• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis konsumsi beras rumahtangga dan kecukupan beras nasional tahun 2002 - 2007

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis konsumsi beras rumahtangga dan kecukupan beras nasional tahun 2002 - 2007"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KONSUMSI BERAS RUMAHTANGGA DAN

KECUKUPAN BERAS NASIONAL TAHUN 2002 – 2007

ARIS ZAINAL MUTTAQIN

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

(2)

ABSTRACT

ARIS Z MUTTAQIN. Household rice consumption and national rice adequacy in 2002-2007.

The study aimed to explore the pattern of household rice consumption and

national rice requirement and adequacy in 2002-2007. Data were collected from June to

August 2008. Secondary data such as household rice consumption based on SUSENAS

data, government rice consumption in the form of poor resident rice realization based on

BULOG data, and availability of rice based on food balance sheet.

The estimation of household rice consumption based on SUSENAS data of rice

consumption. National rice availability were obtained by calculates the total of national

rice consumption with the availability of public rice reserve and rice deposit in BULOG.

National rice adequacy were obtained by using ratio of domestic rice production and

availability to national rice consumption.

Household rice consumption per capita in 2002-2007 was decrease, but

household rice consumption in derivative product or rice food processing was increase,

either in urban but also in rural. Rice outdoors consumption was increase in compliance

to higher rate improvement in rural household.

National rice consumption, based on estimation, was 28,317,272 tons or 134.4

Kg/cap (in 2002), 28,135,078 tons or 128.4 Kg/cap (in 2005), and 27,050,183 tons or

120.2 Kg/cap (in 2007). National rice requirement, based on estimation, was 31,900,529

tons or 151.5 Kg/cap (in 2002), 31,760,865 tons or 144.9 Kg/cap (in 2005), and

30,618,665 tons or 136.0 Kg/cap (in 2007).

Rice availability from domestic production (without impor) was deficit in 2002 and

(3)

RINGKASAN

ARIS Z MUTTAQIN. Analisis Konsumsi Beras Rumahtangga dan Kecukupan Beras Nasional Tahun 2002 – 2007. Di bawah bimbingan DRAJAT MARTIANTO.

Penelitian ini secara umum bertujuan mengetahui konsumsi beras rumahtangga dan kebutuhan serta kecukupan beras nasional tahun 2002 - 2007. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1) menganalisis perkembangan konsumsi beras rumahtangga tahun 2002 – 2007; 2) menganalisis perkembangan permintaan antara beras tahun 2002 – 2007; 3) melakukan estimasi konsumsi beras nasional tahun 2002 – 2007; 4) melakukan estimasi kebutuhan beras nasional tahun 2002 – 2007; dan 5) menganalisis kecukupan beras nasional tahun 2002 – 2007.

Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juni – Agustus 2008. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari data konsumsi beras rumahtangga berdasarkan data SUSENAS yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi beras pemerintah yaitu realisasi beras miskin berdasarkan data BULOG, dan ketersediaan beras berdasarkan NBM.

Estimasi konsumsi beras rumahtangga dilakukan berdasarkan data konsumsi beras dari data SUSENAS. Konsumsi beras rumahtangga diperoleh dari total konsumsi beras langsung dan konsumsi produk turunan/makanan olahan beras. Estimasi konsumsi beras rumahtangga dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan konversi konsumsi produk turunan/makanan olahan beras. Permintaan antara beras diestimasi menggunakan rasio permintaan antara dengan konsumsi rumahtangga berdasarkan informasi dari Tabel Input-Output

dengan melanjutkan proyeksi Erwidodo dan Pribadi (2003). Untuk menghindari terjadinya penghitungan ganda angka konsumsi beras rumahtangga yang digunakan untuk menghitung permintaan antara beras adalah konsumsi beras langsung.

Konsumsi beras nasional dihitung dari total konsumsi beras langsung oleh rumahtangga, konsumsi beras pemerintah berupa penyaluran beras miskin, dan permintaan antara beras. Kebutuhan beras nasional dihitung dari total konsumsi beras nasional dengan kebutuhan untuk cadangan beras masyarakat dan stok beras di BULOG. Cadangan beras masyarakat terdiri dari cadangan beras rumahtangga dan cadangan beras yang ada di penggilingan, pedagang, dan industri. Kebutuhan untuk cadangan beras rumahtangga dihitung dengan menggunakan angka koreksi terhadap konsumsi beras rumahtangga sebesar 5 persen untuk rumahtangga perkotaan dan 10 persen untuk rumahtangga pedesaan. Cadangan beras di penggilingan, pedagang, dan industri dihitung menggunakan asumsi rasio cadangan beras di penggilingan, pedagang, dan industri dengan cadangan beras rumahtangga sebesar 25 : 75. Kebutuhan beras untuk stok di BULOG dihitung berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Tim UGM tahun 2003, yaitu sebesar 0.75 – 1.3 juta ton. Kecukupan beras nasional diukur menggunakan persen rasio produksi dan ketersediaan beras dalam negeri dengan kebutuhan beras nasional.

(4)

Konsumsi beras dalam bentuk produk turunan/makanan olahan beras terus mengalami peningkatan baik di perkotaan maupun pedesaan. Laju peningkatan konsumsi produk turunan/makanan olahan beras tertinggi pada rumahtangga perkotaan adalah konsumsi bubur bayi kemasan diikuti konsumsi nasi putih dan nasi campur, sedangkan pada rumahtangga pedesaan laju peningkatan konsumsi tertinggi adalah pada bubur bayi kemasan diikuti nasi campur dan tepung beras.

Konsumsi beras pada konsumsi di luar rumah semakin meningkat dengan laju peningkatan sebesar 6.3 persen pertahun. Konsumsi beras rumahtangga di luar rumah meningkat menjadi 8.1 Kg/kap/tahun pada tahun 2007 dari 6.0 Kg/kap/tahun pada tahun 2002. Konsumsi beras di luar rumah meningkat dengan laju peningkatan sebesar 3.5 persen pertahun pada rumahtangga perkotaan, sedangkan pada rumahtangga pedesaan meningkat dengan laju 10.2 persen pertahun. Meskipun peningkatan konsumsi beras di luar rumah pada rumahtangga pedesaan lebih tinggi daripada rumahtangga perkotaan, jumlah konsumsi beras di luar rumah pada rumahtangga perkotaan masih lebih tinggi daripada konsumsi beras di luar rumah pada rumahtangga pedesaan.

Konsumsi beras rumahtangga secara umum semakin meningkat dengan meningkatnya pengeluaran. Namun pada pengeluaran Rp. 500 000 – Rp. 749 999 konsumsi beras rumahtangga mulai menurun dan cenderung tetap pada pengeluaran > Rp. 750 000. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada tingkat pengeluaran/pendapatan tertentu, rumahtangga tidak lagi menambah jumlah konsumsi beras. Jumlah konsumsi beras cenderung tetap, namun dengan kualitas yang lebih baik. Pada rumahtangga pedesaan, konsumsi beras rumahtangga juga semakin meningkat dengan meningkatnya pengeluran. Konsumsi beras mulai turun dan cenderung tetap pada pengeluaran Rp. 500 000 – Rp. 749 999. Pada rumahtangga perkotaan, konsumsi beras rumahtangga meningkat dengan meningkatnya pendapatan, namun cenderung tetap pada pengeluran Rp. 200 000 ke atas.

Estimasi permintaan antara beras yang mencakup permintaan beras untuk industri, hotel, restoran dan sejenisnya menunjukkan jumlah permintaan yang meningkat dari tahun 2002 ke tahun 2005. Pada tahun 2007 permintaan antara beras mengalami sedikit penurunan, namun jumlah permintaan antara beras pada tahun tersebut masih lebih tinggi daripada tahun 2002.

Konsumsi beras nasional berdasarkan estimasi adalah 28,317,272 ton atau 134.4 Kg/kap (tahun 2002), 28,135,078 ton atau 128.4 Kg/kap (tahun 2005), dan 27,050,183 ton atau 120.2 Kg/kap (tahun 2007). Kebutuhan beras nasional berdasarkan estimasi adalah 31,900,529 ton atau 151.5 Kg/kap (tahun 2002), 31,760,865 ton atau 144.9 Kg/kap (tahun 2005), dan 30,618,665 ton atau 136.0 Kg/kap (tahun 2007).

(5)

ANALISIS KONSUMSI BERAS RUMAHTANGGA DAN

KECUKUPAN BERAS NASIONAL TAHUN 2002 – 2007

ARIS ZAINAL MUTTAQIN

Skripsi

sebagai syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

(6)

Judul : Analisis Konsumsi Beras Rumahtangga dan Kecukupan Beras Nasional Tahun 2002 - 2007

Nama : Aris Zainal Muttaqin Nomor Pokok : A54103048

Menyetujui: Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si NIP. 131 861 464

Mengetahui: Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Blitar pada tanggal 24 Oktober tahun 1984 dari ayah Abidin dan ibu Isbandiyah. Penulis merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Ibu penulis adalah seorang guru yang pernah mendapat tugas mengajar di Probolinggo, sehingga penulis dibesarkan di Probolinggo hingga umur 5 tahun.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1997 di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Jeding, yaitu sekolah dasar satu-satunya yang ada di kampung halaman penulis. Pendidikan tingkat menengah penulis selesaikan di Madrasah Tsanawiyah Negeri II Blitar pada tahun 2000, sedangkan pendidikan tingkat atas penulis selesaikan di SMAN 1 Blitar pada tahun 2003.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur selalu penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini berjudul “Konsumsi Beras Rumahtangga dan Kebutuhan serta Kecukupan Beras Nasional Tahun 2002 – 2007” yang merupakan salah satu syarat untuk kelulusan sarjana Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga.

Beras sebagai pangan pokok utama penduduk Indonesia tetap memiliki peran yang penting dan strategis baik sosial, ekonomi, maupun politik. Konsumsi, kebutuhan, dan kecukupan beras nasional saat ini juga masih menjadi isu penting dalam kebijakan ketahanan pangan nasional. Situasi konsumsi, kebutuhan, dan kecukupan beras nasional menjadi suatu hal yang penting sebagai informasi dan bahan dalam pembuatan kebijakan perberasan nasional untuk mendukung tercapainya ketahanan pangan khususnya beras secara berkelanjutan.

Skripsi “Konsumsi Beras Rumahtangga dan Kebutuhan serta Kecukupan Beras Nasional Tahun 2002 – 2007” ini disusun sebagai salah satu upaya dalam pengumpulan informasi tentang konsumsi beras rumahtangga, kebutuhan beras nasional, dan kecukupan beras nasional tahun 2002 – 2007. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan khususnya yang berkaitan dengan kegiatan penetapan konsumsi, kebutuhan, dan kecukupan beras nasional.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si sebagai dosen pembimbing, Dr. Ir. Yayuk F Baliwati, MS sebagai dosen pemandu dalam seminar dan dosen penguji, kedua orangtua yang senantiasa memberikan doa dan nasehatnya, Kerabat Mahasiswa Blitar di Bogor (Ramalita) dan keluarga Bpk. Sugandi, Keluarga besar GMSK’40, Kakak kelas dan Adik kelas, dan seluruh keluarga besar Program Studi GMSK.

Penulis telah berusaha memberikan yang terbaik untuk menyelesaikan skripsi ini, namun penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Penulis berdoa semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan pihak-pihak yang memerlukan. Amin.

Bogor, Desember 2008

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

PENDAHULUAN Latar belakang ... 1

Perumusan masalah ... 3

Tujuan ... 4

Manfaat Penelitan ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Beras Sebagai Pangan Pokok Utama ... 5

Konsumsi Beras Nasional ... 6

Kebutuhan Beras Nasional ... 10

Kecukupan Beras Nasional ... 12

KERANGKA PEMIKIRAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 16

Jenis dan Sumber Data ... 16

Pengolahan dan Analisis Data ... 16

Definisi Operasional ... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Beras Rumahtangga ... 21

Perkembangan Konsumsi Beras Rumahtagga ... 21

Konsumsi Beras di Luar Rumah ... 26

Konsumsi Beras Rumahtangga Berdasarkan Golongan Pengeluaran ... 27

Permintaan Antara Beras... 29

Estimasi Konsumsi Beras Nasional ... 32

Estimasi Kebutuhan Beras Nasional ... 33

Kecukupan Beras Nasional ... 34

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 36

Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Perkembangan konsumsi beras rumahtangga (Kg/kap/tahun) ... 7 2. Perkembangan konsumsi makanan dan minuman jadi menurut

jenisnya ... 9 3. Pangsa permintaan beras menurut jenis penggunaan ... 10 4. Proyeksi produksi dan permintaan beras (ton) tahun 1999 – 2004 .... 11 5. Jenis dan sumber data ... 16 6. Perkembangan konsumsi beras rumahtangga berdasarkan wilayah

(g/kap/hari danKg/kap/tahun) tahun 2002 - 2007 ... 21 7. Konsumsi beras langsung dan konsumsi produk turunan/makanan

olahan beras (g/kap/hari danKg/kap/tahun) tahun 2002 – 2007... 22 8. Konsumsi produk turunan/makanan olahan beras berdasarkan

wilayah (g/kap/hari danKg/kap/tahun) tahun 2002 – 2007 ... 23 9. Konsumsi beras rumahtangga di luar rumah (g/kap/hari dan

Kg/kap/tahun) tahun 2002 - 2007 ... 26 10. Konsumsi beras rumahtangga di luar rumah berdasarkan wilayah

(g/kap/hari danKg/kap/tahun) tahun 2002 - 2007 ... 26 11. Permintaan antara beras (ton) tahun 2002 - 2007 ... 29 12. Jenis, jumlah, dan kebutuhan beras industri berbahan baku beras ... 30 13. Konsumsi beras nasional (ton dan Kg/kapita) tahun 2002 -2007 ... 33 14. Kebutuhan beras nasional (ton dan Kg/kapita) tahun 2002 - 2007 .... 34 15. Rasio produksi dan ketersediaan beras dalam negeri terhadap

(11)

ANALISIS KONSUMSI BERAS RUMAHTANGGA DAN

KECUKUPAN BERAS NASIONAL TAHUN 2002 – 2007

ARIS ZAINAL MUTTAQIN

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

(12)

ABSTRACT

ARIS Z MUTTAQIN. Household rice consumption and national rice adequacy in 2002-2007.

The study aimed to explore the pattern of household rice consumption and

national rice requirement and adequacy in 2002-2007. Data were collected from June to

August 2008. Secondary data such as household rice consumption based on SUSENAS

data, government rice consumption in the form of poor resident rice realization based on

BULOG data, and availability of rice based on food balance sheet.

The estimation of household rice consumption based on SUSENAS data of rice

consumption. National rice availability were obtained by calculates the total of national

rice consumption with the availability of public rice reserve and rice deposit in BULOG.

National rice adequacy were obtained by using ratio of domestic rice production and

availability to national rice consumption.

Household rice consumption per capita in 2002-2007 was decrease, but

household rice consumption in derivative product or rice food processing was increase,

either in urban but also in rural. Rice outdoors consumption was increase in compliance

to higher rate improvement in rural household.

National rice consumption, based on estimation, was 28,317,272 tons or 134.4

Kg/cap (in 2002), 28,135,078 tons or 128.4 Kg/cap (in 2005), and 27,050,183 tons or

120.2 Kg/cap (in 2007). National rice requirement, based on estimation, was 31,900,529

tons or 151.5 Kg/cap (in 2002), 31,760,865 tons or 144.9 Kg/cap (in 2005), and

30,618,665 tons or 136.0 Kg/cap (in 2007).

Rice availability from domestic production (without impor) was deficit in 2002 and

(13)

RINGKASAN

ARIS Z MUTTAQIN. Analisis Konsumsi Beras Rumahtangga dan Kecukupan Beras Nasional Tahun 2002 – 2007. Di bawah bimbingan DRAJAT MARTIANTO.

Penelitian ini secara umum bertujuan mengetahui konsumsi beras rumahtangga dan kebutuhan serta kecukupan beras nasional tahun 2002 - 2007. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1) menganalisis perkembangan konsumsi beras rumahtangga tahun 2002 – 2007; 2) menganalisis perkembangan permintaan antara beras tahun 2002 – 2007; 3) melakukan estimasi konsumsi beras nasional tahun 2002 – 2007; 4) melakukan estimasi kebutuhan beras nasional tahun 2002 – 2007; dan 5) menganalisis kecukupan beras nasional tahun 2002 – 2007.

Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juni – Agustus 2008. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari data konsumsi beras rumahtangga berdasarkan data SUSENAS yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi beras pemerintah yaitu realisasi beras miskin berdasarkan data BULOG, dan ketersediaan beras berdasarkan NBM.

Estimasi konsumsi beras rumahtangga dilakukan berdasarkan data konsumsi beras dari data SUSENAS. Konsumsi beras rumahtangga diperoleh dari total konsumsi beras langsung dan konsumsi produk turunan/makanan olahan beras. Estimasi konsumsi beras rumahtangga dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan konversi konsumsi produk turunan/makanan olahan beras. Permintaan antara beras diestimasi menggunakan rasio permintaan antara dengan konsumsi rumahtangga berdasarkan informasi dari Tabel Input-Output

dengan melanjutkan proyeksi Erwidodo dan Pribadi (2003). Untuk menghindari terjadinya penghitungan ganda angka konsumsi beras rumahtangga yang digunakan untuk menghitung permintaan antara beras adalah konsumsi beras langsung.

Konsumsi beras nasional dihitung dari total konsumsi beras langsung oleh rumahtangga, konsumsi beras pemerintah berupa penyaluran beras miskin, dan permintaan antara beras. Kebutuhan beras nasional dihitung dari total konsumsi beras nasional dengan kebutuhan untuk cadangan beras masyarakat dan stok beras di BULOG. Cadangan beras masyarakat terdiri dari cadangan beras rumahtangga dan cadangan beras yang ada di penggilingan, pedagang, dan industri. Kebutuhan untuk cadangan beras rumahtangga dihitung dengan menggunakan angka koreksi terhadap konsumsi beras rumahtangga sebesar 5 persen untuk rumahtangga perkotaan dan 10 persen untuk rumahtangga pedesaan. Cadangan beras di penggilingan, pedagang, dan industri dihitung menggunakan asumsi rasio cadangan beras di penggilingan, pedagang, dan industri dengan cadangan beras rumahtangga sebesar 25 : 75. Kebutuhan beras untuk stok di BULOG dihitung berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Tim UGM tahun 2003, yaitu sebesar 0.75 – 1.3 juta ton. Kecukupan beras nasional diukur menggunakan persen rasio produksi dan ketersediaan beras dalam negeri dengan kebutuhan beras nasional.

(14)

Konsumsi beras dalam bentuk produk turunan/makanan olahan beras terus mengalami peningkatan baik di perkotaan maupun pedesaan. Laju peningkatan konsumsi produk turunan/makanan olahan beras tertinggi pada rumahtangga perkotaan adalah konsumsi bubur bayi kemasan diikuti konsumsi nasi putih dan nasi campur, sedangkan pada rumahtangga pedesaan laju peningkatan konsumsi tertinggi adalah pada bubur bayi kemasan diikuti nasi campur dan tepung beras.

Konsumsi beras pada konsumsi di luar rumah semakin meningkat dengan laju peningkatan sebesar 6.3 persen pertahun. Konsumsi beras rumahtangga di luar rumah meningkat menjadi 8.1 Kg/kap/tahun pada tahun 2007 dari 6.0 Kg/kap/tahun pada tahun 2002. Konsumsi beras di luar rumah meningkat dengan laju peningkatan sebesar 3.5 persen pertahun pada rumahtangga perkotaan, sedangkan pada rumahtangga pedesaan meningkat dengan laju 10.2 persen pertahun. Meskipun peningkatan konsumsi beras di luar rumah pada rumahtangga pedesaan lebih tinggi daripada rumahtangga perkotaan, jumlah konsumsi beras di luar rumah pada rumahtangga perkotaan masih lebih tinggi daripada konsumsi beras di luar rumah pada rumahtangga pedesaan.

Konsumsi beras rumahtangga secara umum semakin meningkat dengan meningkatnya pengeluaran. Namun pada pengeluaran Rp. 500 000 – Rp. 749 999 konsumsi beras rumahtangga mulai menurun dan cenderung tetap pada pengeluaran > Rp. 750 000. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada tingkat pengeluaran/pendapatan tertentu, rumahtangga tidak lagi menambah jumlah konsumsi beras. Jumlah konsumsi beras cenderung tetap, namun dengan kualitas yang lebih baik. Pada rumahtangga pedesaan, konsumsi beras rumahtangga juga semakin meningkat dengan meningkatnya pengeluran. Konsumsi beras mulai turun dan cenderung tetap pada pengeluaran Rp. 500 000 – Rp. 749 999. Pada rumahtangga perkotaan, konsumsi beras rumahtangga meningkat dengan meningkatnya pendapatan, namun cenderung tetap pada pengeluran Rp. 200 000 ke atas.

Estimasi permintaan antara beras yang mencakup permintaan beras untuk industri, hotel, restoran dan sejenisnya menunjukkan jumlah permintaan yang meningkat dari tahun 2002 ke tahun 2005. Pada tahun 2007 permintaan antara beras mengalami sedikit penurunan, namun jumlah permintaan antara beras pada tahun tersebut masih lebih tinggi daripada tahun 2002.

Konsumsi beras nasional berdasarkan estimasi adalah 28,317,272 ton atau 134.4 Kg/kap (tahun 2002), 28,135,078 ton atau 128.4 Kg/kap (tahun 2005), dan 27,050,183 ton atau 120.2 Kg/kap (tahun 2007). Kebutuhan beras nasional berdasarkan estimasi adalah 31,900,529 ton atau 151.5 Kg/kap (tahun 2002), 31,760,865 ton atau 144.9 Kg/kap (tahun 2005), dan 30,618,665 ton atau 136.0 Kg/kap (tahun 2007).

(15)

ANALISIS KONSUMSI BERAS RUMAHTANGGA DAN

KECUKUPAN BERAS NASIONAL TAHUN 2002 – 2007

ARIS ZAINAL MUTTAQIN

Skripsi

sebagai syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

(16)

Judul : Analisis Konsumsi Beras Rumahtangga dan Kecukupan Beras Nasional Tahun 2002 - 2007

Nama : Aris Zainal Muttaqin Nomor Pokok : A54103048

Menyetujui: Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si NIP. 131 861 464

Mengetahui: Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Blitar pada tanggal 24 Oktober tahun 1984 dari ayah Abidin dan ibu Isbandiyah. Penulis merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Ibu penulis adalah seorang guru yang pernah mendapat tugas mengajar di Probolinggo, sehingga penulis dibesarkan di Probolinggo hingga umur 5 tahun.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1997 di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Jeding, yaitu sekolah dasar satu-satunya yang ada di kampung halaman penulis. Pendidikan tingkat menengah penulis selesaikan di Madrasah Tsanawiyah Negeri II Blitar pada tahun 2000, sedangkan pendidikan tingkat atas penulis selesaikan di SMAN 1 Blitar pada tahun 2003.

(18)

KATA PENGANTAR

Puji syukur selalu penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini berjudul “Konsumsi Beras Rumahtangga dan Kebutuhan serta Kecukupan Beras Nasional Tahun 2002 – 2007” yang merupakan salah satu syarat untuk kelulusan sarjana Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga.

Beras sebagai pangan pokok utama penduduk Indonesia tetap memiliki peran yang penting dan strategis baik sosial, ekonomi, maupun politik. Konsumsi, kebutuhan, dan kecukupan beras nasional saat ini juga masih menjadi isu penting dalam kebijakan ketahanan pangan nasional. Situasi konsumsi, kebutuhan, dan kecukupan beras nasional menjadi suatu hal yang penting sebagai informasi dan bahan dalam pembuatan kebijakan perberasan nasional untuk mendukung tercapainya ketahanan pangan khususnya beras secara berkelanjutan.

Skripsi “Konsumsi Beras Rumahtangga dan Kebutuhan serta Kecukupan Beras Nasional Tahun 2002 – 2007” ini disusun sebagai salah satu upaya dalam pengumpulan informasi tentang konsumsi beras rumahtangga, kebutuhan beras nasional, dan kecukupan beras nasional tahun 2002 – 2007. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan khususnya yang berkaitan dengan kegiatan penetapan konsumsi, kebutuhan, dan kecukupan beras nasional.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si sebagai dosen pembimbing, Dr. Ir. Yayuk F Baliwati, MS sebagai dosen pemandu dalam seminar dan dosen penguji, kedua orangtua yang senantiasa memberikan doa dan nasehatnya, Kerabat Mahasiswa Blitar di Bogor (Ramalita) dan keluarga Bpk. Sugandi, Keluarga besar GMSK’40, Kakak kelas dan Adik kelas, dan seluruh keluarga besar Program Studi GMSK.

Penulis telah berusaha memberikan yang terbaik untuk menyelesaikan skripsi ini, namun penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Penulis berdoa semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan pihak-pihak yang memerlukan. Amin.

Bogor, Desember 2008

(19)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

PENDAHULUAN Latar belakang ... 1

Perumusan masalah ... 3

Tujuan ... 4

Manfaat Penelitan ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Beras Sebagai Pangan Pokok Utama ... 5

Konsumsi Beras Nasional ... 6

Kebutuhan Beras Nasional ... 10

Kecukupan Beras Nasional ... 12

KERANGKA PEMIKIRAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 16

Jenis dan Sumber Data ... 16

Pengolahan dan Analisis Data ... 16

Definisi Operasional ... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Beras Rumahtangga ... 21

Perkembangan Konsumsi Beras Rumahtagga ... 21

Konsumsi Beras di Luar Rumah ... 26

Konsumsi Beras Rumahtangga Berdasarkan Golongan Pengeluaran ... 27

Permintaan Antara Beras... 29

Estimasi Konsumsi Beras Nasional ... 32

Estimasi Kebutuhan Beras Nasional ... 33

Kecukupan Beras Nasional ... 34

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 36

Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37

(20)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Perkembangan konsumsi beras rumahtangga (Kg/kap/tahun) ... 7 2. Perkembangan konsumsi makanan dan minuman jadi menurut

jenisnya ... 9 3. Pangsa permintaan beras menurut jenis penggunaan ... 10 4. Proyeksi produksi dan permintaan beras (ton) tahun 1999 – 2004 .... 11 5. Jenis dan sumber data ... 16 6. Perkembangan konsumsi beras rumahtangga berdasarkan wilayah

(g/kap/hari danKg/kap/tahun) tahun 2002 - 2007 ... 21 7. Konsumsi beras langsung dan konsumsi produk turunan/makanan

olahan beras (g/kap/hari danKg/kap/tahun) tahun 2002 – 2007... 22 8. Konsumsi produk turunan/makanan olahan beras berdasarkan

wilayah (g/kap/hari danKg/kap/tahun) tahun 2002 – 2007 ... 23 9. Konsumsi beras rumahtangga di luar rumah (g/kap/hari dan

Kg/kap/tahun) tahun 2002 - 2007 ... 26 10. Konsumsi beras rumahtangga di luar rumah berdasarkan wilayah

(g/kap/hari danKg/kap/tahun) tahun 2002 - 2007 ... 26 11. Permintaan antara beras (ton) tahun 2002 - 2007 ... 29 12. Jenis, jumlah, dan kebutuhan beras industri berbahan baku beras ... 30 13. Konsumsi beras nasional (ton dan Kg/kapita) tahun 2002 -2007 ... 33 14. Kebutuhan beras nasional (ton dan Kg/kapita) tahun 2002 - 2007 .... 34 15. Rasio produksi dan ketersediaan beras dalam negeri terhadap

(21)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Pohon industri beras ... 8 2. Komponen permintaan dan ketersediaan beras nasional ... 15 3. Konsumsi beras rumahtangga berdasarkan wilayah dan golongan

pengeluaran (Kg/kap/tahun) tahun 2007 ... 27 4. Konsumsi beras di luar rumah berdasarkan wilayah dan golongan

pengeluaran (Kg/kap/tahun) tahun 2007 ... ` 28 5. Perkembangan kebutuhan beras beberapa industri berbahan baku

(22)

DAFTAR LAMPIRAN

(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Beras merupakan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia, dimana lebih dari 95 persen penduduk Indonesia mengkonsumsi beras setiap harinya. Jenis pangan lain yang menjadi pangan pokok bagi beberapa rumahtangga di Indonesia adalah umbi-umbian, jagung, sagu, dan pisang. Namun, beberapa jenis pangan pokok tersebut belum dapat menggantikan dominasi beras sebagai pangan pokok penduduk. Di beberapa daerah justru terjadi perubahan pola pangan pokok dari pangan pokok nonberas menjadi pangan pokok beras. Perubahan pola pangan pokok tersebut terkait dengan preferensi yang juga dipengaruhi oleh ketersediaan, selera, potensi, kemudahan memasak, dan daya beli (Ariani 2003).

Karena perannya yang dominan dalam pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia, beras memiliki peran strategis yang menuntut pemerintah untuk senantiasa mengevaluasi dan memperbaharui kebijakan sebagai upaya untuk melindungi masyarakat, baik sebagai produsen maupun konsumen beras. Kebijakan perberasan diantaranya diatur dalam Instruksi Presiden tentang kebijakan perberasan nasional. Pada tahun 2002 kebijakan perberasan diatur dalam Inpres no. 9 tahun 2002. Tujuan Inpres tersebut adalah meningkatkan pendapatan petani dan ketahanan pangan nasional melalui komponen-komponen kebijakan sebagai berikut: (a) kebijakan peningkatan produktivitas dan produksi padi/beras nasional, (b) kebijakan pengembangan diversifikasi kegiatan ekonomi petani padi, (c) kebijakan harga pembelian gabah/beras oleh pemerintah, (d) kebijakan impor beras yang melindungi produsen dan konsumen, dan (e) kebijakan pemberian jaminan penyediaan dan penyaluran beras untuk kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan (Hermanto 2004).

(24)

2

pemerintah, dan atau untuk menjaga stabilitas harga dalam negeri. Ekspor beras dapat dilakukan hanya jika ketersediaan beras dalam negeri telah tercukupi, dilaksanakan secara terkendali, dan tidak mengganggu stabilitas harga dalam negeri.

Isu penting tentang perberasan nasional yang saat ini masih menjadi perhatian serius pemerintah adalah masalah kebutuhan dan ketersedian beras nasional kaitannya dengan ketahanan pangan nasional. Surplus dan defisit ketersediaan beras nasional sampai saat ini belum dapat ditentukan dengan pasti. Penyebabnya adalah adanya kemungkinan data produksi yang

overestimate dan kemungkinan data konsumsi yangunderestimate.

Data produksi beras diperoleh dari data yang dikeluarkan oleh Departemen Pertanian, sedangkan data permintaan beras diperoleh dari data SUSENAS yang dikeluarkan oleh BPS. Data produksi/ketersediaan beras nasional untuk konsumsi selalu lebih besar dari angka permintaan, oleh karena itu ada kemungkinan angka produksi nasional overestimate. Analisis Sastrotaruno dan Maksum (1997) dalam Erwidodo dan Pribadi (2003) memperkirakan angka produksi beras nasional lebih tinggi 17 persen dari angka seharusnya.

Permintaan beras nasional adalah total dari permintaan beras untuk pangan dan nonpangan yang terbagi menjadi permintaan antara (intermediate demand) dan permintaan akhir (final demand). Permintaan antara merupakan

permintaan beras yang digunakan sebagai bahan untuk diolah menjadi produk lain. Termasuk dalam permintaan antara adalah permintaan beras untuk industri olahan beras, hotel, restoran dan sejenisnya, sedangkan permintaan akhir adalah permintaan beras untuk konsumsi rumahtangga dan pemerintah.

Angka permintaan beras nasional yang diturunkan dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dianggap underestimate karena data konsumsi yang tercakup dalam pengumpulan data SUSENAS dianggap kurang menggambarkan permintaan beras nasional. Data tersebut hanya menggambarkan konsumsi beras rumahtangga. Permintaan beras oleh nonrumahtangga seperti industri pengolahan beras, hotel, restoran dan jasa boga lain tidak diperhitungkan dalam data SUSENAS (Erwidodo & Pribadi 2003).

(25)

3

Pribadi (2003) melakukan proyeksi produksi dan konsumsi beras nasional berdasarkan data SUSENAS menggunakan elastisitas pendapatan dan elastisitas harga sendiri serta informasi dari TabelInput-Output untuk menghitung permintaan antara beras. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa pada tahun 1999 – 2004 Indonesia masih mengalami defisit beras.

Perhitungan lain adalah perhitungan konsumsi beras nasional berdasarkan data SUSENAS oleh Pusat Data dan Informasi Pertanian (Pusdatin) (2005) dengan membedakan konsumsi beras di dalam rumah, di luar rumah, konsumsi industri, dan perkiraan konsumsi yang belum tercatat. Pada perhitungan tersebut digunakan angka asumsi sebagai faktor koreksi data SUSENAS, yaitu 15 persen untuk konsumsi di luar rumah, 20.56 persen untuk konsumsi industri, dan 12.3 Kg/kap/tahun untuk perkiraan data konsumsi yang belum tercatat. Berdasarkan perhitungan Pusdatin tersebut Indonesia mengalami surplus beras pada tahun 2005.

Kebutuhan beras ke depan diyakini akan semakin tinggi pada sektor industri sebagai permintaan antara beras. Oleh karena itu, angka kebutuhan beras pada sektor tersebut harus bisa diperkirakan secara lebih tepat dan teliti. Kekhawatiran muncul jika pemerintah tidak bisa memperkirakan kebutuhan beras nasional secara tepat. Perdebatan tentang kebutuhan impor dan kemampuan produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan beras menimbulkan kekhawatiran bahwa penyediaan dan pasokan beras tidak bisa stabil. Kondisi

tersebut harus menjadi perhatian serius karena gejolak pada harga dan ketersediaan beras dapat menimbulkan keresahan sosial dan berbagai tuntutan (Amang & Sawit 1999).

Perbedaan cara dalam menentukan angka konsumsi dan kebutuhan beras nasional menarik perhatian peneliti untuk melakukan kajian tentang konsumsi dan kebutuhan beras nasional dari tahun 2002 sampai tahun 2007. Pada periode tersebut, yaitu periode setelah pemulihan krisis ekonomi (1999 – 2002), konsumsi beras nasional terus mengalami dinamika yang menarik untuk dikaji dan dipelajari.

Perumusan Masalah

(26)

4

dapat ditentukan dengan pasti. Estimasi konsumsi dan kebutuhan beras nasional harus dilakukan dengan memperhatikan penggunaan beras yang pada dasarnya terdiri dari konsumsi rumahtangga, permintaan industri (pangan dan nonpangan), dan cadangan pangan. Penggunaan beberapa pendekatan dalam estimasi harus berdasarkan penelitian yang ilmiah dan mutakhir.

Tujuan Tujuan Umum

Mengetahui konsumsi beras rumahtangga dan kebutuhan serta kecukupan beras nasional tahun 2002 - 2007.

Tujuan khusus

1. Menganalisis perkembangan konsumsi beras rumahtangga tahun 2002 – 2007 berdasarkan SUSENAS.

2. Menganalisis perkembangan permintaan antara beras tahun 2002 - 2007. 3. Melakukan estimasi konsumsi beras nasional tahun 2002 – 2007.

4. Melakukan estimasi kebutuhan beras nasional tahun 2002 – 2007. 5. Menganalisis kecukupan beras nasional tahun 2002 - 2007.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam upaya melakukan koreksi terhadap estimasi konsumsi dan kebutuhan beras nasional untuk menentukan surplus atau defisit ketersediaan beras nasional. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna dalam kegiatan estimasi

(27)

TINJAUAN PUSTAKA

Beras Sebagai Pangan Pokok Utama

Pola konsumsi pangan pokok rumahtangga ditentukan dari sumbangan energi dari masing-masing pangan pokok terhadap total energi dari konsumsi pangan pokok. Berdasarkan sumbangan energi tersebut pola konsumsi pangan pokok dapat berupa pangan pokok tunggal seperti beras saja atau pangan pokok lebih dari satu jenis seperti beras dengan umbian atau beras dengan umbi-umbian dan jagung. Di Indonesia pangan pokok rumahtangga yang utama dan dominan adalah beras. Pangan pokok lainnya adalah umbi-umbian, jagung, sagu, dan pisang. Lubis (2005) menyebutkan bahwa konsumsi pangan pokok Indonesia yang paling banyak adalah beras, kemudian jagung, terigu, ubi jalar, dan ubi kayu.

Dominasi beras sebagai pangan pokok rumahtangga sulit tergantikan oleh jenis pangan lain. Perubahan pola pangan pokok justru banyak terjadi dari pangan nonberas menjadi pangan pokok beras. Pada tahun 1996 di Kawasan Timur Indonesia (KTI), propinsi dengan pola pangan pokok tunggal beras menjadi 8 propinsi dari hanya 1 propinsi yang memiliki pola pangan pokok tunggal beras, yaitu propinsi Kalimantan Selatan. Perubahan tersebut menunjukkan dominasi beras yang semakin tidak tergantikan. Terjadinya perubahan pangan pokok dari pangan pokok nonberas menjadi pangan pokok beras sementara tidak terjadi perubahan pangan pokok dari beras menjadi nonberas menunjukkan bahwa ketergantungan rumahtangga terhadap beras sebagai pangan pokok sangat besar dan sulit diubah. Pada pangan pokok selain beras, preferensi rumahtangga dapat berubah tergantung pada ketersediaan, selera, potensi, kemudahan memasak, dan daya beli (Ariani 2003).

(28)

6

Konsumsi Beras Nasional

Konsumsi beras nasional pada dasarnya terdiri dari konsumsi beras untuk pangan dan nonpangan. Mengacu pada konsep Neraca Bahan Makanan (NBM) maka konsumsi beras untuk pangan adalah konsumsi beras untuk rumahtangga dan industri makanan, sedangkan konsumsi beras untuk nonpangan adalah beras yang digunakan untuk pakan dan industri nonmakanan, dan kehilangan selama pengolahan/tercecer. Berdasarkan transaksi pada Tabel Input-Output

total konsumsi beras adalah penjumlahan dari konsumsi beras rumahtangga dan permintaan antara oleh industri pengolahan dan industri lainnya, termasuk hotel dan restoran.

Konsumsi Beras Rumahtangga

Data konsumsi beras rumahtangga diperoleh dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) modul konsumsi/pengeluaran yang dikumpulkan setiap tiga tahun sekali atau dari data kor yang dikumpulkan setiap tahun. Data konsumsi/pengeluaran yang dikumpulkan setiap tahun secara rinci merupakan data yang digunakan untuk memperkirakan jumlah penduduk miskin setiap tahun. Data tersebut dikumpukan secara panel dan hanya dirancang untuk level nasional.

Data konsumsi beras yang terdapat pada SUSENAS terdiri dari konsumsi beras langsung dan konsumsi produk turunan atau makanan olahan beras. Jenis makanan berbahan baku beras yang terdapat pada SUSENAS adalah jenis

makanan yang umum dikonsumsi masyarakat dan mencakup sebagian besar dari konsumsi penduduk Indonesia (BPS 2004).

(29)

7

Krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia menyebabkan lemahnya daya beli masyarakat, khususnya golongan bawah. Faktor tersebut diduga menyebabkan turunnya konsumsi beras dari tahun 1993 – 1999. Pada tahun 1999 konsumsi beras perkapita di pedesaan turun menjadi 111.8 Kg dari 125.6 Kg pada tahun 1990. Sementara di perkotaan konsumsi beras perkapita turun dari 120.7 Kg pada tahun 1990 menjadi 96 Kg pada tahun 1999. Pada tahun 2002 – 2005 yaitu periode setelah krisis ekonomi, konsumsi beras rumahtangga juga menunjukkan tren penurunan, baik di perkotaan maupun di pedesaan (Tabel 1). Hal tersebut menunjukkan adanya dampak peningkatan pendapatan masyarakat dan diversifikasi konsumsi pangan yang semakin meluas.

Tabel 1. Perkembangan konsumsi beras rumahtangga (Kg/kap/tahun)

Wilayah Tahun (%/tahun)Laju

2002 2003 2004 2005

Kota 111.4 113.1 100.2 97.0 -5.3

Desa 118.8 119.5 112.1 112.4 -2.3

Sumber: BKP (2005)

Kecenderungan menurunnya jumlah konsumsi beras rumahtangga masih diimbangi dengan meningkatnya jumlah penduduk, sehingga secara agregat kebutuhan beras nasional masih meningkat. Diperkirakan konsumsi beras perkapita akan terus mengalami penurunan di masa mendatang. Sementara kebutuhan beras untuk industri pengolahan akan meningkat seiring dengan berkembangnya industri pengolahan, pariwisata, hotel dan restoran, dan berubahnya gaya hidup serta selera makan masyarakat. Menurunnya konsumsi perkapita terjadi seiring dengan meningkatnya pendapatan (Erwidodo & Pribadi 2003).

(30)

8

Permintaan Antara Beras

Beras diperoleh dari penggilingan gabah yang biasanya menghasilkan 18 – 28 persen sekam, 72 – 82 persen beras pecah kulit atau 64 – 74 persen beras giling (sosoh), 4 – 5 persen dedak, dan 3 persen bekatul halus. Sebagian besar beras diolah langsung menjadi nasi sebagai makanan pokok. Beras pecah (menir) biasanya digunakan sebagai bahan dalam pembuatan tepung beras untuk memperoleh nilai tambah. Menir juga digunakan sebagai bahan dalam pembuatan bir dan industri makanan bayi. Penggunaan beras dalam industri tidak hanya untuk industri makanan seperti roti, kue, dan bihun, tetapi juga inudstri nonmakanan seperti industri kosmetik dan tekstil. Secara umum pemanfaatan beras, baik untuk makanan maupun nonmakanan, dapat dilakukan dengan mengolah beras secara langsung, mengolah beras menjadi tepung beras, atau mengolah beras menjadi pati terlebih dahulu (Haryadi 2006). Gambar 1 berikut menunjukkan aliran pemanfaatan beras menjadi berbagai macam produk.

Sumber: www.litbang.deptan.go.id

Gambar 1. Pohon industri beras

(31)

9

pemanfaatan beras, permintaan antara beras meliputi permintaan beras untuk pangan dan nonpangan, yaitu permintaan beras oleh industri makanan dan nonmakanan. Termasuk dalam permintaan antara beras adalah permintaan beras untuk hotel, restoran dan sejenisnya. (Erwidodo & Pribadi 2003).

Era globalisasi memberikan dampak yang nyata terhadap perkembangan industri dan produk pangan. Berbagai produk pangan dari luar negeri berkembang dengan pesat di Indonesia. Industri waralaba seperti KFC, CFC, dan sebagainya menjadi pilihan yang mulai digemari masyarakat karena memberikan variasi rasa, kenyamanan dan mudah dijumpai tidak hanya di ibukota propinsi tetapi juga di kota/kabupaten.

Perkembangan pesat juga terjadi di sektor informal seperti warung tegal atau usaha rumahtangga yang menawarkan jenis makanan yang murah dan mudah diperoleh seperti soto, ketoprak, gado-gado, dan lontong sayur. Perkembangan industri pangan yang didukung dengan meningkatnya partisipasi angkatan kerja wanita menyebabkan semakin meningkatnya permintaan terhadap makanan/minuman jadi. Konsumsi energi dari kelompok pangan tersebut juga cenderung meningkat, demikian pula dengan jumlah pengeluaran untuk pangan tersebut. Jenis makanan yang banyak digemari dan konsumsinya cenderung meningkat seperti pada Tabel 2 antara lain adalah kue basah, makanan gorengan, dan nasi campur (Martianto & Ariani 2004).

Tabel 2. Perkembangan konsumsi makanan dan minuman jadi menurut jenisnya

Jenis Satuan 1996 1999 2002

Kue basah Buah 45.3 38.6 49.0

Gorengan Potong 69.6 75.9 80.8

Gado-gado Porsi 7.1 6.1 7.0

Nasi campur Porsi 15.9 17.3 19.3

Nasi goreng Porsi 2.5 1.6 2.3

Lontong sayur Porsi 5.5 4.5 5.5

Mie (bakso/rebus/goreng) Porsi 19.0 18.0 19.2

Mie instan Porsi 1.1 0.8 1.2

Ikan (goreng/bakar) Otong 0.8 1.6 2.0

Ayam/daging (goreng/bakar) Potong 1.8 1.2 1.8

Sumber: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, 2004

(32)

10

1995. Pada tahun 1999 permintaan tersebut meningkat menjadi 18.8 persen (Tabel 3). Diperkirakan jumlah permintaan tersebut akan terus meningkat dengan perubahan gaya hidup dan pola pangan masyarakat serta prospek permintaan pasar yang cerah pada industri olahan beras, hotel, restoran dan jasa boga (Erwidodo & Pribadi 2003).

Tabel 3. Pangsa permintaan beras menurut jenis penggunaan

Jenis penggunaan 1990 1995 1999

Tepung beras 0.6 1.0 1.1

Produk makanan 0.9 1.8 2.2

Hotel dan restoran 4.8 8.5 10.0

Permintaan antara 1.4 4.3 5.7

Total permintaan antara 7.8 15.6 18.8

Konsumsi rumahtangga 92.0 78.5 73.2

Permintaan akhir 92.2 84.4 81.2

Total permintaan akhir 100 100 100

Sumber: Erwidodo dan Pribadi 2003

Kebutuhan Beras Nasional

Kebutuhan beras tidak hanya membicarakan jumlah beras yang dibutuhkan dan harus disediakan, tetapi terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan, yaitu ketersediaan, stabilitas, dan kemampuan produksi. Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan beras tidak hanya dilakukan untuk menutupi kebutuhan penduduk dan industri, tetapi dituntut juga untuk dapat memenuhi kebutuhan beras pada kondisi sulit (Hafsah & Sudaryanto 2003).

Produksi beras dalam negeri tidak selamanya dapat menutupi kebutuhan beras untuk konsumsi penduduk dan industri. Akibat yang terjadi karena kondisi tersebut adalah kelangkaan pasokan beras yang dapat mengancam ketahanan pangan nasional. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu upaya untuk menanggulangi kelangkaan beras yang dapat menimbulkan gejolak sosial, ekonomi, maupun politik. Pemerintah dalam hal ini Perum BULOG menguasai cadangan beras nasional dengan tugas menyediakan dan menyalurkan beras untuk menanggulangi keadaan darurat dan menjaga stabilitas harga.

(33)

11

Kesejahteraan Rakyat 2005). Kajian tentang stok beras yang dilakukan oleh Tim UGM tahun 2003 menyarankan agar besarnya cadangan beras yang harus dikuasai pemerintah adalah 0.75 – 1.3 juta ton (Sudarmono 2006).

Kebutuhan beras untuk penyaluran beras miskin (raskin) disesuaikan dengan jumlah rumahtangga miskin tiap tahun. Rumahtangga miskin penerima raskin pada tahun 1998 – 2005 ditentukan berdasarkan data BKKBN, sedangkan mulai tahun 2006 data rumahtangga miskin yang digunakan adalah data dari BPS. Kebutuhan beras untuk penyaluran raskin pada tahun 2000 – 2006 berkisar antara 1.4 – 2.2 juta ton (Bulog 2006).

Kebutuhan beras untuk konsumsi diturunkan dari data konsumsi beras nasional berdasarkan data SUSENAS. Karena dikumpulkan berdasarkan survei rumahtangga, data konsumsi beras berdasarkan SUSENAS diyakini belum menggambarkan konsumsi beras oleh nonrumahtangga seperti industri pengolahan, hotel dan restoran. Oleh karena itu, angka kebutuhan beras nasional berdasarkan data SUSENAS dianggap belum menggambarkan kebutuhan beras nasional yang sebenarnya jika angka tersebut diestimasi langsung dengan mengalikan jumlah konsumsi beras berdasarkan data SUSENAS dengan jumlah penduduk Indonesia (Erwidodo & Pribadi 2003).

Jumlah kebutuhan beras untuk industri belum dapat ditentukan secara pasti karena tidak terdapat data khusus atau survei tentang penggunaan beras oleh industri. Kebutuhan beras untuk industri dapat diestimasi menggunakan

rasio permintaan antara dengan konsumsi rumahtangga berdasarkan transaksi Tabel Input-Output (I/O) (Erwidodo & Pribadi 2003). Permintaan antara beras dihitung dengan mengalikan rasio permintaan antara dengan konsumsi rumahtangga dengan konsumsi beras perkapita berdasarkan data SUSENAS. Angka konsumsi beras perkapita dari SUSENAS hanya dihitung dari konsumsi beras rumahtangga dalam bentuk asli (tidak temasuk produk turunan atau makanan olahan beras) untuk menghindari terjadinya penghitungan ganda. Konsumsi beras perkapita juga dikoreksi untuk mengakomodasi kebutuhan cadangan beras rumahtangga, yaitu sebesar 5 persen untuk rumahtangga perkotaan dan 10 persen untuk rumahtangga pedesaan.

(34)

12

Tabel 4. Proyeksi produksi dan permintaan beras (ton) tahun 1999 - 2004

Tahun Ketersediaan

1999 29530405 26270862 0.227 5955662 369130 32595654 -3065249 2000 30937955 26289089 0.229 6012372 386724 32688186 -1750231 2001 30283326 26322333 0.231 6072620 378542 32773494 -2490168 2002 30586159 26375104 0.233 6137544 382327 32894975 -2308816 2003 30892021 26446817 0.235 6207126 386150 33040093 -2148072 2004 31200941 26536906 0.237 6281344 390012 33208261 -2007320

Sumber: Erwidodo dan Pribadi (2003)

Kecukupan Beras Nasional

Kemampuan produksi beras nasional dalam memenuhi permintaan/kebutuhan beras nasional dinyatakan dengan kondisi surplus atau defisit. Kondisi tersebut ditentukan berdasarkan neraca produksi dan permintaan beras nasional. Kondisi surplus beras terjadi jika produksi beras nasional mampu memenuhi permintaan beras nasional, sehingga tidak diperlukan impor. Neraca produksi dan permintaan beras nasional secara sederhana dapat digambarkan dengan persamaan:

Kemampuan produksi beras dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan beras nasional juga dinyatakan dengan istilah swasebada beras dan kemandirian pangan. Swasembada beras diartikan sebagai kemampuan memenuhi kebutuhan beras dari produksi dalam negeri (Darajati 2008). Kasryno dan Pasandaran (2003) memberikan pengertian swasembada secara lebih jelas, yaitu kemampuan mencukupi 95 – 105 persen kebutuhan beras dalam negeri. Apriyantono (2006) memberikan pengertian swasembada beras yang berbeda lagi. Swasembada beras sudah tercapai jika 90 persen cadangan beras nasional sudah terpenuhi dari produksi beras dalam negeri. Berdasarkan pengertian tersebut Indonesia telah mencapai swasembada pada tahun 2005 dan 2006.

(35)

13

beras sejak tahun 2003. Bahkan hasil Rapat Koordinasi Data Konsumsi Beras Nasional, Dewan Ketahanan Pangan (2005) menyebutkan bahwa pada tahun 2005 Indonesia telah mencapai swasembada beras karena produksi padi nasional telah mampu memenuhi seluruh kebutuhan beras dalam negeri, baik untuk kebutuhan industri maupun konsumsi rumahtangga. Impor beras dilakukan hanya untuk memperkuat stok nasional.

(36)

14

KERANGKA PEMIKIRAN

Permintaan beras nasional adalah total dari permintaan beras untuk pangan dan nonpangan yang terbagi menjadi permintaan antara (intermediate demand) dan permintaan akhir (final demand). Permintaan antara adalah permintaan terhadap suatu komoditas jika komoditas tersebut menjadi input/masukan dalam proses produksi komoditas lain. Permintaan antara beras merupakan permintaan terhadap beras yang meliputi permintaan untuk industri pengolah beras, hotel, restoran dan sejenisnya, sedangkan permintaan akhir adalah permintaan beras untuk konsumsi rumahtangga dan pemerintah.

Konsumsi beras rumahtangga pada dasarnya terdiri dari konsumsi beras langsung dan konsumsi produk turunan/makanan olahan beras. Konsumsi beras rumahtangga tersebut berupa konsumsi di dalam rumah dan di luar rumah (Pusdatin 2006). Konsumsi beras pemerintah merupakan jumlah beras yang dikeluarkan oleh BULOG untuk penyaluran beras miskin dan mengatasi kondisi darurat.

Permintaan beras nasional dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri dan impor. Mengacu pada konsep Neraca Bahan Makanan (NBM), produksi beras dalam negeri yang tersedia untuk konsumsi rumahtangga dan industri adalah produksi beras yang telah dikurangi untuk penggunaan ekspor, pakan, dan kehilangan/tercecer. Kemampuan produksi beras dalam negeri untuk mencukupi kebutuhan beras nasional dinyatakan dengan surplus atau defisit.

(37)

15

Gambar 2. Komponen permintaan dan ketersediaan beras nasional Produksi

Kebutuhan Beras Nasional

Impor

Surplus/defisit Beras

Ketersediaan Beras Nasional Konsumsi beras

rumahtangga:

- Di dalam rumah - Di luar rumah

Konsumsi beras pemerintah

Konsumsi Beras Nasional

Permintaan Antara

Permintaan beras industri

Permintaan beras restoran, hotel dan

sejenisnya Konsumsi beras

langsung

Konsumsi produk turunan/olahan

beras

Cadangan

Cadangan masyarakat Stok BULOG

Ekspor Pakan

(38)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Pengumpulan data penelitian dilakukan di Bogor dan Jakarta. Pengumpulan data dilakukan selama tiga bulan, yaitu bulan Juni – Agustus 2008.

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang meliputi data konsumsi beras rumahtangga tahun 2002 – 2007, data konsumsi beras pemerintah, yaitu data penyaluran/realisasi beras miskin tahun 2002 - 2007, dan data ketersediaan beras nasional tahun 2002 sampai tahun 2007 (Tabel 5). Data konsumsi beras rumahtangga diperoleh dari data SUSENAS, yaitu data modul konsumsi tahun 2002 dan 2005, dan data kor tahun 2007. Data penyaluran beras miskin diperoleh dari BULOG, sedangkan data ketersediaan beras nasional diperoleh dari Neraca Bahan Makanan (NBM) tahun 2002 – 2007.

Tabel 5. Jenis dan sumber data

JENIS DATA SUMBER DATA

Konsumsi beras rumahtangga SUSENAS (BPS)

Penyaluran/realisasi beras miskin BULOG Ketersediaan beras nasional NBM (Deptan)

Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data meliputi estimasi konsumsi beras rumahtangga tahun 2002 – 2007, estimasi permintaan antara beras tahun 2002 – 2007, estimasi konsumsi beras nasional tahun 2002 – 2007, estimasi kebutuhan beras nasional tahun 2002 – 2007, dan evaluasi kecukupan beras nasional tahun 2002 – 2007. Estimasi konsumsi dan kebutuhan beras nasional dikembangkan dari estimasi konsumsi dan kebutuhan beras oleh Erwidodo dan Pribadi (2003) dan Pusdatin (2005) (Lampiran 1).

Data konsumsi beras rumahtangga diolah berdasarkan wilayah, yaitu perkotaan, pedesaan, dan rata-rata perkotaan dan pedesaan. Khusus untuk data konsumsi beras rumahtangga tahun 2007 diolah berdasarkan wilayah dan golongan pengeluaran. Data konsumsi dan kebutuhan beras nasional diolah dalam bentuk tabulasi jenis konsumsi dan jenis kebutuhan dengan jumlah konsumsi dan jumlah kebutuhan. Analisis data dilakukan secara deskriptif.

(39)

17

beras. Konsumsi beras langsung dalam SUSENAS berupa konsumsi beras dan beras ketan, sedangkan konsumsi produk turunan/makanan olahan beras berupa konsumsi tepung beras, bubur bayi kemasan, bihun, nasi campur, nasi goreng, nasi putih, dan lontong/ketupat sayur. Estimasi konsumsi beras rumahtangga dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan konversi konsumsi produk turunan/makanan olahan beras (Lampiran 2).

Konsumsi beras rumahtangga dibagi menjadi konsumsi di dalam rumah dan konsumsi di luar rumah. Konsumsi beras rumahtangga di dalam rumah dihitung dari konsumsi beras yang diolah di dalam rumah berupa konsumsi beras, beras ketan, tepung terigu, dan bubur bayi kemasan. Sedangkan konsumsi beras rumahtangga di luar rumah dihitung dari konsumsi beras yang diolah di luar rumah yaitu berupa konsumsi bihun, nasi campur, nasi goreng, nasi putih, dan lontong/ketupat sayur.

Permintaan antara beras diestimasi menggunakan rasio permintaan antara dengan konsumsi rumahtangga berdasarkan informasi dari Tabel Input-Output dengan melanjutkan proyeksi Erwidodo dan Pribadi (2003). Permintaan antara beras diperoleh dari perkalian angka konsumsi beras rumahtangga dengan rasio permintaan antara dengan konsumsi rumahtangga. Angka konsumsi beras rumahtangga yang digunakan untuk menghitung permintaan antara beras adalah konsumsi beras langsung. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari terjadinya penghitungan ganda.

Konsumsi beras nasional dihitung dari total konsumsi beras langsung oleh rumahtangga, konsumsi beras pemerintah berupa penyaluran beras miskin, dan permintaan antara beras. Penyaluran beras miskin terhitung dalam estimasi konsumsi beras nasional karena diasumsikan konsumsi beras dari beras miskin tidak terhitung dalam SUSENAS. Beras untuk menanggulangi kondisi darurat tidak terhitung dalam konsumsi beras pemerintah, tetapi terhitung dalam cadangan beras pemerintah atau stok BULOG.

(40)

18

& Pribadi 2003). Cadangan beras di penggilingan, pedagang, dan industri dihitung menggunakan asumsi rasio cadangan beras di penggilingan, pedagang, dan industri dengan cadangan beras rumahtangga sebesar 25 : 75. Rasio tersebut diperoleh dari cadangan beras masyarakat yang terdiri dari 75 persen cadangan beras yang ada di rumahtangga dan 25 persen cadangan beras yang ada di penggilingan, pedagang, dan industri (Direktorat Bina Pasar dan Distribusi 2007). Kebutuhan beras untuk stok di BULOG dihitung berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Tim UGM tahun 2003, yaitu sebesar 0.75 – 1.3 juta ton (Sudarmono 2006).

Secara sederhana estimasi konsumsi beras rumahtangga, konsumsi beras nasional, dan kebutuhan beras nasional dapat digambarkan dengan persamaan di bawah ini:

- Qhh = Qbrs + Qolh - Qt = Qbrs+ Qint + Qpr - Qtn = Qbrs+ Qint+ Qst

Keterangan:

- Qhh = konsumsi beras rumahtangga

- Qbrs = konsumsi beras langsung

- Qolh = konsumsi produk turunan/makanan olahan beras

- Qint = permintaan antara beras

- Qpr = konsumsi beras pemerintah (realisasi raskin)

- Qt = total konsumsi beras

- Qtn = total kebutuhan beras

- Qst = beras untuk cadangan

Kecukupan beras nasional diukur menggunakan persen rasio produksi dan ketersediaan beras dalam negeri dengan kebutuhan beras nasional. Untuk mengetahui kemampuan produksi beras dalam negeri penghitungan ketersediaan beras tidak memasukkan impor beras. Rasio produksi beras dalam negeri dengan kebutuhan beras nasional digunakan untuk mengukur kecukupan produksi beras nasional dalam memenuhi kebutuhan beras nasional. Sedangkan rasio ketersediaan beras dalam negeri dengan kebutuhan beras nasional digunakan untuk mengukur kecukupan produksi beras nasional dalam memenuhi kebutuhan beras nasional setelah dikurangi ekspor, penggunaan untuk pakan, dan kehilangan/tercecer.

(41)

19

beras nasional adalah > 100 persen. Sebaliknya, jika rasio produksi beras dalam negeri terhadap kebutuhan beras nasional dan rasio ketersediaan beras dalam negeri terhadap kebutuhan beras nasional adalah < 100 persen, maka produksi beras dalam negeri dan ketersediaan beras dalam negeri mengalami defisit.

Persamaan rasio produksi dan ketersediaan beras dalam negeri terhadap kebutuhan beras nasional adalah sebagai berikut:

- Rprod = Prod x 100 % : Rprod> 100% = surplus, Rprod<100% = defisit Qtn

- Rsup = Sup x 100 % : Rsup> 100% = surplus, Rsup<100% = defisit Qtn

Keterangan:

-Rprod: rasio produksi beras dalam negeri terhadap kebutuhan beras

nasional

Konsumsi beras adalah jumlah konsumsi beras yang berasal dari konsumsi beras dalam bentuk asli, produk turunan, dan makanan hasil olahan beras.

Konsumsi beras langsung adalah konsumsi beras dalam bentuk asli. Data konsumsi beras langsung diperoleh dari SUSENAS yaitu konsumsi beras dan beras ketan.

Konsumsi produk turunan/makanan olahan beras adalah konsumsi beras dalam bentuk produk turunan/makanan olahan berbahan baku beras. Data konsumsi produk turunan/makanan olahan beras diperoleh dari SUSENAS berupa konsumsi tepung beras, bubur bayi kemasan, bihun, nasi campur, nasi goreng, nasi putih, dan lontong/ketupat sayur.

Konsumsi beras rumahtanggaadalah total dari konsumsi beras langsung dan konsumsi produk turunan/makanan olahan beras. Data konsumsi beras rumahtangga diperoleh dari SUSENAS dan diolah berdasarkan wilayah dan berdasarkan wilayah dan golongan pengeluaran khusus untuk tahun 2007.

(42)

20

Konsumsi beras di luar rumahadalah jumlah beras yang diolah dan diperoleh di luar rumah. Data konsumsi beras di luar rumah diperoleh melalui konversi konsumsi beras berdasarkan SUSENAS pada kelompok konsumsi lainnya dan kelompok makanan jadi, yaitu bihun, nasi campur, nasi goreng, nasi putih, dan lontong/ketupat sayur.

Konsumsi beras pemerintah adalah beras yang dikeluarkan pemerintah yaitu BULOG untuk penyaluran/realisasi beras miskin. Data realisasi beras miskin diperoleh dari BULOG.

Permintaan antara beras adalah permintaan beras oleh industri makanan, industri non-makanan, dan hotel, restoran dan sejenisnya.

Industri makanan adalah industri yang mengolah atau menggunakan beras untuk menghasilkan produk makanan jadi atau makanan setengah jadi. Industri non-makanan adalah industri yang mengolah atau menggunakan beras

untuk menghasilkan produk non-makanan.

Konsumsi beras nasional adalah total konsumsi beras langsung, konsumsi beras pemerintah, dan permintaan antara beras.

Kebutuhan beras nasionaladalah total beras yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras nasional, cadangan masyarakat, dan kebutuhan untuk stok beras di BULOG.

Produksi beras dalam negeriadalah jumlah produksi beras yaitu produksi kotor yang diperoleh dari kolom produksi Neraca Bahan Makanan (NBM).

(43)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi Beras Rumahtangga Perkembangan Konsumsi Beras Rumahtangga

Konsumsi beras rumahtangga tahun 2002 – 2007 mengalami penurunan, baik di perkotaan maupun di pedesaan (Tabel 6). Konsumsi beras rumahtangga perkotaan turun menjadi 93.3 Kg/kap/tahun pada tahun 2007 dari 99.1 Kg/kap/tahun pada tahun 2002, sedangkan konsumsi beras rumahtanga pedesaan turun menjadi 104.5 Kg/kap/tahun pada tahun 2007 dari 113.0 Kg/kap/tahun pada tahun 2002.

Tabel 6. Perkembangan konsumsi beras rumahtangga berdasarkan wilayah (g/kap/hari dan Kg/kap/tahun) tahun 2002 – 2007

WILAYAH g/Kapita/hari Kg/Kapita/Tahun Laju (%)

2002 2005 2007 2002 2005 2007

Perkotaan 272.0 263.1 256.2 99.1 95.8 93.3 -1.2 Pedesaan 310.5 305.7 287.1 113.0 111.3 104.5 -1.8 Rata-rata 293.3 286.1 272.3 106.7 104.1 99.1 -1.6

Konsumsi beras rumahtangga terus mengalami penurunan sejak terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1998. Krisis ekonomi menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteran penduduk, khususnya masyarakat golongan bawah. Penurunan konsumsi beras rumahtangga tersebut terjadi karena daya beli masyarakat yang melemah.

Konsumsi beras rumahtangga tahun 2002 – 2007 mengalami penurunan dengan laju penurunan 1.6 persen pertahun. Pada periode tersebut situasi ekonomi dan politik sudah membaik, kesejahteraan penduduk juga telah meningkat. Peningkatan kesejahteraan tersebut ditandai dengan menurunnya persentase pengeluaran untuk pangan pada tahun 2002 – 2005 yaitu dari 58.5 persen menjadi 51.4 persen. Pada tahun 2005 – 2007 kesejahteraan masyarakat juga terus meningkat, namun berjalan lebih lambat, yaitu dari 51.4 persen menjadi 49.2 persen (BPS 2007a).

Keadaan kesejahteraan bukan lagi menjadi faktor yang menyebabkan menurunnya konsumsi beras karena daya beli masyarakat yang melemah seperti pada saat krisis ekonomi. Konsumsi beras perkapita menurun seiring dengan meningkatnya pendapatan, peningkatan pengetahuan tentang gizi seimbang, program diversifikasi pangan yang semakin meluas, dan tersedianya berbagai produk pangan substitusi beras (Erwidodo & Pribadi 2003).

(44)

22

kepraktisan yang ditawarkan pada berbagai produk turunan tepung terigu sangat cocok dengan gaya hidup masyarakat kota. Hal tersebut nampaknya juga terjadi pada rumahtangga pedesaan. Konsumsi mie instan dan berbagai macam produk olahan tepung terigu saat ini semakin meningkat. Berbagai macam produk substitusi beras juga semakin terjangkau di pedesaan (Khomsanet al.2003).

Konsumsi beras rumahtangga perkotaan berdasarkan data pada Tabel 6 lebih rendah dibandingkan konsumsi beras rumahtangga pedesaan, walaupun laju penurunan konsumsi beras pada rumahtanga pedesaan lebih besar. Konsumsi beras rumahtangga perkotaan semakin menurun karena tersedianya berbagai produk alternatif substitusi beras baik dalam bentuk mentah maupun olahan. Rata-rata pendapatan yang lebih tinggi menyebabkan konsumsi masyarakat perkotaan lebih beraneka ragam, sehingga sebagian konsumsi beras disubstitusi oleh pangan yang lain. Pada rumahtangga pendapatan tinggi konsumsi pangannya semakin meningkat pada konsumsi pangan hewani, seperti daging, ikan, telur, dan susu.

Penurunan konsumsi beras rumahtangga terjadi pada konsumsi beras langsung (beras dan beras ketan) (Tabel 7). Konsumsi beras langsung merupakan konsumsi terbesar dalam konsumsi beras rumahtangga. Menurunnya jumlah konsumsi beras langsung dan meningkatnya konsumsi produk turunan/makanan olahan beras menunjukkan bahwa jumlah beras yang dimasak langsung di dalam rumah semakin berkurang dan konsumsi masyarakat semakin

bergeser pada konsumsi makanan jadi atau makanan siap saji.

Tabel 7. Konsumsi beras langsung dan konsumsi produk turunan/makanan olahan beras (g/kap/hari dan Kg/kap/tahun)tahun 2002 - 2007

JENIS KONSUMSI g/Kapita/hari Kg/Kapita/Tahun (%/tahun)Laju 2002 2005 2007 2002 2005 2007

Konsumsi beras

langsung 275.9 264.4 248.6 100.4 96.3 90.5 -2.2 Konsumsi produk

turunan/makanan olahan beras

17.4 21.7 23.8 6.3 7.9 8.7 6.5

(45)

23

Penelitian Sari (2007) yang dilakukan di Cipinang, Jakarta Timur, menunjukkan hanya 8 persen rumahtangga yang mengurangi konsumsi beras akibat kenaikan harga. Kenaikan harga beras disiasati dengan mengkonsumsi beras yang kualitasnya lebih rendah dengan harga yang lebih murah, sehingga jumlah beras yang dikonsumsi tidak berubah. Pada rumahtangga kelas bawah, kenaikan harga beras menyebabkan perubahan pada pola pembelian. Rumahtangga kelas bawah membeli beras setiap hari dengan jumlah pembelian yang lebih sedikit. Hal tersebut berkaitan dengan pendapatan yang tidak mencukupi dan pola pendapatan harian.

Produk turunan/makanan olahan beras yang terdapat dalam SUSENAS adalah tepung beras, bubur bayi kemasan, bihun, nasi campur, nasi goreng, nasi putih, dan lontong/ketupat sayur. Konsumsi beras dalam bentuk produk turunan/makanan olahan beras tersebut terus mengalami peningkatan, baik di perkotaan maupun pedesaan (Tabel 8). Laju peningkatan konsumsi produk turunan/makanan olahan beras tertinggi pada rumahtangga perkotaan adalah pada konsumsi bubur bayi kemasan diikuti konsumsi nasi putih dan nasi campur. Sedangkan pada rumahtangga pedesaan laju peningkatan konsumsi tertinggi adalah pada bubur bayi kemasan diikuti nasi campur dan tepung beras.

Tabel 8. Konsumsi produk turunan/makanan olahan beras berdasarkan wilayah (g/kap/hari dan Kg/kap/tahun) tahun 2002 – 2007

JENIS MAKANAN Perkotaan Laju

(%/tahun)

Pedesaan Laju

(%/tahun)

2002 2005 2007 2002 2005 2007

Tepung beras 0.4 0.4 0.4 3.6 0.3 0.5 0.5 8.3

(46)

24

Tepung beras adalah produk turunan beras yang memiliki nilai tambah yang cukup tinggi. Jenis tepung beras yang biasa ditemui di pasaran, yaitu tepung beras dan tepung beras ketan. Tepung beras menjadi bahan dalam pembuatan berbagai jenis makanan pada negara penghasil dan pengkonsumsi beras sebagai pangan pokok. Di Indonesia, tepung beras digunakan dalam pembuatan beberapa jenis makanan seperti makanan cemilan dan pelapis pada gorengan. Permintaan tetap pada tepung beras adalah untuk makanan bayi (Haryadi 2006).

Konsumsi tepung beras yang meningkat tiap tahun menunjukkan permintaan tepung beras yang semakin meningkat. Jumlah peningkatan permintaan tepung beras tentu semakin besar karena disamping jumlah konsumsi perkapita yang meningkat juga karena jumlah penduduk yang semakin banyak. Seiring dengan meningkatnya permintaan tersebut, permintaan beras untuk industri khususnya tepung beras juga terus mengalami peningkatan.

Nasi campur adalah nasi yang disajikan lengkap dengan sayur dan lauk-pauknya. Tabel 6 menunjukkan konsumsi nasi campur adalah yang paling tinggi dibanding konsumsi makanan olahan beras lainnya. Nasi campur merupakan makanan yang paling banyak dipilih untuk dikonsumsi menurut penelitian Situmorang (2005) pada pekerja yang melaju antara Bogor dan Jakarta. Kepraktisan dan nilai gizi menjadi alasan pemilihan nasi campur tersebut. Nasi goreng menjadi pilihan berikutnya setelah roti.

Bihun biasa disebut juga mihun atau mie putih. Bihun dibuat dengan bahan utama beras pera yang dijadikan tepung terlebih dahulu. Beras pecah dan menir dapat digunakan untuk mengurangi biaya produksi. Produk bihun yang banyak beredar di Asia adalah bihun instan. Bihun instan dapat dikonsumsi sebagai makanan pokok atau pelengkap makanan lain (Haryadi 2006). Sebagai makanan pendamping atau pelengkap makanan lain, konsumsi bihun semakin meningkat dengan meningkatnya konsumsi olahan beras lain seperti ketoprak dan opor.

(47)

25

kemasan menjadi salah satu pilihan utama para ibu untuk diberikan pada bayinya karena beberapa alasan. Penelitian Amanda (2005) menyebutkan alasan ibu rumahtangga memilih bubur bayi sebagai pendamping ASI secara berturut-turut adalah: 1) Faktor ibu bekerja. Keterbatasan waktu yang dimiliki oleh ibu rumahtangga yang bekerja menyebabkan ibu rumahtangga lebih memilih bubur bayi kemasan karena lebih praktis; 2) Faktor promosi. Pada saat sebuah perusahaan melakukan promosi pada produk barunya, banyak sampel gratis yang bisa diperoleh oleh para ibu; 3) Faktor orang lain. Pada waktu akan memilih makanan yang akan diberikan pada bayi, ibu rumahtangga lebih mendengarkan orang lain sebagai masukan. Dalam hal ini ibu rumahtangga lebih mendengarkan dan mengikuti anjuran dari bidan atau dokter; 4) Kandungan gizi. Semakin meningkatnya pengetahuan dan kesadaran iburumahtangga terhadap pentingnya gizi menyebabkan para ibu lebih memilih produk yang dapat memenuhi kebutuhan gizi untuk pertumbuhan dan perkembangan anak; 5) Gaya hidup. Bubur bayi kemasan sangat sesuai dengan kebutuhan ibu rumahtangga yang semakin mementingkan kesehatan dan kepraktisan; 6) Tekstur. Tekstur bubur bayi yang lembut sangat cocok dan disukai oleh bayi.

Produk turunan atau makanan olahan beras merupakan hasil produksi dari industri formal maupun nonformal. Meningkatnya konsumsi produk turunan dan makanan olahan beras menjadi indikator terus berkembangnya industri olahan beras. Meningkatnya permintaan akibat meningkatnya konsumsi

memberikan prospek yang cerah untuk terus mengembangkan usaha dibidang pengolahan tersebut.

(48)

26

Konsumsi Beras di Luar Rumah

Konsumsi beras rumahtangga terus mengalami penurunan, namun jumlah konsumsi beras pada konsumsi di luar rumah semakin meningkat dengan laju peningkatan sebesar 6.3 persen pertahun. Konsumsi beras rumahtangga di luar rumah meningkat menjadi 8.1 Kg/kap/tahun pada tahun 2007 dari 6.0 Kg/kap/tahun pada tahun 2002.

Tabel 9. Konsumsi beras rumahtangga di luar rumah (g/kap/hari dan Kg/kap/tahun) tahun 2002 - 2007

JENIS KONSUMSI g/Kapita/hari Kg/Kapita/Tahun Laju (%) 2002 2005 2007 2002 2005 2007

Di dalam rumah 276.8 265.7 250.1 100.7 96.7 91.0 -2.1 Di luar rumah 16.4 20.4 22.3 6.0 7.4 8.1 6.3 TOTAL 293.3 286.1 272.3 106.7 104.1 99.1 -1.6

Konsumsi beras di luar rumah yang terus meningkat menunjukkan perubahan permintaan beras yang semakin bergeser pada permintaan makanan jadi atau makanan siap saji. Perubahan gaya hidup, berkembangnya berbagai industri, baik formal maupun nonformal, serta meningkatnya partisipasi angkatan kerja wanita menjadi penyebab meningkatnya permintaan terhadap makanan jadi atau makanan siap saji (Martianto & Ariani 2004). Perubahan pola konsumsi dan gaya hidup tersebut nampaknya lebih berpengaruh terhadap menurunnya konsumsi beras rumahtangga secara umum.

Peningkatan konsumsi beras di luar rumah terjadi pada rumahtangga perkotaan dan pedesaan (Tabel 10). Konsumsi beras di luar rumah meningkat dengan laju peningkatan sebesar 3.5 persen pertahun pada rumahtangga perkotaan, sedangkan pada rumahtangga pedesaan meningkat dengan laju 10.2 persen pertahun. Meskipun peningkatan konsumsi beras di luar rumah pada rumahtangga pedesaan lebih tinggi daripada rumahtangga perkotaan, jumlah konsumsi beras di luar rumah pada rumahtangga perkotaan masih lebih tinggi daripada konsumsi beras di luar rumah pada rumahtangga pedesaan.

Tabel 10. Konsumsi beras rumahtangga di luar rumah berdasarkan wilayah (g/kap/hari dan Kg/kap/tahun) tahun 2002 – 2007

WILAYAH g/Kapita/hari Kg/Kapita/Tahun Laju

(%pertahun) 2002 2005 2007 2002 2005 2007

Perkotaan 25.4 28.6 30.2 9.3 10.4 11.0 3.5

Pedesaan 9.3 13.4 14.8 3.4 4.9 5.4 10.2

Rata-rata 16.4 20.4 22.3 6.0 7.4 8.1 6.3

(49)

27

Alokasi waktu yang lebih banyak untuk aktivitas di luar rumah menyebabkan masyarakat perkotaan lebih banyak mengkonsumsi makanan jadi atau siap saji. Konsumsi Beras Rumahtangga Berdasarkan Golongan Pengeluaran

Konsumsi beras rumahtangga secara umum semakin meningkat dengan meningkatnya pengeluaran. Namun pada pengeluaran Rp. 500 000 – Rp. 749 999 konsumsi beras rumahtangga mulai menurun dan cenderung tetap pada pengeluaran > Rp. 750 000 (Gambar 3). Hal tersebut menunjukkan bahwa pada tingkat pengeluaran/pendapatan tertentu rumahtangga tidak lagi menambah jumlah konsumsi berasnya. Jumlah konsumsi beras cenderung tetap namun dengan kualitas yang lebih baik.

Pada rumahtangga pedesaan konsumsi beras rumahtangga juga semakin meningkat dengan meningkatnya pengeluran. Konsumsi beras mulai turun dn cenderung tetap pada pengeluaran Rp. 500 000 – Rp. 749 999. Pada rumahtangga perkotaan konsumsi beras rumahtangga meningkat dengan meningkatnya pendapatan namun cenderung tetap pada pengeluaran Rp. 200 000 ke atas.

Konsumsi beras rumahtangga tahun 2007 tertinggi adalah pada golongan pengeluaran Rp. 300 000 – Rp. 499 999, yaitu sebesar 104.54 Kg/kap/tahun. Pada golongan pengeluaran tersebut konsumsi beras pada rumahtangga pedesaan sebesar 119.6 Kg/kap/tahun, sedangkan pada rumahtangga perkotaan sebesar 94.4 Kg/kap/tahun. Konsumsi beras rumahtangga terendah terdapat

pada golongan pengeluaran < Rp. 100 000 yaitu sebesar 67.2 Kg/kap/tahun.

0.0

KOTA 76.9 85.3 90.1 93.3 94.4 95.2 94.6 95.9 DESA 66.0 90.0 98.2 112.8 119.6 116.6 112.8 110.0 KOTA +DESA 67.2 88.9 95.7 104.4 104.5 100.2 97.4 97.2

< 100 000 100 000

Gambar

Gambar 1. Pohon industri beras
Tabel 2. Perkembangan konsumsi makanan dan minuman jadi menurut jenisnya
Tabel 3.  Pangsa permintaan beras menurut jenis penggunaan
Tabel 4.  Proyeksi produksi dan permintaan beras (ton) tahun 1999 - 2004
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bagi saya sekiranya pelajar mempunyai kecerdasan emosi yang stabil dan mantap maka segala kerja-kerja yang dilakukan dapat dilaksanakan dengan lebih berkesan lebih efektif

Penetasan dengan mesin tetas juga dapat meningkatkan skala produksi dan daya tetas telur karena aspek lingkungan yang dibutuhkan dalam proses penetasan seperti

Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan galur sorgum mutan BMR secara umum hampir sama dengan galur sorgum mutan non BMR pada musim kemarau, terlihat pada parameter tinggi

 Angka Kelahiran Umum ( General Fertility Rate/ GFR ), adalah angka yang menunjukkan jumlah bayi yang lahir dari setiap 1000 wanita pada usia reproduksi atau melahirkan

interface adalah untuk mengkomunikasikan fitur- fitur sistem yang tersedia agar petugas mengerti dan dapat menggunakan sistem tersebut serta agar terbentuk rancangan

Rerata potensi tumbuh maksimum dan panjang radikula benih kapas pada perlakuan lama perendaman dalam air kelapa muda

Usaha pembesaran yang akan dilakukan adalah pembesaran ikan lele, dengan menghasilkan ikan lele yang berkualitas baik yang tentunya akan mencoba memenuhi

[r]