• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh self-regulated learning dan koping kultural trehdap stres dalam menghadapi tugas perkuliahan pada mahasiswa di fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh self-regulated learning dan koping kultural trehdap stres dalam menghadapi tugas perkuliahan pada mahasiswa di fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH

SELF REGULATED LEARNING

DAN KOPING

KULTURAL TERHADAP STRESS DALAM MENGHADAPI

TUGAS PERKULIAHAN PADA MAHASISWA FAKULTAS

PSIKOLOGI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

OLEH : Bintang Mayudia NIM: 206070004165

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

iv ABSTRAK

(A) Fakultas Psikologi (B) Mei 2011

(C) Bintang Mayudia

(D) Pengaruh Self Regulated Learning Dan Koping Kultural Terhadap Stress dalam Menghadapi Tugas Perkuliahan Pada Mahasiswa di Fakultas Psikologi UIN Jakarta

(E) 104 Halaman + lampiran

(F) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh self regulated learning dan koping kultural terhadap stress pada mahasiswa di Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Mahasiswa dalam kehidupan perkuliahan mempunyai tanggung jawab terhadap tugas-tugas yang diberikan oleh dosen. Tugas-tugas yang banyak dan bertumpuk membuat mahasiswa menjadi stress. Menurut Prof. Dr. Sutardjo (2005), stress adalah respon organisme untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan yang berlangsung. Tuntutan-tuntutan ini bisa jadi berupa hal-hal yang faktual saat itu, bisa jadi juga hal-hal yang baru mungkin akan terjadi, tetapi dipersepsi secara aktual. Setiap individu mempunyai cara untuk mengatasi stress tersebut, dan disini peneliti menggunakan subjek mahasiswa yang berketurunan dari budaya Jawa, dimana setiap etnik mempunyai koping kultural. Koping kultural terbagi menjadi tiga, Dikutip dalam jurnal Benkuo (2006), “Development of the cross-cultural coping scale: collective, avoidance, and engagement coping”, Skala coping lintas-budaya, instrumen berbasis skenario, dikembangkan dalam tiga studi. analisis faktor eksplorasi dengan remaja Kanada Cina, menunjukkan struktur tiga-faktor: Kolektif (collective coping), Penghindaran (avoidance coping), dan Keterlibatan (engagement coping). Mengatur diri dalam pengerjaan tugas-tugas agar mahasiswa menjadi disiplin, terkait dengan teori-teori self-regulation yang memfokuskan pada bagaimana pebelajar menggerakkan, mengubah, dan mempertahankan kegiatan belajar baik secara sendiri maupun pada lingkungan sosialnya, dalam konteks instruksional informal maupun formal (Zimmerman & Schunk, 1989).

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan kuantitatif dengan menggunakan metode korelasi dan multiple regression. Subyek yang diambil dalam penelitian ini adalah laki-laki dan perempuan berusia 18-25 tahun yang kuliah di fakultas Psikologi UIN Jakarta. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Dalam pengambilan sampel try out digunakan 38 responden sedangkan fieldtest 50 responden. Teknik pengambilan data yang digunakan yaitu menggunakan skala. Adapun skala Indipendent Variabel (IV 1) yaitu self regulated learning yang berdasarkan indikator dari Zimmerman (1989) yang berjumlah 29 item dengan nilai alpha cronbach 0.849 dan independent variable (IV 2) yaitu koping kultural yang berdasarkan indikator dari Ben Kuo (2006) yang berjumlah 21 item dengan nilai alpha cronbach sebesar 0.818. Sedangkan dependent variabel (DV) skala stress berdasarkan indikator dari Santrock (1996) yang berjumlah 40 item dengan nilai alpha cronbach sebesar 0.822.

(3)
(4)

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya setiap saat, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Self Regulated Learning Dan Koping Kultural Terhadap Stress dalam Menghadapi Tugas Perkuliahan Pada Mahasiswa di Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Jakarta”. Shalawat serta salam semoga tetap Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, atas segala perjuangannya sehingga kita dapat merasakan indahnya hidup di bawah naungan Islam.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak dapat terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah, Bapak Jahja Umar, Ph.D, seluruh dosen dan seluruh staf karyawan fakultas yang telah banyak membimbing dalam menuntut ilmu di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah.

2. Bapak Abdul Rahman Shaleh, M.Si, selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan

arahan dan bimbingan yang sangat berarti dengan segenap kesabarannya, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan maksimal.

(5)

vii 4. Untuk kedua orangtuaku Ayah Syarifuddin Ucok Nasution dan Mama Yulianti, serta abang-kakak-adikku, Bayu Helmahdhie, Bulan Oktrima, dan Bumi Yurazly, sumber inspirasi, semangat, kasih sayang serta doa yang telah kalian berikan kepada peneliti untuk selalu meneruskan perjuangan ini agar mencapai yang terbaik. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dan menganugerahkan kebahagiaan kepada keluargaku tercinta.

5. Pembimbing Akademik ibu Yunita Faela Nisa, M.Si yang telah membimbing peneliti selama perkuliahan ini.

6. Seluruh dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah yang telah memberikan banyak pengetahuan dan pelajaran selama penulis mengikuti kuliah, staff akademik, dan petugas perpustakaan yang dengan ikhlas selalu melayani penulis.

7. Untuk Eko Agung Gumilar terima kasih atas segala bantuan, sumber inspirasi semangat dan doanya.

8. Sahabat-sahabat terbaikku Dennhys, Ismi, Amel, Dita, Puput, Ita, Sara, Dedeh, Dewi, Iha, Rere, Bunga, semoga tak pernah putus tali silaturahmi yang selama ini terjalin. 9. Teman-teman seperjuangan dalam bimbingan skripsi, Sukma, Deni, terimakasih telah

membantu penulis dalam setiap kesempatan. Semoga perjuangan kita tidak pernah sia-sia.

10. Kepada teman-teman mahasiswa di Fakultas Psikologi UIN Jakarta, yang telah menyempatkan waktunya dan bersedia menjadi responden.

(6)

viii 12. Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, karena dukungan dan pengertian mereka sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Hanya doa yang dapat penulis panjatkan kepada semua pihak yang telah membantu penulis semoga mendapatkan balasan pahala berlipat ganda dari Allah SWT.

Penulis menyadari dengan segala semua kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki dalam penyusunan skripsi ini terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya. Mudah-mudahan penelitian ini dapat bermanfaat sebagai mana mestinya, terutama untuk peneliti sendiri.

Akhirnya penulis ucapkan terima kasih sekali lagi untuk semua pihak yang sudah membantu penyelesaian laporan penelitian ini. Wassalam.

(7)

i

PENGARUH SELF REGULATED LEARNING DAN KOPING KULTURAL TERHADAP

STRESS DALAM MENGHADAPI TUGAS PERKULIAHAN PADA MAHASISWA FAKULTAS

PSIKOLOGI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh :

Bintang Mayudia Nim : 206070004165

Dibawah Bimbingan

Pembimbing I

Pembimbing II

Abdul Rahman Shaleh, M.Si Rena Latifa, M.Psi

NIP. 197208231999031002 NIP. 198209292008012004

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(8)

ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “PENGARUH SELF REGULATED LEARNING DAN KOPING KULTURAL TERHADAP STRESS DALAM MENGHADAPI TUGAS PERKULIAHAN

PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA”, telah dujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu prasyarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (Satu) pada Fakultas Psikologi.

Jakarta, 6 Juni 2011

Sidang Munaqosyah

Dekan / Pembantu Dekan Bidang

Ketua Merangkap Anggota Akademis/Merangkap Anggota

Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si

NIP. 130855522 NIP. 195612231983032001

Anggota

S. Evangeline I. Suaidy, M.Si,Psi Abdul Rahman Shaleh, M.Si

NIP.150 411 217 NIP. 197208231999031002

Rena Latifa, M.Psi

(9)

iii

PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Bintang Mayudia Nim : 206070004165

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh Self Regulated Learning dan Koping Kultural Terhadap Stress dalam Menghadapi Tugas Perkuliahan Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.

Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan Undang-Undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.

Jakarta, 14 Juni 2011

(10)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ………. i

HALAMAN PENGESAHAN ……….. ii

HALAMAN PERNYATAAN ……….. iii

ABSTRAKSI ………. iv

KATA PENGANTAR ……….. vi

DAFTAR ISI ………. ix

DAFTAR TABEL ………. xiii

DAFTAR GAMBAR ……… xiv

DAFTAR LAMPIRAN ……… xv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 9

1.2 Pembatasan Masalah ... 10

1.3 Perumusan Masalah ... 11

1.4 Tujuan Penelitian ... 11

1.5 Manfaat Penelitian ... 12

1.6 Sistematika Penulisan ... 12

BAB 2 LANDASAN TEORI ... 14

2.1 Stress ... 14

2.1.1 Pengertian Stress ... 14

2.1.2 Gejala Stress ... 17

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Stress ……….. 17

2.1.4 Sumber-sumber Stress ……… 22

2.2 SelfRegulated Learning... 26

2.2.1 Pengertian Self Regulation ……… ... 26

2.2.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Self Regulation ... 27

2.2.3 Aspek-aspek dalam Self Regulation ……….. 29

2.2.4 Karakteristik Self Regulation ………. 31

2.3 Coping ... 32

2.3.1 Pengertian Coping ... 32

2.3.2 Proses Coping ... 33

2.3.3 Dimensi Coping ... 34

2.3.4 Fungsi-fungsi Coping ……… 39

2.3.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi Coping ………... 39s 2.4 Koping Kultural ... 41

2.4.1 Faktor-faktor dalam Koping Kultural ... 42

2.5 Mahasiswa ... 51

(11)

x

2.5.2 Tugas Mahasiswa ……… 52

2.6 Kerangka Berpikir ... 52

2.7 Hipotesis ………... 55

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 58

3.1 Jenis Penelitian ... 58

3.1.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ... 58

3.1.2 Variabel Penelitian ... 59

3.2 Populasi dan Sampel ... 61

3.3 Instrumen Penelitian ... 62

3.3.1 Instrumen Pengambilan Data ... 62

3.3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 65

3.3.3 Teknik Uji Instrumen ... 66

3.4 Prosedur Penelitian ... 68

3.5.1 Persiapan Penelitian ... 68

3.5.2 Pengujian Alat Ukur ... 68

3.5.3 Pelaksanaan Penelitian ... 72

3.5.4 Pengolahan Data ... 72

BAB 4 PRESENTASI DAN ANALISA DATA ... 73

4.1 Gambaran Umum Responden ... 73

4.1.1 Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 73

4.2 Hasil Uji Statitik ... 74

4.2.1 Hasil Uji Regresi ... 74

4.2.1.1 Hasil Uji Regresi Aspek Self Regulation dan Koping Kultural ... 74

4.2.1.2 Hasil Uji Regresi Demografi Self Regulation dan Koping Kultural ………. 80

BAB 5 KESIMPULAN DISKUSI & SARAN ………... 81

5.1 Kesimpulan ………... 81

5.2 Diskusi ... 82

5.3 Saran ... 86

5.3.1 Saran Teoritis ... 86

5.3.2 Saran Praktis ... 86

(12)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Blue Print Skala Try Out Self Regulated Learning ... 63

Tabel 3.2 Blue Print Skala Try Out Koping Kultural ... 64

Tabel 3.3 Blue Print Skala Try Out Stress ... 65

Tabel 3.4 Skor untuk Pernyataan Favorable dan Unfavorable ... 66

Tabel 3.5 Klasifikasi Koefisien Reliabilitas ... 67

Tabel 3.6 Hasil Uji Validitas Skala Self Regulated Learning ... 69

Tabel 3.7 Hasil Uji Validitas Skala Koping Kultural... 70

Tabel 3.8 Hasil Uji Validitas Skala Stress ... 71

Tabel 4.1 Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ……… 73

Table 4.2 Hasil Uji Regresi Aspek Self Regulated Learning dan Koping Kultural ……… 74

Table 4.3 Anova (b) ... 75

Tabel 4.4 Coefficients (a) ... 76

Tabel 4.5 Model Summary Aspek Kolektif ... 77

Tabel 4.6 Model Summary Aspek Avoidance ... 77

Tabel 4.7 Model Summary Aspek Engagement ... 78

Table 4.8 Model Summary Aspek Kognitif ………. 78

Table 4.9 Model Summary Aspek Motivasi ………. 79

Table 4.10 Model Summary Aspek Perilaku ... 79

(13)

xiv

DAFTAR GAMBAR

(14)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Angket Try Out

Lampiran 4 Skoring Self Regulated Learning Try Out Lampiran 5 Skoring Koping Kultural Try Out

Lampiran 6 Skoring Stress Try Out

Lampiran 7 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Lampiran 8 Angket Field Tes

Lampiran 9 Skoring Self Regulated Learning Field Tes Lampiran 10 Skoring Koping Kultural Field Tes

Lampiran 11 Skoring Stress Field Tes

Lampiran 13 Hasil Uji Regresi Aspek Kolektif dari Variabel Koping Kultural dengan Stress Lampiran 14 Hasil Uji Regresi Aspek Avoidance dari Variabel Koping Kultural dengan Stress Lampiran 15 Hasil Uji Regresi Aspek Engagement dari Variabel Koping Kultural dengan

Stress

Lampiran 16 Hasil Uji Regresi Aspek Kognitif dari Variabel Self Regulated Learning dengan Stress

Lampiran 17 Hasil Uji Regresi Aspek Motivasi dari Variabel Self Regulated Learning dengan Stress

Lampiran 18 Hasil Uji Regresi Aspek Perilaku dari Variabel Self Regulated Learning dengan Stress

(15)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Pada bab ini, penulis memaparkan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan, manfaat, yang diangkat untuk di jadikan penelitian.

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Kewajiban mahasiswa dalam perkuliahan adalah mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen berupa tugas-tugas deadline kelompok maupun individu, presentasi di depan kelas, hingga pengerjaan UTS dan UAS yang membuat stress.

(16)

2

Stress dalam kadar ringan dapat membuat Anda berpikir dan berusaha dalam menjawab tantangan hidup sehari-hari. Stres dalam kadar ringan juga dapat menjadi motivasi untuk menjadi seseorang yang lebih baik dan stress dapat membuat hidup menjadi lebih penuh ‘warna’. Namun stres yang berlebihan dan berkepanjangan akan menimbulkan gangguan pada kesehatan tubuh kita.. Stress adalah respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stress (stressor), yang mengancam dan mengganggu kemampuan seseorang untuk menanganinya (coping) (Santrock, 1996).

Menurut Lazarus & Folkman (1984), stress merupakan hubungan antara individu dengan lingkungan yang oleh individu dinilai membebani atau melebihi kekuatannya dan mengancam kesehatannya. Faktor-faktor yang dapat ditimbulkan oleh stress pada mahasiswa adalah salah satunya stressor (kondisi-kondisi yang menyebabkan stress disebut stressor) psikologis seperti takut, cemas, khawatir tidak lulus, marah, kecewa. Sumber stress bagi mahasiswa dalam perkuliahan biasanya adalah tugas, kuis, ujian, tidak lulus mata kuliah, hingga sidang.

Makin tinggi dorongannya untuk berprestasi, makin tinggi tingkat stressnya dan makin tinggi juga produktivitas dan efisiensinya. Stress dalam jumlah tertentu dapat mengarah ke gagasan-gagasan yang inovatif dan keluaran yang konstruktif.

(17)

3

perkuliahan yang menumpuk. Adanya perbedaan dampak stress pada diri individu disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik masing–masing individu.

Perbedaan karakteristik individu akan menentukan respon individu terhadap sumber stress, sehingga respon individu dapat berbeda pada stimulus yang menjadi sumber stress yang sama. Coping adalah suatu tindakan merubah kognitif secara konstan dan merupakan suatu usaha tingkah laku untuk mengatasi tuntutan internal atau eksternal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki individu. Menurut Taylor (1991), efektivitas coping tergantung dari keberhasilan pemenuhan coping task. Individu tidak harus memenuhi semua coping task untuk dinyatakan berhasil melakukan coping dengan baik.

Kaitannya dengan itu, perbedaan dampak stress pada diri individu disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik masing–masing individu. Dan dalam menghadapi stress, setiap individu mempunyai coping stress. Selain pada karakteristik individu tersebut, tapi juga bisa karakteristik individu berdasarkan keturunan pada suatu daerah tertentu. Misalnya coping stress pada karakteristik orang Jawa. Disini, penulis mengambil subjek mahasiswa dari komunitas Jawa dikarenakan oleh daerah Jawa yang identik dengan orang-orang yang mempunyai tutur kata yang halus, sikap yang lemah lembut, pekerja keras, rajin, cepat tersugesti dan senang dengan kebersamaan dalam sebuah kelompok atau bergotongroyong (Anne Ahira, dalam web nya)

(18)

4

suku Jawa banyak bermukim di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara. Di Jawa Barat mereka banyak ditemukan di Kabupaten Indramayu dan Cirebon (Wikipedia, suku Jawa, diambil 2010).

Berdasarkan data dari Fakultas Psikologi UIN Jakarta, diperoleh 1081 mahasiswa dari angkatan 2006 sampai 2010. Dari 1081 ada 30% mahasiswa yang berasal dari Jawa dan keturunan Jawa.

Orang Jawa seringkali beranggapan tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah hidup ini. Dan dalam cara pandang terhadap waktu lebih melihat ke masa sekarang dan masa lalu. Kultur Jawa mendorong kepada cara berpikir yang reflektif, orang lain mungkin saja tidak dapat menyadari betapa dalamnya seorang Jawa terlibat dalam pemikirannya sendiri karena pemikiran tersebut tidak ditunjukkan oleh bahasa tubuhnya (Chandra J.S, (2004) dalam web Kerajaan Pane).

Nerimo ing pandum adalah salah satu konsep hidup yang dianut oleh orang Jawa. Pola ini menggambarkan sikap hidup yang serba pasrah dengan segala keputusan yang ditentukan oleh Tuhan. Orang Jawa memang meyakini bahwa kehidupan ini ada yang mengatur dan tidak dapat ditentang begitu saja (Web Anne Ahira, 2010).

(19)

5

Bagi orang Jawa hidup dan kehidupan itu sama dengan kendaraan. Dia akan membawa kita pada tujuan yang pasti. Orang Jawa memposisikan diri sebagai penumpang. Kendaraan atau hiduplah yang membawa mereka menuju kehidupan yang lebih baik. Mereka tidak membawa kendaraan tersebut, melainkan dibawa oleh kendaraan (Anne Ahira, 2010).

Seperti air di dalam saluran sungai, jika mereka mengalir biasa, maka kondisinya aman dan nyaman. Tetapi ketika alirannya dipaksa untuk besar, maka aliran sungai tersebut tidak aman lagi bagi kehidupan. Orang Jawa memahami hal tersebut sehingga menerapkan konsep hidup jangan ngoyo. Ngoyo artinya memaksakan diri untuk melakukan sesuatu. Jika kita memaksakan diri untuk melakukan sesuatu, maka kemungkinan besar kita akan mengalami sesuatu yang kurang baik, misalnya kita akan sakit. Rasa sakit terjadi karena ada pemaksaan terhadap kemampuan sesungguhnya yang kita miliki (Anne Ahira, 2010). .

Pada konteks lainnya, nerimo ing pandum bagi orang Jawa berarti melakukan kegiatan hidup secara bersama-sama. Nerimo ing pandum memungkinkan bagi kita untuk secara bersama-sama menghadapi hidup. Bekerja bersama-sama berarti berupaya untuk berbagi suka dan duka.

(20)

6

Mereka selalu memberikan pertolongan kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan. Bahkan dengan segala cara mereka ikut membantu seseorang keluar dari permasalahan, apalagi jika sesaudara atau sudah menjadi teman. Orang Jawa terkenal dengan stereotip sifatnya yang lemah lembut, sopan, dan halus. Namun masyarakat Jawa tidak suka berterus terang, tidak bersifat terbuka. Mereka lebih suka menyembunyikan perasaan mereka terhadap suatu hal. Ini dikarenakan orang suku Jawa mengutamakan keharmonisan dan tepa selira (tenggang rasa) . (Anne Ahira, 2010).

Namun tidak semua orang suku Jawa suka menyembunyikan perasaannya. Masyarakat di daerah pesisir lebih terbuka daripada nonpesisir. Beberapa wilayah di Jawa Timur juga mempunyai sifat yang lebih ekspresif, terus terang, dan egaliter (Anne Ahira, 2010).

Dalam kehidupan perkuliahan, dari hasil survey yang peneliti lakukan, mahasiswa mengatasi masalahnya dengan nilai-nilai atau sikap budaya Jawa yang ditanamkan oleh orangtua kepada mereka, misalnya legowo (sabar) jika dosen tidak masuk, sopan santun terhadap dosen, tepa salira dalam bergaul, mengutamakan keharmonisan dengan teman-teman dan lingkungan, nrimo ing pandum yang penting sudah berusaha dalam mengerjakan tugas-tugas dan ujian semester.

(21)

7

dan basis pengetahuan budaya dan coping, serta panggilan meningkat oleh sarjana lebih kepada budaya-dan-informasi kontekstual dalam mengatasi paradigma stress. Senada dengan Jefrey P. Burrock (2001), yang membahas mengenai coping dan beragam etnisitas, antara Korea Amerika, Amerika Filipina, dan Kaukasia Amerika.

Dimana, masing-masing etnis memandang stress sebagai hal yang berbeda. Ada yang menyebutnya sebagai tantangan, kerugian, dan ancaman.

Agar koping kultural dapat berjalan selaras untuk mengatasi stress pada mahasiswa, maka diperlukanlah self regulated learning. Dimana self regulated learning merupakan pengaturan diri pada mahasiswa dalam belajar. Untuk meningkatkan self regulated learning individu harus belajar teknik-teknik yang membantu tubuh dan pikiran untuk menjadi tenang, agar individu mampu mengontrol emosi-emosinya dan mengatasi gangguan dan pengalihan perhatian.

(22)

8

tugas, menggunakan strategi efektif) dalam kendali mereka (Dweck & Leggett, 1988; Dweck, 2002). Akhirnya, siswa yang belajar diatur sendiri percaya bahwa kesempatan untuk mengambil tugas-tugas yang menantang, praktek belajar mereka, mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang materi pelajaran, dan usaha mengerahkan akan menimbulkan keberhasilan akademis (Perry et al, 2006).

Ada banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam menjalani proses pendidikannya, salah satunya adalah kemampuan self regulated learning. Kemampuan self regulated learning meliputi kemampuan siswa dalam mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di sekolah, membagi waktu antara belajar dan bermain, kemampuan mempersiapkan diri dalam menghadapi ulangan. Kemampuan ini tidak dapat berkembang dengan sendirinya. Dibutuhkan suatu lingkungan yang kondusif agar anak dapat mengembangkan kemampuan self regulated learning. Lingkungan yang kondusif seperti hubungan yang baik antara orang tua dan anak atau guru dan anak akan mendukung perkembangan self regulated learning karena dalam hubungan yang kondusif, maka akan tercipta suatu keterbukaan yang diperlukan untuk melaksanakan proses diskusi dan evaluasi.

(23)

9

perilaku dan bertindak atas apa yang telah ia pelajari. Ini berarti bahwa siswa belajar untuk mengurangi perilaku negatif dan meningkatkan perilaku positif. Oleh karena itu, mahasiswa yang diatur sendiri harus belajar untuk terus bertanya pada diri sendiri "Apakah strategi ini bekerja untuk saya dalam situasi ini "Dalam rangka mengatur diri, siswa harus mengalihkan fokus mereka? dari membandingkan kinerja mereka untuk rekan diri-perbandingan, dan dari yang reaktif menjadi pelajar proaktif. Tujuan kegiatan langsung, dan siswa harus belajar bahwa ada cara yang berbeda untuk mencapai tujuan, dan bagaimana untuk memilih cara terbaik untuk menyelesaikan tugas tertentu. Dalam banyak kelas, guru menganggap sebagian besar tanggung jawab untuk proses pembelajaran dan siswa dapat mulai bergantung pada ini model pembelajaran.

(24)

10

Zimmerman (1994), Zimmerman dan Martinez-Pons (dalam Wolters, 1998), mengungkapkan bahwa pebelajar yang lebih sadar dan menerapkan kontrol yang lebih besar terhadap proses kognitif cenderung lebih sukses hasil belajarnya.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, menarik kiranya untuk meneliti lebih lanjut tentang Pengaruh Self Regulated Learning dan Koping Kultural terhadap Stres dalam Menghadapi Tugas Perkuliahan Pada Mahasiswa di Fakultas Psikologi UIN Jakarta.

1.2 PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH 1.2.1 Pembatasan Masalah

Penelitian ini dibatasi untuk meneliti tentang Pengaruh Self Regulated Learning dan Koping Kultural Terhadap Stress dalam Menghadapi Tugas Perkuliahan pada Mahasiswa. Adapun Variabel-variabel yang terkait dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(25)

11

2. Koping Kultural adalah Proses mengelola tuntutan (internal atau eksternal) yang ditaksir sebagai beban karena di luar kemampuan diri individu berdasarkan karakteristik budaya. Budaya yang penulis jadikan penelitian disini adalah dari masyarakat Jawa.

3. Self Regulated Learning adalah siswa yang secara metakognitif,

motivasional dan behavioural merupakan peserta aktif dalam proses belajar mereka sendiri (Zimmerman, 1989).

4. Mahasiswa dengan rentang usia 18-25 tahun yang berasal dari Jawa asli yang pindah ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan dan keturunan orangtua dari Jawa yang sudah lama menetap di Jakarta.

1.2.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas masalah yang akan dirumuskan dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara Self-Regulated Learning dan Koping Kultural terhadap stress dalam menghadapi tugas perkuliahan pada mahasiswa ?

2. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara kognisi terhadap stress dalam menghadapi tugas perkuliahanpada mahasiswa ?

3. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara motivasi terhadap stress dalam menghadapi tugas perkuliahan pada mahasiswa ?

(26)

12

5. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara kolektif koping terhadap stress dalam menghadapi tugas perkuliahan pada mahasiswa ?

6. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara penghindaran koping terhadap stress dalam menghadapi tugas perkuliahan pada mahasiswa ? 7. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara keterlibatan koping terhadap

stress dalam menghadapi tugas perkuliahan pada mahasiswa ?

8. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin terhadap stress dalam menghadapi tugas perkuliahan pada mahasiswa ?

1.3 TUJUAN

Sesuai dengan permasalahan yang telah disebutkan di atas, tujuan dari penelitian ini adalah: Untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara Self-Regulated Learning dan Koping Kultural terhadap stress dalam menghadapi tugas perkuliahan pada mahasiswa ?

1.4 MANFAAT

Adapun manfaat dari penelitian ini, diharapkan dapat memberi kontribusi pemikiran, baik bersifat teoritis maupun praktis.

1.4.1Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan teori-teori psikologi klinis khususnya dengan teori stress dan koping, dan psikologi social mengenai self regulated learning serta menjadi bahan rujukan dan pembanding bagi penelitian selanjutnya.

(27)

13

Dapat menambah wawasan pengetahuan yang bermanfaat, mengetahui bagaimana individu yang beraneka ragam budaya (salah satunya adalah budaya Jawa) dalam menghadapi stress.

1.5 SISTEMATIKA PENULISAN

Teknik penulisan skripsi ini mengacu kepada pedoman penyusunan dan penulisan skripsi Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB 1 :Pendahuluan

Meliputi latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penelitian.

BAB 2 : Kajian Pustaka

Pada bab ini dijelaskan teori-teori mengenai definisi Stress, gejala-gejala stress , faktor-faktor yang mempengaruhi stress, sumber stress, pengertian self regulated learning, faktor-faktor yang mempengaruhi self regulated learning, aspek-aspek self regulated learning, karakteristik self regulated learning, pengertian koping, proses koping, dimensi koping, faktor-faktor yang mempengaruhi strategi koping, koping kultural, pengertian mahasiswa, tugas mahasiswa, kerangka berpikir dan hipotesis penelitian.

BAB 3 : Metodologi Penelitian

(28)

14

sampel, teknik pengumpulan data, teknik uji instrumen, teknik analisa data dan prosedur penelitian.

BAB 4 :Presentasi Dan Analisis Data

Meliputi gambaran umum responden penelitian, uji persyaratan, kategorisasi, dan uji hipotesis.

BAB 5 :Kesimpulan, Diskusi Dan Saran

BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab ini, akan di jelaskan teori-teori mengenai stress, self regulated learning, coping dan koping kultural, serta mahasiswa yang digunakan dalam penelitian.

2.1 STRESS

2.1.1 Pengertian Stress

(29)

15

kekuatannya bila dihadapkan pada suatu tekanan yang lebih besar. Namun, tidak seperti logam, remaja dapat memikirkan dan mempertimbangkan, juga mengalami, begitu banyak situasi social yang dapat membuat upaya mendefinisikan stress menjadi lebih kompleks dalam ilmu psikologi dibandingkan dalam ilmu fisika (Hobfoll, 1989 dalam Santrock 1996).

Pada remaja, apakah stress merupakan suatu ancaman dan tantangan yang ditempatkan oleh lingkungan pada diri mereka, seperti ketika kita mengatakan, “Dunia Sally begitu penuh dengan tekanan, sampai membuatnya kewalahan?”. Apakah stress merupakan respon remaja terhadap ancaman dan tantangan seperti ini, seperti ketika kita mengatakan, “Bob tidak mampu menangani masalah dalam hidupnya dengan baik; ia mengalami begitu banyak tekanan dan sehingga

seakan-akan badannya jatuh berantakan?” karena perdebatan mengenai apakah stress merupakan kejadian yang mengancam dunia remaja atau merupakan reaksi terhadap kejadian seperti itu masih terus berlanjut, maka definisi terbaik untuk stress adalah sebagai berikut: Stress adalah respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stress (stressor), yang mengancam dan mengganggu

kemampuan seseorang untuk menanganinya (coping) (Santrock, 1996).

(30)

16

memberikan rasa lebih bergairah dalam kehidupan yang biasanya membosankan dan rutin. Tetapi stress yang terlalu banyak dan berkelanjutan, bila tidak ditanggulangi, akan berbahaya bagi kesehatan.

Stress adalah suatu keadaan dimana beban yang dirasakan seseorang tidak sepadan dengan kemampuan untuk mengatasi beban itu. Stress dapat terjadi karena adanya tekanan hidup dan konflik kebutuhan atau konflik tujuan. Dalam menghadapi stress, seseorang dapat mengadakan penyesuaian diri secara efektif , yaitu mengarahkan tindakannya pada sasaran tertentu untuk mengatasi sebab-sebab stress (Suprapti Slamet, 2005). Stress adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang (Handoko, 1997:200). Stress yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungannya.

Adapun menurut Robbins (2001) stress juga dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang menekan keadaan psikis seseorang dalam mencapai suatu kesempatan dimana untuk mencapai kesempatan tersebut terdapat batasan atau penghalang. Dan apabila pengertian stress dikaitkan dengan penelitian ini maka stress itu sendiri adalah suatu kondisi yang mempengaruhi keadaan fisik atau psikis seseorang karena adanya tekanan dari dalam ataupun dari luar diri seseorang yang dapat mengganggu pelaksanaan tugas sebagai mahasiswa.

(31)

17

mengacu pada setiap tuntutan lingkungan, sosial, atau internal yang memerlukan individu untuk menyesuaikan / nya pola perilaku yang biasa. penyesuaian ini memerlukan sumber daya fisik dan psikologis, serta berbagai strategi atau teknik untuk mengatasi. Jika stres menumpuk, sumber daya individu dapat menjadi habis, meningkatkan kemungkinan penyakit, cedera, dan / atau psikologis (Thoits, 1995).

Menurut Prof. Dr. Sutardjo (2005), Stress adalah respon organisme untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan yang berlangsung. Tuntutan-tuntutan ini bisa jadi berupa hal-hal yang faktual saat itu, bisa jadi juga hal-hal yang baru mungkin akan terjadi , tetapi dipersepsi secara aktual.

Disini penulis merujuk stress menurut Santrock (1996), dimana stress adalah respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stressor, yang mengancam dan mengganggu kemampuan seseorang untuk menanganinya. 2.1.2 Gejala Stress

Untuk mengetahui apakah diri individu mengalami stress, Sunaryo (2004, dalam Khairanis 2006) mengemukakan dapat dilihat dari gejala-gejalanya, baik fisik maupun psikis.

a. Gejala Fisik, diantaranya sakit kepala, sakit lambung (maag), hypertensi,sakit jantung atau jantung berdebar-debar, insomnia (sulit tidur), mudah letih, keluar keringat dingin, kurang selera makan, dan sering buang air kecil.

(32)

18

secara verbal, seperti kata-kata kasar, dan menghina maupun non verbal, seperti menempeleng, menendang, membanting pintu, dan memecahkan barang-barang.

c. Gejala perilaku, yang gejalanya seperti meningkatnya penggunaan rokok, alkohol, dan obat-obatan, tingkah laku yang ceroboh dan terkadang membahayakan diri sendiri, dan yang paling ekstrim adalah keinginan untuk bunuh diri.

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi stress

Dalam Santrock (1996) menjelaskan faktor yang mempengaruhi stress,yaitu :

1. Faktor Lingkungan.

Banyak faktor, baik besar maupun kecil yang dapat menghasilkan stress dalam kehidupan remaja. Kejadian sehari-hari yang membuat stress seperti tugas sekolah dan pekerjaan yang berlebihan, merasa frustasi karena kondisi keluarga yang tidak menyenangkan, atau hidup dalam kemiskinan, juga dapat menghasilkan stress. Situasinya yang membuat stress adalah :

a. Beban yang terlalu berat

Istilah yang sering digunakan untuk beban yang terlalu berat di masa kini adalah burnout; perasaan tidak berdaya, tidak memiliki harapan, yang disebabkan oleh stress akibat pekerjaan yang sangat berat. Burnout membuat

penderitanya merasa sangat kelelahan secara fisik dan emosional

(33)

19

mereka memperoleh gelar, dan jumlahnya mencapai 25 persen di beberapa kampus.

b. Konflik

Konflik terjadi ketika remaja harus mengambil keputusan dari dua atau lebih stimulus yang tidak cocok. Ada tiga tipe konflik utama, yaitu;

- Konflik mendekat/mendekat (approach/approach conflict), terjadi bila individu harus memilih antara dua stimulus atau keadaan yang sama-sama menarik. Konflik ini adalah konflik yang tingkat stresnya paling rendah dibandingkan dua tipe konflik lainnya karena dua pilihannya memberikan hasil yang positif.

- Konflik menghindar/menghindar (avoidance/avoidance conflict), terjadi ketika individu harus memilih antara dua stimulus yang sama-sama tidak menarik. Dan sebenarnya ingin menghindari keduanya, namun mereka harus memilih salah satunya.

- Konflik mendekat/menghindar (approach/avoidance conflict), terjadi bila hanya ada satu stimulus atau keadaan namun memiliki karakteristik yang positif dan juga negative. Dalam situasi seperti ini, sering kali merasa bimbang sebelum mengambil keputusan. Ketika waktunya untuk mengambil keputusan semakin dekat, kecenderungan untuk menghindar biasanya semakin mendominasi (Miller, 1959).

c. Frustasi

(34)

20

dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Kegagalan dan kehilangan adalah dua hal yang terutama membuat frustasi.

2. Faktor kepribadian – pola tingkah laku tipe A

Apakah aspek-aspek kepribadian remaja berhubungan dengan stress dan kesehatan remaja? Beberapa tahun belakangan ini, para peneliti memusatkan perhatian mereka pada apa yang disebut dengan pola tingkah laku tipe A, (type A behavior pattern) sekelompok karakteristik—rasa kompetitif yang berlebihan, kemauan keras, tidak sabar, mudah marah, dan sikap bermusuhan—yang dianggap berhubungan dengan masalah jantung. Individu yang bermusuhan dan pemarah sering diberi label “reactor panas”, yang berarti mereka memiliki reaksi fisiologis yang kuat terhadap stress—detak jantungnya meningkat, pernafasannya menjadi semakin cepat, dan otot-ototnya menegang, yang pada akhirnya mengakibatkan penyakit jantung. Peneliti di bidang pengobatan behavioral, Redford Williams, percaya bahwa setiap orang memiliki kemampuan untuk mengendalikan kemarahannya dan untuk lebih mengembangkan rasa percaya kepada orang lain, yang menurutnya akan mengurangi resiko terkena penyakit jantung.

3. Faktor kognitif

(35)

21

tertentu, apa yang dilihat sebagai sesuatu yang menimbulkan stress tergantung pada bagaimana mereka menilai dan menginterpretasikan suatu kejadian secara kognitif. Pandangan ini telah dikemukakan dengan sangat jelas oleh peneliti bernama Richard Lazarus (1966, 1990, 1993). Penilaian kognitif adalah istilah yang digunakan Lazarus untuk menggambarkan interpretasi individu terhadap kejadian-kejadian dalam hidup mereka sebagai sesuatu yang berbahaya, mengancam, atau menantang dan keyakinan mereka apakah mereka memiliki kemampuan untuk menghadapi suatu kejadian dengan efektif.

Menurut pandangan Lazarus, berbagai kejadian dinilai melalui dua langkah: a. Penilaian primer (primary appraisal), mengartikan apakah suatu kejadian

mengandung bahaya atau menyebabkan kehilangan, menimbulkan suatu ancaman akan bahaya di masa yang akan datang atau tantangan yang harus dihadapi.

b. Penilaian sekunder (secondary appraisal), mengevaluasi potensi atau kemampuan mereka dan menentukan seberapa efektif potensi atau kemampuan mereka dapat digunakan untuk menghadapi suatu kejadian. 4. Faktor sosial-budaya

Beberapa diantara faktor-faktor sosial-budaya yang menyebabkan stress adalah stress akulturatif dan status sosial ekonomi;

a. Stress akulturatif

(36)

22

kelompok kebudayaan yang berbeda. Stress akulturatif (acculturative) adalah konsekuensi negative dari akulturasi.

b. Status sosial-ekonomi

Kemiskinan menyebabkan stress yang amat berat bagi remaja dan keluarganya (Belle, 1990). Kondisi kehidupan yang kronis, seperti pemukiman yang tidak memadai, lingkungan yang berbahaya, tanggung jawab yang berat, dan ketidakpastian ekonomi merupakan pemicu stress yang kuat dalam kehidupan warga yang miskin.

5. Ketahanan

Norman Garmezy (1985, 1993; Garmezy & Masten) telah mempelajari ketahanan ditengah-tengah kesengsaraan dan ketidakberuntungan selama beberapa tahun. Ia menyimpulkan ada tiga factor yang seringkali muncul membantu anak-anak dan remaja agar dapat memiliki ketahanan terhadap stress: a. Keterampilan kognitif (perhatian, pemikiran reflektif) dan respon positif

terhadap oranglain.

(37)

23

c. Ketersediaan sumber dukungan eksternal, seperti ketika kebutuhan yang kuat akan tokoh ibu dapat dipenuhi oleh tokoh guru, tetangga, orangtua teman, atau bahkan struktur institusional.

Ketiga factor ini menjadi ciri rangkaian perkembangan individu yang memiliki ketahanan seperti yang diperoleh dari sebuah studi longitudinal (Werner, 1989).

2.1.4 Sumber-sumber Stress

Beberapa sumber stres pada mahasiswa dalam bidang akademik (Vera,diambil 2011) :

1. Tugas

(38)

24

pengumpulan tugas). Jika tugas sudah rampung jauh-jauh hari sebelum deadline maka tidak ada stress yang ditimbulkan. Tapi jika sebaliknya yang terjadi, 1 hari menjelang deadline masih banyak yang harus dikerjakan, inilah yang menjadi sumber stres mahasiswa yang bersangkutan. Caranya adalah menyelesaikan semuanya dalam semalam, sehingga waktu tidur pun akhirnya dikorbankan, yang kemudian memunculkan stres baru (misalnya setelah bergadang malah masuk angin, pusing, dan sebagainya).

2. Kuis

Kuis adalah semacam tes kecil atau kalau pada masa sekolah dulu disebut sebagai ulangan. Bagi beberapa kelompok mahasiswa, barangkali kuis tidak memicu munculnya stres, karena bisa jadi inteligensinya yang di atas rata-rata, atau sangat di bawah rata-rata sehingga tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tapi bagi kelompok mahasiswa lainnya, yang membuat stres menjelang kuis adalah bisa jadi karena materi yang harus dipelajari sangat banyak dengan waktu yang sangat terbatas, sehingga dikeluarkanlah jurus SKS (sistem kebut semalam), hampir sama dengan mengerjakan tugas menjelang deadline. Efek dari kurang tidur adalah mengantuk keesokan harinya, kepala pusing, dan tidak bisa mengingat dengan baik apa yang dipelajari semalam. Hal ini tentu akan memunculkan stres yang baru, karena tidak dapat mengerjakan kuis dengan baik. 3. Ujian

(39)

25

biasanya juga mendominasi. Stres yang dirasakan mahasiswa dari jauh-jauh hari sebelum ujian karena ia belajar dengan menyicil tentu akan lebih kecil daripada stres yang dialami mahasiswa yang belajar 1 hari sebelum ujian. Materi ujian yang sulit dimengerti dan tidak memiliki bayangan soal ujian juga merupakan stressor mahasiswa.

4. Tidak lulus matakuliah

Stressor kali ini bisa bermacam-macam penyebabnya. Bisa karena mahasiswa memang tidak mampu menguasai matakuliah tersebut, bisa karena ketidaksamaan pola pikir antara mahasiswa dengan dosen, bisa juga karena cekal (tidak masuk kuliah melebihi batas kesempatan absen). Apapun penyebabnya, tidak lulus matakuliah membuat mahasiswa menjadi stres karena mereka harus mengulang lagi matakuliah tersebut, meminta uang tambahan pada orang tua atau wali, dan mengulang matakuliah tersebut bersama dengan adik angkatan

5. Sidang

Sidang adalah penentu kelulusan seorang mahasiswa. Ini adalah rintangan terakhir mahasiswa setelah menyelesaikan skripsi. Tentu saja tekanan yang ditimbulkan menjelang sidang lebih besar dibanding saat menghadapi ujian-ujian biasa, karena jika seorang mahasiswa tidak lolos dari sidang, berarti ia harus mengulang sidang itu lagi.

Sedangkan beberapa sumber stres non akademik mahasiswa adalah : 1. Waktu Perjalanan

(40)

26

singkat. Belum lagi kalau ditunjang jalanan macet, bangun kesiangan, dsb, maka lengkaplah stres seorang mahasiswa hanya karena transportasi. Saat tiba di kampus, sang mahasiswa sudah kelelahan menempuh perjalanan yang begitu panjang sehingga tidak bisa mengikuti kuliah dengan baik karena mengantuk.

2. Partisipasi dalam organisasi/kepanitiaan

Banyak mahasiswa yang aktif dalam organisasi atau kepanitiaan di tempat kuliahnya dengan berbagai motivasi. Tapi tanpa disadarinya sebenarnya keaktifan tersebut bisa menjadi pemicu munculnya stres apabila karena keaktifan tersebut mahasiswa jadi tidak bisa mengikuti perkuliahan di kelas dengan maksimal. Rapat, pertemuan, atau acara yang diselenggarakan kepanitiaan maupun organisasi tidak jarang mengharuskan mahasiswa mengorbankan tatap muka di kelas dengan dosen. Apalagi jika seorang mahasiswa yang menjabat sebai ketua suatu organisasi atau kepanitiaan, tentu stres yang dialaminya akan lebih berat, karena ia memikul tanggung jawab terbesar.

3. Lingkungan pergaulan

Sebuah pertemanan tidak lepas dari perselisihan atau pertengkaran. Dan saya yakin, siapapun yang sedang bertengkar dengan temannya pasti akan merasakan suasana hatinya tidak baik. Bukan tidak mungkin hal ini menjadi stressor seorang mahasiswa, dan bukan tidak mungkin pula hal ini berimbas pada prestasi akademik mahasiswa yang bersangkutan, sehingga malah akan menimbulkan stress yang baru.

(41)

27

2.2.1 Pengertian Self –Regulated Learning

Teori-teori self-regulation memfokuskan pada bagaimana pebelajar menggerakkan, mengubah, dan mempertahankan kegiatan belajar baik secara sendiri maupun pada lingkungan sosialnya, dalam konteks instruksional informal maupun formal (Zimmerman & Schunk, 1989). Menurut Combs dan Marzano (2004) mahasiswa yang memiliki pengaturan dalam belajar memiliki kombinasi dari keterampilan-keterampilan belajar akademik dan kontrol diri yang membuat belajar lebih mudah.

Self-regulated learning adalah proses aktif dan konstruktif dengan jalan siswa menetapkan tujuan untukproses belajarnya dan berusaha untuk memonitor, meregulasi, dan mengontrol kognisi, motivasi, dan perilaku, yang kemudian semuanya diarahkan dan didorong oleh tujuan dan disesuaikan dengan konteks lingkungan (Pintrich dalam Wolters dkk., 2003, h. 5: Schunk, 2005, h. 173). Istilah self regulation diartikan oleh para pakar dari sudut pandang yang berbeda-beda. Schraw, dkk (2003), mendefinisikan self regulation sebagai kemampuan untuk mengontrol proses pemahaman dan perolehan pengetahuan. Flavell, mengemukakan bahwa kemampuan individu dalam mengarahkan kognisinya disebut sebagai regulasi metakognitif atau metacognitive regulation, yang di dalamnya tercakup mekanisme-mekanisme self regulation seperti melakukan pengecekan, perencanaan, pemantauan, pengujian, perbaikan, dan evaluasi (Yulie, 2004 dalam Subgeyah, 2010).

(42)

28

learning pada siswa dapat digambarkan melalui tingkatan atau derajat yang meliputi keaktifan berpartisipasi baik itu secara metakognisi, motivasional, maupun perilaku dalam proses belajar.

2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi self-regulated learning

Dikutip dari Amalia (2009), Thoresen dan Mahoney (dalam Zimmerman, 1989, h. 332-336)memaparkan dari perspektif sosial-kognitif, bahwa keberadaan self-regulated learning ditentukan oleh tiga wilayah yakni wilayah person, wilayah perilaku, danwilayah lingkungan :

(43)

29

panjang siswa untuk belajar. Tujuan dan pemakaian proses kontrol metakognitif dipengaruhi oleh persepsi terhadap self-efficacy dan afeksi (affect).

b) Faktor perilaku (Behavior). Tiga cara dalam merespon berhubungan dengan analisis self- regulated learning: observasi diri (self-observation), penilaian diri (self-judgment), dan reaksi diri (self-reaction). Meskipun diasumsikan bahwa setiap komponen tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam proses pribadi yang tersembunyi (self), namun proses dari luar diri individu juga ikut berperan. Setiap komponen terdiri dari perilaku yang dapat diamati, dilatih dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu, self-observation, self-judgment, dan self-reaction dikategorikan sebagai faktor perilaku yang mempengaruhi self-regulated learning. Selanjutnya, Bandura menengarai bahwa dinamika proses beroperasinya self-regulated learning antara lain terjadi dalam subproses yang berisi self-observation, self-judgment dan self-reaction. Ketiganya memiliki hubungan yang sifatnya resiprositas atau timbal balik seiring dengan konteks persoalan yang dihadapi. Hubungan timbal balik tidak selalu bersifat simetris melainkan lentur dalam arti salah satunya di konteks tertentu dapat menjadi lebih dominan dari aspek lainnya, demikian pula pada aspek tertentu menjadi kurang dominan.

(44)

30

yang bervariasi. Individu yang menerapkan self-regulation biasanya

menggunakan strategi untuk menyusun lingkungan, mencari bantuan sosial dari guru, dan mencari informasi.

Pemaparan di atas, menunjukkan bahwa selama proses self-regulated learning berlangsung, ada tiga faktor yang dapat berpengaruh. Faktor-faktor tersebut adalah faktor person, perilaku, dan lingkungan.

2.2.3 Aspek-aspek self-regulated learning

Dikutip dari Amalia (2009), Self-regulation merupakan fundamen dalam proses sosialisasi dan melibatkan perkembangan fisik, kognitif dan emosi (Papalia, 2001, h. 223). Siswa dengan self-regulation pada tingkat yang tinggi akan memiliki kontrol yang baik dalam mencapai tujuan akademisnya. Self-regulation yang diterapkan dalam self-regulated learning, mengharuskan siswa fokus pada proses pengaturan diri guna memperoleh kemampuan akademisnya. Menurut Zimmerman (1989, h. 329), self-regulated learning terdiri atas pengaturan dari tiga aspek umum pembelajaran akademis, yaitu kognisi, motivasi dan perilaku.

(45)

31

2. Strategi untuk meregulasi motivasi melibatkan aktivitas yang penuh tujuan dalam memulai, mengatur atau menambah kemauan untuk memulai, mempersiapkan tugas berikutnya, atau menyelesaikan aktivitas tertentu atau sesuai tujuan. Regulasi motivasi adalah semua pemikiran, tindakan atau perilaku dimana siswa berusaha mempengaruhi pilihan, usaha, dan ketekunan tugas akademisnya. Regulasi motivasi meliputi masteryself-talk, extrinsic self-talk, relative ability self-talk, relevance enhancement, situasional interest

enhancement, self-consequating, dan penyusunan lingkungan (environment structuring).

3. Strategi untuk meregulasi perilaku merupakan usaha individu untuk mengontrol sendiri perilaku yang nampak. Sesuai penjelasan Bandura (Zimmerman, 1989, h. 330) bahwa perilaku adalah aspek dari pribadi (person), walaupun bukan “self” internal yang direpresentasikan oleh kognisi, motivasi dan afeksi. Meskipun begitu, individu dapat melakukan observasi, memonitor, dan berusaha mengontrol dan meregulasinya dan seperti pada umumnya aktivitas tersebut dapat dianggap sebagai self-regulatory bagi individu. Regulasi perilaku meliputi regulasi usaha (effort regulation), waktu dan lingkungan (time/ study environment), dan pencarian bantuan (help-seeking).

2.2.4 Karakteristik self-regulated learning

(46)

32

1. Menetapkan tujuan-tujuan untuk memperluas pengetahuan mereka dan terus menerus menahan motivasi mereka.

2. Mereka mengetahui emosi-emosi mereka dan mempunyai strategi-strategi untuk mengatur emosi-emosi mereka.

3. Pada waktu-waktu tertentu mereka mengawasi perkembangan mereka

terhadap suatu tujuan.

4. Memperbaiki atau merevisi strategi-strategi mereka berdasarkan kemajuan yang sedang mereka lakukan.

5. Mengevaluasi rintangan yang dapat muncul dan melakukan penyesuaian yang diperlukan.

Dapat disimpulkan bahwa seseorang pelajar yang memiliki pengaturan diri dalam belajar adala peserta didik yang memiliki tujuan-tujuan yang terarah, motivasi tinggi dan strategi-strategi yang mampu membantunya untuk mencapai tujuannya sedangkan seorang pelajar yang melakukan penundaan adalah pelajar yang memiliki motivasi yang rendah dimana hal ini akan memperlambatkan pelajar tersebut untuk mencapai tujuan-tujuannya.

2.3. COPING

2.3.1 Pengertian Coping

Pengelolaan stress disebut juga dengan istilah coping. Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Yusuf, 2004), Coping adalah “proses mengelola tuntutan (internal atau eksternal) yang ditaksir sebagai beban karena di luar kemampuan

(47)

33

Dalam kamus psikologi, coping yaitu sembarang perbuatan dalam mana individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya, dengan tujuan menyelesaikan masalah (J.P. Chaplin, 1995).

(48)

34

Ketika mempertimbangkan masalah coping, penting untuk memahami situasi dan kondisi yang menimbulkan kebutuhan untuk mengatasi. Umumnya, diasumsikan bahwa ada beberapa stimulus yang berasal baik dalam individu atau lingkungan, yang menantang individu dan dengan demikian memotivasi dia untuk mengubah situasi atau respon terhadap situasi. Rangsangan tersebut biasanya disebut sebagai stres. "Sebuah peristiwa stres biasanya didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang tidak biasa, perubahan yang muncul tiba-tiba mengancam kesehatan seseorang dan kesejahteraan" (Zautra, 1996, hal 698).

2.3.2 Proses Coping

Dalam jurnal “Coping Skills Theory As An Underlying Framework For Therapeutic Recreation Services” Lazarus dan Folkman (1984) dan lain-lain telah menyarankan bahwa proses coping terdiri dari empat langkah:

1. Langkah pertama adalah penilaian, yang meliputi penentuan makna dari suatu peristiwa atau situasi dan implikasi bagi seseorang kesejahteraan.

2. Langkah kedua melibatkan menilai sumber daya seseorang menghadapi dan kemungkinan bahwa berbagai strategi penanganan yang akan efektif, yang berpuncak pada pemilihan strategi coping.

3. Langkah ketiga melibatkan melaksanakan strategi coping yang dipilih.

(49)

35

2.3.3 Dimensi Coping

Berbagai cara untuk mengatasi telah ditemukan lebih atau kurang adaptif. Dalam analisis-meta, Suls dan Fletcher (1985) telah mengumpulkan studi yang meneliti efek dari mode berbagai mengatasi beberapa langkah penyesuaian terhadap penyakit.

Para penulis menyimpulkan bahwa strategi avoidant coping tampaknya lebih adaptif dalam jangka pendek sedangkan perhatian-konfrontatif coping lebih adaptif dalam jangka panjang. Ini masih belum jelas, Namun, bagaimana tanggapan coping khusus pasien berjuang dengan penyakit dapat diklasifikasikan ke dalam kategori yang lebih luas. Ada banyak usaha untuk mengurangi total jawaban mengatasi mungkin untuk satu set pelit dimensi coping.

(50)

36

2.3.3.1Coping yang berfokus pada masalah (problem–focused coping)

Mencakup tindakan secara langsung untuk mengatasi masalah atau mencari situasi yang relevan dengan situasi masalah. Seseorang dapat memfokuskan masalah atau situasi spesifik yang telah terjadi, sambil mencoba menemukan cara untuk mengubahnya di kemudian hari. Strategi untuk memecahkan masalah antara lain menentukan masalah, menciptakan pemecahan alternatif, menimbang-nimbang alternatif, memilih salah satunya, dan meng-implementasikan alternative yang dipilih. Contohnya, mencari tahu penyebab datangnya suatu hambatan, bertanya kepada teman yang pernah mengalami hambatan serupa untuk mencari alternatif pemecahan masalah, melakukan pemecahan masalah yang berbeda. Kemampuan individu menerapkan strategi ini tergantung pada pengalamannya dan kapasitasnya untuk mengendalikan diri (Atkinson et al, 1993).

Di dalam jurnal yang berjudul Assesing Coping Strategies : A Theoritically Based Approach, yang ditulis oleh Carver dkk pada tahun 1989, dijelaskan bahwa Problem Focused Coping terdiri dari beberapa jenis yaitu:

a. Active Coping

(51)

37

mengatasi stressor, meningkatkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi stress atau melakukan tindakan-tindakan secara bertahap.

b. Planning

Aktifitas-aktifitas dalam planning berkaitan dengan perencanaan mengenai hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi situasi yang menimbulkan stress. Dengan cara merancang untuk berpindah, memikirkan cara yang terbaik untuk memecahkan stress. Dengan cara merancang untuk berpindah, memikirkan cara yang terbaik untuk memecahkan suatu masalah atau merencanakan langkah-langkah yang dilakukan untuk mengatasi suatu sumber stress.

c. Suppression of Competing Activities

Yaitu mengesampingkan atau mengabaikan aktifitas lain, menghindari terjadinya gangguan dari kejadian lain atau membatasi ruang gerak dari aktifitas individu yang berhubungan dengan masalah, dengan tujuan agar individu dapat berkonsentrasi secara penuh dalam menghadapi suatu sumber stress.

d. Restraint Coping

Adalah suatu latihan untuk mengontrol atau mengendalikan diri agar dapat mengatasi sumber stress secara efektif (strategi coping yang aktif, dalam arti tindakan individu difokuskan untuk menangani sumber stress secara efektif).

(52)

38

Adalah usaha-usaha yang dilakukan individu untuk mendapatkan dukungan sosial, dengan cara meminta nasihat, bantuan, atau informasi dari orang lain yang dapat membantu individu dalam menyelesaikan masalah (Carver, dkk. 1989).

2.3.3.2Coping yangberfokus pada emosi (emotion-focused coping)

Sedangkan beberapa peneliti lain mengklasifikasikan emotion-focused coping menjadi beberapa bagian diantaranya :

a. Strategi perenungan (ruminative strategies), yaitu mengisolasi diri untuk memikirkan betapa buruknya perasaan kita, mengkhawatirkan konsekuensi peristiwa stress atau keadan emosional kita. Atau membicarakan berulang kali betapa buruknya segala sesuatu tanpa mengambil tindakan untuk mengubahnya.

b. Strategi pengalihan (distraction strategies), antara lain melibatkan diri dalam aktifitas yang menyenangkan dan cenderung meningkatkan perasaan kendali kita, seperti berbelanja, bermain game dan lain sebagainya. Tujuan strategi pengalihan adalah menjauhkan diri dari pikiran negative dan mendapatkan kembali perasaan menguasai masalah.

(53)

39

lain, mengendarai kendaraan dalam kecepatan tinggi, dan sebagainya. (Nolen-Hoeksema dalam Atkinson. Dkk, 1993).

Coping juga memiliki aspek temporal. Satu dapat mengatasi stres sebelum acara berlangsung, ketika sedang terjadi (misalnya, selama berlangsungnya penyakit), atau sesudahnya. Beehr dan McGrath (1996) membedakan lima situasi yang menciptakan konteks temporal tertentu: (a) Koping Pencegahan: Jauh sebelum acara ocurs stres, atau mungkin terjadi, misalnya, perokok mungkin berhenti baik pada waktunya untuk menghindari risiko kanker paru-paru (b) koping antisipasi : ketika acara segera diantisipasi, misalnya, seseorang mungkin memakan obat penenang sambil menunggu untuk operasi, (c) Dynamic koping: ketika sedang berlangsung, misalnya, mengalihkan perhatian untuk mengurangi rasa sakit kronis; (d ) reaktif koping : setelah itu terjadi, misalnya, mengubah hidup seseorang setelah kehilangan anggota badan, dan (e) koping sisa : lama kemudian, dengan berpendapat dengan efek jangka panjang, misalnya, pengendalian tahun mengganggu seseorang pikiran setelah kecelakaan traumatis telah terjadi.

2.3.4 Fungsi-fungsi Coping

Cohen dan Lazarus (1979, dalam Taylor 2003) mengemukakan bahwa coping memiliki lima tugas utama, yaitu:

1. Untuk mengurangi kondisi-kondisi lingkungan yang menyakitkan dan memperbesar kemungkinan untuk mengalihkannya.

(54)

40

3. Untuk mempertahankan citra diri yang positif 4. Untuk mempertahankan keseimbangan emosional.

5. Untuk terus melanjutkan hubungan yang memuaskan dengan orang lain.

Secara umum fungsi coping adalah untuk menghilangkan kondisi tertekan yang dirasakan agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan serta dapat diterima oleh lingkungan secara positif, sehingga berada dalam keadaan yang tidak tertekan lagi.

2.3.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi coping

Zainun (2004, dalam Ratna,2006), ada beberapa faktor yang mempengaruhi individu dalam memilih strategi coping yang akan digunakan dalam mengatasi permasalahannya yaitu:

1. Kesehatan fisik, merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha mengatasi stress individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar.

2. Keyakinan atau pandangan positif, menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (eksternal locus of control)

yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan

(55)

41

3. Keterampilan memecahkan masalah, meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternative tindakan, kemudian mempertimbangkan alternative tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.

4. Keterampilan sosial, meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai social yang berlaku di masyarakat.

5. Dukungan sosial, meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orangtua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya. 6. Materi, meliputi sumber daya berupa uang, barang-barang atau layanan

yang biasanya dapat dibeli.

Dapat diketahui bahwa setiap individu memilih strategi coping yang berbeda, sesuai dengan permasalahan, karena tekanan-tekanan yang ditimbulkan oleh permasalahan-permasalahan setiap individu memiliki tingkatan yang berbeda-beda, sehingga dalam pemilihan strategi coping pun berbeda pula.

2.4 KOPING KULTURAL

(56)

42

amat bernilai dalam hidup sehingga biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Dikutip menurut Subagio Sastrowardoyo (1988), di dalam masyarakat Jawa, supaya dapat tumbuh menjadi manusia Jawa yang sebaik-baiknya terdapat sumber-sumber budaya Jawa dalam hubungan pengembangan citra anak yaitu :

a) Sastra Wayang b) Sastra Pitutur c) Lagu-lagu dolanan

d) Ungkapan-ungkapan

Dikutip dalam jurnal Benkuo, “Development of the cross-cultural coping scale: collective, avoidance, and engagement coping”, Skala coping lintas-budaya, instrumen berbasis skenario, dikembangkan dalam 3 studi. analisis faktor eksplorasi dengan remaja Kanada Cina, menunjukkan struktur 3-faktor: Kolektif, Penghindaran, dan Keterlibatan Coping.

2.4.1 Faktor-faktor dalam Koping cultural: 1. Koping Kolektif (collective coping)

(57)

43

Pada dimensi collective coping sesuai dengan sumber budaya Jawa pada lagu-lagu dolanan. Dimana moral warga masyarakat Jawa banyak dipengaruhi oleh pengalamannya waktu ia masih anak-anak dan suka menyanyikan bersama lagu-lagu dolanan dengan teman-teman. Rasa kebersamaan dalam suasana gembira ria itu memupuk kesetiakawanan antara anak-anak, yang tetap berpengaruh pada sikap kemasyarakatannya waktu orang menjadi dewasa.

Orang Jawa sudah sejak sebelum adanya lembaga pendidikan formal telah sadar akan pentingnya pendidikan tampak dengan jelas pada kegiatan oleh sastranya, yang tidak hanya berfungsi sebagai hiburan tetapi juga sebagai wahana pendidikan yang erat kaitannya dengan kehidupan religi. Dalam suasana keakraban dan kasih sayang, seorang ibu atau nenek menyampaikan warisan rohani nenek sebelum tidur (Sumarti,1983).

2. Penghindaran Koping (avoidance coping)

(58)

44

& Sedlacek, 2004) yaitu dengan melupakan (forget), menyamarkan (unobtrusive), dan mempunyai selingan (distraction) .

Pada dimensi avoidance coping, sesuai dengan sumber budaya Jawa yang terdapat dalam sastra pitutur. Di dalam sastra Jawa terdapat berbagai karangan yang mengandung pitutur, nasehat-nasehat yang berdasarkan pandangan hidup tertentu yang dijadikan pedoman bagi perilaku umum di dalam masyarakat. Yang terkenal dan paling banyak pengaruhnya adalah karangan Wedhatama dan Wulangreh. Di dalam Wedhatama itu bahwa para pemuda harus dapat mengendalikan hawa nafsu. Yang harus menjadi teladan hidup, menurut Wedhatama adalah laku Panembahan Senopati, sultan yang menurunkan raja-raja di Mataram. Ia menghindahkan keduniawian dengan memerintah sebagai raja dan bergaul dengan khalayak ramai.

(59)

45

madat, minum, main. Artinya jangan mencuri, main perempuan, minum madat, minum keras, main kartu atau bertaruh.

3. Keterlibatan Koping (Engagement coping)

Mendefinisikan diri dari perspektif individualistik lebih universal dan kebiasaan daripada melihat diri dalam hubungan dengan orang lain (Rosenberger, seperti dikutip dalam Liem dkk., 2000). Dengan kata lain, ada variasi budaya yang lebih besar dalam kecenderungan lain-diarahkan (kolektivisme) karena relevansi khusus untuk orang Asia daripada kecenderungan ego-centered yang hadir di seluruh kelompok budaya (Liem et al, 2000.) .

Pada dimensi engagement coping, sesuai dengan sumber budaya Jawa yang terdapat dalam sastra wayang. Dimana wayang bagi orang Jawa merupakan sumber moral bagi peri kehidupannya. Seperti lakon Dewaruci dan Arjunawiwaha menjadi tempat berkontemplasi bagi orang Jawa, tidak saja mengenai hakikat juga mengenai tingkah laku bermoral yang tahu mana yang baik dan yang buruk, kemudian keteguhan hati dalam menghadapi halangan-halangan. Arjuna menjadi teladan utama bagi masyarakat Jawa yang cenderung menempuh jalan tengan dan menjadi pencipta harmoni antara unsure-unsur sikap yang saling bertentangan tetapi melengkapkan.

(60)

46

globalisasi dapat diamati dalam domain pendidikan. Di Kanada, populasi siswa yang terus meningkat internasional dan keragaman etnis di kelas dan kampus di Kanada adalah contoh yang jelas dari tren (Kanada Biro Pendidikan Internasional (CBIE), 2002). Dalam dekade terakhir dan setengah, yang unik sekelompok mahasiswa internasional dari negara-negara Asia mulai pendidikan di Utara American sistem sekolah tinggi telah muncul (Hong, 1998; Lin, 1992, 1998).

Pada jurnal yang ditulis oleh Ben kuo (2006) , pengaruh budaya pada coping telah terlibat secara konseptual di stresscoping literatur untuk beberapa waktu, penelitian empiris di salib-budaya dihadapi telah memperoleh momentum baru-baru ini. Dua dekade terakhir menyaksikan pertumbuhan yang signifikan di penelitian dan basis pengetahuan budaya dan coping, serta panggilan meningkat oleh sarjana lebih kepada budaya-dan-informasi kontekstual dalam mengatasi paradigma stress.

(61)

47

dan "persaudaraan dalam kesulitan." Dalam filsafat Hindu dan Buddha, ketika dialog internal bergeser dari "Apa untungnya bagi saya?" untuk "Bagaimana bisa saya bantu?" individu melampaui ego ke dalam domain tugas sosial atau dharma. Ini Amerika Utara dan Asia ucapan mencerminkan perbedaan dalam psikologi Barat dan Timur sepanjang garis saling independen-diri-construals (Markus & Kitayama, 1991). Studi Asia diri construal (Cousins, 1989, Cross, 1995; Yeh, Inose, Kobori, & Chang, 2001) menunjukkan adanya hubungan antara saling self-construal dan collectivistic coping. Selain itu, hubungan yang mungkin ada di antara akulturasi dari Asia kepada masyarakat Amerika Utara dan cara mereka mengatasi (Roysircar & Maestas, 2002).

Masih dalam jurnal yang sama, Zheng dan Berry (1991) melaporkan bahwa siswa internasional Cina di Kanada lebih aktif terlibat dalam coping (seperti menerapkan pengurangan ketegangan dan informasi-mencari strategi) dan kurang pasif (seperti terlibat dalam angan-angan dan menyalahkan diri sendiri) darip

Gambar

Tabel 3.2 Blue Print Skala Koping kultural
Tabel 3.3 Blue Print Skala Stress
Tabel 3.4 Skor Untuk Pernyataan Favorable dan Unfavorable
Tabel 3.5 Klasifikasi Koefisien Reliabilitas
+7

Referensi

Dokumen terkait