BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi
putusan kepailitan. Debitur ini dapat berupa perorangan (badan pribadi) maupun badan
hukum. Dengan dijatuhkannya putusan pailit oleh Pengadilan Niaga, debitur demi hukum
kehilangan haknya untuk berbuat sesuatu terhadap penguasaan dan pengurusan hartanya
yang termasuk dalam kepailitan terhitung sejak tanggal kepailitan itu. Kepailitan
mengakibatkan seluruh hartanya debitur serta segala sesuatu yang diperoleh selama
kepailitan berada dalam sitaan umum sejak saat putusan pernyataan pailit di ucapkan.
Umumnya, secara teoritis debitur yang memiliki masalah utang piutang berkaitan
dengan kemampuan membayar utang, menempuh berbagai alternatif penyelesaian.
Mereka dapat merundingkan permintaan penghapusan utang baik untuk sebagian atau
seluruhnya. Mereka dapat pula menjual sebagian aset atau bahkan usahanya, serta dapat
pula mengubah pinjaman tersebut menjadi penyertaan saham. Selain kemungkinan tadi,
debitur dapat pula merundingkan permintaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
sebagai upaya terakhir barulah ditempuh melalui proses kepailitan
Pada dasarnya, kepailitan mencakup mengenai harta kekayaan dan bukan
mengenai perorangan debitur .Yang disebut dengan harta pailit adalah harta milik debitur
yang dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan.1
1
Nating Imran, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pembebasan Harta Pailit, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2004), hlm 27.
Ketentuan pasal 21
Undang-Undang Kepailitan secara tegas menyatakan bahwa”Kepailitan meliputi seluruh kekayaan
selama kepailitan”.Walaupun demikian pasal 22 Undang-Undang Kepailitan
mengecualikan beberapa harta kekayaan debitur dari harta pailit.Selain itu, dalam Pasal
1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga menerangkan tentang
jaminan pembayaran harta seorang debitur kepada kreditur. Dalam Pasal 1131 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) disebutkan bahwa” Segala kebendaan si
berutang,baik yang bergerak maupun tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang
baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan perikatan perseorangan,” hal ini
sangat memperjelas tentang obyek dari harta pailit. Namun dalam
perkembanganya,banyak debitor yang berusaha menghindari berlakunya Pasal 1131
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut dengan melakukan berbagai perbuatan
hukum untuk memindahkan berbagai asetnya sebelum dijatuhkanya putusan pailit oleh
Pengadilan Niaga. Misalnya menjual barang-barangnya sehingga barang tersebut tidak
lagi dapat disitajaminkan oleh kreditur.
Hal ini sangat merugikan kreditur karena semakin berkurangnya harta yang
dipailitkan maka pelunasan utang kepada kreditur menjadi tidak maksimal.
Undang-Undang telah melakukan berbagai cara untuk melindungi kreditor dengan Pasal 1341
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 41-49 Undang Undang No.37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Upaya-upaya
yang dilakukan oleh undang-nndang tersebut sering disebut dengan actio pauliana. Actio
pauliana adalah suatu upaya hukum untuk membatalkan transaksi yang dilakukan oleh
debitur untuk kepentingan debitur tersebut yang dapat merugikan kepentingan
krediturnya. Namun dalam upaya pembuktianya bahwa debitur telah melakukan berbagai
Pasal 41 ayat (1) UU Kepailitan dinyatakan secara tegas bahwa untuk
kepentingan harta pailit, segala hukum debitur yang telah dinyatakan pailit, yang
merugikan kepentingan kreditur, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit
diucapkan, dapat dimintai pembatalan oleh kreditur kepada pengadilan.
Ketentuan Pasal 41 dan 42 UU Kepailitan, dapat diketahui bahwa sistem
pembuktian yang dipakai adalah sistem pembuktian terbalik, artinya beban pembuktian
terhadap pembuatan hukum debitur (sebelum putusan pernyataan pailit) tersebut adalah
berada pada pundak debitur pailit dan pada pihak ketiga yang melakukan perbuatan
hukum dengan debitur apabila perbuatan hukum debitur tersebut dilakukan dalam jangka
waktu 1 Tahun (sebelum putusan pernyataan pailit) merugikan kepentingan kreditur,
maka debitur dan pihak ketiga wajib membuktikan bahwa perbuatan hukum tersebut
wajib dilakukan oleh mereka dan perbuatan hukum tersebut tidak merugikan harta pailit.
Berbeda, apabila perbuatan hukum yang dilakukan debitur dengan pihak ketiga
dalam jangka waktu lebih dari 1 tahun sebelum putusan pernyataan pailit, dimana
Kurator menilai bahwa perbuatan hukum tersebut merugikan kepentingan
kreditur atau harta pailit, maka yang wajib membuktikan adalah Kurator. Kepailitan
hanya mengenai harta kekayaan dan bukan kekayaan dan bukan mengenai perorangan
debitur, ia tetap dapat melaksanakan hukum kekayaan yang lain, seperti hak-hak yang
timbul dari kekuasaan orang tuanya.
Akibat kepailitan hanyalah terhadap kekayaan debitur. Debitur tidaklah berada
dibawah pengampunan. Debitur tidaklah kehilangan kemampuannya untuk melakukan
perbuatan hukum menyangkut dirinya, kecuali apabila perbuatan hukum menyangkut
benda yang akan diperolehnya debitur pailit tetap berwenang bertindak sepenuhnya
akan tetapi tindakan-tindakannya tidak mempengaruhi harta kekayaan yang telah disita.
Pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan
mengurus kekayaannya yang dimasukan dalam kepailitan, terhitung sejak tanggal
kepailitan itu, termasuk juga untuk kepentingan perhitungan hari pernyataan itu sendiri.
Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan
kewajiban pembayaran utang menerangkan bahwa yang berwenang melakukan
pengurusan dan pemberesan harta pailit.
Debitur kehilangan hak menguasai harta yang masuk dalam kepailitan, namun
tidak kehilangan hak atas harta kekayaan yang berada diluar kepailitan. Tentang harta
kepailitan, lebih lanjut dalam Pasal 19 kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran
utang menerangkan bahwa harta pailit meliputi semua harta kekayaan debitur, yang ada
pada saat pernyataan pailit diucapkan serta semua kekayaan yang diperolehnya selama
kepailitan.
Kewenangan untuk melaksanakan pengurusan dan pemberesan harta Debitur
pailit ada pada Kurator, karena sejak adanya penyataan pailit, Debitur demi hukum
kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam
kepailitan. Putusan pailit oleh pengadilan tidak mengakibatkan debitor kehilangan
kecakapannya pada umumnya, tetapi hanya kehilangan kekuasaan atau kewenangannya
untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya. Untuk mengatasi permasalahan
yang timbul akibat dari kepailitan diperlukan instrumen hukum yang jelas untuk
menfasilitasi masalah utang piutang yang sangat diperlukan oleh dunia usaha sebagai
peraturan perundang-undangan yang lengkap dan sempurna agar proses kepalitan dapat
berlangsung secara cepat, terbuka dan efektif sehingga dapat memberikan kesempatan
kepada kreditur dan debitur untuk mengupayakan penyelesaian yang adil.
Adanya permasalahan tersebut dan untuk menyelesaikan tugas akhirnya maka
penulis hendak menulis skripsi dengan judul “AKIBAT HUKUM KEPAILITAN
TERHADAP KEWENANGAN DEBITOR DALAM MELAKUKAN PERBUATAN
HUKUM TERHADAP HARTANYA.”
B. Perumusan Masalah
Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang dihadapi dan harus diselesaikan
oleh peneliti dalam penelitian. Dengan adanya perumusan masalah maka akan dapat
ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga tidak mengarah pada hal-hal
diluar permasalahan.
Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kepailitan dalam sistem hukum di Indonesia?
2. Bagaimana akibat hukum kepailitan terhadap kewenangan debitor pailit dalam
melakukan perbuatan hukum atas hartanya?
3. Bagaimanaperan kurator terkait dengan kewenangan debitor pailit dalam melakukan
perbuatan hukum atas hartanya?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian skripsi yang akan penulis lakukan adalah:
b. Untuk mengetahui akibat hukum kepailitan terhadap kewenangan debitur pailit
dalam melakukan perbuatan hukum atas hartanya.
c. Untuk mengetahui peran kurator terkait dengan kewenangan debitur pailit dalam
melakukan perbuatan hukum atas hartanya.
2. Manfaat penelitian
Adapun manfaat penelitian skripsi yang akan penulis lakukan adalah:
a. Sebagai bahan masukan teoritis bagi penulis untuk menambah pengetahuan dan
pemahaman hukum kepailitan terhadap kewenangan debitur dalam melakukan
perbuatan hukum.
b. Untuk menerapkan pengetahuan penulis secara praktis agar masyarakat mengetahui
pembaruan hukum khususnya bagi hukum kepailitan dalam melakukan perbuatan
hukum atas harta pailit.
D. Keaslian Penelitian
Adapun judul tulisan ini adalah akibat hukum kepailitan terhadap kewenangan
debitur dalam melakukan perbuatan hukum terhadap hartanya. Judul skripsi ini belum
pernah ditulis dan diteliti dalam bentuk yang sama khususnya kepailitan terhadap
kewenangan debitor, sehingga tulisan ini asli, atau dengan kata lain tidak ada judul yang
sama dengan mahasiswa fakultas hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan demikian
ini keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan
Apabila di tinjau secara teoritis, lahirnya Undang–Undang Kepailitan dan PKPU,
Indonesia yang pada akhirnya juga menimbulkan krisis sosial dan politik dimana
terjadi euphoria reformasi segala bidang, maka untuk mengantisipasi adanya
kecenderungan dunia usaha yang bangkrut pemerintah menertibkan Undang-Undang
Kepailitan menjadi suatu daerah hukum positif dalam sistem Perundang-Undangan di
Indonesia.
Seluruh harta benda debitur dalam kepailitan di peruntukan bagi pembayaran
tagihan-tagihan kreditur maka jika harta bendanya itu tidak mencukupi untuk memenuhi
kewajiban atas semua tanggungan itu, tentu harta benda itu harus dibagi di antara para
kreditur menurut perbandingan tagihan mereka masing-masing.2
Pembagian harta kekayaan pailit yang dimaksudkan untuk menjamin kepentingan
para kreditur. Hukum yang memberikan perlindungan terhadap kreditor dari kreditur
lainnya berupaya mencegah salah satu kreditur memperoleh lebih banyak dari kreditur
lainnya dalam pembagian harta kekayaan, sedangkan perlindungan dari kreditur yang
tidak jujur diperoleh dengan mewajibkan debitur mengungkap secara penuh maupun
secara priodik. Sementara itu, apabila debitur berada dalam keadaan susah dapat ditolong
maka debitur dimungkinkan untuk dapat di keluarkan secara terhormat dari permasalahan
utangnya.3
Pandangan seperti itu memang secara ekonomis dapat diterima, bila dikemas di
dalam peraturan hukum maka peraturan itu secara tepat kepentingan yang dilihat dari
sudut pandang ekonomis namun hal seperti ini jelas tidak sesuai dengan era global seperti
2
Martiman Prodjomidjojo, Proses kepailitan (Bandung : Mandar Maju, 1999), hlm. 2.
3
sekarang ini. Menurut Peter, aturan main bentuk perangkat hukum di dalam kegiatan
bisnis meliputi 3 (tiga) hal yaitu:
1. Aturan hukum yang memberi landasan hukum bagi keberadaan lembaga-lembaga
yang mewadahi bisnis dalam arena pasar (substantive legal rules).
2. Aturan hukum yang mengatur perilaku (behavior) para pelaku bisnis dalam
melaksanakan setiap transaksi bisnis, dan
3. Aturan hukum yang memungkinkan pelaku keluar dari pasar. Kata pailit berasal dari
bahasa Perancis “failite” berarti kemacetan pembayaran. Dalam bahasa Belanda
digunakan istilah “failite”. Sedang dalam hukum Anglo America,
undang-undangnya dikenal dengan Bankcrupty Act. Dalam pengertian kita, merujuk aturan
lama yaitu pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepailitan Faillisement Verordening S.
1990-217 jo 1905-348 menyatakan : “ Setiap berutang (debitur) yang ada dalam keadaan
berhenti membayar, baik atas laporan sendiri maupun atas permohonan seseorang
atau lebih berpiutang (kreditur), dengan putusan hakim dinyatakan dalam keadaan
pailit ”.4
Ketentuan yang baru yaitu dalam lampiran UU No.4 Tahun 1998 pasal 1 ayat (1),
yang menyebutkan : “Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak
membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2,
baik atas permohonan sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditur.5
4
Sri Rejeki Hartono, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepaitan Modern,(Jakarta: Majalah Hukum Nasional, 2000), hlm 81.
5
Pernyataan pailit tersebut harus melalui proses pemeriksaan dipengadilan setelah
memenuhi pesyaratan di dalam pengajuan permohonan. Keterbatasan pengetahuan
perihal ilmu hukum khususnya hukum kepailitan yang berasal dari hukum asing, juga
istilah pailit yang jarang sekali dikenal oleh masyarakat kalangan bawah maupun
pedesaan yang lebih akrab dengan hukum adatnya, istilah bangkrut lebih kenal.
Masyarakat desa tidak berpikir untuk memohon ke pengadilan agar dirinya dinyatakan
pailit. Para pedagang kecil jika ia sudah tidak dapat berdagang lagi, karena modalnya
habis dan ia tidak dapat membayar utang-utangnya, laluia mengatakan bahwa dirinya
sudah bangkrut. Tidak demikian halnya bagi perusahaan/pedagang besar, pengertian
istilah kebangkrutan maupun pailit telah mereka ketahui.
Esensi kepailitan secara singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas harta
kekayaan debitur baik yang pada waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama
kepailitan berlangsung untuk kepentingan semua kreditur yang pada waktu kreditur
dinyatakan pailit mempunyai hutang, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang
berwajib.6
1. Semua hasil pendapatan debitur pailit selama kepailitan tersebut dari pekerjaan
sendiri, gaji suatu jabatan/ jasa, upah pensiun, uang tunggu/ uang tunjangan, sekedar
atau sejauh hal itu diterapkan oleh hakim.
Akan tetapi dikecualikan dari kepailitan adalah:
2. Uang yang diberikan kepada debitur pailit untuk memenuhi kewajiban pemberian
nafkahnya menurut peraturan perundang-undangan (Pasal 213, 225, 321 KUH
Perdata).
6
3. Sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim pengawasan dari pendapatan hak nikmat
hasil seperti dimaksud dalam (Pasal 311 KUH Perdata).
4. Tunjangan dari pendapatan anak-anaknya yang diterima oleh debitur pailit
berdasarkan Pasal 318 KUH Perdata.
Apabila seorang debitur (yang utang) dalam kesulitan keuangan, tentu saja para
kreditur akan berusaha untuk menempuh jalan untuk menyelamatkan piutangnya dengan
jalan mengajukan gugatan perdata kepada debitur kepengadilan dengan disertai sita
jaminan atas harta si debitur atau menempuh jalan yaitu kreditur mengajukan
permohonan ke pengadilan agar si debitur dinyatakan pailit.7
Kreditur menempuh jalan yang pertama yaitu melalui gugatan perdata, maka
hanya kepentingan kreditur/si penggugat saja yang dicukupi dengan harta si debitur yang
disita dan kemudian dieksekusi pemenuhan piutang dari kreditur, kreditur lain yang tidak
melakukan gugatan tidak dilindungi kepentingannya. Adalah lain halnya apabila
kreditur-kreditur memohon agar pengadilan menyatakan debitur pailit, maka dengan persyaratan
pailit tersebut, maka jatuhlah sita umum atas semua harta kekayaan debitur dan sejak itu
pula semua sita yang telah dilakukan sebelumnya bila ada menjadi gugur.8
Dikatakan sita umum, karena sita tadi untuk kepentingan seorang atau beberapa
orang kreditur, melainkan untuk semua kreditur atau dengan kata lain untuk mencegah
penyitaan dari eksekusi yang dimintakan oleh kreditur secara perorangan. Hal lain yang
perlu dimengerti bahwa kepailitan hanya mengenai harta benda debitur, bukan
pribadinya. Jadi ia tetap cakap untuk melakukan perbuatan hukum di luar hukum
7
Ibid, hlm 108.
8
kekayaan misalnya hak sebagai keluarga, hak yang timbul dari kedudukan sebagai orang
tua, ibu misalnya. Jadi demikian sebenarnya esensi kepailitan.
Kepailitan yang pernah terjadi, Kurator tidak sepenuhnya bebas dalam melakukan
pengurusan dan pemberesan harta pailit. Kurator senantiasa berada dibawah pengawasan
Hakim Pengawas. Tugas Hakim Pengawas adalah mengawasi pengurusan dan
pemberesan harta pailit yang menjadi tugas Kurator (yang dilakukan oleh Kurator).
Hakim Pengawas menilai sejauh manakah pelaksanaan tugas pengurusan dan pemberesan
harta pailit yang dilaksanakan oleh Kurator dapat dipertanggung jawabkan kepada debitur
dan kreditur. Dalam kondisi inilah diperlukan peran Hakim Pengawas oleh karenanya
Kurator menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit
dan pelaksanaan tugasnya setiap tiga bulan.9
mendapat masukan. Hal ini dilakukan untuk mencapai tujuan keberhasilan dari suatu
pernyataan pailit, karenanya Hakim Pengawas dan Kurator harus saling berhubungan
sebagai mitra kerja.
Mengingat beratnya tugas yang diemban oleh Kurator dalam melakukan
pengurusan dan pemberesan harta pailit, maka seorang Kurator harus selalu berhubungan
dengan Hakim Pengawas untuk melakukan konsultasi atau sekedar
10
9
Imran Nating, Op.Cit, hlm. 102
10
Ibid, hlm. 102
Dalam melaksanakan tugas, baik Hakim Pengawas maupun
Kurator harus sama-sama saling mengetahui tugas keduanya, sehingga keduanya saling
memahami kapankah harus berhubungan. Kerja sama yang harmonis sangat diperlukan,
terlebih dahulu apabila menemui debitur atau kreditur yang kurang mendukung
kelancaran penyelesaian perkara. Kenyataan di lapangan, meskipun komunikasi Hakim
tegas dan langsung membantu tugas Kurator, misalnya menindak debitur yang tidak
kooperatif.11
F. Metode Penelitian
Dengan demikian jelas mengapa sejak berabad-abad telah ada peraturan
kepailitan, karena dirasakan perlu untuk mengatur hak-hak dan kewajiban debitur yang
tidak dapat membayar utang-utangnya serta hak-hak dan kewajiban para kreditur. Dari
kesimpulan ini dapat dipahami mengapa masalah kepailitan selalu di hubungkan dengan
kepentingan para kreditur, khususnya tentang tata cara dan hak kreditur untuk
memperoleh kembali pembayaran piutangnya dari seorang debitur yang dinyatakan pailit.
Dari uraian tersebut tergambar sangatlah bahwa Hakim Pengawas memiliki andil yang
cukup besar dalam pemberesan dan pengurusan harta pailit dalam kepailitan.
1. Sifat dan jenis penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif, penulis berupaya untuk menggambarkan
sifat hubungan hukum secara normatif dalam hukum kepailitan terhadap kewenangan
debitur.
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian normatif, yakni sebuah jenis
penelitian yang mencoba untuk melihat kesesuaian aturan-aturan hak ditingkat normatif,
yakni antara Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitandan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
2. Bahan Penelitian
Perlu ditegaskan bahan penelitian yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu :
11
a. Bahan hukum primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik peraturan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia maupun yang diterbitkan oleh Negara lain dan
badan-badan internasional.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan
hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer
seperti seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya
tulis ilmiah dan beberapa sumber internet yang berkaitan dengan persoalan diatas.
c. Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan
keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus, ensiklopedia dan lain-lain.
3. Alat Penelitian
Penulisan ini, penulis mengumpulkan data-data yang diperlukan dengan cara
penelitian kepustakaan (library research) yakni dengan mempelajari peraturan
perundang-undangan, buku, situs internet yang berkaitan dengan judul skripsi ini yang
bersifat teoritis ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian dan
menganalisa masalah-masalah yang dihadapi.12
4. Analisis Data
Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu
data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara
12
kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut
dituangkan dalam bentuk skripsi.
G. Sistematika penulisan
Agar memudahkan pemahaman terhadap materi dari skripsi ini dan agar tidak
terjadinya kesimpangsiuran dalam penulisan skripsi ini, maka penulis membaginya dalam
beberapa bab dan tiap bab dibagi lagi ke dalam beberapa sub-sub bab.
Adapun bab-bab yang dimaksud adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang latar belakang,
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan,
tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II KEPAILITAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA.
Bab ini berisikan tentang pengertian kepailitan, sejarah kepailitan di
Indonesia, syarat dan putusan pailit, akibat hukum kepailitan dan pengurusan
dan pemberesan harta pailit.
BAB III AKIBAT HUKUM KEPAILITAN TERHADAP KEWENANGAN
DEBITUR PAILIT DALAM MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM ATAS
HARTANYA
Bab ini berisikan tentang pengertian perbuatan hukum, bentuk-bentuk
kewenangan debitur pailit dalam melakukan perbuatan hukum atas hartanya.
BAB IV PERAN KURATOR TERKAIT DENGAN KEWENANGAN DEBITUR
PAILIT DALAM MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM ATAS
HARTANYA
Bab ini berisi tentang pengangkatan kurator oleh pengadilan niaga, tugas
kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit, kewenangan kurator
dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit, tanggungjawab kurator atas
kelalaiannya dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini adalah merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, dimana