• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Kadar Adiponectin Pada Penderita Sindroma Metabolik Dengan Penderita Dm Tipe 2 Baru Penelitian Di Departemen / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Usu / RS H Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Kadar Adiponectin Pada Penderita Sindroma Metabolik Dengan Penderita Dm Tipe 2 Baru Penelitian Di Departemen / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Usu / RS H Adam Malik Medan"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN KADAR ADIPONECTIN PADA

PENDERITA SINDROMA METABOLIK DENGAN

PENDERITA DM TIPE 2 BARU

PENELITIAN DI DEPARTEMEN / SMF

ILMU PENYAKIT DALAM

FK USU / RS H ADAM MALIK MEDAN

JUNI 2007 – JULI 2008

TESIS

OLEH

SHAHRUL RAHMAN

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RS H ADAM MALIK / RSUD Dr PIRNGADI

(2)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, berkat rahmah, hidayah dan taufiq dari Allah SWT, saya dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul : “Perbandingan Kadar Adiponectin Pada Penderita Sindroma Metabolik Dengan Penderita DM Tipe 2 Baru“. Penelitian ini berlangsung sejak bulan Juni 2007 sampai Juli 2008. Tulisan ini dibuat sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan dokter spesialis dibidang Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesai dibuatnya karya tulis ini, maka penulis ingin menyampaikan terima kasih dan rasa hormat serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Dr Salli Rossefi Nasution SpPD-KGH, selaku Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan yang telah berkenan menerima saya untuk dapat mengikuti Program Dokter Spesialis sekaligus memberikan bimbingan selama penulis menjalani pendidikan.

2. Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Dalam Dr Zulhelmi Bustami SpPD-KGH dan Sekretaris Program Studi Ilmu Penyakit Dalam Dr Dharma Lindarto SpPD-KEMD yang dengan sungguh-sungguh telah membantu dan membentuk penulis menjadi ahli penyakit dalam yang berkualitas, handal dan berbudi luhur serta siap untuk mengabdi bagi nusa dan bangsa.

(3)
(4)

5. Para dewan penilai yang telah membantu dalam perbaikan dan penyempurnaan tesis ini.

6. Direktur RSUP H Adam Malik Medan dan RSUD Dr Pirngadi Medan yang telah memberikan begitu banyak kemudahan dan izin dalam menggunakan fasilitas dan sarana Rumah Sakit untuk menunjang pendidikan keahlian ini.

7. Kepada Direktur RSUD Tanjung Pura Dr Agusnadi Tala, SpA yang telah memberikan kesempatan kepada penulis bertugas sebagai Konsultan Penyakit Dalam RSUD Tanjung Pura dalam rangka pendidikan ini.

8. Kepada Kepala Dinas Kesehatan TK I Departemen Kesehatan RI Propinsi Sumatera Utara, Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan izin dan menerima saya, sehingga dapat mengikuti pendidikan keahlian ini.

9. Para pasien yang telah dengan ikhlas menjadi “guru” sehingga memungkinkan saya mencapai gelar dokter spesialis dibidang Ilmu Penyakit Dalam.

(5)

11. Khusus mengenai karya tulis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr Dharma Lindarto, SpPD-KEMD sebagai kepala divisi Endokrinologi dan Metabolik yang sekaligus sebagai pembimbing yang senantiasa tidak henti-hentinya memberi semangat dan memberi kemudahan seluas-luasnya selama penulis mengikuti pendidikan dan dalam melaksanakan penelitian ini sampai selesai dan juga penulis rasakan benar-benar dengan tulus membantu penulis menyelesaikan penelitian dan karya tulis ini, hanya doa yang dapat penulis berikan semoga kiranya Allah SWT memberikan kesehatan dan membalas kebaikan beliau serta keluarga dengan surga-Nya. Dan Dr Mardianto SpPD serta Dr Santi Syafril SpPD yang banyak memotivasi penulis untuk mengikuti pendidikan di bagian penyakit dalam dan membantu penulis dalam menyelesaikan tulisan ini sampai selesai

12. Kepada Drs Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes yang telah memberikan bantuan dan bimbingan yang tulus dalam menyelesaikan penelitian ini.

Pada kesempatan ini pula saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda H. Anwar Ul Haq dan Ibunda Hj Shamim Akhter

(6)

mengikuti pendidikan, sembari memanjatkan doa kepada Allah SWT semoga arwah ayah mertua mendapatkan tempat yang mulia disisi Allah SWT.

Khusus untuk istri tercinta dr Maiyuzalina, sulit rasanya memilih kata-kata yang tepat untuk menyampaikan rasa terima kasih atas segala kesabaran, keikhlasan serta pengorbanan yang telah diberikan selama ini selain syukurku kepada Allah SWT atas istri yang Engkau karuniakan bagiku, yang selalu menjadi pendorong dan teman paling setia dalam suka maupun duka serta selalu mendengarkan dan memberikan solusi yang baik dalam berbagai masalah yang dihadapi penulis.

Begitu juga untuk anak-anakku tersayang : Ahmad Mujahid Anwar,

Fatimah Zahra, dan Nabila Humairah yang merupakan tempat curahan kasih sayang penulis, pendorong setia dan pelipur lara bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan ini. Pesan abah untuk kalian rajin – rajinlah belajar semoga kalian akan menjadi anak yang bertaqwa dan semoga Allah SWT selalu memberikan yang terbaik bagi kita untuk menambah kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Kepada Kakak dan Abang : Hj Safina Anwar, Hj Yasmin Anwar, H Ahmad Zubair, H Shamsul Rahman, dan H Saiful Rahman, terima kasih atas bantuan dan pengertian selama ini, semoga kekerabatan yang telah terjalin selama ini akan semakin bertambah erat lagi dibawah lindungan Allah SWT. Begitu juga kepada seluruh keponakan tercinta, tiada kata yang terindah selain terima kasih atas dukungannya selama ini buat penulis.

(7)

dan ketulusan dari semua pihak yang telah membantu penulis sehingga penelitian dan tulisan ini dapat penulis selesaikan.

Medan, September 2008

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ... x

ABSTRAK ... xi

BAB I . PENDAHULUAN ... 1

BAB II . TINJAUAN KEPUSTAKAAN ... 5

2.1. SINDROMA METABOLIK ... 5

2.1.1. DEFENISI ... 5

2.1.2. KRITERIA ... 6

2.1.3. PREVALENSI... 8

2.1.4. PATOFISIOLOGI ... 9

2.1.5. PENATALAKSANAAN ... 10

2.2. ADIPONECTIN ... 13

2.2.1. PERAN ADIPONECTIN ... 14

2.2.1.1 Efek adiponectin pada fungsi dan struktur vaskuler ... 14

2.2.1.2 Efek anti inflamasi adiponectin ... 16

2.2.1.3 Efek adiponectin terhadap NO ... 17

2.3. SINDROMA METABOLIK dan ADIPONECTIN ... 17

BAB III PENELITIAN SENDIRI... 23

3.1. Latar Belakang Penelitian ... 23

3.2. Perumusan Masalah ... 25

3.3. Hipotesa ... 25

3.4. Tujuan Penelitian ... 25

(9)

3.6 Kerangka Konsepsional ... 26

3.7 Batasan – batasan Kerja ... 26

3.8 Bahan dan Cara ... 27

3.8.1. Desain Penelitian... 27

3.8.2. Waktu dan Tempat ... 27

3.8.3 Subjek Penelitian ... 27

3.8.4 Kriteria Inklusi ... 27

3.8.5 Kriteria Eksklusi ... 28

3.8.6 Besar sampel... 28

3.8.7 Prosedur Penelitian ... 28

3.8.8 Analisa Data ... 29

3.9 Kerangka Operasional... 30

BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 31

BAB V. PEMBAHASAN... 36

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 42

6.1 KESIMPULAN ... 42

6.2 SARAN ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 44

LAMPIRAN 1. MASTER TABEL... 52

LAMPIRAN 2. LEMBAR PENJELASAN CALON SUBYEK PENELITIAN ... 54

LAMPIRAN 3. INFORMED CONSENT ... 55

LAMPIRAN 4. STATUS PENELITIAN... 56

LAMPIRAN 5. PERSETUJUAN KOMITE ETIK ... 57

LAMPIRAN 6. DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... 58

6.1 DATA PRIBADI ... 58

6.2 RIWAYAT PENDIDIKAN ... 58

(10)

6.4 KEANGGOTAAN PROFESI ... 59

6.5 KARYA ILMIAH DI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM ... 59

6.6 PENGHARGAAN DI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM... 59

(11)

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR

Tabel 1 : Karakteristik subjek penelitian... 31 Tabel 2 : Perbandingan karakteristik sampel antara penderita

sindroma metabolik dan naive DM ... 32 Tabel 3 : Perbandingan karakteristik sampel pada kadar adiponectin

rendah dan normal pada penderita sindroma metabolik dibandingkan dengan penderita naive DM... 33 Tabel 4 : Perbandingan kadar adiponectin berdasarkan komponen sindroma metabolik pada penderita sindroma metabolik... 34 Tabel 5 : Korelasi adiponectin dengan variabel-varaibel yang diukur

pada peserta studi... 35

Gambar 1 : Mekanisme molekuler dari fungsi-fungsi anti aterogenik adiponectin... 14 Gambar 2 : Penekanan proses aterosklerosis yang dilakukan oleh adiponectin... 15 Gambar 3 : Adiponectin dapat mengaktivasi AMPK dan PPAR di hati

dan otot polos... 19 Gambar 4 : Konsep sindroma metabolik. Pentingnya akumulasi lemak

(12)

Abstract

The Comparison of Adiponectin Level between Metabolic Syndrome Patients and Naïve Type 2 Diabetic Patients Division of Endocrinology and Metabolic, Department Internal Medicine, Faculty of Medicine, University of Sumatera Utara, H. Adam Malik General

Hospital, Medan-Indonesia.

Shahrul Rahman*, Dharma Lindarto**

Background : Adiponectin has been known to have an anti inflammation effect which prevent atherogenesis process. Both in metabolic syndrome and diabetic patients already recognize if level adiponectin serum is lower than normal.

Objective : This study is meant to show the adiponectin concentration in metabolic syndrome which compared to naïve type 2 diabetic

Methods : We conducted the adiponectin serum level cross sectionals from 16 metabolic syndrome patients (criteria from IDF 2005) and 16 naïve type 2 diabetic patients (criteria from WHO). For comparison adiponectin level between metabolic syndrome and diabetic patient were used t independent if the distribution were normal. If not, used Mann Whitney test. Significant if p<0.05. Statistic analysis using SPSS 13.0.

Result : The adiponectin serum level in metabolic syndrome patients is lower compared to naïve type 2 diabetic patients but the differences is not statistically significant (3.7413 ± 1.61 vs 4.7538 ± 2.09; p= 0.135). The adiponectin level has negative correlation with waist circumference (r= -0.373, p= 0.035), white blood cell (r= -0.39, p= 0.027) and positive correlation with HDL cholesterol (r= +0.457, p= 0.009).

Conclusion :There was no significant differences of adiponectin level between metabolic syndrome and naïve type 2 diabetic, level adiponectin not only determined by blood glucose. The adiponectin serum is important marker, which can be used to measure inflammation level.

Keyword : Adiponectin, metabolic syndrome, naïve type 2 diabetes, inflammation.

* Residence of Department Internal Medicine, Faculty of Medicine, University of Sumatera Utara, H. Adam Malik General Hospital, Medan-Indonesia.

(13)

Abstrak

PERBANDINGAN KADAR ADIPONECTIN PADA PENDERITA SINDROMA METABOLIK DENGAN

PENDERITA DM TIPE 2 BARU

Shahrul Rahman*, Dharma Lindarto**

Divisi Endokrin & Metabolik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUSU / RSUP.H.Adam Malik

Latar belakang : Adiponectin telah diketahui memiliki efek anti inflamasi yang berperan dalam pencegahan aterogenesis. Pada penderita sindroma metabolik (SM) maupun penderita diabetes mellitus (DM) telah diketahui jika kadar adiponectin lebih rendah dibanding normal.

Tujuan : Studi ini untuk mengetahui kadar adiponectin pada penderita SM dibandingkan dengan penderita DM tipe 2 baru

Metode : Dilakukan pemeriksaan kadar adiponectin serum secara potong lintang pada 16 penderita SM (kriteria IDF 2005) dan 16 penderita DM tipe 2 baru (kriteria WHO). Untuk membandingkan kadar adiponectin antara kelompok SM dan DM tipe 2 digunakan uji t independen jika data kedua kelompok berdistribusi normal. Jika sebaliknya digunakan uji Mann Whitney. Dikatakan bermakna bila p<0,05. Analisa statistik menggunakan SPSS versi 13.0

Hasil : Kadar adiponectin serum pada penderita SM lebih rendah dibandingkan dengan penderita DM tipe 2 baru tetapi perbedaannya tidak bermakna secara statistik (3.7413 ± 1.61 vs 4.7538 ± 2.09; p= 0.135). Kadar adiponectin mempunyai korelasi negatif dengan lingkar pinggang (r= -0.373, p= 0.035), lekosit (r= -0.39, p= 0.027) dan mempunyai korelasi yang positif dengan HDL kolesterol (r= +0.457, p= 0.009).

Kesimpulan : Tidak dijumpai perbedaan yang bermakna antara kadar adiponectin penderita SM dibandingkan dengan penderita DM tipe 2 yang baru, kadar adiponectin bukan saja ditentukan oleh nilai kadar gula darah. Adiponectin serum merupakan petanda penting yang dapat digunakan untuk menilai derajat inflamasi.

Kata kunci : Adiponectin, sindroma metabolik, DM tipe 2 baru, derajat inflamasi

* PPDS Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP.H. Adam Malik. Medan- Indonesia

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit kardiovaskuler adalah penyebab kematian nomor satu diantara

pasien dengan diabetes, dan pencegahannya adalah merupakan

langkah utama pada penatalaksanaan diabetes pada saat ini. Para ahli

diabetes telah lama mengetahui bahwa keadaan komorbid seperti

obesitas, hipertensi dan hiperlipidemia pada pasien DM tipe 2 mereka

perlu diobati untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Kelompok dari

resistensi insulin, obesitas, hipertensi dan dislipidemia disebut juga

“sindroma metabolik”.1

Sindroma metabolik merupakan kumpulan dari faktor-faktor resiko

yang dapat memprediksi perkembangan dari penyakit kardiovaskuler dan

DM tipe 2 pada dewasa. Kumpulan faktor resiko ini terdiri dari :

atherogenic dyslipidemia, hipertensi, intoleransi terhadap glukosa,

keadaan proinflamasi dan protrombotik. Atherogenic dyslipidemia adalah

merupakan keadaan yang meliputi peningkatan trigliserida dan

apolipoprotein B, peningkatan partikel-partikel kecil LDL (small LDL) dan

penurunan HDL. Walaupun patofisiologi yang mendasari terjadinya

sindroma metabolik masih belum jelas, tapi resistensi insulin diduga

merupakan abnormalitas sentral dalam patogenesis sindroma

metabolik.2,3

Obesitas telah lama diketahui sebagai faktor resiko utama untuk

(15)

dengan diabetes ini mulai dapat dijelaskan. Jaringan adipose bukan saja

berfungsi sebagai organ penyimpan energi tetapi juga sebagai organ

sekresi. Protein – protein yang dihasilkan oleh jaringan adipose,

kebanyakan bersifat proinflamasi, dapat menerangkan hubungan antara

obesitas dengan resistensi insulin, DM tipe 2 dan penyakit

aterosklerosis.4,5

Adiponectin, salah satu protein yang disekresikan oleh jaringan

adipose, memiliki efek anti inflamasi dan metabolik yang penting dalam

peranan untuk mencegah perkembangan diabetes. Beberapa studi

mendapatkan bahwa adiponectin merupakan petanda prediktif penting

untuk sindroma metabolik. Kadar adiponectin plasma yang rendah juga

merupakan prediktif untuk resistensi insulin dan DM tipe 2 pada individu

dewasa.2,4

Hipoadiponectinemia berhubungan dengan resistensi insulin,

dimana peningkatan dari kadar adiponectin yang beredar di sirkulasi akan

memperbaiki kadar glukosa dan meningkatkan oksidasi asam lemak.

Adiponectin dapat dipertimbangkan sebagai petanda untuk sensitivitas

insulin dan pada studi – studi prospektif didapat bahwa

hipoadiponectinemia dapat memprediksi insiden dari DM tipe 2 dan

penyakit arteri koroner. Sebagai tambahan dari kemampuan adiponectin

memperbaiki sensitivitas insulin, hubungan antara adiponectin dan

inflamasi kronis, yang merupakan karakteristik dari obesitas, DM tipe 2

dan penyakit kardiovaskuler, juga sudah diteliti. Secara in vitro,

(16)

pada sel – sel endotel, mengganggu fungsi makrofag dan sekresi sitokin

dari adiposit.6

Engeli S dkk mendapatkan hubungan antara penurunan kadar

adiponectin plasma dan peningkatan dari level-level hs-CRP (r = -0.32, p

<0.05) dan IL-6 plasma (r = -0.51, p <0.001). hs-CRP adalah petanda awal

dari kerusakan vaskular dan merupakan prediktif yang kuat untuk

menunjukkan kejadian kardiovaskular pada masa mendatang.7

Matsuzawa Y dkk mengemukakan bahwa adiponectin mempunyai

peran yang penting dalam pencegahan sindroma metabolik.

Hipoadiponectinemia yang bersamaan dengan peningkatan dari TNF-α

atau PAI-1 mengakibatkan akumulasi dari visceral obesitas dan

merupakan dasar utama dari perubahan vaskular seperti pada kelainan

metabolik, termasuk resistensi insulin, yang merupakan karakteristik dari

sindroma metabolik.8

Ada beberapa studi yang telah dilakukan untuk menilai kadar

adiponectin pada penderita sindroma metabolik. Pada studi yang

dilakukan oleh Esposito dkk pada tahun 2006 didapati penurunan kadar

adiponectin pada penderita dengan sindroma metabolik dibandingkan

dengan yang tidak menderita sindroma metabolik (5.3 vs 8.7, p 0.01). Hal

yang sama juga didapat oleh Langenberg dkk (8.15 vs 12.57, p <0.0001)

dan Koh dkk (3.21 vs 3.54, p <0.05).9-11

Pada studi yang dilakukan oleh Daimon dkk pada tahun 2003 didapati

penurunan kadar adiponectin pada penderita diabetes dibandingkan

(17)

<0.001) . Hal yang sama juga didapat oleh Nakashima dkk (9.47 ± 0.48 vs

11.69 ± 0.25, p<0.001) dan Hotta dkk (6.6 ± 0.4 vs 7.9 ± 0.5, p<0.001).12-14

Berdasarkan uraian diatas sampai saat ini sepanjang pengetahuan

penulis, penelitian tentang kadar adiponectin pada penderita sindroma

metabolik dan DM tipe 2 baru belum pernah diteliti. Oleh karenanya

penulis berminat meneliti tentang kadar adiponectin pada penderita

sindroma metabolik dan penderita DM tipe 2, terutama penderita DM tipe

(18)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Sindroma Metabolik (SM)

2.1.1 Defenisi

Walaupun sindroma metabolik (SM) ini relatif konsep yang baru,

tetapi penelitian terhadap kelompok individu yang mempunyai faktor-faktor

resiko kardiovaskuler merupakan usaha yang sudah lama. Pada tahun

1920-an, peneliti-peneliti melaporkan kejadian dari hiperglikemia,

hipertensi dan hiperurisemia pada beberapa grup dari individu-individu

tertentu. Pada tahun 1960-an, obesitas dan hiperlipidemia ditambah ke

kelompok ini.3

Kemudian pada tahun 1988, Gerald Reaven secara sistematis

memperkenalkan istilah sindroma metabolik atau syndrome X yang terdiri

dari gabungan gejala seperti hipertensi, obesitas central, dislipidemia,

dengan atau tanpa hiperglikemia. Sebelumnya, Framingham study pada

tahun 1970 dan Scandanavian studies pada tahun 1980 sudah

menyebutkan gejala-gejala diatas.15

Pada tahun 1999, WHO memperkenalkan defenisi dari sindroma

metabolik. Ada 2 hal penting yang diterangkan oleh WHO pada deskripsi

dari defenisi sindroma metabolik, yaitu :15

- Setiap komponen dari sindroma metabolik akan menyebabkan

peningkatan resiko kardiovaskuler dan dengan kombinasi, resiko

(19)

- Gambaran dari sindroma metabolik dapat dijumpai untuk lebih dari

10 tahun sebelum terdeteksinya kelainan glikemik.

Menurut National Cholesterol Education Program Expert Panel on

Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults

Treatment Panel III (NCEP ATP III) tahun 2001, sindroma metabolik

adalah sekelompok kelainan metabolik baik lipid maupun non-lipid yang

merupakan faktor resiko penyakit jantung koroner, yang terdiri atas

obesitas sentral, dislipidemia aterogenik (kadar trigliserida meningkat dan

kadar kolesterol high-density lipoprotein (HDL) rendah), hipertensi, dan

glukosa plasma puasa yang abnormal.16

2.1.2 Kriteria

Beberapa grup, seperti World Health Organization (WHO) dan

NCEP ATP III, mempublikasikan defenisi klinis dari sindroma metabolik

yang diharapkan dapat digunakan dalam menegakkan diagnosa terhadap

pasien. Hal ini diikuti dengan pembuatan kode diagnostik International

Classification of Diseases (277.7) untuk sindroma metabolik.3

Pada tahun 1999, WHO mempublikasikan kriteria dari sindroma

metabolik. Kriteria WHO ini merekomendasikan penanganan yang lebih

dini dari sindroma ini untuk pencegahan efek kardiovaskuler yang

merugikan. Perhatian diletakkan pada deteksi dari resistensi insulin, yang

membutuhkan baik pengukuran langsung maupun tidak langsung dari

sensitivitas insulin untuk diagnosis.17

Kriteria diagnostik untuk sindroma metabolik berdasarkan WHO :

(20)

toleransi glukosa terganggu, hiperinsulinemik) ditambah 2 dari berikut :

hipertensi (TD ≥ 140/90 mmHg), trigliserida ≥ 150 mg/dl atau kolesterol

HDL < 35 mg/dl pada pria atau < 39 mg/dl pada wanita, BMI > 30 kg/m2

dan atau rasio pinggang – pinggul > 0.9 inci pada pria atau > 0.85 inci

pada wanita, mikroalbuminuria.17

NCEP ATP III mengemukakan kriteria sindroma metabolik pada

tahun 2001, yang kemudian direvisi pada tahun 2005.

Sekurang-kurangnya 3 dari 5 faktor resiko kardiovaskuler yang telah diketahui harus

dijumpai untuk menegakkan diagnosa. Penekanan pada kriteria ini

diberikan terhadap obesitas abdominal yang diukur dengan menggunakan

lingkar pinggang.18,19

Kriteria diagnostik untuk sindroma metabolik berdasarkan NCEP

ATP III : Sekurang-kurangnya dijumpai 3 dari 5 kriteria yaitu : lingkar

pinggang pria ≥ 102 cm (≥ 40 inci) atau wanita ≥ 88 cm (≥ 35 inci),

trigliserida ≥ 150 mg/dl, kolesterol HDL pria < 40 mg/dl atau wanita < 50

mg/dl, hipertensi (tekanan darah ≥ 130/85 mmHg) atau mendapat

pengobatan anti hipertensi, kadar gula darah puasa ≥ 100 mg/dl.19

Pada tahun 2003, American Academy of Clinical Endocrinologists

(AACE) memberikan kriteria untuk sindroma resistensi insulin. AACE

memilih istilah ini untuk memfokuskan kembali diskusi terhadap

patogenesis yang mendasari resistensi insulin dan hiperinsulinemia.20

Kriteria diagnostik untuk sindroma metabolik berdasarkan AACE :

kadar gula darah 2 jam pasca pembebanan > 140 mg/dl, kadar gula darah

(21)

HDL pria < 40 mg/dl atau wanita < 50 mg/dl, hipertensi (tekanan darah ≥

130/85 mmHg). Faktor-faktor lain yang berhubungan : riwayat keluarga

DM tipe 2, hipertensi atau penyakit kardiovaskuler, PCOS, kebiasaan

hidup yang tidak sehat, grup-grup etnik beresiko tinggi, NAFLD,

acanthosis nigricans.20

Kemudian, kriteria dari International Diabetes Federation (IDF) 2005

mensyaratkan : adanya obesitas sentral, pada laki-laki bila lingkaran

perutnya > 90 cm dan pada wanita > 80 cm ditambah 2 dari :21

a. Trigliserid ≥ 150 mg/dl (1.7 mmol/l) atau mendapat obat untuk

kelainan lipid.

b. HDL untuk laki-laki < 40 mg/dl (1.03 mmol/l) dan untuk wanita < 50

mg/dl (1.29 mmol/l) atau mendapat pengobatan untuk kelainan lipid

c. TD ≥ 130/85 mmHg atau mendapat pengobatan antihipertensi

d. KGD puasa ≥ 100 mg/dl (5.6 mmol/l) atau sebelumnya telah

didiagnosa menderita diabetes

2.1.3 Prevalensi

Prevalensi sindroma metabolik di Amerika 23,7%. Prevalensi pada

pria 24% dan pada wanita 23,4%. Prevalensi meningkat dari 6,7% pada

kelompok usia 20-29 tahun menjadi 43,5% pada kelompok usia 60-69

tahun dan 42% pada usia lebih dari 70 tahun. Menurut catatan dari Adult

Treatment Panel III (ATP III) pada pria dan wanita Arab Amerika pada usia

20-49 tahun berturut-turut adalah 17% dan 15%, dan pada usia 50-75

tahun 37% dan 61%. Prevalensi sindroma metabolik juga meningkat

(22)

Pada penelitian Framingham hanya 3% sukarelawan dengan BMI < 25

kg/m2 yang memiliki kadar adiponectin rendah dibandingkan dengan 32%

dari sukarelawan dengan BMI > 25 kg/m2.22,23

Prevalensi sindroma metabolik pada kelompok masyarakat golongan

sosial ekonomi menengah keatas yang diwakili oleh para staf / karyawan

menengah keatas PTP IV Pabatu Sumatera Utara, didapat sebesar 36.8%

(38.12% pria dan 16.67% wanita) dengan prevalensi tertinggi terdapat

pada grup dengan usia 51-60 tahun. Sindroma metabolik lebih sering

dijumpai pada penderita DM dibandingkan dengan yang non DM (82.9%

vs 31.9%).24

2.1.4 Patofisiologi

Patofisiologi dari sindroma metabolik masih merupakan perdebatan.

Studi-studi sebelumnya mendapatkan bahwa resistensi insulin mempunyai

peran yang sangat penting. Tetapi, penelitian yang baru mendapatkan

bahwa adiposit visceral merupakan prediktor yang bermakna dari

sensitivitas insulin, toleransi glukosa terganggu, peningkatan tekanan

darah dan dislipidemia yang terdapat pada sindroma metabolik.

Prevalensi yang tinggi dari sindroma metabolik mempunyai implikasi yang

bermakna dari kesehatan masyarakat oleh karena peningkatan dari resiko

penyakit jantung koroner sampai dua kali, peningkatan resiko kematian

oleh karena penyakit jantung koroner sampai 3-4 kali dan resiko

perkembangan DM tipe 2 menjadi 6 kali.25

Resistensi insulin telah diketahui akan membuat berbagai

(23)

hipertensi, gangguan glikemia, dan lain-lain sehingga akan menghasilkan

peningkatan resiko untuk kumpulan kondisi-kondisi klinis seperti DM tipe

2, penyakit kardiovaskuler, hipertensi esensial, polycystic ovarian

syndrome (PCOS), non alcoholic fatty liver disease (NAFLD), penyakit

batu empedu , kanker (seperti kanker payudara), dan sleep apnea.3

Istilah “Sindroma X” yang dahulu digunakan lebih difokuskan

terhadap penyakit kardiovaskuler, tetapi saat ini telah diketahui bahwa

resistensi insulin berimplikasi terhadap perkembangan PCOS, NAFLD,

kanker payuudara dan kondisi-kondisi lain. Secara singkat, dapat

diterangkan mengapa seorang individu yang gemuk dan resisten insulin

lebih sering untuk dijumpainya peningkatan enzim transaminase hati

(NAFLD), siklus menstruasi yang tidak reguler (PCOS), keadaan pro

inflamasi yang diketahui dengan peningkatan kadar C-reactive protein dan

mempunyai resiko untuk berkembangnya beberapa jenis kanker.3

2.1.5 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dari sindroma metabolik ada 2 kelompok yaitu : 18

- Pengobatan penyebab dasar :

- penatalaksanaan berat badan secara intensif

- peningkatan aktivitas fisik

- Pengobatan faktor – faktor resiko lipid dan non lipid jika tidak ada

perubahan dengan terapi gaya hidup :

(24)

- penggunaan aspirin untuk penderita penyakit jantung koroner

untuk mengurangi keadaan protrombotik

- pengobatan peningkatan trigliserida dan atau HDL yang rendah

Pemahaman tentang hubungan antara obesitas dan sindroma

metabolik serta peranan otak dalam pengaturan energi, merupakan titik

tolak yang penting dalam penatalaksanaan klinik. Pengaturan berat badan

merupakan dasar tidak hanya bagi obesitas tapi juga sindroma metabolik.

Penurunan berat badan 5-10% sudah dapat memberikan perbaikan profil

metabolik. Penanganannya yang terintegrasi dalam pengelolaan berat

badan mencakup diet, aktivitas fisik dan yang terpenting adalah

perubahan perilaku. Obat-obatan dapat diberikan sebagai bagian

pengaturan berat badan. Dua obat yang dapat digunakan dalam

menurunkan berat badan adalah sibutramin dan orlistat.26

STORM (Sibutramine Trial in Obesity Reduction and Maintenance)

Study yang melibatkan 605 pasien obese untuk periode 6 bulan

pengurangan berat badan dengan sibutramin mendapatkan bahwa

sibutramin dapat mencapai target pengurangan berat badan,

mempertahankan penurunan berat badan, mengurangi lingkar pinggang,

dan mengurangi keadaan-keadaan komorbid (peningkatan HDL kolesterol

20.7%; penurunan trigliserida 25%; penurunan VLDL 23.5%; C-peptide

dan asam urat).27

Intoleransi glukosa merupakan salah satu manifestasi sindroma

(25)

penelitian yang ada menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara

toleransi glukosa terganggu (TGT) dan resiko kardiovaskular pada

sindroma metabolik dan diabetes. Perubahan gaya hidup dan aktivitas

fisik yang teratur telah terbukti efektif dapat menurunkan berat badan dan

TGT. Modifikasi diet secara bermakna memperbaiki glukosa 2 jam pasca

prandial dan kadar insulin.26

Tiazolidindion memiliki pengaruh yang ringan tetapi persisten dalam

menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik. Tiazolidindion dan

metformin juga dapat menurunkan kadar asam lemak bebas. Pada

Diabetes Prevention Program, penggunaan metformin dapat mengurangi

progresi diabetes sebesar 31% dan efektif pada pasien muda dengan

obesitas.26

Studi yang dilakukan oleh Yokoyama, dkk mendapati bahwa latihan

fisik dapat meningkatkan kadar adiponectin yang seiring dengan

penurunan berat badan atau massa lemak.28

Pilihan terapi untuk dislipidemia adalah perubahan gaya hidup yang

diikuti dengan medikasi. Namun demikian, perubahan diet dan latihan

jasmani saja tidak cukup berhasil mencapai target. Oleh karena itu,

disarankan untuk memberikan obat berbarengan dengan perubahan gaya

hidup. Terapi dengan gemfibrozil tidak hanya memperbaiki profil lipid

tetapi juga secara bermakna dapat menurunkan risiko kardiovaskular.

Fenofibrat yang secara khusus digunakan untuk menurunkan trigliserida

dan meningkatkan kolesterol HDL, juga telah menunjukkan perbaikan

(26)

Fenofibrat juga dapat menurunkan kadar fibrinogen. Kombinasi antara

fenofibrat dan statin juga dapat memperbaiki kadar trigliserida, kolesterol

HDL dan LDL.26

2.2 Adiponectin

Adiponectin, yang dikenal sebagai komplemen adiposit yang

berhubungan dengan protein dari 30 kDa (ACRP 30), adipoQ, adipose

yang memiliki banyak gene transcript 1 (apM1) dan protein yang berikatan

dengan gelatin dari 28 kDa (GBP28), adalah suatu adiposit yang spesifik,

protein yang dikeluarkan yang berperan dalam homeostasis glukosa dan

lemak.29

Kadar adiponectin berhubungan terbalik dengan persen lemak

tubuh, distribusi lemak sentral, insulin plasma puasa dan toleransi glukosa

oral. Kadar adiponectin juga diketahui rendah secara bermakna pada

pasien dengan penyakit arteri koroner.30

Ekspresi dan sekresi dari adipose meningkat oleh insulin like growth

factor-1, ionomycin dan aktivasi dari peroxisome proliferator-activated

receptor (PPAR)-γ, dan menurun oleh TNF-α, glukokortikoid, agonis dari

β-adrenergic dan cAMP. Reseptor adiponectin telah dilaporkan

diekspresikan pada otot skletal sebagai Adipo R1 dan di hati sebagai

Adipo R2.31

Pada penelitian terdahulu dijumpai bahwa konsentrasi adiponectin

(27)

testosteron. Tetapi penelitian yang dilakukan oleh Fernandez-Real dkk

mendapatkan kadar adiponectin yang beredar disirkulasi lebih tinggi pada

wanita.32

2.2.1 Peran Adiponectin

2.2.1.1 Efek adiponectin pada fungsi dan struktur vaskuler

Studi yang dilakukan baik terhadap manusia maupun hewan telah

menunjukkan hubungan antara kadar adiponectin yang beredar dan fungsi

endotel. Pada manusia dijumpai banyak faktor-faktor ofensif yang ada,

termasuk LDL yang teroksidasi, stimulus inflamasi dan zat-zat kimia yang

dapat menyebabkan cedera vaskuler. Pada saat yang bersamaan,

adiponectin yang disekresikan dari jaringan adipose dapat masuk ke

arteri-arteri yang cedera dan melindungi perubahan vaskuler aterogenik

untuk berkembang (Gambar-1). Oleh karena itu, adiponectin dapat

digambarkan seperti pemadam kebakaran yang dapat memadamkan api

dari dinding vaskuler ketika apinya masih kecil. Bila level adiponectin pada

seseorang berkurang, maka api yang kecil dapat berkembang menjadi

(28)

Gambar-1. Mekanisme molekuler dari fungsi-fungsi anti aterogenik

adiponectin (Dikutip dari8)

Adiponectin telah dilaporkan mempunyai efek anti aterosklerotik

yang langsung. Konsentrasi dari adiponectin secara fisiologi telah

ditunjukkan dapat menghambat ekspresi dari molekul-molekul adhesi

secara nyata, yang mana molekul-molekul adhesi merupakan salah satu

faktor penyebab aterosklerosis, termasuk intracellular adhesion molecule

-1, vascular cellular adhesin molecule-1 dan E-selectin. (Gambar-2).

Adiponectin juga dapat menghambat aktivasi dari TNF-α, yang mungkin

merupakan mekanisme molekuler utama untuk penghambatan dari

pelekatan monosit ke sel-sel endotel. Adiponectin juga dapat menghambat

proliferasi dan migrasi dari sel-sel otot polos. Adiponectin juga

menghambat ekspresi reseptor kelas A-1 makrofag, yang menyebabkan

penurunan ambilan dari LDL yang teroksidasi oleh makrofag dan

(29)

kompetisi dari ikatan pada reseptor adiponectin dan penghambatan signal

transduksi melalui extracellular signal related kinase (ERK).5,33-35

Gambar-2. Penekanan proses aterosklerosis yang dilakukan oleh

adiponectin(Dikutip dari 35)

2.2.1.2 Efek anti inflamasi adiponectin

Sejalan dengan efek protektif terhadap penyakit makrovaskuler,

studi-studi in vitro telah mendapatkan hubungan langsung adiponectin

terhadap fungsi vaskuler dan sel-sel inflamasi, termasuk menghilangkan

efek-efek TNF-α yang mengganggu pada fungsi endotel. Efek anti

inflamasi adiponectin juga termasuk supresi dari pembentukan koloni

leukositik, reduksi dari aktivitas fagosit dan reduksi sekresi TNF-α dari

(30)

2.2.1.3 Efek adiponectin terhadap NO

Salah satu fungsi utama dari sel-sel endotel adalah untuk

menghasilkan NO. Efek yang bermanfaat dari adiponectin terhadap

pembuluh darah telah diduga berhubungan dengan meningkatkan

pembentukan NO. Pada studi yang dilakukan terhadap efek dari LDL yang

teroksidasi pada sel-sel endotel, adiponectin dapat meningkatkan

pembentukan NO dengan memperbaiki supresi dari aktivitas endothelial

NO synthase (eNOS) pada LDL yang teroksidasi.30,36

2.3 Sindroma metabolik dan adiponectin

Setiap rangsangan yang dapat meningkatkan stres oksidatif akan

mengakibatkan gangguan pada endotel atau disfungsi endotel. Terjadinya

disfungsi endotel akan mengakibatkan pelepasan berbagai zat dari sel

endotel sendiri. Salah satu kelainan yang akan terjadi pada dinding

pembuluh darah adalah proses inflamasi. Pada saat ini petanda inflamasi

yang paling sering dipakai adalah pemeriksaan hs-CRP. Banyak

penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa ada hubungan antara

hs-CRP dan berbagai faktor resiko penyakit arteri koroner seperti

merokok, hipertensi, kadar kolesterol dan DM.16

Sindroma metabolik yang pada umumnya disebabkan oleh resistensi

insulin, dapat menyebabkan terjadinya disfungsi endotel yang

menghasilkan berbagai faktor pro inflamasi yang akan merangsang

(31)

Atherosclerosis study menemukan bahwa ada korelasi antara kadar

hs-CRP dan jumlah komponen sindroma metabolik pada seseorang. Makin

banyak komponen sindroma metabolik yang dimiliki seseorang maka akan

semakin tinggi kadar hs-CRP.37

Apabila dibandingkan antara mereka yang dengan sindroma

metabolik disertai kadar hs-CRP ≥ 3 mg/dl terlihat bahwa mereka dengan

sindroma metabolik disertai kadar hs-CRP ≥ 3 mg/dl merupakan prediktor

kuat baik untuk kematian karena kardiovaskuler dan non-fatal infark

miokard akut maupun kejadian DM baru.38

Hasil dari studi yang dilakukan oleh Hayashi dkk mendapatkan

bahwa tekanan darah yang tinggi berhubungan dengan peningkatan

resiko untuk DM tipe 2 pada 7.514 pemuda Jepang yang berusia 35-60

tahun. Kemudian studi yang dilakukan oleh Kazumi dkk mendapatkan

bahwa pemuda sehat dengan tekanan darah normal tinggi mempunyai

kadar adiponectin yang rendah dibandingkan dengan mereka yang

mempunyai tekanan darah yang normal.39,40

Adiponectin, sebuah hormon adiposit, telah ditunjukkan berperan

pada sensitivitas insulin, anti aterogenik dan anti inflamasi. Level

adiponectin pada manusia tinggi, berkisar antara 5-10 μg/ml.41,42

Obesitas berhubungan dengan abnormalitas metabolik yang dapat

meningkatkan resiko dari Diabetes Mellitus tipe 2 dan penyakit

kardiovaskuler. Jaringan adipose telah diketahui selain berfungsi untuk

(32)

banyak memiliki molekul aktif. Adiponectin telah diketahui berkurang pada

subjek dengan obesitas.43,44 Selain dari itu level adiponectin juga diketahui

menurun pada resisten insulin, DM tipe 2 dan dislipidemia. Beberapa

studi yang telah dilakukan pada hewan dan manusia mendapatkan bahwa

adiponectin dapat meningkatkan sensitivitas insulin, mempunyai efek anti

inflamasi dan anti atherogenic dan dapat memperbaiki profil lemak.7,45

Hubungan kuat yang dijumpai antara adiponectin dan sensitivitas

insulin sistemik telah didapat baik secara in vivo maupun in vitro pada

tikus, hewan-hewan lain, dan manusia. Penyuntikan adiponectin kepada

model tikus diabetes ternyata dapat menurunkan kadar gula darah. Studi

yang dilakukan oleh Yamauchi dkk mendapati efek yang sama, yaitu

adiponectin dapat meningkatkan sensitivitas insulin dan memperbaiki

hiperglikemia pada model tikus.8

Pellme dkk mendapatkan level adiponectin secara bermakna juga

berkurang pada subjek yang non obese tapi memiliki resistensi insulin

dengan kecendrungan yang tinggi untuk DM tipe 2. Juga ditemui

hubungan antara adiponectin, proinsulin, HDL kolesterol dan beberapa

segi dari sindroma resistensi insulin.46

Berdasarkan data pengobatan terhadap tikus diabetes yang

lipoatrophic atau obese dengan adiponectin didapat peningkatan ekspresi

dari kadar PPAR , sehingga disimpulkan adiponectin dapat mengaktivasi

PPAR . Selain itu, adiponectin juga diketahui dapat menstimulasi

oksidasi dan ambilan glukosa melalui AMP-activated protein kinase

(33)

Gambar-3. Adiponectin dapat mengaktivasi AMPK dan PPAR di hati dan

otot polos(dikutip dari 35)

Engeli S dkk mendapatkan hubungan antara penurunan level

adiponectin plasma dan peningkatan dari level-level hs-CRP dan IL-6

plasma. hs-CRP adalah petanda awal dari kerusakan vaskuler dan

merupakan prediktif yang kuat untuk menunjukkan kejadian

kardiovaskular pada masa mendatang.7

Insulin dan insulin like growth factor-1 (IGF-1) meningkatkan sintesa

adiponectin pada jaringan adipose. Sintesa dan sekresi adiponectin

menurun pada kelebihan kalori, kemungkinan berhubungan dengan

defisiensi atau resistensi leptin. Protein juga dapat meningkatkan

sensitivitas dari hepatosit ke insulin, baik melalui jalur langsung atau tidak

langsung dengan menurunkan konsentrasi lemak yang beredar melalui

kerjanya pada otot. Dengan demikian, adiponectin dapat memperbaiki

(34)

Adiponectin telah diketahui terlibat dalam pengaturan metabolisme

lipid dan karbohidrat. Adiponectin juga dapat menjadi proteksi terhadap

penyakit kardiovaskuler. Konsentrasi adiponectin akan berkurang pada

pasien yang gemuk. Penurunan level adiponectin juga berhubungan

dengan kadar small dense LDL dan trigliserid.4

Kadar adiponectin juga ditemukan berkurang pada pasien dengan

penyakit arteri koroner. Insiden dari kematian kardiovaskuler juga

ditemukan lebih tinggi pada pasien gagal ginjal dengan kadar adiponectin

plasma yang rendah dibandingkan dengan mereka yang memiliki kadar

adiponectin plasma yang tinggi. Oleh karena itu, konsentrasi adiponectin

serum dijumpai berhubungan secara bermakna dengan disfungsi

vaskuler.48

Disfungsi endotel telah diketahui berhubungan dengan sindroma

metabolik dan keadaan resistensi insulin yang digambarkan dengan

gangguan pelepasan nitric oxide (NO) dari endotel. Oleh karena itu,

perbaikan pada fungsi endotel diprediksikan dapat memperbaiki

sensitivitas insulin. Terapi dengan menggunakan fenofibrate secara

bermakna dapat mengurangi kadar petanda inflamasi, meningkatkan

kadar adiponectin dan memperbaiki sensitivitas insulin pada pasien

dengan hipertrigliseridemia atau pasien sindroma metabolik.11

Matsuzawa Y dkk mengemukakan bahwa adiponectin mempunyai

peran yang penting dalam pencegahan sindroma metabolik.

Hipoadiponectinemia yang bersamaan dengan peningkatan dari TNF-α

(35)

merupakan dasar utama dari perubahan vaskuler seperti pada kelainan

metabolik, termasuk resistensi insulin, yang merupakan karakteristik dari

sindroma metabolik (Gambar-4).8

Gambar-4. Konsep sindroma metabolik. Pentingnya akumulasi lemak

visceral dan hipoadiponectinemia (Dikutip dari8)

(36)

BAB III

PENELITIAN SENDIRI

3.1 Latar belakang penelitian

Adiponectin, yang dikenal sebagai komplemen adiposit yang

berhubungan dengan protein dari 30 kDa (ACRP 30), adipoQ, adipose

yang memiliki banyak gene transcript 1 (apM1) dan protein yang berikatan

dengan gelatin dari 28 kDa (GBP28), adalah suatu adiposit yang spesifik,

protein yang dikeluarkan yang berperan dalam homeostasis glukosa dan

lemak. Adiponectin telah diketahui berhubungan dengan obesitas dan

penyakit jantung koroner. Efek anti inflammasi adiponectin telah terbukti

mempunyai efek positif pada metabolisme dalam pencegahan

aterogenesis.29,49

Obesitas berhubungan dengan abnormalitas metabolik yang dapat

meningkatkan resiko dari Diabetes Mellitus tipe 2 dan penyakit

kardiovaskular. Jaringan adipose telah diketahui selain berfungsi untuk

penyimpanan dan mobilisasi lemak, juga didapat bahwa jaringan adipose

banyak memiliki molekul aktif. Adiponectin telah diketahui berkurang pada

subjek dengan obesitas.43,44 Selain dari itu kadar adiponectin juga

diketahui menurun pada resistensi insulin dan dislipidemia. Beberapa

studi yang telah dilakukan pada hewan dan manusia mendapatkan bahwa

adiponectin dapat meningkatkan sensitivitas insulin, mempunyai efek anti

(37)

Pellme dkk mendapatkan kadar adiponectin secara bermakna

berkurang pada subjek yang non obese tapi memiliki resistensi insulin

dengan kecendrungan yang tinggi untuk DM tipe 2. Juga ditemui

hubungan antara adiponectin, proinsulin, HDL kolesterol dan beberapa

segi dari sindroma resistensi insulin.46

Engeli S dkk mendapatkan hubungan antara penurunan kadar

adiponectin plasma dan peningkatan dari level-level hs-CRP (r = -0.32, p

<0.05) dan IL-6 plasma (r = -0.51, p <0.001). hs-CRP adalah petanda awal

dari kerusakan vaskular dan merupakan prediktif yang kuat untuk

menunjukkan kejadian kardiovaskular pada masa mendatang.7

Matsuzawa Y dkk mengemukakan bahwa adiponectin mempunyai

peran yang penting dalam pencegahan sindroma metabolik.

Hipoadiponectinemia yang bersamaan dengan peningkatan dari TNF-α

atau PAI-1 mengakibatkan akumulasi dari visceral obesitas dan

merupakan dasar utama dari perubahan vaskular seperti pada kelainan

metabolik, termasuk resistensi insulin, yang merupakan karakteristik dari

sindroma metabolik.8

Ada beberapa studi yang telah dilakukan untuk menilai kadar

adiponectin pada penderita sindroma metabolik. Pada studi yang

dilakukan oleh Esposito dkk pada tahun 2006 didapati penurunan kadar

adiponectin pada penderita dengan sindroma metabolik dibandingkan

dengan yang tidak menderita sindroma metabolik (5.3 vs 8.7, p 0.01). Hal

yang sama juga didapat oleh Langenberg dkk (8.15 vs 12.57, p <0.0001)

(38)

Pada studi yang dilakukan oleh Daimon dkk pada tahun 2003 didapati

penurunan kadar adiponectin pada penderita diabetes dibandingkan

dengan yang tidak menderita diabetes (8.01 ± 2.55 vs 9.06 ± 2.41, p

<0.001) . Hal yang sama juga didapat oleh Nakashima dkk (9.47 ± 0.48 vs

11.69 ± 0.25, p<0.001) dan Hotta dkk (6.6 ± 0.4 vs 7.9 ± 0.5, p<0.001).12-14

Berdasarkan uraian diatas sampai saat ini sepanjang pengetahuan

penulis, penelitian tentang kadar adiponectin pada penderita SM dan

DM tipe 2 baru belum pernah diteliti. Oleh karenanya penulis berminat

meneliti tentang kadar adiponectin pada penderita SM dan DM tipe 2

baru.

3.2 Perumusan masalah

Apakah ada perbedaan kadar adiponectin pada penderita SM

dibandingkan dengan penderita DM tipe 2 baru.

3.3 Hipotesa

Kadar adiponectin pada penderita SM lebih tinggi dari penderita DM

tipe 2 baru.

3.4 Tujuan penelitian

Untuk mengetahui kadar adiponectin pada penderita SM

dibandingkan dengan penderita DM tipe 2 baru.

3.5 Manfaat penelitian

Dengan diketahuinya kadar adiponectin yang lebih rendah pada

penderita DM tipe 2 baru dibanding penderita SM, maka kita dapat

mengetahui dan memprediksi bahwa pada keadaan diabetes itu lebih

(39)

3.6 Kerangka Konsepsional

Sindroma Metabolik

Obesitas sentral

TG > 150 mg/dl

HDL < 40 mg/dl < 50 mg/dl

TD > 130/85 mmHg

KGD N > 100 mg/dl 2 dari

4

Perbandingan ?

Kadar adiponectin

di Indonesia ??? Kadar adiponectin

di Indonesia ???

Klinis ditambah KGDN > 126 mg/dl dan atau KGD 2 jam pp > 200 mg/dl

DM Tipe 2 (WHO)

3.7 Batasan-batasan Kerja

DM Tipe 2 baru : Penderita DM yang memenuhi kriteria WHO

(dijumpai keluhan klinis DM ditambah KGDN > 126

mg/dl dan atau KGD 2 jam pp > 200 mg/dl) dan

baru didiagnosa serta tidak dalam keadaan

(40)

Sindroma Metabolik : Penderita sindroma metabolik yang memenuhi

kriteria IDF 2005 (adanya obesitas sentral,

pada laki-laki bila lingkaran perutnya > 90 cm

dan pada wanita > 80 cm ditambah 2 dari : TG

> 150 mg/dl, HDL < 40 mg/dl dan < 50

mg/dl, TD > 130/85 mmHg, KGD N > 100

mg/dl) dan tidak menderita DM (KGD N <126

mg/dl)

3.8 Bahan dan Cara

3.8.1 Desain penelitian :

Penelitian dilakukan dengan cara potong lintang (cross sectional

study)

3.8.2 Waktu dan tempat penelitian

Waktu : Antara bulan Juni 2007 – Juli 2008

Tempat : Poliklinik Endokrinologi dan Metabolik dan Poliklinik

Rawat Jalan Departemen Penyakit Dalam RSUP H.

Adam Malik

3.8.3 Subjek penelitian

a. Pasien DM yang baru didiagnosa

b. Pasien Sindroma Metabolik yang berobat ke Poliklinik Rawat

Jalan Departemen Penyakit Dalam RSUP H Adam Malik

(41)

b. Jenis kelamin laki-laki atau perempuan

c. Penderita sindroma metabolik berdasarkan IDF 2005

d. Penderita DM tipe 2 adalah penderita baru yang telah

memenuhi kriteria WHO50

e. Bersedia mengikuti penelitian

3.8.5 Kriteria yang tidak diikutkan dalam penelitian

a. Penderita sindroma metabolik dengan KGD puasa > 126

mg/dl

b. Penderita SM atau DM tipe 2 baru dengan gagal jantung,

PJK, dan gagal ginjal.

α = tingkat kemaknaan (ditetapkan peneliti)

α = 0,05 Zα = 1,96 (nilai dua arah)

Jadi, sampel minimal yang diteliti untuk masing-masing

kelompok adalah 16 orang, sehingga total seluruhnya sebanyak

32 orang.

(42)

A. Penelitian ini mendapat persetujuan oleh komite etik

penelitian bidang kesehatan FK USU

B. Pengumpulan data

Subjek penelitian adalah pasien yang berobat ke Poliklinik

Divisi Endokrinologi dan Metabolik dan poliklinik rawat jalan

RSUP H Adam Malik Medan. Dilakukan anamnesis pribadi,

riwayat penyakit terdahulu, serta dilakukan pemeriksaan

fisik. Seluruh subjek mengisi surat persetujuan penelitian.

C. Cara kerja

Seluruh subjek dilakukan pengukuran lingkar pinggang

dengan menggunakan meteran pada posisi berdiri dan

bernafas seperti biasa. Kemudian dilakukan pemeriksaan

tekanan darah dengan posisi duduk istirahat 10 menit.

Selanjutnya dilakukan pemeriksaan KGD puasa, profil

lemak, ureum, creatinin, urinalisa, kadar adiponectin dan

EKG. Seluruh subjek berpuasa selama 8 – 10 jam.

D. Pengukuran laboratorium

Kadar gula darah diukur dengan metode enzimatik

(heksokinase) dimana kategori yang termasuk komponen

dari sindroma metabolik adalah bila KGD puasa > 100 mg/dl.

Profil lemak diukur dengan metode enzimatik (CHOD-PAP)

dimana kategori yang termasuk komponen dari sindroma

metabolik adalah bila trigliserid > 150 mg/dl , HDL untuk

(43)

adiponectin dilakukan di Laboratorium Klinik Prodia dengan

menggunakan metode enzimatik EIA dan ELISA.

3.8.8 Analisa Data

Untuk membandingkan kadar adiponectin antara kelompok SM

dan DM tipe 2 baru digunakan uji t independen jika data kedua

kelompok berdistribusi normal. Jika sebaliknya digunakan uji

Mann Whitney. Dikatakan bermakna bila p<0,05. Analisa

statistik menggunakan SPSS versi 13.0

3.9 Kerangka Operasional

(44)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Karakteristik Sampel

Penelitian dilakukan dari bulan Juni 2007 sampai Juli 2008 di RS

Haji Adam Malik Medan. Selama kurun waktu tersebut didapatkan 16

penderita Sindroma Metabolik dan 16 penderita DM tipe 2 baru (naive

DM) yang memenuhi kriteria penelitian. Dari 16 penderita Sindroma

Metabolik didapat 10 (62.5%) perempuan dan 6 (37.5%) laki-laki. Usia

berkisar antara 29 sampai 66 tahun dengan median 53.5 tahun dan

kelompok usia terbanyak pada kelompok 50 – 59 tahun sebanyak 7

(43.75%) penderita, diikuti kelompok 40 – 49 tahun sebanyak 4 (25%)

penderita, kelompok lebih dari 60 tahun sebanyak 3 (18.75%) penderita,

dan kelompok kurang dari 30 tahun serta 30 – 39 tahun masing-masing

sebanyak 1 (6.25%) penderita.

Dari 16 penderita Naive DM didapat 10 (62.5%) perempuan dan 6

(37.5%) laki-laki. Usia berkisar antara 34 sampai 68 tahun dengan median

46 tahun dan kelompok usia terbanyak pada kelompok 40 – 49 tahun

(45)

(25%) penderita, dan kelompok lebih dari 60 tahun serta kurang dari 40

tahun masing-masing sebanyak 2 (12.5%) penderita. (Tabel 1).

Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian

Variabel Sindroma Metabolik

Jumlah (%)

Penderita sindroma metabolik memiliki kadar adiponectin yang lebih

rendah dibandingkan dengan penderita naive DM tetapi perbedaannya

tidak bermakna secara statistik (p = 0.135). Dibandingkan dengan

penderita DM, penderita sindroma metabolik memiliki tekanan darah

sistolik, tekanan darah diastolik, lingkar pinggang, trigliserid dan body

mass index yang lebih besar serta memiliki KGD puasa yang lebih rendah.

(46)

Tabel 2. Perbandingan karakteristik sampel antara penderita sindroma metabolik dan naive DM

Variabel Sindroma Metabolik

(n=16)

Keterangan : LP = lingkar pinggang; WBC = white blood cell; BMI = body mass index

Uji t independent * = signifikan

Kadar adiponectin pada wanita lebih tinggi dari pria, tapi

perbedaannya tidak bermakna (4.4710 ± 2.07 berbanding 3.8750 ± 1.60, p

= 0.4).

Dari 32 peserta studi dijumpai 1 peserta (3.125%) underweight (BMI

< 18.5), 12 peserta (37.5%) normoweight (BMI 18.5 – 24.9), dan 19

peserta (59.375%) obesitas (BMI > 25).

Bila dibagi berdasarkan nilai rujukan, maka dari 16 penderita

(47)

kadar adiponectin yang lebih rendah dari normal. Perbedaan antara kadar

adiponectin yang rendah pada penderita sindroma metabolik berbeda

bermakna dengan yang memiliki kadar adiponectin yang normal.

Sedangkan dari 16 penderita naive DM, dijumpai sebanyak 4 peserta studi

(25%) yang memiliki kadar adiponectin yang lebih rendah, dan perbedaan

antara kadar adiponectin dan HDL kolesterol dijumpai bermakna secara

statistik (Tabel 3).

Tabel 3. Perbandingan karakteristik sampel pada kadar adiponectin rendah dan normal pada penderita sindroma metabolik dibandingkan dengan penderita naive DM

Variabel Sindroma Metabolik

(n=16)

Keterangan : Adip = Adiponectin; LP = lingkar pinggang; WBC = white blood cell; BMI =

(48)

Dari 16 peserta sindroma metabolik yang memiliki 3 komponen

sebanyak 7 peserta (43.75%); yang memiliki 4 komponen sebanyak 7

peserta (43,75%) dan yang memiliki 5 komponen sebanyak 2 peserta

(12,5%). Kadar adiponectin terendah dimiliki oleh peserta sindroma

metabolik dengan 4 komponen (Tabel 4).

Tabel 4. Perbandingan kadar adiponectin berdasarkan komponen sindroma metabolik pada penderita sindroma metabolik

Komponen Peserta (%) Adiponectin ( g/ml)

3 7 (43.75) 4.56

4 7 (43.75) 2.89

5 2 (12.5) 3.85

Dari hasil studi ini juga didapat bahwa kadar adiponectin mempunyai

korelasi negatif dengan lingkar pinggang (koefisien korelasi (r) = -0.373, p

= 0.035), lekosit (r = -0.39, p = 0.027) dan mempunyai korelasi yang positif

dengan HDL kolesterol (r = +0.457, p = 0.009).

Hasil studi ini juga mendapatkan bahwa kadar adiponectin

mempunyai korelasi negatif dengan body mass index, tetapi korelasi yang

ditunjukkan tidak bermakna (r = -0.204, p = 0.262).(Tabel 5)

(49)

BMI (kg/m2) -.204 .262

Keterangan : LP = lingkar pinggang; WBC = white blood cell; BMI = body mass index

Uji t independent * = signifikan

BAB V PEMBAHASAN

Prevalensi sindroma metabolik di Amerika dijumpai peningkatan dari

6.7% pada kelompok usia 20 - 29 tahun menjadi 43.5% pada kelompok

usia 60 - 69 tahun.22 Pada studi ini juga dijumpai peningkatan prevalensi

sindroma metabolik dari 6.25% pada kelompok usia dibawah 30 tahun dan

30 – 39 tahun menjadi 43.75% pada kelompok usia 50 – 59 tahun.

Prevalensi tertinggi penderita sindroma metabolk yang didapat pada

penelitian ini terdapat pada kelompok usia 50 - 59 tahun. Hal yang sama

juga didapat oleh Syukran OKA dkk.24

Hasil penelitian ini mendapatkan kadar adiponectin penderita

sindroma metabolik lebih rendah dibandingkan penderita naive diabetes,

tetapi perbedaannya tidak bermakna secara statistik (p 0.135). Hal ini

mungkin terjadi oleh karena pada penderita SM didapat keadaan dimana

terjadi peningkatan tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, lingkar

pinggang, trigliserid dan body mass index dibanding penderita naive DM.

Pada tahun 1995, sebuah laporan telah dipublikasikan terhadap

protein yang menghasilkan adiposit yang dijumpai pada serum (30 kDa).

(50)

complement-related protein of 30 kDa), GBP 28 (gelating binding protein 28 kDa) atau

AdipoQ. Adiponectin mempunyai struktur yang sama dengan kolagen dan

C1q dan menunjukkan kemampuan ikatan yang kuat dengan kolagen.35

Adipositokin ini berbeda dengan kebanyakan jaringan adipose yang

dihasilkan protein, yang mana produksinya akan berkurang pada individu

yang obese atau yang resisten terhadap insulin (berlawanan dengan leptin

atau resistin). Efek penting dari adiponectin adalah merangsang fosforilasi

dari Ac-Co-A carboxylase, menstimulasi oksidasi dari asam-asam lemak

bebas, menstimulasi metabolisme glukosa dan laktat, mengurangi

enzim-enzim glukoneogenetik, memperbaiki efektifitas dari insulin, menghambat

faktor-faktor pertumbuhan lokal, menghasilkan beberapa sitokin, dan

lain-lain. Kesimpulannya, adiponectin menunjukkan kerja antidiabetik dan

antiaterogenik yang penting.29

Jaringan adipose telah diketahui mempunyai peran yang menonjol

baik pada resistensi insulin maupun tanda klinis dari sindroma metabolik,

yang kebanyakan diperantarai oleh disregulasi produksi dari

protein-protein yang dihasilkan oleh adiposit, temasuk leptin, adiponectin, resistin,

TNF- dan interleukin 6. Dari protein-protein ini adiponectin telah diketahui

merupakan mediator penting dari kerja insulin dan metabolisme glukosa.

Adiponectin telah dilaporkan berkurang pada obesitas dan diketahui

mempunyai hubungan terbalik dengan kadar trigliserida dan berkorelasi

positif dengan kadar HDL kolesterol.52 Penelitian ini juga mendapatkan

(51)

lebih rendah pada individu yang obese, yang diukur berdasarkan lingkar

pinggang dan body mass index (BMI).

Mekanisme biokimiawi yang menghubungkan adiponectin dan

metabolisme HDL kolesterol belum dapat diterangkan sepenuhnya.

Adiponectin telah diketahui mempunyai peran yang penting dalam

sindroma metabolik yang merupakan akumulasi dari beberapa

faktor-faktor resiko. Hal ini menunjukkan hubungan antara obesitas (atau yang

lebih penting lagi akumulasi lemak visceral), resistensi insulin dan

diabetes. Kadar adiponectin yang rendah akan memberikan efek terhadap

resistensi insulin. Resistensi insulin, sebaliknya, dapat menurunkan

konsentrasi HDL kolesterol melalui mekanisme yang berbeda, baik secara

langsung maupun tidak langsung. Pertama, insulin secara langsung akan

menstimulasi aktifitas transkripsi dari Apo A1, yang merupakan

apolipoprotein terbesar dari HDL. Kedua, insulin dapat menurunkan

produksi dari VLDL dan meningkatkan ekspresi dari lipoprotein lipase.

Resistensi insulin dapat meningkatkan konsentrasi dari lipoprotein yang

kaya akan trigliserida di sirkulasi, yang dapat merubah formasi dan

remodelling dari partikel-partikel HDL. Secara bersamaan, hal ini akan

meningkatkan kemungkinan bahwa konsentrasi adiponectin yang rendah

dapat menyebabkan kadar HDL kolesterol akan turun dan efek-efek

proaterogenik dari kadar adiponectin yang rendah mungkin diperantarai

oleh efeknya terhadap metabolisme HDL.53 Hasil penelitian ini juga

mendapati korelasi yang positif antara konsentrasi adiponectin dan HDL

(52)

Efek protektif dari perkembangan diabetes oleh tingginya kadar

adiponectin plasma telah ditunjukkan pada beberapa studi-studi observasi

melibatkan grup-grup etnik yang berbeda, yaitu Pima Indian, kulit putih

Eropa, Jepang, India Asia dan Amerika Afrika.12,48,50,54,55 Efek penurunan

kadar glukosa darah oleh adiponectin telah ditunjukkan oleh kerjanya

terhadap AMP-activated protein kinase (AMPK). AMPK, yang merupakan

target dari metformin dan obat-obat anti diabetik yang lain sebagai mana

untuk transport glukosa yang berhubungan dengan latihan jasmani,

adalah insulin independen, yang akan menstimulasi transport glukosa.

AMPK akan menstimulasi baik katabolisme dari penyimpanan energi intra

selular yang ada, seperti trigliserida, dan sumber energi ekstra selular

yang independen terhadap insulin, seperti glukosa. Ada dua reseptor

adiponectin yang telah diketahui dan didapati akan memperantarai

peningkatan oksidasi asam lemak di otot dan peningkatan ambilan

glukosa di hati.4 Menariknya pada penelitian ini didapati hal yang

berlawanan, dimana konsentrasi adiponectin mempunyai korelasi yang

positif dengan kadar glukosa darah puasa walaupun tidak bermakna

secara statistik (r = +0.104; p 0.572).

Sintesa adiponectin telah diketahui berkurang pada individu-individu

dengan penyakit jantung koroner dan disfungsi endotel. Berkurangnya

konsentrasi adiponectin berhubungan dengan insidensi penyakit jantung

koroner (independen dari dijumpainya diabetes, BMI, dislipoproteinemia,

hipertensi, merokok). Kumada M dkk yang melaporkan penemuan ini

(53)

resiko yang tinggi secara bermakna terhadap penyakit jantung koroner

yang bersifat independen dari faktor-faktor resiko yang lain. Kazumi dkk

mendapatkan korelasi negatif antara kadar adiponectin dengan rata-rata

tekanan darah sistolik dan diastolik.40,56 Hasil penelitian ini juga mendapati

adanya korelasi yang negatif antara kadar adiponectin dengan rata-rata

tekanan darah sistolik dan diastolik walaupun tidak bermakna secara

statistik.

Peningkatan jumlah sel darah putih (lekosit) merupakan prediktor

dari mortalitas kardiovaskular yang independen terhadap efek-efek dari

merokok dan faktor-faktor resiko tradisional lain. Walaupun masih dalam

rentang normal, jumlah lekosit berhubungan secara independen dengan

kematian dari penyakit jantung koroner. Juga dijumpai hubungan positif

yang bermakna antara jumlah lekosit dan beratnya aterosklerosis.

Inflamasi akan memberikan peran terhadap luka vaskular, aterogenesis

dan trombosis. Lekosit, yang diaktifasi oleh sitokin-sitokin terutama

interleukin (IL)-6 dan IL-8, merupakan petanda penting untuk

proses-proses ini. Lekosit mempunyai kontribusi terhadap viskositas darah,

melepaskan produk-produk yang akan menyebabkan ruptur plak dan

pembentukan trombus dan memiliki peran pada disfungsi endotel.

Adiponectin sendiri telah diketahui mempunyai sifat anti inflamasi.57 Hasil

penelitian ini menunjukkan kadar adiponectin yang rendah berhubungan

dengan peningkatan jumlah lekosit, yang merupakan salah satu petanda

(54)

Kekuatan studi ini ada dua hal. Pertama, peserta studi yang

menderita sindroma metabolik bukanlah penderita diabetes, sehingga

kemungkinan bias dari hasil konsentrasi adiponectin yang diperoleh dapat

diperkecil. Kedua, peserta diabetes yang ikut pada studi ini adalah peserta

yang naive sehingga bias yang dapat muncul karena mengkonsumsi

obat-obatan diabetes yang dapat meningkatkan konsentrasi adiponectin dapat

dihilangkan.

Kelemahan studi ini ada dua hal. Pertama, peserta diabetes yang

ikut studi ini ada yang mempunyai lingkar pinggang yang besar dan

menderita dislipidemia serta hipertensi, sehingga dapat memunculkan

bias pada hasil studi ini. Kedua, jumlah peserta studi yang kecil sehingga

tidak dapat menggambarkan populasi secara keseluruhan.

(55)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Penderita sindroma metabolik memiliki tekanan darah sistolik, tekanan

darah diastolik, lingkar pinggang, trigliserid dan body mass index yang

lebih besar serta memiliki KGD puasa yang lebih rendah dibandingkan

dengan penderita naive DM

2. Kadar adiponectin penderita sindroma metabolik lebih rendah

dibandingkan penderita naive diabetes tetapi tidak bermakna

3. Pada penderita sindroma metabolik dan naive DM dengan

perbandingan kadar adiponectin rendah dan normal berdasarkan nilai

rujukan tidak dijumpai perbedaan faktor resiko

4. Peningkatan komponen yang dimiliki penderita sindroma metabolik

tidak diikuti dengan penurunan kadar adiponectin

5. Kadar adiponectin berbanding terbalik dengan lingkar pinggang, lekosit

(56)

6. Hasil penelitian ini mendapatkan korelasi yang positif, walaupun tidak

bermakna, antara kadar adiponectin dengan kadar glukosa darah

puasa

6.2 SARAN

1. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih

besar untuk membandingkan kekuatan dari hasil studi ini.

2. Dengan dijumpainya hubungan antara adiponectin dengan petanda

inflamasi, maka sudah selayaknyalah untuk memberikan penanganan

yang lebih serius pada penderita sindroma metabolik untuk

meningkatkan kadar adiponectinnya.

3. Melihat dijumpainya beberapa peserta studi dengan sindroma

metabolik dan diabetes terdapat penurunan kadar adiponectin maka

sebaiknya untuk dilakukan pemeriksaan adiponectin pada penderita

sindroma metabolik dan diabetes untuk menghindari resiko terjadinya

gangguan kardiovaskuler yang akan memperberat komplikasi yang

(57)

DAFTAR PUSTAKA

1. Sharpless JL. Polycystic Ovary Syndrome and the Metabolic

Syndrome. Clinical Diabetes 2003;21:154-7.

2. Shaibi GQ, Cruz ML, Weigensberg MJ, et al. Adiponectin

Independently Predicts Metabolic Syndrome in Overweight Latino

Youth. J Clin Endocrinol Metab 2007;92:1809-13.

3. Blaka M, Elasy TA. Clinical Use of the Metabolic Syndrome : Why the

Confusion ?. Clinical Diabetes 2006;24:125-30.

4. Duncan BB, Schmidt MI, Pankow JS, et al. Adiponectin and the

Development of Type 2 Diabetes. The Atherosclerosis Risk in

Communities Study. Diabetes 2004;53:2473-8.

5. Arita Y, Kihara S, Ouchi N, et al. Adipocyte-Derived Plasma Protein

Adiponectin Acts as a Platelet-Derived Growth Factor-BB-Binding

Protein and Regulates Growth Factor-Induced Common Post Receptor

(58)

6. Herder C, Hauner H, Haastert B, et al. Hypoadiponectinemia and

Proinflammatory State: Two Sides of the Same Coin? Diabetes Care

2006;29:1626-31

7. Engeli S, Feldpausch M, Gorzelniak K, et al. Association between

Adiponectin and Mediators of Inflammation in Obese Woman. Diabetes

2003;52:942-7

8. Matsuzawa Y, Funahashi T, Kihara S, Shimomura I. Adiponectin and

Metabolic Syndrome. Arterioscler Thromb Vasc Biol 2004;24:29-33

9. Esposito K, Ciotola M, Carleo D, et al. Effect of Rosiglitazone on

Endothelial Function and Inflammatory Markers in Patients With the

Metabolic Syndrome. Diabetes Care 2006;29:1071-6

10. Langenberg C, Bergstrom J, Scheidt-Nave C, Pfeilschifter J,

Barrett-Connor E. Cardiovascular Death and the Metabolic Syndrome.

Diabetes Care 2006;29:1363-9

11. Koh KK, Han SH, Quon MJ, Ahn JY, Shin EK. Beneficial Effects of

Fenofibrate to Improve Endothelial Dysfunction and Raise Adiponectin

Levels in Patients with Primary Hypertriglyceridemia. Diabetes Care

2005;28:1419-24

12. Daimon M, Oizumi T, Saitoh T, et al. Decreased Serum Levels of

Adiponectin are a Risk Factor for the Progression to Type 2 Diabetes

in the Japanese Population. Diabetes Care 2003;26:2015-20

13. Nakashima R, Kamei N, Yamane K, et al. Decrease Total and High

(59)

Development o0f Type 2 Diabetes in Japanese – Americans. J Clin

Endocrinol Metab 2006;91:3873-7

14. Hotta K, Funahashi T, Arita Y, et al. Plasma Concentrations of a Novel,

Adipose-Specific Protein, Adiponectin, in Type 2 Diabetic Patients.

Arterioscler Thromb Vasc Biol 2000;20:1595-9

15. Shamkar P, Sundarka M. Metabolic Syndrome: Its Pathogenesis and

Management. JIACM 2003;4:275-81

16. Adam JMF. Toleransi Glukosa Terganggu, Sindroma Metabolik dan

Risiko Kardiovaskular. Dalam : Tjokroprawiro A, Hendromartono,

Sutjahjo A, dkk (editors). The Metabolic Syndrome (The MetS).

Anticipating Life Style Related Diseases. Jakarta. 2005;56-68

17. Alberti KG, Zimmet PZ. Definition, Diagnosis and Classification of

Diabetes Mellitus and its Complication. Part 1. Diagnosis and

Classification of Diabetes Mellitus Provisional Report of a WHO

Consultation. Diabet Med 1998;15:539-53

18. Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP)

Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood

Cholesterol in Adults (Adults Treatment Panel III) Final Report.

Circulation 2002;106:3143-421

19. Grundy SM, Cleeman JL, Daniels SR, et al. American Heart

Association: National Heart, Lung and Blood Institute. Diagnosis and

Management of the Metabolic Syndrome. Circulation

(60)

20. Einhorn D, ReavenGM, CobinRH, et al. American College of

Endocrinology Position Statement on the Insulin Resistance

Syndrome. Endocrine Pract 2003;9:237-52

21. Soegondo S. Obesitas pada Sindroma Metabolik : Penyebab atau

Akibat. Dalam : Setiati S, Alwi I, Simadibrata M, dkk (editors). Naskah

Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Penyakit Dalam 2005. Jakarta :

Pusat Penertiban Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI;2005.83-6

22. Ford ES, Giles WH, Diertz WH. Prevalence of the Metabolic

Syndrome Among US Adult. JAMA 2002;287:356-9

23. Jaber LA, Brown MB, Hammad A, et al. The Prevalence of Metabolic

Syndrome among Arab Americans. Diabetes Care 2004;27:234-8

24. Syukran OKA, Mardianto, Lindarto D, Bahri C, Piliang S. Sindroma

Metabolik pada Karyawan/Staf Perkebunan. Dalam : Tjokroprawiro A,

Hendromartono, Sutjahjo A, dkk (editors). The Metabolic Syndrome

(The MetS). Anticipating Life Style Related Diseases. Jakarta.

2005;105-11

25. Carr DB, Utzschneider KM, Hull RC, et al. Intra-Abdominal Fat Is a

Major Determinant of the National Cholesterol Education Program

Adult Treatment Panel III Criteria for the Metabolic Syndrome.

Diabetes 2004;53:2087-94

26. Soegondo S, Gustaviani R. Sindrom Metabolik. Dalam : Sudoyo AW,

Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (editors). Buku Ajar Ilmu

Gambar

Tabel 1 : Karakteristik subjek penelitian..............................................
Gambar-1. Mekanisme molekuler dari fungsi-fungsi  anti aterogenik
Gambar-2. Penekanan proses aterosklerosis yang dilakukan oleh
Gambar-3. Adiponectin dapat mengaktivasi AMPK dan PPAR� di hati dan
+6

Referensi

Dokumen terkait

Seiring dengan kebutuhan jaman dibutuhkan perencanaan hotel transit, dipilih pada lahan bekas bangunan Kereta Api yang dijadikan sebagai bangunan konversi, letaknya yang

Guru Pendidikan Agama Islam dalam Meningkatkan Akhlakul Karimah Siswa.. Tingkat Matayum Tun (SMP) Di Madrasah As-salihiyah School

P Pemajangan Misi sekolah di setiap kelas dan di luar kelas Observasi dan Dokumentasi tentang: 1.Undangan sosialisasi Misi S/M 2.Daftar hadir rapat sosialisasi misi

pembelajaran. 3) Memberikan motivasi kepada guru untuk membuat inovasi terkait pembelajaran dalam rangka meningkatkan outcome program/kegiatan pembelajaran peserta didik. 4)

[r]

KARO DUA WARNA TECHNOLOGY ini merupakan sebuah sistem pencatatan project yang berisikan pencatatan data project, data klien dan dilengkapi pula dengan laporan, yang dikemas dalam

Pada Penulisan Ilmiah ini akan dibahas mengenai perancangan sistem penjualan roti pada Toko âXYZâ yang diharapkan dapat membantu perusahaan dan melaksanakan kegiatan penjualan,

KELOMPOK KERJA GURU (KKG) MADRASAH IBTIDAIYAH KECAMATAN GENUK KOTA