• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon masyarakat Patal Senayan terhadap tayangan bintang iklan sabun Lux di Televisi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respon masyarakat Patal Senayan terhadap tayangan bintang iklan sabun Lux di Televisi"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur. Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka dalam bermata pencaharian.1

Untuk melakukan interaksi antara individu satu dengan individu lainnya, bahasa merupakan salah satu alat bantu yang harus mereka gunakan untuk berkomunikasi menyampaikan segala maksud dan tujuan yang mereka butuhkan. Di setiap masyarakat mulai dari yang paling primitif hingga yang paling kompleks hal ini merupakan suatu keharusan. Tanpa bahasa dan komunikasi, mustahil suatu individu dapat menyampaikan maksud yang mereka butuhkan.

Sistem komunikasi menjalankan empat fungsi. Fungsi keempat yaitu menghibur sebagaimana dijelaskan oleh Jalaludin Rakhmat yang ia sunting dalam buku Sosiologi Komunikasi Massa karangan Charles R. Wright.2 Sedangkan ketiga fungsi lainnya dijelaskan oleh Harold Lasswell yaitu:

1. Penjagaan lingkungan yang mendukung;

1

http://id.wikipedia.com 2

(2)

2. Pengaitan berbagai komponen masyarakat agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan;

3. Pengalihan warisan sosial dari generasi ke generasi.

Dalam hal ini Wilbur Schramm menggunakan istilah yang lebih sederhana lagi, yakni sistem komunikasi sebagai penjaga, forum, dan guru. Ia dan sejumlah pakar juga menambahkan fungsi keempat tersebut, yaitu sumber hiburan.3

Charles Wright dari University Pensyvania menegaskan pentingnya fungsi keempat sistem komunikasi, yakni sebagai sumber hiburan. Dengan fungsi ini, banyak individu akan lebih mampu bertahan menghadapi ekspose komunikasi massa, termasuk penafsiran dan saran-sarannya, sehingga lebih mampu bertahan manghadapi arus kehidupan modern. Khususnya mengenai televisi, Gari Steiner, menegaskan pula pentingnya fungsi hiburan yang bukan hanya menyenangkan namun juga bisa mendidik.4

Media massa merupakan pusat atau objek dari kajian komunikasi massa. Lahirnya media massa merupakan salah satu produk dari kemajuan dunia informasi dan komunikasi. Media massa menyebarkan pesan-pesan yang mampu mempengaruhi khalayak yang menerimanya dan mencerminkan kebudayaan masyarakat, dan mampu menyediakan informasi secara simultan kepada khalayak luas yang anonim dan heterogen, membuat media menjadi bagian dari kekuatan institusional dengan masyarakat.5

3

William L. Rivers – Jay W. Jensen, Media Massa dan Masyarakat Modern, (Jakarta: PT. Prenada Media, 2004, Cet ke-1, h.33-34

4

William L. Rivers – Jay W. Jensen, Media Massa dan Masyarakat Modern, h. 35 5

(3)

Media massa, atau dalam hal ini disebut pula media jurnalistik, merupakan alat bantu utama dalam proses komunikasi massa.6 Sebab komunikasi massa sendiri, secara sederhana, berarti kegiatan komunikasi yang menggunakan media (communicating with media). Menurut Bittner sebagimana yang dikutip oleh Asep Saeful Muhtadi menyatakan bahwa komunikasi massa dipahami sebagai “message communicated through a mass medium to a large number of people,” suatu

komunikasi yang dilakukan melalui media kepada sejumlah orang yang tersebar di tempat-tempat yang tidak ditentukan. Jadi, media massa, menurutnya, adalah suatu alat transmisi informasi, seperti koran, majalah, buku, radio, dan televisi, atau suatu kombinasi bentuk-bentuk media itu.7

Masyarakat kita terdiri dari aneka latar belakang dan kultur yang berbeda. Karena itu, realitas budaya dari televisi harus diperhatikan. Media massa televisi, yang merupakan perwujudan dari budaya massa, juga perlu dilihat, sehingga acara-acara yang dimunculkan di layar kaca itu menjadi milik massa. Agar semua itu tercapai maka feed back dari masyarakat pemirsa hendaknya menjadi bahan masukan yang berharga bagi orang-orang yang menyelenggarakan siaran di televisi.8

Munculnya media televisi dalam kehidupan manusia memang menghadirkan suatu peradaban, khususnya dalam proses komunikasi dan informasi yang bersifat massa. Globalisasi informasi dan komunikasi setiap media massa jelas melahirkan suatu efek sosial yang bermuatan perubahan nilai-nilai

6

Komunikasi massa merupakan proses komunikasi yang menggunakan media massa (mediated), sebab itu, media massa menjadi objek kajian.

7

Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktek, (Jakarta: PT. Logos, Wacana Ilmu, 1999), h. 73

8

(4)

sosial dan budaya manusia. Televisi sebagai media massa yang muncul belakangan dibanding media cetak dan radio, ternyata memberikan nilai yang sangat spektakuler dan signifikan dalam sisi kehidupan manusia.

Kemampuan televisi dalam menarik perhatian massa menunjukkan bahwa media tersebut telah menguasai jarak secara geografis dan sosiologis. Media televisi pun pada akhirnya melahirkan istilah baru dalam pola peradaban manusia yang lebih di kenal dengan “Mass Culture” (kebudayaan massa). Manusia cenderung menjadi konsumen budaya massa melalui ‘kotak ajaib’ yang menghasilkan suara dan gambar (audio visual). Individu juga dihadapkan kepada realitas sosial yang tertayang di media massa yang terkadang menjadi cermin nilai dan gaya hidup dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat.

Pada akhirnya, media televisi menjadi alat atau sarana untuk mencapai tujuan hidup manusia, baik untuk kepentingan politik maupun perdagangan (ekonomi), bahkan melakukan perubahan ideologi serta tatanan nilai budaya manusia yang sudah ada sejak lama.9

Dalam perekonomian yang sehat, stasiun televisi dapat menjadi tambang emas bagi pemiliknya, namun dalam perekonomian yang lemah stasiun televisi hanya akan menghabiskan dana pemiliknya. Menjalankan stasiun televisi memerlukan imajinasi dan gairah, karenanya para pengelola televisi haruslah terdiri dari orang-orang yang kaya gagasan dan penuh energi. Selian itu, televisi menggunakan gelombang udara publik, sehingga televisi mempunyai tanggung jawab kepada pemirsanya melebihi bisnis lainnya dalam masyarakat.10

9

Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa Sebuah Analisis Media Televisi, h. 21-23 10

(5)

Sebagai media massa elektronik dan bertumpu kepada teknologi modern, maka televisi menjadi media dengan proses produksi yang mahal dan untuk menutupi biaya produksi itu stasiun televisi memerlukan dana dari pemasangan iklan. Namun, pemasang iklan hanya akan mau mengiklankan produknya pada stasiun televisi yang kredibel dan memiliki acara yang digemari dan banyak ditonton khalayak. Kredibelitas suatu stasiun televisi sebagian besar ditentukan oleh kualitas berita yang ditampilkan.11

Melalui saluran teknologi komunikasi yang ada dewasa ini, dalam sekejap saja sajian-sajian yang berasal dari negara maju telah sampai di negara berkembang. Di layar televisi kita sekarang dapat disajikan berbagai iklan. Di dalamnya tanpa disadari terselip falsafah masyarakat yang sudah berkelimpahan, yaitu falsafah konsumen.12

Di era globalisasi dan multi informasi ini iklan telah merambah ke setiap lorong waktu, gerak nadi dan sisi kehidupan semua lapisan manusia. Iklan dengan berbagai visi dan misi disampaikan kepada masyarakat kelas bawah hingga atas dengan meyakinkan. Mulai dari tukang obat maupun pengumbar syahwat hingga calon pejabat, mereka tidak segan-segan dan malu-malu berjanji, berorasi dan membeli dengan harga mahal jam tayang televisi dan radio maupun halaman koran dan majalah untuk menyampikan maksudnya.13

Iklan yang hadir dengan kemasan hiburan banyak memanipulasi gambar serta gaya bahasa juga akan mempengaruhi pemirsa. Seperti iklan barang

11

Morissan, Jurnalistik Televisi Mutakhir, h.7 12

Zulkarimein Nasution, Sosiologi Komunikasi Massa, h. 7.14 13

(6)

produksi yang ditayangkan. Persoalan ini pernah hangat dibicarakan para ahli dalam berita media massa sebagai budaya konsumerisme masyarakat.14

Hal yang dikhawatirkan dari paket acara televisi ialah dampak sikap perilaku pemirsa yang cenderung negatif serta keluar batas dari realitas sosial karena ingin mengidentikkan diri dengan kenyataan tayangan acara media televisi (film, iklan, musik, dan sinetron). Hadirnya media televisi di Indonesia, mau tidak mau harus diterima karena sudah merupakan satu kebutuhan informasi bagi masyarakat, agar kita tidak tertinggal oleh kemajuan peradaban teknologi sekaligus mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi di belahan dunia lain.15

Pada tahun 1923 Claude Hopkins menulis sebuah buku berjudul sciencetific Advertising. Di bagian awalnya ia menulis: ” Telah tiba saatnya bagi

iklan untuk menjadi sebuah ilmu tersendiri.” Hopkins, yang dikenal sebagai penulis naskah (copywriter) iklan kelas satu, hanya mengartikan iklan sebagai pengiriman lembar penawaran atau promosi lewat pos. Di masanya, iklan memang masih sederhana. Melalui bukunya itu sangat yakin bahwa banyak potensi yang bisa di gali lewat iklan.

Riset periklanan dewasa ini sangat canggih, dan terlalu rumit untuk diuraikan di sini. Dalam bukunya yang berjudul Advertising, Albert Frey menulis tentang empat jenis bujukan, yaitu:

”Bujukan primer: di maksudkan agar konsumen membeli satu jenis produk tertentu. Bujukan selektif: Agar konsumen membeli merek tertentu. Bujukan emosional: menggugah emosi konsumen agar membeli sesuatu. Bujukan rasional: agar konsumen mau berpikir dalam memilih suatu produk.”16

14

TVRI pada tahun 80-an pun melarang tayangan iklan dengan tujuan menekan gaya konsumerisme masyarkat dari produk-produk yang ditayangkan oleh media massa, terutama televisi yang memiliki kekuatan ganda (yaitu audio visual) untuk mempengaruhi masyarkat.

15

Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa Sebuah Analisis Media Televisi, h. 102 16

(7)

Iklan sudah bukan barang baru lagi dalam pertelevisian Indonesia. Bahkan iklan telah beranjak dari posisinya yang hanya ”jualan” menjadi bagian dari tontonan. Dengan durasi yang hanya beberapa saat, iklan bagaikan sebuah drama pendek dengan berbagai tema romantis, komedi, bahkan horor. Salah satu tayangan mendominasi layar kaca adalah iklan kosmetik. Tidak terhitung banyaknya iklan yang mengangkat tema seputar tubuh wanita ini. Mulai dari iklan shampoo hingga deodorant, bahkan iklan pembersih kelamin.17

Berbicara mengenai perempuan di media massa selalu menarik, baik di media cetak maupun media elektronik. Salah satu alasannya adalah karena dari ujung rambut hingga ujung kuku, perempuan adalah sasaran yang paling bernilai ekonomis. Seperti di ketahui sejak lama, perempuan menjadi bahan perbincangan menarik dikalangan masyarakat kebanyakan, khususnya untuk kaum laki-laki.

Hal ini terjadi antara lain, karena perempuan merupakan ciptaan Allah SWT yang menarik perhatian sepanjang masa. Tidak ada habisnya perempuan diperbincangkan, mulai dari kecantikannya, perilakunya, peran serta fungsinya, dan lain sebagainya. Wajar kalau kemudian di dalam Al-Qur’an tidak ditemukan satu surat pun secara jelas menyebut surat Al-Rijal, yang ada hanya surat An-Nisaa, serta ada hadits yang intinya menyebutkan surga berada di telapak kaki ibu

(kaum perempuan), tidak menyebutkan surga berada di telapak kaki bapak (kaum laki-laki).18

Tidak dapat dipungkiri banyak media yang menempatkan perempuan sebagai ikon pemuas sahwat. Mengeksploitasi perempuan dari sudut sensualitas maupun seksualitas. Tubuh perempuan dierotiskan untuk menunjukkan daya

17

http://www.atheis.com 18

(8)

tariknya, sehingga dapat menjadi kendaraan iklan. Tubuh tersebut juga menjadi media tempat segala macam aksesoris melekat. Dengan kata lain, tubuh perempuan dapat dibentuk atau dimanipulasi oleh budaya media. Perempuan adalah kekuatan produksi sekaligus konsumen aktif. Mereka mudah resah oleh kekurangan diri. Perempuan suka memuja tubuhnya sendiri, bahkan kadang berlebihan.

Keberadaan media telah menjadi cermin identitas perempuan, tempat di mana perempuan merasakan dirinya sebagai subjek, bagian dari kultur global. Apalagi media dengan kekuatannya dalam mempengaruhi opini publik mampu membentuk pemahaman akan definisi cantik. Misalnya bahwa seorang perempuan tergolong cantik bila berkulit putih, halus, langsing, berambut lurus dan tinggi. Sehingga perempuan terobsesi untuk mendapatkan tubuh dengan kriteria tersebut. Ujung-ujungnya tanpa mereka sadari, telah menjadi objek pemasaran dari sekian banyak iklan yang ditawarkan media untuk mendapatkan gambaran cantik tersebut.19

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis coba ingin melihat bagimana respon masyarakat patal senayan di RW.07, terhadap bintang iklan perempuan di televisi yang saat ini masih kontroversial di masyarakat. Dalam penelitian skripsi ini yang menjadi objek penelitian adalah bintang iklan sabun Lux. Maka Penulis memberi judul skripsi ini ”Respon Masyarakat Patal Senayan Terhadap Tayangan Bintang Iklan Sabun LUX Di Televisi.”

19

(9)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Supaya penelitian ini lebih terarah dan terfokus antara masalah yang dikemukakan dengan pembahasannya, maka perlu diberikan pembatasan dan perumusan masalah yang akan di teliti. Peneliti hanya membatasi masalah pada iklan sabun LUX, dan respon masyarakat Patal Senayan di RW 07 terhadap bintang iklan sabut LUX versi Tamara Blezensky, versi Dian SastroWardoyo, versi Luna Maya, dan versi Mariana Renata.

2. Perumusan Masalah

Dari pembatasan masalah di atas, maka peneliti dapat merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Mengapa Perempuan sering dipilih sebagai bintang Iklan?

2. Bagaimana respon masyarakat Patal Senayan terhadap bintang iklan sabun LUX versi Tamara Blezensky, versi Dian SastroWardoyo, versi Luna Maya, dan versi Mariana Renata?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan di atas, maka ada beberapa tujuan yang hendak dicapai penulis, yaitu:

(10)

b. Untuk mengetahui respon masyarakat Patal Senayan RW 07 terhadap bintang iklan perempuan sabun LUX versi Tamara Blezensky, versi Dian Sasro Wardoyo, Versi Luna Maya, dan versi Mariana Renata.

2. Manfaat Penelitian

Berdasarkan pada pokok permasalahan di atas, dalam penelitian ini diharapkan memiliki manfaat bagi Penulis dan masyarakat pembacanya, baik itu manfaat yang bersifat teoritis dan yang bersifat praktis, yakni:

a. Manfaat Teoritis.

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan informasi dan dokumentasi ilmiah untuk perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang ilmu dakwah dan komunikasi.

b. Manfaat Praktis

Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti dan masyarakat pada umumnya, dan khususnya untuk mahasiswa Dakwah dan Komunikasi, selain itu pula diharapkan penelitian ini dapat memberikan sebuah kontribusi positif bagi bintang iklan perempuan di televisi, agar lebih cerdas dalam menempatkan posisi dirinya di pandangan publik.

D. Metodologi Penelitian

A. Metode Penelitian

(11)

penghitungan untuk menghasilkan penaksiran kuantitatif yang tepat20. Selain itu, pendekatan kuantitatif pun memiliki obyektifitas yang dapat kita ketahui dan amati. Sedangkan desain penelitian ini adalah survei, dalam penelitian ini, peneliti ingin mensurvei dan mengetahui respon masyarakat Patal Senayan Kelurahan Grogol Utara terhadap tayangan ikan sabun Lux di televisi. Metode survei merupakan metode data yang ada pada saat penelitian dilakukan. Data dapat dikumpulkan melalui beberapa teknik, seperti quesioner/angket dan pengamatan atau observasi. Metode survei itu dapat berupa deskriftif dan dapat juga berupa survei analitik.21

B. Teknik Pengumpulan Data

1) Observasi, yaitu pengamatan dan pencatatan subjek dan objek yang sistematis terhadap gejala-gejala yang akan diteliti,22 baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap objek penelitiannya. Instrumen yang dipakai dapat berupa lembaran pengamatan, panduan pengamatan, dan lainnya.23 Dalam observasi, peneliti juga mewawancarai narasumber, yang terdiri dari narasumber PT. Unilever (Sabun Lux), Kelurahan Grogol Utara, dan masyarakat untuk memperoleh data, pemberian pertanyaan dapat berupa lisan dan tulisan.

20

Husein Umar, Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), Cet ke-6, h. 37

21

Irwan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 2004), h.. 9

22

Husni Usman dan Purnomo Setiadi Akbar, Metodelogi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 1998), Cet ke-2, h. 54

23

(12)

2) Angket, yaitu merupakan suatu pengumpulan data dengan memberikan atau menyebarkan data dengan memberikan atau menyebarkan daftar pertanyaan kepada responden dengan harapan memberikan respon atas daftar pertanyaan tersebut.24 Atau memberikan lembar angket yang berisi 20 pertanyaan. Angket yang disebarkan 18-19 dari setiap RT di RW 07 di wilayah Patal Senayan Grogol Utara Jakarta Selatan.

3) Wawancara, yaitu metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab antara dua orang atau lebih secara langsung.25 Pelaksanaannya dapat dilakukan secara langsung berhadapan dengan yang diwawancarai, tetapi dapat juga tidak secara langsung seperti memberikan daftar pertanyaan untuk dijawab pada kesempatan lain.26 Wawancara akan membantu mengungkapkan apa yang berkaitan dengan penelitian27 yaitu dengan mewawancarai narasumber yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu Senior Brand Manager Lux (Unilever) dan Pihak Kelurahan Grogol Utara Jakarta Selatan (Staff Prasarana Umum dan Wakil lurah).

4) Dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan data-data mengenai hal-hal yang akan diteliti, dan juga berhubungan dengan objek penelitian. Hal ini dengan cara mengumpulkan data melalui: internet, buku-buku dan lain sebagainya.

24

Husein Umar, Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, h.49 25

Sutrisno Hadi, Metode Research, (Jakarta: Adi Ofset, 1990), Cet ke-2, h. 193 26

Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi Dilengkapi Contoh Analisis Statistik, h. 51

27

(13)

C. Populasi dan Sampel a. Populasi

Yaitu Keseluruhan subjek penelitian, untuk keperluan penelitian ini diambil populasi dengan berpedoman kepada pendapat Suharsimi Arikunto: “apabila subjek kurang dari 100 orang, lebih baik diambil semua, sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subjeknya besar dapat diambil antara 10-15% atau lebih, tergantung setidak-tidaknya dari segi waktu, tenaga, dan dana”28. Dalam penelitian ini, yang digunakan adalah sample random atau sample acak. Teknik sampling ini diberi nama demikian karena di dalam pengambilan sampelnya, peneliti “mencampur” subjek-subjek di dalam populasi sehingga semua subjek dianggap sama. Dengan demikian maka peneliti memberi hak yang sama kepada setiap subjek untuk memperoleh kesempatan dipilih menjadi sampel

b. Sampel

Yaitu Bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu yang juga memiliki karakteristik tertentu, jelas dan lengkap yang dianggap bisa mewakili populasi.

Berdasarkan pendapat tersebut dalam penelitian ini diambil sampel sebesar 10% dari populasi 1640 orang, dari masyarakat Patal Senayan Kelurahan Grogol Utara Kecamatan kebayoran Lama. Adapun teknik pengambilan sample, dengan teknik acak sederhana (random sampling), sehingga sample dalam penelitian ini berjumlah 164 orang,

28

(14)

D. Teknik Analisis Data

Dari data yang dikumpulkan dengan penelusuran melalui literatur penelitian secara langsung, kemudian peneliti menganalisisnya secara deskriptif.

a. Deskriftif yaitu menerangkan, menggambarkan dan menginterpretasikan data yang telah terkumpul secara apa adanya dalam laporan penelitian data-data yang diperoleh melalui angket, kemudian diproses dengan beberapa tahapan sebagai berikut:

1. Editing, yaitu memeriksa jawaban-jawaban yang diperoleh dari angket, kemudian dijumlahkan sesuai dengan pengelompokkannya.

2. Tabulating, yaitu dengan menjawab jawaban-jawaban selanjutnya

yang dinyatakan dalam bentuk tabel, sebelumnya diberi kode dan dihitung prosentasenya, sehingga dapat diketahui kecenderungan tiap-tiap alternatif jawaban.

3. Kesimpulan, yaitu memberikan kesimpulan dari hasil analisa dan penafsiran data. Analisa yang dilakukan oleh peneliti dengan jalan prosentase dalam bentuk verbal dan dikemukakan juga data kuantitatif dalam bentuk tabel.

Semua tahapan tersebut akhirnya dijelaskan pedeskripsiannya dalam bentuk kata-kata maupun angka sehingga menjadi bermakna.

b. Prosentase, data yang diperoleh dan deskripsi kualitatif kemudian diolah menjadi analisa statistik deskriptif dengan menggunakan statistik persentase, sbb:

(15)

Ket: P = Besarnya Persentase

F = Frekuensi (Jumlah Jawaban responden) N = Jumlah Responden29

Adapun teknik penulisan skripsi ini, berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, yang diterbitkan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta CeQDA Tahun 2007.

E.Sistematika Penulisan

Dalam skripsi yang akan penulis bahas ini terdiri dari lima bab masing-masing bab terdiri dari sub bab, yakni:

BAB I PENDAHULUAN Membahas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II KAJIAN TEORITIS Membahasa tentang ruang lingkup respon, Televisi Iklan dan Masyarakat, Perempuan dan Media Massa.

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN Membahasa

tentang Profil wilayah penelitian dan Profil sabun LUX.

BAB IV RESPON MASYARAKAT PATAL SENAYAN TERHADAP

TAYANGAN IKLAN SABUN LUX DI TELEVISI Membahas

hasil penelitian dan analisis perempuan sebagai bintang iklan sabun LUX di televisi.

BAB V PENUTUP Membahas kesimpulan dan saran-saran.

29

[image:15.595.112.518.194.680.2]
(16)

BAB II

KAJIAN TEORITIS

A. Ruang Lingkup Respon

Ruang lingkup respon terbagi atas, Pengertian respon, macam-macam respon, dan teori stimulus-respon.

1. Pengertian Respon

Dalam Kamus lengkap Psikologi disebutkan bahwa “Respon adalah sebarang proses otot atau kelenjar yang dimunculkan oleh suatu perangsang; atau berarti satu jawaban, khususnya satu jawaban bagi pertanyaan tes atau satu kuisioner, atau bisa juga berarti sebarang tingkah laku, baik yang jelas kelihatan atau yang lahiriah maupun yang tersembunyi atau tersamar.30

Respon berasal dari kata response, yang berarti jawaban, balasan atau tanggapan (reaction).31 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa “respon adalah tanggapan, reaksi, atau jawaban terhadap suatu gejala atau peristiwa yang terjadi.”32 Dalam Kamus Besar Ilmu pengetahuan disebutkan bahwa “Respon adalah reaksi psikologia-metabolik terhadap tibanya suatu rangsangan, ada yang bersifat otonomis seperti refleks dan reaksi emosional langsung, adapula yang bersifat terkendali.”33

30

J.P.Chaplin, Kamus lengkap psikologi, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), Cet ke-9, h. 432

31

M. John Echils, dan Shadily Hassan, Kamus Bahasa Inggris Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia, 2003, Cet. Ke 27, h. 481

32

Pusat Bahasa Depdiknas, kamus besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), edisi ke-3, h. 585

33

D. Save Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Lembaga Pengjkajian dan kebudayaan Nusantara, 1997), Cet ke-1, h. 964

(17)

Pengertian di kamus Besar Bahasa Indonesia, menurut Poerwadarminta, Respon diartikan sebagai tanggapan, reaksi, dan jawaban.34 Respon akan muncul dari penerimaan pesan setelah sebelumnya terjadi serangkaian komunikasi. Dan menurut Ahmad Subandi, mengemukakan respon dengan istilah umpan balik (feed back) yang memiliki peranan atau pengaruh yang besar dalam menentukan baik atau tidaknya suatu komunikasi.35

Sementara itu, Agus Sujanto mengemukakan bahwa yang disebut tanggapan adalah “gambaran pengamatan yang tinggal di kesadaran kita sesudah mengamati.”36 Secara umum tanggapan dapat diartikan sebagai hasil atau kesan yang didapat (yang tertinggal) dari pengamatan. Jadi pengertian tanggapan adalah ingatan dari pengamatan. Menurut Abu Ahmadi, tanggapan sebagai salah satu fungsi jiwa yang pokok, dapat diartikan sebagai gambaran ingatan dari pengamatan dalam mana objek yang telah diamati tidak lagi berada dalam ruang waktu pengamatan. Jadi, jika proses pengamatan sudah berhenti hanya kesannya saja. Peristiwa itu disebut sebagai “tanggapan”.37

Respon merupakan timbal balik dari apa yang dikomunikasikan terhadap orang-orang yang terlibat proses komunikasi. Komunikasi menampakkan jalinan sistem yang utuh dan signifikan, sehingga proses komunikasi hanya akan berjalanan secara efektif dan efisien apabila unsur-unsur di dalamnya terhadap keteraturan.

Dalam hubungan ini, berkaitan dengan model proses komunikasi yang ditampilkan oleh Philip Kotler dalam bukunya, Marketing Management, yang

34

Poerwadarminta, Psikologi Komunikasi, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1999), Cet ke-2, h. 43

35

Ahmad Subandi, “Psikologi Sosial”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), Cet ke-11, h. 50 36

Agus Sujanto, “Psikologi Umum”, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), Cet ke-11, h.31 37

(18)

berdasarkan paradigma Harold D. Lasswell Who Says what in Which Channel To Whom With What Effect? (Siapa Mengatakan Apa Melalui Saluran Apa Kepada

Siapa Dengan Efek Apa). 38

2. Macam-macam Respon

Subjektifitas manusia berada secara bebas dalam bidang stimulus yang mereka terima maupun yang mereka hasilkan. Titik berat perspektif ini pada teori belajar yang memandang bahwa perilaku manusia seperti suatu rangkaian Stimulus – Respon (S – R). Setiap orang dapat memodifikasi stimulus yang mereka terima (pesan dimodifikasi oleh stimulus yang diterimanya). Perilaku manusia pertama-tama dilukiskan sebagai sesuatu yang sederhana ini segera dimodifikasi dengan memperbesar tekanan pada organisme (O). Perilaku manusia dari notasi itu ditulis dalam S – O – R. Ketika Ilmuwan menjelaskan bahwa organisme sangat aktif sebagai penangkap stimulus. Dalam hal ini (O) menunjukkan adanya pemrosesan mental atau penyaringan konsep yang terjadi dalam organisme manusia.39

Respon dapat berarti efek atau tanggapan, yang berasal dari perkembangan penelitian efek komunikasi massa. Menurut Steven M. Chafee, ada tiga pendekatan dalam melihat efek media massa, pendekatan yang pertama yaitu kecenderungan melihat efek media massa, baik yang berkaitan dengan pesan maupun media itu sendiri, sedangkan pendekatan yang kedua adalah melihat jenis perubahan yang terjadi pada diri khalayak komunikasi massa, baik itu dalam hal penerimaan informasi, perubahan perasaan atau sikap, dan perubahan perilaku,

38

Onong Uchjana Effendi, Ilmu Komunikasi, (Bandung: PT.RosdaKarya, 1999), Cet ke 12

39

(19)

atau dengan istilah lain, perubahan kognitif, afektif, dan behavioral. Pendekatan ketiga menuju satuan observasi yang dikenai efek komunikasi massa, seperti individu, kelompok, organisasi, masyarakat atau bangsa.40

Dalam hal ini, perubahan kognitif, afektif, dan behavioral disebut juga sebagai respon kognitif, respon afektif, dan respon konatif (behavioral), Berikut ini adalah penjelasan dari jenis-jenis respon tersebut:

1) Respon Kognatif, adalah respon yang berhubungan dengan pikiran atau penalaran, sehingga khalayak yang semula tidak tahu, yang tadinya tidak mengerti, yang tadinya bingung menjadi merasa jelas.41 Atau terjadi bila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami, atau dipercayai, atau dipersepsi khalayak. Hal ini berkaitan dengan transmisi pengetahuan, keterampilan, kepercayaan, atau informasi.

2) Respon Afektif, adalah respon yang berkaitan dengan perasaan, timbul bila ada perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi, atau dibenci khalayak. Hal ini berkaitan dengan emosi, sikap, atau nilai.

3) Respon Konatif (behavioral), adalah respon yang merujuk pada perilaku nyata yang dapat diamati; yang meliputi pola-pola tindakan, kegiatan, atau kebiasaaan berperilaku.42

Sejak manusia lahir, sejak itulah manusia langsung menerima stimulus, sekaligus dituntun untuk menjawab dan mengatasi semua pengaruh. Manusia dalam pertumbuhannya menjawab dan mengatasi semua pengaruh dari dirinya, untuk mengembangkan fungsi alat inderanya sesuai fungsinya, terus

40

Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), Cet ke-21, h. 218

41

Prof. Onong Uchjana effendi, Ilmu Toeri, dan Filsafat Komunikasi, h. 318 42

(20)

memperhatikan, menggali segala sesuatu disekitarnya, Allah SWT telah mengisyaratkan bahwa manusia harus berusaha menggunakan alat inderanya dalam menggali lingkungan sekitar serta aspek eksternal (yang mempengaruhi dari luar diri manusia) seperti dikatakan Bimo Walgito “Alat indera itu penghubung antara individu dengan dunia luarnya.”43

Seseorang yang melakukan tanggapan satu waktu menerima bersama-sama stimulus. Supaya stimulus dapat disadari oleh individu, stimulus harus cukup kuat, apabila stimulus tidak cukup kuat bagaimanapun besarnya perhatian dari individu, stimulus tidak akan ditanggapi atau disadari oleh individu yang bersangkutan, dengna demikian ada batas kekuatan yang minimal dari stimulus, agar stimulus dapat memindahkan kesadaran pada indivudu. Batas kekuatan minimal stimulus yang dapat menimbulkan kesadaran pada individu tersebut ambang stimulus. Kurang dari kekuatan tersebut individu tidak akan menyadarinya.44

3. Teori Stimulus - Respons

Pada pasca Perang dunia I, ketakutan terhadap propaganda telah mendramatisasikan efek media massa. Harold Laswell membuat disertasinya tentang teknik-teknik propaganda analisis menganalisa teknik-teknik propaganda pada perang Dunia I. The Institude for Propoganda Analysis menganalisa teknik-teknik propaganda yang dipergunakan oleh pendeta radio Father Coughlin. Pada saat yang sama, behaviorisme dan psikologi instink sedang popular di kalangan

43

Bimo Walgito, Pengantar psikologi Umum, (YogY: UGM, 1996), h. 53 44

(21)

ilmuwan. Dalam hubungan dengan media massa, keduanya melahirkan apa yang disebut Melvin De Fleur (1975) sebagai “Instinctive S – R theory”.45

Model stimulus – respons (S - R) adalah yang semula berasal dari psikologi, yang muncul antara tahun 1930 dan 1940. Model komunikasi paling dasar menunjukkan komunikasi sebagai suatu proses “aksi-reaksi” yang sangat sederhana. Jadi model S-R mengasumsikan bahwa kata-kata verbal (lisan-tulisan), isyarat-isyarat non verbal, gambar-gambar, dan tindakan-tindakan tertentu akan merangsang orang lain untuk memberikan respon.46

Kemudian, teori stimulus-respon ini dikembangakan oleh Paul Lazarfeld pada tahun 1940, yang mengajukan gagasan mengenai komunikasi dua tahap (two step flow) dan konsep pemuka pendapat (opinion leaders). Ini merupakan aliran

kedua yang beranggapan bahwa proses pengaruh dari media massa tidak terjadi secara langsung, melainkan melalui perantaraan hubungan komunikasi anatarpribadi. Pemuka pendapat memperoleh informasi dari media, dan kemudian dapat merekomendasikan dan mengkonfirmasi perubahan sikap dan perilaku di sekitarnya.47

Dalam bentuk eksperimen, penelitian dengan model ini dilakukan Hovland. Model ini juga sering disebut “bullet theory” (teori peluru) karena komunikasi dianggap secara pasif menerima pesan-pesan komunikasi. Bila kita menggunakan komunikator yang tepat, pesan yang baik, atau media yang benar. Komunikasi dapat diarahkan sekehendak kita, Karena behaviorisme amat

45

Werner J. Severin-James W. Tankard, Jr, Teori Komunikasi, (Jakarta: PT.Kencana, 2005), Cet ke-5, h.127

46

Dedy Mulyana, “Ilmu Komunikasi”,

47

(22)

mempengaruhi model ini, DeFleur menyebutnya sebagai “the mechanistic” S-R theory”.48

Teori S-O-R sebagai singkatan dari Stimulus-Organism-Response, ini semula berasal dari psikologi. Kalau kemudian menjadi juga teori komunikasi, tidak mengherankan, karena objek material dari psikologi dan ilmu komunikasi adalah sama, yaitu manusia yang jiwanya meliputi komponen-komponen: sikap, opini, perilaku. Kognisi, afeksi dan konasi.

Menurut teori ini, efek yang ditimbulkan adalah reaksi khusus terhadap stimulus khusus, sehingga seseorang dapat mengharapakan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan. Jadi unsur unsur-unsur dalam model ini adalah Pesan (Stimulus, S), Komunikan (Organism, O), dan Efek (Respon, R).

Dalam proses komunikasi berkenaan dengan sikap adalah asfek “how” bukan ‘what” dan “why”. Dalam hal ini how to change the attitude, bagaimana mengubah sikap komunikan. Dalam proses perubahan sikap tampak bahwa sikap dapat berubah, hanya jika stimulus yang menerpa benar-benar melebihi semula. Stimulus atau pesan yang disampaikan kepada komunikan mungkin diterima atau mungkin ditolak. Komunikasi akan berlangsung jika ada perhatian dari komunikan.

Stimulus atau pesan yang disampaikan kepada komunikan mungkin diterima atau mungkin ditolak. Komunikasi akan berlangsung jika ada perhatian dari komunikan. Proses berikutnya komunikan mengerti. Kemampuan komunikan

48

(23)

inilah yang melanjutkan proses berikutnya. Setelah komunikan mengolah dan menerimanya, maka terjadilah kesediaan untuk mengubah sikap.49

Teori S-O-R adalah salah satu aliran yang mewarnai teori-teori yang terdapat dalam komunikasi massa. Aliran ini beranggapan bahwa media massa memiliki efek langsung yang dapat mempengaruhi individu sebagai audience (penonton atau pendengar)50

Prinsip stimulus respon pada dasarnya merupakan suatu prinsip belajar yang sederhana, di mana efek merupakan reaksi terhadap stimulti tertentu. Dengan demikian seseorang dapat mengharapkan atau memperkirakan suatu kaitan erat antara pesan-pesan media dan reaksi audience. Elemen-elemen utama dari teori ini adalah pesan (stimulus), seorang penerima/receiver (organisme), dan efek (respon)51

B. Televisi, Iklan dan Masyarakat

1. Hubungan Televisi Dengan Masyarakat

Sejarah televisi belum terlalu lama di dunia. Demonstrasi pertama siaran televisi dilakukan di Amerika Serikat dan Inggris 70 tahun lalu. Dengan berbagai percobaan, siaran komersial televisi berkembang setelah Perang Dunia II. Di negara kita, televisi diperkenalkan tahun 1962. masuknya televisi ke Indonesia (tepatnya ke Jakarta) pada waktu itu berhubungan erat dengan peristiwa olah raga Asia ke-4 (The 4th Asian Games) di mana Indonesia mendapat giliran menjadi tuan rumah. Peresmian televisi bersama dengan dibukanya peristiwa olahraga itu

49

Onong Uchana Effendi, Ilmu, Teori, dan Fisafat Komunikasi, ( Bandung: PT. Citra Adytia Bakti, 2003), Cet ke-3, h. 254-256

50

S. Djuarsa Sendjaja, Teori Komunikasi, Cet ke-9, h. 520 51

(24)

oleh Presiden Soekarno tanggal 24 Agustus 1962. Tujuan utama pengadaan televisi ialah untuk kegiatan kejuaraan dan pertandingan selama pesta olah raga berlangsung.52

Usulan untuk memperkenalkan televisi muncul jauh di tahun 1953, dari sebuah bagian di Departemen Penerangan, didorong oleh perusahaan-perusahan AS, Inggris, Jerman, Jepang, yang berlomba-lomba menjual hardwarenya. Menjelang Asian Games ke-4 di Jakarta pada 1962, Soekarno dan Kabinet akhirnya yakin akan perlunya televisi, dengan alasan reputasi internasional Indonesia tergantung pada Pekan Olahraga yang disiarkan, terutama ke Jepang (yang telah memiliki televisi sejak awal 1950-an).

Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memasukkan proyek media massa televisi ke dalam proyek pembangunan Asia Games IV di bawah koordinasi urusan proyek Asean Games IV. Tanggal 25 Juli 1961, Menteri Penerangan mengeluarkan SK Menpen No. 20/SK/M/1961 tentang pembentukan Panitia Persiapan Televisi (P2T). Satu tahun sebelum SK Menpen tersebut, sebenarnya telah ada ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960, yang dalam Bab I lampiran A dinyatakan pentingnya pembangunan siaran televisi untuk kepentingan pendidikan nasional (Dirjen RTF, 1995:88)

Pada 32 Oktober 1961, Presiden Soekarno yang sedang berada di Wina mengirimkan teleks kepada Menpen Maladi untuk segera menyiapkan proyek televisi (saat itu waktu persiapan hanya tinggal 10 bulan) dengan agenda utama: (1) membangun studio di eks AKPEN di Senayan (TVRI sekarang); (2)

52

(25)

membangun dua pemancar; 100 watt dan Kw dengan towewr 80 meter; dan (3) mempersiapkan software (program) serta tenaga.53

Televisi adalah salah satu media komunikasi massa, yang semakin memanjakan khalayak, karena televisi memiliki sifat audiovisual. Banyak yang mengatakan media televisi sebagai salah satu pioneer dalam penyebaran informasi dan dengan menggunakan perangkat satelit, kini menjadi media informasi yang terus berkembang pesat.54 Perkembangan pesat komunikasi massa dewasa ini dikarenakan bergantungnya manusia dengan keberadaan media massa.

Televisi adalah generasi baru media elektronik yang dapat menyampaikan pesan-pesan audio dan visual secara serentak. Pesan visual yang disampaikan televisi dapat berupa gambar diam ataupun gambar hidup. Yang terakhir ini, bila disajikan secara kreatif dalam tata warna yang tepat, dan diiringi oleh pesan aural yang sesuai, akan dapat menyuguhkan realita yang ada. Oleh karena itu, televisi berhasil memikat lebih banyak khalayak daripada media massa lainnya.

Televisi memiliki beberapa sifat yang sama dengan radio. Pertama, televisi dapat mencapai khalayak yang besar sekali, dan mereka itu, tetap dapat mengambil manfaat, sekalipun tidak bisa membaca. Kedua, televisi dapat dipakai untuk mengajarkan banyak subjek dengan baik. Akan tetapi, pengajaran itu akan lebih efektif bila diikuti dengan diskusi dan aktivitas lain. Ketiga, Televisi, sama seperti radio, dapat bersifat otoritatif dan bersahabat.

Seperti media massa lainnya, televisi dapat dipakai untuk memberi tahu rakyat tentang berbagai hal yang menyangkut pembangunan nasional, membantu

53

Muhamad Mufid, Komunikasi Dan Regulasi Penyiaran, (Jakarta: PT. Prenada Media, 2005), Cet ke-1, h. 47-48

54

(26)

rakyat berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, dan mendidik rakyat agar memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam pembangunan sosial maupun ekonomi.55

Seiring perkembangan zaman, televisi bukan lagi sebagai ajang pendidikan dan dakwah. Akan tetapi, lebih banyak mempertontonkan tayangan yang mengumbar nafsu. Banyak tayangan yang tidak lagi mencerminkan jati diri bangsa dan adat ketimuran yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Satu misal adegan film dengan menampilkan adegan kasar (beringas) atau sinetron dengan halusinasi berlebih yang membuat masyarakat kita menjadi pengkhayal ulung. Ditambah dengan pose telanjang dan adegan panas yang bikin jantung deg-degan serta seabrek acara vulgar lainnya. 56

Sebagai primadona media, televisi memberikan imbas media yang luar biasa bagi kehidupan masyarakat. Bahkan kehadirannya yang masif, dengan berbau kapitalistiknya yang kental, langsung tidak langsung berpengaruh pada perilaku dan pola pikir masyarakat Indonesia. Apalagi dalam deretan media informasi, media ini memiliki daya penetrasi jauh lebih besar daripada media lain.

Tanpa kemampuan untuk mengambil jarak bagi munculnya sifat kritis, televisi memiliki kemampuan untuk membius, membohongi, dan melarikan masyarakat pemirsanya dari kenyataan-kenyataan kehidupan sekelilingnya. Televisi memiliki kemampuan manipulatif untuk menghibur, jauh dibanding media-media lainnya. Apalagi, jika media televisi tersebut dibangun dan

55

Amri Jahi, Komunikasi Massa dan Pebangunan Perdesaan Di Negara-negara Dunia Ketiga: Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Gramedia, 1988), h. 140

56

(27)

ditumbuhkan oleh orientasi laba secara ekonomi, tanpa regulasi yang jelas, serta tanpa lembaga kontrol yang memadai.57

Media massa sering dituduh sebagai mesin yang memproduksi budaya popular, konsumerisme, hidup mudah dan mewah tanpa memandang realitas kultural dan ekonomi yang masih terbelakang. Hal ini tidak saja pada porsi iklan yang menjanjikan dan menjual mimpi, tetapi juga menu yang disajikan oleh stasiun-stasiun TV, utamanya TV swasta nasional, meskipun menarik dan agaknya cukup bagi kita menikmati acara-acara yang bagus dan lengkap, seperti mempresentasikan berbagai problem sosial, politik, ekonomi, dan hiburan lewat kaca yang memang sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas.

Melihat tayangan – tayangan iklan di TV, cenderung memanipulasi seks sebagai suatu daya tarik. Padahal, kita sebetulnya bisa membuat iklan–iklan TV yang tetap menarik tanpa memanipulasi seks. Coba saja lihat dalam iklan apa pun.,unsur seksnya selalu ada. Bahkan terkadang sangat tidak relevan dengan iklan yang disampaikan. Karena seks terlalu di obral secara murahan, beberapa pelanggaran seks nantinya akan di anggap sangat lumrah dan wajar. Jadi, akan terjadi suatu proses untuk melumrahkan seks.

Di sini kemudian ada faktor peranan para pemasang iklan. Repotnya, iklan adalah jantungnya TV. TV itu tidak bisa hidup tanpa iklan. Karena itu, iklan secara tidak langsung mempengaruhi jenis program yng akan ditayangkan. Mereka baru mensponsori suau program, apabila program itu mereka asumsikan menarik. Mungkin banyak yang beranggapan, program-program yang bersifat

57

(28)

edukatif tidak banyak menyaring iklan karena tidak akan banyak menjaring penonton.58

Iklan adalah berita pesanan (untuk mendorong, membujuk) kepada khalayak ramai tentang benda dan jasa yang ditawarkan. Atau juga dapat bermakna sebagai pemberitahuan kepada khalayak ramai mengenai barang dan jasa yang dijual dipasang di dalam media massa, seperti surat kabar dan majalah. Iklan adalah penyampaian pesan untuk mempersuasi khalayak sasaran tertentu.59

Pada mulanya iklan televisi merupakan subkajian studi masyarakat dan komunikasi massa, kemudian bersentuhan dengan studi media massa dan sosiologi media serta konstruksi sosial. Di saat iklan memasuki era iklan televisi, pesan-pesan iklan menjadi semakin hidup, bergairah, dan memenuhi sasaran secara lebih efektif bila dibandingkan dengan iklan melalui medium lainnya.

Sebagaimana diketahui, iklan televisi adalah wacana publik dalam ruang sosiologis yang telah menghidupkan diskusi-diskusi tanpa henti di kalangan anggota masyarakat. Sekilas wacana iklan televisi ini menunjukkan adanya kekuatan media (khususnya televisi) dalam mengkonstruksi realitas sosial di masyarakat.

Iklan televisi adalah sebuah aktivitas di dalam dunia komunikasi, karenanya cara kerja iklan juga menggunakan prinsip komunikasi. Iklan televisi adalah media untuk mengkomunikasikan individu (masyarakat pemirsa) dengan materi produk yang diiklankan. Dan untuk membangkitkan citra produk yang diiklankan, maka digunakan simbol-simbol untuk membangunkan citra, maka digunakan simbol-simbol untuk membangun citra, makna serta kesadaran

58

Deddy Mulyana – Idi Subandy Ibrahim, Bercinta dengan Televisi, h. 228-232 59

(29)

terhadap sebuah realitas sosial. Simbol-simbol yang dimaksud adalah simbol yang menjadi acuan di masyarakat atau dengan kata lain adalah simbol-simbol yang dimodernkan oleh masyarakat.

Dengan realitas sosial iklan televisi, penciptaan realitas dilakukan bersama-sama antara pencipta iklan dan media televisi. Dengan kata lain individu tidak sendirian menciptakan realitas, namun penciptaaan itu dibantu oleh kekuaatan media, bahkan tanpa media televisi sekalipun realitas itu tidak ada. Dengan demikian, realitas iklan televisi hanya ada dalam media televisi, baru kemudian terjadi proses decoding dan recoding oleh pemirsa saat dan setelah ia menonton televisi. Proses ini berlangsung di dalam kognisi pemirsa dan membentuk theater of mind di dalam pikiran mereka.60

Iklan memang tidak berusaha meningkatkan kualitas individu atau masyarakat, karena iklan hanya menonjolkan nilai-nilai matererial. Meskipun pengaruhnya tidak kalah dari institusi-institusi lainnya, iklan tidak punya tujuan maupun tanggung jawab sosial. Di sinilah iklan sering dikritik. Disamping itu, iklan juga tidak selamnya peduli terhadap soal benar atau salah. Iklan hanya berurusan dengan soal bagaimana mempengaruhi nilai-nilai perilaku orang-orang sebagai konsumen, serta mendorong mereka untuk melakukan konsumsi.61

Televisi dan Ideologi Budaya Massa

Budaya massa ini merupakan suatu fenomena kultur yang tak terpisahkan dengan masyarakat urban perkotaan yang pada dewasa ini berkembang pesat dan

60

Burhan Bungin, Imaji Media Massa, (Yogyakarta: PT. Jendela, 2001), Cet ke-1, h. 39-42

61

(30)

penuh dengan nuansa kontroversi. Budaya ini pun mempunyai kaitan yang tak terpisahkan dengan industrisasi, urbanisasi, komunikasi massa. Sedemikian erat hubungan antara komponen tersebut sehingga sulit budaya massa tumbuh dalam suatu masyarakat yang tidak didukung oleh komponen-komponen.

Jary dan Jary dalam Collins Distionary of Sociology (1991), memberi batasan bahwa budaya massa (massa culture) adalah produk-produk budaya yang relatif terstandarisasi dan homogen, baik berupa barang-barang maupun jasa, dan pengalaman-pengalaman kultural, yang berasosiasi kepadanya, yang dirancang untuk merangsang kelompok terbesar dari populasi masyarakat.62

Perkembangan komunikasi massa media TV cukup membawa pengaruh besar dalam kehidupan sistem komunikasi massa internasional, khususnya terhadap sistem komunikasi massa media cetak dan elektronik. Tanpa kendali kultural dan spiritual, kita boleh khawatir perkembangan teknologi media informasi akan menyebabkan umat manusia cenderung hanyut dalam interaksi yang bermuara pada konflik politik, sosial, dan ekonomi.

Media merupakan sarana informasi paling efisien dalam masyarakat modern. Ia bertindak sebagai jalur sosialisasi, penyebar semangat, dan mampu menempatkan diri sebagai penyampaian sebuah tatanan nilai dan perilaku sebagaimana diharapkan masyarakat.

Media TV melahirkan istilah baru yang dalam pola peradaban manusia disebut sebagai mass culture (kebudayaan massa). Manusia cenderung menjadi konsumen budaya massa melalui “kotak ajaib” yang menghasilkan suara dan gambar (audio dan video).

62

(31)

Daya tarik televisi sedemikian besar, sehingga pola-pola kehidupan rutinitas manusia sebelum muncul televisi (dan juga muncul televisi swasta), akhirnya berubah total sama sekali. Jam menonton TV yang ketika TVRI hanya ditonton saat malam hari, menjadi berubah begitu TV swasta mengumbar jam tayangan dari pagi sampai dini hari.

Media televisi menjadi pantauan baru (news religius) bagi kehidupan manusia.TV menjadi sebuah kebutuhan bagi manuasia sehari-hari. Ibaratnya, tidak menonton TV sama saja artinya merelakan diri untuk tertinggal informasi. Tidaklah berlebihan bila TV kemudian menjadi sasaran untuk mencapai tujuan63

Kehadiran TV merupakan tanda dari perubahan peradaban suatu ujung garis continum budaya ke ujung garis continum yang lain. Pada saat TV mulai menggantikan institusi keluarga, teman, dan komunitas sebagai titik pusat peradaban, maka titik interaksi dan pembentukan nilai terpusat pada TV. Peran orang tua bergeser pada saat remote control berada di tangan seorang penonton yang kemudian mengendalikan serangkaian nilai dengan cara menghadirkan “suatu” yang dipilih dalam proses konsumsi waktu luang.64

Cultural Studies, terutama Cultural studies feminis, menurut kritikus

berkebangsaan Belanda len Ang, mesti memutuskan hubungan dengan ideologi budaya massa. Dia melihat kesenangan sebagai konsep kunci dalam politik budaya feminis yang ditransformasikan. Cultural studies feminis harus berjuang keras melawan ‘paternalisme ideology budaya massa (yang di situ) kaum perempuan dilihat sebagai korban pasif dari pesan-pesan opera sabun yang memberdayakan kesenangan-kesenangan (mereka) sama sekali dikesampingkan’.

63

Priyo Soemandoyo, Wacana gender Dan Layar Televisi, Cet ke -1, h. 18-19 64

(32)

Kesenangan seharusnya tidak dikutuk sebagai kendala bagi tujuan feminis membebaskan kaum perempuan. Pertanyaan yang diajukan Ang adalah: bisakah kesenangan, melalui identifikasi dengan perempuan cengeng atau perempuan yang secara emosional masokitis dalam opera sabun, punya makna bagi perempuan yang sikap politiknya relatif independent?’ Jawabannya adalah ya: fantasi dan fiksi, dengan penjelasan demikian:

“Fiksi dan fantasi adalah sumber kesenangan sebab ia menempatkan

‘realitas’ dalam selingan, sebab ia membangun solusi-solusi imajiner bagi

kontradiksi-kontradiksi nyata yang dalam kesederhanaannya yang

fiksionalitasnya yang sederhana keluarlah kompleksitas hubungan sosial

yang membosankan berkenaan dengan dominasi dan subordinasi”. 65

Tentu saja bukan berarti bahwa representasi perempuan tidak perlu dipersoalkan lagi. Representasi perempuan masih bisa dikutuk karena bersikap reaksioner dalam politik budaya tanpa henti. Namun, untuk merasakan kesenangan dari representasi itu sama sekali merupakan persoalan yang berbeda: perlu kiranya menegaskan secara langsung bahwa kita juga terikat untuk mengambil posisi dan solusi ini dalam relasi kita dengan orang-orang serta teman-teman yang kita cintai, pekerjaan kita, cita-cita politik kita, dan seterusnya.

Selanjutnya, fiksi dan fantasi berfungsi karena membuat kehidupan saat ini menyenangkan, atau setidaknya enak dijalani, namun ini sama sekali tidak meniadakan kesadaran atau aktivitas politik yang radikal. Fiksi dan fantasi tidak selamanya membawa konsekunsi bahwa feminis pasti tidak gigih dalam upaya

65

(33)

menghasilkan fantasi-fantasi baru dan memperjuangkan kedudukan mereka, melainkan bararti bahwa sejauh menyangkut konsumsi budaya, tidak ada standar baku untuk mengukur progresivitas sebuah fantasi. Yang sifatnya personal boleh jadi bersifat politik, namun yang personal dan yang politik tidak senantiasa jalan bergandengan.

Kebudayaan popular banyak berkaitan dengan masalah keseharian yang dapat dinikmati oleh semua orang atau kalangan orang tertentu seperti pementasan mega bintang, kendaraan pribadi, fashion, model rumah, perawatan tubuh dan semacamnya.

Sebuah budaya yang akan memasuki dunia hiburan, maka budaya itu umumnya menempatkan unsur popular sebagai unsur utamanya.66 Dan budaya itu akan memperoleh kekuatan manakala media massa digunakan sebagai jalan pintas penyebaran pengaruh di masyarakat.

Di masyarakat, dapat disaksikan bahwa teknologi media, telekomunikasi dan informasi yang lebih popular dengan nama teknologi telematika, sebagai teknologi pencipta hiper-realitas (hyper-reality), telah menjadi terutama televisi, komputer, dan internet mengambil alih beberapa fungsi sosial manusia (masyarakat).

Setiap saat kita semua menyaksikan, perkembangan teknologi telemetika mampu menciptakan relaitas baru di masyarakat, dimana realitas itu tidak sekedar sebuah ruang yang merefleksikan kehidupan masyarakat nyata dan peta analog atau simulasi-simulasi dari suatu masyarakat tertentu yang hidup dalam media dan

66

(34)

alam pikiran manusia, akan tetapi sebuah ruang dimana manusia bisa hidup di dalamnya.67

Di sisi lain ketika penemuan teknologi informasi berkembang dalam skala massal, maka teknologi itu telah merubah bentuk masyarakat, dari masyarakat dunia lokal menjadi masyarakat global. Sebuah dunia yang sangat transparan terhadap perkembangan informasi, transportasi serta teknologi yang begitu cepat dan begitu besar mempengaruhi peradaban umat manusia, sehingga dunia dijuluki oleh Marshall McLuhan sebagai global village, yaitu sebuah desa yang besar, dimana masyarakat saling kenal dan saling menyapa satu dengan yang lainnya.

Masyarakat global itu juga dimaksud sebagai sebuah kehidupan yang memungkinkan komunitas manusia menghasilkan budaya-budaya bersama, menghasilkan produk-produk industri bersama, menciptakan pasar bersama, memelihara keamanan bersama, menciptakan mata uang bersama, melakukan pertahanan militer bersama dan bahkan menciptakan peperangan dalam skala global di semua lini.

Teknologi secara fungsional telah menguasai masyarakat, bahkan pada fungsi yang substansial, seperti mengatur beberapa sistem norma di masyarakat, umpamanya: Sistem lalu lintas di jalan raya, sistem komunikasi, seni pertunjukan dan sebagainya. Di dalam dunia media informasi, sistem teknologi juga telah menguasai jalan pikiran masyarakat, seperti yang diistilahkan dengan teater of

mind. Bahwa siaran-siaran media informasi secara tidak sengaja telah

meninggalkan kesan siaran di dalam pikiran pemirsanya. Adapun suatu saat media

67

(35)

informasi itu dimatikan, kesan itu akan selalu hidup dalam pikiran pemirsa dan membentuk panggung-panggung realitas di dalam pikiran mereka.

Perkembangan teknologi berdampak pada teknologi informasi yang membuat media massa menjadi sebuah aspek sangat penting dalam kehidupan masyarakat modern, tidak saja mendorong perkembangan sebuah lingkungan yang strategis dan memasuki wilayah global. Begitu pula yang dialami oleh pornomedia yang telah dapat diakses dari berbagi sisi kehidupan masyarakat. Dari sini kemudian pertarungan dimulai antara masyarakat yang pro pornomedia dan masyarakat yang menolak pornomedia. Namun di sisi jalan sana kapitalis tertawa, karena karya-karya mereka mendapat perhatian begitu besar dari masyarakat dan ini adalah industri uang yang tanpa batas. 68

Keberadaan iklan dalam konteks sistem komunikasi, dengan demikian dapat dipahami berfungsi sebagai media yang menjembatani interaksi antara produsen dan konsumen. Melalui iklan, kelompok-kelompok pemasar komoditas meng-interprestasikan dan menyosialisasikan komoditas, dan memproyaksikan dalam lingkup pasar global.

Dengan demikian, iklan dalam media massa telah mengajari masyarakat konsumen secara bersama-sama dan universal, untuk terus bergerak melewati batas kebutuhan yang real dalam kehidupannya dan menuju dunia unreal yang terus bergerak semakin jauh, mendekati cakrawala.69

68

Burhan Bungin, PORNOMEDIA, (Jakarta: PT. Kencana, 2003), Cet ke-1, h. xiii-xv 69

(36)

4. Pengaruh Iklan Televisi Terhadap Masyarakat

Iklan dan hubungan masyarakat, ciri-ciri utama, jumlahnya sangat besar dan secara jelas didorong oleh kepentingan pengirim, bukannya kepentingan penerima. Meskipun iklan selalu direncanakan dengan sengaja, namun sasarannya bisa beraneka ragam. Kebanyakan iklan termasuk dalam klasifikasi model ‘pertunjuk-perhatian’ (display-attention) dan orientasi khalayaknya biasanya memiliki tingkat keterlibatan yang rendah.70

Iklan adalah suatu unsur penting dalam budaya karena ia merefleksikan dan berusaha mengubah gaya hidup kita. Iklan bukan hanya menawarkan barang, namun juga seksualitas, keindahan, kemudahan, kemodernan, kebahagian, kesuksesan, status, dan kemewahan, yang semuanya ini pada dasarnya sekedar harapan, mimpi, atau khayalan.

Karena kaum pria masih diasosiasikan sebagai produsen, pembawa penghasilan, dan lebih sering berada di luar rumah, sementara kaum wanita diasosiasikan sebagai pembelanja, konsumen, dan lebih sering tinggal dalam rumah, iklan-iklan yang ditayangkan lewat televisi swasta terutama ditunjukan kepada kaum wanita.

Kita tidak mungkin menghilangkan pengaruh negatif iklan itu sama sekali. Apa yang dapat kita lakukan adalah memikirkan kembali prioritas-prioritas kita. Kita harus secara sadar dan rasional mempertimbangkan, apakah kita betul-betul membutuhkan barang atau jasa yang diiklankan itu atau sekedar

70

(37)

menginginkannya. Sering kita ingin memperoleh suatu barang atau jasa bukan karena kita membutuhkannya, tetapi sekadar simbol status agar kita kelihatan lebih keren di mata orang lain. Yang lebih hakiki lagi, apakah kita sebagai wanita bertujuan untuk menarik lawan jenis kita, atau adakah kecantikan yang lebih berharga daripada itu, yang justru lebih penting dan harus kita pelihara.71

Faktor kemajuan teknologi komunikasi dan informasi memang sangat berpengaruh terhadap perkembangan ponogarfi di seluruh dunia. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi berwujud TV global, radio global, penyebaran VCD, laser disk dan kemudian jaringan internet sejabat yang sudah memiliki sifat media massa (cyberspace). Fenomena komunikasi sejagat itu dikenal pula dengan sebutan desa sejagat (global village).

Sementara itu perkembangan komunikasi suatu bangsa sangat dipengarhi oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informasi tersebut. Hal itu tampak pada perilaku komunikasi sosial suatu bangsa, misalnya Indonesia. Dahulu pergaulan bebas antara perempuan dan laki-laki adalah tabu. Kemudian muncul pergerakan politik emansipasi wanita (woman’s lib). Lantas, pergaulan bebas tidak lagi dianggap tabu. Hingga tahun 1960-an sensor film masih agak ketat. Film-film Indonesia masih mengharamkan cium-ciuman dan cara berpakaian yang “serba minim”.

Seiring dengan awal kehadiran gelombang ketiga dalam abad komunikasi umat manusia menurut Alfin Toffler dan Haedy Toffler, kebebasan perfilman dan kebebasan media cetak terutama majalah-majalah hiburan mulai meningkat cukup

71

(38)

pesat. Kebebasan itu jelas berkorelasi dengan globalisasi komunikasi dan informasi Indonesia sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari negara-negara lain yang sudah lama menghalalkan pornografi.

Sejak kira-kira tahun 1980-an hingga penghujung Gelombang Ketiga saat ini pornografi pun mulai berkembang cukup pesat di Indonesia terutama lewat jaringan internet, laser disk dan VCD. Dalam bulan Juni 1999 tiba-tiba fenomena komunikasi haram itu seakan-akan melakukan unjuk keberanian lewat bebearapa majalah hiburan dengan dalih “seni fotografi” sebagai alat penyamaran. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang diikuti penyebaran pornografi ke seluruh dunia ternyata tak mudah dielakkan oleh bangsa Indonesia.

Sementara itu pula, persaingan yang kian sengit di bidang media massa, berakibat munculnya penerbitan media cetak yang memuliakan sensasi untuk bertahan hidup. Salah satu “sensasi” yang paling mampu memukau perhatian khalayak adalah pornografi.

(39)

tulisan, benda atau gambar yang “mampu membangkitkan nafsu birahi pemuda”. Pembuat undang-undang hukum Pidana Hindia Belanda itu agaknya mengesampingkan orang dewasa yang normal. Mesti UU Media Massa atau UU Pers baru memuat penjelasan rinci tentang difinisi pornografi agar tidak terjadi kamuflase ponografi dengan memakai sebutan “seni fotografi”.

Masyarakat yang masih memuliakan nilai-nilai budaya tradisional dan nilai-nilai agama kini memperoleh tantangan baru akibat merebaknya pornografi. Meningkatnya kepedulian terhadap pemberantasan ponografi adalah pilihan terbaik untuk penyelematan generasi muda dari kerusakan moral yang jusru sedang dirusak oleh peredaran obat-obat terlarang. Bagaimana caranya mengaktifkan lembaga-lembaga pengawas media di samping lembaga-lembaga agama, organisasi-organisasi mahasiswa dan lain-lain. Dalam UU media massa kelak perlu dibuat penjelasan rinci tentang arti pornografi meskipun sudah ada yurispridensi mengenai pornografi. Hal itu perlu agar pemahaman masyarakat tentang arti pornografi tidak disesatkan oleh arti “seni fotografi”. Agar seni fotografi tidak dijadikan alat kamuflase pornografi.

(40)

Jadi masyarakat bisa disesatkan oleh “khilafiah” mengenai kualitas moral. (sumber: Harian Pedoman Rakyat).72

Dahulu pemakaian seksual yang eksplisit tidak pernah terpikirkan, namun sekarang ini merupakan bagian dari pemandangan di periklanan. Apakah dan dalam kondisi bagaimana periklanan menjadi efektif, tetap merupakan isu yang belum diteliti. Kesulitannya adalah, pada kenyataannya daya tarik seksual dalam periklanan ada dua bentuk: nuditas (tubuh yang telanjang) dan omongan yang tidak senonoh. Tidaklah pasti bentuk mana yang lebih efektif.

Sesungguhnya, daya tarik seksual mempunyai beberapa peran yang potensial. Pertama, materi seksual dalam periklanan bertindak sebagai daya tarik untuk pengambilan perhatian yang juga mempertahankan perhatian etrsebut untuk waktu yang lebih lama, seringkali dengan mempertunjukkan model yang menarik dalam pose yang merangsang, Ini disebut “peran kekuatan untuk menghentikan” dari seks. Agak diragukan bahwa iklan di majalah untuk iklan celana jeans merupakan iklan yang banyak menarik perhatian.

Peran potensial kedua adalah untuk “meningkatan ingatan” terhadap pesan. Riset menunjukkan bahwa iklan yang berisi daya tarik seksual atau simbolisme akan meningkatkan ingatan hanya apabila hal itu cocok dengan kategori produk sesuai dengan pelaksanaan kreatif iklan. Daya tarik seksual mengahsilkan ingatan yang lebih baik bila pelaksanaan periklanan mempunyai hubungan yang tepat yang produk yang diiklankan.

72

(41)

Peran ketiga yang dijalankan oleh isi seksual dalam periklanan adalah untuk membangkitkan tanggapan emosional seperti perasaan arousal (merangsang) atau bahkan nafsu. Reaksi-reaksi ini dapat meningkatkan pengaruh persuasif iklan, dengan kebalikannya, bisa menimbulkan perasaan negatif seperti rasa jijik, rasa malu, atau perasaan tidak senang. Apakah isu seksual menimbulkan reaksi positif dan negatif tergantung pada ketepatan atau relevansi isi seksualitas pada materi yang diiklankan. Iklan yang berisi daya tarik seksual akan efektif bila hal ini relavan dengan pesan penjualan dalam iklan. Tetapi, bila digunakan dengan benar, dapat menimbulkan perhatian, meningkatkan ingatan, dan menciptakan asosiasi yang menyenangkan dengan produk yang diiklankan.73

Agar sebuah iklan komersial memiliki kemampuan mengkostruksi gender atau kelas sosial di masyarakat, maka lebih dulu produk itu dikonstruksi sebagai barang yang mampu memberi konstribusi pembentukan kelas eksklusif di masyarakat. Karena itulah produk komersial tertentu harus dikonstruksi sebagai bagian dari kelas atas atau kelas eksklusif. Penggunaan media televisi dalam konteks ini dilatar belakangi oleh maksud semacam itu. Selain karena televisi memiliki kemampuan optimal untuk secara luas dan akurat mengkonstruksi image masyarakat, televisi juga menjadi bagian dari masyarakat, televisi juga menjadi bagian dari masyarakat ekslusif, modern urbanis, dan kosmopolitan.

Televisi telah muncul sebagai fenomena perubahan sosial, yang banyak didominasi oleh ide-ide materi Marx. Ide-ide itu dituangkan ke dalam

73

(42)

instrumen kapitalis sehingga akhirnya perilaku masyarakat menjadi bagian dari masyarakat kapitalis yang konsumtif serta dari sistem produksi itu sendiri.74

Sebagai media informasi, iklan menempatkan diri sebagai bagian penting dalam mata rantai kegiatan ekonomi kapitalis. Karenanya iklan selalu dilihat sebagian bagian dari media kapitalis, dalam arti iklan adalah bagian tak terpisahkan dari rangkaian kegiatan perusahaan yang tidak lain adalah milik kapitalis. Demikian pula kehadiran iklan semata-mata untuk menyampaikan pesan kapitalis.

Ketika televisi menjadi institusi kapitalis yang menjual jasa informasi, maka iklan televisi komersial adalah bagian produk dalam kategori komersial. Iklan televisi adalah sumber pendapatan utama bagi sebuah perusahaan pertelevisian. Televisi menggantungkan hidupnya untuk mengait sebanyak-banyaknya sumber dari periklanan atau cara yang dapat diiklankan. Sebaliknya, dunia periklanan melihat televisi adalah media yang paling ideal untuk penyampaian ide-ide iklan karena televisi adalah media yang memiliki kemampuan maksimal. Televisi adalah media audio-visual yang murah dan dimiliki secara umum atau mudah dijangkau oleh mayoritas masyarakat dari berbagai golongan. Dengan kata lain, televisi adalah media massa yang merakyat dengan kemampuan publikasi yang maksinal sehingga televisi juga disebut sebagai saluran budaya massa.

74

(43)

Melihat dua sisi kebutuhan ini, maka periklanan dan pertelevisian adalah dua bidang yang sulit dipisahkan. Kedua bidang ini memiliki hubungan simbiosis yang saling menguntungkan.75

Di antara media informasi yang ada, televisi tampaknya adalah pihak yang paling banyak memproleh sorotan dan protes. Banyak alasan, mengapa televisi menjadi bulan-bulanan agenda publik, khususnya yang menyangkut isi siaran. Sebab, pada bangsa-bangsa yang tengah berkembang, televisi dan radio merupakan sumber informasi dan hiburan yang utama.

Isu tentang dampak siaran televisi swasta terus saja menggelinding. Agaknya, agenda ini sudah merupakan bagian dari kesadaran kolektif masyarakat, pemerintah, termasuk kalangan media sendiri. Ini bisa dipahami, mengingat hingga sekarang UU tentang penyiaran masih saja belum tuntas. Padahal, kehadirannya sudah semakin mendesak, mengingat gelombang protes masyarakat terhadap tayangan film-film televisi asing, juga akan mempengaruhi makin tingginya tingkat kompetisi di bidang hiburan, pemberitaan, dan iklan.

Budaya televisi di Indonesia memang masih relatif baru. Berbagai ketegangan yang akan muncul ke depan tampaknya masih belum hendak berhenti. Namun, kita optimis semua pihak tengah menuju proses pematangnya. Pemerintah, pihak penyelenggara siaran, dan pemirsa akan ditantang untuk terwujudnya proyek besar demokratisasi dalam industri televisi ini, terutama bagi perwujudan sebuah televisi yang khas Indonesia76

75

Burhan Bungin, Imaji Media Massa, (Yogyakarta: PT. Jendela, 2001), Cet ke-1, h. 79 76

(44)

Ada beberapa sisi negatif yang ditimbulkan oleh tayangan iklan yang berlebihan, yaitu:

1) Konteks aqidah. Seperti kita ketahui bahwa pakar periklanan Indonesia adalah murid kesayangan pakar periklanan Barat atau Eropa sehingga tidak heran banyak poin-poin etika periklanan tidak memotret kehidupan dan budaya Indonesia akan dampak negatifnya. Karena itulah banyak kita temukan tanyangan iklan yang secara tidak langsung menjadi media pendangkalan aqidah dan Islam anak-anak kita. Karena hampir semua iklan mutu produk makanan dan benda mati lainnya diilustrasikan dengan keindahan tubuh telanjang wanita cantik dan istilah-istilah yang berbau pornografi.

2) Konteks akhlak. Secara langsung banyak tanyangan iklan yang madlorotnya (sisi negatifnya) lebih besar ketimbang maslahatnya. Contoh

paling gampang adalah iklan rokok yang bombastis di setiap sudut kehidupan anak muda, resikonya banyak anak di bawah umur sudah menjadi perokok berat. Dan masih banyak iklan produk yang sasarannya anak muda dan telah berhasil membentuk karakter dan prilaku tunas muda Indonesia 'modern' yang tidak memiliki jati diri dan sepi dari nilai-nilai ahlakulkarimah. Dan hal ini sudah banyak kita temukan bukti seorang

(45)

3) Konteks sosial. Secara langsung banyak iklan yang sebenarnya dapat membuat tatanan sosial menjadi bias dan rusak, seperti orang menjadi malas memperbaiki hidupannya dengan bekerja karena terbuai iklan. Karena hampir semua sisi kehidupannya merasa sudah "terselesaikan" dengan konsep iklan yang begitu mudah dan ramah bukan? Mulai dari persoalan yang ringan sampai yang berat sekalipun dapat diselesaikan setelah kita melihat iklan dalam waktu sekejap. Sehingga banyak orang meganggap ringan dan mudah semua persoalan hidupnya, malas berusaha dan bekerja.

4) Konteks religuitas. Agama-pun bisa menjadi mangsa iklan. Berapa banyak orang meninggalkan kewajibannya sebagai Muslim hanya karena tertarik melihat iklan yang menurutnya sangat menguntungkan dan menjanjikan perbaikan hidup dan Negara? Bahkan lebih tragisnya banyak orang meninggalkan Sholat hanya karena mencari iklan lowongan kerja yang belum tentu dapat atau cocok dan karena menanti atau menonton tayangan sepak bola dengan iklannya yang luar biasa?77

Berbagai permasalahan muncul dalam citraan tentang media televisi. Televisi, misalnya, agak diabaikan peran strategisnya dalam membimbing dan memimpin berkembangnya kualitas sumber daya manusia. Citra yang lebih menonjol adalah adanya pengeksploitasian, tercemin pada posisi masyarakat yang lebih sebagai objek, dengan menafikan peran sertanya sebagai subjek. Perspektif ataupun dimensi atis tidak pernah menjadi unsur yang dipertimbangkan dalam berbagai lini bisnisnya.

77

(46)

Berbagai bentuk materi siaran, apalagi yang berjenis hiburan seperti sinetron, kuis, infortainment, atau reality show sering lepas dari norma-norma kepatutan sebuah karya kreatif, yang semestinya juga harus bertanggung jawab pada tumbuhnya eksplorasi masyarakat.

Munculnya berbagai kritik dan keluhan sebagai masyarakat mengenai kualitas tayangan program televisi Indonesia menunjukkan hal itu dengan jelas. Misal, banyak sinetron yang bukan saja rendah kualitas teknis dan penyampiannya, tetapi juga rendah dalam kualitas tematiknya, setting sosial, serta miskin dalam pedalaman materi. Apalagi, rendahnya kreativitas pihak produsen itu bergabung dengan rendahnya sensabilitas pihak pengelolah televisi. Kedua hal tersebut menjadi factor yang paling berpengaruh terhadap rendahnya kreativitas pekerja kreatif.78

Membebaskan masyarakat dari tekanan total pasar karena karakter pasar global bisa sangat kasar dan tentu tidak berkeperimanusiaan. Kekerasan bukan hanya bisa terjadi pada tayangan program cara televisi, melainkan juga dari materi-materi tayangan televisi yang penuh dengan cermin tipu daya memberikan berbagai realitas simbolik yang mempesona.

Media televisi, dibandingkan media lainnya, mempunyai kekuatan luar biasa dalam melakukan produksi dan reproduksi citra. Seluruh isi media sebagai realitas telah dikonstruksi. Media televisi pada dasarnya menyusun realitas hingga membentuk sebuah cerita baru. Dan keluarlah kemudian jargon, siapa yang menguasai media maka menguasai dunia.

78

(47)

Proses konstruksi citra ini berlangsung melalui suatu interaksi sosial yang dialektis. Ada tiga jenis realitas yang dimunculkan media, yakni realitas subjektif (subjective reality), realitas simbolik (symbolic reality), dan realiatas objektif (objective reality). Namun, realitas simbolik yang hampir menguasai model citra adalah hal yang paling dominant dan memiliki kekuatan media yang terbesar. Iklan–iklan yang ditayangkan di media memanfaatkan kekuatan ini.

Jika perilaku industri periklanan juga tidak mendapatkan pengawasan yang memadai maka ia akan punya potensi menjalin persekongkolan diam-diam dengan media. Iklan yang dibuat kemudian bukan hanya untuk membujuk, melainkan memang menyesatkan masyarakat. Awalnya konsumen hanyalah objek penderita bagi sebuah iklan. Selanjutnya, ia akan berperan aktif menentukan keberpihakannya pada dogma iklan tertentu. Sejak itulah, inisiatif kritis semata-mata akan tergantung pada pemberi intruksi. Daya kritis konsumen pada akhirnya akan hilang karena akumulasi teror teks, warna, dan foto, yang semuanya di konstruksikan untuk memberikan efek instruktif. Kerjasama media televisi dan media periklanan mempunyai peran yang sangat besar bagi tumbuhnya masyarakat. 79

Di sisi lain ketika penemuan teknologi informasi berkembang dalam skala massal, maka teknologi itu telah berubah bentuk masyarakat, dari masyarakat dunia lokal menjadi masyarakat global. Sebuah dunia yang sangat transparan terhadap perkembangan informasi, transportasi serta teknologi yang begitu cepat dan begitu besar mempengaruhi peradaban umat manusia, sehingga dunia dijuluki

79

(48)

sebagai the big village, yaitu sebuah desa yang besar, dimana masyarakat saling kenal dan saling menyapa satu dengan yang lainnya.

Masyarakat global itu juga dimaksud sebagai sebuah kehidupan yang memungkinkan komunitas manusia menghasilkan budaya-budaya bersama, menghasilkan produk-produk industri bersama, menciptakan pasar bersama, memelihara keamanan bersama, menciptakan mata uang bersama, melakukan pertahanan militer bersama dan bahkan menciptakan peperangan dalam skala global di semua lini.80

Syarat pertama sebuah iklan adalah ngapusi alias menipu, begitu petuah Emha Ainun Nadjib, Kini ribuan iklan prodk barang dan jasa begitu hegemonis, di alam sadar masyarakat konsumen. Begitu dominannya iklan di semua lini hingga n

Gambar

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN Membahasa
TABEL 1
TABEL 2
TABEL 3 Pria Menjadi Bintang Iklan Sabun Lux
+7

Referensi

Dokumen terkait

The researcher is going to analyze Michael Henchard as one of the major characters in novel The Mayor of Casterbridge written by Thomas Hardy based on psychoanalytic

[r]

Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis Standar Belanja Inspektorat Kota Bitung Tahun 2015-2017 terdiri dari persentase/alokasi masing – masing belanja terhadap total

Akan tetapi yang jauh lebih parah adalah perasaan bahwa saya hanyalah menjadi beban, dan tidak ada apapun yang bisa dilakukan.. Di rumah, selalu ada hal-hal yang

SKRIPSI SINTESIS DAN KARAKTERISASI NURUL FITRIATUL A Gambar 4.6 Spektrum fluoresensi CdSe dengan pelarut hexane

Telah berhasil direncanakan dan dibuat suatu aplikasi yang mampu menghitung kekuatan sambungan dengan alat sambung baut berdasarkan peraturan SNI 7973-2013,

4.5.2 Hubungan Berat Badan Responden dengan Perubahan Pola Menstruasi pada Pengguna KB Suntik DMPA di Desa Mawea Tobelo Timur. Berdasarkan perubahan berat badan

Alasan strategis utama suatu perusahaan melakukan outsourcing adalah:meningkatkan fokus bisnis sehingga dengan outsourcing maka perusahaan bisa lebih fokus pada