!"# $ %&#
'
%
&
!"# $ %&#
" $
(
)
% )
%&#
*
%&#
" $
! " #$ %! &$ '
( & ! " #$ %! &$ #"% ''
)
! &$ * +
, ! &$ #"% * + - ( . & (
! " #$ %! &$ #"%
i Bismillahirrahmanirrahim
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat Rahmat dan
Hidayah Nya penulisan tesis ini dapat diselesaikan.
Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas – tugas dan memenuhi salah satu syarat
untuk menyelesaikan pendidikan Master Kedokteran Klinis Obstetri dan Ginekologi.
Sebagai manusia biasa saya menyadari bahwa tesis ini banyak kekurangannya dan
masih jauh dari sempurna, namun demikian besar harapan saya kiranya tulisan
sederhana ini dapat bermanfaat dalam menambah perbendaharaan bacaan khususnya tentang :
Dengan selesainya laporan penelitian ini, perkenankanlah saya menyampaikan rasa
terima kasih dan penghargaan yang setinggi – tingginya kepada yang terhormat :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk
mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Fakultas Kedokteran USU
ii 2. Bupati Kabupaten Bintan melalui Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Bintan atas
kesempatan tugas belajar dan beasiswa kepada saya, sehingga saya dapat mengikuti
Program Pendidikan Dokter Spesialis di Fakultas Kedokteran dan Magister Kedokteran
Klinis Obstetri dan Ginekologi USU Medan.
3. Prof.dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG(K), Ketua Departemen Obstetri dan Ginekologi FK
USU; Dr. dr. M. Fidel Ganis Siregar, M. Ked (OG), SpOG (K), Sekretaris Departemen
Obstetri dan Ginekologi FK USU Medan; dr. Henry Salim Siregar, SpOG (K), Ketua
Program Studi Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi FK USU Medan; dr. M.
Rhiza Z. Tala, M.Ked(OG),SpOG (K), Sekretaris Program Studi Dokter Spesialis
Obstetri dan Ginekologi FK USU Medan; Prof. dr. M. Fauzie Sahil, SpOG (K) ), dr.
Deri Edianto, M.Ked(OG), SpOG (K), Prof. dr. M. Jusuf Hanafiah, SpOG (K); Prof. dr.
Djafar Siddik, SpOG (K); Prof. dr. Hamonangan Hutapea, SpOG (K); Prof. Dr. dr. M.
Thamrin Tanjung, SpOG (K); Prof. dr. R. Haryono Roeshadi, SpOG (K); Prof. dr. T. M.
Hanafiah, SpOG (K); Prof. dr. Budi R. Hadibroto, SpOG (K); dan Prof. dr. Daulat H.
Sibuea, SpOG (K); yang secara bersama sama telah berkenan menerima
saya untuk mengikuti pendidikan dokter spesialis di Departemen Obstetri dan
Ginekologi.
4. Ketua Divisi Fetomaternal dr.M akm ur Sit ep u, M.Ked(OG),S pOG (K) yang
tel ah m engizinkan saya unt uk m el akukan penelit ian tent ang
5. dr.Hotm a P art ogi P asari bu, M .Ked(OG), SpOG yang telah memb erikan
pengarahan kepada saya dalam melakukan penelitian ini sekaligus sebagai
pembimbing utama saya bersama dengan dr. Makmur Sitepu,M.Ked(OG),SpOG (K)
yang telah meluangkan waktu yang sangat berharga untuk membimbing,
iii 6. dr. Herbert Sihite, SpOG; dr. Aswar Aboet, SpOG(K), dan dr. Deri
Edianto,M.Ked(OG), SpOG (K) selaku penyanggah dan narasumber yang
dengan penuh kesabaran telah meluangkan waktu yang sangat berharga untuk
membimbing, memeriksa dan melengkapi penulisan tesis ini hingga selesai.
7. d r . R i s m a n F . K a b a n , S p O G s e l a k u B a p a k A n g k a t s a y a s e l a m a m e n j a l a n i
m a s a pendidikan, yang telah banyak mengayomi, membimbing dan memberikan
nasehat yang bermanfaat kepada saya selama dalam pendidikan sekaligus pembimbing
minirefarat magister saya yang berjudul “
8. Kepada dr. Surya Dharma, MPH, yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk
membimbing saya dalam penyelesaian uji statistik tesis ini.
9. Seluruh Staf Pengajar Departemen Obstetri dan Ginekologi FK USU Medan, yang
secara langsung telah banyak membimbing dan mendidik saya sejak awal hingga akhir
pendidikan. Semoga Allah SWT membalas budi baik guru guru saya.
10. Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan dan sarana
kepada saya untuk bekerja sama selama mengikuti pendidikan Magister Kedokteran
Klinis Obstetri dan Ginekologi di Departemen Obstetri dan Ginekologi.
11. Direktur RSUD Dr. Pirngadi Medan beserta staf yang telah memberi kesempatan dan
sarana kepada saya untuk bekerja sama selama bertugas di Rumah Sakit tersebut.
12. Wadir Pelayanan Medik RSUD Dr. Pirngadi Medan sekaligus Kepala SMF Obstetri dan
Ginekologi RSUD Dr. Pirngadi Medan yang telah memberi kesempatan dan sarana
kepada saya untuk termasuk melakukan penelitian magister ini selama bertugas di
Rumah Sakit tersebut.
13. Kepada seluruh tem an sej awat PPDS yang tidak dap at sa ya seb utkan
nam an ya satu persat u, Dokter muda, bidan, paramedik, karyawan / karyawati
iv ikut membantu dan bekerja sama dengan saya dalam menjalani pendidikan
Magister Kedokteran Klinis Obstetri dan Ginekologi FK USU/RSUP H. Adam
malik.
Tiada kata yang dapat saya ucapkan selain rasa syukur kepada Allah SWT dan
Sembah sujud serta terima kasih yang tidak terhingga saya sampaikan
kepada kedua orang tua saya yang sangat saya cintai, Papa Nobek Ginting
dan Mama Ngangkat br. Tarigan (almh) ya n g t el ah m emb es ark an,
m em b i m b i n g, mendoakan, serta mendidik saya dengan penuh kesabaran dan
kasih sayang dari sejak kecil hingga kini.
Terimakasih saya ucapkan kepada Bapak mertua (alm) Singgih, dan ibu mertua Hj. Azah,
yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada saya.
Tiada kata yang bisa mengungkapkan rasa terima kasih kepada Istri saya, drg.
Fivie Mardania dan teramat khusus untuk Buah hatiku tercinta, Lauditta Aqilah
Ginting dan Ammar Aqil Ginting t e r i m a k a si h at a s k asi h s aya n g, semangat
serta doa yang diberikan kepada Papa, semoga Allah SWT selalu memberikan
kebahagiaan kepada keluarga kita.
Kepada Kakanda : Suryani br. Ginting, Rosmawati br. Ginting, Roslina br.
Ginting, Nurlina br. Ginting, Nasaruddin Ginting, dan Nasib Ginting terima
v Kepada seluruh Keluarga yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu
persatu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang telah banyak
memberikan bantuan, dukungan dan doa, saya ucapkan terima kasih yang sebesar
besarnya.
S e m o ga A l l a h S W T s e n an t i as a m em b e r i k an r a hm at N ya ke p a d a ki t a
semua.
Medan, Nopember 2012
viii
! " # $ % &
' ( )
* & +
, - . /
0 ( & " ( )
ix DAFTAR TABEL
Table 4.1. Karakteristik Kasus Penelitian Berdasarkan Usia, Paritas dan Tinggi Badan ... 27 Tabel 4.2. Ukuran Konjugata Vera Klinis Dan Pembukaan Serviks ……….……….. 28 Tabel 4.3. Ukuran Panjang Telapak Kaki, danTinggi Badan ………...……..…. 28
Tabel 4.4. Karakteristik Kasus Penelitian Berdasarkan Pemeriksaan X-ray Pelvimetri.…………..… 29
Tabel 4.5 Karakteristik Pintu Atas Panggul Berdasarkan X-ray Pelvimetri ……….... 29
Tabel 4.6. Hubungan Antara Pelvimetri Radiologis Dengan Pelvimetri Klinis Pada
Pengukuran Pintu Atas Panggul………... 30 Tabel 4.7. Hubungan Ukuran Pintu Atas Panggul Berdasarkan Pelvimetri Radiologis Dengan
Ukuran Panjang Telapak Kaki Ibu…………... ... 31 Tabel 4.8. Perbandingan Rata-Rata Panjang Telapak Kaki Ibu Berdasarkan Kategori Panggul
Atas Berdasarkan Pelvimetri Radiologis………... 31 Tabel 4.9. Hubungan Ukuran Pintu Atas Panggul (PAP) Berdasarkan Pelvimetri Radiologis
Dengan Ukuran Tinggi Badan Ibu.………... 32 Tabel 4.10. Perbandingan Rata-Rata Tinggi Badan Ibu Berdasarkan Kategori Panggul Atas
Berdasarkan Pelvimetri Radiologis…... 32
Tabel 4.11Proporsi panggul sempit berdasarkan tinggi badan ibu……… 33
Tabel 4.12 Proporsi panggul sempit berdasarkan ukuran panjang telapak kaki……….. 33
x
!
" "#$ %
& $ & $!
' ( '
'& ( ' &
& $ & ( ) $
! " #$%$ & # % "$# '
" "$ $ ()*(
+ , Untuk melihat hubungan antara ukuran panjang telapak kaki dan tinggi
badan ibu dengan kesempitan ukuran pintu atas panggul berdasarkan pelvimetri radiologis.
- % ,Studi potong lintang
. " / : Pelvimetri klinis sebelum atau setelah seksio sesaria dan pelvimetri radiologis setelah seksio sesaria dilakukan untuk menilai pintu atas panggul pada pasien seksio sesaria atas indikasi panggul sempit atau disproporsi sefalopelvik baik yang diseksio secara elektif maupun emergensi di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Dr. Pirngadi Medan sejak bulan Juni 2011 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.. Hubungan antara ukuran panjang telapak kaki dan tinggi badan ibu dengan ukuran pelvimetri radiologi pintu atas panggulnya dianalisa dengan computer.
% , Dari penelitian ini didapatkan bahwa dari 42 subjek penelitian, kebanyakan
memiliki konjugata vera <10 cm yang dikategorikan sebagai panggul sempit yaitu sebesar 61,9%. Rerata tinggi badan dan panjang telapak kaki pada panggul sempit adalah berturut-turut 148,81 cm dan 21.48 cm. Dengan menggunakan uji Fisher didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara tinggi badan dan ukuran panjang telapak kaki dengan kesempitan pintu atas panggul (p>0,05) namun didapatkan proporsi panggul sempit yang lebih besar pada kelompok wanita dengan tinggi badan ≤ 150 cm dan ukuran panjang telapak kaki < 22 cm berturut-turut 61% dan 55,5%
% , Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ukuran panjang
telapak kaki dan tinggi badan dengan kesempitan pintu atas panggul berdasarkan pelvimetri radiologis namun proporsi panggul sempit lebih besar pada wanita dengan tinggi badan ≤ 150 cm dan ukuran panjang telapak kaki < 22 cm
- , panjang telapak kaki, tinggi badan, ukuran pintu atas panggul,
!/ ! 0 &!! 1 /
$2 ! - " 3 -$%$ 3 " - % /$%% '
" "$ $' ()*(
! + - ' , To determine the association between maternal foot length and height with pelvic inlet size based on radiological pelvimetry
"3 " ,Cross sectional study
% " .$": Clinical pelvimetry before or after cesarean section and radiological pelvimetry after cesarean section was conducted to assess the pelvic size in patients operated due to contracted pelvis or cephalopelvic disproportion either elective or emergency cesarean section at H. Adam Malik and Dr. Pirngadi Hospital Medan since June 2011 that fulfilled inclusion and exclusion criteria. Relationship between maternal foot length and height with the pelvic size of the radiological pelvimetry was analyzed.
% , It was found that out of 42 samples, the majority had conjugata vera
measuring <10 cm that were categorized as contracted pelvic equal to 61.9% . The mean maternal height and foot length on contracted pelvic group were 148.81 cm and 21:48 cm respectively. No significant relationship was established between maternal height and foot length with pelvic inlet size (p > 0.05). It was observed that contracted pelvis proportion in women with height of ≤ 150 cm and foot length of < 22 cm were 61% and 55.5% respectively
/$ -% $ ,No significant relationship was found between maternal height and foot length with pelvic inlet size but it was shown that women with height of ≤ 150 cm and foot length of < 22 cm had more proportion of contracted pelvis.
! " #$%$ & # % "$# '
" "$ $ ()*(
+ , Untuk melihat hubungan antara ukuran panjang telapak kaki dan tinggi
badan ibu dengan kesempitan ukuran pintu atas panggul berdasarkan pelvimetri radiologis.
- % ,Studi potong lintang
. " / : Pelvimetri klinis sebelum atau setelah seksio sesaria dan pelvimetri radiologis setelah seksio sesaria dilakukan untuk menilai pintu atas panggul pada pasien seksio sesaria atas indikasi panggul sempit atau disproporsi sefalopelvik baik yang diseksio secara elektif maupun emergensi di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Dr. Pirngadi Medan sejak bulan Juni 2011 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.. Hubungan antara ukuran panjang telapak kaki dan tinggi badan ibu dengan ukuran pelvimetri radiologi pintu atas panggulnya dianalisa dengan computer.
% , Dari penelitian ini didapatkan bahwa dari 42 subjek penelitian, kebanyakan
memiliki konjugata vera <10 cm yang dikategorikan sebagai panggul sempit yaitu sebesar 61,9%. Rerata tinggi badan dan panjang telapak kaki pada panggul sempit adalah berturut-turut 148,81 cm dan 21.48 cm. Dengan menggunakan uji Fisher didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara tinggi badan dan ukuran panjang telapak kaki dengan kesempitan pintu atas panggul (p>0,05) namun didapatkan proporsi panggul sempit yang lebih besar pada kelompok wanita dengan tinggi badan ≤ 150 cm dan ukuran panjang telapak kaki < 22 cm berturut-turut 61% dan 55,5%
% , Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ukuran panjang
telapak kaki dan tinggi badan dengan kesempitan pintu atas panggul berdasarkan pelvimetri radiologis namun proporsi panggul sempit lebih besar pada wanita dengan tinggi badan ≤ 150 cm dan ukuran panjang telapak kaki < 22 cm
- , panjang telapak kaki, tinggi badan, ukuran pintu atas panggul,
!/ ! 0 &!! 1 /
$2 ! - " 3 -$%$ 3 " - % /$%% '
" "$ $' ()*(
! + - ' , To determine the association between maternal foot length and height with pelvic inlet size based on radiological pelvimetry
"3 " ,Cross sectional study
% " .$": Clinical pelvimetry before or after cesarean section and radiological pelvimetry after cesarean section was conducted to assess the pelvic size in patients operated due to contracted pelvis or cephalopelvic disproportion either elective or emergency cesarean section at H. Adam Malik and Dr. Pirngadi Hospital Medan since June 2011 that fulfilled inclusion and exclusion criteria. Relationship between maternal foot length and height with the pelvic size of the radiological pelvimetry was analyzed.
% , It was found that out of 42 samples, the majority had conjugata vera
measuring <10 cm that were categorized as contracted pelvic equal to 61.9% . The mean maternal height and foot length on contracted pelvic group were 148.81 cm and 21:48 cm respectively. No significant relationship was established between maternal height and foot length with pelvic inlet size (p > 0.05). It was observed that contracted pelvis proportion in women with height of ≤ 150 cm and foot length of < 22 cm were 61% and 55.5% respectively
/$ -% $ ,No significant relationship was found between maternal height and foot length with pelvic inlet size but it was shown that women with height of ≤ 150 cm and foot length of < 22 cm had more proportion of contracted pelvis.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Distosia yang secara literatur berarti persalinan yang sulit, memiliki karakteristik kemajuan persalinan yang abnormal atau lambat. Persalinan abnormal atau lambat umum terjadi bila ada disproporsi antara ukuran bagian terbawah janin dengan jalan lahir. Pada presentasi kepala, distosia adalah indikasi yang paling umum saat ini untuk seksio sesaria primer.
adalah akibat dari panggul sempit, ukuran kepala janin yang besar, atau lebih sering kombinasi dari kedua di atas. Setiap penyempitan diameter panggul yang mengurangi kapasitas pelvis dapat mengakibatkan distosia selama persalinan. Panggul sempit
bisa terjadi pada pintu atas panggul, , atau pintu bawah panggul, atau umumnya
kombinasi dari ketiganya. Karena CPD bisa terjadi pada tingkat ,
diagnosisnya bergantung pada pengukuran ketiga hal tersebut yang dikombinasikan dengan
evaluasi ukuran kepala janin.1 Panggul sempit disebut sebut sebagai salah satu kendala dalam
melahirkan secara normal karena menyebabkan yang insidensinya adalah 1 3%
dari persalinan.2,3,4
Apabila persalinan dengan panggul sempit dibiarkan berlangsung sendiri tanpa pengambilan tindakan yang tepat, timbul bahaya pada ibu dan janin. Bahaya pada ibu dapat berupa partus lama yang dapat menimbulkan dehidrasi serta asidosis, dan infeksi intrapartum, ruptur uteri mengancam serta resiko terjadinya fistula vesikoservikalis, atau fistula vesikovaginalis, atau fistula rektovaginalis karena tekanan yang lama antara kepala janin dengan tulang panggul. Sedangkan bahaya pada janin dapat berupa meningkatkan kematian perinatal, dan perlukaan pada jaringan di atas tulang kepala janin bahkan bisa menimbulkan fraktur pada os parietalis.5,6
#
$ (" 1965 menjadi 23% pada tahun 1985. Pada tahun 2007,
angka seksio sesaria adalah 31.8% angka seksio tertinggi yang pernah dilaporkan di Amerika Serikat. Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (2003), kira kira 60%
seksio sesaria primer di Amerika Serikat dihubungkan dengan distosia7. Di Inggris insiden
meningkat kurang dari 5% pada tahun 1973 menjadi 10% pada tahun 1986. Di Indonesia, angka seksio sesarea di RSUD. Dr. Pirngadi Medan meningkat dari 20,4% pada tahun 1994 menjadi 34,83% pada tahun 1998. 8,9,10
Pengukuran panggul (pelvimetri) merupakan cara pemeriksaan yang penting untuk mendapatkan keterangan tentang keadaan panggul. Pada wanita dengan tinggi badan kurang dari 150 cm dapat dicurigai adanya kesempitan panggul. Pelvimetri dengan pemeriksaan dalam (manual) mempunyai arti yang penting untuk menilai secara agak kasar pintu atas panggul serta panggul tengah, dan untuk memberi gambaran yang jelas mengenai pintu bawah panggul. Dengan pelvimetri rontgenologik diperoleh gambaran yang jelas tentang bentuk panggul dan
ukuran ukuran dalam ketiga bidang panggul. Akan tetapi pemeriksaan ini dalam masa kehamilan
beresiko, khususnya bagi janin. Menurut CT pelvimetri tingkat radiasinya
terhadap janin lebih kurang sepertiga dari tingkat radiasi secara X ray pelvimetri sehingga lebih aman penggunaannya, namun tetap saja membahayakan janin. Oleh sebab itu tidak dapat dipertanggung jawabkan untuk menjalankan pelvimetri rontgenologik secara rutin pada masa
kehamilan, kecuali atas indikasi yang kuat.5,11
Menurut pemeriksaan X ray pelvimetri lebih akurat dibandingkan
pemeriksaan manual dalam menentukan ukuran panggul. Sedangkan menurut penelitian yang
dilakukan pada 798 primigravida diperoleh nilai yang hampir bersamaan antara
pemeriksaan klinis dengan X ray namun pemeriksaan secara klinis kurang sensitif dibandingkan X ray pelvimetri. 12,13,14
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh yang membandingkan
!
#,,# .43
1% dibandingkan CT pelvimetri dengan tingkat variasi sekitar 10%, serta mudah digunakan meskipun pada pasien yang gemuk dan tanpa reposisi berulang. Namun pada penelitian ini digunakan X ray pelvimetri karena lebih terjangkau masyarakat dan hasilnya tidak berbeda
secara statistik dibandingkan CT pelvimetri.15,16,17
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh tahun 2005, menurut standar
radiologi pada 331 wanita yang melahirkan secara seksio sesaria pada kehamilan pertamanya, di dapati pelvis tidak adekuat sebanyak 248 kasus (75%) dan yang adekuat sebanyak 83 kasus (25%).18
dan Greenwald dkk menyatakan bahwa wanita dengan perawakan pendek
(<152 cm atau 60 inci) dan ukuran sepatu kecil (<4.5) lebih mungkin persalinannya mengalami komplikasi disproporsi sefalopelvik atau terhentinya dilatasi dan penurunan janin, dengan
demikian lebih mungkin mengalami panggul sempit.19
Aflah N. 2009 dalam tesisnya menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara tinggi badan dengan distansi interspinarum tetapi tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara tinggi badan dengan diameter panggul lain seperti conjugata vera, conjugata
transversa, conjugata obliqua, dan distansi intertuberum.20
Mahmood A.Tahir 1988 dkk menyatakan bahwa ukuran sepatu atau panjang telapak
kaki bukanlah prediktor klinis untuk meramalkan disproporsi sefalopelvik dan walaupun tinggi badan ibu adalah panduan yang lebih baik untuk meramalkan adekuasi panggul pada persalinan,
80% ibu dengan tinggi badan kurang dari 160 cm melahirkan secara pervaginam.21
$
prediktor panggul sempit.
Pada Departemen Obstetri Ginekologi FK USU Medan belum ada penelitian yang
menghubungkan panjang tapak kaki dengan ukuran pintu atas panggul baik yang didapatkan
secara pelvimetri klinis maupun pelvimetri radiologis sehingga peneliti berniat melakukan
penelitian ini di Departemen Obstetri Ginekologi FK USU Medan.
&'!'( Masalah
Pemeriksaan pelvimetri klinis dan pelvimetri radiologis adalah alat untuk menegakkan
diagnosa panggul sempit dimana pelvimetri radiologis merupakan standar baku untuk diagnosa
panggul sempit. Pelvimetri radiologis tidak dilakukan sebelum seksio sesaria karena
kekhawatiran tentang efek bahaya radiasinya pada janin. Satu penelitian menyatakan bahwa
diperoleh nilai yang hampir sama pelvimetri klinis dengan X ray pelvimetri namun pelvimetri
klinis kurang sensitif dibandingkan dengan X ray pelvimetri. Sehingga perlu prediktor lain
untuk meramalkan ukuran panggul atas seperti ukuran panjang telapak kaki dan tinggi badan.
Dalam hal ini peneliti berniat meneliti
. Dengan demikian masalah penelitian ini adalah:
1. Apakah terdapat hubungan antara ukuran panjang telapak kaki ibu dengan ukuran pintu
atas panggul pada pasien pasca seksio sesaria atas indikasi panggul sempit dan disproporsi sefalopelvik ?
2. Apakah terdapat hubungan antara tinggi badan ibu dengan ukuran pintu atas panggul
(
) $*" ($( Penelitian
1. Ada hubungan antara ukuran panjang telapak kaki ibu dengan ukuran pintu atas panggul
pada pasien pasca seksio sesaria atas indikasi panggul sempit dan disproporsi sefalopelvik.
2. Ada hubungan antara tinggi badan ibu dengan ukuran pintu atas panggul pada pasien
pasca seksio sesaria atas indikasi panggul sempit dan disproporsi sefalopelvik.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
1. Untuk melihat hubungan antara ukuran panjang telapak kaki ibu dengan ukuran pintu atas
panggul
2. Untuk melihat hubungan antara tinggi badan ibu dengan ukuran pintu atas panggul
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Untuk melihat karakteristik ukuran panjang telapak kaki
2. Untuk melihat karakteristik ukuran tinggi badan ibu
1.5. Manfaat Penelitian
1. Pasien pasca seksio sesaria atas indikasi panggul sempit dan disproporsi sefalopelvik
dapat mengetahui ukuran panggul sebenarnya guna mempersiapkan diri secara mental dan ekonomi dalam persalinan berikutnya.
2. Diharapkan dari penelitian ini dapat membantu mengurangi angka kejadian seksio sesaria
berulang.
3. Dengan diketahuinya akurasi pelvimetri klinis untuk menegakkan diagnosa panggul
sempit, pertimbangan yang cermat untuk tindakan selanjut menjadi lebih baik.
4. Dapat meramalkan kejadian panggul sempit dari ukuran panjang telapak kaki dan tinggi
)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Panggul
! f
; &
1 2
jaringan jaringan dan ligamen ligamen.5
Tulang tulang panggul terdiri atas 1). os koksa yang terdiri atas os ilium, os iskium, dan
os pubis, 2). os sacrum dan 3) os koksigeus. Tulang tulang ini satu dengan yang lainnya berhubungan. Di depan terdapat hubungan antara kedua os pubis kanan dan kiri yang disebut simfisis. Di belakang terdapat artikulasio sakro iliaka yang menghubungkan os sakrum dengan os ilium. Diluar kehamilan artikulasio ini hanya memungkinkan bergeser sedikit, tetapi pada kehamilan dan waktu persalinan dapat bergeser lebih jauh dan lebih longgar, misalnya ujung os
koksigeus dapat bergerak ke belakang sampai sejauh lebih kurang 2,5 cm.5
Secara fungsional panggul terdiri dari 2 bagian yang disebut pelvis mayor dan pelvis minor. Pelvis mayor adalah bagian pelvis yang terletak di atas linea terminalis, disebut pula
. Bagian yang terletak di bawah linea terminalis disebut pelvis minor atau .
Bentuk pelvis minor ini menyerupai suatu saluran yang mempunyai sumbu melengkung ke depan (sumbu carus). Sumbu ini secara klasik adalah garis yang menghubungkan titik
persekutuan antara diameter transversa dan konjugata vera pada pintu atas panggul dengan titik titik sejenis di Hodge II,III dan IV. Sampai dekat hodge III sumbu itu lurus, sejajar dengan
-
Gambar 1. Sumbu carus dan bidang hodge ( dikutip dari 4 )
& n
&
Diantara kedua pintu
ini terdapat ruang panggul Ruang panggul mempunyai ukuran yang paling luas
dibawah pintu atas panggul, akan tetapi menyempit di panggul tengah, untuk kemudian menjadi
luas lagi sedikit. Penyempitan di panggul tengah ini disebabkan oleh adanya spina iskiadika yang
kadang kadang menonjol ke dalam ruang panggul.5
Gambar 2. Bidang pintu atas panggul (dikutip dari 4)
Pintu Atas Panggul (Pelvic inlet)
Pintu atas panggul merupakan suatu bidang yang dibentuk oleh promontorium korpus
vertebra sakral 1, linea innominata (terminalis), dan pinggir atas simfisis. Panjang jarak dari
+
12,5 – 13 cm, disebut .
Bila ditarik garis dari artikulasio sakroiliaka ke titik persekutuan antara diameter transversa dan konjugata vera dan diteruskan ke linea innominata, ditemukan diameter yang disebut
sepanjang lebih kurang 13 cm. Jarak bagian bawah simfisis sampai ke promontorium
dikenal sebagai . Secara statistik diketahui bahwa konjugata vera sama
dengan konjugata diagonalis dipotong dengan 1,5 cm. Selain kedua konjugata ini dikenal juga
" ,' obstetrik, jarak dari bagian dalam tengah simfisis ke promontorium.5
Gambar 3. Pintu atas panggul dengan konjugata vera, diameter transversa dan oblikua (dikutip dari 4)
Dalam obstetri dikenal 4 jenis panggul (pembagian ! " #$%%) yang
mempunyai ciri ciri pintu atas panggul sebagai berikut :
1. Jenis
Panggul paling baik untuk wanita, bentuk pintu atas panggul hampir mirip lingkaran.Diameter anteroposterior kira kira sama dengan diameter transversa. Jenis ini ditemukan pada 45% wanita. Merupakan jenis panggul tipikal wanita (female type).
2. Jenis
Bentuk pintu atas panggul seperti ellips membujur anteroposterior. Diameter anteroposterior lebih besar dari diameter transversa. Jenis ini ditemukan pada 35% wanita.
3. Jenis
Bentuk pintu atas panggul hampir segitiga. Diameter transversal terbesar terletak di posterior dekat sakrum. Dinding samping panggul membentuk sudut yang makin sempit ke arah bawah. Jenis ini ditemukan pada 15% wanita. Merupakan jenis panggul tipikal pria (
*
$ ;
Diameter transversa jauh lebih lebar dari diameter anteroposterior. Jenis ini ditemukan pada
5% wanita.
Tidak jarang dijumpai kombinasi keempat jenis klasik ini. Di sinilah letak kegunaan pelvimetri
10
$ ' tengah panggul (Midpelvic)
Midpelvis merupakan bidang sejajar spina ischiadica merupakan bidang dimensi pelvik
terkecil yang menjadi bagian yang penting pada proses kepala janin. Diameter
interspina ± 10 cm atau lebih, dan merupakan diameter terkecil dari pelvis. Diameter anteroposterior melalui level spina ischiadica normalnya berukuran sekurang kurangnya 11.5 cm. Komponen posteriornya antara titik tengah diameter interspinarum dengan sakrum disebut
diameter sagitalis posterior yang sekurang kurangnya berukuran 4.5 cm.6
Memperkirakan kapasitas midpelvik secara klinis (periksa dalam) dengan cara pengukuran langsung adalah tidak mungkin. Bila spina ischiadica begitu menonjol, dinding pelvis terasa cembung dan sacrum terasa datar ( tidak cekung), maka kesempitan panggul tengah bisa dicurigai.6
Pintu bawah panggul (Pelvic Outlet)
Pintu bawah panggul tersusun atas 2 bidang datar berbentuk segi tiga, yaitu bidang yang dibentuk oleh garis antara kedua buah tubera ossis iskii dengan ujung os sakrum dan bagian bawah simfisis. Pinggir bawah simfisis berbentuk lengkung ke bawah dan merupakan sudut
(arkus pubis). Dalam keadaan normal besarnya sudut ini ± 900 atau lebih sedikit.5
11
Disproporsi Sefalo7Pelvik/Feto7Pelvik
Istilah disproporsi sefalopelvik mulai dipakai sebelum abad ke 20 yaitu persalinan macet akibat dari ketidakseimbangan antara ukuran kepala janin dan ukuran panggul ibu. Ketidakseimbangan fetopelvik bisa karena panggul sempit, ukuran janin yang besar, atau
biasanya kombinasi dari dua di atas22.
Menurut Althaus, dkk bahwa disproporsi sefalopelvik, dimana kepala janin adalah terlalu besar untuk melewati panggul ibu, tetap menjadi indikasi kunci seksio sesaria di Amerika Serikat. Sering, diagnosisnya tetap diagnosis retrospektif yang ditegakkan hanya setelah intervensi multipel untuk melakukan persalinan pervaginam selama periode waktu yang panjang23.
Dimensi Janin Pada Disproporsi Fetopelvik
Ukuran janin sendiri jarang menjadi penjelasan yang tepat untuk persalinan yang gagal. Bahkan dengan evolusi teknologi sekarang, batas ukuran janin untuk memprediksi disproporsi fetopelvik masih sukar dijelaskan. Kebanyakan kasus disproporsi berasal dari janin yang memiliki berat badan dalam rentang populasi obstetrik umum. Dua pertiga neonatus yang membutuhkan seksio sesaria setelah persalinan forseps yang gagal memiliki berat kurang dari 3700 gr. Dengan demikian, faktor lain seperti malposisi kepala, macetnya pasase janin melalui
jalan lahir. Ini mencakup asinklitismus, posisi oksiput posterior, dan presentasi wajah dan dahi.22
Perkiraan Ukuran Kepala Janin
12
prospektif terhadap dan menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan
antara distosia dan penurunan kepala janin yang gagal selama manuver.22
Pengukuran diameter kepala janin dengan menggunakan teknik radiografi polos tidak digunakan karena distorsi paralaks. Diameter biparietal dan lingkar kepala dapat diukur dengan ultrasonografi, dan telah ada usaha untuk menggunakan informasi ini dalam tatalaksana distosia.
Thurnau dkk (1991) menggunakan untuk mengidentifikasi komplikasi
persalinan. Sayangnya, pengukuran tersebut dalam memprediksi disproporsi sefalopelvik memiliki sensitivitas yang jelek. Sekarang ini tidak ada metode yang memuaskan untuk prediksi
akurat disproporsi fetopelvik berdasarkan ukuran kepala.22
Pemeriksaan besar janin dapat dilakukan sesaat sebelum partus atau waktu partus. Kalau bentuk normal dan letak anak memanjang, yang menentukan imbang feto pelvik ialah kepala, maka disebut imbang sefalo pelvik. Besarnya kepala rata rata tergantung dari besarnya (berat)
janin. Oleh karena itu sebagian ukuran kepala digunakan Berat Badan (BB) janin24:
1. Umur kehamilan dan taksiran persalinan (rumus Naegle)
2. Berat badan ditaksir melalui palpasi kepala pada abdomen (EBW). Cara ini memerlukan
latihan dan pengalaman yang agak lama.
3. Perhitungan menurut "'((" 7 (
Uterus dianggap sebagai suatu benda yang terdiri dari bahan homogen berbentuk ellips jika letak janin memanjang. Volume tergantung dari diameter transversa dan diameter longitudinal dari uterus yang diukur dengan menggunakan jangka Baudeloque. Kemudian secara empiris dibuat suatu grafik yang menggambarkan hubungan antara BB dan jumlah kedua diameter.
5. Rumus Johnson7Toshack
13 Kepala belum di H III: (MD 13) Kepala di H III; (MD 12) Kepala lewat H III: (MD 11) Bila ketuban sudah pecah ditambah 10%
6. Dengan menggunakan alat alat canggih seperti ultrasonografi, diameter biparietalis dapat
diukur.
) ' Sempit
Panggul disebut sempit apabila ukurannya 1 2 cm kurang dari ukuran yang normal. Kesempitan panggul bisa pada pintu atas panggul, ruang tengah panggul, pintu bawah panggul
atau kombinasi dari ketiganya.24
Pembagian Panggul Sempit
A. Kesempitan pintu atas panggul (pelvic inlet) :
Conjugata diagonal (CD) + 13.5 cm. Conjugata vera (CV) + 12.0 cm. Dikatakan sempit
bila CV kurang dari 10 cm atau diameter transversa kurang dari 11,5 cm.24
Pembagian tingkatan panggul sempit: Tingkat I : CV = 9 10 cm = borderline Tingkat II : CV = 8 9 cm = relatif Tingkat III : CV = 6 8 cm = ekstrim
Tingkat IV : CV = 6 cm = mutlak
B.Kesempitan pintu tengah panggul (mid pelvis) :
14
: Pintu bawah panggul (pelvic outlet) :
Diameter sagitalis posterior (AP) + 7.5 cm. Distansia intertuberosum + 10.5 cm. Dikatakan sempit bila jumlah kedua diameter < 15 cm atau bila diameter intertuberosum < 8 cm. Kelainan bentuk atau ukuran panggul dapat diketahui dari anamnesis dan pemeriksaan yang baik. 5,24
Anamnesis perlu ditanyakan riwayat penyakit dahulu, ada/tidak penyakit rachitis, patah tulang panggul, coxitis dan sebagainya. Pelvimetri klinik atau radiologik harus dapat
menentukan perkiraan bentuk dan ukuran panggul dengan baik.5,24
Sebenarnya, melalui mata telanjang calon ibu bisa mengetahui luas panggulnya. Kalau ibu bertubuh tinggi besar, bisa dipastikan ukuran panggulnya relatif luas. Sedangkan ibu yang tidak terlalu tinggi, hanya 145 cm atau malah kurang, kemungkinan besar ukuran panggulnya
kecil dan sempit. Namun pengamatan ini hanya asumsi. Pemeriksaan yang akurat hanya bisa
dilakukan secara klinis dengan roentgen.5
Eller dan Mengert 1947, menyatakan bahwa ada hubungan antara ukuran pintu tengah
panggul dengan ukuran pintu bawah panggul dimana bila ada kesempitan pintu bawah panggul biasanya menyebabkan adanya kesempitan pintu tengah panggul. Hubungan ini diperlihatkan oleh hubungan yang konstan antara diameter intertuberum (ukuran pintu bawah panggul) dan diameter interspinarum (ukuran pintu bawah panggul) dimana penyempitan diameter
interspinarum dapat diharapkan terjadi bila ada kesempitan diameter intertuberum.25
Menurut & ' ())# yang mencari hubungan tinggi badan dan pelvimetri
eksterna dalam memprediksi disproporsi sefalopelvik pada nulipara menyimpulkan bahwa tinggi badan < 150 cm dan diameter transversa < 9,5 cm paling sering berhubungan dengan disproporsi sefalopelvik.26
Kennedy dan Greenwald dkk menyatakan bahwa wanita dengan perawakan pendek
15 komplikasi disproporsi sefalopelvik atau terhentinya dilatasi dan penurunan janin, dengan
demikian lebih mungkin mengalami panggul sempit.19
!"" A.Tahir 1988 dkk menyatakan bahwa ukuran sepatu bukanlah prediktor
klinis untuk meramalkan disproporsi sefalopelvik dan walaupun tinggi badan ibu adalah panduan yang lebih baik untuk meramalkan adekuasi panggul pada persalinan, 80% ibu dengan tinggi
badan kurang dari 160 cm melahirkan secara pervaginam.21
Thoms (1937) mempelajari 362 nullipara dan menemukan rata rata berat badan lahir
bayi adalah secara bermakna lebih rendah (280 gr) pada kelompok wanita dengan panggul sempit (pelvis kecil) dibandingkan kelompok wanita dengan panggul adekuat. Dengan demikian wanita dengan panggul sempit memiliki kemungkinan juga memiliki berat badan janin lahir yang lebih kecil juga.27
Pada nullipara normal, bagian terbawah janin pada waktu aterm umumnya turun ke dalam rongga panggul. Bila ada kesempitan pintu atas panggul penurunan bagian terbawah janin tidak terjadi sampai setelah onset persalinan. Presentasi kepala tetap dominan, tetapi karena
kepala dengan bebas di atas atau terletak lebih lateral pada fossa iliaka,
kekuatan yang sedikit saja dapat menyebabkan janin mengambil presentasi lain.27
Komplikasi Panggul Sempit pada Kehamilan
16
Panggul Sempit
Dewasa ini 2 cara merupakan tindakan utama untuk menangani persalinan pada panggul sempit, yakni seksio sesaria dan partus percobaan.
Seksio dapat dilakukan secara elektif atau primer, yakni sebelum persalinan mulai atau pada awal persalinan, dan secara sekunder, yakni sesudah persalinan berlangsung selama
beberapa waktu.5
Berdasarkan perhitungan konjugata vera pada pintu atas panggul dapat diambil tindakan yaitu:12
panjang CV 8 10 cm → partus percobaan panjang CV 6 8 cm → SC primer
panjang CV < 6 cm → SC absolut.
* * +
Adalah suatu partus fisiologis yang dilakukan pada kehamilan aterm, anak presentasi belakang kepala dengan suspek disproporsi sefalopelvik (CPD). Tindakan partus percobaan adalah memastikan ada tidaknya CPD. Dimulai saat penderita dinyatakan in partu, dengan penilaian kemajuan persalinan dimulai setelah persalinan masuk fase aktif. Penilaian terhadap kemajuan persalinan, turunnya kepala dan putar paksi dalam dilakukan setiap 2 jam. Bila pada setiap penilaian per 2 jam tersebut terdapat perubahan yang bermakna komponen yang dinilai itu, maka partus percobaan dikatakan ada kemajuan dan diteruskan. Bila dari 3 komponen tersebut tidak ada kemajuan yang bermakna, maka partus percobaan dikatakan gagal, dipastikan ada CPD
dan persalinan diakhiri dengan seksio sesaria.5,24
Penelitian tahun 2005 pada 331 wanita yang melahirkan secara seksio
17 sebanyak 51 wanita berhasil melahirkan secara vagina dan 25 wanita menjalani seksio sesaria emergensi. Pada wanita yang secara radiologi pelviknya adekuat, 61 wanita berhasil melahirkan secara pervaginam, sebanyak 22 wanita melahirkan secara seksio sesaria. Terdapat 3 kasus
ruptura uteri yang terjadi pada wanita yang secara radiologi memeliki pelvis yang adekuat.18
Menurut " , - ())., yang melakukan lateral X ray pelvimetri pada 424 ibu
hamil yang akan melahirkan dengan partus percobaan atas indikasi presentasi bokong. Di peroleh kesimpulan bahwa partus percobaan tingkat keberhasilannya lebih tinggi pada ukuran pelvik inlet yang lebih lebar, dan berat janin yang > 3500 gr memiliki kesempatan < 50% untuk
partus pervaginam.23
2.4. Perubahan Anatomi Panggul Pada Wanita Hamil
Pemeriksaan radiologi pada pelvis wanita tidak hamil menunjukkan adanya celah antara tulang pubis yang normalnya sekitar 4 – 5 mm, dalam kehamilan oleh karena pengaruh
hormonal yang dapat menyebabkan relaksasi pada ligamentum ligamentum dan tulang hingga celah tersebut bertambah 2 3 mm. Sehingga suatu keadaan yang normal apabila ditemukan
celah antara tulang pubis mencapai 9 mm pada wanita hamil.28
2.5. Teknik Pengukuran Panggul
Ada dua cara mengukur panggul:
2.5.1. Pemeriksaan Klinis
18 Jarak minimal antara tulang kemaluan dengan promontorium adalah 11 cm. Jika kurang maka dikategorikan sebagai panggul sempit. Namun, jika bayi yang akan lahir tidak terlalu besar,
maka ibu berpanggul sempit dapat melahirkan secara normal.5,24
!0 6. Cara Pemeriksaan Pelvimetri Klinis Dengan Pemeriksaan Dalam
Menurut - " ! / ())0, Yang melakukan penelitian retrospektif
pemeriksaan pelvimetri klinis dan persalinannya pada 268 primigravida, dimana
disimpulkan bahwa pemeriksaan pelvimetri klinis merupakan pemeriksaan yang sangat berguna
dalam memprediksi janin dan sebaiknya dilakukan pada semua primigravida yang
fasilitas monitoring janinnya sangat terbatas. 29
Namun menurut penelitian yang dilakukan + ())% terhadap 461
orang yang dilakukan pemeriksaan pelvimetri klinis secara rutin dari 660 wanita yang akan menjalani partus percobaan dimana 21% nya atau 141 orang memiliki panggul yang tidak adekuat. Namun dari 141 orang hanya 2 orang yang kontrol ulang untuk menjalani pelvimetri
19 kontrol berikutnya sehingga tidak ada keterangan mengenai cara persalinannya. Sehingga disimpulkan bahwa pemeriksaan pelvimetri klinis tidak berpengaruh terhadap cara persalinan
bahkan menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien.30
- ! $ ( Rontgen
X ray pelvimetri pertama sekali diperkenalkan pada tahun 1900 oleh 1 +
& 2 dan semakin dikenal sampai sekarang. Pada tahun 1944 + , 3
menemukan tehnik praktis pada pelvimetri dan kemudian dimodifikasi oleh !
pada tahun 1972.7,12
X ray pelvimetri dilakukan dengan cara memotret panggul ibu, menggunakan alat rontgen. Selama pemotretan ibu diminta duduk, persis seperti tindakan rontgen pada anggota tubuh lain, hanya saja intensitas cahaya yang digunakan lebih rendah. Hasil foto dianalisa untuk
mengetahui ukuran panggul. Bahkan aneka kelainan letak bayi pun sebetulnya bisa terdeteksi dengan cara ini. Dibanding pengukuran secara klinis, pengukuran dengan alat rontgen menghasilkan data yang lebih terperinci mengenai diameter pintu panggul. Namun bahaya radiasi terutama dengan proyeksi Thoms dimana posisi pasien setengah duduk dan jika letak janin dalam letak kepala, maka alat kelamin janin berada diatas dan dekat dengan tabung
rontgen. Dengan demikian akan meningkatkan radiasi pada alat kelamin janin.5,12
Indikasi pemeriksaan Rontgen pada kehamilan bila ada kecurigaan fetopelvik disproporsi atau kecurigaan panggul sempit, riwayat operasi seksio sesaria atau riwayat forcep serta riwayat kematian janin dalam persalinan. X ray pelvimetri juga dilakukan bila pada pemeriksaan klinis didapati ukuran konjugata diagonal < 11,5 cm atau diameter intertuberous < 8 cm serta bila kepala janin tidak masuk pintu atas panggul dan malposisi letak janin seperti pada presentasi
bokong, wajah atau letak lintang.12
#, !
7 - !
% 12
Menurut - & "1 ())4, penggunaan X ray pelvimetri dapat dilakukan pada
trimester 2 dan 3 kehamilan dengan tingkat radiasi yang minimal, sedangkan penggunaan CT
scan dengan dosis di bawah 1,5 rad masih cukup aman bagi janin.31
Menurut yang membandingkan pemeriksaan X ray pelvimetri dengan CT
pelvimetri dalam menentukan ukuran panggul, diperoleh kesimpulan bahwa dari 24 pasien yang diperiksa dengan X ray dan CT pelvimetri pasca melahirkan tidak didapati perbedaan secara statistik dalam ukuran panggul. Namun CT pelvimetri lebih dipilih karena tingkat radiasinya rendah, lebih menyenangkan bagi pasien dan waktunya lebih singkat serta mudah pembacaannya
jika dibandingkan dengan X ray pelvimetri.1
- ) 9 " 79 " Yang Mempengaruhi Pengukuran Pelvimetri
Ada 3 faktor yang mempengaruhi pengukuran pelvimetri radiologis yaitu:
1. Teknik rontgen
2. Posisi pasien
3. Penempatan bar kalibrasi
Teknik rontgen, posisi pasien, dan penempatan bar kalibrasi yang tidak baik menyebabkan pengukuran menjadi tidak akurat dan terpercaya sehingga pengukuran harus diulang. Eliminasi bar kalibrasi memungkinkan teknisi rontgen dapat berkonsentrasi pada teknik rontgen dan penempatan posisi pasien yang baik, sehingga lebih sedikit diperlukan rontgen ulangan dan paparan radiasi terhadap janin dapat dikurangi. Teknik ini disebut dengan X ray
pelvimetri teknik Colcher Sussman yang dimodifikasi.7
#1 validitas pelvimetri klinis yaitu faktor pemeriksa dan anatomi panggul. Faktor pemeriksa menyebabkan variasi antarpemeriksa (inter observer variation) yang ditentukan oleh pengalaman pemeriksa. Anatomi panggul bervariasi pada setiap wanita. Sebagai contoh, dua primipara memiliki ukuran konjugata diagonalis sama yaitu 10,5 cm, tetapi pada satu orang memiliki konjugata obstetrik berukuran 10,2 cm dan persalinan pervaginam menjadi mudah; pada primipara yang lain ukuran conjugata obstetriknya bisa berukuran 8,2 cm sehingga persalinan harus diakhiri dengan seksio sesaria. 12,30
> Konsep
VARIABEL DEPENDEN
VARIABEL INDEPENDEN
PELVIMETRI RADIOLOGIS UKURAN PANJANG TELAPAK KAKI
TINGGI BADAN
Faktor pemeriksa
Interobserver variation
Variasi Anatomi
##
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
' '
pelvimetri radiologi pintu atas panggulnya.
3.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan terhadap pasien seksio sesaria atas indikasi panggul sempit atau
disproporsi sefalopelvik di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Dr. Pirngadi Medan sejak
bulan Juni 2011 sampai jumlah sampel terpenuhi.
3.3. Populasi Dan Sampel Penelitian
3.3.1. Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah semua pasien yang menjalani seksio sesaria atas indikasi panggul sempit atau disproporsi sefalopelvik di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Dr. Pirngadi Meda sejak bulan Juni 2011
3.3.2. Sampel Penelitian
#!
. ; #,11 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling.
) + Besar Sampel
Besar sampel penelitian dihitung secara statistik berdasarkan rumus:32
n1=n2= 2 ( Zα + Zβ).S
x1 x2
Zα = Nilai baku normal dari tabel Z, α=0,05 Zα=1,96
Zβ = Nilai baku normal dari tabel Z, β=0,20 Zβ=0,84
n = Besarnya sampel
( x1 x2)= Selisih minimal yang dianggap bermakna= 1,1
S= Standar deviasi= 1,02 (standar deviasi 1,02 merupakan standar deviasi gabungan wanita dengan panggul sempit dan panggul adekuat).
n1=n2= 2 ( 1,96 +0,84).1,02
1,1 = 18 orang
Jadi besar sampel yang dibutuhkan untuk penelitian adalah sedikitnya 36 orang yang diperoleh dengan cara consecutive sampling.
2
#$
) - Kriteria Penelitian
3.5.1. Kriteria Inklusi
1. Semua wanita pasca seksio sesaria atas indikasi panggul sempit atau disproporsi sefalopelvik yang dinilai berturut turut dengan pelvimetri klinis dan partograf baik seksio sesaria elektif maupun seksio sesaria emergensi yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Dr. Pirngadi Medan.
2. Umur kehamilan aterm (38 42 minggu) atau postterm (>42 minggu) berdasarkan HPHT dan/atau ultrasonografi
3. Bersedia ikut serta dalam penelitian
4. Tidak pernah mengalami kelainan tulang panggul atau trauma pada tulang panggul.
3.5.2. Kriteria Eksklusi
1. Subjek penelitian mengundurkan diri.
4.6. Cara Kerja
1. Pasien yang datang ke poliklinik ibu hamil atau IGD dengan umur kehamilan aterm ( 38
42 minggu) atau postterm (>42 minggu) dilakukan anamnesis, pemeriksaan Leopold, pemeriksaan dalam untuk menilai adekuasi panggul dengan atau tanpa ultrasonografi.
2. Kemudian pasien dikelompokkan menjadi yaitu kelompok panggul sempit dan kelompok
panggul adekuat. Kelompok panggul sempit dilakukan seksio sesaria baik secara elektif maupun secara emergensi. Setelah seksio sesaria berat badan lahir bayi dicatat.
3. Pasien pada kelompok panggul adekuat direncanakan persalinan spontan pervaginam bila
tidak ada kontraindikasi. Kemajuan persalinan diikuti. Bila selama persalinan terjadi disproporsi sefalopelvik, seksio sesaria dilakukan secara emergensi.
4. Pada hari ketiga paska operasi seksio sesaria dilakukan pelvimetri radiologis untuk
#( (
panjang telapak kaki dan tinggi
badan dengan ukuran pintu atas panggul secara radiologis.
4.7. Alur Penelitian
PANGGUL
SEMPIT
PANGGUL
ADEKUAT
PASIEN SEKSIO SESARIA BAIK ELEKTIF MAUPUN EMERGENSI ATAS INDIKASI PANGGUL SEMPIT
ATAU DISPROPORSI SEFALOPELVIK
PELVIMETRI KLINIS SEBELUM ATAU PASCA SC.
PASKA7SC: X7RAY PELVIMETRI PENGUKURAN UKURAN PANJANG TELAPAK KAKI DAN TINGGI BADAN IBU
#)
+ % Batasan Operasional
1. Seksio sesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding
perut dan dinding uterus.
2. Disproporsi sefalopelvik yaitu persalinan macet akibat dari ketidakseimbangan antara
ukuran kepala janin dan ukuran panggul ibu. Ketidakseimbangan fetopelvik bisa karena panggul sempit, ukuran janin yang besar, atau biasanya kombinasi dari dua di atas.
3. Panggul sempit adalah apabila ukuran panggul kurang 2 cm dari ukuran yang normal.
Kesempitan panggul bisa pada pintu atas panggul, ruang tengah panggul, pintu bawah panggul atau kombinasi dari ketiganya.
4. Tinggi badan adalah ukuran tinggi badan pasien. Tinggi badan diukur dengan
menggunakan timbangan berat badan yang juga mempunyai alat pengukur tinggi badan yang diukur dalam ukuran sentimeter .
5. Ukuran sepatu adalah ukuran panjang kaki pasien yang diukur dari tumit sampai ujung
jempol kaki yang diukur dengan meteran dalam satuan sentimeter.
6. Pelvimetri klinis adalah pemeriksaan pengukuran panggul dengan menggunakan jari
tangan untuk mengukur ukuran pintu atas panggul (konjugata diagonalis), pintu tengah panggul (spina iskiadika) dan pintu bawah panggul (distansia intertuberum).
7. X ray pelvimetri adalah pemeriksaan pelvimetri radiologis dengan cara memotret
panggul ibu menggunakan alat rontgen dalam posisi setengah duduk.
4.9. Analisis Data
1. Untuk pengolahan dan analisa data menggunakan program komputer sistem SPSS for
Windows versi 16
2. Penyajian data dalam bentuk tabel.
3. Untuk mengetahui hubungan ukuran panjang telapak kaki dan tinggi badan ibu dengan
#- BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
' 4 5 ? % . . 4 5D Dr. Pirngadi
Medan sejak 1 Juni 2011 sampai dengan 1 Juni 2012, baik yang mengalami seksio sesaria elektif
maupun emergensi. Dari kedua rumah sakit tersebut, tercatat sebanyak 42 pasien seksio sesaria yang dioperasi atas indikasi panggul sempit atau disproporsi sefalopelvik yang memenuhi kriteria inklusi dan bersedia ikut serta dalam penelitian.
Tabel 4.1. Karakteristik Kasus Penelitian Berdasarkan Usia, Paritas dan Tinggi Badan.
Karakteristik Jumlah kasus penelitian
Disproporsi Sepalopelvik 16 38,1
Asal Rumah Sakit
#+
)1,9% sedangkan sisanya adalah karena disproporsi sefalopelvik sebesar
38,1%.
Proporsi subjek penelitian hampir seimbang antara subjek penelitian yang berasal dari Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan (42,6%) dan yang berasal dari Rumah Sakit Pirngadi Medan (52,4%).
Tabel 4.2. Ukuran Konjugata Vera Klinis Dan Pembukaan Serviks
Parameter Jumlah Kasus Penelitian dikategorikan sebagai panggul sempit yaitu sebesar 61,9% sedangkan sisanya adalah dengan konjugata vera ≥ 10 cm yang dikategorikan sebagai panggul adekuat yaitu sebesar 38,1%.
Kebanyakan pembukaan serviks adalah dalam kategori pembukaan 0 4 cm atau fase laten sebesar 73,8% sedangkan pembukaan > 4 cm adalah sebesar 26,2%.
Tabel 4.3. Ukuran Panjang Telapak Kaki dan Tinggi Badan
#* ≥## 1(# $"2 9## 1$- )"2
6 ≤150 cm(64,3%)
dibandingkan dengan kelompok >150 cm (35,7%).
Tabel 4.4. Karakteristik Kasus Penelitian Berdasarkan Pemeriksaan X7ray Pelvimetri.
Jenis ukuran Jumlah
Rata rata ukuran panggul berdasarkan pemeriksaan X ray pelvimetri adalah konjugata vera 10,94 cm, konjugata transversa 12,12 cm, dan konjugata oblique 11,40 cm.
Tabel 4.5. Karakteristik Pintu Atas Panggul Berdasarkan X7ray Pelvimetri
Parameter Jumlah Kasus Penelitian
N=42 Persentase (%)
Konjugata Vera
Pintu atas panggul sempit 10 23,8
Pintu atas panggul adekuat 32 76,2
Konjugata transversa
Pintu atas panggul sempit 10 23,8
Pintu atas panggul adekuat 32 76,2
Kesempitan pintu atas panggul
Pintu atas panggul sempit 18 42,9
Pintu atas panggul adekuat 24 57,1
!, 5
11,5 cm. Dari pemeriksaan X ray pelvimetri didapati 23,8% subjek penelitian masuk dalam kategori panggul sempit berdasarkan ukuran konjugata transversa.
Berdasarkan ukuran konjugata vera dan konjugata transversa didapati ukuran pintu atas panggul normal sebanyak 57,1% dan sempit sebanyak 42,9%.
Tabel 4.6. Hubungan Antara Pelvimetri Radiologis Dengan Pelvimetri Klinis Pada
Pengukuran Pintu Atas Panggul
Berdasarkan pelvimetri klinis didapati kategori panggul sempit sebanyak 26 kasus atau 61,9%. Dari 26 kasus panggul sempit berdasarkan pelvimetri klinis ini hanya 12 kasus atau
!" #$ yang dikategorikan sebagai panggul sempit berdasarkan pelvimetri radiologis. Sedangkan panggul adekuat berdasarkan pelvimetri klinis sebanyak 16 orang dimana dari jumlah ini hanya
10 kasus atau !% "$ yang dikonfirmasi sebagai panggul adekuat berdasarkan pelvimetri
radiologis. Jadi akurasi pemeriksaan pelvimetri klinis hanya 52,4% (28,6%+23,8).
Menurut pemeriksaan X ray pelvimetri lebih akurat dibandingkan
pemeriksaan manual dalam menentukan ukuran panggul. Berlawanan dengan penelitian yang
dilakukan pada 798 primigravida diperoleh nilai yang hampir bersamaan antara
!1
# 0 4.7. Hubungan Ukuran Pintu Atas Panggul Berdasarkan Pelvimetri Radiologis
Dengan Ukuran Panjang Telapak Kaki Ibu
Pjg.Telapak Kaki Ukuran Pintu Atas Panggul Total p
Sempit Adekuat
Berdasarkan ukuran panggul atas didapati ukuran panggul adekuat sebanyak 10 kasus
atau 23,8% pada panjang telapak kaki <22 cm dan 14 kasus atau 33,3% mempunyai panggul adekuat pada panjang telapak kaki ≥22 cm. Berdasarkan uji statistik Fisher tidak didapatkan hubungan antara variabel panjang telapak kaki dengan ukuran panggul atas dengan nilai p>0,05 (p=0,533).
Tabel 4.8. Perbandingan Rata7Rata Panjang Telapak Kaki Ibu Berdasarkan Kategori
Panggul Atas Berdasarkan Pelvimetri Radiologis
Dari tabel di atas rerata panjang telapak kaki pada panggul sempit dan panggul adekuat berturut turut adalah 21,48 cm dan 21,83 cm. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik ukuran panjang telapak kaki antara panggul atas sempit dengan panggul atas adekuat berdasarkan pelvimetri radiologis (p>0,05)
Hal ini sesuai dengan pendapat Mahmood A.Tahir 1988 dkk yangmenyatakan bahwa
ukuran sepatu bukanlah prediktor klinis untuk meramalkan disproporsi sefalopelvik; tetapi
berlawanan dengan pendapat Kennedy dan Greenwald dkk yang menyatakan bahwa ukuran
sepatu kecil (<4,5) atau panjang telapak kaki yang kecil lebih mungkin persalinannya mengalami komplikasi disproporsi sefalopelvik atau terhentinya dilatasi dan penurunan janin, dengan
!#
# 0 4.9. Hubungan Ukuran Pintu Atas Panggul (PAP) Berdasarkan Pelvimetri
Radiologis Dengan Ukuran Tinggi Badan Ibu.
Tinggi Badan Ukuran Pintu Atas Panggul Total P
Sempit Adekuat
Berdasarkan ukuran panggul atas didapati ukuran panggul sempit sebanyak 11 kasus atau
26,2% pada tinggi badan ≤150 cm dan 7 kasus atau 16,7% yang mempunyai panggul sempit pada tinggi badan >150 cm. Bila dihitung secara statistik dengan menggunakan uji Fisher dijumpai nilai p>0,05 (p=0,754) yang berarti tidak ada hubungan antara tinggi badan dengan ukuran pintu atas panggul.
Tabel 4.10. Perbandingan Rata7Rata Tinggi Badan Ibu Berdasarkan Kategori Panggul
Atas Berdasarkan Pelvimetri Radiologis.
Dari tabel di atas rerata tinggi badan pada panggul sempit dan panggul adekuat berturut turut adalah 148,81 cm dan 150,08 cm. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik ukuran tinggi badan ibu antara panggul atas sempit dengan panggul atas adekuat berdasarkan pelvimetri radiologis (p>0,05)
Hal ini sesuai dengan penelitian Aflah N. 2009 dalam tesisnya yang menyatakan bahwa
tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara tinggi badan dengan diameter panggul lain
seperti conjugata vera, conjugata transversa, conjugata obliqua, dan distansi interspinarum.20
Tabel 4.11 Proporsi panggul sempit berdasarkan tinggi badan ibu
Tinggi Badan N Persentase (%)
<150cm 11 61%
≥150cm 7 39%
!!
Dari tabel diatas didapatkan sebanyak 11 orang (61%) pasien panggul sempit dengan tinggi
badan <150cm dan 7 orang (39%) pasien panggul sempit dengan tinggi badan ≥150cm. Bisa disimpulkan bahwa wanita dengan tinggi badan <150cm memiliki proporsi panggul sempit yang lebih besar dibandingkan wanita dengan wanita dengan tinggi badan ≥150cm.
# 0 4.12
Proporsi panggul sempit berdasarkan ukuran panjang telapak kaki
Ukuran panjang telapak kaki N Persentase (%)
<22cm 10 55,5%
≥22cm 8 44,4%
Total 18 100%
!$ BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Akurasi pemeriksaan pelvimetri klinis untuk menilai kategori pintu atas panggul setelah
dikonfirmasi dengan pelvimetri radiologis hanya 52,4%.
2. Dengan menggunakan uji statistik Fisher tidak dijumpai adanya hubungan yang
bermakna antara ukuran panjang telapak kaki ibu dengan ukuran pintu atas panggul secara radiologis.
3. Dengan menggunakan uji beda mean tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik
ukuran panjang telapak kaki ibu antara panggul atas sempit dan panggul atas adekuat
4. Dengan menggunakan uji statistik Fisher tidak dijumpai hubungan bermakna antara
ukuran tinggi badan ibu dengan ukuran pintu atas panggul secara radiologis.
5. Dengan menggunakan uji beda mean tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik
ukuran tinggi badan ibu antara panggul atas sempit dan panggul atas adekuat secara radiologis
6. Dari penelitian ini didapatkan wanita dengan tinggi badan <150cm memiliki proporsi
panggul yang sempit yang lebih besar dibandingkan wanita dengan wanita dengan tinggi badan ≥150cm.
7. Dari penelitian ini dijumpai wanita dengan panjang telapak kaki <22cm memiliki
!(
- Saran
'
berikutnya, atau sebaiknya pelvimetri radiologis tersebut dilaksanakan sebelum pasien
yang sudah menjalani seksio sesarea, keluar dari rumah sakit.
Jika hasil pemeriksaan pelvimetri radiologis tersebut tidak menunjukkan kesempitan
panggul baik pada pintu atas panggul, pintu tengah panggul, maupun pintu bawah panggul, maka
persalinan berikutnya dapat dipertimbangkan partus pervaginam “ Vaginal Birth After Cesarean
Section”.
Pemeriksaan telapak kaki dan tinggi badan mungkin dapat menjadi prediktor untuk
ukuran pintu atas panggul sehingga dianjurkan untuk diukur pada wanita yang akan menjalani
!) DAFTAR PUSTAKA
1. Raman S, Samuel D, Suresh K; A comparative Study of X ray Pelvimetry and CT
Pelvimetry; ANZJOG Volume 31 Issue 3, hal 217 220
2. Panggul Sempit Vs Melahirkan Normal
Available from: www.Balita Anda.com
3. Cecil Bull, H; Pelvimetry in obstetric ; Available from www.pubmedcentral.nih.gov
4. SOGC. ALARM International: a program to reduce maternal mortality and morbidity,
edition Ottawa: 2010
5. Winkjosastro H, Saifudin B A, Rachimhadhi T. Distosia karena Kelainan Panggul.
Dalam. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwona Prawirohardjo,Yakarta 2002: 637 47
6. Cuningham F G, Norman F, Kenneth J, Larry C, John C, Katharine D, et al. Anatomy of
the Reproductive Tract. In. Williams Obstetrics 21st Edition. Thw Mc Graw Hill
Companies, New Cork. 2001: 28 40.
7. Robert C Brown MD; A modification of the colcher sussman technique of X ray
pelvimetry; Available from www.ajronline.org
8. Amoa BA, Klufio AC ; A case control study of primary caesarean section at the Port
Moresby General Hospital, Papua New Guinea, to identify epidemiological predictors of abdominal delivery; PNG Med J 1997 Sep Dec; 40; page 119 126
9. Piliang S; Kematian perinatal pada seksio sesarea di RS Dr. Pirngadi Medan tahun 1994;
Tesis; 4 Desember 1994
10. Rahmad ; Nilai Apgar dan status asam basa neonates pada seksio sesarea dengan anastesi
umum dan analgesia regional ; Tesis ; 2 Februari 2000
11. Eanglish,J, et al ; Normal Pelvic Dimensions for Saudi Arabian Women in Tabuk
Obtained by CT Pelvimetry; 1995
12. Barron, LR , Hill RO, Linkletter AM ; X ray Pelvimetry ; Lachine General Hospital,
!-
13. Bruce, K Young; Vaginal birth after cesarean section ; X ray pelvimetry at term is
informative ; Journal of perinatal Medicine. Volume 34, Issue 3, Page 216 ; 2006
14. Floberg J; Belfrage P; Carlsson M; Ohlsen ; The pelvic outlet. A comparison between
clinical evaluation and radiologic pelvimetry ; Acta Obstet Gynecol Scand. 1986
15. Raman S, Samuel D, Suresh K; A comparative Study of X ray Pelvimetry and CT
Pelvimetry; ANZJOG Volume 31 Issue 3, hal 217 220
16. Sporii Stefan,et al ; MR Imaging Pelvimetry; A usefull adjunct in the treatment of women
at risk for dystosia, 2001
17. Miriam S. Lenharda1, Thorsten R.C. Johnsonb et all. Pelvimetry revisited: Analyzing
cephalopelvic disproportion. Munich:Elsevier Ireland Ltd;2009
18. Krishnamurthy S; The role of postnatal X ray pelvimetry after caesarean section in the
management of subsequent delivery; BJOG 2005
19. Awonuga, Merhi, Samuels et al. Anthropometric measurement in diagnosis of pelvic
size: an analysis of maternal height and shoe size and computed tomography pelvimetric
data. Arch Gynecol Obstet (2007) 276: 523 528.
20. Aflah N. Thesis: Ukuran Panggul Pada Pasien Pasca Seksio Sesaria Atas Indikasi
Panggul Sempit. Departemen Obstetri Ginekologi FK USU, Medan. 2009
21. Mahmood A Tahir, Campbell M. Doris and Wilson W. Alex. Maternal height, shoe size,
and outcome of labour in white primigravidas: a prospective anthropometric study. BMJ vol 297. Aberdeen. 1988
22. Cuningham F G, Norman F, Kenneth J, Larry C, John C, Katharine D, et al. Abnormal
Labor. In. Williams Obstetrics 23rd Edition. Thw Mc Graw Hill Companies, New York.
2010: 503 507.
23. Mahmood A Tahir; The influence of maternal height, obstetrical conjugate and fetal birth
weight in the management of patients with breech presentation; ANZJOG volume 30 Issue 1, pages 10 14
24. Muchtar R. Bentuk dan Kelainan Panggul. Dalam. Sinopsis obstetri. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta: 2002: 315 330.
25. Cuningham F G, Norman F, Kenneth J, Larry C, John C, Katharine D, et al. Anatomy of
the Reproductive Tract. In. Williams Obstetrics 22nd Edition. Thw Mc Graw Hill
!+
#) S ?& & . 6 . ; . ? G
n %' =
H &;/0 . #,,1
27. Cuningham F G, Norman F, Kenneth J, Larry C, John C, Katharine D, et al. Anatomy of
the Reproductive Tract. In. Williams Obstetrics 22nd Edition. Thw Mc Graw Hill
Companies, New York. 2005: 503 507.
28. Diastasis Symphysis Pubis, http://en.wikipedia.org/wiki/Diastasis_symphysis_pubis
29. S. T. Sule and B. I. Matawal ; Antenatal clinical pelvimetry in primigravidae and
outcome of labour ; Annals of African Medicine & ' ( ') !**+,-#' . -#/
0, Page 260 264
30. Blackadar Charles S; A retrospektif review of performance and utility of routine clinical
pelvimetry ; Fam Med 2004
31. Tolaymat Lama MD; Principles for medical and surgical intervention in pregnancy, Can I
do that to a pregnant woman? ; Northeast Florida Medicine vol 57, no 2 2006 available
from www.DCMSonline.org
32. Sopiyudin Dahlan. Langkah Langkah Membuat Proposal Penelitian Bidang Kedokteran