• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indar Parawansa 99522008

1.5 Kerangka Pikir

Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia hara bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam biota, penahan abrasi, penahan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut. Hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis seperti penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat obatan, dan fungsi sosial sebagai lahan interaksi bagi masyarakat.

Pelaksanaan otonomi daerah mendorong daerah untuk mengambil kewenangan pengelolaan mangrove melalui eksploitasi yang berlebihan untuk kepentingan ekonomi sesaat. Konflik kepentingan antara sektor seperti Departemen Kehutanan dan Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Pekerjaan Umum maupun antar wilayah seperti antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten merupakan faktor lain yang menyebabkan degradasi kuantitas (kerapatan dan luas) maupun kualitas (komposisi dan proporsi) mangrove semakin dipercepat.

Ancaman kerusakan bagi mangrove sebagian besar berasal dari aktivitas manusia yang tidak memperhatikan aspek lingkungan. Secara sederhana penyebab kerusakan mangrove dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu secara langsung melalui: alih fungsi, reklamasi, pencemaran, abrasi, dan sedimentasi dan secara tidak langsung melalui fenomena alam seperti penyakit, hama, dan meningkatnya muka air laut.

Salah satu indikator hancurnya mangrove akibat alih fungsi mangrove untuk tambak, industri dan permukiman tanpa mengindahkan kaidah konservasi lingkungan (Wartaputra, 1990; Kusmana, 2002). Perubahan hutan mangrove menjadi tambak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan terutama jika terjadi pembukaan berlebihan yang menyebabkan oksidasi pirit dan intrusi serta

abrasi gelombang laut, sehingga tanah menjadi irreversible, tidak produktif dan sangat sulit direhabilitasi (Naamin, 2002; Soedharma et al., 1990).

Dalam kasus mangrove di Teluk Jakarta sebagai suatu ekosistem yang meliputi tiga wilayah administrasi provinsi (DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten), berpotensi menimbulkan konflik pengelolaan dan pemanfaatan antar wilayah akibat perbedaan cara pandang. Kondisi ini diperburuk dengan adanya konversi mangrove untuk tujuan ekonomi, sehingga mendorong kerusakan mangrove semakin parah.

Faktor lain yang mendorong rusaknya hutan mangrove di Teluk Jakarta adalah rendahnya capacity building yang meliputi sumberdaya manusia, institusi dan mekanisme aturan. Kondisi ini diperburuk dengan rendahnya koordinasi di tingkat perencana, pengambil kebijakan dan pelaksana lapang, sehingga menyebabkan terjadinya ketimpangan antara apa yang diinginkan (demand side) dan apa yang dimiliki dari hutan mangrove (supply side) (Alikodra, 2002).

Kerusakan sumberdaya mangrove juga terjadi karena ekstensifikasi yang berlebihan untuk perluasan wilayah tambak tanpa memperhitungkan kualitasnya, serta adanya pembabatan habis untuk kebutuhan kayu bakar masyarakat. Perbedaan persepsi dari cara pandang antara peran mangrove terhadap lingkungan dan alih fungsi menyebabkan konflik yang tidak mudah dipecahkan, seperti kasus Teluk Jakarta. Kemampuan tawar sektor ekonomi yang lebih kuat dibandingkan sektor lingkungan menyebabkan pembabatan mangrove sulit dikendalikan.

Tingkat kerusakan mangrove yang makin luas menyebabkan multifungsi mangrove secara spasial dan temporal merosot tajam, sehingga daya dukungnya terhadap budidaya kawasan pesisir sangat rendah. Kerusakan mangrove ini perlu dicari solusinya agar dapat dirumuskan kebijakan dan strateginya untuk menciptakan kelestarian ekosistem mangrove dengan tetap dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.

Persepsi masyarakat terhadap mangrove juga merupakan salah satu yang mendorong kerusakan ekosistem mangrove. Salah satu bentuknya adalah pengembangan tambak ekstensif yang tidak mengindahkan kaidah lingkungan. Supriharyono (2000) menyatakan kerusakan hutan mangrove terutama disebabkan oleh banyaknya konversi hutan mangrove yang dijadikan tambak. Sedangkan Budhisantoso (1998) menyebutkan bahwa permasalahan utama yang dihadapi dalam pengelolaan pengembangan kawasan pesisir, adalah

menyusutnya persediaan sumberdaya, khususnya hutan mangrove, dan merosotnya mutu lingkungan. Oleh karenanya, pengelolaan kawasan pesisir tidak terbatas pada pembinaan kelestarian alam, melainkan juga upaya pemberdayaan penduduk secara perseorangan maupun kolektif. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang lingkungan hidup mutlak diperlukan karena perusakan terhadap sumberdaya mangrove masih terus terjadi. Dalam pelaksanaannya diperlukan pendekatan partisipatif, yakni masyarakat lokal dilibatkan dalam proses pembangunan.

Hambatan dan gangguan dalam pengelolaan hutan mangrove yang mencerminkan kaidah-kaidah perlindungan ekosistem di Indonesia antara lain adalah benturan kepentingan pihak yang berkompeten, lemahnya informasi ekosistem hutan mangrove, kelemahan di aspek pemanfaatan, masalah sosial ekonomi masyarakat, sistem silvikultur hutan mangrove, dan aspek hukum dan kelembagaan (Machfuddin dan Nasendi, 1997). Kebijakan mengenai konversi lahan mangrove secara berlebihan menyebabkan rusaknya kawasan pesisir. Terjadinya kerusakan wilayah pesisir akibat pembukaan hutan yang berlebihan, mengakibatkan kualitas dan kelestarian sumberdaya mangrove mengalami ancaman dari berbagai pemangku kepentingan.

Terdapat tiga kelompok stakeholder kunci dalam pembangunan wilayah pesisir yakni pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Ketiga kelompok ini memiliki motif yang berbeda dalam pemanfaatan hutan mangrove. Apabila kebijakan pemanfaatan hutan mangrove tidak sesuai dengan kesepakatan ketiganya, maka kerusakan hutan mangrove akan terus berlanjut. Dengan demikian, kebutuhan stakeholder dalam pemanfaatan hutan mangrove perlu dipertimbangkan sehingga terjadi sinergi dalam pemanfaatan secara lestari.

Perbedaan kepentingan antara stakeholder terhadap pemanfaatan hutan mangrove, seperti antara kehutanan, perikanan, pertanian, pertambangan, transmigrasi, perhubungan, pariwisata dan perindustrian, menimbulkan tekanan yang beragam terhadap keberadaan hutan mangrove. Selain itu terjadinya degradasi hutan mangrove juga disebabkan pencurian dan penebangan yang tidak terkendali dan pemanfaatan yang melebihi daya dukung. Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di sekitar kawasan hutan mangrove belum sepenuhnya mendukung pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan.

Agar permasalahan pengelolaan mangrove dapat direpresentasikan, maka perlu pemahaman mengenai faktor-faktor penentu keberhasilan

pengelolaan mangrove. Dalam hal ini perlu disusun alat bantu pengambilan keputusan kebijakan pengelolaan mangrove sesuai kebutuhan stakeholder dan peraturan perundangan yang ada, sehingga konsep perencanaan dan pemanfaatan mangrove dapat berkelanjutan. Dalam hal studi kasus Teluk Jakarta, maka diperlukan pemahaman tentang kondisi ekosistem mangrove yang ada saat ini di tiga wilayah, evaluasi kebijakan pemanfaatan mangrove di Teluk Jakarta, dan analisis kebutuhan stakeholder dalam pemanfaatan mangrove di masa mendatang.

Pemahaman terhadap ketiga hal tersebut merupakan masukan dalam penyusunan kebijakan dan strategi pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan di Teluk Jakarta. Sistem pengambilan keputusan yang mendukung upaya ini perlu dirumuskan dengan pendekatan yang komprehensif. Rumusan hasil keputusan ini merupakan rekomendasi untuk kebijakan pembangunan wilayah pesisir terpadu. Secara rinci kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

1.6 Novelty

Sumbangan pemikiran baru dari penelitian ini ialah memberikan informasi dan pendekatan baru dalam menyusun kebijakan dan strategi pembangunan daerah dalam pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta berdasarkan aspirasi pemangku kepentingan yang disesuaikan dengan kondisi dan potensi sumberdaya yang ada dan fungsi ekosistem mangrove, sehingga pemanfaatan hutan mangrove dapat berkelanjutan khususnya di era otonomi daerah.