• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Mutu Bahan Baku Riboflavin Sebagai Bahan Baku Vitamin B Kompleks Yang Diproduksi Oleh Pt. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Uji Mutu Bahan Baku Riboflavin Sebagai Bahan Baku Vitamin B Kompleks Yang Diproduksi Oleh Pt. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

UJI MUTU BAHAN BAKU RIBOFLAVIN SEBAGAI

BAHAN BAKU VITAMIN B KOMPLEKS YANG DIPRODUKSI

OLEH PT. KIMIA FARMA (PERSERO) TBK. PLANT MEDAN

TUGAS AKHIR

OLEH:

YULITA ARMIYA

NIM 122410079

PROGRAM STUDI DIPLOMA III

ANALIS FARMASI DAN MAKANAN

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)
(3)

ii

KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim,

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyusun dan

menyelesaikan Tugas Akhir berjudul ”UJI MUTU BAHAN BAKU

RIBOFLAVIN SEBAGAI BAHAN BAKU VITAMIN B KOMPLEKS YANG

DIPRODUKSI OLEH PT. KIMIA FARMA (PERSERO) TBK. PLANT

MEDAN”. Tugas Akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk dapat

menyelesaikan pendidikan Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan

Makanan di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak,

penulis tidak akan dapat menyelesaikan tugas akhir ini sebagaimana mestinya.

Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

berbagai pihak antara lain:

1. Ibu Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt., selaku Wakil Dekan I Fakultas

Farmasi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt., Ketua Program Studi

Diploma III Analis Farmasi dan Makanan.

3. Bapak Drs. Agusmal Dalimunthe M.S., Apt., selaku Dosen Pembimbing

Tugas Akhir yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan

dengan penuh perhatian hingga Tugas Akhir ini selesai.

4. Bapak Yogi Sugianto S.Farm., Apt., selaku Pembimbing Praktek Kerja

(4)

iii

membimbing dan memberikan banyak ilmu dan arahan pada saat Praktek

Kerja Lapangan.

5. Bapak Dr., Muchlisyam, M.Si., Apt., sebagai Dosen Penasehat Akademis

yang telah memberikan nasehat dan pengarahan kepada penulis dalam hal

Akademis setiap semester.

6. Dosen dan Pegawai Fakultas Farmasi Program Studi Diploma III Analis

Farmasi dan Makanan yang berupaya mendukung kemajuan mahasiswa.

7. Seluruh Staf dan Pegawai PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan yang

telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran kepada penulis dalam

melaksanakan Praktek Kerja Lapangan.

8. Teman-teman PKL yang saling mendukung dan bahu membahu selama PKL

hingga Tugas Akhir ini selesai dan teman-teman mahasiswa Analis Farmasi

dan Makanan stambuk 2012 semuanya tanpa terkecuali, adik-adik stambuk

2013 dan 2014 yang tidak disebutkan namanya satu persatu, terima kasih atas

kebersamaan dan semangatnya selama ini, serta masukan dalam penyusunan

Tugas Akhir ini.

9. Serta pihak-pihak yang telah ikut membantu penulis namun tidak tercantum

namanya.

Teristimewa kedua orang tua penulis yaitu Alm. Ayahanda Suhaili Ismail

dan Ibunda Ulfa haini serta saudara-saudara penulis yaitu Kakak Qamarul Laily,

Emalyn Senorita dan Mona Maya Mita yang selalu memberikan doa serta

semangat, perhatian, dorongan dan pengorbanan baik moril maupun materil dalam

(5)

iv

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan maupun penyajian

tugas akhir ini terdapat kekurangan dan kelemahan serta masih jauh dari

kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis

mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan

tugas akhir ini. Akhir kata, semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan

karunia-Nya kepada kita semua dan harapan penulis semoga tugas akhir ini dapat

memberikan manfaat bagi kita semua. Aamiin yaa Rabbal Alamin.

Medan, April 2015 Penulis,

(6)

v

UJI MUTU BAHAN BAKU RIBOFLAVIN SEBAGAI

BAHAN BAKU VITAMIN B KOMPLEKS YANG DIPRODUKSI OLEH PT. KIMIA FARMA (PERSERO) TBK. PLANT MEDAN

Abstrak

Latar Belakang: Mutu adalah keseluruhan ciri dan karakteristik suatu produk atau layanan yang mendukung kemampuan produk atau layanan itu untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau kebutuhan yang tersirat, sehingga mutu merupakan ketentuan konsumen, bukan produsen atau pemasok. Pengawasan terhadap mutu bahan baku riboflavin perlu dilakukan karena jika tidak memenuhi syarat dapat merugikan konsumen. Oleh karena itu, pemeriksaan terhadap mutu bahan baku riboflavin harus dilakukan sebelum diproses menjadi sediaan.

Tujuan: Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui mutu dari bahan baku riboflavin yang akan digunakan menjadi bahan berkhasiat dalam formulasi pembuatan sediaan tablet vitamin B kompleks memenuhi syarat seperti yang tertera pada Farmakope Indonesia Edisi IV.

Hasil: Hasil pengukuran didapatkan bahwa riboflavin memenuhi spesifikasi pemerian serbuk hablur kuning atau orange kuning, kelarutan sangat sukar larut dalam air praktis tidak larut dalam etanol 96%, susut pengeringan maks 1,5%, suhu lebur ± 280ºC dan kadar yang diperoleh adalah 98,03%, 99,07%, 100,07%, 98,98%.

Kesimpulan: Hasil pemeriksaan bahan baku riboflavin yang telah ditetapkan pemerian, kelarutan, susut pengeringan, suhu lebur, dan kadarnya tersebut telah memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia Edisi III dan IV.

(7)

vi

QUALITY TEST SUBSTANCE RIBOFLAVIN AS

BASIC SUBSTANCE VITAMIN B COMPLEX THAT PRODUCTION BY PT. KIMIA FARMA (PERSERO) TBK. PLANT MEDAN

Abstract

Background: Quality is all of characteristics a product or service that support ability a product or the service forward to satisfied need that evident or the real need, so that quality is certained the consument, neither producer nor supplier. Supervision quality basic substance riboflavin it needs to do it because if there are not fullfill condition can lose out the consument. However, inspection quality basic substance riboflavin have to do before in process can be ready.

Objective: The test have to objective to know quality from basic substance riboflavin it can be used special quality in formulation vitamin B complex tablet dosage is form fullfill condition like officially stamped of Indonesia Farmakope edition IV.

Result: The result of measure it getting that riboflavin fullfill specification form dust the yellow crystal or orange yellow, dissolved is very difficult dissolve in practis water is not dissolve in etanol 96%, decrease warming max 1,5%, melted temperature ± 280ºC and the degree getting are 98,03%, 99,07%, 100,07%, 98,98%.

Conclution: The result of inspection basic substance riboflavin decided form, dissolved, decrease of warming, melted temperature, and the degree have fullfilled condition of Indonesia Farmakope Edition III and IV.

(8)
(9)

viii

2.7.2. Instrumentasi Spektrofotometer UV-Vis ... 16

(10)

ix

3.4.3. Susut Pengeringan ... 20

3.4.4. Suhu Lebur ... 21

3.4.5. Pembuatan Larutan Baku ... 22

3.4.6. Pembuatan Larutan Uji ... 22

3.4.7. Penetapan Kadar Secara Spektrofotometer UV-Vis ... 22

3.4.8. Perhitungan ... 23

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

4.1. Hasil ... 25

4.2. Pembahasan ... 26

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 27

5.1. Kesimpulan ... 27

5.2. Saran ... 27

(11)

x

DAFTAR TABEL

Halaman

(12)

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

(13)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Perhitungan Penetapan Kadar Bahan Baku ... 30

Lampiran 2. Hasil Pemeriksaan Bahan Baku ... 32

Lampiran 3. Hasil Absorban Larutan Uji ... 33

Lampiran 4. Hasil Absorban Larutan Standart ... 34

Lampiran 5. Gambar Alat Digital Semi Micro Balance ... 35

Lampiran 6. Gambar Alat Melting Point Analyzer ... 35

Lampiran 7. Gambar Alat Moisture Analyzer ... 36

(14)

v

UJI MUTU BAHAN BAKU RIBOFLAVIN SEBAGAI

BAHAN BAKU VITAMIN B KOMPLEKS YANG DIPRODUKSI OLEH PT. KIMIA FARMA (PERSERO) TBK. PLANT MEDAN

Abstrak

Latar Belakang: Mutu adalah keseluruhan ciri dan karakteristik suatu produk atau layanan yang mendukung kemampuan produk atau layanan itu untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau kebutuhan yang tersirat, sehingga mutu merupakan ketentuan konsumen, bukan produsen atau pemasok. Pengawasan terhadap mutu bahan baku riboflavin perlu dilakukan karena jika tidak memenuhi syarat dapat merugikan konsumen. Oleh karena itu, pemeriksaan terhadap mutu bahan baku riboflavin harus dilakukan sebelum diproses menjadi sediaan.

Tujuan: Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui mutu dari bahan baku riboflavin yang akan digunakan menjadi bahan berkhasiat dalam formulasi pembuatan sediaan tablet vitamin B kompleks memenuhi syarat seperti yang tertera pada Farmakope Indonesia Edisi IV.

Hasil: Hasil pengukuran didapatkan bahwa riboflavin memenuhi spesifikasi pemerian serbuk hablur kuning atau orange kuning, kelarutan sangat sukar larut dalam air praktis tidak larut dalam etanol 96%, susut pengeringan maks 1,5%, suhu lebur ± 280ºC dan kadar yang diperoleh adalah 98,03%, 99,07%, 100,07%, 98,98%.

Kesimpulan: Hasil pemeriksaan bahan baku riboflavin yang telah ditetapkan pemerian, kelarutan, susut pengeringan, suhu lebur, dan kadarnya tersebut telah memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia Edisi III dan IV.

(15)

vi

QUALITY TEST SUBSTANCE RIBOFLAVIN AS

BASIC SUBSTANCE VITAMIN B COMPLEX THAT PRODUCTION BY PT. KIMIA FARMA (PERSERO) TBK. PLANT MEDAN

Abstract

Background: Quality is all of characteristics a product or service that support ability a product or the service forward to satisfied need that evident or the real need, so that quality is certained the consument, neither producer nor supplier. Supervision quality basic substance riboflavin it needs to do it because if there are not fullfill condition can lose out the consument. However, inspection quality basic substance riboflavin have to do before in process can be ready.

Objective: The test have to objective to know quality from basic substance riboflavin it can be used special quality in formulation vitamin B complex tablet dosage is form fullfill condition like officially stamped of Indonesia Farmakope edition IV.

Result: The result of measure it getting that riboflavin fullfill specification form dust the yellow crystal or orange yellow, dissolved is very difficult dissolve in practis water is not dissolve in etanol 96%, decrease warming max 1,5%, melted temperature ± 280ºC and the degree getting are 98,03%, 99,07%, 100,07%, 98,98%.

Conclution: The result of inspection basic substance riboflavin decided form, dissolved, decrease of warming, melted temperature, and the degree have fullfilled condition of Indonesia Farmakope Edition III and IV.

(16)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Mutu adalah keseluruhan ciri dan karakteristik suatu produk atau layanan

yang mendukung kemampuan produk atau layanan itu untuk memuaskan

kebutuhan yang dinyatakan atau kebutuhan yang tersirat (Siregar, 2010).

Mutu harus dijaga mulai dari perencanaan terhadap produk, termasuk

perencanaan terhadap bangunan, ruang-ruang, ventilasi, kebersihan, dan sanitasi

lingkungan yang akan mendukung proses produksi nantinya (Lachman, dkk.,

1994).

Vitamin merupakan suatu molekul organik yang sangat diperlukan oleh

tubuh untuk proses metabolisme dan pertumbuhan yang normal. Vitamin-vitamin

tidak dapat dibuat oleh tubuh manusia dalam jumlah yang sangat cukup, oleh

karena itu, harus diperoleh dari bahan pangan yang dikonsumsi (Budiyanto,

2009).

Riboflavin dalam bentuk murni diperoleh dari isolasi ragi, hati, putih telur

dan susu. Vitamin ini dinamakan riboflavin karena terjadi dari persenyawaan

ribosa (satu gula lima karbon) dengan suatu zat berwarna kuning orange yang

memberikan fluoresensi kuning kehijauan pada larutan. Sumber riboflavin

terutama berasal dari hasil ternak. Hati, ginjal, dan jantung mengandung riboflavin

dalam jumlah yang sangat tinggi (Budiyanto, 2009).

Bahan baku adalah semua bahan, baik yang berkhasiat (zat aktif) maupun

(17)

2

yang digunakan dalam pengolahan obat walaupun tidak semua bahan tersebut

masih terdapat didalam produk ruahan (Siregar, 2010).

Komponen bahan baku adalah bahan aktif, bahan tambahan dan bahan

pengemas. Pada bentuk sediaan tablet bahan bakunya adalah bahan aktif (active

pharmacetical ingredient), bahan pengisi, bahan pengikat, bahan pengembang,

dan bahan pelicin. Dalam hal tertentu bisa juga ditambahkan bahan lain, bahan

pewarna, penambah rasa, antioksidan. Di industri PT. Kimia Farma Plant. Medan

salah satu tablet yang diproduksi adalah vitamin B kompleks. Salah satu Bahan

aktifnya adalah riboflavin harus memenuhi spesifikasi Farmakope Edisi III

meliputi pemerian, kelarutan, susut pengeringan, suhu lebur, dan kadar. Guna

pemeriksaan bahan baku untuk menyesuaikan persyaratan spesifikasi, serta

menghindari pemalsuan.

Pada industri PT. Kimia Farma Plant. Medan pemeriksaan bahan baku

dilakukan oleh laboratorium Quality Control. Berdasarkan hal diatas maka penulis

ingin berpartisipasi ikut melakukan pemeriksaan bahan baku pada industri

tersebut. Sehingga penulis tertarik untuk mengambil judul tugas akhir sebagai

berikut ”Uji Mutu Bahan Baku Riboflavin Sebagai Bahan Baku Vitamin B

Kompleks”. Dalam tugas akhir ini data yang ditampilkan adalah hasil

pemeriksaan bahan baku riboflavin pada siklus pertama tahun 2015 produksi

(18)

3 1.2 Tujuan dan Manfaat

1.2.1 Tujuan

Untuk mengetahui apakah mutu bahan baku riboflavin yang akan

digunakan menjadi bahan berkhasiat dalam formulasi pembuatan sediaan tablet

Vitamin B Kompleks memenuhi syarat atau tidak seperti yang tertera pada

Farmakope Indonesia edisi IV.

1.2.2 Manfaat

Untuk mengetahui mutu bahan baku riboflavin, serta menambah

pengetahuan dan keterampilan, khususnya tentang uji mutu bahan baku riboflavin

(19)

4 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Obat

Obat adalah unsur aktif secara fisiologi dipakai dalam diagnosis,

pencegahan, pengobatan, atau penyembuhan suatu penyakit pada manusia atau

hewan. Obat dapat berasal dari alam diperoleh dari sumber mineral,

tumbuh-tumbuhan atau hewan atau dapat dihasilkan dari sintesis kimia organik atau

biosintesis (Ansel, 1989).

Menurut undang-undang, yang dimaksud dengan obat adalah suatu bahan

atau campuran bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menentukan

diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau

gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia atau

hewan, termasuk memperelok tubuh atau bagian tubuh manusia (Syamsuni,

2007).

Meskipun obat dapat menyembuhkan penyakit, tapi banyak kejadian yang

mengakibatkan seseorang menderita akibat keracunan obat. Oleh karena itu, dapat

dikatakan bahwa obat dapat bersifat sebagai obat dan dapat juga bersifat sebagai

racun. Obat itu akan bersifat sebagai obat apabila tepat digunakan dalam

pengobatan suatu penyakit dengan dosis dan waktu yang tepat. Jadi, apabila obat

salah digunakan dalam pengobatan atau dengan dosis yang berlebih maka akan

menimbulkan keracunan. Dan bila dosisnya kecil maka kita tidak akan

(20)

5 2.2 Bahan baku

Menurut Dirjen POM (2012), bahan aktif obat adalah tiap bahan yang

digunakan dalam pembuatan sediaan farmasi dan apabila digunakan dalam

pembuatan obat akan menjadi zat aktif obat tersebut. Bahan tersebut bertujuan

untuk menghasilkan khasiat farmakologi atau memberikan efek langsung lain

dalam diagnosis, penyembuhan, peredaan, pengobatan atau pencegahan penyakit,

atau untuk memengaruhi struktur dan fungsi tubuh.

Semua bahan baku yang digunakan harus memenuhi persyaratan resmi

farmakope atau persyaratan lain yang disetujui oleh regulator atau oleh industri

farmasi yang bersangkutan. Selain itu, bahan–bahan yang dibeli harus sesuai

dengan spesifikasi hasil uji praformulasi agar diperoleh mutu obat yang konsisten

dan memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, stabilitas, dan ketersediaan hayati

(Siregar, 2010).

Formulasi pembuatan tablet vitamin B kompleks yang diproduksi oleh PT.

Kimia Farma Plant. Medan

(21)

6 2.3 Uji Mutu Bahan Baku

2.3.1 Pemerian

Pemerian memuat paparan mengenai sifat zat yang diuraikan secara umum

terutama meliputi wujud, rupa, warna, rasa, bau dan untuk beberapa hal

dilengkapi dengan sifat kimia atau sifat fisiknya, dimaksudkan untuk dijadikan

petunjuk dalam pembuatan, peracikan dan penggunaan, di samping juga berguna

untuk membantu pemeriksaan pendahuluan dalam pengujian. Karena itu,

pernyataan yang terdapat di dalamnya tidak cukup kuat dijadikan syarat baku

(Ditjen POM, 1984).

2.3.2 Kelarutan

Untuk menyatakan kelarutan zat kimia, istilah kelarutan dalam pengertian

umum kadang-kadang perlu digunakan, tanpa mengindahkan perubahan kimia

yang mungkin terjadi pada pelarutan tersebut. Pernyataan kelarutan zat dalam

bagian tertentu pelarut adalah kelarutan pada suhu 20º dan kecuali dinyatakan lain

menunjukkan bahwa, 1 bagian bobot zat padat atau 1 bagian volume zat cair larut

dalam bagian volume tertentu pelarut. Pernyataan kelarutan yang tidak disertai

angka adalah kelarutan pada suhu kamar. Kecuali dinyatakan lain, zat jika

dilarutkan boleh menunjukkan sedikit kotoran mekanik seperti bagian kertas

saring, serat dan butiran debu. Pernyataan bagian dalam kelarutan berarti bahwa

1g zat padat atau 1 ml zat cair dalam sejumlah ml pelarut. Jika kelarutan suatu zat

tidak diketahui dengan pasti, kelarutannya dapat ditunjukkan dengan kelarutan

yang tertera pada kelarutan dalam etanol merupakan syarat baku obat yang

(22)

7 2.3.3 Susut Pengeringan

Susut pengeringan adalah banyaknya bagian zat yang mudah menguap,

termasuk air, ditetapkan dengan cara pengeringan, kecuali dinyatakan lain,

dilakukan pada suhu 105º hingga bobot tetap (Ditjen POM, 1984).

Prosedur ini digunakan untuk penetapan jumlah semua jenis bahan yang

mudah menguap dan hilang pada kondisi tertentu. Untuk zat yang diperkirakan

mengandung air sebagai satu-satunya bahan mudah menguap, cara yang terdapat

pada penetapan kadar air sudah memadai dan dicantumkan dalam masing-masing

monografi (Ditjen POM, 1995).

2.3.4 Suhu Lebur

Suhu lebur zat adalah suhu pada saat zat tepat melebur seluruhnya yang

ditunjukkan pada saat fase padat tepat hilang (Ditjen POM, 1984).

Dalam farmakope, jarak lebur atau suhu lebur zat padat didefinisikan

sebagai rentang suhu atau suhu pada saat zat padat menyatu dan melebur

sempurna (Ditjen POM, 1995).

2.3.5 Penetapan Kadar Secara Spektrofotometer UV-Vis

Spektrofotometri serap adalah pengukuran serapan radiasi elektromagnet

panjang gelombang tertentu yang sempit, mendekati monokromatik, yang diserap

zat. Pengukuran serapan dapat dilakukan pada daerah ultraviolet (panjang

gelombang 190 nm – 380 nm) atau pada daerah cahaya tampak (panjang

gelombang 380 nm – 780 nm) (Ditjen POM, 1984).

Identifikasi zat secara spektrofotometri pada daerah ultraviolet pada

(23)

8

pelarut, dan dengan kadar seperti yang tertera pada monografi, untuk menetapkan

letak serapan maksimum atau minimum (Ditjen POM, 1984).

Penetapan secara kuantitatif dilakukan dengan mengukur serapan larutan

zat dalam pelarut serta pada panjang gelombang tertentu. Pengukuran serapan

biasanya dilakukan pada panjang gelombang serapan maksimum dan yang

umumnya telah dicantumkan pada monografi (Ditjen POM, 1984).

2.4 Vitamin

Vitamin adalah zat-zat organik kompleks yang dibutuhkan dalam jumlah

sangat kecil dan pada umumnya tidak dapat dibentuk oleh tubuh. Oleh karena itu,

harus didatangkan dari makanan. Vitamin termasuk kelompok zat pengatur

pertumbuhan dan pemeliharaan kehidupan. Tiap vitamin mempunyai tugas

spesifik di dalam tubuh. Karena vitamin adalah zat organik maka vitamin dapat

rusak karena penyimpanan dan pengolahan (Almatsier, 2009).

Vitamin dikenal sebagai mikronutrien karena vitamin dibutuhkan pada

makanan manusia hanya dalam jumlah miligram atau mirogram per hari. Vitamin

masuk ke dalam tubuh bersama makanan. Kebutuhan tubuh akan berbagai vitamin

tidak sama setiap hari sebab masing-masing vitamin mempunyai fungsi yang

berbeda. Jumlah kebutuhan vitamin per hari ada yang dapat ditentukan dengan

pasti dan ada yang tidak (Sumardjo, 2009).

Kebutuhan tubuh akan vitamin ada batasnya. Kelebihan suatu vitamin

tidak selalu dibuang, tetapi ada juga yang disimpan. Contohnya vitamin A,

disimpan dalam jumlah besar di hati, sedangkan penyimpanan vitamin K dalam

(24)

9

diperlukan tambahan setiap hari dan hal ini diperoleh dari makanan (Sumardjo,

2009).

Vitamin dibagi menjadi dua golongan yaitu (1) vitamin larut lemak:

vitamin A, D, E, dan K; dan (2) vitamin larut air: vitamin B kompleks dan vitamin

C. Vitamin larut air disimpan dalam tubuh hanya dalam jumlah terbatas dan

sisanya dibuang, sehingga untuk mempertahankan saturasi jaringan vitamin larut

air perlu sering dikonsumsi. Meskipun demikian, pemberian vitamin larut air

dalam jumlah berlebihan selain merupakan pemborosan, juga mungkin

menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Sebaliknya vitamin larut lemak dapat

disimpan dalam jumlah banyak, sehingga untuk timbulnya gejala defisiensi

dibutuhkan waktu lebih lama dan kemungkinan terjadinya toksisitas jauh lebih

besar dari pada vitamin larut air (Setiabudy, 2007).

2.4.1 Fungsi Vitamin

Vitamin berperan dalam beberapa tahap reaksi metabolisme energi,

pertumbuhan, dan pemeliharaan tubuh, pada umumnya sebagai koenzim atau

sebagai bagian dari enzim. Sebagian besar koenzim terdapat dalam bentuk

apoenzim, yaitu vitamin yang terikat dengan protein (Almatsier, 2009).

2.4.2 Vitamin Larut Lemak

Vitamin larut lemak (vitamin A, D, E, dan K) diabsorpsi dengan cara yang

kompleks dan sejalan dengan absorpsi lemak. Vitamin-vitamin ini disimpan

terutama di hati dan diekskresi melalui feses. Karena metabolismenya sangat

(25)

10

Vitamin larut dalam lemak, pada umumnya stabil terhadap pemasakan,

namun kandungannya dalam bahan makanan akan berkurang bila bahan makanan

tersebut menjadi tengik, kering, atau layu. Penyerapan vitamin golongan ini dalam

usus membutuhkan lemak dalam makanan dan aktivitas asam-asam empedu.

Kelebihan vitamin akan disimpan dalam tubuh, terutama di hati (Sumardjo, 2009).

2.4.3 Vitamin Larut Air

Vitamin larut air terdiri dari vitamin B kompleks dan vitamin C. Vitamin

B kompleks mencakup sejumlah vitamin dengan rumus kimia dan efek biologik

yang sangat berbeda yang digolongkan bersama karena dapat diperoleh dari

sumber yang sama, antara lain hati dan ragi. Yang termasuk dalam golongan

vitamin ini adalah: tiamin (vitamin B1), riboflavin (vitamin B2), asam nikotinat

(niasin), piridoksin (vitamin B6), asam pantotenat, biotin, kolin, inositol, asam

para-amino benzoat, asam folat dan sianokobalamin (vitamin B12) (Setiabudy,

2007).

Sebagian besar vitamin larut air merupakan komponen sistem enzim yang

banyak terlibat dalam membantu metabolisme energi. Vitamin larut air biasanya

tidak disimpan di dalam tubuh dan dikeluarkan melalui urin dalam jumlah kecil.

Oleh sebab itu vitamin larut air perlu dikonsumsi tiap hari untuk mencegah

kekurangan yang dapat mengganggu fungsi tubuh normal (Almatsier, 2009).

2.5 Vitamin B2 (Riboflavin)

Vitamin B2 (riboflavin) sangat penting dalam berbagai proses yang terjadi

(26)

11

Sumber makanan yang banyak mengandung vitamin B2 adalah produk-produk

olahan susu, daging, ikan dan unggas (Kristanti, 2010).

Riboflavin terutama berfungsi sebagai komponen koenzim Flavin Adenin

Dinukleotida (FAD) dan Flavin Adenin Mononukleotida (FMN). Kedua enzim

flavoprotein terlibat dalam reaksi oksidasi-reduksi berbagai jalur metabolisme

energi dan mempengaruhi respirasi sel (Almatsier, 2009).

Riboflavin yang berwarna kuning jingga sangat sukar larut dalam air,

dalam pelarut organik praktis tidak larut. Sebaliknya senyawa ini larut baik dalam

asam klorida pekat ataupun dalam larutan alkali hidroksida encer dengan

pembentukan garam secara mudah. Larutan dalam basa terurai dengan cepat.

Penentuan kadar dilakukan dengan penentuan ekstinksi larutan riboflavin pada

444 nm. Kadarnya selanjutnya dihitung dengan bantuan ekstinksi jenis (Schunack,

dkk., 1990).

Riboflavin dalam bentuk murni diperoleh dari isolasi ragi, hati, putih telur,

dan susu. Vitamin ini dinamakan riboflavin karena terjadi dari persenyawaan

ribosa (suatu gula lima karbon) dengan suatu zat berwarna kuning oranye yang

memberikan fluoresensi kuning kehijauan pada larutan. Sifat riboflavin larut

dalam air dan tahan panas di dalam larutan netral atau asam, namun dapat rusak

bila dipanaskan dalam larutan basa atau bila kena sinar matahari (Kusharto, 1992).

Penyebab kekurangan vitamin B2 jarang terjadi, kecuali di daerah-daerah

dimana makanan terutama berupa padi giling. Kekurangan vitamin ini juga bisa

terjadi pada:

(27)

12 • Penderita penyakit hati

• Penderita diare menahun

Gejala yang paling sering terjadi adalah luka terbuka di sudut mulut, yang

diikuti dengan bibir pecah-pecah, yang bisa meninggalkan jaringan parut. Jika

didaerah mulut terjadi thrush (suatu infeksi jamur), akan tampak bercak-bercak

putih keabuan. Warna lidah berubah menjadi magenta dan pada daerah diantara

hidung dan bibir muncul bercak-bercak berminyak (seboroik). Kadang tumbuh

pembuluh darah ke dalam kornea, menyebabkan mata silau. Pada laki-laki kulit

buah zakar mengalami peradangan (Kristanti, 2010).

Menurut Dirjen POM (1995), sifat fisika dan kimia riboflavin adalah

sebagai berikut:

Gambar 2.1. Struktur Riboflavin Rumus molekul : C17H2ON4O6

Berat molekul : 376,37

Pemerian : Serbuk hablur, kuning hingga kuning jingga; bau lemah.

Melebur pada suhu lebih kurang 280º. Larutan jernihnya

netral terhadap lakmus. Jika kering tidak begitu

(28)

13

cahaya sangat cepat menyebabkan peruraian, terutama jika

ada alkali.

Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air, dalam etanol dan dalam

larutan natrium klorida 0,9%; sangat mudah larut dalam

larutan alkali encer; tidak larut dalam eter dan dalam

kloroform.

Baku pembanding : Riboflavin BPFI; lakukan pengeringan pada suhu 105º

sebelum digunakan.

Identifikasi : Larutan 1 mg dalam 100 ml air dilihat dengan cahaya

yang ditransmisikan larutan berwarna kuning pucat

kehijauan, berfluoresensi hijau kekuningan intensif, yang

dengan penambahan asam mineral atau alkali, fluoresensi

hilang.

Susut pengeringan : Tidak lebih dari 1,5%, lakukam pengeringan pada suhu

105º selama 2 jam, menggunakan 500 mg.

Syarat kadar : Riboflavin mengandung tidak kurang dari 98,0% dan

tidak lebih dari 102,0% C17H2ON4O6, dihitung terhadap zat

yang telah dikeringkan.

Perhitungan penetapan kadar dapat dilakukan dengan menggunakan rumus

sebagai berikut :

C

��

(29)

14 Keterangan :

C : Kadar Riboflavin BPFI dalam µg per ml

Iu : Serapan Larutan Uji

Is : Serapan Larutan Baku

2.5.1 Indikasi

Penggunaanya yang utama adalah untuk pencegahan dan terapi defisiensi

vitamin B2 yang sering menyertai pelagra atau defisiensi vitamin B kompleks

lainnya, sehingga riboflavin sering diberikan bersama vitamin lain. Dosis untuk

pengobatan adalah 5-10 mg/hari (Setiabudy, 2007).

Kebutuhan riboflavin per hari untuk bayi sekitar 0,6 mg; anak-anak dan

orang dewasa sekitar 0,9-2,5 mg, sedangkan untuk ibu-ibu selama hamil dan

menyusui sekitar 3 mg. Defisiensi riboflavin dapat menyebabkan luka-luka khas

pada bibir (cheilocis), radang pada lidah (glossitis), dan radang pada selaput mata

(conjunctivis) (Sumardjo, 2009).

2.5.2 Farmakologi

Defisiensi riboflavin ditandai dengan gejala sakit tenggorok dan radang di

sudut mulut (stomatitis angularis), keilosis, glositis, lidah berwarna merah dan

licin. Timbul dermatitis seboroik di muka, anggota gerak dan seluruh badan.

Gejala-gejala pada mata adalah fotofobia, lakrimasi, gatal dan panas (Setiabudy,

(30)

15

2.6 Metode Analisis Vitamin B2 (Riboflavin) 2.6.1 Metode Spektrofotometri

Larutan riboflavin dalam dapar pH 4,0 menunjukkan absorbansi

maksimum (λ maks) pada 444 nm dengan �1�� 1%

320. Cara ini digunakan untuk

menetapkan kemurnian riboflavin atau untuk penetapan riboflavin dengan kadar

lebih besar dari 90%. Penetapan riboflavin dilakukan dengan cara terlindung dari

cahaya (Rohman, 2008).

Cara penetapan riboflavin tunggal secara spektrofotometri: lebih kurang

100 mg riboflavin yang ditimbang saksama dilarutkan dengan pemanasan dalam

campuran 2 mL asam asetat glasial dan 150 mL air. Larutan selanjutnya

diencerkan dengan air, didinginkan, ditambah air secukupnya hingga 1000 mL.

Pada 10,0 mL larutan ditambah 3,5 mL natrium asetat 0,1 M kemudian ditambah

air secukupnya hingga 100 mL. Larutan akhir diukur absorbansinya dengan kuvet

1 cm pada panjang gelombang 444 nm. Kadar riboflavin dihitung dengan

menggunakan riboflavin baku sebagai pembanding (Rohman, 2008).

2.7 Spektrofotometer

2.7.1 Spektrofotometer UV-Vis

Spektrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari

spektrometer dan fotometer. Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum

dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas

cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi, spektrofotometer

(31)

16

ditransmisikan, direfleksikan, atau diemisikan sebagai fungsi panjang gelombang

(Khopkar, 2008).

Spektrofotometer yang sesuai untuk pengukuran di daerah spektrum

ultraviolet dan sinar tampak terdiri atas suatu sistem optik dengan kemampuan

menghasilkan sinar monokromatis dalam jangkauan panjang gelombang 200-800

nm (Rohman, 2007).

Spektrofotometer UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan

intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorpsi oleh sampel. Sinar

ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan

elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spektroskopi

UV-Vis biasanya digunakan untuk molekul dan ion anorganik atau kompleks di dalam

larutan. Spektrum UV-Vis mempunyai bentuk yang lebar dan hanya sedikit

informasi tentang struktur yang bisa didapatkan dari spektrum ini. Tetapi

spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Konsentrasi dari

analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan mengukur absorban pada panjang

gelombang tertentu dengan menggunakan hukum Lambert-Beer. Sinar ultraviolet

berada pada panjang gelombang 200-400 nm sedangkan sinar tampak berada pada

panjang gelombang 400-800 nm (Dachriyanus, 2004).

2.7.2 Instrumentasi Spektrofotometer UV-Vis

Instrumen yang digunakan untuk mempelajari serapan atau emisi radiasi

elektromagnetik sebagai fungsi dari panjang gelombang disebut ”spektrometer”

atau spektrofotometer. Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer

(32)

lensa-17

lensa, cermin, celah-celah, dan lain-lain, (3) monokromator untuk mengubah

radiasi menjadi komponen-komponen panjang gelombang tunggal, (4) tempat

cuplikan yang transparan, dan (5) detektor radiasi yang dihubungkan dengan

sistem meter atau pencatat (Sastrohamidjojo, 1991).

Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer meliputi:

a. Sumber tenaga radiasi

Sumber radiasi ultraviolet. Sumber-sumber radiasi ultraviolet yang

kebanyakan digunakan adalah lampu hidrogen dan lampu deuterium. Mereka

terdiri dari sepasang elektroda yang terselubung dalam tabung gelas dan diisi

dengan gas hidrogen atau deuterium pada tekanan yang rendah. Bila tegangan

yang tinggi dikenakan pada elektroda-elektroda, maka akan dihasilkan

elektron-elektron yang mengeksitasikan elektron-elektron-elektron-elektron lain dalam molekul gas ke

tingkatan tenaga yang tinggi. Bila elektron-elektron kembali ke tingkat dasar

mereka melepaskan radiasi yang kontinyu dalam daerah sekitar 180 dan 350 nm.

Sumber radiasi ultraviolet yang lain adalah lampu xenon, tetapi ia tidak se stabil

lampu hidrogen (Sastrohamidjojo, 1991).

b. Monokromator

Seperti kita ketahui bahwa sumber radiasi yang umum digunakan

menghasilkan radiasi kontinu dalam kisaran panjang gelombang yang lebar.

Dalam spektrometer, radiasi yang polikromatik ini harus diubah menjadi radiasi

monokromatik. Ada dua jenis alat yang digunakan untuk mengurai radiasi

polikromatik menjadi monokromatik yaitu penyaring dan monokromator.

(33)

18

panjang gelombang tertentu dan menyerap radiasi dari panjang gelombang yang

lain. Monokromator merupakan serangkaian alat optik yang menguraikan radiasi

polikromatik menjadi jalur-jalur yang efektif/panjang gelombang-gelombang

tunggalnya dan memisahkan panjang gelombang-gelombang tersebut menjadi

jalur-jalur yang sangat sempit (Sastrohamidjojo, 1991).

c. Tempat cuplikan

Cuplikan yang akan dipelajari pada daerah ultraviolet atau terlihat yang

biasanya berupa gas atau larutan ditempatkan dalam sel atau cuvet. Untuk daerah

ultraviolet biasanya digunakan Quartz atau sel dari silika yang dilebur, sedangkan

untuk daerah terlihat digunakan gelas biasa atau quartz (Sastrohamidjojo, 1991).

d. Detektor

Setiap detektor menyerap tenaga foton yang mengenainya dan mengubah

tenaga tersebut untuk dapat diukur secara kuantitatif seperti sebagai arus listrik

atau perubahan-perubahan panas. Kebanyakan detektor menghasilkan sinyal

listrik yang dapat mengaktifkan meter atau pencatat. Setiap pencatat harus

menghasilkan sinyal yang secara kuantitatif berkaitan dengan tenaga cahaya yang

mengenainya. Persyaratan-persyaratan penting detektor meliputi: (1) sensitivitas

tinggi hingga dapat mendeteksi tenaga cahaya yang mempunyai tingkatan rendah

sekalipun, (2) waktu respon yang pendek, (3) stabilitas yang panjang/lama untuk

menjamin respon secara kuantitatif, dan (4) sinyal elektronik yang mudah

(34)

19 BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat

Uji mutu bahan baku riboflavin ini dilakukan di Laboratorium yang

terdapat di PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan yang beralamat di Jl.

Sisingamangaraja Km.9 No. 59 Medan.

3.2 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan adalah Moisture Analyzer merk Mettler Toledo

type HB43–S Halogen, Melting Point Merk Buchi type B-545, Spektrofotometer

UV-Vis merk Agilent type 8453 E, Ultrasonic Digital, Digital balance merk

Satorius type ep 224 5, kertas perkarmen, spatuladan alat-alat gelas (beaker gelas,

corong, gelas ukur, labu tentukur dan pipet volume).

3.3 Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan adalah Riboflavin Baku Pembanding

Farmakope Indonesia (BPFI), dan Sampel yang diuji bahan baku riboflavin

dengan No. Batch RIB1497FP, Asam Asetat Glasial (p), dan Aquadem.

3.4 Prosedur Pemeriksaan 3.4.1 Pemerian

Dapat di amati secara visual.

3.4.2 Kelarutan

Diambil sampel lalu dilarutkan dalam 30 ml aquadem dan diambil lagi

(35)

20 3.4.3 Susut Pengeringan

a. Ditimbang dengan teliti 500 mg sampel, lakukan pengeringan pada suhu

105º C selama 2 jam.

b. Tekan tombol “Power” untuk menghidupkan printer. Hubungkan steaker

alat dengan stop kontak, tekan tombol “On/Off” hingga muncul tampilan

dasar pada display.

c. Tekan tombol “Menu” kemudian pilih metode, ”Method A” atau ”Method

B”. kemudian tekan “Sel” lalu dipilih data produk yang akan diuji.

d. Untuk mengubah parameter data produk, tekan “Edit”, lalu pilih “Name

lalu “Edit” isi nama produk yang akan diuji. Gunakan “A” untuk huruf

kapital atau “abc” untuk huruf kecil.

e. Tekan “ → “ untuk pengetikan karakter kedua dan gunakan ”^” atau ”v” untuk memilih huruf, bila telah selesai tekan “ ← ”.

f. Tekan “v” untuk memilih parameter selanjutnya “Target weight” isi

dengan bobot sampel yang akan diuji, gunakan ”_” atau “+” untuk

menambah atau mengurangi bobot kemudian tekan “ ← “.

g. Parameter selanjutnya “Drying program” tekan “Edit” kemudian pilih

“STD”.

h. Tekan “v” untuk memilih parameter selanjutnya “Temperature” isi dengan

syarat suhu pemanasan sesuai dengan sampel yang diuji. Gunakan “_” atau

“+” untuk menambah atau mengurangi suhu lalu tekan “ ← ”.

i. Tekan “v” untuk memilih parameter selanjutnya “Switch of mode” lalu

(36)

21

yang bisa digunakan untuk semua sampel, lalu tekan “ ← ” . Gunakan “v” untuk memilih tingkat pemanasan yang lain.

j. Setelah semua parameter diisi lalu tekan “Exit” 2x kemudian “Yes”.

k. Tekan tombol “A” atau “B” untuk menampilkan sampel yang akan diuji.

l. Kemudian buka penutupnya dan tutup kembali, bila alat digunakan

pertama kalinya. Namun bila alat sudah digunakan buka penutup sekali

saja.

m. Kemudian masukkan sampel sesuai dengan bobot maksimum dan

minimum pada display, lalu angkat pan piringan dan ratakan sampel.

n. Tutup kembali penutupnya, dan biarkan proses berjalan hingga hasil di

proleh.

3.4.4 Suhu Lebur

a. Hubungkan steaker alat dengan stop kontak.

b. Hidupkan alat dan printer dengan menekan switch power ke arah “On”.

c. Masukkan zat yang diperiksa pada tabung khusus dan masukkan tabung

tersebut pada lubang khusus yang terdapat pada bagian atas dari alat.

d. Tekan menu, atur set point, gradient, dan max point sesuai temperature

±10ºC, tekan enter.

e. Tekan menu, ketikkan nama zat yang diperiksa tekan enter.

f. Tekan menu, pada layar display muncul recall, store, clear dan print.

g. Tekan next 3 kali, kemudian tekan tombol start.

h. Tunggu beberapa menit sampai selesai pemeriksaan dan hasil pemeriksaan

(37)

22

i. Tekan stop dan biarkan beberapa menit sampai alat dingin.

3.4.5 Pembuatan Larutan Baku

a. Ditimbang seksama sejumlah Riboflavin BPFI sebanyak 10 mg.

b. Dimasukkan ke dalam labu tentukur 250 ml.

c. Ditambahkan 2 ml Asam Asetat Glasial (p).

d. Ditambahkan 20 ml Aquadem.

e. Dilarutkan dengan menggunakan alat Ultrasonic digital selama 15 menit.

f. Dicukupkan aquadem sampai garis tanda.

g. Dihomogenkan (larutan A).

3.4.6 Pembuatan Larutan Uji

a. Ditimbang seksama 10 mg zat uji.

b. Dimasukkan kedalam labu tentukur 250 ml.

c. Ditambahkan 2 ml Asam Asetat Glasial (p).

d. Ditambahkan 20 ml Aquadem.

e. Dilarutkan dengan menggunakan alat Ultrasonic digital selama 15 menit.

f. Dicukupkan aquadem sampai garis tanda.

g. Dihomogenkan (larutan B).

3.4.7 Penetapan Kadar Secara Spektrofotometer UV-Vis

Tahapan kerja penetapan kadar yang dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Hidupkan seperangkat alat spektofotometer ultra violet (UV).

b. Klik program spektofotometer ultra violet (UV) yang terdapat di

(38)

23

c. Klik menu Quantification, masukkan panjang gelombang maksimum (444

nm) serta jarak batas atas dan batas bawah panjang gelombang (400 nm

dan 500 nm).

d. Tunggu selama 1 jam sampai mesin stabil.

e. Masukkan aquadem (blanko) ke dalam kuvet.

f. Letakkan kuvet di tempat pengukuran.

g. Klik blank, lalu spektrum keluar.

h. Masukkan larutan A (Larutan baku pembanding/BPFI) ke dalam kuvet.

i. Letakkan kuvet di tempat pengukuran.

j. Klik standard, lalu Procosed spectrum standard and calibration curve

keluar serta enam buah absorbansi keluar di dalam tabel. Dalam

perhitungan kadar yang digunakan adalah nilai rata-rata dari keenam

absorbansi.

k. Masukkan larutan B (Larutan uji) ke dalam kuvet.

l. Letakkan kuvet di tempat pengukuran.

m. Klik sampel, lalu Overhaid sampel spectra keluar. Serta 2 buah absorbansi

keluar di dalam tabel, dalam perhitungan kadar yang digunakan adalah

nilai rata-rata dari kedua absorbansi untuk masing-masing larutan B.

n. Catat absorban sampel yang diuji.

3.4.8 Perhitungan

Perhitungan penetapan kadar bahan baku riboflavin dapat dilakukan

(39)

24 � =�������

������� �������

Keterangan :

C : Kadar Riboflavinum (%)

Abs Uji : Absorban Larutan Uji

Abs Std : Absorban Larutan Baku

(40)

25 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil

Berdasarkan uji mutu bahan baku riboflavin yang dilakukan, diperoleh

sebagai berikut:

Tabel 4.1. Data Hasil Pemeriksaan Bahan Baku

Pemeriksaan Persyaratan Hasil

Pemerian Serbuk hablur kuning

atau orange kuning

Serbuk hablur kuning

atau orange kuning

Kelarutan Sangat sukar larut dalam

air praktis tidak larut

dalam etanol 96%

Sangat sukar larut dalam

air praktis tidak larut

(41)

26 4.2 Pembahasan

Dari hasil uji mutu bahan baku riboflavin yang dilakukan bahwa pengujian

pemerian memenuhi syarat Farmakope Indonesia Edisi IV, yaitu serbuk hablur

kuning atau orange kuning. Kelarutannya sangat sukar larut dalam air, praktis

tidak larut dalam etanol 96%, memenuhi persyaratan. Susut pengeringan yang

dilakukan diperoleh 1,36%, 1,50%, 1,45%, dan 1,35% dengan persyaratan maks

1,5%, memenuhi persyaratan. Suhu lebur yang dilakukan diperoleh 286,3ºC

dengan persyaratan ± 280ºC, memenuhi persyaratan. Pada penetapan kadar

menggunakan spektrofotometri UV, diperoleh kadar sebesar 100,07% dengan

persyaratan 98,00-102,00%, kadar ini memenuhi persyaratan yang telah

ditetapkan. Dari data diatas dinyatakan bahwa bahan baku riboflavin yang

diproduksi oleh PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan memenuhi

(42)

27 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Dari hasil pemeriksaan uji mutu bahan baku riboflavin yang nantinya akan

digunakan menjadi bahan berkhasiat dalam formulasi pembuatan sediaan tablet

Vitamin B Kompleks oleh PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan, telah

memenuhi persyaratan uji pemeriksaan, yaitu mulai dari pemerian, kelarutan,

susut pengeringan, suhu lebur, dan penetapan kadar telah sesuai dengan

persyaratan yang ditetapkan oleh Farmakope Indonesia edisi ke-IV dan monografi

lainnya yang berpedoman pada Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).

5.2 Saran

Pada saat sebelum melakukan pemeriksaan uji mutu bahan baku

riboflavin, sebaiknya harus memahami metode serta prosedur yang dilakukan

mulai dari pemerian, kelarutan, susut pengeringan, suhu lebur, dan penetapan

kadar sehingga uji mutu bahan baku riboflavin diketahui sebanyak mungkin

kadarnya dan mutu sediaan tablet Vitamin B Kompleks yang beredar

dimasyarakat terjamin kadarnya karena menggunakan bahan baku berkhasiat

riboflavin yang sebelum digunakan dalam formulasi telah memenuhi persyaratan

(43)

28

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. (2009). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal. 151, 152, 153, 194.

Anief, M. (2007). Apa Yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Cetakan Kelima. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 3.

Ansel, H.C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Hal. 50.

Budiyanto, K.A. (2009). Dasar-dasar Ilmu Gizi. Malang: UMM Press. Hal. 76.

Dachriyanus. (2004). Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi. Padang: Andalas University Press. Hal. 1.

Dirjen POM. (2012). Pedoman Cara Pembuatan Obat Yang Baik. Jakarta: Badan POM. Hal. 282.

Ditjen POM. (1984). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. XXX, XXXIII, 768, 772, 773.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 741, 742, 1032, 1043.

Khopkar, S.M. (2008). Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press. Hal. 226.

Kristanti, H. (2010). Penyakit Akibat Kelebihan dan Kekurangan Vitamin Mineral dan Elektrolit. Yogyakarta: Citra Pustaka. Hal. 10, 11, 63, 64.

Kusharto, C.M., dan Suhardjo. (1992). Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 235, 236.

Lachman, L., Lieberman, H.A., dan Kanig, J.L. (1994). Teori dan Praktek Farmasi Industri II. Edisi III. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Hal. 1603.

Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 245, 246, 261, 262.

Rohman, A., dan Sudjadi. (2008). Analisis Kuantitatif Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 200, 203.

Sastrohamidjojo, H. (1991). Spektroskopi. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. Hal. 39, 40, 41, 42.

(44)

29

Setiabudy, R. (2007). Farmakologi dan Terapi. Edisi V. Jakarta: Penerbit FKUI. Hal. 772, 773, 774, 779.

Siregar, C.J.P. (2010). Teknologi Farmasi Sediaan Tablet. Dasar-Dasar Praktis. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 84 – 86, 90, 96.

Sumardjo, D. (2009). Pengantar Kimia. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 351, 352, 368, 370.

Syamsuni, A.H. (2007). Ilmu Resep. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 61.

(45)

30

Lampiran 1. Perhitungan Penetapan Kadar Bahan Baku Riboflavin

Kadar Riboflavin dihitung dengan rumus sebagai berikut :

� =�������

St BPFI : Kadar Standar Baku Pembanding Farmakope Indonesia

Data bahan baku ini adalah data pengujian pada tanggal 9 Februari 2015, dengan

keterangan pemasoknya PT. Global Chemindo Megatrading ; Nomor Batch

(46)

31 Kadar Sampel II : �1,24730

1,25978� X 100,97 % = 99,97%

Kadar Sampel III : �1,24850

1,25978� X 100,97 % = 100,07%

Kadar Sampel IV : �1,23500

(47)
(48)
(49)
(50)

35

Lampiran 5. Gambar Alat Digital Semi Micro Balance

Lampiran 6. Gambar Alat Melting Point Analyzer

(51)

36

Lampiran 7. Gambar Alat Moisture Analyzer

Gambar

Gambar 2.1. Struktur Riboflavin
Tabel 4.1. Data Hasil Pemeriksaan Bahan Baku

Referensi

Dokumen terkait

Pengujian disolusi secara in vitro pada sediaan tablet Kalsium Laktat adalah untuk memastikan bahwa zat aktif yang terdapat di dalam obat dapat melarut setelah obat hancur

Hasil: Dari pengujian yang dilakukan gentamisin salep kulit memenuhi spesifikasi mulai dari dikemas dalam tube 5 gram, bewarna putih, homogen, tidak ada partikel kasar, lunak

Kimia Farma Plant Medan untuk mendapatkan jumlah pemesanan bahan baku yang ekonomis dan biaya total persediaan yang minimum..

kelembapan ruangan. Adapun ruangan di gudang antara lain :.. a) Ruang karantina bahan baku obat. b) Ruang penyimpanan bahan pembantu yang telah diluluskan bagian. pengawasan mutu.

Teknologi Farmasi Sediaan Tablet: Dasar – Dasar Praktis.. Jakarta: Penerbit Buku

Cara pembuatan obat yang baik (CPOB) merupakan bagian dari system pemastian mutu yang mengatur obat dan memastikan obat diproduksi dan mutunya dikendalikan secara konsisten

Ulangi pembakuan hingga kedua larutan dapar untuk pembakuan memberikan harga pH tidak lebih dari 0,02 unit pH dari harga yang tertera dalam tabel, tanpa pengaturan lebih lanjut

Setelah penulis melakukan penelitian, pelaksanaan audit kinerja pengelolaan persediaan bahan baku telah berjalan sesuai dengan Prosedur Sistem Mutu Audit Internal.. Akan