• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Kebijakan Pembangunan Daerah dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Jakarta secara Berkelanjutan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Kebijakan Pembangunan Daerah dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Jakarta secara Berkelanjutan"

Copied!
254
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH

DALAM PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI TELUK

JAKARTA SECARA BERKELANJUTAN

INDAR PARAWANSA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Pengembangan Kebijakan Pembangunan Daerah dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Jakarta secara Berkelanjutan adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bogor, Desember 2007

Indar Parawansa

(3)

Indar Parawansa. 2007. Pengembangan Kebijakan Pembangunan Daerah dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Jakarta secara Berkelanjutan. Dibimbing oleh: Hadi S Alikodra, M Sri Saeni, Dedi Soedharma, dan Dudung Darusman.

Hutan mangrove di Teluk Jakarta memerlukan kebijakan pengelolaan yang terpadu guna menjaga fungsi mangrove yang sangat vital bagi ekosistem wilayah pesisir. Penelitian ini bertujuan untuk: mengetahui kondisi fisik dan kualitas ekosistem hutan mangrove Teluk Jakarta saat ini; mengidentifikasi kebutuhan stakeholder dalam pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta; dan menyusun kebijakan dan strategi pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan partisipatif dengan melibatkan stakeholder kunci dalam perumusan alternatif kebijakan dan strategi implementasinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) kondisi hutan mangrove di Teluk Jakarta mengalami degradasi berdasarkan hasil pengujian: Hasil uji vegetasi diketahui bahwa luasan hutan mangrove telah mengalami penyusutan dan spesiesnya mengalami pengurangan jenis. Hasil pengujian kualitas air diketahui bahwa parameter BOD, COD, amonia, dan logam berat (kadmiun dan timbal) telah melampaui baku mutu kualitas air. Kondisi fisik lahan mengalami kerusakan akibat alih fungsi lahan menjadi tambak, permukiman, dan industri; (2) Kebutuhan stakeholder dalam pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta bervariasi berdasarkan kategori stakeholder yakni kesejahteraan masyarakat, kelestarian ekosistem, dan pertumbuhan ekonomi. Kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi ditingkatkan melalui peningkatan pendapatan masyarakat, pendidikan dan kesehatan masyarakat, dan peningkatan investasi, sedangkan kelestarian ekosistem dilakukan melalui rehabilitasi kawasan secara partisipatif; dan (3) prioritas kebijakan pengelolaan hutan mangrove Teluk Jakarta secara berkelanjutan berdasarkan aspirasi stakeholder secara berturut-turut adalah pemberdayaan masyarakat, penerapan teknologi, dan pengelolaan terpadu. Ketiga kebijakan ini dilaksanakan secara terpadu dan konsisten dengan berbagai langkah-langkah strategis yang telah disepakati oleh semua stakeholder. Dalam kaitan dengan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta berdasarkan kondisi saat ini dirumuskan empat program utama yaitu rehabilitasi mangrove, penanganan sampah dan limbah, perbaikan kualitas perairan, dan pencegahan abrasi dan sedimentasi.

(4)

Indar Parawansa. 2007. The Regime Development Policy of Sustainable Mangrove Forest Management in Teluk Jakarta. Supervised by: Hadi S Alikodra, M Sri Saeni, Dedi Soedharma, and Dudung Darusman.

Mangrove forest in Teluk Jakarta needs a comprehensive development policy in order to preserve its important functions for the coastal area ecosystem. The purposes of this research are to: identify the stakeholder need in managing mangrove in Teluk Jakarta; arrange the policy and strategy of sustainable mangrove management. This research uses a participative approach by involving the stakeholder key in formulating the policy alternative and its implementation strategy. The result of this research shows: (1) mangrove condition in Teluk Jakarta is damaged based on analysis result. The result of vegetation analysis shows that mangrove area and the variety of its species is decreasing. The result of water quality analysis show that the parameter of BOD, COD, Ammonia and metal (Cd and Pb) exceeded the water quality standard. The condition of land physic is damaged due to the land function shifting to fish pond, settlement and industry. (2) The felt needs of stakeholders to manage the mangrove are varied due to the condition of their level of welfare, ecosystem sustainability and economic growth. The level of welfare and economic growth can be developed throught income generating activity, education and health program. While the ecosystem sustainability can be enhanced throught participatory rehabilitation program. (3) The priority of mangrove sustainable management based on the stakeholders aspirations are people empowerment, technology application, and integrated management. Based on those priorities, there are four programs to be implemented: rehabilitation, pollution and waste management, water quality improvement, and abrassion and sedimentation prevention.

(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk

(6)

PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH

DALAM PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI TELUK

JAKARTA SECARA BERKELANJUTAN

Oleh:

Indar Parawansa

99522008

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Berkelanjutan Nama Mahasiswa : Indar Parawansa Nomor Pokok : 99522008

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS Ketua

Prof. Dr. Ir. M. Sri Saeni, MS Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA

Anggota Anggota

Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA Anggota

Plh. Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana

Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Dr. Ir. Etty Riani, MS Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(8)

Penulis lahir di Kota Palu, Sulawesi Tengah pada tanggal 26 Juli 1960. Penulis adalah putra pertama dari empat bersaudara keluarga H.D Parawansa.

Pendidikan penulis dimulai dari Sekolah Dasar Negeri 3 Makassar lulus pada tahun 1972, melanjutkan ke SMP Negeri 6 Makassar dan lulus tahun 1975, selanjutnya masuk ke SMA Negeri I Makassar lulus tahun 1980. Penulis sebagai mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana Jurusan Kependudukan pada Universitas Gajah Mada dan lulus tahun 1995. Pada tahun 1999 penulis masuk Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL),

Pada tahun 1987 – 1999 mengabdi sebagai staf di Bappeda Takalar Sulawesi Selatan, pada tahun 1999 – sekarang menjadi staf pada Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri.

Penulis menikah dengan Khofifah Indar Parawansa dan dikarunia empat putra yaitu Ima, Baso, Aco dan Ali.

Bogor, Desember 2007

(9)

Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Robbul Alamin karena atas berkat dan rahmat serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dari Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini berjudul: Pengembangan Kebijakan Pembangunan Daerah Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Jakarta secara Berkelanjutan.

Kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan, Prof. Dr. Ir. M. Sri Saeni, M.S., Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA, dan Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman M.Sc. masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan petunjuk, saran, arahan dan bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas disertasi ini.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS, Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS, Selaku ketua program dan PLH Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan serta kepada Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro MSc, selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan izin belajar dan kuliah sehingga selesainya program doktor ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dirjen Bina Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri, Bapak Direktur Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup, Ditjen Bina Pembangunan Daerah yang memberi sangat perhatian, teman-teman di Subdit Penataan Wilayah Pengembangan Khusus, Sahabat Dr. Suaedi, MSi, Dr. BJ Protondo, MSi, Dr. Royadi, SH, MM, Dr. Syafiudin H Muhammad Saleh, MSi, Dr. Ir. H. Gatot Irianto,DEA dan Keluarga, Sawiyo, Ahied dan Dany juga Dr. Ir. H Hertomo Heroe, MM, BAPPEDA dan Kepala Dinas serta Camat dan Kepala Desa/Lurah dari Muara Angke - Penjaringan Jakarta Utara, Muara Gembong-Bekasi dan Teluk Naga, Tangerang, Banten.

Terimakasih pula pada guruku sekaligus orangtua angkatku Bapak Prof. Dr. Ida Bagoes Mantra, Guruku yang menganggapku seperti anaknya sendiri Ibunda Prof. Dr. Ir. Hj. Farida Nurland, MS, Kakanda Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri.

Penulis secara khusus mengucapkan terima kasih pula kepada ayahanda H. Djalaluddin Parawansa, Ibunda Mien Bakri (almarhumah) serta Pamanda Prof. Dr. H. Paturungi Parawansa dan mama Inna yang telah mendidik saya sejak kecil sampai menjadi sekarang ini, inilah wujud doamu kepada penulis yang dikabulkan Allah Robbull Alamin.

Kepada istri penulis Hj. Khofifah Indar Parawansa, yang turut mendorong dalam pelaksanaan kuliah, penyusunan proposal, penelitian sampai penulisan disertasi. Juga kepada anak-anakku tercinta: Ima, Baso, Aco dan Ali, adik-adikku Sila, Tayang, Ke’nang diucapkan banyak terima kasih telah memberikan motivasi dalam menyelesaikan disertasi ini.

Kami menyadari bahwa disertasi ini masih kurang sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak untuk penyempurnaannya dan semoga disertasi ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2007

(10)

x

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Kerangka Pikir ... 7

1.6 Novelty ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1 Hutan Mangrove ... 12

2.2 Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Berkelanjutan ... 23

2.3 Pengelolaan Hutan Mangrove ... 34

2.4 Pemanfaatan Hutan Mangrove ... 36

2.5 Kebijakan Publik ... 39

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 44

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 44

3.2 Tahapan Penelitian ... 45

3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan ... 46

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 47

3.5 Metode Analisis Data ... 48

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 55

4.1 Sejarah dan Status Hutan Mangrove Teluk Jakarta ... 55

4.2 Kondisi Hutan Mangrove di Teluk Jakarta ... 57

4.3 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ... 70

4.4 Permasalahan Pengelolaan Hutan Mangrove ... 73

4.5 Persepsi dan Keinginan Masyarakat ... 79

4.6 Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Jakarta ... 86

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 111

5.1 Kesimpulan ... 111

5.2 Saran ... 112

DAFTAR PUSTAKA ... 113

(11)

xi Halaman

1 Jenis, kerapatan dan potensi mangrove di Indonesia ... 15

2 Jenis data yang dikumpulkan ... 47

3 Jumlah responden berdasarkan usia ... 47

4 Jumlah responden berdasarkan tingkat pendidikan ... 47

5 Jumlah responden berdasarkan pekerjaan ... 48

6 Metode pengukuran kualitas air ... 51

7 Skala perbandingan berpasangan ... 53

8 Perubahan luas peruntukan lahan di Muara Angke ... 56

9 Perubahan luas hutan mangrove di lokasi penelitian ... 58

10 Spesies mangrove yang ditemukan di lokasi penelitian ... 66

11 Kualitas air di Teluk Jakarta ... 66

12 Luas wilayah dan kepadatan penduduk di Teluk Jakarta tahun 2004 ... 70

13 PDRB Jakarta Utara, Bekasi, dan Tangerang tahun 2004 atas dasar harga konstan tahun 2000 ... 73

14 Permasalahan lingkungan hutan mangrove di Teluk Jakarta ... 74

15 Permasalahan sosial ekonomi hutan mangrove di Teluk Jakarta ... 75

16 Permasalahan konflik pemanfaatan dan alih fungsi lahan hutan mangrove di Teluk Jakarta ... 76

17 Pelaksanaan peraturan dan kinerja pengelolaan mangrove di sekitar Teluk Jakarta ... 78

18 Persepsi masyarakat tentang penyelamatan hutan mangrove di Muara Angke ... 80

19 Keinginan stakeholder terhadap pengembangan kawasan hutan mangrove di Muara Angke ... 81

20 Keinginan stakeholder terhadap penyelamatan hutan mangrove Muara Gembong ... 82

21 Persepsi masyarakat tentang penyelamatan hutan mangrove di Muara Gembong ... 83

22 Persepsi masyarakat tentang penyelamatan hutan mangrove di Kecamatan Teluk Naga ... 85

(12)

xii Halaman

1 Kerangka berpikir penelitian ... 10

2 Peta lokasi penelitian ... 44

3 Tahapan penelitian ... 45

4 Luas hutan mangrove di Muara Angke ... 61

5 Luas hutan mangrove di Muara Gembong ... 62

6 Luas hutan mangrove di Teluk Naga ... 63

7 Tingkat kerapatan vegetasi di Teluk Jakarta ... 64

8 Permasalahan dan alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta ... 90

9 Hasil AHP penentuan kebijakan pengelolaan hutan mangrove Teluk Jakarta ... 92

(13)

xiii Halaman 1 Perubahan susunan jenis tumbuhan mangrove di Teluk Jakarta tahun

1988, 1994, 2000 ... 119

2 Peta lahan mangrove di Muara Angke tahun 1997 ... 120

3 Peta lahan mangrove di Muara Angke tahun 2002 ... 121

4 Peta lahan mangrove di Muara Angke tahun 2006 ... 122

5 Peta lahan mangrove di Muara Gembong tahun 1997 ... 123

6 Peta lahan mangrove di Muara Gembong tahun 2002 ... 124

7 Peta lahan mangrove di Muara Gembong tahun 2006 ... 125

8 Peta lahan mangrove di Teluk Naga tahun 1997 ... 126

9 Peta lahan mangrove di Teluk Naga tahun 2002 ... 127

10 Peta lahan mangrove di Teluk Naga tahun 2006 ... 128

11 Peta tutupan lahan bervegetasi di Teluk Jakarta tahun 2001 ... 129

12 Peta tutupan lahan bervegetasi di Teluk Jakarta tahun 2006 ... 130

13 Hasil analisis laboratorium contoh air di kecamatan Muara Angke ... 131

14 Hasil analisis laboratorium contoh air di kecamatan Muara Gembong .. 132

15 Hasil analisis laboratorium contoh air di kecamatan Teluk Naga ... 134

16 Hasil analisis AHP pengelolaan Teluk Jakarta ... 135

(14)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan laut yang memiliki potensi sumberdaya alam tinggi. Salah satu sumberdaya wilayah pesisir adalah hutan mangrove. Hutan mangrove memiliki nilai ekologis, ekonomis dan sosial yang tinggi. Hutan mangrove berfungsi sebagai tempat ikan, udang, kerang dan jenis biota lainnya untuk memijah dan daerah asuhan bagi jenis-jenis udang (Fauzi, 1999). Hutan mangrove juga berfungsi menjaga stabilitas garis pantai, melindungi pantai dan tebing sungai, memfilter dan meremidiasi limbah, serta untuk menahan banjir dan gelombang.

Secara ekonomis fungsi hutan mangrove merupakan sumber energi, daerah pengembangan perikanan dan pertanian, penghasil bahan bangunan, bahan tekstil, dan produk bernilai ekonomi lainnya. Di samping itu hutan mangrove juga memiliki manfaat sosial seperti tempat berinteraksi sosial dan jasa-jasa wisata. Dari berbagai manfaat tersebut, nilai manfaat hutan mangrove secara langsung hanya 3,56% sedangkan nilai manfaat tidak langsung mencapai 96,44% (Suhaeri, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa apabila hanya memperhatikan manfaat langsung, maka hutan mangrove akan cenderung dikonversi untuk pemanfaatan lainnya.

Fakta menunjukkan bahwa kerusakan mangrove ada dimana-mana, bahkan intensitas kerusakan dan luasannya cenderung meningkat secara siginifikan (Bratasida, 2002; Imanuddin dan Mardiastuti, 2002; Santoso, 2002). Penyebab kerusakan mangrove sangat beragam menurut ruang dan waktu. Secara umum kerusakan mangrove diakibatkan oleh tiga faktor yaitu: (1) faktor internal seperti alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak, permukiman, industri dan adanya pencemaran limbah, pestisida dan logam berat, (2) faktor eksternal seperti kerusakan DAS hulu yang menyebabkan tingginya sedimentasi dan akumulasi zat pencemar, dan (3) faktor lain yang belum diidentifikasi (Waryono dan Yulianto, 2002; Bratasida, 2002; Kusmana, 2002).

(15)

Pantai Utara Jawa berkaitan dengan belum adanya kejelasan tata ruang dan rencana pengembangan wilayah pesisir, pembuangan limbah industri dan rumah tangga, dan sedimentasi akibat pengolahan lahan yang kurang baik. Penyebab yang terbesar adalah konversi kawasan hutan mangrove untuk usaha tambak, permukiman, dan kawasan industri secara tak terkendali (Dahuri et al., 2001). Akibatnya kualitas perairan pesisir merosot tajam, karena intrusi dan abrasi air laut yang tidak dapat dikendalikan. Dampak ekonomisnya terlihat dari menurunnya persediaan air tawar, hancurnya usaha pertambakan di daerah pesisir, pencemaran logam berat dan bahan beracun berbahaya serta menurunnya jenis, jumlah dan kualitas flora dan fauna di ekosistem pesisir.

Hutan mangrove di Teluk Jakarta seluas 9.749 ha. Areal hutan mangrove di Teluk Jakarta terbentang mulai dari pantai Tangerang hingga Bekasi. Kawasan ini meliputi tiga wilayah administratif, yaitu Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi, Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tanggerang, dan Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara.

Saat ini hutan mangrove di Teluk Jakarta terus mengalami kerusakan. Konversi hutan mangrove menjadi tambak telah membawa dampak penurunan luas hutan mangrove. UNEP dan LPP-Mangrove (2004) menyebutkan bahwa kondisi hutan mangrove di Teluk Jakarta rusak berat dan sebagian telah berubah fungsi menjadi permukiman dan budidaya. Apabila konversi hutan mangrove menjadi tambak tidak dihentikan dan kegiatan eksploitasi hutan mangrove tidak diimbangi dengan kegiatan rehabilitasi, maka dikhawatirkan akan mengakibatkan kerusakan bahkan pemusnahan hutan mangrove yang akan merugikan dan mengancam kehidupan masyarakat pesisir.

Teluk Jakarta telah tercemar oleh logam berat (khususnya merkuri) dan pestisida (rata-rata 9 ppb PCB dan 13 ppb DDT yang keduanya melebihi ambang batas yaitu 0,5 ppb). Keadaan menjadi lebih buruk karena pembuangan minyak dari kapal dan perahu kecil. Ikan dan invertebrata yang hidup di daerah tercemar selanjutnya mengancam populasi burung air melalui sistem rantai makanan. Bahkan dapat membahayakan kesehatan masyarakat bagi mengkonsumsi ikan yang tercemar.

(16)

Peningkatan pemanfaatan lahan di hutan mangrove akan merusak ekosistem mangrove.

Rusaknya hutan mangrove di wilayah Teluk Jakarta disebabkan beberapa hal yakni meningkatnya konversi lahan untuk permukiman, sarana dan prasarana dan kegiatan lainnya sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk. Peningkatan pembangunan dan permukiman akan menimbulkan tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam, yang pada kenyataannya belum memperhitungkan kerugian yang berdampak sosial ekonomi dan ekologis. Demikian juga dengan pembangunan wilayah pesisir sekitar kawasan hutan mangrove, pemanfaatan untuk usaha tambak yang dilakukan secara tidak bijaksana. Hal ini merupakan kekeliruan dalam menilai fungsi hutan mangrove. Untuk jangka pendek, manfaat ekonomi yang diperoleh dari lahan untuk industri relatif tinggi dibanding sebagai lahan mangrove. Namun demikian, untuk jangka panjang, terjadi penurunan nilai lahan industri yang semakin menurun, sedangkan nilai lahan hutan mangrove relatif stabil untuk jangka panjang. Dengan demikian, pertimbangan jangka panjang dalam pembangunan akan menjadi faktor penting dalam pelestarian hutan mangrove.

Tekanan penduduk dan tingginya permintaan lahan untuk permukiman dan industri menyebabkan kerusakan mangrove tidak dapat dielakkan. Kepentingan ekonomi dan sosial lebih dominan dibandingkan dengan kepentingan lingkungan. Upaya pemanfaatan mangrove dengan mengkombinasikan kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial faktanya masih merupakan konsep yang belum banyak diimplementasikan (Wartaputra, 1990).

Eksploitasi terhadap sumberdaya alam yang berlebihan akan menyebabkan masalah lingkungan (Sumarwoto, 2001; Alikodra, 2002). Munculnya masalah lingkungan secara langsung atau tidak langsung akan berakibat pada menurunnya kualitas sumberdaya manusia yang pada akhirnya akan memperlemah upaya pembangunan itu sendiri (Keraf, 2002). Oleh karena itu, Pemerintah Daerah sebagai penggerak utama pembangunan, diharapkan mampu melihat secara cermat segala potensi yang ada di wilayahnya serta merencanakan pemanfaatannya secara berkelanjutan.

(17)

penurunan kualitas tanah, air, dan udara. Di samping itu, juga menimbulkan konflik sosial karena kesenjangan pendapatan.

Mengingat pentingnya keberadaan hutan mangrove untuk fungsi ekologisnya dan manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat pesisir, maka perlu dilakukan upaya pengelolaan untuk menjamin kelestarian hutan mangrove. Berdasarkan hal tersebut penelitian tentang pengembangan kebijakan pembangunan daerah dalam penyelamatan hutan mangrove yang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan perlu dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah

Kebijakan pembangunan wilayah pesisir terpadu telah dicanangkan oleh pemerintah. Berbagai strategi dan program dirumuskan untuk mencapai pembangunan wilayah pesisir berkelanjutan seperti pemberdayaan masyarakat pesisir, pengelolaan kawasan mangrove secara terpadu, pembentukan daerah perlindungan laut, rehabilitasi kawasan mangrove yang rusak hingga bantuan langsung kepada masyarakat pesisir. Berbagai regulasi dalam pengelolaan wilayah pesisir termasuk pengelolaan hutan mangrove juga telah dirumuskan. Namun demikian, laju kerusakan hutan mangrove masih relatif tinggi

Secara umum kawasan mangrove di Teluk Jakarta mengalami degradasi baik fisik maupun habitat. Secara spesifik kondisi mangrove di Teluk Jakarta dapat dideskripsikan menurut tiga kawasan, yaitu: Muara Gembong, Muara Angke, dan Teluk Naga. Hutan mangrove di Kecamatan Muara Gembong semakin berkurang dikarenakan lahan mangrove diubah menjadi lahan tambak yang berakibat pada terjadinya abrasi, intrusi air laut menurunkan kualitas air dan tanah untuk tambak yang ditandai rendahnya produktivitas tambak serta adanya ketidakteraturan dalam hal penataan permukiman masyarakat yang dibangun di sepanjang pesisir pantai sederhana.

(18)

mangrove. Tingginya kandungan bahan pencemar yang hanyut telah mempercepat kerusakan mangrove di kawasan Muara Angke.

Kawasan mangrove di Teluk Naga sudah berada pada kondisi yang memperihatinkan. Kawasan mangrove sudah berubah 70% menjadi lahan tambak. Tindakan konversi ke lahan tambak telah dilakukan sangat tergesa-gesa tanpa perencanaan yang matang. Kandungan pirit yang tinggi dan jarangnya populasi mangrove di sekitar tambak menjadikan produktivitas tambak menjadi sangat rendah. Persaingan prioritas penggunaan lahan antara tambak dan kawasan pariwisata menjadikan populasi mangrove semakin tergeser (DLH Kabupaten Tangerang, 2004).

Berkurangnya ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Teluk Naga karena usaha tambak yang dikembangkan di wilayah itu seluas 4.740,79 ha sebagian besar memanfaatkan lahan hutan mangrove di sekitar pesisir yang mengakibatkan abrasi yang tidak terbendung dan intrusi air laut yang menghancurkan sebagian besar usaha petani. Kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir Tangerang ini dikarenakan kurangnya pengawasan dan kebutuhan masyarakat yang meningkat dalam pemanfaatan kayu dari hutan (DPK Kabupaten Tangerang, 2003).

Faktor lain yang signifikan mempengaruhi hilangnya hutan mangrove di Teluk Jakarta adalah pengembangan kawasan untuk kegiatan usaha. Konsepsi pembangunan Jakarta sebagai water front city akan berdampak pada hilangnya ekosistem mangrove. Pemda DKI Jakarta melalui Badan Reklamasi Pantai (BRP) merencanakan reklamasi pantai utara (pantura) seluas 2.700 ha sepanjang 32 km yang membentang dari Tangerang hingga Bekasi. Pemerintah Provinsi DKI menargetkan akan membuka daratan baru untuk keperluan industri, perkantoran, pusat bisnis, sarana transportasi, dan permukiman. Reklamasi pantai di daerah rawa-rawa sepanjang wilayah pesisir mengakibatkan hilangnya fungsi pemijahan, sehingga memperbesar aliran permukaan. Reklamasi yang tidak terkontrol juga akan menghilangkan dan mengubah fungsi ekologis.

(19)

Karakteristik wilayah pesisir yang dipengaruhi oleh arus air merupakan faktor yang sulit untuk dikendalikan. Pencemaran air oleh limbah rumah tangga dan industri yang dilakukan di sekitar Muara Angke akan menyebabkan kerusakan lingkungan di seluruh wilayah pesisir Teluk Jakarta. Demikian pula dengan kegiatan industri di Teluk Naga akan berdampak terhadap kualitas perairan di seluruh wilayah Teluk Jakarta.

Karakterisitik tersebut berbeda dengan dimensi sosial budaya masyarakat. Kawasan pesisir Muara Gembong dan Teluk Naga dihuni oleh sebagian besar nelayan, sedangkan masyarakat Muara Angke sangat bervariasi. Dengan demikian, penyebab kerusakan hutan mangrove di ketiga lokasi ini berbeda-beda. Hutan mangrove di Muara Gembong dirambah untuk keperluan tambak dan kebutuhan kayu untuk rumah tangga, di Teluk Naga untuk keperluan tambak dan industri, sedangkan di Muara Angke untuk keperluan lahan permukiman dan perniagaan.

Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang perlu dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) kondisi hutan mangrove Teluk Jakarta saat ini, (2) kebutuhan stakeholder dalam kaitan dengan pengelolaan hutan mangrove, (3) kebijakan dan strategi yang tepat dalam pengelolaan hutan mangrove Teluk Jakarta secara berkelanjutan.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui kondisi fisik dan kualitas ekosistem hutan mangrove Teluk Jakarta saat ini;

2. Mengidentifikasi kebutuhan stakeholder dalam pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta di masa mendatang;

3. Menyusun kebijakan dan strategi pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta secara berkelanjutan.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

(20)

2. Sebagai bahan masukan bagi penentu kebijakan dalam proses pelibatan masyarakat dalam mengembangkan partisipasi masyarakat untuk pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan;

3. Memberikan sumbangan untuk memperkaya ilmu kajian lingkungan khususnya pengembangan strategi dalam pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan.

1.5 Kerangka Pikir

Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia hara bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam biota, penahan abrasi, penahan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut. Hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis seperti penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat obatan, dan fungsi sosial sebagai lahan interaksi bagi masyarakat.

Pelaksanaan otonomi daerah mendorong daerah untuk mengambil kewenangan pengelolaan mangrove melalui eksploitasi yang berlebihan untuk kepentingan ekonomi sesaat. Konflik kepentingan antara sektor seperti Departemen Kehutanan dan Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Pekerjaan Umum maupun antar wilayah seperti antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten merupakan faktor lain yang menyebabkan degradasi kuantitas (kerapatan dan luas) maupun kualitas (komposisi dan proporsi) mangrove semakin dipercepat.

Ancaman kerusakan bagi mangrove sebagian besar berasal dari aktivitas manusia yang tidak memperhatikan aspek lingkungan. Secara sederhana penyebab kerusakan mangrove dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu secara langsung melalui: alih fungsi, reklamasi, pencemaran, abrasi, dan sedimentasi dan secara tidak langsung melalui fenomena alam seperti penyakit, hama, dan meningkatnya muka air laut.

(21)

abrasi gelombang laut, sehingga tanah menjadi irreversible, tidak produktif dan sangat sulit direhabilitasi (Naamin, 2002; Soedharma et al., 1990).

Dalam kasus mangrove di Teluk Jakarta sebagai suatu ekosistem yang meliputi tiga wilayah administrasi provinsi (DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten), berpotensi menimbulkan konflik pengelolaan dan pemanfaatan antar wilayah akibat perbedaan cara pandang. Kondisi ini diperburuk dengan adanya konversi mangrove untuk tujuan ekonomi, sehingga mendorong kerusakan mangrove semakin parah.

Faktor lain yang mendorong rusaknya hutan mangrove di Teluk Jakarta adalah rendahnya capacity building yang meliputi sumberdaya manusia, institusi dan mekanisme aturan. Kondisi ini diperburuk dengan rendahnya koordinasi di tingkat perencana, pengambil kebijakan dan pelaksana lapang, sehingga menyebabkan terjadinya ketimpangan antara apa yang diinginkan (demand side) dan apa yang dimiliki dari hutan mangrove (supply side) (Alikodra, 2002).

Kerusakan sumberdaya mangrove juga terjadi karena ekstensifikasi yang berlebihan untuk perluasan wilayah tambak tanpa memperhitungkan kualitasnya, serta adanya pembabatan habis untuk kebutuhan kayu bakar masyarakat. Perbedaan persepsi dari cara pandang antara peran mangrove terhadap lingkungan dan alih fungsi menyebabkan konflik yang tidak mudah dipecahkan, seperti kasus Teluk Jakarta. Kemampuan tawar sektor ekonomi yang lebih kuat dibandingkan sektor lingkungan menyebabkan pembabatan mangrove sulit dikendalikan.

Tingkat kerusakan mangrove yang makin luas menyebabkan multifungsi mangrove secara spasial dan temporal merosot tajam, sehingga daya dukungnya terhadap budidaya kawasan pesisir sangat rendah. Kerusakan mangrove ini perlu dicari solusinya agar dapat dirumuskan kebijakan dan strateginya untuk menciptakan kelestarian ekosistem mangrove dengan tetap dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.

(22)

menyusutnya persediaan sumberdaya, khususnya hutan mangrove, dan merosotnya mutu lingkungan. Oleh karenanya, pengelolaan kawasan pesisir tidak terbatas pada pembinaan kelestarian alam, melainkan juga upaya pemberdayaan penduduk secara perseorangan maupun kolektif. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang lingkungan hidup mutlak diperlukan karena perusakan terhadap sumberdaya mangrove masih terus terjadi. Dalam pelaksanaannya diperlukan pendekatan partisipatif, yakni masyarakat lokal dilibatkan dalam proses pembangunan.

Hambatan dan gangguan dalam pengelolaan hutan mangrove yang mencerminkan kaidah-kaidah perlindungan ekosistem di Indonesia antara lain adalah benturan kepentingan pihak yang berkompeten, lemahnya informasi ekosistem hutan mangrove, kelemahan di aspek pemanfaatan, masalah sosial ekonomi masyarakat, sistem silvikultur hutan mangrove, dan aspek hukum dan kelembagaan (Machfuddin dan Nasendi, 1997). Kebijakan mengenai konversi lahan mangrove secara berlebihan menyebabkan rusaknya kawasan pesisir. Terjadinya kerusakan wilayah pesisir akibat pembukaan hutan yang berlebihan, mengakibatkan kualitas dan kelestarian sumberdaya mangrove mengalami ancaman dari berbagai pemangku kepentingan.

Terdapat tiga kelompok stakeholder kunci dalam pembangunan wilayah pesisir yakni pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Ketiga kelompok ini memiliki motif yang berbeda dalam pemanfaatan hutan mangrove. Apabila kebijakan pemanfaatan hutan mangrove tidak sesuai dengan kesepakatan ketiganya, maka kerusakan hutan mangrove akan terus berlanjut. Dengan demikian, kebutuhan stakeholder dalam pemanfaatan hutan mangrove perlu dipertimbangkan sehingga terjadi sinergi dalam pemanfaatan secara lestari.

Perbedaan kepentingan antara stakeholder terhadap pemanfaatan hutan mangrove, seperti antara kehutanan, perikanan, pertanian, pertambangan, transmigrasi, perhubungan, pariwisata dan perindustrian, menimbulkan tekanan yang beragam terhadap keberadaan hutan mangrove. Selain itu terjadinya degradasi hutan mangrove juga disebabkan pencurian dan penebangan yang tidak terkendali dan pemanfaatan yang melebihi daya dukung. Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di sekitar kawasan hutan mangrove belum sepenuhnya mendukung pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan.

(23)

pengelolaan mangrove. Dalam hal ini perlu disusun alat bantu pengambilan keputusan kebijakan pengelolaan mangrove sesuai kebutuhan stakeholder dan peraturan perundangan yang ada, sehingga konsep perencanaan dan pemanfaatan mangrove dapat berkelanjutan. Dalam hal studi kasus Teluk Jakarta, maka diperlukan pemahaman tentang kondisi ekosistem mangrove yang ada saat ini di tiga wilayah, evaluasi kebijakan pemanfaatan mangrove di Teluk Jakarta, dan analisis kebutuhan stakeholder dalam pemanfaatan mangrove di masa mendatang.

Pemahaman terhadap ketiga hal tersebut merupakan masukan dalam penyusunan kebijakan dan strategi pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan di Teluk Jakarta. Sistem pengambilan keputusan yang mendukung upaya ini perlu dirumuskan dengan pendekatan yang komprehensif. Rumusan hasil keputusan ini merupakan rekomendasi untuk kebijakan pembangunan wilayah pesisir terpadu. Secara rinci kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

(24)

1.6 Novelty

(25)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Mangrove

Hutan mangrove adalah suatu formasi hutan yang dipengaruhi pasang surut air laut, dengan keadaan tanah yang anaerobik. Walaupun keberadaan hutan ini tidak tergantung pada iklim, tetapi umumnya hutan mangrove tumbuh dengan baik di daerah tropik pada daerah-daerah pesisir yang terlindung, seperti delta dan estuaria.

Lingkup hutan mangrove mempunyai cakupan yang luas, meliputi: (1) satu atau lebih jenis pohon dan semak atau rumput yang hanya tumbuh di habitat mangrove, (2) jenis tumbuhan yang hidup berasosiasi dengan satu atau lebih jenis pohon dan semak atau rumput, tetapi daerah tumbuhnya tidak terbatas di habitat mangrove, dan (3) biota yang hidup di habitat mangrove, yaitu satwa darat dan laut, lumut, jamur, alga, bakteri dan lain-lain, baik yang hidupnya bersifat sementara atau tetap.

2.1.1 Struktur dan komposisi vegetasi

Hutan mangrove yang tumbuh baik di pantai berlumpur yang terlindung estuaria, maupun di teluk umumnya memiliki batang lurus dan tingginya dapat mencapai 35-45 m. Di pantai berpasir atau terumbu karang, mangrove tumbuh kerdil, rendah dan batangnya seringkali bengkok. Daun-daun berbagai jenis tumbuhan dalam hutan mangrove biasanya mempunyai tekstur yang serupa. Sistem perakarannya khas dan merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang anaerobik. Sonneratia dan Avicennia mempunyai akar horisontal dilengkapi dengan pneumatofora berbentuk pasak yang muncul ke permukaan tanah, Bruguiera dan Xylocarpus mempunyai akar horisontal dengan pneumatofora berbentuk kerucut atau penebalan akar di bagian atas, sedangkan ceriops tidak mempunyai perakaran khusus tetapi akar-akarnya terbuka dan bagian bawah batangnya berlentisel yang cukup besar.

(26)

kebanyakan agak sempit yaitu sekitar 25-50 m. Di delta-delta dimana banyak arus, lumut ditemukan pada kebanyakan pohon mangrove seperti R. apiculata dan R. mucronata. Lumut yang terdapat di hutang mangrove meliputi 5 jenis lumut daun dan 21 jenis lumut hati yang sifatnya mirip lumut daun.

Hutan mangrove dijumpai zonasi yang dibentuk oleh keadaan topografi, frekuensi pasang surut, lamanya penggenangan, komposisi dan stabilitas sedimen tempat tumbuh dan tipe tanah, salinitas air dan atau tanah, dinamika penyebaran propagule, dan dinamika proses pemakanan biji mangrove oleh organisme yang berasosiasi dengan mangrove. Pada keadaan tertentu dapat dijumpai hanya satu zone. Pembagian zonasi mangrove didasarkan antara lain pada: frekuensi penggenangan oleh pasang surut air, tingkat salinitas dengan memperhatikan frekuensi penggenangan air, dan berdasarkan nama genus pohon yang dominan.

Jenis-jenis pohon mangrove cenderung untuk tumbuh dalam kelompok-kelompok, zone-zone atau jalur-jalur sejajar pantai. Di pantai yang landai dengan kemiringan membawa lumpur dan pasir, hutan mangrove merupakan jalur yang lebih lebar. Ada tiga faktor utama yang menentukan tumbuh dan penyebaran jenis-jenis mangrove adalah: (1) kondisi dan tipe tanah: keras atau lembek, berpasir atau berlumpur, (2) salinitas: variasi rata-rata harian maupun tahunan; frekuensi, kedalaman dan lamanya penggenangan, dan (3) ketahanan jenis-jenis mangrove terhadap arus dan ombak.

(27)

Disamping tumbuhan tinggi, juga ditemukan berbagai ganggang dan lumut (lumut daun dan lumut hati). Beberapa dari ganggang telah beradaptasi untuk kehidupan dalam kondisi air payau dan jenis-jenis ini dapat melimpah ringan, khususnya pada hutan yang paling dekat dengan laut, didominasi oleh Avicennia yang seringkali tumbuh berasosiasi dengan Sonneratia jika kondisi lumpurnya kaya akan bahan organik. Pada zone ini, Avicennia marina umumnya tumbuh pada lumpur yang kokoh, sedangkan pada lumpur yang lebih lunak tumbuh A. alba. Di belakang zone-zone ini Bruguiera cylindrica dapat membentuk tegakan-tegakan hampir murni pada tanah lempung yang kokoh yang biasanya sewaktu-waktu dicapai air pasang. Lebih ke arah darat B. cylindrica bercamur dengan R. apiculata, R. mucronata, B. parviflora dan X. granatum. Zone batas antara hutan mangrove dan hutan pedalaman ditandai oleh adanya Nypa fruticans, Lumnitzera racemosa, X. Moluccensis, Intsia bijuga, Ficus retusa, Pandanus sp., Calamus sp., dan Oncosperma tigillaria.

Hutan mangrove merupakan habitat berbagai jenis satwa liar seperti primata, reptil dan burung. Hutan mangrove merupakan salah satu komponen ekosistem estuaria yang sangat penting bagi kehidupan burung-burung air termasuk pula burung-burung yang melakukan migrasi. Disamping sebagai tempat berlindung dan mencari makan, hutan mangrove juga mempunyai peran yang sangat penting bagi burung-burung air yang tidak melakukan migrasi, yaitu sebagai tempat berkembang biak (kawin dan bersarang). Kemunduran potensi (luas, penyebaran dan degradasi) hutan mangrove menyebabkan semakin terancamnya kelestarian berbagai jenis burung air. Hasil penelitian Alikodra et al. (1990) di hutan mangrove muara Cimanuk (Jawa Barat) dan di Segara Anakan (Jawa Tengah) berturut-turut terdapat 23 jenis dan 16 jenis burung wader, 12 jenis diantaranya termasuk jenis burung yang melakukan migrasi. Di pantai Sulawesi, Whitten (1987) melaporkan adanya 34 jenis burung pantai yang tergolong dalam burung migrasi.

(28)

pula oleh berbagai jenis reptil seperti biawak (Varanus salvator), kadal (Mabouya fasciata) dan berbagai jenis ular (Boiga dendrophila). Hewan terbesar yang hidup di rawa-rawa hutan mangrove adalah buaya muara (Crocodilus porosus).

Mengenai potensi kayu, Rambe et al., (1983) melaporkan bahwa berdasarkan hasil cruising di 6 provinsi (Aceh, Riau, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Irian Jaya) pada pohon-pohon berdiameter 10 cm ke atas. Secara detail disajikan data seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis, kerapatan dan potensi mangrove di Indonesia

Jenis Kerapatan (individu/ha) Potensi (m3/ha)

Avicennia spp. (6 - 45) 11 . 60 (1 - 17) Sonneratia spp. (2 - 23) 7 . 58 (1 - 12) Rhizophora spp. (37 - 185) 40 . 72 (19 - 90) Bruguiera spp. (7 - 125) 3 . 61 (3 - 29)

Sumber: Sukarjo (1999)

Data Potensi hutan mangrove terbesar yang pernah disurvei (135,5 m3/ha) terdapat di Kalimantan Selatan. Sedangkan kerapatan pohon yang cukup

tinggi terdapat di hutan mangrove di Aceh, Riau, Kalimantan Barat (estuaria Sungai Kapuas), Kalimantan Timur (estuaria Sungai Sesayap), Jawa Tengah (Segara Anakan), Bali (Benua), dan Irian Jaya (Teluk Bintuni dan Cendrawasih), potensi rata-ratanya lebih dari 40 m3/ha (Sukarjo, 1999).

2.1.2 Ekosistem hutan mangrove

Hutan mangrove merupakan hutan yang dipengaruhi pasang-surut air laut (Chapman, 1977). Tipe hutan ini disamping mempunyai fungsi ekonomis melalui hasil berupa kayu dan hasil hutan ikutannya juga mempunyai fungsi ekologis yang sangat penting sebagai interface antara ekosistem daratan dengan ekosistem lautan. Dengan demikian di dalam ekosistem mangrove paling sedikit terdapat lima unsur ekosistem yang saling kait-mengkait yaitu flora, fauna, perairan, daratan dan manusia (penduduk lokal) yang hidup bergantung pada ekosistem mangrove.

(29)

laut. Penelitian membuktikan bahwa biota yang mendominasi ekosistem mangrove adalah biota laut. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, penelitian-penelitian mengenai biota di habitat mangrove masih sangat terbatas dan jauh tertinggal dibandingkan dengan penelitian-penelitian mengenai vegetasi mangrove. Oleh karena itu, informasi mengenai biota mangrove yang disajikan belum mencerminkan kekayaan biota di ekosistem mangrove yang sesungguhnya. Walaupun demikian informasi mengenai biota mangrove seyogyanya dapat digunakan sebagai salah satu parameter yang harus dipertimbangkan di dalam program pengelolaan hutan mangrove secara berkesinambungan.

Ekosistem mangrove menyediakan lima tipe habitat bagi fauna, yakni: (1) Tajuk pohon yang dihuni oleh berbagai jenis burung, mamalia, dan serangga, (2) Lubang yang terdapat di cabang dan genangan air di cagak antara batang dan cabang pohon yang merupakan habitat yang cukup baik untuk serangga (terutama nyamuk), (3) Permukaan tanah sebagai habitat mudskipper dan keong/kerang, (4) Lobang permanen dan semi permanen di dalam tanah sebagai habitat kepiting dan katak, dan (5) Saluran-saluran air sebagai habitat buaya dan ikan/udang (Chapman, 1977).

Peranan penting dan ekosistem mangrove dalam menunjang kehidupan biota laut sudah diyakini secara luas. Tetapi, sebenarnya habitat utama dan ekosistem mengrove yang penting dan langsung menunjang kehidupan biota laut adalah saluran-saluran air yang merupakan bagian integral dan ekosistem mangrove tersebut. Dalam hal ini nampaknya vegetasi mangrove lebih berperan sebagai penyedia nutrisi melalui serasahnya bagi produktivitas primer saluran-saluran air tersebut.

Kartodiharjo (2000) dalam Hamilton dan Snedaker (1984), melaporkan bahwa kelimpahan individu dan keragaman jenis biota laut tertinggi berada pada estuaria dengan kedalaman 0,3 sampai 1,5 m. Kondisi estuaria dengan kedalaman tersebut cenderung akan semakin banyak dijumpai di lokasi-lokasi ekosistem mangrove yang berjarak semakin jauh dari pantai.

(30)

Sedangkan penyebaran jenis-jenis pohon mangrove di pulau-pulau utama di Indonesia dapat dilihat pada lampiran 1. Berdasarkan data pada lampiran 1 tersebut jumlah jenis pohon mangrove di pulau-pulau utama tersebut adalah 27 jenis di Jawa dan Bali, 30 jenis di Sumatera, 11 jenis di Kalimantan, 20 jenis di Sulawesi, 28 jenis di Maluku, dan 21 jenis di Irian Jaya (Sukarjo, 1999).

Berdasarkan jenis-jenis pohon yang dominan, komunitas mangrove di Indonesia dapat berupa konsosiasi atau asosiasi (tegakan campuran). Ada sekitar lima konsosiasi yang ditemukan di hutan mangrove di Indonesia, yaitu konsosiasi Avicennia, konsosiasi Rhizophora, konsosiasi Sonneratia, konsosiasi Bruguiera, dan konsosiasi Nypa. Dalam hal asosiasi di hutan mangrove di Indonesia, asosiasi antara Bruguiera spp. dengan Rhizophora spp. sering ditemukan terutama di zone terdalam. Segi keanekaragaman jenis, zone transisi (peralihan antara hutan mangrove dengan hutan rawa) merupakan zone dengan jenis yang beragam yang terdiri atas jenis-jenis mangrove yang khas dan tidak khas habitat mangrove.

Secara umum, sesuai dengan kondisi habitat lokal, tipe komunitas (berdasarkan jenis pohon dominan) mangrove di Indonesia berbeda dan suatu tempat ke tempat lain dengan variasi ketebalan dan beberapa puluh meter sampai beberapa kilometer dan garis pantai. Berdasarkan data jenis-jenis tumbuhan mangrove yang sudah dilaporkan saat ini oleh beberapa peneliti di berbagai daerah di pulau-pulau utama di Indonesia, secara umum dapat dikatakan bahwa hasil-hasil penelitian tersebut cukup mewakili keanekaragaman jenis mangrove di Indonesia. Walaupun demikian, eksplorasi jenis tumbuhan mangrove di berbagai daerah seyogyanya harus terus dilakukan untuk mendapatkan data jenis tumbuhan mangrove selengkap-lengkapnya.

Penelitian mengenai fauna hutan mangrove di Indonesia masih terbatas baik di bidang kajiannya maupun lokasinya. Sampai saat ini, beberapa hasil penelitian yang telah dipublikasikan mengenai fauna yang berasosiasi khusus dengan hutan bakau mengambil lokasi di Pulau Jawa (Teluk Jakarta, Tanjung Karawang, Segara Anakan, Delta Cimanuk, Pulau Burung, Pulau Rambut), Sulawesi (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah), Ambon, Sumatera (Lampung, Sumatera Selatan), dan Kalimantan.

(31)

Sedangkan fauna laut didominasi oleh Mollusca dan Crustaceae. Golongan Mollusca umumnya didominasi oleh Gastropoda, sedangkan golongan Crustaceae didominasi oleh Brachyura. Para peneliti melaporkan bahwa fauna laut tersebut merupakan komponen utama fauna hutan mangrove.

Alikodra et al. (1990) melaporkan adanya 45 jenis ikan dan 37 jenis famili di Segara Anakan Cilacap dengan jenis-jenis ikan dominan seperti belanak (Mugil sp.), boyor (Sillago sp.), tombol (Johnius sp.), susur-wedi (Trachiphalus sp.), lidah (Cynoglossus sp.), lea (Setipine sp.), dan petek (Leiognathus sp.) Soerianegara et al.,. (1985) melaporkan adanya sekitar 41 jenis ikan dari 26 famili, 4 jenis udang dari 3 famili, dan 3 jenis kerang di Muara Sungai Saleh, Sumatera Selatan.

Alikodra (1999) melaporkan adanya sekitar 30 jenis burung di hutan mangrove Segara Anakan - Jawa Tengah dan 28 jenis burung di hutan mangrove Muara Cimanuk - Jawa Barat. Selain itu, di hutan mangrove juga ditemukan jenis kera ekor panjang (Macaca sp.) seperti di Riau, bekantan (Nasalis larvatus) yang endemik di hutan mangrove di Kalimantan (Soemodihardjo et al., 1993), mamalia, reptilia dan lain-lain.

Fauna yang berada di ekosistem mangrove terdiri atas fauna daratan dan fauna laut (Macnae, 1968) bahwa umumnya fauna darat hanya menggunakan ekosistem mangrove sebagai tempat mencari makan dan perlindungan. Di Indonesia dikenal hanya satu jenis fauna darat yang seluruh siklus hidupnya bergantung pada habitat mangrove, yaitu bekantan (Nasalis larvatus) yang penyebarannya terbatas di Kalimantan.

Beberapa jenis burung yang berasosiasi dengan mangrove adalah Phalacrocorax carbo, P. melanogaster, P. niger, Anhinga anhinga, Egretta spp., dan Halcyon chioris. Jenis-jenis fauna ampibi yang sering ditemukan di mangrove adalah Rana cancrivora dan R. limnocharis. Jenis-jenis reptilia yang sering dijumpai adalah Crocodilus porosus, Varanus salvator, Trimeresurus wagleri, T. purpureomaculatus, Boiga dendrophila, Fordonia leucobalia, Bitia hydroides, dan Cerberus rhynchops.

(32)

nyamuk. Jenis serangga lain adalah semut (Aedes pembaensis, Anopheles spp., Culicoides spp.).

Fauna laut merupakan elemen utama dan fauna ekosistem mangrove. Fauna laut di mengrove terdiri atas dua komponen, yaitu infauna yang hidup di lobang-lobang di dalam tanah, dan epifauna yang bersifat mengembara di permukaan tanah. Fauna umumnya didominasi oleh Crustacece. Selain itu, komunitas infauna mangrove terdiri atas beberapa jenis Bivalvia dan satu genus ikan. Sedangkan komunitas epifauna mangrove didominasi moluska (dalam hal ini Gastropoda) dan beberapa jenis kepiting.

Fauna laut di ekosistem mangrove memperlihatkan dua pola penyebaran, yaitu fauna yang menyebar secara vertikal dan fauna yang menyebar secara horizontal. Fauna yang menyebar secara vertikal (hidup di batang, cabang dan ranting, dan daun pohon) yakni berbagai jenis Moluska, terutama keong-keongan, seperti Littorina scrabra, L. melanostona, L. undulata, Cerithidea spp., Nerita birmanica, Chthalmus withersii, Murex adustus, Balanus amphitrite,

Crassostraea cucullata, Nannosesarma minuta, dan Clibanarius longitarsus. Fauna yang menyebar secara horizontal (hidup di atas atau di dalam substratum) yang menempati berbagai tipe habitat sebagai berikut: (a) mintakan pedalaman (Birgus latro, Cardisoma carnifex, Thalassina anomala, Sesarma spp, Uca lactea, U. bellator), (b) hutan Bruguiera dan Semak Ceriop (Sarmatium spp., Helice spp., Ilyograpsus spp., Sesarma spp., Metopograpsus frontalis, M. thukuhar, M. messor, Cleistostoma spp., Tylodiplax spp., Ilyoplax spp., Thalassina anomala, Macrophthalmus depressus, Paracleistostoma depressum,

Utica spp., Telescopium telescopium, Uca spp., Cerithidea spp.), (c) hutan Rhizophora (Metopograpsus latifrons, Alpheid prawa, Macrophthalmus spp.,Telescopium telescopium), dan (d) mintakat pinggir pantai dan saluran (Scartelaos viridis, Macrophthalmus Iatreillei, Boleophthalmus boddaerti, Uca dussumieri, Periophthalmus chrysospilos, Tachypleus gigas, Cerberus

rhynchops, Syncera brevicula, Telescopium telescopium, Epixanthus dentatus,

Eurycarcinus integrifrons, Heteropanope eucratoides).

2.1.3 Peranan mangrove bagi biota laut

(33)

vegetasi (termasuk kotoran/sisa tubuh fauna yang mati) ke lantai hutan. Serasah ini akan terdekomposisi oleh cendawan dan bakteri menjadi detritus, yang mana detritus tersebut merupakan makanan utama bagi konsumer primer. Selanjutnya konsumen primer ini akan menunjang kehidupan biota tingkat konsumer sekunder dengan top-konsumer di suatu habitat mengrove.

Produktivitas primer habitat mangrove akan diperkaya oleh komunitas alga di lumpur di lumpur dan akar, komunitas lamun, komunitas fitoplankton dan laut, dan limbah organik terlarut (dissolved-organic compound) dari laut dan daratan. Kesemua fenomena ini akan mempertinggi produktivitas primer habitat mangrove.

Tingginya produktivitas primer hutan mangrove salah satunya dapat dilihat dan produktivitas serasah hutan tersebut yang umumnya beberapa kali lipat produktivitas serasah tipe hutan daratan, yakni sekitar 5,7 sampai 25,7 ton/ha per tahun (Kusmana, 1993). Kondisi habitat mangrove seperti ini mengakibatkan ekosistem mangrove berperan sebagai feeding, spawning dan nursery ground bagi berbagai jenis biota laut (khususnya ikan dan udang) untuk menghabiskan sebagian bahkan seluruh siklus hidupnya.

Kusmana (2000), menyatakan bahwa seperti sudah diketahui secara umum bahwa ekosistem mangrove merupakan interface antara ekosistem daratan dengan ekosistem laut. Oleh karena itu, habitat-habitat lain yang berinteraksi dengan habitat mangrove berasal dan ekosistem daratan dan lautan.

Hutan mangrove akan berkembang baik di muara-muara sungai, karena di muara tersebut arus airnya cukup tenang yang mengakibatkan sedimentasi sering terjadi. Proses sedimentasi ini memberikan, peluang pada jenis-jenis pohon mangrove pionir untuk menginvasi lahan tersebut, misal jenis api-api (Avicennia spp.) dan pidada (Sonneratia spp.). Apabila sedimentasi ini tidak terkendali, maka akan terjadi pergantian komunitas mangrove dengan jenis-jenis pohon yang bertoleransi terhadap salinitas yang kecil (Bruguiera spp., Xylocarpus sp.) yang selanjutnya secara bertahap akan terjadi pergantian tipe hutan dari hutan mangrove menjadi hutan daratan.

(34)

pergantian secara bertahap dari tipe hutan mangrove ke hutan daratan, maka lingkungan perairan payau beserta biota lautnya secara bertahap akan lenyap.

Estuaria merupakan suatu habitat akuatik yang tinggi produktivitas primernya. Tipe habitat ini umumnya berasosiasi dengan habitat mangrove. Nampaknya tipe habitat estuaria ini memberikan kondisi tempat hidup yang baik untuk banyak jenis pohon mangrove dan biota laut yang berasosiasi dengan habitat mangrove. Seagrass menunjang produktivitas mangrove melalui dua cara, yaitu: (1) memperkecil arus air laut dan daya dorong ombak, dan (2) menambah serasah sebagai input energi ke habitat mangrove. Fenomena semacam ini akan mempertinggi produktivitas primer habitat mangrove.

Hutan mangrove yang lebat umumnya dijumpai di pantai-pantai yang terlindung dari hempasan ombak yang kuat. Dalam hal ini, secara fisik terumbu karang akan menahan hempasan ombak sehingga perairan di belakang karang tersebut akan berarus tenang yang mana kondisi seperti ini akan memberikan peluang yang baik untuk tumbuhnya pohon-pohon mangrove dan biota laut yang berasosiasi dengan habitat mangrove tersebut. Secara simultan keterkaitan antara ekosistem mangrove dengan tipe ekosistem lainnya akan menyebabkan terbentuknya tiga macam tipe ekosistem yang saling berinteraksi dengan habitat mangrove yaitu benthic ecosystem, pelagic ecosystem, dan supratidal ecosystem.

Manfaat mangrove dapat ditinjau dari beberapa aspek, diantaranya aspek ekologis, aspek ekonomis dan pemenuhan sebagai pangan. Manfaat ekologis mangrove adalah: (a) sebagai bahan organik dan hara bagi ekosistem akuatik yang bersangkutan, (b) sebagai daerah pembiakan bagi berbagai binatang terutama ikan dan udang, (c) merupakan lingkungan yang sangat heterogen secara fisik memberikan berbagai macam relung, tempat perlindungan, daerah khusus yang digunakan oleh spesies lainnya, (d) memberikan perlindungan pantai (mencegah erosi) selama banjir bandang dan badai, (e) sebagai penangkap sedimen menyebabkan pertambahan tanah (akresi), (f) menyaring bahan-bahan pencemar dan hara yang dapat masuk wilayah pantai atau perairan (menjadi suatu masalah jika ketidaksediaan hara dan bahan pencemar berlebihan ada di perairan), dan (g) penyangga penting bagi hutan rawa yang tidak toleran dengan air asin (Rawana et al., 2001).

(35)

hewan yang hidup disekitar hutan mangrove. Beberapa manfaat dari hutan mangrove antara lain adalah sebagai: bahan bakar, konstruksi, produksi kertas, alat rumah tangga, obat-obatan tradisional, pupuk hijau, pakan ternak, peternakan lebah.

Pada hutan mangrove selain tumbuhan mangrove, tumbuhan lain yang berada di hutan mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan ekonomi adalah rumput got-got dan nipah. Manfaat ekonomi dari hewan yang hidup di sekitar hutan mangrove di antaranya: sirip ikan sebagai bahan makanan dan pupuk, krustase sebagai bahan makanan, lebah penghasil madu dan lilin, unggas sebagai bahan makanan dan kerajinan bulu unggas yang bernilai estetika atau keindahan.

Mangrove mempunyai peran yang sangat strategis baik dari aspek lingkungan, ekonomi dan sosial. Beberapa fungsi utama mangrove yaitu: (1) filter air asin (menghasilkan air payau, mengendalikan intrusi air laut, melindungi abrasi pantai), (2) media tumbuh dan berkembangnya flora dan fauna (biologi dan mikrobiologi), dan (3) ekotourisme.

Sebagian besar tanaman mempunyai toleransi yang rendah terhadap garam, tetapi dalam mangrove mengalami setidaknya dua kali sehari pasang naik air asin. Bahkan ada spesies yang tahan sampai kadar garam 90%. Akar dapat melakukan fitrasi untuk dapat beradaptasi dari fluktuasi kadar garam. Tanaman mangrove dapat tumbuh ideal apabila airnya terdiri atas 50% air tawar dan 50% air laut. Mangrove dapat menyerap air asin dan CO2 untuk keperluan

fotosintesisnya. Selain menurunkan kadar garam dan menghasilkan air bersih, mangrove juga turut menyerap gas rumah kaca yang saat ini dituding sebagai salah satu penyebab pemanasan global (Ball et al., 1997). Indikasi penyerapan air garam terlihat dari konsentrasi lapisan garam pada permukaan daun. Menyimpan air asin daun yang tebal, rambut yang berfungsi mengurangi transpirasi. Bahkan ada beberapa spesies yang dapat menyimpan air di jaringan internalnya.

(36)

Ekoturisme merupakan salah satu sumber pendapatan negara dari sektor non-migas yang tidak terkena dampak resesi. Pengembangan sumberdaya mangrove dengan segala komponen flora dan fauna yang ada dapat dimanfaatkan sebagai salah satu tujuan wisata. Di negara-negara maju ekotourisme kawasan mangrove dapat sejajar dengan tujuan wisata lainnya, karena di kawasan tersebut dapat dikembangkan berbagai hal menyangkut ikan, pengembangan reptil dan sebagainya.

2.2 Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Berkelanjutan

2.2.1 Konsepsi pengelolaan sumberdaya alam

Sumberdaya alam merupakan modal dasar dalam suatu pembangunan yang harus dikelola secara arif dan bijaksana agar dapat memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya, maka penggunaan dan pemanfaatannya harus dilakukan secara lestari, serasi, seimbang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan sehingga menjamin generasi yang akan datang.

Sumberdaya alam dan lingkungan memegang peranan penting bagi pembangunan ekonomi. Selain menyediakan barang dan jasa, juga menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi dan sumber penghasilan masyarakat serta sebagai aset bangsa yang penting. Untuk itu, ketersediaan dan kesinambungan dari sumberdaya alam menjadi sangat krusial bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan sangat tergantung kepada kinerja pengelola yaitu masyarakat dan pemerintah.

Manajemen berarti mengerjakan sesuatu, namun tidak dalam pengertian manajemen jika kita menyiapkan suatu bidang lahan dan meninggalkanya begitu saja. Berbeda dengan melindungi suatu kawasan pada keadaan alam dalam pengelolaan dalam kawasan perlindungan alam adalah suatu tindakan manajemen. Jika manajemen tersebut aktif, maka tahap pertama adalah menetapkan suatu keputusan (Alikodra, 1999).

(37)

pelestarian dan pemeliharaan sumberdaya alam yang kita memiliki (Alikodra, 1999). Ekologi, ekonomi dan sosial merupakan ukuran yang dapat dipergunakan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang sesuai, yaitu dengan mengembangkan pertanyaan (1) apakah layak secara ekologi (2) apakah layak secara ekonomi (3) apakah layak secara sosial dan politik.

2.2.2 Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Alam

Kartodihardjo et al., (2000) mengatakan kelembagaan (institusi) baik formal maupun non-formal merupakan salah satu penentu dalam kinerja pembangunan. Perbedaan kelembagaan (institusi) dengan organisasi perlu ada pemahaman yang jeias dan pasti. Aturan-aturan dalam kelembagaan dipergunakan untuk menata aturan main dan pemain-pemain atau organisasi-organisasi yang terlibat, sedangkan aturan dalam organisasi-organisasi ditujukan untuk memenangkan permainan itu.

Schmid (1987) mendefinisikan institusi adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat yang mana masyarakat tersebut telah mendefinisikan bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung jawab yang telah mereka lakukan. Koentjaraningrat (1964) menyatakan bahwa kelembagaan atau pranata sosial merupakan suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kelompok-kelompok kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Kelembagaan dapat juga diartikan sebagai tatacara atau prosedur yang telah diciptakan untuk mengatur hubungan antar manusia yang berkelompok pada suatu kelompok kemasyarakatan. Berkaitan dengan hal tersebut kelembagaan merupakan suatu jaringan dari proses-proses hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia yang berfungsi untuk memelihara hubungan-hubungan tersebut serta pelakunya sesuai dengan kepentingan individu dan kelompoknya.

(38)

artinya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.

Peranan ketiga komponen tersebut saling berpengaruh terhadap efektivitas pelaksanaannya dalam memberikan layanan, hak dan kewajiban terhadap pemanfaatan dan penggunaan suatu sumberdaya. Berkenaan dengan gambaran tersebut, dalam suatu sistem kelembagaan harus mengandung perangkat aturan dari kelembagaan dan operasionalisasi kegiatan dari kelembagaan yang bersangkutan dalam masyarakat. Dengan perkataan lain sistem kelembagaan harus mengandung aturan-aturan atau norma-norma dalam masyarakat dan sistem.

GilIin (1987) dalam bukunya General Feature of Social Institution suatu kelembagaan harus bercirikan lima hal, yakni: (1) suatu institusi merupakan suatu organisasi dan pada pola-pola pemikiran dan kelakuan yang terwujud melalui aktivitas-aktivitasnya, (2) memiliki tingkat kekekalan tertentu, (3) mempunyai tujuan tertentu, (4) adanya alat untuk mencapai tujuan, dan (5) mempunyai karakteristik tertentu.

Suatu kelembagaan, dicirikan oleh tiga komponen utama, yang menurut Schmidt (1987) dalam Pakpahan (1990) adalah:

a. Batas kewenangan. Batas kewenangan ini akan menghasilkan keragaan seperti yang diharapkan, ditentukan oleh empat hal, yaitu perasaan para peserta sebagai suatu masyarakat, homogenitas, eksternalitas dan skala ekonomi. Israel (1990) menegaskan bahwa batas kewenangan berperan untuk mengatur penggunaan sumberdaya, dana dan tenaga dalam organisasi. Selain itu juga berperan dalam menentukan laju pemanfaatan sumberdaya, sehingga pada gilirannya akan menentukan sifat berkelanjutan sumberdaya tersebut dan pembagian manfaat bersih yang diperoleh masing-masing pihak.

(39)

right yang paling penting adalah faktor kepemilikan terhadap lahan, hasil produksi dan lain-lain.

c. Aturan perwakilan. Mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah perwakilan yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan.

Terdapat tiga komponen utama dalam kelembagaan, yakni; (1) organisasi atau wadah dan suatu kelembagaan, (2) fungsi dan kelembagaan dalam masyarakat, dan (3) aturan main yang ditetapkan itu sendiri (Sanim, 1999). Berkaitan dengan hal tersebut, organisasi dalam suatu sistem kelembagaan mempunyai fungsi pokok sebagai berikut, yakni (1) operative institution dan (2) regulative institution. Sebagai operative institution, suatu sistem kelembagaan harus menghimpun berbagai pola atau tata cara dan perangkat aturan dalam mengelola aktivitas masyarakat yang diperlukan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan. Sedangkan sebagai regulative institution, suatu sistem kelembagaan bertujuan untuk mengawasi adat istiadat atau tata kelakuan setiap aktivitas anggota masyarakat yang menjadi bagian mutlak dan lembaga itu sendiri melalui sistem pengawasan dan kontrol.

Dalam pengelolaan dalam sumberdaya kelembagaan berperan dalam penetapan dan pengaturan berbagai peraturan yang melembaga yang menetapkan berbagai tingkat pengawasan terhadap penggunaan sumberdaya atau barang dan jasa kepada para pengambil keputusan yang berbeda, baik individu maupun kelampok. Jadi hak-hak milik mengacu kepada hak-hak yang diberikan kepada pemilik sumberdaya dan pembatasan dalam penggunaan sumberdaya (Sanim, 1999).

Efektivitas kelembagaan dalam menggambarkan struktur hak-hak milik yang dapat mengalokasikan sumberdaya yang efisien tergantung pada pemenuhan syarat-syarat pendefinisian hak-hak kepemilikan, yakni (1) universal, (2) eksklusif, (3) dapat dipindahtangankan dan terjamin pelaksanaannya. Dengan perkataan lain kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya terkait erat dengan hak-hak kepemilikan.

(40)

segala sesuatu yang telah dikukuhkan dalam kerangka umum pemanfaatan sumberdaya alam (3) mengubah perilaku, kebijakan (pengaturan alokasi sumberdaya alam dan perlindungan sumberdaya alam) dan teknologi pemanfaatan sumberdaya alam (4) menginternalisasikan biaya oportunitas ke dalam nilai (harga) sumberdaya alam, dan (5) menjamin kepentingan untuk menunjang sistem keamanan pemanfaatan sumberdaya alam.

Peranan kelembagaan Iainnya dalam upaya penetapan manfaat dan biaya dan pengelolaan sumberdaya dengan memperhatikan dimensinya, yakni (1) dimensi temporal; yang berkaitan dengan manfaat yang bentambah segera atau manfaat bertambah setelah kurun waktu yang sama, (2) dimensi spasial; manfaat bertambah pada okasi tertentu atau manfaat bertambah sedikit (remotely), (3) kemampuan untuk diraba (tangibility); manfaat yang cukup jelas atau manfaat yang relatif untuk didefinisikan, dan (4) distribusi; manfaat bertambah pada orang-orang yang menanggung biaya pengelolaan atau manfaat bertambah pada orang lain.

Pengelolaan sumberdaya alam harus memperhatikan; (1) Keutuhan fungsi ekosistem, yaitu keterkaitan keanekaragaman, keselarasan, dan keberlanjutan dan ekosistem, (2) Memperhatikan dampak pembangunan terhadap Iingkungan dengan menerapkan sistem analisis mengenai dampak Iingkungan, sehingga dampak negatif dapat dikendalikan dan dampak positif dapat dikembangkan, (3) Kepentingan generasi masa depan bahkan diusahakan tercapainya transgenerational equity, sehingga kualitas dan kuantitas sumberdaya alam dijaga keutuhannya untuk generasi akan datang (4) Wawasan jangka panjang, karena perubahan lingkungan berlangsung penciutan sumberdaya alam tidak masuk pasar. Perhitungan penciutan ini dilakukan secara eksplisit. Komponen lingkungan yang tidak dapat dipasarkan seperti nilai sumberdaya hayati yang utuh di hutan, bebas polusi, bebas kebisingan, dan hal-hal lain yang meningkatkan kualitas lingkungan, sehingga proses ekonomi secara integral memperhitungkan kualitas lingkungan.

(41)

manfaatnya, (3) karakteristik sumberdaya, (4) karakteristik penggunaannya dan (5) pertimbangan pemilikan bersama.

Eksistensi kelembagaan dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam meliputi: (1) pentingnya peranan dan fungsi kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya, (2) munculnya kegagalan pasar, (3) kelembagaan mempunyai fungsi dan peranan yang berbeda yang semuanya memiliki tugas yang jelas batasannya yang bersifat kompleks, formal, dan permanen, (4) kelembagaan mempunyal kekuasaan yang sah untuk membuat keputusan yang final dan mengikat, dan (5) kelembagaan mempunyai kewenangan untuk menggunakan paksaan fisik.

2.2.3 Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam

Beberapa pengelola lingkungan merasa tertantang dengan pendekatan partisipatif, karena menyadari bahwa merupakan tugas merekalah untuk merumuskan persoalan dan mengembangkan penyelesaiannya. Saat ini di negara-negara demokratik dengan masalah yang sedemikian kompleks lebih banyak pengelola memandang positif pendekatan partisipatif ini (Mitchell et al., 1997).

Bryan and Louse (1982), partisipasi di bidang pembangunan mencakup keterlibatan mental dan emosional, penggeraknya adalah kesediaan untuk memberi konstribusi dalam pembangunan dan kesediaan untuk turut bertanggung jawab. Mubyarto (1984) menyebutkan bahwa partisipasi adalah kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai dengan kemampuannya tanpa mengorbankan diri sendiri. Partisipasi oleh beberapa ahli dikaitkan dengan upaya dalam mendukung program pemerintah.

Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan tentang apa yang dilakukan dan bagaimana keterlibatan dalam pelaksanaan program dan keputusan dalam konstribusi sumberdaya atau bekerjasama dalam organisasi-organisasi atau kegiatan khusus, berbagi manfaat dan program pembangunan, atau keterlibatan dalam evaluasi program.

(42)

untuk menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat setempat terhadap program pengelolaan Iingkungan yang dilaksanakan, (2) Sebagai alat untuk memperoleh informasi mengenai kebutuhan, kondisi dan sikap masyarakat setempat, dan (3) Masyarakat mempunyai hak untuk urun rembug dalam menentukan program-program pengelolaan Iingkungan yang akan dilaksanakan di wilayah mereka.

Partisipasi masyarakat dalam proses pengelolaan Iingkungan akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila memenuhi tiga faktor utama pendukungnya, yaitu:

1. Faktor kemampuan peran serta bersumber pada faktor psikologis individu yang menyangkut persepsi dan emosi yang melekat pada diri manusia. Faktor yang menyangkut emosi dan perasaan ini sangat kompleks sifatnya, sulit diamati dan diketahui dengan pasti dan tidak mudah dikomunikasikan, namun selalu ada pada setiap individu dan merupakan motor penggerak perilaku manusia. Objek pengelolaan lingkungan yang berkaitan dengan keberadaan, manfaat, hasil dan upaya yang menarik minat seseorang untuk berpartisipasi. Subjek akan berpartisipasi karena memiliki persepsi positif terhadap kegiatan tersebut, yaitu memperoleh hasil atau keuntungan bagi dirinya. Persepsi berkaitan dengan bagaimana seseorang melihat lingkungan sekitar, mendengar suara, merasakan atau mencium sesuatu. Dengan kata lain, persepsi adalah apa yang dialami langsung oleh seseorang (Bell, 1978). Persepsi berhubungan dengan ketergantungan seseorang kepada berapa jauh impresi suatu objek membuat arti.

2. Faktor tingkat kemampuan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan tergantung pada banyak faktor yang sating berinteraksi, terutama faktor pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal, keterampilan, pengalaman dan ketersediaan permodalan. Tingkat pendidikan akan tercermin pada tingkat pengetahuan, sikap mental dan keterampilan. Kemampuan permodalan akan tercermin pada tingkat pendapatan rumah tangga dan bantuan dana yang bisa diperoleh, sedangkan pengalaman akan dicerminkan oleh lamanya seseorang berkecimpung dalam kegiatan-kegitan pengelolaan lingkungan yang telah berlangsung. Faktor kemampuan menunjukkan lapisan keberadaan masyarakat.

(43)

ketersediaan sarana dan prasarana fisik yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pengelolaan lingkungan, kelembagaan yang mengatur interaksi masyarakat dalam proses pengelolaan Iingkungan, birokrasi yang mengatur dan menyediakan kemudahan dan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, serta faktor sosial budaya masyarakat.

Pengertian partisipasi yang diharapkan dalam pembangunan masyarakat adalah keterlibatan masyarakat secara aktif baik moril maupun materil dalam program pembangunan untuk mencapai tujuan bersama yang di dalamnya menyangkut kepentingan individu. Partisipasi merupakan masukan daam proses pembangunan dan sekaligus juga sebagai keluaran atau sasaran dan pelaksanaan pembangunan. Dalam kenyataannya partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat bersifat vertikal dan dapat pula bersifat horizontal.

Terdapat delapan tingkatan partisipasi masyarakat, yaitu: manipulasi, terapi, menyampaikan informasi, konsultasi, peredaman, kemitraan, pendelegasian kekuasaan, dan pengawasan masyarakat. Tipe partisipasi manipulasi dan terapi dikategorikan sebagai non partisipasi. Tipe partisipasi menyampaikan informasi, konsultasi dan peredaman dikategorikan sebagai tingkat partisipasi tokenisme, yaitu suatu tingkat partisipasi dimana masyarakat didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapat jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan atau tidak dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Jika partisipasi dibatasi pada tingkat ini, maka kecil kemungkinan ada perubahan dalam masyarakat menuju keadaan yang lebih baik. Tipe partisipasi kemitraan, pendelegasian kekuasaan, pengawasan masyarakat dikategorikan sebagai tingkat partisipasi otoritas masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam tingkatan ini memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan dengan menjalankan kemitraan dan memiliki kemampuan tawar-menawar dengan pengambil keputusan. Bahkan Iebih jauh masyarakat memiliki mayoritas suara dalam proses pengambilan keputusan dan sangat mungkin memiliki kewenangan penuh mengelola suatu objek kebijakan tertentu.

(44)

dalam pelaksanaan pembangunan adalah partisipasi dengan mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan operasional berdasarkan rencana yang telah disepakati bersama. Partisipasi dalam memanfaatkan hasil pembangunan adalah partisipasi masyarakat dalam menggunakan hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan, baik pemerataan kesejahteraan dan fasilitas yang ada di masyarakat dan ikut menikmati atau menggunakan sarana hasil pembangunan. Partisipasi dalam mengevaluasi dan mengawasi pembangunan adalah partisipasi masyarakat dalam bentuk keikutsertaannya menilai serta mengawasi kegiatan pembangunan dan memelihara hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai.

Tahapan partipasi masyarakat dalam pembangunan di

Gambar

Gambar 1. Kerangka pikir penelitian
Gambar 2. Peta lokasi penelitian
Gambar 3. Tahapan penelitian
Tabel 6. Metode pengukuran kualitas air
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan melihat keadaan ini, maka perlu dilakukan penelitian yaitu melihat keadaan sanitasi kantin secara umum, dan meneliti hubungan antara pembinaan dan pengawasan

Sejumlah 7 dari 10 orang (70%) dosen Bahasa Inggris sangat setuju jika volume Bahasa Inggris sedikit ditambah guna memperkuat kemampuan Bahasa Inggris mahasiswa

Coremap (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) atau Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang adalah program jangka panjang yang diprakarsai

Converting pada penelitian ini merupakan proses oksidasi tembaga matte dan logam tembaga yang masih memiliki pengotor dengan peniupan oksigen dan penambahan

Berdasarkan analisis, pembahasan, serta simulasi numerik dari magnetohidrodinamik yang tak tunak pada lapisan batas yang mengalir melalui bola teriris di dalam

ini menghasilkan kesimpulan bahwa dari 11 rasio yang digunakan hanya CACL dan NWTL yang secara bersama-sama mampu berperan dalam memprediksi perubahan laba dan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Intellectual Capital terhadap Kinerja Keuangan dan Nilai perusahaan Industri Sektor Konsumsi Yang Yang Go Public Di

Telah dilakukan penelitian tentang Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas Var Ayamurasaki) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus