• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas antijerawat formula campuran meniran dan temu lawak serta aktivitas inhibisinya terhadap katalase Staphylococcus aureus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aktivitas antijerawat formula campuran meniran dan temu lawak serta aktivitas inhibisinya terhadap katalase Staphylococcus aureus"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

AKTIVITAS ANTIJERAWAT FORMULA CAMPURAN

MENIRAN DAN TEMU LAWAK SERTA AKTIVITAS

INHIBISINYA TERHADAP KATALASE Staphylococcus aureus

LISTIANI NURUL SUSANTI

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aktivitas Antijerawat Formula Campuran Meniran dan Temu Lawak serta Aktivitas Inhibisinya terhadap Katalase Staphylococcus aureus adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2013

(3)

ABSTRAK

LISTIANI NURUL SUSANTI. Aktivitas Antijerawat Formula Campuran Meniran dan Temu Lawak serta Aktivitas Inhibisinya terhadap Katalase Staphylococcus aureus. Dibimbing oleh LATIFAH K DARUSMAN dan WULAN TRI WAHYUNI.

Jerawat merupakan peradangan kulit yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus, S. epidermidis dan Propionibacterium acnes. Aktivitas antijerawat ekstrak campuran temu lawak dan meniran dipelajari melalui aktivitas antibakteri terhadap S. aureus dan S. epidermidis, serta inhibisi aktivitas katalase S. aureus. Temu lawak dan meniran diekstraksi dengan teknik maserasi menggunakan pelarut etanol 96% dengan 2 metode, yaitu teknik Indonesia dan traditional chinese medicine. Bakteri S. aureus dan S. epidermidis dalam isolat bakteri berhasil diisolasi. S. aureus dapat dihambat pertumbuhannya oleh ekstrak temu lawak dengan konsentrasi bunuh minimum (KBM) 150 ppm dan indeks zona hambat 0.38. S. epidermidis dapat dihambat pertumbuhannya dengan campuran temu lawak 2/3dan meniran 1/6 dengan KBM 300 ppm dan indeks zona hambat 0.40. Analisis profil kromatografi lapis tipis pada kedua ekstrak menunjukkan pita kurkuminoid. Enzim katalase berhasil diisolasi dari bakteri S. aureus. Ekstrak campuran temu lawak 2/3 dan meniran 1/6 memberikan aktivitas inhibisi katalase terbaik sebesar 6.88% pada konsentrasi formula 500 ppm.

Kata kunci: katalase, meniran, S. aureus, S. epidermidis, temu lawak

ABSTRACT

LISTIANI NURUL SUSANTI. Antiacne Activity of Meniran and Temu Lawak Mixture and The Inhibition Activity against Catalase of Staphylococcus aureus. Supervised by LATIFAH K DARUSMAN and WULAN TRI WAHYUNI.

Acne is an inflammation of skin caused by Staphylococcus aureus, S. epidermidis, and Propionibacterium acnes bacteria. Antiacne activity of temu lawak and meniran has been analyzed through antibacterial activities against S. aureus and S. epidermidis and inhibition of S. aureus catalase activity. Temu lawak and meniran were extracted by using maceration technique in 96% ethanol with two different maceration methods, Indonesian and traditional chinese medicine. S. aureus and S. epidermidis were successfully isolated. The growth of S. aureus was inhibited by temu lawak extract with minimum bactericidal concentration (MBC) 150 ppm and inhibition zone index 0.38. The growth of S. epidermidis was inhibited by mixture of temu lawak 2/3 and meniran 1/6 with MBC 300 ppm and inhibition zone index 0.40. Thin layer chromatography profile of both extracts showed curcuminoid band. Catalase enzyme was successfully isolated from S. aureus. Mixture of temulawak 2/3 and meniran 1/6 gave the best catalase inhibition activity, 6.88% in 500 ppm formula concentration.

(4)

AKTIVITAS ANTIJERAWAT FORMULA CAMPURAN

MENIRAN DAN TEMU LAWAK SERTA AKTIVITAS

INHIBISINYA TERHADAP KATALASE Staphylococcus aureus

LISTIANI NURUL SUSANTI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Aktivitas Antijerawat Formula Campuran Meniran dan Temu Lawak serta Aktivitas Inhibisinya terhadap Katalase Staphylococcus aureus

Nama : Listiani Nurul Susanti NIM : G44104014

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Latifah K Darusman, MS Wulan Tri Wahyuni,SSi, MSi Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi, MS Ketua Departemen

(6)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan berjudul Aktivitas Antijerawat Formula Campuran Meniran dan Temu lawak serta Aktivitas Inhibisinya terhadap Katalase Staphylococcus aureus. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya yang tetap berada di jalan-Nya hingga akhir zaman.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof Dr Ir Latifah K Darusman, MS selaku pembimbing pertama dan Ibu Wulan Tri Wahyuni SSi, MSi selaku pembimbing kedua yang senantiasa memberikan arahan, semangat, dan doa kepada penulis selama melaksanakan penelitian. Penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Heni Rismiyati beserta Staf Laboratorium Mikrobiologi IPB, Ibu Nunuk beserta staf Pusat Studi Biofarmaka, Bapak Eman beserta staf Laboratorium Kimia Analitik IPB, Bapak Kusmayana dan Ibu Glenny dari Laboratorium Fisiologi IPB, Bapak Agus dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Bapak Arya dari Departemen Biokimia IPB dan rekan penelitian Laboratorium Mikrobiologi IPB yang telah membantu selama penelitian berlangsung serta pengumpulan data. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Ir Elly Suradikusumah, MS, Bapak Atep Dian Supardan, SSi serta seluruh dosen dan staf Program Keahlian Analisis Kimia Diploma IPB yang terus memberikan dorongan semangat kepada penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, kedua adikku Wijayanti dan M. Fauzan, serta seluruh keluarga dan sahabat atas saran, kritik, serta semangat selama penelitian.

Penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Maret 2013

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

TINJAUAN PUSTAKA 2

Temu Lawak 2

Meniran 3

Ekstraksi dan Formulasi 4

Jerawat (Acne vulgaris) 4

P. acnes, S. aureus dan S. epidermidis 4

Antibakteri Metode Dilusi dan Difusi 5

Profil Kromatogram Antijerawat dengan KLT 5

Isolasi Enzim Lipase, Enzim Katalase dan Aktivitas Inhibisinya 5

BAHAN DAN METODE 6

Bahan dan Alat 6

Lingkup Penelitian 6

Preparasi Sampel 7

Penentuan Kadar Air 7

Penentuan Kadar Abu 7

Ekstraksi 7

Pembuatan Media untuk Bakteri 8

Isolasi S. aureus, S. epidermidis, dan P. acnes dari Isolat Bakteri 8 Uji Aktivitas Antibakteri terhadap S. aureus dan S. epidermidis 9 Pembuatan Profil Kromatogram Antijerawat dengan KLT 10

Isolasi Enzim Kasar dari S. aureus 10

Pengukuran Hidrogen Peroksida Secara Kolorimetri 10 Uji Aktivitas Inhibisi terhadap Isolat Enzim Kasar 11

HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Kadar Air dan Abu 11

Ekstrak Meniran dan Temu Lawak 12

Isolat P. acnes, S. aureus, dan S. epidermidis 12

Daya Antibakteri Formua (KHM dan KBM) 14

Daya Antibakteri Metode Cakram 16

Profil Kromatogram Lapis Tipis Formula 17

Aktivitas Inhibisi Formula Terhadap Isolat Enzim Kasar 18

SIMPULAN DAN SARAN 19

(8)

DAFTAR TABEL

1 Formula campuran yang digunakan 8

2 Identitas bakteri S. aureus dan S. epidermidis 14 3 KHM dan KBM formula terhadap S. aureus (n = 3) 15 4 KHM dan KBM formula terhadap S. epidermidis (n = 3) 15 5 Daya antibakteri formula terhadap S. aureus dengan metode cakram 17

DAFTAR GAMBAR

1 Rimpang temu lawak 2

2 Struktur xantorizol (a) dan kurkumenol (b) 2

3 Struktur kurkumin (a), demetoksikurkumin (b), bisdemetoksikurkumin (c) 3

4 Tanaman meniran 3

5 Struktur filantin 5

6 Penampakan bakteri isolat UI awal (a), dan setelah penggoresan kuadran kedua

(b) 12

7 Beberapa bakteri yang berhasil dipisahkan: dugaan bakteri P. acnes dan Actinomycetes (a), dugaan bakteri S. aureus dan S. epidermidis dalam

pewarnaan gram (b) 13

8 Dugaan isolat S. aureus (a)dan S. epidermidis (b) 13 9 Dugaan isolat S. aureus (a) dan S. epidermidis (b) dalam pewarnaan gram 14 10 Dugaan Isolat S. aureus (a) dan isolat S. epidermidis (b) dalam media TSA 14 11 Isolat S. aureus (a) dan S. epidermidis (b) dalam media BPA 16 12 Daya antibakteri formula terhadap S. aureus dengan metode cakram 16 13 Daya antibakteri formula terhadap S. epidermidis dengan metode cakram 16 14 Profil kromatogram KLT: formula 1, 2, 6, standar kurkumin dan kuersetin 17 15 Daya inhibisi formula 1 dan 6 terhadap katalase yang diisolasi dari S. aureus20

DAFTAR LAMPIRAN

1 Diagram alir penelitian 23

2 Kadar air dan abu rimpang temu lawak dan daun meniran 24 3 Rendemen ekstrak kasar etanol temu lawak dan meniran 25

4 Kurva standar bakteri 25

5 Nilai Rf formula uji 26

(9)

PENDAHULUAN

Jerawat berhubungan dengan peradangan kelenjar polisebasea pada kulit, ditandai dengan komedo atau benjolan yang dapat disertai radang di daerah wajah, leher, dan tangan (Singh et al. 2011). Jerawat dapat menyebabkan noda yang sulit dihilangkan dan menurunkan kepercayaan diri (Cavalcanti et al. 2011). Patogenesis jerawat dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain peningkatan produksi sebum, komedogenesis, dan radang. Faktor kosmetik dan hormon juga dipercaya dapat menyebabkan jerawat (Alsop 2011).

Bahan antijerawat dapat mengatasi timbulnya jerawat. Komponen antijerawat dari bahan alam harus berpotensi sebagai antibakteri, antiradang, dan memiliki aktivitas antioksidan (Batubara et al.2009). Beberapa bakteri penyebab jerawat diantaranya ialah Propionibacterium acnes (Ingham et al. 1981), Staphylococcus aureus, dan S. epidermidis (Jawetz et al. 1995). P.acnes berperan pada patogenesis jerawat dengan menghasilkan lipase yang memecah asam lemak bebas dari lemak kulit (Ryan et al.1994), sementara S. epidermidis akan memicu peradangan pada kulit (Wasistaatmadja 2002) sehingga memperparah jerawat. S. aureus bersifat patogen dan dapat menyebabkan nekrosis pada kulit hewan dan manusia (Brooks et al. 1995). Enzim katalase dalam S. aureus segera mengurai hidrogen peroksida yang dihasilkan dari reaksi lain dalam tubuh bakteri menjadi air dan oksigen (Nelson dan Cox 2007). Penghambatan fungsi katalase oleh inhibitor mengakibatkan hidrogen peroksida tidak terurai dan membunuh bakteri sehingga jumlah proliferasi S. aureus berkurang.

Jerawat lazim diobati dengan antibiotik (Harris et al. 2002). Namun, penggunaan antibiotik yang kurang tepat dan dalam dosis yang cukup tinggi dapat menyebabkan resistensi terhadap bakteri penyebab jerawat (Farzana et al. 2011). Penggunaan antijerawat alami dapat menjadi salah satu solusi. Antijerawat alami seperti Azadirachta indica (Balakkrisnan et al.2011), minyak dari tumbuhan Melaleuca alternifolia (Vijay et al.2010) telah dilaporkan di India. Tanaman dari famili Liliaceae, Rutaceae, Zingiberaceae, Myrtaceae, dan Lamiaceae mengandung alkaloid, tanin, flavonoid, terpenoid, dan minyak atsiri yang memiliki efek signifikan terhadap bakteri penyebab jerawat (Singh et al. 2011).

Tanaman temu lawak (Curcuma xanthorriza) memiliki aktivitas sebagai antibakteri, penghambat enzim lipase, dan antioksidan (Batubara et al. 2009). Senyawa aktif antibakteri dalam temu lawak adalah xantorizol (Mangunwardoyo et al. 2012). Daun meniran (Phyllanthus ninuri) juga memiliki aktivitas antibakteri, dengan filantin (Murugaiyah dan Chan 2007), terpenoid (Gunawan et al. 2008), alkaloid, dan biflavonoid (Njoroge et al. 2012) sebagai senyawa aktifnya.

Formula campuran temu lawak dan meniran sebelumnya telah diteliti oleh Prabandari (2012) dan memiliki aktivitas antioksidan dengan konsentrasi penghambatan 50% (IC50) 93.17 ppm serta aktivitas antibakteri terhadap S.

epidermidis dengan nilai konsentrasi hambat minimum dan konsentrasi bunuh minimum berturut-turut 250 dan 500 ppm. Namun, aktivitas antibakteri dan daya inhibisi formula terhadap enzim P. acnes dan S. aureus belum diujikan.

(10)

antijerawat. Formula terbaik ditentukan berdasarkan uji aktivitas antibakteri serta aktivitas penghambatan formula terhadap enzim katalase yang diisolasi dari S. aureus dan enzim lipase yang diisolasi dari P. acnes.

TINJAUAN PUSTAKA

Temu Lawak

Temu lawak merupakan tumbuhan rumpun berbatang semu. Bagian yang dimanfaatkan adalah rimpangnya (Gambar 1). Rimpang ini mengandung 48– 59.64% zat tepung, 1.6–2.2% kurkumin, dan 1.48–1.63% minyak atsiri dan dipercaya dapat meningkatkan kerja ginjal. Manfaat lainnya adalah sebagai obat jerawat, meningkatkan nafsu makan, antikolesterol, antiradang, antianemia, antioksidan, pencegah kanker, dan antibakteri (Warintek 2010).

Gambar 1 Rimpang temu lawak

Minyak atsiri temu lawak berwarna kuning kehijauan dan berbau aromatik tajam. Komponen utamanya antara lain α-kurkumena, xantorizol, farnesol, germakrena, germakron, kamfor, zingiberena, kamfena, dan α-turmeron (Dumadi 2008). Xantorizol (Gambar 2a) atau 1,3,5,10-bisabolatetraen-3-ol merupakan salah satu komponen aktif dalam temu lawak yang berfungsi sebagai antibakteri S. aureus (Mangunwardoyo et al. 2012), Candida albicans,dan Streptococcus mutans (Hwang et al. 1999) serta antitumor (Choi et al. 2004). Kurkumin dan turunannya (Gambar 3) dan kurkumenol (Gambar 2b) juga terbukti sebagai antibakteri efektif untuk S. aureus dan Pseudomonas aeruginosa (Rashid 2004). Kurkumin juga aktif sebagai antiradang (Begum et al. 2008).

O H

O

OH H

(a) (b)

(11)

OH

Meniran termasuk ke dalam famili Euphorbiaceae. Batang meniran berbentuk bulat berbatang basah dengan tinggi kurang dari 50 cm. Meniran (Gambar 4) mempunyai daun yang bersirip genap. Setiap tangkai daun terdiri atas daun majemuk yang berukuran kecil dan berbentuk lonjong. Bunga terdapat pada ketiak daun menghadap ke arah bawah (Katno dan Pramono 2010).

Gambar 4 Tanaman meniran

Meniran dipercaya dapat mengobati beberapa penyakit, antara lain hepatitis B, diare, dan flu. Kandungan bahan aktif meniran antara lain filantin, kuersetin, asam galat, dan asam elagat yang memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi (Mahdi et al. 2011). Kuersetin digunakan sebagai penciri umum bahan aktif untuk bahan alam yang bahan aktifnya belum disahkan oleh Badan POM.

Ekstrak meniran dalam metanol juga memiliki aktivitas antibakteri yang cukup besar (Njoroge et al. 2012). Filantin (Murugaiyah dan Chan 2007) merupakan salah satu senyawa aktif antibakteri dalam meniran (Gambar 5). Senyawa fitadiena dan 1,2-seco-kladielan yang diidentifikasi dari ekstrak meniran dalam fraksi heksana (Gunawan et al. 2008) dilaporkan juga dapat menghambat pertumbuhan S. aureus dan Escherichia coli.

(12)

Ekstraksi dan Formulasi

Ekstraksi adalah penyarian zat aktif dari suatu bahan untuk menarik komponen kimia di dalamnya. Ekstraksi pada prinsipnya memindahkan zat hasil ekstraksi ke dalam pelarutnya (Harborne 1987). Pada penelitian ini digunakan metode ekstraksi maserasi. Prosesnya menggunakan pelarut perendaman dalam pelarut dengan bantuan pengocokan pada suhu kamar. Metode ini membutuhkan waktu ekstraksi yang relatif lama dan pelarut yang cukup banyak, tetapi komponen yang tahan maupun tidak tahan panas dapat terekstraksi. Pemekatan dilakukan dengan penguap putar pada suhu relatif rendah (40 ºC) untuk menjaga agar ekstrak tidak rusak.

Formulasi pada penelitian dilakukan dengan 2 metode, yaitu teknik ekstraksi cara Indonesia dan obat tradisional Cina (TCM). Pada cara Indonesia, kedua tanaman masing-masing dibuat ekstrak kemudian ekstrak dicampur. Pada cara TCM, semua bahan dicampurkan dulu lalu diekstraksi bersamaan. Keduanya dimanfaatkan sebagai teknik formulasi dalam ekstraksi bahan alam.

Jerawat (Acne vulgaris)

Jerawat adalah suatu proses peradangan kronik kelenjar polisebasea pada kulit yang ditandai dengan komedo, papul, pustul, dan nodul. Penyebaran jerawat terjadi di muka, dada, punggung yang mengandung kelenjar sebasea (Harper 2007). Bakteri anaerob P. acnes dan bakteri aerob S. aureus dan S. epidermidis berperan dalam proliferasi jerawat (Banu dan Humnekar 2011). Beberapa kondisi penyebab jerawat antara lain produksi sebum berlebih, hiperkeratinisasi folikel rambut, stres oksidatif, dan munculnya mediator yang menyebabkan peradangan (Batubara et al. 2009). Produksi minyak berlebih pada kulit dapat menyumbat pori-pori. Kondisi ini diperparah oleh adanya bakteri yang dapat menyebabkan peradangan karena asam lemak dan minyak kulit yang tersumbat akan mengeras (Brook et al.2005). Bahan antibiotik lazim digunakan untuk mengobati jerawat. Namun, bahan alam perlu dikembangkan sebagai alternatif antijerawat karena antibiotik dapat menimbulkan resistensi jika digunakan terus menerus.

P. acnes, S. aureus dan S. epidermidis

(13)

Staphylococcus merupakan bakteri gram positif dengan diameter 0.5–1.5 µm dengan bentuk bulat dan bergerombol seperti anggur. Spesies S. aureusdan S. epidermidis adalah flora normal kulit penyebab jerawat.Bakteri S. aureus patogen dan memiliki resistensi tinggi terhadap antibiotik. Perbedaan mencolok S. aureus dan S. epidermidis adalah terbentuknya pigmen kuning pada koloni S. aureus, sementara S. epidermidis tidak (Harris et al. 2002). S. aureus dapat menghemolisis darah dan menggumpalkan plasma kelinci. Enzim katalase berperan penting dalam pertahanan bakteri S. aureus dan S. epidermidis.Kedua bakteri initumbuh baik dalam kondisi anaerob,anaerob fakultatif, maupun aerob pada suhu 35–37 ºC dengan waktu optimum pembelahan bakteri 12–18 jam (Appak 2006).

Antibakteri Metode Dilusi dan Difusi

Antibakteri adalah senyawa yang dapat menghambat proliferasibakteri. Antibakteridapat bersifat bakteriostatik maupun bakterisidal. Antibakteri yang baik memiliki kekuatan menghambat pertumbuhan bakteri pada konsentrasi yang rendah. Terdapat 2 macam pengujian antibakteri, yaitu metode dilusi dan difusi. Metode difusi memanfaatkan kertas cakram (Husein et al. 2009). Pengujian antibakteri dilakukan dengan melihat zona bening yang terbentuk di sekitar cakram yang ditetesi formula uji. Sementara uji dilusi memanfaatkan metode pengenceran serial, dengan formula terendah yang tidak menunjukkan kekeruhan setelah inkubasi pada hari pertama merupakan KHM danyang tidak menunjukkan kekeruhan setelah diinkubasi pada hari kedua disebut KBM. Kedua metode ini digunakan untuk memperkuat hasil daya antibakteri yang dimiliki suatu formula (Gunawan et al. 2008).

Profil Kromatogram Antijerawat dengan KLT

Kromatografi lapis tipis (KLT) memisahkan campuran berdasarkan distribusi di antara fase diam dan fase gerak.Metode ini merupakan salah satu cara mengidentifikasi senyawa dalam sampel (Harborne 1987). Identifikasi dilakukan dengan membandingkan nilai Rf formula dengan standar. Nilai Rf merupakan

nisbah jarak tempuh zat dengan jarak tempuh garis depan pelarut(Funk dan Droeschel 1991). Formula teraktif sebagai antijerawat diidentifikasi macam senyawanya dengan pembanding standar kurkumin (zat aktif pada temu lawak) dan kuersetin (zat aktif pada meniran).

Isolasi Enzim Lipase, Enzim Katalase dan Aktivitas Inhibisinya

(14)

dengan metode spektrofotometri menggunakan reagen 2,3-dimerkapto-1-propanol tributirat (Furukawa et al. 1982).

S. aureus dan S. epidermidis memiliki enzim katalase yang memainkan peran penting dalam perlindungan bakteri. Katalase mengubah hidrogen peroksida, senyawa yang dihasilkan dari reaksi lain dalam bakteri, menjadi air dan oksigen. Katalase dalam bakteri berada dalam peroksisom (Nelson dan Cox 2007). Isolasi katalase dapat dilakukan pada S. aureus yang ditumbuhkan dalam kondisi optimum, melalui sentrifugasi dan pencucian sel dengan bufer (Amin dan Olson 1967).

Aktivitas inhibisi katalase juga dapat diukur dengan metode spektrofotometri (Sinha 1971). Sisa hidrogen peroksida yang tidak bereaksi dengan katalase dioksidasi oleh reagen kalium dikromat dalam asam asetat membentuk kromium (III) asetat yang berwarna hijau ketika dipanaskan. Aktivitas inhibisi katalase akan ditandai dengan meningkatnya kepekatan warna hijau dalam larutan.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan adalah daun meniran yang berasal dari kebun Biofarmaka dan rimpang temu lawak, etanol 96%, pati, isolat bakteri dari Departemen Mikrobiologi Universitas Indonesia, agar darah, nutrient broth (NB), trypticase soy broth (TSB), trypticase soy agar (TSA), Baird Parker agar (BPA), egg yolk with tellurite, GAM broth, glukosa, ragi, Tween 20, air steril, gas pack, pewarna ungu kristal, iodium, safranin, NaHPO4, Na2HPO4, klindamisin (Kimia

Farma), triklosan, ekstrak secang, DMSO 20%, kertas cakram, microtube, NaCl, H2O2, kalium dikromat, asam asetat glasial, pelat KLT silika gel GF 254, metanol,

kloroform, standar kurkuminoid dan kuersetin dari Sigma Aldrich.

Alat-alat yang digunakan adalah neraca analitik, eksikator, oven, tanur, penguap putar, autoklaf, laminar flow, mikroskop medan terang, mikropipet, jar anaerob, inkubator, microplate reader, 96-well plate, pHmeter, pemanas, sentrifus, bejana KLT, aplikator KLT Camag Linomat 5, lampu UV, dan peralatan kaca.

Lingkup Penelitian

(15)

Preparasi Sampel

Sampel rimpang temu lawak dan daun meniran dibersihkan kemudian diiris tipis dan dikeringkan. Setelah kering, sampel digiling hingga menjadi serbuk dengan ukuran 40 mesh. Sampel siap digunakan untuk analisis selanjutnya.

Penentuan Kadar Air (AOAC 2007)

Cawan porselen dikeringkan pada 105 ºC selama 30 menit lalu didinginkan di dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 2 g contoh dimasukkan ke dalam cawan dan dipanaskan pada suhu 105 ºC selama 5 jam sampai diperoleh bobot konstan. Cawan beserta contoh didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Penentuan kadar air dilakukan 3 kali ulangan.

Keterangan: A = bobot contoh sebelum dikeringkan (g) B = bobot contoh setelah dikeringkan (g)

Penentuan Kadar Abu (AOAC 2007)

Cawan porselen dikeringkan dalam tanur yang bersuhu 600 ºC selama 30 menit, didinginkan dalam desikator selama 30 menit, kemudian ditimbang. Sebanyak 2 g contoh dimasukkan ke dalam cawan, dibakar sampai tidak berasap lagi, lalu diabukan dalam tanur sampai abu berwarna putih. Setelah didinginkan, cawan dan abu ditimbang kembali bobotnya. Penetapan kadar abu dilakukan 3 kali ulangan.

Keterangan: A = bobot contoh (g) B = bobot abu (g)

Ekstraksi

(16)

Tabel 1 Formula campuran yang digunakan

Keterangan: Formula no 1–4 disiapkan dengan metode Indonesia, Formula no 5 dan 6 dengan metode TCM

*= simplisia tanaman

Pada ekstraksi contoh, 50 g bahan yang sudah dikeringkan dan dihaluskan ditambah dengan 250 mL etanol 96%, dimaserasi dinamik selama 6 jam, kemudian dibiarkan sampai 24 jam. Maserasi dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Filtrat yang terkumpul dipekatkan dengan penguap putar.

Pembuatan Media Untuk Bakteri

Media TSA disiapkan dengan mencampurkan 40 g TSA dengan 1 L air suling, dididihkan sampai jernih (larut sempurna). Media disterilisasi, kemudian sebanyak 16–18 mL media steril dituang ke cawan petri. Media TSB disiapkan dengan mencampurkan 30 g TSB dengan 1 L air suling, dididihkan sampai jernih (larut sempurna) lalu disterilisasi. Media BPAdibuat dengan merujuk metode Biokar Diagnotics (2012). Sebanyak 58 g BPA ditambahkan air hingga 0.95 L. Media kemudian disterilisasi. Setelah bersuhu 35–40 ºC, sebanyak 50 mL egg yolk with tellurite ditambahkan ke dalam media agar, dikocok sampai larut sempurna. Sebanyak 16–18 mL media steril dituang ke dalam cawan petri. Media GAM Broth dibuat dengan metode Nissui (2010). Sebanyak 5 g GAM Broth, 10 g glukosa, 3 g ragi, 5 g NB, dan 2 mL Tween 20 dicampurkan dengan akuades hingga 1L. Sebanyak 10 mL media kemudian dimasukkan ke dalam tabung ulir dan disterilisasi. Semua pengerjaan dilakukan dalam keadaan aseptik. Sterilisasi media dilakukan dengan menggunakan autoklaf (121 ºC, 20 menit), sedangkan alat kaca disterilkan kering dalam oven (170 ºC, 2 jam).

Isolasi S. aureus, S. epidermidis, dan P. acnes dari Isolat Bakteri

(17)

diencerkan tersebut dimasukkan ke dalam media TSA dan diinkubasi selama 72 jam. Koloni yang terbentuk menjadi acuan pemisahan bakteri selanjutnya.

Isolat bakteri ditumbuhkan dengan metode agar miring dengan media agar darah. Isolat yang sudah diremajakan diambil dan digores kuadran pada cawan yang sudah berisi agar darah, lalu diinkubasi selama 7 hari dalam inkubator bersuhu37 ºC dengan jar anaerob yang sudah diberi gas pack. Koloni yang terpisah digores kembali ke agar darah, demikian seterusnya hingga semua koloni terpisah. Koloni yang sudah terpisah masing-masing digores ke media TSA dan dilihat warna koloninya. Pada setiap koloni yang digores ke agar darah juga dilakukan pewarnaan gram. Koloni yang diduga S. aureus dan S. epidermidis ditumbuhkan dalam media BPA, diinkubasi pada suhu 35 ºC dalam kondisi aerob. Sementara koloni yang diduga P.acnes ditumbuhkan dalam media TSA, diinkubasi dalam kondisi anaerob selama 7 hari pada suhu 37 ºC.

Uji Aktivitas Antibakteri terhadap S. aureus dan S. epidermidis

Perhitungan Jumlah Koloni Bakteri

Satu lup kultur dimasukkan ke dalam 100 mL TSA. Inokulum diinkubasi selama 18 jam dalam inkubator bersuhu 35 ºC. Sebanyak 1 mL inokulum dimasukkan ke dalam 9 mL NaCl 0.85% steril kemudian dikocok. Sebanyak 1 mL suspensi bakteri diambil dan diencerkan berturut-turut dengan 9 mL NaCl 0.85% sterilsampai diperoleh faktor pengenceran 1010. Sebanyak 1 mL dari setiap tabung dalam deret pengencerantersebut disuspensikan ke dalam cawan petri yang berisi TSA, diinkubasi selama 18 jam dalam inkubator bersuhu 35 ºC. Koloni bakteri yang terbentuk dihitung. Jumlah sel bakteri dalam biakan dapat ditentukan dari jumlah koloni yang tumbuh.Koloni bakteri yang dapat dihitung berada dalam kisaran 25–250 koloni per cawan.

Pembuatan Kurva Pertumbuhan

Media NB diisi dengan 3 mL inokulum dengan nisbah media:bakteri 1:1, 1:2, 1:4, 1:8, dan 1:16. Suspensi dikocok dan serapannya diukur pada panjang gelombang 620 nm.Hasil perhitungan diperoleh sebagai CFU/mL.

Penentuan KHM dan KBM (Batubara et al. 2009)

(18)

pertumbuhan setelah ditambahkan TSB disebut KBM. Semua pengerjaan dilakukan 3 kali ulangan.

Metode Cakram (Husein et al. 2009)

Secara aseptik, 150 mL media TSA steril didinginkan sampai 40 ºC dan ditambahkan 18 mL suspensi bakteri dengan jumlah bakteri 9×105 CFU/mL. Suspensi bakteri dan agar dikocok perlahan,sebanyak 18 mL dituang ke dalam cawan petri steril. Setelah agar membeku, 3 buah kertas cakram ditaruh dengan posisi 120º (membentuk segitiga). Dengan hati-hati, 20 µL formula/kontrol positif dengan nilai KBM terendah diteteskan di atas kertas cakram. Cawan kemudian diinkubasi selama 18 jam pada inkubator bersuhu 35 ºC. Aktivitas antibakteri dinyatakan sebagai indeks zona hambat, dengan d sebagai diameter.

Pembuatan Profil Kromatogram Antijerawat dengan KLT

Sebanyak 10 µ L formula 1, 2, 6, standar kurkuminoid dan kuersetin dengan konsentrasi 1000 ppm diaplikasikan pada pelat KLT dengan KLT aplikator (Camag Linomat 5). Setelah kering, pelat KLT dielusi dalam bejana kromatografi yang telah dijenuhkan oleh uap eluen pengembang. Formula 1 dielusi dengan eluen A (kloroform dan metanol 9:1), formula 2 dengan eluen B (kloroform:metanol:air 80:12:2), formula 6 dan standar dielusi dengan eluen A dan B. Hasil elusi diamati pada panjang gelombang 366 nm menggunakan Camag Reprostar 3 untuk melihat jumlah noda yang muncul pada pelat.

Isolasi Enzim Kasar dari S. aureus(modifikasi Amin dan Olson 1967)

S. aureus diinokulasikan dalam TSB lalu diinkubasi selama 18 jam pada inkubator bersuhu 35 ºC. Kemudian suspensi bakteri didinginkan menjadi 4 ºC dan disentrifusigasi 3000 × g selama 15 menit. Sel kemudian dicuci 2 kali dengan air steril dan 1 kali dengan bufer fosfat pH 7. Sel ditambahkan bufer fosfat 0.01 M pH 7 dan ditepatkan volumenya untuk memperoleh absorbans 0.69 pada panjang gelombang 620 nm.

Pengukuran Hidrogen Peroksida Secara Kolorimetri(modifikasi Sinha 1971)

(19)

Uji Aktivitas Inhibisi terhadap Isolat Enzim Kasar (modifikasi Sinha 1971)

Sebanyak 1 mL hidrogen peroksida ditambah 400 µ L enzim kasar, dikocok dengan hati-hati. Larutan kemudian ditambahkan 2 mL kalium dikromat dalam asam asetat dan dibiarkan bereaksi selama 60 detik. Campuran dipanaskan selama 10 menit di penangas air. Setelah dingin, sebanyak 200 µ L larutan diukur absorbansnya pada 570 nm. Pengukuran blangko dilakukan sama seperti di atas, namun tanpa penambahan enzim.

Sebanyak 1 mL formula 1 dan 6 dengan konsentrasi 100, 150, 200, 250, 300, 400, dan 500 ppm ditambahkan masing-masing ke dalam 400 µL crude enzim. Campuran dikocok dengan hati-hati dan dibiarkan bereaksi selama 60 detik atau sampai gelembungnya habis. Larutan kemudian ditambahkan 1 mL hidrogen peroksida dan dikocok dengan hati-hati selama 60 detik. Pengujian selanjutnya sama seperti sebelumnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Air dan Abu

Sampel rimpang temu lawak dan daun meniran diiris, dikeringkan, dan digiling hinggaberukuran 40 mesh. Pengirisan dilakukan untuk mempercepat pengeringan sampel karena dengan luas permukaan sampel yang lebih besar, penguapan air akan optimum. Penggilingan juga berfungsi memperluas permukaan sehingga mempermudah bahan aktif terekstraksi dari dinding tanaman. Kadar air dalam sampel simplisia ditentukan untuk memperkirakan cara penanganan sampel terbaik. Sampel berkadar air tinggi cenderung mudah ditumbuhi mikroorganisme sehingga tidak tahan lama disimpan. Simplisia ditentukan kadar airnya secara gravimetri taklangsung, yaitu dari selisih bobot bahan sebelum dan setelah dikeringkan dalam oven. Kadar air sampel rimpang temu lawak diperoleh sebesar 9.83±0.07% dan daun meniran 5.66±0.04% (Lampiran 2). Hasil tersebut masih berada di bawah batas maksimum kadar air untuk bahan baku tradisional sesuai SK Menkes RI No 661/IMenkes/SK/VII/1994, yaitu 10%.

(20)

Ekstrak Meniran dan Temu Lawak

Metode maserasi digunakan untuk mengekstraksi komponen yang tahan maupun taktahan panas. Agitasi saat ekstraksi memudahkan penetrasi pelarut ke dalam dinding tanaman sehingga komponen aktif yang diharapkan dapat terekstraksi dengan optimum.

Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol 96%. Pelarut ini lazim digunakan dalam pembuatan jamu dan obat-obatan fitofarmaka (Darusman et al. 2001). Senyawa aktif kurkumin dalam temu lawak yang berfungsi sebagai antiradang (Paryanto dan Srijanto 2006) dapat diekstraksi secara efektif dengan etanol (Joe et al. 2004).

Rendemen ekstrak keempat formula berdasarkan bobot kering simplisia diberikan pada Lampiran 3. Rendemen terbesar dihasilkan dari formula 1, yaitu simplisia tunggal temu lawak yang diekstraksi dengan metode Indonesia. Sementara rendemen terkecil dihasilkan oleh formula 6 yang diekstraksi dengan metode TCM. Hal ini terjadi karena terdapat kandungan bahan pengisi (pati). Semakin besar rendemen, semakin efektif pula proses ekstraksinya.

Teknik ekstraksi yang sama juga dilakukan oleh Prabandari (2012), tetapi terdapat sedikit perbedaan pada hasil yang diperoleh. Rendemen yang dihasilkan Prabandari (2012) secara umum lebih besar daripada penelitian ini. Faktor lamanya agitasi diduga menjadi salah satu penyebab perbedaan tersebut.

Isolat P. acnes, S.aureus dan S. epidermidis

Isolat bakteri diremajakan dengan media GAM broth dan didapati belum murni (Gambar 6a). Bakteri gram positif (berwarna biru) dan gram negatif (berwarna merah) masih bercampur. Penggoresan kuadran dilakukan dengan media agar darah untuk memisahkan koloni bakteri yang terdapat dalam isolat. P. acnes (Hoeffler 1977) dan S. aureus (Gotz et al. 2006) menunjukkan kemampuan hemolisisnya pada agar darah, sedangkan S. epidermidis tidak (Cetin 1963). Pada penggoresan kuadran kedua (Gambar 6b), bakteri berbentuk bulat anggur dengan jenis gram positif yang diduga sebagai S. aureus dan S. epidermidis, serta bakteri batang pendek dengan jenis gram positif yang diduga P. acnes telah berhasil diperoleh, namun masih belum murni.

Gambar 6 Penampakan bakteri isolat UI awal (a), dan setelah penggoresan kuadran kedua (b)

(21)

penampakan fisik batang panjang berwarna biru. Bakteri yang diduga S. aureus dan S. epidermidis juga sudah teridentifikasi (Gambar 7b), tetapi masih bercampur dengan bakteri batang gram negatif lainnya.

Gambar 7 Beberapa bakteri yang berhasil dipisahkan: dugaan bakteri P. acnes dan Actinomycetes (a), dugaan bakteri S. aureus dan S. epidermidis dalam pewarnaan gram (b)

Isolat yang diduga sebagai P. acnes ditumbuhkan dalam media TSA. Setelah diinkubasi selama 7 hari dalam kondisi anaerob, isolat tersebut tidak tumbuh. Tahapan isolasi bakteri yang berkali-kali dapat menyebabkan P. acnes terpapar oksigen cukup sering. Pertumbuhan bakteri ini yang lambat dan rentan dengan keberadaan oksigen menyebabkan jumlahnya semakin sedikit setelah penggoresan kuadran keempat, dan pada penggoresan kuadran kelima, P. acnes tidak berhasil diisolasi.

Bakteri dalam genus yang sama seperti S. aureus dan S. epidermidis dapat memiliki bentuk dan warna sel yang sama sehingga identifikasinya harus menggunakan media spesifik. Media agar darah digunakan karena S. aureus memiliki kemampuan hemolisis sementara S. epidermidis tidak (Cetin 1963).

Agar darah yang digunakan biasanya merupakan blood agar base yang dicampur dengan darah domba segar (Warsa 1994). Kemampuan β-hemolisis S. aureus akan mengubah warna darah (Gotz 2006). Isolat yang diduga S. aureus dan S. epidermidis berhasil diidentifikasi (Gambar 8). Pada Gambar 8a, warna koloni S. aureus kekuningan dan media berubah menjadi pucat semitransparan. Sementara pada Gambar 8b, warna koloni putih S. epidermidis sedikit kuning dengan warna media tetap merah segar. Kedua isolat tersebut kemudian diremajakan dalam TSA dan diwarnai dengan pewarnaan gram (Gambar 9).

Gambar 8 Dugaan isolat S. aureus (a) dan S. epidermidis (b)

(22)

Pada mikroskop medan terang dengan pembesaran 1000 kali, kedua bakteri memiliki bentuk yang serupa, berupa gram positif dengan waktu pertumbuhan optimum 18–24 jam. Bentuk sel bulat seperti buah anggur dan berwarna biru ketika diberi pewarnaan gram (Ryan 1995). Dalam media TSA (Gambar 10), S. aureus membentuk pigmen kuning, sementara S. epidermidis tidak (Gotz 2006).

Gambar 10 Dugaan isolat S. aureus (a)dan S. epidermidis (b) dalam media TSA

Isolat dugaan kemudian digores dalam media agar BPA. Media ini diperkaya dengan telurit. Bakteri Staphylococcus akan berwarna hitam jika ditumbuhkan dalam media ini. Zona halo juga akan dihasilkan ketika bakteri S.aureus digores dalam media spesifik ini. Berdasarkan Gambar 11, dapat dipastikan bahwa isolat kiri merupakan isolat murni S. aureus sementara isolat kanan merupakan isolat murni S. epidermidis. Perbedaan hasil pengujian bakteri S. aureus dan S. epidermidis dapat dilihat pada Tabel 2.

Gambar11 Isolat S. aureus (a) dan isolat S. epidermidis (b) dalam media BPA

Tabel 2 Identitas bakteri S. aureus dan S. epidermidis

Pengujian Macam bakteri

S. aureus S. epidermidis

Pewarnaan gram Bentuk sel kokus berwarna biru (gram positif)

Bentuk sel kokus berwarna biru (gram positif)

Peremajaan dalam TSA Koloni membentuk pigmen warna

kuning Koloni tidak membentuk pigmen Peremajaan dalam agar

darah

Hemolisis darah (+), agar darah

transparan berwarna kuning Hemolisis (-), warna darah tetap

Peremajaan dalam BPA Koloni berwarna hitam, zona halo (+)

Koloni berwarna hitam, zona halo (-)

Daya Antibakteri Formula (KHM dan KBM)

(23)

Berdasarkan metode pengenceran ini, formula 1 memiliki aktivitas antibakteri tertinggi terhadap S. aureus, sementara formula 2 tetap keruh setelah penambahan konsentrasi formula 2000 ppm (Tabel 3). Formula 2 yang hanya berisi ekstrak meniran tunggal mungkin saja masih memiliki aktivitas antibakteri terhadap S. aureus, namun jauh lebih rendah daripada formula yang mengandung temu lawak.

Tabel 3 KHM dan KBM formula terhadap S. aureus (n = 3)

(24)

bakteri yang lebih baik dengan KBM 3 ppm terhadap S. aureus maupun S. epidermidis. Antibakteri lain yang lazim digunakan secara topikal, yaitu klindamisin memiliki KBM lebih tinggi daripada triklosan, yaitu 70 ppm (Tabel 4).

Daya Antibakteri Metode Cakram

Konsentrasi bunuh minimum yang diperoleh dari metode pengenceran digunakan untukmenentukan indeks zona hambat formula terhadap bakteri S. aureus dan S. epidermidis. Dalam keadaan hangat, media agar TSA dicampurkan dengan suspensi bakteri dalam TSB yang memiliki jumlah bakteri 9×105 CFU/mL (Lampiran 4). Zona bening yang dihasilkan menandakan pertumbuhan bakteri S. aureus (Gambar 12) dan S. epidermidis (Gambar 13) yang terganggu akibat adanya zat antibakteri.

Gambar 12 Daya antibakteri formula terhadap S. aureus dengan metode cakram

Gambar 13 Daya antibakteri formula terhadap S. epidermidis dengan metode cakram

Berdasarkan diameter zona bening yang dihasilkan (Tabel 5), formula 1 memiliki aktivitas antibakteri terbaik terhadap S. aureus. Kontrol positif ekstrak secang yang memiliki aktivitas antibakteri P.acnes (Batubara et al. 2009), hanya memiliki aktivitas antibakteri cukup baik terhadap kedua bakteri pada konsentrasi ekstrak 1 000 ppm. Formula 6 yang dibuat dengan teknik TCM memiliki aktivitas antibakteri S. epidermidis yang cukup besar dengan zona hambat 0.40, namun aktivitasnya masih di bawah F1.

(25)

Tabel 5 Daya antibakteri formula terhadap S. aureus dan S. epidermidis dengan

Profil Kromatogram Lapis Tipis Formula

Formula yang memiliki aktivitas antibakteri terbaik, yaitu formula 1 (temu lawak) dan formula 6 (temu lawak 2/3:meniran 1/6:pati 1/6) diidentifikasi profil kromatogram lapis tipisnya. Formula 1 dielusi dengan fase gerak A, kloroform-metanol (9:1) menghasilkan 3 noda dengan nilai Rf mirip dengan kurkuminoid

(Gambar 14a). Ketiga noda diidentifikasi sebagai kurkumin dan turunannya, yaitu demetoksikurkumin dan bis-demetoksikurkumin. Formula 2 (meniran) dielusi dengan eluen B, kloroform-metanol-air (80:12:2) memiliki 5 noda yang berpendar pada 366 nm (Gambar 14b). Formula 6 dengan fase gerak A (Gambar 14c) dan fase gerak B (Gambar 14d) memiliki pita dengan Rf yang sama dengan kurkumin

dan turunannya. Pita kuersetin pada formula 2 dan 6 agak sulit diidentifikasi mungkin disebabkan konsentrasi kuersetin yang rendah pada sampel. Nilai Rf

formula dan standar yang dielusi dengan eluen A dan B memiliki hasil yang mirip (Lampiran 5) karena kedua eluen tersebut memiliki kepolaran hampir mirip.

(26)

Aktivitas Inhibisi Formula terhadap Isolat Enzim Kasar

Katalase merupakan salah satu enzim yang terdapat dalam bakteri S. aureus selain superoksida dismutase (Kanafani dan Martin 1984) dan koagulase (Warsa 1994). Pada S.aureus, katalase berfungsi memecah H2O2,yangdihasilkan dari

reaksi lain dalam tubuh bakteri. Nilai kkat katalase yang sangat tinggi, mencapai

4×107det-1 membuat bakteri S. aureus terlindungi dari spesi radikal hidrogen peroksida dan meminimumkan proses fagositosis (Nelson dan Cox 2007).

Katalase yang termasuk enzim antioksidan ini diisolasi untuk mengukur aktivitas inhibisiformula antijerawat terhadap enzim tersebut. Katalase berada dalam mikrobodi, membran yang tertutup oleh organel (Voet dan Voet 2011). Bakteri yang telah ditumbuhkan pada waktu optimum diisolasi katalasenya dengan cara sentrifugasi. Suhu rendah digunakan saat sentrifugasi untuk melindungi enzim katalase dari kerusakan. Bufer fosfat digunakan sebagai penstabil agar katalase tidak rusak. Sebanyak 0.8825 g enzim kasar (Lampiran 6) diisolasi dalam penelitian ini. Sebelum digunakan, enzim kasar disimpan dalam suhu rendah agar tidak terdenaturasi.

Katalase dalamenzim kasar ditentukan aktivitasnya dengan metode oksidireduktometri. Larutan kalium dikromat dalam suasana asam mengoksidasi hidrogen peroksida dalam larutan. Senyawa kromium (III) asetat yang berwarna hijau akan terbentuk jika larutan dipanaskan (Sinha 1971), sesuai reaksi berikut:

Cr2O72 − + 8 H+ + 3H2O22 Cr3+ + 7 H2O + 3O2

Katalase dalam enzim kasar akan bereaksi dengan hidrogen peroksida dalam larutan sehingga konsentrasinya dalam sistem akan berkurang dan intensitas serapan kromium (III) asetat akan menurun. Salah satu tanda reaksi berjalan adalah terbentuknya gelembung udara(Voet dan Voet 2011) karena oksidasi hidrogen peroksida sesuai dengan reaksi berikut:

2H2O2(aq) 2 H2O(l) + O2 (g)

Berdasarkan percobaan, aktivitas enzim katalase dalam S. aureusialah 2.9877×10-3 mmol H2O2/mg enzim (Lampiran 6).Daya inhibisi formula 1dan

formula 6 (Gambar 15) berturut-turut adalah 3.55% dan 6.88% pada konsentrasi formula500 ppm (Lampiran 7). Nilai % inhibisi yang didapatkan ini cukup rendah. Hal ini dapat disebabkan karena ekstrak yang diuji masih berupa ekstrak kasar.Formula 1 maupun formula 6 tidak menunjukkan aktivitas inhibisi yang berarti terhadap katalase S. aureusmakadiduga mekanisme antibakteri yang terjadi bukan melalui penghambatan enzim katalase.

(27)

SIMPULAN DAN SARAN

Bakteri S. aureus dan S. epidermidis telah berhasil diisolasisementara P. acnes tidak. Formula 1 memiliki aktivitas antibakteri terbaik terhadap S. aureus dengan KBM 150 ppm dan indeks zona hambat 0.38. Aktivitas antibakteri terbaik untuk S.epidermidisdiberikan oleh F6 dengan KBM 300 ppm dan indeks zona hambat 0.40. Berdasarkan profil kromatogram, formula 1 mengandung senyawa kurkuminoid dan formula 6 mengandung kurkuminoid dan kuersetin.Enzim katalase berhasil diisolasi dari bakteri S. aureus.Formula 6 memberikan aktivitas inhibisi katalase terbaik sebesar 6.88% pada konsentrasi formula 500 ppm. Nilai aktivitas inhibisi yang rendah pada formula 6 menjadi dugaan aktivitas antibakteri bukan berasal dari penghambatan enzim katalase.

Inkubator CO2 untuk isolasi P. acnes sebaiknya digunakan agar bakteri

dapat diisolasi secara efektif.Dengan demikian, uji antibakteri terhadap bakteri penyebab jerawat P.acnes dan aktivitas penghambatan lipase P.acnes dapat dilakukan sehingga diperoleh formula terbaik sebagai antijerawat.

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 2007. Official Methods of Analysis. Ed ke-14. Arlington: AOAC.

Alsop R. 2011. Acne vulgaris [Internet]. [diunduh 2012 Mar 1]; Tersedia pada: http://rcgp-innovait.oxfordjournals.org/

Amin VM, Olson NF. 1967. Influence of catalase activity on resistance of coagulase-positive staphylococci to hydrogen peroxide. J Appl Microbiol. 16(2):267-270.

Appak S. 2006. Biochemical and molecular characterization of extracellular enzyme producing staphylococci isolated from different origins. [tesis]. Mugla (TUR): Mugla University.

Balakkrisnan KP, Narayanaswamy N, Subba P, Poornima EH. 2011. Antibacterial activity of certain medicinal plants against acne-inducing bacteria. Int J Pharm Biol Sci. 2(3):583-592.

Banu A, Humnekar ELA. 2011. A prospective study to determine the effectiveness of clindamycin (allopathy), Berberis aquifolium (oregon grape-homeopathy) and Azadirachta indica (neem-ayuverdic) medications against the microorganism causing acne vulgaris. Int J Basic Med Sci. 2(2):78-83.

Batubara I, Mitsunaga T, Ohashi H 2009. Screening antiacne potency of Indonesian medicinal plants: antibacterial, lipase inhibition, and antioxidant activities. J Wood Sci. 55:230-235.

Begum J, Johnson R, Pattinson N. 2008. Curcumin structure-function, bioavaibility, and efficacy in models of neuroinflammation and alzheimer's disease. J of Pharm&Exp Theurapeutics. 326(1):196-204.

(28)

Brooks GF, Butel JS, Morse SA. 2005. Mikrobiologi Kesehatan. Mudihardi E,penerjemah. Jakarta (ID): Salemba Medika. Terjemahan dari: Medical Microbiology.

Brooks GF, Butel JS, Onrston LN 1995. Medical Microbiology. Connecticut (US): Appleton & Lange.

Cavalcanti SMM, John E, Diaz R. 2011. A quantitative analysis of Propionibacterium acnes in lesional and non-lesional skin of patients with progressive macular hypomelanosis by real-time polymerase chain reaction. J IntBrazil. 2(42): 423-429.

Cetin ET. Hemolysin inhibiting substance in Staphylococcus aureus strains. JBacteriol. 86:407-413.

Choi MA, Kim SH, Chung WY, Hwang JK, Park KK. Xanthorrhizol, a natural sesquiterpenoid from Curcuma xanthorrhiza has an anti-metastatic potential in experimental mouse lung metastasis model. BiochemBiophys Res Commun. 326(1):210-217.

Darusman LK, Rohaeti E, Sulistiyani. 2001. Kajian senyawa golongan flavonoid asal tanaman bangle sebagai senyawa peluruh lemak melalui aktivitas lipase. Bogor(ID): Pusat Studi Biofarmaka, LPPM, IPB.

Dumadi. 2008. Kajian minyak temulawak dari Tawangmangu. Konferensi Nasional Minyak Atsiri Dikjen Depperin.

Farzana K, Kim D, Choi R. 2011. Comparative bactericidal activity of various soaps against gram-positive and gram negative bacteria. J Acad. 6(16):3514-3518.

Funk W, Droeschel B. 1991. Modern TLC 4. J Planar Chromatogr.123:206-212. Furukawa I, Kurooka S, Arisue K, Kohda K, Hayashi C. 1972. Assays of serum

lipase by the “BALB-DTNB Method” mechanized for use with discrete and continuous-flow analyzer. Clin Chem. 26:110-113.

Gotz F, Bannerman T, Scleifer KH. 2006. The genera Staphylococcus and Macrococcus. Prokaryotes. 4:5-75.

Gunawan IWG, Bawa AG, Sutrisnayanti NL. 2008. Isolasi dan identifikasi senyawa terpenoid yang aktif antibakteri meniran (Phyllanthus niruri Linn.). J Kim.2(1):31-39.

Harbone JB. 1987. Metode Fitokimia. Ed ke-2. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah; Bandung (ID): ITB Pr. Terjemahan dari: Phytochemical Method.

Harper JC. 2007. Acne vulgaris. Birmington (US):Alabama Pr.

Harris LG, Foster SJ, Richards RG. 2002. An introduction to Staphylococcus aureus, and techniques for identifying and quantifying S. aureus adhesins in relation to adhesion to biomaterials:review. Eur Cells &Mat.4(1):39-60. Hoeffler U. 1977.Enzymatic and hemolytic properties of Propionibacterium acnes

and related bacteria.J Bacteriol.6:555-558.

Husein S, Parhusip A, Romasi EF. 2009. Study on antibacterial activity from "temulawak" (Curcuma xanthorriza Roxb.) rhizomes againts pathogenics microbes cell destruction. J Appl & Ind Biotechnol in Tropical Biol. 2(1):1-4.

(29)

Ingham E, Holland KT, Gowland G, Cunliffe WJ. 1981. Partial purification of lipase (EC 3e1e1 3) from Propionibacterium acnes. J General Microbiol. 124:393-401.

Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA, Brooks GE, Butel JS, Ornston LN. 1995. Mikrobiologi Kedokteran. Nugroho,Malany RF penerjemah. Jakarta (ID): EGC. Terjemahan dari: Medical Microbiology.

Joe B, Vijaykumar M and Lokesh BR. 2004. Biological properties of curcumin-cellular and molecular mechanisms of action. Critical Rev Food Sci Nutr. 44(2):97-112.

Kanafani H, Martin SE. 1985. Catalase and superoxide dismutase activities in virulent and non virulent Staphylococcus aureus isolates. J.Clin Microbiol.21(4):607-610.

Katno, Pramono. 2010. Meniran. Jakarta(ID): Trubus

Mahdi ES et al. 2011. Identification of phenolic compounds and assessment of in vitro antioxidants activity of 30% ethanolic extracts derived from two Phyllanthus species indigenous to Malaysia. African J. of Pharm & Pharmacol. 5(17):1967-1978

Mangunwardoyo W, Deasywaty, Usia T. 2012. Antimicrobial and identification of active compound Curcuma xanthorrizolRoxb. Int J Basic & Appl Sci. 12(01):69-78.

Murugaiyah V, Chan KL. 2007. Analysis of ligans from Phyllanthus niruri L. in plasma using a simple HPLC method with fluorescence detection and its application in a pharmacokinetic study. J. Chromatogr B.852:138-144. Nelson DL, Cox MM. 2007. Principles Of Biochemistry. New York (US): WH

Freeman.

Nissui. 2010. Apr. 2010's edition of the "Nissui" Product Catalogue. Japan: Fuji Jeizai.

Njoroge AD, Anyango B, Dossaji SF. 2012. Screening of Phyllanthus species for antimicrobial properties. Chem Sains J. 2(3):1-12

Paryanto I, Srijanto B. 2006. Ekstraksi kurkuminoid dari temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) secara perkolasi dengan pelarut etanol. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. 4(2):74-77

Prabandari NLPT. 2012. Aktivitas antijerawat formula campuran temu lawak dan meniran serta penentuan sidik jari kromatografinya [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rashid NYA. 2004. Chemical constituents and biological activities of Curcuma xanthorriza and Curcuma heyneana [tesis]. Peninsular (MS): Universiti Putra Malaysia.

Ryan KJ, Champoux JJ, Falkow S, Plonde JJ, Drew FC, Neidhhardt, Roy CG. 1995. Medical Microbiology, An Introduction to Infectious Diseases.Ed ke-3. Connecticut (US): Appleton & Lange.

[SK Menkes] Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 1994. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 661/Menkes/SK/VII/1994 Tentang Persyaratan Obat Tradisional. Jakarta. Singh D, Hatwar B, Nayak S. 2011. Herbal plants and Propionibacterium acnes:

an outerview. J IntBrazil. 2(9):486-498.

(30)

Vijay N, Shailesh K, Mohan SS, Naven P, Manu C. 2010. An evaluation of antimicrobial efficacy of acnano against some acne causing microorganism. Int J Drug. 2(1):134-140.

Voet G, Voet JG. 2011. Biochemistry. Ed ke-4. New Jersey (US): J Wiley. Warintek 2010. Temulawak. Jakarta (ID): Departemen Riset dan Teknologi. Warsa UC. 1994. Staphylococcus,di dalam:Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran.

Ed revisi. Jakarta (ID): Binarupa Aksara.

(31)

Lampiran 1Diagram alir penelitian

Uji pendahuluan: Kadar air dan kadar abu

Ekstraksi meniran dan temulawak dalam etanol 96%

FORMULA TERBAIK Uji antibakteri metode cakram

Penentuan KHM dan KBM

Isolasi katalase kasar dari S. aureus

Penentuan aktivitas inhibisi katalase

formula 1 dan 6 Formula 1

(Temulawak)

Formula 2 (Meniran)

Formula 3 T:M (1/2:1/2) Cara Indonesia

Formula 4 T:M:P (2/3:1/6:1/6) Cara Indonesia

Formula 5 ST : SM (1/2:1/2) Cara TCM

Formula 6 ST:SM:Pati (2/3:1/6:1/6)

Cara TCM

Keterangan:

T : Temu lawak M : Meniran

P : Pati ST :Simplisia temulawak

SM : Simplisia meniran

Isolasi S. aureus dan S. epidermidis dari isolat jerawat

(32)
(33)
(34)

Lampiran 5 Nilai Rf formula uji

Fase gerak Komponen Rf Fase gerak Komponen Rf

A

Kurkumin

0.46

B

Kuersetin 0.16 0.62

F2

0.08

0.79 0.42

F1

0.45 0.52

0.61 0.73

0.77 0.94

Kuersetin 0.24 Kuersetin 0.16

F6

0.44

F6

0.54

0.6 0.7

0.76 0.86

Kurkumin

0.46

Kurkumin

0.54

0.61 0.69

(35)
(36)

Lampiran 7 Aktivitas inhibisi formula 1 dan 6 terhadap isolat katalase

F1 (ppm) Absorbans Aktivitas katalase setelah penambahanF1 (mmol H2O2/mg enzim) (×10-3) penambahanF6 (mmol H2O2/mg enzim)

(×10-3)

Konsentrasi H2O2 (blangko) tanpa enzim

y = 2.459x +0.064

(37)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Rangkasbitung pada tanggal 13 Mei 1989 dari pasangan Suyanto dan Nuratikah. Penulis merupakan putri pertama dari 3 bersaudara.Tahun 2007 penulis lulus dari SMAN 1 Rangkasbitung dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor untuk program Diploma melalui jalur seleksi rapor.

Selama mengikuti perkuliahan D3, penulis pernah melaksanakan kegiatan

praktik kerja lapangan di Laboratorium Terpadu dengan judul laporan “Validasi

Metode Analisis Perak dalam Air Limbah secara Spektrofotometri Serapan

Atom.” Pada tahun yang sama, penulis mengikuti lomba Pekan Ilmiah Mahasiswa Tingkat Nasional dengan judul “Edukasi Pengembangan Sistem Motorik Kasar

Gambar

Gambar 3
Tabel 3  KHM dan KBM formula terhadap S. aureus (n = 3)
Gambar 12  Daya antibakteri formula terhadap  S. aureus dengan metode cakram
Tabel 5  Daya antibakteri formula terhadap S. aureus dan S. epidermidis dengan metode cakram

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik hipotesis bahwa minyak atsiri rimpang temu putih dan minyak atisiri kulit kayu lawang mempunyai aktivitas antibakteri

Rimpang temu putih ( Curcuma zedoaria (Berg.)Roscoe) dan kulit kayu lawang merupakan salah satu dari berbagai tanaman tradisional yang menghasilkan komponen fenol dalam minyak

AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL TANAMAN SERAI (Cymbopogon nardus (L.) Rendle) TERHADAP Staphylococcus aureus DAN Escherichia coli MULTIRESISTEN..

Judul Skripsi : Pengaruh Iradiasi Gamma pada Aktivitas Antibakteri Kombinasi Ekstrak Etanol Temu Putih ( Curcuma zedoaria (Christm.) Roscoe.) dan Sambiloto (

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan formula sediaan krim yang mengandung zat aktif propolis dan minyak lavender sebagai obat anti jerawat, serta melakukan pengujian

yang berjudul “ Aktivitas Antimikroba Ekstrak Daun Kunyit ( Curcuma domestica Val.) Terhadap Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Shigella dysentriae, dan

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Kelembaban Kandang Terhadap Kejadian Mastitis Subklinis dan Bovine

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Suhu Kandang Terhadap Kejadian Mastitis Subklinis dan Bovine