• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi sebaran titik panas (Hotspot) sebagai indikator kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Jambi tahun 2000 - 2004

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi sebaran titik panas (Hotspot) sebagai indikator kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Jambi tahun 2000 - 2004"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI SEBARAN TITIK PANAS (

HOTSPOT

)

SEBAGAI INDIKATOR KEBAKARAN

HUTAN DAN LAHAN DI PROPINSI JAMBI

TAHUN 2000-2004

Oleh :

Daniel Yonatan

E14201077

PROGRAM STUDI BUDI DAYA HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

Daniel Yonatan, E14201077. Studi Sebaran Titik Panas (Hotspot) Sebagai

Indikator Kebakaran Hutan dan Lahan di Propinsi Jambi Tahun 2000-2004.

Di bawah Bimbingan Ir. Endang A. Husaeni.

Deteksi kebakaran hutan merupakan salah satu kegiatan yang penting

dalam pengendalian kebakaran hutan. Salah satu cara deteksi kebakaran adalah

melakukan deteksi titik panas (hotspot) dengan menggunakan satelit NOAA

(National Oceanic and Atmospheric Administration), yang dilengkapi dengan

sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer). Suatu areal yang

bersuhu 42

o

C, dapat mengindikasikan adanya titik panas (hotspot).

Tujuan dari penelititan ini adalah untuk mengkaji sebaran titik panas

(hotspot) sebagai indikator terjadinya kebakaran hutan dan lahan di wilayah

Propinsi Jambi tahun 2000-2004. Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2006

sampai dengan bulan Mei 2006. Bahan-bahan penelitian terdiri dari data titik

panas (hotspot) harian di Propinsi Jambi tahun 2000-2004 diperoleh dari FFPMP

2 (kerjasama antara JICA (Japan International Co-operation Agency dan

Departemen Kehutanan Republik Indonesia), data iklim Propinsi Jambi tahun

2000-2004 diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.

Analisis data yaitu pola sebaran titik panas tahunan Propinsi Jambi tahun

2000-2004, sebaran titik panas bulanan di Propinsi Jambi tahun 2000-2004,

sebaran titik panas tahunan menurut penutupan lahan di Propinsi Jambi tahun

2000-2004, sebaran titik panas tahunan pada setiap kabupaten di Propinsi Jambi

tahun 2000-2004, dan indeks kekeringan Propinsi Jambi Tahun 2000-2004.

Jumlah titik panas meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini memberi

indikasi bahwa pengendalian kebakaran di Propinsi Jambi belum efektif atau

belum berhasil menurunkan jumlah kejadian kebakaran. Kebijakan pemerintah

seperti Kebijakan Tanpa Pembakaran (Zero Burning Policy) di Propinsi Jambi

belum diterapkan secara penuh yang mengakibatkan jumlah titik panas dari tahun

ke tahun terus menungkat.

(3)

Bulan-bulan tersebut memiliki rata-rata jumlah curah hujan Bulan-bulanan yang tinggi. Bulan

Juni, Juli, Agustus, September, dan Oktober memiliki jumlah curah hujan bulanan

yang rendah dan jumlah titik panas yang tinggi, serta jumlah hari hujan terendah

pada bulan Juli sebesar 12,2 hari per bulan. Rata-rata jumlah titik panas tertinggi

bulanan sebesar 533,4 titik terjadi pada bulan Agustus dengan rata-rata jumlah

curah hujan sebesar 133,68 mm. Rata-rata jumlah titik panas terendah pada bulan

Desember sebesar 1 titik dengan rata-rata curah hujan sebesar 185,54 mm. Curah

hujan tahunan di Propinsi Jambi periode tahun 2000-2004 sebesar 1950,9

mm/tahun dengan hari hujan sebesar 170,2 hari.

Pada areal HPH, HSA-W dan HL, terjadinya titik panas kemungkinan oleh

adanya pembukaan areal hutan untuk areal perladangan atau mungkin juga

kebakaran biasa (bukan pembakaran). Untuk membersihkan lahan hutan menjadi

lahan yang siap dijadikan perkebunan atau HTI, pengusaha menggunakan sistem

tebas bakar (Slash and Burn), suatu cara yang murah namun merusak lingkungan.

(4)

STUDI SEBARAN TITIK PANAS (

HOTSPOT

)

SEBAGAI INDIKATOR KEBAKARAN

HUTAN DAN LAHAN DI PROPINSI JAMBI

TAHUN 2000-2004

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan

Pada Fakultas Kehutanan

Oleh :

Daniel Yonatan

E14201077

PROGRAM STUDI BUDI DAYA HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surabaya tanggal 30 April 1983. Penulis merupakan

anak kedua dari 2 bersaudara dari pasangan (Alm) Bapak S. F. Aritonang dan

(Alm) Ibu Martha U. Br. Hutagaol.

Penulis mengikuti pendidikan di TK Bhayangkara Surabaya pada tahun

1988, dilanjutkan di Sekolah Dasar Katolik Santo Mikael Surabaya tahun 1989

dan lulus tahun 1995. Pendidikan dilanjutkan pada Sekolah Lanjutan Tingkat

Pertama Negeri 6 Surabaya dan lulus tahun 1998, selanjutnya di Sekolah

Menengah Umum Negeri 21 Surabaya yang diselesaikan tahun 2001.

Pada tahun 2001 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur

Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan terdaftar sebagai mahasiswa

Program Studi Budi Daya Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas

Kehutanan. Penulis mengambil minat studi di Laboratorium Kebakaran Hutan dan

Lahan.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kasih karunia dan anugerah yang

dilimpahkan Tuhan Yang Maha Esa kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Penilis menyadari skripsi ini akan sulit terwujud tanpa bantuan dari berbagai

pihak, untuk itu penulis berterima kasih kepada :

1.

(Alm) Bapak, (alm) Mama dan Mamaku (E. Br. Marbun) serta Kak Yuli

yang telah mendoakan dan memberikan dorongan moril bagi penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

2.

Bapak Ir. Endang A. Husaeni selaku pembimbing skripsi.

3.

Bapak Effendi Tri Bahtiar, S. Hut dari Departemen Hasil Hutan dan Bapak

Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan

dan Ekowisata sebagai dosen penguji pada ujian komprehensif.

4.

Ibu Mirna dari Departemen Kehutanan Republik Indonesia atas pemberian

data titik panas yang diperoleh penulis.

5.

Bapak Dadang dan Bapak Dedi dari Badan Meteorologi dan Geofisika

Jakarta atas pemberian data iklim yang diperoleh penulis.

6.

Saudara-saudaraku di Asrama Sylvalestari yang telah banyak memberi

nasehat selama ini.

7.

Nursia Sinaga atas dukungan doanya selama ini.

8.

Semua teman-teman BDH’38 atas kekompakannya.

9.

Teman-teman PMK-E dan KEMAKI-E atas dukungan dan doanya.

10.

Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas

bantuan doa, tenaga dan moril.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Walaupun

demikian, mudah-mudahan tulisan ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang

membutuhkan

Bogor, 7 Juni 2006

(7)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul :

STUDI SEBARAN TITIK PANAS (

HOTSPOT

)

SEBAGAI INDIKATOR KEBAKARAN HUTAN

DAN LAHAN DI PROPINSI JAMBI TAHUN

2000-2004

Nama

:

Daniel Yonatan

NRP :

E14201077

Menyetujui :

Dosen Pembimbing

(Ir. Endang A. Husaeni)

NIP. 130 338 569

Mengetahui :

Dekan Fakultas Kehutanan

( Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS )

NIP. 131 430 799

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...

1

B. Tujuan Penelitian ...

2

C. Manfaat Penelitian...

2

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebakaran Hutan ...

3

1. Definisi ...

3

2. Proses Pembakaran ...

3

3. Tipe Kebakaran ...

5

B. Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan ...

6

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penjalaran Api Kebakaran

Hutan ...

7

1. Topografi ...

7

2. Angin ...

7

3. Sifat Bahan Bakar ...

8

D. Deteksi Dini Kebakaran Hutan dan Lahan ...

8

E. Peran satelit NOAA-AVHRR dalam Mendeteksi Kebakaran Hutan .

9

F. Titik Panas (hotspot) ...

9

G. Indeks Kekeringan Ketch Byram (Ketch Byram Drougth Index/

KBDI) ...

10

III. METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian ...

12

B. Bahan dan Alat ...

12

(9)

IV. KONDISI UMUM PROPINSI JAMBI

A. Letak Geografis ...

15

B. Topografi ...

15

C. Iklim ...

16

D. Flora dan Fauna ...

16

E. Penutupan Lahan ...

17

F. Sebab-sebab Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan ...

18

G. Upaya-upaya Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan ...

18

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sebaran Titik Panas Tahunan ...

19

B. Sebaran Titik Panas Bulanan Tahun 2000-2004 ...

20

C. Sebaran Titik Panas Bulanan Menurut Areal Penutupan Lahan

Tahun 2000-2004 ...

21

D. Sebaran Titik Panas Tahunan Pada Setiap Kabupaten Tahun

2000-2004 ...

23

E. Indeks Kekeringan Propinsi Jambi Tahun 2000-2004 ...

23

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ...

30

B. Saran ...

30

DAFTAR PUSTAKA ...

31

(10)

DAFTAR TABEL

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1 . Segitiga Api ...

3

2 . Rata-rata Jumlah Sebaran Titik Panas Tahunan di Propinsi Jambi

Tahun 2000-2004 ...

19

3 . Rata-rata Jumlah Sebaran Titik Panas Bulanan dan Rata-rata Jumlah

Curah Hujan di Propinsi Jambi Tahun 2000-2004 ...

20

4 . Rata-rata Jumlah Sebaran Titik Panas Menurut Areal Penutupan

Lahan di Propinsi Jambi Tahun 2000-2004 ...

22

5 . Rata-rata Jumlah baran Titik Panas pada Setiap Kabupaten di

Propinsi Jambi Tahun 2000-2004 ...

23

6 . Grafik KBDI Tahun 2000 ...

25

7 . Grafik KBDI Tahun 2001 ...

26

8 . Grafik KBDI Tahun 2002 ...

27

9 . Grafik KBDI Tahun 2003 ...

28

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman

1. Hasil Perhitungan KBDI di Propinsi Jambi Tahun 2000-2004 ...

33

2. Sebaran Titik Panas Tahunan dan Bulanan di Propinsi Jambi Tahun

2000-2004 ...

59

3. Sebaran Titik Panas Menurut Areal Penutupan Lahan di Propinsi

Jambi Tahun 2000-2004 ...

59

4. Sebaran Titik Panas Pada Setiap Kabupaten di Propinsi Jambi Tahun

2000-2004 ...

59

5. Jumlah Titik Panas dan Jumlah Curah Hujan di ropinsi Jambi Tahun

2000-2004 ...

60

6. Waktu (jam) Terjadinya Titik Panas di Propinsi Jambi Tahun

2000-2004

(13)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bencana kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1982/1983, 1994 dan

tahun 1997/1998 telah menyebabkan kerugian besar, baik secara ekonomi maupun

ekologi. Namun, kebakaran hutan sulit untuk dihindari, terbukti bencana tersebut

terulang kembali pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Untuk mengatasi

terjadinya kebakaran yang tidak diinginkan, maka dibutuhkan suatu tindakan

manajemen kebakaran yang terpadu dan terarah, meliputi kegiatan sebelum, saat

dan pasca terjadinya kebakaran hutan. Kegiatan sebelum kebakaran hutan

bertujuan untuk mencegah kebakaran hutan, pada saat kebakaran hutan untuk

mencegah api menjalar lebih luas sedangkan pada saat pasca kebakaran hutan

bertujuan untuk merehabilitasi lahan bekas terbakar.

Deteksi kebakaran hutan merupakan salah satu kegiatan yang penting

dalam rangka pengendalian kebakaran hutan. Salah satu adalah deteksi

keberadaan titik panas (hotspot) lapangan. Cara deteksi Titik panas (hotspot)

dapat dideteksi dengan satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric

Administration), yang dilengkapi dengan sensor AVHRR (Advanced Very High

Resolution Radiometer). Sensor ini bekerja berdasarkan pancaran energi termal

dari obyek yang diamati. Suatu areal yang bersuhu 42

o

C, dapat mengindikasikan

adanya titik panas (hotspot) (Sumaryati dan Harjono, 1997). Adanya titik panas

(hotspot) belum tentu ada kebakaran, namun jika ada kebakaran, pasti ada titik

panas. Suhu awal kebakaran berkisar antara 300 – 350

o

C, suhu ini sekaligus

merupakan suhu penyulutan dalam kebakaran hutan (Sumaryati dan

Harjono,1997).

(14)

Wilayah Sumatera dan Kalimantan merupakan wilayah yang sering terjadi

kebakaran hutan.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelititan ini adalah untuk mengkaji sebaran titik panas

(hotspot) sebagai indikator kebakaran hutan dan lahan di wilayah Propinsi Jambi

tahun 2000-2004.

C. Manfaat Penelitian

(15)

Sumber Panas

Api

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebakaran Hutan

1. Definisi

Menurut Brown dan Davis (1973) kebakaran hutan adalah suatu proses

reaksi cepat dari oksigen dengan unsur-unsur lain dan ditandai dengan adanya

panas, cahaya, serta biasanya menyala. Proses pembakaran ini menyebar secara

bebas dan mengkonsumsi bahan bakar alam hutan, seperti: serasah, humus,

ranting-ranting kayu mati, gulma, semak, dedaunan serta pohon segar.

2. Proses Pembakaran

Proses pembakaran merupakan reaksi kebalikan dari proses fotosintesis

(Brown dan Davis, 1973) :

Proses fotosintesis :

CO

2

+ H

2

O + energi matahari (C

6

H

10

O

5

)

n

+ O

2

Proses pembakaran :

(C

6

H

10

O

5

)

n

+ O

2

+ Kindling Temperature CO

2

+ H

2

O + Energi

panas

Proses kebakaran hanya dapat terjadi apabila terdapat tiga unsur yang

saling mendukung yaitu bahan bakar, oksigen, dan panas yang disebut segitiga

api (Clar dan Chatten, 1954) :

Gambar 1. Segitiga Api (Clar dan Chatten, 1954)

Beberapa tahapan proses pembakaran dalam kebakaran hutan menurut

DeBano et al. (1998) :

a.

Pre-ignition

Pada tahap ini bahan bakar mulai terpanaskan, terdehidrasi dan mulai

terjadi proses pirolisis, yaitu terjadi pelepasan uap air, CO

2

dan gas-gas yang

mudah terbakar termasuk methane, methanol dan hydrogen. Dalam proses

pirolisis ini reaksi berubah dari endothermic (memerlukan panas) menjadi

(16)

exothermic (melepas panas),

dimana bahan bakar menyerap panas sampai titik

bakar.

b. Flaming Combustion

Reaksi exothermic pada fase ini dapat menaikkan temperatur dari 300 ºC –

500 ºC menjadi 1000 ºC - 1400 ºC. Pirolisis melaju dan mempercepat oksidasi

dari gas-gas yang dapat terbakar dan uap air mengakibatkan pirolisis meningkat di

sekitar bahan bakar termasuk O

2

dan pembakaran terjadi selama tahap ini. Api

mulai menyala dan dapat merambat dengan cepat akibat hembusan angin, dan

gas-gas mudah terbakar pada tahap flaming menandai penyalaan bahan bakar.

Peningkatan temperatur ini disertai penguapan air dan hancurnya molekul pada

jaringan pohon dan melepaskan gas-gas yang mudah menguap. Oksidasi yang

tinggi dari bahan organik yang dapat terbakar dan gas-gas lain dapat

menghasilkan massa yang paling besar dari produk pembakaran seperti air, CO

2

,

SO

2

dan NO

(x).

c. Smoldering

Smoldering adalah fase combustion permulaan dalam tipe bahan bakar

gambut. Dua zona yang menjadi karakteristik fase smoldering dari pembakaran

adalah zona pirolisis dengan berkembangnya hasil-hasil pembakaran dan zona

arang dengan pelepasan hasil-hasil pembakaran tidak tampak. Laju penjalaran api

mulai menurun karena bahan bakar tidak dapat mensuplai gas-gas yang dapat

terbakar dalam konsentrasi yang cukup dan pada laju yang dibutuhkan untuk

pembakaran yang dahsyat. Kemudian panas yang dilepaskan menurun dan

suhunya pun menurun menyebabkan gas-gas lebih banyak berkondensasi ke

dalam asap. Smoldering biasanya terjadi pada “fuel beds” dengan bahan bakar

yang tesusun dengan baik dan oksigen terbatas, seperti duff, kayu yang membusuk

dan tanah organik (gambut).

d. Glowing

(17)

glowing, sebagian besar dari gas-gas yang mudah menguap akan hilang dan

oksigen mengadakan kontak langsung dengan permukaan bahan bakar yang

mengarang. Hasil dari fase glowing terutama adalah CO, CO

2

dan abu sisa

pembakaran.

e.

Extinction

Kebakaran terhenti bila bahan bakar yang tersedia dikonsumsi, atau bila

panas yang dihasilkan melalui oksidasi baik melalui fase smoldering maupun

glowing tidak cukup untuk menguapkan air yang berasal dari bahan bakar yang

basah (kadar air tinggi).

3. Tipe Kebakaran

Menurut Brown dan Davis (1973) ada tiga bentuk kebakaran hutan yang

penting. Pembagian berdasarkan tempat terjadinya dan bahan bakar yang terbakar,

yaitu:

a. Kebakaran Bawah (ground fire)

Api membakar bahan organik dalam lapisan tanah dan menjalar lambat,

tidak terpengaruh angin, tanpa nyala (flamming), dan umumnya api

mengkonsumsi humus dan gambut. Kebakaran ini sukar untuk diketahui dan sulit

diawasi. Biasanya diikuti dengan kebakaran permukaan yang paling merusak.

b. Kebakaran Permukaan (surface fire)

Api membakar serasah, tumbuhan bawah, limbah pembalakan,

semak-semak, anakan pohon dan bahan bakar lain yang terdapat pada lantai hutan.

Kebakaran tipe ini paling umum terjadi karena kebakaran hutan biasanya dimulai

dari kebakaran permukaan. Kebakaran permukaan dapat merambat ke tumbuhan

yang lebih tinggi dan menjadi kebakaran tajuk.

c. Kebakaran Tajuk (crown fire)

(18)

kebakaran permukaan. Faktor angin sangat berpengaruh dan bisa mengakibatkan

api loncat (spot fire) yang dapat menyebabkan kebakaran di daerah lain.

Pada kondisi yang memungkinkan ketiga tipe kebakaran dapat terjadi

secara bersamaan. Kebakaran permukaan dapat menjalar menjadi kebakaran tajuk

atau sebaliknya. Api dari tajuk jatuh ke permukaan tanah dan mengakibatkan

kebakaran permukaan. Kebakaran permukaan juga dapat menyebabkan kebakaran

bawah (Brown dan Davis, 1973).

B. Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan

Faktor-faktor penyebab kebakaran hutan pada umumnya dapat dibagi

menjadi tiga bagian, yaitu:

a. Faktor kesengajaan

ƒ

Perladangan berpindah dalam skala besar

ƒ

Perburuan satwa liar

ƒ

Tidak senang terhadap petugas kehutanan

b. Faktor ketidak sengajaan

ƒ

Bara dari kereta api

ƒ

Api dari pekerja hutan

ƒ

Api dari perkemahan

ƒ

Api dari pembuatan arang

c. Faktor alam

ƒ

Api dari petir

ƒ

Api dari kawah gunung api

ƒ

Cuaca kering dan panas

(19)

Simorangkir, dan Sumantri, 2002). Bank Dunia (2001a) selanjutnya mengkaji

sebab-sebab kebakaran pada tahun 1997/1998 (Tabel 1), yang pada dasarnya

bersumber dari kebijakan pembangunan pemerintah dan penerapannya yang

lemah dan tidak konsisten, yang sebagian diakibatkan oleh lemahnya

kerangka-kerangka kerja kelembagaan dan peraturan.

Tabel 1. Faktor-faktor penyebab kebakaran hutan tahun 1997/1998 di Indonesia

Penyebab %

Konversi lahan skala besar

34

Perladanagan berpindah

25

Pertanian menetap

17

Konflik sosial dengan masyarakat lokal

14

Transmigrasi 8

Sebab-sebab alami

2

Sumber : Bank Dunia, 2001a dalam Simorangkir dan Sumantri, 2002

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penjalaran Api Kebakaran Hutan

1. Topografi

Faktor topografi yang berperan dalam penjalaran api adalah kemiringan

lereng (Brown dan Davis, 1973). Api membakar cepat ke arah puncak bukit

dan lambat ke arah lembah. Hal ini disebabkan oleh penyebaran panas dan

adanya angin permukaan yang naik ke atas lereng yang lebih tinggi.

2. Angin

Angin adalah udara yang bergerak. Angin bergerak karena adanya

perbedaan tekanan, aliran udara panas dan udara dingin. Pergerakan angin

merupakan salah satu faktor pertimbangan bagi pemadam kebakaran dalam

memadamkan api. Angin mempengaruhi kebakaran karena:

(20)

b. mendekatkan nyala api ke bahan bakar yang belum terbakar

c. mengeringkan bahan bakar dengan cara meningkatkan evaporasi.

Angin dapat menimbulkan loncatan api ke daerah yang belum terbakar.

Loncatan api ini dapat menimbulkan kebakaran tajuk (crown fire) (Clar dan

Chatten, 1954).

3. Sifat Bahan Bakar

Sifat bahan bakar yang mempengaruhi penjalaran api adalah tingkat

kekeringan bahan bakar. Bahan bakar yang kering akan mudah sekali terbakar

oleh api, sedangkan bahan bakar yang basah sangat sulit untuk terbakar. Sifat

kering dan basah bahan bakar dipengaruhi oleh suhu, radiasi matahari, angin dan

hujan.

D.

Deteksi Dini Kebakaran Hutan dan Lahan

Pemadaman kebakaran hutan dan lahan yang efektif memerlukan deteksi

dini dan pelaporan yang baik. Kalau deteksi dini tidak efisien, kerusakan akibat

kebakaran bisa menjadi demikian besar oleh karena terlambatnya upaya-upaya

pemadaman. Pemadaman belum dapat dilakukan sampai suatu kebakaran dapat

diketahui atau dideteksi. Selang waktu antara mulainya kebakaran dengan

datangnya tenaga pemadam ke lokasi kebakaran akan mencakup waktu-waktu

untuk kegiatan yaitu : deteksi, pelaporan, persiapan, pemadaman dan mobilisasi.

Untuk itu, deteksi kebakaran harus benar-benar diperhatikan agar upaya

pemadaman dapat segera dan mudah dilakukan, sehingga kerugian yang diderita

dapat ditekan sampai sekecil mungkin.

Pengawas tidak mungkin mengawasi seluruh kawasan hutan sepanjang

waktu, bahkan selama musim kering. Paremeter seperti : nilai hutan yang

dilindungi, frekuensi kejadian kebakaran, sifat kebakaran dan efek pemulihannya,

fasilitas transportasi dan komunikasi, sumber dana, kemampuan tenaga pemadam,

dan peralatan pemadaman yang tersedia turut membantu menentukan "kawasan

prioritas" yang harus diawasi sepanjang waktu.

Cara-cara deteksi yang mungkin dapat dilakukan antara lain:

ƒ

Deteksi dan pelaporan sukarela dari masyarakat;

ƒ

Patroli darat (secara rutin);

(21)

ƒ

Patroli udara dan penginderaan jarak jauh (satelit).

E. Peran Satelit NOAA-AVHRR dalam Mendeteksi Kebakaran Hutan

Keterbatasan manusia dalam mendeteksi kebakaran hutan memerlukan

bantuan satelit. Hal ini dilakukan karena tidak semua wilayah hutan dapat

terjangkau oleh pengawasan manusia. Cara deteksi kebakaran yang lebih

menjurus pada terjadinya kebakaran hutan adalah dengan deteksi titik panas

(hotspot). Sensor AVHRR, yang dibawa satelit NOAA, mampu mendeteksi

adanya titik panas di permukaan bumi. Ada dua satelit yang beroperasi yaitu

NOAA 14 dan 16.

Pemanfaatan data satelit ini merupakan sarana yang potensial untuk

mendeteksi atau memantau trejadinya kebakaran hutan karena selain memiliki

sensor yang peka terhadap wilayah dengan temperatur yang tinggi, juga dapat

meliputi daerah yang sangat luas (2.600 x 1.500 km

2

) serta dapat mengirimkan

data minimal satu kali dalam sehari.(Departemen Kehutanan, 1989)

Dalam mendeteksi kebakaran hutan dengan satelit NOAA, tidaklah

mendeteksi kebakaran secara langsung namun yang dideteksi adalah titik panas

(hotspot). Adanya titik panas menunjukkan adanya perubahan besar dari radiasi

yang dipancarkan obyek di permukaan bumi dengan naiknya temperatur. AVHRR

memiliki lima buah channel yang beroperasi pada panjang gelombang (0,58-0,68)

µm, (3,55-3,95) µm, (10,3-11,3) µm dan (11,5-12,5) µm (Sumaryati dan Harjono,

1997). Sensor ini mampu mendeteksi permukaan bumi dengan resolusi yang

tinggi yaitu sebesar 1,1 km.

Tabel 2. Spesifikasi sensor channel AVHRR

Sensor

Cahnnel

Panjang

Gelombang

Batasan Spektrum

Elektromagnet

Kegunaan

Deteksi Api

Kegunaan dalam Remote

Sensing

Channel - 1

0,58-0,68µm

Terlihat

Asap

Albedo/ awan

Channel - 2

0,72-1,1µm

Mendekati inframerah Asap

Vegetasi/

awan/

air

Channel - 3

3,55-3,93µm

Tengah inframerah

Api

Api/ permukaan hangat

Channel - 4

10,3-11,3µm

Jauh dari inframerah

Api

Temperatur permukaan laut

Channel - 5

11,5-12,5µm

Jauh dari inframerah

-

Temperatur permukaan laut

(22)

F. Titik Panas (

Hotspot

)

Titik panas

(Hotspot) merupakan suatu istilah untuk titik yang memiliki

suhu lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ambang yang ditentukan data digital

satelit. Data digital yang digunakan berasal dari satelit NOAA-AVHRR (National

Oceanic Atmospheric Administration, Advanced Very High Resolution

Radiometer). Nilai ambang batas yang digunakan dalam menetukan suatu titik

panas yaitu 315 K (42

o

C) untuk tangkapan sinyal siang hari dan 310 K (37

o

C)

untuk tangkapan sinyal pada malam hari ( Hotspot Distribution Image in Sumatra

and Kalimantan July 2002- December 2002) Vol. 11, Forest Fire Prevention

Management Project phase 2, Dephut-JICA).

Titik panas (hotspot) yang dapat ditangkap sinyal akan diproyeksikan

menjadi suatu pixel pada suatu peta yang juga menunjukkan koordinat

geografisnya. Keberadaan suatu titik panas berarti telah terjadi suatu kebakaran

hutan di suatu lokasi. Namun berdasarkan verifikasi di lapangan, kebanyakan dari

titik panas yang dideteksi merupakan kebakaran. Sebagai suatu indikasi awal,

maka titik panas yang dideteksi perlu dilakukan pengecekan ke lapangan (ground

check) sehingga jika terjadi kebakaran dapat secara dini diupayakan

pemadamannya hingga tidak meluas. Berdasarkan keterbatasan yang dimiliki,

satelit NOAA hanya dapat mendeteksi suatu titik panas berupa pixel yang

berukuran 1,1 km x 1,1 km atau 1,21 km

2

, dengan demikian untuk ukuran wilayah

panas yang luasannya kurang dari 1,21 km

2

akan dipresentasikan sebagai satu

pixel dan kebakaran yang sedikit lebih 1,21 km

2

akan dipresentasikan sebagai 2

pixel. Luas areal minimum yang dideteksi sebagai 1 pixel diperkirakan seluas 0.15

ha (Albar,2002).

(23)

kapasitas lapang. Metode ini sangat sederhana karena hanya memerlukan tiga

variabel cuaca untuk menghitung indeks kekeringan, yaitu suhu maksimum

harian, rata-rata curah hujan tahunan, dan kelembabapan relatif. Formula untuk

menghitung nilai Keetch / Byram Drynees Index dalam satuan metrik adalah

sebagai berikut:

05

.

0

)

.

*

00175

.

0

exp(

*

88

.

10

1

001

.

0

*

)

229

.

8

)

522

.

1

.

max

*

0875

.

0

exp(

*

9676

.

0

(

*

)

2000

(

+

+

+

=

Rain

ann

T

YKBDI

DF

(24)

III. METODE PENELITIAN

A.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelititan ini dilakukan di Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan,

Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan

Maret 2006 sampai dengan bulan Mei 2006.

B.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan penelitian terdiri dari :

1.

Data sebaran titik panas (hotspot) harian di Propinsi Jambi tahun

2000-2004 diperoleh dari FFPMP / Forest Fire Project

Management Prevention tahap 2 (kerjasama antara Departemen

Kehutanan Republik Indonesia dan JICA/ Japan International

Cooperation Agency) yang mencakup koordinat titik panas, hari

dan tanggal serta jam terdapatnya titik panas menurut penutupan

lahan / penggunaan tanah dan menurut kabupaten.

2.

Data iklim Propinsi Jambi tahun 2000-2004 diperoleh dari Badan

Meteorologi dan Geofisika .

Alat yang digunakan:

1.

Alat tulis

2.

Alat Hitung

3.

Personal Komputer

C.

Metode Penelitian

1.

Persiapan Penelitian

a.

Penentuan Wilayah Kajian

(25)

Jambi, dengan pertimbangan bahwa di Propinsi Jambi merupakan salah

satu propinsi yang sering terjadi kebakaran hutan dan lahan.

b.

Pengumpulan bahan-bahan penelitian berupa data titik panas bersumber

dari FFPMP / Forest Fire Project Management Prevention tahap 2

(kerjasama antara Departemen Kehutanan Republik Indonesia dan JICA/

Japan International Cooperation Agency).

2.

Analisis Data

a.

Pola sebaran titik panas tahunan Propinsi Jambi tahun 2000-2004.

Dari data jumlah titik panas (hotspot) di Propinsi Jambi tahun

2000-2004, dihitung jumlah titik panas setiap tahun sehingga diketahui tahun

yang memiliki jumlah titik panas (hotspot) terbanyak di Propinsi Jambi

selama periode 2000-2004, dan dibuat grafiknya.

b.

Pola sebaran titik panas bulanan di Propinsi Jambi tahun 2000-2004.

Dari data jumlah titik panas (hotspot) di Propinsi Jambi tahun

2000-2004, dihitung jumlah titik panas setiap bulan sehingga diketahui bulan

yang memiliki jumlah titik panas (hotspot) terbanyak di Propinsi Jambi

selama periode 2000-2004, dan dibuat grafiknya

c.

Pola sebaran titik panas tahunan menurut penutupan lahan di Propinsi

Jambi tahun 2000-2004.

Pola sebaran titik panas tahunan menurut penutupan lahan di Propinsi

Jambi tahun 2000-2004 dianalisis dari jumlah kumulatif titik panas

menurut penutupan lahan di Propinsi Jambi tahun 2000-2004.

d.

Pola sebaran titik panas tahunan pada setiap kabupaten di Propinsi

Jambi tahun 2000-2004.

(26)

dianalisis untuk mengetahui apakah suatu titik panas (hotspot) selalu

berada pada suatu kabupaten wilayah Propinsi Jambi periode

2000-2004. Lalu dibuat juga grafik pola penyebaran titik panas setiap

kabupaten wilayah Propinsi Jambi tahun 2000-2004.

e.

Indeks kekeringan Propinsi Jambi Tahun 2000-2004.

Indeks kekeringan harian dihitung dari data iklim Propinsi Jambi tahun

2000-2004. Nilai indeks kekeringan dikaitkan dengan waktu (tanggal)

terjadinya titik panas.

Tabel 3. Contoh Tabel Sebaran Titik Panas di Propinsi Jambi tahun 2000-2004

Bulan

Tahun

Jumlah Rata-rata

2000 2001 2002 2003 2004

Januari

Februari

Maret

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

September

Oktober

Nopember

Desember

(27)

IV. KONDISI UMUM PROPINSI JAMBI

A. Letak Geografis

Propinsi Jambi terletak di Pantai Timur Pulau Sumatera berhadapan

dengan Laut Cina Selatan, pada alur lalu lintas Internasional dan Regional. Secara

geografis Propinsi Jambi terletak diantara 0º 45’ – 2

o

45’ Lintang Selatan dan

antara 101

o

10’ – 104

o

44’ Bujur Timur. Luas wilayah Propinsi Jambi 53.435,72

km

2

, luas daratan 51.000 km

2

, luas lautan 425,5 km

2

dan panjang pantai 185

km. Batas-batas Wilayah Propinsi Jambi adalah sebagai berikut :

Sebelah Utara dengan Propinsi Riau

Sebelah Selatan dengan Propinsi Sumatera Selatan

Sebelah Barat dengan Propinsi Sumatera Barat

Sebelah Timur dengan Laut Cina Selatan

Propinsi Jambi termasuk dalam kawasan segi tiga pertumbuhan Indonesia-

Malaysia-Singapore (IMS-GT) dan Indonesia-Malaysia-Thailand (IMT-GT).

Waktu tempuh dari Jambi ke Singapura melalui jalur laut melalui Batam dengan

menggunakan kapal cepat (jet-foil) ± 5 jam ( Bappeda Jambi, 2005 dan

Pemerintah Kota Jambi, 2005 ).

B. Topografi

Kondisi lahan di Propinsi Jambi bervariasi dari daratan rendah sampai

daratan tinggi yaitu ( Bappeda Jambi, 2005 ):

Kemiringan 0– 3% = 14.576 km

2

(29,0%)

Kemiringan 3–12%= 14.381 km

2

(28,6%)

Kemiringan 12–40%= 9.306 km

2

(18,5%)

Kemiringan >40% = 12.000 km

2

(23,9%)

Jumlah luas areal menurut ketinggian tempat di Propinsi Jambi:

-

0 - 100 meter = 34.738 km

2

(53,2%)

-

101-500 meter = 17.981 km

2

(24,5%)

-

500-1.000 meter = 9.127 km

2

(13,9%)

-

> 1.000 meter = 5.437 km

2

( 8,4%)

(28)

C. Iklim

Dari sisi iklim, Propinsi Jambi termasuk beriklim tropis. Musim hujan

jatuh pada bulan Oktober sampai April (dipengaruhi oleh Musim Tenggara) dan

musim kemarau pada bulan April sampai Oktober (dipengaruhi oleh Musim

Barat). Jumlah curah hujan di Propinsi Jambi tercatat sebesar 201,5 mm/bulan dari

hari hujan 13,5 hari per bulan. Pada siklus 30 tahunan terjadi curah hujan yang

lebih besar sehingga terjadi banjir. Iklim Propinsi Jambi bertipe A (Schmidt and

Ferguson) dengan curah hujan rata-rata 1.900 – 3.200 mm/tahun dan rata-rata hari

hujan 116 – 154 hari per tahun. Suhu maksimum sebesar 31

o

C ( Bappeda Jambi,

2005 dan BMG, 2005 ).

D. Flora dan Fauna

1. Flora

Di Propinsi Jambi terdapat beberapa tipe ekosistem hutan hujan dataran

rendah sampai ekosistem sub alpin serta beberapa ekosistem yang khas (rawa

gambut, rawa air tawar, dan danau). Selain itu terjadi pendominasian oleh

beberapa jenis famili seperti Dipterocarpaceae,

Leguminosae,

Lauraceae,

Myrtaceae,

Bombacaceae,

Moraceae,

Anacardiaceae,

Myristicaceae,

Euphorbiaceae dan Meliaceae. Dari penelitian Biological Science Club pada

tahun 1993 ditemukan 115 jenis tumbuhan etnobotani yang digunakan oleh

masyarakat untuk keperluan sehari-hari.

2. Fauna

(29)

E. Penutupan Lahan

Tabel 4. Penutupan Lahan Propinsi Jambi tahun 2002 dan tahun 2003

Kode Keterangan

Luas tahun 2002

(Ribu Ha)

Luas tahun 2003

(Ribu Ha)

A. Hutan

2001 Hutan Lahan Kering Primer

378

111

2002 Hutan Lahan Kering Sekunder

624

879

2005 Hutan Rawa Primer

125

147

20051 Hutan Rawa Sekunder

237

132

2004 Hutan Mangrove Primer

0

0

20041 Hutan Mangrove Sekunder

2

5

2006 Hhutan

Tanaman

96

108

Jumlah Hutan

1463

1380

B. Non Hutan

2007 Belukar

66

180

20071 Belukar

Rawa

133

308

3000 Savana

0

0

2010 perkebunan

288

421

20091 Pertanian

Lahan

Kering

65

162

20092 Pertanian Lahan Kering Campur

1447

1496

20093 Sawah

298

52

20094 Tambak

0

2

20121 Pelabuhan

Udara/

Laut

0

0

20122 Transmigrasi

28

11

2014 Tanah

Terbuka

27

65

5001 Pemukiman

17

30

50011 Tubuh

Air

5

0

Rawa

1

20

Jumlah Non Hutan

2377

2747

C. Tidak Ada Data / Awan

2500 Awan

970

Tidak Ada Data

0

687

Jumlah Tidak Ada Data

970

687

Jumlah Total

4810

4814

( Sumber : Departemen Kehutanan )

(30)

F. Sebab-sebab Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan

Penyebab terjadinya kebakaran dibagi menjadi 2 bagian yaitu alami dan

buatan. Penyebab alami dipengaruhi oleh adanya pengaruh dari penyimpangan

iklim seperti El Nino maupun osilasi atmosfer di atas Samudera Hindia yang

menyebabkan kondisi cuaca yang ekstrem di beberapa wilayah di Indonesia

termasuk di Propinsi Jambi (SSFMP, 2004). Penyebab buatan kebanyakan

dilakukan oleh masyarakat dan pengelola HTI untuk pembukaan lahan (WARSI,

2003). Selain itu juga karena adanya illegal logging, degredasi lahan, pembukaan

lahan untuk pemukiman dan pertanian serta perkebunan oleh masyarakat setempat

dengan jalan membakar hutan (FFPMP, 2000 dan Syaipul Bakhori, 2004).

Problem tersebut merupakan problem utama yang ada dan berkembang di

masyarakat sekitar hutan di Propinsi Jambi. Problem utama yang kedua adalah

kurang adanya kerjasama antara instansi pemerintah, Departemen Kehutanan dan

Perkebunan, tentara dan organisasi massa dalam hal menanggulangi bahaya

kebakaran yang nantinya akan terjadi.

G. Upaya-upaya Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan

Salah satu upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Jambi

adalah mengadakan kerja sama antara pemerintah daerah dengan Direktorat

Penanggulangan Kebakaran Hutan Departemen Kehutanan, Balai Konservasi

Sumber Daya Alam (BKSDA) dan JICA (Japan International Co-operation

Agency) dalam program FFPMP 2 (Forest Fire Project Management Prevention

(31)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sebaran Titik Panas Tahunan

Berdasarkan data satelit NOAA-AVHRR (Gambar 2), maka jumlah titik

panas pada tahun 2004 memiliki jumlah lebih banyak dari pada jumlah titik panas

tahun 2000, tahun 2001, tahun 2002, dan tahun 2003. Pada tahun 2000, tahun

2001, tahun 2002, dan tahun 2003 hanya terdapat secara berurutan 220 titik, 468

titik, 1577 titik, dan 2608 titik, sedangkan pada tahun 2004 terdapat sebanyak

3178 titik.

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500

J

u

m

lah

T

it

ik

P

an

a

s

Jumlah Titik Panas 220 468 1577 2608 3178 Tahun

2000

Tahun 2001

Tahun 2002

Tahun 2003

[image:31.612.136.491.260.461.2]

Tahun 2004

Gambar 2. Jumlah Titik Panas di Propinsi Jambi Tahun 2000-2004 (Sumber data

titik panas: Satelit NOAA, FFMP2-PHKA / JICA).

(32)

0 100 200 300 400 500 600

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des

Bulan

Jumlah Titik Panas Curah Hujan (mm)

B. Sebaran Titik Panas Bulanan Tahun 2000-2004

Jumlah curah hujan bulanan mempengaruhi jumlah titik panas bulanan

(Gambar 3) dalam kurun waktu tahun 2000-2004. Rata-rata jumlah titik panas

yang rendah terdapat pada bulan Januari, Februari, Maret, April, Mei, November

dan Desember. Bulan-bulan tersebut memiliki rata-rata jumlah curah hujan

bulanan yang tinggi. Bulan Juni, Juli, Agustus, September, dan Oktober memiliki

rata-rata jumlah curah hujan bulanan yang kecil dan rata-rata jumlah titik panas

yang tinggi. Rata-rata jumlah titik panas tertinggi bulanan sebesar 533,4 titik

terjadi pada bulan Agustus dengan rata-rata jumlah curah hujan sebesar 133,68

mm. Rata-rata jumlah titik panas terendah pada bulan Desember sebesar 1 titik

dengan rata-rata curah hujan sebesar 185,54 mm. Curah hujan tahunan di Propinsi

Jambi periode tahun 2000-2004 sebesar 1950,9 mm/tahun.

[image:32.612.134.505.321.478.2]

Gambar 3. Jumlah Titik Panas Bulanan dan Jumlah Curah Hujan Bulanan di

Propinsi Jambi Tahun 2000-2004 (Sumber data titik panas dan curah

hujan: Satelit NOAA, FFMP2-PHKA / JICA, Badan Meteorologi dan

Geofisika).

(33)
[image:33.612.150.476.168.382.2]

hari hujan sama sebesar 16,2 hari per bulan, namun rata-rata curah hujan pada

bulan Maret 174,7 mm dan bulan Desember 185,54 mm. Jumlah rata-rata hari

hujan tahunan Propinsi Jambi periode tahun 2000-2004 sebesar 170,2 hari per

tahun.

Tabel 5. Curah Hujan dan Hari Hujan Bulanan Propinsi Jambi Tahun 2000-2004

Bulan

Rata-rata

(Hari)

Curah Hujan

(mm)

Jan

13.8 226.56

Feb

16.8 328.26

Mar

16.2 174.7

Apr

13.8 96.52

May

14 138.32

Jun

12.4 110.26

Jul

12.2 122.14

Aug

13.2 133.68

Sep

11.8 103.3

Oct

14.6 160.34

Nov

15.2 171.3

Dec

16.2 185.54

Jumlah

170.2 1950.9

Waktu terjadinya titik panas (Lampiran 6) adalah pada pukul 07.00-pukul

12.00 WIB. Terjadinya titik panas dimungkinkan adanya radiasi maksimum

matahari pada hari sebelumnya atau juga adanya pembakaran oleh masyarakat

sekitar hutan dengan tujuan membuka lahan untuk perladangan.

(34)

Adanya sejumlah titik panas yang terjadi pada areal lahan milik, TRA,

KUB, dan HTI mungkin merupakan kegiatan adanya pembakaran dalam rangka

penyiapan lahan untuk areal pertanian atau kehutanan. Pada areal HPH, HSA-W

dan HL, terjadinya titik panas kemungkinan oleh adanya pembukaan areal hutan

untuk areal perladangan atau mungkin juga kebakaran biasa (bukan pembakaran).

Pembakaran dalam rangka pembukaan lahan dalam kegiatan perkebunan lebih

banyak disebabkan oleh pertimbangan ekonomis dari pada ekologis (Hadisuparto,

2003). Untuk membersihkan lahan hutan menjadi lahan yang siap dijadikan

perkebunan atau HTI, pengusaha menggunakan sistem tebas bakar (Slash and

Burn), suatu cara pembersihan lahan yang murah. Saharjo (2002), menyatakan

[image:34.612.133.502.447.643.2]

bahwa timbulnya kebakaran besar dan beraturan dalam suatu wilayah HPH

tertentu merupakan indikasi telah terjadi sesuatu yang terencana dan sistematis,

yaitu pembakaran limbah vegetasi sisa tebangan untuk tujuan komersial seperti

penyiapan lahan. Hal ini dapat dibuktikan dengan telah berkali-kali terjadinya

kebakaran, namun yang sesungguhnya adalah pembakaran yang disengaja ataupun

karena kelalaian. Dapat dikatakan bahwa penyebab timbulnya kebakaran hutan

yang hampir terjadi pada setiap tahun adalah akibat dari kebijakan konversi lahan

yang dikeluarkan oleh pemerintrah yang bertujuan untuk mengkonversi hutan

(primer maupun sekunder) menjadi hutan tanaman maupun perkebunan.

Gambar 4. Jumlah Titik Panas Menurut Areal Penutupan Lahan Propinsi Jambi

Tahun 2000-2004 (Sumber data titik panas: Satelit NOAA,

FFMP2-PHKA / JICA).

Rata-rata Jumlah Hotspot

0 150 300 450 600 750 900

Rata-rata Jumlah

Jumlah Titik Panas per Tahun

Jumlah Titik Panas per tahun 371.6 82.8 44.8 11.8 127 156.8 815.4

(35)

D. Sebaran Titik Panas Pada Setiap Kabupaten Tahun 2000-2004

[image:35.612.136.503.314.520.2]

Sebaran titik panas pada setiap kabupaten di Propinsi Jambi (Gambar 5)

menunjukkan bahwa rata-rata jumlah titik panas tertinggi terdapat di Kabupaten

Tanjung Jabung, yaitu sebesar 853 titik per tahun. Diikuti Kabupaten Batanghari

terdapat 430,6 titik per tahun, Kabupaten Sarolangun Bangko sebanyak 194,2 titik

per tahun, Kabupaten Bungo Tebo sebanyak 141,2 titik per tahun, dan Kabupaten

Kerinci sebanyak 27,2 titik per tahun. Jumlah titik panas terendah, terdapat di

pada Kodya Jambi sebanyak 1,6 titik per tahun. Kabupaten Tanjung Jabung

merupakan daerah yang paling rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan.

Kemungkinan kebakaran hutan dan lahan di kabupaten ini terjadi akibat kegiatan

perladangan di dalam dan di sekitar kawasan hutan dimana penerapan Zero

Burning sulit dilaksanakan bagi masyarakat umum.

Gambar 5. Jumlah Titik Panas Tahunan Pada Setiap Kabupaten di Propinsi Jambi

Tahun 2000-2004 (Sumber data titik panas: Satelit NOAA,

FFMP2-PHKA / JICA).

E. Indeks Kekeringan dan Terjadunya Titik Panas di Propinsi Jambi Tahun

2000-2004

Berdasarkan data suhu maksimum, kelembaban udara dan curah hujan

harian tahun 2000-2004 pada stasiun pengamat cuaca di Propinsi Jambi, maka

didapatkan nilai Indeks Kekeringan Keetch-Byram (KBDI) Propinsi Jambi tahun

2000-2004. Pada Gambar 6, Gambar 7, Gambar 8, Gambar 9, dan Gambar 10

0 150 300 450 600 750 900

Jumlah Titik Panas per Tahun

Jumlah Titik Panas per Tahun 430.6 141.2 27.2 1.6 194.2 815.4 Batanghari Bungo Tebo Kerinci Kodya Jambi Sarolangun

(36)

terlihat pola dari indeks kekeringan di Propinsi Jambi. Pada setiap gambar

diplotkan pula waktu terjadinya titik panas. Secara umum terlihat bahwa terjadi

titik panas pada saat nilai indeks mencapai kelas Sedang (1000-1499) dan kelas

Tinggi (> 1500). Titik panas yang terjadi pada waktu kelas Rendah (0-999)

dimungkinkan dapat terjadi karena karena ada perubahan dalam rangka persiapan

lahan, atau terjadi radiasi matahari maksimum yang mengakibatkan keringnya

bahan bakar.

Sebaran titik panas pada setiap kelas indeks kekeringan di Propinsi Jambi

tahun 2000-2004 (Tabel 6), menunjukkan bahwa sebaran titik panas paling tinggi

pada kelas Sedang (1000-1499) sebesar 5714 titik, kemudian diikuti kelas Tinggi

(>1500) sebesar 1897 titik, dan sebaran titik panas paling rendah pada kelas

Rendah (0-999) sebesar 440 titik. Adanya titik panas pada kelas Rendah

kemungkinan terjadi adanya pembakaran dalam rangka penyiapan lahan atau

kebakaran biasa yang juga bisa diakibatkan adanya pengeringan bahan bakar pada

hari-hari sebelumnya.

Tabel 6. Jumlah Titik Panas Pada Setiap Kelas Indeks Kekeringan di Propinsi

Jambi Tahun 2000-2004

Kelas Indeks

Kekeringan

Jumlah Titik Panas

Jumlah

Tahun

2000

Tahun

2001

Tahun

2002

Tahun

2003

Tahun

2004

Rendah (Low)

216

6

168

7

43 440

Sedang

(Moderate)

4

423

514

2507

2266 5714

Tinggi (High)

0

39

895

94

869 1897

(37)

0 500 1000 1500 2000

01/01/00 01/02/00 01/03/00 01/04/00 01/05/00 01/06/00 01/07/00 01/08/00 01/09/00 01/10/00 01/11/00 01/12/00

Date KBDI

KBDI Kejadian Titik Panas

HIGH

MODERATE

(38)
[image:38.792.76.706.146.504.2]

Gambar 6.Grafik KBDI Tahun 2000

Gambar 7.Grafik KBDI Tahun 2001

0

500 1000 1500 2000

01/01/01 01/02/01 01/03/01 01/04/01 01/05/01 01/06/01 01/07/01 01/08/01 01/09/01 01/10/01 01/11/01 01/12/01

Date KBDI

DI today Kejadian Titik Panas

HIGH

MODERATE

(39)
[image:39.792.72.709.138.504.2]

Gambar 8.Grafik KBDI Tahun 2002

0

500 1000 1500 2000

01/01/02 01/02/02 01/03/02 01/04/02 01/05/02 01/06/02 01/07/02 01/08/02 01/09/02 01/10/02 01/11/02 01/12/02

Date KBDI

DI today Kejadian Titik Panas

HIGH

MODERATE

(40)
[image:40.792.74.710.139.480.2]

Gambar 9.Grafik KBDI Tahun 2003

0

500 1000 1500 2000

01/01/03 01/02/03 01/03/03 01/04/03 01/05/03 01/06/03 01/07/03 01/08/03 01/09/03 01/10/03 01/11/03 01/12/03

Date KBDI

DI today Kejadian Titik Panas

HIGH

MODERATE

(41)
[image:41.792.77.710.139.485.2]

Gambar 10.Grafik KBDI Tahun 2004

0

500 1000 1500 2000

01/01/04 01/02/04 01/03/04 01/04/04 01/05/04 01/06/04 01/07/04 01/08/04 01/09/04 01/10/04 01/11/04 01/12/04

Date KBDI

DI today Kejadian Titik Panas

HIGH

MODERATE

(42)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A.

Kesimpulan

1.

Dalam kurun waktu tahun 2000-2004 di Propinsi Jambi jumlah titik panas

meningkat terus dari tahun ke tahun. Hal ini memberi indikasi bahwa di

Propinsi Jambi usaha pengendalian kebakaran hutan dan lahan masih

belum berhasil.

2.

Bulan rawan kebakaran adalah antara bulan Juni-Oktober pada taraf curah

hujan bulanan relatif rendah.

3.

Kawasan hutan yang paling rawan kebakaran adalah areal HPH, diikuti

oleh areal HTI, HSA-W dan Hutan Lindung. Di luar kawasan hutan, areal

lahan milik merupakan kawasan yang paling rawan dan diikuti areal

perkebunan dan transmigrasi.

4.

Kabupaten yang paling rawan terhadap kebakaran adalah Kabupaten

Tanjung Jabung, kemudian diikuti oleh Kabupaten Batanghari, Kabupaten

Sarolangun Bangko, Kabupaten Bungo Tebo, Kabupaten Kerinci dan

Kodya Jambi.

B.

Saran

1.

Usaha-usaha pengendalian kebakaran perlu ditingkatkan pada bulan-bulan

dan daerah yang rawan terhadap bahaya kebakaran hutan dan lahan.

2.

Perlunya pemantauan langsung ke lapangan untuk memastikan titik panas

(43)

DAFTAR PUSTAKA

Affan, J. M. 2002. Penilaian Tingkat Bahaya Kebakaran Hutan Berdasarkan

Indeks Vegetasi, NVDI dan Indeks Kekeringan, KBDI (Studi kasus

Taman nasional Berbak Jambi). Skripsi. Jurusan Geofisika dan

Meteorologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut

Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.

Anderson, I. P, I. D Iamanda dan Muhandar. 1999. Forest Fire Prevention and

Control Project. European Union. Ministry of Forestry and Estae Crops.

Palembang.

Bakhori, Syaipul. 2004. Ratusan Hektare Lahan di Jambi Terbakar.

http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/smoke/20004/06/22/brk,200406

22-31,id.html

[9 Juni 2005].

Bappeda Jambi. 2005. Jambi Membangun.

http://

www.bappedajambi.go.id/gamumum.php

[11 Juni 2005].

Brown, AA. and K. P. Davis. 1973. Forest Fire Control and Use. Mc.

Graw-Hill Books Company. New York.

Chandler, C. D. Cheney, P. Thomas, L . Trabaund. And D. Williams. 1983. A Fire

Forestry. Vol I. Forest Fire Behavior and Effect. John Wiley and Son.

New York.

Clar, C.D. And L.R Chatten. 1954. Principles of Forest Fire Management.

Department of Natural Resources Division of Forestry. California.

Departemen Kehutanan. 2002. Peta Penutupan Lahan Propinsi Jambi.

http://www.dephut.go.id/INFORMASI/INTAG/peta%20Tematik/PL_V

eg/Veg.2002/Vjambi.gif

[10 Juni 2005].

FFPMP. 2000. Kegiatan Kampanye di Jambi.

http://ffmp2.hp.infoseek.co.jp/Indonesia/in_camp_jmb.html

[ 9 Juni

2005].

FFPMP 2. 2006. Proyek Pencegahan Kebakaran Hutan Tahap 2. Departemen

Kehutanan Republik Indonesia. Japan International Cooperation Agency

(44)

Hadisuparto, H. 2003. Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia.

http//:www.kompas.com/kompas-cetak/0306/29/29/fokus/395705.html

[4 April 2006].

Jones, S. H. 1997. Vegetation Fire in Maintance South East Asia Spatio-Temporal

Analisys of AVHRR 1 Km Data for The 1992/1993 Dry Season. Joint

Research Centre. Ispra. Italy. P:13.

Keetch, J. J., and G. M. Byram. 1968. A Drought Index For Forest Fire Control.

USDA Forest Service, South-eastern Forest Exp. Sta. Res. Pap. SE-38

Solichin dan P. Kimman. 2004. Sistem Informasi Kebakaran. South Sumatra

Forest Fire Management Project. Propinsi Sumatera Selatan.

http://www.ssffmp.or.id/ssffmp?file/publication/sistem_informasi_kebak

aran.pdf

. [ 22 Februari 2005].

SSFMP. 2004. Sumatera dan Kalimantan Dalam Kabut Asap.

http://www.ssfmp.or.id/ssfmp/news-2.asp?id=49

[9 Juni 2005].

Suratmo,F. G, E. A Husaeni dan N. S Jaya,. 2003. Pengendalian Kebakaran

Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

WARSI. 2003. 6000 Hektar Hutan Jambi Habis Selama 2003.

http://

www.warsi.or.id/News/2003/News_200309_Hutan.htm

[9 Juni

2005].

(45)

Lampiran 1. Hasil Perhitungan KBDI di Propinsi Jambi Tahun

2000-2004

Date TEMP

(oC) 24-RF (mm) DIY Net RF (mm)

Interval Difactor DI

today Stage

01/01/00 27,17 0 531 0 531 52 583 Low

02/01/00 28,13 0 583 0 583 58 641 Low

03/01/00 27,3 3,2 641 0 641 49 690 Low

04/01/00 27 0 690 0 690 49 739 Low

05/01/00 27,67 0 739 0 739 50 789 Low

06/01/00 28,67 0 789 0 789 55 844 Low

07/01/00 27,31 5,5 844 0,5 839 41 880 Low

08/01/00 27,78 5,8 880 0,8 872 46 918 Low

09/01/00 25,73 0 918 0 918 34 952 Low

10/01/00 28,53 0 952 0 952 47 999 Low

11/01/00 27,69 6,4 999 1,4 985 42 1027 Moderate

12/01/00 27,93 2 1027 0 1027 38 1065 Moderate

13/01/00 24,63 0 1065 0 1065 28 1093 Moderate

14/01/00 25,87 63 1093 58 513 28 541 Low

15/01/00 27,09 11,2 541 11,2 429 56 485 Low

16/01/00 27,53 8,6 485 8,6 399 62 461 Low

17/01/00 27,44 0 461 0 461 62 523 Low

18/01/00 29,6 11 523 6 463 71 534 Low

19/01/00 27,14 3 534 0 534 48 582 Low

20/01/00 26,5 0 582 0 582 56 638 Low

21/01/00 28,07 0,4 638 0 638 60 698 Low

22/01/00 28,07 0 698 0 698 60 758 Low

23/01/00 27,7 2,1 758 0 758 55 813 Low

24/01/00 27,76 1,7 813 1,7 796 46 842 Low

25/01/00 27,74 1,5 842 1,5 827 46 873 Low

26/01/00 28,2 0 873 0 873 51 924 Low

27/01/00 27,29 3,2 924 0 924 42 966 Low

28/01/00 26,43 5 966 5 916 38 954 Low

29/01/00 29,1 0 954 0 954 52 1006 Moderate

30/01/00 28,4 0 1006 0 1006 38 1044 Moderate

31/01/00 28,01 2,4 1044 0 1044 38 1082 Moderate

01/02/00 27,75 2,1 1082 3,1 1051 38 1089 Moderate

02/02/00 28,22 0 1089 0 1089 38 1127 Moderate

03/02/00 28,33 15 1127 10 1027 38 1065 Moderate

04/02/00 26,35 9 1065 9 975 31 1006 Moderate

05/02/00 24,6 18 1006 18 826 28 854 Low

06/02/00 26,97 0 854 0 854 41 895 Low

07/02/00 27,93 13 895 8 815 46 861 Low

08/02/00 27,54 4,9 861 4,9 812 46 858 Low

09/02/00 27,61 2,3 858 2,3 835 46 881 Low

10/02/00 29,14 0 881 0 881 51 932 Low

11/02/00 26,1 41 932 36 572 34 606 Low

12/02/00 26,56 19,4 606 19,4 412 49 461 Low

13/02/00 25,7 20,1 461 20,1 260 50 310 Low

14/02/00 26,63 6,3 310 6,3 247 53 300 Low

15/02/00 26,79 0 300 0 300 53 353 Low

16/02/00 27,41 8,1 353 3,1 322 59 381 Low

17/02/00 28,04 5,4 381 5,4 327 66 393 Low

18/02/00 25,63 0,4 393 0,4 389 53 442 Low

19/02/00 26,23 0 442 0 442 50 492 Low

20/02/00 25,76 6,6 492 1,6 476 50 526 Low

21/02/00 24,87 0,8 526 0,8 518 42 560 Low

22/02/00 23,93 0 560 0 560 42 602 Low

(46)

24/02/00 25,77 13,5 613 13,5 478 44 522 Low

25/02/00 26,64 5,4 522 5,4 468 47 515 Low

26/02/00 27,67 57 515 52 -5 58 53 Low

27/02/00 28,73 3 53 3 23 86 109 Low

28/02/00 27,5 5,8 109 5,8 51 74 125 Low

29/02/00 27,38 5,7 125 5,7 68 67 135 Low

01/03/00 26,96 0 135 0 135 67 202 Low

02/03/00 26,75 0 202 0 202 67 269 Low

03/03/00 27 10,1 269 5,1 218 67 285 Low

04/03/00 27,2 9,6 285 9,6 189 67 256 Low

05/03/00 28,03 0 256 0 256 74 330 Low

06/03/00 29,27 0 330 0 330 73 403 Low

07/03/00 27,63 1,2 403 0 403 62 465 Low

08/03/00 26,77 0 465 0 465 62 527 Low

09/03/00 28,13 0 527 0 527 58 585 Low

10/03/00 28,2 0 585 0 585 58 643 Low

11/03/00 28,12 2,3 643 0 643 54 697 Low

12/03/00 28,03 5,4 697 5,4 643 54 697 Low

13/03/00 26,17 6 697 6 637 44 681 Low

14/03/00 27,07 2 681 2 661 49 710 Low

15/03/00 27,13 8,2 710 8,2 628 45 673 Low

16/03/00 27,13 18 673 18 493 49 542 Low

17/03/00 25,83 12 542 12 422 47 469 Low

18/03/00 24,93 0 469 0 469 45 514 Low

19/03/00 27,08 4,9 514 0 514 52 566 Low

20/03/00 27,29 2,7 566 2,7 539 52 591 Low

21/03/00 26,77 44 591 44 151 52 203 Low

22/03/00 26,2 17 203 17 33 57 90 Low

23/03/00 27,28 12,7 90 12,7 -37 70 33 Low

24/03/00 27,7 29 33 29 -257 78 0 Low

25/03/00 25,6 2 -179 2 -199 63 0 Low

26/03/00 26,87 5,4 -136 5,4 -190 70 0 Low

27/03/00 27,25 7,4 -120 7,4 -194 70 0 Low

28/03/00 27,38 6,6 -124 6,6 -190 70 0 Low

29/03/00 27,07 4,5 -120 4,5 -165 70 0 Low

30/03/00 28,33 0 -95 0 -95 78 0 Low

31/03/00 28,04 3,5 -17 -17 78 61 Low

01/04/00 28,39 3,6 61 3,6 25 78 103 Low

02/04/00 25,57 0 103 0 103 60 163 Low

03/04/00 25,97 0 163 0 163 60 223 Low

04/04/00 27,05 5,2 223 0,2 221 63 284 Low

05/04/00 27,59 5 284 5 234 70 304 Low

06/04/00 30,47 0 304 0 304 89 393 Low

07/04/00 29,77 0 393 0 393 81 474 Low

08/04/00 28,22 3,4 474 0 474 62 536 Low

09/04/00 27,96 0 536 0 536 58 594 Low

10/04/00 28,44 3,8 594 0 594 58 652 Low

11/04/00 27,8 0 652 0 652 54 706 Low

12/04/00 28,18 6 706 1 696 50 746 Low

13/04/00 28,35 5,2 746 5,2 694 50 744 Low

14/04/00 27,79 0 744 0 744 50 794 Low

15/04/00 28,08 0 794 0 794 50 844 Low

16/04/00 27,88 6 844 1 834 46 880 Low

17/04/00 28,15 4,7 880 4,7 833 46 879 Low

18/04/00 28,55 3,8 879 3,8 841 51 892 Low

19/04/00 28,01 0 892 0 892 46 938 Low

20/04/00 27,67 0 938 0 938 42 980 Low

(47)

22/04/00 27,03 0 1022 0 1022 34 1056 Moderate

23/04/00 24,2 0 1056 0 1056 28 1084 Moderate

24/04/00 24,67 0 1084 0 1084 28 1112 Moderate

25/04/00 26,65 1,6 1112 0 1112 31 1143 Moderate

26/04/00 27,99 2,2 1143 2,2 1121 34 1155 Moderate

27/04/00 28,47 0 1155 0 1155 38 1193 Moderate

28/04/00 26,79 0 1193 0 1193 31 1224 Moderate

29/04/00 27,13 1,3 1224 0 1224 27 1251 Moderate

30/04/00 27,07 2 1251 2 1231 27 1258 Moderate

01/05/00 27,7 68 1258 68 578 30 608 Low

02/05/00 28,2 14 608 14 468 54 522 Low

03/05/00 27,97 9,1 522 9,1 431 58 489 Low

04/05/00 28,33 3 489 3 459 62 521 Low

05/05/00 28,53 0 521 0 521 64 585 Low

06/05/00 29,13 0 585 0 585 64 649 Low

07/05/00 27,24 3,6 649 0 649 49 698 Low

08/05/00 27,59 2 698 2 678 54 732 Low

09/05/00 27 0 732 0 732 45 777 Low

10/05/00 27,25 0,5 777 0 777 45 822 Low

11/05/00 27,35 4 822 4 782 41 823 Low

12/05/00 27,4 2,9 823 2,9 794 41 835 Low

13/05/00 27,3 0,5 835 0,5 830 41 871 Low

14/05/00 27,49 0 871 0 871 46 917 Low

15/05/00 27,45 3,7 917 0 917 42 959 Low

16/05/00 26,27 3 959 3 929 34 963 Low

17/05/00 26,77 0 963 0 963 38 1001 Moderate

18/05/00 26,79 7,6 1001 2,6 975 34 1009 Moderate

19/05/00 26,89 13 1009 13 879 34 913 Low

20/05/00 26,52 11,7 913 11,7 796 38 834 Low

21/05/00 27,07 37 834 37 464 41 505 Low

22/05/00 24,8 0 505 0 505 42 547 Low

23/05/00 26,69 11,4 547 6,4 483 52 535 Low

24/05/00 26,83 3 535 3 505 52 557 Low

25/05/00 28,07 0,4 557 0,4 553 58 611 Low

26/05/00 27,6 3 611 3 581 54 635 Low

27/05/00 27,71 4,4 635 4,4 591 54 645 Low

28/05/00 27,58 5,4 645 5,4 591 54 645 Low

29/05/00 28,13 0 645 0 645 51 696 Low

30/05/00 28,57 3,6 696 0 696 60 756 Low

31/05/00 27,26 3,1 756 3,1 725 45 770 Low

01/06/00 25,63 3 770 3 740 40 780 Low

02/06/00 28,27 1,6 780 1,6 764 50 814 Low

03/06/00 28,93 0 814 0 814 51 865 Low

04/06/00 27,52 2,4 865 0 865 46 911 Low

05/06/00 27,95 2,8 911 2,8 883 42 925 Low

06/06/00 28 0 925 0 925 42 967 Low

07/06/00 28,18 2,9 967 0 967 42 1009 Moderate

08/06/00 26,67 2,9 1009 2,9 980 34 1014 Moderate

09/06/00 24 0 1014 0 1014 28 1042 Moderate

10/06/00 27,53 30 1042 30 742 34 776 Low

11/06/00 27,18 0 776 0 776 45 821 Low

12/06/00 27,07 0 821 0 821 41 862 Low

13/06/00 27,99 0 862 0 862 46 908 Low

14/06/00 29,9 8 908 8 828 52 880 Low

15/06/00 28,57 0 880 0 880 51 931 Low

16/06/00 25,92 12,1 931 7,1 860 34 894 Low

17/06/00 26,61 15,9 894 15,9 735 41 776 Low

(48)

19/06/00 27,18 0 658 0 658 49 707 Low

20/06/00 26,85 0 707 0 707 40 747 Low

21/06/00 26,33 0 747 0 747 40 787 Low

22/06/00 27,13 58 787 58 207 45 252 Low

23/06/00 26,67 0,3 252 0,3 249 63 312 Low

24/06/00 26,68 0 312 0 312 63 375 Low

25/06/00 25,13 0,5 375 0,5 370 48 418 Low

26/06/00 27,07 3 418 3 388 56 444 Low

27/06/00 28,07 3,3 444 3,3 411 62 473 Low

28/06/00 27,47 0 473 0 473 62 535 Low

29/06/00 27,81 6,6 535 6,6 469 58 527 Low

30/06/00 27,67 0,8 527 0,8 519 58 577 Low

01/07/00 27,5 0 577 0 577 58 635 Low

02/07/00 26,5 0 635 0 635 49 684 Low

03/07/00 26,67 0 684 0 684 49 733 Low

04/07/00 28,2 3 733 3 703 50 753 Low

05/07/00 28,53 5 753 5 703 55 758 Low

06/07/00 28,08 3,7 758 3,7 721 50 771 Low

07/07/00 28,17 2 771 2 751 50 801 Low

08/07/00 28,27 45 801 45 351 50 401 Low

09/07/00 29,86 2,3 401 2,3 378 76 454 Low

10/07/00 27,42 17 454 17 284 56 340 Low

11/07/00 27,65 1 340 1 330 66 396 Low

12/07/00 27,47 0 396 0 396 66 462 Low

13/07/00 26,87 0 462 0 462 56 518 Low

14/07/00 27,69 10,1 518 5,1 467 58 525 Low

15/07/00 27,84 3,3 525 3,3 492 58 550 Low

16/07/00 28,93 2 550 2 530 64 594 Low

17/07/00 27,92 0 594 0 594 58 652 Low

18/07/00 27,74 11,9 652 6,9 583 54 637 Low

19/07/00 26,89 23 637 23 407 49 456 Low

20/07/00 27,82 0 456 0 456 62 518 Low

21/07/00 27,96 0 518 0 518 58 576 Low

22/07/00 28,03 14 576 9 486 58 544 Low

23/07/00 28,14 6,4 544 6,4 480 58 538 Low

24/07/00 27,33 6 538 6 478 52 530 Low

25/07/00 29,03 21 530 21 320 64 384 Low

26/07/00 27,24 15 384 15 234 59 293 Low

27/07/00 27,33 0 293 0 293 63 356 Low

28/07/00 27,5 0 356 0 356 66 422 Low

29/07/00 28,33 0 422 0 422 62 484 Low

30/07/00 27,6 2,2 484 0 484 62 546 Low

31/07/00 27,86 3,5 546 0 546 58 604 Low

01/08/00 28,21 2,9 604 0 604 54 658 Low

02/08/00 28,3 0 658 0 658 54 712 Low

03/08/00 27,34 2,8 712 0 712 45 757 Low

04/08/00 24,1 6 757 1 747 36 783 Low

05/08/00 25,47 0,9 783 0,9 774 40 814 Low

06/08/00 25,8 0 814 0 814 37 851 Low

07/08/00 26,81 6,1 851 1,1 840 41 881 Low

08/08/00 28,04 3,1 881 3,1 850 46 896 Low

09/08/00 27,27 0,8 896 0,8 888 41 929 Low

10/08/00 29,13 0 929 0 929 47 976 Low

11/08/00 25,6 8 976 3 946 34 980 Low

12/08/00 26,27 76 980 76 220 34 254 Low

13/08/00 27,3 15,1 254 15,1 103 63 166 Low

14/08/00 27,53 16,9 166 16,9 -3 74 71 Low

(49)

16/08/00 27,19 7,7 -14 2,7 -41 70 29 Low

17/08/00 27,3 0 29 0 29 70 99 Low

18/08/00 26,91 11 99 6 39 70 109 Low

19/08/00 27,1 33,4 109 28,4 -175 67 0 Low

20/08/00 25,94 0 -108 0 -108 63 0 Low

21/08/00 26,09 0 -45 0 -45 63 18 Low

22/08/00 26,07 11,7 18 6,7 -49 63 14 Low

23/08/00 26,19 16,9 14 11,9 -105 63 0 Low

24/08/00 26,18 7,2 -42 2,2 -64 63 0 Low

25/08/00 24,84 0 -1 0 -1 57 56 Low

26/08/00 27,11 9,6 56 4,6 10 70 80 Low

27/08/00 25,7 20,1 80 15,1 -71 63 0 Low

28/08/00 27,07 18,2 -8 13,2 -140 70 0 Low

29/08/00 26,32 5,6 -70 0,6 -76 63 0 Low

30/08/00 25,88 0 -13 0 -13 63 50 Low

31/08/00 25,69 5,2 50 0,2 48 63 111 Low

01/09/00 26,26 8,2 111 3,2 79 60 139 Low

02/09/00 27,27 11,1 139 6,1 78 67 145 Low

03/09/00 21 0 145 0 145 54 199 Low

04/09/00 26,05 7,4 199 2,4 175 63 238 Low

05/09/00 23,69 3,8 238 0 238 51 289 Low

06/09/00 27,41 4,6 289 0 289 63 352 Low

07/09/00 27,03 4,5 352 0 352 59 411 Low

08/09/00 26,68 4,9 411 0 411 56 467 Low

09/09/00 26,56 7,2 467 2,2 445 56 501 Low

10/09/00 28,33 0 501 0 501 58 559 Low

11/09/00 28,05 6,4 559 1,4 545 58 603 Low

12/09/00 25,54 3,6 603 0 603 44 647 Low

13/09/00 26,07 7 647 2 627 44 671 Low

14/09/00 26,67 0 671 0 671 49 720 Low

15/09/00 26,87 4,6 720 0 720 45 765 Low

16/09/00 26,89 8 765 3 735 45 780 Low

17/09/00 27,51 7,9 780 2,9 751 50 801 Low

18/09/00 26,82 5 801 0 801 41 842 Low

19/09/00 29,5 0 842 0 842 56 898 Low

20/09/00 26,33 6,6 898 1,6 882 37 919 Low

21/09/00 25,67 0 919 0 919 34 953 Low

22/09/00 27,51 0 953 0 953 42 995 Low

23/09/00 27,47 0,5 995 0 995 42 1037 Moderate

24/09/00 27,34 3,3 1037 0 1037 34 1071 Moderate

25/09/00 27,58 4,9 1071 0 1071 38 1109 Moderate

26/09/00 28,47 0 1109 0 1109 38 1147 Moderate

27/09/00 28,93 0,3 1147 0 1147 38 1185 Moderate

28/09/00 26,56 1,4 1185 0 1185 31 1216 Moderate

29/09/00 25,4 44 1216 39 826 22 848 Low

30/09/00 27,58 7,5 848 2,5 823 46 869 Low

01/10/00 26,33 0 869 0 869 37 906 Low

02/10/00 27,07 11,5 906 6,5 841 38 879 Low

03/10/00 27,29 7,7 879 2,7 852 41 893 Low

04/10/00 25,13 0 893 0 893 33 926 Low

05/10/00 28,27 0 926 0 926 42 968 Low

06/10/00 25,98 10,4 968 5,4 914 34 948 Low

07/10/00 23,21 9,5 948 4,5 903 30 933 Low

08/10/00 26,67 8,8 933 3,8 895 38 933 Low

09/10/00 26,65 8,9 933 3,9 894 38 932 Low

10/10/00 26,96 7,5 932 2,5 907 38 945 Low

11/10/00 27,54 6,2 945 1,2 933 42 975 Low

(50)

13/10/00 28,03 0 952 0 952 42 994 Low

14/10/00 25,01 8,9 994 3,9 955 30 985 Low

15/10/00 26,97 53 985 48 505 38 543 Low

16/10/00 26,9 7 543 2 523 52 575 Low

17/10/00 27,12 11,9 575 6,9 506 52 558 Low

18/10/00 27,35 16,8 558 11,8 440 52 492 Low

19/10/00 27,92 14,8 492 9,8 394 58 452 Low

20/10/00 27,63 17,1 452 12,1 331 62 393 Low

21/10/00 27,74 19 393 14 253 66 319 Low

22/10/00 27,21 45,2 319 40,2 -83 66 0 Low

23/10/00 26,79 2,4 -17 0 -17 70 53 Low

24/10/00 28,3 0 53 0 53 78 131 Low

25/10/00 29,05 1,8 131 0 131 82 213 Low

26/10/00 27,84 4,1 213 0 213 70 283 Low

27/10/00 27,39 6,2 283 1,2 271 63 334 Low

28/10/00 28,07 0 334 0 334 66 400 Low

29/10/00 29,57 0 400 0 400 76 476 Low

30/1

Gambar

Gambar 1.  Segitiga Api (Clar dan Chatten, 1954)
Tabel 1. Faktor-faktor penyebab kebakaran hutan tahun 1997/1998 di Indonesia
Tabel 4. Penutupan Lahan Propinsi Jambi tahun 2002 dan tahun 2003
Gambar 2. Jumlah Titik Panas di Propinsi Jambi Tahun 2000-2004 (Sumber data titik panas: Satelit NOAA, FFMP2-PHKA / JICA)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa Penyelesaian utang piutang mura>bah}ah pada pembiayaan mikro di BRI Syariah Kantor Cabang Induk Gubeng Surabaya yaitu dengan

Program berita sore dipilih peneliti dengan pertimbangan bahwa berita yang disajikan masih baru yaitu berita-berita hasil liputan pada hari yang sama dengan waktu

Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam individu yang bersangkutan yang langsung mengenai saraf yang

Dengan kata lain, yang dimaksud dengan Standar Kompetensi adalah perumusan tentang kemampuan yang harus dimiliki seseorang untuk melakukan suatu tugas atau pekerjaan yang

Melalui diskusi kelompok dan menggali informasi dari kelompok lain dengan menggunakan media gambar, siswa dapat menyebutkan dan menjelaskan jenis-jenis perpindahan

Dengan menggunakan pendekatan kualitatif tersebut penulis melakukan penelitian untuk menghasilkan data deskriptif terkait dengan strategi rekrutmen kader yang diterapkan

yang dislenggarakan dalan rafgka peaksanaan Program Hbah Kompetisi A2 Batch rlllurusan Penddikan BiologiFMIPA UNY. Dada tanaqal30 september 2006

DEPARI'EMEN PENDIDIKAN NASIONAL. UNIVERSITAS