SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
Oleh :
EVA HARDINI FAUZIAH NIM 1112046100009
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
v
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel DPK, CAR, inflasi, nilai tukar rupiah dan tingkat bagi hasil terhadap komposisi pembiayaan mudharabah pada BPRS di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series bulanan yaitu dari Juni 2009 sampai Juni 2015 yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia dalam laporan keuangan bulanan Statistik Perbankan Syariah. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linier berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan variabel DPK, CAR, inflasi, nilai tukar rupiah dan tingkat bagi hasil berpengaruh secara signifikan terhadap pembiayaan mudharabah. Secara parsial DPK dan nilai tukar rupiah (kurs) berpengaruh positif signifikan sedangkan CAR berpengaruh negatif signifikan. Variabel inflasi dan tingkat bagi hasil tidak berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan mudharabah.
Kata Kunci : Dana Pihak Ketiga (DPK), Capital Adequacy Ratio (CAR), Inflasi, Nilai Tukar Rupiah (Kurs), Tingkat Bagi Hasil, Pembiayaan Mudharabah
Pembimbing : Erika Amelia, M.Si.
vi
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa
memberikan rahmat, taufiq dan karunia-Nya sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini dengan judul “PENGARUH DPK, CAR, INFLASI,
NILAI TUKAR RUPIAH DAN TINGKAT BAGI HASIL TERHADAP
KOMPOSISI PEMBIAYAAN MUDHARABAH (Studi pada Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah (BPRS) di Indonesia)”. Shalawat serta salam semoga tetap
tercurahkan kepada nabi besar kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya,
para sahabat dan umatnya hingga akhir zaman.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada berbagai
pihak yang telah membantu dan mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini baik
secara langsung maupun tidak langsung. Adapun ungkapan terima kasih ini
penulis tujukan kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak AM. Hasan Ali, M.A., dan Dr. Abdurrauf, Lc, M.A., ketua Program
Studi Muamalat dan Sekretaris Program Studi Muamalat Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Erika Amelia, M.Si., dosen pembimbing yang berkenan meluangkan
waktunya dan selalu memberikan motivasi, saran serta pengarahan yang
vii
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada
penulis selama masa kuliah.
6. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan
Perpustakaan Umum yang telah memberikan fasilitas kepada penulis
dalam mecari referensi-referensi terkait penulisan skripsi.
7. Kedua orang tua tercinta yang sangat berjasa dalam hidup saya yaitu
Bapak H. Samsudin dan Ibu Hj. Entin Suhartini yang selalu mencurahkan
kasih sayangnya, memberikan doa yang tiada henti-hentinya dan dorongan
semangat kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini.
8. Adik-adik tercinta Wildan J. Assayuthi, Nurul Fitria A.D dan M. Abidzar
Al-Ghifari yang selalu memberikan doa dan dorongan semangat sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
9. Sahabat terbaikku dari kecil Rosi Rosyidah, sahabat kamar Aminah yaitu
Janah, Isti, Adel, Intan dan Ika. Terima kasih kalian yang selalu
mendoakan dan saling menyemangati dari jauh untuk menyelesaikan
skripsi ini. Semoga kita semua selalu sukses.
10. Teman-teman seperjuangan Lala, Ayu, Nihus, Deti, Ais, Ifa, Mentari,
viii
disebutkan satu per satu. Terima kasih atas bantuan, kerja sama, canda
tawa serta kenangan yang tak terlupakan selama masa perkuliahan.
12.Teman-teman KKN AKRAB yang telah memberikan doa dan semangat
kepada penulis. Semoga kita semakin akrab lagi.
13.Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Namun
penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ekonomi islam.
Jakarta, 30 Juni 2016
ix
HALAMAN JUDUL……...i
PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii
LEMBAR PENGESAHAN...iii
LEMBAR PERNYATAAN...iv
ABSTRAK...v
KATA PENGANTAR...vi
DAFTAR ISI...ix
DAFTAR TABEL...xiii
DAFTAR GAMBAR...xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1
B. Identifikasi Masalah...8
C. Batasan Masalah…...…………...9
D. Rumusan Masalah………...9
E. Tujuan Penelitian...10
F. Manfaat Penelitian...10
x
1. Pengertian BPRS...13
2. Tujuan Didirikannya BPRS...13
3. Kegiatan Usaha BPRS...14
B. Pembiayaan Mudharabah...16
1. Pengertian Pembiayaan Mudharabah...16
2. Landasan Syariah...17
3. Rukun Mudharabah...19
4. Penerapan Mudharabah dalam Perbankan Syariah...20
C. Dana Pihak Ketiga (DPK)...22
D. Capital Adequacy Ratio (CAR)...26
E. Inflasi...29
1. Pengertian Inflasi...29
2. Jenis Inflasi...30
3. Dampak Inflasi...33
F. Nilai Tukar (Kurs)...36
1. Pengertian Nilai Tukar ...36
2. Sistem Nilai Tukar di Indonesia...37
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar Rupiah...39
G. Tingkat Bagi Hasil...40
1. Pengertian Tingkat Bagi Hasil...40
xi
J. Hipotesis...52
BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian...54
B. Sumber dan Jenis Data...54
C. Metode Penentuan Sampel...55
D. Metode Pengumpulan Data...55
E. Metode Analisis Data...55
1. Uji Asumsi Klasik.,...56
2. Uji Hipotesis...61
a. Uji t (Parsial)...61
b. Uji F (Simultan)...62
c. Koefisien Determinasi (R2)...63
F. Operasional Variabel Penelitian...64
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Deskriptif...67
B. Hasil Uji Asumsi Klasik...75
C. Analisis Regresi Berganda...82
D. Uji Hipotesis...84
E. Pembahasan...89
xii
LAMPIRAN...100
xiii
Tabel 4.1 Uji Kolmogorov-Smirnov...77
Tabel 4.2 Hasil Uji Multikolinieritas dengan Nilai Tolerance dan VIF...78
Tabel 4.3 Hasil Uji Glejser...80
Tabel 4.4 Hasil Uji Durbin-Watson...82
Tabel 4.5 Hasil Analisis Regresi Linier Berganda...82
Tabel 4.6 Hasil Uji t...84
Tabel 4.7 Hasil Uji F...88
Tabel 4.8 Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2)...89
xiv
Gambar 2.2 Kurva Demand Inflation ...32
Gambar 2.3 Kurva Cost Inflation...33
Gambar 2.4 Skema Kerangka Pemikiran...51
Gambar 4.1 Perkembangan Pembiayaan Mudharabah pada BPRS...68
Gambar 4.2 Perkembangan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada BPRS ...69
Gambar 4.3 Perkembangan Capital Adequacy Ratio (CAR) pada BPRS...70
Gambar 4.4 Perkembangan Inflasi di Indonesia...72
Gambar 4.5 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah (Kurs) di Indonesia...73
Gambar 4.6 Perkembangan Tingkat Bagi Hasil pada BPRS...74
Gambar 4.7 Hasil Uji Normalitas dengan Normal P-P Plot...76
1 A. Latar Belakang Masalah
Salah satu produk penyaluran dana dengan prinsip bagi hasil yang
dilakukan oleh bank syariah adalah pembiayaan mudharabah. Pembiayaan
mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana
pemilik modal (shahib al-maal) mempercayakan sejumlah modal kepada
pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian
keuntungan.1Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil ini merupakan ciri sekaligus pembeda antara bank syariah dengan bank konvensional. Bank
syariah tidak menggunakan sistem bunga tetapi sistem bagi hasil dalam
kegiatan operasionalnya. Pada sistem bagi hasil keuntungan akan ditentukan
berdasarkan besar kecilnya keuntungan dari hasil usaha, atas modal yang
telah diberikan hak pengelolaan kepada nasabah mitra bank syari'ah, sangat
berbeda dengan sistem bunga yang keuntungannya ditentukan diawal, yaitu
dengan menghitung jumlah beban bunga dari dana yang disimpan atau
dipinjamkan.
Pembiayaan mudharabah sangat penting dan dapat diamalkan untuk
menjaga kemaslahatan umat. Pemilik dana yang mempunyai banyak dana
atau uang dapat menginvestasikan kepada pihak lain yang dipercaya untuk
mengelola dana tersebut. Demikian juga pengusaha yang ingin melakukan
1
usahanya tetapi tidak mempunyai kecukupan dana, maka dapat meminta
bantuan dana dari pihak yang mempunyai banyak dana. Hal ini sangat
bermanfaat karena dapat saling tolong-menolong dan dapat menggerakkan
sektor ekonomi riil yaitu menciptakan lapangan pekerjaan sehingga banyak
menyerap tenaga kerja dan tingkat pengangguran pun berkurang.
Bank syariah menggunakan sistem bagi hasil bukan bunga yang
membebani masyarakat kecil, maka bagi hasil khususnya produk pembiayaan
mudharabah seharusnya menjadi mekanisme yang dominan dalam aktivitas
perbankannya. Namun pada kenyataannya, bahwa saat ini produk
pembiayaan yang lebih banyak digunakan adalah pembiayaan murabahah
(jual beli). Begitu pula pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
pembiayaan murabahah lebih mendominasi dan banyak diminati oleh nasabah
dibandingkan dengan pembiayaan mudharabah.
Tabel 1.1
Komposisi Pembiayaan Yang Diberikan BUS, UUS Dan BPRS1
Waktu
Pembiayaan di BUS & UUS (dalam Milyar Rupiah)
Agust-14 14.277 114.002 120.617 3.854.672
Sep-14 14.356 114.891 123.717 3.899.660
1
Okt-14 14.371 115.088 123.691 3.918.522
Nov-14 14.307 115.602 124.847 3.940.199
Des-14 14.354 117.371 122.467 3.965.543
Jan-15 14.207 115.979 118.415 3.990.394
Feb-15 14.147 116.268 118.353 4.054.034
Mar-15 14.136 117.358 123.975 4.132.430
Apr-15 14.388 117.210 133.805 4.212.147
Mei-15 14.906 117.777 143.760 4.281.505
Jun-15 14.906 117.777 158.936 4.367.727
Sumber : Statistik Perbankan Syariah, Juni 2015
Rendahnya pembiayaan mudharabah di bank syariah maupun di BPRS
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah risiko yang tinggi, maka
dalam pembiayaan mudharabah bank akan selalu sangat berhati-hati dalam
melakukan pembiayaan mudharabah. Selain itu terdapat juga ketidakpastian
dari pembiayaan mudharabah. Bank hanya berlandaskan pada prediksi ke
depan dari jenis usaha tersebut.2 Biaya yang lebih tinggi juga dikeluarkan oleh bank untuk mengawasi pembiayaan mudharabah karena diperlukan
kewaspadaan yang lebih tinggi. Kemudian pihak bank juga perlu
menempatkan para teknisi dan ahli manajemen untuk mengawasi dan
mengevaluasi proyek usaha yang sedang berjalan.3
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) sendiri secara sederhana
dapat dipahami sebagai BPR biasa yang sistem operasionalnya mengikuti
2
Muhammad Akhyar Adnan & Didi Purwoko, Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Rendahnya Pembiayaan Mudharabah Menurut Perspektif Manajemen Bank Syariah Dengan Pendekatan Kritis, Jurnal Akuntansi & Investasi Vol. 14 (Januari 2013), hal. 25
3
prinsip-prinsip muamalah.4 Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan, disebutkan bahwa Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
(BPRS) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran. Pemerintah mengatur didirikannya BPRS untuk merangkul
masyarakat ekonomi lemah yang biasanya terdapat di wilayah desa atau
kecamatan dan mempunyai masalah dengan permodalan usahanya. Sebagian
besar masyarakat Indonesia mempunyai usaha yang tergolong ke dalam usaha
kecil dan menengah. Berdasarkan data Departemen Koperasi tahun 2010
jumlah UMKM sebesar 99,99% dan 0,01% tergolong ke dalam usaha besar.5 Tingkat pertumbuhan BPRS cukup signifikan di mana pada tahun 2015
jumlahnya sudah mencapai 160 BPRS. Seperti bank syariah, BPRS juga
melakukan kegiatan penghimpunan dana seperti tabungan dan deposito,
namun tidak melakukan simpanan dalam bentuk giro. Kemudian melakukan
penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan, seperti pembiayaan dengan
prinsip jual beli, sewa dan bagi hasil. Total asset dan pembiayaan yang
disalurkan oleh BPRS pun mengalami perkembangan setiap tahunnya, yaitu
sekitar 6,8 triliun dan 5,5 triliun pada bulan Juni 2015.6
Kemampuan pembiayaan yang disalurkan oleh BPRS dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Dari sisi internal atau dari dalam bank itu sendiri seperti
dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun oleh BPRS, kecukupan modal yang
4
Sukawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam (Jakarta : Sinar Grafika, 2000), hal 123
5
Departemen Koperasi, Data Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, 2010
6
dimiliki serta tingkat bagi hasil. Dana pihak ketiga merupakan dana yang
berasal dari masyarakat dan merupakan sumber dana yang paling besar yang
dapat diandalkan oleh bank. Kegiatan bank setelah menghimpun dana dari
masyarakat adalah menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat
yang membutuhkannya, dalam bentuk pinjaman atau yang lebih dikenal
dengan pembiayaan. Pemberian pembiayaan merupakan aktifitas bank yang
paling utama dalam menghasilkan keuntungan.7 DPK yang berhasil dihimpun oleh BPRS sampai bulan Juni 2015 yaitu sekitar 4 triliun.8 Jumlah tersebut bertambah dari tahun-tahun sebelumnya.
Penyaluran pembiayaan oleh perbankan tidak hanya dipengaruhi oleh
dana yang tersedia yang bersumber dari DPK tetapi juga dipengaruhi oleh
faktor permodalan atau CAR (Capital Adequecy Ratio).9 Capital Adequecy
Ratio (CAR) merupakan rasio permodalan yang menunjukkan kemampuan
bank dalam menyediakan dana untuk keperluan pengembangan usaha dan
menampung risiko kerugian dana yang diakibatkan oleh kegiatan operasi
bank. Bank Indonesia menetapkan CAR yang dimiliki oleh bank minimal 8%.
Apabila ketentuan CAR tidak terpenuhi, maka akan mempengaruhi tingkat
kesehatan bank dan akan mengurangi kemampuan ekspansi penyaluran
dana.10
7
Billi Arma Pratama, Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Penyaluran Kredit Perbankan (Studi Bank Umum di Indonesia Periode tahun 2005-2009) (Semarang: Tesis S2 Universitas Diponegoro, 2010), hal. 4
8
Bank Indonesia, Tabel Komposisi DPK-Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, Statistik Perbankan Syariah Juni 2015
9
I Made Pratista Yuda & Wahyu Meiranto, Pengaruh Faktor Internal Bank Terhadap Kredit Yang Disalurkan (Studi Empiris Pada Bank Yang Terdaftar Dalam Bursa Efek Indonesia), Jurnal Akutansi Dan Auditing Volume 7 Nomor 1 (2010), hal. 95
10
Perkembangan BPRS juga tidak terlepas dari pengaruh kondisi
perekonomian saat ini seperti tingkat inflasi dan nilai tukar rupiah. Inflasi
adalah sebuah fenomena ekonomi yang sangat dikenal oleh masyarakat.
Sejarah perekonomian Indonesia hampir tidak pernah bisa dilepaskan dari
fenomena inflasi. Sedangkan menurut Rahardja dan Mandala Manurung
mengatakan bahwa inflasi adalah gejala kenaikan harga barang-barang yang
bersifat umum dan berlangsung terus menerus.11 Inflasi yang tinggi tidak akan menggalakkan perkembangan ekonomi suatu negara. Biaya yang terus
menerus naik menyebabkan kegiatan produktif sangat tidak menguntungkan.
Maka pemilik modal biasanya lebih suka menggunakan uangnya untuk tujuan
spekulasi. Antara lain tujuan ini dicapai dengan membeli harta-harta tetap
seperti tanah, rumah dan bangunan.12 Dengan cara investasi seperti itu, tentu saja menurunkan minat masyarakat untuk menginvestasikan dananya di bank
sehingga bank akan menurunkan pemberian pembiayaannya.
Teori tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Khamdi
(2015), bahwa inflasi berpengaruh terhadap pembiayaan di BPRS.13 Namun berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mufqi Firaldi (2013)
menyatakan bahwa variabel inflasi tidak mempunyai pengaruh signifikan
11
Prathama Raharja dan Mandala Manurung, Pengantar Makro Ekonomi (Jakarta: LPPE-UI 2004), h. 155
12
Prathama Raharja dan Mandala Manurung, Pengantar Makro Ekonomi, h. 339
13
terhadap total pembiayaan yang disalurkan oleh BPRS, artinya berapa pun
tingkat inflasi yang ada tidak akan berpengaruh terhadap total pembiayaan.14 Nilai tukar rupiah yang melonjak lonjak secara drastis tak terkendali akan
menyebabkan kesulitan pada dunia usaha dalam menjalankan usahanya
terutama bagi mereka yang menggunakan bahan baku dari luar negeri atau
menjual barangnya ke pasar ekspor.15 Sehingga saat nilai tukar rupiah terhadap dolar meningkat maka jumlah permintaan pembiayaan pun menurun.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Khamdi
(2013) yang menyatakan bahwa nilai tukar rupiah berpengaruh signifikan
negatif terhadap pertumbuhan pembiayaan di BPRS. Begitu pula dengan hasil
penelitian Lia Andriani (2010) bahwa nilai tukar rupiah memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap pembiayaan mudharabah pada perbankan syariah.
Dengan melemahya kurs rupiah terhadap dolar AS dalam hal ini, yang
mencerminkan kondisi perekonomian yang tidak menentu (uncertainty)
sehingga meningkatkan risiko berusaha akan direspon oleh dunia usaha
dengan menurunkan permintaan mudharabah pada perbankan syariah di
Indonesia.16
Selain itu, jumlah penawaran pembiayaan mudharabah dipengaruhi oleh
faktor profit yang dalam hal ini adalah pendapatan bagi hasil. Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Nur Gilang Giannini (2013) menyatakan
14
Mufqi Firaldi, Analisis Pengaruh Jumlah DPK, NPF Dan Tingkat Inflasi Terhadap Total Pembiayaan Yang Diberikan Oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Di Indonesia (Jakarta: Skripsi S1 UIN Jakarta, 2013)
15
Aulia Pohan, Potret Kebijakan Moneter Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), hal. 55
16
bahwa variabel tingat bagi hasil secara parsial berpengaruh positif signifikan
terhadap pembiayaan mudharabah. Sehingga dapat dikatakan bahwa semakin
tinggi tingkat bagi hasil pada sebuah bank syariah maka akan meningkatkan
jumlah pembiayaan mudharabah.17
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas,
penulis ingin melakukan penelitian di mana variabel independennya adalah
DPK, CAR, inflasi, nilai tukar rupiah serta tingkat bagi hasil. Sementara
variabel dependennya adalah pembiayaan yang disalurkan di BPRS dan lebih
berfokus pada pembiayaan mudharabah. Sehingga penulis tertarik untuk
melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh DPK, CAR, Inflasi, Nilai
Tukar Rupiah dan Tingkat Bagi Hasil Terhadap Komposisi Pembiayaan Mudharabah (Studi pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) di Indonesia)”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah ditulis, maka penulis
mengidentifikasikan beberapa permasalahan yang ada sebagai berikut:
1. Pesatnya perkembangan bank tidak diimbangi dengan pesatnya
kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat yang tergolong ke dalam
ekonomi lemah yang biasanya terdapat di wilayah desa atau kecamatan.
2. Produk pembiayaan murabahah lebih mendominasi dalam kegiatan
penyaluran pembiayaan dibandingkan dengan produk pembiayaan
mudharabah.
17
3. Analisis bahwa DPK, CAR, inflasi, nilai tukar rupiah dan tingkat bagi
hasil mempengaruhi pembiayaan mudharabah.
4. Ada atau tidaknya hubungan kausalitas antara DPK, CAR, inflasi, nilai
tukar dan tingkat bagi hasil dengan pembiayaan mudharabah.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, perlu kiranya penulis
membatasi ruang lingkup penelitian agar tidak terjadi pembahasan yang terlalu
luas. Sehingga variabel yang digunakan adalah dana pihak ketiga (DPK),
Capital Adequacy Ratio (CAR) dan tingkat bagi hasil dari sisi internalnya.
Sementara dari sisi eksternal, variabel yang digunakan adalah inflasi dan nilai
tukar rupiah. Pembiayaan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah
pembiayaan mudharabah. Obyek penelitiannya adalah Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah di Indonesia dengan waktu pengamatan selama 6 tahun yaitu
periode Juni 2009 – Juni 2015.
D. Rumusan Masalah
Untuk memudahkan penulis dalam menjawab masalah pokok di atas,
maka penulis membuat perumusan masalah seperti berikut :
1. Apakah DPK berpengaruh terhadap pembiayaan mudharabah?
2. Apakah CAR berpengaruh terhadap pembiayaan mudharabah?
3. Apakah inflasi berpengaruh terhadap pembiayaan mudharabah?
4. Apakah nilai tukar rupiah berpengaruh terhadap pembiayaan mudharabah?
6. Apakah DPK, CAR, inflasi, nilai tukar rupiah dan tingkat bagi hasil secara
simultan berpengaruh terhadap pembiayaan mudharabah?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bukti empiris mengenai :
1. Menganalisis pengaruh DPK terhadap pembiayaan mudharabah.
2. Menganalisis pengaruh CAR terhadap pembiayaan mudharabah.
3. Menganalisis pengaruh inflasi terhadap pembiayaan mudharabah.
4. Menganalisis pengaruh nilai tukar rupiah terhadap pembiayaan
mudharabah.
5. Menganalisis pengaruh tingkat bagi hasil terhadap pembiayaan
mudharabah.
6. Menganalisis pengaruh DPK, CAR, inflasi, nilai tukar rupiah dan tingkat
bagi hasil secara simultan terhadap pembiayaan mudharabah.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis pemikiran ini diharapkan mampu memberikan
sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu Ekonomi Islam,
mengetahui seberapa berpengaruh variabel dana pihak ketiga (DPK),
Capital Adequacy Ratio (CAR), inflasi, nilai tukar rupiah dan tingkat bagi
hasil terhadap penyaluran pembiayaan mudharabah di Bank Pembiayaan
mendatang, terutama bagi penelitian yang berkaitan dengan perbankan
syariah dan BPRS.
2. Manfaat praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan menjadi tambahan wawasan
pengetahuan masyarakat tentang variabel-variabel yang diteliti dalam
penelitian ini yaitu pembiayaan mdharabah, dana pihak ketiga (DPK),
Capital Adequacy Ratio (CAR), inflasi, nilai tukar rupiah serta tingkat
bagi hasil. Serta menjadi informasi dan referensi Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah (BPRS) agar dapat meningkatkan kegiatan operasionalnya
terutama dalam pembiayaan mudharabah.
G. Sistematika Penulisan
Untuk lebih terarah dalam pembahasan skripsi ini, penulis membuat
sistematika penulisan sesuai dengan masing-masing bab. Penulis
membaginya menjadi 5 (lima) bab, yang masing-masing bab terdiri dari
beberapa sub bab yang merupakan penjelasan dari bab tersebut. Adapun
sistematika penulisan tersebut adalah sebagai berikut:
BAB 1 Pendahuluan, berisi uraian mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II Landasan Teori, pada bab ini berisi penjelasan secara teori mengenai Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), Pembiayaan
(CAR), Inflasi, Nilai Tukar Rupiah dan Tingkat Bagi Hasil,
penelitian terdahulu, kerangka pemikiran dan hipotesis.
BAB III Metode Penelitian, bab ini berisi tentang ruang lingkup penelitian, sumber dan jenis data penelitian, metode penentuan sampel,
metode pengumpulan data, metode analisis yang digunakan serta
operasional variabel penelitian.
BAB IV Hasil dan Pembahasan, bab ini membahas tentang hasil analisis penelitian yang berisi deskriptif variabel yang diteliti yaitu
pembiayaan mudharabah, DPK, CAR, Inflasi, Nilai Tukar Rupiah
dan Tingkat Bagi Hasil serta hasil analisis pengolahan data, yaitu
hasil analisis regresi linier berganda dengan terlebih dahulu
melakukan uji asumsi klasik dan analisis hasil pengujian hipotesis
yang telah dilakukan.
13
A. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) 1. Pengertian BPRS
Dalam UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Pasal 5 Ayat 1 yang
diperbaharui dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa “menurut
jenisnya, bank terdiri dari bank umum dan bank perkreditan rakyat”. Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) yang dimaksud dalam undang-undang tersebut
adalah bank yang menerima simpanan dalam bentuk deposito berjangka,
tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu (UU Nomor
7 Tahun 1992, Pasal 1 Ayat 3). Adapun yang dimaksud dengan BPRS adalah
BPR biasa yang pola operasionalnya mengikuti prinsip-prinsip ekonomi
(syariah) Islam, terutama bagi hasil.1 Menurut UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, disebutkan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran.
2. Tujuan Didirikannya BPRS
Terdapat beberapa tujuan dari didirikannya BPRS, antara lain:
1) Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam terutama masyarakat
golongan ekonomi lemah
2) Meningkatkan pendapatan perkapita
1
3) Menambah lapangan kerja terutama di kecamatan-kecamatan
4) Mengurangi urbanisasi
5) Membina semangat ukhuwah Islamiyah melalui kegiatan ekonomi.
Kehadiran BPRS diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan umat
Islam terutama masyarakat golongan ekonomi lemah. Hal ini disebabkan
yang menjadi sasaran utama dari BPRS adalah umat Islam yang berada di
pedesaan dan ditingkat kecamatan. Masyarakat yang berada di kawasan
tersebut pada umumnya termasuk pada masyarakat golongan ekonomi lemah.
Kehadiran BPRS bisa menjadi sumber permodalan bagi pengembangan
usaha-usaha masyarakat golongan ekonomi lemah, sehingga pada gilirannya
bisa meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka.2
3. Kegiatan Usaha BPRS
Kegiatan usaha yang dilakukan oleh BPRS sebenarnya tidak jauh
berbeda dengan kegiatan usaha bank syariah. Berdasarkan UU Nomor 21
Tahun 2008 Pasal 21 disebutkan bahwa Kegiatan usaha Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah meliputi:
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk:
1) Simpanan berupa Tabungan atau yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah; dan
2
2) Investasi berupa Deposito atau Tabungan atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau
Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. Menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk:
1) Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah atau
musyarakah;
2) Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, salam, atau istishna’;
3) Pembiayaan berdasarkan Akad qardh;
4) Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak
kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah atau sewa beli dalam
bentuk ijarah muntahiya bittamlik; dan
5) Pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah;
c. Menempatkan dana pada Bank Syariah lain dalam bentuk titipan
berdasarkan Akad wadi’ah atau Investasi berdasarkan Akad
mudharabah dan/atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah;
d. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan Nasabah melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional,
dan UUS; dan
e. Menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syariah
lainnya yang sesuai dengan Prinsip Syariah berdasarkan persetujuan
Sementara itu, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dilarang:
a. Melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. Menerima Simpanan berupa Giro dan ikut serta dalam lalu lintas
pembayaran;
c. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali penukaran uang
asing dengan izin Bank Indonesia;
d. Melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen
pemasaran produk asuransi syariah;
e. Melakukan penyertaan modal, kecuali pada lembaga yang dibentuk
untuk menanggulangi kesulitan likuiditas Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah; dan
f. Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21.
B. Pembiayaan Mudharabah
1. Pengertian Pembiayaan Mudharabah
Pembiayaan Mudharabah merupakan akad pembiayaan antara bank
syariah sebagai shahibul-mal dan nasabah sebagai mudharib untuk
melaksanakan kegiatan usaha, di mana bank syariah memberikan modal
sebanyak 100% dan nasabah menjalankan usahanya. Hasil usaha atas
pembiayaan mudharabah akan dibagi antara bank syariah dan nasabah dengan
nisbah bagi hasil yang telah disepakati pada saat akad.
Dalam hal pengelolaan nasabah berhasil mendapatkan keuntungan, maka
Sebaliknya, dalam hal nasabah gagal menjalankan usahanya dan
mengakibatkan kerugian, maka seluruh kerugian ditanggung oleh
shahibul-mal. Mudharib tidak menanggung kerugian sama sekali atau tidak ada
kewajiban bagi mudharib untuk ikut menanggung kerugian atas kegagalan
usaha yang dijalankan.3
Akad mudharabah ada dua jenis, yaitu mudharabah mutlaqah dan
mudharabah muqayyadah. Pada mudharabah mutlaqah pemodal tidak
mensyaratkan kepada pengelola untuk melakukan jenis usaha tertentu. Jenis
usaha yang akan dijalankan oleh mudharib secara mutlak diputuskan oleh
mudharib yang dirasa sesuai sehingga disebut mudharabah tidak terikat atau
tidak terbatas. Pada mudharabah muqayyadah pemodal mensyaratkan kepada
pengelola untuk melakukan jenis usaha tertentu pada tempat dan waktu
tertentu sehingga disebut sebagai mudharabah terikat atau terbatas.4
2. Landasan Syariah
Secara umum landasan syariah al-mudharabah lebih mencerminkan
anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat-ayat dan hadits
berikut ini.
a. Al-Qur’an
ل لْ ف ْنم ْ غتْ ي ْراْا ىف ْ ب ْ ي ْ خاء
...
“…dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari
sebagian karunia Allah SWT…”(al-Muzzammil: 20)
3
Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta: KENCANA, 2011), hal. 168-169
4
Yang menjadi wajhud-dilalah atau argumen dari surah al-Muzzammil:
20 adalah adanya kata yadhribun yang sama dengan akar kata
mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha.
...
ل لْ ف ْنم ْا غتْبْا ْرأْا ىف ْا شتن ْاف لَ ْلا
تي ق ا إف
“Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka
bumi dan carilah karunia Allah SWT...”(al-Jumu’ah: 10)
...
ْم ِب
َر ْنِم اْ ف ْا غتْ ت ْ أ ح ا ج ْم ْيلع سْيل
“Tidak ada dosa (halangan) bagi kamu untuk mencari karunia
Tuhanmu...(al-Baqarah: 198)
Surat al-Jumu’ah: 10 dan al-Baqarah: 198 sama-sama mendorong
kaum muslimin untuk melakukan upaya perjalanan usaha.
b. Al-Hadits
يضر اَ ع نْبا ر
ْبِلط لْا ْ ع نْب اَ علْا ان ِيس اك : اق هَنأ ا ْ ع ل
هب ْ يا ا ْحب هب كلْسيا ْ أ ه ح اص ىلع تْشا برا م ا لْا عفدا إ
ْ ر ك ا َباد هب تْشيا ايدا
ْ سر ه ْ ش غل ف ن ض كل لعف ْ اف
اجأف مَلس هْيلع ل ىَلص ل
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul
Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia
menyaratkan agar dananya tidak dibawa ke lautan, menuruni lembah yang
berbahaya atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang
syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah saw dan Rasulullah saw pun
membolehkannya.” (HR. Thabrani)5
3. Rukun Mudharabah
Faktor-faktor yang harus ada (rukun) dalam akad mudharabah adalah:6
a. Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha)
Dalam akad mudharabah, harus ada minimal dua pelaku. Pihak
pertama bertindak sebagai pemilik modal (shahibul mal), sedangkan
pihak kedua bertindak sebagai pelaksana usaha (mudharib atau
‘amil). Tanpa dua pelaku ini, akad mudharabah tidak ada.
b. Objek mudharabah (modal dan kerja)
Faktor kedua (objek mudharabah) merupakan konsekuensi logis
dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal
menyerahkan modalnya sebagai objek mudharabah, sedangkan
pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai objek mudharabah.
Modal yang diserahkan bisa berbentuk uang atau barang yang dirinci
berapa nilai uangnya. Sedangkan kerja yang diserahkan bisa
berbentuk keahlian, keterampilan, selling skill, management skill, dan
lain-lain.
Para fuqaha sebenarnya tidak membolehkan modal mudharabah
berbentuk barang. Ia harus uang tunai karena barang tidak dapat
dipastikan taksiran harganya dan mengakibatkan ketidakpastian
5Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik
, (Jakarta: Gema Insani, 2009), hal. 95-96
6
(gharar) besarnya modal mudharabah. Namun para ulama mazhab
Hanafi membolehkannya dan nilai barang yang dijadikan setoran
modal harus disepakati pada saat akad oleh mudharib dan shahibul
mal. Yang jelas tidak boleh adalah modal mudharabah yang belum
disetor. Para fuqaha telah sepakat tidak bolehnya mudharabah dengan
hutang.
c. Persetujuan kedua belah pihak (ijab-qabul)
Faktor ketiga, yakni persetujuan kedua belah pihak, merupakan
konsekuensi dari prinsip an-taraddin-minkum (sama-sama rela). Di
sini kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk
mengikatkan diri dalam akad mudharabah.
d. Nisbah keuntungan
Faktor yang keempat (yakni nisbah) adalah rukun yang khas
dalam akad mudharabah, yang tidk ada dalam akad jual beli. Nisbah
ini mencerminkan imbalan yag berhak diterima oleh keduan pihak
yang bermudharabah.
4. Penerapan Mudharabah dalam Perbankan Syariah
Skema standar mudharabah adalah skema yang berlaku antara dua pihak
saja secara langsung, yakni shahibul-mal berhubungan langsung dengan
mudharib. Dan inilah sesungguhnya praktik mudharabah yang dilakukan oleh
nabi dan para sahabat serta umat muslim sesudahnya. Dalam kasus ini, yang
terjadi adalah investasi langsung (direct financing) antara shahibul-mal
financing seperti ini, peran bank sebagai lembaga perantara (intermediary)
tidak ada.
Mudharabah klasik seperti ini memiliki ciri-ciri khusus, yakni bahwa
biasanya hubungan antara shahibul-mal dengan mudharib merupakan
hubungan personal dan langsung serta dilandasi rasa saling percaya
(amanah). Shahibul-mal hanya mau menyerahkan modalnya kepada kepada
orang yang ia kenal dengan baik, profesionalitas maupun karakternya.
Modus mudharabah seperti itu tidak efisien lagi dan kecil
kemungkinannya untuk dapat diterapkan oleh bank, karena beberapa hal:
a. Sistem kerja pada bank adalah investasi berkelompok, di mana mereka tidak saling mengenal. Jadi kecil sekali kemungkinannya
terjadi hubungan yang langsung dan personal.
b. Banyak investasi sekarang ini yang membutuhkan dana dalam jumlah besar, sehingga diperlukan puluhan bahkan ratus ribuan
shahibul-mal untuk sama-sama menjadi penyandang dana untuk
satu proyek tertentu.
c. Lemahnya disiplin terhadap ajaran islam menyebabkan sulitnya bank memperoleh jaminan keamanan atas modal yang
disalurkannya.
Untuk mengatasi hal di atas, khususnya masalah pertama dan kedua,
maka ulama kontemporer melakukan inovasi baru atas skema mudharabah,
diperankan oleh bank syariah sebagai lembaga perantara yang
mempertemukan shahibul-mal dengan mudharib.
Gambar 2.1
Skema Pembiayaan Mudharabah
Dalam skema indirect financing di atas, bank menerima dana dari
shahibul-mal dana pihak ketiga sebagai sumber dananya. Dana-dana ini dapat
berupa tabungan atau simpanan deposito mudharabah dengan jangka waktu
bervariasi. Selanjutnya, dana-dana yang sudah terkumpul ini disalurkan
kembali oleh bank ke dalam bentuk pembiayaan-pembiayaan yang
menghasilkan (earning assets). Keuntungan dari penyaluran pembiayaan
inilah yang akan dibagi hasilkan antara bank dengan pemilik dana pihak
ketiga.7
C. Dana Pihak Ketiga (DPK)
Dana pihak ketiga (simpanan) menurut UU Perbankan RI No. 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah adalah dana yang dipercayakan oleh nasabah
kepada Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain
7
Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, hal. 210-211 Mudharib
Bagi Hasil Bagi Hasil
yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dalam bentuk giro, tabungan,
atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Dana pihak ketiga yang dihimpun oleh bank dapat berbentuk giro,
tabungan dan deposito. Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam
penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadiah dan mudharabah.8 BPRS tidak melakukan penghimpunan dana dalam bentuk giro, maka
pembahasan DPK dalam penelitian ini hanya tabungan dan deposito.
1. Tabungan
Berdasarkan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
yang dimaksud dengan tabungan adalah simpanan berdasarkan akad
wadi’ah atau investasi dana berdasarkan akad mudharabah atau akad lain
yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya hanya
dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati,
tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya
yang dipersamakan dengan itu.
a. Tabungan Wadiah
Berkaitan dengan produk tabungan wadiah, Bank Syariah
menggunakan akad wadiah yad adh-dhamanah. Beberapa ketentuan
umum tabungan wadiah sebagai berikut:
1. Tabungan wadiah merupakan tabungan yang bersifat titipan
murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat (on call)
sesuai dengan kehendak pemilik harta.
8
2. Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana atau pemanfaatan
barang menjadi milik atau tanggungan bank, sedangkan nasabah
penitip tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian.
3. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik harta
sebagai sebuah insentif selama tidak diperjanjikan dalam akad
pembukaan rekening.
b. Tabungan Mudharabah
Tabungan mudharabah adalah tabungan yang dijalankan
berdasarkan akad mudharabah. Dalam hal ini, Bank Syariah bertindak
sebagai mudharib (pengelola dana), sedangkan nasabah bertindak
sebagai shahibul mal (pemilik dana). Bank Syariah dalam
kapasitasnya sebagai mudharib, mempunyai kuasa untuk melakukan
berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah
serta mengembangkannya, termasuk melakukan akad mudharabah
dengan pihak lain. Namun, di sisi lain, Bank Syariah juga memiliki
sifat sebagai seorang wali amanah (trustee), yang berarti bank harus
berhati-hati atau bijaksana serta beritikad baik dan bertanggung jawab
atas segala sesuatu yang timbul akibat kesalahan atau kelalaiannya.
Beberapa ketentuan umum tabungan mudharabah sebagai berikut:
1. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul mal atau
pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau
2. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan
berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya
mudharabah dengan pihak lain.
3. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai
dan bukan piutang.
4. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah
dan dituangkan dalam bentuk akad pembukaan rekening
5. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan
dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan
nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.9 2. Deposito
Berdasarkan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang
dimaksud dengan deposito adalah investasi dana berdasarkan akad
mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah
yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan
akad antara nasabah penyimpan dan bank syariah dan/atau UUS. Jangka
waktu deposito bisa 1, 3, 6 dan 12 bulan.
Adapun yang dimaksud dengan deposito syariah adalah deposito yang
dijalankan berdasarkan prinsip syariah. Dalam hal ini, DSN MUI telah
9
mengeluarkan fatwa yang meyatakan bahwa deposito yang dibenarkan
adalah deposito yang berdasarkan prinsip mudharabah.10
Hubungan DPK Dengan Pembiayaan Mudharabah
Kegiatan yang dilakukan oleh bank adalah menghimpun dan
menyalurkan dana masyarakat. Dana yang berhasil dihimpun dari masyarakat
disebut dengan dana pihak ketiga (DPK). Penghimpunan dana ini bisa melalui
tabungan, deposito dan giro. DPK mempunyai hubungan yang positif dengan
pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah maupun BPRS. DPK
merupakan sumber dana terbesar yang dimiliki oleh suatu bank. Dana yang
terkumpul tersebut kemudian disalurkan oleh bank dalam bentuk pembiayaan.
Sehingga semakin besar jumlah DPK yang dihimpun oleh bank dapat
meningkatkan jumlah pembiayaan yang disalurkan kepada masyarakat.
D. Capital Adequacy Ratio (CAR)
Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio permodalan yang
menunjukan kemampuan bank dalam mengembangkan usahanya dan
sekaligus menutupi kerugian dari risiko yang terjadi dalam menjalankan
kegiatan operasionalnya. Jumlah modal yang dimiliki oleh sebuah bank harus
cukup untuk memenuhi fungsi dasar, yaitu membiayai organisasi dan operasi
sebuah bank, memberikan rasa perlindungan kepada penabung dan kreditor
lainnya, dan memberikan rasa percaya kepada para penabung dan pihak
berwenang. Dalam kaitan ini, fungsi perlindunganlah yang paling penting.
10
Dana modal harus mencukupi untuk menyerap kerugian dan menjamin
keamanan dana para deposan.
Penetapan rasio kecukupan modal (CAR), BI menetapkan kewajiban
menyediakan modal minimal yang harus dimiliki oleh setiap bank umum,
yang dinyatakan dengan Capital Adequacy Ratio (CAR). Sesuai dengan
standar yang ditetapkan oleh Bank for International Settlements (BIS),
besarnya CAR setiap bank minimal sebesar 8%.11 Apabila CAR minimal tidak tercapai, bank tersebut dinilai akan sulit mengatasi masalah
keuangannya. Karena modal sendiri akan segera habis untuk menutupi
kerugian yang terjadi dan tidak akan dapat menutupi kewajiban ke
masyarakat. Untuk itu, Bank Indonesia akan segera melakukan tindakan pada
perbankan nasional yang tidak dapat memenuhi CAR minimal.12
Modal bank syariah terdiri dari: (a) modal inti (tier 1), (b) modal
pelengkap (tier 2), dan (c) modal pelengkap tambahan (tier 3). Modal
pelengkap (tier 2) dan modal pelengkap tambahan (tier 3) hanya dapat
diperhitungkan setinggi-tingginya 100% dari modal inti. Sedangkan modal
inti (tier 1) dan modal pelengkap (tier 2) diperhitungkan dengan faktor
pengurang yang berupa seluruh penyertaan yang dilakukan oleh bank.13
Pemenuhan kewajiban penyediaan modal minimum didasarkan atas
risiko aktiva dalam arti luas, artinya tidak hanya aktiva yang tercantum pada
neraca secara on Balance Sheets tetapi juga pada aktiva yang bersifat
11
Herman Darmawi, Manajemen Perbankan (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), h. 89-90
12
Ade Arthesa dan Edia Handiman, Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, (Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia, 2006), hal. 62
13
administratif atau secara off Balance Sheets, sebagaimana yang tampak pada
kewajiban yang bersifat kontijen dan/atau komitmen yang disediakan oleh
bank bagi pihak ketiga. Risiko terhadap aktiva dalam bentuk risiko kredit
maupun risiko yang terjadi karena fluktuasi harga surat-surat berharga, dan
tingkat bunga serta nilai tukar valuta asing secara teknis, kewajiban
penyediaan modal minimum diukur dari persentase tertentu terhadap Aktiva
Tertimbang Menurut Risiko (ATMR), sedangkan pengertian modal meliputi
modal inti dan modal pelengkap.14 CAR merupakan perbandingan antara modal dengan aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR).
atau
Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) adalah nilai total
masing-masing aktiva bank setelah dikalikan dengan masing-masing-masig bobot risiko
aktiva tersebut. Aktiva yang paling tidak berisiko diberi bobot 0% dan aktiva
yang paling berisiko diberi bobot 100%. Dengan demikian ATMR
menunjukan nilai aktiva berisiko yang memerlukan antisipasi modal dalam
jumlah yang cukup.15
14
Riyadi Slamet, Banking Assets And Liability Management, (Jakarta: LPFE UI, 2006), hal. 66
15 Dwi Nur’aini Ihsan,
Hubungan CAR Dengan Pembiayaan Mudharabah
CAR merupakan rasio permodalan yang berfungsi untuk mengukur
kemampuan bank dalam menyerap kerugian-kerugian yang tidak dapat
dihindari lagi serta dapat pula digunakan untuk mengukur besar-kecilnya
kekayaan bank tersebut atau kekayaan yang dimiliki oleh para pemegang
sahamnya. Perhitungan aspek permodalan bank dimaksudkan untuk
mengetahui seberapa besar kemampuan bank tersebut untuk menanggung
risiko kerugian yang mungkin timbul dari pembiayaan yang diberikan bank
kepada pihak lain.16 CAR termasuk salah satu indikator dalam menganalisis kesehatan/kinerja bank. Semakin tinggi CAR yang dimiliki oleh suatu bank
menunjukan bahwa kinerja bank tersebut baik sehingga berpengaruh terhadap
kegiatan operasionalnya, salah satunya pembiayaan mudharabah.
E. Inflasi
1. Pengertian Inflasi
Salah satu peristiwa moneter yang sangat penting dan yang dijumpai
hampir disemua negara di dunia adalah inflasi. Definisi singkat dari inflasi
adalah kecenderungan dari harga-harga untuk menaik secara umum dan terus
menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi,
kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan)
sebagian besar dari harga barang-barang lain. Syarat adanya kecenderungan
menaik yang terus-menerus juga perlu diingat. Kenaikan harga-harga karena,
misalnya musiman, menjelang hari-hari besar, atau yang terjadi sekali saja
16
(dan tidak mempunyai pengaruh lanjutan) tidak disebut inflasi. Kenaikan
harga semacam ini tidak dianggap sebagai masalah atau “penyakit” ekonomi
dan tidak memerlukan kebijaksanaan khusus untuk menanggulanginya.17 Dalam banyak literatur disebutkan bahwa inflasi didefinisikan sebagai
kenaikan harga umum secara terus menerus dari suatu perekonomian.
Sedangkan menurut Rahardja dan Mandala Manurung mengatakan bahwa
inflasi adalah gejala kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan
berlangsung terus menerus. Sedangkan menurut Sukirno, inflasi yaitu,
kenaikan dalam harga barang dan jasa yang terjadi karena permintaan
bertambah lebih besar dibandingkan dengan penawaran barang di pasar.
Dengan kata lain, terlalu banyak uang yang memburu barang yang terlalu
sedikit. Tingkat harga yang melambung sampai 100% atau lebih dalam
setahun (hiperinflasi), menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat
terhadap mata uang, sehingga masyarakat cenderung menyimpan aktiva
mereka dalam bentuk lain, seperti real estate atau emas, yang biasanya
bertahan nilainya dimasa-masa inflasi.18
2. Jenis Inflasi
Kategori inflasi menurut besarnya dapat dibagi menjadi beberapa macam,
yaitu:19
a. Inflasi rendah, yaitu inflasi dengan laju kurang dari 10% pertahun,
sehingga disebut juga dengan inflasi di bawah dua digit. Sifat inflasi
17
Boediono, Ekonomi Moneter (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 1998), edisi ke 3, hal. 161
18
Nurul Huda, Ekonomi Makro Islam : Pendekatan Teoritis, (Jakarta: KENCANA, 2008), hal. 175
19
rendah ini tidak memberikan dampak yang merusak bagi
perekonomian. Dalam beberapa hal justru memberikan dorongan bagi
pengusaha untuk lebih bergairah dalam berproduksi karena adanya
dorongan kenaikan harga barang di pasar.
b. Inflasi sedang, yaitu inflasi yang bergerak antara 10%-30% pertahun.
Pengaruh yang ditimbulkan cukup dirasakan terutama bagi masyarakat
yang berpenghasilan tetap seperti pegawai negeri dan karyawan lepas.
c. Inflasi tinggi, yaitu inflasi dengan laju antara 30%-100% pertahun.
Efek yang ditimbulkan menyebabkan mulai hilangnya kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga-lembaga ekonomi masyarakat seperti
perbankan. Aktifitas kredit, asuransi, proses produksi dan distribusi
barang mengalami guncangan karena masyarakat lebih mengambil
sikap aman dengan memegang barang daripada uang. Masyarakat
mulai kehilangan kepercayaan terhadap stabilitas nilai mata uang.
d. Hyper inflation, yaitu inflasi dengan laju di atas 100% pertahun dan
menimbulkan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Fenomena hyper
inflation biasanya menandai adanya pergolakan politik dan pergantian
pemerintah atau rezim. Masyarakat benar-benar kehilangan
kepercayaan terhadap mata uang yang beredar sehingga perekonmian
lumpuh.
Penggolongan yang kedua adalah atas dasar sebab awal dari inflasi. Atas
1. Inflasi yang timbul karena permintaan masyarakat akan berbagai
barang terlalu kuat. Inflasi semacam ini disebut demand inflation.
2. Inflasi yang timbul karena kenaikan biaya produksi. Ini disebut cost
inflation.20
Gambar 2.2 Kurva Demand Inflation
Pada gambar 2.2, karena permintaan masyarakat akan barang-barang
(aggreat demand) bertambah (misalnya, karena bertambahnya
pengeluaran pemerintah yang dibiayai dengan pencetakan uang, atau
kenaikan permintaan luar negeri akan barang-barang ekspor, atau
bertambahnya pengeluaran investasi swasta karena kredit yang murah),
maka kurva aggregat demand bergeser dari D1 ke D2. Akibatnya tingkat
harga umum naik dari H1 ke H2.
20
Boediono, Ekonomi Moneter, hal. 162-163
H2
H1
S
D2
Q1 Q2
Harga
0 Output
Gambar 2.3 Kurva Cost Inflation
Bila biaya produksi naik (misalnya, arena kenaikan harga sarana
produksi yang didatangkan dari luar negeri atau karena kenaikan harga
bahan bakar minyak) maka kurva penawaran masyarakat (aggregat
supply) bergeser dari S1 ke S2. Kasus cost inflation biasanya kenaikan
harga-harga dibarengi dengan penurunan omzet penjualan barang
(kelesuan usaha)
3. Dampak Inflasi
Ada beberapa masalah sosial (biaya sosial) yang muncul dari inflasi yang
tinggi (≥ 10% per tahun), yaitu :21
a. Menurunnya Tingkat Kesejahteraan Rakyat
Tingkat kesejahteraan masyarakat, sederhananya diukur dengan
tingkat daya beli pendapatan yang diperoleh. Inflasi menyebabkan
daya beli pendapatan makin rendah, khususnya bagi masyarakat yang
21
Prathama Rahardja dan Mandala Manurung, Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi & Makroekonomi, (Jakarta: LPFEUI, 2008), hal. 371-372
H1 H2
S2
S1
D
Q4 Q3
Harga
berpenghasilan kecil dan tetap (kecil). Makin tinggi tingkat inflasi,
makin cepat penurunan tingkat kesejahteraan.
b. Makin Buruknya Distribusi Pendapatan
Dampak buruk inflasi terhadap tingkat kesejahteraan dapat
dihindari jika pertumbuhan pendapatan lebih tinggi dari tingkat inflasi.
Jika inflasi 20% per tahun, pertumbuhan tingkat pendapatan harus
lebih besar dari 20% per tahun. Persoalannya adalah jika inflasi
mencapai 20% per tahun, dalam masyarakat hanya segelintir orang
yang mempunyai kemampuan meningkatkan pendapatannya ≥ 20%
per tahun. Akibatnya, ada sekelompok masyarakat yang mampu
meningkatkan pendapatan riil (pertumbuhan pendapatan nominal
dikurangi laju inflasi lebih besar dari 0% per tahun). Tetapi sebagian
besar masyarakat mengalami penurunan pendapatan riil. Distribusi
pendapatan, dilihat dari pendapatan riil, makin memburuk.
c. Terganggunya Stabilitas Ekonomi
Pengertian yang paling sederhana dari stabilitas ekonomi adalah
sangat kecilnya tindakan spekulasi dalam perekonomian. Produsen
berproduksi pada kapasitas penuh (optimal). Konsumen juga memakai
barang dan jasa optimal dengan kebutuhan mereka. Kondisi nyaman
ini mulai terganggu bila inflasi yang relatif tinggi menjadi kronis.
Inflasi mengganggu stabilitas ekonomi dengan merusak perkiraan
tentang masa depan (ekspektasi) para pelaku ekonomi. Inflasi yang
akan terus naik. Bagi konsumen perkiraan ini mendorong pembelian
barang dan jasa lebih banyak dari yang seharusnya/biasanya.
Tujuannya untuk lebih menghemat pengeluaran konsumsi. Akibatnya,
permintaan barang dan jasa justru dapat meningkat.
Bagi produsen perkiraan akan naiknya harga barang dan jasa
mendorong mereka menunda penjualan, untuk mendapat keuntungan
yang lebih besar. Penawaran barang dan jasa berkurang. Akibatnya,
kelebihan permintaan membesar dan mempercepat laju inflasi. Tentu
saja, kondisi ekonomi akan menjadi semakin memburuk.
Hubungan Inflasi Dengan Pembiayaan Mudharabah
Kondisi perekonomian yang selalu menarik perhatian perbankan dalam
menyalurkan pembiayaan adalah tingkat inflasi. Inflasi mempunyai pengaruh
negatif terhadap pembiayaan yang disalurkan oleh bank. Inflasi menyebabkan
harga barang-barang menjadi naik. Ketika tingkat inflasi tinggi, daya beli
masyarakat menurun khususnya bagi masyarakat yang berpenghasilan tetap
dan kecil. Masyarakat akan mengurai konsumsi tersier, namun tetap
menggunakan dananya untuk membeli bahan-bahan pokok guna memenuhi
kebutuhan sehari-sehari. Selain itu, dampak dari inflasi adalah melemahkan
semangat menabung dari masyarakat dan mengarahkan investasi pada hal-hal
yang non produktif yaitu pemupukan kekayaan seperti tanah, bangunan, logam
seperti pertanian, industrial, transportasi dan lainnya.22 Minat menabung masyarakat menurun menyebabkan dana yang dihimpun dari masyarakat
jumlahnya ikut menurun. Hal ini akan berpengaruh pada jumlah pembiayaan
yang diberikan oleh bank kepada masyarakat.
F. Nilai Tukar (Kurs) 1. Pengertian Kurs
Kurs valuta asing atau kurs mata uang asing menunjukan harga atau nilai
mata uang sesuatu negara yang dinyatakan dalam nilai mata uang negara lain.
Kurs valuta asing dapat juga didefinisikan sejumlah uang domestik yang
dibutuhkan, yaitu banyaknya rupiah yang dibutuhkan untuk memperoleh satu
unit mata uang asing.23
Menurut Douglas Greenwald (1982:430) exchange rates (nilai tukar
uang) atau yang lebih populer dikenal dengan sebutan kurs mata uang adalah
catatan (quotation) harga pasar dari mata uang asing (foreign currency) dalam
harga mata uang domestik (domestic currency) begitu pula sebaliknya, yaitu
harga mata uang domestik dalam mata uang asing. Nilai tukar uang
mempresentasikan tingkat harga pertukaran dari satu mata uang yang lainnya
dan digunakan dalam berbagai transaksi, antara lain transaksi perdagangan
internasional, turisme, investasi internasional, ataupun aliran uang jangka
22
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 139
23
pendek antar negara yang melewati batas-batas geografis ataupun batas-batas
hukum.24
Kebijakan nilai tukar uang dalam islam dapat dikatakan menganut sistem
“managed floating”, dimana nilai tukar adalah hasil dari kebijakan-kebijakan
pemerintah (bukan merupakan cara atau kebijakan itu sendiri) karena
pemerintah tidak mencampuri keseimbangan yang terjadi di pasar kecuali jika
terjadi hal-hal yang mengganggu keseimbangan itu sendiri. Jadi bisa
dikatakan bahwa suatu nilai tukar yang stabil adalah merupakan hasil dari
kebijakan pemerintah yang tepat.25
2. Sistem Nilai Tukar di Indonesia
Secara umum dapat disimpulkan nilai tukar uang yang digunakan oleh
Indonesia sejak periode 1964 hingga sekarang, sistem nilai tukar yang berlaku
di Indonesia telah mengalami perubahan sebanyak tiga kali yaitu:
a. Sistem Nilai Tukar Tetap
Sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dimana lembaga
otoritas moneter menetapkan tingkat nilai tukar mata uang domestic
terhadap mata uang negara lain pada tingkat tertentu, tanpa
memperhatikan penawaran ataupun permintaan terhadap valuta asing
yang terjadi.
b. Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali
Nilai tukar mengambang terkendali, dimana pemerintah
mempengaruhi tingkat nilai tukar melalui permintaan dan penawaran
24
M. Nur Rianto Al-Arif, Teori Makroekonomi Islam (Bandung: Alfabeta, 2010), hal. 107
25
valuta asing, biasanya sistem ini diterapkan untuk menjaga stabilitas
moneter dan neraca pembayaran. Dengan sistem tersebut, Bank
Indonesia menetapkan kurs indikasi dan membiarkan kurs bergerak di
pasar dengan spread tertentu. Untuk menjaga kestabilan nilai tukar
rupiah, maka BI melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi
batas atas atau batas bawah spread.
c. Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas
Nilai tukar mengambang bebas, di mana pemerintah tidak
mencampuri tingkat nilai tukar sama sekali sehingga nilai tukar
diserahkan pada permintaan dan penawaran valuta asing. Indonesia mulai
menerapkan menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas pada
periode 1997 hingga sekarang. Sejak pertengahan Juli 1997, rupiah
mengalami tekanan yang mengakibatkan semakin melemahnya nilai
rupiah terhadap US dollar.26
Apabila suatu negara mengalami defisit neraca perdagangan yaitu nilai
impor lebih besar daripada nilai ekspornya, maka kurs mata uangnya akan
meningkat atau dengan kata lain nilai mata uangnya mengalami penurunan
(depresiasi) artinya bahwa nilai mata uang suatu negara menjadi semakin
rendah dibandingkan mata uang mitra dagangnya. Dan sebaliknya jika suatu
negara mengalami surplus neraca perdagangan dimana nilai ekspornya lebih
26
besar daripada nilai impornya, maka kurs mata uangnya akan menurun atau
dengan kata lain nilai mata uangnya mengalami peningkatan (apresiasi).27 3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Nilai Tukar Rupiah
Dengan perkembangan ekonomi internasional yang semakin pesat,
hubungan ekonomi antar negara akan menjadi saling terkait dan
mengakibatkan peningkatan arus perdagangan barang maupun uang serta
modal antar negara. Terjadinya perubahan indikator makro di negara lain,
secara tidak langsung akan berdampak ada indikator suatu negara. Dengan
diberlakukannya sistem nilai tukar mengambang penuh/bebas (free floating
system) yang dimulai sejak Agustus 1997, posisi nilai tukar rupiah terhadap
mata uang asing (khususnya US$) ditentukan oleh mekanisme pasar. Sejak
masa itu naik turunnya nilai tukar (fluktuasi) ditentukan oleh kekuatan pasar.
Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap US$ pasca diberlakukannya sistem
nilai tukar mengambang terus mengalami kemerosotan.
Pada tahun 2005, melambungnya harga minyak dunia yang sempat
menembus level US$70/barrel memberikan kontribusi yang cukup besar
terhadap meningkatnya permintaan valuta asing sebagai konsekuensi negara
pengimpor minyak. Kondisi ini menyebabkan nilai tukar rupiah melemah
terhadap US$ dan berada kisaran Rp 9.200 sampai Rp 10.200 er US$. Nilai
tukar rupiah merupakan satu indikator ekonomi makro yang terkait dengan
APBN. Asumsi nilai tukar rupiah berhubungan dengan banyaknya transaksi
dalam APBN yang terkait dengan mata uang asing, seperti penerimaan
27
pinjaman dan pembayaran utang luar negeri, penerimaan minyak dan
pemberian subsidi BBM.28
Hubungan Nilai Tukar Rupiah Dengan Pembiayaan Mudharabah
Menurut Khamdi (2013) nilai tukar rupiah berpengaruh signifikan negatif
terhadap pertumbuhan pembiayaan di BPRS. Melemahnya nilai tukar rupiah
menyebabkan kesulitan pada dunia usaha dalam menjalankan usahanya
terutama bagi mereka yang menggunakan bahan baku dari luar negeri atau
menjual barangnya ke pasar ekspor. Pengelolaan nilai tukar rupiah yang
realistis dan perubahan yang cukup rendah dapat memberikan kepastian dunia
usaha sebagaimana yang terjadi pada beberapa waktu terakhir merupakan
suatu hal yang penting dalam peningkatan investasi maupun kegiatan yang
berorientasikan pada ekspor. Keadaan tersebut pada gilirannya akan
mendorong meningkatnya permintaan kredit untuk usaha yang produktif
sehingga dapat mendorong perkembangan perbankan yang sehat.29
G. Tingkat Bagi Hasil 1. Pengertian Bagi Hasil
Bank syariah menerapkan nisbah bagi hasil terhadap produk-produk
pembiayaan yang berbasis Natural Uncertainty Contracts (NUC), yaitu akad
bisnis yang tidak memberikan kepastian pendapatan (return), baik dari segi
jumlah maupun waktu, seperti mudharabah dan musyarakah.30
28
M. Nur Rianto Al-Arif, Teori Makroekonomi Islam, hal. 128
29
Aulia Pohan, Potret Kebijakan Moneter Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), hal. 55
30
Tingkat bagi hasil adalah prosentase pembagian hasil atas keuntungan
yang akan didapat antara kedua belah pihak atau lebih. Besarnya ketentuan
porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan
bersama dan harus terjadi dengan adanya kerelaan dimasing-masing pihak
tanpa adanya unsur paksaan.
2. Kebijakan dalam Penentuan Nisbah Bagi Hasil
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan margin
dan bagi hasil antara lain:31 1. Komposisi pendanaan
Bagi bank syariah yang pendanaannya sebagian besar diperoleh
dari dana giro dan tabungan, yang notabene nisbah nasabah tidak
setinggi pada deposan (apalagi bonus/athaya untuk giro cukup rendah
karena diserahkan sepenuhnya pada kebijakan bank syariah yang
bersangkutan), maka penentuan keuntungan (margin atau bagi hasil
bagi bank) akan lebih kompetitif jika dibandingkan suatu bank yang
pendanaannya porsi terbesar berasal dari deposito.
2. Tingkat persaingan
Jika tingkat kompetisi ketat, porsi keuntungan bank tipis,
sedangkan pada tingkat persaingan masih longgar bank dapat
mengambil keuntungan lebih tinggi.
3. Risiko pembiayaan
31