PENYEBARAN HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae)
SEBAGAI SALAH SATU PERTIMBANGAN
DALAM RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI
TAMAN NASIONAL BATANG GADIS
KABUPATEN MANDAILING NATAL
PROVINSI SUMATERA UTARA
TESIS
Oleh
ABU HANIFAH LUBIS
077004001/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
ΣΕ Κ
Ο Λ Α
Η
Π Α
Σ Χ
Α Σ Α Ρ ϑΑ
Ν
PENYEBARAN HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae)
SEBAGAI SALAH SATU PERTIMBANGAN
DALAM RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI
TAMAN NASIONAL BATANG GADIS
KABUPATEN MANDAILING NATAL
PROVINSI SUMATERA UTARA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
ABU HANIFAH LUBIS
077004001/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PENYEBARAN HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) SEBAGAI SALAH SATU
PERTIMBANGAN DALAM RENCANA
PENGELOLAAN DAN ZONASI TAMAN
NASIONAL BATANG GADIS KABUPATEN
MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA
Nama Mahasiswa : Abu Hanifah Lubis Nomor Pokok : 077004001
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Ir. Zulkifli Nasution, MSc., Ph.D) Ketua
(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS) (Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) Anggota Anggota
Ketua Program Studi Direktur
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)
Telah diuji pada
Tanggal: 29 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D Anggota : 1. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS
2. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS 3. Ir. Guslim, MS
ABSTRAK
Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) dengan luas 108.000 hektar merupakan kawasan taman nasional ke 42 di Indonesia yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 126/Menhut– II/2004 pada tanggal 29 April 2004. Secara geografis terletak diantara 99012’45” sampai 990 47’10” ΒΤ δαν 0027’15” σαmπαι 10 01’ 57” ΛΥ. Καωασαν ινι mεmιλικι
keragaman bentang alam cukup lengkap dari hutan hujan dataran rendah perbukitan, hutan pegunungan rendah, dan hutan pegunungan tinggi hingga 2145 meter di atas permukaan laut. Keberagaman tipe habitat ini menyebabkan pula beragamnya kehidupan hayati yang terdapat di dalamnya. Tidak kurang dari 42 jenis mamalia dijumpai di kawasan ini, beberapa diantaranya merupakan jenis satwa langka yang terancam punah. Jenis mamalia tersebut antara lain: harimau Sumatera (Panthera tigris), kucing hutan (Pardofelis marmorata), kucing emas (Catopuma temmincki), tapir (Tapirus indicus), beruang madu (Helarctos malayanus), kambing gunung (Capricornis sumatraensis), rusa sambar (Servus unicolor), kijang (Muntiacus muntjac) dan lima jenis primata.
Penelitian ini berlangsung dari bulan Februari hingga Juli 2009 yang merupakan bagian dari penelitian jangka panjang yang dimulai pada Desember 2005 untuk memantau populasi harimau Sumatera dan mangsanya di Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) yang diprakarsai oleh Conservation International Indonesia (CII). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk keberadaan dan penyebaran harimau Sumatera di Taman Nasional Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal. Tujuan lainnya adalah untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam pengembangan dan pengelolaan zonasi di Taman Nasional Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal.
Taman nasional merupakan model yang ideal untuk pelestarian
keanekaragaman hayati Indonesia. Berdasarkan penilaian potensi kawasan maka zonasi pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis diharapkan mampu menampung berbagai kepentingan. Ada beberapa rencana untuk pengembangan zonasi di Taman Nasional Batang Gadis yaitu sebagai berikut: Zona Inti, Zona Rimba, Zona Pemanfaatan Penelitian dan Pelatihan, Zona Pemanfaatan Wisata, Zona Pemanfaatan Tradisional, Zona Pemanfaatan Pemukiman Tradisonal (enclave).
Lima kamera dipasang selama periode Februari – Juli 2009 di lokasi-lokasi yang ditentukan secara acak dengan menggunakan jebakan kamera otomatis (Deercam, 860 Park Lane, Park Falls, WI 54552 dan Cuddeback Digital). Sebanyak 18 foto harimau pada enam titik pengamatan yang belum dapat diidentifikasi lebih lanjut termasuk yang terulang: 11 di kiri dan 7 di kanan.
spesies mangsa, kehadiran harimau menunjukkan kecenderungan lokasi tengah hutan yang jauh dari pemukiman pada ketinggian yang bervariasi
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Taman Nasional Batang Gadis memiliki potensi dan kelayakan untuk dikembangkan sebagai kawasan penelitian dan pemantauan harimau Sumatera untuk jangka pendek dan jangka panjang. Potensi habitat dan sebaran harimau Sumatera perlu dimasukkan sebagai bahan pertimbangan utama dalam proses perencanaan pengelolaan zonasi taman nasional.
ABSTRACT
Batang Gadis National Park lies in the Mandailing Natal district covering 108,000 hectares of area is the 42nd national park in Indonesia which was enacted by the Government of Indonesia through the decree of Forestry Minister No. 126/ Menhut –II/2004 dated 29 April 2004. Geographically this national park lies between 99° 12∋ 45∀ το 99° 47∋ 10∀ Εαστ, ανδ 0° 27∋ 15” το 1° 01∋ 57∀ Νορτη. The park has a complete natural landscape ranging from low land rain forest, hills, low mountain forest, to high mountain forest up to 2,145 above sea level. The diversity of habitats indicates that the national park is rich in biodiversity. Not less than 42 species of mammals are found in this area, some of them are in danger of becoming extinct. These endangered species include Sumatran tiger (Panthera tigris sumatrae), marbled cat (Pardofelis marmorata), golden cat (Catopuma temmincki), tapir (Tapirus indicus), sun bear (Helarctos malayanus), mountain goat (Capricornis sumatraensis), sambar deer (Cervus unicolor), common barking deer (Muntiacus muntjac) and five species of primates.
This study was carried out in the periods of February–July 2009 as part of a long-term project initiated in December 2005 to monitor the populations of Sumatran tigers and their prey in Batang Gadis National Park (BGNP) initiated by Conservation International Indonesia (CII). The objective of this research was to study the availability and distribution of Sumatran tigers in Batang Gadis National Park. Another objective was to identify the supporting factor and also the obstacles for development zones in Batang Gadis National Park, Mandailing Natal District.
National park are the most ideal conservation area type for Indonesia biodiversity conservation areas. There are a few zones of Batang Gadis National Park they are the core zone, wilderness zone, utilizing zone for research and training, utilizing zone for tourism, traditional zone, enclave and buffer zone. The national park core zone refers to protection of flora, fauna and its ecosystem specification and natural development. Wilderness zone is to make fauna diversity and to protect unique life. The utilizing zone can be visited for recreation activity. The buffer zone is a zone usually out of the national park which supports interaction between society and the national park.
Five cameras survey of large mammal were conducted between February and July 2009 in BGNP using passive infrared camera traps (Deercam, 860 Park Lane, Park Falls, WI 54552 and Cuddeback Digital), containing data packs that record time and date on photographs. A total of 18 tiger photographs were collected between February and July 2009 including duplicates and unidentified tigers; 11 lefts and 7 rights.
A preliminary study carried out by Conservation International Indonesia in BGNP using remote cameras found that: the mean density of tigers was at 1.1
tigers/100 km
2
was at 3:1, skewed to male, tiger presence did not correlate with six prey species, tiger presence was increased with distance from forest edges to the interior and various elevations.
The result of this research suggested that Batang Gadis National Park (BGNP) is one of the forest blocks in Sumatera, identified as a tiger conservation landscape for short and long term research and monitoring of Sumatran tigers. Habitat and distribution of Sumatran tigers are a special management problem and may require a special management zone of the national park.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala limpahan
Rahmat dan KaruniaNya, hingga karya sederhana ini dapat diselesaikan. Banyak
dukungan yang telah diberikan kepada penulis baik dukungan moril maupun materil
hingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ini. Penulis hanya dapat
menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak hingga
karya ini dapat diselesaikan, semoga Allah SWT selalu membalas segala amal
perbuatan dan budi baik yang telah diberikan.
Pada kesempatan ini penulis dengan tulus hati ingin menyampaikan rasa
terima kasih yang mendalam kepada:
1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan
kepada Penulis untuk menimba ilmu pengetahuan di Program Magister
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc Selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan berbagai fasilitas yang
mendukung penyelesaian studi penulis di Program Magister Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS selaku Ketua Program Magister
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Prof. Ir. Zulkifli Nasution, MSc, Ph.D selaku Ketua Pembimbing dalam
penulisan tesis yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan demi
sempurnanya karya ini.
5. Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS dan Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS
selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan
6. Bapak Ir. Guslim, M.Sc dan Prof. Dr. Erman Munir, MSc selaku Dosen Penguji
yang memberi saran masukan dan saran pada penyempurnaan tesis
7. Bapak dan Ibu Dosen pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
yang telah mendarmabaktikan ilmu pengetahuannya.
8. Para staf administrasi Sekolah Pascasarjana dan Program Magister Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Universitas Sumatera Utara yang telah
banyak membantu kelancaran studi penulis.
9. Conservation International Indonesia yang mendanai program pemantauan
Harimau Sumatera di Taman Nasional Batang Gadis.
10. Bapak Jatna Supriatna, Ph.D, Bapak Iwan Wijayanto, Bapak Didy Wurjanto,
Bapak Herwasono Soedjito dari Conservation International Indonesia yang
telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk melakukan kegiatan survei
di TN. Batang Gadis.
11. Rekan-rekan dari Conservation International Indonesia: Erwin P, A. Hamid
Damanik, Anton Ario, Ermayanti, Bonie Dewantara, T. Afriyenni,
Chandrawirawan, Khairul Azmi, Adi, Afriansyah, Razali yang selalu
memberikan dukungan selama penelitian ini berlangsung.
12. Rekan-rekan di lapangan: Sugesti M. Arif, Lokot D, Wagiman, Sahlan B, Pak
Jakbar dan Pak Rohman yang telah membantu selama melakukan penelitian.
13. Bapak Hariyo T. Wibisono yang telah membantu mulai persiapan penelitian
sampai dengan analisis data.
14. Bapak Tatang Mitrasetia M.Si dan Dr. Sri Suci Utami dari Fakultas Biologi
Universitas Nasional, Jakarta yang selalu mendukung penulis untuk
melanjutkan studi.
15. Bapak Barita O. Manullang, Bapak Ismayadi Samsoedin, Erwin Widodo, Bapak
Asep Adhikerana, dan Rondang Siregar yang banyak memberikan dukungan
16. Bapak Budi Ismoyo, Ferry Asep A., Cardi R dan Zulkarnaen Hasibuan dari
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Mandailing Natal: yang banyak
memberikan masukan dalam penulisan karya ini.
17. Bapak Syahgiman Siregar, Bapak Kuswaya, Heru Sutmantoro, Sudiro, Yudi
Santoso dan Mustafa Imran Lubis dari Balai Taman Nasional Batang Gadis:
yang telah memberikan ijin selama penelitian ini berlangsung.
18. Bapak Kepala Desa dan masyarakat Desa Aek Nangali, Sopotinjak,
Hutagodang Muda dan M.B. Angkola yang memberikan dukungannya selama
penelitian.
19. Kepada Istriku tercinta Tri Dhini Lestari dan Ananda tersayang Nadhif Abel
Pranaja Lubis yang dengan sabar memberi dorongan, semangat dan doa selama
pendidikan.
20. Orang tua dan adik-adik tercinta yang selalu memberikan dukungan sehingga
penulis dapat menyelesaikan studi dengan lancar.
21. Rekan-rekan mahasiswa di Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, khususnya
angkatan 2007 yang selalu memberi dukungan hingga selesai karya ini.
22. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya guna membantu penyelesaian karya
ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan maupun penyajian
dalam tesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu dengan segala kerendahan
hati penulis akan menerima kritikan dan saran yang membangun dari semua pihak.
Akhirnya penulis berharap, karya sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi para
pembaca.
Medan, Agustus 2009 Penulis,
RIWAYAT HIDUP
NAMA : ABU HANIFAH LUBIS
NIM : 077004001/PSL
TEMPAT/TANGGAL LAHIR : PEKALONGAN, 19 SEPTEMBER 1970
JENIS KELAMIN : LAKI-LAKI
IKES NO. 131 LING.VII, MABAR, MEDAN
DAFTAR ISI
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 9
1.3. Tujuan Penelitian... 10
1.4. Manfaat Penelitian ... 10
II. TINJAUAN PUSTAKA... 11
2.1. Pembangunan Berwawasan Lingkungan... 11
2.2. Pengertian Konservasi ... 15
2.3. Konservasi Sumberdaya Alam ... 18
2.4. Peranan Kawasan Konservasi dalam Pembangunan ... 19
2.5. Taman Nasional ... 20
2.6. Urgensi Taman Nasional Batang Gadis ... 21
2.7. Tantangan dan Ancaman Konservasi Taman Nasional Batang Gadis ... 23
2.8. Penataan Kawasan ... 25
2.9. Konservasi Harimau Sumatera ... 28
III. METODOLOGI PENELITIAN ... 32
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 32
3.2. Bahan dan Alat-alat Penelitian ... 34
3.3. Teknik Pengambilan Sampel... 34
3.4. Metode Pengenalan Jenis ... 35
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 38
4.1. Hasil... 38
4.2. Pembahasan ... 45
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 63
5.1. Kesimpulan ... 63
5.2. Saran ... 64
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1. Rangkuman Foto Harimau, Individu yang Teridentifikasi, Penangkapan
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1. Peta Sebaran Harimau Sumatera... 30
2. Peta Taman Nasional Batang Gadis ... 32
3. Blok Sampling Berukuran 256 km2 (16x16 km) Terletak di Tengah Taman Nasional Batang Gadis. Blok Dibagi Menjadi 16 Sel Berukuran 16 km2
(4x4 km) ... 39
4. Penyebaran Kamera yang Diletakkan Berdasarkan Ketinggian. Segitiga adalah Jumlah Kamera, Balok Hitam adalah Area Ketinggian di Taman
Nasional, dan Balok Abu-Abu adalah Area Ketinggian di Blok Sampling ... 41
5. Pola Aktivitas Harian dari (A) Harimau (Tidak Ada Pola), (B) Kijang (Tidak Ada Pola), (C) Beruk (Diurnal), (D) Burung Argus (Diurnal) dan Tapir (Nocturnal) di Taman Nasional Batang Gadis. Jam Setelah Tengah Malam adalah Sumbu X, Jumlah Hewan adalah Sumbu Y... 45
6. Faktor yang Paling Banyak Disebut Responden Sebagai Penyebab
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Jenis-jenis Mamalia di Kawasan Taman Nasional Batang Gadis
dan Sekitarnya ... 73
2. Blok Lokasi Pemasangan Jebakan Kamera di Kawasan Taman Nasional
Batang Gadis dan Sekitarnya ... 76
3. Tabel Data Satwa yang Tertangkap oleh Jebakan Kamera yang Digunakan untuk Memperkirakan Kelimpahan Relatif Harimau, Rusa Sambar, Babi, Kijang, Burung Kuau dan Beruk di Taman Nasional Batang Gadis ... 78
4. Model Prediksi dari Penyebaran Harimau di Taman Nasional Batang Gadis Berdasarkan Ketinggian dan Jarak dari Batas Hutan ... 79
5. Bukti dari Individu Harimau yang Sama yang Terfoto pada Dua Kamera Berbeda yang Diletakkan di Bagian Utara dan Selatan TNBG yang Melintasi Desa dan Jalan Raya ... 80
6. Beberapa Gambar Harimau yang Tertangkap Kamera Selama Penelitian Berlangsung Sejak Februari – Juli 2009 ... 81
7. Arahan Pola Ruang Kabupaten Mandailing Natal dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Mandailing Natal (2008) ... 83
8. Peta Rencana Zonasi Taman Nasional Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal ... 84
9. Peta Usulan Rencana Zonasi Taman Nasional Batang Gadis berdasarkan pada Perkiraan Sebaran Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) ... 85
10. Peta Perkembangan Tata Batas Sementara Taman Nasional Batang Gadis ... 86
11. Peta Penutupan Lahan Taman Nasional Batang Gadis ... 87
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam, peninggalan sejarah, seni dan
budaya, yang sangat besar sebagai daya tarik pariwisata dunia. Ahli biokonservasi
memperediksi bahwa Indonesia yang tergolong negara Megadiversity dalam hal
keanekaragaman hayati, akan mampu menggeser Brasil sebagai negara tertinggi akan
keanekaragaman jenis, jika para ahli biokonservasi terus giat melakukan pengkajian
ilmiah terhadap kawasan yang belum tersentuh (BAPPENAS, 1993).
Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) yang baru ditetapkan oleh pemerintah
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 126/Menhut-II/2004 tanggal
29 April 2004, telah menjadi sebuah khazanah baru bagi kehidupan masyarakat
di Kabupaten Mandailing Natal. Taman Nasional Batang Gadis lahir di tengah gerak
laju kerusakan hutan hujan tropis hampir di seantero wilayah negeri yang bermula
dari inisiatif Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal yang didukung elemen-elemen
masyarakat dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Bagi pencinta lingkungan,
inisiatif tersebut patut mendapat apresiasi sebagai sebuah terobosan untuk
menyelamatkan sumberdaya hutan yang terus menghadapi ancaman kepunahan, dan
sekaligus dapat dijadikan modal dasar bagi pembangunan yang berkelanjutan.
Kehadiran Taman Nasional Batang Gadis (TNBG), memiliki arti yang penting
bagi nilai konservasi. Dengan posisi hutan yang lestari dan terjaga fungsi ekologisnya
keanekaragaman hayati dan fungsi ekonomi yang berkelanjutan, maka TNBG secara
maksimal dapat dimanfaatkan sebagai modal alam tanpa bayar (unchanged natural
capital) yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Insiatif yang telah dilahirkan oleh seluruh stakeholders dalam melahirkan
sebuah gagasan yang sangat penting bagi terciptanya pembangunan berkelanjutan
di Kabupaten Mandailing Natal adalah awal pekerjaan yang sangat berat. Tantangan
kedepan pelestarian ekosistem TNBG adalah bagaimana mengelola TNBG secara
bijaksana, sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi tujuan
pencapaian pembangunan berkelanjutan, yaitu pembangunan yang menyelaraskan
keseimbangan kepentingan sosial budaya, sosial ekonomi dan lingkungan ekologi.
Potensi sumberdaya alam dan budaya yang dimiliki menjadikan Kabupaten
Mandailing Natal memiliki peluang sebagai daerah kunjungan yang diperhitungkan
di Provinsi Sumatera Utara. Namun dari sisi lain dengan dimilikinya potensi
sumberdaya alam tersebut menuntut adanya tanggung jawab yang besar baik oleh
pemerintah dan masyarakatnya, agar dapat mempertahankan fungsi (ekologis) dan
sekaligus kelestarian manfaat (ekonomis) dari pembangunan yang akan
dikembangkan. Sektor kepariwisataan apabila dikembangkan sesuai dengan
prinsip-prinsip yang benar tentunya akan memberikan kontribusi bagi penerimaan daerah,
serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Perbatakusuma et al, 2005).
Konsep baru yang dipakai dalam pelestarian kawasan konservasi diantaranya
menggunakan habitat satwa herbivora besar sebagai kunci dalam mendesain kawasan
komposisi vegetasi, sehingga dapat dijadikan sebagai spesies payung bagi pelestarian
fauna dan flora. Dalam konteks ini herbivora besar teresterial yang mendukung upaya
pelestarian di TN. Batang Gadis adalah tapir (Tapirus indicus) dan kambing hutan
(Capricornis sumatraensis). Kerapatan tapir di hutan primer berbukit dan sedikit
terganggu oleh tebang pilih adalah 2,5 individu/km″, σεδανγκαν καmβινγ ηυταν
dengan keterbatasan perjumpaan jejak dan hasil jebakan kamera (camera trapping),
populasinya belum dapat diestimasi, namun ada kecenderungan bahwa jenis ini cukup
tersebar rata di TN. Batang Gadis.
Meskipun sebagian besar jenis satwa yang dilaporkan Rijksen et al, (1999)
di kawasan belantara Angkola ditemukan di areal ini, namun beberapa jenis belum
dapat dipastikan keberadaannya di TN. Batang Gadis, yaitu orangutan Sumatera
(Pongo abelii) dan badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). Survei berhasil
menambah catatan keberadaan avifauna di TN. Batang Gadis dari 149 jenis menjadi
menjadi 247 jenis burung. Catatan sebelumnya untuk seluruh daerah hutan belantara
Angkola adalah 57 jenis (Rijksen et al, 1999; 2001). Dari 247 jenis tersebut, 47
merupakan jenis burung yang dilindungi di Indonesia, tujuh jenis secara global
terancam punah, 12 jenis mendekati terancam punah. Dari total jenis burung yang
ditemukan 13 jenis merupakan burung yang memberi kontribusi pada terbentuknya
Daerah Burung Endemik (endemic bird areas), seperti srigunting Sumatera (Dicrurus
sumatranus) dan sempidan Sumatera (Lophura inornata) dan Daerah Penting bagi
Burung (important bird areas), seperti paok Schneider (Pitta schneideri), sepah
Sumatera (Polyplectron chalcurum), tokhtor kopua (Carpococcyx viridis),
ciung-mungkal Sumatera (Cochoa beccarii) dan meninting kecil (Enicurus velatus). Juga
ditemukan dua jenis burung yang akibat terbatasnya informasi mengenai keberadaan
jenis tersebut di dunia, dalam kriteria status flora dan fauna menurut IUCN
dikategorikan sebagai ‘κεκυρανγαν δατα’ (data deficient), yaitu sikatan bubik
(Muscicapa dauurica) dan kutilang gelambir biru (Pycnonotus nieuwenhuisii).
Dibandingkan dengan kawasan konservasi lain di Sumatera yang memiliki
luas yang hampir sama, kekayaan jenis burung di TN. Batang Gadis tergolong sangat
tinggi. Sebagai perbandingan, di kawasan Tesso Nilo seluas 188 ribu hektar tercatat
114 jenis (Prawiradilaga et al, 2003), sedangkan di TN Bukit Tigapuluh yang luasnya
127 ribu hektar tercatat 193 jenis (Prawiradilaga et al, 2003). Jumlah jenis yang
tercatat di TN. Batang Gadis hanya selisih sedikit dari TN. Bukit Barisan Selatan
yang luasnya sekitar tiga kali lipat (356 ribu hektar), yakni 276 jenis (O’Βριεν ανδ
Kinnaird, 1996). Dengan 247 jenis yang tercatat, berarti TN. Batang Gadis
merupakan habitat bagi sekitar 40% jenis burung yang tercatat di Sumatera yang
menurut pangkalan data Bird Life berjumlah 602 jenis atau 609 jenis menurut
Holmes dan Rombang (2001) dalam Perbatakusuma et al, (2006).
Selain jumlah total jenis burung yang tinggi tercatat juga kekayaan jenis dari
beberapa kelompok burung tertentu yang keberadaannya sangat tergantung pada
kondisi habitat alami yang masih baik. Kelompok jenis-jenis burung seperti rangkong
dari keluarga Bucerotidae, tercatat 8 jenis di TN. Batang Gadis atau 90% dari jenis
rhinoceros), enggang gading (Buceros vigil) dan julang emas (Aceros undulatus),
takur (keluarga Capitonidae, tercatat 5 jenis), pelatuk (Picidae, tercatat 12 jenis), dan
luntur (Trogonidae, tercatat 3 jenis) dikenal sebagai burung-burung yang
keberadaannya bergantung pada keberadaan hutan (forest-dependent birds).
Sebaliknya, keberlanjutan fungsi hutan juga sangat dipengaruhi oleh keberadaan
jenis-jenis burung seperti rangkong, yang dikenal sebagai penyebar biji-bijian
tumbuhan hutan sehingga dapat membantu memperkaya keanekaragaman hayati dan
regenerasi di kawasan hutan alam.
Keberadaan pedendang kaki-sirip (Heliopais personata) yang keberadaannya
di Sumatera selama ini masih belum meyakinkan (MacKinnon et al, 1993) juga
berhasil direkam dalam bentuk foto. Sementara itu, dua buah gambar elang terbang
yang sangat menyerupai rajawali totol (Aquila clanga) juga berhasil diambil dengan
kamera di daerah survei. Jenis elang ini di Sumatera selama ini baru tercatat sekali,
yakni di daerah Sumatera Selatan (Holmes, 1996). Sementara itu, dalam waktu yang
relatif singkat, dengan perangkap kamera telah berhasil didokumentasikan adanya
kambing hutan (Capricornis sumatraensis), kucing emas (Catopuma temminckii), dan
harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae). Kambing hutan dan kucing emas
merupakan dua jenis satwa langka yang selama ini sangat jarang ditemukan di hutan
alam, bahkan oleh mereka yang telah bertahun-tahun mengoperasikan perangkap
kamera di Pulau Sumatera.
Lebih jauh, hasil kajian mengarahkan pada dugaan sementara bahwa
(pertemuan/persilangan) dari jenis-jenis satwa khas Sumatera bagian Selatan, Utara
dan Timur. Hal itu sangat dimungkinkan karena secara biogeografis letak TN. Batang
Gadis diantara Unit Zoogeografi Danau Toba bagian selatan yang berbatasan
langsung dengan unit-unit zoogeografi Danau Toba bagian utara, Pasaman dan
Barumun–Rokan. Pengamatan sekilas mengindikasikan adanya variasi morfologi/
warna beberapa jenis satwa di sana dibanding dengan jenis yang sama di tempat lain,
baik di Sumatera maupun di Indonesia. Sebagai contoh, jenis simpai/lutung/rekrek
(Presbytis sp.) yang menghuni di TN. Batang Gadis ternyata tidak sama dengan yang
diilustrasikan dalam berbagai publikasi dan buku panduan lapangan yang ada. Pola
warna rekrek/lutung di TN. Batang Gadis cenderung lebih menyerupai kombinasi
pola warna antara tiga jenis Presbytis yang hidup di daerah lain yang pernah diteliti,
yakni P. thomasi, P. femoralis dan P. melalophos. Seperti diketahui, P. thomasi
selama ini diyakini sebarannya ke bagian Selatan Pulau Sumatera tidak melampaui
Danau Toba, sedangkan P. femoralis di Sumatera hanya di bagian daratan dan
pulau-pulau sebelah Timur Riau (Supriatna dan Wahyono, 2000). Hal serupa juga terjadi
pada jenis ungko/wau-wau/sarudung (Hylobates sp.). Pengamatan sekilas
mengindikasikan bahwa jenis yang ada di TN. Batang Gadis adalah H. agilis yang
lebih bervariasi dan memungkinkan terjadinya hibridisasi. Sejauh ini daerah Dairi
diketahui sebagai mintakat hibridisasi antara H. lar dengan H. agilis (Gittins, 1978).
H. agilis selama ini dipercaya sebarannya di Sumatera ke Utara tidak melewati Danau
Toba, sedangkan H. lar di Sumatera sebarannya ke Selatan tidak melewati Danau
pelestarian kawasan itu bagi kepentingan biodiversitas global atau melindungi nilai
ekonomis jasa lingkungan bagi masyarakat yang lebih luas yang tidak semata-mata
hanya mengatur tata air bagi Kabupaten Mandailing Natal, tapi juga bagi masyarakat
konservasi internasional (Lampiran 1).
Hasil kajian ekologi menunjukkan perlindungan jenis satwa di TN. Batang
Gadis menjadi penting karena terkait dengan perlindungan sistem penyangga
kehidupan. Eksistensi jenis satwa payung maupun jenis satwa kharismatik, seperti
harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), beruang madu (Helarctos malayanus),
kambing hutan (Capricornis sumatraensis) ataupun tapir (Tapirus indicus)
membutuhkan kondisi hutan alam yang utuh dengan luasan tertentu untuk mereka
dapat bertahan hidup dalam jangka panjang. Ini berarti dengan melindungi tempat
hidup mereka, yaitu tutupan hutan alam sekaligus jasa-jasa ekologis hutan alam dan
hasil hutan bukan kayu dapat terjaga, seperti sumber air, pencegah erosi/banjir atau
keseimbangan iklim dan potensi wisata alam.
Saat ini masalah utama dalam perlindungan dan pengelolaan TNBG adalah
menemukan jawaban yang realistis terhadap begitu banyaknya ancaman terhadap
kawasan konservasi, dan untuk mengurangi tekanan terhadap TNBG, sehingga
terlindunginya nilai-nilai kualitas utama TNBG yang dinyatakan dengan istilah-istilah
seperti keanekaragaman biota dan ekosistem, sumber daya nuftah, nilai-nilai daerah
aliran sungai dan simpanan karbon, potensi untuk ekowisata, nilai penunjang
konservasi dan pembangunan ekonomi sebagai dua hal yang terpisah dan bahkan
saling bertentangan.
Masalah paling mendesak yang menuntut perhatian utama dalam pelestarian
dan perlindungan TNBG adalah menangkal pengaruh-pengaruh yang mengarah pada
kepunahan dan hilangnya keanekaragaman biologis dan hilangnya pemeliharaan
terhadap proses-proses ekologis dari TNBG, seperti pembunuhan fauna flora
berlebihan, kehancuran dan fragmentasi habitat alami, pencemaran, masuknya
jenis-jenis asing dan kepunahan sekunder (ripple effect), akibat adanya kepunahan spesies
asli. Ancaman kepunahan tersebut sebagian besar sangat dipengaruhi oleh kegiatan
perekonomian masyarakat di Kawasan Budidaya. Karena pada kenyataannya dengan
panjang batas TNBG termasuk batas enclave yang diperkirakan sepanjang ± 280,32
km tersebut, sebagian besar kawasan TNBG atau sekitar 80–90% bersinggungan
langsung dengan kawasan budidaya, seperti lahan pertanian masyarakat, eksplorasi
pertambangan emas, Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan perkebunan besar swasta.
Masalah-masalah yang disebutkan di atas diperparah dengan belum cukupnya
ruang partisipasi dari masyarakat setempat dan pemerintah daerah dalam perencanaan
dan pengelolaan dari sumber daya alam milik umum, di luar kawasan TNBG untuk
mendukung kelestarian TNBG. Selain itu, kurang adanya hak kepemilikan dan hak
penggarapan lahan yang jelas bagi masyarakat setempat akan mengakibatkan
hilangnya keperdulian, perhatian dan peran serta masyarakat setempat terhadap
Berdasarkan hal tersebut perlu suatu penelitian mengenai keberadaan dan
penyebaraan stawa langka yang dilindungi khususnya harimau Sumatera (Panthera
tigris sumatrae) di kawasan Taman Nasional Batang Gadis sebagai salah satu bahan
pertimbangan dalam rencana pengelolaan dan zonasi taman nasional.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah yang ada, bahwa harimau Sumatera
(Panthera tigris sumatrae) sebagai satwa langka yang terancam punah yang
keberadaan dan penyebarannya di Taman Nasional Batang Gadis masih belum
diketahui secara pasti. Selain itu juga bahwa pada saat ini TNBG masih menghadapi
berbagai masalah yang berkaitan dengan pelestarian potensi sumberdaya alamnya.
TNBG masih menghadapi ancaman berupa penebangan liar, pemanfaatan kawasan
konservasi untuk perladangan dan berbagai masalah yang bermuara dari kondisi
sosial ekonomi penduduk dan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap fungsi dari
taman nasional.
Bertolak dari pemaparan yang dikemukakan, maka perumusan masalah
penelitian adalah sebagai berikut: “Bagaimana penyebaran Harimau Sumatera
(Panthera tigris sumatrae) dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam
rencana pengelolaan dan zonasi Taman Nasional Batang Gadis Kabupaten
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah:
1. Mengetahui keberadaan dan penyebaran harimau Sumatera di Taman
Nasional Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal.
2. Mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam rencana
pengelolaan dan zonasi di Taman Nasional Batang Gadis Kabupaten
Mandailing Natal.
3. Memberikan masukan awal untuk penyusunan rencana pengelolaan dan
zonasi Taman Nasional Batang Gadis.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat digunakan sebagai:
1. Penelitian ini diharapkan dapat mendokumentasikan keanekaragaman
hayati (khususnya harimau Sumatera sebagai salah satu satwa langka)
yang ada di Taman Nasional Batang Gadis dan sekitarnya.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk memperkaya
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Berwawasan Lingkungan
Pembangunan berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan
terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya manusia dalam
proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup
generasi masa kini dan generasi masa depan. Pembangunan berwawasan lingkungan
telah diamanatkan sejak diterbitkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1982
diperbaharui dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997. Akan tetapi, perbaikan
kualitas lingkungan hidup masih belum mengalami kemajuan yang berarti bahkan
sebaliknya degradasi lingkungan semangkin meningkat. Hal ini ditandai dengan
penurunan kualitas air dan udara serta kerusakan tanah, hutan, flora dan fauna, pantai
dan pencemaran laut dengan berbagai implikasinya terhadap masalah sosial.
Permasalahan ini merupakan salah satu cerminan bahwa pembangunan berkelanjutan
belum dapat diimplementasikan sebagaimana yang diharapkan.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 44 Tahun 2005 tentang
Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Sumatera Utara, menyatakan bahwa
luas kawasan hutan di Sumatera Utara seluas ± 3.742.120 (τιγα ϕυτα τυϕυη ρατυσ εmπατ
puluh dua ribu seratus dua puluh) hektar dengan rincian menurut fungsi hutan dengan
luas sebagai berikut:
a. Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam : ± 477.070 Hektar
c. Hutan Produksi Terbatas : ± 879.270 Hektar
d. Hutan Produksi Tetap : ± 1.035.690 Hektar
e. Hutan Produksi yang dapat dikonversi : ± 52.760 Hektar
Jumlah : ± 3.742.120 Hektar
Oleh sebab itu untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi dalam kaitan
implementasi program pembangunan berkelanjutan di daerah secara garis besar perlu
dianalisis tentang zonasi dan kriteria teknis pemanfaatan sumberdaya alam pada suatu
ekosistem, pengawasan dan penegakan hukum, serta kelembagaan dan peran serta
masyarakat.
Diantara prinsip-prinsip dasar (azas) yang diamanahkan dalam UU No. 26
Tahun 2007 dalam penyelenggaraan penataan ruang adalah “βερκελανϕυταν” dan
“περλινδυνγαν κεπεντινγαν υmum”. Βerkelanjutan di sini adalah penataan ruang
dapat memberikan jaminan bagi kelestarian kemampuan daya dukung sumberdaya
alam dengan memperhatikan kepentingan lahir dan batin antar generasi, sedangkan
yang dimaksud dengan “πελινδυνγαν κεπεντινγαν υmυm” αδαλαη πενατααν ρυανγ
diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat. Dengan demikian
visi pada aspek keberlanjutan lingkungan hidup (environmental sustainability)
merupakan salah satu prinsip yang inheren dan pelestarian lingkungan hidup menjadi
salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam penataan ruang.
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 juga menegaskan bahwa diantara aspek
penting yang harus ada dalam muatan penataan ruang wilayah kabupaten adalah
kabupaten dan penetapan kawasan strategis kabupaten. Salah satu tujuan penataan
ruang adalah terselenggaranya pemanfaatan ruang yang berwawasan lingkungan dan
pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung yang dimaksudkan sebagai
bentuk-bentuk pengaturan pemanfaatan ruang untuk upaya konservasi, rehabilitasi,
penelitian, pendidikan, obyek wisata lingkungan dan pemanfataan yang lestari
lainnya (Lampiran 7). Sedangkan tujuan pengaturan ruang kawasan lindung sendiri
adalah tercapainya tata ruang kawasan lindung secara optimal dan meningkatnya
fungsi kawasan lindung.
Beberapa pokok materi penataan ruang yang terkait dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK), yaitu:
(1) Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten mengacu pada (Pasal 25
ayat 1a):
a. Rencana tata ruang wilayah nasional dan rencana tata ruang wilayah
provinsi.
b. Rencana pembangunan jangka panjang daerah (RPJP).
(2) RTRW Kabupaten memuat (Pasal 26 ayat 1):
a. Tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah kabupaten.
b. Rencana struktur wilayah kabupaten, meliputi sistem perkotaan
di wilayahnya yang terkait dengan kawasan pedesaan dan sistem
jaringan prasarana wilayah kabupaten.
c. Rencana pola ruang wilayah kabupaten yang meliputi kawasan
d. Penetapan kawasan strategis kabupaten.
e. Arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi indikasi
program utama jangka menengah lima tahunan.
f. Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang
berisi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan,
ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
Salim (1985), merumuskan pola pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) mencakup segi tiga dimensi ekonomi, sosial politik dan lingkungan
hidup. Ketiga dimensi ditanggapi secara serentak dalam kebijakan dan pengelolaan
pembangunan. Setiap dimensi punya sasaran kegiatan yang benang merah, pertama
adalah sustainabilitas ekonomi, sosial politik dan lingkungan hidup dengan ciri-ciri:
1) Sustainabilitas ekonomi memuat proses ekonomi dan pertumbuhan
produktivitas secara berlanjut (steady) dengan kapabilitas ekonomi dan
pertumbuhan produktivitas yang memperkaya kualitas kehidupan
manusia dengan tolok ukur adalah pertumbuhan, pemerataan dan
efisiensi.
2) Sustainabilitas sosial politik, memuat proses perkembangan masyarakat
dengan perimbangan kekuasaan antara penguasa dengan trias politiknya,
pengusaha tanpa unsur monopoli, serta masyarakat madani yang berdaya
diri membangun secara mandiri peningkatan kesejahteraan. Tolok
ukurnya adalah pemberdayaan, partisipasi, mobilitas sosial, keterikatan
3) Sustainabilitas lingkungan memuat keberlanjutan fungsi ekosistem
dalam menopang sistem kehidupan alami menghidupi seluruh
komponen lingkungan termasuk manusia. Tolok ukur dimensi ekologi
adalah integrasi ekosistem, daya dukung lingkungan, keanekaragaman
hayati dan isu global.
Pemanfaatan sumberdaya di setiap kawasan ruang berdasarkan kriteria teknis
dan ekosentris; Pengkajian dampak lingkungan dan upaya pengendalian terhadap
kegiatan yang berdampak penting dengan memperhitungkan azas manfaat,
pemerataan dan budaya masyarakat lokal; Pengawasaan dan penegakan hukum, serta
Berfungsinya kelembagaan dan peran serta masyarakat dalam pengendalian dalam
lingkungan hidup (Perbatakusuma et al, 2005).
2.2. Pengertian Konservasi
Menurut kamus Bahasa Indonesia kontemporer (Salim dan Salim, 1991),
Konservasi adalah pemeliharaan dan perlindungan terhadap sesuatu yang dilakukan
secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan cara pengawetan.
Pengertian konservasi sumberdaya alam menurut Undang-Undang tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997 adalah pengelolaan
sumberdaya alam yang menjamin pemantapannya secara bijaksana dan bagi
sumberdaya terbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap
hal tersebut maka yang dimaksud dengan konservasi adalah suatu upaya pengelolaan
sumberdaya alam yang menjamin:
1. Perlindungan terhadap berlangsungnya proses-proses ekologis dan
sistem penyangga kehidupan, seperti perlindungan terhadap siklus
udara, air, tanah sistem hidrologis dan lainnya.
2. Pengawetan sumberdaya alam dan keanekaragaman sumber plasma
nutfah, seperti pengawetan tanah, air flora dan fauna dan lainnya.
3. Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam dan lingkungan seperti
penggunaan lahan.
Menurut UU RI No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan
sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk
menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas keanekaragaman dan nilainya.
Konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan
terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya sehingga dapat
mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan
manusia (Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1990). Di mana konservasi sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya adalah kebijakan nasional yang didukung oleh peraturan
perundangan (Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 yang dijabarkan melalui Peraturan
Pemerintah No. 68 Tahun 1998, Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 dan
Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa
mengenai Keanekaragaman Hayati, yang mana undang-undang ini terlahir sebagai
dampak meratifikasi konvensi keanekaragaman hayati. Konvensi tersebut
menimbulkan hak dan kewajiban bagi semua warga tidak terkecuali melaksanakan
aturan yang telah ditetapkan dalam konvensi.
Seiring dengan perkembangan dinamisasi kehidupan dan pemerintahan, maka
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok
Kehutanan mengalami penyempurnaan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan. Undang-undang ini menjadi dasar dan patokan Departemen
Kehutanan dalam menentukan arah kebijakan dalam pengelolaan kehutanan
di Indonesia. Departemen Kehutanan dalam mengatur pengelolaannya dalam tataran
pelaksanaan kegiatannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34
Tahun 2002.
Dengan berpijak pada aturan perundang-undangan, Departemen Kehutanan
mengarahkan kebijakan yang kemudian lahir kebijakan prioritas pembangunan
kehutanan. Sesuai kebijakan prioritas Menteri Kehutanan Nomor 456/Kpts-II/2004,
Kebijakan Pembangunan Prioritas Kehutanan tahun 2004-2009 diarahkan pada:
1. Pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu ilegal.
2. Revitalisasi sektor kehutanan, khususnya industri kehutanan.
3. Rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan.
4. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
2.3. Konservasi Sumberdaya Alam
Konservasi sumberdaya alam di Indonesia sudah dimulai sejak zaman
Belanda, namun pada tahun 1967 Negara Republik Indonesia baru menetapkan
Undang-Undang tentang Pokok Kehutanan yang di dalamnya antara lain mengatur
bentuk-bentuk kawasan perlindungan alam yakni hutan lindung, cagar alam, suaka
marga satwa, taman wisata, dan taman buru dan sejak itulah konservasi sumberdaya
alam dikembangkan.
Pada tahun 1970-an, konservasi sumberdaya alam di Indonesia berkembang
lagi dan memiliki strategi baru yang bertujuan untuk:
1. Memelihara proses ekologi yang penting dan sistem penyangga
kehidupan.
2. Menjaga keanekaragaman genetik.
3. Pelestarian pemanfaatan jenis dan ekosistem.
Kebijakan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam tetap
mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku (terutama
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya) dan menginduk pada kebijakan Departemen Kehutanan. Kebijakan
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam periode 2005-2009
adalah:
1. Memantapkan pengelolaan konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya, terutama harus jelas batas, kriteria, norma dan standar
2. Memantapkan perlindungan hutan dan penegakan hukum.
3. Mengembangkan secara optimal pemanfaatan sumberdaya alam hayati
dan ekosistemnya berdasarkan prinsip kelestarian.
4. Mengembangkan kelembagaan dan kemitraan dalam rangka pengelolaan,
perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
2.4. Peranan Kawasan Konservasi dalam Pembangunan
Pembangunan adalah proses yang berjalan terus-menerus dan untuk mencapai
hasil optimal, maka segala sumber pembangunan yang tersedia perlu digunakan
secara terencana dan dengan memperhatikan skala prioritas pada setiap kurun waktu
yang tertentu. Salah satu sumberdaya pembangunan adalah sumberdaya alam
(Suparmoko, 1994).
Dalam memanfaatkan sumberdaya alam di samping harus berdaya guna, juga
harus terpelihara secara lestari bagi pembangunan nasional yang akan berguna
sepanjang kehidupan manusia, peranan konservasi sangat berarti dalam menunjang
pembangunan, adapun peranan atas kawasan konservasi dalam pembangunan
menurut Soemarja (1988) meliputi:
1. Menyelamatkan usaha pembangunan dan hasil-hasil pembangunan.
2. Pengembangan ilmu pengetahuan.
3. Pengembangan kepariwisataan dan peningkatan devisa.
4. Pendukung pembangunan bidang pertanian dan perkebunan.
6. Manfaat bagi kehidupan manusia.
Kendala dalam mewujudkan konservasi tersebut lebih lanjut Soemarja (1988),
mengatakan:
1. Masih tingginya ketergantungan penduduk kepada sektor pertanian.
2. Masih kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya konservasi.
3. Kurangnya dana untuk pengelolaan.
4. Tumpang tindihnya kepentingan konservasi dengan pembangunan
lainnya.
2.5. Taman Nasional
Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem
asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu-
pengetahuan, pendidikan, menunjang budi daya, pariwisata dan rekreasi (UU No. 5
Tahun 1990).
IUCN (1994) mendefinisikan Taman Nasional sebagai daerah yang berupa
daratan atau lautan, yang didesain untuk: (a) memelihara keutuhan ekologi dari satu
atau lebih ekosistem bagi generasi kini dan masa depan, (b) melarang kegiatan
eksploitasi atau pekerjaan yang bertentangan dengan maksud dan tujuan taman
nasional dan (c) menyiapkan dasar bagi rohani, kegiatan ilmiah, pendidikan, rekreasi
dan kesempatan pengunjung yang semuanya harus sesuai lingkungan dan budaya.
Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
komponen yang menyusun suatu pola keruangan berdasarkan fungsi utama kawasan.
Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya
buatan.
2.6. Urgensi Taman Nasional Batang Gadis
Pembangunan TN. Batang Gadis seiring dengan pembangunan Kehutanan
yang mengacu pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
RI 1945) yang bertujuan untuk mendapatkan sebesar-besarnya manfaat bagi
kesejahteraan rakyat dengan mengkonservasi dan melestarikan fungsi hutan. Untuk
memenuhi maksud tersebut, dilakukan kegiatan kegiatan yang menekankan
konservasi sumberdaya alam dan pengawetan jasa lingkungan. Di samping itu juga
memuat kegiatan-kegiatan yang meningkatkan kesadaran dan kesejahteraan
masyarakat; meningkatkan peluang kerja/usaha; meningkatkan pendapatan negara
dan daerah; dan meningkatkan pembangunan daerah.
Untuk menjamin hal tersebut berjalan diperlukan dukungan peraturan
perundang-undangan yang merupakan turunan dari Undang-Undang Dasar 1945.
Peraturan perundang-undangan nasional dan daerah, kebijakan kehutanan khususnya
yang terkait dengan konservasi sumberdaya alam, kebijakan dalam penataan ruang
dan pengembangan wilayah, dan terutama kebijakan tentang pengelolaan Taman
Kawasan hutan alam seluas 108.000 hektar di Kabupaten Mandailing Natal
atas prakarsa dan dorongan komitmen kuat dari Pemerintah Daerah dan masyarakat
telah ditunjuk sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan nama Taman Nasional
Batang Gadis (TNBG) oleh Keputusan Menteri Kehutanan No.
SK.126/Menhut-II/2004. Saat ini pengelolaannya dilakukan oleh Balai Taman Nasional Batang Gadis.
Komitmen politik Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal tersebut perlu dilanjutkan
dengan berbagai upaya kontruktif guna mendukung kelestarian taman nasional, agar
kemanfaatan jangka panjangnya dapat memenuhi kebutuhan lintas generasi.
Dari hasil penelitian yang dilakukan Conservation International Indonesia
(Midora, 2006), berdasarkan hasil analisis dari manfaat dan biaya ekonomi
menunjukkan bahwa pilihan menetapkan kebijakan konservasi TNBG merupakan
pilihan yang tepat untuk Kabupaten Mandailing Natal, karena memberikan manfaat
ekonomi yang lebih besar, jika dibandingkan dengan manfaat dari kegiatan-kegiatan
yang bersifat ekstraktif dan lebih banyak pihak yang diuntungkan secara ekonomi,
seperti masyarakat setempat yang tergantung pada sektor pertanian, pemerintah
daerah, pihak swasta penyelenggara pariwisata dan komunitas internasional.
Diperkirakan nilai manfaat ekonomi bersih atau subsidi ekologis dari adanya
pembentukan Kawasan TNBG adalah sebesar Rp. 67 Triliun. Diperkirakan nilai
manfaat ekonomi dari pembentukan TNBG sebesar Rp. 66,8 Triliun. Nilai ini
meliputi nilai pemanfaatan alternatif berupa manfaat pilihan potensi ekowisata
(Rp. 64 Triliun), dan manfaat tidak langsung berupa Daerah Aliran Sungai (Rp. 24,8
keanekaragaman hayati (Rp. 809 Milyar). Sedangkan, nilai kerugian ekonomi yang
ditimbulkan dengan adanya TNBG, sebagai akibat hilangnya nilai pemanfaatan
kuantitatif berupa hasil hutan kayu, hasil hutan non kayu dan biaya pengelolaan
taman nasional diperkirakan sebesar Rp. 0,203 Triliun. Nilai manfaat ekonomi bersih
TNBG akan lebih besar, karena belum mencakup nilai manfaat ekonomi dari hasil
hutan non kayu lainnya berupa sarang burung walet dan nilai kerugian yang
ditimbulkan kegiatan ekstraktif eksploitasi pertambangan emas (Midora, 2006).
2.7. Tantangan dan Ancaman Konservasi Taman Nasional Batang Gadis
Saat ini masalah utama dalam perlindungan dan pengelolaan TNBG adalah
menemukan jawaban yang realistis terhadap begitu banyaknya ancaman terhadap
kawasan konservasi, dan untuk mengurangi tekanan terhadap TNBG, sehingga
terlindunginya nilai-nilai kualitas utama TNBG yang dinyatakan dengan istilah-istilah
seperti keanekaragaman biota dan ekosistem, sumber daya nutfah, nilai-nilai daerah
aliran sungai dan simpanan karbon, potensi untuk ekowisata, nilai penunjang
budidaya, pendidikan dan penelitian. Suatu jawaban yang tidak menganggap
konservasi dan pembangunan ekonomi sebagai dua hal yang terpisah dan bahkan
saling bertentangan (Perbatakusuma et al, 2005).
Ancaman terhadap keberlangsungan TN. Batang Gadis berasal dari aktivitas
masyarakat yang dilatarbelakangi oleh faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Untuk memahami permasalahan gangguan dan ancaman di TN. Batang Gadis
dengan mengidentifikasi tekanan yang dialami kawasan yang dapat menyebabkan
perubahan kawasan. Selanjutnya setelah diketahui tekanan apa yang dialami kawasan
TN. Batang Gadis, dilanjutkan dengan identifikasi sumber tekanan kawasan tersebut.
Selanjutnya dengan berpatokan pada analisis ekologi tekanan dan sumber tekanan
tersebut dilakukan pengkajian untuk mendapatkan dugaan besarnya ancaman
(Perbatakusuma et al, 2005).
Identifikasi tekanan kawasan dilakukan dengan diskusi dengan masyarakat,
koordinasi dengan instansi terkait, data mengenai kerusakan kawasan dan
pengamatan langsung (Perbatakusuma et al, 2005). Di TN. Batang Gadis diketahui
tekanan terhadap kawasan adalah:
1. Pembukaan lahan pertanian dan pemukiman.
2. Perambahan hutan.
3. Penebangan liar.
4. Rencana pengembangan dan pengelolaan tambang.
5. Pembuatan jalan poros penghubung daerah Pantai Barat dengan pusat
pengembangan ekonomi.
6. Pengambilan hasil hutan non kayu.
7. Pengembangan wisata alam.
8. Perburuan satwa.
9. Tumpang tindih kawasan dengan perusahaan tambang PT. Sorik Mas Mining.
10.Enklave Batahan.
Dengan mengetahui seberapa besar ancaman maka akan menjadi dasar dalam
penentuan peringkat prioritas kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk
mengurangi atau meniadakan ancaman ataupun mengubah ancaman menjadi peluang
(Perbatakusuma et al, 2005). Dari telaah di atas, dihasilkan langkah strategi untuk
meminimalisasi ancaman adalah sebagai berikut:
1. Melakukan penegakan keamanan untuk pemutusan rantai jual beli serta
pengangkutan kayu yang berasal dari kawasan.
2. Penyelesaian konflik dengan mempertegas legalitas bagi perusahaan tambang
PT. Sorek Mas Mining.
3. Peningkatan pandapatan masyarakat dengan pengembangan ekonomi
alternatif dan pendampingan.
4. Pengaktifan dan mengembangkan hutan rakyat untuk memenuhi kebutuhan
kayu dan peningkatan pendapatan masyarakat.
5. Peningkatan kegiatan sosialisasi dan penyuluhan.
6. Pengamanan dan perlindungan kawasan.
7. Mempercepat tata batas dan penataan kawasan.
2.8. Penataan Kawasan
Penataan Zonasi TN. Batang Gadis akan dilakukan dengan mengacu pada
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan
Pelestarian Alam dan Kawasan Suaka Alam serta Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional.
a. Penilaian Potensi Kawasan
Fungsi dari kawasan pelestarian alam adalah sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan; pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya; serta
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Berdasarkan
hal tersebut, maka TN. Batang Gadis yang dikelola secara zonasi dilakukan penilaian
potensi untuk dasar penentuan zonasi kawasan dengan mengacu pada aspek ekologis,
teknis, sosial ekonomi, pengambangan wilayah dan kebijakan pemerintah. Dengan
demikian diperlukan kegiatan penilaian potensi kawasan yang mencakup potensi
potensi di bawah ini:
1) Potensi keanekaragaman hayati.
2) Potensi pemanfaatan wisata.
3) Potensi pemanfaatan tradisional.
4) Potensi terjadinya konflik kepentingan.
5) Potensi pengembangan ilmu pengetahuan.
6) Potensi masalah dan sumbernya.
7) Tingkat ketergantungan masyarakat sekitar hutan dengan TN. Batang Gadis.
b. Penentuan Kriteria
Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2006, taman
nasional dikelola secara zonasi. Adapun zona yang terdapat di dalam taman nasional
adalah: zona inti; zona pemanfaatan; zona rimba; dan atau zona lain yang ditetapkan
Menteri Kehutanan berdasarkan kebutuhan pelestarian sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya. Suatu kawasan ditetapkan menjadi suatu zona setelah memenuhi
kriteria yang telah ditentukan:
1) Zona inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik
biota atau fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia
yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan
keanekaragaman hayati.
2) Zona rimba, untuk wilayah perairan laut disebut zona perlindungan bahari
adalah bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya
mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona
pemanfaatan.
3) Zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi dan
potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata
alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya.
4) Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk
kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena
5) Zona rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang karena mengalami
kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati
dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan.
6) Zona religi, budaya dan sejarah adalah bagian dari taman nasional yang
di dalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan atau sejarah
yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-nilai
budaya atau sejarah.
7) Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak
dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang
kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai
taman nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan
listrik.
2.9. Konservasi Harimau Sumatera
Konservasi harimau (Panthera tigris) memberikan manfaat kepada komunitas
alam secara tidak langsung di luar jenis mereka (Panwar, 1987). Di beberapa negara
di Asia, harimau digunakan sebagai spesies penanda bagi konservasi keanekaragaman
hayati (Rabinowitz, 1991). Tetapi, sudah lebih dari satu abad semenjak harimau
digolongkan dalam satwa yang terancam punah (IUCN, 2004) dan populasi harimau
terus menurun di semua jenis. Penurunan ini disebabkan adanya perdagangan bagian
tubuh harimau untuk pengobatan tradisional, harimau banyak dibunuh karena
pembasmian ‘ηαριmαυ βερmασαλαη’ διικυτι ολεη αδανψα κονφλικ ηαριmαυ δαν mανυσια
(Tilson et al. 1994; Seidensticker et al, 1999), pengurangan jumlah spesies mangsa
oleh pemburu liar (Seidensticker, 1986; Karanth and Stith, 1999), dan peningkatan
kerusakan habitat alaminya (Wikramanayake et al, 1998; Nowell & Jackson, 1996;
Weber & Rabinowitz, 1996).
Secara historis Indonesia memiliki tiga subspesies harimau, tetapi spesies
Jawa P.t. sondaica dan spesies Bali P.t. balika sudah lama punah (Seidensticker,
1986; Seidensticker et al, 1999).
Sekarang ini, hanya subspesies Sumatera, P.t. sumatrae yang bertahan dalam
populasi yang terisolir di seluruh Sumatera (Tilson et al, 1994; Seidensticker et al,
1999). Pada tahun 1978, populasi harimau Sumatera diperkirakan tinggal 1000 ekor,
berdasar respons kuesioner (Borner, 1978). Tahun 1985, pada 26 area yang
dilindungi, ditemukan adanya harimau, dan total populasi pada lokasi-lokasi tersebut
kurang lebih 800 harimau (Santiapillai and Ramono, 1987). Pada tahun 1992, analisis
kelangsungan hidup (viability) populasi dan habitat (Population and Habitat Viability
Analysis/PHVA) harimau Sumatera, memperkirakan kurang lebih 400 – 500 harimau
tinggal di taman nasional dan area lain yang tidak dilindungi (Tilson et al, 1994).
Santiapilla and Ramono (1987) memperkirakan kepadatan harimau Sumatra adalah 1
ekor per 100 km2 di daerah pegunungan dan 1-3 ekor per km2 di dataran rendah. Peta
Gambar 1. Peta Sebaran Harimau Sumatera (Sanderson et al, 2006)
Penelitian terbaru telah menemukan melimpahnya jumlah harimau dan
predator yang serupa berkorelasi positif dengan dengan kepadatan varietas binatang
berkuku tunggal, utamanya rusa (Seidensticker, 1986; Sunquist et al, 1999).
Di Sumatra, harimau biasanya memangsa banyak jenis rusa (Cervus unicolor) dan
jenis babi (Sus scrofa) (Seidensticker, 1986). Beberapa hasil penelitian telah
melaporkan penurunan populasi mamalia bertubuh besar sebagai hasil dari tekanan
perburuan skala kecil (Peres, 1990; FitzGibbon et al, 1995; Peres, 2000). Biomasa
satwa liar biasanya terkumpul di area di mana terdapat sejarah panjang perburuan,
(2003) menginterpretasikan kecenderungan dari tiga jenis mamalia terancam punah,
harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah (elephas maximus), dan badak
Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), yang menghuni daerah tengah hutan (interior)
yang merupakan penghindaran dari aktivitas manusia yang biasanya terdapat
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Taman Nasional Batang Gadis dan sekitarnya
di Kabupaten Mandailing Natal yang terletak di 99° 12∋ 45∀ κε Τιmυρ ηινγγα 99° 47∋
10" , dan 0° 27∋ 15” ηινγγα 1° 01∋ 57∀ κε Utara, dengan ketinggian antara 300 dan
2145 meter di atas permukaan laut (Sorik Gunung Merapi) (Gambar 2).
Penelitian ini berlangsung dari bulan Februari hingga Juli 2009. Pemilihan
lokasi penelitian ini didasarkan pada beberapa alasan:
1. Keberadaan TNBG dengan luas 108.000 hektar merupakan kawasan
Taman Nasional ke 42 di Indonesia yang ditetapkan oleh pemerintah
Indonesia melalui Keputusan Menteri Kehutanan No, 126/Menhut-II/2004
tanggal 29 April 2004, dan merupakan alasan lain yang menjadikan
TNBG berbeda dengan Taman-Taman Nasional lain di Indonesia.
Kehadiran taman nasional tersebut adalah prakarsa dan pendorongnya
berasal dari Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal dan masyarakat
setempat. Fenomena ini telah memberikan inspirasi bagi peneliti untuk
memilih kawasan tersebut menjadi wilayah penelitian.
2. TNBG memiliki nilai konservasi global. Sangat disadari bahwa saat ini
kelangsungan eksistensi jasa lingkungan dan modal alam yang ada
di Taman Nasional Batang Gadis tergantung dari bagaimana
mengelolanya secara efektif agar modal alam tersebut dapat dimanfaatkan
terus menerus untuk kelangsungan hidup lintas generasi, baik pada saat ini
maupun saat yang akan datang.
Secara administratif, TNBG terletak di kawasan Mandailing Natal, yang
terdiri dari 13 kecamatan, dan dibatasi oleh 68 desa. Penelitian yang baru-baru ini
dilakukan menemukan 225 jenis tanaman, dan 222 jenis tanaman vaskular yang
tumbuh di taman, hampir 1% dari jumlah seluruh jenis flora di Indonesia. Meskipun
Angkola ditemukan di areal ini, namun beberapa jenis belum dapat dipastikan
keberadaannya di kawasan Taman Nasional Batang Gadis, dalam hal ini orangutan
Sumatera (Pongo abelii) dan badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). Penelitian
yang dilakukan oleh Conservation International Indonesia menemukan sekitar 42
spesies mamalia hidup di sana. Taman nasional tersebut juga berperan penting
sebagai tempat pengungsian/perlindungan untuk mamalia besar Sumatera, termasuk
harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), kucing hutan (Pardofelis marmota),
kucing emas (Catopuma temmincki), anjing liar asia (Cuon alpinus), tapir (Tapirus
indicus), beruang madu (Helarctos malayanus), kambing gunung (Capricornis
sumatraensis), rusa sambar (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjac), lima jenis
primata dan dua spesies lain (Conservation International, 2004) (Lampiran 1).
3.2. Bahan dan Alat-alat Penelitian
Alat yang dipergunakan selama penelitian lapangan adalah: Kamera trap:
(Deercam, 860 Park Lane, Park Falls, WI 54552 dan Cuddeback Digital), Global
Positioning System (GPS), Peta Topografi, Peta Penggunaan Lahan, Peta Landsat
ETM+7, Data Curah Hujan, Kompas dan Meteran.
3.3. Teknik Pengambilan Sampel
Metode yang digunakan untuk mengetahui keberadaan satwa adalah:
1. Pengamatan langsung: Enam periode survei mamalia besar dilakukan antara