E. Hak Istri yang Dipoligami ... 26
BAB III : PRO DAN KONTRA PRAKTEK PERKAWINAN
POLIGAMI
A. Kondisi Obyektif ... 32B. Praktik Poligami Versus Ketidakadilan Gender ... 46
v
BAB IV : ANALISIS KEADILAN DALAM PERKAWINAN
POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN
UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1
TAHUN 1974 ASPEK SOSIOLOGIS YURIDIS
A. Analisis Sosiologis Yuridis Poligami dalam Hukum Islam..64 B. Makna Adil dalam Poligami Perspektif Hukum Islam ... 73 C. Makna Adil dalam Poligami Perspektif UU NO. 1 Tahun
1974 ... 76 D. Analisis Penulis ... 80
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ... 82 B. Kritik dan Saran ... 83
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Kerangka Pemikiran ... 5
E. Metodologi Penelitian ... 11
F. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II : PERKAWINAN POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
A. Pengertian Perkawinan ... 15B. Tujuan dan Hikmah Perkawinan ... 18
C. Pengertian Poligami ... 21
D. Syarat-Syarat Poligami ... 22
E. Hak Istri yang Dipoligami ... 27
BAB III : PRO DAN KONTRA PRAKTIK PERKAWINAN
POLIGAMI
A. Kondisi Obyektif ... 33B. Praktik Poligami Versus Ketidakadilan Gender ... 47
BAB IV : ANALISS KEADILAN DALAM PERKAWINAN
POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN
UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1
TAHUN 1974 ASPEK SOSIOLOGIS YURIDIS
A. Analisis Sosiologis Yuridis Poligami dalam Hukum Islam ... 65 B. Makna Adil dalam Poligami Perspektif Hukum Islam ... 74 C. Makna Adil dalam Poligami Perspektif UU NO. 1 Tahun 1974... 77
BAB V : PENUTUP
A.
Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua
makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah
suatu cara yang dipilih Allah SWT, sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk
berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.1
Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang
hidup bebas mengikuti nalurinya dalam berhubungan secara bebas tanpa aturan.
Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah mengadakan
hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan
perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling suka, dengan
ucapan ijab qabul sebagai lambang adanya rasa saling suka dan dengan dihadiri
oleh para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan
tersebut telah terikat secara sah menurut syari’at agama Islam.
Perkawinan ini, sebagaimana diungkapkan Sayyid Sabiq yang dikutip
oleh Abd Rahman Ghazaly, telah memberikan jalan yang aman pada naluri seks,
memelihara keturunan dengan baik, dan menjaga kaum perempuan agar menjadi
seseorang yang terhormat.2 Pergaulan suami istri menurut ajaran Islam diletakan
di bawah naluri keibuan dan kebapakan sebagaimana ladang yang baik nantinya
menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang baik dan menghasilkan buah yang baik
1
Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Pustaka Setia, 1997 ), h.39 2
Abd. Rahman Al-Jaziry, Al-Fqih Ala Madzahibil Arba’ah, (Mesir : Dar Al Ihya, 1969), h.284-285
2
pula.
Dengan pernikahan, ikatan mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih
sayang) antara suami dan istri akan semakin bertambah. Masing-masing
merasakan ketenangan, kelembutan dan keramahan serta mendapatkan
kebahagiaan di bawah naungan satu dengan yang lainnya. Suami yang selesai
bekerja, kemudian kembali ke rumahnya di sore hari dan berkumpul bersama
keluarga, ia akan melupakan semua duka yang ia temui di siang hari dan segala
kelelahan yang dirasakannya pada waktu bekerja.
Masing-masing dari pasangan suami-istri tersebut satu sama lainnya
menemukan ketenangan jiwa pada saat perjumpaannya. Keduanya saling
merasakan kedamaian hati dan kegembiraan pada detik-detik pertemuan.
Begitupula, anggota keluarga yang lain juga merasa tentram disebabkan perhatian
dan tanggung jawab sang ayah. Semua tugas dan peran masing-masing pihak
dalam keluarga dijalankan dengan baik sehingga akan senantiasa tercipta
keharmonisan dalam hidup.
Hal tersebut di atas tidak selamanya terjadi dalam sebuah keluarga,
dahsyatnya pengaruh globalisasi yang mewarnai setiap sisi kehidupan manusia
telah mengakibatkan terjadinya dekadensi (kemerosotan) moral, lebih-lebih pada
hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial. Setiap saat kita dikejutkan dengan
berbagai pemberitaan mengenai perkosaan, perselingkuhan, dan pergaulan bebas.
Anak-anak yang tidak berdosa lahir tanpa memiliki status ayah yang legal (sah),
aborsi telah menjadi trend dewasa ini sehingga tidak lagi dianggap sebagai
Idaman Lain) tidak ada yang bisa menghentikannya. Sementara kejahatan yang
bernama pemerkosaan dan perzinaan terus mengalir bak air bah yang sulit
dibendung.
Islam merupakan agama sempurna, persoalan-persoalan kemanusiaan
sebagaimana pemaparan di atas, direspon melalui sebuah syari’at Agama yang
disebut dengan poligami, yang dalam pengertian sederhana berarti memiliki istri
lebih dari satu 3.
Islam telah menghalalkan seorang suami untuk melakukan poligami
apabila ia telah memenuhi kriteria yang ditentukan. Namun demikian,
pelaksanaan poligami ini bukan tanpa hambatan, tantangan maupun resiko yang
ada. Melihat bagaimana reaksi sebagian umat Isam ketika melihat da’i
panutannya, KH.Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) telah melakukan poligami,
mayoritas jama’ahnya menjadi antipati terhadap sang ustadz.
Reaksi dari sebagian umat Islam yang merespon negatif pelaksanaan
poligami di atas, telah menyiratkan ada suatu gejala psikologis yang terjadi
terutama bagi orang-orang yang melakukan poligami. Reaksi berlebihan yang
ditunjukkan oleh sebagian umat Islam melalui berbagai media telah menjadikan
poligami ini seolah-olah merupakan sesuatu hal yang buruk bahkan terlarang
untuk dilakukan.
Dalam kaitan ini, poligami yang mensyaratkan adil dalam perspektif
kajian adil dalam hukum Islam dan konsep adil dalam perspektif Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 menarik untuk dikaji lebih komprehensip, sehingga pada
3
4
akhirnya menemukan kesimpulan yang lebih arif dalam menyikapi polemik
praktik poligami di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Skripsi ini penulis
sajikan sebagai bentuk keikutsertaan dalam menjawab polemik poligami, sehingga
pada gilirannya diharapkan menjadi salah satu bahan rujukan seputar poligami.
Oleh karenanya penulis menguraikan pendapat-pendapat ulama dan ahli hukum
nasional terkait adil sebagai syarat poligami.
Berawal dari latar belakang di atas, penulis tertarik melakukan penelitian
yang lebih mendalam mengenai poligami terutama berkaitan dengan syarat
berpoligami menurut Hukum Islam (Qur’an dan Hadits) maupun hukum Nasional
Indonesia (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan).
B.
Perumusan Masalah
1. Perumusan Masalah
Pada prinsipnya perkawinan antara laki-laki dan perempuan adalah
sunnatullah yang diajarkan dalam agama Islam. Perkawinan memiliki nilai ibadah
terhadap Allah SWT dan humanisme yang tinggi serta melalui perkawinan pula
umat Islam telah melaksanakan sunnah nabi Muhammad.
Seperti diketahui bahwa Islam merupakan agama yang sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme, pertanyaannya kemudian apakah Islam
yang mengenal perkawinan poligami adalah bentuk inkonsistensi ajaran Islam.
Masih membahas soal poligami, Islam juga mengharuskan perlakuan adil seorang
suami terhadap istri-istri yang dipoligami. Lantas bagaimanakah konsep adil yang
diharapkan dalam pelaksanaan poligami, baik ditinjau dari tuntunan ajaran Islam
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan permasalahan ini
dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1) Bagaimana perkawinan poligami dalam perspektif Hukum Islam dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974?
2) Bagaimana tanggapan masyarakat tentang praktek perkawinan poligami?
3) Bagaimana konsep adil dalam berpoligami menurut Hukum Islam dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?
2. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini terfokus, maka masalah dalam
penelitian ini dibatasi hanya pada pembahasan konsep Adil, yakni perlakuan
suami yang menyamaratakan para istri yang dipoligami pada hal-hal yang dapat
diukur baik secara materi atau immateri sebagai syarat poligami dalam perspektif
hukum Islam dan Undag-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
C.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka skripsi ini di susun dengan
tujuan untuk:
1. Mengetahui makna perkawinan poligami menurut Hukum Islam dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Mengetahui tanggapan masyarakat tentang praktek perkawinan poligami
3. Mengetahui konsep adil dalam poligami menurut Hukum Islam dan
6
D.
Kerangka Pemikiran
Islam adalah agama Nizham (aturan) hidup paripurna, universal, dan
integral. Tidak ada dimensi kehidupan yang tidak tersentuh nilai-nilai
kebenarannya. Islam merupakan solusi atas problematika kehidupan, ia bahkan
hanya satu-satunya solusi yang ada. Tidak ada aturan yang lebih baik dari aturan
Islam untuk memperbaiki permasalahan umat saat ini.
Sebagai pedoman hidup, ruang lingkup hukum Islam bersifat
menyeluruh. Ia tidak dibatasi hanya pada persoalan hukum sipil, tetapi juga
termasuk hukum privat, dan salah satunya adalah tentang perkawinan.
Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan, hidup
berjodoh-jodohan adalah naluri semua makhluk Allah SWT. Sebagaimana
firman-Nya dalam surat adz-Dzariyat ayat 49:
⌧ ⌧
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah SWT”
Dari makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan
inilah, Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan
berlangsung dari generasi ke generasi.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 1 :
“Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak...”
Dari sekian banyaknya ayat-ayat kebesaran Allah yang tidak terhingga
adalah Dia menjadikan manusia berpasangan antara pria dan wanita dan
menetapkan jodohnya masing-masing agar tercipta ketenteraman dalam hidupnya.
Karena dari kedua jenis manusia ini masing-masing memiliki rasa ketertarikan
dan diberi dorongan seksual (syahwat) terhadap lawan jenisnya.
Ketertarikan kedua pasangan lawan jenis untuk kemudian dilanjutkan
melalui sebuah ikatan perkawinan agar hubungan keduanya menjadi leluasa dan
sah. Ajaran Islam sangat menganjurkan pernikahan dan meNomorlak adanya
kehidupan membujang (ruhbaniyah).
Kehidupan ruhbaniyah yang lurus dan mudah dalam ajaran Islam adalah
dengan dianjurkannya suatu pernikahan bagi pemeluknya. Dalam hadits riwayat
Bukhori Muslim, diceritakan ada tiga orang bersilaturahmi ke rumah Rasulullah
SAW, dan yang lain lagi berkata, aku akan menjauhi wanita, tidak akan kawin
selama hidupku.
Rasulullah SAW mendengar pembicaraan ketiga tamunya, kemudian
beliau bersabda yang artinya:
.... جﱠوﺰ أو ا ءﺎ ﻦ ﻓ ﺐﻏر ﻋ ﻦ ﻰ ﱠ ﻴ ﻓ ﻰ ) اور وﺔﻋﺎ ﺠ ا (
“... dan aku mengawini kaum wanita. Oleh karena itu, barangsiapa yang tidak suka kepada sunahku, maka ia bukan termasuk golonganku” 4.
4
8
Pernikahan adalah suatu ketentuan untuk mengikat hubungan lahir dan
bathin antara pria dan wanita. Karena itu, pernikahan sesuai dengan fitrah manusia
yang menghajatkan hubungan dengan lawan jenisnya. Bahkan Islam
mengharamkan seorang muslim untuk menahan diri dari perkawinan dengan niat
melakukan kehidupan membujang (celibacy). Perbuatan membujang seumur
hidup bagi pria dan wanita adalah perbuatan sangat menyimpang dari fitrah
kejadian manusia itu sendiri.
Pernikahan bukanlah satu ketentuan yang ditimbulkan dari hasil
pemikiran manusia, tetapi merupakan bagian yang di syari’atkan dalam Islam
untuk mengatur tata hidup dan pergaulan manusia di dunia. Oleh karena itu
pernikahan termasuk salah satu bentuk peribadatan kepada Allah yang berarti pula
melaksanakan syari’at Islam.
Adapun tujuan pernikahan itu menurut Islam adalah untuk:
a. Menegakkan dan menjunjung tinggi syari’at agama
b. Memelihara berlakunya hubungan biologis
c. Menjaga fitrah dan nilai-nilai kemanusiaan
d. Mencapai ketentraman hidup
e. Mempererat serta memperluas hubungan persaudaraan
f. Memelihara kedudukan harta pusaka 5.
Hukum Islam ditetapkan untuk kesejahteraan umat, baik secara
perorangan maupun bermasyarakat, baik untuk kehidupan di dunia maupun di
akhirat. Kesejahteraan masyarakat akan tercapai dengan terciptanya kesejahteraan
5
keluarga., karena keluarga merupakan lembaga terkecil dalam masyarakat,
sehingga kesejahteraan masyarakat sangat bergantung kepada kesejahteraan
keluarga, kesejahteraan perorangan sangat dipengaruhi oleh kesejahteraan hidup
keluarganya 6.
Dalam kehidupan rumah tangga di mana terjadinya perpaduan antara dua
karakter yang berbeda, prinsip hidup yang berbeda pula, dan banyak lagi
perbedaan-perbedaan lainnya yang melatarbelakangi kepribadian suami maupun
istrinya, tentu bukan hal yang mustahil apabila terjadi keretakan hubungan di
antara keduanya. Selain itu faktor ketersaluran biologis yang tidak sempurna,
permasalahan keturunan yang tidak dapat dimiliki dalam sebuah keluarga, sering
pula menjadi pemicu terjadinya kerenggangan hubungan dalam ikatan
perkawinan.
Selain faktor-faktor di atas, realitas sosial dewasa ini juga telah mulai
mengalami pergeseran nilai, gelombang demoralisasi telah menumbuhkan
budaya-budaya ‘barat’ yang tidak sejalan dengan ajaran Islam. Seorang suami
atau istri yang melakukan perselingkuhan bukanlah hal asing yang diceritakan
saat ini.
Islam sebagai agama samawi terakhir, menawarkan solusi terbaik untuk
mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Adapun solusi yang ditawarkan
adalah poligami (ta’addud) bagi mereka yang mampu untuk melakukannya.
Bahkan poligami sebenarnya merupakan hukum asal dalam membangun mahligai
6
10
keluarga bagi yang mampu melakukan keadilan dalam mengatur rumah tangga 7.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa ayat 3 yang
berbunyi:
☺
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim” .
Poligami bukanlah syari’at baru yang diperbolehkan dalam Islam.
Poligami merupakan budaya lama yang dimiliki bangsa Arab sebelumnya. Islam
datang untuk mengatur dan merapikan masalah poligami, sehingga tidak setiap
orang bisa melakukannya tanpa aturan, atau hanya untuk memenuhi syahwatnya
belaka 8.
Karena poligami merupakan hukum syariah yang tercantum di dalam
Al-Quran dan Hadis Nabi SAW secara jelas, maka penentangan atau peNomorlakan
terhadap kebolehan hukum poligami sebenarnya merupakan penentangan terhadap
hukum Allah SWT, dan inilah yang sebenarnya sedang terjadi. Peradaban
kapitalis dan propaganda Barat sendiri terus berupaya menjadikannya sebagai
senjata untuk menyerang Islam. Mereka telah menggambarkan hukum tentang
poligami sebagaimana hukum Islam yang lain seperti jihad dengan gambaran
yang keji dan busuk.
7
Rasyid Ridha, Tafsir Al-manar, (Mesir : Darul Ihya, tth), h. 82 8
Hanya saja masalah poligami ini mendapat ganjalan dan serangan
bertubi-tubi dari musuh-musuh Islam yang tidak memahami hakikat dan hikmah
hukum yang digariskan Allah SWT. Bagi yang kontra dengan masalah poligami,
beralasan bahwa poligami telah melakukan diskriminasi (pembedaan) antara
laki-laki dan perempuan, dengan poligami posisi perempuan seolah menjadi sangat
lemah. Apalagi pada zaman sekarang dimana aktivis gender dengan lantang
menyuarakan kesetaraan gender, poligami menjadi sebuah perbuatan yang paling
salah dimata mereka.
Diperlukan pemahaman yang komprehensif dari seluruh umat Islam
khususnya dalam memandang persoalan poligami. Poligami bukanlah sebuah
“kejahatan” melainkan sebuah kebijaksanaan sesuai tinjauan hukum Islam dan
positif. Poligami menjadi masalah yang paling kontroversial. Para ulama ortodoks
berpendapat bahwa poligami ini adalah bagian dari syari’at Islam, dan karenanya
pria boleh mempunyai istri hingga empat orang. Di pihak lain, kaum modernis
dan pejuang-pejuang Hak Asasi Wanita berpendapat bahwa poligami dibolehkan
hanya dalam kondisi tertentu dengan persyaratan yang ketat 9.
Umat Islam meyakini bahwa setiap hukum yang digariskan Allah SWT
senantiasa mengandung hikmah bagi manusia. Begitu juga dengan poligami,
disyariatkannya poligami dalam Islam adalah untuk menjawab problematika
sosial keluarga. Hal ini hanya akan terwujud apabila umat Islam itu sendiri
menyadari betul hakikat syariat Islam, serta menegakkan hukum-hukum ilahiyah
tersebut secara proporsional dan selaras dengan hukum positif.
Dalam Undang-Undang perkawinan pada pasal 41 poin (d) disebutkan
ketentuan boleh beristri lebih dari satu orang dengan melihat ada atau tidaknya
9
12
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak dengan
pernyataan perjanjian yang dibuat suami dengah bentuk ketetapan untuk itu10.
E.
Metodologi Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teori-teori ilmiah atau
metode yang berlaku dalam penulisan ilmiah 11, yaitu sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Pendekatan penelitian dalam skripsi ini menggunakan pendekatan
Nomorrmatif (tinjauan kepustakaan), yaitu dengan meneliti literatur-literatur yang
sesuai dengan kajian dalam skripsi ini. Pendekatan Nomorrmatif adalah
pendekatan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, produk-produk
hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum.12
2. Sumber Data
a. Sumber Primer, sumber-sumber utama yang menjelaskan tentang konsep
keadilan dalam pernikahan poligami, baik dari sumber-sumber hukum
Islam maupun dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Dari sumber-sumber hukum Islam, sumber primer yang
dirujuk adalah penjelasan Al-Quran, Sunnah dan interpretasi terhadap
keduanya dari para ulama yang berkompeten. Adapun dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, sumber primer yang dirujuk adalah materi
undang-undang tersebut disertai penjelasan-penjelasannya dan
peraturan-peraturan terkait dengannya.
10
UNDANG-UNDANG Perkawinan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000), h.46 11
SoerjoNomor Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , (Jakarta : UIP, 1986), cet ke-III, h. 43
12
b. Sumber Sekunder, yaitu buku-buku yang menunjang tema di atas, antara
lain: Buku Hitam Putih Poligami karya Eni Setiati, Poligami Berkah atau
Musibah karya Karim Hilmi Farhat Ahmad dan buku Poligami yang tak melukai hati karya Abu Fikri.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data diperoleh melalui kepustakaan
(library research), untuk mendapatkan teori-teori yang mendukung tema dalam
penulisan ini yang diperoleh dari berbagai literatur13.
4. Analisis Data
Analisis merupakan suatu usaha untuk menentukan jawaban atas
pertanyaan dari rumusan masalah yang telah tersusun. Dalam penelitian ini akan
menghimpun data-data teoritik mengenai pandangan Islam dan Hukum Nasional
Indonesia (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) tentang
poligami.
Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
a. Proses Satuan (Unityzing)
Pada dasarnya satuan adalah alat untuk menghaluskan data satuan, yaitu data
yang menganalisa tentang satuan pembahasan dalam skripsi ini.
b. Penafsiran Data
Penafsiran data adalah memberikan penafsiran terhadap data-data yang telah
diproses sebelumnya. Penafsiran ini dilakukan sejak pengumpulan data atau
selama penelitian. Hasil dari penafsiran data ini nantinya membentuk sebuah
13
14
kesimpulan akhir.
F.
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini disusun dalam lima bab, dimana tiap bab terdiri
dari beberapa sub bab. Sistematika merupakan uraian ringkas secara global terkait
hal-hal pokok yang dibahas, guna mempermudah dalam memahami dan melihat
hubungan suatu bab dengan yang lainnya.
Adapun uraian pada setiap bab adalah sebagai berikut :
Bab Pertama berisikan pendahuluan dengan uraian mengungkapkan latar
belakang masalah kajian skripsi ini, perumusan masalah dan pembatasan masalah,
kerangka pemikiran, metodologi penelitian dan terakhir sistematika penulisan.
Bab Dua berisikan perkawinan poligami dalam perspektif hukum Islam
dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dengan uraian
mengungkapkan Pengertian Perkawinan, tujuan dan hikmah perkawinan,
Pengertian poligami, Syarat-syarat poligami, hak istri yang dipoligami.
Bab Tiga berisikan pro dan kontra praktik perkawinan poligami dengan
uraian kondisi obyektif, praktik poligami versus ketidakadilan gender, Jumlah
maksimal istri yang boleh dipoligami.
Bab Empat berisikan analisis keadilan dalam perkawinan poligami
perspektif hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan uraian
analisis sosiologis yuridis poligami dalam hukum Islam, makna adila dalam
poligami perspektif hukum Islam, makna adil dalam poligami perspektif
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan analisis penulis.
BAB II
PERKAWINAN POLIGAMI
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN
A.
Pengertian Perkawinan
Istilah Perkawinan dalam Al-Qur’an biasa menggunakan istilah ”nikah”
yang berarti ”berhimpun” dan ”zawwaja-tazwij” yang berarti ”berpasangan”. Dua
istilah ini menyiratkan makna kesetaraan secara ekstensial bagi laki-laki dan
perempuan, meskipun pada kenyataannya secara biologis mereka berbeda. Para
ulama Fiqh tidak membedakan arti zawaaj dan nikah, walaupun keduanya secara
etimologis memiliki perbedaan, menurut para ulama fiqh zawaaj dan nikah
memiliki arti yang sama yaitu akad perkawinan1.
Pernikahan secara terminologis didefinisikan sebagai akad yang
membolehkan kedua mempelai untuk mendapatkan kesenangan dari
masing-masing pasangan, sesuai dengan tuntutan syari’at.2
Persoalan pernikahan adalah persoalan manusia yang banyak seginya,
mencakup seluruh segi kehidupan manusia, mudah menimbulkan emosi dan
perselisihan. Karena itu adanya kepastian hukum bahwa telah terjadi suatu
perkawinan sangat diperlukan. Dalam hal ini telah terjadinya suatu aqad
1
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad berpoligami, (Jakarta : PT. Buku Kita, 2007), h.89
2
Arij Binti Abdul Rahman, Poligami, (Jakarta : Darus Sunnah, 2006), h.30
(perjanjian) pernikahan mudah diketahui dan mudah diadakan alat-alat buktinya,
sedang telah terjadinya suatu persetubuhan sulit mengetahuinya dan sukar
membuktikannya. Pemakaian kata “nikah” yang diartikan dengan “perjanjian
perikatan” dapat dilihat dalam surat Al-Nur ayat 32, surat Al-Baqarah ayat 221,
surat Al-Nisa ayat 21.
Perkawinan yang disyari’atkan oleh hukum Islam mempunyai beberapa
segi di antaranya: Pertama, segi ibadah ; perkawinan mempunyai unsur ibadah.
Melaksanakan perkawinan berarti melaksanakan sebahagian dari ibadah dan
berarti pula telah menyempurnakan sebahagian dari agama. Rasullah SAW
mencela dengan keras para sahabat yang ingin menandingi ibadatnya dengan cara;
berpuasa setiap hari, bangun setiap malam untuk beribadat, hidup menyendiri dan
tidak akan kawin, karena perbuatan yang demikian menyalahi sunnahnya,
sebagaimana dalam sabdanya :
.... جﱠوﺰ أو ا ءﺎ ﻦ ﻓ ﺐﻏر ﻋ ﻦ ﻰ ﱠ ﻴ ﻓ ﻰ ) اور وﺔﻋﺎ ﺠ ا (
“... dan aku mengawini wanita. Maka barang siapa yang membenci sunnahku bukanlah ia termasuk (umat) ku”. (HR. Jama’ah dan Muslim).3 Kedua, segi hukum; perkawinan merupakan suatu perjanjian yang kuat (QS.Al-Nisa’; 21), dalam arti perkawinan tidak dapat dilangsungkan tanpa
persetujuan dari pihak-pihak yang berkepentingan dan akibat perkawinan,
masing-masing pihak terikat oleh hak dan kewajiban, bagi suami yang hendak
berpoligami ditentukan syarat-syaratnya, termasuk jika terjadi pemutusan
hubungan perkawinan harus melalui prosedur dan alasan-alasan kuat.
3
17
Ketiga, segi sosial; perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang diliputi rasa saling cinta mencintai dan rasa kasih sayang antara sesama anggota
keluarga. Karena itu Rasulullah Saw melarang kerahiban, hidup menyendiri
dengan tidak kawin yang menyebabkan tidak mendapatkan keturunan, keluarga
dan melenyapkan umat.
Berdasarkan penjelasan makna nikah dari berbagai segi sebagaimana
yang dikemukakan di atas, dapatlah dirumuskan bahwa perkawinan adalah
perjanjian perikatan antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan untuk
melaksanakan kehidupan suami istri, hidup berumah tangga, melanjutkan
keturunan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum agama.
Dalam Bab 1 pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan
didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.4
Definisi perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
Hukum Islam sebagaimana tercantum di atas, tidaklah memiliki perbedaan yang
signifikan. Pertalian seorang laki-laki dan perempuan yang dikukuhkan dalam
sebuah akad menjadi ciri pokok dalam perkawinan.
Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dapat
dikatakan sah apabila sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing,
dimana agama dan kepercayaannya tersebut juga tidak bertentangan dengan
perundang-undangan yang berlaku.
4
Dengan demikian, tentu konsep perkawinan dalam Islam tidak akan
berbeda dengan yang tertera dalam undang-undang, yang membedakan hanya
dalam detail syarat atau rukunnya saja. Hal ini dimungkinkan karena
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, tidak hanya diberlakukan bagi
mereka yang beragama Islam tetapi juga bagi penganut agama lain.
Undang-undang mensyaratkan adanya pencatatan melalui petugas dari Kantor Urusan
Agama, sedangkan Islam tidak mensyaratkan itu.
B.
Tujuan dan Hikmah Perkawinan
Tujuan perkawinan dalam hukum Islam dapat dipahami dari pernyataan
Al-Qur’an yang menegaskan bahwa di antara tanda-tanda kekuasaan Allah Swt
ialah bahwa ia menciptakan istri-istri bagi para lelaki dari jenis mereka sendiri,
agar mereka merasa tenteram (sakinah). Kemudian Allah menjadikan atau
menumbuhkan perasaan cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah) di antara
mereka, yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (pelajaran) bagi
mereka yang mau berfikir. Dalam ayat lain mengisyaratkan bahwa para istri
adalah pakaian (libas) bagi para suami, demikian pula sebaliknya, para suami
adalah pakaian bagi para istri.
“Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka”
Kehidupan yang tenteram (sakinah) di balut dengan perasaan cinta kasih
yang ditopang saling pengertian di antara suami istri, karena baik suami atau istri
menyadari bahwa masing-masing sebagai “pakaian” bagi pasangannya. Itulah
19
Suasana kehidupan keluarga yang demikian, dapat diwujudkan dengan mudah
apabila perkawinan dibangun di atas dasar yang kokoh, antara lain antara suami
istri ada dalam sekufu’ (kafa’ah). Pentingnya kafa’ah dalam perkawinan sangat
selaras dengan tujuan perkawinan di atas yaitu suatu kehidupan suami istri yang
betul-betul sakinah dan bahagia.
Suami istri yang sakinah dan bahagia akan mampu mengembangkan
hubungan yang intim dan penuh kemesraan, yang pada gilirannya akan
melahirkan generasi pelanjut yang bertaqwa.
Perkawinan disamping bertujuan melestarikan keturunan yang baik,
juga untuk mendidik jiwa manusia agar bertambah rasa kasih sayangnya,
bertambah kelembutan jiwa dan kecintaannya, dan akan terjadi perpaduan
perasaan antara dua jenis kelamin. Sebab antara keduanya ada perbedaan cita rasa,
emosi kesanggupan mencintai, kecakapan dan lain-lain.5
Tujuan perkawinan menurut hukum Islam tidak jauh berbeda dengan
yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, di mana dalam Bab
1 Pasal 1 undang-undang tersebut dikatakan bahwa tujuan perkawinan adalah
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, maka yang perlu untuk dilakukan
oleh suami istri adalah saling melengkapi dalam setiap kekurangan, saling
menyayangi dan mengasihi. Hal ini tentu dipengaruhi ketika awal mereka
memutuskan untuk menikah. Oleh sebab itu, undang-undang juga mengatakan
5
bahwa pernikahan yang terjadi harus dilakukan atas dasar suka sama suka tidak
ada paksaan dari pihak manapun.
Hikmah perkawinan sangat berkaitan erat dengan tujuan manusia
diciptakannya ke muka bumi. Tuhan menciptakan manusia dengan tujuan untuk
memakmurkan bumi, di mana bumi dan segala isinya diciptakan untuk
kepentingan manusia. Oleh karena itu, demi kemakmuran bumi secara lestari,
kehadiran manusia sangat diperlukan sepanjang bumi masih ada. Pelestarian
keturunan manusia merupakan sesuatu yang mutlak, sehingga eksistensi bumi di
tengah-tengah alam semesta tidak menjadi sia-sia. Pelestarian manusia secara
wajar dibentuk melalui perkawinan. Maka, demi memakmurkan bumi,
perkawinan mutlak diperlukan. Ia merupakan syarat mutlak bagi kemakmuran
bumi.
Kehidupan manusia laki-laki tidak akan rapi, tenang dan mengasyikkan,
kecuali dikelola dengan sebaik-baiknya. Itu bisa diwujudkan jika ada tangan
terampil dan profesional, yaitu tangan-tangan lembut kaum perempuan, yang
memang secara naluriah mampu mengelola rumah tangga secara baik, rapi dan
wajar. Karena itu perkawinan disyari’atkan bukan hanya demi memakmurkan
bumi, tetapi tak kalah penting adalah supaya kehadiran manusia yang teratur dan
rapi dapat tercipta. Kehadiran perempuan di sisi lelaki (suami) melalui
perkawinan sangatlah penting.
C.
Pengertian Poligami
Istilah poligami berasal dari bahasa Latin polygamia (poly dan gamia)
21
dan gamos (kawin). Jadi secara harfiah poligami berarti perkawinan dalam jumlah
banyak. Sedangkan secara terminologi poligami adalah suatu praktik atau kondisi
(perkawinan) lebih dari satu istri, suami, pasangan, yang dilakukan pada satu
waktu (bersamaan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami
didefinisikan sebagai sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau
mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.6
Jika menilik definisi poligami di atas, tampak tidak ada perbedaan istilah
antara perkawinan yang dilakukan oleh pria (suami) atau wanita (istri), apabila
dilakukan lebih dari satu pasangan dan dilakukan pada saat bersamaan (masih
dalam ikatan perkawinan dengan pasangan lain), maka praktik tersebut masuk
dalam cakupan terminologi poligami.
Namun di kalangan umum, istilah ini justru sering dibatasi wilayah
penggunaannya khusus bagi perkawinan jamak yang dilakukan seorang pria
(suami). Padahal bentuk perkawinan yang terakhir disebut ini secara terminologi
dikenal dengan istilah poligini, yaitu sistem perkawinan yang membolehkan
seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai istrinya dalam waktu yang
bersamaan. Sedangkan poliandri adalah sistem perkawinan yang membolehkan
seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang
bersamaan. Adapun lawan kata poligami adalah monogami, yang secara simpel
dapat diartikan dengan perkawinan tunggal (hanya ada satu ikatan perkawinan).7
Secara terminologi, monogami memiliki dua pengertian:
6
DEPDIKBUD, Poligami Aspek yang Dituju, (Jakarta : Dikbud, 2001), h.600 7
1. Suatu kebiasaan atau kondisi dari perkawinan yang dilakukan hanya pada satu
orang (pasangan) pada satu waktu.
2. Suatu keadaan dimana perkawinan satu pasangan berlangsung bagi seumur
hidup.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah monogami telah mengalami
penyempitan cakupan. Dalam hal ini monogami diartikan sebagai sistem yang
memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri pada jangka waktu
tertentu. Untuk pengertian yang relatif sama juga digunakan istilah lain, yakni
monogini.
D.
Syarat-Syarat Poligami
Islam tidak menjadikan poligami sebagai sebuah kewajiban atau hal yang
disunahkan bagi kaum Muslim, tetapi hanya menjadikannya sebagai sesuatu yang
mubah, yakni boleh dilakukan jika memang dipandang perlu.
Karena poligami merupakan hukum syariah yang tercantum di dalam
al-Quran dan Hadis Nabi SAW secara jelas, maka penentangan atau penolakan
terhadap kebolehan hukum poligami sebenarnya merupakan penentangan terhadap
hukum Allah SWT, dan inilah yang sebenarnya sedang terjadi. Peradaban
kapitalis dan propaganda barat sendiri terus berupaya menjadikannya sebagai
senjata untuk menyerang Islam. Mereka telah menggambarkan hukum tentang
poligami sebagaimana hukum Islam yang lain seperti jihad dengan gambaran
yang keji dan busuk.
Kebolehan untuk melakukan poligami tentu tidak serta merta seorang
23
dipenuhinya. Merujuk pada pasal 5 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan
melakukan poligami, yaitu:
a. Harus ada persetujuan istri pertama
b. Harus ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri
dan anak-anak mereka (material)
c. Harus ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka (immaterial).8
Adapun dalam syari’at agama Islam, syarat bagi seorang suami yang
akan melakukan poligami juga tidak jauh berbeda dengan yang tercantum dalam
Pasal 4 Undang-Undang Pekawinan Nomor 1 Tahun 1974, hal ini tercantum
dalam Q.S An-Nisaa Ayat 3:
☺
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu meiliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Diantara keagungan ayat ini tampak jelas bahwa bolehnya poligami dan
pembatasanya dengan empat orang datang dengan dibarengi kekhawatiran berlaku
zhalim kepada perempuan yatim.9
8
Eni Setiani, Syarat Poligam, (Jakarta : Pustaka Buana, 2007), h.29 9
Berkenaan dengan ayat ini, ada beberapa hal yang perlu dipahami.
Pertama: ayat ini diturunkan kepada Nabi SAW, pada tahun kedelapan Hijriah, yaitu untuk membatasi jumlah istri pada batas maksimal empat orang saja.
Sebelum ayat ini diturunkan, jumlah istri bagi seorang pria tidak ada batasannya.
Ayat tersebut juga memerintahkan agar seorang suami yang berpoligami berlaku
adil di antara istri-istrinya. Namun demikian, ayat tersebut lebih menganjurkan
agar membatasi jumlah istri pada bilangan satu orang, jika memang ada
kekhawatiran tidak dapat berlaku adil. Sikap semacam ini harus dimiliki oleh
setiap Muslim.
Kedua: perlu digarisbawahi bahwa keadilan menjadi syarat bagi kebolehan untuk melakukan poligami. Hukum ini wajib dimiliki oleh seorang
suami dalam kehidupan berpoligami, di samping merupakan dorongan untuk
membatasi jumlah istri pada satu wanita saja, jika memang ada kekhawatiran
tidak dapat berlaku adil. Patut ditegaskan, dalam Fiqh Islam, istilah syarat itu
digunakan untuk menunjuk pada kondisi atau perbuatan yang menjadi bagian dari
perbuatan yang dipersyaratkan.
Syarat ini biasanya harus dipenuhi sebelum perbuatan yang
dipersyaratkan itu dikerjakan. Suci dari hadats dan najis, misalnya, merupakan
syarat sah shalat. Kondisi tersebut harus dipenuhi sebelum shalat dan terus
berlangsung sepanjang shalat dikerjakan. Realitas syarat semacam ini tentu tidak
tepat jika dikaitkan dengan sifat adil suami yang ingin berpoligami. Andai adil
25
sebelum akad nikah terjadi, sementara perlakuan adil itu baru bisa dilakukan
setelah pernikahan.
Ketiga: pengertian adil dalam ayat di atas berbentuk umum, yakni mencakup setiap bentuk keadilan. Akan tetapi, kata yang bersifat umum ini
kemudian ditakhsîs (diperlakukan secara khusus), yaitu bahwa keadilan yang
dimaksud hanya yang berada dalam batas-batas kemampuan manusia.
Sebagaimana arti surat An Nisa ayat 129 yang berbunyi ”Dan sekali-kali tidak
akan dapat berlaku adil diantara istri-istrimu walaupun sangat ingin berbuat demikian” .
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Bab 1 Pasal 4 dijelaskan
pengadilan dapat memberikan izin kepada seseorang yang ingin melakukan
poligami apabila terpenuhinya alasan-alasan sebagai berikut, yaitu;
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri
2. Istri mendapatkan cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Atas dasar ketentuan di atas, tentu sedikit berbeda dengan ketentuan
poligami yang berlaku dalam Islam, di mana Islam hanya mensyaratkan adil
sebagai syarat untuk melakukan poligami.
Keadilan yang diwajibkan atas seorang suami adalah bersikap seimbang
di antara para istrinya sesuai dengan kemampuannya, yaitu dalam hal bermalam
atau memberi makan, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain, bukan dalam masalah
Bersikap adil sebagai syarat utama dalam poligami tidak mudah, karena
dalam perkawinan poligami terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh
suami kepada istrinya yang lebih dari satu tersebut. Hal ini tidak akan mudah
terpenuhi apabila suami tidak memiliki sifat dan sikap yang cukup layak untuk
melakukan poligami.
E.
Hak Istri yang Dipoligami
Poligami merupakan syari’at Islam yang akan berlaku sepanjang zaman
hingga hari akhir. Poligami diperbolehkan dengan syarat sang suami memiliki
kemampuan untuk adil di antara para istri, sebagaimana tercantum dalam
Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 3:
☺
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Berlaku adil dalam bermuamalah dengan istri-istrinya, yaitu dengan
memberikan kepada masing-masing istri hak-haknya. Adil di sini lawan dari
curang, yaitu memberikan kepada seseorang kekurangan hak yang dipunyainya
dan mengambil dari yang lain kelebihan hak yang dimilikinya. Jadi adil dapat
27
Berdasarkan hal ini maka adil antar para istri adalah menyamakan hak
yang ada pada para istri dalam perkara-perkara yang memungkinkan untuk
disamakan didalamnya. Dengan kata lain adil adalah memberikan sesuatu kepada
seseorang sesuai dengan haknya.
Seorang suami yang ingin melakukan poligami hendaknya merenungkan
hikmah-hikmahnya, memperhatikan keadaannya, dan hajat atau tingkat kebutuhan
dirinya, serta sejauh mana kesesuaian poligami tersebut untuk dirinya. Sebab
walaupun poligami dalam Islam diperbolehkan tetapi seyogyanya ada
syarat-syarat yang mendorong kesana, antara lain:
1. Prilaku istri yang buruk. Adakalanya istri dalam berinteraksi dengan suaminya
berprilaku buruk yang mendorong suaminya untuk melakukan poligami
daripada menceraikannya.
2. Menginginkan keturunan. Mungkin dikarenakan istrinya tersebut tidak dapat
memberikannya keturunan.
3. Kondisi kesehatan istri yang sering sakit-sakitan, sehingga pada titik tertentu
tidak dapat melayani kebutuhan seksual suami. Walaupun perlu diperhatikan
kebutuhan seksual tersebut bukan semata untuk alasan pemenuhan syahwat
duniawi saja.
4. Alasan mencari pahala, ia menikahi perempuan untuk memeliharanya,
menjaga kesuciannya, merawatnya dan menjaganya dari tangan-tangan yang
mengusiknya dengan keburukan.10
10
Bagi suami yang telah melakukan poligami, maka ia diwajibkan untuk
memenuhi hak-hak istrinya. Adapun diantara hak setiap istri yang dipoligami
adalah sebagai berikut:
a. Memiliki rumah sendiri
Setiap istri memiliki hak untuk mempunyai rumah sendiri. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 33, yang artinya,
“Menetaplah kalian (wahai istri-istri Nabi) di rumah-rumah kalian”. Dalam ayat
ini Allah SWT menyebutkan rumah Nabi SAW dalam bentuk jamak, sehingga
dapat dipahami bahwa rumah beliau tidak hanya satu.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Aisyah Radhiyallahu
'Anha menceritakan bahwa ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sakit
menjelang wafatnya, beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bertanya, “Dimana aku
besok? Di rumah siapa?” Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menginginkan di tempat Aisyah Radhiyallahu 'Anha, oleh karena itu semua istri mengizinkan untuk
dirawat di mana pun beliau menginginkannya, maka dirawat di rumah Aisyah
sampai ahirnya wafat di sisi Aisyah. Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
meninggal di hari giliran Aisyah. Allah mencabut ruhnya dalam keadaan kepala
beliau bersandar di dada Aisyah Radhiyallahu 'Anha. Ibnu Qudamah
Rahimahullah menjelaskan dalam kitab Al Mughni bahwasanya tidak pantas
seorang suami mengumpulkan dua orang istri dalam satu rumah tanpa ridha dari
keduanya.11
11
29
Hal ini dikarenakan dapat menjadikan penyebab kecemburuan dan
permusuhan di antara keduanya. Masing-masing istri dimungkinkan untuk
mendengar desahan suami yang sedang menggauli istrinya, atau bahkan
melihatnya. Namun jika para istri ridha apabila mereka dikumpulkan dalam satu
rumah, maka tidaklah mengapa. Bahkan jika keduanya ridha jika suami mereka
tidur diantara kedua istrinya dalam satu selimut tidak mengapa. Namun seorang
suami tidaklah boleh menggauli istri yang satu di hadapan istri yang lainnya
meskipun ada keridhaan diantara keduanya.
b.Menyamakan Para Istri dalam masalah Giliran
Setiap istri harus mendapat jatah giliran yang sama. Imam Muslim
meriwayatkan hadits yang artinya Anas bin Malik menyatakan bahwa Nabi
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memiliki 9 istri.12 Kebiasaan Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bila menggilir istri-istrinya, beliau mengunjungi semua istrinya dan baru behenti (berakhir) di rumah istri yang mendapat giliran
saat itu.
Ketika dalam bepergian, jika seorang suami akan mengajak salah seorang
istrinya, maka dilakukan undian untuk menentukan siapa yang akan ikut serta
dalam perjalanan. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Aisyah Radhiyallahu
'Anha menyatakan bahwa apabila Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam hendak
safar, beliau mengundi di antara para istrinya, siapa yang akan Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sertakan dalam safarnya.
12
Rasulullah SAW, biasa menggilir setiap istrinya pada hari dan
malamnya, kecuali Saudah bintu Zam’ah karena jatahnya telah diberikan kepada
Aisyah Radhiyallahu'Anha. Imam Ibnul Qoyyim menjelaskan bahwa seorang
suami diperbolehkan untuk masuk ke rumah semua istrinya pada hari giliran salah
seorang dari mereka, namun suami tidak boleh menggauli istri yang bukan waktu
gilirannnya.
Seorang istri yang sedang sakit maupun haid tetap mendapat jatah giliran
sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa Aisyah
Radhiyallahu 'Anha menyatakan bahwa jika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam ingin bermesraan dengan istrinya namun saat itu istri Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sedang haid, beliau memerintahkan untuk menutupi
bagian sekitar kemaluannya.
Seorang suami tidak boleh keluar untuk menuju rumah istri yang lain
yang bukan gilirannya pada malam hari kecuali keadaan darurat. Larangan ini
disimpulkan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menceritakan
bahwa ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam di rumah Aisyah
Radhiyallahu 'Anha, tidak lama setelah beliau berbaring, beliau bangkit dan keluar
rumah menuju kuburan Baqi sebagaimana diperintahkan oleh Jibril alaihi wa
sallam. Aisyah Radhiyallahu 'Anha kemudian mengikuti beliau karena menduga
bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam akan pergi ke rumah istri yang
lain. Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pulang dan mendapatkan
31
bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu 'Anha, “Apakah Engkau menyangka Allah
dan Rasul-Nya akan berbuat tidak adil kepadamu?”
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah menyatakan tidak dibolehkannya
masuk rumah istri yang lain di malam hari kecuali darurat, misalnya si istri sedang
sakit. Jika suami menginap di rumah istri yang bukan gilirannya tersebut, maka
dia harus mengganti hak istri yang gilirannya diambil malam itu. Apabila tidak
menginap, maka tidak perlu menggantinya.
Rasulullah SAW, dalam hal tersebut dikembalikan kepada ‘urf, yaitu
kebiasaan yang dianggap wajar oleh daerah setempat. Jika mendatangi salah satu
istri tidak pada waktu gilirannya, baik waktu siang atau malam tidak dianggap
suatu kezaliman dan ketidakadilan, maka hal tersebut tidak apa-apa. Dalam hal
tersebut, urf sebagai penentu karena masalah tersebut tidak ada dalilnya
c.Wajib menyamakan nafkah
Setiap istri memiliki hak untuk mempunyai rumah sendiri-sendiri, hal ini
berkonsekuensi bahwa mereka makan sendiri-sendiri, namun bila istri-istri
tersebut ingin berkumpul untuk makan bersama dengan keridhaan mereka maka
tidak apa-apa.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa bersikap adil dalam nafkah dan
pakaian menurut pendapat yang kuat, merupakan suatu kewajiban bagi seorang
suami. Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu
mengabarkan bahwa Ummu Sulaim mengutusnya menemui Rasulullah
Rasulullah SAW, Kemudian kurma tersebut untuk dibagi-bagikan kepada
istri-istri beliau segenggam-segenggam.13
13
32
BAB III
PRO DAN KONTRA PRAKTEK PERKAWINAN
POLIGAMI
A.
Kondisi Obyektif
Poligami merupakan permasalahan dalam perkawinan yang paling banyak diperdebatkan sekaligus kontroversial. Poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan gender.
Dalam perkembangannya, isu poligami dijadikan sebagai pintu masuk kelompok liberal untuk ‘membina dan mencerahkan’ masyarakat agar tumbuh semangat perlawanan terhadap syariah Islam. Mereka berupaya membangkitkan emosi umat, khususnya kalangan perempuan, untuk bersama-sama menolak poligami, sebagai salah satu kebolehan dari syariah Islam. Kelompok liberal ini memang sudah lama berupaya untuk memporak-porandakan syariah Islam dari berbagai pintu, termasuk pintu poligami.
Poligami merupakan permasalahan dalam perkawinan yang paling banyak diperdebatkan. Para penulis barat sering mengklaim bahwa poligami adalah bukti bahwa ajaran Islam dalam bidang perkawinan sangat diskriminatif terhadap perempuan. Poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki
sandaran normatif yang tegas dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi.1
Poligami memiliki akar sejarah yang panjang dalam perjalanan peradaban manusia itu sendiri. Sebelum Islam datang ke Jazirah Arab, poligami merupakan sesuatu yang telah mentradisi bagi masyarakat Arab. Poligami masa itu dapat disebut poligami tak terbatas, bahkan lebih dari itu tidak ada gagasan keadilan di antara para istri. Suamilah menentukan sepenuhnya siapa yang ia sukai dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki secara tidak terbatas. Istri-istri harus menerima takdir mereka tanpa ada usaha memperoleh keadilan.2
1. Pengakuan Pelaku Poligami "I am a Second Wife"3
Masa SMU wanita Amerika itu hancur tatkala dirinya hamil diusia 17 tahun. Ia terpaksa menjadi 'single mother' diusia muda. Namun hidupnya merasa nyaman setelah menjadi istri kedua seorang pria Muslim Oleh M. Syamsi Ali.
Sekitar tiga bulan lalu, the Islamic Forum yang diadakan setiap Sabtu di Islamic Center New York kedatangan peserta baru. Pertama kali memasuki ruangan itu Ismil sangka wanita Bosnia. Dengan pakaian Muslimah yang sangat rapih, blue eyes, dan kulit putih bersih. Pembawaannya pun sangat pemalu, dan seolah seseorang yang telah lama paham etika Islam.
Huda, demikianlah wanita belia itu memanggil dirinya. Menurutnya, baru saja pindah ke New York dari Michigan ikut suami yang berkebangsaan Yaman. Suaminya bekerja pada sebuah perusahaan mainan anak-anak (toys).
1
Amir Nurudin dan Azhari, Perempuan Korban Poligami, (Solo : Rumah Dzikir, 2004),
h.156
2
Karam Hilmi Farhat, Poligami Nabi,(Bandung : Logos, 2007), h.17
3
34
Tak ada menyangka bahwa wanita itu baru masuk Islam sekitar 7 bulan silam. Huda, yang bernama Amerika Bridget Clarkson itu, adalah mantan pekerja biasa sebagai kasir di salah satu tokoh di Michigan. Di toko inilah dia pertama kali mengenal nama Islam dan Muslim.
Biasanya ketika Ismail menerima murid baru untuk bergabung pada kelas untuk new reverts, ia tanyakan proses masuk Islamnya, menguji tingkatan pemahaman agamanya, dll. Ketika Ismail tanyakan ke Huda bagaimana proses masuk Islamnya, dia menjawab dengan istilah-istilah yang hampir tidak menunjukkan bahwa dia baru masuk Islam. Kata-kata “alhamdulillah”.”Masya Allah” dst, meluncur lancar dari bibirmya.
Dengan berlinang air mata, tanda kebahagiaannya, Huda menceritakan proses dia mengenal Islam. “I was really trapped by jaahiliyah (kejahilan)”, mengenang masa lalunya sebagai gadis Amerika. “I did not even finish my High School and got pregnant when I wan only 17 years old”, katanya dengan suara lirih. Menurutnya lagi, demi menghidupi anaknya sebagai ‘a single mother’ dia harus bekerja. Pekerjaan yang bisa menerima dia hanyalah grocery kecil di pinggiran kota Michigan.
Mendengar namanya yang asing, Abdu Tawwab, Huda semakin bingung. Sebab nama ini sendiri belum pernah didengar. Sejak itu pula setiap pria ini datang ke tokonya, pasti disempatkan bertanya lebih jauh kepadanya, seperti kerja di mana, apa tinggal dengan keluarga, dll.
Perkenalannya dengan pria itu ternyata semakin dekat, dan pria itu juga semakin baik kepadanya dengan membawakan apa yang dia sebut ‘reading materials as a gift”. Huda mengaku, pria itu memberi berbagai buku-buku kecil (booklets). Dan hanya dalam masa sekitar tiga bulan ia mempelajari Islam, termasuk berdiskusi dengan pria tersebut. Huda merasa bahwa inilah agama yang akan menyelamatkannya.
“Pria tersebut bersama isterinya, yang ternyata telah mempunyai 4 orang anak, mengantar Ismail ke Islamic Center terdekat di Michigan. Imam Islamic Center itu menuntun Ismail menjadi seorang Muslimah, alhamdulillah!”, kenang Huda dengan muka yang ceria.
Tapi untuk minggu-minggu selanjutnya, kata Huda, ia tidak komunikasi dengan pria tersebut. Huda mengaku justeru lebih dekat dengan isteri dan anak-anaknya. Kebetulan lagi, anaknya juga berusia tiga tahun, maka sering pulalah mereka bermain bersama. “Huda sendiri belajar shalat, dan ilmu-ilmu dasar mengenai Islam dari Sister Shaima, nama isteri pria yang mengenalkannya pada Islam itu.
36
jawaban, perempuan ini sudah menjatuhkan vonis bahwa “Islam tidak menghargai sama sekali kaum wanita”, katanya bersemangat.
Huda, yang biasanya duduk diam dan lebih banyak menunduk, tiba-tiba angkat tangan dan meminta untuk berbicara. Ismail cukup terkejut. Selama ini, Huda tidak akan pernah menyelah pembicaraan apalagi terlibat dalam sebuah dialog yang serius. Ismail hanya biasa berfikir kalau Huda ini sangat terpengaruh oleh etike Timur Tengah, di mana kaum wanita selalu menunduk ketika berpapasan dengan lawan jenis, termasuk dengan gurunya sendiri. “I am sorry Imam Shamsi”, dia memulai. “I am bothered enough with this woman’s accusation”, katanya dengan suara agak meninggi. Ismail segera menyelah: “What bothers you, sister?”. Dia kemudian menjelaskan panjang lebar kisah hidupnya, sejak masa kanak-kanak, remaja, hingga kemudian hamil di luar nikah, bahkan hingga kini tidak tahu siapa ayah dari anak lelakinya yang kini berumur hampir 4 tahun itu.
Tapi yang sangat mengejutkan Ismail dan banyak peserta diksusi hari itu adalah ketika mengatakan: “I am a second wife.” Bahkan dengan semangat dia menjelaskan, betapa dia jauh lebih bahagia dengan suaminya sekarang ini, walau suaminya itu masih berstatus suami wanita lain dengan 4 anak. “I am happier since then“, katanya mantap.
Bulgaria itu. “I know, people may say, I have a half of my husband. But that’s not true“, katanya.
Lebih jauh dia menjelaskan bahwa poligami bukan hanya masalah suami dan isteri. Poligami dan kehidupan keluarga menurutnya, adalah masalah kemasyarakatan. Dan jika seorang isteri rela suaminya beristeri lagi demi kemaslahatan masyarakat, maka itu adalah bagian dari pengorbanannya bagi kepentingan masyarakat dan agama.
Kami yang dari tadi mendengarkan penjelasan Huda itu hanya ternganga. Hampir tidak yakin bahwa Huda adalah isteri kedua, dan juga hampir tidak yakin kalau Huda yang pendiam selama ini ternyata memiliki pemahaman agama yang dalam. Ismail kemudian bertanya kepada Huda: “So who is your husband?” Dengan tertawa kecil dia menjawab “the person who introduced me to Islam”.Dan lebih mengejutkan lagi:
“his wife basically suggested us to marry”, menutup pembicaraan hari itu.
Diskusi Islamic Forum hari itu kita akhiri dengan penuh bisik-bisik. Ada yang setuju, tapi ada pula yang cukup sinis. Yang pasti, satu lagi rahasia terbuka. Ismail sendiri hingga hari ini belum pernah ketemu dengan suami Huda karena menurutnya, “he is a shy person. He came to the Center but did not want to talk to you”, kata Huda ketika Ismail menyatakan keinginan untuk ketemu suaminya.
38
2. Pengakuan Dr. Gina Puspita : "Anak Ismail Senang Memiliki Ibu yang
Banyak"4
Dr. Gina Puspita, bercerita seputar pengalamannya praktik poligami dengan sang suami, Dr. Abdurahman Riesdam Efendi. Ini cerita pengalaman indahnya sudah hampir sepekan wacana poligami secara terus-menerus diulas di berbagai media massa. Banyak yang setuju dan tak sedikit yang sinis. Diantara yang sinis, tentu saja para aktivis perempuan dan para pengagum feminisme. Sabtu (9/12) kemarin, Koalisi Perempuan dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menolak praktik poligami. Alasannya, poligami melanggar hak-hak perempuan serta rawan terhadap kekerasan psikis dan fisik. Benarkah?
Kali ini hidayatullah.com mewawancarai Dr. Gina Puspita. Sebelum ramai-ramai berkembang wacana poligami, istri pertama Dr. Abdurahman Riesdam Efendi ini boleh jadi diantara sekian Muslimah yang merasakan sendiri pengalaman “dimadu”. Tidak seperti umumnya pria yang ingin menikah lagi, ia mencarikan sendiri calon untuk pasangan suaminya itu.
Tahun 1995, Abdurahman menikah lagi untuk yang kedua dengan Basyiroh Cut Mutia. Enam tahun kemudian, ia menikah yang ketiga dengan Siti Salwa asal Malaysia. Dan yang terakhir, menikah dengan Fatimah. Praktis ia memiliki empat orang istri.
Jangan keliru, semua istri mudanya ini bukan pilihan sang suami, justru pilihan Gina alias sang istri pertamanya. Tak seperti dugaan aktivis perempuan selama ini, di mana poligami dianggap begitu rendah dan rawan konflik. Mereka
4
berempat justru sangat rukun dan bahagia. Bahkan bekerja di kantor yang sama dan tinggal seatap, tanpa ada masalah.
''Kalau suami sedang dengan istri yang lain, kami bertiga ngobrol-ngobrol di satu kamar,'' tutur kepada sebuah media Jakarta. Bila berada di luar kota, mereka bertukar pesan lewat SMS. Pokoknya, akrab. ''Poligami yang didasarkan pada Allah SWT tidak akan menimbulkan masalah.'' tambah mantan Kepala Departemen Structure Optimizition Divisi Riset & Development IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) ini di sebuah harian di Jawa Barat.
Apa kabar Anda dan keluarga?
Kami sekeluarga alhamdulillah sehat,semoga kesehatan yg dirahmati Allah. Lama tak dengar kabarnya, apa kesibukan Anda terbaru? Selama kurang lebih 2 tahun terkahir kami banyak berada di Malaysia. Alhamdulillah perusahaan yang dipimpin oleh guru kami Abuya Ashaari (pendiri Darul Arqam yang dilarang mantan PM Mahathir Mohammad-- berkembang pesat di sana. Kebetulan Tuhan rizqikan kami untuk ikut serta beraktifitas di sana selama 2 tahun.
Setelah di sana terasa manfaatnya untuk kalangan luas, dan perusahaan terus berkembang ke berbagai negara di Asia, Eropa, Timur Tengah, maka mulai 2 bulan belakangan ini kami mulai menguatkan kembali aktifitas perusahaan Rufaqa di Indonesia.
40
pendidikan, ekonomi, sosial, kesehatan, kebudayaan dll. Kalau mau jelas, boleh kunjungi website nya www.rufaqa.com & www.rufaqadaily.com.
Sepekan ini banyak orang sibuk mendiskusikan poligami, apa pendapat Anda?
Segala kejadian Allah yang menentukan. Diantara sekian banyak hikmahnya, Allah nampaknya mau menunjukkan keadaan masyarakat sekarang ini. Dan kita bertanggung jawab untuk memperbaiki keadaan. Sebenarnya ada dua kejadian yang terjadi secara serentak. Pertama tentang poligaminya Aa Gym, kedua, monogaminya anggota DPR RI, tapi selingkuh. Tapi yang diramaikan hanya poligaminya. Bahkan poligami mau dilarang segala. Hehehe. Yang menarik, sikap masyarakat terbelah dua. Kasus monogami selingkuh menjadi kasus cukup besar. Tapi poligami, pernikahan secara sah justru yang dikatakan zalim. Padahal menurut Ismail, monogami selingkuh itu jauh lebih menzalimi perempuan. Seperti wanita ini tak ada harganya.
Menurut Anda, mengapa masyarakat justru seperti itu?
daripada mencari solusi. Lagi pula, mengapa banyak orang sibuk membicarakan poligami atau bahkan terkesan begitu ketakutan.
Padahal dalam Islam, poligami haya sekedar satu dari sekian ribu syariat dalam agama kita.. Jadi dia bukan perkara yang wajib. Tapi kok yang biasa-biasa menjadi masalah Negara. Padahal Shalat yang berkali-kali Allah katakan sebagai “tiang agama” pun, Negara tak pernah peduli apakah manusia melakukannya?
Anda termasuk diantara pelaku, sebelum banyak orang melakukan. Bisakan bercerita pengalaman poligami?
Islam itu adalah “cara hidup”. Selain tentang Allah yang utama, di dalamnya ada juga syariat yang beribu jenisnya, yang mengatur kehidupan manusia di dunia ini. Sepertimana janji kita dalam setiap kali shalat, “inna shalolati wa nusuki… (dst), “hidup mati kita untuk Allah, maka tentulah sebagai seorang Muslim, kita perlu wujudkan janji kita dalam kehidupan. Kita atur individu kita, ekonomi kita, pendidikan kita, kebudayaan kita, rumah tangga kita, menurut Islam. Hal ini tidak dapat kita wujudkan sendiri-sendiri. Misalnya untuk mewujudkan pendidikan Islam, perlu guru dan murid. Kalau sendirian mana mungkin dapat terwujud. Itulah yang kami lakukan melalui perusahaan Rufaqa ini. Sama halnya dengan masalah rumah tangga.
42
dapat kita laksanakan. Atas kesepakatan bersama itulah, Ismail dan suami –tentu saja atas persetujuan guru kami-- maka kami tambahkan anggota keluarga kami dengan mengambil salah seorang staf Rufaqa sebagai istri kedua untuk suami Ismail.
Siapa yang mencari dan melamarkannya?
Dr. Gina Puspita sendiri yang datang pertama kali dan menjelaskan pada orang tuanya untuk menyampaikan hasrat kami.
Apa sih yang ada di perasaan Anda saat mencarikan suami istri lagi? Karena dari awal memang sama-sama berniat (Dr. Gina Puspital, suami dan istri kedua) untuk menguatkan keluarga, maka, masalah-masalah dalam keluarga dapat diatasi dengan baik. Bertambah terasa kehebatan Allah. Ternyata belum lagi kita baik, baru niat mau baik, tapi Allah sangat memberikan bantuan-Nya.
Apakah setelah poligami pernah cekcok? Atau cemburu?
Kalau beda pendapat sih dalam rumah tangga itu hal yang biasa. Jangankan di keluarga yang praktik poligami, dalam rumah tangga monogami pun ada. Tapi karena sama-sama sudah dididik oleh guru yang sama, jadi setiap kali ada masalah, masing-masing berusaha untuk dapat menilai yang baik di sisi Allah. Bila semua mempunyai tujuan yang sama yaitu keridhaan Allah, perkara apapaun selalu jadi mudah. Kami berempat serumah. Kecuali sekarang ini, dua orang sedang bertugas di Malaysia.
Dr. Gina Puspita hendak mengingatkan kita bahwa dalam menilai sesuatu, karena zaman ini sudah rusak, maka nilai-nilai manusia/moral juga sudah sangat jauh dari kehendak Allah. Contoh saja; para wanita mengatakan dirinya merasa “dihina” dengan poligami. Padahal itu kan memang boleh menurut Islam. Tapi wanita diminta buka aurat, ia menjadi tontonan. Tak satupun menganggap dirinya merasa terhina. Padahal itu adalah keadaan yang sangat menghinakan. Wanita sudah hilang malunya karena ketiadaan iman. Poligami itu, bila dijalankan dengan tujuan membesarkan Allah, kita akan merasakan bahwa itu sangat baik untuk pendidikan hati kita. Kita akan tahu bahwa kita belum sabar. Maka, kita akan belajar untuk bersabar. Kita bisa tahu bahwa di hati kita ada hasad dan dengki. Cemburu itu adalah hasad dan dengki adalah puncaknya. Lalu kita belajar untuk tidak hasad atau dengki hingga timbul rasa tidak membahagiakan orang lain.
Bukankan manusia normal tak menginginkan suaminya jadi rebutan wanita lain?
44
masih diberi banyak kebaikan oleh Allah, bagaiman pula kehebatan keluarga Rasulullah?.
Anda tidak takut, rasa cinta suami Anda tak akan seperti di awal pernikahan? Karena akan terbagi?
Tidak. Sebab suami dan kami punya cita-cita yang sama. Untuk mencintai Allah. Dan mencintai Allah itulah yang dapat menambah kuat ikatan diantara kami semua. Perlu kita sadari, kerana manusia sudah tidak menganggap Tuhan segalanya, maka bila berumahtangga, dia menganggap suami adalah segala-galanya. Ya dengan kata lain, cinta suami. Padahal, kalau kita membesarkan cinta pada Allah, maka Allah sendirilah yang akan membagi kebahagiaan itu.
Bagaimana dengan kebutuhan finansial dan pembagian perhatian terhadap anak-anak Anda suami menikah lagi?
Alhamdulillah Allah bukan saja mencukupkan, tapi menambah-nambah. Dan alhamdulillah, anak-anak kami semua justru bersyukur dengan poligami. Kemarin anak Ismail yang berumur 10 tahun diwawancara sebuah majalah. Dia mengatakan, begitu senang memiliki ibu banyak. Banyak tapi Ismailng. Dia pernah melihat seorang aktifis perempuan begitu keras berkata tentang poligami. Anak Ismail mengatakan, “Ini perempuan bercakap bukan dengan akal lagi, tapi dengan nafsu. Sangat emosional. Padahal, kami (anak-anak Ismail maksudnya) suka dengan itu . tak ada penzaliman.”
Bisa. Bahkan hubungan anak-anak semua sangat baik. Tak ada perbedaan dia dari ibu yang