• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Histopatologi Hati Mencit Setelah Pemberian Suspensi Daging Buah Kepel (Stelechocarpus burahol) Secara Intragastrik Selama 14 Hari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Histopatologi Hati Mencit Setelah Pemberian Suspensi Daging Buah Kepel (Stelechocarpus burahol) Secara Intragastrik Selama 14 Hari"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

GITA ALVERNITA. The Histopathology of MiceLiver Treated by Kepel (Stelechocarpus burahol) Suspension Intragastrically for 14 Days. Under direction of EVA HARLINA and SITI SA’DIAH.

The aim of this study was to examine the effect of kepel (Stelechocarpus burahol) to the mice hepatocytes. Thirty male mice of 4 week aged were divided into three groups; control group was treated by aquadest, dose 1x group was treated by 2.6 mg/g BW/day kepel powder (0,5 ml kepel suspension/day) and dose 5x group was treated by 13 mg/g BW/day kepel powder (1.0 ml kepel suspension/day). The treatment was intragastrically for 14 days. The mice were euthanized and then followed by the liver collection for histopathology processed. The histopathlogical examination of liver showed hydropic degeneration, apoptosis and extramedullary hematopoietic observed on mice hepatocytes.The ANOVA analysis showed that kepel caused increase significantly (p<0,05) of hydropic degeneration and decrease significantly (p<0,05) of apoptosis of mice hepatocytes.

(2)

(Stelecho

DEPAR

ocarpus bu

RTEMEN

FAKU

INS

urahol) SE

1

GITA

KLINIK

ULTAS KE

STITUT P

ECARA IN

14 HARI

ALVERN

REPROD

EDOKTE

ERTANIA

BOGOR

2011

NTRAGAS

NITA

DUKSI DA

RAN HEW

AN BOGO

STRIK SE

AN PATO

WAN

OR

ELAMA

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Gambaran Histopatologi Hati Mencit Setelah Pemberian Suspensi Daging Buah Kepel (Stelechocarpus burahol) Secara Intragastrik Selama 14 Hari adalah karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2011

Gita Alvernita

(4)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya illmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(5)

GITA ALVERNITA. The Histopathology of MiceLiver Treated by Kepel (Stelechocarpus burahol) Suspension Intragastrically for 14 Days. Under direction of EVA HARLINA and SITI SA’DIAH.

The aim of this study was to examine the effect of kepel (Stelechocarpus burahol) to the mice hepatocytes. Thirty male mice of 4 week aged were divided into three groups; control group was treated by aquadest, dose 1x group was treated by 2.6 mg/g BW/day kepel powder (0,5 ml kepel suspension/day) and dose 5x group was treated by 13 mg/g BW/day kepel powder (1.0 ml kepel suspension/day). The treatment was intragastrically for 14 days. The mice were euthanized and then followed by the liver collection for histopathology processed. The histopathlogical examination of liver showed hydropic degeneration, apoptosis and extramedullary hematopoietic observed on mice hepatocytes.The ANOVA analysis showed that kepel caused increase significantly (p<0,05) of hydropic degeneration and decrease significantly (p<0,05) of apoptosis of mice hepatocytes.

(6)

(Stelechocarpus burahol) SECARA INTRAGASTRIK SELAMA

14 HARI

GITA ALVERNITA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(7)

Nama : Gita Alvernita

NIM : B04070175

Disetujui,

Dr. drh. Eva Harlina, M.Si, APVet. Siti Sa’diah, S.Si,Apt,M.Si

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui,

Dr. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

(8)

melimpahakan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Gambaran Histopatologi Mencit Setelah Pemberian Suspensi Daging Buah Kepel (Stelechocarpus burahol) Secara Intragastrik Selama 14 Hari. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. drh. Eva Harlina, M.Si, APVet. dan Siti Sa’diah, S.Si, Apt, M.Si selaku pembimbing skripsi yang begitu sabar memberikan pengarahan dan bimbingan bagi penulis. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada drh. Huda Darusman, M.Si atas saran dan masukannya selama penelitian, drh. Isdoni, M.Biomed selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan pegawai Bagian Toksikologi dan Farmakologi (Pak Edi dan Mbak Anti), seluruh staf dan pegawai Bagian Patologi (Pak Kasnadi, Pak Endang dan Pak Sholeh) serta staf dari Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB (Mbak Dina dan Pak Taufik) atas bantuannya selama penelitian.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga penulis tujukan untuk Ayah dan Ibu tercinta, Andre R. Rustam dan Farida Daulay, Reynaldo Belmundo Andre (Kakak), Dian Ayu Wardhani (Kakak ipar), serta segenap keluarga yang telah berdoa dengan tulus dan memberikan dukungan selama ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sangat dalam penulis tujukan kepada Arie Mardjan Tampubolon, Adilla Adha dan Andrini Aditya Wardhani atas kebersamaan dan kesabarannya dalam berjuang sebagai rekan penelitian (Thank you Bang!). Terima kasih penulis ucapkan kepada orang terdekat (Mbung, Astri Priyanti Parameswari, Puti Lenggogeni, Meta Levi, Patricia Noreva, Trismawati Wahid, Azrul Zulmy, dan Dardjat Darul Falah) atas dukungan, saran dan kritikannya, serta rekan-rekan Gianuzzi 44 dan Himpro SATLI. Semoga karya ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, November 2011

(9)

Andre R. Rustam dan Farida Daulay. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara.

Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1995 di SD Islam Al-Azhar 6 Jakapermai, Bekasi dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Islam Al-Azhar 8 Kemang Pratama, Bekasi dan lulus pada tahun 2004. Penulis kemudian masuk ke SMA Islam Al-Azhar 4 Kemang Pratama, Bekasi dan lulus pada tahun 2007. Tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di Fakultas Kedokteran Hewan.

(10)

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan... ... 2

Manfaat... ... 2

Hipotesis. ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Herbal... ... 4

Kepel (Stelechocarpus burahol) ... 6

Hati... ... 9

Mencit.... ... 11

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 12

Bahan dan Alat ... 12

Hewan Coba ... 12

Pembuatan Sediaan Kepel ... 13

Desain Penelitian ... 13

Pembuatan Preparat Histopatologi Hati ... 13

Pengamatan Sediaan Histopatologi Mencit ... 14

Analisis Statistik ... 14

Diagram Alir Penelitian ... 14

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Pemberian Suspensi Daging Buah Kepel (Stelechocarpus burahol) Terhadap Gambaran Histopatologi Hati ... 16

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 24

Saran ... 24

DAFTAR PUSTAKA ... 25

(11)

1. Fitokimia tanaman kepel ... 9 2. Persentase perubahan hepatosit mencit pada pemberian suspensi

(12)

Halaman 1. Bentuk pohon, daun dan buah kepel ... 8 2. Diagram alir penelitian ... 14 3. Grafik persentase perubahan hepatosit mencit pada pemberian

suspensi daging buah Kepel (Stelechocarpus burahol) selama 14 hari . 16 4. Hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis pada kelompok dosis 5x 17 5. Hepatosit yang mengalami apoptosis pada kelompok kontrol ... 20 6. Extramedullary hematopoiesis (EMH) pada hati kelompok dosis 5x .... 23

(13)

Halaman

1. Penghitungan dosis pemberian kepel ... 31

2. Penghitungan volume pemberian kepel ... 32

3. Pembuatan sediaan histopatologi dan pewarnaan HE ... 33

4. Analisis perubahan degenerasi hidropis pada sel hati ... 35

5. Analisis perubahan apoptosis pada sel hati ... 36

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penggunaan obat-obatan herbal menjadi sebuah alternatif yang saat ini

digandrungi oleh masyarakat. Mayoritas masyarakat lebih memilih pengobatan

herbal karena bahan alami dianggap bersifat lebih aman, selain itu juga relatif

lebih murah dibandingkan obat modern. Faktor pendorong berpindahnya

masyarakat memakai obat herbal adalah usia harapan hidup yang lebih panjang

setelah mengonsumsi obat herbal saat prevalensi penyakit kronik meningkat dan

adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu seperti

kanker. Herbal kembali dilirik kajian ilmiahnya oleh peneliti setelah melihat

kemampuan alami hewan di alam liar mengonsumsi tanaman untuk self-treatment dalam mengurangi rasa sakit pada saat-saat tertentu.

Indonesia memiliki lebih dari 30.000 jenis spesies tumbuhan yang 960

spesies diantaranya telah tercatat sebagai tumbuhan berkhasiat, dan 283 jenis

diantaranya merupakan tumbuhan yang penting bagi industri obat tradisional

(Kusuma dan Zaky 2005). Diantara tanaman berkhasiat tersebut adalah daun

jambu biji (Psidium guava) yang mengandung psiditanin yang berguna sebagai obat diare, atau Echinacea purpurea yang mengandung echinasida yang berfungsi sebagai immunomodulator. Beberapa tanaman yang telah menjadi obat herbal terstandar diantaranya Kiranti®, yang mengandung kunyit (Curcuma domestic) berguna untuk meredakan nyeri pada saat haid, dan Stimuno®, contoh

immunomodulator dari herbal alami yang membantu meningkatkan daya tahan tubuh. Stimuno® terdaftar sebagai sediaan fitofarmaka yang berasal dari ekstrak

tanaman meniran (Phyllantus niruri) yang terstandarisasi, karena telah melalui berbagai uji preklinik dan klinik (Anonim 1 2009). Berdasarkan temuan-temuan

di atas memicu para peneliti untuk menelaah lebih jauh potensi tumbuhan khas

Indonesia dalam mewujudkan kesehatan masyarakat, hewan dan lingkungan.

Salah satu tanaman asli Indonesia yang biasa digunakan sebagai jamu adalah

tanaman khas asal Yogyakarta yang sering disebut dengan kepel.

(15)

bagi masyarakat Keraton, Yogyakarta. Putri keraton dahulu menggemari buah ini

sebagai penghilang bau badan, memberi efek wangi pada produk ekskresi manusia

seperti keringat, urin dan feses. Selain itu daun kepel mengandung banyak zat

sitotoksik bagi sel kanker (Wiart 2007), dan mengandung banyak senyawa

flavonoid yang bersifat sebagai antioksidan (Sunarni et al. 2007). Bunga dari tumbuhan kepel diketahui memiliki efek antiimplantasi sehingga dapat digunakan

sebagai kontrasepsi (Warningsih 1995). Bagian kulit batangnya juga diketahui

sebagai antiagregasi platelet (Sunardi et al. 2007). Banyaknya potensi obat yang dimiliki tanaman kepel berbanding terbalik dengan langkanya tanaman ini.

Kelangkaan disebabkan oleh kurangnya nilai ekonomis dari tanaman ini, dan

kepel termasuk tanaman yang berbuah setahun sekali. Karena faktor inilah

mengapa masyarakat urung membudidayakan dan memanfaatkan kepel. Adanya

publikasi ilmiah mengenai potensinya diharapkan menjadi ujung tombak

memasyarakatkan kepel sebagai tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari gambaran histopatologi organ

hati terhadap pemberian suspensi daging kepel, karena hati merupakan organ

interna pertama yang terkena efek toksik dari suatu substansi yang masuk ke

dalam tubuh. Hati juga memiliki peranan yang sangat penting karena merupakan

pusat metabolisme zat makanan sebelum diedarkan ke seluruh tubuh (Banks

1986). Berdasarkan data empiris dari masyarakat Keraton, kepel dikonsumsi

sebanyak 2 buah dalam 1 hari. Bersumber dari data empiris tersebut maka

dilakukan penelitian untuk mempelajari adakah perubahan pada gambaran

histopatologi hati mencit setelah pemberian kepel selama 14 hari. Dari hasil

penelitian ini diharapkan semakin banyak masyarakat yang mengetahui potensi

kepel sehingga tertarik membudidayakan dan memanfaatkannya.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemberian suspensi

(16)

Manfaat

Manfaat penelitian adalah untuk mengetahui potensi kepel sehingga

masyarakat tertarik untuk membudidayakan dan memanfaatkannya, dan juga

meningkatkan pamor dan nilai ekonomis kepel sehingga dapat merubah gaya

hidup untuk semakin mencintai buah nasional.

Hipothesis

Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:

H0: Suspensi daging buah kepel tidak berpengaruh terhadap gambaran

histopatologi organ hati mencit.

H1: Suspensi daging buah kepel berpengaruh terhadap gambaran histopatologi

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Herbal

Tanaman herbal memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh

farmakologi konvensional. Farmakologi konvensional saat ini bersifat single compound yang spesifik khasiatnya terhadap suatu penyakit. Hal ini berbeda dengan tanaman herbal yang memiliki multi compound yang mengandung berbagai macam substansi dengan khasiat yang berbeda sehingga dapat

menyeimbangkan efek samping. Farmakologi konvensional umumnya tetap

dianggap sebagai pilihan pengobatan karena khasiatnya bersifat spesifik sehingga

respon penyembuhannya lebih cepat. Tanaman herbal dianggap sebagai pilihan

yang tepat dalam pengobatan penyakit kronis karena memiliki bahan alami yang

dapat memperbaiki metabolisme sehingga dianggap lebih aman dalam

penggunaan jangka panjang.

Pengobatan herbal mewakili berbagai macam disiplin ilmu seperti botani,

sejarah, etnomedisinal dan farmakologi (Wynn dan Fougere 2007). Pengobatan

herbal pada hewan diawali dengan adanya perilaku hewan yang mampu

melakukan self-treatment saat terserang penyakit. Perilaku alami hewan ini menjadikan salah satu alasan para ahli herbal meneliti tanaman obat dan

interaksinya dalam tubuh. Sebagai contoh, kera besar di Tanzania memakan

daun-daun berambut yang berasal dari 34 spesies tanaman obat berbeda, tanpa

mengunyah namun langsung menelannya. Beberapa daun yang dipilih diketahui

mengandung fitokimia aktif dan sebagian tidak, namun semua daun yang dipilih

memiliki tekstur permukaan kasar dengan mikrostruktur mirip dengan kait yang

biasa disebut dengan trichomes. Dedaunan tersebut biasanya dikonsumsi hewan pada saat musim hujan dimana infestasi cacing meningkat sehingga menyebabkan

diare, malaise dan sakit perut (Huffman et al. 1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tekstur kasar pada permukaan daun berperan sebagai

pembersih mekanis cacing yang menginfestasi saluran pencernaan. Dedaunan

kasar juga meningkatkan motilitas usus dan merangsang diare, sehingga

(18)

Interaksi dedaunan di dalam tubuh menghasilkan efek yang cepat dalam

menanggulangi gejala penyakit yang diderita kera tersebut seperti malaise pada

saluran pencernaan (Huffman et al. 1997). Perilaku alami mengonsumsi dedaunan berambut juga telah membantu simpanse di Taman Nasional Kibale,

Uganda untuk menyingkirkan infestasi cacing pita (Bertiella studeri) dalam saluran pencernaan (Wrangham 1994).

Perilaku alami juga ditemukan pada simpanse dengan gejala diare, malaise

dan infeksi nematode dengan mengonsumsi daun pahit Vernonia amygdalina. Dalam waktu 24 jam, simpanse yang mengonsumsi daun ini sembuh. Waktu

persembuhannya serupa dengan masyarakat lokal yang mengonsumsi daun ini

untuk mengatasi gejala penyakit saluran pencernaan. Vernonia amygdalina berasal dari Gunung Mahale, Tanzania, yang mengandung tujuh glukosida steroid

serta empat sesquiterpene lakton yang mampu membunuh parasit yang

menyebabkan schistosomiasis, malaria dan leishmaniasis. Sesquiterpene lakton

bukanlah antihelmintik namun antiamoeba, antitumor dan antimikroba. Lapis luar

dari daun yang dikunyah oleh simpanse merupakan lapisan yang mengandung

vernoniosida B1 yang tinggi dan dapat bersifat sangat toksik terhadap simpanse.

Simpanse tidak hanya dapat mencari pakan yang dapat menangani gejala penyakit

yang menyerangnya, namun juga mampu menemukan bagian tumbuhan yang

memiliki khasiat tanpa bersifat merugikan dirinya (Ohigashi et al. 1994).

Tanaman herbal membutuhkan waktu tertentu untuk pembentukan

senyawa aktif yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, usia kematangan

dari bagian tanaman herbal sangat mempengaruhi jumlah dan jenis senyawa yang

dikandungnya. Selain itu faktor ekstrinsik seperti suhu, kelembaban udara, iklim

dan demografi tanah juga memiliki peranan vital dalam pembentukan senyawa

aktif dalam tanaman herbal. Senyawa aktif ini bekerja sama dalam menghasilkan

khasiat sehingga apabila salah satu senyawa aktif berhasil diisolasi belum tentu

dapat menghasilkan khasiat yang sama.

Badan POM mengelompokkan obat tradisional menjadi tiga, yaitu sediaan

jamu, sediaan herbal terstandar dan sediaan fitofarmaka. Sediaan jamu

merupakan sediaan obat tradisional yang pemakaiannya secara empiris

(19)

sediaan obat tradisional yang bahan bakunya harus distandarisasi dan sudah diuji

farmakologi secara eksperimental yaitu uji pra klinik, efikasi dan toksisitas.

Sediaan fitofarmaka adalah sediaan obat tradisional yang bahan bakunya harus

distandarisasi dan harus melalui uji klinik. Pengembangan obat tradisional seperti

halnya pengembangan obat modern yaitu melalui uji praklinik dan uji klinik. Uji

praklinik meliputi uji farmakodinamik, uji toksikologi dan uji farmasetik,

sedangkan uji klinik meliputi uji klinik fase I (dilakukan terhadap 50-150

sukarelawan sehat), uji klinik fase II (dilakukan terhadap 100-200 pasien), uji

klinik fase III (dilakukan terhadap 50-5000 pasien) dan post marketing surveillance sebagai uji klinik fase IV. Dalam melakukan pengembangan obat tersebut, bagian tanaman obat yang digunakan dapat berasal dari batang, akar,

daun, buah, kulit, biji atau bahkan semua bagiannya. Tanaman obat yang diuji

dapat berupa simplisia (bahan alami yang dikeringkan), ekstrak kental, ekstrak

kering dan ekstrak cair.

Kepel (Stelechocarpus burahol)

Stelechocarpus burahol merupakan tanaman yang termasuk ke dalam Kingdom: Plantae, Subkingdom: Tracheobinta, Divisio: Magnoliophyta, Klas:

Magnoliopsida, Ordo: Magnoliales, Famili: Annonaceae, Genus: Stelechocarpus,

Spesies: Stelechocarpus burahol.

Di Indonesia terdapat tiga spesies dari tanaman ini yaitu Stelechocarpus burahol, Stelechocarpus cauliflorus dan Stelechocarpus schefferii. Ketiga spesies ini dapat ditemukan di lembaga observasi herbarium seperti di taman nasional

sebagai tanaman koleksi dan tanaman untuk diuji kembangkan propagasinya.

Propagasi kepel dilakukan dengan menggunakan biji yang diambil dari buah yang

matang. Telah dicoba propagasi dengan cara lain namun gagal (Sunarto 1987,

Sunarto1992). Hal inilah yang menyebabkan dilakukannya program penanaman

kembali kepel sebagai tanaman langka.

Kepel menjadi salah satu tanaman langka yang masuk ke dalam Daftar

Tanaman yang Terancam Punah (Sastrapradja dalam Mogea 2001). Namun kepel

dapat ditemukan di berbagai taman nasional seperti Kebun Raya Bogor, Taman

(20)

Jember, Taman Buah Mekarsari dan hutan lindung Leuweng Sancang, Cikalong

(Anonim 2 2003). Spesies Stelechocarpus burahol ditanam sebagai pohon ornamen di perkebunan masyarakat Yogyakarta, namun terbatas di daerah selain

Yogyakarta. Kepel dapat ditemui di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa

Timur. Masyarakat di daerah Garut Selatan, Tasikmalaya selatan dan Banyumas

memanfaatkan kepel sebagai buah segar. Selebihnya kepel dapat ditemukan di

perkebunan masyarakat seperti di daerah Karang Anyar, Kebumen dan Solo.

Kepel merupakan tanaman berkayu dengan batang berbentuk silinder.

Daunnya tipis, berwarna hijau kehitaman, mengkilat dan berbentuk lonjong.

Buahnya berbentuk bulat, berwarna kecokelatan dengan diameter 5-6.3 cm

(Umiyah 2005). Daging buahnya memiliki kandungan air yang tinggi sebesar

87-90% sehingga kadar rendemen atau bahan kering yang dimiliki hanya sekitar

10-13% (Darusman 2010). Kepel memiliki biji yang cukup besar dibandingkan

ukuran buah keseluruhannya yaitu 27%, sehingga daging buah yang dapat

dikonsumsi sangat sedikit, hanya 49% (Verhejj dan Coronell 1997). Pohon kepel

mencapai masa berbuah pada usia 6-8 tahun dan hidup di daerah kaki pegunungan

dengan ketinggian 150-300 m diatas permukaan laut. Tanaman ini memiliki tajuk

berbentuk kubah meruncing dan buah yang menyerupai buah buni (berrylike ripe carpels) yang bertangkai pada batang utama pohon. Kepel berbunga pada bulan September hingga Oktober (Sunarto 1992), Maret hingga Oktober (Backer &

Bakhuizen dalam Umiyah 2005) bahkan dapat berbunga pada bulan Juni di

Taman Nasional Meru Betiri, Jember (Umiyah 2005). Gambar pohon, buah dan

daun kepel disajikan pada Gambar 1.

Masyarakat keraton percaya dengan mengonsumsi buah kepel, bau

keringat, bau nafas dan bau air seni menjadi wangi (Fachrurozi 1980; Heyne

1987; Sunarto 1987; Verheij dan Coronell 1997). Zaman dahulu, para Sultan dari

Yogyakarta dan Solo menggunakan buah kepel sebagai deodoran tradisional. Hal

ini dilakukan sebagai bentuk pengabdian terhadap pasangan. Oleh karena itu,

dahulu buah kepel hanya diperbolehkan dikonsumsi oleh putri dan bangsawan

Keraton dan dilarang untuk dikonsumsi oleh masyarakat biasa, sehingga kepel

(21)

tanaman kepel dalam aspek hortikultura, seleksi dan analisis sifat aromatiknya

masih belum banyak dilakukan.

Ekstrak daun kepel memiliki sifat sitotoksik yang tinggi terhadap zat

kanker carcinoma colorectal (Shiddiqi et al. 2008). Daun kepel juga dapat menurunkan asam urat (Purwatiningsih et al. 2009). Daging buah kepel memiliki kandungan bahan aktif antioksidan yang tinggi (Tisnadjaja et al. 2006). Kajian khasiat kepel yang ditarik secara filogenis dari tanaman famili Annonaceae lainnya seperti sirsak (Annona muricata), tanaman asli Trinidad yang mirip dengan apel yaitu cashima (Rollinia exsucca) dan Rollinia pittieri menunjukkan potensi kandungan zat sitotoksik (Osorio et al. 2007).

Gambar 1 Bentuk pohon, daun dan buah kepel. Sumber: Wong (2010).

Studi lain yang menunjukkan khasiat dari tanaman ini adalah

(22)

menghambat enzim DNA isomerase dan tyrosine kinase (Piersen 2003). Kandungan fitokimia kepel menurut Darusman (2010) disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kandungan Fitokimia Tanaman Kepel (Darusman 2010).

No Sampel Flavo noid Ta nin Steroid Triterp enoid Sap onin Alkaloid Drage ndorf Me yer Wagner

1. Daun + + + - - - - -

2. Daging buah + + - - - - 3. Kulit Buah + - - - + - - -

4. Biji + + - + - - - -

Hati

Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh dengan unit histologi dasar

yaitu lobulus. Lobulus hati dikelilingi oleh ruang portal yang berisi

cabang-cabang dari buluh empedu, arteri hepatika dan vena porta, yang disebut juga

sebagai segitiga Kiernan. Hepatosit merupakan sel parenkim hati yang mengisi lobulus hati dan dipisahkan oleh sinusoid. Di dalam lumen sinusoid terdapat

sel-sel Kupffer yang berperan sebagai makrofag residen yang melapisi sinusoid dan

memfagositosis bakteri dan benda asing dalam darah sinus hepatikus (Guyton dan

Hall 2007). Sel-sel Kupffer mengandung sitokines seperti faktor tumor nekrosis,

interleukin dan interferon. Lapisan endotel sinusoid mempunyai pori-pori yang

sangat besar. Di bawah lapisan ini terdapat ruang yang sangat sempit yang

terletak di antara sel endotel dan hepatosit yaitu ruang Disse atau ruang

perisinusoidal.

Hepatosit memiliki retikulum endoplasma yang kasar dan halus, kompleks

Golgi, mitokondria, lisosom, peroksisom, glikogen dan lemak. Sel sinusoid

memiliki tiga tipe yaitu sel endothelial yang membatasi sinusoid secara tidak

teratur, sel-sel Kupffer yang berada di antara sel endotel atau pada lapisan

sinusoid dan yang terakhir adalah sel-sel Stellate yang sering disebut dengan sel

Ito yang berfungsi menyimpan vitamin A dan kolagen ekstraseluler (Kmiec 2001).

Hati merupakan organ interna yang memiliki banyak fungsi dalam sistem

pencernaan diantaranya sekresi empedu, metabolisme lemak, protein dan

(23)

fungsi metabolisme hormon, obat dan racun. Oleh karena itu hati memiliki

peranan yang signifikan dalam melepaskan hasil metabolisme zat makanan

sebelum diedarkan ke seluruh tubuh. Hati juga berfungsi dalam mengubah

produk metabolisme protein menjadi urea untuk diekskresikan oleh ginjal. Selain

itu hati memiliki peran dalam mekanisme penggumpalan darah sebagai

pertahanan diri. Semua fungsi hati ini didukung dengan kemampuan hati dalam

beregenerasi sehingga hati dapat melakukan banyak fungsinya (Maher 1997).

Distribusi peredaran darah dalam organ hati dimulai dari cabang-cabang

portal arteri hepatika dan vena porta menuju vena sentralis. Melalui vena sentralis

darah dialirkan ke vena hepatika. Unit fungsional hati adalah asinar dengan

pusatnya pada saluran portal yang berbeda dengan unit histologinya. Hepatosit

berdasarkan sistem asinar dibagi menjadi tiga zona. Zona satu di sekitar saluran

portal yang merupakan zona paling teroksigenasi, mengandung konsentrasi nutrisi

dan hormon tertinggi. Zona tiga berada di tepi area asinar mengandung sedikit

oksigen, dan zona dua sebagai zona intermediet.

Tiap sel hati memiliki dua lapisan sinusoid yang dibatasi oleh mikrovili.

Kanalikuli empedu yang dibentuk oleh sel-sel hati juga dibatasi oleh mikrovili.

Segitiga Kiernan atau area porta berada di antara tiga atau lebih lobulus dan

masing-masing berisi satu atau lebih cabang arteri hepatika, vena porta hepatika

dan pembuluh darah limfatik beserta buluh empedu (Aughey dan Frey 2001).

Aliran empedu bertolak belakang dengan arah aliran darah.

Sel-sel hati merupakan sel-sel yang mudah melakukan regenerasi sehingga

hati masih dapat berfungsi walaupun sel-sel hatinya telah mengalami kerusakan

hingga 70% (Guyton dan Hall 2007). Regenerasi sel hati berlangsung sangat

cepat dan membutuhkan waktu hanya 5 sampai 7 hari pada tikus. Selama

regenerasi, hepatosit diperkirakan mengalami replikasi sebanyak satu atau dua

kali, dan setelah mencapai ukuran dan volume hati sebelumnya, hepatosit kembali

kepada keadaan semula. Regenerasi hati dipengaruhi oleh Hepatocyte Growth Factor (HGF) yang diproduksi oleh sel mesenkimal di dalam hati dan jaringan lain, namun bukan hepatosit. Selain itu regenerasi hati dapat terjadi karena

(24)

Mencit

Hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan

untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan

berbagai macam ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorik (Malole

dan Pramono 1989). Mencit termasuk kedalam salah satu jenis hewan percobaan

yang sering digunakan karena cepat berkembang biak, mudah dipelihara dalam

jumlah banyak, variasi genetiknya cukup besar serta sifat anatomis dan

fisiologisnya tercirikan dengan baik. Mencit jantan dewasa memiliki berat badan

berkisar antara 20-40 g, sedangkan mencit betina dewasa memiliki berat badan

berkisar antara 25-40 g. Berdasarkan Spiridonova et al. (2003), mencit termasuk kedalam Kingdom: Animalia, Filum: Chordata, Sub Filum: Vertebrata, Kelas:

Mamalia, Ordo: Rodentia, Sub Ordo: Myomorpha, Familia: Muridae, Genus: Mus

(25)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2010 hingga Juli 2011, yang

bertempat di Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB, Bagian Farmakologi dan

Toksikologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi dan Bagian

Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi FKH IPB.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah kepel

(Stelechocarpus burahol), pelet pakan mencit, air minum, dan bahan-bahan pembuat preparat histopatologi hati yaitu larutan buffer neutral formalin 10%,

alkohol 70%, 80%, 90% dan 95%, alkohol absolut, xylol, parafin cair, pewarna

Mayer’s Hematoxylin, lithium karbonat, akuades, dan pewarna Eosin.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah labu ukur, blender,

sonde lambung, spoit, tissue cassette, blok parafin, kaca objek, kaca penutup, dan alat-alat nekropsi yaitu gunting, scalpel, pinset, kapas, timbangan, mikrotom,

refrigerator serta inkubator.

Hewan Coba

Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit jantan

(Mus musculus) berumur 4 minggu dengan berat 20 g. Hewan coba ditempatkan di dalam boks plastik yang dimodifikasi sebagai kandang. Pakan yang diberikan

berupa pelet ikan sebanyak 0.6 g/ekor/hari, dan air minum diberikan secara ad-libitum. Sekam digunakan sebagai alas kandang yang diganti setiap dua hari sekali. Sebelum perlakuan dimulai, hewan diadaptasikan dan dilakukan

pretreatment selama 5 hari. Pretreatment berupa pemberian antibiotik Clavamox® (asam klavulanat dan amoksisilin) dengan dosis 0.001 mg/g BB

(Hrapkiewicz dan Medina 2007) selama 3 hari, dan anti cacing Pyrantel Pamoat

dengan dosis 0.015 mg/g BB. Perlakuan mulai dilaksanakan pada hari keenam

(26)

Metode

Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu tahap pembuatan serbuk

buah kepel, tahap pencekokan mencit dan tahap pembuatan dan pengamatan

preparat histopatologi organ hati.

Pembuatan Sediaan Kepel

Buah kepel dicuci, kemudian dipisahkan daging buah dari kulit dan

bijinya. Daging buah dipotong kecil-kecil, kemudian dikeringkan di dalam oven

selama 3-4 hari dengan suhu 40oC. Setelah kering, potongan buah kepel

digrinding agar menjadi serbuk dengan ukuran 100 mesh. Selanjutnya serbuk halus dilarutkan dalam akuades sehingga terbentuk suspensi dan siap digunakan.

Desain Penelitian

Sebanyak 30 ekor mencit dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok

kontrol, kelompok dosis 1x dan kelompok dosis 5x. Kelompok kontrol hanya

dicekok akuades, kelompok dosis 1x dan kelompok dosis 5x masing-masing

dicekok sediaan kepel dengan dosis 2.6 mg/g BB dan 13 mg/g BB. Penentuan

dosis pada mencit berdasarkan hasil konversi dosis empiris pada manusia, dengan

faktor konversi sebesar 0.0026 (Laurence dan Bacharach 1964). Perhitungan

dosis dan volume cekok suspensi daging buah kepel disajikan pada Lampiran 1.

Volume pencekokan pada kelompok kontrol sebesar 0.5 ml/hari, dosis 1x sebesar

0.5 ml/hari, dan dosis 5x sebesar 1 ml/ hari. Pada kelompok dosis 5x pencekokan

dibagi dua, yang dilakukan pada siang dan malam hari. Untuk kelompok lainnya

pencekokan dilakukan pada siang hari selama 14 hari. Pada akhir penelitian,

mencit dieuthanasi dan diambil hatinya untuk dibuat sediaan histopatologi.

Pembuatan Preparat Histopatologi Hati

Hati difiksasi dalam larutan buffer neutral formalin 10% selama 3 hari.

(27)

HE. Metode pembuatan dan pewarnaan sediaan histopatologi hati selengkapnya

disajikan pada Lampiran 2.

Pengamatan Sediaan Histopatologi Hati Mencit

Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan

perbesaran 10x, 20x dan 40x. Pada setiap preparat hati dilakukan pemotretan

pada 20 lapang pandang menggunakan lensa okuler Webcam® dan lensa objektif

40x. Evaluasi organ hati dilakukan pada hasil foto dengan menghitung jumlah

hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis dan apoptosis dengan

menggunakan software ImageJ (Ferreira dan Rasband 2011).

Analisis Statistik

Persentase hasil penghitungan degenerasi hidropis dan apoptosis hepatosit

dari tiap 20 lapang pandang dianalisis menggunakan analisis sidik ragam

(ANOVA). Jika perlakuan berbeda nyata maka dilakukan uji lanjutan Post-Hoc yaitu uji Duncan (α = 0.05).

(28)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Pemberian Suspensi Daging Buah Kepel (Stelechocarpus burahol) terhadap Gambaran Histopatologi Hati

Pengamatan histopatologi hati dilakukan hanya pada tiga ekor mencit pada

setiap kelompok perlakuan. Hal ini disebabkan tujuh ekor mencit dari kelompok

dosis 5x mati dalam perjalanan penelitian. Tujuan penelitian ini ingin mengetahui

pengaruh pemberian suspensi daging buah kepel pada dosis normal (dosis 1x)

dalam jangka panjang terhadap fungsi hati, sedangkan pemberian dosis 5x

bertujuan untuk mengetahui adakah pengaruh peningkatan dosis terhadap

perubahan hepatosit.

Hasil pengamatan seluruh sediaan histopatologi hati mencit pada

umumnya ditemukan perubahan pada hepatosit berupa degenerasi hidropis dan

apoptosis. Selain itu ditemukan pula fokus-fokus sel radang yang terdiri atas

sel-sel myeloblast dan eritroblast di sinusoid, di daerah segitiga Kiernan maupun

ditepi-tepi vena sentralis. Kumpulan sel-sel radang tersebut merupakan

extramedullary hematopoiesis (Marchiori et al. 2007). Hasil analisis statistik persentase hepatosit mencit yang mengalami degenerasi hidropis dan apoptosis

disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 3.

Tabel 2 Persentase perubahan hepatosit mencit pada pemberian suspensi daging buah kepel (Stelechocarpus burahol) selama 14 hari.

Persentase (%) Hepatosit

Kelompok Hepatosit Normal Degenerasi Hidropis Apoptosis

Kontrol 38.79 ± 15.00a 36.05 ± 12.50a 25.16 ± 13.57a

Dosis 1x 36.89 ± 12.67a 41.45 ± 13.07b 21.66 ± 7.757b

Dosis 5x 30.17 ± 11.73b 57.70 ± 12.57c 12.13 ± 6.47c

(29)

0 20 40 60 80 100

Kontrol Dosis 1x Dosis 5x

Apoptosis Degenerasi Hidropis Hepatosit Normal

Kelompok

Gambar 3 Persentase perubahan hepatosit mencit pada pemberian suspensi daging buah kepel (Stelechocarpus burahol) selama 14 hari.

Hasil analisis statistik persentase hepatosit yang mengalami degenerasi

hidropis pada kelompok dosis 1x lebih tinggi dan berbeda nyata (p<0,05)

dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun jika ditelaah, kenaikannya tidak

terlalu besar dibandingkan tingginya kejadian degenerasi hidropis pada kelompok

dosis 5x. Persentase degenerasi hidropis pada kelompok dosis 5x lebih tinggi dan

berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan kelompok dosis 1x dan kelompok kontrol.

Peningkatan persentase degenerasi hidropis sejalan dengan meningkatnya dosis

pemberian kepel. Dengan demikian degenerasi hidropis pada hepatosit

disebabkan oleh pemberian suspensi daging buah kepel.

Degenerasi hidropis merupakan kerusakan sel yang dimulai dengan

terjadinya hipoksia yang akan menyebabkan kerusakan membran sel dan

penurunan fosforilasi oksidatif, sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan

ATP. Turunnya ATP menyebabkan penurunan kerja pompa Na. Adanya

kerusakan membran sel, ion K+ keluar dari sel sedangkan air, ion Na+ dan ion

Ca2+ masuk ke dalam sel secara berlebihan sehingga terjadi pembengkakan sel.

Penurunan ATP juga mengakibatkan peningkatan glikolisis sehingga pH sel akan

mengalami penurunan. Penurunan pH mengakibatkan benang khromatin pada inti

(30)

menyebabkan hilangnya benang khromatin dan protein yang terkandung sehingga

apabila berlanjut akan berujung pada nekrosis sel (Hanna 2011).

Degenerasi hidropis merupakan repson awal hepatosit terhadap

bahan-bahan yang bersifat toksik yang masuk ke hati melalui aliran darah. Dengan

demikian degenerasi hidropis biasanya dimulai pada hepatosit-hepatosit yang

berada pada tepi lobuler yang kemudian akan menyebar ke sentra lobuler

(Talukder 2001). Selain itu, degenerasi hidropis juga dapat terjadi pada hewan

yang mengalami hipoksia. Pemberian oksigen yang cukup serta penghentian

paparan bahan toksik dapat memulihkan sel yang mengalami degenerasi hidropis.

Hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis ditandai dengan membengkaknya

sitoplasma dan adanya akumulasi cairan interstisium di sitoplasma menyebabkan

terbentuk ruang-ruang kosong di sitoplasma hepatosit. Gambaran degenerasi

hidropis pada hati mencit yang diberi suspensi daging buah kepel kelompok dosis

[image:30.612.108.488.259.718.2]

5x disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis pada kelompok dosis 5x. Pewarnaan HE, bar:20µ.

Buah kepel memiliki banyak kandungan senyawa aktif, diantaranya adalah

tanin. Senyawa tersebut masuk mengikuti aliran darah dari usus menuju ke hati

(31)

dikandung kepel, namun tanin merupakan senyawa yang bersifat toksik sehingga

hati merespon bahan tersebut dengan terbentuknya lesio degenerasi hidropis.

Jika ditarik secara filogenis buah kepel memiliki kesamaan famili dengan

sirsak (Annona muricata) yaitu Annonaceae. Tanaman dengan famili ini memiliki senyawa aktif yang khas yaitu acetogennin atau Annonaceous acetogennin (ACGs). ACGs memiliki bioaktivitas yang luas, diantaranya adalah antimalaria,

insektisida, antibakteria dan fungisida (Gonzalez-Coloma et al. 2002). ACGs bekerja dengan cara menghambat pembentukan ATP pada kompleks I

mitokondria (Wiart 2007). Oleh sebab itu, ACGs diduga memiliki peranan dalam

menyebabkan terjadinya degenerasi hidropis hepatosit. Penurunan produksi ATP

mengakibatkan sel hipoksia sehingga terjadi kerusakan membran sel. Hal ini

yang menyebabkan cairan interstisium masuk dan mengisi ruang-ruang

sitoplasma. Namun perlu dilakukan uji lebih lanjut untuk mengetahui kadar

kandungan ACGs di dalam buah kepel.

Hasil analisis statistik persentase hepatosit yang mengalami apoptosis

berbanding terbalik dengan yang mengalami degenerasi hidropis. Persentase

apoptosis pada kelompok dosis 1x lebih rendah dan berbeda nyata (p<0,05)

dibandingkan kelompok kontrol. Demikian pula persentase apoptosis kelompok

dosis 5x lebih rendah dan berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan kelompok dosis

1x dan kelompok kontrol.

Apoptosis merupakan suatu bentuk kematian sel terprogram yang bersifat

aktif yang ditandai dengan adanya kondensasi kromatin dan fragmentasi

kromosom (D’Amico dan McKenna 1994). Apoptosis berbeda dengan nekrosis

dimana sel berperan aktif dalam proses terminasi diri, sedangkan pada nekrosis sel

berperan pasif. Menurut Underwood (1996), proses nekrosa melibatkan banyak

sel yang diiringi oleh terjadinya peradangan dan fagositasi oleh makrofag. Sel-sel

yang mengalami apoptosis akan menyerap lebih banyak pewarna eosin, sehingga

sitoplasma sel hati yang mengalami apoptosis berwarna lebih merah dengan inti

yang berwarna lebih ungu.

Apoptosis biasanya dicirikan oleh sel yang mengalami terminasi diri yang

tidak diikuti oleh peradangan. Menurut Dash (2011), apoptosis dapat terjadi

(32)

virus, ekspresi gen proapoptosis melalui aktivasi enzim caspase, tekanan pada sel seperti deplesi faktor pertumbuhan, tekanan pada sitoplasma, dan radikal bebas.

Apoptosis secara normal muncul selama proses perkembangan dan

penuaan sebagai mekanisme homeostasis untuk menjaga populasi sel dalam

jaringan (Kresno 2001). Sekitar 10 miliar sel hati dibuat setiap harinya untuk

menyeimbangkan sel-sel hati yang mengalami apoptosis (Renehan et al. 2001). Kejadian ini disebut juga dengan istilah regenerasi sel. Menurut Kuntz dan Kuntz

(2008), regenerasi fisiologis hati mengikuti fisiologi penuaan sel sehingga sel

apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram. Regenerasi hepatosit akan

mengisi ruang jaringan hati yang hilang. Regenerasi sempurna menghasilkan

bentuk sel dan perbaikan fungsi spesifik sel, sedangkan regenerasi tidak sempurna

akan menyebabkan area nekrosis diisi oleh jaringan pengganti. Apoptosis juga

muncul sebagai respon terhadap keadaan stres oksidatif akibat adanya radikal

bebas (Norbury dan Hickson 2001).

Daging buah kepel mengandung flavonoid tertinggi dibandingkan bagian

buah lainnya yaitu sebesar 29,12 ppm sedangkan standar flavonoid pada vitamin

C hanya sebesar 5.35 ppm. Flavonoid diproduksi oleh tanaman sebagai respon

alami saat tanaman mengalami luka (Tisnadjaja et al. 2006). Flavonoid merupakan senyawa pigmen paling umum di dunia tanaman, kadang bersifat

fluorescent setelah dilakukan radiasi UV dan merupakan derivat dari asam

shikimik melalui jalur propanoid. Komponen terkait yang dihasilkan melalui

reaksi kompleks jaringan adalah isoflavon, auron, flavananon dan flavononol yang

dihasilkan dari kalkon. Leukoantosianidin, flavanon dan flavanol dihasilkan dari

flavanonol, sedangkan antosianidin dihasilkan dari leukoantosianidin (Kintzios

dan Barberaki 2004).

Flavonoid merupakan senyawa antioksidan yang berfungsi sebagai

penangkap radikal bebas hasil metabolisme aerob. Proses metabolisme aerob

menghasilkan oksigen reaktif atau Reactive Oxygen Species (ROS) (Fleury et al. 2002). Oksigen reaktif ini disebut dengan istilah radikal bebas yang dihasilkan di

mitokondria. ROS atau sering juga disebut dengan pro-oxidant bersifat tidak stabil dan reaktif terhadap jaringan. Stres oksidatif terbentuk apabila terjadi

(33)

dengan anti-oxidant dalam jaringan. Stres oksidatif juga dianggap berperan dalam proses penuaan (Yan et al. 1997).

ROS berbahaya apabila mengoksidasi senyawa tertentu seperti asam

lemak tak jenuh, yang prosesnya disebut dengan lipid peroxidation (Kuntz dan Kuntz 2008). Peroksidasi lipiddapat menyebabkan kerusakan membran sel yang

memicu terjadinya apoptosis. Selama apoptosis, permeabilitas mitokondria

mengalami peningkatan, terjadi pengaktivan enzim-enzim proapoptosis seperti

caspase activator dan procaspase. Enzim-enzim ini dapat memicu kerusakan membran mitokondria sehingga merangsang sel melakukan apoptosis (Fleury et al. 2002).

Adanya apoptosis pada kelompok kontrol diduga merupakan respon

fisiologis sel hati menanggapi stres oksidatif. Persentase apoptosis yang lebih

rendah pada kelompok perlakuan dosis 5x dan 1x dibandingkan kontrol

kemungkinan disebabkan oleh senyawa flavonoid yang dikandung buah kepel.

Senyawa flavonoid berfungsi sebagai antioksidan yang memperpanjang masa

hidup sel-sel hati, sehingga semakin besar dosis pemberian kepel maka jumlah sel

hati yang mengalami apoptosis semakin rendah. Hepatosit yang mengalami

[image:33.612.122.481.419.684.2]

apoptosis pada kelompok kontrol disajikan pada Gambar 5.

(34)

Di tepi-tepi vena sentralis, vena porta dan sinusoid ditemukan kumpulan

atau fokus-fokus sel-sel myeloblast dan eritroblast. Kumpulan sel ini merupakan

extramedullary hematopoiesis (EMH), yang terbentuk terutama bila hewan mengalami anemia dan myelofibrosis. Selain itu EMH juga ditemukan pada

kasus tumor jinak kelenjar mammae pada anjing (Grandi et al. 2010). EMH biasanya ditemukan di organ hati, limpa dan limfonodus yang terdiri atas sel-sel

mieloblast dan eritroblast (NIEHS 2010).

Anemia didefinisikan sebagai suatu keadaaan yang ditandai dengan

rendahnya konsentrasi hemoglobin dalam darah yang dapat disebabkan oleh

beberapa faktor. Salah satu faktor tersebut adalah nutrisi, yang memiliki peranan

penting pada kejadian anemia. Beberapa vitamin seperti vitamin B12, asam folat

dan riboflavin mempengaruhi pembentukan hemoglobin, akan tetapi faktor nutrisi

yang paling berperan dalam kejadian anemia adalah defisiensi zat besi.

Defisiensi zat besi awalnya ditandai dengan deplesi penyimpanan zat besi,

eritropoiesis akibat kurangnya zat besi dan anemia defisiensi zat besi. Salah satu

indikator terpenting dalam menentukan status zat besi dalam darah adalah

pengukuran feritin. Pada awal terjadinya defisiensi zat besi, konsentrasi feritin

sudah mulai menurun sehingga membuat feritin sebagai parameter yang sangat

sensitif dalam menentukan terjadinya anemia. Feritin yang rendah selalu

mengindikasikan terjadinya deplesi penyimpanan zat besi (Biesalski dan Erhardt

2007). Feritin merupakan protein penyimpan zat besi dalam darah. Zat besi

dalam darah yang dapat disimpan tiap molekul feritin dapat mencapai 4500 atom

(Lynch 2007). Feritin berada di sekitar sel makrofag pada organ hati, limpa, dan

otot rangka. Zat besi di dalam darah memiliki peranan vital dalam transpor dan

penyimpanan oksigen, metabolisme oksidatif dan proses fisiologis lainnya.

Selain flavonoid, menurut Darusman (2010) daging buah kepel juga

mengandung senyawa tanin. Tanin merupakan senyawa kelas fenol yang

dibentuk melalui jalur fenilpropanoid. Terdapat dua jenis tanin yang

mempengaruhi nutrisi hewan yaitu tanin yang dapat dihidrolisis (hydrolyzable tannins/Hts) dan tanin padat yang disebut dengan proantosianidin. Proantosinidin merupakan polimer dari flavonoid yang dihubungkan oleh ikatan karbon, dan

(35)

tumbuhan jauh lebih banyak dibandingkan jumlah tanin terhidrolisis. Tanin memiliki aktivitas mengendapkan protein dan bentuk senyawa kompleks seperti

alkaloid dan glikosida.

Kapasitas tanin dalam mengikat protein bersifat spesifik dan bergantung

pada struktur dari tanin, protein maupun kondisi reaksinya. Protein yang diikat

tanin merupakan protein dengan ukuran molekul yang besar, memiliki struktur

yang fleksibel dan terbuka serta kaya akan prolin, sedangkan tanin yang mengikat

protein memiliki berat molekul yang tinggi dan mobilitas konformasi yang tinggi.

Faktor yang mendukung terjadinya interaksi protein dengan tanin adalah pH,

suhu, komposisi protein terlarut dan waktu (Hagerman 1992). Tanin memiliki

sifat astringensia yang bekerja dengan cara melapisi mukosa usus sehingga

menurunkan daya serap nutrisi oleh usus.

Tanin dapat menginduksi terjadinya anemia karena dapat mengikat protein

darah yaitu feritin sehingga tubuh mengalami defisiensi zat besi. Walaupun kadar

tanin dalam daging buah kepel belum diketahui hingga saat ini, namun adanya

senyawa tanin cukup memberikan landasan dugaan pengaruhnya terhadap hati

mencit. Protein yang diikat oleh tanin dapat mengakibatkan mencit mengalami

hipoproteinemia, yang pada akhirnya akan berujung pada anemia. Anemia yang

terjadi pada mencit dapat dilihat dari terbentuknya fokus-fokus extramedullary hematopoiesis (EMH) pada jaringan hati. Agregat sel-sel EMH ini ditemukan pada seluruh kelompok mencit, dan fokus EMH jauh lebih banyak ditemukan

pada kelompok kepel dengan dosis 5x. Hal ini disebabkan lebih banyak suspensi

daging buah kepel yang dikonsumsi sehingga lebih banyak pula senyawa tanin

yang dicerna. Akibatnya, semakin sedikit nutrisi pakan yang dapat diserap oleh

mencit kelompok dosis 5x dibandingkan kelompok dosis 1x dan kontrol.

(36)
[image:36.612.135.480.92.378.2]
(37)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pemberian suspensi daging buah kepel (Stelechocarpus burahol) pada dosis 2.6 mg/g BB dan dosis 13 mg/g BB selama 14 hari menginduksi terjadinya

degenerasi hidropis dan extramedullary hematopoiesis (EMH), serta menurunkan terjadinya apoptosis pada hepatosit mencit. Dengan demikian konsumsi buah

kepel harus dengan dosis rendah dan jangan terlalu lama.

Saran

1. Perlu dilakukan uji toksisitas subkronis untuk mengetahui pengaruh

pemberian buah kepel dengan dosis 2.6 mg/g BB dan dalam jangka waktu

yang lebih panjang terhadap sel hati mencit.

2. Perlu dilakukan uji toksisitas LD50 terhadap daging buah kepel

(Stelechocarpus burahol).untuk mengetahui dosis aman hingga dosis lethal. 3. Perlu dilakukan pretreatment pada hewan coba sebelum perlakuan dimulai,

seperti pemberian antibiotik, obat cacing dan obat antiprotozoa agar hewan

(38)

DAFTAR PUSTAKA

[[Anonim 1]. 2009. Stimuno.

http://www.dexa-medica.com/ourproducts/otc/detail.php?id=35. [7 Juli 2011].

[Anonim 2]. 7 Agustus 2003. Memanfaatkan potensi buah burahol. Pikiran Rakyat. www.pikiran-rakyat.com. [16 Agustus 2011].

Aughey E, Frey FL. 2001. Comparative Veterinary Histology with Clinical Correlates. London: Manson Publishing. 124-127p.

[BPOM]. Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2004. Ketentuan Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta.

Banks WJ. 1986. Applied Veterinary Histology. Baton Rouge, Louisiana: Williams & Wilkins.

Biesalski HK, Erhardt JG. 2007. Diagnosis of nutritional anemia-laboratory assessment of iron status. Didalam: Kraemer K dan Zimmermann MB, editor. Nutritional Anemia.Germany: Sight and Life. hlm 37-44.

D’amico AV, McKenna WG. 1994. Apoptosis and re-investigation of the biologic basis of cancer therapy, radiotherapy and oncology. Radiother Oncol 33:3-10.

Dash P. 2011. Apoptosis. Basic Medical Sciences, St. George’s University of London. [terhubung berkala]. www.sgul.ac.uk/dept/immunology/~dash. [2 Oktober 2011].

Darusman HS. 2010. Aktivitas Farmakologis Tanaman Kepel (Stelechocarpus burahol (Blume) Hook & Thompson) Sebagai Deodoran Topikal dan Oral. [Thesis]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Elmore S. 2007. Apoptosis: a review of programmed cell death. Toxicol Pathol. 35 (4): 495-516.

Fachrurozi Z. 1980. Burahol (Stelechocarpus burahol (Blume) Hook & Thomson) deodoran tempo dulu dan masalah pelestariannya. Buletin Kebun Raya 4 (4): 127-130.

Ferreira T, Rasband W. 2011. ImageJ User Guide: IJ 1.45m. [terhubung berkala]. http://rsb.info.nih.gov/ij/docs/index.html. [6 November 2011].

(39)

http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S030090840201369X . [2 Oktober 2011].

Gonzalez-Coloma A, Guadano A, De Ines C, Martinez-Diaz R, Cortes D. 2002. Selective actions of acetogennin mitochondrial complex I inhibitors. Z. Naturforsch 57:1028-1034.

Grandi F, Colodel MM, Monteiro LN, Leao JR, Rocha NS. 2010. Extramedullary hematopoiesis in a case of benign mixed mammary tumor in a female dog: cytological and histopathological assessment. BMC Vet Res (6) 45.

Guyton AC, Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC. 902-908p.

Hagerman AE. 1992. Tannin-Protein Interaction. Phenolics Compounds in Food and How They Affect on Health I 506: 236-247 [terhubung berkala]. http://pubs.acs.org/doi/abs/10.1021/bk-1992-0506.ch019 [10 Oktober 2011].

Hanna P. 2011. Cellular pathology. [terhubung berkala]. http://people.upei.ca/hanna/. [2 Oktober 2011]

Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna di Indonesia Jilid II. Jakarta: Badan Litbang Kehutanan.

Huffman MA, Gotoh S, Turner LA, Hamai M, Yoshida K.1997. Seasonal trends in intestinal nematode infection and medicinal plant use among chimpanzees in the Mahale Mountains, Tanzania. Primates 38:111-125.

Kintzios SE, Barberaki MG. 2004. Plants That Fight Cancer. Boca Raton: CRC Press. 22-23p.

Kmiec Z. 2001. Cooperation of liver cells in health and diseases. Adv Anat Embriol Cell Biol. 161 (III-XIII): 1-151.

Kresno SB. 2001. Ilmu Onkologi Dasar. Bagian Patologi Klinik FK UI: Indonesia. hlm 13-15.

Kuntz E, Kuntz HD. 2008. Hepatology: Textbook and Atlas. Germany: Springer. hlm 407.

Kusuma FR, Zaky MB. 2005. Tumbuhan Liar Berkhasiat Obat. Jakarta : Agromedia Pustaka.

Laurence J, Bacharach M. 1964. Analytical Toxicology. Philadelphia: CRC Press.

(40)

Maher JJ. 1997. Exploring alcohol’s effects on liver function. Alchl Health and Res Wor. 21:5-12.

Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Bahan Pengajaran Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laboratorium. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. 94-103p.

Marcheix JJ, Fleuriel A, Billiot J. 1990. Fruit Phenolics. Boca Raton: CRC Press.\

Marchiori E, Escuisato DL, Irion KL, Zanetti G, Rodrigues RS, Meirelles GS, Hochhegger B. 2007. Extramedullary hematopoiesis: findings on computed tomography scans of the chest in 6 patients. Jor. Bras. Pneum.

[terhubung berkala].

http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S1806-37132008001000009&lng=en&nrm=iso&tlng=en . [12 Oktober 2011]

[NIEHS]. National Institute of Environmental Health Sciences. 2011. The Digitized Atlas of Mouse Liver Lesions: Extramedullary Hematopoiesis.

[terhubung berkala].

http://www.niehs.nih.gov/research/atniehs/labs/lep/path-support/core-support/lverpath/miscellaneous.cfm [6 Oktober 2011].

Norbury CJ, Hickson ID. 2001. Cellular responses to DNA damage. Annu Rev Pharmacol Toxicol 41:367–401.

Ohigashi H, Huffman MA, Izutsu D, et al. 1994. Toward the chemical ecology of medicinal plant use in chimpanzee: the case of Vernonia amygdalina Del. A plant used by will chimpanzees possible for parasite-related diseases. J Chem Ecol 20:246-252.

Osorio E, Arango GJ, Jimenez N, Alzate F, Ruiz G, Guiterrez D, Paco MA, Gimenez A, Robledo S. 2007. Antiprotozoal and Cytotoxic Activities In Vitro of Colombian Annonaceae. J Ethnopharmacol.111(3):630-5.

Spiridonova LN, Chelomina GN, Moriwaki K, Yonekawa H, Bognado AH. 2003. Genetic and taxonomic diversity of the house mouse Mus musculus from the Asian part of the former Soviet Union. Russ J of Gen 40 (10): 1134-1143.

Piersen CE. 2003. Phytoestrogen in Botanical Dietary Supplements: Implication for Cancer. Integr Cancer Ther Jun 2 (2): 120-138.

(41)

Renehan AG, Booth C, Potten CS. 2001. What is apoptosis, and why is it important?. BMJ 322:1536–8.

Shiddiqi T, Rindiastuti Y, Sri NA. 2008. Potensi In Vitro Zat Sitotoksik AntiKkanker Daun Tanaman Kepel (Stelechocarpus burahol) terhadap carcinoma colorectal. Surakarta: Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret.

Sinclair J. 1955. A Revised of the Malayan Annonaceae. The Gardens' Bulletin Singapore. 14 (15): 149-515

Sunardi CSA, Padmawinata K, Kardono LBS, Gana A. 2007. Isolasi dan Identifikasi Kulit Batang Burahol (Stelechocarpus burahol) Terhadap sel Leukimia [disertasi]. Bandung : Institut Teknologi Bandung, Sekolah Farmasi.

Sunarni T, Pramono S, Asmah R. 2007. Flavonoid antioksidan penangkap radikal dari daun kepel (Stelechocarpus burahol). Majalah Farmasi Indonesia ; 18(3).

Sunarto AT. 1992. Burahol kosmetika alam bagi kerabat keraton. Trubus 18 (207): 103-104.

Talukder SI. 2001. Lecture notes on pathology of hepatobiliary system.

[terhubung berkala]. http://www.talukderbd.com/lectures/hepatobiliary_system_note.pdf [6

September 2011].

Tisnadjaja D, Saliman E, Silvia, Simanjuntak P. 2006. Pengkajian Burahol (Stelechocarpus burahol (Blume) Hook & Thompson) sebagai buah yang memiliki kandungan senyawa antioksidan. Biodiv 7 (2): 199-202.

Umiyah. 2005. Existence of Stelechocarpus burahol (Blume) Hook & Thompson. in wilderness zone, Bande Alit Resort, Meru Betiri National Park. Berk. Penel.Hayati: 10 (85-88).

Underwood JCE. 1996. General and Systematic Pathology: 2nd Ed. Churchill Livingstone: NewYork-London-Madrid. hlm 117-119.

Verhejj EWM, Coronell RE. 1997. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 2. Buah-buahan yang Dapat Dimakan. Bogor: Prosea.

Warningsih. 1995. Uji fitokimia dan efek antiimplantasi ekstrak etanol bunga hibiscus rosa-sinensis, buah Piper nigrum, dan buah Stelechocarpus burahol [abstrak]

(42)

Wong KF. 2010. Kepel dan Matoa. http://wongkamfung.boogoor.com/kepel-dan-matoa112.html. [15 Agustus 2011]

Wrangham RW. 1994. Feeding behavior of chimpanzee in Gombe National Park, Tanzania, In: Clutton-Brock TH, ed. Primate Ecology. New York: Academic Press : 504-538.

Wynn SG, Fougere BJ. 2007. Veterinary Herbal Medicine. Missouri: Mosby, Inc. hlm 12-20.

(43)
(44)

Lampiran 1. Penghitungan Dosis Pemberian Kepel.

• Berat keseluruhan daging buah kepel yang masih basah:440 g, dan setelah dikeringkan diperoleh 60 g serbuk simplisia kering. Jadi rendemen kepel:60 g/440 g x 100% = 13.63%

• Dosis empiris konsumsi kepel pada manusia adalah 2 buah kepel dalam 2 hari. Jika diasumsikan berat kepel adalah 70 g/buah dan BB manusia 70 kg, maka konsumsi kepel pada manusia dalam dua hari adalah 140 g/70 kg. Konsumsi buah kepel dalam bentuk serbuk kering pada manusia adalah: 13.63/100 x 140 g= 19.08 g atau rata-rata 20 g serbuk kering.

• Faktor konversi dosis manusia ke mencit: 0.0026 (Laurence & Bacharach 1964), sehingga dosis konsumsi kepel normal (sama dengan dosis pada manusia) adalah:

= 20 g x 0.0026 = 0.052 g/20g mencit = 52 mg/20 g mencit

= 2.6 mg/g BB mencit (Dosis 1x)

(45)

Lampiran 2. Penghitungan Volume Pemberian Kepel.

• Dosis 1x = 2.6 mg/g BB

Volume pemberian = (Dosis x BB)/Konsentrasi = (2.6 mg/g BB x 20 g)/10% = (2.6 mg/g x 20 g)/(10 g/100 ml)

= (52 mg)/100 mg/ml

= 0.5 ml

• Dosis 5x = 13 mg/g BB

Volume pemberian = (Dosis x BB)/konsentrasi 0.5 ml= (13 mg/g x 20 g BB)/konsentrasi Konsentrasi = 260 mg/0.5 ml

= 520 mg/ml

Konsentrasi = 5.2 g/10mlÆ5.2 g serbuk buah dilarutkan ke dalam 10 ml akuades.

(46)

Lampiran 3. Pembuatan Sediaan Histopatologi dan Pewarnaan HE.

Hati difiksasi dalam larutan Buffer Neutral Formalin 10% selama 3 hari.

Hati yang sudah difiksasi dipotong-potong atau ditrimming dan dimasukkan kedalam tissue cassette.

Selanjutnya jaringan didehidrasi dengan cara dimasukkan secara

berturut-turut ke dalam larutan alkohol 70%, 80%, 90% dan alkohol 95% selama 2 jam.

Kemudian dehidrasi dilanjutkan ke dalam alkohol absolut I selama 2 jam, alkohol

absolut II selama 2 jam, xylol I, xylol II dan xylol III masing-masing selama 40

menit, parafin I, parafin II, parafin III dan parafin IV masing-masing selama 30

menit dalam suhu 60o C.

Proses selanjutnya adalah embedding dimana jaringan dimasukkan ke dalam blok pencetak berisi parafin cair kemudian parafin cair ditambahkan lagi ke

dalam blok pencetak hingga penuh dan ditunggu sampai seluruh parafin

mengeras. Setelah paraffin mengeras blok paraffin dimasukkan ke dalam

refrigerator dengan suhu sekitar 4-6°C.

Proses pembuatan sediaan histopatologi dilanjutkan dengan pengirisan

blok parafin menggunakan mikrotom dengan ketebalan 3-5 mµ. Kemudian

potongan jaringan tersebut diletakkan di atas permukaan air hangat dengan suhu

45°C untuk menghilangkan lipatan-lipatan. Setelah itu potongan jaringan diangkat

(mounting) dengan kaca objek yang sudah diulas dengan larutan albumin.

Sediaan dikeringkan selama minimal 2 jam dalam inkubator bersuhu 58°C.

Selanjutnya dilakukan pewarnaan HE, dengan mencelupkan sediaan ke dalam

larutan-larutan dengan urutan sebagai berikut: larutan xylol I dan xylol II

masing-masing selama dua menit, alkohol absolut selama 2 menit, alkohol 95% dan 80%

masing-masing selama 1 menit, kemudian dicuci dalam air keran atau akuades

selama 1 menit, dilanjutkan dengan memasukkan sediaan ke dalam larutan

pewarna Mayer’s Hematoksilin selama 8 menit, kemudian dicuci kembali dengan

air keran selama 30 detik. Setelah itu sediaan dimasukkan ke dalam larutan

lithium karbonat selama 15-30 detik dan kembali dicuci dengan air keran atau

akuades selama 2-3 menit. Selanjutnya sediaan diwarnai dengan pewarna eosin

(47)

Langkah selanjutnya adalah mencelup sediaan ke dalam larutan alkohol

95% sebanyak sepuluh kali, alkohol absolut I sebanyak sepuluh kali, alkohol

absolut II selama dua menit, xylol I selama satu menit, dan xylol II selama dua

menit. Setelah itu sediaan dikeringkan dan diberi perekat permount, lalu ditutup

dengan kaca penutup dan disimpan selama beberapa menit sampai zat perekat

(48)

 

Lampiran 4 Analisis Perubahan Degenerasi Hidropis Pada Sel Hati.  

dh * perlakuan

Dh

perlakuan Mean N Std. Deviation

kontrol 36.0500 60 12.49736

dosis 1x 41.4500 60 13.07012

dosis 5x 57.7000 60 12.57291

Total 45.0667 180 15.65323

Dh

Duncan

perlakuan N

Subset

1 2 3

kontrol 60 36.0500

dosis 1x 60 41.4500

dosis 5x 60 57.7000

Sig. 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.

(49)

 

Lampiran 5 Analisis Perubahan Apoptosis Pada Sel Hati.

apoptosis * perlakuan

apoptosis

perlakuan Mean N Std. Deviation

kontrol 25.1667 60 13.56862

dosis 1x 21.6667 60 7.74743

dosis 5x 12.1333 60 6.46887

Total 19.6556 180 11.16975

apoptosis

Duncan

perlakuan N

Subset

1 2 3

dosis 5x 60 12.1333

dosis 1x 60 21.6667

kontrol 60 25.1667

Sig. 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.

(50)

 

Lampiran 6 Analisis Sel Hati Normal.

normal * perlakuan

normal

perlakuan Mean N Std. Deviation

kontrol 38.7833 60 15.00406

dosis 1x 36.8833 60 12.67467

dosis 5x 30.1667 60 11.71724

Total 35.2778 180 13.64353

normal

Duncan

perlakuan N

Subset

1 2

dosis 5x 60 30.1667

dosis 1x 60 36.8833

kontrol 60 38.7833

Sig. 1.000 .443

Means for groups in homogeneous subsets are

displayed.

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) =

183.017.

(51)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penggunaan obat-obatan herbal menjadi sebuah alternatif yang saat ini

digandrungi oleh masyarakat. Mayoritas masyarakat lebih memilih pengobatan

herbal karena bahan alami dianggap bersifat lebih aman, selain itu juga relatif

lebih murah dibandingkan obat modern. Faktor pendorong berpindahnya

masyarakat memakai obat herbal adalah usia harapan hidup yang lebih panjang

setelah mengonsumsi obat herbal saat prevalensi penyakit kronik meningkat dan

adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu seperti

kanker. Herbal kembali dilirik kajian ilmiahnya oleh peneliti setelah melihat

kemampuan alami hewan di alam liar mengonsumsi tanaman untuk self-treatment dalam mengurangi rasa sakit pada saat-saat tertentu.

Indonesia memiliki lebih dari 30.000 jenis spesies tumbuhan yang 960

spesies diantaranya telah tercatat sebagai tumbuhan berkhasiat, dan 283 jenis

diantaranya merupakan tumbuhan yang penting bagi industri obat tradisional

(Kusuma dan Zaky 2005). Diantara tanaman berkhasiat tersebut adalah daun

jambu biji (Psidium guava) yang mengandung psiditanin yang berguna sebagai obat diare, atau Echinacea purpurea yang mengandung echinasida yang berfungsi sebagai immunomodulator. Beberapa tanaman yang telah menjadi obat herbal terstandar diantaranya Kiranti®, yang mengandung kunyit (Curcuma domestic) berguna untuk meredakan nyeri pada saat haid, dan Stimuno®, contoh

immunomodulator dari herbal alami yang membantu meningkatkan daya tahan tubuh. Stimuno® terdaftar sebagai sediaan fitofarmaka yang berasal dari ekstrak

tanaman meniran (Phyllantus niruri) yang terstandarisasi, karena telah melalui berbagai uji preklinik dan klinik (Anonim 1 2009). Berdasarkan temuan-temuan

di atas memicu para peneliti untuk menelaah lebih jauh potensi tumbuhan khas

Indonesia dalam mewujudkan kesehatan masyarakat, hewan dan lingkungan.

Salah satu tanaman asli Indonesia yang biasa digunakan sebagai jamu adalah

tanaman khas asal Yogyakarta yang sering disebut dengan kepel.

(52)

bagi masyarakat Keraton, Yogyakarta. Putri keraton dahulu menggemari buah ini

sebagai penghilang bau badan, memberi efek wangi pada produk ekskresi manusia

seperti keringat, urin dan feses. Selain itu daun kepel mengandung banyak zat

sitotoksik bagi sel kanker (Wiart 2007), dan mengandung banyak senyawa

flavonoid yang bersifat sebagai antioksidan (Sunarni et al. 2007). Bunga dari tumbuhan kepel diketahui memiliki efek antiimplantasi sehingga dapat digunakan

sebagai kontrasepsi (Warningsih 1995). Bagian kulit batangnya juga diketahui

sebagai antiagregasi platelet (Sunardi et al. 2007). Banyaknya potensi obat yang dimiliki tanaman kepel berbanding terbalik dengan langkanya tanaman ini.

Kelangkaan disebabkan oleh kurangnya nilai ekonomis dari tanaman ini, dan

kepel termasuk tanaman yang berbuah setahun sekali. Karena faktor inilah

mengapa masyarakat urung membudidayakan dan memanfaatkan kepel. Adanya

publikasi ilmiah mengenai potensinya diharapkan menjadi ujung tombak

memasyarakatkan kepel sebagai tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari gambaran histopatologi organ

hati terhadap pemberian suspensi daging kepel, karena hati merupakan organ

interna pertama yang terkena efek toksik dari suatu substansi yang masuk ke

dalam tubuh. Hati juga memiliki peranan yang sangat penting karena merupakan

pusat metabolisme zat makanan sebelum diedarkan ke seluruh tubuh (Banks

1986). Berdasarkan data empiris dari masyarakat Keraton, kepel dikonsumsi

sebanyak 2 buah dalam 1 hari. Bersumber dari data empiris tersebut maka

dilakukan penelitian untuk mempelajari adakah perubahan pada gambaran

histopatologi hati mencit setelah pemberian kepel selama 14 hari. Dari hasil

penelitian ini diharapkan semakin banyak masyarakat yang mengetahui potensi

kepel sehingga tertarik membudidayakan dan memanfaatkannya.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemberian suspensi

(53)

Manfaat

Manfaat penelitian adalah untuk mengetahui potensi kepel sehingga

masyarakat tertarik untuk membudidayakan dan memanfaatkannya, dan juga

meningkatkan pamor dan nilai ekonomis kepel sehingga dapat merubah gaya

hidup untuk semakin mencintai buah nasional.

Hipothesis

Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:

H0: Suspensi daging buah kepel tidak berpengaruh terhadap gambaran

histopatologi organ hati mencit.

H1: Suspensi daging buah kepel berpengaruh terhadap gambaran histopatologi

(54)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Herbal

Tanaman herbal memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh

farmakologi konvensional. Farmakologi konvensional saat ini bersifat single compound yang spesifik khasiatnya terhadap suatu penyakit. Hal ini berbeda dengan tanaman herbal yang memiliki multi compound yang mengandung berbagai macam substansi dengan khasiat yang berbeda sehingga dapat

menyeimbangkan efek samping. Farmakologi konvensional umumnya tetap

dianggap sebagai pilihan pengobatan karena khasiatnya bersifat spesifik sehingga

respon penyembuhannya lebih cepat. Tanaman herbal dianggap sebagai pilihan

yang tepat dalam pengobatan penyakit kronis karena memiliki bahan alami yang

dapat memperbaiki metabolisme sehingga dianggap lebih aman dalam

penggunaan jangka panjang.

Pengobatan herbal mewakili berbagai macam disiplin ilmu seperti botani,

sejarah, etnomedisinal dan farmakologi (Wynn dan Fougere 2007). Pengobatan

herbal pada hewan diawali dengan adanya perilaku hewan yang mampu

melakukan self-treatment saat terserang penyakit. Perilaku alami hewan ini menjadikan salah satu alasan para ahli herbal meneliti tanaman obat dan

interaksinya dalam tubuh. Sebagai contoh, kera besar di Tanzania memakan

daun-daun berambut yang berasal dari 34 spesies tanaman obat berbeda, tanpa

mengunyah namun langsung menelannya. Beberapa daun yang dipilih diketahui

mengandung fitokimia aktif dan sebagian tidak, namun semua daun yang dipilih

memiliki tekstur permukaan kasar dengan mikrostruktur mirip dengan kait yang

biasa disebut dengan trichomes. Dedaunan tersebut biasanya dikonsumsi hewan pada saat musim hujan dimana infestasi cacing meningkat sehingga menyebabkan

diare, malaise dan sakit perut (Huffman et al. 1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tekstur kasar pada permukaan daun berperan sebagai

pembersih mekanis cacing yang menginfestasi saluran pencernaan. Dedaunan

kasar juga meningkatkan motilitas usus dan merangsang diare, sehingga

(55)

Interaksi dedaunan di dalam tubuh menghasilkan efek yang cepat dalam

menanggulangi gejala penyakit yang diderita kera tersebut seperti malaise pada

saluran pencernaan (Huffman et al. 1997). Perilaku alami mengonsumsi dedaunan berambut juga telah membantu simpanse di Taman Nasional Kibale,

Uganda untuk menyingkirkan infestasi cacing pita

Gambar

Gambar 1 Bentuk pohon, daun dan buah kepel. Sumber:  Wong (2010).
Gambar 2 Diagram Alir Penelitian.
Gambar 3 Persentase perubahan hepatosit mencit pada pemberian suspensi
Gambar 4  Hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis pada kelompok dosis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi ini berjudul “ Efek Pemberian Bahan Pengawet Natrium Benzoat Dosis 1000 mg Terhadap Gambaran Histopatologi Hati Mencit (Mus musculus) ” telah diuji dan disahkan oleh

Simpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah ekstrak buah kepel dengan dosis 2,6 mg/ekor/hari dapat menurunkan kualitas spermatozoa sehingga berpotensi sebagai

Data jumlah kumulatif geliat mencit dan hasil analisis statistik pada penetapan selang waktu pemberian asam asetat terhadap ekstrak etanol daun kepel. Data jumlah geliat mencit

Data dan hasil analisis statistik jumlah geliat mencit pada penetapan selang waktu pemberian asam asetat terhadap infusa daun kepel. Deviation Normal

Data jumlah kumulatif geliat mencit dan hasil analisis statistik pada penetapan selang waktu pemberian asam asetat terhadap ekstrak etanol daun kepel. Data jumlah geliat mencit

PENGARUH PEMBERIAN METHANIL YELLOW PERORAL DOSIS BERTINGKAT SELAMA 30 HARI TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI HEPAR MENCIT BALB/C.. LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa gambaran histopatologi hati mencit normal setelah pemberian ekstrak teripang pasir dengan konsentrasi 5% pasca

Ini dapat diartikan dengan adanya komposisi enhancer pada sediaan krim ekstrak teh hijau setelah 24 jam pemberian krim tersebut tidak mempengaruhi gambaran histopatologi organ hati dan