• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laju Pertumbuhan Benih Ikan Botia (Chromobotia macracanthus) dengan Pemberian Pakan Cacing Sutera (Tubifex sp.) yang Dikultur dengan Beberapa Jenis Pupuk Kandang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Laju Pertumbuhan Benih Ikan Botia (Chromobotia macracanthus) dengan Pemberian Pakan Cacing Sutera (Tubifex sp.) yang Dikultur dengan Beberapa Jenis Pupuk Kandang"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN

(2)

1 2 3 (%) KTPFKA 10 10 10 100 KTPFKS 10 10 10 100 KTPFKD 10 10 10 100

TTP 10 10 10 100

PIH 10 10 10 100

Lampiran 2. Data Panjang Rata-Rata (cm) Benih Ikan Botia

(3)

KTPFKA

Lampiran 3. Data Bobot Rata-Rata (g) Benih Ikan Botia

(4)

0 10 20 30

(5)

Perlakuan

Ulangan (cm) Total Perlakuan (cm)

Perlakuan 4 1.348427 0.337107 13.00231422 3.478049691 5.994339 Error 10 0.259267 0.025927

Total 14 1.607693

Uji Lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT)

BNT5% = t (α,v) �2 KT (Galat )

Keterangan : Nilai yang diikuti huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata

menurut Uji Lanjut Beda Nyata Terkecil pada taraf kepercayaan 95%.

(6)

Perlakuan

Ulangan (g) Total Perlakuan (g)

Perlakuan 4 1.103373 0.275843 4.161788373 3.478049691 5.994339 Error 10 0.6628 0.06628

Total 14 1.766173

Uji Lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT)

BNT5% = t (α,v) �2 KT (Galat )

Keterangan : Nilai yang diikuti huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata

menurut Uji Lanjut Beda Nyata Terkecil pada taraf kepercayaan 95%.

(7)

Perlakuan

Ulangan (%) Total Perlakuan (%)

Perlakuan 4 9.072707 2.268177 5.256898949 3.478049691 5.994339 Error 10 4.314667 0.431467

Total 14 13.38737

Uji Lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT)

(8)

Lampiran 7. Dokumentasi Penelitian

Wadah Kultur Tubifex sp.

Pupuk Organik Cair Kotoran Ayam

Pupuk Organik Cair Kotoran Sapi

Pupuk Organik Cair Kotoran Domba

Proses Pemberian Pupuk Organik Cair

Wadah Kultur Tubifex sp Setelah Diberi Pupuk Organik Cair Kotoran Ayam

Wadah Kultur Tubifex sp Setelah Diberi Pupuk Organik Cair Kotoran Lembu

(9)

Proses Pemanenan Tubifex sp.

Hasil Pemanenan Tubifex sp.

Wadah Pemeliharaan Ikan Botia (Chromobotia macracanthus)

Bak Aklimatisasi Sebelum Penebaran Benih Ikan Botia (Chromobotia

macracanthus) ke Akuarium

Proses Peneraban Benih Ikan Botia (Chromobotia macracanthus)

Setelah Penimbangan Tubifex sp.

Proses Pemberian Pakan Benih Ikan Botia (Chromobotia macracanthus)

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Boyd, C. E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. El Sevier Scientific Publishing Company. New York. 318 p.

Brusca, R.C., Brusca, G.J., 1990. Invertebrates. Sinauer Associates, Sunderland. Chamberlain, G., Avnimelech, Y., McIntosh, R.P., Velasco M., 2001. Advantages

of Aerated Microbial Reuse Systems with Balanced C/N : Nutrient Tranformation and Water Quality Benefits. Global Aquaculture Alliance : April 2001.

Chumaidi, Nurhidayat, dan A. Priyadi. 2009. Pemeliharaan Larva Ikan Botia (Chromobotia macracanthus) Menggunakan Pakan Alami yang Diperkaya Nutrisinya. Jurnal Akuakultur Indonesia. 8(1) : 11-18.

Chumaidi, Y. Suryanti, dan A. Priyadi. 2005. Pemeliharaan Ikan Botia (Botia macracantha) dengan Pemberian Pakan Komersial dan Pakan Hidup (Pheretima sp.). Jurnal Aquacultura Indonesiana. 6(2) : 47-51.

Darwati, 2013. Kandungan Kalium Rasio C/N dan pH pada Pupuk Cair Hasil Fermentasi Kotoran Berbagai Ternak Menggunakan Starter Starbio. IKIP PGRI. Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Semarang.

Djarijah, A.S. 1995. Pakan Ikan Alami. Kanisius. Yogyakarta. 87 Hal.

Effendi, T. Prasetya, A. O. Sudrajat. N. Suhenda. dan K. Sumawidjaja. 2003. Pematangan Gonad Induk Ikan Botia (Chromobotia macracanthus) Dalam Kolam. Jurnal Akuakultur Indonesia. 2(2) : 51-54.

Effendie, M. I. 1997. Metoda Perancangan Percobaan. CV Armico. Bandung. 472 hal. Effendie, M. I. 2004. Pengantar Akuakultur. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.

Ekavianti, R. 2004. Laju Pertumbuhan Benih Ikan Botia (Botia macracanthus Bleeker) yang Dipelihara Dalam Sistem Resirkulasi Dengan Frekuensi Pemberian Pakan yang Berbeda. Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institus Pertanian Bogor. Bogor.

(11)

Febrianti, D. 2004. Pengaruh Pemupukan Harian Dengan Kotoran Ayam Terhadap Pertumbuhan Populasi Dan Biomassa Cacing Sutera (Limnodrillus). Skripsi. Program Studi Teknologi dan Manjemen Akuakultur. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Febriyani, M. 2012. Budidaya Cacing Oligochaeta Dengan Padat Penebaran Berbeda Pada Sistem Terbuka. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Goddard. S., 1996. Feed Management in Intensive Aquaculture. Chapman and Hall, New York.

Herawati, V. E. 2005. Manajemen Pemberian Pakan Ikan. Laporan Pengembangan Program Mata Kuliah. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Diponegoro.

Hoar, W. S.D. J. Randall dan J. R. Brett. 1979. Fish Physiologi Volume VIII. Academic Press. Inc.

Johan, Y. 2009. Bioteknologi: Produksi Tubifex sp. Sebagai Pakan Alami. http://www.yarjohan.com. (26 Mei 2013).

Kamal, M. M. 1992. Bioekologi Ikan Botia (Botia macracanthus Bleeker) di Sungai Batang Hari, Propinsi Jambi. [Skripsi.]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institus Pertanian Bogor. Bogor.

Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Teknologi Pembenihan Ikan Patin (Pangasius sp.) yang Dipelihara Secara Outdoor Dikolam yang Dipupuk. Laporan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan.

Kottelat, M., S. N. Kartikasari, A. J. Whitten dan S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Perplus Edition (HK) Ltd. Jakarta. Indonesia.

Kottelat, M. 2004. Botia kubotai, A new Species of Loach (Teleostei:Cobitidae) From The Ataran River Basin (Myanmar), With Comments on Botiine Nomenclature and Diagnosis of A New Genus. Zootaxa 401.

Lingga, P.dan Susanto, H. 2003. Ikan Hias Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta. Marchese, M. R. 1987. The Ecology of Some Benthic Oligochaeta from The Prana

River, Argentina. Hydrobiologia, 155 : 209 – 214.

(12)

Studi Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nikolsky, G. V. 1963. The Ecology of Fishes. Academic Press. New York. 352p. Nofyan, E. 2005. Pengaruh Pemberian Pakan Dari Sumber Nabati dan Hewani

Terhadap Berbagai Aspek Fisiologi Ikan Gurami (Osphronentus gouramy L.). Jurnal Iktiologi Indonesia, Vol. 5, No. 1, Hal. 3.

Nurdawati, S., Samuel, dan D. Prasetyo. 2006. Sudah Anda Tahu? Ikan Botia (Botia macracanthus). Dalam : Berita Riset Kelautan dan Perikanan. DKP. 2005. http://www.dkp.go.id. (10 Oktober 2013).

Palmer, M. F. 1968. Aspect of The Respiratory Physiology of Tubifex tubifex in Relation its Ecology. J. Zooi., 154 : 463-473.

Panjaitan, E. F. 2004. Pengaruh Suhu Air yang Berbeda Terhadap Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Botia (Botia macracanthus Bleeker). Skripsi. Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institus Pertanian Bogor. Bogor.

Pennak, R. W. 1953. Freshwater Invertebrates of The United States. The Ronald Press Co., New York.

Rahman, W. J. 2012. Efektifitas Penggunaan Berbagai Pupuk Kandang Yang Difermentasikan Pada Budidaya Cacing Sutra Oligocaheta. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institus Pertanian Bogor. Bogor.

Saanin, H. 1968. Taksonomi dan Kuntji Identifikasi Ikan. Djilid I. Binatjipta, Bandung. 256 hal.

Samuel, D. Prasetyo dan Akrimi, 1994. Distribusi dan Biologi Ikan Botia di DAS Batanghari Jambi. Kumpulan makalah hasil penelitian sub Balitkanwar Palembang.

Sari, O. 2003. Efisiensi Produksi Benih Ikan Botia (Botia macracanthus Bleeker) yang Diberi Berbagai Pakan Alami. [Skripsi]. Tidak dipublikasikan. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Satyani D., J. Slembrouck, H. Mundriyanto, S. Subandiyah, I. W. Subamia, S. Sugito dan M. Legendre. 2007. Pembenihan Ikan Hias Botia (Chromobotia macracanthus) Populasi Kalimantan. Loka Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar Depok, BRKP dan IRD.

(13)

Hias Botia (Chrombotia macracanthus Bleeker) Skala Laboratorium. IRD dan Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Serdiati, 1988. Pengaruh Padat Penebaran Terhadap Pertumbuhan Ikan Mas (Cyprinus carpio) yang Dipelihara dalam Karamba pada Kolam dengan Input Air Limbah Rumah Tangga. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Hassanudin. Ujung Pandang.

Steel, R. G. D., dan J. H. Torrie. 1980. Principles and Procedures of Statistics A Biometrical Approach. Second Edition. McGraw-Hill International Book Company. Tokyo. 633 hal.

Sterba, G. 1969. Freshwater Fishes of The World. The Pet Library Ltd., New York. 877 p.

Supadma, A. A. N dan D. M Arthagama. 2008. “Uji Formulasi Kualitas Pupuk Kompos yang Bersumber dari Sampah Organik dengan Penambahan Limbah Ternak Ayam, Sapi, Babi dan Tanaman Pahitan.” Jurnal Bumi Lestari, Vol. 8 No. 2: 113-121.

Suprapto, 1986. Perkembangan Populasi Cacing Tubifex sp. Dalam Kombinasi Takaran Pupuk Kotoran Ayam dan Lumpur. Tesis Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta.

Suseno, D., dan Siti Subandiah. 2000. Ciri Morfologis Jenis Ikan Macan Atau Botia Strain Batanghari, Musi, dan Kapuas. Prosiding Seminar Nasional Keanekaragaman Hayati Ikan, 6 Juni 2000.

Suwingnyo, S., Widigdo, B., dan Wardiatno, Y. 2005. Averterbrata Air (Jilid 2). Jakarta : Penebar Swadaya.

Syarip, M. 1988. Pengaruh Frekuensi Pemberian Pupuk Tambahan Terhadap Pertumbuhan Tubifex sp. Skripsi. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Weber, M. dan L.F. de Beaufort. 1916. The Fishes of The Indo-Australian Archipelago. Vol VIII. E.J. Brill Ltd., Leiden. 456 p.

Wilber, C. G. 1971. The Biological Aspects of Water Pollution. Charles C Thomas Publisher. USA.

Wilmoth, J. H. 1967. Biology of Invertebrate. PrenticeHall, Inc. Englewood Cliffs. New Yersey. 465 hal.

(14)
(15)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Kultur Cacing Sutera

(16)

Gambar 4. Wadah Kultur Cacing Sutera dengan Berbagai Jenis Pupuk Kandang

Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan Botia

Tingkat kelangsungan hidup benih ikan botia selama 30 hari pemeliharaan (Gambar 5.) tidak mengalami penurunan pada masing-masing perlakuan dengan kisaran 100%. Data kelangsungan hidup benih ikan botia (Lampiran 1.) memperoleh nilai tertinggi sebesar 100% pada seluruh perlakuan dimana padat tebar ikan 10 ekor/72 liter air.

Gambar 5. Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan Botia

(17)

Ikan botia mengalami pertumbuhan panjang selama 30 hari pemeliharaan (Gambar 6.) dari 3.90-4.14 cm menjadi 4.14-5.15 cm. Dari data panjang rata-rata benih ikan botia (Lampiran 2.) diketahui bahwa rata-rata pertumbuhan berkisar antara 0.14 cm hingga 1.02 cm (Gambar 7.). Hasil analisis ragam (Lampiran 4.) menyatakan bahwa pemberian pakan cacing sutera yang dikultur dengan beberapa jenis pupuk kandang mempunyai pengaruh nyata terhadap pertambahan panjang mutlak (Fhit>0.05)

Gambar 6. Pertumbuhan Panjang Benih Ikan Botia

Gambar 7. Panjang Rata-Rata Benih Ikan Botia.

Bobot Mutlak Benih Ikan Botia

(18)

bobot rata-rata benih ikan botia berkisar antara 0.09 g hingga 0.91 g (Gambar 9.). Hasil analisis ragam (Lampiran 5.) menyatakan bahwa pemberian pakan cacing sutera yang dikultur dengan beberapa jenis pupuk kandang mempunyai pengaruh nyata terhadap pertambahan bobot mutlak (Fhit>0.05).

Gambar 8. Pertumbuhan Bobot Benih Ikan Botia

Gambar 9. Bobot Rata-Rata Benih Ikan Botia

Laju Pertumbuhan Harian Benih Ikan Botia

(19)

dengan beberapa jenis pupuk kandang mempunyai pengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan harian (Fhit>0.05).

Gambar 10. Laju Pertumbuhan Harian Benih Ikan Botia

Kualitas Air

Hasil pengamatan data kualitas air (Tabel 2.) dari 30 hari pemeliharaan benih ikan botia diperoleh kisaran suhu antara 26.1-27.7oC. Nilai pH berkisar antara 7-7.6, serta nilai kelarutan oksigen (DO) berkisar antar 8.1-8.8 ppm.

Tabel 2. Data Kualitas Air Wadah Pemeliharaan Benih Ikan Botia Perlakuan Parameter Kualitas Air

Suhu (oC) pH DO (ppm)

KTPFKA 26.7-27.4 7.2-7.6 8.1-8.3

KTPFKS 26.3-27.7 7.2-7.4 8.2-8.3

KTPFKD 26.1-27.4 7-7.3 8.3-8.5

TTP 26.3-27.1 7-7.1 8.7-8.8

PIH 26.3-27.3 7.3-7.6 8.4-8.6

Pembahasan

Kultur Cacing Sutera

(20)

kotoran ayam. C/N juga mempengaruhi pertumbuhan bakteri yang menjadi makanan bagi cacing. Hubungan rasio C/N dengan mekanisme kerja bakteri yaitu bakteri memperoleh makanan melalui substrat karbon dan nitrogen dengan perbandingan tertentu sehingga jumlah bakteri dapat meningkat.

Menurut Darmawati (2013), apabila rasio C/N yang terlalu tinggi artinya pupuk organik cair ini masih mengandung fraksi-fraksi padat, jika rasio C/N terlalu rendah berarti kandungan nitrogen semakin tinggi sehingga akan menghasilkan amonia pada proses fermentasi sedangkan menurut Supadma dan Arthagama (2008) yang menyatakan limbah kotoran ayam menghasilkan rasio C/N yang paling rendah jadi semakin tinggi kadar N bahan dasar, maka semakin mudah mengalami tingkat dekomposisi, kadar N-total yang semakin tinggi. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, fermentasi kotoran ayam segar selama 10 hari menimbulkan bau yang tidak sedap hal ini berbeda dengan fermentasi kotoran sapi dan domba.

Adanya perbedaan jumlah populasi dan biomassa cacing sutera pada perlakuan fermentasi kotoran domba dan sapi akibat jumlah bahan organik yang dapat terkandung pada kotoran berbeda, dimana menurut Rahman (2012) pemakaian kotoran sapi fermentasi pada budidaya cacing sutera memiliki nilai C/N tertinggi dari pada fermentasi kotoran ayam dan puyuh, sedangkan Chamberlain dkk., (2001) pemakaian bahan berserat untuk pertumbuhan bakteri harus dihindari sebab bahan berserat relatif tidak dapat terdekomposisi dengan baik, sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Jika dibandingkan dengan domba maka nilai C/N sapi juga lebih tinggi karena jumlah konsumsi sapi akan bahan berserat jauh lebih banyak dibandingkan domba.

(21)

Tingkat kelangsungan hidup benih ikan botia yang diberi perlakuan pada saat pemeliharaan menunjukkan hasil yang sama yaitu tidak ada yang mengalami kematian, sehingga perlakuan pemberian pakan yakni kultur cacing sutera dengan pupuk kandang ayam, pupuk kandang sapi, pupuk kandang domba, dan cacing sutera tanpa pemberian perlakukan pupuk kandang dan pelet ikan hias tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kelangsungan hidup benih ikan botia. Tingkat kelangsungan hidup benih ikan botia mencapai nilai 100% pada setiap perlakuan juga menunjukan bahwa tidak ada pengaruh pada penebaran dan juga kualitas air pada saat pemeliharaan benih ikan botia selama 30 hari.

Menurut Effendie (1997), bahwa kelangsungan hidup ikan disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya padat tebar ikan yang terlalu tinggi. Padat tebar merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan dalam persaingan gerak, dan konsumsi oksigen. Kelangsungan hidup dapat digunakan sebagai parameter untuk mengetahui toleransi dan kemampuan hidup ikan dalam suatu populasi dengan melihat mortalitas ikan.

Laju Pertumbuhan Benih Ikan botia

(22)

cm dan terendah menunjukkan hasil sebesar 0.14 cm pada perlakukan pemberian pakan pelet ikan hias ikan terhadap benih ikan botia.

Benih ikan botia menunjukan respon terhadap pakan pelet ikan hias yang rendah dikarenakan benih ikan botia memerlukan adaptasi untuk dapat memakan pelet. Berbeda dengan cacing sutera yang diberikan menunjukkan respon benih ikan botia yang tinggi yang menyatakan benih ikan botia lebih dominan mengkonsumsi pakan alami (cacing sutera) yang merangsang benih ikan botia melalui gerakan daripada pakan buatan (pelet) dikarenakan jumlah kandungan protein pada pakan alami (cacing sutera) lebih tinggi dari pakan buatan. Berdasarkan komposisi pelet ikan hias yang digunakan pada saat penelitian terdiri dari kandungan protein 48% dan lemak 6%, sedangkan cacing sutera memiliki kandungan protein sebesar 57% dan kadar lemak 13%. Menurut Jauncey (1982) diacu oleh Nofyan (2005), kualitas pakan sangat mempengaruhi laju pertumbuhan organisme, terutama besarnya kadar protein didalam pakan tersebut. Protein merupakan bagian yang terbesar dari daging ikan.

Menurut Ekavianti (2004), bahwa ikan botia merupakan ikan karnivora yang membutuhkan kadar protein yang lebih tinggi, dan ikan botia lebih menyukai pakan alami cacing sutera dibandingkan pelet buatan dikarenakan kadar protein cacing sutera lebih tinggi dari pada pakan buatan. Respon rendah benih ikan botia terhadap pelet ikan hias dari pada cacing sutera mengakibatkan pertumbuhan panjang mutlak terendah pada saat pemeliharaan benih ikan botia selama 30 hari pemeliharaan.

(23)

bobot ikan dimana bobot mutlak (W) dengan nilai tertinggi pada perlakuan pemberian cacing sutera yang dikultur dengan pupuk kandang domba yaitu sebesar 0.91 g, dan terendah pada perlakuan pemberian pakan pelet ikan hias yaitu sebesar 0.09 g.

Pada penelitian ini pemberian pakan terhadap benih ikan botia diberikan secara ad libitum dimana ikan tidak memiliki frekuensi pemberian pakan. Pemberian pakan

diberikan sekali sehari pada puku 08:00 WIB. Dimana mempengaruhi pada perlakuan pemberian pakan berupa pelet. Menurut Ekavianti (2004), kelemahan dari pakan buatan adalah bila terlalu lama berada di air akan larut dan menyebabkan air menjadi keruh. Sisa pakan akan menghasilkan amoniak, terutama dari pakan dengan kandungan protein tinggi, yang akhirnya menyebabkan kualitas air menurun. Ini jelas mempengaruhi laju pertumbuhan harian dan bobot dari benih ikan botia meninjau kelemahan dari pelet ikan hias yakni cepat hancur (amoniak), sehingga ketika lambung benih ikan botia kosong makanan tidak tersedia.

Berdasarkan uji statistik, bahwa nilai tertinggi pada perlakukan pemberian pakan cacing sutera yang diberi pupuk kandang domba berbeda nyata terhadap pertumbuhan panjang dan bobot benih ikan botia, tapi tidak signifikan terhadap perlakuan yang diberikan pada cacing yaitu pupuk kandang yang berbeda (ayam, sapi dan domba) terhadap pertumbuhan panjang dan bobot benih ikan botia. Sedangkan perlakuan pemberian pakan pelet ikan hias menunjukkan berbeda nyata terhadap perlakuan kultur cacing sutera dengan pemberian pupuk kandang ayam, sapi dan domba.

(24)

pemberian pupuk secara langsung akan mempengaruhi bahan organik dalam media. Tingginya bahan organik dalam media akan meningkatkan jumlah bakteri dan partikel organik hasil dekomposisi oleh bakteri sehingga dapat meningkatkan jumlah bahan makanan pada media yang dapat mempengaruhi populasi dan biomassa cacing.

Kualitas Air

(25)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Hasil penelitian ini menunjukkan tingkat kelangsungan hidup benih ikan botia sebesar 100% pada setiap perlakukan. Dan hasil tertinggi diperoleh dari perlakuan pemberian pakan cacing sutera yang dikultur dengan menggunakan fermentasi kotoran domba (KTPFKD) terhadap pertambahan panjang mutlak (L) sebesar 1.02 cm, pertambahan bobot mutlak (W) sebesar 0,91 g, dan laju pertumbuhan harian (GR) sebesar 2.57%. Hasil terendah didominansi dari perlakuan pemberian pakan pelet ikan hias (PIH) terhadap pertambahan panjang mutlak (L) sebesar 0.14 cm, pertambahan bobot mutlak (W) sebesar 0.09 g, dan laju pertumbuhan harian (GR) sebesar 0.27%. Dan kualitas air termasuk optimal untuk pertumbuhan benih ikan botia pada setiap perlakuan yakni suhu 26.1-27.7 oC, pH 7-7.6, dan DO sebesar 8.1-8.8 ppm.

Saran

(26)

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Ikan Botia

(27)

(Sumatera), gecubang (Lampung), biju bana (Jambi), languli (Mahakam) (Suseno dan Subandiah, 2000).

Gambar 2. Ikan Botia (Chromobotia macracanthus)

Klasifikasi ikan botia adalah sebagai berikut (Kottelat, 2004) : Kingdom : Animalia

Filum : Chordata Sub Filum : Vertebrata Kelas : Pisces

Ordo : Cypriniformes Famili : Cobitidae Genus : Chromobotia

Spesies : Chromobotia macracanthus

(28)

akan keluar apabila merasa ada bahaya. Sirip dada dan sirip perut berpasangan, sirip punggung tunggal dan sirip ekor bercagak dalam.

Warna ikan kuning cerah dengan tiga garis lebar atau pita hitam lebar. Pita pertama melingkari kepala melewati mata, yang kedua dibagian depan sirip punggung dan yang ketiga memotong sirip punggung bagian belakang sampai ke pangkal ekor. Sirip berwarna merah oranye kecuali sirip punggung yang terpotong garis hitam (Satyani dkk., 2006).

Ukuran ikan botia di alam dapat mencapai 30 cm, tetapi jika dipelihara di akuarium ukurannya hanya mencapai 15-20 cm, bahkan pernah ditemukan mencapai ukuran 40 cm (Suseno dan Subandiah, 2000). Menurut Kamal (1992) ikan botia yang tertangkap di Sungai Batang Hari ukuran panjang totalnya mencapai 30,5 cm.

Ekologi dan Makanan Ikan Botia

Distribusi ikan botia hanya terdapat di Sumatera (DAS Batanghari-Jambi dan DAS Musi-Sumatera Selatan) dan di Kalimantan (DAS Kapuas-Kalimantan Barat,

Kalimantan Tengah dan Daerah Aliran Sungai Barito-Kalimantan Selatan) (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2006). Di Sumatera ikan botia menyebar di Sungai

Tulang Bawang (Lampung), Teluk Betung, Sungai Pangabuang, Sungai Musi dan sekitarnya, Sungai Kwanten, Sungai Batang Hari dan Danau Maninjau. Penyebaran ikan botia di Kalimantan yaitu di Sungai Barito, Sungai Kahayan, Sungai Kapuas, Sungai Bongan dan Sungai Mahakam (Weber dan Beaufort, 1916 diacu oleh Kamal, 1992; Suseno dan Subandiah, 2000).

(29)

merupakan habitat ikan botia (Satyani, dkk., 2006). Di alam, ikan botia banyak ditemukan mulai dari hulu sampai ke muara, serta berkumpul di dasar perairan tenang (tidak berarus deras) karena ikan ini cenderung bergerombol atau bersifat schooling.

Menurut Satyani dkk., (2006), anak-anak ikan botia hidup di daerah yang berarus lemah, substrat berupa lumpur dan kekeruhan tinggi dengan kedalaman 5-10 m. Sementara induknya berada di daerah berarus kuat (hulu) yang jernih, substrat berpasir dan berbatu dengan kedalaman maksimum adalah sekitar 2 m. Ikan botia merupakan ikan peruaya yaitu beruaya dari habitat asuhan (hilir) ke habitat induk (hulu). Ruaya mulai dilakukan seiring dengan adanya perubahan kualitas air, pada saat benih ikan berukuran panjang >2 cm. Ruaya mulai dilakukan pada pertengahan musim penghujan yaitu sekitar bulan Januari jika musim penghujan dimulai pada bulan Oktober (Nurdawati dkk., 2006). Di akuarium, ikan ini sangat menyukai tempat berlindung (shelter) dan intensitas cahaya yang rendah di dasar perairan (Sterba 1969 diacu oleh Sari, 2003).

Ikan botia tergolong ikan omnivor yang cenderung karnivor (Samuel dkk., 1994) dan pemakan dasar (Kamal, 1992), menyukai hewan-hewan kecil seperti Tubifex sp., larva serangga, Daphnia sp., jentik nyamuk dan sisa-sisa makanan. Ikan botia makan pada siang atau malam hari dan dalam mencari makanannya dibantu oleh alat peraba berupa sungut sebanyak empat pasang (Saanin, 1968).

Pakan Alami dan Pakan Buatan

Pakan Alami

(30)

organisme hidup yang menghuni suatu perairan, baik berupa tumbuhan maupun hewan dan dapat dikonsumsi oleh ikan. Jenis-jenis pakan alami yang dimakan oleh ikan sangat bermacam-macam tergantung pada jenis ikan dan tingkat umurnya. Pada saat benih ikan mulai belajar mencari makan dari luar, makanan yang pertama-tama mereka makan adalah plankton yang ukurannya sesuai dengan bukaan mulut benih (Djariah, 1995).

Pakan alami merupakan pakan awal dan utama bagi benih ikan karena memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap. Kandungan gizi yang terdapat dalam pakan alami antara lain protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Nilai kandungan gizi yang cukup tinggi dan baik dalam pakan alami sangat diperlukan oleh benih ikan pada masa kritis untuk hidup dan tumbuh dari fase benih ke fase selanjutnya. Pakan alami yang diberikan kepada benih ikan harus memenuhi syarat antara lain berukuran lebih kecil dari diameter bukaan mulut benih ikan, mengandung kandungan nutrisi tinggi, mudah dicerna dengan baik, dan memiliki warna yang mencolok, dapat bergerak dan terapung atau tersuspensi dalam air sehingga dapat merangsang benih ikan untuk memakannya (Djariah, 1995).

Pakan Buatan (Pakan Komersil)

(31)

itu sendiri, yaitu dapat meningkatkan padat produksi melalui padat penebaran tinggi dengan waktu pemeliharaan yang pendek, dapat memanfaatkan limbah industri pertanian yang berupa sisa-sisa buangan dan rasa pakan buatan dapat kita atur sesuai dengan selera serta kebutuhan yaitu dengan mengatur susunan formulasinya.

Pakan buatan yang diberikan harus mengandung zat gizi yang dibutuhkan ikan untuk menghasilkan energi dan menjaga keseimbangan asupan dalam tubuh. Untuk menghasilkan energi, ikan membutuhkan asupan protein, lemak dan karbohidrat. Untuk menjaga keseimbangan asupan dalam tubuh, ikan membutuhkan vitamin dan mineral (Hoar dkk., 1979).

Biologi Cacing Sutra

(32)

Gambar 3. Cacing Sutera

Menurut Muller (1774), Tubifex sp. dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Filum : Annelida

Kelas : Clitellata Ordo : Oligochaeta Famili : Tubificidae Genus : Tubifex Species : Tubifex sp.

Tubifex sp. merupakan jenis cacing air tawar yang sangat disukai oleh benih-benih ikan. Cacing berwarna merah, karena mengandung erythrocruorin yang larut dalam darah. Pada umumnya cacing ini mengandung asam-asam amino yang cukup lengkap dan biasanya diberikan sebagai makanan ikan hias, pakan alami ini diberikan umumnya untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan laju pertumbuhannya (Scheurman, 1990 diacu oleh Febrianti, 2004).

(33)

tubuh tipis, agak transparan. Sedangkan megadrile merupakan spesies darat, dinding tubuh tebal, umumnya panjang antara 5-30 cm (Suwingnyo dkk., 2005).

Menurut Muliasari (1993), famili Tubificidae memiliki siklus hidup yang relatif pendek, yaitu 42-50 hari dan memiliki fekunditas sebesar 92-340 butir, bertoleransi pada kadar oksigen yang rendah dan mudah berkembang dalam substrat dari sampah-sampah organik yang terbuang, serta dapat bertahan pada keadaan anaerob hingga 48 hari pada suhu 0oC – 20C dan semakin besar temperaturnya semakin kecil kelangsungan hidupnya.

Ekologi dan Makanan Cacing Sutera

Tubifex sp. hidup diperairan tawar jernih sedikit mengalir dengan dasar

mengandung banyak bahan organik sehingga sering ditemukan pada sungai atau danau bersedimen halus. Kondisi dasar perairannya berpasir (41,4%), tanah halus (46%) dan lumpur (11,3%). Cacing dewasa ditemukan pada permukaan sedimen sampai kedalaman 4 cm, sedangkan juvenil ditemukan pada kedalaman hingga 2 cm. Cacing ini akan membenamkan bagian kepala pada dasar perairan sementara bagian ekor disembulkan dari dasar untuk melakukan pernapasan (Djarijah,1995).

(34)

Selain pada kedalaman rendah cacing sutera juga ditemukan pada bagian terdalam danau (Pennak, 1953).

Umumnya jenis oligochaeta yaitu cacing tanah dan tubifex, mendapatkan makanan dengan cara menelan substrat, dimana bahan organik yang melalui saluran pencernaan akan dicerna, kemudian tanh beserta sisa pencernaan dibuang melalui anus. Adakalanya makanan itu terdiri atas ganggang filamen, diatom dan detritus. Oligochaeta banyak tinggal pada lubang-lubang tanah atau didasar lumpur dan sampah tanaman pada aliran air tawar, empang dan danau. Kebanyakan oligochaeta ditemukan pada bahan-bahan organik dan perairan dengan polusi tinggi. Karena pada umumnya oligochaeta dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi oksigen rendah (Wilmoth, 1967).

Tubificid seringkali dihubungkan dengan lingkungan yang tercemar. Jenis cacing tubificid yang dapat berkembang dengan subur pada kondisi tercemar dari cacing Tubifex tubifex dan Limnodrillus hoffmeisteri dengan jumlah kurang lebih sama (Yuherman, 1987). Keberhasilan cacing tubificidae hidup pada lingkungan yang tercemar organik berat adalah karena kemampuannya untuk melakukan respirasi pada tekanan oksigen yang sangat rendah. Laju respirasi Tubifex tubifex hampir tidak terpengaruh pada kadar oksigen terlarut serendah 20% dari kejenuhan udara (Palmer, 1968).

Kultur Cacing Sutera

(35)

pada bahan-bahan organik dan perairan dengan polusi tinggi. Karena pada umumnya cacing Tubifex sp. dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi oksigen rendah (Wilmoth, 1967). Kultur cacing sutera pada dewasa ini sudah mulai mendapat perhatian yang perkembangan budidaya cacing ini mulai dari menggunakan ember dengan bantuan tambahan penyuplai oksigen dengan menggunakan aerasi hingga mengggunakan lahan yang terdapat di alam sebagai wadah kultur (sistem terbuka) dan beberapa peneliti pernah menggunakan sistem resirkulasi dan membuat design wadah sendiri.

Penelitian Febrianti (2004), yang mengkaji tentang pengaruh pemupukan harian dengan kotoran ayam terhadap pertumbuhan populasi dan biomassa cacing sutera dengan padat tebar awal 150 individu/wadah dimana ukuran wadah yang dipakai 80 x 20 x 15 cm dan diperoleh hasil tertinggi pada dosis pupuk 1 kg/m2/hari dengan jumlah populasi 213.415 individu/m2 dan biomassa sebesar 292 g/m2 pada masa pemeliharaan 40 hari.

Sedangkan Febriyani (2012), meneliti juga mengenai Tubifex sp. dimana mengkaji tentang padat penebaran yang berbeda dengan sistem terbuka dengan wadah kultur 100 x 25 x 20 cm. Memperoleh hasil tertinggi dengan padat penebaran 4.600 individu/m2 dengan populasi 447.904 individu/m2 dan biomassa sebesar 2.239,52 g/m2 pada masa pemeliharaan 40 hari. Dengan laju pertumbuhan biomassa didapati sebesar 55,41 g/m2/hari dengan kondisi dosis pemberian pupuk sebesar 1 kg/m2/hari.

Pengaruh Pemupukan

(36)

yang berbeda baik frekuensi maupun jumlah setiap pemberian pupuk secara langsung akan mempengaruhi bahan organik dalam media. Tingginya bahan organik dalam media akan menyebabkan jumlah bakteri dan partikel organik hasil dekomposisi oleh bakteri sehingga dapat meningkatkan jumlah bahan makan pada media yang dapat mempengaruhi populasi dan biomassa cacing (Syarip, 1988).

Teknologi fermentasi juga dapat digunakan sebagai cara untuk meningkatkan produktivitas cacing sutera. Penggunaan pupuk yang difermentasi memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pupuk kandang yangtidak difermentasi. Hal ini dapat dilihat dengan membandingkan hasil penelitian Fadillah (2004) yang menggunakan pupuk kotoran ayam yang difermentasi dengan Febriyanti (2004) yang menggunakan pupuk kotoran ayam kering tanpa difermentasi. Pada penelitian Fadillah (2004) diperoleh hasil hasil terbaik sebesar 1.720 g/m2, sedangkan Febriyanti (2004) memperoleh hasil terbaik 292 g/m2. Pupuk yang dapat digunakan untuk budidaya cacing sutra bermacam- macam, Findy menggunakan kotoran sapi, sedangkan Fadillah (2004) dan Febriyanti (2004) menggunakan kotoran ayam. Selain kedua pupuk tersebut, dapat juga digunakan kotoran domba.

Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup

(37)

buangan metabolit. Apabila jumlah ikan melebihi batas kemampuan suatu wadah maka ikan akan kehilangan berat. Selain itu persaingan dalam hal makanan sangat penting karena kompetisi untuk memperoleh makanan lebih tinggi pada padat penebaran yang lebih tinggi dibandingkan padat penebaran yang lebih rendah. Oleh karena itu, pada padat penebaran lebih tinggi ukuran ikan lebih bervariasi sedangkan padat penebaran yang lebih rendah relatif seragam dan ukurannya lebih besar (Serdiati, 1988).

Sebagai data penunjang pertumbuhan diperlukan data kelangsungan hidup. Kelangsungan hidup adalah perbandingan jumlah organisme yang hidup pada akhir periode dengan jumlah organisme yang hidup pada awal periode (Effendie, 2004). Tingkat kelangsungan hidup dapat digunakan untuk mengetahui toleransi dan kemampuan ikan untuk hidup. Dalam usaha budidaya, faktor kematian yang mempengaruhi kelangsungan hidup larva atau benih. Mortalitas ikan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam tubuh ikan yang mempengaruhi mortalitas adalah perbedaan umur dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Faktor luar meliputi kondisi abiotik, kompetisi antar spesies, meningkatnya predator, parasit, kurang makanan, penanganan, penangkapan dan penambahan jumlah populasi ikan dalam ruang gerak yang sama. Kematian ikan dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adalah oleh kondisi abiotik, ketuaan, predator, parasit, penangkapan dan kekurangan makanan (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010).

(38)

yang optimal dan kelangsungan hidup yang maksimal. Tingkat kelangsungan hidup akan menentukan produksi yang diperoleh dan erat kaitannya dengan ukuran ikan yang dipelihara. Ikan yang lebih kecil akan rentan terhadap penyakit dan parasit. Kelangsungan hidup ikan disuatu perairan dipengaruhi oleh berbagai macam faktor diantaranya kepadatan dan kualitas air. Umumnya laju kelangsungan hidup benih lebih tinggi dibandingkan larva, karena benih lebih kuat (Effendi, 2004).

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai April tahun 2014, dan dilaksanakan di Unit Pelaksana Teknis Budidaya, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara.

Bahan dan Alat

Kultur Cacing Sutera

(39)

yang digunakan adalah papan, terpal/plastik hitam, pompa air, pipa paralon, saringan halus, tali plastik, ember, gayung plastik, sarung tangan, masker, gelas ukur, selang, timbangan dan pompa air.

Perlakuan dengan Ikan Botia

Bahan-bahan yang digunakan pada budidaya ikan botia antara lain benih ikan botia ukuran 3-4 cm, oxytetracyline (OTC) dan pelet ikan hias. Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah akuarium, aerator, pipa paralon, pompa air, kertas karton, plastik putih, saringan busa, selang sipon, dan mangkok.

Pengamatan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan pada saat pengamatan antara lain cacing sutera dan benih ikan botia. Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah kertas milimeter blok, timbangan analitik, pH-meter, DO-meter, termometer, penggaris, saringan kasar, kamera digital, buku catatan, dan alat tulis.

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan Kultur Cacing Sutera

Persiapan Wadah

(40)

tumpah dari wadah kultur cacing sutera akan ditampung dalam bak penampungan yang terbuat dari kotak kayu dengan alas terpal atau plastik dengan pompa untuk mengaliri air kembali kedalam bak tandon.

Persiapan Pupuk Organik Cair

Kotoran yang digunakan adalah kotoran ternak ayam, sapi, dan domba. Kotoran yang digunakan merupakan kotoran sekam. Kotoran ayam berasal dari peternakan ayam Kandang Baru (TAMORA), kotoran domba berasal dari jurusan peternakan Fakultas Pertanian USU, sedangkan kotoran lembu berasal dari kandang sapi masyarakat lokal daerah Simalingkar B, Medan Sumatera Utara. Kotoran sekam kemudian dibersihkan terlebih dahulu hingga menjadi bersih dari sampah, kemudian timbang dengan perbandingan 1:1 yaitu sebanyak 1 kg kotoran, diberi air sebanyak 1 liter. Kemudian diaduk sehingga kotoran tercampur merata dengan air, setelah diaduk merata kemudian dimasukkan kedalam ember dan ditutup selama 10 hari untuk proses fermentasi. Pupuk organik cair yang digunakan untuk pemupukan kultur cacing sutera sebanyak 2 liter pupuk per hari dengan pemberian sekali dalam sehari. Pembuatan pupuk organik cair masing-masing kotoran ternak dilakukan secara langsung sebanyak 20 kg pupuk dan dicampur dengan 20 liter air.

Kultur Cacing Sutera

(41)

dimana 100 g untuk 1 wadah kultur. Wadah kultur yang pertama diberi pupuk organik cair kotoran ayam, wadah kultur yang kedua diberi pupuk organik cair kotoran domba, dan wadah kultur yang ketiga diberi pupuk organik cair kotoran sapi. Cacing sutera yang sudah ditebar akan dipupuk dengan masing-masing 2 liter pupuk organik cair per hari dan dipupuk selama 50 hari pemeliharaan.

Persiapan Panen Cacing Sutera

Cacing sutera dipanen ketika sudah dikultur selama 20 hari pemeliharaan. Pemanenan cacing sutera dengan cara mengambil substrat dengan menggunakan ember kemudian dipisahkan antara cacing dan substrat dengan menggunakan saringan dan cacing sutera diambil dengan menggunakan tangan dan dipisahkan ke wadah pemanenan. Cacing yang telah dipanen kemudian dibersihkan dengan air mengalir sehingga diperoleh cacing yang siap menjadi pakan pada pemeliharaan benih ikan botia. Hal ini terus dilakukan hingga diperoleh jumlah cacing sutera yang diinginkan.

Persiapan Pemeliharaan Benih Ikan Botia

Persiapan Wadah Pemeliharaan

Wadah untuk penelitian benih ikan botia menggunakan 15 buah akuarium dengan ukuran 60 x 40 x 40 cm yang diisi air sebanyak 72 liter serta dilengkapi dengan aerator sebagai penyuplai oksigen.

Penebaran Ikan Botia

(42)

sampai di unit pelaksana teknis budidaya terlebih dahulu di aklimatisasi pada bak penampungan sementara dengan menggunakan aerasi tanpa penggunaan sistem resirkulasi dan diberi oxytetracyline (OTC) dengan dosis 0,01 mg/l dengan air yang telah diendapkan selama kurang lebih 3 hari dan aerasi berjalan 24 jam setiap harinya.

Perlakuan Pemberian Pakan

Dalam penelitian ini yang menjadi pakan benih ikan botia adalah cacing sutera yang tidak diberi pupuk, diberi berbagai jenis pupuk organik cair (kotoran ayam, sapi dan domba) dan pelet ikan hias. Pemberian pakan dilakukan sebanyak 1 kali sehari yaitu pada pukul 08.00 WIB dengan frekuensi pakan yang diberikan secara ad libitum atau sekenyang-sekenyangnya. Perlakuan pertama yang dilakukan ialah dengan menguji coba pemberian pakan dengan jumlah 0,1 g, 0,2 g, 0,4 g, 0,5 g, dan 1 g. Dan diamati jumlah makanan yang habis dan bersisa selama 8 jam, dan 1 g didapati sebagai hasil pakan yang dikonsumsi 10 ekor ikan botia dalam waktu 8 jam, sehingga diberikan jumlah pakan 3 g (menggunakan timbangan analitik) perhari dalam frekuensi 1 kali sehari.

Pengukuran Panjang dan Berat Ikan Botia

(43)

untuk kelangsungan hidup benih ikan dilakukan perhitungan ikan pada awal penelitian dan pada akhir penelitian terhadap keseluruhan jumlah ikan.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan, masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali ulangan, dimana dijelaskan sebagai berikut :

1. Kultur tubifex pemberian fermentasi kotoran ayam (KTPFKA) 2. Kultur tubifex pemberian fermentasi kotoran sapi (KTPFKS) 3. Kultur tubifex pemberian fermentasi kotoran domba (KTPFKD) 4. Tubifex tanpa perlakuan (TTP)

5. Pelet ikan hias (PIH)

Analisis Data

Data percobaan dianalisis dengan menggunakan Microsoft Excel dan hasil data percobaan ditabulasikan dengan ANOVA. Data tersebut akan dijelaskan secara deskriptif. Sedangkan model rancangan percobaan yang digunakan yaitu sebagai berikut :

Yij = μ + δi + εij (Steel dan Torrie, 1982)

Keterangan : Yij = Hasil Pengamatan μ = Nilai Tengah

(44)

Parameter Pengamatan

Tingkat Kelangsungan Hidup

Pertambahan bobot mutlak ikan dihitung dengan rumus (Goddard, 1996) :

SR (%) = Nt

No x 100 %

Keterangan :

SR = Tingkat kelangsungan hidup (%)

Nt = Jumlah ikan yang hidup pada akhir penelitian (ekor) No = Jumlah ikan yang hidup pada awal penelitian (ekor)

Pertambahan Panjang Mutlak

Pertambahan panjang mutlak ikan uji dihitung mengikuti rumus yang digunakan oleh Effendie (1997) :

∆L = Lt−Lo

Keterangan :

L = Pertambahan panjang mutlak (cm)

Lt = Panjang rata-rata individu pada waktu t (cm)

Lo = Panjang rata-rata individu pada awal penelitian (cm)

Pertambahan Bobot Mutlak

Pertambahan bobot mutlak ikan dihitung dengan mengikuti rumus Effendie (1997) :

∆t = Wt−Wo

Keterangan :

(45)

Wt = Berat rata-rata pada waktu ke t (g) Wo = Berat awal penebaran benih (g)

Laju Pertumbuhan Harian

Laju pertumbuhan harian ikan uji dihitung mengikuti rumus Effendie (1997) :

G = (LnWt−LnWo)

t x 100 %

Keterangan :

G = Laju Pertumbuhan Spesifik (%) Wt = Berat ikan pada akhir penelitian (g) Wo = Berat ikan pada awal penelitian (g) t = Waktu pemeliharaan (hari)

Kualitas Air

Pengamatan parameter kualitas air dilakukan setiap pagi hari sebelum pemberian pakan, dikecualikan pada oksigen terlarut yang di ambil setiap 10 hari sekali. Data kualitas air (Tabel 1.) adalah suhu air, DO, dan pH. Untuk menjaga kualitas air agar tetap terkontrol maka dilakukan penyiponan setiap 10 hari sebelum pemberian pakan pada pagi hari. Penyiponan dilakukan dengan cara mengurangi air sebanyak 100% dari tinggi volume air pada akuarium.

Tabel 1. Data Kualitas Air

Parameter Satuan Metode

Suhu oC Pembacaan Skala

Oksigen Terlarut Mg/l Pembacaan Skala

(46)

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Ikan Botia

(47)

(Sumatera), gecubang (Lampung), biju bana (Jambi), languli (Mahakam) (Suseno dan Subandiah, 2000).

Gambar 2. Ikan Botia (Chromobotia macracanthus)

Klasifikasi ikan botia adalah sebagai berikut (Kottelat, 2004) : Kingdom : Animalia

Filum : Chordata Sub Filum : Vertebrata Kelas : Pisces

Ordo : Cypriniformes Famili : Cobitidae Genus : Chromobotia

Spesies : Chromobotia macracanthus

(48)

akan keluar apabila merasa ada bahaya. Sirip dada dan sirip perut berpasangan, sirip punggung tunggal dan sirip ekor bercagak dalam.

Warna ikan kuning cerah dengan tiga garis lebar atau pita hitam lebar. Pita pertama melingkari kepala melewati mata, yang kedua dibagian depan sirip punggung dan yang ketiga memotong sirip punggung bagian belakang sampai ke pangkal ekor. Sirip berwarna merah oranye kecuali sirip punggung yang terpotong garis hitam (Satyani dkk., 2006).

Ukuran ikan botia di alam dapat mencapai 30 cm, tetapi jika dipelihara di akuarium ukurannya hanya mencapai 15-20 cm, bahkan pernah ditemukan mencapai ukuran 40 cm (Suseno dan Subandiah, 2000). Menurut Kamal (1992) ikan botia yang tertangkap di Sungai Batang Hari ukuran panjang totalnya mencapai 30,5 cm.

Ekologi dan Makanan Ikan Botia

Distribusi ikan botia hanya terdapat di Sumatera (DAS Batanghari-Jambi dan DAS Musi-Sumatera Selatan) dan di Kalimantan (DAS Kapuas-Kalimantan Barat,

Kalimantan Tengah dan Daerah Aliran Sungai Barito-Kalimantan Selatan) (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2006). Di Sumatera ikan botia menyebar di Sungai

Tulang Bawang (Lampung), Teluk Betung, Sungai Pangabuang, Sungai Musi dan sekitarnya, Sungai Kwanten, Sungai Batang Hari dan Danau Maninjau. Penyebaran ikan botia di Kalimantan yaitu di Sungai Barito, Sungai Kahayan, Sungai Kapuas, Sungai Bongan dan Sungai Mahakam (Weber dan Beaufort, 1916 diacu oleh Kamal, 1992; Suseno dan Subandiah, 2000).

(49)

merupakan habitat ikan botia (Satyani, dkk., 2006). Di alam, ikan botia banyak ditemukan mulai dari hulu sampai ke muara, serta berkumpul di dasar perairan tenang (tidak berarus deras) karena ikan ini cenderung bergerombol atau bersifat schooling.

Menurut Satyani dkk., (2006), anak-anak ikan botia hidup di daerah yang berarus lemah, substrat berupa lumpur dan kekeruhan tinggi dengan kedalaman 5-10 m. Sementara induknya berada di daerah berarus kuat (hulu) yang jernih, substrat berpasir dan berbatu dengan kedalaman maksimum adalah sekitar 2 m. Ikan botia merupakan ikan peruaya yaitu beruaya dari habitat asuhan (hilir) ke habitat induk (hulu). Ruaya mulai dilakukan seiring dengan adanya perubahan kualitas air, pada saat benih ikan berukuran panjang >2 cm. Ruaya mulai dilakukan pada pertengahan musim penghujan yaitu sekitar bulan Januari jika musim penghujan dimulai pada bulan Oktober (Nurdawati dkk., 2006). Di akuarium, ikan ini sangat menyukai tempat berlindung (shelter) dan intensitas cahaya yang rendah di dasar perairan (Sterba 1969 diacu oleh Sari, 2003).

Ikan botia tergolong ikan omnivor yang cenderung karnivor (Samuel dkk., 1994) dan pemakan dasar (Kamal, 1992), menyukai hewan-hewan kecil seperti Tubifex sp., larva serangga, Daphnia sp., jentik nyamuk dan sisa-sisa makanan. Ikan botia makan pada siang atau malam hari dan dalam mencari makanannya dibantu oleh alat peraba berupa sungut sebanyak empat pasang (Saanin, 1968).

Pakan Alami dan Pakan Buatan

Pakan Alami

(50)

organisme hidup yang menghuni suatu perairan, baik berupa tumbuhan maupun hewan dan dapat dikonsumsi oleh ikan. Jenis-jenis pakan alami yang dimakan oleh ikan sangat bermacam-macam tergantung pada jenis ikan dan tingkat umurnya. Pada saat benih ikan mulai belajar mencari makan dari luar, makanan yang pertama-tama mereka makan adalah plankton yang ukurannya sesuai dengan bukaan mulut benih (Djariah, 1995).

Pakan alami merupakan pakan awal dan utama bagi benih ikan karena memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap. Kandungan gizi yang terdapat dalam pakan alami antara lain protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Nilai kandungan gizi yang cukup tinggi dan baik dalam pakan alami sangat diperlukan oleh benih ikan pada masa kritis untuk hidup dan tumbuh dari fase benih ke fase selanjutnya. Pakan alami yang diberikan kepada benih ikan harus memenuhi syarat antara lain berukuran lebih kecil dari diameter bukaan mulut benih ikan, mengandung kandungan nutrisi tinggi, mudah dicerna dengan baik, dan memiliki warna yang mencolok, dapat bergerak dan terapung atau tersuspensi dalam air sehingga dapat merangsang benih ikan untuk memakannya (Djariah, 1995).

Pakan Buatan (Pakan Komersil)

(51)

itu sendiri, yaitu dapat meningkatkan padat produksi melalui padat penebaran tinggi dengan waktu pemeliharaan yang pendek, dapat memanfaatkan limbah industri pertanian yang berupa sisa-sisa buangan dan rasa pakan buatan dapat kita atur sesuai dengan selera serta kebutuhan yaitu dengan mengatur susunan formulasinya.

Pakan buatan yang diberikan harus mengandung zat gizi yang dibutuhkan ikan untuk menghasilkan energi dan menjaga keseimbangan asupan dalam tubuh. Untuk menghasilkan energi, ikan membutuhkan asupan protein, lemak dan karbohidrat. Untuk menjaga keseimbangan asupan dalam tubuh, ikan membutuhkan vitamin dan mineral (Hoar dkk., 1979).

Biologi Cacing Sutra

(52)

Gambar 3. Cacing Sutera

Menurut Muller (1774), Tubifex sp. dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Filum : Annelida

Kelas : Clitellata Ordo : Oligochaeta Famili : Tubificidae Genus : Tubifex Species : Tubifex sp.

Tubifex sp. merupakan jenis cacing air tawar yang sangat disukai oleh benih-benih ikan. Cacing berwarna merah, karena mengandung erythrocruorin yang larut dalam darah. Pada umumnya cacing ini mengandung asam-asam amino yang cukup lengkap dan biasanya diberikan sebagai makanan ikan hias, pakan alami ini diberikan umumnya untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan laju pertumbuhannya (Scheurman, 1990 diacu oleh Febrianti, 2004).

(53)

tubuh tipis, agak transparan. Sedangkan megadrile merupakan spesies darat, dinding tubuh tebal, umumnya panjang antara 5-30 cm (Suwingnyo dkk., 2005).

Menurut Muliasari (1993), famili Tubificidae memiliki siklus hidup yang relatif pendek, yaitu 42-50 hari dan memiliki fekunditas sebesar 92-340 butir, bertoleransi pada kadar oksigen yang rendah dan mudah berkembang dalam substrat dari sampah-sampah organik yang terbuang, serta dapat bertahan pada keadaan anaerob hingga 48 hari pada suhu 0oC – 20C dan semakin besar temperaturnya semakin kecil kelangsungan hidupnya.

Ekologi dan Makanan Cacing Sutera

Tubifex sp. hidup diperairan tawar jernih sedikit mengalir dengan dasar

mengandung banyak bahan organik sehingga sering ditemukan pada sungai atau danau bersedimen halus. Kondisi dasar perairannya berpasir (41,4%), tanah halus (46%) dan lumpur (11,3%). Cacing dewasa ditemukan pada permukaan sedimen sampai kedalaman 4 cm, sedangkan juvenil ditemukan pada kedalaman hingga 2 cm. Cacing ini akan membenamkan bagian kepala pada dasar perairan sementara bagian ekor disembulkan dari dasar untuk melakukan pernapasan (Djarijah,1995).

(54)

Selain pada kedalaman rendah cacing sutera juga ditemukan pada bagian terdalam danau (Pennak, 1953).

Umumnya jenis oligochaeta yaitu cacing tanah dan tubifex, mendapatkan makanan dengan cara menelan substrat, dimana bahan organik yang melalui saluran pencernaan akan dicerna, kemudian tanh beserta sisa pencernaan dibuang melalui anus. Adakalanya makanan itu terdiri atas ganggang filamen, diatom dan detritus. Oligochaeta banyak tinggal pada lubang-lubang tanah atau didasar lumpur dan sampah tanaman pada aliran air tawar, empang dan danau. Kebanyakan oligochaeta ditemukan pada bahan-bahan organik dan perairan dengan polusi tinggi. Karena pada umumnya oligochaeta dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi oksigen rendah (Wilmoth, 1967).

Tubificid seringkali dihubungkan dengan lingkungan yang tercemar. Jenis cacing tubificid yang dapat berkembang dengan subur pada kondisi tercemar dari cacing Tubifex tubifex dan Limnodrillus hoffmeisteri dengan jumlah kurang lebih sama (Yuherman, 1987). Keberhasilan cacing tubificidae hidup pada lingkungan yang tercemar organik berat adalah karena kemampuannya untuk melakukan respirasi pada tekanan oksigen yang sangat rendah. Laju respirasi Tubifex tubifex hampir tidak terpengaruh pada kadar oksigen terlarut serendah 20% dari kejenuhan udara (Palmer, 1968).

Kultur Cacing Sutera

(55)

pada bahan-bahan organik dan perairan dengan polusi tinggi. Karena pada umumnya cacing Tubifex sp. dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi oksigen rendah (Wilmoth, 1967). Kultur cacing sutera pada dewasa ini sudah mulai mendapat perhatian yang perkembangan budidaya cacing ini mulai dari menggunakan ember dengan bantuan tambahan penyuplai oksigen dengan menggunakan aerasi hingga mengggunakan lahan yang terdapat di alam sebagai wadah kultur (sistem terbuka) dan beberapa peneliti pernah menggunakan sistem resirkulasi dan membuat design wadah sendiri.

Penelitian Febrianti (2004), yang mengkaji tentang pengaruh pemupukan harian dengan kotoran ayam terhadap pertumbuhan populasi dan biomassa cacing sutera dengan padat tebar awal 150 individu/wadah dimana ukuran wadah yang dipakai 80 x 20 x 15 cm dan diperoleh hasil tertinggi pada dosis pupuk 1 kg/m2/hari dengan jumlah populasi 213.415 individu/m2 dan biomassa sebesar 292 g/m2 pada masa pemeliharaan 40 hari.

Sedangkan Febriyani (2012), meneliti juga mengenai Tubifex sp. dimana mengkaji tentang padat penebaran yang berbeda dengan sistem terbuka dengan wadah kultur 100 x 25 x 20 cm. Memperoleh hasil tertinggi dengan padat penebaran 4.600 individu/m2 dengan populasi 447.904 individu/m2 dan biomassa sebesar 2.239,52 g/m2 pada masa pemeliharaan 40 hari. Dengan laju pertumbuhan biomassa didapati sebesar 55,41 g/m2/hari dengan kondisi dosis pemberian pupuk sebesar 1 kg/m2/hari.

Pengaruh Pemupukan

(56)

yang berbeda baik frekuensi maupun jumlah setiap pemberian pupuk secara langsung akan mempengaruhi bahan organik dalam media. Tingginya bahan organik dalam media akan menyebabkan jumlah bakteri dan partikel organik hasil dekomposisi oleh bakteri sehingga dapat meningkatkan jumlah bahan makan pada media yang dapat mempengaruhi populasi dan biomassa cacing (Syarip, 1988).

Teknologi fermentasi juga dapat digunakan sebagai cara untuk meningkatkan produktivitas cacing sutera. Penggunaan pupuk yang difermentasi memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pupuk kandang yangtidak difermentasi. Hal ini dapat dilihat dengan membandingkan hasil penelitian Fadillah (2004) yang menggunakan pupuk kotoran ayam yang difermentasi dengan Febriyanti (2004) yang menggunakan pupuk kotoran ayam kering tanpa difermentasi. Pada penelitian Fadillah (2004) diperoleh hasil hasil terbaik sebesar 1.720 g/m2, sedangkan Febriyanti (2004) memperoleh hasil terbaik 292 g/m2. Pupuk yang dapat digunakan untuk budidaya cacing sutra bermacam- macam, Findy menggunakan kotoran sapi, sedangkan Fadillah (2004) dan Febriyanti (2004) menggunakan kotoran ayam. Selain kedua pupuk tersebut, dapat juga digunakan kotoran domba.

Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup

(57)

buangan metabolit. Apabila jumlah ikan melebihi batas kemampuan suatu wadah maka ikan akan kehilangan berat. Selain itu persaingan dalam hal makanan sangat penting karena kompetisi untuk memperoleh makanan lebih tinggi pada padat penebaran yang lebih tinggi dibandingkan padat penebaran yang lebih rendah. Oleh karena itu, pada padat penebaran lebih tinggi ukuran ikan lebih bervariasi sedangkan padat penebaran yang lebih rendah relatif seragam dan ukurannya lebih besar (Serdiati, 1988).

Sebagai data penunjang pertumbuhan diperlukan data kelangsungan hidup. Kelangsungan hidup adalah perbandingan jumlah organisme yang hidup pada akhir periode dengan jumlah organisme yang hidup pada awal periode (Effendie, 2004). Tingkat kelangsungan hidup dapat digunakan untuk mengetahui toleransi dan kemampuan ikan untuk hidup. Dalam usaha budidaya, faktor kematian yang mempengaruhi kelangsungan hidup larva atau benih. Mortalitas ikan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam tubuh ikan yang mempengaruhi mortalitas adalah perbedaan umur dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Faktor luar meliputi kondisi abiotik, kompetisi antar spesies, meningkatnya predator, parasit, kurang makanan, penanganan, penangkapan dan penambahan jumlah populasi ikan dalam ruang gerak yang sama. Kematian ikan dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adalah oleh kondisi abiotik, ketuaan, predator, parasit, penangkapan dan kekurangan makanan (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010).

(58)

yang optimal dan kelangsungan hidup yang maksimal. Tingkat kelangsungan hidup akan menentukan produksi yang diperoleh dan erat kaitannya dengan ukuran ikan yang dipelihara. Ikan yang lebih kecil akan rentan terhadap penyakit dan parasit. Kelangsungan hidup ikan disuatu perairan dipengaruhi oleh berbagai macam faktor diantaranya kepadatan dan kualitas air. Umumnya laju kelangsungan hidup benih lebih tinggi dibandingkan larva, karena benih lebih kuat (Effendi, 2004).

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai April tahun 2014, dan dilaksanakan di Unit Pelaksana Teknis Budidaya, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara.

Bahan dan Alat

Kultur Cacing Sutera

(59)

LAJU PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP BENIH

IKAN BOTIA (Chromobotia macracanthus) DENGAN PEMBERIAN

PAKAN CACING SUTERA (Tubifex sp.) YANG DIKULTUR

DENGAN BEBERAPA JENIS PUPUK KANDANG

ROMI PINDONTA TARIGAN

090302015

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERTANIAN

(60)

LAJU PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP BENIH

IKAN BOTIA (Chromobotia macracanthus) DENGAN PEMBERIAN

PAKAN CACING SUTERA (Tubifex sp.) YANG DIKULTUR

DENGAN BEBERAPA JENIS PUPUK KANDANG

SKRIPSI

ROMI PINDONTA TARIGAN

090302015

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERTANIAN

(61)

LAJU PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP BENIH

IKAN BOTIA (Chromobotia macracanthus) DENGAN PEMBERIAN

PAKAN CACING SUTERA (Tubifex sp.) YANG DIKULTUR

DENGAN BEBERAPA JENIS PUPUK KANDANG

SKRIPSI

ROMI PINDONTA TARIGAN

090302015

Skripsi sebagai satu diantara beberapa syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERTANIAN

(62)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Romi Pindonta Tarigan

NIM : 090302015

Menyatakan bahwa skrips yang berjudul “Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Botia (Chromobotia macracanthus) Dengan Pemberian Pakan

Cacing Sutera (Tubifex sp.) Yang Dikultur Dengan Beberapa Jenis Pupuk

Kandang” benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk

apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber dan data informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di akhir skripsi ini.

Medan, Juni 2014

(63)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Laju Pertumbuhan Benih Ikan Botia (Chromobotia

macracanthus) dengan Pemberian Pakan Cacing Sutera (Tubifex sp.) yang Dikultur dengan Beberapa Jenis Pupuk Kandang.

Nama : Romi Pindonta Tarigan

NIM : 090302015

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yunasfi, M.Si. Indra Lesmana, S.Pi, M.Si.

Ketua Anggota

Mengetahui

Dr. Ir. Yunasfi, M.Si.

(64)

ROMI PINDONTA TARIGAN, Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Botia (Chromobotia macracanthus) dengan Pemberian Pakan Cacing Sutera (Tubifex sp.) yang Dikultur dengan Beberapa Jenis Pupuk Kandang. Dibimbing oleh YUNASFI dan INDRA LESMANA.

Ikan botia (Chromobotia macracanthus) merupakan ikan hias air tawar yang yang memiliki nilai ekonomis penting karena memiliki daya jual yang cukup tinggi terutama di pasar ikan hias di Sumatera Utara. Pakan alami merupakan faktor pentin dalam budidaya ikan hias. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari pemberian pakan cacing sutera (Tubifex sp.) terhadap laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan botia. Kultur cacing sutera dilakukan dengan menggunakan kotak kayu dengan sistem resirkulasi dan pemeliharaan benih ikan botia dilakukan dengan akuarium volume 72 liter dalam ruangan tertutup.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dengan 3 kali ulangan, sebagai berikut; 1) Kultur tubifex pemberian fermentasi kotoran ayam (KTPFKA), 2) Kultur tubifex pemberian fermentasi kotoran sapi (KTPFKS), 3) Kultur tubifex pemberian fermentasi kotoran domba (KTPFKD), 4) Tubifex tanpa perlakuan (TTP), 5) Pelet ikan hias (PIH). Tingkat kelangsungan hidup sebesar 100 % pada masing-masing perlakuan. Pemberian pakan cacing sutera yang dikultur dengan fermentasi kotoran domba memberikan hasil terbaik terhadap panjang mutlak (L), bobot mutlak (W), dan laju pertumbuhan harian (GR), masing-masing 1.02 cm, 0.91 g, dan 2.57% selama 30 hari pemeliharaan.

Kata kunci : Botia, Pakan buatan, Tubifex.

(65)

Romi Pindonta Tarigan. Growth Performance and Survival Rate of Botia Larvae (Chromobotia macracanthus) with Feeding Tubifex worms (Tubifex sp.) in Cultured With Several Types of Manure. Under academic supervision YUNASFI, and INDRA LESMANA.

Botia (Chromobotia macracanthus) is a freshwater fish that are having economic value is important because it has high sale value, especially in the ornamental fish market in North Sumatra. Life food is an important factor in the cultivation of ornamental fish. The research was conducted to determine the effect of feeding Tubifex worms (Tubifex sp.) on the growth performance and survival rate of Botia larvae. Tubifex worm culture do by using a wooden box with a recirculation system and the maintenance of Botia larvae done with volume 72 liter aquarium in a closed room.

Experimental design using a completely randomized design with 5 treatments with 3 replications, as follows; 1) The Tubifex worms culture given chicken manure fermentation, 2) The Tubifex worms culture given cow manure fermentation, 3) The Tubifex worms culture given sheep dung fermentation, 4) Tubifex without treatment, 5) Pellet ornamental fish. The survival rate was 100 % in each treatments. Feeding the Tubifex worms are cultured with sheep dung fermentation gives the best results on the survival rate (SR), the absolute length (L), absolute weight (W), and daily growth rate (GR), respectively 1.02 cm, 0.91 g, and 2.57% for 30 days of maintenance.

Keywords: Artificial feed, Botia, Tubifex.

(66)

ROMI PINDONTA TARIGAN, dilahirkan di Medan pada tanggal 13 September 1991, dari Alm. Ayahanda Merhat Tarigan dan Ibu Pawen Br. Sitepu. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan di SD. Santo

Thomas 2 Medan tahun 2003, SMP. Santo Thomas 1 Medan tahun 2006, dan SMA. Santo Thomas 2 Medan pada

2009. Penulis diterima di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Lokal Penerimaan Mahasiswa Baru (SLPMB).

Selama masa perkuliahan penulis juga aktif dalam organisasi antara lain Ikatan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (IMMASPERA) sebagai koordinator bidang kewirausahaan, Ikatan Mahasiswa Karo (IMKA) Mbuah Page Fakultas Pertanian periode 2012-2014 sebagai ketua. Penulis melakukan magang di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Budidaya Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara pada bulan Juni tahun 2011. Penulis juga mengikuti Praktek Kerja Lapang (PKL) di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung pada bulan Mei tahun 2012.

Penulis melaksanakan penelitian skripsi berjudul “Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Botia (Chromobotia macracanthus) dengan Pemberian Pakan Cacing Sutera (Tubifex sp.) yang dikultur dengan Beberapa Jenis Pupuk Kandang”

(67)

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun judul skripsi ini adalah “Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Botia (Chromobotia macracanthus) dengan Pemberian Pakan Cacing Sutera (Tubifex sp.) yang dikultur dengan Beberapa Jenis Pupuk Kandang”. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan studi di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

(68)

Budidaya, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian serta seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang manajemen sumberdaya perairan.

Medan, Juni 2014

Romi Pindonta Tarigan

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK i

(69)
(70)
(71)

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian 6

(72)

3. Cacing Sutera 13

4. Wadah Kultur Cacing Sutera dengan Berbagai Jenis Pupuk Kandang 28

5. Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan Botia 29

6. Pertumbuhan Panjang Benih Ikan Botia 29

7. Panjang Rata-Rata Benih Ikan Botia 30

8. Pertumbuhan Bobot Benih Ikan Botia 30

9. Bobot Rata-Rata Benih Ikan Botia 31

10. Laju Pertumbuhan Harian Benih Ikan Botia 31

DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman 1. Data Kelangsungan Hidup Benih Ikan Botia 45

(73)

3. Data Bobot Rata-Rata (g) Benih Ikan Botia 47

4. Data dan ANOVA Pertumbuhan Panjang Mutlak Benih Ikan Botia 48

5. Data dan ANOVA Pertambahan Bobot Mutlak Benih Ikan Botia 49

6. Data dan ANOVA Laju Pertumbuhan Harian Benih Ikan Botia 50

7. Dokumentasi Penelitian 52

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gambar

Gambar 4. Wadah Kultur Cacing Sutera dengan Berbagai Jenis Pupuk Kandang
Gambar 6. Pertumbuhan Panjang Benih Ikan Botia
Gambar 8. Pertumbuhan Bobot Benih Ikan Botia
Tabel 2. Data Kualitas Air Wadah Pemeliharaan Benih Ikan Botia
+6

Referensi

Dokumen terkait

Agama mempengaruhi dan sistem nilai budaya faktor-faktor ekonomi dan sosial (Suseno 2001: 83). Disamping itu menurut beberapa penelitian, agama dinilai berpengaruh terhadap

Penyakit darah tinggi yang lebih dikenal dengan sebagai Hipertensi.. merupakan penyakit yang mendapat perhatian dari

Untuk mencari luas setengah lingkaran, carilah luas dari lingkaran penuh tersebut, lalu bagi dua hasilnya.. Jika yang diketahui hanyalah diameter lingkaran, bagi dua untuk

Peningkatan kemampuan cyber weapon yang dimiliki oleh kedua negara dapat memicu ketidakstabilan hubungan di antara kedua negara, yang sewaktu- waktu dapat memicu konflik yang

Banyak orang juga yang melihat bahwa pengaruh AIPAC atau kelompok kepentingan Yahudi di pemerintahan Amerika Serikat begitu besar sehingga bisa mempengaruhi

atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad mudhorobah atau akad lainnya yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Menyalurkan pembiayaan bagi

Hal ini selaras dengan hasil komparasi metode EDXRF dengan metode AAS yang memberikan kesesuaian hasil analisis, sehingga menunjukkan bahwa metode analisis

Dalam kesempatan lain terungkap pengakuan karyawan dari hasil wawancara pada tanggal 19 September 2007 pukul 12:25 - 15:35 dengan beberapa karyawan di perusahaan