TINDAK PIDANA MEMBANTU MELAKUKAN PENCURIAN DENGAN
KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (STUDI PUTUSAN
NOMOR : 03/PID.SUS-ANAK/2014/PN.MDN)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Syarat-syarat
dan Melengkapi Tugas-tugas untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
O l e h :
RONI DANIEL TAMBUNAN
110200379
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulispanjatkan kepada Tuhan YME, karena hanya dengan
berkat dan rahmat-nya lah penulis memiliki kesehatan, kekuatan dan kemampuan
untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.
Sudah menjadi kewajiban dari setiap mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara untuk dapat menyelesaikan suatu karya ilmiah
sebagai syarat dalam menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini berjudul “. Pada penyajiannya penulis menyadari terdapat berbagai kekurangan dan kesalahan, yang disebabkan oleh keterbatasan
pengetahuan ilmiah yang dimiliki oleh penulis. Oleh sebab itulah penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan dari karya
ilmiah ini.
Hukum Pidana, yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk
membuat skripsi ini.
3. Bapak selaku Pembimbing ke I, yang telah menyediakan waktunya untuk
memberikan segala bimbingan dan saran kepada penulis dalam
penyelesaian skripsi ini.
4. Bapak selaku Pembimbing ke II, yang telah menyediakan dan
meluangkan waktunya untuk memberikan segala bombingan dan saran
kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Seluruh staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
yang telah memberikan serta mengajarkan segala ilmu pengetahuan
6. Terkhusus kepada kedua orang tua ku tercinta, Parulian Tambunan dan
Herdi sihombing, terima kasih yang sebesar-besarnya karena telah
bersusah payah membesarkan dan mendidik dengan penuh kesabaran dan
kasih sayang sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Kepada kakak ku tersayang, Rotua Magdalena Tambunan yang telah
memberi semangat.
8. Kepada sepupu ku Clara, Chatrin, Jerimia, Desi dan Chandra.
9. Kepada Uda Agung yang menjadi motivasi untuk lebih maju kedepannya,
dan selalu memberikan nasehat-nasehat yang positif.
10.Kepada muda-mudi N-HKBP ANUGERAH, yang telah membentuk
kepribadian dan akhlak yang bermoral.
11.Kepada teman-teman satu stambuk 2011 serta sahabatku Naomi,Togar,
Marshal, Herman, Ditha, Herry, Roland, Daud dan Evelyn, yang telah
menjadi teman terbaik.
12.Kepada kelompok Klinis Stela, Arif, fenny, puput, Suenta, yang telah kita
lewatkan bersama baik dalam keadaan suka maupun duka.
13.Kepada kawan seperjuangan Yudha, Deni, Jefrry, Imam, Yusuf, Albert,
terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan atas masa-masa indah
yang telah penulis lewatkan bersama kalian.
Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang tidak
dapat diucapkan satu persatu. Semoga kiranya kebaikan semua dapat memperoleh
balasan dari Tuhan yang Maha Esa.
Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat
bagi setiap pihak yang membacanya. Amin.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...i
Daftar Isi... iv
Abstraksi...vi
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1
B. Perumusan Masalah...6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...7
D. Keaslian Penelitian...8
E. Tinjauan Kepustakaan...9
1. Pengertian Tindak Pidana...9
2. Pengertian Membantu Melakukan...12
3. Pengertian Kejahatan...14
4. Pengertian Anak ...16
5. Pengertian Hakim Anak...19
6. Pertanggungjawaban Pidana...20
F. Metode Penelitian...22
G. Sistematika Penulisan...24
BAB II : ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN A. Pengertian Restoratif Justice dan Diversi Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak...26
B. Pengaturan Lembaga Pemasyarakatan Anak...37
BAB III : PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN
DENGAN KEKERASAN
A. Tindak Pidana Pencurian Biasa...51
B. Tindak Pidana Pencurian kekerasan (Dalam Kasus yang Terdapat Dalam Putusan PN Medan No. 03/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn)...55
BAB IV : DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PIDANA PADA PUTUSAN NO. 03/Pid.Sus Anak/014/PN Mdn. A. Kasus Posisi...68
1. Dakwaan...68
2. Fakta-fakta Hukum...74
3. Dasar Pertimbangan Hakim...79
4. Putusan Pengadilan Negeri...87
B. Analisa Putusan...88
BAB V : Penutup A. Kesimpulan...92
B. Saran...93
ABSTRAKSI harus lebih berhati-hati karena pemeriksaan pidana anak berbeda dengan pemeriksaan orang dewasa pada umumnya dengan mengetahui faktor-faktor penyebab kejahatan. Hal ini dilatarbelakangi dengan semakin banyaknya tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan anak sebagai terdakwa dalam persidangan agar terhindar dari perampasan hak-haknya sebagai anak dan diberikan dengan sebagaimana mestinya.
Skripsi ini berbicara mengenai Pertimbangan hakim dalam memutus perkara terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana. Penerapan ketentuan diversi dan Restoratif justice merupakan hal yang sangat penting dipertimbangkan karna dengan konsep diversi hak-hak asasi anak dapat lebih terjamin. Dari hasil penelitian diketahui bahwa tujuan restoratif Justice adalah untuk mengembalikan korban dan keluarganya kepada keadaan semula. Dimana pemidanaan merupakan alternatif terakhir. Pelaksanaan Restoratif Justice dilakukan dengan cara melakukan pertemuan antara korban, pelaku, masyarakat dan aparat penegak hukum. Hal ini dilakukan agar moral, pendidikan anak sebagai tindak pidana tidak terganggu dan mengurangi over kapasitas lembaga pemasyarakatan. Untuk itu pemerintah melahirkan Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengatur tentang diversi yang prinsip utamanya adalah tindakan persuasif atau pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yaitu menggunakan berbagai data sekunder seperti peratuan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis yang dimuat di media massa yang berkaitan dengan membantu melakukan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak.
ABSTRAKSI harus lebih berhati-hati karena pemeriksaan pidana anak berbeda dengan pemeriksaan orang dewasa pada umumnya dengan mengetahui faktor-faktor penyebab kejahatan. Hal ini dilatarbelakangi dengan semakin banyaknya tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan anak sebagai terdakwa dalam persidangan agar terhindar dari perampasan hak-haknya sebagai anak dan diberikan dengan sebagaimana mestinya.
Skripsi ini berbicara mengenai Pertimbangan hakim dalam memutus perkara terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana. Penerapan ketentuan diversi dan Restoratif justice merupakan hal yang sangat penting dipertimbangkan karna dengan konsep diversi hak-hak asasi anak dapat lebih terjamin. Dari hasil penelitian diketahui bahwa tujuan restoratif Justice adalah untuk mengembalikan korban dan keluarganya kepada keadaan semula. Dimana pemidanaan merupakan alternatif terakhir. Pelaksanaan Restoratif Justice dilakukan dengan cara melakukan pertemuan antara korban, pelaku, masyarakat dan aparat penegak hukum. Hal ini dilakukan agar moral, pendidikan anak sebagai tindak pidana tidak terganggu dan mengurangi over kapasitas lembaga pemasyarakatan. Untuk itu pemerintah melahirkan Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengatur tentang diversi yang prinsip utamanya adalah tindakan persuasif atau pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yaitu menggunakan berbagai data sekunder seperti peratuan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis yang dimuat di media massa yang berkaitan dengan membantu melakukan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini kenakalan remaja mendapat sorotan yang cukup tajam dari
kalangan masyarakat yang memperhatikan masalah ini. Kenakalan remaja yang
sering terjadi dewasa ini, tampaknya sudah kehilangan ciri nakalnya dan sudah
menjurus pada tindakan-tindakan brutal yang membahayakan keselamatan, baik
harta maupun nyawa orang lain. Pada awalnya, kenakalan remaja hanyalah
merupakan perilaku “nakal” dari kalangan remaja yang sering dikatakan sedang mencari identitas diri. Kenakalan remaja yang demikian ini tidak menimbulkan
kekhawatiran dikalangan masyarakat luas. Beberapa peristiwa yang terjadi di
kota-kota besar menunjukkan beberapa kenakalan remaja yang menjurus pada
tindakan kriminalitas.1|
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa para remaja melakukan
perilaku yang mengarah pada kriminalitas. Tulisan ini berusaha menjelaskan
secara teoritis tentang hal ini, kenakalan remaja dalam kaitannya dengan
perbuatan-perbuatan yang menjurus pada kriminalitas yang dilakukan secara
bersama-sama . Pada awalnya kenakalan remaja dikatakan sebagai perbuatan
deviasi yang tidak perlu dikhawatirkan. Inilah yang dikatakan sebagai deviasi
primer. Setiap orang, yang telah melewati masa remaja, pasti pernah melakukan
deviasi primer. Ada beberapa kriteria yang dapat dikategorikan sebagai deviasi
primer yaitu perbuatan tersebut tidak dilakukan secara terus-menerus dan
1
perbuatan deviasi yang dilakukan secara disorganisasi dan tidak dilakukan secara
lihai, pada dasarnya perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai perbuatan oleh
yang berwajib.2
Di kalangan remaja, melakukan perbuatan-perbuatan yang menjurus pada
kriminalitas tidaklah mudah. Perbuatan tersebut secara teoritis memerlukan
dukungan dari kawan-kawan mereka. Mengapa demikian?
Edwin.H Sutherland menyatakan bahwa semua perilaku termasuk
perilaku jahat merupakan perbuatan hasil dari proses belajar. Hal ini berarti ia
menolak teori yang menyatakan bahwa kejahatan merupakan sifat bawaan yang
diperoleh sejak lahir, yang berasal dari keturunan. Oleh karena itulah ia dalam
proporsisinya menyatakan bahwa perilaku jahat dipelajari dari orang lain melalui
interaksi. Selain proses interaksi, maka yang terpenting perilaku tersebut
diperoleh melalui pergaulan yang akrab. Apa artinya semua ini? Menurut
Sutherland, orang tidak akan mempelajari tingkah laku jahat hanya melalui
interaksi yang tidak akrab. Kejahatan hanya bisa dipelajari kalau ada hubungan
yang akrab antara para pihak. Di sinilah kemudian muncul indikasi bahwa
kejahatan selalu mempunyai jaringan, selalu mempunyai dukungan. Tanpa adanya
dukungan, seseorang akan khawatir untuk melakukan kejahatan seorang diri.
Dengan demikian dalam mempelajari kejahatan tidak hanya menyangkut
teknik/cara melakukan kejahatan saja tetapi juga hal-hal yang mendorong serta
alasan pembenar dalam melakukan kejahatan.3
2
Ibid., halaman 84-85 3
Berdasarkan uraian di atas maka dukungan orang lain untuk terjadinya
suatu kejahatan tidak dapat diabaikan keberadaannya. Steven Box dalam bukunya
yang berjudul Deviance, Reality, and Society mengemukakan bahwa ada
anak-anak remaja yang mempunyai kemauan untuk melakukan kejahatan tetapi tidak
pernah terwujud. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, ada beberapa hal yang
diperlukan yaitu : Pertama, keahlian. Anak-anak remaja yang mempunyai
keinginan untuk melakukan kejahatan, mungkin harus menunda keinginannya
mengingat mereka tidak mempunyai tingkat pengetahuan yang khusus atau
keahlian. Keahlian dalam melakukan kejahatan merupakan proses belajar, yang
diperoleh dari teman-teman sekelompok. Kedua, adalah perlengkapan. Seseorang
yang mempunyai keinginan melakukan kejahatan akan mengabaikan
keinginannya bila tidak mempunyai perlengkapan yang memadai. Perlengkapan
ini pun tidak mudah diperoleh. Hanya mereka yang dikenal dan termasuk dalam
kelompoklah yang mudah memperoleh perlengkapan. Ketiga, adalah adanya
dukungan sosial. Mereka yang mempunyai keinginan untuk melakukan kejahatan
baru dapat melaksanakan keinginannya bila terdapat dukungan kelompok.4
Meningkatnya kenakalan remaja dewasa ini disebabkan oleh kepribadian
anak yang belum terkontrol, jika anak remaja tidak mampu mengoreksi perbuatan
yang salah maka ini akan sangat membahayakan anak itu sendiri. remaja
misalnya, membentuk kelompok-kelompok yang mengarah kepada tindakan
kriminal seperti tawuran, mencuri bahkan merampok.
4
Pada kehidupan bermasyarakat sering terdapat adanya
penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan hidup masyarakat terutama yang
dikenal dengan nama norma hukum. Penyimpangan norma hukum di masyarakat
disebut dengan kejahatan. Sebagai salah satu bentuk penyimpangan dari norma di
tengah-tengah masyarakat dimana pelaku dan korbannya adalah anggota
masyarakat juga. Kejahatan yang merupakan suatu bentuk dari timbulnya gejala
sosial itu tidak berdiri sendiri, melainkan ada hubungan dengan berbagai
perkembangan baik kehidupan sosial, ekonomi, hukum, maupun teknologi.
Kejahatan ini juga ditimbulkan dari perkembangan-perkembangan lain sebagai
akibat sampingan yang negatif dari setiap kemajuan atau perkembangan sosial di
masyarakat.
Saat ini, dunia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dan
modernisasi. Perkembangan dan modernisasi tersebut terutama dapat dirasakan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena perkembangan tersebut
juga telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan
pertumbuhan perekonomian.
Satjipto Raharjo menulis bahwa modernisasi menekankan pada rasio,
penampilan manusia secara individual, kebebasan manusia, orientasi kepada dunia
serta penggunaan rasio sebagai alat untuk memecahkan berbagai masalah.5 Sutan
Takdir Alisyahbana dalam bukunya “ Hukum dan proses Modernisasi di
Indonesia” menulis antara lain bahwa proses modernisasi menyangkut perubahan
5
kelakuan dan nilai-nilai kebudayaan yang sejalan dengan perubahan sikap hidup
dan cara berfikir manusia.6
Pada dasarnya pertumbuhan perekonomian yang terjadi belakangan ini
mengalami perkembangan yang tidak seimbang. Hal ini dapat di lihat dimana
pertumbuhan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan taraf hidup masyarakat
sehingga jumlah masyarakat miskin semakin bertambah di indonesia.
Diketahui bahwa keadaan masyarakat yang berada dibawah garis
kemiskinan tersebut menyebabkan sangat rendahnya tingkat daya beli masyarakat.
Hal ini berdampak pada ketidakmampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, yang kemudian akan dapat menjadi penyebab atau latar belakang dari
setiap kejahatan atau tindak pidana dalam masyarakat, dimana salah satu
bentuknya adalah pencurian.
Kejahatan adalah suatu masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat, dimana setiap masalah sosial dapat berbeda-beda dari setiap
masyarakat, tergantung dari kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat
tersebut. Adapun faktor lain yang menjadi penyebab dari terjadinya masalah
sosial tersebut adalah berasal dari faktor lingkungan, sifat dari masyarakat
tersebut, serta keadaan dari setiap orang yang menjadi anggota penduduk dari
masyarakat tersebut. Terkait dengan hal tersebut diatas, maka dapat kita ketahui
bahwa perkembangan kejahatan adalah merupakan suatu fakta yang tidak dapat
dipungkiri lagi, baik pada masyarakat sederhana maupun modern.
6
Salah satu jenis kejahatan yang semakin berkembang baik dari segi
frekuensi maupun dari segi cara melakukannya adalah kejahatan pencurian. Telah
dijelaskan bahwa pencurian terjadi disebabkan oleh banyaknya kalangan
masyarakat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya karena daya beli
yang sangat rendah. Memang pencurian tetaplah bentuk pencurian, akan tetapi
alangkah baiknya jika disesuaikan dengan kejahatan pencuriannya apakah
memang pantas untu disidang di Pengadilan atau masih bisa diselesaikan secara
musyawarah kekeluargaan.
Saat ini kejahatan pencurian memang sangat marak terjadi, baik yang
terjadi di pinggir jalan, di perumahan, bahkan di dalam pasar. Pencurian itu
sendiri dapat dilakukan pada siang hari, malam hari, dengan kekerasan, tidak
dengan kekerasan, ataupun terhadap keluarganya sendiri. Sanksi yang dijatuhi pun
berbeda atas jenis pencurian yang berbeda pula.
Pencurian merupakan tindakan kriminalitas yang sengaja mengganggu
kenyamanan rakyat. Tindakan konsisten diperlukan dalam penegakan hukum,
sehingga terjalin kerukunan. Kemiskinan yang banyak mempengaruhi perilaku
pencurian adalah kenyataan yang terjadi ditengah masyarakat, dibuktikan dari
rasio pencurian yang makin meningkat ditengah kondisi objektif pelaku di dalam
melakukan aktifitasnya.7
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan dari apa yang telah dipaparkan dalam bagian pendahuluan
pada penulisan skripsi ini, dan juga untuk memberikan pembatasan dari ruang
7
lingkup pembahasan yang kemudian akan diangkat sebagai bahan materi dalam
skripsi ini, maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang akan
diangkat, yaitu sebagai berikut :
1. Apa faktor-faktor penyebab terjadinya kenakalan anak?
2. Bagaimana pengaturan hukum anak yang melakukan tindak pidana
pencurian dengan kekerasan?
3. Apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan vonis
terhadap anak tindak pidana pencurian pemberatan pada (putusan
No.03/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn) ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Pada dasarnya tujuan adalah merupakan salah satu alasan penting bagi kita
dalam melakukan suatu pekerjaan, oleh sebab itulah perlu dirumuskan apakah
yang menjadi tujuan dari penulisan dan penyelesaian skripsi ini.
Adapun yang menjadi tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah :
a. Untuk mengetahui secara teori perbedaan unsur-unsur kejahatan jenis
tindak pidana pencurian, yaitu unsur-unsur tindak pidana pencurian
biasa dengan unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan.
b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan bagi jaksa dalam membuat
tuntutan dan dasar hakim dalam pertimbangan bagi membuat putusan.
2. Manfaat Penelitian
Hasil dari pelaksanaan penelitian sudah selayaknya akan dapat bermanfaat
terkait dalam penulisan skripsi ini, untuk itu saya memaparkan tentang hal-hal
yang menurut saya akan memberikan manfaat dari hasil penelitian dan penulisan
skripsi ini, yaitu antara lain :
a. Manfaat Teoritis
Diharapkan agar kiranya hasil dari penelitian ini dapat menyumbangkan
pemikiran di bidang hukum, khususnya dalam disiplin ilmu hukum
pidana mengenai kejahatan pencurian yang dilakukan pada waktu
malam hari.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat
bagi seluruh pengambil kebijakan dan para pelaksana hukum di bidang
hukum pidana, khususnya mengenai kejahatan pencurian dengan
kekerasan, dengan mengetahui unsur-unsur tindak pidana pencurian
serta dasar pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan.
D. Keaslian Penulisan
Proses penulisan skripsi berjudul “Tindak Pidana Membantu melakukan Pencurian Dengan Kekerasan oleh Anak di bawah Umur’’ terhadap perkara kasus Pencurian dengan Kekerasan Pasal ini, sejauh pengamatan dan pengetahuan
penulis tentang materi yang diangkat dalam skripsi ini, belum ada penulis lain
yang mengemukakannya, sehingga saya tertarik untuk mengangkat judul tersebut
serta pokok permasalahannya sebagai judul dan pembahasan yang akan diangkat
dan dikembangkan dalam skripsi ini. Apabila di kemudian hari ada judul yang
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Tindak Pidana
Kata strafbaarfeit diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa
indonesia. Beberapa kata yang digunakan untuk menterjemahkan kata strafbaarfeit
oleh sarjana-sarjana Indonesia antara lain : tindak pidana, delik, perbuatan pidana.
Sementara dalam berbagai perundang-undangan sendiri digunakan berbagai
istilah untuk menunjuk pada pengertian kata strafbaarfeit.8
Istilah yang digunakan dalam undang-undang di atas antara lain :
1. Peristiwa pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam
Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 khususnya dalam Pasal 14.
2. Perbuatan pidana, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan
kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil.
3. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan dalam
Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1951 tentang Perubahan
Ordonantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen
4. Hal yang diancam dengan hukum, istilah ini digunakan dalam
Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan.
5. Tindak pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai undang-undang,
misalnya :
8
a. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan
Umum
b. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang
pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi.
c. Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1964 tentang Kewajiban Kerja
Bakti Dalam Rangka Pemasyarakatan bagi Terpidana karena
melakukan tindak pidana yang merupakan kejahatan.9
Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku
dan gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk
tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak
pidana. Oleh karena itu, setelah melihat berbagai definisi diatas, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan
yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, dimana pengertian
perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang
sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat
sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).10
Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari
tindak pidana itu sendiri, maka didalam tindak pidana tersebut terdapat
unsur-unsur tindak pidana, yaitu :
a. Unsur objektif
9
Ibid., halaman 102 10
Unsur yang terdapat diluar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya
dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan di mana tindakan-tindakan si
pelaku itu harus dilakukan. Terdiri dari :
- Sifat melanggar hukum
- Kualitas dari si pelaku
- Kausalitas
Yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu
kenyataan sebagai akibat.
b. Unsur subjektif
Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang
dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang
terkandung di dalam hatinya.
Unsur ini terdiri dari :
- Kesengajaaan atau ketidaksengajaan
- Maksut pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal 53 ayat
(1) KUHP
- Macam-macam maksut seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan
pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya
- Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340
KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu
- Perasaan takut seperti terdapat di dalam pasal 308 KUHP.11
11
2. Pengertian Membantu Melakukan
Penyertaan adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta
/terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan
melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana.
Orang-orang yang terlibat dalam kerja sama yang mewujudkan tindak pidana,
perbuatan masing-masing dari mereka berbeda satu dengan yang lain, demikian
juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap tindak
pidana maupun terhadap peserta yang lain. Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang
ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan yang demikian rupa
eratnya, dimana perbuatan oleh yang satu menunjang perbuatan oleh yang lainnya
yang semuanya mengarah pada satu terwujudnya tindak pidana.12
Pembagian “Peserta” inilah yang dipergunakan KUHPidana, ialah :
a. Pasal 55 KUHPidana ayat (2) menyebutkan “peristiwa pidana”, jadi baik kejahatan maupun pelanggaran.
1) Yang melakukan (pleger)
Ia sendiri telah berbuat dan perbuatan itu memenuhi unsur-unsur dari
delik yang bersangkutan.
2) Yang menyuruh melakukan (doen pleger)
Minimal ada 2 orang yaitu menyuruh melakukan dan yang disuruh
melakukan. Jadi bukan orang itu sendiri yang melakukan suatu delik,
melainkan ia menyuruh orang lain, walaupun demikian tetap
dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri. Agar
12
supaya masuk dalam pengertian “menyuruh melakukan” maka orang yang disuruh itu harus hanya merupakan alat saja, maksutnya ia tidak
dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya.
3) Yang turut melakukan (medepleger), yang berarti “bersama-sama melakukan”, jadi sedikit-dikitnya harus ada dua orang ialah yang
melakukan dan turut melakukan.
4) Yang membujuk (uitlokker), minimal 2 orang, yaitu yang membujuk
dan yang dibujuk. Dan caranya membujuk harus dengan jalan seperti
yang tercantum dalam pasal 55 ayat (1) 2e KUHPidana dan tidak
boleh dengan cara lainnya
b. Pasal 56 :
Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan :
1) Barang siapa dengan membantu melakukan kejahatan itu.
2) Barang siapa dengan sengaja memberi kesempatan, dan upaya atau
keterangan untuk melakukan kejahatan itu.13
Pelajaran umum “Turut Serta” termasuk diatas dibuat untuk menuntut pertanggungjawaban mereka yang memungkinkan pembuat melakukan suatu
delik, walaupun perbuatannya sendiri tidak memuat semua unsur delik tersebut.
Menurut pendapat VAN HATTUM, pasal 55 dan 56 KUHPidana itu memuat
ketentuan-ketentuan yang memperluas lingkungan orang-orang yang
bertanggungjawab menurut Hukum Pidana atas terjadinya atau percobaan
13
melakukan suatu delik yang unsur-unsurnya disebut dalam Undang-Undang
Pidana. Seseorang dapat dipersalahkan membantu melakukan jika ia sengaja
memberikan bantuan tersebut dan waktu atau sebelum delik itu dilakukan.14
Pertimbangan bahwa pembantu pembuat itu bukan pembuat dalam suatu
perbuatan pidana, yaitu bahwa peranannya jauh lebih santun dibandingkan dengan
semua peserta lainnya. Kedudukan yang lebih menguntungkan diri si pembantu
pembuat terungkap dalam pengurangan maksimum pidana dan dalam ketentuan
bahwa pembantuan dalam pelanggaran-pelanggaran tak dapat dipidana.15
Tetapi apakah yang membedakan peranan pembantu pembuat dari peranan
peserta-peserta lainnya, sehingga kedudukan yang menguntungkan itu dibenarkan/
Bagaimanapun juga, adalah pasti bahwa prakarsa si pembuat harus sudah ada
pada saat si pembantu pembuat dalam tahap pembuatan rencana-rencana atau
dalam tahap pelaksanaannya tercampur dalam perkara. Oleh karena itu
pembantuan itu secara singkat dapat didefinisikan sebagai kalau diminta,
memberikan bantuan pada atau, dalam suatu bentuk tertentu yang ditetapkan oleh
undang-undang, supaya orang lain dapat berbuat kejahatan. Dalam hal ini si
pembantu pembuat berdiri sendiri, yaitu semua peserta lainnya, jadi yang tersebut
pada 2, 3 dan 4 telah mengambil prakarsa sendiri.16
3. Pengertian Kejahatan
Salah satu persoalan yang sering muncul ke permukaan dalam kehidupan
Kejahatan merupakan suatu fenomena yang komplek yang dapat dipahami dari
berbagai sisi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita menangkap
14
Ibid., halaman 118 15
J. E. Sahetapy, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1995, halaman 250 16
berbagai komentar tentang suatu peristiwa kejahatan yang berbeda satu dengan
yang lain.17
Dalam pengalaman kita ternyata tak mudah untuk memahami kejahatan itu
sendiri. Usaha memahami kejahatan ini sebenarnya telah berabad-abad lalu
dipikirkan oleh para ilmuan terkenal. Plato misalnya menyatakan dalam bukunya
‘Republik’ menyatakan antara lain bahwa emas, manusia adalah merupakan
sumber dari banyak kejahatan. Sementara Aristoteles menyatakan bahwa
kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan. Kejahatan yang besar
tidak diperbuat untuk memperoleh apa yang perlu untuk hidup, tetapi untuk
kemewahan. Thomas Aquino memberikan beberapa pendapatnya tentang
pengaruh kemiskinan atas kejahatan. Orang kaya yang hidup untuk kesenangan
dan memboros-boroskan kekayaannya, jika suatu kali jatuh miskin, mudah
menjadi pencuri.18
Pada dasarnya istilah kejahatan ini diberikan kepada suatu jenis perbuatan
atau tingkah laku manusia tertentu yang dapat dinilai sebagai perbuatan jahat.
Kejahatan ditinjau dari sudut yuridis, merupakan jenis-jenis kejahatan yang sudah
definitif atau menimbulkan akibat hukum karena unsur deliknya. Maksutnya telah
ditentukan secara tertentu dalam suatu ketentuan Undang-Undang bahwa
perbuatan jenis-jenis tertentu dianggap sebagai perbuatan jahat, dengan kata lain
17
Topo Santoso, Eva Achjani Zulva, Kriminologi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, halaman 1
18
dalam norma hukum tertentu dalam suatu masyarakat telah ditetapkan berbagai
jenis perbuatan yang merupakan kejahatan.19
Pengertian kejahatan dalam hukum pidana menganut asas legalitas,
maksutnya kejahatan pidana harus ditentukan oleh suatu aturan Undang-Undang
yang definitif. Kejahatan adalah delik hukum, dan pelanggaran merupakan delik
Undang-Undang. Menurut beberapa ahli hukum, pengertian kejahatan adalah :
a. Paul Mudikdo Muliono menyatakan bahwa kejahatan adalah
perbuatan manusia yang merupakan pelanggaran norma, yang dirasa
merugikan, menjengkelkan, sehingga tidak boleh dibiarkan.
b. W. A. Bonger menyatakan bahwa kejahatan adalah merupakan
perbuatan yang immoral dan asosial yang tidak dikehendaki oleh
masyarakat dan harus dihukum oleh masyarakat.
c. Utrecht mengemukakan bahwa kejahatan adalah perbuatan karena
sifatnya bertentangan dengan ketertiban hukum, sedangkan
pelanggaran adalah perbuatan yang oleh undang-undang dicap sebagai
suatu perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban hukum.20
4. Pengertian Anak
Berbicara mengenai anak adalah sangat penting karena anak merupakan
potensi nasib manusia hari mendatang, dialah yang ikut berperan menentukan
sejarah bangsa sekaligus cermin sikap hidup bangsa pada masa mendatang.
Sistem penilaian anak-anak ini dengan bantuan usaha pendidikan harus bisa
dikaitkan atau disesuaikan dengan sistem penilaian manusia dewasa. Namun
19
Chainur Arrasjid, Suatu Pemikiran tentang Psikologi Kriminil, Kelompok Study Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1998, halaman 28
20
demikian adalah salah apabila menerapkan kadar nilai orang dewasa pada diri
anak-anak. Untuk memudahkan dalam mengerti tentang anak dan menghindari
salah penerapan kadar penilaian orang dewasa kepada anak, maka perlu diketahui
bagaimana pertumbuhan dan perkembangan anak.
Adapun proses perkembangan anak terdiri dari beberapa fase pertumbuhan
yang bisa digolongkan berdasarkan pada paralelitas perkembangan jasmani anak
dengan perkembangan jiwa anak. Penggolongan tersebut dibagi ke dalam 3 (tiga)
fase, yaitu :
1. Fase pertama adalah dimulainya pada usia anak 0 tahun sampai dengan 7
(tujuh) tahun yang bisa disebut sebagai masa anak kecil dan masa
perkembangan kemampuan mental.
2. Fase kedua adalah dimulai pada usia 7-14 tahun disebut sebagai masa
kanak-kanak, dimana dapat digolongkan ke dalam 2 periode, yaitu :
a. Masa anak sekolah dasar mulai dari usia 7-12 tahun adalah periode
intelektual. Periode intelektual ini adalah masa belajar awal dimulai
dengan memasuki masyarakat di luar keluarga, yaitu lingkungan
sekolah kemudian teori pengamatan anak dan hidupnya perasaan,
kemauan serta kemampuan anak dalam berbagai macam potensi.
b. Masa remaja/pra-pubertas atau pubertas awal. Pada periode ini,
terdapat kematangan fungsi jasmaniah ditandai dengan
berkembangnya tenaga fisik yang melimpah-limpah yang
menyebabkan tingkah laku anak kelihatan kasar, canggung, berandal,
3. Fase ketiga adalah dimulai pada usia 14-21 tahun, yang dinamakan masa
remaja, dalam arti sebenarnya yaitu fase pubertas, dimana terdapat masa
penghubung dan masa peralihan dari anak menjadi orang dewasa. Masa
remaja pubertas bisa dibagi dalam 4 (empat) fase, yaitu :
a. Masa awal pubertas, disebut pula sebagai masa pra pubertas
b. Masa menentang kedua, fase negatif
c. Masa pubertas sebenarnya, mulai kurang lebih 14 tahun. Masa
pubertas pada anak wanita pada umumnya berlangsung lebih awal dari
pada masa pubertas anak laki-laki
d. Fase adolescence, mulai kurang lebih usia 17 tahun sampai sekitar
19-21 tahun.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012
tentang sitem Peradilan Pidana Anak secara umum dikatakan, Anak adalah anak
yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan
anak yang menjadi saksi pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum selanjutnya
disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum
berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.21
Anak perlu mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan
pembangunan yang cepat, arus globalisasi dibidang komunikasi dan informasi,
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup
sebagian orang tua yang telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam
kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.
21
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan
oleh anak, antara lain disebabkan oleh faktor di luar diri anak tersebut.
5. Pengertian Hakim Anak
Hakim Anak adalah hakim yang khusus ditetapkan sebagai hakim anak,
baik di tingkat Pertama (Pengadilan Negeri), Tingkat Banding (Pengadilan
Tinggi), dan Tingkat Kasasi (Mahkamah Agung). Pada Tingkat Pertama, Hakim
Anak ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul
Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi.22 Untuk menjadi Hakim Anak, harus memenuhi syarat-syarat berdasarkan
undang-undang (Pasal 10 ayat (2) UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
yaitu :
a. Telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum
b. Mempunyai minat, dedikasi, dan memahami masalah anak.23
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa hakim yang memeriksa
dan mengadili perkara anak adalah Hakim Tunggal, namun dalam hal tertentu
Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk Hakim Majelis apabila ancaman pidana
atas tindak pidana yang dilakukan anak yang bersangkutan lebih dari 5 (lima)
tahun dan sulit pembuktiannya.
22
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, halaman 113
23
6. Pertanggungjawaban Pidana
Pada bagian terdahulu telah dijelaskan bahwa pengertian perbuatan pidana
tidak termasuk pengertian pertanggungjawaban pidana. Perbuatan pidana hanya
menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman
pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian dijatuhi pidana,
tergantung apakah dalam melakukan perbuatan itu orang tersebut memiliki
kesalahan. Dengan demikian, membicarakan pertanggungjawaban pidana mau
tidak mau harus didahului dengan penjelasan tentang perbuatan pidana. Sebab
seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih dahulu ia
melakukan perbuatan pidana. Tidak adil rasanya jika tiba-tiba seseorang harus
bertanggungjawab atas suatu tindakan, sedang ia sendiri tidak melakukan tindakan
tersebut.24
Dalam hukum pidana konsep “pertanggungjawaban” itu merupakan
konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran
kesalahan dikenal dengan istilah mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada
suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran
orang itu jahat.25
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika
telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah
ditentukan oleh udang-undang. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab
maka hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang dapat diminta
pertanggungjawaban.
24
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2011, halaman 155
25
Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang
objektif yang ada pada perbuatan pidana secara subjektif yang ada memenuhi
syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan
pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah
asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana
jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan
seseorang dikatakan mempunyai kesalahan menyangkut masalah
pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah
pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya,
yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya.
Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pida pada hakikatnya merupakan
suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap
pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kesalahan
merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memidana seseorang. Tanpa itu,
pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada. Makanya tidak heran jika
dalam hukum pidana dikenal asas “tiada pidana tanpa kesalahan”. Asas kesalahan
ini merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana, demikian
fundamentalnya asas tersebut.
Sehubungan dengan kemampuan bertanggungjawab ini, dalam
menentukan apakah seseorang itu salah atau tidak, menurut hukum ditentukan
1. keadaan batin orang yang melakukan itu, erat berkait dengan
kemampuan bertanggungjawab. Yang dimaksutkan dengan keadaan
batin orang yang melakukan perbuatan ialah apabila pelaku tidak
menyadari bahwa perbuatannya itu merupakan perbuatan yang dilarang
oleh undang-undang.
2. Adanya hubungan batin antara pelaku dengan perbuatan yang
dilakukannya. Yang dimaksutkan dengan hubungan batin antara pelaku
dengan perbuatan yang dilakukannya itu dapat berupakesengajaan,
kealpaan/kelalaian.
3. Tidak adanya alasan pemaaf. Yang dimaksutkan dengan alasan pemaaf
ialah dalam hal misalnya pembelaan diri dalam hal melampaui batas.26
F. Metode penelitian
1. Spesifikasi penelitian
Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian
hukum normatif terdiri dari :
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum.
Penelitian terhadap asas-asas hukum ini seperti misalnya penelitian
terhadap hukum positif yang tertulis atau penelitian terhadap
kaidah-kaidah hukum yang hidup dalam masyarakat.
b. Penelitian terhadap sistem hukum.
Penelitian terhadap sistem hukum dapat dilakukan pada
perundang-undangan tertentu ataupun hukum tercatat. Tujuan pokoknya adalah
26
untuk mengadakan identifikasi terhadap pengertian-pengertian
pokok/dasar dalam hukum, yakni masyarakat hukum, subyek hukum,
hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan objek
hukum. Penelitian ini sangat penting oleh karena masing-masing
pengertian pokok / dasar mempunyai arti tertentu dalam kehidupan
hukum.
c. Penelitian sinkronisasi hukum.
Penelitian terhadap sinkronisasi baik vertikal maupun horizontal, maka
yang diteliti adalah sampai sejauh manakah hukum positif tertulis yang
ada serasi. Hal ini dapat ditinjau secara vertikal, yakni apakah peraturan
perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu
tidak saling bertentangan, apabila dilihat dari sudut hirarki
perundang-undangan tersebut, sedang apabila dilakukan penelitian taraf
sinkronisasi secara horizontal, maka yang ditinjau adalah
perundang-undangan yang sederajat yang mengatur bidang yang sama.
d. Penelitian terhadap sejarah hukum.
Penelitian terhadap sejarah hukum merupakan penelitian yang lebih
dititik beratkan pada perkembangan-perkembangan hukum. Biasanya
dalam perkembangan demikian, pada setiap analisa yang dilakukan
akan menggunakan perbandingan-perbandingan terhadap satu atau
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji
penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif mengenai
pengaturan anak dalam suatu tindak pidana dari perspektif Undang-Undang No.
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Hal ini ditempuh dengan
melakukan penelitian kepustakaan.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan
dengan mempelajari berbagai literatur yang berhubungan dengan objek penelitian
dan melakukan penelitian terhadap putusan yang dibuat oleh hakim di Pengadilan
Negeri Medan. Putusan pengadilan yang menjadi isu hukum yang dihadapi
tersebut merupakan bahan hukum primer yang dirujuk oleh peneliti hukum.
4. Analisis Data
Pada penulisan skripsi ini, analisis data yang digunakan adalah dengan
cara kualitatif, Dari penelitian tersebut diatas, kemudian dapat memenuhi
pembahasan skripsi ini secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari fakta yang
bersifat representatif (sesungguhnya, nyata, sesuai keadaan).
G. Sistematika Penulisan
Sistematikan penulisan dalam skripsi ini terdiri dari 5 bab, yaitu sebagai
berikut :
BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang berisikan latar belakang,
kepustakaan (yang terdiri dari Pengertian Tindak Pidana, Pengertian Membantu
Melakukan, Pengertian Kejahatan, Pengertian Anak, Pengertian Hakim Anak,
Pertanggungjawaban Pidana), metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Merupakan bab yang membahas anak sebagai pelaku tindak
pidana pencurian dengan kekerasan (yang terdiri dari pengertian restoratif justice
dan diversi menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem
peradilan pidana anak, pengaturan lembaga pemasyarakatan anak, dan faktor
penyebab timbulnya kenakalan anak).
BAB III : Merupakan bab yang membahas pengaturan tentang tindak
pidana pencurian dengan kekerasan (dalam kasus yang terdapat dalam putusan PN
Medan No. 03/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn).
BAB IV : Merupakan bab yang membahas studi putusan dengan melakukan
analisis hukum terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang berisi
kasus posisi ( yang terdiri dari dakwaan, fakta-fakta hukum, putusan pengadilan
negeri), dan pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana pada putusan No.
03/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn
BAB II
ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN
DENGAN KEKERASAN
A. Pengertian Restoratif Justice dan Diversi Menurut Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
1. Restoratif Justice Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
konsep asli praktek keadilan restoratif justice dari praktik pemelihara
perdamaian yang dilakukan suku bangsa maori, penduduk asli Selandia Baru.
Menurut Helen Cowie keadilan restoratif justice pada intinya terletak pada konsep
komunitas yang peduli dan inklusif. Bilamana timbul konflik, maka praktek
restoratif justice akan menangani pihak pelaku dan korban, yang secara kolektif
memecahkan masalah.27
Peradilan anak model restoratif juga berangkat dari asumsi bahwa
anggapan atau reaksi terhadap perilaku delikuensi anak tidak efektif tanpa adanya
kerja sama dan keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat. Prinsip yang
menjadi dasar adalah bahwa keadilan terlayani apabila setiap pihak menerima
perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan.28 Helen Cowie dan Dawn Jennifer mengidentifikasikan aspek-aspek utama
keadilan restoratif sebagai berikut :
27
Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010,
halaman 196 28
a. Perbaikan, bukanlah memperoleh kemenangan atau menerima
kekalahan, tudingan, atau pembalasan dendam, tetapi tentang keadilan
b. Pemulihan hubungan, bukan bersifat hukuman para pelaku criminal
memikul tanggung jawab atas kekeliruan dan memperbaikinya dengan
sejumlah cara, tetapi melalui proses komunikasi yang terbuka dan
langsung, antara korban dan pelaku criminal, yang berpotensi
mengubah cara berhubungan satu sama lain.
c. Reintegrasi, pada tingkatnya yang terluas, memberikan arena tempat
anak dan orang tua dapat memperoleh proses yang adil. Maksutnya
agar mereka belajar tentang konsekuensi kekerasan dan kriminalitas
serta memahami dampak perilaku mereka terhadap orang lain.29
Hower Zehr membedakan retributif justice dengan restoratif justice
sebagai berikut :
Retributif Justice :
1. Kejahatan adalah pelanggaran sistem
2. Fokus pada menjatuhkan hukuman
3. Menimbulkan rasa bersalah
4. Korban diabaikan
5. Pelaku pasif
6. Pertanggungjawaban pelaku adalah hukuman
7. Respon terpaku pada perilaku masa lalu pelaku
8. Stigma tidak terhapuskan
29
Ibid., halaman 203
9. Tidak didukung untuk menyesal dan dimaafkan
10.Proses bergantung pada aparat
11.Proses sangat rasional30 Restoratif Jutice :
1. Kejahatan adalah perlakuan terhadap individu dan/atau masyarakat
2. Fokus pada pemecahan masalah
3. Memperbaiki kerugian
4. Hak dan kebutuhan korban diperhatikan
5. Pelaku di dorong untuk bertanggung jawab
6. Pertanggungjawaban pelaku adalah menunjukkan empati dan
menolong untuk memperbaiki kerugian
7. Respon terpaku pada perilaku menyakitkan akibat perilaku-perilaku
8. Stigma dapat hilang melalui tindakan yang tepat
9. Didukung agar pelaku menyesal dan maaf dimungkinkan untuk
diberikan oleh korban
10.Proses bergantung pada keterlibatan orang-orang yang terpengaruh
oleh kejadian
11.Dimungkinkan proses emosional31
Model keadilan restoratif lebih pada upaya pemulihan hubungan pelaku
dan korban, misalnya, seseorang mencuri buku professor, proses keadilannya
adalah bagaimana cara dan langkah apa agar persoalan bisa selesai sehingga
30 Ibid. 31
hubungan baik antara orang tersebut dan professor berlangsung seperti semula
tanpa ada yang dirugikan.32
Dalam keadilan retributif, masyarakat tidak dilibatkan karena sudah
diwakilkan oleh pengacara, sementara alam keadilan restoratif masyarakat
dilibatkan melalui tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki kewibawaan dalam
lingkungan tersebut, misalnya tokoh agama, orang berpengaruh, dan sebagainya
keadilan retributif lekat dengan kompetisi pelaku dan lawan sehingga ada proses
tahapanbanding dan kasasi dalam proses peradilannya, tetapi pada keadilan
restoratif semua pihak diajak kerja sama untuk menyelesaikan persoalan. Pada
keadilan retributif pelaku hanya objek, yang aktif hanya pengacara, sedangkan
pada keadilan restoratif justice, pelaku maupun korban sama-sama aktif diberi
peran untuk menyelesaikan persoalan yang ada .33
Prinsip-prinsip restoratif justice adalah membuat pelaku bertanggung
jawab untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya sebaik dia mengatasi rasa
bersalahnya dengan cara yang konstruktif, melibatkan korban, orang tua, keluarga,
sekolah, atau teman bermainya, membuat forum kerja sama, juga dalam masalah
yang berhubungan dengan kejahatan untuk mengatasinya. Watchel dan Mc. Cold
yang banyak melakukan praktik keadilan restoratif di lingkungan sekolah,
mengonseptualkan kerangka kultur yang adil dan setara berdasarkan hubungan
yang positif dan penuh kepedulian.34
Pemahaman bahwa menjauhkan anak dari proses peradilan pidana menjadi
penting karena hal ini merupakan bagian upaya perlindungan hak asasi anak.
32
Ibid., halaman 165 33
Hadi Supeno, Op.Cit., halaman 204 34
Pengalihan perkara oleh polisi dan penuntut umum serta pejabat lain yang
berwenang untuk menjauhkan anak dari proses peradilan formil, penahanan atau
pemenjaraan. Program diversi ini dilakukan dengan menempatkan anak dibawah
pengawasan badan-badan sosial tertentu yang membantu pelaksanaan sistem
peradilan pidana anak sebagaimana yang disebut dalam undang-undang.35
Ide mengenai restoratif justice masuk dalam pasal 5 Ayat (1)
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa sistem peradilan pidana anak wajib
mengutamakan pendekatan keadilan restoratif ayat (1) yang meliputi :
a. Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan
lain dalam undang-undang ini.
b. Persidangan anak dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan
umum.
c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan dan pendampingan selama
proses pelaksanaan pidana, tindakan dan setelah menjalani pidana atau
tindakan 36
2. Diversi Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini telah diatur
diversi, diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan
pidana ke proses luar pidana (Pasal 1 angka 7). Dalam sistem peradilan pidana
anak, wajib diupayakan diversi, artinya diversi diupayakan dalam Sistem
35
M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta Timur, Cetakan Pertama, 2013, halaman 134
36
Peradilan Pidana Anak, yang meliputi : penyidikan dan penuntutan pidana anak
yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, persidangan anak yang
dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum, pembinaan,
pembimbingan, pengawasan dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan
pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan (pasal 5 ayat 2
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak). 37
Penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam melakukan diversi harus
mempertimbangkan kategori tindak pidana, umur anak, hasil penelitian
kemasyarakatan dari Bapas, dan dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga
anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk tindak pidana
yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau
nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat
(Pasal 9 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak).38
Prinsip-prinsip Diversi menurut The Beijing Rules adalah :
a. Diversi dilakukan setelah melihat pertimbangan yang layak, yaitu
penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan lembaga lainnya) diberi
kewenangan untuk menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia
muda tanpa menggunakan pengadilan formal.
b. Kewenangan untuk menentukan diversi diberikan kepada aparat
penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim, dan lembaga lain yang
37
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2014, halaman 103
38
sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem
hukum masing-masing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip yang
terkandung dala The Beijing Rules.
c. Pelaksanaan diversi harus dengan persetujuan anak, atau orang tua
walinya namun demikian keputusan pelaksanaan diversi setelah ada
kajian oleh pejabat yang berwenang atas permohonan diversi tersebut.
d. Pelaksanaan diversi memerlukan kerja sama dan peran masyarakat,
sehubungan dengan adanya program diversi seperti : pengawasan,
bimbingan sementara, pemulihan, dan ganti rugi kepada korban. 39
Diversi merupakan pemberian kewenangan kepada aparat penegak hukum
untuk mengambil tindakan-tindakan kebijaksanaan dalam menangani atau
menyelesaikan masalah pelanggar anak dengan tidak mengambil jalan formal
antara lain menghentikan atau tidak meneruskan, melepaskan dari proses
peradilan pidana atau mengembalikan, menyerahkan kepada masyarakat.40
Penerapan diversi dapat ditetapkan di semua tingkat pemeriksaan,
dimaksutkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam proses
peradilan tersebut. Terhadap anak yang ditangkap polisi, polisi dapat melakukan
diversi tanpa meneruskan ke jaksa penuntut. Kemudian apabila kasus anak sudah
sampai di pengadilan, maka hakim dapat melakukan peradilan sesuai dengan
prosedurnya dan diutamakan anak dapat dibebaskan dari pidana penjara. Apabila
anak sudah berada di dalam penjara maka petugas penjara dapat melimpahkan ke
lembaga sosial.
39
M. Nasir Djamil, Op.Cit., halaman 134 40
Diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada tanggal 30 Juli 2012, maka
Indonesia sudah secara sah memiliki suatu peraturan yang memberi perlindungan
hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dengan salah satu
metodenya adalah diversi.41
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak belum
menerapkan lembaga diversi dalam rumusannya. Menyebabkan banyak perkara
pidana bermuara dari tindak kenakalan anak yang sifatnya junevile deliquesi
semata, yang seharusnya tdak perlu proses sampai ke ranah pidana.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak, diversi sudah merupakan suatu kesatuan dalam proses pidana anak, hal ini
menarik karena sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia banyak
menangani kasus anak dan sudah menggunakan ide diversi ini sebagai salah satu
cara penyelesaian kasus anak sebelum undang-undang No. 11 Tahun 2012
berlaku. KPAI menggunakan dasar Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak sebagai dasar melaksanakan diversi.42
Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang
diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke
penyelesaian damai antara tersangka, terdakwa, pelaku tindak pidana dengan
korban yang difasilitasi oleh keluarga dan masyarakat, Pembimbingan
Kemasyarakatan Anak, polisi, jaksa maupun hakim.43
41
Angger Sigit Pramukti & Fuandy Primaharsya, Op.Cit., halaman 68 42
Ibid. 43
Pada pasal 6 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan
tujuan diversi, yakni antara lain :
a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak
b. Menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan
c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan
d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi
e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak
Tujuan diversi tersebut merupakan implementasi dari keadilan restoratif
justice yang berupaya mengembalikan pemulihan terhadap sebuah permasalahhan,
bukan sebuah pembalasan yang selama ini dikenal dalam hukum pidana.
Kewajiban mengupayakan diversi dari mulai penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri, dilakukan dalam hal tindak
pidana yang dilakukan :
a. Diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun
b. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana44
Ketentuan ini menjelaskan bahwa anak yang melakukan tindak pidana
yang ancamannya lebih dari 7 (tujuh) tahun maka tidak wajib diupayakan diversi,
hal ini memang penting mengingat kalau ancaman hukuman lebih dari 7 (tujuh)
tahun tergolong pada tindakan berat, dan merupakan suatu pengulangan, artinya
anak pernah melakukan tindak pidana baik itu sejenis maupun tidak sejenis
termasuk tindak pidana yang diselesaikan melalui diversi. Pengulangan tindak
pidana oleh anak, menjadi bukti bahwa tujuan diversi tidak tercapai yakni
44
menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak untuk tidak mengulangi perbuatan
yang berupa tindakan pidana. Upaa diversi terhadapnya bisa saja tidak wajib
diupayakan.
Dalam pasal 8 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak
menentukan bahwa :
1. Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak
dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya,
pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional
berdasarkan pendekatan keadilan restoratif justice
2. Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksut pada ayat
(1) dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial, dan/atau masyarakat.
3. Proses diversi wajib memperhatikan :
a. Kepentingan korban
b. Kesejahteraan dan tanggung jawab anak
c. Penghindaran stigma negatif
d. Penghindaran pembalasan
e. Keharmonisan masyarakat
f. Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.45
Kesepakatan diversi untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa
pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian
korban tidak lebih dari nilai upah minimumprovinsi etempat sebagaimana
dimaksut dalam Pasal 9 ayat 2 dapat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku
45
dan/atau keluarganya, pembimbing kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh
masyarakat. Kesepakatan diversi sebagaimana dimaksut pada ayat (1) dilakukan
oleh penyidik atas rekomendasi pembimbing kemasyarakatan dapat berbentuk
pengembalian kerugian dalam hal ada korban, rehabilitasi medis psikososial,
penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau
pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan, atau
pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga bulan (Pasal 10 UU SPPA).46
Pasal 13 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan
bahwa proses peradilan pidana anak dilanjutkan dalam hal proses diversi tidak
menghasilkan kesepakatan, atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan.
Pengawasan atas proses diversi dan pelaksanaan kesepakatan yang dihasilkan
berada pada atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat
pemeriksaan. Selama proses diversi berlangsung sampai dengan kesepakatan
diversi dilaksanakan, pembimbing kemasyarakatan wajib melakukan
pendampingan, pembimbingan dan pengawasan. Dalam hal kesepakatan diversi
tidak dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan, pembimbing kemasyarakatan
segera melaporkannya kepada pejabat yang bertanggung jawab. Pejabat yang
bertanggungjaab sebagaimana dimaksut pada ayat (3) wajib menindaklanjuti
laporan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari. Pasal 15 UU SPPA menentukan
bahwa ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan proses diversi, tata cara, dan
koordinasi pelaksanaan diversi diatur dengan peraturan pemerintah.47
46
Maidin Gultom, Op.Cit., halaman 104 47
B. Lembaga Pemasyarakatan Anak
Sebelum membicarakan tentang Lembaga Pemasyarakatan Anak (LAPAS
Anak), terlebih dahulu perlu mengetahui mengenai apa yang dimaksut dengan
pemasyarakatan. Dalam Pasal 1 Angka 1 UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, diberi pengertian sebagai berikut :
Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga
binaan Permasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara
pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam
tata peradilan pidana.48
Secara umum, yang dimaksut Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat
untuk melakukan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.Dari
pengertian ini, terlihat adanya pembedaan penamaan antara narapidana dan anak
didik pemasyarakatan, walaupun secara hakikat mempunyai kesamaan yaitu orang
yang menghuni LAPAS berdasarkan putusan pengadilan. Perbedaan ini tidak
dijelaskan oleh undang-undang, namun dapat diperhatikan bahwa penamaan
“anak didik pemasyarakatan” bukan “narapidana anak”. Dengan menggunakan istilah anak didik pemasyarakatan tersebut merupakkan ungkapan halus untuk
menggantikan istilah narapidana anak yang dirasakan menyinggung perasaan da n
mensugestikan sesuatu yag tidak mengenakkan bagi anak.49
Konkretnya, LAPAS Anak mempunyai ciri, kekhasan dan motivasi
tertentu seperti LAPAS Wanita, LAPAS Remaja. Pada asasnya, pembinaan anak
didik pemasyarakatan harus dalam LAPAS anak, terpisah dengan pembinaan
48
Nashriana, Op. Cit., halaman 153 49
orang dewasa/narapidana. Hal ini secara eksplisit telah diatur dalam Pasal 60 UU
No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Prinsip ini tetap dipegang walaupun
pada suatu daerah belum ada LAPAS Anak, tetapi anak didik pemasyarakatan
ditempatkan terpisah dengan orang dewasa. Telah diketahui di atas bahwa semua
anak yang menghuni di LAPAS Anak mempunyai kewajiban untuk menaati
seluruh peraturan keamanan dan ketertiban di tempat tersebut. Berhubung hal
tersebut merupakan kewajiban, maka konsekuensinya apabila dilalaikan atau
dilanggar, kepada si anak akan dikenakan hukuman disiplin.50
Kemudian, mengenai hukuman disiplin yang bagaimana yang dapat
dijatuhkan terhadap anak pidana? Ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU
Pemasyarakatan mengatur ada dua jenis hukuman disiplin, yaitu :
a. Tutupan sunyi paling lama 6 (enam) hari
b. Menunda atau meniadakan hak tertentu untuk waktu tertentu sesuai
peraturan perundangan yang berlaku. Misalnya meniadakan hak untuk
mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi) untuk satu tahun.
Anak didik pemasyarakatan (Pasal 1 ayat ayat 8 Undang-Undang No. 12
Tahun 1999) terdiri dari :
1. Anak pidana
Anak pidana, adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani
pidana di Lembaga Pemasyarakatan anak paling lama sampai berumur 18
(delapan belas) tahun. Anak pidana diitempatkan di Lembaga
Pemasyarakatan (LAPAS) anak dan wajib didaftar dan penggolongan.
50
a. Pembinaan dan penggolongan
Untuk pembinaan (Pasal 20 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995) terhadap
Anak Pidana di LAPAS anak dilakukan peggolongan berdasarkan, umur,
jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan, dan kriteria
lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.
b. Hak-hak Anak Pidana (Pasal 22 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995) :
1) Berhak melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya
2) Berhak mendapat perawatan baik perawatan rohani maupun jasmani
3) Berhak mendapat pendidikan dan pengajaran
4) Berhak mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak
5) Berhak menyampaikan keluhan
6) Berhak menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang
tertentu
7) Berhak mendapat pengurangan masa pidana (remisi)
8) Berhak mendapatkan pembebasan bersyarat
9) Berhak mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Anak Negara
Anak negara, adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan
diserahkan kepada negara untuk dididik. Untuk itu anak negara
ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai