28
Studi Kasus Nomor Putusan : 266 / Pdt.G / 2006 / PA. TNG
(
Pengadilan Agama Tangerang )
Abdul Majid
202044101185KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AL-AKHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
PUTUSNYA PERKAWINAN BERDASARKAN GUGATAN YANG
DIAKIBATKAN OLEH PELANGGARAN
TA’LIK TALAK
Studi Nomor Putusan :266 / Pdt. G / 2006 / PA. TNG
(Pengadilan Agama Tangerang)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh :
Abdul Majid
NIM : 202044101185
Dibawah bimbingan
Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA
NIP. 150 220 554
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AL- AKHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PUTUSNYA PERKAWINAN BERDASARKAN GUGATAN
YANG DIAKIBATKAN OLEH PELANGGARAN
TA’LIK TALAK (STUDI
KASUS
PADA
NOMOR
PUTUSAN:
266/PDT.G/2006/PA.TNG.
DI
PENGADILAN AGAMA TANGERANG) telah diujikan dalam Sidang Munaqasah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta pada 18 Maret 2009. skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal
Syakhshiyyah.
Jakarta, 18 maret 2009
Mengesahkan,
Dewan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof.DR.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN
1. Ketua
: Drs. Djawahir Hejazziey, SH, MA
(………)
130 789 745
2. Sekretaris
: Drs.H. Ahmad Yani
(………)
150 269 678
3. Pembimbing
: DR.H.A. Mukri Adji, MA
(………)
150 220 554
4. Penguji I
: Drs. Djawahir Hejazziey, SH, MA
(………)
130 789 745
5. Penguji II
: Drs.H. Ahmad Yani
(………)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Tangerang, 2 April 2009
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim.
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberi rahmat, hidayah serta pertolongan-Nya, bahwa penulis telah dapat menyelesaikan skripsi ini yang merupakan suatu persyaratan untuk menyelesaikan masa kuliah di Fakultas Syari’ah dan HukumUIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
sebagai Nabi terakhir yang membawa Syari’at Islam sampai akhir masa, dan telah membawa banyak kemaslahatan kepada seluruh umat manusia.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih banyak atas
segala bantuan, dorongan serta bimbingan yang diberikan pada penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
Untuk itu, patut kiranya Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya perlu
penulis sampaikan kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM selaku dekan Fakultas Syari’ah
dan Hukum.
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MH. Selaku ketua jurusan Akhwal Al-Syakhshiyah.
3. Bapak Kamarusdiana, SH, MH., selaku sekertaris jurusan yang dengan sibuk
mengurus ujian komprehensif dan ujian skripsi. Serta pembimbing ketika mengikuti
4. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA selaku pembimbing yang sudah meluangkan
waktunya untuk memberikan arahan dan pengajaran kepada saya sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan.
5. Kedua orang tua penulis beserta keluarga besar, yang memberikan semangat dan
dukungan baik moril maupun materil.
6. Semua teman-teman PA (Peradilan Agama) angkatan 2002, dan teman-teman
Pon-Pes Tahfidz Al-Qur’an, Al-Mu’awanah, yang telah memberikan dorongan, semangat
serta pemikiran-pemikiran yang memberikan banyak masukan dalam skripsi ini. Bil
khusus buat Khaerul Munawir S.P.d.i yang telah menemani dalam wawancara di
Pengadilan Agama, semua pengurus Perpustakaan Syari’ah, dan kepada anak-anak Kaum Kribo, PB Berdikari The DJAVU (Djakarta Vespa UIN). Terutama: Achmad
Muhajir SHI yang selalu memberikan doa dan semangat, Fikri, Robi, H. Fahad, Fitri,
Neneng, Firman (Bogel), Hafidz Ali, Ipud, Firman (Baros), De Rossi, Joko yang
selalu siap menemani disaat suntuk, Salim, Bayu N V-Men makasih atas jasa rental
B-COM, serta umat Nabi Muhammad yang tidak bisa kami sebutkan semuanya. Dan
mereka inilah yang selalu menemani dan membenarkan serta memberikan informasi
tentang penyelesaian skripsi kami.
7. Kepada siapa saja yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.
Seiring dengan itu, saya berdo’a semoga amal kebaikan mereka memperoleh ridha Allah SWT.
Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik
Harapan penulis, semoga karya yang sederhana ini ada manfaatnya bagi
instansi dan pihak-pihak yang memerlukannya. Hanya kepada Allah SWT, penulis
serahkan semoga jasa-jasa baik para Bapak, ibu dan saudara yang telah diberikan kepada
penulis mendapat imbalan yang berlipat ganda, Amin.
Tangerang, 2 April 2009
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………...……i
DAFTAR ISI ……….iv
BAB I. PENDAHULUAN ………. 1
A. Latar Belakang Masalah………. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………. 5
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian……….. 6
D. Metode Penelitian ………...……… 7
E. Sistimatika Penelitian………8
BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG GUGATAN DAN TA’LIK TALAK ………. 10
A. Pengertian Dan Dasar Gugatan ………..10
B. Syarat-syarat Dan Proses Memajukan Gugatan ……….16
C. Pengertian Ta’lik Talak ……….. 21
D. Fungsi Dan Tujuan Ta’lik Talak ……….…..23
BAB III. TUGAS DAN WEWENANG PENGADILAN AGAMA TANGERANG ……….27
A. Fungsi Pengadilan ………..27
B. Jenis Perkara Yang Menjadi Wewenang Pengadilan Agama .. 35
C. Jumlah Perkara Terdapat Di Pengadilan Agama Tangerang .. 38
D. Faktor-faktor Yang Menjadi Penyebab Terjadinya Pelanggaran Ta’lik Talak Yang Dilakukan Oleh Suami ………. 41 BAB IV. MASALAH GUGAT CERAI KARENA PELANGGARAN
A. ProsesGugatan Cerai Karena Pelanggaran Ta’lik Talak …… 47
B. Proses Pemeriksaan Gugatan Perceraian Karena Pelanggaran Ta’lik Talak Dan Kaitannya Dengan Pasal 19 PP. No.9 Tahun 1975 ………. 50
C. Putusnya Perkawinan Akibat Gugatan Perceraian Karena Pelanggaran Ta’lik Talak ………..61
BAB V PENUTUP ………... 71
A. Kesimpulan ……….. 71
B.Saran ………...………. 72
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Berdasarkan pengertian perkawinan tersebut maka akan timbul hak dan kewajiban dari seorang pria dan wanita
sebagai pasangan suami istri. Menurut agama Islam hak dan kewajiban suami istri
tercermin dalam kehidupan sehari-hari antara keduanya. Pergaulan tersebut merupakan
pergaulan yangma’ruf, sakinah, mawaddahdan saling menjaga rahasia masing-masing.2
Pada prinsipnya perkawinan mempunyai tujuan yang menurut Undang-undang
No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal,
masing-masing suami istri saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan
material.3
1
Undang-undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan di Indonesia pasal 1,Surabaya:
Arkola.
2
M. Idris Ramulyo,Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dari segi
Hukum Perkawinan Islam,Jakarta, Ind-Hill, 1990, h, 67.
3
Dari uraian di atas, maka menjadi jelas bagaimana posisi suami istri serta peran
yang dimiliki masing-masing. Oleh karena itu menjadi penting adanya perjanjian atau
jaminan yang bisa dibuat patokan agar perkawinan berjalan dengan baik. Perjanjian atau
jaminan telah di atur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 45 dan 46 yaitu
perjanjian ta’lik talak terlepas dari perbedaan peraturan yang terdapat dalam Undang -undang No. 1 tahun 1974 pasal 29 yang menyatakan bahwa ta’lik talak adalah suatu perjanjian kedua belah pihak.4
Akan tetapi upaya untuk tetap mempertahankan kebahagiaan rumah tangga
sering kali tidak berjalan dengan mulus tanpa adanya keributan, tidak jarang dalam suatu
kehidupan rumah tangga banyak mengalami hambatan-hambatan, sehingga sukar
mempertahankan keutuhannya. Dalam keadaan demikian biasanya mereka memilih
mengakhiri perkawinan dengan perceraian.
Berakhirnya perkawinan dengan perceraian di pengadilan dapat terjadi atas
kehendak dari salah satu pihak, baik dari istri atau suami. Dalam hal suami yang
berkehendak untuk cerai maka suamilah yang mengajukan permohonan izin talak ke
pengadilan, suami berkedudukan sebagai pemohon dan istri sebagai termohon. Apabila
perceraiannya itu atas kehendak istri, maka istri harus mengajukan gugatan cerai,
sehingga kedudukan istri sebagai Penggugat dan suami sebagai Tergugat.5
4
Ibid,h. 269.
5
Dalam hal suami mengajukan permohonan cerai maka harus disertai
alasan-alasan yang diperkenankan oleh Undang-undang yaitu alasan-alasan-alasan-alasan dalam Peraturan
Pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal 19, sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa seizin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu melakukan kekejaman atau penganiayan berat dan membahayakan kepada pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat anggota badan atau penyakit lain yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus menjadi perselisihan dan pertengkaran yang tidak ada harapan untuk damai, serta tidak ada harapan akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga.6
Disamping itu yang tercantum dalam pasal 16 huruf h Intruksi Presiden Nomor 1
tahun 1991, yaitu:
“Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga”.
Demikian pula dalam hal istri mengajukan gugatan cerai maka alasan-alasan
yang dapat dipergunakan adalah alasan-alasan seperti tercantum dalam pasal 19 huruf a
6
sampai dengan huruf f tersebut dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan
alasan-alasan dalam pasal 116 huruf g dan Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991, yaitu:
a. Suami melanggar ta’lik talak.
b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Adapun dalam hal suami melanggar ta’lik talak lebih diperinci lagi, adalah sebagai berikut :
Suami setelah akad nikah mengucapkan ikrar ta’lik talak :
Yaitu, sewaktu-waktu saya:
(1) Meninggalkan istri saya tersebut selama dua tahun berturut-turut.
(2) Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya.
(3) Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya.
(4) Atau saya membiarkan/tidak memperdulikan istri saya selama enam bulan lamanya.
“Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut dan istri saya membayar Rp. 10.000,- sebagai iwadl (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang iwadl (pengganti) itu dan kemudian memberikannya untuk keperluan ibadah sosial”.7
7
Dari kejadian-kejadian yang penulis temui ketika mengadakan riset pada
Pengadilan Agama Tangerang, penulis merasa tertarik untuk mengangkat masalah
tersebut sebagai tema skripsi penulis. Oleh karena itu penulis mengambil judul skripsi
tentang “Putusnya Perkawinan Berdasarkan Gugatan Perceraian yang di
Akibatkan Oleh Pelanggaran Ta’lik Talak (Di Pengadilan Agama Tangerang)”. Karena penulis ingin mengetahui lebih jauh tentang keadaan yang selama ini terjadi,
yaitu bahwa berdasarkan pengamatan ternyata gugatan cerai yang diajukan pihak istri
menempati posisi tertinggi dibandingkan dengan permohonan yang diajukan oleh pihak
suami. Permohonan cerai yang masuk ke Pengadilan Agama Tangerang lebih banyak
disebabkan karena adanya pelanggaran yang dilakukan suami terhadap hak-hak istri baik
yang termasuk pada sighat ta’lik talak maupun diluar itu.
Akan tetapi karena keterbatasan waktu dan tenaga, maka penulis hanya
membatasi pada masalah gugatan perceraian dikarenakan adanya pelanggaran sighat
ta’lik talak.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Seperti telah diuraikan di atas bahwa penulis membatasi judul skripsi ini hanya
akan membahas tentang putusnya perkawinan atas keputusan Pengadilan berdasarkan
gugatan perceraian karena pelanggaran ta’lik talak oleh suami.
Dalam hal ini perceraian diminta oleh pihak istri melalui gugatan yang diajukan
ke Pengadilan Agama dengan alasan pelanggaran ta’lik talak, dimana seorang istri merasa tidak terjamin dan disia-siakan oleh suaminya karena suaminya tidak
menjadi kacau, tidak harmonis, cek-cok terus menerus, bahkan mungkin terjadi
penganiayaan terhadap istri.
Dalam menghadapi gugatan cerai seperti tersebut di atas terkadang pengadilan
juga mendasarkan putusannya tidak semata-mata pada perbuatan pelanggaran ta’lik talak
oleh suami, tetapi juga mendasarkan pada ketentuan lainnya.
Dari latar belakang tersebut diatas maka hal-hal yang menjadi perumusan
masalah dalam skripsi ini adalah :
1. Perkara-perkara apa saja yang menjadi tugas dan kewenangan pengadilan agama?
2. Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya pelanggaran ta’lik talak oleh
suami?
3. Bagaimana proses Putusan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perceraian
berdasarkan pelanggaran ta’lik talak?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini, adalah sebagai berikut :
1. Untuk lebih memahami dalam mengenai ta’lik talak yang merupakan hak suami untuk memutuskan perkawinan jika haknya dilanggar oleh istri.
2. Untuk mengetahui seberapa jauh kekuatan sighat ta’lik talak terhadap sebuah perceraian.
3. Untuk memahami prosedur penyelesaian perkara perceraian di Pengadilan Agama
Tangerang.
1. Dengan penelitian ini diharapkan dapat diketahui apakah efesien mengajukan
perkara perceraian berdasarkan pelanggaran ta’lik talak.
2. Dengan penelitian ini diharapkan dapat diketahui alasan hakim memberikan putusan
dalam bentuk talak 1 (satu)ba’in sugro dengan surat putusan No :
266/Pdt.G/2006/PA.TNG.
3. Sebagai khasanah ilmu pengetahuan bagi mahasiswa hukum khususnya serta dapat
di jadikan landasan dalam pengembangan ilmu.
D. Metode Penelitian
Tehnik pengumpulan data yang ditempuh penulis dalam penelitian ini yaitu
melalui riset lapangan ke pengadilan agama di Tangerang dengan surat putusan No:
266/Pdt.G/2006/PA.TNG, serta menggunakan tinjauan pustaka (library research) dengan
menelaah buku-buku, kitab-kitab dan data lain yang ada relevansinya dengan masalah
yang dibahas.
Kemudian penelitian dengan membaca literatur dan meneliti secara sistematis
guna mendapatkan data-data yang jelas dari sumber-sumber yang telah ada, seperti
melakukan interview dengan pegawai-pegawai di pengadilan agama Tangerang, serta
melihat perbandingannya dengan buku-buku atau KUHPer, KHI dan sebagainya.
Adapun mengenai tehnik penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku
“pedoman penulisan skripsi, yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007”.
E. Sistimatika Penelitian
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini dan menganalisa masalah-masalah
BAB I : Terdiri dari pendahuluan yang meliputi uraian secara menyeluruh mengenai
pokok-pokok materi yang dibahas dan bagian-bagian uraian dalam bab ini
terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II :Membahas tinjauan umum tentang gugatan dan ta’lik talak yang berkenaan
dengan pengertian dan dasar gugatan, syarat dan proses mengajukan gugatan,
pengertian serta fungsi dan tujuan t’lik talak.
BAB III : Mengenai tugas dan wewenang pengadilan agama Tangerang, yang meliputi
fungsi pengadilan agama, jenis perkara yang menjadi wewenang pengadilan
agama, jumlah perkara yang terdapat di pengadilan agama Tangerang serta
faktor yang menjadi penyebab terjadinya pelanggaran ta’lik talak yang dilakukan suami di pengadilan agama Tangerang.
BAB IV : Berisi penjelasan mengenai perihal penyelesaian gugat cerai karena
pelanggaran ta’lik talak di pengadilan agama Tangerang, yang meliputi proses gugatan cerai karena pelanggaran ta’lik talak, proses pemeriksaan gugatan
perceraian karena pelanggaran ta’lik talak dan kaitannya dengan pasal 19 PP
No. 9 Tahun 1975, dan kesungguhan para pihak dalam proses penyelesaian
gugatan perceraian serta putusnya perkawinan akibat gugatan perceraian
karenapelanggaran ta’lik talak.
BAB V : Penutup, dalam bab ini penulis menyimpulkan pembahasan sebelumnya dan
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG GUGATAN DAN TA’LIK TALAK
Pengertian dan Dasar Gugatan
Pengertian gugatan dalam kamus umum bahasa Indonesia, berasal dari kata
dasar “gugat” artinya “goncangan”. Menggugat artinya menggoncangkan, mengadukan perkara kepada hakim“.1
Sedangkan menurut Prof. Subekti SH., dalam kamus hukumnya kata “gugatan” berasal dari kata dasar “gugat” dengan akhiran “an”, berarti penarikan kemuka
hakim/pengadilan untuk dimintakan penghukuman (perkara perdata).2
Kata gugatan atau dakwaan dalam bahasa arab asal dari kata yaitu
)
ﺎَﻋ
َد
ُﺪَﯾ
ﻮ ُﻋ
ًءﺎَﻋَد
-ىَﻮْﻋَد َو
(
artinya : mendakwa, memanggil dia, menyeru”.3Atau karena dalam hukum Islam kata
gugatan dikatakan da’wa, adalah karena “si muddai’ (penggugat) memanggil lawannya
1
Poerwardarminta,Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta PN: Balai Pustaka, 1976, Cet. Ke-1, h. 30.
2
Subekti,Kamus Hukum,Jakarta: Pradnya Paramita, 1982, h. 49.
3
(pihak tergugat), untuk mendatangi sidang buat menolak gugatan yang dihadapkan
kepadanya.4
Menurut istilah T. M. Hasbi Ashiddieqi gugatan atau dakwaan adalah:
“Pengaduan yang dapat diterima disisi hakim, yang dimaksudkan dia, menuntut suatu
hak pada pihak lain”.5 Yang mengadukan adalah si penggugat kepada hakim untuk menuntut haknya pada pihak tergugat karena si penggugat mempunyai hak untuk
menggugat, mempunyai pula untuk mencabut gugatannya. Dalam hal ini hakim tidak
dapat memutuskan si penggugat harus meneruskan gugatannya.6
Dalam prakteknya gugatan perceraian si penggugat menuntut tergugat, karena
perbuatan yang dilakukan oleh tergugat dalam kasus rumah tangganya.7
Dalam membahas dasar hukum ini penulis ingin membandingkan antara dasar
hukum gugatan menurut hukum Islam dengan hukum positif.
1. Dasar Hukum Gugatan Menurut Hukum Islam.
Sebagaimana Firman Allah SWT., dalam Surat an-Nur Ayat (48), yaitu:
نﻮُﺿِﺮ
ْﻌ ﱡﻣ ﻢ ُﮭْﻨﱢﻣ ٌﻖ
ﯾِﺮَﻓ ا َ ذِإ ْﻢُﮭَﻨْﯿَ ﺑ َﻢُﻜْﺤَ
ﯿِﻟ ِﮫِﻟﻮُﺳَرَو ِﷲ
ﻰ
َﻟِ إ اﻮُﻋُ
د اَذِإ َو
Artinya : “Dan apabila mereka diseru kepada Allah dan Rasul-Nya untuk diputuskan hukum diantara mereka, tiba-tiba segolongan dari mereka memalingkan
diri”. (QS. 24 /An-Nur: 48).
4
Hasbi Ash Shidieqy,Peradilan dan Hukum Acara Islam, Penerbit: PT. AL-Ma’arif, h. 90. 5
Ibid.,h. 91.
6
Ibid.,h. 92.
7
Ayat tersebut merupakan nash yang umum bagi segala dakwaan atau gugatan,
termasuk gugatan cerai yang diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama dalam masalah
rumah tangga.
Hadits Nabi Muhammad SAW. memberikan petunjuk gugatan kepada
umatnya, sebagai berikut :
ِﺑ آ ْﻦَﻋ
لﺎﻗ ُﮫْﻨَﻋُ ﷲ
َﻲﺿ
ِرَ س
ِ ﺎَ ﺒَ ﻋ
ﻰ
:
ﻢﻌﻠﺻ ﻰﺒﻨﻟا لﺎﻗ
:
ﻰﻄﻌﯾﻮﻟ
اﻮﻋ ﺪﺑ سﺎﻨﻟا
ﻢھ
و لﺎﺟر ءﺎﻣد سﺎﻧ ﻰﻋد ﻻ
أ
ﻟا ﻦﻜﻟو ﻢﮭﻟاﻮﻣ
ﻦﻣ ﻰﻠﻋ ﻦﯿﻤﯿﻟاو ﻰﻋﺪﻤﻟا ﻰﻠﻋ ﺔﻨﯿﺒ
أ
ﺮ ﻜ ﻧ
.
)
ﻢﻠﺴﻣ هاور
(
8Artinya : ”Jika diberikan kepada manusia menurut gugatan-gugatan mereka, tentulah mereka menggugat darah seseorang dan harta mereka. Akan tetapi bagi penggugat harus mengemukakan alat bukti dan tergugat harus
mengemukakan sumpah”.(HR.Muslim).
Untuk menguatkan gugatannya, penuntut harus mengemukakan bukti-bukti dan
apabila tergugat menolak maka haruslah ia bersumpah bahwa gugatan itu salah. Jika
penggugat menggunakan bukti-bukti yang benar maka hakim harus memutuskan sesuai
gugatan itu, meskipun tergugat menolaknya. Tetapi kalau tidak ada bukti yang benar,
maka hakim harus menerima sumpah tergugat. Dan membenarkan tergugat.9
Apabila ada dua orang yang bertengkar tentang harta tanpa ada bukti dan harta itu berada di tangan salah satunya, maka harus tetap salah satu haknya apabila dari salah satu itu bersumpah.
8
Al-Imam Abi Husein Muslim Ibnu Hujjah at-Qusyairi an-Naisabury,Shahih Muslim,
Penerbit: Daru Ahyai Atturusi al-Arabi, Jilid. Ke-3, h. 1336.
9
Asy’asbin Qais berkata:“saya bertengkar dengan seorang Yahudi tentang tanah yang kumiliki. Aku mengadukan hal itu kepada Rasul, beliau bertanya kepadaku: apakah
kamu mempunyai bukti? Aku menjawab: Tidak, Rasul menyuruh orang yahudi itu untuk
bersumpah”.10
Kemudian setelah terjadi begitu, cepatlah Asy’at bin Qais bertanya lebih lanjut
kepada Rasulullah SAW. “Ya Rasulullah, apakah bila ia bersumpah kemudian ia memiliki tanahku? pada saat itu turun ayat, yaitu :
ِﺑ َنوُﺮ
َﺘ ْﺸَﯾ َ ﻦﯾِﺬﱠﻟا ﱠنِإ
ْو
ُأ ًﻼ
ﯿِﻠَ ﻗ ﺎ ًﻨَﻤَﺛ ْﻢِﮭِﻧﺎَﻤْﯾَأَو ِﷲ
ِﺪْﮭَﻌ
ﻲ
ِ ﻓ ْﻢُﮭَﻟ َق
َﻼ
َ ﺧ َﻻ َﻚ
ِﺋَ ﻻ
َﻻَ
و ِةَﺮِﺧ
َﻷْا
ﻢﯿِﻟَأ ٌ ب
اَﺬَﻋ
ْﻢ ُﮭَﻟَو ْﻢِ ﮭﯿﱢﻛَﺰُﯾَﻻَو ِﺔَ
ﻣﺎ َﯿِﻘْﻟا َمْﻮَﯾ ْﻢِﮭْﯿَﻟِإ ُﺮ ُﻈ
ﻨَ ﯾَﻻ
َو ُﷲ
ُ ﻢُﮭُﻤﱢﻠَﻜُﯾ
Artinya: “Sesunguhnya orang-orang yang menukar janji Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harta yang sedikit mereka tidak akan mendapat bahagian (pahala) di akhirat dan Allah tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak pula mensucikan mereka, bagi mereka azab yang pedih“. (QS. 3/Al-Imran: 77).
Jadi menurut hadits di atas, menunjukan adanya gugatan yang disertai alat-alat bukti atas si pengugat dan sumpah atas si tergugat. Dalam hal ini bagi hakim dalam menyelesaikan suatu perkara dalam perkara gugatan pada saat memeriksa kedua belah pihak, sudah barang tentu hakim harus berdasarkan dalil yang ada hubungannya dengan gugatan. Di antaranya yang harus diperhatikan oleh hakim yaitu :
“Jika kedua belah pihak, penggugat dan tergugat sedang menghadiri sidang pengadilan maka pertama-tama harus dilakukan oleh hakim adalah usaha untuk mendamaikan
mereka berdua, karena perdamaian itu lebih baik”.11
Berdasarkan Firman Allah SWT
10
Moh. Rifa’I,Terjemah Khulashah Kifayatul Ahyar,Semarang: CV. Toha Putra.
11
ُ◌
ُﺮ ْﯿَﺧ ُﺢْﻠﱡﺼ
ﻟ اَ و
Artinya :“Perdamaian itu lebih baik”. (QS. 3/An-Nisa:128).
Khalifah Umar bin Khattab pernah menulis surat kepada Abu Musa al-Asyari
(Qadli di Kufah) yang isinya mengandung pokok-pokok penyelesaian perkara di muka
sidang pengadilan, antara lain :
أ ﻦﻋ
ﺪ ﺒ ﻋ ﻰ ﺑ
أ ﻦﻋ ﻰﻧﺰﻤﻟا فﻮﻋ ﻦﺑاو ﺮﻤﻋ ﻦﺑ ﷲ
لﻮﺳر ﻦﻋ هﺪﺟ ﻦﻋ ﮫﯿﺑ
لﺎﻗ ﻢﻌﻠﺻ ﷲ
:
ﺎﺼﻟا
ﺢ
ﺟ
أ ﺎﻣاﺮﺣ ﺎﺤﻠﺻﻻا ﻦﯿﻤﻠﺴﻤﻟا ﻦﯿﺑ ﺰﺋﺎ
ﻼﺣ مﺮﺣ و
ﻻ
)
ور
ا
ﺻو ىﺬﻣﺮﺘﻟا ه
ّﺤ
ﮫﺤ
(
Artinya: Dibolehkan mengadakan perdamaian di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.12
2. Dasar Hukum Gugat Menurut Hukum Positif :
Dalam pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor: 9 tahun 1975 serta
penjelasannya, yaitu:
(1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Selama perkara belum diputus, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.
Dalam mendamaikan ini dapat diminta bantuan kepada orang atau badan lain
yang dianggap perlu, seperti BP4 tingkat Kabupaten/Kodya DT. II, jika usaha
12
Abu Isya Muhammad Ibnu Isya Ibnu Saurah,Sunnah at-Turmuzi, Mesir:Matba’ Mustafa
perdamaian ini berhasil, maka dibuat akte Perdamaian dan tidak dapat diajukan gugatan
baru berdasarkan alasan yang sama sebagaimana pasal 32 PP No. 9 tahun 1975, yaitu :
“Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian yang telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian”.13
Dalam HIR (Het Harziene Indonesische Reglement), membuat dasar-dasar
gugatan sebagaimana pasal 188 HIR ayat (1), yang berbunyi :
Gugatan perdata yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan Pengadilan Negeri, harus dimasuki dengan surat permintaan yang ditanda tangani oleh penggugat atau oleh wakilnya kepada ketua Pengadilan Negeri didaerah hukum siapa tergugat bertempat, diam atau jika tidak diketahui tempat diamnya, tempat sebetulnya.
Pasal tersebut memuat asas yang dalam bahasa latin dikenal dengan asas“Aqtor Sequitur Forum Rei”, yaitu bahwa Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat yang berkuasa memeriksa dan memutus perkara yang diajukan.14
Di dalam perceraian bagi mereka yang beragama Islam, gugatan diajukan kepada
Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, hal ini
sesuai pasal 73 Undang-undang No. 7 tahun 1989 yaitu :
13
Mukti Arto,Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h. 93-94.
14
“Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa ijin tergugat”.15
Dalam hal si penggugat bertempat kediaman di luar negri maka gugatan
perceraian diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman tergugat (pasal 73 ayat (2) UU No. 7/1989).16
Syarat-syarat dan Proses Memajukan Gugatan
Gugatan akan menjadi sah, apabila telah memenuhi syarat-syaratnya. Adapun
syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :
Syarat Formil
Syarat materiil
Ad .a). Syarat Formil (Bentuknya):
Surat Gugatan ditulis di atas kertas bermaterai atau dibubuhi materai Rp.
25.-Surat Gugatan harus ditanda tangani oleh penggugat atau wakil (Kuasa)-nya. Tanda paraf diketahui (diakui) sebagai tanda tangan.17
Ad. b). Syarat Materiil (Isinya):
HIR, tidak mengenal/menyebutkan syarat-syarat bagi isi surat gugatan, yaitu pada pasal 119 HIR, yang mewajibkan Hakim untuk memberi nasehat dan pertolongan kepada penggugat pada waktu mengajukan gugatanya.18
15
Ibid.,h. 56.
16
M. Yahya Harahap,Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Agama (Undang-Undang No.
7 Tahun 1989), h. 214.
17
Dari bunyi pasal 119 HIR walaupun tidak menyebutkan syarat-syarat isi gugatan
(syarat-syarat materiil) tersebut secara jelas, tetapi bentuk standar yang biasa dalam
praktek administrasi surat gugatan itu minimal harus memuat/memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
Nama, Pekerjaan dan alamat/tempat tingal penggugat atau wakil (kuasa)-nya.
Nama, Pekerjaan dan alamat/tempat tinggal tergugat.
Uraian singkat tetapi jelas mengenai duduk persoalan, mengenal asal- usulnya peristiwa/kejadian-kejadian (faiten), terutama kejadian-kejadian yang ada artinya bagi hukum (Fechsfeiten) dan akibat hukum dari peristiwa itu.
Uraian yang singkat dan jelas19mengenai apa yang diingini atau diminta agar diputuskan, atau diperintahkan oleh hakim bagian ini disebut “petitum”. Petitum ini harus jelas
dan lengkap, karena bagian dari surat gugatan ini yang terpenting, sesuai Pasal 178 HIR.
Syarat-syarat gugatan harus memenuhi sebagaimana tersebut di atas, juga
sebagaimana pendapat Djamil Latif syarat gugatan itu ada 6 (enam) yaitu:20
a. Tafsiel (kejadian materil yang harus diuraikan dalam surat permohonan=posita)
b. Ilzam (tuntutan yang diminta supaya diputus/diperintahkan oleh pengadilan=petitum)
c.Ta’yin (pihak tergugat tertentu orangnya)
18
Arso Sostroatmodjo, Diktat Kuliah Hukum Acara Perdata, Jakarta, Fakultas Syari’ah
Peradilan Agama IAIN Syarief Hidayatullah, 1983, h. 7.
19
Ibid.,h. 10.
20
d. Tidak Tanaqudl (tidak bertentangan posita dan petitum yakni tuntutan harus sesuai dengan kejadian materiil)
e.Penggugat dan tergugat sama-sama mukallaf (cakap bertindak hukum)
f. Penggugat dan tergugat tidak dalam keadaan berperang karena agama.21
Jadi dalam gugatan ini harus dijelaskan dengan sejelas-jelasnya tentang apakah
yang menjadi perselisihan dan apakah yang diminta supaya diputuskan dan atau
diperintahkan oleh pengadilan, sehingga dengan demikian sudah ditetapkan jurusan ke
arah mana pemeriksaan oleh pengadilan. Karena itu permohonan gugatan pada pokoknya
harus berisi hal-hal sebagai berikut:
1. Penjelasan tentang adanya hubungan antara kedua belah pihak yang menjadi dasar gugat, yaitu:
a. Penjelasan yang berdasarkan atas kesadaran. b. Penjelasan yang berdasarkan hukum
2. Penegasan dari apa yang dimohon supaya diputuskan atau diperintahkan oleh
pengadilan (Hakim), yaitu:
a. Primer, yakni permohonan yang pertama khusus.
b. Subsider, yakni seandainya berpendapat lain hakim menjatuhkan
hukuman yang seadil-adilnya.
“Kecuali itu penggugat dapat pula mencantumkan dalam permohonan gugat
permohonan-permohonan lain. Namun demikian posita dan petitum yang tersebut diatas sangat penting sekali karena hal tersebut dapat memberi pedoman kepada tergugat untuk menjawab (menangkis) gugatan tersebut. Demikian pula dalam hal permohonan gugat
21
secara lisan, di mana dalam catatan gugat, posita dan petitum harus jelas, di mana hakim dapat memberi pertolongan”.22
Apabila penggugat tidak pandai menulis, maka pasal 120 HIR yaitu :membuka
kemungkinan untuk mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Ketua Pengadilan tersebut kemudian membuat atau menyuruh membuat catatan tentang
gugatan itu.
Demikianlah syarat-syarat gugatan yang dapat dipahami, agar dalam pembahasan
ini tidak simpang siur.
Sedangkan proses memajukan surat gugatan adalah sebagai berikut :
Surat gugatan yang dimasukan ke pengadilan harus ditanda tangani oleh penggugat atau wakilnya, dan penggugat harus mendaftarkan surat gugatannya, sesuai isi pasal 121 HIR ayat (4) yang berbunyi:
“Memasukkan ke dalam daftar seperti didalam ayat pertama, tidak dilakukan, kalau belum bayar dahulu kepada panitera sejumlah uang yang akan diperhatikan oleh ketua Pengadilan Negeri menurut keadaan, untuk biaya kantor kepaniteraan dan ongkos melakukan segala panggilan serta memberitahukan yang diwajibkan kepada kedua belah pihak dari hari persidangan tidak boleh kurang dari tiga hari kerja”.23
Ketentuan masukan gugatan tersebut dengan tidak melepaskan pasal 121 ayat (1) HIR, yaitu:
“ Sesudah surat gugatan yang dimasukan itu atau catatan yang diperbuat itu dituliskan oleh panitera dalam daftar yang disediakan untuk itu, maka ketua menentukan hari dan jam perkara itu akan diperiksa dimuka pengadilan negeri,
22
Ibid. , h. 128. 23
dan ia memerintahkan memanggil kedua belah pihak supaya hadir pada waktu itu, disertai oleh saksi-saksi yang dikehendakinya untuk diperiksa, dan dengan membawa segala surat-surat keterangan yang hendak dipergunakan”.24
Surat gugatan itu disertai dengan salinannya didaftarkan kepada kepaniteraan
Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Salinan gugatan disampaikan kepada tergugat
bersama dengan surat pengadilan dari Pengadilan Negeri (pasal 121 ayat (2) HIR). Pada
waktu memasukan gugatan, penggugat harus pula membayar biaya perkara yang meliputi
biaya faktor kepaniteraan, biaya pengadilan dan pemberitahuan kepada para pihak. Jadi
beracara perdata memang tidaklah tanpa biaya, tetapi terhadap azas tersebut ada
pengecualian bagi mereka yang tidak mampu. Bagi mereka yang tidak mampu ini
dimungkinkan untuk beracara secara cuma-cuma, dengan mengajukan izin kepada ketua
Pengadilan Negeri, yang harus disertai dengan surat keterangan tidak mampu dari camat
yang membawakan permohonan. Permasalahan itu harus dijawab pada hari sidang
pertama, (pasal 238 ayat (2) HIR).
Bagi penggugat yang tidak dapat menulis, gugatan dapat diajukan secara lisan
kepada ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan (pasal 120 HIR). Apa yang terjadi
dalam praktek ialah penggugat datang kepada panitera Pengadilan Negeri yang mencatat
segala sesuatu yang dikemukakan oleh penggugat. Kemudian catatan tersebut diajukan
kepada salah seorang hakim yang meneliti serta menanyakan kepada penggugat dan
selanjutnya menanda tanganinya, dengan makin berkurang penduduk yang buta huruf dan
24
makin banyak orang mempercayakan perkaranya kepada seorang wakil atau kuasa, maka
sekarang gugat lisan itu jarang terjadi.25
Pada asasnya para pihak harus menghadapi sendiri. Tetapi mereka dapat diwakili
oleh seorang kuasa. Kuasa ini dapat diberikan lisan, yaitu apabila pihak yang
bersangkutan atau pemberi kuasa hadir juga secara pribadi di persidangan (pasal 123 ayat
(1) HIR).
“ Atau para pihak dapat memberi kuasa kepada wakilnya secara tertulis dengan surat kuasa yang bersifat umum tidaklah mencukupi, sehingga secara khusus harus dicantumkan pihak-pihak bersengketa serta dibuat sendiri konkrit pokok perselisihan. Lain dari pada itu dalam hal permohonan banding harus dengan tegas dinyatakan dalam surat kuasa bahwa yang diberi kuasa berhak untuk mengajukan banding, kalau tidak permohonan banding tidak akan diterima. Surat kuasa khusus ini oleh Notaris atau Panitera (pasal 147 ayat (3) RBG). Tetapi dapat dibuat juga secara dibawah tangan, asal saja digunakan sidik jari atau cap jempol sebagai identitas dari si pemberi kuasa, disahkan oleh Pengadilan Negeri, Bupati atau Camat”.26
Sekalipun sudah ada Surat Kuasa, tetapi Pengadilan dapat memanggil para pihak
yang diwakili untuk menghadap di persidangan (pasal 123 ayat (3) HIR).
Dengan adanya pemasukan surat gugatan kemuka hakim/pengadilan, akan jadi
baik dan adil dirasakan oleh semua pihak, jika berdasarkan peraturan/Undang-undang
yang telah ada dilaksanakan dengan baik dan sempurna. Dan dari ketentuan hukumlah
masyarakat akan damai dan sejahtera jika hukum dan dasar-dasarnya diemban dengan
baik.
25
M. Yahya Harahap,Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Agama,h. 80. 26
Pengertian Ta’lik Talak
Ta’lik Talak “Menggantungkan”27 atau “Ucapan yang berkaitan dengan adanya
syarat (Al-Sighat Al-Mu’allaq)”.28 Ta’lik Talak dimaksudkan seperti janji, karena
mengandung pengertian melakukan pekerjaan atau meninggalkan suatu perbuatan.29
Talak artinya “Melepaskan atau meninggalkan, seperti melepaskan sesuatu dari
ikatannya”. sedangkan menurut istilah syara’ialah melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan lafal talak atau yang se-arti dengan itu.30
Ta’lik talak artinya ucapan yang diikrarkan oleh suami kepada istrinya yang
dikaitkan dengan sesuatu sebagai syaratnya. Maka supaya sah penggunaan lafal/ucapan
yang ditaklikkan itu maka harus dipenuhi dua syarat:
a.Sesuatu yang dijadikan syarat itu belum tentu pada waktu diikrarkan ta’lik talak itu
mungkin terjadi kemudian.
b. Perempuan yang akan dita’likkan talaknya adalah sebagai istri sah bagi laki-laki yang bersangkutan.31
Dalam pasal (1) Sub (e) Inpres No. 1 tahun 1991, pengertiannya yaitu:
27
Sumiati,Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, 1989, h. 5.
28
Peunoh Dally,Disertasi Provendus Doktor,Jakarta, IAIN Jakarta, 1983, h. 712.
29
Sayyid Sabiq,Fiqih Sunnah, Bandung: Al-Ma’rifat, Juz VIII, h. 7.
30
Peunoh Dally,Disertasi Provendus Doktor, h. 688.
31
“Ta’lik talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada sesuatu keadaan tertentu yang memungkinkan terjadi yang akan datang”.32
Pembacaan ta’lik talak tidak merupakan suatu kewajiban akan tetapi hanya sukarela dan pada umumnya hampir semua suami di masyarakat Indonesia yang
beragama Islam mengucapkan ta’lik talak setelah dilakukannya akad nikah karena atas
permintaan penghulu atau Petugas Pencatat Nikah.33
Pembacaan ta’lik talak oleh suami setelah akad nikah sighatnya telah tercantum
dalam buku nikah dari Departemen Agama adalah berbunyi sebagai berikut:
Sewaktu-waktu saya:
1. Meninggalkan istri saya tersebut dua tahun berturut-turut.
2. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya.
3. Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya.
4. Atau saya membiarkan/tidak memperdulikan istri saya itu enam bulan lamanya.
“Kemudian istri saya itu tidak rela dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak untuk mengurus pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan atau Petugas tersebut dan istri saya itu membayar uang sebesar Rp. 10. 000 - (sepuluh seribu rupiah) sebagai pengganti (iwadl) kepada saya, maka jatulah talak saya satu kepadanya, kepada Pengadilan atau petugas tersebut saya kuasakan untuk menerima uang
32
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Ditbinbapera Depag RI, 2000, h. 179.
. 33
pengganti (iwadl) itu kemudian memberikannya untuk keperluan ibadah sosial”.34
Fungsi dan Tujuan Ta’lik Talak
Ucapan ta’lik talak merupakan suatu yang digantungkan pada syarat. Sayyid Sabiq dalam bukunya “Fiqih Sunnah”menerangkan:
Ta’lik talak ada dua macam:
Pertama: Ta’lik dimaksud seperti mengandung pengertian melakukan pekerjaan atau meninggalkan suatu perbuatan atau menguatkan suatu khabar (ta’lik suami), seperti seseorang suami berkata kepada istrinya jika aku keluar rumah maka engkau bertalak. Maksudnya suami melarang istri keluar ketika ia keluar, bukan dimaksud untuk menjatuhkan talaknya.
Kedua: Ta’lik yang dimaksud untuk menjatuhkan talak bila terpenuhi syarat, ta’lik ini disebut ta’lik bersyarat.
Contoh: Suami berkata kepada istrinya jika engkau membebaskan aku dari membayar sisa maharmu maka engkau bertalak.35
H. Mahmud Yunus dalam bukunya hukum Perkawinan dalam Islam menurut Mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hambali menerangkan bahwa:
“ Umumnya di Indonesia pada masa sekarang diadakan ta’lik talak sesudah akad nikah gunanya supaya istri jangan teraniaya bila suami berlarut-larut
34
Buku Akta Nikah, Departemen Agama RI 2005.
35
tidak memberi nafkah kepada istrinya, atau telah hilang lenyap saja dengan tak ada beritanya”.36
Sayuti Thalib dalam bukunya Hukum Kekeluargaan Indonesia menerangkan
bahwa:
“ Hak menjatuhkan talak berada dalam tangan suami, dengan adanya lembaga ta’lik talak maka ini berarti pelimpahan wewenang menjatuhkan talak dari pihak suami kepada pihak istri. Pelimpahan yang terbatas yaitu dalam hal tertentu. Si suami tetap juga mempunyaihak untuk menjatuhkan talak”.37
Berdasarkan beberapa pendapat di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa ta’lik
talak adalah merupakan perjanjian dari seorang suami dengan suatu syarat, dimana jika
syarat tersebut terjadi dapat menjadi alasan istri untuk mengambil inisiatif mengajukan
gugatan cerai ke Pengadilan Agama atau Pegawai yang ditunjuk agar kepadanya
dijatuhkan talak yang menceraikan dari suaminya.
Jika semua alasan dibenarkan atau terbukti si istri membayar uang pengganti
(‘iwadl) sebesar yang telah ditentukan/diperjanjikan maka jatuhlah talak suami tersebut
atau Khulu’ (jika pertama kali) kepada hal tersebut terjadi berdasarkan dilanggarnya
ketentuan-ketentuan ta’lik talak dan dengan adanya iwadl. Sesuai pula dengan apa yang tercantum dalam Buku Hukum Perkawinan dalam Islam bagian IV Ta’lik Talak dan
Perjanjian-perjanjian lain:
36
H. Mahmud Yunus,Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Empat Mazhab, PT. Hidakarya Agung, 1990, h. 129.
37
Pasal 92 : Perkawinan menjadi putus atas permintaan istri, bila suami melanggar janji
ta’lik talak atau janji-janji lain yang dibuat waktu akad nikah atau sesudahnya.
Pasal 93: Apabila Hakim berpendapat, bahwa ta’lik talak atau perjanjian yang lain itu
telah dilanggar, maka Hakim menyatakan jatuh talak atas istri yang bersangkutan.38
Setiap perbuatan sudah barang tentu mempunyai tujuan. Ta’lik talak yang diucapkan oleh suami setelah dilangsungkannya akad nikah merupakan perjanjian
seseorang suami kepada istrinya dengan syarat-syarat tertentu dan ta’lik talak yang
diucapkannya itu berkaitan dengan waktu tertentu sebagai syarat dijatuhkannya talak,
kalau syarat itu sesuatu yang mustahil terjadi, maka sia-sialah syarat itu dan talak tidak
jatuh. Seperti “jika ada unta masuk dalam lubang jarum, maka engkau tertalak”.39
Maksud diadakannya ta’lik talak tujuannya ialah “suatu usaha daya upaya melindungi istri dari tindakan sewenang-wenang suami”. Syariat Islam telah menentukan
secara terperinci hak istri terhadap suami, namun ia tidak memiliki alat pemaksa supaya
suami menunaikan kewajibannya. Dengan adanya sistem ta’lik talak nasib istri dan kedudukannya dapat diperbaiki. Jika suami menyia-nyiakan istrinya sehingga ia sengsara
maka istri dapat mengadu kepada hakim supaya perkawinannya diputuskan. Hakim dapat
mengabulkan permohonan/gugatannya sesudah terbukti kebenaran pengaduannya itu.40
38
Mawardi,Hukum Perkawinan Dalam Islam, Yogyakarta: UGM, 1975, h. 27.
39
Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah, h. 233.
40
Di Indonesia ta’lik talak sudah lama berlaku, agaknya pada waktu kerajaan Islam
berdiri di Negeri kita ini masyarakat sudah mengenal ta’lik talak, seperti yang dikatakan DR. Peunoh Dally yaitu:“ta’lik talak dalam kitab-kitab fiqih yang diamalkan masyarakat
Islam di Jawa dikenal sebagai “Janjining Ratu” atau “Janji Dale” yang dibuat oleh raja.41
Tujuan ta’lik talak adalah untuk kemaslahatan kedua belah pihak dalam membina kerukunan kelangsungan hidup berumah tangga, agar mereka bergaul dengan
baik, terutama kaum wanita jangan sampai hak-haknya terabaikan oleh suami. Hal ini
sebagaimana isi kandungan Firman Allah dalam Surat an-Nisa ayat 19, yaitu:
...
ِف
وُ ﺮْﻌَﻤْﻟﺎِﺑ ﱠﻦُھوُ
ﺮِﺷﺎَﻋَو
Artinya:“Dan pergauilah mereka itu (istri-istri) dengan baik/ma’ruf”.
(QS. 4/an-Nisa: 19).
Dalam surat Bani Israil, ayat 34, yaitu:
…..
ًﻻو
ُ ﺆْﺴَ
ﻣ َن
ﺎَ ﻛ
َﺪْﮭَﻌْﻟا ﱠن
ِإ ِﺪْﮭَﻌْﻟﺎِﺑ ا ﻮُﻓْوَأَ و
Artinya: “Dan patuhilah janjimu, sesungguhnya janji itu, kelak akan dituntut/ diminta dan dipertanggung jawabanya”. (QS. 17/Bani-Israil: 34).
Sighat ta’lik talak merupakan perjanjian suami kepada istrinya dengan suatu syarat ancaman bahwa jika syarat-syarat itu dilanggar maka akan timbul suatu akibat. Atau istri
dapat menggugat cerai ke Pengadilan Agama sesuai dengan alasan-alasan pelanggaran
Ta’lik Talak.42
41
Ibid., h. 715.
42
BAB III
TUGAS DAN WEWENANG PENGADILAN AGAMA TANGERANG
Fungsi Pengadilan Agama
Berdasarkan Undang-undang No. 14 tahun 1975, Tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, telah ditegaskan bahwa tujuan penyelenggaraan peradilan
sudah termasuk kekuasaan kehakiman, sebagaimana dalam pasal 1 yaitu:
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum keadilan berdasarkan Pancasila,
demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Untuk mencapai tujuan sebagaimana tersebut di atas maka disusunlah tugas
pokok peradilan yaitu: “Untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya“. Dan dalam menyelesaikan perkara tersebut
sebagaimana pasal 5 yaitu:
1. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
2. Dalam perkara perdata pengadilan membantu para pencari keadilan dan
sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya
peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.1
Dalam mengemban tugas pokok dari Undang-undang No. 14 tahun 1970 tersebut, maka dalam lingkungan peradilan agama Tangerang sebagaimana pengadilan agama yang lain di Indonesia tersebut terdapat dua fungsi yang berbeda yaitu:
1
a. Fungsi administratif sebagai pelaksanaan dari fungsi eksekutif pemerintah.
b. Fungsi yudikatif yang merupakan inti dari tugas peradilan agama sebagai bagian dari
fungsi peradilan/kehakiman dalam Negara Hukum Indonesia.
Fungsi administratif tercermin dalam pelaksanaan tugas yang dilandasi oleh
peraturan-peraturan tentang struktur, organisasi, tugas, wewenang serta tata kerja
departemen agama, sebagaimana ditetapkan dalam berbagai keputusan Menteri Agama.2
Sedangkan fungsi yudikatif adalah tugas dalam melaksanakan peradilan yang
didasarkan pada peraturan-peraturan perundangan tersendiri, baik tentang susunan dari
Badan Peradilan Agama, wewenang dan tata cara.3
Sehubungan dengan kedua fungsi tersebut di atas maka peradilan agama
Tangerang menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang terdiri dari fungsi-fungsi:
1. Melaksanakan untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan oleh
pencari keadilan yang datang padanya untuk mohon keadilan (Pasal !4 UU No. 14
Tahun 1970)
2. Melaksanakan penerapan hukum dalam memeriksa dan memutus perkara
berdasarkan hukum dan keadilan dengan memuat alasan dan dasar-dasar putusan itu,
juga harus memuat pasal-pasal tertentu (Pasal 23 UU No. 14 Tahun 1970)
3. Melaksanakan kewajiban menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
yang ada dalam masyarakat (Pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970).4
2
M. Yahya Harahap,Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Agama (Undang-Undang No. 7
Tahun 1989), h. 108
3
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Fathoni (Ketua Pengadilan Agama Tangerang). 17 Oktober 2006.
4
Fungsi pengadilan agama Tangerang tercermin pula dalam susunan
organisasinya. Adapun untuk lebih mengetahui susunan organisasi pengadilan agama
sesuai dengan yang dikehendaki Undang-undang No. 7/1989, ada pada pasal 9 ayat (1)
Undang-undang No. 7/1989 yaitu: “susunan pengadilan agama terdiri pimpinan hakim, anggota, panitera, sekertaris dan juru sita “, dan dalam “pimpinan pengadilan agama terdiri dari seorang ketua dan seorang wakil ketua”. Dan jelasnya dapat dilihat dalam
bagan organisasi pengadilan agama Tangerang, sebagai salah satu contoh dari
pengadilan agama lainnya di Indonesia, sesuai Undang-undang No. 7 tahun 1989 adalah
28 Drs. H. Ahmad Fathoni, SH
WAKET
PANITERA/SEKRETARIS
Drs. H. Uce Supriyadi HAKIM
Drs. H. Rahmatullah Nur
Dra. Hj. Dasmi Salli, MH
Dra. Al- Jamilah
Drs. Z. Jaenal Arifin
Drs. Suhaemi
Drs. Sonhaji
Drs. Buang Yusuf, SH
Drs. Saefudin Z, SH
A. Mukri Agafi, SH
WAKPAN
Ubed Sutisna, SAg
WAKSEK Drs. Sayuti SUB KEPAN PMHN Haisam, SH. SUBAG KEPEGAWAIAN
Endin Tajudin. SAg
SUBAG
KEUANGAN
Nurmalasari. Y, SH
SUBAG
UMUM
Fatiah Sadim. SAg SUB KEPAN
GUGATAN
Nadlroh Hasun, SAg
SUB KEPAN
HUKUM
H. Karso, BC, SAg
PANITERA
PENGGANTI
JURU
KETERANGAN :
I. Panitera Pengganti II. Juru Sita Pengganti
- H. Muhayat, Sag - Kasidi
- Murdiyati, SH - Jaenal Arifin
- Siti Jubaedah, SH - Siti Rodiah, SHI
- Hj. Nurhayati, SH - Siti Hajar, SHI
- Endin Tajudin, SAg - Dra. Hj. Latifah
- Fatiah Sa’dim, SAg - Alfi Sapiatin, SH
3
Demikianlah bagan organisasi pengadilan agama Tangerang dan pengadilan agama
lainnya di Indonesia. Bagan sebelah kiri yang terdapat dalam kotak hakim, panitera pengganti
termasuk bagan “juru sita”, merupakan sub organisasi “fungsional“ peradilan yang berfungsi
dan berwenang melaksanakan peradilan sedangkan bagan bagian kiri juga yang terdapat pada
kotak panitera muda adalah pejabat struktural yang ikut “menunjang” tugas pejabat
fungsional dalam menjalankan fungsi peradilan adapun bagan sebelah kanan yang
distrukturkan dibawah wakil sekretaris adalah jabatan struktural pendukung umum seluruh
organisasi peradilan. Bagan tersebut merupakan sub organisasi baik langsung maupun tidak
langsung, tidak terkait dengan fungsi peradilan atau penegakan hukum. Namun sebagai sub
bagian yang bertugas sebagai pendukung umum organisasi peradilan, peranannya sangat
besar menunjang kelancaran organisasi.5
Dalam bagan jabatan fungsional peradilan dihubungkan dengan garis-garis putus
hubungan antara pejabat fungsional pada dasarnya tidak bersifat struktural, tetapi lebih
ditekankan pada sifat fungsi peradilan. ketua dan wakil ketua sebagai unsur pimpinan seperti
yang ditegaskan dalam pasal 10 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989 hanya mempunyai hubungan
struktural dengan panitera atau sekretaris, wakil panitera, wakil sekretaris serta eselon yang
distrukturkan dibawah wakil panitera dan wakil sekretaris. sedangkan terhadap hakim
sebagaimana ditegaskan dalam pasal 11 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989 adalah pejabat yang
melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman, memang benar secara organisatoris ketua sebagi
unsur kepemimpinan diberi wewenang oleh pasal 53 ayat 1 untuk mengadakan pengawasan
atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku semua organisai termasuk para hakim. Namun
khusus pengawasan terhadap hakim seperti yang diperingatkan pada pasal 53 ayat 4, harus
5
Lebih lanjut mengenai struktur kepaniteraan sebagai salah satu sistem pendukung
organisasi pengadilan dan sekaligus pula pendukung utama fungsi peradilan menurut pasal 26
ayat 7 dan pasal 4, mempunyai tugas “ganda” pada diri dan jabatannya melekat panitera
merangkap sekretaris pengadilan untuk memperlancar tugas kepaniteraan dan sekretariatan
yang dijabat panitera, ia dibantu oleh seorang wakil panitera dan seorang wakil sekretaris.
Fungsi wakil panitera, memimpin dan membagi habis semua petugas fungsional
peradilan termasuk memimpin dan membawahi tugas fungsional murni yang terdiri dari para
“panitera pengganti, juru sita dan juru sita pengganti”. Serta petugas fungsional yang bersifat
struktural yakni para panitera muda.
Mengenai jumlah panitera muda, menurut pasal 26 ayat 2 tidak ditentukan jumlahnya
berapa, hanya saja disebut beberapa orang panitera muda. Jumlah panitera muda yang
rasional disesuaikan dengan pembidangan fungsi pendukung sub organisasi peradilan tidak
keliru penstrukturan panitera muda dalam organisasi pengadilan dimasukkan untuk
mendukung kelancaran fungsi peradilan. Para panitera muda adalah aparat yang dalam
strukturnya dalam organisasi fungsional akan memberikan pelayanan fungsi peradilan.
Hal-hal yang dapat membantu kelancarannya dibantu oleh berbagai unsur, yang terutama
diantaranya unsur yamg menangani registrasi dan penyiapan berkas-berkas perkara, unsur
yang membantu menyediakan peraturan dan perundang-undangan, unsur yang menangani
permintaan banding dan kasasi. Tugas-tugas unsur pelayanan inilah yang disahkan kepada
6
Oleh karena itu peradilan agama yang merupakan pengadilan tingkat pertama di
Kabupaten atau di Kota Madya daerah tingkat II yang berfungsi menerima, memutuskan dan
menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam dibidang
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shodaqoh berdasarkan hukum Islam,
semuanya itu dapat berjalan atau tidak bergantung kepada fungsi peradilan agama itu sendiri
dan yang paling utama adalah fungsi daripada hakim. Dengan demikian hakim bertanggung
jawab penuh dalam melaksanakan tugasnya terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya
baik, ia sebagai hakim ketua majlis maupun sebagai hakim anggota majlis.8
B. Jenis Perkara Yang Menjadi Wewenang Pengadilan Agama
Tugas dan wewenang pengadilan agama pada pokoknya adalah:
Sebagai pengadilan tingkat pertama atau badan pemeriksa kehakiman adalah memeriksa,
menerima dan memutus perkara perselisihan hukum antara orang-orang Islam mengenai
bidang hukum perdata tertentu yang harus diputus berdasarkan syari’at Islam. Perkara -perkara yang menjadi wewenang absolut peradilan agama dapat dilihat dalam pasal 2a
Statblaad 1937 No. 116 yang isinya sama dengan pasal 3 Statblaad 1937 No. 638 dan berlaku
bagi peradilan agama di Jawa, Madura dan sebagian Kalimantan Selatan. Perkara tersebut
adalah:
7
Mukti Arto,Praktek Perkara Perdata, h. 283-284
8
3. Memberi putusan perceraian.
4. Menyatakan bahwa syarat jatuhnya talak yang digunakan (ta’lik talak) sudah ada.
5. Mahar (termasuk Mut’ah)
6. Perkara tentang kehidupan isteri yang wajib diadakan suami (nafkah).
Dengan keluarnya Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 maka kekuasaan
pengadilan agama selain yang tersebut dalam pasal 2a ayat (1) Statblaad 1882 No. 152 jo
Statblaad 1937 dan No. 116 dan 610 untuk Jawa, Madura, pasal 3 ayat (10 Stlb 1937 No. 638
untuk Kalimantan Selatan, dan pasal 4 ayat (1) PP 45/57, untuk diluar Jawa-Madura, dan
Kalimantan Selatan, berdasarkan ketentuan pasal 63 ayat (1) Undang-undang Perkawinan,
maka pengadilan agama diberi tugas pula memeriksa dan menyelesaikan perkara-perkara9:
a. Izin seorang suami untuk beristri lebih dari seorang (pasal 4 ayat (1) UUP).
b. Izin kawin sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (5) UUP.
c. Dispensasi kawin (pasal 7 ayat (2) UUP).
d. Pencegahan perkawinan (pasal 17 ayat (1) UUP).
e. Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatatan perkawinan (pasal 21 ayat (3) UUP).
f. Pembatalan perkawinan (pasal 25 UUP).
g. Gugatan suami dan istri atas kelalaian pihak lain dalam menunaikan kewajibannya
masing-masing.
h. Penyaksian talak (pasal 39 UUP).
i. Gugatan perceraian (pasal 40 ayat (1) UUP).
j. Penentuan kekuasaan anak-anak (Hadhonah) (pasal 41 sub a UUP).
k. Penentuan biaya penghidupan bagi bekas istri (pasal 41 sub c UUP).
l. Penentuan biaya pemeliharaan dan pendidikan anak (pasal 41 sub c UUP).
m. Penentuan tentang sah/tidak sahnya anak dasar tuduan zina oleh suami terhadap istri
(pasal 11 ayat (2) UUP).
9
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia dan Kompilasi Hukum Islam, Surabaya: Arkola,
o. Melaksanakan hisab dan rukyat hilal.
p. Menyelesaikan permohonan pertolongan harta peninggalan di luar sengketa antara
orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam (pasal 107
ayat (2) UU No. 7/1989).10
Tentang kewenangan dan kekuasaan pengadilan agama dicantumkan pula dalam bab
III Undang-undang No. 7 tahun 1989 yang meliputi pasal: 49 sampai dengan pasal 53. Pasal
49 adalah pasal yang menentukan wewenang pengadilan agama secara mutlak, yang berarti
bidang-bidang hukum mutlak (Kompentesi Absolut ) dari peradilan agama. Bidang-bidang
hukum perdata tersebut adalah:
a. Perkawinan
b. Wasiat
c. Wakaf, hibah dan shadaqah.11
Kalau kita lihat bidang-bidang tertentu dan hukum perdata ini, maka yang dapat kita
katakan, bahwa kompetensi absolut peradilan agama adalah bidang hukum keluarga dari
orang-orang yang beragama Islam, seperti juga terdapat dibeberapa negara lain.12
Yang dimaksud bidang perkawinan, yaitu yang diatur dalam Undang-undang
Perkawinan No. 1 tahun 1974 seperti yang telah disebutkan diatas.
Dalam kasus sengketa perkawinan, kalau salah satu atau kedua belah pihak berpindah
agama, maka secara teoritis dapat diambil dua hal untuk menentukan pengadilan yang
berwenang (Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama) yaitu azas personalitas, yaitu hukum
yang menguasai hubungan dengan kedua belah pihak sebelum pindah agama. Mahkamah
10
Ibid, h. 179-212 11
Wawancara Pribadi dengan Nadlroh Hasun (Panitera Muda Perkara Pengadilan Agama Tangerang), Tangerang 18 Oktober 2006.
12
pengadilan agama yang berwenang walaupun salah satu pihak atau kedua belah pihak telah
berpindah agama.13
Demikian pula sebaliknya, kalau perkawinan dilakukan secara non Islam, maka
tetaplah pengadilan negeri yang berwenang walaupun salah satu atau kedua belah pihak telah
beralih agama masuk Islam. Dalam soal kewarisan, maka yang menentukan hukum waris.14
C. Jumlah Perkara Yang Terdapat di Pengadilan Agama Tangerang
Jumlah perkara yang terdapat di pengadilan agama Tangerang tahun 2005 ada
sebanyak 3071 perkara. Hal ini dapat dilihat pada statistik perkara yang diterima dan diputus
oleh pengadilan agama Tangerang selama tahun 2005 (lampiran 1). Perkara yang berkaitan
dengan gugat cerai dapat dilihat pada tabel berikut:
13
Martiman Prodjohamidjojo,Hukum Perkawinan Indonesia,Jakarta, Cet Ke-1, h.14-16
14
Jumlah Cerai Gugat % % 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 251 229 195 247 252 253 268 262 270 268 283 293 29 23 12 30 38 16 29 28 20 23 28 35
11, 6 %
10, %
6, 2 %
12, 1 %
15 %
6 %
10, 8 %
10, 7 %
7, 4 %
8, 6 %
9, 9 %
11, 9 %
9, 3 %
7, 4 %
3, 9 %
9, 6 %
12, 2 %
5, 2 %
9, 3 %
9, %
6, 4 %
7, 4 %
9 %
11, 3 %
Jumlah 3071 311 10, 1 % 100 %
Data terlampir dalam lampiran I.
Dari tabel diatas dapat diperoleh gambaran secara umum bahwa perkara cerai gugat
bila dibandingkan dengan berbagai macam perkara yang masuk ke pengadilan agama
Tangerang selama tahun 2006 ternyata menepati posisi paling tinggi yaitu: 311 perkara (10,1
%). Sedangkan perkara yang lain semisal cerai talak hanya 129 perkara (41, 2 %). Rinciannya
Mei terdapat 38 perkara (15 %), Juni terdapat 16 perkara (6, 3 %), Juli terdapat 29 perkara
(10, 8 %), Agustus 28 perkara (10, 7 %), September 20 perkara (7, 4%), Oktober 23 perkara
(8, 6 %), November 28 perkara (9, 9 %), dan pada bulan Desember 35 perkara (11, 9 %). Dari
3071 yang masuk selama tahun tersebut.15
Sedangkan gambaran secara khusus adalah sebagai berikut: bulan Januari 29 perkara
(9, 3 %), Februari 23 perkara (7, 4 %), Maret 12 perkara (3, 9 %), April 30 perkara (9, 6 %),
Mei 38 perkara (12, 2 %), Juni 16 perkara (5, 2 %), Juli 29 perkara (9, 3 %), Agustus 28
perkara (9 %), September 20 perkara (6,4 %), Oktober 23 perkara (7, 4 %), November 28
perkara (9 %), dan bulan Desember 35 perkara (11, 3 %). Perkara gugat cerai yang tertinggi
terdapat pada bulan Mei sebanyak 28 perkara (12, 2 %) sedangkan perkara yang terendah
yaitu pada bulan Maret sebanyak 12 perkara (3, 9 %). Dari 311 perkara cerai gugat yang
masuk selama tahun 2006.16
Yang menarik adalah jumlah yang diputus tahun 2005 hanya 546 perkara (17, 8 %),
ini menunjukan kecilnya jumlah perkara yang dapat diselesaikan, sisanya sebanyak 2520
perkara (82 %). Hal ini barangkali disebabkan oleh tunggakan perkara pada tahun 2004
(sebelumnya) yaitu sebanyak 2474 perkara (lengkapnya dapat dilihat pada lampiran I).17
Demikianlah jumlah perkara yang terdapat di pengadilan agama Tangerang.
D. Faktor-faktor Yang Menjadi Penyebab Terjadinya Pelanggaran Ta’lik Talak Yang Dilakukan Oleh Suami
15
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Fathoni (Ketua Pengadilan Agama Tangerang)
16
Wawancara Pribadi dengan H. Uce Supriadi (Wakil Ketua Pengadilan Agama Tangerang), Tangerang 19 Oktober 2006
17
1. Faktor moral, seperti: cemburu, poligami tidak sehat, dan krisis akhlak, sebagaimana
contoh perkara dibawah ini :
Seorang istri menuntut cerai, karena suaminya sering marah-marah, cemburu buta,
menghina orang tua penggugat dan suka menganiaya serta tidak pernah memberi nafkah
lahir maupun bathin selama 6 bulan, lebih-lebih ia tidak mau dimadu. Mereka telah
dikaruniai anak yang ikut penggugat. Wanita itu minta agar pengadilan menjatuhkan
talaknya. Dan tergugat telah mengucapkan ta’lik talaknya pada tanggal 19 Januari 2003.
suaminya sendiri tidak hadir dalam persidangan walaupun telah dipanggil secara patut
dan sah. Sehingga pengadilan pun menetapkan jatuh talak satu Khul’i kepada tergugat. (Tangerang, 19 Februari 2006)18
2. Meninggalkan kewajiban, seperti karena faktor ekonomi dan tidak ada tanggung jawab.
Hal ini dapat dilihat pada beberapa contoh perkara dibawah ini:
- Suminah 30 tahun menggugat suaminya Manan 35 tahun, bahwa suaminya tidak
bertanggung jawab, jarang pulang kerumah dan sering meninggalkan istrinya hingga 3
tahun lamanya tanpa memberikan nafkah lahir maupun bathin. Mereka telah
melangsungkan pernikahan pada tanggal 12 Juni 1988 dihadapan PPN KUA Pinang
Bogor. Dan suami telah mengucapkan ta’lik talak. Tergugat tidak hadir dalam persidangan walau pengadilan telah memanggilnya. Pengadilan pun menetapkan
menjatuhkan talak satu khul’i kepada Manan. (Tangerang, 20 Maret 2006)19
18
Wawancara Pribadi dengan H. Rahmatullah Nur (Hakim Pengadilan Agama Tangerang) Tangerang 20 Okober 2006
19
pertengkaran secara terus menerus. Dan tergugat telah meninggalkan penggugat selama 1
tahun lamanya karena untuk mencari pekerjaan, dan tidak pernah memberikan nafkah
lahir bathin ataupun harta peninggalan yang dapat sebagai mengganti nafkah serta tidak
pula diketahui tempat tinggalnya. Mereka telah dikaruniai seorang anak Larasati yang
berumur 3 tahun. Dan saksi-saksipun memperkuat gugatan Dwi Ropiana tersebut.
Akhirnya pengadilanpun menetapkan jatuh talak satu khul’i. (Tangerang 12 Juni 2006).20
3. Terus menerus berselisih seperti: Tidak ada keharmonisan dan gangguan pihak ketiga.
Sebagaiman contoh dibawah ini:
-Widiya Alfa dan suaminya Imam Santoso, keduanya menghadap ke pengadilan agama
Tangerang. Widiya menuntut jatuhnya talak dengan alasan bahwa antara dia dan
suaminya sering terjadi pertengkaran terus menerus dan tidak harmonis lagi disebabkan
antara penggugat dan tergugat tidak ada saling pengertian dan selalu berbeda pendapat.
Dan tergugat telah meninggalkan penggugat selama 2 tahun 7 bulan tanpa nafkah lahir
dan bathin. Penggugat tidak mempunyai saksi-saksi, akan tetapi pengadilan telah
menetapkan jatuhnya talak berdasarkan pengakuan tergugat sendiri atas pelanggaran
janji-janjinya. (Tangerang, 17 September 2006)21
4. Faktor lain, seperti penganiayaan, tepatnya dapat dilihat contoh dibawah ini:
- Komalasari (23 tahun) dan Fahmi Fauji (30 tahun) keduanya menghadap kepengadilan,
Komalasari menggugat cerai karena suaminya pernah menamparnya sehingga ia
mengungsi kerumah adiknya di Pondok Aren Ciledug selama 3 bulan. Dan tergugat
selalu mengancamnya lewat telepon dan sejak itu tidak pernah diberikan nafkah lahir
20
Ibid
21
dua orang saksi. Pengadilan menerima gugatan istri dan menjatuhkan talaknya.
(Tangerang, 10 Juli 2006)22
Dari empat faktor di atas selama tahun 2005 ternyata faktor ketigalah yang paling
tinggi jumlahnya, disitu karena tidak ada keharmonisan dalam rumah tangga sebanyak 174
perkara atau 40, 8 %, sedangkan faktor tidak adanya tanggung jawab 102 perkara atau 24 %,
karena faktor ekonomi sebanyak 49 perkara atau 11, 5 % serta karena faktor moral seperti
poligami tidak sehat sebanyak 11.
Perkara atau 2, 6 %, krisis akhlakq 26 perkara atau 6, 1 %, karena faktor cemburu 32
perkara atau 7, 5 %, gangguan pihak ketiga 25 perkara atau 5, 9 %, dan ada pula karena
penganiayaan sebanyak 7 perkara atau 6, 1 %, hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :
No. Faktor Jumlah % Keterangan
1. Moral :
- Poligami tidak sehat - Krisis Akhlaq - Cemburu
11
26 32
2, 6 %