• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indar Parawansa 99522008

1.1 Latar Belakang

Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan laut yang memiliki potensi sumberdaya alam tinggi. Salah satu sumberdaya wilayah pesisir adalah hutan mangrove. Hutan mangrove memiliki nilai ekologis, ekonomis dan sosial yang tinggi. Hutan mangrove berfungsi sebagai tempat ikan, udang, kerang dan jenis biota lainnya untuk memijah dan daerah asuhan bagi jenis-jenis udang (Fauzi, 1999). Hutan mangrove juga berfungsi menjaga stabilitas garis pantai, melindungi pantai dan tebing sungai, memfilter dan meremidiasi limbah, serta untuk menahan banjir dan gelombang.

Secara ekonomis fungsi hutan mangrove merupakan sumber energi, daerah pengembangan perikanan dan pertanian, penghasil bahan bangunan, bahan tekstil, dan produk bernilai ekonomi lainnya. Di samping itu hutan mangrove juga memiliki manfaat sosial seperti tempat berinteraksi sosial dan jasa-jasa wisata. Dari berbagai manfaat tersebut, nilai manfaat hutan mangrove secara langsung hanya 3,56% sedangkan nilai manfaat tidak langsung mencapai 96,44% (Suhaeri, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa apabila hanya memperhatikan manfaat langsung, maka hutan mangrove akan cenderung dikonversi untuk pemanfaatan lainnya.

Fakta menunjukkan bahwa kerusakan mangrove ada dimana-mana, bahkan intensitas kerusakan dan luasannya cenderung meningkat secara siginifikan (Bratasida, 2002; Imanuddin dan Mardiastuti, 2002; Santoso, 2002). Penyebab kerusakan mangrove sangat beragam menurut ruang dan waktu. Secara umum kerusakan mangrove diakibatkan oleh tiga faktor yaitu: (1) faktor internal seperti alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak, permukiman, industri dan adanya pencemaran limbah, pestisida dan logam berat, (2) faktor eksternal seperti kerusakan DAS hulu yang menyebabkan tingginya sedimentasi dan akumulasi zat pencemar, dan (3) faktor lain yang belum diidentifikasi (Waryono dan Yulianto, 2002; Bratasida, 2002; Kusmana, 2002).

Kegiatan konversi lahan mangrove menjadi tambak, kawasan permukiman, dan perindustrian telah menyebabkan degradasi hutan mangrove baik secara fisik maupun habitat. Penurunan luas hutan mangrove di sepanjang

Pantai Utara Jawa berkaitan dengan belum adanya kejelasan tata ruang dan rencana pengembangan wilayah pesisir, pembuangan limbah industri dan rumah tangga, dan sedimentasi akibat pengolahan lahan yang kurang baik. Penyebab yang terbesar adalah konversi kawasan hutan mangrove untuk usaha tambak, permukiman, dan kawasan industri secara tak terkendali (Dahuri et al., 2001). Akibatnya kualitas perairan pesisir merosot tajam, karena intrusi dan abrasi air laut yang tidak dapat dikendalikan. Dampak ekonomisnya terlihat dari menurunnya persediaan air tawar, hancurnya usaha pertambakan di daerah pesisir, pencemaran logam berat dan bahan beracun berbahaya serta menurunnya jenis, jumlah dan kualitas flora dan fauna di ekosistem pesisir.

Hutan mangrove di Teluk Jakarta seluas 9.749 ha. Areal hutan mangrove di Teluk Jakarta terbentang mulai dari pantai Tangerang hingga Bekasi. Kawasan ini meliputi tiga wilayah administratif, yaitu Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi, Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tanggerang, dan Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara.

Saat ini hutan mangrove di Teluk Jakarta terus mengalami kerusakan. Konversi hutan mangrove menjadi tambak telah membawa dampak penurunan luas hutan mangrove. UNEP dan LPP-Mangrove (2004) menyebutkan bahwa kondisi hutan mangrove di Teluk Jakarta rusak berat dan sebagian telah berubah fungsi menjadi permukiman dan budidaya. Apabila konversi hutan mangrove menjadi tambak tidak dihentikan dan kegiatan eksploitasi hutan mangrove tidak diimbangi dengan kegiatan rehabilitasi, maka dikhawatirkan akan mengakibatkan kerusakan bahkan pemusnahan hutan mangrove yang akan merugikan dan mengancam kehidupan masyarakat pesisir.

Teluk Jakarta telah tercemar oleh logam berat (khususnya merkuri) dan pestisida (rata-rata 9 ppb PCB dan 13 ppb DDT yang keduanya melebihi ambang batas yaitu 0,5 ppb). Keadaan menjadi lebih buruk karena pembuangan minyak dari kapal dan perahu kecil. Ikan dan invertebrata yang hidup di daerah tercemar selanjutnya mengancam populasi burung air melalui sistem rantai makanan. Bahkan dapat membahayakan kesehatan masyarakat bagi mengkonsumsi ikan yang tercemar.

Permasalahan yang terjadi di wilayah pesisir Teluk Jakarta semakin berkembang dan kompleks seiring dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Terjadi peningkatan pemanfaatan lahan dan sumberdaya hutan mangrove.

Peningkatan pemanfaatan lahan di hutan mangrove akan merusak ekosistem mangrove.

Rusaknya hutan mangrove di wilayah Teluk Jakarta disebabkan beberapa hal yakni meningkatnya konversi lahan untuk permukiman, sarana dan prasarana dan kegiatan lainnya sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk. Peningkatan pembangunan dan permukiman akan menimbulkan tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam, yang pada kenyataannya belum memperhitungkan kerugian yang berdampak sosial ekonomi dan ekologis. Demikian juga dengan pembangunan wilayah pesisir sekitar kawasan hutan mangrove, pemanfaatan untuk usaha tambak yang dilakukan secara tidak bijaksana. Hal ini merupakan kekeliruan dalam menilai fungsi hutan mangrove. Untuk jangka pendek, manfaat ekonomi yang diperoleh dari lahan untuk industri relatif tinggi dibanding sebagai lahan mangrove. Namun demikian, untuk jangka panjang, terjadi penurunan nilai lahan industri yang semakin menurun, sedangkan nilai lahan hutan mangrove relatif stabil untuk jangka panjang. Dengan demikian, pertimbangan jangka panjang dalam pembangunan akan menjadi faktor penting dalam pelestarian hutan mangrove.

Tekanan penduduk dan tingginya permintaan lahan untuk permukiman dan industri menyebabkan kerusakan mangrove tidak dapat dielakkan. Kepentingan ekonomi dan sosial lebih dominan dibandingkan dengan kepentingan lingkungan. Upaya pemanfaatan mangrove dengan mengkombinasikan kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial faktanya masih merupakan konsep yang belum banyak diimplementasikan (Wartaputra, 1990).

Eksploitasi terhadap sumberdaya alam yang berlebihan akan menyebabkan masalah lingkungan (Sumarwoto, 2001; Alikodra, 2002). Munculnya masalah lingkungan secara langsung atau tidak langsung akan berakibat pada menurunnya kualitas sumberdaya manusia yang pada akhirnya akan memperlemah upaya pembangunan itu sendiri (Keraf, 2002). Oleh karena itu, Pemerintah Daerah sebagai penggerak utama pembangunan, diharapkan mampu melihat secara cermat segala potensi yang ada di wilayahnya serta merencanakan pemanfaatannya secara berkelanjutan.

Selama ini, yang menjadi pokok perhatian dari pembangunan adalah peningkatan ekonomi tanpa memperhatikan dampaknya terhadap kondisi ekologis dan sosial budaya. Akibatnya terjadi degradasi lingkungan berupa

penurunan kualitas tanah, air, dan udara. Di samping itu, juga menimbulkan konflik sosial karena kesenjangan pendapatan.

Mengingat pentingnya keberadaan hutan mangrove untuk fungsi ekologisnya dan manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat pesisir, maka perlu dilakukan upaya pengelolaan untuk menjamin kelestarian hutan mangrove. Berdasarkan hal tersebut penelitian tentang pengembangan kebijakan pembangunan daerah dalam penyelamatan hutan mangrove yang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan perlu dilakukan.