• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Berkelanjutan .1 Konsepsi pengelolaan sumberdaya alam

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Berkelanjutan .1 Konsepsi pengelolaan sumberdaya alam

Sumberdaya alam merupakan modal dasar dalam suatu pembangunan yang harus dikelola secara arif dan bijaksana agar dapat memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya, maka penggunaan dan pemanfaatannya harus dilakukan secara lestari, serasi, seimbang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan sehingga menjamin generasi yang akan datang.

Sumberdaya alam dan lingkungan memegang peranan penting bagi pembangunan ekonomi. Selain menyediakan barang dan jasa, juga menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi dan sumber penghasilan masyarakat serta sebagai aset bangsa yang penting. Untuk itu, ketersediaan dan kesinambungan dari sumberdaya alam menjadi sangat krusial bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan sangat tergantung kepada kinerja pengelola yaitu masyarakat dan pemerintah.

Manajemen berarti mengerjakan sesuatu, namun tidak dalam pengertian manajemen jika kita menyiapkan suatu bidang lahan dan meninggalkanya begitu saja. Berbeda dengan melindungi suatu kawasan pada keadaan alam dalam pengelolaan dalam kawasan perlindungan alam adalah suatu tindakan manajemen. Jika manajemen tersebut aktif, maka tahap pertama adalah menetapkan suatu keputusan (Alikodra, 1999).

Hukum dasar manusia dan alam adalah bahwa manusia memiliki kebutuhan yang tidak terbatas sedangkan kemampuan sumberdaya alam ada batasnya bahkan dapat mengalami kelangkaan. Untuk itu harus melakukan pilihan yang cermat. Pilihan ini harus memperhatikan apa yang diinginkan dan apa yang dibutuhkan, dan kepentingan dimensi lain yaitu perlindungan,

pelestarian dan pemeliharaan sumberdaya alam yang kita memiliki (Alikodra, 1999). Ekologi, ekonomi dan sosial merupakan ukuran yang dapat dipergunakan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang sesuai, yaitu dengan mengembangkan pertanyaan (1) apakah layak secara ekologi (2) apakah layak secara ekonomi (3) apakah layak secara sosial dan politik.

2.2.2 Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Alam

Kartodihardjo et al., (2000) mengatakan kelembagaan (institusi) baik formal maupun non-formal merupakan salah satu penentu dalam kinerja pembangunan. Perbedaan kelembagaan (institusi) dengan organisasi perlu ada pemahaman yang jeias dan pasti. Aturan-aturan dalam kelembagaan dipergunakan untuk menata aturan main dan pemain-pemain atau organisasi-organisasi yang terlibat, sedangkan aturan dalam organisasi-organisasi ditujukan untuk memenangkan permainan itu.

Schmid (1987) mendefinisikan institusi adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat yang mana masyarakat tersebut telah mendefinisikan bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung jawab yang telah mereka lakukan. Koentjaraningrat (1964) menyatakan bahwa kelembagaan atau pranata sosial merupakan suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kelompok-kelompok kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Kelembagaan dapat juga diartikan sebagai tatacara atau prosedur yang telah diciptakan untuk mengatur hubungan antar manusia yang berkelompok pada suatu kelompok kemasyarakatan. Berkaitan dengan hal tersebut kelembagaan merupakan suatu jaringan dari proses-proses hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia yang berfungsi untuk memelihara hubungan-hubungan tersebut serta pelakunya sesuai dengan kepentingan individu dan kelompoknya.

Sanim (1999) menyebutkan bahwa pada dasarnya kelembagaan mempunyai beberapa fungsi, antara lain: (1) Memberikan pedoman kepada anggota-anggota masyarakat tentang bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap didalam menghadapi masalah-masalah di dalam masyarakat terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan yang bersangkutan, (2) Menjaga keutuhan dari masyarakat yang bersangkutan, dan (3) Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial

artinya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.

Peranan ketiga komponen tersebut saling berpengaruh terhadap efektivitas pelaksanaannya dalam memberikan layanan, hak dan kewajiban terhadap pemanfaatan dan penggunaan suatu sumberdaya. Berkenaan dengan gambaran tersebut, dalam suatu sistem kelembagaan harus mengandung perangkat aturan dari kelembagaan dan operasionalisasi kegiatan dari kelembagaan yang bersangkutan dalam masyarakat. Dengan perkataan lain sistem kelembagaan harus mengandung aturan-aturan atau norma-norma dalam masyarakat dan sistem.

GilIin (1987) dalam bukunya General Feature of Social Institution suatu kelembagaan harus bercirikan lima hal, yakni: (1) suatu institusi merupakan suatu organisasi dan pada pola-pola pemikiran dan kelakuan yang terwujud melalui aktivitas-aktivitasnya, (2) memiliki tingkat kekekalan tertentu, (3) mempunyai tujuan tertentu, (4) adanya alat untuk mencapai tujuan, dan (5) mempunyai karakteristik tertentu.

Suatu kelembagaan, dicirikan oleh tiga komponen utama, yang menurut Schmidt (1987) dalam Pakpahan (1990) adalah:

a. Batas kewenangan. Batas kewenangan ini akan menghasilkan keragaan seperti yang diharapkan, ditentukan oleh empat hal, yaitu perasaan para peserta sebagai suatu masyarakat, homogenitas, eksternalitas dan skala ekonomi. Israel (1990) menegaskan bahwa batas kewenangan berperan untuk mengatur penggunaan sumberdaya, dana dan tenaga dalam organisasi. Selain itu juga berperan dalam menentukan laju pemanfaatan sumberdaya, sehingga pada gilirannya akan menentukan sifat berkelanjutan sumberdaya tersebut dan pembagian manfaat bersih yang diperoleh masing-masing pihak.

b. Hak kepemilikan. Hak yang dimiliki oleh seseorang atau masyarakat terhadap sumberdaya tertentu yang diatur oleh peraturan, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan anggota masyarakat. Oleh karena itu tidak seorangpun yang dapat menyatakan hak atau hak penguasaan, apabila tanpa pengesahan dan masyarakat sekitarnya. lmplikasinya adalah (1) hak seorang adalah kewajiban orang dan (2) hak yang tercermin oleh kepemilikan adalah sumber kekuasaan untuk memperoleh sumberdaya. Bahwa property

right yang paling penting adalah faktor kepemilikan terhadap lahan, hasil produksi dan lain-lain.

c. Aturan perwakilan. Mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya

terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah perwakilan yang

digunakan dalam proses pengambilan keputusan.

Terdapat tiga komponen utama dalam kelembagaan, yakni; (1) organisasi atau wadah dan suatu kelembagaan, (2) fungsi dan kelembagaan dalam masyarakat, dan (3) aturan main yang ditetapkan itu sendiri (Sanim, 1999). Berkaitan dengan hal tersebut, organisasi dalam suatu sistem kelembagaan mempunyai fungsi pokok sebagai berikut, yakni (1) operative institution dan (2) regulative institution. Sebagai operative institution, suatu sistem kelembagaan harus menghimpun berbagai pola atau tata cara dan perangkat aturan dalam mengelola aktivitas masyarakat yang diperlukan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan. Sedangkan sebagai regulative institution, suatu sistem kelembagaan bertujuan untuk mengawasi adat istiadat atau tata kelakuan setiap aktivitas anggota masyarakat yang menjadi bagian mutlak dan lembaga itu sendiri melalui sistem pengawasan dan kontrol.

Dalam pengelolaan dalam sumberdaya kelembagaan berperan dalam penetapan dan pengaturan berbagai peraturan yang melembaga yang menetapkan berbagai tingkat pengawasan terhadap penggunaan sumberdaya atau barang dan jasa kepada para pengambil keputusan yang berbeda, baik individu maupun kelampok. Jadi hak-hak milik mengacu kepada hak-hak yang diberikan kepada pemilik sumberdaya dan pembatasan dalam penggunaan sumberdaya (Sanim, 1999).

Efektivitas kelembagaan dalam menggambarkan struktur hak-hak milik yang dapat mengalokasikan sumberdaya yang efisien tergantung pada pemenuhan syarat-syarat pendefinisian hak-hak kepemilikan, yakni (1) universal, (2) eksklusif, (3) dapat dipindahtangankan dan terjamin pelaksanaannya. Dengan perkataan lain kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya terkait erat dengan hak-hak kepemilikan.

Di sisi lain peranan kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam, diupayakan untuk (1) membangun kerangka umum pemanfaatan sumberdaya alam agar sistem dan prosedur pendayagunaan sumberdaya alam lebih etis, (2) mengarahkan dan mengatur pelaku pengguna sumberdaya alam sesuai dengan

segala sesuatu yang telah dikukuhkan dalam kerangka umum pemanfaatan sumberdaya alam (3) mengubah perilaku, kebijakan (pengaturan alokasi sumberdaya alam dan perlindungan sumberdaya alam) dan teknologi pemanfaatan sumberdaya alam (4) menginternalisasikan biaya oportunitas ke dalam nilai (harga) sumberdaya alam, dan (5) menjamin kepentingan untuk menunjang sistem keamanan pemanfaatan sumberdaya alam.

Peranan kelembagaan Iainnya dalam upaya penetapan manfaat dan biaya dan pengelolaan sumberdaya dengan memperhatikan dimensinya, yakni (1) dimensi temporal; yang berkaitan dengan manfaat yang bentambah segera atau manfaat bertambah setelah kurun waktu yang sama, (2) dimensi spasial; manfaat bertambah pada okasi tertentu atau manfaat bertambah sedikit (remotely), (3) kemampuan untuk diraba (tangibility); manfaat yang cukup jelas atau manfaat yang relatif untuk didefinisikan, dan (4) distribusi; manfaat bertambah pada orang-orang yang menanggung biaya pengelolaan atau manfaat bertambah pada orang lain.

Pengelolaan sumberdaya alam harus memperhatikan; (1) Keutuhan fungsi ekosistem, yaitu keterkaitan keanekaragaman, keselarasan, dan keberlanjutan dan ekosistem, (2) Memperhatikan dampak pembangunan terhadap Iingkungan dengan menerapkan sistem analisis mengenai dampak Iingkungan, sehingga dampak negatif dapat dikendalikan dan dampak positif dapat dikembangkan, (3) Kepentingan generasi masa depan bahkan diusahakan

tercapainya transgenerational equity, sehingga kualitas dan kuantitas

sumberdaya alam dijaga keutuhannya untuk generasi akan datang (4) Wawasan jangka panjang, karena perubahan lingkungan berlangsung penciutan sumberdaya alam tidak masuk pasar. Perhitungan penciutan ini dilakukan secara eksplisit. Komponen lingkungan yang tidak dapat dipasarkan seperti nilai sumberdaya hayati yang utuh di hutan, bebas polusi, bebas kebisingan, dan hal-hal lain yang meningkatkan kualitas lingkungan, sehingga proses ekonomi secara integral memperhitungkan kualitas lingkungan.

Di dalam pengelolaan sumberdaya alam tidak mudah untuk menentukan lembaga-lembaga mana yang seharusnya terlibat dan bagaimana susunan kelembagaannya. Kejelian dalam menentukan hal tersebut sangat esensial dalam mengevaluasi kelembagaan lokal. Ada beberapa hal yang perlu dikaji, yakni (1) pembatasan sumberdaya dan penggunaannya, (2) distribusi biaya dan

manfaatnya, (3) karakteristik sumberdaya, (4) karakteristik penggunaannya dan (5) pertimbangan pemilikan bersama.

Eksistensi kelembagaan dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam meliputi: (1) pentingnya peranan dan fungsi kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya, (2) munculnya kegagalan pasar, (3) kelembagaan mempunyai fungsi dan peranan yang berbeda yang semuanya memiliki tugas yang jelas batasannya yang bersifat kompleks, formal, dan permanen, (4) kelembagaan mempunyal kekuasaan yang sah untuk membuat keputusan yang final dan mengikat, dan (5) kelembagaan mempunyai kewenangan untuk menggunakan paksaan fisik.

2.2.3 Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam

Beberapa pengelola lingkungan merasa tertantang dengan pendekatan partisipatif, karena menyadari bahwa merupakan tugas merekalah untuk merumuskan persoalan dan mengembangkan penyelesaiannya. Saat ini di negara-negara demokratik dengan masalah yang sedemikian kompleks lebih banyak pengelola memandang positif pendekatan partisipatif ini (Mitchell et al., 1997).

Bryan and Louse (1982), partisipasi di bidang pembangunan mencakup keterlibatan mental dan emosional, penggeraknya adalah kesediaan untuk memberi konstribusi dalam pembangunan dan kesediaan untuk turut bertanggung jawab. Mubyarto (1984) menyebutkan bahwa partisipasi adalah kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai dengan kemampuannya tanpa mengorbankan diri sendiri. Partisipasi oleh beberapa ahli dikaitkan dengan upaya dalam mendukung program pemerintah.

Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan tentang apa yang dilakukan dan bagaimana keterlibatan dalam pelaksanaan program dan keputusan dalam konstribusi sumberdaya atau bekerjasama dalam organisasi-organisasi atau kegiatan khusus, berbagi manfaat dan program pembangunan, atau keterlibatan dalam evaluasi program.

Secara umum keempat macam ketertibatan ini mengarah kepada partisipasi dalam kegiatan pembangunan masyarakat. Pentingnya keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan pengelolaan Iingkungan pesisir. Menurut Cohen dan Uphoff (1977) setidaknya memiliki tiga alasan utama, yaitu: (1) Sebagai Iangkah awal mempersiapkan masyarakat

untuk menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat setempat terhadap program pengelolaan Iingkungan yang dilaksanakan, (2) Sebagai alat untuk memperoleh informasi mengenai kebutuhan, kondisi dan sikap masyarakat setempat, dan (3) Masyarakat mempunyai hak untuk urun rembug dalam menentukan program-program pengelolaan Iingkungan yang akan dilaksanakan di wilayah mereka.

Partisipasi masyarakat dalam proses pengelolaan Iingkungan akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila memenuhi tiga faktor utama pendukungnya, yaitu:

1. Faktor kemampuan peran serta bersumber pada faktor psikologis individu yang menyangkut persepsi dan emosi yang melekat pada diri manusia. Faktor yang menyangkut emosi dan perasaan ini sangat kompleks sifatnya, sulit diamati dan diketahui dengan pasti dan tidak mudah dikomunikasikan, namun selalu ada pada setiap individu dan merupakan motor penggerak perilaku manusia. Objek pengelolaan lingkungan yang berkaitan dengan keberadaan, manfaat, hasil dan upaya yang menarik minat seseorang untuk berpartisipasi. Subjek akan berpartisipasi karena memiliki persepsi positif terhadap kegiatan tersebut, yaitu memperoleh hasil atau keuntungan bagi dirinya. Persepsi berkaitan dengan bagaimana seseorang melihat lingkungan sekitar, mendengar suara, merasakan atau mencium sesuatu. Dengan kata lain, persepsi adalah apa yang dialami langsung oleh seseorang (Bell, 1978). Persepsi berhubungan dengan ketergantungan seseorang kepada berapa jauh impresi suatu objek membuat arti.

2. Faktor tingkat kemampuan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan tergantung pada banyak faktor yang sating berinteraksi, terutama faktor pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal, keterampilan, pengalaman dan ketersediaan permodalan. Tingkat pendidikan akan tercermin pada tingkat pengetahuan, sikap mental dan keterampilan. Kemampuan permodalan akan tercermin pada tingkat pendapatan rumah tangga dan bantuan dana yang bisa diperoleh, sedangkan pengalaman akan dicerminkan oleh lamanya seseorang berkecimpung dalam kegiatan-kegitan pengelolaan lingkungan yang telah berlangsung. Faktor kemampuan menunjukkan lapisan keberadaan masyarakat.

3. Faktor kesempatan masyarakat dalam proses pengelolaan lingkungan dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi, terutama faktor

ketersediaan sarana dan prasarana fisik yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pengelolaan lingkungan, kelembagaan yang mengatur interaksi masyarakat dalam proses pengelolaan Iingkungan, birokrasi yang mengatur dan menyediakan kemudahan dan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, serta faktor sosial budaya masyarakat.

Pengertian partisipasi yang diharapkan dalam pembangunan masyarakat adalah keterlibatan masyarakat secara aktif baik moril maupun materil dalam program pembangunan untuk mencapai tujuan bersama yang di dalamnya menyangkut kepentingan individu. Partisipasi merupakan masukan daam proses pembangunan dan sekaligus juga sebagai keluaran atau sasaran dan pelaksanaan pembangunan. Dalam kenyataannya partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat bersifat vertikal dan dapat pula bersifat horizontal.

Terdapat delapan tingkatan partisipasi masyarakat, yaitu: manipulasi, terapi, menyampaikan informasi, konsultasi, peredaman, kemitraan, pendelegasian kekuasaan, dan pengawasan masyarakat. Tipe partisipasi manipulasi dan terapi dikategorikan sebagai non partisipasi. Tipe partisipasi menyampaikan informasi, konsultasi dan peredaman dikategorikan sebagai tingkat partisipasi tokenisme, yaitu suatu tingkat partisipasi dimana masyarakat didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapat jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan atau tidak dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Jika partisipasi dibatasi pada tingkat ini, maka kecil kemungkinan ada perubahan dalam masyarakat menuju keadaan yang lebih baik. Tipe partisipasi kemitraan, pendelegasian kekuasaan, pengawasan masyarakat dikategorikan sebagai tingkat partisipasi otoritas masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam tingkatan ini memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan dengan menjalankan kemitraan dan memiliki kemampuan tawar-menawar dengan pengambil keputusan. Bahkan Iebih jauh masyarakat memiliki mayoritas suara dalam proses pengambilan keputusan dan sangat mungkin memiliki kewenangan penuh mengelola suatu objek kebijakan tertentu.

Partisipasi daIam pembuatan keputusan adalah partisipasi dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat mengemukakan pendapat dan aspirasinya dalam menilai suatu rencana kegiatan. Masyarakat juga diberi kesempatan untuk menimbang suatu keputusan yang akan diambil. Partisipasi

dalam pelaksanaan pembangunan adalah partisipasi dengan mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan operasional berdasarkan rencana yang telah disepakati bersama. Partisipasi dalam memanfaatkan hasil pembangunan adalah partisipasi masyarakat dalam menggunakan hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan, baik pemerataan kesejahteraan dan fasilitas yang ada di masyarakat dan ikut menikmati atau menggunakan sarana hasil pembangunan. Partisipasi dalam mengevaluasi dan mengawasi pembangunan adalah partisipasi masyarakat dalam bentuk keikutsertaannya menilai serta mengawasi kegiatan pembangunan dan memelihara hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai.

Tahapan partipasi masyarakat dalam pembangunan diharapkan dapat terlibat pada semua tahapan program, dimulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada pemanfaatan hasil kegiatan pembangunan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa jika masyarakat sejak awal dilibatkan secara penuh dalam suatu kegiatan, maka dengan sendirinya akan timbul rasa memiliki dan tanggung jawab moral terhadap keberhasilan pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan.

Visi yang mendasari model strategi pemberdayaan masyarakat adalah segenap upaya pembangunan yang diselenggarakan harus diarahkan langsung pada akar persoalannya yaitu meningkatkan kemampuan rakyat. Komponen-komponen yang masih tertinggal dalam masyarakat harus ditingkatkan kemampuannya dengan mengembangkan dan mendinamisasikan keseluruhan potensinya atau dengan kata lain memberdayakannya.

Canter (1977), Comick (1979) dan Coulet (1989), Wengert (1979) dalam Santoso (1993) merinci peran serta masyarakat sebagai berikut :

1) Peran serta masyarakat sebagai suatu kebijakan. Penganut paham ini berpendapat bahwa peran serta masyarakat merupakan suatu kebijaksanaan yang tepat dan baik untuk diiaksanakan. Paham ini dilandasi oleh suatu pemahaman bahwa masyarakat yang potensial dikorbankan atau terkorbankan oleh suatu proyek pembangunan memiliki hak untuk dikonsultasi.

2) Peran serta masyarakat sebagai strategi. Penganut paham ini mendalilkan bahwa peran serta masyarakat merupakan strategi untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Pendapat ini didasarkan kepada suatu pemahaman bahwa apabila masyarakat merasa memiliki akses terhadap proses pengambilan keputusan dan kepedulian masyarakat pada tiap tingkatan

pengambilan keputusan didokumentasikan dengan baik, maka keputusan tersebut akan memiliki kredibilitas.

3) Peran serta masyarakat sebagai alat komunikasi. Peran serta masyarakat didayagunakan sebagai alat untuk mendapatkan masukan berupa informasi dalam proses pengambilan keputusan. Persepsi ini dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa pemerintah dirancang untuk melayani masyarakat, sehingga pandangan dan preferensi dan masyarakat tersebut adalah masukan yang bernilai guna mewujudkan keputusan yang responsif.

4) Peran serta masyarakat sebagai alat penyelesaian sengketa. Dalam konteks ini peran serta masyarakat didayagunakan sebagai suatu cara untuk mengurangi atau meredakan konflik melalui usaha Pencapaian konsensus dan pendapat-pendapat yang ada. Asumsi yang melandasi persepsi ini adalah bertukar pikiran dan pandangan dapat meningkatkan pengertian dan toleransi serta mengurangi rasa ketidakpercayaan.

5) Peran serta masyarakat sebagai terapi. Menurut persepsi ini, peran serta masyarakat dilakukan sebagai upaya untuk mengobati masalah-masalah psikologis masyarakat seperti halnya perasaan ketidakberdayaan, tidak percaya diri dan perasaan bahwa diri mereka bukan sebagai komponen penting dalam masyarakat.

6) Pemberian wewenang kepada masyarakat. Disamping dikehendak terjadinya perubahan sikap dan perilaku dan institusi pemerintah seperti telah dipaparkan diatas secara teoritik kepada pihak masyarakat perlu terus diberdayakan kesadarannya serta didorong tanggung jawab dan kemandiriannya.

Secara konseptual Iangkah pemberdayaan masyarakat bisa dilakukan melalui suatu strategi pemberian wewenang demokrasi partisipatif. Osborn (1996) menyebut langkah trersebut sebagai perwujudan model great society. Pertimbangan perwujudan model great society ini menjadi penting karena didasarkan kepada beberapa alasan pertimbangan sebagai berikut: (1) komunitas masyarakat memiliki komitmen lebih besar terhadap anggotanya ketimbang sistem birokrasi; (2) komunitas masyarakat Iebih memahami masalahnya sendiri, ketimbang birokrasi pelayanan; (3) birokrasi akan lebih memfokuskan memberikan pelayanan, sedangkan masyarakat akan lebih pada memecahkan masalahnya; (4) birokrasi sebaiknya menawarkan pelayanan, sedangkan masyarakat lebih menawarkan kepedulian; (5) komunitas lebih

fleksibel dan kreatif dalam menangani masalahnya sendiri, ketimbang birokrasi pelayanan; (6) biaya yang dibutuhkan oleh komunitas lebih murah daripada biaya yang dibutuhkan oleh pelayanan birokrasi; (7) standar perilaku komunitas Iebih efektif daripada pelayanan birokrasi; dan (8) komunitas masyarakat dapat Iebih memfokuskan pada kapasitas dan sistem pelayanan Iebih pada kekurangan.

Perpaduan antar stakeholders dalam mengembangkan potensi daerah serta sektor-sektor kegiatan usaha strategis maupun dalam menanggulangi permasalahan serta persoalan Iingkungan yang ada di daerah dapat diwujudkan melalui kerjasama antar ketiganya secara sinergis. Secara kualitatif, tolok ukur keberhasilan kerjasama secara sinergis tadi adalah terciptanya suatu kondisi segi harmonis berupa kemakmuran bagi wilayah dan kesejahteraan bagi masyarakat serta keuntungan bagi pengusaha. Tingkat pelibatan masyarakat yang diharapkan dan dimungkinkan harus ditentukan.

Pengelola tradisional biasanya enggan untuk melewati tingkat pelibatan masyarakat, dengan keyakinan bahwa masyarakat biasanya apatis dan membuang-buang waktu. Pengelola pada dasarnya mempunyai tanggung jawab untuk melakukan pendekatan partisipasi masyarakat berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah, dan Iembaga-lembaga masyarakat mempunyai tugas berdasarkan hukum yang tidak dapat dilimpahkan ke pihak lain. Sebaliknya, masyarakat semakin meningkat kesadarannya dengan mengharapkan partisipasi yang Iebih bermanfaat, yang dalam keyakinan mereka termasuk pula pelimpahan sebagian kekuasaan. Pelimpahan atau alokasi kembali kekuasaan itu menimbulkan isu tentang apakah kelompok yang diberikan kepercayaan dan kekuasaan dapat dipercaya.

Pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove memerlukan suatu pendekatan yang fleksibel, sabar dan membutuhkan waktu. Membangun pemahaman dan keyakinan masyarakat terhadap pentingnya pengelolaan mangrove sangat memakan waktu dan dapat memperlambat pengukuran kemajuan pekerjaan dalam rehabilitasi mangrove. Namun hal tersebut sebanding dengan perolehan hasil dalam jangka panjang karena dapat membangun rasa kepemilikan dan komitmen masyarakat yang kuat yang merupakan jaminan kelangsungan rehabilitasi mangrove.

Peningkatan peran serta masyarakat dilakukan dengan melibatkan masyarakat dalam menyusun proses perencanaan dan pengelolaan hutan mangrove secara lestari. Dengan pola pendekatan pengelolaan berbasiskan

masyarakat, diharapkan setiap rumusan perencanaan muncul dan aspirasi masyarakat. Pola pendekatan ini dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu: (1) program perencanaan partisipasi pembangunan masyarakat desa (P3MD), dan (2) pendekatan PRA (Participatory Rural Appraisal). PRA secara harfiah diartikan sebagai cara untuk memahami keadaan atau kondisi desa dengan melibatkan partisipasi masyarakat.

PRA secara luas diartikan sebagai pendekatan dan tekhnik-tekhnik pelibatan masyarakat dalam proses-proses pemikiran yang berlangsung selama kegiatan perencanaan dan pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi program pembangunan masyarakat, sehingga dengan PRA dimaksudkan untuk memungkinkan masyarakat setempat melaksanakan analisis tentang mereka sendiri dan sering juga untuk merencanakan dan mengambil tindakan.

2.3 Pengelolaan Hutan Mangrove

Pengelolaan sumber daya alam adalah upaya manusia dalam mengubah sumber daya alam agar diperoleh manfaat yang maksimal dengan mengusahakan kontinuitas produksi (Soerianegara, 1987). Dahuri (2001) menyatakan bahwa tujuan utama pengelolaan hutan, termasuk hutan mangrove,