• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan transpirasi dengan hasil dan rendemen minyak biji jarak pagar (Jatropha curcas L)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan transpirasi dengan hasil dan rendemen minyak biji jarak pagar (Jatropha curcas L)"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

CHARLES YULIUS BORA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Hubungan Transpirasi Dengan Hasil Dan Rendemen Minyak Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2008

(3)

ABSTRACT

CHARLES YULIUS BORA. Relationship between Transpiration and Yield and Seed Oil Content of Jatropha (Jatropha curcas L.). Under direction of SUDIRMAN YAHYA, EKO SULISTYONO and ZAINAL MAHMUD.

Jatropha (Jatropha curcas L.) is a plant which produce oil that can be used as an alternative fuel. Generally, Jatropha grow in dry-land area. To reach the highest oil production, the study on best agricultural practice still needs to be done.

The objective of this research was to evaluate the relationship between transpiration and yield and seed oil content. The research was conducted at Cikabayan Research Garden of IPB during 2007 July until 2008 July. The experimental design was Randomized Block Design with two factors and three replications. The first factor was genotype of Jatropha e.i.: Improved Population 1 Asembagus (IP-1A); Improved Population 1 Muktiharjo (IP-1M) and Improved Population 1 Pakuwon (IP-1P). The second factor was irrigation frequency e.i.: 7; 14; 21 and 28 days. The observed variables were plant growth, evapotranspiration and yield component.

The results show that the irrigation frequency of 7 days gave a higher evapotranspiration and transpiration rate than 14, 21, and 28 days irrigation frequencies. The differences affected plant growth and yield component of each genotipe. The interaction effects between genotype and irrigation frequency were significant on total dry matter, roots dry matter and fruit number per plant.

The transpiration positively and strongly related to fruits number, seed productions and oil production. Increasing on every mm of the transpiration was followed by increasing on fruit number 0.014 (0.112 fruits/l/plant) for IP-1A and 0.024 (0.183 fruits/l/plant) for IP-1P; and increasing by 0.029 g (0.23 g/l/plant) for IP-1A and 0.024 g (0.19 g/l/plant) for IP-1P in seed productions. The transpiration correlated to oil production but not to oil content. Each mm of transpiration increased the oil production 0.0094 g (0.075 g/l/plant) for IP-1A and 0.0073 g (0.058 g/l/plant) for IP-1P. Water use of IP-1P genotype was more efficient than IP-1A in fruits number, but the IP-1A genotype more efficient in seed and oil productions. The differences on growth and yield responses of the jatropha genotypes to transpiration can be used as the model to describe the relationship between transpiration and growth and yield of the plant.

(4)

RINGKASAN

CHARLES YULIUS BORA. Hubungan Transpirasi Dengan Hasil Dan Rendemen Minyak Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.). Dibimbing oleh SUDIRMAN YAHYA, EKO SULISTYONO dan ZAINAL MAHMUD.

Jarak pagar (Jatropha curcas L.) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak nabati sebagai alternatif pengganti bahan bakar minyak. Beberapa keunggulan jarak pagar dibandingkan dengan sumber minyak nabati lainnya adalah : relatif mudah dibudidayakan oleh petani kecil, dapat ditanam sebagai batas kebun, cocok di daerah beriklim kering, sebagai tanaman konservasi pada lahan-lahan marginal. Walaupun secara umum tanaman jarak pagar cocok untuk lahan kering (“marginal’) namun produktivitas merupakan pertimbangan utama, sehingga pemahaman tentang aspek budidaya perlu mendapat perhatian.

Penelitian bertujuan mempelajari hubungan transpirasi dengan hasil biji jarak pagar dan rendemen minyak biji jarak pagar.

Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli 2007 sampai Juli 2008 di Kebun Percobaan Cikabayan IPB Bogor. Bahan yang digunakan adalah benih jarak pagar genotipe IP-1A dan genotipe IP-1M diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Serat Malang yang masing-masing berasal dari Kebun Percobaan Asembagus Situbondo (IP-1A) dan Kebun Percobaan Muktiharjo Pati (IP-1M), sedangkan benih genotipe IP-1P diperoleh dari Kebun Percobaan Pakuwon Sukabumi. Alat yang digunakan adalah ember (20 l), polibag ukuran diameter 40 cm yang didesain sebagai lisimeter sederhana. Sebagai media tumbuh digunakan tanah Latosol Darmaga. Rancangan penelitian disusun dalam percobaan faktorial dua faktor dengan menggunakan rancangan acak kelompok 3 ulangan. Faktor pertama adalah 3 genotipe jarak pagar yaitu: genotipe IP-1A; IP-1M dan IP-1P. Faktor kedua adalah frekuensi irigasi yang terdiri dari 4 taraf penyiraman, yaitu 7; 14; 21 dan 28 hari sekali.

(5)

Interaksi antara genotipe jarak pagar dengan frekuensi irigasi berpengaruh sangat nyata terhadap bobot kering total tanaman dan akar tanaman pada umur 6 bulan. Untuk total tanaman, respon genotipe IP-1A adalah nyata secara non linier, sedangkan genotipe IP-1M dan IP-1P nyata secara linier. Bobot kering akar ketiga genotipe mempunyai respon yang nyata secara non linier. Bobot kering akar semakin menurun dengan semakin menurunnya frekuensi irigasi. Respon ini menunjukkan bahwa genotipe IP-1A lebih efisien dalam penggunaan air dibandingkan dengan dua genotipe lainnya. Interaksi juga tidak nyata pada peubah nisbah tajuk-akar, namun untuk masing-masing faktor berpengaruh nyata. Semakin kering, pertumbuhan akar lebih dominan dari pada pertumbuhan tajuk yang ditandai dengan semakin rendahnya nisbah bobot kering tajuk-akar.

Total evapotranspirasi (ET) dan transpirasi semakin menurun dengan semakin menurunnya frekuensi irigasi. Pada umur tanaman 10 bulan masing-masing genotipe menghasilkan total transpirasi yang berbeda-beda.

Komponen hasil yang disajikan berasal dari dua genotipe yaitu genotipe IP-1A dan IP-1P karena IP-1M sampai dengan umur 11 bulan (10 BSP) belum menghasilkan bunga. Interaksi antara genotipe dan frekuensi irigasi nyata terjadi pada peubah jumlah buah per tanaman dan respon kedua genotipe nyata secara linier. Pengaruh genotipe sangat nyata terhadap jumlah buah per tanaman tetapi tidak nyata untuk hasil biji, rendemen minyak dan produksi minyak per tanaman. Genotipe IP-1P menunjukkan hasil lebih tinggi dari pada IP-1A pada semua peubah komponen hasil.

Transpirasi berkorelasi positif erat dengan komponen hasil jarak pagar. Setiap peningkatan transpirasi sebesar 1 mm meningkatkan jumlah buah sebanyak 0.014 buah per pohon (0.112 buah/l air/pohon) untuk genotipe IP-1A dan 0.023 buah per pohon (0.183 buah/l air/pohon) untuk genotipe IP-1P, dan meningkatkan hasil biji sebesar 0.029 g per pohon (0.23 g/l air/pohon) untuk genotipe IP-1A dan 0.024 g per pohon (0.19 g/l air/pohon) untuk genotipe IP-1P. Transpirasi tidak berkorelasi dengan rendemen minyak biji jarak pagar tetapi berkorelasi positif dengan produksi minyak per pohon. Setiap peningkatan transpirasi sebanyak 1 mm meningkatkan produksi minyak sebanyak 0.0094 g per pohon (0.075 g/l air/pohon) untuk genotipe IP-1A dan 0.0073 g per pohon (0.058 g/l air/pohon) untuk klon IP-1P. Perbedaan produksi minyak dalam hubungannya dengan transpirasi dipengaruhi oleh perbedaan hasil biji dari masing-masing genotipe. Hubungan antara transpirasi dan komponen hasil dan produksi minyak dipengaruhi oleh perbedaan genotipe jarak pagar. Pada penggunaan volume air yang sama, genotipe IP-1P lebih efisien dari pada genotipe IP-1A dalam menghasilkan jumlah buah tetapi sebaliknya untuk hasil biji dan produksi minyak genotipe IP-1A lebih efisien. Peubah jumlah buah, hasil biji dan produksi minyak masing-masing genotipe dapat menggambarkan sub model hubungan transpirasi dengan hasil tetapi tidak menggambarkan dalam hubungannya dengan rendemen minyak biji jarak pagar.

(6)

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar

IPB

(7)

HUBUNGAN TRANSPIRASI DENGAN HASIL DAN RENDEMEN MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcasL.)

CHARLES YULIUS BORA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Agronomi

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Tesis

Nama NIM

:

: :

Hubungan Transpirasi Dengan Hasil Dan Rendemen Minyak Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)

Charles Yulius Bora A 151060271

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Yahya, MSc Ketua

Dr. Ir. Eko Sulistyono, MSi Dr. Zainal Mahmud, APU

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MSi

(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Hubungan Transpirasi dengan Hasil dan Rendemen Minyak Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.), sehingga diharapkan menjadi salah satu sumber informasi bagi pengguna dalam mengembangkan tanaman jarak pagar.

Penghargaan dan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, MSc, Dr. Ir. Eko Sulistyono, MSi dan Dr. Zainal Mahmud, APU selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang banyak memberikan sumbangan pemikiran, kritikan, saran dan nasehat dalam pelaksanaan penelitian maupun dalam penulisan tesis ini. Disamping itu, penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Haryadi, MS selaku penguji luar komisi yang banyak memberi saran dan kritikan.

Penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada Badan Litbang Pertanian khususnya Komisi Pembinaan Tenaga atas kesempatan dan dana yang diberikan. Terima kasih juga kepada Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat atas penggunaan beberapa sarana penelitian, Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur atas dorongan, arahan dan kesempatan dalam melanjutkan studi S2 di IPB.

Terima kasih penulis juga sampaikan kepada Teknisi Kebun Percobaan Cikabayan, Laboran pada Laboratorium Fisiologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura dan Laboratorium Kimia Pangan PAU, IPB, serta teman-teman Pascasarjana angkatan 2006 yang telah banyak memberikan saran dalam penyelesaian tesis ini. Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa restu dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2008

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 24 Juli 1967 dari ayah Ir. Obed Bora dan ibu Yacoba Pandango. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara.

Tahun 1986, penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri 4 Surakarta, Jawa Tengah. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan pada di Akademi Farming Semarang dan tamat pada tahun 1989, kemudian melanjutkan ke Jurusan Budidaya Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Merdeka Madiun. Penulis memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada tahun 1992.

Sejak tahun 1993 penulis bekerja sebagai staf peneliti pada Proyek Penelitian Pembangunan Pertanian Nusa Tenggara (P3NT) yang selanjutnya pada tahun 1994 berubah status menjadi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... PENDAHULUAN

Latar Belakang... Tujuan Penelitian... Hipotesis... TINJAUAN PUSTAKA

Evapotranspirasi... Neraca Air...

Kebutuhan dan Katersediaan Air Tanaman... Hubungan Transpirasi dengan Hasil Tanaman... Hubungan Transpirasi dengan Kandungan Minyak Biji... Jarak Pagar... BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu... Bahan dan Alat...

Metode Penelitian... Pelaksanaan Penelitian... Pengamatan... HASIL DAN PEMBAHASAN

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Tinggi tanaman dan jumlah cabang ari tiga genotipe...

2 Rata-rata tinggi tanaman dan jumlah cabang jarak pagar pada berbagai frekuensi irigasi... 3 Rata-rata luas daun dari tiga genotipe jarak pagar...

4 Rata-rata luas daun jarak pagar pada berbagai frekuensi irigasi...

5 Rata-rata indeks luas daun dari tiga genotipe jarak pagar...

6 Rata-rata indeks luas daun jarak pagar pada berbagai frekuensi irigasi... 7 Tanggap bobot kering tanaman dan bobot kering akar 3 genotipe jarak

pagar akibat frekuensi pada umur 6 BSP... 8 Pengaruh genotipe jarak pagar terhadap nisbah bobot kering tajuk-akar...

9 Pengaruh frekuensi irigasi terhadap nisbah bobot kering tajuk-akar...

10 Korelasi antara transpirasi dengan bobot kering jarak pagar pada 6 BSP....

11 Rata-rata jumlah buah, hasil biji, rendemen minyak dan produksi minyak per pohon antar genotipe jarak pagar... 12 Rata-rata jumlah buah, hasil biji, rendemen minyak dan produksi minyak

per pohon jarak pagar berdasarkan frekuensi irigasi... 13 Tanggap jumlah buah genotipe jarak pagar akibat frekuensi irigasi...

14 Korelasi antara transpirasi dengan komponen hasil dan antar komponen hasil genotipe IP-1A... 15 Korelasi antara transpirasi dengan komponen hasil dan antar komponen

hasil genotipe IP-1P... 19

20 21

22

23

24

26

28 29

33

35

36 39

40

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Model deskriptif sintesis minyak pada tanaman... 10

2 Kurva tanggap bobot kering total tanaman genotipe jarak pagar akibat frekuensi irigasi pada 6 BSP... 25

3 Kurva tanggap bobot kering akar genotipe jarak pagar akibat frekuensi irigasi pada 6 BSP... 27

4 Total evapotranspirasi masing-masing genotipe jarak pagar dan frekuensi irigasi pada umur 10 BSP... 31

5 Total transpirasi masing-masing genotipe jarak pagar dan frekuensi irigasi pada umur 10 BSP... 32

6 Hubungan transpirasi dengan bobot kering tanaman pada umur 6 BSP.... 34

7 Kurva pengruh frekuensi irigasi terhadap jumlah buah pada dua genotipe jarak pagar... 38

8 Hubungan antar komponen hasil masing-masing genotipe... 41

9 Hubungan transpirasi dengan jumlah buah per pohon jarak pagar... 43

10 Hubungan transpirasi dengan hasil biji per pohon jarak pagar... 44

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman TEKS

1 Deskripsi jarak pagar Improved Population-1Asembagus (IP-1A)... 57

2 Deskripsi jarak pagar Improved Population-1Muktiharjo (IP-1M)... 58

3 Deskripsi jarak pagar Improved Population-1 Pakuwon (IP-1P)... 59

TABEL 1 Hasil analisis tanah ... 60

2 F-hitung analisis ragam peubah tanggap pertumbuhan 3 genotipe jarak pagar pada berbagai frekuensi irigasi... 61

3 F-hitung analisis ragam peubah tanggap bobot kering 3 genotipe jarak pagar pada berbagai frekuensi irigasi... 62

4 F- hitung analisis ragam peubah jumlah buah per pohon, berat biji per pohon, kadar minyak biji per pohon genotipe jarak pagar pada berbagai frekuensi irigasi... 62

5 F-hitung analisis ortogonal polynomial interaksi genotipe jarak pagar dan frekuensi irigasi terhadap peubah bobot kering padaumur 6 BSP dan peubah jumlah buah per tanaman... 63

6 Evapotranspirasi total (ml)... 64

7 Transpirasi total (ml)... 65

8 Evaporasi panci bulanan selama penelitian... 66

9 Analisis ragam hubungan transpirasi dengan bobot kering genotipe IP-1A pada 6 BSP... 67

10 Pendugaan parameter hubungan transpirasi dengan bobot kering genotipe IP-1A pada 6 BSP... 67

11 Analisis ragam hubungan transpirasi dengan bobot kering genotipe IP-1M pada 6 BSP... 67

12 Pendugaan parameter hubungan transpirasi dengan bobot kering genotipe IP-1M pada 6 BSP... 67

13 Analisis ragam hubungan transpirasi dengan bobot kering genotipe IP-1P pada 6 BSP... 68

(16)

15 Analisis ragam hubungan transpirasi dengan peubah jumlah buah genotipe IP-1A...

68

16 Pendugaan parameter hubungan transpirasi dengan peubah jumlah buah genotipe IP-1A... 68 17 Analisis ragam hubungan transpirasi dengan peubah jumlah buah

genotipe IP-1P... 69 18 Pendugaan parameter hubungan transpirasi dengan peubah jumlah buah

genotipe IP-1P... 69 19 Analisis ragam hubungan transpirasi dengan peubah hasil biji genotipe

IP-1A... 69 20 Pendugaan parameter hubungan transpirasi dengan peubah hasil biji

genotipe IP-1A... 69 21 Analisis ragam hubungan transpirasi dengan peubah hasil biji genotipe

IP-1P... 70 22 Pendugaan parameter hubungan transpirasi dengan peubah hasil biji

genotipe IP-1P... 70 23 Analisis ragam hubungan transpirasi dengan produksi minyak genotipe

IP-1A... 70 24 Pendugaan parameter hubungan transpirasi dengan produksi minyak

genotipe IP-1A... 70 25 Analisis ragam hubungan transpirasi dengan produksi minyak genotipe

IP-1P... 71 26 Pendugaan parameter hubungan transpirasi dengan produksi minyak

genotipe IP-1P... 71 27 Analisis ragam hubungan jumlah buah dengan hasil biji genotipe IP-1A. 71 28 Pendugaan parameter hubungan jumlah buah dengan hasil biji genotipe

IP-1A... 71 29 Analisis ragam hubungan jumlah buah dengan produksi minyak

genotipe IP-1A... 72 30 Pendugaan parameter hubungan jumlah buah dengan produksi minyak

genotipe IP-1A... 72 31 Analisis ragam hubungan hasil biji dengan produksi minyak genotipe

IP-1A... 72 32 Pendugaan parameter hubungan hasil biji dengan produksi minya

genotipe IP-1A... 72 33 Analisis ragam hubungan jumlah buah dengan hasil biji genotipe IP-1P. 73

(17)

35 Analisis ragam hubungan jumlah buah dengan produksi minyak genotipe IP-1P... 73 36 Pendugaan parameter hubungan jumlah buah dengan produksi minyak

genotipe IP-1P... 73 37 Analisis ragam hubungan hasil biji dengan produksi minyak genotipe

IP-1P... 74 38 Pendugaan parameter hubungan hasil biji dengan produksi minya

genotipe IP-1P... 74 GAMBAR

1 Grafik perkembangan kadar air tanah, evapotranspirasi dan transpirasi per minggu menurut klon jarak pagar... 75

(18)

Jatropha curcas L. termasuk famili Euphorbiaceae. Genus Jatropha memiliki 175 spesies. Dari jumlah ini lima spesies sudah dikenal di Indonesia, yaitu : Jatropha curcas L. dan Jatropha gossypiifolia yang digunakan sebagai tanaman obat sedangkan Jatropha integerrima Jacq, Jatropha multifida dan Jatropha podagrica Hook digunakan sebagai tanaman hias (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan 2006a).

Selama ini tanaman jarak pagar tidak dikembangkan sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak solar dan minyak tanah karena secara komersial tidak bisa bersaing dengan bahan bakar minyak (BBM) solar dan minyak tanah yang relatif murah karena disubsidi pemerintah. Namun di banyak negara yang terbatas sumberdaya BBM, jarak pagar telah dikembangkan sebagai pengganti solar (minyak disel) dan minyak tanah. Seperti di India, tanaman jarak pagar telah dikembangkan pada lahan-lahan marginal yang diawali dengan berbagai penelitian baik teknis budidaya, sosial dan ekonomi (Ramesh et al. 2005; Meena dan Sharma 2006; Ginwal et al. 2004). Negara Asia seperti Thailand sudah mengembangkan tanaman jarak pagar sejak tahun 2004 dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan energi pedesaan (San 2006).

Sejak tahun 2005, pemerintah Indonesia secara bertahap mulai mengurangi subsidi terhadap BBM sehingga harganya meningkat. Upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap BBM, pemerintah telah menetapkan kebijakan pengembangan berbagai sumber energi alternatif pengganti BBM (Krisnamurti 2006).

(19)

Walaupun secara umum tanaman jarak pagar cocok untuk lahan kering (“marginal’) namun produktivitas merupakan tujuan utama, sehingga pemahaman tentang aspek budidaya perlu mendapat perhatian. Produktivitas dan rendemen minyak dari biji jarak pagar masih bervariasi. Ini disebabkan oleh antara lain kondisi ekologis yang marjinal seperti defisit air dan lahan yang kurang subur. Hasil seleksi tanaman yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, diperoleh klon yang memiliki potensi produksi mencapai 4-5 t/ha pada tahun kelima dan direkomendasikan untuk daerah beriklim kering (Hasnam dan Hartati 2006). Walaupun jarak pagar dapat tumbuh dan berproduksi pada lahan marginal, namun air merupakan faktor pembatas untuk mencapai produksi yang optimal. Karena defisit air akan menurunkan transpirasi yang berakibat penurunan produksi.

Minyak jarak pagar merupakan ester ethyl atau methyl (Agarwal 2007) yang disintessis dari acethyl koenzim A (Vickery dan Vickery 1981). Acethyl Co A dibentuk dari glukosa 6-fosfat. Glukosa 6-fosfat berasal dari fruktosa 6-fosfat yang merupakan hasil dari fotosintesis. Salah satu bahan utama fotosintesis adalah air, sehingga dapat dibentuk hubungan antara transpirasi dengan kandungan minyak.

(20)

Luas lahan kritis yang sesuai untuk budidaya jarak pagar adalah seluas 13 juta ha. Setiap hari akan menghasilkan bahan bakar biofuel setara dengan 400 ribu barel solar. Nilai ini sangat signifikan dibandingkan dengan konsumsi solar sekarang sebesar 460 ribu barel setiap hari (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi 2007). Mulyani et al. (2006) mengatakan bahwa hasil evaluasi keksesuaian lahan di Indonesia berdasarkan pada data peta eksplorasi terdapat lahan yang sesuai untuk jarak pagar seluas 49.53 juta ha.

Karakter potensial tanaman jarak pagar sudah diidentifikasi melalui eksplorasi dari beberapa daerah di Indonesia. Melalui seleksi massa negatif diperoleh 3 populasi komposit sebagai genotipe unggul yaitu: Improved Population-1 (IP-1A/Asembagus), IP-1M (Muktiharjo) dan IP-1P (Pakuwon) yang berpotensi untuk dikembangkan (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan 2006b).

1.Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

a. Mempelajari hubungan transpirasi dengan hasil biji jarak pagar

b. Mengetahui hubungan transpirasi dengan rendemen minyak biji jarak pagar.

2. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan sebagai berikut :

a. Terdapat hubungan antara transpirasi dan hasil biji jarak pagar

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Evapotranspirasi

Proses fisiologi yang berlangsung dalam tanaman banyak berkaitan dengan air atau bahan-bahan (senyawa atau ion) yang terlarut di dalam air. Air masuk ke dalam tanaman melalui fungsi kerja akar berdasarkan perbedaan gradien tekanan. Air bergerak dari potensial air tinggi ke potensial air rendah. Potensial air menunjukkan tingkat energi yang dimiliki oleh air. Air bergerak secara kontinyu dari sistem tanah ke tanaman dan ke atmosfer dan dari sistem tanah ke permukaan tanah dan ke atmosfer. Proses hilangnya air melalui permukaan tanah disebut evaporasi dan dari permukaan tanaman disebut transpirasi.

Menurut Allen et al. (2000) bahwa transpirasi adalah proses dimana cairan air yang terkandung dalam jaringan tanaman diubah menjadi uap air (vaporization) dan dipindahkan dari permukaan tanaman (vapor removal) ke atmosfer. Sebagian besar tanaman kehilangan air melalui stomata yang terdapat di daun, walaupun ada kemungkinan melalui bagian lain dari tanaman (Lakitan 2007). Stomata berfungsi ganda sebagai pintu pertukaran gas CO2 dari atmosfer

melalui proses fotosintesis dan tempat keluarnya uap air dari ruang antar jaringan sel daun melalui proses transpirasi. Membuka dan menutupnya stomata (stomatal coductance) sangat dipengaruhi oleh status air tanah (Shen et al. 2002).

Pergerakan air dari tanah ke tanaman dan selanjutnya ke atmosfer terjadi karena adanya perbedaan tekanan. Transpirasi dari permukaan daun tanaman dapat terjadi karena perbedaan tekanan tersebut atau perbedaan gradien potensial air. Potensial air udara di atmosfer selalu lebih kecil (lebih negatif) dari potensial air di permukaan daun atau tanaman dan selanjutnya potensial air dalam tanaman atau akar lebih kecil dari potensial air dalam tanah. Potensial air adalah kandungan air di atmosfer dalam bentuk uap air, dalam jaringan tanaman dan kandungan air dalam tanah. Upaya tanaman dalam mempertahankan turgor agar tetap di atas nol (positif), bergantung pada kemampuannya mengatur keseimbangan berbagai potensi yang bekerja dalam atau di sekitar sel yang disebut komponen potensi air.

(22)

grafitasi, yang dalam kebanyakan situasi, potensi matriks dan potensi grafitasi dianggap sangat kecil sehingga sering diabaikan. Sehingga yang berperan adalah potensial osmosis dan potensial turgor (Kramer 1983; Mulla1987;Taiz dan Zeiger 2002).

Tekanan uap air di atmosfer dipengaruhi oleh faktor-faktor cuaca antara lain radiasi matahari, suhu udara, kelembaban udara dan kecepatan angin. Radiasi matahari dinyatakan dalam intensitas dan kualitas. Pancaran radiasi yang sampai ke permukaan tanaman akan meningkatkan suhu dan menurunkan kelembaban. Tekanan uap air di atmosfir sekitar permukaan daun akan selalu bergerak dari tekanan tinggi ke tekanan rendah karena adanya angin. Mekanisme ini akan meningkatkan terjadinya proses transpirasi dan evaporasi (Allen et al.2000).

Pergerakan air dalam jaringan tanaman berlangsung karena adanya gradien tekanan. Air masuk ke dalam tanaman bersamaan dengan zat-zat terlarut. Zat terlarut menurunkan tekanan di dalam sel yang menjadi lebih negatif dari di luar sel sehingga terjadi pergerakan air dari luar sel atau terjadi regulasi osmosis. Menurut Chimenti et al. (2006), regulasi osmosis terjadi ketika konsentrasi dari zat-zat terlarut di dalam sel tanaman meningkat untuk mengatur tekanan turgor yang positif. Tekanan turgor yang positif menjamin berlangsungnya proses metabolisme untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Tanaman yang mampu mengatu tekanan osmosis dalam kondisi defisit air merupakan tanaman toleran terhadap kekeringan.

Air diserap oleh tanaman melalui fungsi kerja akar yang juga terjadi karena adanya perbendaan tekanan. Kebutuhan air tanaman bergantung kepada type tanaman, varietas dan fase perkembangan tanaman yang ditunjukkan melalui struktur morfologi akar. Secara morfologi, kemampuan tanaman menyerap air secara efisien dilihat dari kemampuan menyerap air secara maksimal melalui perluasan dan kedalaman sistem perakaran. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian Fan et al. (2006) yang menunjukkan bahwa akar jagung mengalami pemanjangan 3-9 mm pada kondisi kekurangan air dibandingkan dengan akar dalam keadaan normal yang hanya 0-3 mm.

(23)

CO2 untuk proses fotosintesis. Fotosintesis merupakan reaksi gas CO2 dan air

dengan bantuan cahaya yang menghasilkan glukosa. Daun sebagai tempat berlangsungnya proses fotosintesis merupakan organ source. Hasil fotosintesis ditranslokasikan ke buah atau biji sebagai organ sink. Jumlah dan luas daun tanaman merupakan parameter kapasitas source untuk mendukung sink (Taiz dan Zeiger 2002). Hasil (buah atau biji) yang diproduksi tanaman per unit volume air yang digunakan dalam proses evapotranspirasi merupakan nilai dari efisiensi penggunaan air tanaman. Sehingga dapat dibuat suatu hubungan antara ketersediaan air dengan produksi tanaman.

Neraca Air

Neraca air pada dasarnya menggambarkan kesetimbangan yang terjadi antara jumlah air yang masuk kedalam (inflow) dan air yang keluar (outflow) pada suatu sistem atau di suatu daerah dalam periode tertentu. Menurut Allen et al (2000) evapotranspirasi dapat dijelaskan melalui pengukuran berbagai komponen kesetimbangan (neraca) air dalam tanah. Dalam sistem tanah dan tanaman, air masuk melalui irigasi dan curah hujan (presipitasi). Air yang masuk akan hilang melalui drainase (perkolasi), aliran permukaan (runoff), evaporasi dan transpirasi. Analisis neraca air merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk menduga dinamika kadar air tanah selama pertumbuhan tanaman baik pada saat kadar air tanah sangat rendah maupun keadaan normal (Handoko dan Las 1997). Pendekatan neraca air memungkinkan untuk mengevaluasi dinamika air tanah dan penggunaan air oleh tanaman secara kuantitatif (Brisson et al. 1992). Secara keseluruhan kesetimbangan air dalam tanah dirumuskan secara sederhana oleh Handoko (1995) sebagai berikut :

P + I = D + Ro + E + T + MM

P = Presipitasi E = Evaporasi MM = air tersimpan I = Irigasi T = Transpirasi

D = Drainase/Perkolasi Ro = Runoff

(24)

curah hujan terhadap evaporasi standar serta periode terjadinya pada suatu daerah; (2) Neraca air lahan, analisisnya lebih detil sampai pada akibatnya terhadap status air permukaan dan di dalam tanah; (3) Neraca air tanaman, merupakan kelanjutan dari neraca air lahan, dengan masukan nilai koefisien tanaman dari varietas tanaman yang diusahakan. Model neraca air yang sesuai untuk keadaan Indonesia adalah neraca air klimatologi yaitu merupakan perbandingan masukan air (curah hujan) untuk periode dan waktu tertentu (bulanan, mingguan, harian) dengan kebutuhan air klimatologi (evapotranspirasi potensial) untuk periode tertentu pula.

Kebutuhan dan Ketersediaan Air Tanaman

Air merupakan salah satu unsur penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Hal ini disebabkan sebagian besar (70 – 90 %) berat basah dari tanaman terdiri atas air. Air merupakan penyusun utama protoplasma, sebagai pelarut dan media pengangkut hara dan mineral yang diserap oleh akar dari tanah. Air juga berperan sebagai media bagi berlangsungnya reaksi-reaksi metabolisme, bahan utama proses fotosintesis dan mengatur turgoditas sel tumbuhan.

Kebutuhan air tanaman (crop water requirement) sering dihitung dari konsumsi air oleh tanaman (water use) yang didefinisikan sebagai jumlah air yang hilang dari areal bervegetasi per satuan waktu yang digunakan untuk proses evapotranspirasi (Murdiyarso 1991). Kebutuhan air untuk tanaman dipengaruhi oleh faktor iklim dan tanah. Faktor iklim seperti radiasi matahari, suhu, kelembaban udara dan kecepatan angin mempengaruhi proses evaporasi, sedangkan faktor tanah seperti tekstur, struktur dan kedalaman air tanah menentukan besarnya infiltrasi, perkolasi dan limpasan air. Karakteristik tanaman yang berpengaruh terhadap kebutuhan air tanaman adalah jenis, type pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Allen et al. 2000). Setiap fase perkembangan tanaman membutuhkan jumlah air yang berbeda-beda.

(25)

secara permanen pada tanaman. Kapasitas lapang adalah jumlah air maksimum yang tetap tersimpan dalam tanah yang tidak mengalir kebawah karena gaya grafitasi atau air yang tertinggal dalam tanah setelah perkolasi (Soepardi 1983). Kapasitas lapang dan titik layu permanen berturut-turut adalah kandungan air tanah pada potensial air -0.33 bar atau pF 2.54 dan -15 bar atau pF 4.2. Air yang tersedia ini berupa air yang dapat diabsorbsi oleh tanaman sampai wilayah perakaran. Kandungan air tanah mempengaruhi transport hara ke permukaan akar dengan cara mempengaruhi laju difusi dan aliran massa air ke akar (Harjadi dan Yahya 1988).

Hubungan Transpirasi dengan Hasil Tanaman

Transpirasi merupakan proses hilangnya air dalam bentuk uap dari jaringan tumbuhan melalui stomata. Tumbuhan darat akan bertranspirasi dalam jumlah tertentu untuk menghasilkan satu satuan bobot kering. Fereres dan Soriano (2007) mengatakan bahwa penurunan jumlah transpirasi karena kekeringan mengakibatkan rendahnya produksi biomassa tanaman. Lizana et al. 2006 mengatakan bahwa stress air dapat menurunkan hasil biji tanaman buncis sampai 83 %. Tanaman yang mampu menghasilkan biomassa tertentu dalam kondisi kekurangan air melalui mekanisme mengurangi laju transpirasi adalah tanaman yang toleran terhadap kekeringan.

Transpirasi dapat juga dijelaskan sebagai proses mengalirnya air dari tanah-tanaman-atmosfer. Dalam proses tersebut terangkut berbagai unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Unsur hara yang terangkut bersama air akan diikat oleh berbagai proses biokimia dalam jaringan tanaman sesuai dengan spesifikasi fungsi masing-masing unsur. Hasil penelitian Tanners dan Beevers (2001) menunjukkan bahwa transpirasi berpengaruh terhadap pertumbuhan namun tidak esensil untuk transpor hara jarak jauh (long-distance) dalam tumbuhan. Selanjutnya dikatakan transpirasi juga berfungsi dalam menjaga keseimbangan suhu dalam tanaman.

(26)

Abbate et al. (2004) mengatakan bahwa lebih dari 90% penggunaan air tanaman diketahui melalui pengukuran transpirasi ketika suplai air cukup. Defisit air akan meningkatkan EPA tanaman yang disebabkan oleh menutupnya stomata untuk menekan laju transpirasi. EPA merupakan rasio antara hasil asimilasi CO2 melalui fotosintesis dengan hilangnya air melalui transpirasi. Bobot kering tanaman merupakan peubah yang digunakan sebagai indikator hasil asimilasi per jumlah air yang digunakan tanaman pada fase tertentu (Blum 2005).

Hubungan Transpirasi dengan Kandungan Minyak Biji

Minyak dalam biji tanaman merupakan asam lemak yang secara umum bergantung kepada genus dan family tanaman. Family Euphorbiaceae mengandung asam lemak dalam biji yang berpotensi sebagai minyak nabati. Di antaranya Jarak kepyar (Ricinus communis) yang mengandung asam lemak ricinoleic (Vickery dan Vickery 1981) dan jarak pagar (Jatropha curcas L.) mengandung dominan asam lemak tidak jenuh oleat 35-64 % dan linoleat 19-42 % (Sudradjat et al. 2006). Menurut Lin et al. (1997), minyak biji jarak mengandung komposisi utama trigliserol (>90 %) dan komponen-komponen lainnya seperti.

Lemak atau minyak yang terdapat dalam buah atau biji tumbuhan tidak diangkut dari daun tetapi disintesis di dalam buah atau biji. Walaupun daun mensintesis berbagai asam lemak yang terdapat dalam membran lipida tetapi daun tidak mensintesis lemak atau minyak. Lemak dalam biji disintesis dari asetil-CoA melalui lintasan asam mevalonat. Asetil-CoA yang digunakan untuk membentuk lemak dihasilkan oleh asam piruvat dalam proses glikolisis. Proses glikolisis merupakan proses pemecahan glukosa menjadi asam piruvat dan ATP sebagai sumber energi untuk pertumbuhan. Glukosa (karbohidrat) adalah hasil reaksi CO2

dan H2O dengan bantuan cahaya dalam proses fotosintesis tumbuhan (Salisbury

dan Ross. 1995; Kaufman et al .1999).

(27)

merupakan trigliserida yang tersusun oleh asam lemak palmitat, stearat, oleat, linoleat dan asam lemak lainnya. Dari komposisi tersebut, porsi terbesar adalah asam lemak oleat (44.8%) dan linoleat (34.0%) yang bersifat tidak jenuh dengan ikatan rangkap C18. Gambar 1 menyajikan model diskriptif sintesis minyak pada tanaman melalui proses fotosintesis. Salah satu bahan utama fotosintesis adalah air, sehingga dapat dibentuk hubungan antara transpirasi dengan kandungan minyak.

Fotosintesis

Asam Lemak Glukosa 6-fosfat Asam Amino

Asetyl Coenzim A

Asam Lemak

Asam Trikarboksilat

Terpenoid

Ester dan amida

Minyak Esterifikasi

CO2+ H2O Fruktosa 6-fosfat

(28)

Jarak Pagar

Tanaman jarak pagar termasuk famili Euphorbiaceae, satu famili dengan karet dan ubi kayu. Klasifikasi tanaman jarak pagar adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Jatropha

Spesies : Jatropha curcas Linn.

Tanaman jarak masuk ke Indonesia diperkirakan sekitar abad ke 17 – 18 oleh pelaut-pelaut Portugis. Ada dugaan bahwa variasi morfologi tanaman jarak pagar di Indonesia disebabkan oleh perbedaan wilayah tempat tumbuh yang menghasilkan ekotipe tertentu. Hasil eksplorasi Pusat Penelitian Tanaman Perkebunan tahun 2005 di Sumatera Barat, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTT, NTB dan Sulawesi Selatan menunjukkan variasi karakter fenotipik. Variasi tersebut antara lain :

- kulit batang : keperak-perakan, hijau kecoklatan - warna daun : hijau muda, hijau tua

- pucuk dan tangkai daun : kemerah-merahan, kehijauan - bentuk buah : agak elips, bulat

- jumlah biji per kapsul : 1 – 4

(29)

Tanaman jarak pagar termasuk tanaman kosmopolit artinya dapat tumbuh pada berbagai ekosistem yaitu dari daerah yang sangat kering temperate dengan curah hujan hanya sekitar 300 – 500 mm/tahun sampai daerah yang sangat basah dengan curah hujan 4000 – 6000 mm/tahun. Tumbuh di dataran wilayah rendah dari pinggir pantai sampai ketinggian di atas 1000 m dpl. Secara umum tanaman jarak pagar cenderung tahan terhadap kekeringan. Namun dari aspek pertumbuhan dan produksi sangat beragam karena dipengaruhi oleh interaksi dari berbagai faktor lingkungan. Ketersediaan air merupakan salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas tanaman. Air berperan utama dalam berbagai reaksi biokimia dalam tanaman dan 80 – 90 % biomassa tanaman adalah air.

Pusat Penelitian Tanaman Perkebunan (2006b) merekomendasikan pengembangan tanaman jarak pagar pada daerah dengan ketinggian 0 – 600 m dpl atau dataran rendah yang memiliki suhu harian antara 22 – 350C dengan curah hujan 500 – 1500 mm/tahun. Penanaman pada daerah di atas ketinggian 500 m dpl walaupun tanaman dapat tumbuh namun produksi tidak optimal. Menurut Ramesh et al. (2005) bahwa tanaman jarak pagar merupakan tanaman yang toleran terhadap kondisi kekeringan dengan tinggi tanaman bisa mencapai 5 m. Setelah umur 5 tahun potensi hasil bisa mencapai 7.5 – 12 t/ha/tahun dengan kandungan minyak 30 – 35 %.

Pant et al. (2006) mengatakan bahwa kondisi edapho-klimatik berdampak nyata terhadap karakter pertumbuhan dan kandungan minyak biji jarak. Tanaman jarak yang ditanam pada ketinggian 400 – 600 m dpl menghasilkan kandungan minyak 45 % sedangkan pada ketinggian 800 – 1000 m dpl hanya 22.68 %.

(30)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli 2007 sampai Juli 2008 di Kebun Percobaan Cikabayan IPB Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih jarak pagar IP-1A dan IP-1M diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Serat Malang yang masing-masing berasal dari Kebun Percobaan Asembagus Situbondo (IP-1A) dan Kebun Percobaan Muktiharjo Pati (IP-1M). Benih IP-1P diperoleh dari Kebun Percobaan Pakuwon Sukabumi. Bahan lainnya adalah pupuk anorganik berupa Urea, SP36, KCl, insektisida, fungisida dan media tanah. Alat yang digunakan adalah ember (20 l), polibag ukuran diameter 40 cm yang didesain sebagai lisimeter sederhana, “Panci tipe A”, termometer, gelas ukur 500 ml dan 1000 ml, meteran, aluminium foil, timbangan analitik kapasitas 1000 g timbangan kapasitas 50 kg, kertas semen, kantong plastik, ember, gembor. Sebagai media tumbuh digunakan tanah Latosol Darmaga (hasil analisis tanah disajikan pada (Tabel Lampiran 1).

Metode Penelitian

(31)

Model matematika untuk rancangan yang digunakan adalah:

( )

ij ijk j

i

ijk k

Y =µ+ + + + +

Keterangan :

Yijk : nilai pengamatan faktor genotipe ke-i faktor frekuensi irigasi ke-j dan ulangan ke-k

P : rata-rata hasil pengamatan untuk setiap hasil percobaan

Qk : pengaruh kelompok ke-k

Ri : pengaruh utama faktor genotipe ke-i

Sj : pengaruh utama faktor frekuensi irigasi ke-j

(RS)ij : pengaruh interaksi faktor genotipe ke-i dan faktor frekuensi irigasi ke-j

Tijk : pengaruh acak

Analisis ragam dilakukan terhadap semua peubah untuk mengetahui apakah ragam disebabkan oleh perlakuan. Jika analisis ragam (uji F) menunjukkan pengaruh perlakuan nyata, maka dilanjutkan dengan uji Tukey untuk membedakan antar genotipe dan frekuensi irigasi. Analisis regresi dilakukan terhadap peubah transpirasi dengan produksi, serta peubah transpirasi dengan rendemen minyak.

Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan di lapang. Ember (20 l) dan polibag dengan ukuran diameter 40 cm dan tinggi 50 cm, pada bagian dasar dilubangi dengan diameter lubang 2 cm untuk menampung air perkolasi (sebagai lisimeter sederhana). Tiap wadah/pot diisi dengan media campuran tanah, pasir dan kompos dengan perbandingan 2 : 1 : 1. Volume media setiap pot adalah 6280 cm3. Pada bagian bawah wadah/pot diberi alas bata agar terdapat ruang untuk meletakkan penampung air perkolasi.

(32)

Perlakuan frekuensi pemberian air dilakukan pada umur 1 bulan. Pemberian pupuk anorganik N, P dan K yang bersumber dari Urea (90 kg/ha), SP-36 (70 kg/ha) dan KCl (40 kg/ha) dengan dosis sama untuk semua tanaman percobaan. Pupuk P dan K diberikan bersamaan waktu tanam, sedangkan N diberikan dua tahap yaitu pada umur 4 minggu dan 8 minggu setelah tanam.

Pencegahan hama dan penyakit dilakukan dengan memberikan insektisida butiran berbahan aktif carbofuran pada saat tanam dengan dosis 10 g/pot dan insektisida cair berbahan aktif deltametrin 25 g/l. Penyakit dicegah dengan fungisida berbahan aktif mankozeb 80%. Penyemprotan insektisida dan fungisida dilakukan secara berkala tiap satu minggu atau berdasarkan gejala serangan hama dan penyakit hasil pengamatan.

Pelaksanaan di laboratorium. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah Departemen Ilmu Tanah IPB. Pengukuran dan analisis komponen pertumbuhan dilakukan di Laboratorium Fisiologi Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB dan Laboratorium Ekofisiologi Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Cimanggu. Analisis kandungan minyak biji dilaksanakan di Laboratorium Kimia Pangan PAU IPB.

Pengamatan

Pengamatan berupa peubah pertumbuhan, peubah hasil, peubah komponen evapotranspirasi dan kandungan minyak biji.

Pengamatan terhadap pertumbuhan dilakukan terhadap peubah-peubah : 1. Tinggi tanaman (cm), diukur dari permukaan media sampai dengan ujung

pucuk yang diukur tiap 1 bulan sekali selama 6 bulan setelah perlakuan. 2. Jumlah cabang dihitung selama pertumbuhan vegetatif.

(33)

4. Indeks luas daun, diukur melalui pendekatan individu tanaman yaitu perbandingan luas daun total per tanaman dengan luas tanah yang ditutupi (Watson (1947) Dalam Sitompul dan Guritno (1995)).

5. Bobot kering akar, batang dan daun; dilakukan dengan metode destruktif. Akar, batang dan daun dipisahkan, masing-masing ditimbang segar dan dioven pada suhu 1050C selama 48 jam. Kemudian sampel ditimbang untuk mendapatkan bobot kering (kg/tanaman). Pengukuran dilakukan dengan interval 2 bulan sejak perlakuan diberikan sampai umur 6 bulan setelah perlakuan.

Pengamatan peubah hasil per tanaman dilakukan minimal 3 tahap pembuahan yang meliputi :

1. Jumlah buah per tanaman, jumlah buah dihitung untuk masing-masing satuan percobaan

2. Hasil biji (g), biji dipisahkan dari cangkang buah, dikeringkan sampai mencapai kadar air 5-7 % kemudian ditimbang untuk mendapatkan hasil biji per pohon.

Beberapa pengukuran terhadap evapotranspirasi melalui beberapa metode : 1. Evapotranspirasi diukur dengan menggunakan Metode Neraca Air.

Evapotranspirasi harian dihitung berdasarkan neraca air sebagai berikut: P + I = ET + Prk + R + UM

Curah hujan (P) diukur dengan penakar hujan tipe observatorium (ombrometer), Irigasi (I) diukur dengan mengukur volume air setiap satuan waktu, Perkolasi (Prk) diukur dengan penakar perkolasi yang diletakkan di bawah lisimeter sederhana. Berhubung jarak pagar ditanam dalam wadah lisimeter dan polibag dengan metode irigasi penyiraman dan dikerudungi plastik maka nilai P dan R adalah nol sehingga neraca air menjadi :

I = ET + Prk + UM

Karena kelembaban tanah diukur sesudah irigasi yaitu tetap sama dengan kapasitas lapangan, maka UM = 0, sehingga:

I = ET + Prk atau

(34)

2. Pemisahan transpirasi dengan Metode Rosenthal et al. (1977) dalam Handoko (1995), dengan persamaan :

Tp = av (1-V) Etp... penutupan tajuk < 50 % ...(2a) Tp = (a-V) Etp... penutupan tajuk X50 %...(2b) TV= Tp Yw / {0.3(YFC-YWP)}...Yw < 0.3 (YFC-YWP)...(2c) TV= Tp... YwX0.3 (YFC-YWP)...(2d)

V= e(-0.389 LAI + 0.1483)

Pengaruh adveksi (A) = 0.1 Tp suhu maksimum udara > 330C T = Tp + A………....…YwX0.3 (YFC-YWP)…...………....(3a) dan

T = TV+ A………..……Yw < 0.3 (YFC-YWP)……….…(3b) Keterangan :

Tp : transpirasi potensial

TV : transpirasi pada titik kritis kadar air tanah

Yw : kadar air tanah

YFC : kadar air tanah pada kapasitas lapangan

YWP : kadar air tanah pada titik layu permanen av= (a-0.5)/0.5

a = 1.35 untuk Qn harian 24 jam atau a = 1.2 untuk Qn siang hari.

V : transmisi radiasi surya

LAI : Leaf Area Index (indeks luas daun) T : transpirasi aktual

3. Kelembaban tanah sebelum irigasi dihitung berdasarkan nilai evapotranspirasi, bobot kering tanah setiap polibag dan kelembaban tanah saat kapasitas lapangan yang diukur berdasarkan hasil kalibrasi:

KA kapasitas lapangan = BB – BK ...(4) BK

BK per pot = Bobot basah tanah per pot ...(5) 1 + KA kapasitas lapangan) Keterangan:

KA = Kadar air

(35)

4. Evaporasi panci diukur dengan cara :

Ht–Ht-1 ...(6)

Keterangan : Ht = tinggi air pada hari saat pengukuran

Ht-1 = tinggi air pengukuran sebelumnya

Deskripsi panci pengukur evaporasi adalah : diameter mulut panci 60 cm, tinggi panci 30 cm dan tinggi air 25 cm.

Rendemen minyak biji jarak diukur dengan menggunakan metode Soxhlet (Apriyantono et al. 1989). Minyak diekstrak dengan pelarut dietil eter, kemudian diuapkan dan dihitung persentase minyak dengan rumus:

% minyak = Bobot minyak (g) x 100 ...(7) Bobot sampel (g)

Produksi minyak per pohon dihitung berdasarkan hasil biji per pohon dikalikan dikalikan rendemen minyak biji dengan rumus :

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan Tanaman Tinggi Tanaman dan Jumlah Cabang

Hasil analisis menunjukkan bahwa interaksi genotipe jarak pagar dengan frekuensi irigasi tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman dan jumlah cabang, sedangkan masing-masing faktor tunggal berpengaruh sangat nyata (Tabel Lampiran 2). Untuk tinggi tanaman, pengaruh sangat nyata terjadi pada setiap umur pengamatan yaitu mulai umur 1 bulan setelah perlakuan (BSP) sampai dengan umur 6 BSP. Demikian halnya dengan jumlah cabang yang dianalisis pada umur 6 BSP.

Tabel 1 Tinggi tanaman dan jumlah cabang dari tiga genotipe jarak pagar

Jarak Pagar Peubah Umur

IP-1A IP-1M IP-1P …..….……… cm ……… Tinggi tanaman 1 BSP 44.99 ab 42.26 b 47.35 a

2 BSP 58.56 ab 52.97 b 61.07 a

3 BSP 78.10 a 68.55 b 77.25 a

4 BSP 94.38 a 79.96 b 91.59 a

5 BSP 109.33 a 91.22 b 104.12 a 6 BSP 122.19 a 102.83 b 116.13 a

Jumlah cabang 6 BSP 0.81 b 5.58 a 2.22 b

Keterangan : Data yang diikuti oleh huruf yang sama dalam baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan Pembeda Nyata Terkecil Uji Tukey (0.05); BSP (bulan setelah perlakuan).

(37)

Jumlah cabang pada umur 6 BSP dari tiga genotipe jarak pagar berbeda sangat nyata (Tabel 1). Jumlah cabang tertinggi adalah genotipe IP-1M dengan rata-rata 5,58 cabang kemudian IP-1P dengan 2,22 cabang dan IP-1A cenderung tidak bercabang. Apabila dikaitkan antara jumlah cabang dan tinggi tanaman maka IP-1A lebih tinggi karena cenderung tidak bercabang. Hasil asimilat hanya terkonsentrasi pada satu tunas apikal saja. Berbeda dengan kedua klon lainnya dimana konsentrasi asimilat terbagi untuk pertumbuhan percabangan.

Tabel 2 Rata-rata tinggi tanaman dan jumlah cabang genotipe jarak pagar pada berbagai frekuensi irigasi

Irigasi Peubah Umur

7 hari 14 hari 21 hari 28 hari

…...…..…..….……… cm ..……… Tinggi tanaman 1 BSP 56.25 a 44.09 b 42.07 b 37.03 c

2 BSP 79.20 a 56.62 b 49.87 bc 44.42 c

3 BSP 108.46 a 75.49 b 60.36 c 54.09 c

4 BSP 126.7 a 90.29 b 74.31 c 63.25 c

5 BSP 141.02 a 106.74 b 86.96 c 71.51 d 6 BSP 153.79 a 118.03 b 98.29 c 84.74 c

Jumlah cabang 6 BSP 5.30 a 2.03 b 2.11 b 2.03 b

Keterangan : Data yang diikuti oleh huruf yang sama dalam baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan Pembeda Nyata Terkecil Uji Tukey (0.05); BSP (bulan setelah perlakuan).

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa irigasi berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman dan jumlah cabang untuk semua klon jarak pagar (Tabel Lampiran 2). Frekuensi irigasi 7 hari sekali menghasilkan pertumbuhan tinggi tanaman tetinggi sejak umur 1 BSP sampai dengan umur 6 BSP (Tabel 2). Tinggi tanaman terendah terjadi pada frekuensi irigasi 28 hari sekali. Semakin lama periode antar pemberian air pertumbuhan tinggi tanaman semakin tertekan.

(38)

Luas Daun

Ukuran luas daun tidak dipengaruhi oleh interaksi antara genotipe jarak pagar dan frekuensi irigasi (Tabel Lampiran 2). Faktor genotipe jarak pagar berpengaruh nyata sampai sangat nyata terhadap luas daun pada umur 2 BSP sampai dengan umur 10 BSP (Tabel 3). Pada umur 1 BSP ukuran luas daun tidak berbeda nyata antar genotipe. Selanjutnya terjadi variasi ukuran luas daun setiap periode pengamatan.

Tabel 3 Rata-rata luas daun dari tiga genotipe jarak pagar

Jarak Pagar Umur

IP-1A IP-1M IP-1P

….…..….……… cm2………

1 BSP 85.58 a 78.89 a 81.61 a

2 BSP 76.20 ab 69.31 b 78.79 a

3 BSP 124.24 a 112.13 b 124.96 a

4 BSP 67.81 a 53.73 b 66.11 ab

5 BSP 89.2 ab 75.82 b 95.07 a

6 BSP 80.39 a 72.39 b 73.69 b

7 BSP 74.36 a 68.08 a 74.11 a

8 BSP 70.12 a 63.50 b 70.56 a

9 BSP 65.96 a 63.31 a 67.88 a

10 BSP 52.22 ab 45.28 b 57.10 a

Keterangan : Data yang diikuti oleh huruf yang sama dalam baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan Pembeda Nyata Terkecil Uji Tukey (0.05); BSP (bulan setelah perlakuan).

(39)

Sejalan dengan pertumbuhan tanaman pengaruh irigasi mulai nyata sampai sangat nyata pada umur 3 BSP. Dalam setiap umur pengamatan menunjukkan respon yang bervariasi. Semakin kering atau frekuensi irigasi semakin lama perkembangan luas daun semakin lambat.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat tiga fenomena fisiologis tanaman jarak sebagai respon terhadap kekeringan yaitu perkembangan luas daun terhambat, daun menggulung dan menggugurkan daun. Ketiga fenomena tersebut merupakan mekanisme penghindaran (avoidance) untuk mengurangi laju transpirasi. Hasil penelitian Tardieu et al (2000) membuktikan bahwa tanaman yang mengalami stres kekeringan memiliki ukuran daun lebih kecil dari ukuran normal karena perkembangan epidermis dan mesofil daun terhambat.

Tabel 4 Rata-rata luas daun jarak pagar pada berbagai frekuensi irigasi

Irigasi Umur

7 hari 14 har 21 hari 28 hari

…….….…..….……… cm2…..………

1 BSP 84.25 a 80.90 a 82.00 a 80.95 a

2 BSP 77.18 a 71.49 a 74.13 a 76.25 a

3 BSP 132.44 a 121.97 ab 113.87 b 113.46 b

4 BSP 61.28 ab 74.14 a 56.18 b 58.58 ab

5 BSP 91.15 a 87.11 a 89.37 a 79.16 a

6 BSP 89.11 a 78.73 b 72.15 b 61.98 c

7 BSP 81.26 a 74.36 ab 70.12 bc 63.01 c

8 BSP 81.65 a 68.25 b 65.65 b 59.69 c

9 BSP 73.70 a 65.37 ab 64.11 ab 59.68 b

10 BSP 56.41 a 52.87 ab 51.08 ab 45.78 b

Keterangan : Data yang diikuti oleh huruf yang sama dalam baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan Pembeda Nyata Terkecil Uji Tukey (0.05); BSP (bulan setelah perlakuan).

Indeks Luas Daun

(40)

Tabel 5 Rata-rata indeks luas daun dari tiga genotipe jarak pagar

Jarak Pagar Umur

IP-1A IP-1M IP-1P

1 BSP 0.47 b 0.69 a 0.59 ab

2 BSP 0.78 b 1.13 a 1.10 a

3 BSP 2.01 b 3.06 a 2.93 a

4 BSP 1.01 a 1.25 a 1.17 a

5 BSP 0.89 b 1.23 a 1.12 ab

6 BSP 1.64 b 2.11 a 1.87 ab

7 BSP 1.45 a 1.49 a 1.79 a

8 BSP 1.43 b 1.52 b 1.90 a

9 BSP 1.69 b 1.69 b 2.34 a

10 BSP 1.26 b 1.24 b 1.68 a

Keterangan : Data yang diikuti oleh huruf yang sama dalam baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan Pembeda Nyata Terkecil Uji Tukey (0.05); BSP (bulan setelah perlakuan).

Indeks luas daun antar genotipe jarak pagar dari umur 1 – 10 BSP menunjukkan respon yang bervariasi (Tabel 5). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi genotipe jarak pagar dan frekuensi irigasi nyata sampai sangat terjadi pada umur 2, 3 dan 10 BSP dan selain umur pengamatan tersebut tidak terjadi interaksi (Tabel Lampiran 2). Rata-rata ILD tertinggi terjadi pada genotipe IP-1M dan secara umum tidak berbeda nyata dengan genotipe IP-1P akan tetapi berbeda sangat nyata dengan genotipe IP-1A. Perbedaan ini berkaitan dengan perbedaan jumlah cabang (Tabel 1). Jumlah cabang berhubungan dengan jumlah daun yang lebih banyak sehingga total luas daun per luas permukaan yang sama menjadi lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa nilai ILD menjadi sangat dinamis karena tidak saja dipengaruhi oleh karakter morfologi masing-masing genotipe dan frekuensi irigasi tetapi juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Ada dugaan bahwa genotipe IP-1A dan IP-1M memiliki sifat-sifat genetik yang tidak terinduksi pada kondisi lingkungan penelitian.

(41)

Semakin kering, nilai ILD semakin menurun yang disebabkan oleh semakin sempitnya luas daun. Semakin sempitnya luas daun maka permukaan transpirasi semakin kecil dan juga konduktansi stomata menurun sehingga laju transpirasi menurun. Secara bersamaan difusi CO2untuk fotosintesis juga semakin

rendah yang menyebabkan sintesis asimilat rendah sehingga pertumbuhan tanaman menjadi terhambat. Hal ini dapat diketahui melalui data komponen pertumbuhan yang lebih rendah. Hasil penelitian Lawlor dan Cornic (2002) membuktikan bahwa pada kondisi defisit air secara bertahap akan menurunkan kandungan air relatif dalam tanaman yang menyebabkan penurunan konduktansi stomata dan selanjutnya akan menurunkan laju asimilasi CO2 untuk fotosintesis.

Respon awal dari tanaman yang mengalami defisit air adalah terhambatnya perluasan daun. Luas daun akan lebih sempit dibandingkan dengan tanaman yang mendapat air cukup.

Tabel 6 Rata-rata indeks luas daun jarak pagar pada berbagai frekuensi irigasi

Irigasi Umur

7 hari 14 har 21 hari 28 hari

1 BSP 0.76 a 0.55 bc 0.6 ab 0.39 c

2 BSP 1.63 a 0.87 b 0.87 b 0.63 c

3 BSP 5.10 a 2.46 b 1.76 c 1.33 c

4 BSP 1.72 a 1.36 ab 0.88 bc 0.59 c

5 BSP 1.67 a 1.20 b 0.94 b 0.50 c

6 BSP 2.99 a 1.87 b 1.50 bc 1.11 c

7 BSP 2.29 a 1.76 ab 1.31 bc 0.94 c

8 BSP 2.77 a 1.55 b 1.22 bc 0.92 c

9 BSP 3.19 a 1.71 b 1.43 b 1.30 b

10 BSP 2.33 a 1.28 b 1.11 bc 0.85 c

Keterangan : Data yang diikuti oleh huruf yang sama dalam baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan Pembeda Nyata Terkecil Uji Tukey (0.05); BSP (bulan setelah perlakuan).

Bobot Kering

(42)

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi genotipe jarak pagar dengan frekuensi irigasi tidak berpengaruh nyata terhadap bobot kering tanaman pada umur 2 dan 4 BSP (bulan setelah perlakuan). Pengaruh interaksi mulai nyata pada umur 6 BSP. Interaksi nyata terjadi untuk 1M dan sangat nyata untuk IP-1A dan IP-1P (Tabel Lampiran 3).

Ketiga genotipe menghasilkan bobot kering tertinggi pada frekuensi irigasi 7 hari sekali namun masing-masing memberikan respon penurunan bobot kering yang berbeda ketika frekuensi irigasi diturunkan menjadi 14 hari, 21 hari dan 28 hari sekali (Tabel 7). Gambar 2 menunjukkan kurva respon bobot kering masing-masing klon terhadap berbagai frekuensi irigasi.

Hasil uji ortogonal polinomial menunjukkan bobot kering IP-1A nyata secara non linier sedangkan klon IP-1M dan IP-1P nyata secara linier (Tabel 7). Persamaan regresi untuk bobot kering IP-1A adalah y = 316.40 – 24.11x + 0.50x2, R2 = 0.98. Persamaan regresi untuk IP-1M adalah y = 148.60 – 4.38x, R2 = 0.92

(43)

Pada irigasi 7 hari sekali, akumulasi bobot kering genotipe IP-1A lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe IP-1M dan IP-1P. Namun ketika irigasi diturunkan terjadi penurunan bobot kering yang jauh lebih tinggi pada genotipe IP-1A, sedangkan untuk genotipe IP-1M dan IP-1P mengalami penurunan bobot kering yang konstan dan lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa dari aspek efisiensi penggunaan air genotipe IP-1A lebih efisien sedangkan dari aspek toleransi terhadap kekeringan, genotipe IP-1M dan IP-1P lebih toleran. Yordanov et al (2003) mengatakan bahwa akumulasi bobot kering tanaman merupakan parameter pertumbuhan yang dapat dipakai untuk melihat respon tanaman terhadap kondisi lingkungan tumbuh.

Tabel 7 Tanggap bobot kering akar dan total tanaman 3 genotipen jarak pagar akibat frekuensi irigasi pada umur 6 BSP

Frekuensi irigasi Jarak pagar

7 hari 14 hari 21 hari 28 hari

Kurva tanggap ………….Bobot kering tanaman (g/tanaman)…….

IP-1A ..………..Bobot kering akar (g/tanaman)…………..

IP-1A

Keterangan : BSP = bulan setelah perlakuan

Pada umur yang sama interaksi antara genotipe jarak pagar dan frekuensi irigasi terjadi pada bagian akar tanaman. Ketiga genotipe menunjukkan respon yang sama terhadap perlakuan frekuensi irigasi (Gambar 3). Menurut Wu dan Cosgrove (2000) pertumbuhan akan terkonsentrasi pada akar ketika tanaman mengalami kekeringan karena akar terus tumbuh mencari zona lembab dalam tanah.

(44)

Dari aspek bobot kering akar ketiga genotipe menunjukkan respon penurunan yang semakin kecil dengan semakin lamanya frekuensi irigasi. Perbedaan respon terjadi pada frekuensi irigasi 7 hari sekali dan 14 hari sekali dan mulai menunjukkan respon penurunan bobot kering yang sama pada frekuensi 21 hari sekali (Gambar 3). Hal ini menunjukkan juga bahwa genotipe IP-1A mengakumulasi bobot kering akar lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe IP-1M dan IP-1P. Penurunan frekuensi irigasi dari 14 hari sekali ke 21 hari sekali ketiga genotipe mulai menunjukkan nilai akumulasi yang sama. Hal ini juga berarti bahwa genotipe IP-1A lebih efisien dalam penggunaan air tetapi ketiganya menunjukkan respon penurunan bobot kering akar yang sama ketika semakin lama mengalami kekeringan.

Frekuensi irigasi (hari)

7 14 21 28

B

o

b

o

t

k

e

ri

n

g

a

k

a

r

(g

)

0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30

non Lin. BKa. IP-1A, y = 51.99 - 4.09x + 0.09x^2, R^2 = 0.97

non Lin. BKa IP-1M, y = 27.73 - 1.92x + 0.04x^2, R^2 = 0.98

non Lin. BKa. IP-1P, y = 30.60 - 2.20x + 0.04x^2, R^2 = 0.97

(45)

Bobot kering total tanaman dan bobot kering akar tanaman menunjukkan perbedaan pola respon. Secara terpisah bobot kering akar mengindikasikan bahwa pada ketiga genotipe mulai memperlihatkan upaya beradaptasi terhadap kekeringan. Upaya tersebut berupa pengalihan pertumbuhan ke bagian akar dan menekan pertumbuhan bagian atas tanaman (batang dan daun) ketika mengalami kekeringan. Hasil penelitian Xu et al. (2007) menunjukkan bahwa biomas akar merupakan indikator toleransi tanaman terhadap kekeringan karena pada kondisi kekeringan pertumbuhan biomas akar lebih dominan dari pada pertumbuhan biomas bagian atas tanaman. Fan et al (2006) mempelajari pertumbuhan akar jagung pada kondisi defisit air dan membuktikan bahwa pertumbuhan panjang akar lebih tinggi dari pada keadaan normal.

Nisbah Tajuk-Akar

Interaksi antara genotipe jarak pagar dengan frekuensi irigasi tidak berpengaruh nyata terhadap nisbah bobot kering tajuk-akar (Tabel Lampiran 3). Nisbah bobot kering tajuk-akar untuk genotipe jarak pagar tidak berbeda nyata pada umur 2 BSP tetapi berbeda sangat nyata pada umur 4 dan 6 BSP (Tabel 8). Pada umur 4 BSP nisbah tertinggi pada genotipe IP-1M berbeda sangat nyata dengan genotipe IP-1A tetapi tidak nyata dengan genotipe IP-1P. Nisbah terendah adalah IP-1A yang tidak berbeda nyata dengan IP-1P. Sedangkan pada umur 6 BSP, nisbah tertinggi adalah IP-1M tidak berbeda nyata dengan IP-1P tetapi keduanya berbeda sangat nyata dengan IP-1A. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan vegetatif bagian tajuk untuk IP-1M dan IP-1P lebih tinggi dibandingkan dengan IP-1A. Artinya bahwa partisi asimilat sampai dengan umur tanaman 6 bulan lebih dominan pada bagian tajuk tanaman.

Tabel 8 Pengaruh genotipe jarak pagar terhadap nisbah bobot kering tajuk-akar

Genotipe Jarak Pagar Umur

IP-1A IP-1M IP-1P

2 BSP 9.58 11.06 11.40

4 BSP 8.31 b 10.17 a 9.50 ab

6 BSP 5.99 b 8.57 a 8.18 a

(46)

Nisbah bobot kering tajuk-akar semakin menurun seiring dengan bertambahnya umur tanaman untuk ketiga genotipe. Hal ini berarti semakin bertambahnya umur tanaman terjadi peningkatan bobot kering akar yang tidak sebanding dengan peningkatan bobot kering tajuk. Dari ketiga genotipe jarak pagar nisbah bobot kering tajuk-akar terendah adalah genotipe IP-1A. Menurut Terzi dan Kadioglu (2006) nisbah bobot kering tajuk-akar akan cenderung menurun pada kondisi kekeringan dan perbandingan ini merupakan salah satu indikator adaptasi tanaman terhadap kekeringan.

Tabel 9 Pengaruh frekuensi irigasi terhadap nisbah bobot kering tajuk-akar

Irigasi Umur

7 hari 14 hari 21 hari 28 hari

2 BSP 9.99 10.06 13.05 9.63

4 BSP 8.52 10.08 9.24 9.46

6 BSP 8.86 a 7.84 ab 7.57 ab 6.05 b

Keterangan : Data yang diikuti oleh huruf yang sama dalam baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan Pembeda Nyata Terkecil Uji Tukey (0.05); BSP (bulan setelah perlakuan); tn (tidak nyata); * (beda nyata).

Frekuensi irigasi juga tidak berpengaruh nyata terhadap nisbah bobot kering tajuk-akar pada umur 2 dan 4 BSP (Tabel 9). Pada umur 2 BSP nisbah tajuk-akar tertinggi diperoleh pada frekuensi irigasi 21 hari sekali, sedangkan pada umur 4 BSP nisbah tertinggi diperoleh pada frekuensi irigasi 14 hari sekali dan nisbah kedua umur pengamatan tersebut tidak berbeda nyata dengan frekuensi irigasi lainnya. Pada umur 6 BSP mulai terjadi perbedaan pengaruh perlakuan frekuensi irigasi. Nisbah bobot kering tajuk-akar tertinggi diperoleh pada frekuensi irigasi 7 hari sekali sangat berbeda nyata dengan frekuensi 28 hari tetapi tidak berbeda dengan frekuensi 14 dan 21 hari sekali.

Kadar Air Tanah, Evapotranspirasi dan Transpirasi

(47)

Selama pengamatan mulai 1 MSP (minggu setelah perlakuan) sampai dengan 40 MSP, persen KAT baik antar genotipe jarak pagar maupun frekuensi irigasi berada di bawah kadar air titik layu permanen (Gambar Lampiran 1a dan 2a). Berdasarkan hasil analisis laboratorium tanah sebagai media tumbuh, titik layu permanen (pF 4.2 atau tekanan -15 bar) diperoleh pada KAT 14.68 % dan kapasitas lapang (pF 2.54 atau tekanan -0.33 bar) diperoleh pada KAT 25.13 % (Tabel Lampiran 1). KAT di bawah titik layu permanen untuk jenis tanaman tertentu akan menyebabkan layu secara permanen (tidak dapat balik). Hasil pengukuran, rata-rata KAT mingguan berada di bawah 14.68 % (Gambar Lampiran 1a). Pada kondisi tersebut ketiga genotipe masih terjdi pertumbuhan dan produksi. Hal ini menunjukkkan bahwa pada KAT tersebut belum menjadi titik layu permanen bagi tanaman jarak pagar.

Salah satu dampak dari kekeringan adalah perbedaan luas daun (Tabel 3 dan 4). Perkembangan luas daun semakin sempit seiring dengan semakin menurunnya frekuensi irigasi. Semakin sempit luas daun maka semakin sedikit air yang ditranspirasikan dan CO2 yang diserap untuk proses fotosintesis lebih

sedikit. Sebagai konsekuensinya asimilat yang diakumulasi akan lebih sedikit sesuai yang ditunjukkan oleh bobot kering tanaman. Terhambatnya perluasan daun, absisi daun dan penyebaran akar yang lebih dalam ke zona lembab merupakan respon awal tanaman yang mengalami cekaman kekeringan (Taiz dan Zeiger. 2002). Selain pada pertumbuhan juga akan mempengaruhi hasil tanaman. Kekeringan pada fase generatif proses pembuahan tidak sempurna yang selanjutnya akan menurunkan hasil tanaman.

(48)

Pada frekuensi irigasi 7 hari sekali, total ET tertinggi terjadi pada IP-1P (1699.35 mm) dan terendah pada IP-1M (1612.39 mm). Ketika frekuensi irigasi diturunkan menjadi 14 hari sekali nilai tertinggi terjadi pada IP-1M (1284.61 mm)dan terendah pada IP-1A (1083.60 mm). Pola yang sama terjadi dengan semakin diturunkannya frekuensi irigasi. Perbedaan nilai ET oleh masing-masing genotipe ini disebabkan perbedaan morfologi tanaman terutama jumlah percabangan dan jumlah daun yang dihasilkan. Genotipe IP-1M menghasilkan jumlah cabang dan jumlah daun lebih tinggi dari kedua genotipe lainnya, namun dari aspek luas daun lebih sempit. Jumlah daun berhubungan dengan luas penutupan evaporasi. Nilai ET dapat dipakai sebagai indikator hasil dan ketersediaan air tanaman. Hasil penelitian Sulistyono (2003) menunjukkan bahwa hasil biji berkorelasi dengan luas daun dan ET yang juga berkorelasi dengan efisiensi penggunaan air tanaman. Selanjutnya dikatakan juga bahwa defisit ET dapat dipakai untuk menentukan saat mengairi tanaman sebelum terjadi fase cekaman yang sebenarnya.

Gambar 4 Total evapotranspirasi masing-masing genotipe jarak pagar dan frekuensi irigasi pada umur 10 BSP.

Frekuensi irigasi (hari sekali)

(49)

Total transpirasi sampai dengan umur yang sama menunjukkan bahwa untuk genotipe IP-1A pada frekuensi irigasi 7 hari sekali adalah 1201.03 mm, 14 hari sekali 419.89 mm, 21 hari sekali 248.20 mm dan frekuensi 28 hari sekali sebesar 151.05 mm. Dengan urutan frekuensi irigasi yang sama berturut-turut untuk genotipe IP-1M adalah 1209.01 mm, 491.24 mm, 296.88 mm dan 172.26 mm, sedangkan untuk genotipe IP-1P berturut-turut adalah 1348.85 mm, 461.55 mm, 253.55 mm dan 166.22 mm (Gambar 5 dan Tabel Lampiran 6).

Hal yang sama terjadi untuk total transpirasi masing-masing genotipe pada berbagai frekuensi irigasi. Pada frekuensi irigasi 7 hari sekali total transpirasi tertinggi terjadi pada IP-1P (1348.85 mm) kemudian diikuti oleh IP-1M (1209.01 mm) dan IP-1A (1201.03 mm). Ketika frekuensi diturunkan menjadi 14 hari sekali penurunan total transpirasi tertinggi terjadi pada genotipe IP-1P sebesar 887.30 mm (65.78 %) kemudian IP-1A sebesar 781.14 mm (65.04 %) dan terendah pada IP-1M sebesar 717.77 mm (59.37 %), demikian seterusnya sampai pada frekuensi irigasi terendah (28 hari sekali).

Gambar 5 Total transpirasi masing-masing genotipe jarak pagar dan frekuensi irigasi pada umur 10 BSP.

Frekuensi irigasi (hari sekali)

(50)

Semakin rendah frekuensi irigasi maka ketersediaan air semakin rendah yang selanjutnya akan berdampak terhadap terhambatnya pertumbuhan tanaman karena tanaman mengalami defisit air. Pada kondisi defisit air tanaman akan mengalami cekaman dan berbagai respon akan terjadi baik secara fisiologis, proses metabolisme dan ensimatis (Yordanov et al. 2003; Sankar et al. 2007).

Transpirasi berkorelasi positif sangat nyata dengan bobot kering tanaman pada pengukuran 6 BSP untuk ketiga genotipe jarak pagar (Tabel 10). Artinya semakin meningkat transpirasi bobot kering tanaman semakin meningkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa belum terdapat nilai transpirasi maksimal yang dibutuhkan untuk memperoleh bobot kering tertinggi karena masih terus menunjukkan pola yang linier. Air yang ditranspirasikan akan meningkat sangat bergantung kepada ketersediaan air dalam tanah.

Tabel 10 Korelasi antara transpirasi dengan bobot kering jarak pagar pada 6 BSP

Bobot kering Transpirasi

IP-1A IP-1M IP-1P

Transpirasi 1.00 0.95 ** 0.87 ** 0.88 **

Keterangan : BSP (bulan setelah perlakuan); ** (sangat nyata)

Sumber keragaman dari model hubungan transpirsi dengan bobot kering tanaman ketiga genotipe menunjukkan sangat nyata (Tabel Lampiran 9, 11 dan 13). Persamaan regresi hubungan antara transpirasi dengan bobot kering tanaman untuk IP-1A adalah y = 0.26x + 3.85, R2= 0.91; IP-1M adalah y = 0.15x + 24.88, R2= 0.75; IP-1P adalah y = 0.14x + 29.33, R2 = 0.77 (Gambar 6). Artinya bahwa setiap peningkatan 1 mm air yang ditranspirasikan akan meningkatkan bobot kering tanaman sebesar 0.26 g untuk genotipe 1A, 0.15 g untuk genotipe IP-1M dan 0.14 g untuk genotipe IP-1P.

(51)

709.36

Transpirasi (mm) Bobot kering (g)

717.72

Transpirasi (mm) Bobot kering (g)

627.58

Transpirasi (mm) Bobot kering (g)

(52)

Air yang ditranspirasikan bergantung kepada ketersediaan air dalam tanah. Gambar 5 membuktikan bahwa ketersediaan air dalam tanah yang dibangkitkan dari frekuensi irigasi menentukan jumlah air yang ditranspirasikan. Hal ini juga sebanding dengan bobot kering tanaman yang dihasilkan. Ketersediaan air yang cukup pada frekuensi irigasi 7 hari sekali menghasilkan akumulasi bobot kering yang lebih tinggi. Semakin menurun frekuensi irigasi, akumulasi bobot kering ketiga genotipe semakin menurun.

Efisiensi penggunaan air (EPA) tanaman diukur dari besarnya bobot kering (g) yang diakumulasi tanaman per jumlah pengguaan air yang sama. Berdasarkan pengertian tersebut maka EPA juga dapat diartikan sebagai efisiensi transpirasi (Levitt. 1980). Dilihat dari efisiensi penggunaan air dalam akumulasi bobot kering tanaman maka genotipe IP-1A lebih efisien dibandingkan dengan genotipe IP-1M dan IP-1P.

Komponen hasil

Data komponen hasil yang dapat dianalisis hanya dua genotipe dari tiga genotipe yang diteliti, karena sampai dengan umur 10 bulan setelah perlakuan satu genotipe yaitu IP-1M belum berbunga.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi nyata antara genotipe jarak pagar dan frekuensi irigasi terjadi pada peubah jumlah buah per tanaman, sedangkan pada peubah hasil biji, rendemen minyak dan produksi minyak per tanaman tidak nyata (Tabel Lampiran 4).

Tabel 11 Rata-rata jumlah buah, hasil biji, rendemen minyak dan produksi minyak per pohon antar genotipe jarak pagar

Genotipe jarak

pagar

Jumlah buah

per pohon

Hasil biji per

pohon

Rendemen minyak Produksi minyak

per pohon

(53)

Tabel 11 menunjukkan peubah komponen hasil antar genotipe jarak pagar. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pengaruh genotipe sangat nyata pada peubah jumlah buah dan tidak nyata untuk peubah hasil biji, rendemen minyak dan produksi minyak per pohon (Tabel Lampiran 4). Data dari keempat peubah komponen hasil menunjukkan bahwa IP-1P lebih tinggi dari IP-1A untuk semua peubah komponen hasil.

Dilihat dari aspek kesesuaian lingkungan tumbuh hal ini sesuai dengan laporan Pusat Penelitian Tanaman Perkebunan (2006b) yang merekomendasikan IP-1P untuk wilayah basah (Lampiran 3) namun penelitian masih terus dilakukan. Berbeda dengan IP-1A yang direkomendasikan untuk wilayah kering. Pengaruh yang sangat nyata pada peubah jumlah buah disebabkan oleh perbedaan dalam jumlah percabangan. Kedudukan bunga tanaman jarak pagar terjadi di pucuk percabangan (terminal) dan berbentuk rangkaian bunga (infloresen) sehingga setiap cabang berpotensi menghasilkan bunga dan buah (Hasnam dan Hartati. 2006). Ada dugaan bahwa perbedaan morfologi ini disebabkan oleh faktor genetik yang tidak terinduksi pada kondisi lingkungan tumbuh yang berbeda. Heller (1996) mengatakan bahwa pertumbuhan jarak pagar sangat dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh.

Tabel 12 Rata-rata jumlah buah, hasil biji per pohon,rendemen minyak dan produksi minyak per pohon jarak pagar berdasarkan frekuensi irigasi

Frekuensi irigasi Jumlah buah Hasil biji Rendemen minyak Produksi minyak

7 hari

Gambar

Tabel 1  Tinggi tanaman dan jumlah cabang dari tiga genotipe jarak pagar
Tabel 2  Rata-rata tinggi tanaman dan jumlah cabang genotipe jarak pagar pada berbagai frekuensi irigasi
Tabel 3  Rata-rata luas daun dari tiga genotipe jarak pagar
Tabel 4  Rata-rata luas daun jarak pagar pada berbagai frekuensi irigasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil panen tertinggi terdapat pada tanaman jarak pagar dengan nomor aksesi 6 dengan berat kering biji per tanaman mencapai 90 gram dan jumlah buah per tanaman mencapai 60,2

Perlakuan terdiri dari ransum yang tidak mengandung bungkil biji jarak (R0); Ransum mengandung bungkil biji jarak pagar fermentasi 7,5% (R1); Ransum mengandung bungkil biji

Tujuan penelitian ini adalah menentukan karakteristik hidratasi dalam bentuk sorpsi isotermik biji jarak pagar; mengidentifikasi spesies dan menentukan populasi cendawan

Hasil terbaik untuk memperoleh biji jarak adalah pengupasan buah segera setelah panen, kemudian biji yang diperoleh dikeringkan dengan menggunakan alat pengering pada suhu 70 o

Komponen produksi pada tanaman jarak pagar diataranya adalah jumlah bunga betina, rasio bunga betina dan jantan, jumlah buah yang jadi, jumlah biji per buah dan bobot kering

Perlakuan pendahuluan terhadap ampas biji jarak pagar dan modifikasi pada perekat pati sagu juga dapat dilakukan untuk memberikan hasil yang lebih baik untuk sifat fisis dan mekanis

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari deasidifikasi dan dekolorasi minyak jarak pagar dengan mengkaji pengaruh durasi dan frekuensi backflush terhadap fluks

Hasil pengamatan terhadap komponen hasil tanaman berupa pengamatan pada fase generatif serta hasil buah dan biji tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.), menunjukkan bahwa