• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Pikiran Bunuh Diri Pada Suicide Attempters

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Pikiran Bunuh Diri Pada Suicide Attempters"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN PIKIRAN BUNUH DIRI PADA SUICIDE ATTEMPTERS

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh: IVI VANESSA

061301052

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

SKRIPSI

GAMBARAN PIKIRAN BUNUH DIRI PADA SUICIDE

ATTEMPTERS

Dipersiapkan dan disusun oleh:

IVI VANESSA

061301052

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 14 Juni 2010

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp.A(K) NIP. 195005041977061001

Tim Penguji

1. Josetta MRT., M.Si, psikolog Penguji I/ Pembimbing

__________________ 2. Rodiatul Hasanah, M.Si, psikolog Penguji II

__________________ 3. Meutia Nauli, M.Si, psikolog Penguji III

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

GAMBARAN PIKIRAN BUNUH DIRI PADA SUICIDE ATTEMPTERS

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah ditulis sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Medan, Juni 2010

(4)

Gambaran Pikiran Bunuh Diri Pada Suicide Attempters Ivi Vanessa dan Josetta Maria R. Tuapattinaja, M.Si, psikolog

ABSTRAK

Pada umumnya, manusia merupakan makhluk rasional yang dapat menggunakan akal pikiran dan logika dalam menghadapi masalah. Kehebatan akal manusia ditunjukkan dengan kemampuan menghasilkan alternatif penyelesaian masalah, menimbang alternatif-alternatif tersebut, dan memilih alternatif yang paling tepat sesuai dengan situasi yang ada. Meskipun demikian, ada sebagian orang yang tidak sanggup berpikir secara rasional ketika menghadapi masalah hidup yang menekan dan akhirnya mencoba bunuh diri. Tak jarang percobaan bunuh diri pun berhasil dilakukan. Sebelum seseorang mencoba bunuh diri, pastilah terlebih daulu muncul pikiran bunuh diri dalam pikirannya. Hal ini menunjukkan pentingnya faktor kognitif dalam menentukan perilaku percobaan bunuh diri. Adapun beberapa karakteristik pikiran bunuh diri antara lain: cognitive rigidity, dichotomous thinking, deficient problem solving, hopelessness, alasan untuk hidup, perfeksionisme, konsep diri, ruminative response style, dan autobiographical memory.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pikiran bunuh diri pada pelaku percobaan bunuh diri. Melalui karakteristik-karakteristik pikiran bunuh diri yang dikemukakan oleh Ellis dan Rutherford, peneliti berharap bisa mendapatkan gambaran pikiran bunuh diri yang komprehensif.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena dengan metode ini dapat dipahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan. Responden dalam penelitian ini sebanyak dua orang yang pernah mengalami kegagalan percobaan bunuh diri. Prosedur pengambilan sampel dilakukan berdasarkan teknik bola salju/ berantai (snowball/ chain sampling). Metode pengumpulan data yang dipakai adalah wawancara mendalam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua responden memiliki karakteristik pikiran bunuh diri. Dengan memiliki karakteristik pikiran bunuh diri tersebut, kedua responden melakukan percobaan bunuh diri. Karakteristik pikiran bunuh diri yang dimiliki masing-masing responden ada yang menetap dan ada yang berubah seiring berjalannya waktu.

(5)

Suicide Ideation of Suicide Attempters

Ivi Vanessa dan Josetta Maria R. Tuapattinaja, M.Si, psikolog

ABSTRACT

In general, human being is a rational being that can use his/her mind and logic to solve problem. The greatness of human mind is indicated by human ability to generate, weigh, and choose the appropriate one in accordance with the situation. Despite that fact, some people lose their ability to think rationally as they face stressful life events and eventually attempt suicide. Unfortunately, many attempts are completed. In addition, before a person attempts suicide, suicide ideation must have been popped up in his or her thoughts. This shows the importance of cognitive factor in determining behavior of attempting suicide. Some characteristics of suicide ideation are: cognitive rigidity, dichotomous thinking, deficient problem solving, hopelessness, alasan untuk hidup, perfeksionisme, konsep diri, ruminative response style, and autobiographical memory.

This study aims to describe suicide ideation of those who have ever attempted suicide. By means of characteristics of suicide ideation proposed by Ellis and Rutherford, researcher hope to obtain a comprehensive description of suicide ideation.

This study uses qualitative method because with this method, we can understand how the subjects experience, so that the description obtained is in accordance with the self of subjects and not merely with the causal inferences imposed. Subjects in this study are those who have ever failed in attempting suicide. Moreover, the sampling procedure is based on snowball/ chain technique. Meanwhile, the data collection method used is depth interview.

The result shows that both subjects have the characteristics of suicide ideation. Therefore, they attempt suicide as the consequences of meeting some characteristics. Some of the characteristics are remained while the others are changed over time.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini dibuat berdasarkan pada fenomena bunuh diri yang semakin marak di dunia. Dengan dibuatnya skripsi ini, semoga penelitian ini bisa dilanjutkan agar manfaatnya dalam pencegahan pengulangan upaya bunuh diri dapat terpenuhi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp. A(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi USU. 2. Ibu Josetta Maria R. Tuapattinaja, M.Si, psikolog selaku dosen pembimbing

yang sudah dengan sabar membimbing peneliti dan memberikan masukan yang banyak membangun proses pengerjaan skripsi ini.

3. Ibu Hasnida, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik. 4. Dosen- Dosen penguji draft seminar

5. Keluarga yang selalu memberi dukungan kepada penulis

Penulis menyadari adanya kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan dan saran yang dapat membangun skripsi ini ke depannya. Akhir kata, semoga skripsi bermanfaat dan berguna bagi banyak orang.

Medan, Juni 2010 Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK...i

KATA PENGANTAR ………...………...ii

DAFTAR ISI………...………...iii

BAB I. PENDAHULUAN………...………...1

A. Latar Belakang………...…. ...1

B. Pertanyaan Penelitian………..…..9

C. Tujuan Penelitian………..………...9

D. Manfaat Penelitian………...10

E. Sistematika Penulisan………...…...10

BAB II. LANDASAN TEORI...12

A. Perilaku Bunuh Diri...12

1. Definisi Perilaku Bunuh Diri...12

2. Jenis Perilaku Bunuh Diri...13

3. Definisi Percobaan Bunuh Diri...14

4. Metode Percobaan Bunuh Diri...14

5. Faktor Resiko Bunuh Diri...15

6. Penjelasan Bunuh Diri...17

B. Pikiran Bunuh...21

1. Definisi Pikiran Bunuh Diri...21

2. Karakteristik Pikiran Bunuh Diri...22

(8)

A. Pendekatan Kualitatif...27

B. Partisipan dan Lokasi Penelitian ...27

1. Karakteristik Partisipan Penelitian ...28

2.Teknik Sampling...28

3. Jumlah Partisipan Penelitian...28

4. Lokasi Penelitian...29

C. Metode Pengumpulan Data...29

1. Wawancara...29

D. Alat Bantu Pengumpulan Data...30

1. Alat Perekam (tape recorder)...30

2. Pedoman Wawancara...30

3. Catatan Lapangan………...………...31

E. Prosedur Penelitian………...…...32

1. Tahap Persiapan Penelitian………...…...32

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian………...33

3. Tahap Pencatatan Data...35

F. Metode Analisa Data………...………...36

BAB IV. ANALISA DATA DAN INTERPRETASI...40

A. Responden I...40

1. Gambaran Umum Responden I...40

2. Data Observasi Responden I...44

3. Data Wawancara Responden I...45

(9)

B. Responden II...59

1. Gambaran Umum Responden II...59

2. Data Observasi Responden II...62

3. Data Wawancara Responden II...63

4. Analisa Data Responden II...75

C. Analisis Data Antar Responden...75

BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN...80

A. Kesimpulan...80

B. Diskusi...82

C. Saran-Saran...84

1. Saran Praktis...84

2. Saran Penelitian Lanjutan...85

(10)

DAFTAR TABEL

(11)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Pedoman Wawancara

Lampiran 2 Lembar Observasi

(12)

Gambaran Pikiran Bunuh Diri Pada Suicide Attempters Ivi Vanessa dan Josetta Maria R. Tuapattinaja, M.Si, psikolog

ABSTRAK

Pada umumnya, manusia merupakan makhluk rasional yang dapat menggunakan akal pikiran dan logika dalam menghadapi masalah. Kehebatan akal manusia ditunjukkan dengan kemampuan menghasilkan alternatif penyelesaian masalah, menimbang alternatif-alternatif tersebut, dan memilih alternatif yang paling tepat sesuai dengan situasi yang ada. Meskipun demikian, ada sebagian orang yang tidak sanggup berpikir secara rasional ketika menghadapi masalah hidup yang menekan dan akhirnya mencoba bunuh diri. Tak jarang percobaan bunuh diri pun berhasil dilakukan. Sebelum seseorang mencoba bunuh diri, pastilah terlebih daulu muncul pikiran bunuh diri dalam pikirannya. Hal ini menunjukkan pentingnya faktor kognitif dalam menentukan perilaku percobaan bunuh diri. Adapun beberapa karakteristik pikiran bunuh diri antara lain: cognitive rigidity, dichotomous thinking, deficient problem solving, hopelessness, alasan untuk hidup, perfeksionisme, konsep diri, ruminative response style, dan autobiographical memory.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pikiran bunuh diri pada pelaku percobaan bunuh diri. Melalui karakteristik-karakteristik pikiran bunuh diri yang dikemukakan oleh Ellis dan Rutherford, peneliti berharap bisa mendapatkan gambaran pikiran bunuh diri yang komprehensif.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena dengan metode ini dapat dipahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan. Responden dalam penelitian ini sebanyak dua orang yang pernah mengalami kegagalan percobaan bunuh diri. Prosedur pengambilan sampel dilakukan berdasarkan teknik bola salju/ berantai (snowball/ chain sampling). Metode pengumpulan data yang dipakai adalah wawancara mendalam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua responden memiliki karakteristik pikiran bunuh diri. Dengan memiliki karakteristik pikiran bunuh diri tersebut, kedua responden melakukan percobaan bunuh diri. Karakteristik pikiran bunuh diri yang dimiliki masing-masing responden ada yang menetap dan ada yang berubah seiring berjalannya waktu.

(13)

Suicide Ideation of Suicide Attempters

Ivi Vanessa dan Josetta Maria R. Tuapattinaja, M.Si, psikolog

ABSTRACT

In general, human being is a rational being that can use his/her mind and logic to solve problem. The greatness of human mind is indicated by human ability to generate, weigh, and choose the appropriate one in accordance with the situation. Despite that fact, some people lose their ability to think rationally as they face stressful life events and eventually attempt suicide. Unfortunately, many attempts are completed. In addition, before a person attempts suicide, suicide ideation must have been popped up in his or her thoughts. This shows the importance of cognitive factor in determining behavior of attempting suicide. Some characteristics of suicide ideation are: cognitive rigidity, dichotomous thinking, deficient problem solving, hopelessness, alasan untuk hidup, perfeksionisme, konsep diri, ruminative response style, and autobiographical memory.

This study aims to describe suicide ideation of those who have ever attempted suicide. By means of characteristics of suicide ideation proposed by Ellis and Rutherford, researcher hope to obtain a comprehensive description of suicide ideation.

This study uses qualitative method because with this method, we can understand how the subjects experience, so that the description obtained is in accordance with the self of subjects and not merely with the causal inferences imposed. Subjects in this study are those who have ever failed in attempting suicide. Moreover, the sampling procedure is based on snowball/ chain technique. Meanwhile, the data collection method used is depth interview.

The result shows that both subjects have the characteristics of suicide ideation. Therefore, they attempt suicide as the consequences of meeting some characteristics. Some of the characteristics are remained while the others are changed over time.

(14)

BAB I PENDAHULUAN

I.A. LATAR BELAKANG

“I'm just tired of dealing with all the bullshit. Tired of dealing with all the

pain and rage I have inside of me. I'm tired of being unloved, unliked, unappreciated and judged. I'm tired of just getting more **** for my brain to deal with every day. More to cry about and more to want to scream uncontrollably about. Tired of my body, of all the pain and hardship it creates. It's hard to have any hope whatsoever when you just feel like a

piece of **** every day.”

(I Hate Myself & I Want To Die (2008). http://www.experienceproject.com.)

Dewasa ini, bunuh diri telah dipandang sebagai salah satu penyelesaian masalah (Schneidman dalam Maris, Berman, Silverman, dan Bongar, 2000). Bagi sebagian orang, bunuh diri telah menjadi satu-satunya jalan menuju solusi dari masalah hidup yang menekan. Bagai melihat melalui celah pipa, tidak ada harapan dan penyelesaian lain yang tersisa. Sakit yang dirasakan dan pikiran yang berkecamuk sungguh tak bisa lagi dibendung. Mereka melihat tidak ada titik terang di masa depan dan sulit bagi mereka menemukan alasan untuk hidup lebih lama lagi. Mengakhiri hidup menjadi alternatif untuk bebas dari masalah hidup.

(15)

Kesehatan Mental dan Kekerasan, Benedetto Saraceno (2005) jumlah rata-rata penduduk Indonesia yang meninggal akibat bunuh diri mencapai 24 orang dari 100 ribu penduduk. Dengan jumlah populasi Indonesia yang sekarang sebanyak 220 juta orang, berarti ada 50 ribu orang yang bunuh diri setiap tahunnya dengan usia rata-rata korban yang bervariasi dari belasan tahun sampai dengan 65 tahun. Prevalensi ini cenderung meningkat setiap tahunnya (Surilena, 2005).

Merespon angka kematian yang begitu tinggi, hendaknya bunuh diri tidak dipandang sebelah mata. Meskipun demikian, bunuh diri juga bukanlah hal yang mudah untuk dipahami. Perilaku bunuh diri sendiri tidak terbatas hanya pada perilaku bunuh diri yang berhasil dilakukan, tetapi juga pada percobaan bunuh diri, pikiran bunuh diri, dan perilaku melukai diri baik dengan intensi mati ataupun tidak mati (Maris dkk., 2000). Bunuh diri yang berhasil dilakukan biasanya didahului oleh percobaan dan pikiran bunuh diri. Oleh sebab itu, meskipun setiap jenis perilaku tersebut memiliki pengertian yang berbeda, populasi yang melakukannya tumpang tindih (Linehan, dalam Maris dkk.,2000). Di samping itu, bunuh diri sulit untuk dipahami secara keseluruhan karena perbedaan individual seperti yang diungkapkan Alvarez bahwa “ Suicide means

different things to different people at different times” (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003: hlm 213 ). Hal ini berarti walaupun setiap orang yang melakukan bunuh diri pernah memikirkan atau mencoba bunuh diri, akar masalah yang mengantarkan mereka ke pikiran tersebut bisa bervariasi.

(16)

bunuh diri yang pernah dilakukan. Sebelum berhasil bunuh diri, sekitar 30-40 % pelaku bunuh diri pernah melakukan setidaknya satu kali percobaan bunuh diri (Maris dkk., 2000). Di samping itu, dari kasus-kasus percobaan bunuh diri yang terjadi, sebanyak 25-50% beresiko mengulangi upaya bunuh diri (Beck & Steer, dalam Dieserud, Roysamb, Braverman, Dalgard, & Ekeberg, 2003). Angka pengulangan bunuh diri tersebut lebih tinggi untuk orang yang sudah mencoba bunuh diri berulang kali daripada untuk yang baru pertama kali melakukannya. Percobaan bunuh diri telah dikenal sebagai salah satu faktor prediktif yang paling menentukan perilaku bunuh diri di masa mendatang (Skogman & Ojehagen, 2003; Freedenthal, 2001).

Salah satu faktor untuk memprediksi percobaan bunuh diri baik yang dilakukan untuk pertama kali maupun yang berulang kali adalah pikiran bunuh diri (suicidal ideation). Pikiran bunuh diri merupakan antecedent yang selalu mendahului percobaan bunuh diri dan bunuh diri yang berhasil dilakukan (Arria, O‟Grady, Caldeira, Vincent, Wilcox, & Wish, 2009). Jadi, sebelum seseorang

(17)

mengganti metode, dan lain sebagainya. Setelah memilih metodenya, dia akan menentukan waktu yang tepat kecuali jika orang tersebut tergolong impulsif.

Walaupun begitu, banyak orang yang pernah memikirkan tentang bunuh diri tetapi tidak pernah melakukan percobaan bunuh diri ataupun bunuh diri (Maris dkk., 2000). Mereka hanya merencanakan, mempertimbangkan, merenungi, dan berfantasi mengenai ide tentang bunuh diri tanpa ada intensi untuk melakukannya. Linehan (dalam Maris dkk., 2000) memperkirakan 24 % dari populasi dunia pernah memikirkan tentang bunuh diri pada suatu waktu tertentu dalam kehidupan.

Oleh sebab itu, pastilah terdapat perbedaan kognitif pada orang yang suicidal dan non-suicidal. Levensen mengatakan “ orang yang suicidal memiliki beberapa gaya berpikir yang unik atau karakteristik kognitif tertentu yang menghambat kemampuannya untuk mencari solusi yang mungkin dari masalah hidup dan mengurangi kapasitas untuk mengatasi tekanan hidup”. Sedangkan

(18)

Beberapa penelitian mengenai karakteristik pikiran bunuh diri masih terus berkembang hingga saat ini. Salah satu penelitian oleh Marzuk, Leon, Hartwell, & Portera (2005) mendapatkan bahwa pikiran untuk melakukan bunuh diri merupakan sebuah keputusan eksekutif yang dilakukan oleh area prefrontal cortex pada otak. Area ini biasanya bertugas menimbang alternatif yang ada dan menghasilkan alternatif baru, membuat strategi untuk bebas dari jalan buntu, memulai dan melaksanakan suatu rencana. Semua fungsi area ini akan terhambat jika individu memiliki kekakuan kognisi (cognitive rigidity). Menurut Marzuk dkk. (2005), pikiran orang yang bunuh diri diciri-cirikan dengan kekakuan kognisi (cognitive rigidity) yang meliputi berpikir secara dikotomi (dichotomous thinking) dan kurangnya kemampuan menyelesaikan masalah (deficient problem-solving). Individu yang berpikir secara dikotomi mengkonsepkan masalah-masalah dalam dua kutub yang berlawanan seperti baik atau buruk, benar atau salah, sekarang atau tidak akan pernah lagi, dan lain sebagainya. Cara berpikir dikotomi pada individu yang ingin melakukan bunuh diri dapat berujung pada situasi yang membahayakan. Ketika mereka harus mengatasi masalah yang terjadi, pilihan yang terlihat adalah antara hidup dengan menyedihkan atau mati. Di samping itu, kekakuan kognisi juga menyebabkan individu tidak mampu untuk memikirkan solusi alternatif untuk mengatasi masalahnya sehingga meningkatkan keputusasaan (hopelessness) dalam diri individu. Dengan meningkatnya keputusasaan, individu memiliki resiko yang lebih besar untuk bunuh diri.

(19)

menjelaskan perbedaan individual pada distress psikologi yang dialami individu,

seperti depresi, keputusasaan (hopelessness), dan perilaku bunuh diri (O‟Connor,

O‟Connor, & Marshall, 2007). Melalui penelitian O‟Connor dkk., (2007),

didapatkan bahwa efek-efek maladaptif dari perfeksionisme dimediasi oleh gaya

berpikir yang disebut brooding (brooding ruminative response style).

Sehubungan dengan ruminative response style, yaitu gaya berpikir yang secara terus menerus berfokus pada mood negatif dan implikasinya, Chan dkk., (2009) menyatakan bahwa kejadian hidup yang negatif berdampak pada

kecenderungan bunuh diri melalui brooding ruminative response style dan depresi. Gaya berpikir ini sendiri juga berhubungan langsung dengan pikiran

bunuh diri tanpa adanya simtom depresi. Di samping itu, brooding juga diasosiasikan dengan usaha mengatasi masalah (coping style) yang pasif seperti menolak, menghindari, dan mencoba mengabaikan kehadiran stresor. Berdasarkan

hasil penelitian Chan dkk. (2009), ditemukan bahwa brooding dapat mempengaruhi keputusasaan (hopelessness) melalui kecenderungan individu mengatribusi kejadian negatif yang terjadi dengan sebab yang stabil dan global. Dengan kata lain, individu dengan gaya berpikir brooding yang mengalami kejadian hidup negatif akan cenderung mengatribusikan sebab kejadian tersebut sebagai sesuatu yang menetap sehingga keputusasaan akan meningkat dan menyebabkan munculnya pikiran bunuh diri. Atribusi diri sebagai sebab kejadian hidup yang negatif merupakan bukti dari konsep diri yang negatif.

(20)

bunuh diri. Konsep diri adalah kumpulan kepercayaan seseorang terhadap dirinya sendiri yang dibentuk secara sadar dan dielaborasi dari pengalaman-pengalaman, yang kemudian dapat mempengaruhi proses informasi tentang diri dan cara individu memandang dunia (Weiten & Lloyd, 2006).

”...aku tidak cukup kompeten untuk melakukan sesuatu dengan benar. Aku adalah pengecut terbesar di sekolah.... Aku pendek, jelek, mukaku seperti kartun, dagu yang bengkak, kulit yang jelek, mata yang asimetris, dan rambut di mukaku yang tidak tumbuh tepat...Teman-teman selalu menertawaiku. Aku tidak punya kemampuan, ketrampilan, atau bakat. Aku tidak berharga. Aku tidak punya sesuatu yang bisa dibanggakan dan tidak akan pernah punya itu. Aku lebih baik mati daripada hidup dengan membenci diriku. Setiap melihat cermin, aku marah dan sedih dengan pantulan yang ada di depanku...”

(Think About Suicide (2007).http://www.experienceproject.com)

Konsep diri negatif yang merupakan karakteristik pikiran bunuh diri tercermin dari pernyataan orang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri di atas. Menurut Bandura, penilaian diri yang disfungsional terutama perceived-inefficacy mempunyai peran penting dalam kecemasan dan depresi (dalam Pervine, Cervone, & John, 2005). Di samping itu, Baumeister memperkenalkan istilah “self-concept confusion” dimana individu yang memiliki harga diri yang

(21)

kelompok teman sebaya, isolasi sosial, penolakan, pemutusan hubungan romantis menimbulkan keputusasaan yang membuat para remaja mencoba melakukan bunuh diri.

Meskipun konsep diri yang negatif bisa berakibat pada pikiran bunuh diri, sebagian orang yang melakukan tindakan bunuh diri malah memiliki konsep diri yang dimotivasi oleh kebermaknaan. Dalam proses membangun makna dan memperkuat self-transcendence, para teroris pelaku bom bunuh diri membentuk konsep diri yang dimotivasi oleh makna personal. Mereka memilih identitas tersebut dan merasa bebas untuk mengadopsi identitas dan menerima segala konsekuensi dari perilakunya yang ekstrim. Hal ini dapat mengurangi dan mengeliminasi perasaan bersalah atas apa yang dilakukan. Terlebih lagi, dalam melakukan perilaku destruktif tersebut, mereka menemukan arti hidup dan tujuan hidup yang dianggap “mulia”. Proses pemaknaan ini membantu individu

membangun identitas dan memperkuat self-worth. Oleh sebab itu, para pelaku bom bunuh diri mendefinisikan diri mereka dengan konsep diri yang bermakna sehingga melakukan perilaku destruktif dapat meningkatkan harga diri dan self-worth (Morgan, 2007).

(22)

dukungan sosial juga merupakan salah satu faktor resiko pikiran bunuh diri terutama pada tahap perkembangan dewasa awal. Sedangkan faktor yang berhubungan dengan keluarga antara lain konflik dengan orang tua, komunikasi yang buruk, rendahnya dukungan yang dirasakan, dan ketidakberfungsian keluarga. Pikiran bunuh diri juga diasosiasikan dengan ketidakteraturan afektif dan gangguan penggunaan alkohol (Arria dkk.,2009).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat bahwa karakteristik-karakteristik pikiran bunuh diri saling berinteraksi satu sama lain untuk memperkuat kemungkinan munculnya pikiran bunuh diri yang akhirnya berujung pada percobaan bunuh diri. Meskipun demikian, faktor kognitif dalam perilaku bunuh diri merupakan topik baru yang masih terus berkembang. Berdasarkan pemikiran tersebut, peneliti tertarik untuk melihat gambaran pikiran bunuh diri pada individu pelaku percobaan bunuh diri.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan fenomena di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui: bagaimana gambaran pikiran bunuh diri pelaku percobaan bunuh diri?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pikiran bunuh diri pelaku percobaan bunuh diri.

(23)

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana pengetahuan di bidang Psikologi Klinis, khususnya mengenai pikiran bunuh diri pada pelaku percobaan bunuh diri.

2. Manfaat Praktis

a. Secara praktis penulis berharap melalui hasil penelitian ini dapat dipahami bagaimana sebenarnya pikiran seseorang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri.

b. Penulis berharap melalui hasil penelitian ini dapat diketahui apa yang melatarbelakangi munculnya pikiran bunuh diri.

c. Penulis berharap melalui hasil penelitian ini, dapat menambah wawasan pembaca mengenai bagaimana karakteristik pikiran bunuh diri berkontribusi pada terjadinya percobaan bunuh diri.

d. Dengan memahami pikiran bunuh diri, penulis berharap dapat memberikan saran yang tepat untuk subjek penelitian.

E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan yang disusun dalam penelitian ini adalah : Bab I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan latar belakang masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

(24)

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori- teori yang dimuat adalah teori yang berhubungan dengan suicidal cognition dan konsep diri.

Bab III : Metodologi Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian, definisi operasional, metode pengambilan subjek, metode pengambilan data, metode analisis data, dan kredibilitas penelitian.

Bab IV : Analisa dan Interpretasi Data Penelitian

Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan juga membahas data-data penelitian dari teori yang relevan.

Bab V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

(25)

BAB II

LANDASAN TEORI A. Perilaku Percobaan Bunuh Diri

1. Definisi Percobaan Bunuh Diri (Suicide Attempt)

Secara umum, bunuh diri berasal dari bahasa Latin “suicidium”, dengan “sui” yang berarti sendiri dan “cidium” yang berarti pembunuhan. Schneidman

mendefinisikan bunuh diri sebagai sebuah perilaku pemusnahan secara sadar yang ditujukan pada diri sendiri oleh seorang individu yang memandang bunuh diri sebagai solusi terbaik dari sebuah isu. Dia mendeskripsikan bahwa keadaan mental individu yang cenderung melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit psikologis dan perasaan frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat bunuh diri sebagai satu-satunya penyelesaian untuk masalah yang dihadapi yang bisa menghentikan rasa sakit yang dirasakan (dalam Maris dkk., 2000).

Dari aliran eksistensial, Baechler mengatakan bahwa bunuh diri mencakup semua perilaku yang mencari penyelesaian atas suatu masalah eksistensial dengan melakukan percobaan terhadap hidup subjek (dalam Maris dkk., 2000).

(26)

Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar (2000), bunuh diri memiliki 4 pengertian, antara lain:

1. Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional 2. Bunuh diri dilakukan dengan intensi

3. Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri

4. Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung (pasif), misalnya dengan tidak meminum obat yang menentukan kelangsungan hidup atau secara sengaja berada di rel kereta api.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat dikatakan bahwa bunuh diri secara umum adalah perilaku membunuh diri sendiri dengan intensi mati sebagai penyelesaian atas suatu masalah.

(27)

Dengan demikian, yang dimaksud dengan percobaan bunuh diri adalah upaya untuk membunuh diri sendiri dengan intensi mati tetapi belum berakibat pada kematian.

2. Metode Bunuh Diri

Richman menyatakan ada dua fungsi dari metode bunuh diri (dalam Maris dkk., 2000). Fungsi pertama adalah sebagai sebuah cara untuk melaksanakan intensi mati. Sedangkan pada fungsi yang kedua, Richman percaya bahwa metode memiliki makna khusus atau simbolisasi dari individu.

Secara umum, metode bunuh diri terdiri dari 6 kategori utama yaitu: 1. obat (memakan padatan, cairan, gas, atau uap)

2. menggantung diri (mencekik dan menyesakkan nafas) 3. senjata api dan peledak

4. menenggelamkan diri 5. melompat

6. memotong (menyayat dan menusuk)

3. Faktor Penyebab Bunuh Diri

Bunuh diri bukanlah merupakan satu hal tetapi terdiri dari banyak fenomena yang tumpang tindih. Oleh sebab itu, tidak ada satupun kasus bunuh diri yang memiliki etiologi yang sama (Maris dkk.,2000). Schneidman menyebut bunuh diri sebagai hasil dari “psychache”. Psychache merupakan rasa sakit dan

(28)

dasarnya berasal dari jiwa seseorang ketika merasakan secara berlebih rasa malu, rasa bersalah, penghinaan, kesepian, ketakutan, kemarahan, kesedihan karena menua, atau berada dalam keadaan sekarat (dalam Maris dkk., 2000). Di samping itu, Mann dari bidang psikiatri mengatakan penyebab bunuh diri berada di otak, akibat kurangnya tingkat 5-HIAA, reseptor post-sinapsis, dan pertanda biologis lainnya (dalam Maris dkk., 2000).

Tidak ada faktor tunggal pada kasus bunuh diri, setiap faktor yang ada saling berinteraksi. Namun demikian, tidak berarti bahwa seorang individu yang melakukan bunuh diri memiliki semua karakteristik di bawah ini. Berikut beberapa faktor penyebab bunuh diri yang didasarkan pada kasus bunuh diri yang berbeda-beda tetapi memiliki efek interaksi di antaranya (Maris, dalam Maris dkk.,2000; Meichenbaum, 2008):

1. Major-depressive illness, affective disorder

2. Penyalahgunaan obat-obatan (sebanyak 50% korban percobaan bunuh memiliki level alkohol dalam darah yang positif)

3. Memiliki pikiran bunuh diri, berbicara dan mempersiapkan bunuh diri 4. Sejarah percobaan bunuh diri

5. Sejarah bunuh diri dalam keluarga

6. Isolasi, hidup sendiri, kehilangan dukungan, penolakan 7. Hopelessness dan cognitive rigidity

(29)

9. Kemarahan, agresi, dan impulsivitas 10.Rendahnya tingkat 5-HIAA

11.Key symptoms (anhedonia, impulsivitas, kecemasan / panik, insomnia global, halusinasi perintah)

12.Suicidality (frekuensi, intensitas, durasi, rencana dan perilaku persiapan bunuh diri)

13.Akses pada media untuk melukai diri sendiri 14.Penyakit fisik dan komplikasinya

15.Repetisi dan komorbid antara faktor-faktor di atas

4. Penjelasan Bunuh Diri

Penjelasan-penjelasan dari perspektif yang berbeda berikut hendaknya dipandang sebagai satu kesatuan dalam memahami perilaku bunuh diri yang kompleks. 1. Penjelasan Psikologis

Leenars (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) mengidentifikasi tiga bentuk penjelasan psikologis mengenai bunuh diri. Penjelasan yang pertama didasarkan pada Freud yang menyatakan bahwa “suicide is murder turned around 180

(30)

untuk menghukum juga ditujukan pada diri. Oleh karena itu, perilaku destruktif diri terjadi.

Penjelasan kedua memandang masalah bunuh diri pada dasarnya adalah masalah kognitif. Pada pandangan ini, depresi merupakan faktor kontribusi yang sangat besar, yang khususnya diasosiasikan dengan hopelessness. Fokus pandangan ini terletak pada penilaian negatif yang dilakukan oleh suicidal person terhadap diri, situasi sekarang, dunia, dan masa depan. Sejalan dengan penilaian ini, pikiran yang rusak muncul. Pikiran ini seringkali otomatis, tidak disadari, dan dicirikan oleh sejumlah kesalahan yang mungkin. Beberapa diantaranya begitu menyeluruh sehingga membentuk distorsi-distorsi kognitif.

Beck (dalam Pervine, 2005) memperkenalkan model kognitif depresi yang menenkankan bahwa seseorang yang depresi secara sistematis salah menilai pengalaman sekarang dan masa lalunya. Model ini terdiri dari 3 pandangan negatif mengenai diri, dunia, dan masa depan. Dia memandang dirinya tidak berharga dan tidak berguna, memandang dunia menuntut terlalu banyak darinya, dan memandang masa depan itu suram. Ketika skema kognitif yang disfungsional (automatic thoughts) ini diaktifkan oleh kejadian hidup yang menekan, individu beresiko melakukan bunuh diri.

(31)

dengan perilaku bunuh diri atau mengancam hidup lainnya bisa dilihat sebagai reinforcer positif, karena menurut pandangan ini individu dipandang tidak dapat bersosialisasi dengan baik dan belum mempelajari penilai budaya terhadap hidup dan mati.

Sebagai tambahan, Jamison (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) mengemukakan bahwa psikopatologi adalah elemen paling umum pada perilaku bunuh diri. Dia percaya bahwa sakit mental memainkan suatu peranan penting pada perilaku bunuh diri. Beberapa kondisi psikopatologis yang difokuskannya adalah mood disorder, schizophrenia, borderline dan antisocial personality disorder, alkoholik, dan penyalahgunaan obat-obatan.

2. Penjelasan Biologis

Banyak penelitian telah dilakukan untuk menemukan penjelasan biologis yang tepat untuk perilaku bunuh diri. Beberapa peneliti percaya bahwa ada gangguan pada level serotonin di otak, dimana serotonin diasosiasikan dengan perilaku agresif dan kecemasan. Penelitian lain mengatakan bahwa perilaku bunuh diri merupakan bawaan lahir, dimana orang yang suicidal mempunyai keluarga yang juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Walaupun demikian, hingga saat ini belum ada faktor biologis yang ditemukan berhubungan secara langsung dengan perilaku bunuh diri.

3. Penjelasan Sosiologis

(32)

masyarakatnya. Berdasarkan hubungan tersebut, Durkheim (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) membagi bunuh diri menjadi 4 tipe yaitu:

1. Egoistic Suicide

Inidividu yang bunuh diri di sini adalah individu yang terisolasi dengan masyarakatnya, dimana individu mengalami underinvolvement dan underintegration. Individu menemukan bahwa sumber daya yang dimilikinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan, dia lebih beresiko melakukan perilaku bunuh diri.

2. Altruistic Suicide

Individu di sini mengalami overinvolvement dan overintegration. Pada situasi demikian, hubungan yang menciptakan kesatuan antara individu dengan masyarakatnya begitu kuat sehingga mengakibatkan bunuh diri yang dilakukan demi kelompok. Identitas personal didapatkan dari identifikasi dengan kesejahteraan kelompok, dan individu menemukan makna hidupnya dari luar dirinya. Pada masyarakat yang sangat terintegrasi, bunuh diri demi kelompok dapat dipandang sebagai suatu tugas.

3. Anomic Suicide

(33)

melakukan bunuh diri. Misalnya remaja yang tidak mengharapkan akan ditolak oleh kelompok teman sebayanya.

4. Fatalistic Suicide

Tipe bunuh diri ini merupakan kebalikan dari anomic suicide, dimana individu mendapat pengaturan yang berlebihan dari masayarakat. Misalnya ketika seseorang dipenjara atau menjadi budak.

B. Pikiran Bunuh Diri (Suicidal Ideation) 1. Definisi Pikiran Bunuh Diri

Pikiran bunuh diri adalah pikiran untuk membunuh diri sendiri tanpa melakukan bunuh diri secara eksplisit. Sedangkan suicide ideators adalah orang yang memikirkan atau membentuk intensi untuk bunuh diri yang bervariasi derajat keseriusannya tetapi tidak melakukan percobaan bunuh diri secara eksplisit atau bunuh diri (Maris dkk.,2000). Pikiran bunuh diri bervariasi mulai dari yang non-spesifik (“Hidup ini tidak berarti”), yang spesifik (“Saya berharap saya mati”), pikiran dengan intensi (“Saya akan membunuh diri saya”), sampai pikiran

yang berisi rencana (“Saya akan membunuh diri saya sendiri dengan pistol”).

(34)

masalah dalam kehidupan dan untuk membalas dendam pada orang lain (Maris, dalam Maris dkk., 2000)

Intensi merupakan komponen yang penting dalam pikiran bunuh diri sekaligus merupakan konsep dalam bunuh diri yang paling susah diukur (Maris dkk., 2000). Jobes, Berman , dan Josselman telah mendaftar beberapa kriteria agar intensi bunuh diri dapat diukur. Beberapa kriteria tersebut adalah pernyataan verbal yang eksplisit, percobaan bunuh diri yang pernah dilakukan, persiapan untuk mati, hopelessness, dan lain sebagainya (dalam Maris dkk., 2000).

2.Karakteristik Pikiran Bunuh Diri

Ketika seseorang mengalami distres psikologis, pikirannya menjadi lebih kaku dan bias, penilaian menjadi absolut, dan pandangan tentang diri, dunia, dan masa depan menjadi susah diubah (Weishaar, dalam Salkovskis, 1998). Weishaar juga berpendapat bahwa kesalahan logika atau distorsi kognitif mengubah persepsi ke arah yang negatif dan menyebabkan kesimpulan yang salah.

Menurut Ellis dan Rutherford (2008), beberapa karakteristik pikiran bunuh diri antara lain:

1. Executive Functioning: Cognitive Rigidity, Dichotomous thinking, dan Deficient Problem-Solving

(35)

pikiran bunuh diri susah untuk membayangkan adanya alternatif untuk penderitaannya. Marzuk, Hartwell, Leon, dan Poetra (dalam Ellis & Rutherford, 2008), menyatakan bahwa cognitive rigidity merupakan karakteristik yang mendasari dichotomous thinking dan problem-solving deficit.

Karakteristik kedua dari fungsi eksekutif adalah dichotomous (black or white) thinking, dimana individu berpikir secara kutub seperti baik dan buruk, berhasil dan gagal, dan lain sebagainya.

Kurangnya kemampuan menyelesaikan masalah (problem-solving deficit) diasosiasikan dengan dua karakteristik di atas, karena ketidakmampuan menghasilkan solusi alternatif telah dibuktikan berhubungan dengan baik dengan masalah impersonal atau masalah interpersonal (Levenson & Neuringer, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Schotte, Cools, dan Pyvar (dalam Ellis & Rutherford, 2008) menambahkan bahwa ketidakmampuan menyelesaikan masalah interpersonal merupakan penghubung antara depresi, hopelessness, dan intensi bunuh diri. Penyebab problem-solving deficit belum banyak dipelajari. Namun, dua faktor yang pasti menentukan adalah overgeneral autobiographical memory (Pollock & Williams, dalam Ellis & Rutherford, 2008) dan saraf yang terdapat di otak. Overgeneral autobiographical memory berguna dalam mengingat situasi masalah yang mirip yang dialami di masa lalu. Keilp (dalam Ellis & Rutherford, 2008), menemukan bahwa pasien dengan sejarah percobaan-percobaan bunuh diri menunjukkan ketidakberfungsian saraf yang besar, dan ketidakberfungsian ini lebih besar pada pelaku percobaan yang high-lethality.

(36)

Hopelessness didefinisikan sebagai harapan individu bahwa kejadian negatif akan terjadi di masa depan dan dia akan terus gagal dalam mencapai tujuannya. Melalui penelitian yang dilakukan, Minkoff, Bergman, dan Beck (dalam Ellis & Rutherford, 2008) menyatakan hopelessness merupakan penengah antara depresi dan kecenderungan bunuh diri. Hopelessness juga berhubungan dengan perilaku bunuh diri tanpa variabel depresi (Steer, Kumar, & Beck, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Di samping itu, kejadian hidup yang negatif dapat memprediksi munculnya hopelessness (Yang & Clum, dalam Ellis & Rutherford, 2008).

3. Alasan untuk hidup

Alasan untuk hidup menunjukkan kemampuan individu menyatakan pernyataan-pernyataan baik secara eksplisit atau dalam dirinya sendiri untuk bertahan hidup. Individu yang memiliki pikiran bunuh diri biasanya susah untuk menyatakan alasan untuk hidup. Linehan telah mengembangkan RFL (Reasons for Living) yang merupakan alat untuk membedakan alasan hidup pada individu suicidal dan non-suicidal yang hasilnya dapat diasosiasikan dengan beberapa variabel, termasuk diantaranya intensi bunuh diri (Linehan, Goodstein, & Nielsen, dalam Ellis & Rutherford, 2008).

4. Perfectionism

(37)

sendiri), other-oriented (menuntut kesempurnaan dari orang lain), dan socially prescribed (mempercayai bahwa orang lain mengharapkan dirinya sempurna). Dari ketiga jenis perfeksionisme ini, jenis socially prescribed dan self-oriented berkaitan erat dengan kecenderungan bunuh diri.

5. Konsep diri

Markus (dalam Weiten & Lloyd, 2006) menyatakan bahwa konsep diri adalah kumpulan kepercayaan seseorang mengenai dirinya. Konsep diri ini terbentuk dari pengalaman masa lalu dan berhubungan dengan trait kepribadian, kemampuan, karakteristik fisik, nilai, tujuan, dan peran sosial (Campbell, Assanand, & DiPaula, dalam Weiten & Lloyd, 2006). Di samping itu, Swann mengemukakan bahwa orang yang mempunyai skema diri yang negatif selalu mencari informasi yang mengkonfirmasi skema negatif tersebut(self-verification) (dalam Pervine, Cervone, & John, 2005).

(38)

Konsep diri yang negatif telah dibuktikan merupakan faktor resiko kecenderungan bunuh diri tanpa variabel karakteristik kognitif lainnya.

6. Ruminative Response Style

Gaya berpikir merupakan faktor resiko terjadinya depresi, dan depresi merupakan prediktor yang kuat dalam perilaku bunuh diri (Tanney, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Ruminative response style adalah gaya berpikir yang secara terus menerus berfokus pada mood negatif dan implikasinya. Gaya berpikir ini terdiri dari dua bentuk, yaitu bentuk pasif (brooding) dan bentuk aktif (reflection) (Chan, Miranda, & Surrence, 2009). Brooding merupakan sebuah perbandingan pasif antara situasi sekarang dengan standar yang tidak tercapai, sedangkan reflection merupakan gaya berpikir adaptif yang berfokus pada diri dan bertujuan untuk menyelesaikan masalah dan mengurangi simtom depresi. Brooding dapat memprediksi terjadinya pikiran bunuh diri dan depresi. Sedangkan, reflection hingga saat ini masih diprediksikan sebagai faktor protektif untuk pikiran bunuh diri.

7. Autobiographical Memory

(39)
(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Kualitatif

Masalah yang hendak diungkap dalam penelitian ini adalah gambaran pikiran bunuh diri pada pelaku percobaan bunuh diri. Untuk itu, pendekatan kualitatif dipandang sesuai untuk dapat mengetahui bagaimana gambaran pikiran bunuh diri agar dapat memahami bagaimana sebenarnya pikiran tersebut muncul. Melalui penelitian kualitatif, diharapkan peneliti memperoleh pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti dan akan dapat melihat permasalahan ini dengan lebih mendalam karena turut mempertimbangkan dinamika, perspektif, alasan, dan faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi partisipan penelitian (Poerwandari, 2001).

B. Partisipan dan Lokasi Penelitian

(41)

1. Karakteristik Partisipan Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka karakteristik partisipan yang dipilih adalah:

- laki-laki atau perempuan yang pernah melakukan percobaan bunuh diri baik sekali ataupun berulang kali, yang diketahui melalui proses wawancara secara langsung ataupun informasi dari pihak ketiga.

- berusia dewasa, yaitu antara 18-40 tahun, mengingat mereka memiliki kemampuan kognitif yang lebih stabil dalam menganalisa pengalaman yang telah dilalui dibandingkan kelompok usia lain (Papalia, 2007).

2.Teknik Sampling

Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini berdasarkan teknik pengambilan sampel bola salju/ berantai (snowball/ chain sampling), yaitu pengambilan sampel dilakukan secara berantai dengan meminta informasi pada orang yang telah diwawancarai/ dihubungi sebelumnya.

3. Jumlah Partisipan Penelitian

(42)

orang saja dengan alasan agar dapat dibandingkan antara subjek yang satu denagn subjek yang lain dan dapat melihat adanya perbedaan individual.

4. Lokasi Penelitian

Lokasi dilakukannya penelitian ini adalah di kota Medan. Pemilihan kota Medan yang merupakan domisili peneliti memberikan kemudahan untuk menemukan partisipan. Selain itu, berkaitan dengan pendekatan kualitatif yang memerlukan lebih dari satu kali pertemuan dan wawancara, pemilihan lokasi akan memudahkan proses penelitian.

C. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data denagn menggunakan metode wawancara dan selama wawancara dilakukan observasi.

1. Wawancara

(43)

menjaga agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2001).

D. Alat Bantu Pengumpulan Data

Menurut Poerwandari (2001) bahwa yang menjadi alat terpenting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan pengumpulan dara, peneliti membutuhkan alat bantu, seperti alat perekam (tape recorder), pedoman wawancara, dan catatan lapangan.

1. Alat Perekam (tape recorder)

Poerwandari (2001) menyatakan sedapat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkripsnya secara verbatim (kata demi kata), sehingga tidak bijaksana jika peneliti hanya mengandalkan ingatan. Untuk memenuh itujuan tersebut, perlu digunakan alat perekam agar peneliti mudah mengulangi kembali rekaman wawancara dan dapat menghubungi subjek kembali apabila ada hal yang masih belum lengkap atau belum jelas. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan seizin subjek.

2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara berisi “open-ended question” yang bertujuan agar

(44)

Pedoman wawancara ini juga digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks actual saat wawancara berlangsung (Poerwandari, 2001).

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat untuk mengkategorisasikan jwaaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data. Pedoman wawancara ini disusun tidak hanya berdasarkan pada tujuan penelitian, tapi juga berdasarkan pada berbagai teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin dijawab (Poerwandari, 2001).

3. Catatan Lapangan

(45)

E. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2006), yaitu sebagai berikut: a. Mengumpulkan informasi.

Penyusun mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan denagn perilaku bunuh diri, pikiran bunuh diri, dan konsep diri baik yang berasal dari teori maupun dari literature lepas seperti artikel dan jurnal ilmiah.

b. Menyusun pedoman wawancara.

peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teoritis karakteristik pikiran bunuh diri dan kaitannya dengan konsep diri untuk menjadi pedoman dalam proses wawancara.

c. Persiapan untuk pengumpulan data.

Peneliti mencari beberapa orang partisipan yang sesuai dengan criteria sampel yang telah ditentukan, meminta kesediaannya (informed consent) untuk menjadi partisipan dan mengumpulkan informasi tentang calon partisipan tersebut untuk meyakinkan peneliti bahwa mereka memang sesuai dengan karakteristik sampel penelitian ini.

d. Membangun rapport.

(46)

penelitian mengadakan kesepakatan yang meliputi waktu dan tempat wawancara serta persyaratan lain yang diajukan kedua belah pihak.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki beberapa tahap pelaksanaan penelitian, antara lain:

a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden. Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan responden dalam keadaan sehat dan tidak berhalangan dalam melakukan wawancara.

b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara

(47)

c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim. Setelah proses wawancara selesai dilakukan dan hasil wawancara telah diperoleh, peneliti kemudian memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding dengan membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2007).

d. Melakukan analisa data

Bentuk transkrip verbatim yang telah selesai dibuat kemudian dibuatkan salinannya. Peneliti kemudian menyusun dan menganalisa data dari hasil transkrip wawancara yang telah di koding menjadi sebuah narasi yang baik dan menyusunnya berdasarkan alur pedoman wawancara yang digunakan saat wawancara. Peneliti membagi penjabaran analisa data responden ke dalam aspek-aspek dalam kepuasan pernikahan.

e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran

(48)

3. Tahap Pencatatan Data

Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada responden untuk merekam wawancara yang akan dilakukan dengan tape recorder. Dari hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim untuk dianalisa. Transkrip adalah salinan hasil wawancara dalam pita suara yang dipindahkan ke dalam bentuk ketikan di atas kertas.

F. Metode Analisa Data

Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari (2007), yaitu :

a. Koding

(49)

b. Organisasi Data

Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk :

1) memperoleh data yang baik,

2) mendokumentasikan analisis yang dilakukan,

3) menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian.

Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan dan kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagiannya (transkrip wawancara), data yang sudah ditandai/dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.

c. Analisis Tematik

Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan „pola‟

(50)

d. Tahapan Interpretasi/analisis

Kvale (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Ada tiga tingkatan konteks interpretasi yang diajukan Kvale (dalam Poerwandari, 2007), yaitu : pertama, konteks interpretasi pemahaman diri (self understanding) terjadi bila peneliti berusaha memformulasikan dalam bentuk yang lebih padat (condensed) apa yang oleh subyek penelitian sendiri dipahami sebagai makna dari pernyataan-pernyataannya. Interpretasi tidak dilihat dari sudut pandang peneliti, melainkan dikembalikan pada pemahaman diri subyek penelitian, dilihat dari sudut pandang dan pengertian subyek penelitian tersebut. Kedua, konteks interpretasi pemahaman biasa yang kritis (criticial commonsense understanding) terjadi bila peneliti berpijak lebih jauh dari pemahaman diri subyek penelitiannya. Peneliti mungkin akan menggunakan kerangka pemahaman yang lebih luas daripada kerangka pemahaman subyek, bersifat kritis terhadap apa yang dikatakan subyek, baik dengan memfokuskan pada „isi‟ pernyataan maupun pada subyek

(51)

e. Pengujian Terhadap Dugaan

(52)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Pada bab ini akan di uraikan analisa data dan interpretasi hasil penelitian mengenai gambaran pikiran bunuh diri pada suicide attempters. Untuk mempermudah pemahaman terhadap pikiran bunuh diri, data akan didijabarkan, dianalisa, dan diinterpretasi per-partisipan dengan menggunakan aspek-aspek sesuai dengan pedoman wawancara.

A. Responden I

1. Gambaran Umum Responden I

Nama : Lina (bukan nama sebenarnya)

Usia : 53 tahun

Suku : Tionghoa

Agama : Buddha

Pendidikan terakhir : SD

Urutan dalam keluarga : anak ke 3 dari 7 bersaudara Metode bunuh diri : meminum obat serangga

(53)

diberikan kepada ibunya untuk kemudian menjadi uang makan sekeluarga. Lina selalu berharap untuk bisa merasakan kehidupan yang bahagia setelah menikah.

Pada awalnya hubungan Lina dengan pacarnya (suaminya sekarang) ditentang oleh orang tuanya. Ayahnya mengatakan dia bukan laki-laki pekerja keras dan nanti Lina akan menjalani kehidupan yang susah jika menikah dengannya. Meskipun demikian, Lina sudah terlanjur cinta kepada pacarnya dan bersikeras menikahinya.

Kehidupan awal pernikahan mereka menurut Lina “tidak sebahagia yang diharapkan”. Hidup mereka sangat sederhana. Mereka dikarunia 4 anak laki-laki

dengan usia yang berdekatan. Suaminya bekerja di pabrik dan sanggup menafkahi hingga anak laki-laki keempat mereka lahir. Meskipun kehidupan mereka pas-pasan saja, suaminya juga membantu biaya hidup orang tuanya (mertua Lina).

(54)

harinya dengan meminjam uang ke tetangganya. Tetangga tersebut lalu menawari Lina untuk bekerja di pabrik konveksi. Sambil membawa anaknya yang paling kecil, Lina bekerja sebagai pemotong kain di pabrik. Meskipun telah bekerja, upah hasil kerjanya sedikit dan tidaklah cukup untuk makan berenam. Oleh sebab itu, Lina meminjam uang lagi dengan pabrik tempatnya bekerja dan dikenai bunga pinjaman. Hari-hari dilaluinya dengan dikejar oleh utang yang tak kunjung habis.

Sementara itu, suaminya masih pengangguran meskipun telah sembuh dari penyakitnya. Hanya Lina sendirilah yang bekerja demi kelangsungan hidup anak-anaknya selama hampir 1 tahun. Bantuan dari saudara terdekat mereka pun tidak ada. Hubungan dengan keluarganya, baik dari pihak suami maupun pihaknya sendiri, memburuk seiring melemahnya keadaan ekonomi. Bahkan ayah mertua Lina menjelek-jelekkan anaknya karena tidak memberi uang lagi. Tidak hanya itu, Lina sekeluarga juga diremehkan oleh keluarga suaminya sampai-sampai cucunya sendiri tidak boleh lagi masuk ke kamar kakeknya dan dilarang menyentuh barang elektronik yang ada. Dari keluarganya sendiri yang juga lemah ekonominya, Lina hanya dibantu sedikit pinjaman untuk membeli beras. Beberapa kali ketika hendak meminjam uang dengan orang tuanya, dia dihina oleh adiknya sendiri yang mengatakan “Dasar tak tahu malu, biarin aja dia mati.”

(55)

anak-anak berebut makanan. Lina yang tidak tahan lagi dengan semua tekanan yang dihadapi mencari solusi dengan mencoba bunuh diri.

Upaya bunuh diri dengan meminum obat serangga yang dilakukan Lina tidak berhasil. Lina dibawa ke rumah sakit dan diopname selama seminggu dengan bantuan uang pensiun dari ayahnya. Setelah keluar dari rumah sakit, Lina dirawat oleh ibunya di rumah orang tuanya. Meskipun telah mencoba bunuh diri, keluarga suami dan saudara kandungnya tetap memperlakukan dia dengan istilah yang sering digunakan Lina yaitu “meremehkan”. Adiknya yang ketiga selalu

mengatakan kejelekkan Lina ke tetangga. Tidak hanya itu, adiknya juga memarahi ibunya yang tidak sanggup mengontrol urine dikarenakan penyakit diabetes yang diderita. Berselang tiga bulan setelah Lina mencoba bunuh diri, Ibu Lina juga melakukan upaya bunuh diri dengan meminum pembersih lantai dan meninggal. Lina yang saat itu masih lemah karena pengobatan racun obat serangga di tubuhnya sangatlah sedih dan tidak bisa menghadiri pemakaman ibunya sendiri. Setelah Lina cukup kuat, dia pergi ke makam ibunya untuk meminta maaf karena telah memberi contoh untuk bunuh diri.

Sebulan setelah ibunya meninggal, Lina hamil anaknya yang kelima, seorang perempuan. Lina kemudian ditawari kerja oleh sepupunya di restoran sebagai pelayan. Dia bekerja sambil membawa bayi yang baru dilahirkannya. Kehidupannya berangsur-angsur membaik karena suaminya telah mendapatkan pekerjaan.

(56)

keempatnya, satu-satunya anak yang bisa melanjutkan pendidikan hingga kuliah sekarang ini. Lina telah mempunyai seorang cucu perempuan dari anak keduanya yang tinggal bersamanya. Anak-anaknya membantu biaya hidup dengan memberi uang bulanan untuk biaya rumah tangga. Tak jarang Lina mengingat masa-masa susah dalam hidupnya dulu. Ketika dia mulai sedih memikirkan kejadian masa lalu, anaknya akan menghiburnya dengan menyuruhnya untuk melupakan saja. Walaupun kehidupan telah membaik, Lina menyatakan hidupnya tidak begitu bahagia, hanya cukup makan dan pangan.

2. Data Observasi Responden I

Lina adalah seorang wanita dengan postur tubuh pendek sekitar 150 cm. Bentuk wajahnya segitiga dengan beberapa keriput mewarnai mukanya. Rambutnya yang tipis hingga menampakkan kulit kepalanya selalu diikat satu dan panjang rambutnya di atas dada . Warna kulitnya kecoklatan dengan keriput di lengan dan lehernya. Lina selalu memakai sebuah kaus yang agak pudar warnanya dengan celana sebatas lutut.

(57)

sempat tertahan mengucur dan dia menangis sekitar 5 menit. Beberapa kali dia mengusap air matanya dan berniat melanjutkan cerita tetapi tidak jadi dan menangis lagi.

Rumah Lina adalah sebuah rumah yang berlantai satu. Di depan rumahnya tergantung beberapa tali dari ujung pajar ke pagar lain dari sisi rumahnya. Di atas tali tersebut dijemur beberapa pakaian. Memasuki rumahnya yang masih dialas semen, ada sebuah ruang tamu kecil dengan meja dan kursi plastik berwarna merah yang bertumpukan. Di sana terdapat sebuah TV dan DVD player. Kemudian ada dua kamar dan bertirai motif bunga. Masuk lebih dalam lagi, ada sebuah meja makan dengan empat kursi tak bersandar, kompor gas, kamar mandi dengan pintu seng, dan lemari baju.

3. Data Wawancara Responden I

Faktor awal yang membuat Lina berpikir untuk bunuh diri adalah kejadian hidup negatif berupa masalah ekonomi. Kehidupan Lina yang sederhana mulai jatuh ketika suaminya tidak dapat bekerja lagi dikarenakan penyakit yang dideritanya. Pada saat itu, Lina mempunyai 4 orang anak laki-laki yang berusia masih kecil. Menghadapi kondisi ini, Lina memutuskan bekerja untuk menghidupi keempat anaknya.

“Dulu kami sangat susah, suami saya kerja di Aceh dan dia kena penyakit kelaminnya besar sebelah, seperti mangga. Semakin dia paksa kerja semakin membesar. Sampai akhirnya dia kesakitan sekali dan tidak bisa kerja lagi.”

(58)

“Saya dulu sangat susah, mau makan pun susah, gak tahu harus gimana lagi, waktu itu saya punya empat anak cowo...”

(R1B0084-R1B0088/Hlm 3) “Kalau gakmakan apa...” (R1B0233-R1B0234/Hlm 6)

“...sudah tidak punya uang untuk memberi makan anak...” (R1B0447-R1B0448/Hlm 8)

“Siap kerja di salon, saya kerja lagi di Mikado restoran, nganterin makanan ke meja-meja, jadi pelayan. Lumayan buat uang makan anak-anak saya.”

(R1B0289-R1B0294/Hlm 8)

Meskipun telah bekerja, Lina tidak bisa bekerja terlalu lama karena harus menjaga keempat anaknya yang masih kecil. Waktu kerja yang singkat dan penghasilan yang sedikit membuat Lina meminjam uang ke tetangga dan pabrik tempatnya bekerja. Lina berpikir bahwa meminjam uang lebih gampang daripada mencari kerja, karena menurutnya untuk orang yang intelektualitasnya terbatas seperti dirinya sangatlah susah untuk mencari pekerjaan. Akhirnya Lina sering dikejar karena utangnya menunggak. Tanpa berusaha mencari kerja lagi, Lina menjual satu per satu perhiasannya yang berharga untuk dijadikan biaya pengobatan ketika anak-anaknya sakit.

“Mau makan kan, mau tak mau harus utang sana utang sini. Waktu itu sampe gak ada sesuatu yang bisa dimakan. Akhirnya karena banyak utang, saya dikejar sana sini...”

(R1B0255-R1B0261/Hlm 6)

“Iya...tapi dulu cari kerja juga tidak gampang, gaji juga kecil, saya kan cuma kerja kasar, jadi pelayan...mau gimana lagi, orang gak sekolah mana bisa dapat kerjaan, berapa pula anak yang harus saya kasi makan kan...” (R1B0933-R1B0938/Hlm 22-23)

(59)

Pinjam ke konveksi lagi, ada bunganya. Waktu itu, utang kami banyak, sebesar 10 juta. Setiap hari dikejar sana sini...”

(R1B0467-R1B0476/Hlm 12)

“Waktu anak saya sakit dulu, saya jual perhiasan saya yang emas, 5 gram, 10 gram dijual sampai habis, semua juga demi anak saya.”

(R1B0341-R1B0346/Hlm 9)

Keadaan keuangan Lina yang buruk diperparah oleh kenyataan bahwa suaminya kurang bertanggung jawab. Melihat Lina yang bekerja sendirian, suaminya pun tidak berusaha mencari kerja dan terus menganggur walau telah sembuh dari penyakit yang dideritanya. Lina memandang bahwa keadaan suaminya yang tidak mendapat pekerjaan sebagai suatu nasib jelek yang tidak dapat diubah. Oleh karenanya, Lina juga tidak mendorong suaminya untuk giat mencari pekerjaan. Lina menanggung biaya hidup keluarganya sendirian.

“Dia gak dapat kerjaan, jadi saya kerja sendiri hampir setahun...” (R1B0296-R1B0298/Hlm 8)

“Suami saya apapun tidak mau tahu, dia cuma tahu buat anak saja, tidak tahu bertanggung jawab. Kalau ditanya jawabnya gak ada uang. Nasib tiap orang memang beda-beda...”

(R1B0346-R1B0352/Hlm 9)

“...dengan suami yang tidak mau tahu dan bernasib pengangguran...” (R1B0901-R1B0903/Hlm 22)

(60)

untuk mati saja berkali-kali, naluri keibuannya mencegah hal tersebut terjadi setiap dia terpikir bagaimana nasib anak-anaknya jika dia mati.

“Tiap saya pikir uda mentok, gak ada lagi uang makan besok, mau gimana...belum lagi utang yang harus dibayar...mati saja...”

(R1B0972-R1B0976/Hlm 26)

“Saya pikir kalau mati segala urusan akan selesai, gak usah tahu apa-apa lagi, dan pikiran saya kosong...apapun tidak ada.”

(R1B0592-R1B0596/Hlm 15)

“Yah, sebenarnya uda berkali-kali saya pikir mati aja....jadi akhirnya saya benar-benar coba mati.”

(R1B0965-R1B0969/Hlm 25)

Sewaktu kondisi keuangan Lina memburuk, Lina hanya mendapatkan sedikit bantuan dari orang di sekitarnya. Beberapa tetangga meminjamkan uang dan mencarikan kerja untuknya. Dari pihak keluarga, dukungan yang diterima malah lebih sedikit. Keluarga suaminya bukan hanya tidak memberi dukungan, malah menjelek-jelekkannya. Mertua tirinya juga menyebarkan gosip ke tetangganya bahwa Lina kejam dan sering memarahi orang. Oleh sebab itu, Lina mulai dipandang aneh dan dijauhi oleh tetangga-tetangganya.

“Hubungan saya dengan mertua tidak begitu bagus, dimana-mana dia orang sambu. Semua ngatain keburukan saya ”

(R1B0271-R1B0285/Hlm 7-8)

(61)

(R1B0154-R1B0158/Hlm 4)

Dari keluarga Lina sendiri, Lina juga tidak mendapatkan dukungan baik secara finansial maupun emosional. Malah sebaliknya, Lina dijelek-jelekkan juga oleh adik kandungnya sendiri yang sejak kecil tidak suka dengan Lina yang suka meminta makan ke tetangga-tetangga. Beberapa kali ketika Lina ingin meminjam uang dengan orang tuanya untuk membeli sedikit beras, adiknya selalu menghasut orang tuanya untuk tidak perlu mempedulikannya dan sering berkata “biarin dia

mati”. Lina sempat berpikir seketika bahwa hal tersebut adalah ide yang bagus untuk mengakhiri penderitaannya.

“Dia sejak kecil gak suka kalau saya minta makan sama tetangga. Padahal kan tetangga yang menawarkan sisa sayuran mereka. Dia bilang saya gak tahu malu minta makan sana sini sama orang. Dia menjual harga diri saya, mengatakan kejelekkan saya sama tetangga”

(R1B0546-R1B0555/Hlm 14)

“Adik perempuan ke 3 saya...orangnya sangat jahat. Dulu waktu mau pinjam uang 10.000 sama papa saya untuk beli beras, dia membakar-bakar bilang „Biarin aja dia..biar mati saja, gak usa dipinjami duit, gak tahu malu‟”

(R1B0503-R1B0511/Hlm 13)

“Dia yang menyuruh saya mati, makanya saya buktikan sama dia kalau saya tidak takut mati. Mati bagus juga...”

(R1B0515-R1B0518/Hlm 13)

“Diremehkan”, adalah istilah yang sering digunakan oleh Lina untuk

(62)

kemarahannya dengan memukul anak-anaknya, terutama jika anak-anaknya utang dan bekerja, plus diremehkan lagi...jadi sering marah saya...”

(R1B0846-R1B0850/Hlm 21)

Selain menjadi sering marah karena diremehkan, pandangan Lina terhadap dirinya juga berubah. Dulunya, Lina memandang dirinya adalah seorang yang memang kurang berpendidikan tetapi merupakan seorang yang berbakti, berhati baik, dan mengerti bagaimana seharusnya bersikap dalam pergaulan. Dia sangat menekankan bahwa menjadi orang harus saling menghargai sesama dan tidak boleh meremehkan, jikalau tidak akan mendapatkan balasan. Dia bahkan mengajari anak-anaknya untuk tidak meremehkan orang lain, karena dia tahu bagaimana rasanya diremehkan.

“Oh...kalau saya orangnya biasa aja, karena gak sekolah tinggi kan, cuma sampai SD, tapi saya sangat mengerti bagaimana seharusnya menjadi orang, harus menghormati orang tua kita, bagaimana kita harus menghargai orang lain, tidak boleh meremehkan, jadi orang baik la.. Coba tanya temen saya yang benar-benar baik sama saya, mereka tau saya orang punya hati baik... Jadi orang harus baik-baik, kalau gak akan mendapat balasannya”

(R1B0895-R1B0911/Hlm 24)

Gambar

Tabel I Gambaran Pikiran Bunuh Diri
Tabel 2 Gambaran Pikiran Bunuh Diri
Tabel 3 Rekapitulasi Gambaran Pikiran Bunuh Diri

Referensi

Dokumen terkait

Kolarin CG:n alkuperien aamujen ja iltojen valosaturoituneen nettofotosynteesin ( A max ) estimaatit ja niiden hajauma.. Kuvaaja piirretty GraphPad Prism – ohjelmiston

Tabel analisis ragam pengaruh perlakuan konsentrasi MA dan perbandingan TPS/LLDPE terhadap kemampuan biodegradabilitas (kuantitatif- persentase penurunan nilai kuat

Hal tersebut adalah ditunjukkan oleh rata-rata nilai distribusi pasar selama periode 2001-2012 menunjukkan nilai yang positif, dimana hal ini menunjukkan bahwa

79 Berdasarkan hasil persamaan regresi model fixed effect menunjukkan nilai koefisien

1.Strategi adaptasi sosial adalah tindakan yang dilakukan berulang- ulang dan bentuk penyesuaian terhadap lingkungan masyarakat, dalam penelitian ini pada lingkungan

Adalah prinsip atau sifat- sifat yang mendasari akuntansi dan seluruh Adalah prinsip atau sifat- sifat yang mendasari akuntansi dan seluruh output-nya, termasuk laporan keuangan

Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti melakukan penelitian terkait penerapan multimedia pembelajaran interaktif materi Simetri Molekul berbasis guide-discovery learning

 Pada hipokortisolism akut tanfa disertai hipoaldosteron, diberikan pengobatan dengan kortisol intravena 100 mg per m 2 luas permukaan tubuh yang diberikan setiap 6-8