• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

SKRIPSI

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM ERA OTONOMI KHUSUS PADA PEMERINTAHAN NAGGROE ACEH DARUSSALAM

OLEH:

NAMA : DORA DETISA

NIM : 050503025

DEPARTEMEN : AKUNTANSI

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

MEDAN

(2)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Analisis Kinerja Keuangan

Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Daerah Nanggroe Aceh

Darussalam” adalah benar hasil karya sendiri dan judul belum pernah dimuat, dipublikasikan,

atau diteliti oleh mahasiswa lain dalam konteks penulisan skripsi Program S-1 Departemen

Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. Semua sumber data dan informasi

yang diperoleh, telah dinyatakan dengan jelas, benar apa adanya, dan apabila dikemudian hari

pernyataan ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan oleh Universitas

Sumatera Utara.

Medan, 4 Desember 2009

Yang membuat pernyataan,

(3)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberi rahmat, hidayah, kesehatan dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna

memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Sembah Sujud Penulis kepada Ibunda (Wahyuni) dan Ayahanda (Ilyas NyakTeh)

tercinta, yang tidak pernah lelah didalam memberikan dukungan, semangat dan doa-doa

kepada penulis setiap waktu, terima kasih atas pengorbanan Ibunda dan Ayahanda selama ini.

Doa dan kasih sayang penulis selalu untuk Ibunda dan Ayahanda.

Sepanjang proses penyelesaian penyusunan skripsi ini, penulis dibantu oleh berbagai

pihak yang bersedia meluangkan waktu dan tenaga, ide-ide serta dukungannya baik secara

moril maupun materil. Dalam kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan rasa

terima kasih yang tulus kepada yang terhormat :

1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec, selaku Dekan Fakultas Ekonomi

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Hasan Sakti Siregar, MSi, Ak dan Ibu Dra. Mutia Ismail, MM, Ak

selaku Ketua Departemen dan Sekretaris Departemen Akuntansi Fakultas

Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Idhar Yahya, MBA, Ak selaku Dosen Pembimbing yang dengan tulus

dan ikhlas didalam meluangkan waktu, memberikan saran dan arahan kepada

penulis dalam proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Syamsul Bahri TRB, MM, Ak dan Ibu Dr. Erlina, SE, MSi, Ak selaku

(4)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan skripsi ini, untuk itu penulis

sangat mengharapkan kritikan dan saran yang bersifat membangun. Semoga skripsi ini

bermanfaat bagi banyak pihak.

Medan, 4 Desember 2009

Penulis

Dora Detisa

(5)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

ABSTRAK

Implementasi otonomi daerah adalah sebagai format kebijakan yang diharapkan mampu memecahkan problema keuangan pemerintahan pusat, karena sebelum era otonomi khusus diberlakukan, sumber daya keuangan pemerintahan lokal ataupun daerah tergantung kepada kemampuan keuangan pusat yang dialokasikan dalam wujud tunjangan dan bantuan-bantuan keuangan untuk daerah guna membiayai pengembangan dan jabatan dalam pemerintahan daerah. Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana pengaruh otonomi daerah terhadap kinerja keuangan Pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam.

Penelitian ini adalah penelitian berbentuk deskriptif yaitu merupakan suatu bentuk penggambaran fenomena yang terjadi dari subjek penelitian, dan data yang digunakan adalah laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) pemerintahan kabupaten-kabupaten yang berada pada propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sesudah otonomi khusus dari tahun 2005-2007.

Hasil penelitian secara umum menunjukkan perbedaan-perbedaan penting dalam pencapaian kinerja keuangan pemerintahan kabupaten-kabupaten yang berada pada propinsi NAD sesudah otonomi khusus. Kinerja keuangan diukur dengan rasio-rasio keuangan. Untuk rasio derajat desentralisasi fiskal, rasio kemandirian kemandirian keuangan daerah, dan rasio efektifitas dan efisiensi, kinerja keuangan pemerintahan Kabupaten-kabupaten dipropinsi NAD menunjukkan hasil yang belum stabil karena masih mengalami persentase yang naik turun terhadap hasil perhitungannya. Untuk rasio aktivitas menunjukkan hasil yang kurang efektif karena dana yang dimiliki pemerintah masih diprioritaskan untuk belanja rutin daripada belanja pembangunan. Untuk rasio pertumbuhan menunjukkan kinerja yang kurang baik karena mengarah kepada tren yang negatif.

Kata Kunci : Otonomi Daerah, Kinerja Keuangan, Rasio derajat

(6)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

ABSTRACT

Implementation of the regional autonomy is as a form of decision which is expected to be able to solve the central goverment financial problem. Because before the special autonomy are has been implementated, the local or regional goverment financial resources are depended on central goverment ability which was allocated in the form of subsidy and financial aid for regional for financing the development and public service. This research is aimed to show how far the special autonomy affects the financial performance of Nanggroe Aceh Darussalam government.

This research is adescriptive method which is describing the phenomena happen from the subject of the research and the data which is used is regional government of Nanggroe Aceh Darussalam regional government financial statement after special autonomy from 2005 until 2007.

The result of the research generally show the important diversity in reaching financial performance of Nanggroe Aceh Darussalam government regency. Financial performance which is measured with the financial ratio. The degree of fiscal decentralization, the regional financial independent ratio, and regional genvine income effectivity and efficiency ratio,financial performance of Nanggroe Aceh Darussalam residency government show the result that is not stable yet, because is still has up and down percentages to ward the results of the calculation. The activity ratio show an ineffective reult, because government funds is in priority for regular purchasing than development purchasing. Growth ratio show a bad performance because they refer to the negative trend.

Keywords : Special autonomy, Financial Performance, The Degree of Fiscal

(7)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Perumusan Masalah... 7

C. Batasan Masalah... 7

D. Tujuan Penelitian... 7

E. Manfaat Penelitian... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis... 9

1. Defenisi Otonomi Daerah Serta Otonomi khusus... 9

2. Peraturan dan Perundang-undangan Yang Berkaitan Dengan Keuangan Daerah dan Otonomi Khusus... 14

3. Defenisi Keuangan Daerah... 21

4. Defenisi Kinerja Keuangan daerah... 26

(8)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

b. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah... 30

c. Rasio Aktivitas... 32

d. Rasio Efektifitas dan Efesiensi Pendapatan Asli Daerah... 32

e. Rasio Pertumbuhan... 33

B. Tinjauan Penelitian Terdahulu... 35

C. Kerangka Konseptual... 39

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian... 41

B. Jenis dan Sumber Data... 41

C. Teknik Pengumpulan Data... 42

D. Metode Analisis Data... 42

E. Jadwal dan Lokasi Penelitian... 43

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam... 44

B. Perhitungan dan Analisis Perkembangan Rasio dan Kinerja Keuangan Pemerintah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam...45

1. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal... 45

2. Rasio Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah... 49

3. Rasio Efektifitas dan Efesiensi Pendapatan Asli Daerah... 56

4. Rasio Aktivitas (Keserasian)... 65

5. Rasio Pertumbuhan... 69

(9)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

A. Kesimpulan... 78

B. Saran... 83

(10)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1 Perubahan Setelah PP No. 105 Tahun 2000...16

Tabel 2.2 Perubahan setelah Kepmendagri No. 29 Tahun 2002...17

Tabel 2.3 Perbandingan Kepmendagri No. 29 tahun 2002 dengan

PP No. 24 Tahun 2005...18

Tabel 2.4 Skala Interval Derajat Desentralisi Fiskal...30

Tabel 4.1 Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal Pemerintahan

Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2005-2007...46

Tabel 4.2 Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Pemerintahan

Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2005-2007...50

Tabel 4.3 Rasio Efektifitas Pendapatan Asli Daerah

Pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2005-2007...57

Tabel 4.4 Rasio Efisiensi Pendapatan Asli Daerah

Pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2005-2007...57

Tabel 4.5 Rasio Aktivitas Pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam

Tahun 2005-2007...66

Tabel 4.6 Rasio Pertumbuhan Pemerintahan Nangggroe Aceh Darussalam

(11)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 1.1 Kerangka Konseptual Penelitian...39

(12)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

Nomor Judul Halaman

Lampiran i Jadwal Penelitian Skripsi...87

Lampiran ii Perkembangan APBD Kabupaten/Kota

Pada Pemerintahan NAD Tahun Anggaran 2005-20

(Perhitungan Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal)...88

Lampiran iii Perkembangan APBD Kabupaten/Kota

Pada Pemerintahan NAD Tahun Anggaran 2005-2007

(Perhitungan Rasio Kemandirian KeuanganDaerah)...89

Lampiran iv Biaya, Target, dan Realisasi Penerimaan Pajak,

Dan Retribusi Daerah yang dilakukan DPKP

Kabupaten/Kota Pemerintahan NAD Tahun Anggaran 2005-2007

(Perhitungan Rasio Efektifitas dan Efisiensi PAD)...91

Lampiran v Perkembangan APBD Kabupaten/Kota

Pada Pemerintahan NAD Tahun Anggaran 2005-2007

(Perhitungan Rasio Aktivitas)...93

Lampiran vi Perhitungan Rasio Pertumbuhan APBD Kabupaten/Kota

Pada Pemerintahan NAD Tahun Anggaran 2005-2007...95

Lampiran vii Laporan APBD Kabupaten Aceh Barat

Tahun Anggaran 2005...97

Lampiran viii Laporan APBD Kabupaten Aceh Selatan

(13)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak tahun 1998 Negara Kesatuan Republik Indonesia mengalami krisis ekonomi

yang pada akhirnya melahirkan krisis multi dimensi yang mencakup seluruh aspek kehidupan

berbangsa dan bernegara. Salah satu yang dirasakan pada saat itu adalah sentralisasi

pemerintah pusat yang dirasakan amat besar, terutama sejak orde baru. Terjadinya krisis ini

juga tidak terlepas karena tata cara penyelenggaraan pemerintahan yang tidak dikelola dan

diatur dengan baik. Menanggapi hal tersebut, sejak tahun 2001, Negara Kesatuan Republik

Indonesia menerapkan Desentralisasi (otonomi daerah) yang didasarkan pada UU No. 22

Tahun 1999 (saat ini telah dirubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004) tentang “Pemerintahan

Daerah” dan UU No. 25 tahun 1999 (saat ini telah dirubah menjadi UU No. 33 Tahun 2004)

tentang “Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah”. UU No. 22 Tahun 1999 pada

prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang lebih mengutamakan

pelaksanaan atas dasar desentralisasi dimana kota dan kabupaten bertindak sebagai “motor”

sedangkan pemerintah propinsi sebagai kordinator. Atau dengan kata lain kekuasaan

pemerintah daerah menjadi lebih besar dari sebelumnya, dimana daerah (dalam hal ini

Propinsi, Kabupaten atau Kota) berhak untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri.

Salah satu implementasi hal tersebut adalah Pemerintah Daerah mempunyai wewenang dalam

mengatur ekonomi daerah tanpa campur tangan/dipengaruhi secara mutlak oleh Pemerintah

pusat.

Menurut Yuwono, dkk (2005 : 50) “Paket undang-undang otonomi daerah ini

(14)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

kreativitas, peningkatan peran serta masyarakat, dan pengembangan peran dan fungsi

DPRD”. Era otonomi daerah ini memberikan kewenangan penuh kepada daerah untuk

merencanakan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan, dan mengevaluasi berbagai

kebijakannya sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Otonomi atau desentralisasi perlu dilakukan karena tidak ada suatu pemerintahan dari

suatu negara yang luas mampu secara efektif membuat kebijakan publik di segala bidang

ataupun mampu melaksanakan kebijakan tersebut secara efisien diseluruh wilayah tersebut.

Dengan adanya desentralisasi diharapkan beban pemerintah pusat dapat berkurang.

Desentralisasi juga diharapkan akan mempercepat pelayanan kepada masyarakat.

Krisis ekonomi di Indonesia yang antara lain disebabkan oleh tata cara

penyelenggaraan pemerintah yang tidak dikelola dan diatur dengan baik, sehingga timbul

berbagai masalah seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang sulit diberantas, dan

masalah penegakan hukum yang sulit berjalan.

Oleh karena itu, tata pemerintahan yang baik perlu segera dilakukan agar segala

permasalahan yang timbul dapat segera dipecahkan dan juga proses pemulihan ekonomi

dapat dilaksanakan dengan baik dan lancar. Pada saat ini, banyak pihak yang menyerukan

tentang Good Governance. Good Governance atau tata pemerintahan adalah penggunaan

wewenang ekonomi, politik, dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada

semua tingkat.

Otonomi daerah sangat identik dengan tuntutan adanya Good Governance. Menurut

Krina. P (2003) setidaknya ada tiga pilar Good Governance, yaitu akuntabilitas, transparansi,

dan partisipasi. Salah satu upaya nyata mewujudkan akuntabilitas dan transparansi ini adalah

penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip

tepat waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintahan yang telah

(15)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

Untuk itu pemerintah pusat telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun

2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), dimana dalam peraturan tersebut

menyebutkan bahwa setiap pemerintah, baik pusat maupun daerah harus menyusun laporan

keuangan sebagai bentuk laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan anggaran, dalam hal

ini adalah Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Keluarnya PP No. 24 Tahun 2005

merupakan salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas

pengelolaan keuangan negara.

Kaho dalam Munir, dkk (2004 : 92) menyatakan bahwa “Salah satu faktor yang

mempengaruhi dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah faktor keuangan yang baik”. Istilah

keuangan disini mengandung arti bahwa setiap hak yang berhubungan dengan masalah uang,

antara lain berupa sumber pendapatan, jumlah, uang yang cukup, dan pengelolaan keuangan

yang sesuai dengan tujuan dan peraturan yang berlaku. Keberhasilan penyelenggaraan

otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari cukup tidaknya kemampuan daerah dalam bidang

keuangan, karena kemampuan keuangan ini merupakan salah satu indikator penting guna

mengukur tingkat otonomi suatu daerah. Hal ini mudah dipahami, karena adalah mustahil

bagi daerah-daerah untuk dapat menjalankan berbagai tugas dan pekerjaannya dengan efektif

dan efisien serta dapat melaksanakan pelayanan dan pembangunan bagi masyarakatnya tanpa

tersedianya dana untuk itu.

Dengan bergulirnya otonomi daerah yang dimulai dengan hadirnya UU No. 22 Tahun

1999 tentunya membawa konsekuensi terhadap pembiayaan daerah. Dengan otonomi terdapat

dua aspek kinerja keuangan yang dituntut agar lebih baik dibanding sebelum otonomi

daerah. Aspek pertama adalah bahwa daerah diberi kewenangan mengurus pembiayaan

daerah dengan kekuatan utama pada kemampuan Pendapatan Asli Daerah (Desentralisasi

Fiskal). Aspek kedua yaitu di sisi manajemen pengeluaran daerah, bahwa pengelolaan

(16)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

efisien dan efektif dalam pengeluaran daerah. Kedua aspek tersebut dapat disebut sebagai

reformasi pembiayaan atau Financing Reform (Mardiasmo, 2002 : 50).

Reformasi pembiayaan merupakan bagian integral dari reformasi pengelolaan

keuangan daerah. Reformasi ini dilaksanakan melalui regulasi ketentuan/instrumen keuangan

daerah. Instrumen yang mengatur penerimaan daerah adalah UU No. 34 Tahun 2000 tentang

Pajak dan Retribusi Daerah yang diikuti dengan peraturan pelaksana berupa Peraturan

Pemerintah (PP) No. 65 dan PP No. 105, PP No. 106, PP No. 107, PP No. 109 serta

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002.

Terkait dengan otonomi khusus, yaitu suatu otonomi yang lebih luas dari otonomi

daerah, Nanggroe Aceh Darussalam sebagai sebagai salah satu propinsi di Indonesia yang

memperoleh keistimewaan dari pemerintah Pusat dengan memberikan kewenangan yang

lebih luas kepada pemerintah daerah dalam menjalankan pemerintahan, maka Pemerintah

Pusat memberikan status otonomi khusus bagi propinsi DI Aceh. Hal ini ditandai dengan

dikeluarkannya UU No. 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan propinsi

Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi propinsi DI

Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, serta baru-baru ini juga telah disahkan

Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh. Dengan memperoleh

status otonomi khusus ini, tentunya Propinsi NAD beserta kabupaten atau kota yang berada

didalamnya memperoleh hak-hak khusus yang tidak diperoleh oleh daerah lainnya. Salah satu

hak tersebut adalah hak untuk mengatur dan mengelola keuangan daerah sepenuhnya dengan

alokasi dana yang besar serta pembagian porsi kekayaan daerah yang lebih besar dimiliki

oleh daerah dibandingkan dengan pusat. Sebagai contoh, dalam UU No. 18 Tahun 2001

disebutkan Propinsi NAD akan memperoleh dana penerimaan dalam rangka otonomi khusus

yaitu bagi hasil sumber daya alam yang ada di propinsi NAD setelah dikurangi pajak yaitu

(17)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

No. 18 Tahun2001 tersebut berlaku. Kemudian dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006

tersebut menyatakan bahwa Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam akan memperoleh dana

Alokasi Umum (DAU) sebanyak 2% dari DAU nasional. Selain itu, Propinsi NAD juga akan

memperoleh dana-dana lainnya seperti dana migas, dana otsus, dan lain sebagainya. tentunya

hal ini akan mengakibatkan atau membawa perubahan yang begitu besar bagi daerah.

Kabupaten/kota yang ada di Propinsi NAD, tentunya ikut merasakan perubahan akibat

adanya perubahan ini dengan diberlakukannya otonomi khusus tersebut. Dalam hal ini

tentunya perubahan yang sangata kentara ada pada keuangan daerah. Dalam hal ini, tentu

terdapat perubahan setelah diberlakukannya otonomi khusus yang dapat dilihat pada beberapa

rasio keuangan daerah yang akan dibahas dalam skripsi ini.

Dengan otonomi khusus maka daerah memperoleh banyak tambahan dana.

Diharapkan dengan dana yang banyak ini maka kesejahteraan rakyat di Propinsi NAD dapat

naik atau menjadi lebih baik dari sebelumnya, karena memang otonomi daerah dan otonomi

khusus ini diterapkan agar kesejahteraan rakyat dapat meningkat, serta kinerja dari

pemerintah dapat menjadi lebih daik dari sebelumnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimana tingkat

kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota yang berada di Propinsi Nanggroe Aceh

Darussalam dengan diterapkannya status otonomi khusus ini yang berjudul :

“Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada

Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam”.

(18)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

Berdasarkan pada uraian latar belakang masalah diatas, maka dalam hal ini penulis

merumuskan yang menjadi permasalahan didalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

“Bagaimanakah Kinerja Keuangan Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam Setelah

Diberlakukannya Kebijakan Otonomi Khusus ?’’.

C. Batasan Masalah

Kinerja pemerintah daerah bisa dinilai dari aspek finansial dan nonfinansial. Dalam

penelitian ini, penulis hanya menganalisis berdasarkan aspek finansial saja dengan mengacu

pada rasio keuangan berdasarkan instrumen yang terdapat pada Laporan realisasi APBD.

Permasalahan dalam penelitian ini akan dibatasi pada pengukuran kinerja keuangan dengan

menggunakan berbagai rasio keuangan pemerintah daerah seperti: Rasio desentralisasi fiskal,

rasio tingkat kemandirian keuangan daerah, rasio aktifitas (rasio keserasian), rasio efesiensi

dan efektifitas pendapatan asli daerah (PAD), dan rasio pertumbuhan. Data keuangan yang

dipakai adalah dari tahun 2005-2007.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa bagaimanakah kinerja keuangan

pemerintah daerah Nanggroe Aceh Darussalam setelah diberlakukannya kebijakan otonomi

khusus.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini selain bermanfaat bagi penulis, diharapkan juga

bermanfaat bagi perusahaan dan pikah-pihak lain.

(19)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

Penelitian ini merupakan pelatihan intelektual untuk menambah pengetahuan

bagaimana menganalisis kinerja keuangan pemerintah daerah.

2. Bagi Pemerintah Daerah

Sebagai bahan masukan dan gambaran bagi pemereintahan daerah didalam membuat

kebijakan dan serta menentukan arah dan strategi didalam perbaikan kinerja keuangan

Pemerintah Daerah dimasa yang akan datang.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran dan masukan dalam melakukan

penelitian dalam bidang yang sama atau sejenis.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teoritis

1. Pengertian dan Teori Otonomi Daerah Serta Otonomi Khusus

Sejak tahun 2001, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menerapkan sistem

(20)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

dengan didasarkan atau mengacu pada UU No. 22 Tahun 1999 (saat ini telah dirubah menjadi

UU No. 32 Tahun 2004) tentang “Pemerintah daerah”, dan UU No. 25 Tahun 1999 (saat ini

telah dirubah menjadi UU No. 33 Tahun 2004) tentang “Perimbangan Keuangan antara Pusat

dan Daerah”. Untuk beberapa daerah dalam perkembangan lebih lanjut, dengan

memperhatikan berbagai macam aspek ataupun faktor, ada daerah yang kemudian diterapkan

status otonomi khusus seperti untuk daerah Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua.

Menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah daerah, dalam

ketentuan umumnya menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan

kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan.

Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom dalam Undang-undang No. 32

Tahun 2004 adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Menurut Suparmoko (2002 : 18) “Otonomi adalah kewenangan daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

berdasarkan aspirasi masyarakat”.

Dengan berlakunya otonomi, maka Pemerintah daerah tingkat kabupaten/Kota diberi

kewenangan yang luas dalam menyelenggarakan semua urusan pemerintahan mulai dari

perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Sebagai konsekuensi dari

kewenangan otonomi yang luas, pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk

meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan secara demokratis, adil, merata, dan

berkesinambungan, karena pada hakikatnya otonomi daerah diterapkan untuk meningkatkan

(21)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

mengelola potensi daerahnya yaitu sumber daya keuangan secara optimal. Pemberian

otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas sektor

publik di Indonesia. dengan Otonomi, daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber

pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dari bagian

(sharing) dari Pemerintah Pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan

aspirasi masyarakat. Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan

kepada daerah dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin

mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung dua

misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut yaitu : menciptakan

efisiensi dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam

proses pembangunan.

Selanjutnya menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004 desentralisasi adalah

penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur

dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jika dikaitkan dengan sistem hubungan keuangan pusat dan daerah, maka pengertian

otonomi dan desentralisasi saling berkaitan. Oleh sebab itu, didalam setiap pendistribusian

fungsi atau kewenangan dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah yang

lebih rendah harus disertai atau diikuti dengan distribusi pembiayaan atau keuangan yang

memadai.

Menurut Indra Bastian (2006 : 63) mengatakan bahwa otonomi daerah di Indonesia

mempunyai empat ciri yaitu :

a. Pemekaran daerah administratif pemerintahan b. Tuntutan kemandirian fiskal di pemerintah daerah.

c. Peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.

(22)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

Menurut Halim (2002 : 25) ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi

daerah adalah :

a. Kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola, dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan.

b. ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Kedua ciri tersebut akan mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah pusat dan

daerah. Secara konseptual, pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah harus sesuai

dengan kemampuan daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintah. Oleh karena itu,

untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat

diukur melalui kinerja keuangan.

Selanjutnya, mengenai otonomi khusus pada hakikatnya tidak begitu berbeda dengan

otonomi daerah. Otonomi khusus adalah pengembangan dari otonomi daerah yang diberikan

oleh Pemerintah Pusat hanya kepada daerah-daerah tertentu karena pada daerah tersebut

memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh daerah-daerah lainnya di Indonesia. Sampai

dengan saat ini daerah yang diberikan status otonomi khusus di Indonesia hanya tiga daerah

yakni Nanggroe Aceh Darussalam, Papua, dan Maluku (Reksohadiprodjo, 2001).

Daerah-daerah ini memperoleh status otonomi tersebut karena situasi dan kondisi yang terjadi di

daerah tersebut, yang kemudian menjadikan Pemerintah Pusat pada akhirnya memberikan

status otonomi khusus tersebut bagi ketiga daerah ini. Pada skripsi ini yang menjadi fokus

adalah otonomi khusus yang diterapkan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Perjalanan pemberian status otonomi khusus bagi propinsi NAD diawali dengan

lahirnya UU No. 44 Tahun 1999. Dalam undang-undang ini diatur mengenai keistimewaan

daerah Aceh. Keistimewaan tersebut merupakan kewenangan khusus untuk

(23)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

kebijakan daerah. Undang-undang ini belum mengatur hal-hal yang lain seperti tentang

keuangan, politik, dan sebagainya. Kemudian, pada Tahun 2001 lahirlah UU No. 18 Tahun

2001 yang dalam penjelasannya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi khusus

adalah pemberian kesempatan yang lebih luas kepada daerah yang dimaksud untuk mengatur

dan mengurus rumah tangga sendiri termasuk dalam menggali dan memberdayakan sumber

daya alam dan sumber daya manusia, menumbuh kembangkan prakarsa, kreatifitas, dan

demokrasi, meningkatkan peran serta masyarakat, menggali dan mengimplementasikan tata

bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur kehidupan masyarakat Aceh, memfungsikan

secara optimal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah propinsi NAD dalam memajukan

penyelenggaraan pemerintahan di Propinsi NAD dan mengaplikasikan syariat islam dalam

kehidupan bermasyarakat. Selain itu, kewenangan yang didapat pemerintah daerah (yaitu

pemerintah propinsi dan pemerintah Kabupaten/kota) cakupannya juga lebih luas dari yang

tercantum dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999. Selain itu, yang

terpenting dalam UU No. 18 Tahun 2001 ini adalah pengenalan istilah Qanun sebagai

pengganti istilah Peraturan daerah. Yang menarik, qanun di provinsi NAD ini dapat

mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas lex

specialis derogaat lex generalis dan Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materiil

terhadap qanun. Secara sederhana ini dapat berarti bahwa segala macam perundang-undangan

dan segala macam peraturan yang berlaku di Negara Republik Indonesia akan dapat

disesuaikan pelaksanaanya di Propinsi NAD melalui qanun ini. Dan terakhir pada tahun 2006

yang lalu lahirlah UU No. 11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh. Dalam UU ini

diatur secara komprehensif mengenai penyelenggraan pemerintahan di aceh. Dalam UU ini

juga terdapat istilah yang hanya berlaku di propinsi NAD yaitu: untuk APBD penyebutannya

menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) bagi propinsi dan Anggaran

(24)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) bagi propinsi serta Dewan Perwakilan

Rakyat Kabupaten/Kota bagi kabupaten/kota.

2. Peraturan dan Perundang-undangan Yang Berkaitan Dengan Keuangan Daerah dan Otonomi Khusus

Sejak otonomi daerah mulai diberlakukan di Negara Kesatuan Republik Indonesia

maka sejak saat itu sampai dengan sekarang telah banyak peraturan serta

perundang-undangan yang dibuat. Peraturan tersebut mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah,

keputusan presiden, serta peraturan menteri. Kesemuannya dibuat agar pelaksanaan otonomi

dapat berjalan dengan baik. Seperti diketahui, hal yang paling esensial dari adanya otonomi

daerah ini adalah pada bidang keuangan. Bidang keuangan merupakan kunci dari penentu

berhasil atau tidaknya otonomi daerah diterapkan di daerah-daerah di Indonesia (Halim,

2002).

Menurut Mahmudi dalam Forum Dosen Akuntansi Sektor Publik (2006 : 23)

menyatakan bahwa perjalanan reformasi manajemen keuangan daerah, dilihat dari aspek

historis, dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu “Era sebelum otonomi daerah, era transisi

otonomi, era pascatransisi”.

Era pra-otonomi daerah merupakan pelaksanaan otonomi ala Orde Baru mulai Tahun

1975 sampai 1999. Era transisi ekonomi adalah masa antara Tahun 1999 hingga 2004, dan

era pascatransisi adalah masa setelah diberlakukannya UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004, UU Nomor 15 Tahun 2004, UU Nomor 32 dan

33 Tahun 2004.

PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan

(25)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

Pertanggungjawaban Kepala Daerah. Pengelolaan keuangan daerah secara khusus diatur

dalam pasal 14 PP Nomor 105 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa:

a. Ketentuan tentang pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah ditetapkan dengan

Peraturan Daerah.

b. Sistem dan Prosedur Pengelolaan keuangan Daerah diatur dengan Keputusan Kepala

Daerah ; dan

c. Pedoman tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasa keuangan Daerah,

serta tata Cara penyusunan APBD, Pelaksanaan tata Usaha Keuangan Daerah, dan

Penyusunan perhitungan APBD ditetapkan Keputusan Mneteri dalam Negeri.

Berdasarkan ketentuan PP Nomor 105 Tahun 2000 Pasal 14 tersebut, kemudian

Departemen Dalam Negeri mengeluarkan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002.

Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 tersebut merupakan petunjuk teknis pelaksanaan PP

Nomor 105 Tahun 2000 di bidang pengelolaan keuangan daerah dalam rangka pelaksanaan

transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah.

PP Nomor 105 Tahun 2000 ( saat ini telah dirubah menjadi PP Nomor 58 Tahun

2005) dan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 ( saat ini telah dirubah menjadi Permendagri

Nomor 13 Tahun 2006) memberikan pendekatan baru dalam pengelolaan keuangan daerah.

Perubahan-perubahan yang terjadi cukup besar, namum tetap dilakukan secara bertahap

sesuai semangat reformasi, tidak radikal dan evolusioner. Berbagai perubahan dari pola lama

ke pola baru yang diakibatkan kedua peraturan tersebut dapat lihat pada tabel berikut:

Tabel 2.1

Perubahan Setelah PP Nomor 105 tahun 2000 PP 105 Tahun 2000

PERUBAHAN YANG MENDASAR

LAMA BARU

Sistem Anggaran Tradisional dengan ciri:

(26)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

Line-item & Incrementalism

Sistem Anggaran Berimbang Sistem Anggaran Defisit Struktur Anggaran: Belanja dipisahkan per sektor; tidak ada

pemisahan Belanja Publik dengan Belanja Aparatur Sumber: Diolah dari Forum Dosen Akuntansi, 2006 : 26

Perubahan yang signifikan yang diakibatkan oleh Kepmendagri 29/2002, yaitu terkait

dengan penatausahaan keuangan daerah. Perubahan itu sudah sampai pada teknik

akuntansinya yang meliputi perubahan dalam pendekatan sistem akuntansi dan prosedur

pencatatan, dokumen dan formulir yang digunakan.

Tabel 2.2

Perubahan Setelah Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 KEPMENDAGRI NOMOR 29 TAHUN 2002

PERUBAHAN YANG MENDASAR

Arah dan kebijakan Umum APBD Pemegang Kas Daerah Bendaharawan Umum Daerah Bendaharawan Rutin & Pembangunan Satuan Pemegang Kas & Pembantu

Pemegang Kas

(27)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

Akuntansi Berbasis Kas Akuntansi Berbasis Kas Modifikasian Tidak ada Kebijakan Akuntansi Kebijakan Akuntansi

Tidak Dikenal Depresiasi Aktiva Tetap Pembukuan Asset Daerah: • Nilai Buku

Keuangan berupa Neraca dan Laporan Arus Kas

Itwilprop, Itwilkab, Irjen, BPKP, dan BPK

Pengawasan Internal Pengelolaan Keuangan Daerah

Bawasda Sumber : Diolah dari Forum Dosen Akuntansi, 2006 : 27

Perubahan UU Nomor 22 dan 25 tahun 1999 menjadi UU Nomor 32 dan 33 Tahun 2004

menimbulkan implikasi perlunya dilakukan revisi peraturan perundang-undangan

dibawahnya terkait dengan pengelolaan keuangan daerah, seperti PP Nomor 105, PP Nomor

108, dan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002. Sementara itu, pada tahun 2005, pemerintah

mengeluarkan PP Nomor Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).

Menurut Mahmudi (2006 : 29) “pada dasarnya antara PP Nomor 24 Tahun 2005 mengatur

tentang standar akuntansi, sedangkan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 lebih banyak

mengatur tantang sistem akuntansi pemerintah daerah.” Menurut Halim (2007 : 42) pada

organisasi pemda :

Laporan keuangan yang dikehendaki diatur oleh PP Nomor 105 Tahun 2000 Serta Kepmendagri Nomor 29 tahun 2002 Pasal 81 ayat (1) dan lampiran XXIX butir (11) peraturan tersebut diperbaharui dengan PP Nomor 24 Tahun 2005 mengenai Standar Akuntansi Pemerintah, PP Nomor 58 Tahun 2005 mengenai Pengelolaan Keuangan Daerah, dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006.

Tabel 2.3

(28)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

Kepmendagri No. 29 tahun 2002 PP No. 24 tahun 2005 Basis kas Modifikasian Menuju Basis Akrual

Basis kas untuk pengakuan pendapatan,

belanja dan pembiayaan (laporan L/R) Basis akrual untuk pencatatan asset, kewajiban dan ekuitas dana (Neraca) Aktiva Tetap diakui pada akhir periode

dengan menyesuaikan Belanja Modal yang telah terjadi

Aktiva/asset tetap diakui pada saat hak kepemilikan berpindah dan atau saat diterima

Aktiva tetap selain tanah didepresiasi dengan metode garis lurus berdasarkan umur ekonomisnya

Aktiva tetap selain tanah dapat didepresiasi sengan metode garis lurus, metode saldo menurun dan metode unit produksi

Kewajiban diakui menjadi belanja aparatur dan belanja publik

Diakui pada saat dana pinjaman diterima dan atau kewajiban timbul Terdapat dana depresiasi Tidak terdapat dana depresiasi Jenis laporan keuangan: • Belanja operasi dan pemeliharaan • Belanja modal

• Belanja tidak tersangka

Masing-masing belanja dikelompokka menjadi:

• Belanja Pegawai dan Personalia • Belanja Barabg dan Jasa

• Belanja Perjalanan Dinas

(29)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

Sumber : Diolah dari Forum dosen Akuntansi, 2006 : 30

Atas dasar itu maka pemerintah mengeluarkan PP Nomor 58 tahun 2005 tentang

Pengelolaan keuangan daerah dan Permendagri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman

Pengelolaan keuangan. PP No. 58 tahun 2005 merupakan pengganti dari PP No. 105 Tahun

2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah yang selama ini

dijadikan sebagai landasan hukum dalam penyusunan APBD, pelaksanaan, penatausahaan

dan pertanggungjawaban keuangan daerah. Substansi materi kedua PP dimaksud, memiliki

persamaan yang sangat mendasar khususnya landasan filosofis yang mengkedepankan prinsip

efisiensi, efektivitas, transparansi dan akuntabilitas. Sedangkan perbedaan, dalam pengaturan

yang baru dilandasi pemikiran yang lebih mempertegas dan menjelaskan pengelolaan

keuangan daerah, sistem dan prosedur serta kebijakan lainnya yang perlu mendapatkan

perhatian dibidang penetausahaan, akuntansi, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan

daerah.

Tujuan dikeluarkannya PP No. 58 Tahun 2005 dan Permendagri No.13 Tahun 2006

adalah agar pemerintah daerah dapat menyususn laporan keuangan sesuai Standar Akuntansi

Pemerintahan (SAP) yaitu PP No. 24 Tahun 2005 yang merupakan panduan atau pedoman

bagi pemerintahan daerah dalam menyajikan keuangan yang standar, bagaimana perlakuan

akuntansi, serta kebijakan akuntansi.

Khusus untuk propinsi NAD mengenai regulasi tentang keuangan daerah telah diatur

dalam Qanun No. 7 Tahun 2002 Tentang pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan.

Dalam Qanun ini dikatakan bahwa Kepala daerah adalah pemegang kekuasaan umum dalam

pengelolaan keuangan. Asas dalam pengelolaan keuangana adalah tertib, taat pada peraturan

(30)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

memperhatikan azas keadilan dan kepatuhan, dengan APBD merupakan dasar pengelolaaan

keuangan. Dan setiap rancangan APBD hrs mendapat persetujuan

terlebih dahulu dari DPRD. Serta DPRD, aparat pengawasan fungsional, dan masyarakat

dapat mengawasi menegenai pelaksanaan dari APBD. Adapun bentuk pertanggungjawaban

kepala daerah mengenai pelaksanaan APBD adalah dalam bentuk laporan perhitungan

APBD, nota perhitungan APBD, laporan aliran kas, dan neraca daerah.

3. Keuangan Daerah

a. Pengertian Keuangan Daerah

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005, tentang

Pengelolaan Keuangan Daerah dalam ketentuan umumnya menyatakan bahwa keuangan

daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah

daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan daerah

tersebut.

Menurut Munir, dkk (2004 : 96) “Keuangan daerah adalah keseluruhan tatanan,

perangkat, kelembagaan dan kebijakan penganggaran yang meliputi Pendapatan dan belanja

Daerah”.

Menurut Mamesh dalam Halim (2007 : 23) menyatakan bahwa “Keuangan daerah

dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian

pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

sepanjang belum dimiliki oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain

sesuai peraturan perundangan yang berlaku”.

Pemerintah daerah selaku pengelola dana harus menyediakan informasi keuangan

yang diperlukan secara akurat, relevan, tepat waktu, dan dapat dipercaya. Untuk itu,

(31)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

Dari defenisi tersebut, selanjutnya Halim (2007 : 25) menyatakan terdapat 2 hal yang

perlu dijelaskan, yaitu:

1) Yang dimaksud dengan hak adalah hak untuk memungut sumber-sumber penerimaan daerah seperti pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan lain-lain, dan dan atau hak untuk menerima sumber-sumber penerimaan lain seperti dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus sesuai dengan peraturan yang ditetapkan. Hak tersebut akan menaikkan kekayaan daerah.

2) Yang dimaksud dengan semua kewajiban adalah kewajiban untuk

mengeluarkan uang untuk membayar tagihan-tagihan kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan, infrastruktur, pelayanan umum, dan pengembangan ekonomi. Kewajiban tersebut akan menurunkan kekayaan daerah.

b. Gambaran Keuangan Daerah Dalam Era Otonomi Daerah

Dengan semakin kuatnya tuntutan desentralisasi, pemerintah mengeluarkan satu paket

undang-undang otonomi daerah, yaitu Undang-undang No.22 Tahun 1999 (saat ini telah

dirubah menjadi Undang-undang No.32 Tahun 2004) Tentang Pemerintah Daerah dan

Undang-undang No.25 Tahun 1999 (saat ini telah dirubah menjadi Undang-undang No.33

Tahun 2004) tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Pelimpahan

wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang diatur dalam UU No.22

perlu dibarengi dengan pelimpahan keuangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah

yang diatur dalam UU No. 25.

Setelah dikeluarkannya undang-undang tersebut, pemerintah juga mengeluarkan

berbagai peraturan pelaksanaan. Beberapa peraturan pelaksanaan antara lain (Halim, 2007 :

3)

1) Peraturan Pemerintah Nomor 104 tahun 2000 tentang dana Perimbangan. 2) Peraturan pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan dan

pertanggungjawaban keuangan daerah.

3) Peraturan Pemerintah Nomor 107 tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah. 4) peraturan Pemerintah Nomor 108 tahun 2000 tentang Tata Cara

Pertanggungjawaban Kepala Daerah.

(32)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

6) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah, serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan daerah, serta Penyusunan Perhitungan APBD.

7) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan.

8) undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Pebendaharaan Negara.

Dengan telah dirubahnya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 tahun 1999

oleh UU Nomor 32 tahun 2004 dan UU Nomor 33 tahun 2004, maka berbagai peraturan

pemerintah dan peraturan daerah lain dibawahnya perlu disesuaikan lagi. Atas dasar itu maka

pemerintah mengeluarkan PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah

dan Permendagri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah

sebagai pengganti PP Nomor 105 Tahun 2000 dan Kepmendagri No. 29 tahun 2002.

Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi menurut undang-undang No.33

Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan daerah terdiri atas

Pendapatan daerah dan Pembiayaan.

1) Pendapatan daerah bersumber dari :

a) Pendapatan Asli daerah

b) Dana perimbangan

c) Lain-lain pendapatan.

2) Pembiayaan bersumber dari :

a) Sisa lebih perhitungan anggaran daerah

b) Penerimaan pinjaman daerah

c) Dana cadangan daerah

d) Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.

PAD bersumber dari pajak daerah; retribusi daerah; hasil pengelolaan kekayaan

(33)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

Sedangkan lain-lain PAD yang sah meliputi:

1) Jasa giro;

2) Pendapatan bunga;

3) Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;

4) Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;

5) Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan

barang dan/atau jasa oleh daerah.

Bagi propinsi NAD, dengan mengacu pada UU No.11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh, maka penerimaan daerah berasal dari :

1) Pendapatan Asli daerah

2) Dana Perimbangan

3) Dana Otonomi Khusus

4) Lain-lain Pendapatan yang sah

Sumber pendapatan Ali daerah (PAD) Aceh dan PAD kabupaten/kota se Aceh terdiri

dari atas:

1) Pajak daerah

2) Retribusi daerah.

3) Hasil Pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan milik aceh/kabupaten/kota dan hasil

penyertaan modal aceh/kabupaten/kota.

4) Zakat.

5) Lain-lain pendapatan asli Aceh dan pendapatan asli kabupaten/kota yang sah.

Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud diatas terdiri atas:

1) Dana Bagi hasil Pajak.

(34)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

3) Dana Alokasi Umum.

4) Dana alokasi Khusus.

Selain Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud diatas, Pemerintah aceh mendapat

tambahan dana bagi Hasil minyak dan gas bumi yang merupakan bagian dari penerimaan

Pemerintah aceh.

Beberapa karakteristik pengelolaan belanja daerah di era otonomi daerah dengan alat

pengukur berupa regulasi tersebut di atas dapat dikemukakan sebagai berikut:

1) Pengeluaran rutin terdiri dari belanja administrasi umum, dan belanja operasi dan

pemeliharaan.

2) Belanja pembangunan merupakan belanja yang dialokasikan untuk membiayai

pekerjaan fisik dan disebut sebagai belanja modal.

3) Selain belanja dimaksud terdapat belanja bagi hasi dan bantuan keuangan yang

terbentuk dari penegeluaran tidak termasuk bagian lain dan bantuan keuangan

(sebelum otonomi daerah) serta pengeluaran tidak tersangka dengan istilah dan

maksud yang sama seperti sebelum otonomi daerah.

4) Pembiayaan belanja rutin didanai dari kemampuan PAD, dan belanja pembangunan

didanai dari dana perimbangan/ bagi hasil pajak dan bukan pajak.

4. Kinerja keuangan Daerah

Tahap setelah operasionalisasi anggaran adalah pengukuran kinerja untuk menilai

prestasi manajer dan unti organisasi yang dipimpinnya. Pengukuran kinerja sangat penting

untuk menilai akuntabilitas organisasi dan manajer dalam menghasilkan pelayanan publik

yang lebih baik. akuntabilitas bukan sekedar kemampuan menunjukkan bagaimana uang

publik dibelanjakan, akan tetapi meliputi kemampuan menunjukkan bahwa uang publik

(35)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

a. Defenisi dan Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah daerah

Menurut Mahsun (2006 : 25) “Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian

pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan

visi organisasi yang tertuang dalam perumusan skema strategis (strategic planning) suatu

organisasi.

Disamping itu, menurut Sedarmayanti (2003 : 64) “Kinerja (performance) diartikan

sebagai hasil kerja seorang pekerja, sebuah proses manajemen atau suatu organisasi secara

keseluruhan, dimana hasil kerja tersebut harus dapat diukur dengan dibandingkan standar

yang telah ditentukan”.

Faktor kemampuan sumber daya aparatur pemerintah terdiri dari kemampuan potensi

(IQ) dan kemampuan ability (knowledge + skill), sedangkan faktor motivasi terbentuk dari

sikap (attitude) sumber daya aparatur pemerintah dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi

merupakan kondisi yang mengerakkan sumber daya aparatur pemerintah dengan terarah

untuk mencapai tujuan pemerintah, yaitu good governance.

Menurut Mardiasmo (2002 : 121) “Sistem pengukuran kinerja sektor publik adalah

suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer publik adalah suatu sistem yang

bertujuan untuk membantu manajer publik menilai alat ukur finansial dan nonfinansial.

Dalam penelitian ini, istilah yang penulis maksudkan dengan Kinerja Keuangan

Pemerintah Daerah adalah tingkat capaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah

yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang

ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode

anggraran. Bentuk kinerja tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari unsur Laporan

(36)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

b. Tujuan dan Manfaaat Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Prestasi pelaksanaan program yang dapat diukur akan mendorong pencapaian prestasi

tersebut. Pengukuran prestasi yang dilakukan secara berkelanjutan memberikan umpan balik

untuk upaya perbaikan secara terus menerus dan pencapaian tujuan di masa mendatang.

Salah satu alat menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan

daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah

ditetapkan dan dilaksanakannya. Menurut Widodo dalam Halim (2002 : 126) hasil analisis

rasio keuangan ini bertujuan untuk :

1. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah.

2. Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah.

3. Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya.

4. mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah.

5. Melihat pertumbuhan /perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran ynag dilakukan selama periode waktu tertentu.

Menurut Widodo dalam Halim (2000 : 126) terdapat beberapa analisa rasio

didalam pengukuran kinerja keuangan daerah yang dikembangkan berdasarkan data

keuangan yang bersumber dari APBD adalah sebagai berikut :

1) Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal

Ukuran ini menunjukkan kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan pemerintah

pusat kepada pemerintah daerah untuk menggali dan mengelola pendapatan. Rasio ini

dimaksudkan untuk mengukur tingkat kontribusi Pendapatan Asli Daerah sebagai sumber

(37)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan penerimaan yang berasal dari hasil pajak

daerah, retribusi daerah, perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan milik daerah

serta lain-lain pendapatan yang sah. Total Pendapatan Daerah merupakan jumlah dari seluruh

penerimaan dalam satu tahun anggaran.

Pendapatan Asli Daerah

Rasio Desentralisasi = x 100

Total Penerimaan Daerah

Rasio Pendapatan Asli Daerah Terhadap Penerimaan Daerah =

Bagi Hasil pajak dan Bukan Pajak Untuk Daerah

x 100 Total Penerimaan Daerah

Bagi Hasil Pajak merupakan pajak yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat untuk

kemudian didistribusikan antara pusat dan daerah otonom. Rasio ini dimaksudkan untuk

mengukur tingkat keadilan pembagian sumber daya daerah dalam bentuk bagi hasil

pendapatan sesuai potensi daerah terhadap total penerimaan daerah. Semakin tinggi hasilnya

maka suatu daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa

bantuan dari pemerintah pusat. Derajat desentralisasi fiskal, khusunya komponen PAD

dibandingkan dengan TPD, menurut hasil penemuan Tim Fisipol UGM menggunakan skala

interval sebagaimana yang terlihat dalam tabel berikut :

Tabel 2.4

Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal

PAD/TPD (%) Kemampuan Keuangan Daerah

<10.00 Sangat Kurang

(38)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

20.01 – 30.00 Cukup

30.01 – 40.00 Sedang

40.01 – 50.00 Baik

>50.00 Sangat Baik

Sumber: Munir, 2004:106

2) Rasio Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah

Kemandirian keuangan daerah (otonom fiskal) menunjukkan kemampuan pemerintah

daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada

masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang

diperlukan daerah. Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya

pendapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber

lain, misalnya bantuan pemerintahan pusat/propinsi ataupun dari pinjaman.

Total Pendapatan Asli daerah (PAD) Rasio Kemandirian =

Bantuan Pemerintah Pusat/Propinsi dan Pinjaman

Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana

ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan

daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama Pemerintah Pusat dan Propinsi) semakin

rendah, dan demikian pula sebaliknaya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat

partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian,

semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang

merupakan komponen utama pendapatan asli daerah. Semakin tinggi masyarakat membayar

pajak dan retribusi daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang

semakin tinggi.

Ukuran ini menunjukkan tingkat efisiensi dari setiap penggunaan uang daerah sisa

(39)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

belanja yang dikeluarkan dalam satu tahun anggaran ditambah selisih lebih transaksi

pembiayaan penerimaan dan pengeluaran. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat

kemampuan perencanaan sesuai prinsip-prinsip disiplin anggaran sehingga memungkinkan

setiap pengeluaran belanja menghasilkan sisa anggaran sehingga memungkinkan setiap

pengeluaran belanja menghasilkan sisa anggaran. Semakin kecil rasio akan menunjukkan

peran perencanaan dan pelaksanaan anggaran semakin baik.

Pengeluaran lainnya merupakan pengeluaran yang bersal dari pengeluaran tidak

termasuk bagian lain ditambah dengan pengeluaran tidak tersangka yang direalisasikan dalam

satu tahun anggaran. Total Belanja Daerah merupakan jumlah keseluruhan pengeluaran

daerah dalam satu tahun anggaran yang membebani anggaran daerah. rasio ini mengukur

pengendalian dan perencanaan anggaran belanja. Semakin kecil rasio akan menunjukkan

bahwa pemerintah daerah telah berupaya sejauh mungkin mengurangi biaya lain-lain atau

biaya taktis yang tidak jelas tujuan pemenfaatannya.

3) Rasio Aktifitas (Rasio Keserasian)

Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi

dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan secara optimal. Semakin tinggi

persentase dana yang dialokasikan untuk belanja rutin berarti persentase belanja investasi

(belanja pembangunan) yang digunakan untuk menyediakan sarana prasarana ekonomi

masyarakat cenderung semakin kecil. Secara sederhana rasio keserasian itu dapat

diformulasikan sebagai berikut :

Total Belanja Rutin Rasio Belanja Rutin terhadap APBD =

Total APBD

(40)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

Rasio Belanja Pembangunan terhadap APBD =

Total APBD

Belum ada patokan yang pasti berapa besarnya rasio belanja rutin maupun

pembangunan terhadap APBD yang ideal, karena sangat dipengaruhi oleh dinamisasi

kegiatan pembangunan dan besarnya kebutuhan investasi yang diperlukan untuk mencapai

pertumbuhan yang ditargetkan. Namun demikian, sebagai daerah dinegara berkembang

peranan pemerintah daerah untuk memacu pelaksanaan pembangunan masih relatif besar.

Oleh karena itu, rasio belanja pembangunan yang relatif masih kecil perlu ditingkatkan sesuai

dengan kebutuhan pembangunan didaerah.

4) Rasio Efektifitas dan Efesiensi Pendapatan Asli Daerah

Rasio efektifitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam

merealisasikan pendapatan asli daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang

ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah.

Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Rasio efektifitas =

Penerimaan PAD yg Ditetapkan Berdasarkan Potensi Riil Daerah

Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila rasio yang

dicapai mencapai minimal 1 (satu) atau 100 persen. Namun demikian semakin tinggi rasio

efektifitas, menggambarkan kemampuan daerah yang semakin baik. Guna memperoleh

ukuran yang lebih baik, rasio efektifitas tersebut perlu dipersandingkan dengan rasio efesiensi

yang dicapai pemerintah daerah.

Rasio efesiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara besarnya

biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang

diterima. Kinerja keuangan pemerintah daerah dalam melakukan pemungutan pendapatan

dikategorikan efesien apabila yang dicapai kurang dari 1 (satu) atau dibawah 100 persen.

(41)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

Biaya yang dikeluarkan untuk memungut PAD Rasio efisiensi =

Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah

5) Rasio Pertumbuhan

Dalam rasio pertumbuhan ini akan dilihat empat pertumbuhan komponen APBD

yaitu: Pendapatan Asli Daerah, Total Pendapatan Daerah, Total Belanja Rutin, dan Total

Belanja Pembangunan. Rasio pertumbuhan (Growth Ratio) mengukur severapa besar

kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya

yang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya. Dengan diketahuinya pertumbuhan

untuk masing-masing komponen sumber pendapatan dan pengeluaran, dapat digunakan

mengevaluasi potensi-potensi mana yang perlu mendapatkan perhatian.

Realisasi Penerimaan APBD Xn-Xn-1 Realisasi Pertumbuhan APBD =

Realisasi Penerimaan PAD Xn-1

Realisasi Penerimaan Pendapatan Xn-Xn-1 Rasio Pertumbuhan pendapatan =

Realisasi Penerimaan Pendapatan Xn-1

Realisasi Belanja Rutin Xn-Xn-1 Rasio Pertumbuhan Belanja Rutin =

Realisasi Belanja Rutin Xn-1

Realisasi Belanja Pembangunan Xn-Xn-1 Rasio Pertumbuhan Belanja Pembangunan =

Realisasi Belanja Pembangunan Xn-1

Keterangan :

Xn = Tahun Yang dihitung

(42)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

B. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian seperti ini pernah dilakukan oleh Ahzir Erfa (2008) mahasiswa Fakultas

Ekonomi Universitas Sumatera Utara dengan judul “ Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah

Daerah Setelah Otonomi Khusus (Studi Kasus Pada Pemerintah Kabupaten Aceh Utara)”.

Didalam melakukan analisis data peneliti menggunakan indikator rasio didalam pengukuran

kinerja keuangan pemerintah daerah setempat, antara lain ; Rasio Kemandirian, Rasio

Efektifitas dan Efesiensi Pendapatan Asli Daerah, Rasio Keserasian, Rasio Upaya Fiskal,

Rasio Pertumbuhan, Rasio Desentralisasi Fiskal. Dari hasil analisis data dapat digambarkan

bahwa dengan diberlakukannya otonomi khusus dapat merubah dan menaikkan rata-rata

kinerja pemerintah daerah Kabupaten Aceh Utara. Dimana PAD mengalami peningkatan

dengan sedikit bantuan yang diperoleh pusat dan propinsi, pemerintah dapat meminimumkan

biaya yang digunakan untuk memungut PAD, pemerintah mulai bisa manyeimbangkan antara

belanja pembangunan dan belanja rutin, upaya fiskal dan pertumbuhan daerah serta kinerja

pemerintah daerah kabupaten Aceh Utara dalam hal pajak daerah sangat maksimal.

Penelitian juga pernah dilakukan oleh Martha Yurdila Janur (2009) mahasiswi

Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara dengan judul Analisis Terhadap Kinerja

(43)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

dilakukan dengan cara menggunakan indikator rasio didalam pengukuran kinerja keuangan

pemerintah daerah setempat, antara lain : Rasio Kemandirian Keuangan Daerah, Rasio

Efektifitas dan Efesiensi Pendapatan Asli Daerah, Rasio Aktivitas, Rasio Debt Service

Coverage Ratio (DSCR), dan Rasio Pertumbuhan dari hasil analisis data dapat digambarkan

bahwa dengan diberlakukannya otonomi daerah masih menunjukkan kinerja keuangan daerah

yang masih belum stabil. Untuk rasio kemandirian keuangan daerah masih menunjukkan

tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pemerintah, namun pemerintah sudah

dapat meminimumkan biaya untuk memungut PAD, pemerintah masih belum bisa

menyeimbangkan antara belanja pembangunan dan belanja rutin sehingga dana yang

diprioritaskan untuk belanja rutin lebih tinggi dibandingkan untuk belanja pembangunan, dan

apabila terjadi kekurangan dana untuk mencukupi kebutuhan belanjanya kabupaten bungo

masih memiliki kesempatan untuk melakukan pinjaman, dan pertumbuhan kinerja pemerintah

dapat dikatakan sudah baik karena dari tahun ke tahun rasio pertumbuhan mengarah kepada

trend positif.

(44)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

Tinjauan Penelitian Terdahulu

Nama Judul Pengukuran

(45)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh

Kerangka Konseptual merupakan sintesis atau ekstrapolasi dari kejadian teori yang

(46)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

memecahkan masalah penelitian serta merumuskan hipotesis dan merupakan tempat peneliti

memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel ataupun masalah

yang ada dalam penelitian.

Berdasarkan Latar belakang masalah, tinjauan teoritis, dan tinjauan penelitian

terdahulu maka dapat disimpulkan kerangka konseptual sebagai berikut yang disertai

penjelasan kualitatif.

Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam

Gambar 1.1

Kerangka Konseptual Penelitian Sumber: Diolah Penulis, 2009

Keterangan Bagan :

Pada Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam, variabel data yang dipakai atau

digunakan adalah Laporan Pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) kepala daerah. Dalam hal ini variabel yang dipakai dikhususkan pada laporan

realisasi anggaran atau pada saat ini lebih dikenal dengan nama Laporan Keterangan Laporan Pertanggungjawaban

APBD

Laporan Realisasi

Anggaran

Kinerja Keuangan

(47)

Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.

Pertanggungjawaban (LKPJ) kepala daerah. Kemudian dari LKPJ ini diambil data-data yang

diperlukan atau yang dipakai dalam penelitian ini, yang kemudian akan dianalisis dengan

memakai rasio kinerja keuangan daerah yaitu :

1. rasio derajat desentralisasi fiskal

2. rasio tingkat kemandirian keuangan daerah

3. rasio efektifitas dan efesiensi pendapatan asli daerah

4. rasio aktifitas (rasio keserasian)

5. rasio pertumbuhan.

Sehingga dari perhitungan rasio-rasio tersebut diatas maka akan dapat diperoleh hasil

analisis kinerja keuangan Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam Sesudah Pemberlakuan

Kebijakan Otonomi Daerah.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian berbentuk deskriptif, yaitu penelitian

yang dilakukan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat

penelitian dilakukan atau selama kurun waktu tertentu dan memeriksa sebab-sebab dari suatu

Gambar

Tabel 4.6     Rasio Pertumbuhan Pemerintahan Nangggroe Aceh Darussalam
Gambar 1.1 Kerangka Konseptual Penelitian....................................................39
Tabel 2.1 Perubahan Setelah PP Nomor 105 tahun 2000
Tabel 2.2 Perubahan Setelah Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002
+7

Referensi

Dokumen terkait

Marga Probolinggo wajib memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan pendidikan dalam rangka

menggunakan kertas HFS. Seperti pada pertemuan petama dan kedua, Setelah anak-anak mengerti, guru membagi kelas menjadi 2 kelompok yaitu kelompok A terdiri dari

New York menyambut tahun baru dengan perayaan besar di Times Square, sementara Amerika Serikat menjadi salah satu negara terakhir menyambut kedatangan tahun 2013..

Untuk mempercepat proses pencarian nama maka perlu membuat index berdasarkan nama- Perintah indexnya adalah. Create index nama_idx on mahasiswa

[r]

Tinggi gelombang datang (run up) mencapai 30 m terjadi di bagian barat Banda Aceh. Penelitian ini memodelkan tinggi gelombang datang 30 m. Model sebaran genangan atau

Jika kesadaran itu telah timbul, maka anak akan melakukan kegiatan belajar dengan kesadarannya sendiri, tanpa perlu ada paksaan dari pihak manapun, atau hanya pada saat akan

Identifikasi dengan PCR dilakukan sebanyak 2 kali, pertama dengan primer T7-SP6 untuk memastikan bahwa koloni tesebut telah mengandung gen target yang dibawa oleh plasmid