• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindak Pidana Membantu Melakukan Pencurian dengan Kekerasan yang Dilakukan oleh Anak (Studi Putusan Nomor : 03/PID.SUS-Anak/2014/PN.MDN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tindak Pidana Membantu Melakukan Pencurian dengan Kekerasan yang Dilakukan oleh Anak (Studi Putusan Nomor : 03/PID.SUS-Anak/2014/PN.MDN)"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

TINDAK PIDANA MEMBANTU MELAKUKAN PENCURIAN DENGAN

KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (STUDI PUTUSAN

NOMOR : 03/PID.SUS-ANAK/2014/PN.MDN)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Syarat-syarat

dan Melengkapi Tugas-tugas untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

O l e h :

RONI DANIEL TAMBUNAN

110200379

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulispanjatkan kepada Tuhan YME, karena hanya dengan

berkat dan rahmat-nya lah penulis memiliki kesehatan, kekuatan dan kemampuan

untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

Sudah menjadi kewajiban dari setiap mahasiswa Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara untuk dapat menyelesaikan suatu karya ilmiah

sebagai syarat dalam menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Sarjana

Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul “. Pada penyajiannya penulis menyadari terdapat berbagai kekurangan dan kesalahan, yang disebabkan oleh keterbatasan

pengetahuan ilmiah yang dimiliki oleh penulis. Oleh sebab itulah penulis

mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan dari karya

ilmiah ini.

Hukum Pidana, yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk

membuat skripsi ini.

3. Bapak selaku Pembimbing ke I, yang telah menyediakan waktunya untuk

memberikan segala bimbingan dan saran kepada penulis dalam

penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak selaku Pembimbing ke II, yang telah menyediakan dan

meluangkan waktunya untuk memberikan segala bombingan dan saran

kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

yang telah memberikan serta mengajarkan segala ilmu pengetahuan

(3)

6. Terkhusus kepada kedua orang tua ku tercinta, Parulian Tambunan dan

Herdi sihombing, terima kasih yang sebesar-besarnya karena telah

bersusah payah membesarkan dan mendidik dengan penuh kesabaran dan

kasih sayang sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Kepada kakak ku tersayang, Rotua Magdalena Tambunan yang telah

memberi semangat.

8. Kepada sepupu ku Clara, Chatrin, Jerimia, Desi dan Chandra.

9. Kepada Uda Agung yang menjadi motivasi untuk lebih maju kedepannya,

dan selalu memberikan nasehat-nasehat yang positif.

10.Kepada muda-mudi N-HKBP ANUGERAH, yang telah membentuk

kepribadian dan akhlak yang bermoral.

11.Kepada teman-teman satu stambuk 2011 serta sahabatku Naomi,Togar,

Marshal, Herman, Ditha, Herry, Roland, Daud dan Evelyn, yang telah

menjadi teman terbaik.

12.Kepada kelompok Klinis Stela, Arif, fenny, puput, Suenta, yang telah kita

lewatkan bersama baik dalam keadaan suka maupun duka.

13.Kepada kawan seperjuangan Yudha, Deni, Jefrry, Imam, Yusuf, Albert,

terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan atas masa-masa indah

yang telah penulis lewatkan bersama kalian.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang tidak

dapat diucapkan satu persatu. Semoga kiranya kebaikan semua dapat memperoleh

balasan dari Tuhan yang Maha Esa.

Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat

bagi setiap pihak yang membacanya. Amin.

(4)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar...i

Daftar Isi... iv

Abstraksi...vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah...6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...7

D. Keaslian Penelitian...8

E. Tinjauan Kepustakaan...9

1. Pengertian Tindak Pidana...9

2. Pengertian Membantu Melakukan...12

3. Pengertian Kejahatan...14

4. Pengertian Anak ...16

5. Pengertian Hakim Anak...19

6. Pertanggungjawaban Pidana...20

F. Metode Penelitian...22

G. Sistematika Penulisan...24

BAB II : ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN A. Pengertian Restoratif Justice dan Diversi Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak...26

B. Pengaturan Lembaga Pemasyarakatan Anak...37

(5)

BAB III : PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN

DENGAN KEKERASAN

A. Tindak Pidana Pencurian Biasa...51

B. Tindak Pidana Pencurian kekerasan (Dalam Kasus yang Terdapat Dalam Putusan PN Medan No. 03/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn)...55

BAB IV : DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PIDANA PADA PUTUSAN NO. 03/Pid.Sus Anak/014/PN Mdn. A. Kasus Posisi...68

1. Dakwaan...68

2. Fakta-fakta Hukum...74

3. Dasar Pertimbangan Hakim...79

4. Putusan Pengadilan Negeri...87

B. Analisa Putusan...88

BAB V : Penutup A. Kesimpulan...92

B. Saran...93

(6)

ABSTRAKSI harus lebih berhati-hati karena pemeriksaan pidana anak berbeda dengan pemeriksaan orang dewasa pada umumnya dengan mengetahui faktor-faktor penyebab kejahatan. Hal ini dilatarbelakangi dengan semakin banyaknya tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan anak sebagai terdakwa dalam persidangan agar terhindar dari perampasan hak-haknya sebagai anak dan diberikan dengan sebagaimana mestinya.

Skripsi ini berbicara mengenai Pertimbangan hakim dalam memutus perkara terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana. Penerapan ketentuan diversi dan Restoratif justice merupakan hal yang sangat penting dipertimbangkan karna dengan konsep diversi hak-hak asasi anak dapat lebih terjamin. Dari hasil penelitian diketahui bahwa tujuan restoratif Justice adalah untuk mengembalikan korban dan keluarganya kepada keadaan semula. Dimana pemidanaan merupakan alternatif terakhir. Pelaksanaan Restoratif Justice dilakukan dengan cara melakukan pertemuan antara korban, pelaku, masyarakat dan aparat penegak hukum. Hal ini dilakukan agar moral, pendidikan anak sebagai tindak pidana tidak terganggu dan mengurangi over kapasitas lembaga pemasyarakatan. Untuk itu pemerintah melahirkan Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengatur tentang diversi yang prinsip utamanya adalah tindakan persuasif atau pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yaitu menggunakan berbagai data sekunder seperti peratuan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis yang dimuat di media massa yang berkaitan dengan membantu melakukan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak.

(7)

ABSTRAKSI harus lebih berhati-hati karena pemeriksaan pidana anak berbeda dengan pemeriksaan orang dewasa pada umumnya dengan mengetahui faktor-faktor penyebab kejahatan. Hal ini dilatarbelakangi dengan semakin banyaknya tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan anak sebagai terdakwa dalam persidangan agar terhindar dari perampasan hak-haknya sebagai anak dan diberikan dengan sebagaimana mestinya.

Skripsi ini berbicara mengenai Pertimbangan hakim dalam memutus perkara terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana. Penerapan ketentuan diversi dan Restoratif justice merupakan hal yang sangat penting dipertimbangkan karna dengan konsep diversi hak-hak asasi anak dapat lebih terjamin. Dari hasil penelitian diketahui bahwa tujuan restoratif Justice adalah untuk mengembalikan korban dan keluarganya kepada keadaan semula. Dimana pemidanaan merupakan alternatif terakhir. Pelaksanaan Restoratif Justice dilakukan dengan cara melakukan pertemuan antara korban, pelaku, masyarakat dan aparat penegak hukum. Hal ini dilakukan agar moral, pendidikan anak sebagai tindak pidana tidak terganggu dan mengurangi over kapasitas lembaga pemasyarakatan. Untuk itu pemerintah melahirkan Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengatur tentang diversi yang prinsip utamanya adalah tindakan persuasif atau pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yaitu menggunakan berbagai data sekunder seperti peratuan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis yang dimuat di media massa yang berkaitan dengan membantu melakukan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak.

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Akhir-akhir ini kenakalan remaja mendapat sorotan yang cukup tajam dari

kalangan masyarakat yang memperhatikan masalah ini. Kenakalan remaja yang

sering terjadi dewasa ini, tampaknya sudah kehilangan ciri nakalnya dan sudah

menjurus pada tindakan-tindakan brutal yang membahayakan keselamatan, baik

harta maupun nyawa orang lain. Pada awalnya, kenakalan remaja hanyalah

merupakan perilaku “nakal” dari kalangan remaja yang sering dikatakan sedang mencari identitas diri. Kenakalan remaja yang demikian ini tidak menimbulkan

kekhawatiran dikalangan masyarakat luas. Beberapa peristiwa yang terjadi di

kota-kota besar menunjukkan beberapa kenakalan remaja yang menjurus pada

tindakan kriminalitas.1|

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa para remaja melakukan

perilaku yang mengarah pada kriminalitas. Tulisan ini berusaha menjelaskan

secara teoritis tentang hal ini, kenakalan remaja dalam kaitannya dengan

perbuatan-perbuatan yang menjurus pada kriminalitas yang dilakukan secara

bersama-sama . Pada awalnya kenakalan remaja dikatakan sebagai perbuatan

deviasi yang tidak perlu dikhawatirkan. Inilah yang dikatakan sebagai deviasi

primer. Setiap orang, yang telah melewati masa remaja, pasti pernah melakukan

deviasi primer. Ada beberapa kriteria yang dapat dikategorikan sebagai deviasi

primer yaitu perbuatan tersebut tidak dilakukan secara terus-menerus dan

1

(9)

perbuatan deviasi yang dilakukan secara disorganisasi dan tidak dilakukan secara

lihai, pada dasarnya perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai perbuatan oleh

yang berwajib.2

Di kalangan remaja, melakukan perbuatan-perbuatan yang menjurus pada

kriminalitas tidaklah mudah. Perbuatan tersebut secara teoritis memerlukan

dukungan dari kawan-kawan mereka. Mengapa demikian?

Edwin.H Sutherland menyatakan bahwa semua perilaku termasuk

perilaku jahat merupakan perbuatan hasil dari proses belajar. Hal ini berarti ia

menolak teori yang menyatakan bahwa kejahatan merupakan sifat bawaan yang

diperoleh sejak lahir, yang berasal dari keturunan. Oleh karena itulah ia dalam

proporsisinya menyatakan bahwa perilaku jahat dipelajari dari orang lain melalui

interaksi. Selain proses interaksi, maka yang terpenting perilaku tersebut

diperoleh melalui pergaulan yang akrab. Apa artinya semua ini? Menurut

Sutherland, orang tidak akan mempelajari tingkah laku jahat hanya melalui

interaksi yang tidak akrab. Kejahatan hanya bisa dipelajari kalau ada hubungan

yang akrab antara para pihak. Di sinilah kemudian muncul indikasi bahwa

kejahatan selalu mempunyai jaringan, selalu mempunyai dukungan. Tanpa adanya

dukungan, seseorang akan khawatir untuk melakukan kejahatan seorang diri.

Dengan demikian dalam mempelajari kejahatan tidak hanya menyangkut

teknik/cara melakukan kejahatan saja tetapi juga hal-hal yang mendorong serta

alasan pembenar dalam melakukan kejahatan.3

2

Ibid., halaman 84-85 3

(10)

Berdasarkan uraian di atas maka dukungan orang lain untuk terjadinya

suatu kejahatan tidak dapat diabaikan keberadaannya. Steven Box dalam bukunya

yang berjudul Deviance, Reality, and Society mengemukakan bahwa ada

anak-anak remaja yang mempunyai kemauan untuk melakukan kejahatan tetapi tidak

pernah terwujud. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, ada beberapa hal yang

diperlukan yaitu : Pertama, keahlian. Anak-anak remaja yang mempunyai

keinginan untuk melakukan kejahatan, mungkin harus menunda keinginannya

mengingat mereka tidak mempunyai tingkat pengetahuan yang khusus atau

keahlian. Keahlian dalam melakukan kejahatan merupakan proses belajar, yang

diperoleh dari teman-teman sekelompok. Kedua, adalah perlengkapan. Seseorang

yang mempunyai keinginan melakukan kejahatan akan mengabaikan

keinginannya bila tidak mempunyai perlengkapan yang memadai. Perlengkapan

ini pun tidak mudah diperoleh. Hanya mereka yang dikenal dan termasuk dalam

kelompoklah yang mudah memperoleh perlengkapan. Ketiga, adalah adanya

dukungan sosial. Mereka yang mempunyai keinginan untuk melakukan kejahatan

baru dapat melaksanakan keinginannya bila terdapat dukungan kelompok.4

Meningkatnya kenakalan remaja dewasa ini disebabkan oleh kepribadian

anak yang belum terkontrol, jika anak remaja tidak mampu mengoreksi perbuatan

yang salah maka ini akan sangat membahayakan anak itu sendiri. remaja

misalnya, membentuk kelompok-kelompok yang mengarah kepada tindakan

kriminal seperti tawuran, mencuri bahkan merampok.

4

(11)

Pada kehidupan bermasyarakat sering terdapat adanya

penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan hidup masyarakat terutama yang

dikenal dengan nama norma hukum. Penyimpangan norma hukum di masyarakat

disebut dengan kejahatan. Sebagai salah satu bentuk penyimpangan dari norma di

tengah-tengah masyarakat dimana pelaku dan korbannya adalah anggota

masyarakat juga. Kejahatan yang merupakan suatu bentuk dari timbulnya gejala

sosial itu tidak berdiri sendiri, melainkan ada hubungan dengan berbagai

perkembangan baik kehidupan sosial, ekonomi, hukum, maupun teknologi.

Kejahatan ini juga ditimbulkan dari perkembangan-perkembangan lain sebagai

akibat sampingan yang negatif dari setiap kemajuan atau perkembangan sosial di

masyarakat.

Saat ini, dunia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dan

modernisasi. Perkembangan dan modernisasi tersebut terutama dapat dirasakan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena perkembangan tersebut

juga telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan

pertumbuhan perekonomian.

Satjipto Raharjo menulis bahwa modernisasi menekankan pada rasio,

penampilan manusia secara individual, kebebasan manusia, orientasi kepada dunia

serta penggunaan rasio sebagai alat untuk memecahkan berbagai masalah.5 Sutan

Takdir Alisyahbana dalam bukunya “ Hukum dan proses Modernisasi di

Indonesia” menulis antara lain bahwa proses modernisasi menyangkut perubahan

5

(12)

kelakuan dan nilai-nilai kebudayaan yang sejalan dengan perubahan sikap hidup

dan cara berfikir manusia.6

Pada dasarnya pertumbuhan perekonomian yang terjadi belakangan ini

mengalami perkembangan yang tidak seimbang. Hal ini dapat di lihat dimana

pertumbuhan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan taraf hidup masyarakat

sehingga jumlah masyarakat miskin semakin bertambah di indonesia.

Diketahui bahwa keadaan masyarakat yang berada dibawah garis

kemiskinan tersebut menyebabkan sangat rendahnya tingkat daya beli masyarakat.

Hal ini berdampak pada ketidakmampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya, yang kemudian akan dapat menjadi penyebab atau latar belakang dari

setiap kejahatan atau tindak pidana dalam masyarakat, dimana salah satu

bentuknya adalah pencurian.

Kejahatan adalah suatu masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan

bermasyarakat, dimana setiap masalah sosial dapat berbeda-beda dari setiap

masyarakat, tergantung dari kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat

tersebut. Adapun faktor lain yang menjadi penyebab dari terjadinya masalah

sosial tersebut adalah berasal dari faktor lingkungan, sifat dari masyarakat

tersebut, serta keadaan dari setiap orang yang menjadi anggota penduduk dari

masyarakat tersebut. Terkait dengan hal tersebut diatas, maka dapat kita ketahui

bahwa perkembangan kejahatan adalah merupakan suatu fakta yang tidak dapat

dipungkiri lagi, baik pada masyarakat sederhana maupun modern.

6

(13)

Salah satu jenis kejahatan yang semakin berkembang baik dari segi

frekuensi maupun dari segi cara melakukannya adalah kejahatan pencurian. Telah

dijelaskan bahwa pencurian terjadi disebabkan oleh banyaknya kalangan

masyarakat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya karena daya beli

yang sangat rendah. Memang pencurian tetaplah bentuk pencurian, akan tetapi

alangkah baiknya jika disesuaikan dengan kejahatan pencuriannya apakah

memang pantas untu disidang di Pengadilan atau masih bisa diselesaikan secara

musyawarah kekeluargaan.

Saat ini kejahatan pencurian memang sangat marak terjadi, baik yang

terjadi di pinggir jalan, di perumahan, bahkan di dalam pasar. Pencurian itu

sendiri dapat dilakukan pada siang hari, malam hari, dengan kekerasan, tidak

dengan kekerasan, ataupun terhadap keluarganya sendiri. Sanksi yang dijatuhi pun

berbeda atas jenis pencurian yang berbeda pula.

Pencurian merupakan tindakan kriminalitas yang sengaja mengganggu

kenyamanan rakyat. Tindakan konsisten diperlukan dalam penegakan hukum,

sehingga terjalin kerukunan. Kemiskinan yang banyak mempengaruhi perilaku

pencurian adalah kenyataan yang terjadi ditengah masyarakat, dibuktikan dari

rasio pencurian yang makin meningkat ditengah kondisi objektif pelaku di dalam

melakukan aktifitasnya.7

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan dari apa yang telah dipaparkan dalam bagian pendahuluan

pada penulisan skripsi ini, dan juga untuk memberikan pembatasan dari ruang

7

(14)

lingkup pembahasan yang kemudian akan diangkat sebagai bahan materi dalam

skripsi ini, maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang akan

diangkat, yaitu sebagai berikut :

1. Apa faktor-faktor penyebab terjadinya kenakalan anak?

2. Bagaimana pengaturan hukum anak yang melakukan tindak pidana

pencurian dengan kekerasan?

3. Apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan vonis

terhadap anak tindak pidana pencurian pemberatan pada (putusan

No.03/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn) ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Pada dasarnya tujuan adalah merupakan salah satu alasan penting bagi kita

dalam melakukan suatu pekerjaan, oleh sebab itulah perlu dirumuskan apakah

yang menjadi tujuan dari penulisan dan penyelesaian skripsi ini.

Adapun yang menjadi tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui secara teori perbedaan unsur-unsur kejahatan jenis

tindak pidana pencurian, yaitu unsur-unsur tindak pidana pencurian

biasa dengan unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan.

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan bagi jaksa dalam membuat

tuntutan dan dasar hakim dalam pertimbangan bagi membuat putusan.

2. Manfaat Penelitian

Hasil dari pelaksanaan penelitian sudah selayaknya akan dapat bermanfaat

(15)

terkait dalam penulisan skripsi ini, untuk itu saya memaparkan tentang hal-hal

yang menurut saya akan memberikan manfaat dari hasil penelitian dan penulisan

skripsi ini, yaitu antara lain :

a. Manfaat Teoritis

Diharapkan agar kiranya hasil dari penelitian ini dapat menyumbangkan

pemikiran di bidang hukum, khususnya dalam disiplin ilmu hukum

pidana mengenai kejahatan pencurian yang dilakukan pada waktu

malam hari.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat

bagi seluruh pengambil kebijakan dan para pelaksana hukum di bidang

hukum pidana, khususnya mengenai kejahatan pencurian dengan

kekerasan, dengan mengetahui unsur-unsur tindak pidana pencurian

serta dasar pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan.

D. Keaslian Penulisan

Proses penulisan skripsi berjudul “Tindak Pidana Membantu melakukan Pencurian Dengan Kekerasan oleh Anak di bawah Umur’’ terhadap perkara kasus Pencurian dengan Kekerasan Pasal ini, sejauh pengamatan dan pengetahuan

penulis tentang materi yang diangkat dalam skripsi ini, belum ada penulis lain

yang mengemukakannya, sehingga saya tertarik untuk mengangkat judul tersebut

serta pokok permasalahannya sebagai judul dan pembahasan yang akan diangkat

dan dikembangkan dalam skripsi ini. Apabila di kemudian hari ada judul yang

(16)

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana

Kata strafbaarfeit diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa

indonesia. Beberapa kata yang digunakan untuk menterjemahkan kata strafbaarfeit

oleh sarjana-sarjana Indonesia antara lain : tindak pidana, delik, perbuatan pidana.

Sementara dalam berbagai perundang-undangan sendiri digunakan berbagai

istilah untuk menunjuk pada pengertian kata strafbaarfeit.8

Istilah yang digunakan dalam undang-undang di atas antara lain :

1. Peristiwa pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam

Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 khususnya dalam Pasal 14.

2. Perbuatan pidana, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan

kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil.

3. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan dalam

Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1951 tentang Perubahan

Ordonantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen

4. Hal yang diancam dengan hukum, istilah ini digunakan dalam

Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian

Perselisihan Perburuhan.

5. Tindak pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai undang-undang,

misalnya :

8

(17)

a. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan

Umum

b. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang

pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi.

c. Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1964 tentang Kewajiban Kerja

Bakti Dalam Rangka Pemasyarakatan bagi Terpidana karena

melakukan tindak pidana yang merupakan kejahatan.9

Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku

dan gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk

tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak

pidana. Oleh karena itu, setelah melihat berbagai definisi diatas, maka dapat

diambil kesimpulan bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan

yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, dimana pengertian

perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang

sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat

sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).10

Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari

tindak pidana itu sendiri, maka didalam tindak pidana tersebut terdapat

unsur-unsur tindak pidana, yaitu :

a. Unsur objektif

9

Ibid., halaman 102 10

(18)

Unsur yang terdapat diluar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya

dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan di mana tindakan-tindakan si

pelaku itu harus dilakukan. Terdiri dari :

- Sifat melanggar hukum

- Kualitas dari si pelaku

- Kausalitas

Yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu

kenyataan sebagai akibat.

b. Unsur subjektif

Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang

dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang

terkandung di dalam hatinya.

Unsur ini terdiri dari :

- Kesengajaaan atau ketidaksengajaan

- Maksut pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal 53 ayat

(1) KUHP

- Macam-macam maksut seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan

pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya

- Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340

KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu

- Perasaan takut seperti terdapat di dalam pasal 308 KUHP.11

11

(19)

2. Pengertian Membantu Melakukan

Penyertaan adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta

/terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan

melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana.

Orang-orang yang terlibat dalam kerja sama yang mewujudkan tindak pidana,

perbuatan masing-masing dari mereka berbeda satu dengan yang lain, demikian

juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap tindak

pidana maupun terhadap peserta yang lain. Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang

ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan yang demikian rupa

eratnya, dimana perbuatan oleh yang satu menunjang perbuatan oleh yang lainnya

yang semuanya mengarah pada satu terwujudnya tindak pidana.12

Pembagian “Peserta” inilah yang dipergunakan KUHPidana, ialah :

a. Pasal 55 KUHPidana ayat (2) menyebutkan “peristiwa pidana”, jadi baik kejahatan maupun pelanggaran.

1) Yang melakukan (pleger)

Ia sendiri telah berbuat dan perbuatan itu memenuhi unsur-unsur dari

delik yang bersangkutan.

2) Yang menyuruh melakukan (doen pleger)

Minimal ada 2 orang yaitu menyuruh melakukan dan yang disuruh

melakukan. Jadi bukan orang itu sendiri yang melakukan suatu delik,

melainkan ia menyuruh orang lain, walaupun demikian tetap

dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri. Agar

12

(20)

supaya masuk dalam pengertian “menyuruh melakukan” maka orang yang disuruh itu harus hanya merupakan alat saja, maksutnya ia tidak

dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatannya.

3) Yang turut melakukan (medepleger), yang berarti “bersama-sama melakukan”, jadi sedikit-dikitnya harus ada dua orang ialah yang

melakukan dan turut melakukan.

4) Yang membujuk (uitlokker), minimal 2 orang, yaitu yang membujuk

dan yang dibujuk. Dan caranya membujuk harus dengan jalan seperti

yang tercantum dalam pasal 55 ayat (1) 2e KUHPidana dan tidak

boleh dengan cara lainnya

b. Pasal 56 :

Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan :

1) Barang siapa dengan membantu melakukan kejahatan itu.

2) Barang siapa dengan sengaja memberi kesempatan, dan upaya atau

keterangan untuk melakukan kejahatan itu.13

Pelajaran umum “Turut Serta” termasuk diatas dibuat untuk menuntut pertanggungjawaban mereka yang memungkinkan pembuat melakukan suatu

delik, walaupun perbuatannya sendiri tidak memuat semua unsur delik tersebut.

Menurut pendapat VAN HATTUM, pasal 55 dan 56 KUHPidana itu memuat

ketentuan-ketentuan yang memperluas lingkungan orang-orang yang

bertanggungjawab menurut Hukum Pidana atas terjadinya atau percobaan

13

(21)

melakukan suatu delik yang unsur-unsurnya disebut dalam Undang-Undang

Pidana. Seseorang dapat dipersalahkan membantu melakukan jika ia sengaja

memberikan bantuan tersebut dan waktu atau sebelum delik itu dilakukan.14

Pertimbangan bahwa pembantu pembuat itu bukan pembuat dalam suatu

perbuatan pidana, yaitu bahwa peranannya jauh lebih santun dibandingkan dengan

semua peserta lainnya. Kedudukan yang lebih menguntungkan diri si pembantu

pembuat terungkap dalam pengurangan maksimum pidana dan dalam ketentuan

bahwa pembantuan dalam pelanggaran-pelanggaran tak dapat dipidana.15

Tetapi apakah yang membedakan peranan pembantu pembuat dari peranan

peserta-peserta lainnya, sehingga kedudukan yang menguntungkan itu dibenarkan/

Bagaimanapun juga, adalah pasti bahwa prakarsa si pembuat harus sudah ada

pada saat si pembantu pembuat dalam tahap pembuatan rencana-rencana atau

dalam tahap pelaksanaannya tercampur dalam perkara. Oleh karena itu

pembantuan itu secara singkat dapat didefinisikan sebagai kalau diminta,

memberikan bantuan pada atau, dalam suatu bentuk tertentu yang ditetapkan oleh

undang-undang, supaya orang lain dapat berbuat kejahatan. Dalam hal ini si

pembantu pembuat berdiri sendiri, yaitu semua peserta lainnya, jadi yang tersebut

pada 2, 3 dan 4 telah mengambil prakarsa sendiri.16

3. Pengertian Kejahatan

Salah satu persoalan yang sering muncul ke permukaan dalam kehidupan

Kejahatan merupakan suatu fenomena yang komplek yang dapat dipahami dari

berbagai sisi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita menangkap

14

Ibid., halaman 118 15

J. E. Sahetapy, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1995, halaman 250 16

(22)

berbagai komentar tentang suatu peristiwa kejahatan yang berbeda satu dengan

yang lain.17

Dalam pengalaman kita ternyata tak mudah untuk memahami kejahatan itu

sendiri. Usaha memahami kejahatan ini sebenarnya telah berabad-abad lalu

dipikirkan oleh para ilmuan terkenal. Plato misalnya menyatakan dalam bukunya

‘Republik’ menyatakan antara lain bahwa emas, manusia adalah merupakan

sumber dari banyak kejahatan. Sementara Aristoteles menyatakan bahwa

kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan. Kejahatan yang besar

tidak diperbuat untuk memperoleh apa yang perlu untuk hidup, tetapi untuk

kemewahan. Thomas Aquino memberikan beberapa pendapatnya tentang

pengaruh kemiskinan atas kejahatan. Orang kaya yang hidup untuk kesenangan

dan memboros-boroskan kekayaannya, jika suatu kali jatuh miskin, mudah

menjadi pencuri.18

Pada dasarnya istilah kejahatan ini diberikan kepada suatu jenis perbuatan

atau tingkah laku manusia tertentu yang dapat dinilai sebagai perbuatan jahat.

Kejahatan ditinjau dari sudut yuridis, merupakan jenis-jenis kejahatan yang sudah

definitif atau menimbulkan akibat hukum karena unsur deliknya. Maksutnya telah

ditentukan secara tertentu dalam suatu ketentuan Undang-Undang bahwa

perbuatan jenis-jenis tertentu dianggap sebagai perbuatan jahat, dengan kata lain

17

Topo Santoso, Eva Achjani Zulva, Kriminologi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, halaman 1

18

(23)

dalam norma hukum tertentu dalam suatu masyarakat telah ditetapkan berbagai

jenis perbuatan yang merupakan kejahatan.19

Pengertian kejahatan dalam hukum pidana menganut asas legalitas,

maksutnya kejahatan pidana harus ditentukan oleh suatu aturan Undang-Undang

yang definitif. Kejahatan adalah delik hukum, dan pelanggaran merupakan delik

Undang-Undang. Menurut beberapa ahli hukum, pengertian kejahatan adalah :

a. Paul Mudikdo Muliono menyatakan bahwa kejahatan adalah

perbuatan manusia yang merupakan pelanggaran norma, yang dirasa

merugikan, menjengkelkan, sehingga tidak boleh dibiarkan.

b. W. A. Bonger menyatakan bahwa kejahatan adalah merupakan

perbuatan yang immoral dan asosial yang tidak dikehendaki oleh

masyarakat dan harus dihukum oleh masyarakat.

c. Utrecht mengemukakan bahwa kejahatan adalah perbuatan karena

sifatnya bertentangan dengan ketertiban hukum, sedangkan

pelanggaran adalah perbuatan yang oleh undang-undang dicap sebagai

suatu perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban hukum.20

4. Pengertian Anak

Berbicara mengenai anak adalah sangat penting karena anak merupakan

potensi nasib manusia hari mendatang, dialah yang ikut berperan menentukan

sejarah bangsa sekaligus cermin sikap hidup bangsa pada masa mendatang.

Sistem penilaian anak-anak ini dengan bantuan usaha pendidikan harus bisa

dikaitkan atau disesuaikan dengan sistem penilaian manusia dewasa. Namun

19

Chainur Arrasjid, Suatu Pemikiran tentang Psikologi Kriminil, Kelompok Study Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1998, halaman 28

20

(24)

demikian adalah salah apabila menerapkan kadar nilai orang dewasa pada diri

anak-anak. Untuk memudahkan dalam mengerti tentang anak dan menghindari

salah penerapan kadar penilaian orang dewasa kepada anak, maka perlu diketahui

bagaimana pertumbuhan dan perkembangan anak.

Adapun proses perkembangan anak terdiri dari beberapa fase pertumbuhan

yang bisa digolongkan berdasarkan pada paralelitas perkembangan jasmani anak

dengan perkembangan jiwa anak. Penggolongan tersebut dibagi ke dalam 3 (tiga)

fase, yaitu :

1. Fase pertama adalah dimulainya pada usia anak 0 tahun sampai dengan 7

(tujuh) tahun yang bisa disebut sebagai masa anak kecil dan masa

perkembangan kemampuan mental.

2. Fase kedua adalah dimulai pada usia 7-14 tahun disebut sebagai masa

kanak-kanak, dimana dapat digolongkan ke dalam 2 periode, yaitu :

a. Masa anak sekolah dasar mulai dari usia 7-12 tahun adalah periode

intelektual. Periode intelektual ini adalah masa belajar awal dimulai

dengan memasuki masyarakat di luar keluarga, yaitu lingkungan

sekolah kemudian teori pengamatan anak dan hidupnya perasaan,

kemauan serta kemampuan anak dalam berbagai macam potensi.

b. Masa remaja/pra-pubertas atau pubertas awal. Pada periode ini,

terdapat kematangan fungsi jasmaniah ditandai dengan

berkembangnya tenaga fisik yang melimpah-limpah yang

menyebabkan tingkah laku anak kelihatan kasar, canggung, berandal,

(25)

3. Fase ketiga adalah dimulai pada usia 14-21 tahun, yang dinamakan masa

remaja, dalam arti sebenarnya yaitu fase pubertas, dimana terdapat masa

penghubung dan masa peralihan dari anak menjadi orang dewasa. Masa

remaja pubertas bisa dibagi dalam 4 (empat) fase, yaitu :

a. Masa awal pubertas, disebut pula sebagai masa pra pubertas

b. Masa menentang kedua, fase negatif

c. Masa pubertas sebenarnya, mulai kurang lebih 14 tahun. Masa

pubertas pada anak wanita pada umumnya berlangsung lebih awal dari

pada masa pubertas anak laki-laki

d. Fase adolescence, mulai kurang lebih usia 17 tahun sampai sekitar

19-21 tahun.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012

tentang sitem Peradilan Pidana Anak secara umum dikatakan, Anak adalah anak

yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan

anak yang menjadi saksi pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum selanjutnya

disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum

berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.21

Anak perlu mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan

pembangunan yang cepat, arus globalisasi dibidang komunikasi dan informasi,

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup

sebagian orang tua yang telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam

kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.

21

(26)

Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan

oleh anak, antara lain disebabkan oleh faktor di luar diri anak tersebut.

5. Pengertian Hakim Anak

Hakim Anak adalah hakim yang khusus ditetapkan sebagai hakim anak,

baik di tingkat Pertama (Pengadilan Negeri), Tingkat Banding (Pengadilan

Tinggi), dan Tingkat Kasasi (Mahkamah Agung). Pada Tingkat Pertama, Hakim

Anak ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul

Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi.22 Untuk menjadi Hakim Anak, harus memenuhi syarat-syarat berdasarkan

undang-undang (Pasal 10 ayat (2) UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,

yaitu :

a. Telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Umum

b. Mempunyai minat, dedikasi, dan memahami masalah anak.23

Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa hakim yang memeriksa

dan mengadili perkara anak adalah Hakim Tunggal, namun dalam hal tertentu

Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk Hakim Majelis apabila ancaman pidana

atas tindak pidana yang dilakukan anak yang bersangkutan lebih dari 5 (lima)

tahun dan sulit pembuktiannya.

22

Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, halaman 113

23

(27)

6. Pertanggungjawaban Pidana

Pada bagian terdahulu telah dijelaskan bahwa pengertian perbuatan pidana

tidak termasuk pengertian pertanggungjawaban pidana. Perbuatan pidana hanya

menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman

pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian dijatuhi pidana,

tergantung apakah dalam melakukan perbuatan itu orang tersebut memiliki

kesalahan. Dengan demikian, membicarakan pertanggungjawaban pidana mau

tidak mau harus didahului dengan penjelasan tentang perbuatan pidana. Sebab

seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih dahulu ia

melakukan perbuatan pidana. Tidak adil rasanya jika tiba-tiba seseorang harus

bertanggungjawab atas suatu tindakan, sedang ia sendiri tidak melakukan tindakan

tersebut.24

Dalam hukum pidana konsep “pertanggungjawaban” itu merupakan

konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran

kesalahan dikenal dengan istilah mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada

suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran

orang itu jahat.25

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika

telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah

ditentukan oleh udang-undang. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab

maka hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang dapat diminta

pertanggungjawaban.

24

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2011, halaman 155

25

(28)

Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang

objektif yang ada pada perbuatan pidana secara subjektif yang ada memenuhi

syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan

pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah

asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana

jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan

seseorang dikatakan mempunyai kesalahan menyangkut masalah

pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah

pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya,

yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya.

Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang

dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pida pada hakikatnya merupakan

suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap

pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kesalahan

merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memidana seseorang. Tanpa itu,

pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada. Makanya tidak heran jika

dalam hukum pidana dikenal asas “tiada pidana tanpa kesalahan”. Asas kesalahan

ini merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana, demikian

fundamentalnya asas tersebut.

Sehubungan dengan kemampuan bertanggungjawab ini, dalam

menentukan apakah seseorang itu salah atau tidak, menurut hukum ditentukan

(29)

1. keadaan batin orang yang melakukan itu, erat berkait dengan

kemampuan bertanggungjawab. Yang dimaksutkan dengan keadaan

batin orang yang melakukan perbuatan ialah apabila pelaku tidak

menyadari bahwa perbuatannya itu merupakan perbuatan yang dilarang

oleh undang-undang.

2. Adanya hubungan batin antara pelaku dengan perbuatan yang

dilakukannya. Yang dimaksutkan dengan hubungan batin antara pelaku

dengan perbuatan yang dilakukannya itu dapat berupakesengajaan,

kealpaan/kelalaian.

3. Tidak adanya alasan pemaaf. Yang dimaksutkan dengan alasan pemaaf

ialah dalam hal misalnya pembelaan diri dalam hal melampaui batas.26

F. Metode penelitian

1. Spesifikasi penelitian

Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian

hukum normatif terdiri dari :

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum.

Penelitian terhadap asas-asas hukum ini seperti misalnya penelitian

terhadap hukum positif yang tertulis atau penelitian terhadap

kaidah-kaidah hukum yang hidup dalam masyarakat.

b. Penelitian terhadap sistem hukum.

Penelitian terhadap sistem hukum dapat dilakukan pada

perundang-undangan tertentu ataupun hukum tercatat. Tujuan pokoknya adalah

26

(30)

untuk mengadakan identifikasi terhadap pengertian-pengertian

pokok/dasar dalam hukum, yakni masyarakat hukum, subyek hukum,

hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan objek

hukum. Penelitian ini sangat penting oleh karena masing-masing

pengertian pokok / dasar mempunyai arti tertentu dalam kehidupan

hukum.

c. Penelitian sinkronisasi hukum.

Penelitian terhadap sinkronisasi baik vertikal maupun horizontal, maka

yang diteliti adalah sampai sejauh manakah hukum positif tertulis yang

ada serasi. Hal ini dapat ditinjau secara vertikal, yakni apakah peraturan

perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu

tidak saling bertentangan, apabila dilihat dari sudut hirarki

perundang-undangan tersebut, sedang apabila dilakukan penelitian taraf

sinkronisasi secara horizontal, maka yang ditinjau adalah

perundang-undangan yang sederajat yang mengatur bidang yang sama.

d. Penelitian terhadap sejarah hukum.

Penelitian terhadap sejarah hukum merupakan penelitian yang lebih

dititik beratkan pada perkembangan-perkembangan hukum. Biasanya

dalam perkembangan demikian, pada setiap analisa yang dilakukan

akan menggunakan perbandingan-perbandingan terhadap satu atau

(31)

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji

penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif mengenai

pengaturan anak dalam suatu tindak pidana dari perspektif Undang-Undang No.

11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Hal ini ditempuh dengan

melakukan penelitian kepustakaan.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan

dengan mempelajari berbagai literatur yang berhubungan dengan objek penelitian

dan melakukan penelitian terhadap putusan yang dibuat oleh hakim di Pengadilan

Negeri Medan. Putusan pengadilan yang menjadi isu hukum yang dihadapi

tersebut merupakan bahan hukum primer yang dirujuk oleh peneliti hukum.

4. Analisis Data

Pada penulisan skripsi ini, analisis data yang digunakan adalah dengan

cara kualitatif, Dari penelitian tersebut diatas, kemudian dapat memenuhi

pembahasan skripsi ini secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari fakta yang

bersifat representatif (sesungguhnya, nyata, sesuai keadaan).

G. Sistematika Penulisan

Sistematikan penulisan dalam skripsi ini terdiri dari 5 bab, yaitu sebagai

berikut :

BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang berisikan latar belakang,

(32)

kepustakaan (yang terdiri dari Pengertian Tindak Pidana, Pengertian Membantu

Melakukan, Pengertian Kejahatan, Pengertian Anak, Pengertian Hakim Anak,

Pertanggungjawaban Pidana), metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Merupakan bab yang membahas anak sebagai pelaku tindak

pidana pencurian dengan kekerasan (yang terdiri dari pengertian restoratif justice

dan diversi menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem

peradilan pidana anak, pengaturan lembaga pemasyarakatan anak, dan faktor

penyebab timbulnya kenakalan anak).

BAB III : Merupakan bab yang membahas pengaturan tentang tindak

pidana pencurian dengan kekerasan (dalam kasus yang terdapat dalam putusan PN

Medan No. 03/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn).

BAB IV : Merupakan bab yang membahas studi putusan dengan melakukan

analisis hukum terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang berisi

kasus posisi ( yang terdiri dari dakwaan, fakta-fakta hukum, putusan pengadilan

negeri), dan pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana pada putusan No.

03/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn

(33)

BAB II

ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN

DENGAN KEKERASAN

A. Pengertian Restoratif Justice dan Diversi Menurut Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

1. Restoratif Justice Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

konsep asli praktek keadilan restoratif justice dari praktik pemelihara

perdamaian yang dilakukan suku bangsa maori, penduduk asli Selandia Baru.

Menurut Helen Cowie keadilan restoratif justice pada intinya terletak pada konsep

komunitas yang peduli dan inklusif. Bilamana timbul konflik, maka praktek

restoratif justice akan menangani pihak pelaku dan korban, yang secara kolektif

memecahkan masalah.27

Peradilan anak model restoratif juga berangkat dari asumsi bahwa

anggapan atau reaksi terhadap perilaku delikuensi anak tidak efektif tanpa adanya

kerja sama dan keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat. Prinsip yang

menjadi dasar adalah bahwa keadilan terlayani apabila setiap pihak menerima

perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan.28 Helen Cowie dan Dawn Jennifer mengidentifikasikan aspek-aspek utama

keadilan restoratif sebagai berikut :

27

Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010,

halaman 196 28

(34)

a. Perbaikan, bukanlah memperoleh kemenangan atau menerima

kekalahan, tudingan, atau pembalasan dendam, tetapi tentang keadilan

b. Pemulihan hubungan, bukan bersifat hukuman para pelaku criminal

memikul tanggung jawab atas kekeliruan dan memperbaikinya dengan

sejumlah cara, tetapi melalui proses komunikasi yang terbuka dan

langsung, antara korban dan pelaku criminal, yang berpotensi

mengubah cara berhubungan satu sama lain.

c. Reintegrasi, pada tingkatnya yang terluas, memberikan arena tempat

anak dan orang tua dapat memperoleh proses yang adil. Maksutnya

agar mereka belajar tentang konsekuensi kekerasan dan kriminalitas

serta memahami dampak perilaku mereka terhadap orang lain.29

Hower Zehr membedakan retributif justice dengan restoratif justice

sebagai berikut :

Retributif Justice :

1. Kejahatan adalah pelanggaran sistem

2. Fokus pada menjatuhkan hukuman

3. Menimbulkan rasa bersalah

4. Korban diabaikan

5. Pelaku pasif

6. Pertanggungjawaban pelaku adalah hukuman

7. Respon terpaku pada perilaku masa lalu pelaku

8. Stigma tidak terhapuskan

29

Ibid., halaman 203

(35)

9. Tidak didukung untuk menyesal dan dimaafkan

10.Proses bergantung pada aparat

11.Proses sangat rasional30 Restoratif Jutice :

1. Kejahatan adalah perlakuan terhadap individu dan/atau masyarakat

2. Fokus pada pemecahan masalah

3. Memperbaiki kerugian

4. Hak dan kebutuhan korban diperhatikan

5. Pelaku di dorong untuk bertanggung jawab

6. Pertanggungjawaban pelaku adalah menunjukkan empati dan

menolong untuk memperbaiki kerugian

7. Respon terpaku pada perilaku menyakitkan akibat perilaku-perilaku

8. Stigma dapat hilang melalui tindakan yang tepat

9. Didukung agar pelaku menyesal dan maaf dimungkinkan untuk

diberikan oleh korban

10.Proses bergantung pada keterlibatan orang-orang yang terpengaruh

oleh kejadian

11.Dimungkinkan proses emosional31

Model keadilan restoratif lebih pada upaya pemulihan hubungan pelaku

dan korban, misalnya, seseorang mencuri buku professor, proses keadilannya

adalah bagaimana cara dan langkah apa agar persoalan bisa selesai sehingga

30 Ibid. 31

(36)

hubungan baik antara orang tersebut dan professor berlangsung seperti semula

tanpa ada yang dirugikan.32

Dalam keadilan retributif, masyarakat tidak dilibatkan karena sudah

diwakilkan oleh pengacara, sementara alam keadilan restoratif masyarakat

dilibatkan melalui tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki kewibawaan dalam

lingkungan tersebut, misalnya tokoh agama, orang berpengaruh, dan sebagainya

keadilan retributif lekat dengan kompetisi pelaku dan lawan sehingga ada proses

tahapanbanding dan kasasi dalam proses peradilannya, tetapi pada keadilan

restoratif semua pihak diajak kerja sama untuk menyelesaikan persoalan. Pada

keadilan retributif pelaku hanya objek, yang aktif hanya pengacara, sedangkan

pada keadilan restoratif justice, pelaku maupun korban sama-sama aktif diberi

peran untuk menyelesaikan persoalan yang ada .33

Prinsip-prinsip restoratif justice adalah membuat pelaku bertanggung

jawab untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya sebaik dia mengatasi rasa

bersalahnya dengan cara yang konstruktif, melibatkan korban, orang tua, keluarga,

sekolah, atau teman bermainya, membuat forum kerja sama, juga dalam masalah

yang berhubungan dengan kejahatan untuk mengatasinya. Watchel dan Mc. Cold

yang banyak melakukan praktik keadilan restoratif di lingkungan sekolah,

mengonseptualkan kerangka kultur yang adil dan setara berdasarkan hubungan

yang positif dan penuh kepedulian.34

Pemahaman bahwa menjauhkan anak dari proses peradilan pidana menjadi

penting karena hal ini merupakan bagian upaya perlindungan hak asasi anak.

32

Ibid., halaman 165 33

Hadi Supeno, Op.Cit., halaman 204 34

(37)

Pengalihan perkara oleh polisi dan penuntut umum serta pejabat lain yang

berwenang untuk menjauhkan anak dari proses peradilan formil, penahanan atau

pemenjaraan. Program diversi ini dilakukan dengan menempatkan anak dibawah

pengawasan badan-badan sosial tertentu yang membantu pelaksanaan sistem

peradilan pidana anak sebagaimana yang disebut dalam undang-undang.35

Ide mengenai restoratif justice masuk dalam pasal 5 Ayat (1)

Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa sistem peradilan pidana anak wajib

mengutamakan pendekatan keadilan restoratif ayat (1) yang meliputi :

a. Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan

lain dalam undang-undang ini.

b. Persidangan anak dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan

umum.

c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan dan pendampingan selama

proses pelaksanaan pidana, tindakan dan setelah menjalani pidana atau

tindakan 36

2. Diversi Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini telah diatur

diversi, diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan

pidana ke proses luar pidana (Pasal 1 angka 7). Dalam sistem peradilan pidana

anak, wajib diupayakan diversi, artinya diversi diupayakan dalam Sistem

35

M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta Timur, Cetakan Pertama, 2013, halaman 134

36

(38)

Peradilan Pidana Anak, yang meliputi : penyidikan dan penuntutan pidana anak

yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,

kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, persidangan anak yang

dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum, pembinaan,

pembimbingan, pengawasan dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan

pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan (pasal 5 ayat 2

Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak). 37

Penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam melakukan diversi harus

mempertimbangkan kategori tindak pidana, umur anak, hasil penelitian

kemasyarakatan dari Bapas, dan dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.

Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga

anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk tindak pidana

yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau

nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat

(Pasal 9 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak).38

Prinsip-prinsip Diversi menurut The Beijing Rules adalah :

a. Diversi dilakukan setelah melihat pertimbangan yang layak, yaitu

penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan lembaga lainnya) diberi

kewenangan untuk menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia

muda tanpa menggunakan pengadilan formal.

b. Kewenangan untuk menentukan diversi diberikan kepada aparat

penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim, dan lembaga lain yang

37

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2014, halaman 103

38

(39)

sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem

hukum masing-masing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip yang

terkandung dala The Beijing Rules.

c. Pelaksanaan diversi harus dengan persetujuan anak, atau orang tua

walinya namun demikian keputusan pelaksanaan diversi setelah ada

kajian oleh pejabat yang berwenang atas permohonan diversi tersebut.

d. Pelaksanaan diversi memerlukan kerja sama dan peran masyarakat,

sehubungan dengan adanya program diversi seperti : pengawasan,

bimbingan sementara, pemulihan, dan ganti rugi kepada korban. 39

Diversi merupakan pemberian kewenangan kepada aparat penegak hukum

untuk mengambil tindakan-tindakan kebijaksanaan dalam menangani atau

menyelesaikan masalah pelanggar anak dengan tidak mengambil jalan formal

antara lain menghentikan atau tidak meneruskan, melepaskan dari proses

peradilan pidana atau mengembalikan, menyerahkan kepada masyarakat.40

Penerapan diversi dapat ditetapkan di semua tingkat pemeriksaan,

dimaksutkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam proses

peradilan tersebut. Terhadap anak yang ditangkap polisi, polisi dapat melakukan

diversi tanpa meneruskan ke jaksa penuntut. Kemudian apabila kasus anak sudah

sampai di pengadilan, maka hakim dapat melakukan peradilan sesuai dengan

prosedurnya dan diutamakan anak dapat dibebaskan dari pidana penjara. Apabila

anak sudah berada di dalam penjara maka petugas penjara dapat melimpahkan ke

lembaga sosial.

39

M. Nasir Djamil, Op.Cit., halaman 134 40

(40)

Diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada tanggal 30 Juli 2012, maka

Indonesia sudah secara sah memiliki suatu peraturan yang memberi perlindungan

hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dengan salah satu

metodenya adalah diversi.41

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak belum

menerapkan lembaga diversi dalam rumusannya. Menyebabkan banyak perkara

pidana bermuara dari tindak kenakalan anak yang sifatnya junevile deliquesi

semata, yang seharusnya tdak perlu proses sampai ke ranah pidana.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak, diversi sudah merupakan suatu kesatuan dalam proses pidana anak, hal ini

menarik karena sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia banyak

menangani kasus anak dan sudah menggunakan ide diversi ini sebagai salah satu

cara penyelesaian kasus anak sebelum undang-undang No. 11 Tahun 2012

berlaku. KPAI menggunakan dasar Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak sebagai dasar melaksanakan diversi.42

Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang

diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke

penyelesaian damai antara tersangka, terdakwa, pelaku tindak pidana dengan

korban yang difasilitasi oleh keluarga dan masyarakat, Pembimbingan

Kemasyarakatan Anak, polisi, jaksa maupun hakim.43

41

Angger Sigit Pramukti & Fuandy Primaharsya, Op.Cit., halaman 68 42

Ibid. 43

(41)

Pada pasal 6 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan

tujuan diversi, yakni antara lain :

a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak

b. Menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan

c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan

d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi

e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak

Tujuan diversi tersebut merupakan implementasi dari keadilan restoratif

justice yang berupaya mengembalikan pemulihan terhadap sebuah permasalahhan,

bukan sebuah pembalasan yang selama ini dikenal dalam hukum pidana.

Kewajiban mengupayakan diversi dari mulai penyidikan, penuntutan dan

pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri, dilakukan dalam hal tindak

pidana yang dilakukan :

a. Diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun

b. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana44

Ketentuan ini menjelaskan bahwa anak yang melakukan tindak pidana

yang ancamannya lebih dari 7 (tujuh) tahun maka tidak wajib diupayakan diversi,

hal ini memang penting mengingat kalau ancaman hukuman lebih dari 7 (tujuh)

tahun tergolong pada tindakan berat, dan merupakan suatu pengulangan, artinya

anak pernah melakukan tindak pidana baik itu sejenis maupun tidak sejenis

termasuk tindak pidana yang diselesaikan melalui diversi. Pengulangan tindak

pidana oleh anak, menjadi bukti bahwa tujuan diversi tidak tercapai yakni

44

(42)

menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak untuk tidak mengulangi perbuatan

yang berupa tindakan pidana. Upaa diversi terhadapnya bisa saja tidak wajib

diupayakan.

Dalam pasal 8 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak

menentukan bahwa :

1. Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak

dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya,

pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional

berdasarkan pendekatan keadilan restoratif justice

2. Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksut pada ayat

(1) dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial, dan/atau masyarakat.

3. Proses diversi wajib memperhatikan :

a. Kepentingan korban

b. Kesejahteraan dan tanggung jawab anak

c. Penghindaran stigma negatif

d. Penghindaran pembalasan

e. Keharmonisan masyarakat

f. Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.45

Kesepakatan diversi untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa

pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian

korban tidak lebih dari nilai upah minimumprovinsi etempat sebagaimana

dimaksut dalam Pasal 9 ayat 2 dapat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku

45

(43)

dan/atau keluarganya, pembimbing kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh

masyarakat. Kesepakatan diversi sebagaimana dimaksut pada ayat (1) dilakukan

oleh penyidik atas rekomendasi pembimbing kemasyarakatan dapat berbentuk

pengembalian kerugian dalam hal ada korban, rehabilitasi medis psikososial,

penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau

pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan, atau

pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga bulan (Pasal 10 UU SPPA).46

Pasal 13 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan

bahwa proses peradilan pidana anak dilanjutkan dalam hal proses diversi tidak

menghasilkan kesepakatan, atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan.

Pengawasan atas proses diversi dan pelaksanaan kesepakatan yang dihasilkan

berada pada atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat

pemeriksaan. Selama proses diversi berlangsung sampai dengan kesepakatan

diversi dilaksanakan, pembimbing kemasyarakatan wajib melakukan

pendampingan, pembimbingan dan pengawasan. Dalam hal kesepakatan diversi

tidak dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan, pembimbing kemasyarakatan

segera melaporkannya kepada pejabat yang bertanggung jawab. Pejabat yang

bertanggungjaab sebagaimana dimaksut pada ayat (3) wajib menindaklanjuti

laporan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari. Pasal 15 UU SPPA menentukan

bahwa ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan proses diversi, tata cara, dan

koordinasi pelaksanaan diversi diatur dengan peraturan pemerintah.47

46

Maidin Gultom, Op.Cit., halaman 104 47

(44)

B. Lembaga Pemasyarakatan Anak

Sebelum membicarakan tentang Lembaga Pemasyarakatan Anak (LAPAS

Anak), terlebih dahulu perlu mengetahui mengenai apa yang dimaksut dengan

pemasyarakatan. Dalam Pasal 1 Angka 1 UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan, diberi pengertian sebagai berikut :

Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga

binaan Permasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara

pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam

tata peradilan pidana.48

Secara umum, yang dimaksut Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat

untuk melakukan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.Dari

pengertian ini, terlihat adanya pembedaan penamaan antara narapidana dan anak

didik pemasyarakatan, walaupun secara hakikat mempunyai kesamaan yaitu orang

yang menghuni LAPAS berdasarkan putusan pengadilan. Perbedaan ini tidak

dijelaskan oleh undang-undang, namun dapat diperhatikan bahwa penamaan

“anak didik pemasyarakatan” bukan “narapidana anak”. Dengan menggunakan istilah anak didik pemasyarakatan tersebut merupakkan ungkapan halus untuk

menggantikan istilah narapidana anak yang dirasakan menyinggung perasaan da n

mensugestikan sesuatu yag tidak mengenakkan bagi anak.49

Konkretnya, LAPAS Anak mempunyai ciri, kekhasan dan motivasi

tertentu seperti LAPAS Wanita, LAPAS Remaja. Pada asasnya, pembinaan anak

didik pemasyarakatan harus dalam LAPAS anak, terpisah dengan pembinaan

48

Nashriana, Op. Cit., halaman 153 49

(45)

orang dewasa/narapidana. Hal ini secara eksplisit telah diatur dalam Pasal 60 UU

No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Prinsip ini tetap dipegang walaupun

pada suatu daerah belum ada LAPAS Anak, tetapi anak didik pemasyarakatan

ditempatkan terpisah dengan orang dewasa. Telah diketahui di atas bahwa semua

anak yang menghuni di LAPAS Anak mempunyai kewajiban untuk menaati

seluruh peraturan keamanan dan ketertiban di tempat tersebut. Berhubung hal

tersebut merupakan kewajiban, maka konsekuensinya apabila dilalaikan atau

dilanggar, kepada si anak akan dikenakan hukuman disiplin.50

Kemudian, mengenai hukuman disiplin yang bagaimana yang dapat

dijatuhkan terhadap anak pidana? Ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU

Pemasyarakatan mengatur ada dua jenis hukuman disiplin, yaitu :

a. Tutupan sunyi paling lama 6 (enam) hari

b. Menunda atau meniadakan hak tertentu untuk waktu tertentu sesuai

peraturan perundangan yang berlaku. Misalnya meniadakan hak untuk

mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi) untuk satu tahun.

Anak didik pemasyarakatan (Pasal 1 ayat ayat 8 Undang-Undang No. 12

Tahun 1999) terdiri dari :

1. Anak pidana

Anak pidana, adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani

pidana di Lembaga Pemasyarakatan anak paling lama sampai berumur 18

(delapan belas) tahun. Anak pidana diitempatkan di Lembaga

Pemasyarakatan (LAPAS) anak dan wajib didaftar dan penggolongan.

50

(46)

a. Pembinaan dan penggolongan

Untuk pembinaan (Pasal 20 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995) terhadap

Anak Pidana di LAPAS anak dilakukan peggolongan berdasarkan, umur,

jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan, dan kriteria

lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.

b. Hak-hak Anak Pidana (Pasal 22 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995) :

1) Berhak melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya

2) Berhak mendapat perawatan baik perawatan rohani maupun jasmani

3) Berhak mendapat pendidikan dan pengajaran

4) Berhak mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak

5) Berhak menyampaikan keluhan

6) Berhak menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang

tertentu

7) Berhak mendapat pengurangan masa pidana (remisi)

8) Berhak mendapatkan pembebasan bersyarat

9) Berhak mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

2. Anak Negara

Anak negara, adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan

diserahkan kepada negara untuk dididik. Untuk itu anak negara

ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai

Referensi

Dokumen terkait

Dari hal tersebut untuk menguarngi berat badan yang berlebihan pada ibu Post Partum maka salah satunya yang perlu dilakukan yaitu memberikan ASI eksklusif kepada

Sedangkan tingkat kinerja sistem drainase terhadap indicator fisik yang dinyatakan dalam skor adalah cukup (diperoleh dari total pengalian nilai dengan bobot

Potensi wisata adalah sumberdaya alam yang beraneka ragam, dari aspek fisik dan hayati, serta kekayaan budaya manusia yang dapat dikembangkan untuk pariwisata. Banyu

Penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya salah satu kegiatan pemerintah yang berusaha untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan melalui

Make sure that you keep a certain portion above the ground level to prevent surface water from flowing inside. waste water from a factory, waste water from workers’ village,

Selain itu, terdapat penemuan bahwa untuk menyukseskan kinerja perusahaan dapat dicapai melalui daya saing yang berasal dari strategi dife- rensiasi, yang terkait

Gambar 6 Kapas Sebagai Media Budi Daya Semut Jepang. Universitas

Selain geometri Euclid yang pembahasannya seperti disebutkan di atas, dalam matematika ada pula yang dikenal dengan geometri Riemann. Geometri Riemaan hadir