TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA
PT. JAMSOSTEK (PERSERO) CABANG MEDAN DENGAN
WADAH TENAGA KERJA LUAR HUBUNGAN KERJA
(TK-LHK) BINAAN KANTOR PT. JAMSOSTEK (PERSERO)
CABANG MEDAN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
MEHAGA BASTANTA
NIM : 090200120FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA
PT. JAMSOSTEK (PERSERO) CABANG MEDAN DENGAN
WADAH TENAGA KERJA LUAR HUBUNGAN KERJA
(TK-LHK) BINAAN KANTOR PT. JAMSOSTEK (PERSERO)
CABANG MEDAN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
MEHAGA BASTANTA
NIM : 090200120Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
Dr. H. Hasim Purba, SH.M.Hum
NIP. 196603031985081001
Pembimbing I
Dr. H. Hasim Purba, SH.M.Hum NIP. 196603031985081001
Pembimbing II
Ramli Siregar, SH.M.Hum NIP. 195303121983031002
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karuniaNYA kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi
ini. Skripsi ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi
syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini berjudulkan TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA
SAMA ANTARA PT. JAMSOSTEK (PERSERO) CABANG MEDAN
DENGAN WADAH TENAGA KERJA LUAR HUBUNGAN KERJA
(TK-LHK) BINAAN KANTOR PT. JAMSOSTEK (PERSERO) CABANG
MEDAN. Dalam penulisan ini penulis telah mencurahkan segenap buah
pemikiran, kerja keras dengan sepenuh hati. Penulis juga sadar masih banyak
kekurangan yang terdapat dalam penulisan ini baik isi maupun kalimat yang
didalamnya sehingga penulisan ini masih jauh dari sempurna.
Dalam penulisan skripsi ini penulis juga mengucapkan terimakasih
sebesar-besarnya kepada para pihak yang telah membantu penulis, yaitu :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum. Selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum. Selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Muhammad Husni, SH.M.Hum. Selaku Pembantu Dekan III Fakultas
4. Bapak Dr. Hasim Purba, SH.M.Hum. Selaku ketua Departemen Hukum
Perdata serta sebagai Dosen Pembimbing I dalam penulisan skripsi ini dan Ibu
Rabiatul SH.M.Hum. Selaku Sekretaris Departemen Hukum Perdata.
5. Bapak Ramli Siregar, SH.M.Hum. Selaku Dosen Pembimbing II dalam
penulisan skripsi ini.
6. Seluruh dosen-dosen, staf pendidikan dan karyawan di lingkungan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Orangtuaku yang paling kucintai dan kupuja bapak Drs. Pengarapen
Sinulingga, MM. Bapak yang menjadi sosok sempurna dimataku yang telah
memberitahu bagaimana arti hidup juga sebagai sosok panutan bagi
anak-anaknya dan sekaligus sosok motivator agar anak-anaknya bisa menjadi orang yang
lebih baik, Ibuku tercinta dan tersayang Dra. Irama, Sembiring yang selalu
memberikan saya sentuhan kasih sayang yang lembut sehingga anaknya
mengerti bagaimana cara mengasihi sesama dan engkau adalah wanita yang
paling kusayangi. Terimakasih atas doa dan semangat yang kalian berikan
setiap harinya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dan saya
berjanji akan membuat kalian bangga mempunyai anak seperti saya.
8. Kakakku yang paling kusayangi, Fitri Piralanasih Sinulingga, SE. Terimakasih
kuucapkan padamu kakak yang sudah membantu adik dalam mencurahkan hati
dalam penulisan skripsi ini, engkau sosok kakak yang selalu memberikan kasih
sayang dengan hangat kepada adik-adiknya.
9. Abangku yang paling kusayangi, Adi Suari Guna Sinulingga S.I.P.Abang yang
10. Rafika Mayasari Siregar, orang yang selalu menyemangatiku di setiap hari,
yang selalu mendengarkan keluh kesahku, yang selalu membantuku dan
selalu menemaniku, sungguh engkau wanita yang luar biasa, senang
memilikimu dan berbagi denganmu.
11. Teman-teman penulis di kampus Putra Kelana Sinulingga, Elbarino Shah,
Muammar Parhimpunan, Syarifah Tiqris dan masih banyak lagi yang tidak
bisa disebutkan satu persatu, kalian teman yang terbaik yang pernah kukenal.
Demikianlah kata-kata pengantar dan ucapan terimakasih yang penulis
sampaikan, semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua orang yang
membutuhkannya.
Medan, 11 November 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ... iv
ABSTRAKSI .. ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 9
E. Metode Penelitian ... 10
F. Keaslian Penulisan ... 15
G. Sistematika Penulisan ... 15
BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA ... 18
A. Pengertian Perjanjian ... 18
B. Sahnya Perjanjian ... 27
C. Hak dan Kewajiban Para Pihak ... 36
D. Berakhirnya Suatu Perjanjian ... 40
BAB III PROGRAM TENAGA KERJA LUAR HUBUNGAN KERJA (TK-LHK) JAMSOSTEK SEBAGAI OBJEK PERJANJIAN ... 50
B. Latar Belakang Perjanjian Kerjasama Antara PT.
Jamsostek (Persero) Dengan Wadah Tenaga Kerja Luar
Hubungan Kerja (TK-LHK) ... 58
C. Prosedur Pembuatan Perjanjian Kerjasama Antara PT.
Jamsostek (Persero) Cabang Medan Dengan Wadah
Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) ... 64
D. Pembinaan Serta Pengendalian Wadah Tenaga Kerja Luar
Hubungan Kerja (TK-LHK) Oleh PT. Jamsostek(Persero)
Cabang Medan ... 67
BAB IV TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJASAMA
ANTARA PT. JAMSOSTEK (PERSERO) CABANG
MEDAN DENGAN WADAH TENAGA KERJA LUAR
HUBUNGAN KERJA (TK-LHK) ... 71
A. Hak dan Kewajiban PT. Jamsostek (Persero) Cabang
Medan Serta Wadah Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja
(TK-LHK) Binaan Kantor PT. Jamsostek (Persero)
Cabang Medan ... 71
B. Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama Antara PT. Jamsostek
(Persero) Cabang Medan Dengan Wadah Tenaga Kerja
Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) Binaan Kantor PT.
Jamsostek (Persero) Cabang Medan ... 80
C. Bentuk Penyimpangan Perjanjian Kerjasama Serta
Penyelesaian Kasus Wanprestasi Antara PT. Jamsostek
(Persero) Cabang Medan Dengan Wadah Tenaga Kerja
Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) Binaan Kantor PT.
Jamsostek (Persero) Cabang Medan ... 83
D. Berakhirnya Perjanjian Kerjasama Antara PT. Jamsostek
Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) Binaan Kantor PT.
Jamsostek (Persero) Cabang Medan ... 88
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 92
A. Kesimpulan ... 92
B. Saran ... 96
DAFTAR KEPUSTAKAAN
ABSTRAK
Di Indonesia, Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) memiliki potensi yang lebih besar dibandingkan Tenaga Kerja di Dalam Hubungan Kerja. Dalam UU No 3 Tahun 1992, Tenaga Kerja di Dalam Hubungan Kerja (tenaga kerja yang memiliki hubungan kerja atas unsur perintah, upah dan pekerjaan yang bersifat mengikat) wajib mengikuti program Jamsostek. Sedangkan bagi TK-LHK akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah tersendiri. Oleh karena itu pemerintah telah menetapkan suatu peraturan pelaksanaan program jaminan sosial bagi TK-LHK yakni Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Per-/24/Men/VI/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Yang Melakukan Pekerjaan Di Luar Hubungan Kerja.
Di dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Per-/24/Men/VI/2006 mengatakan bahwa program jaminan sosial bagi TK-LHK dapat diberikan langsung kepada setiap tenaga kerja atau dikoordinir oleh suatu wadah. Atas dasar tersebut, PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan membuat suatu perjanjian kerjasama antara PT. Jamsostek (Persero) dengan setiap wadah yang menjadi binaannya guna memudahkan PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan dalam melakukan perluasan, pembinaan dan pemberian pelayanan bagi setiap peserta Program Jamsostek.
Metode Penelitian terhadap perjanjian kerjasama ini menggunakan normative yuridis yaitu penelitian dengan menggunakan data sekunder berupa peraturan-peraturan hukum atau bahan hukum tertulis yang obyeknya berkaitan dengan Jamsostek, serta data primer yakni dengan melakukan wawancara langsung terhadap pelaksanaan perjanjian kerjasama ini di Kantor Cabang PT. Jamsostek (Persero) Medan.
Berdasarkan penelitian ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa penyelenggaraan Perjanjian Kerja Sama antara wadah TK-LHK dengan PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan telah berjalan dengan baik. Hal ini terlihat dari tingkat pemahaman yang baik terhadap bentuk hak dan kewajiban dari masing-masing para pihak; pelaksanaan perjanjian kerjasama yang efektif dimana dari 80 wadah yang telah terdaftar selama Mei 2007 hingga Oktober 2012 hanya 10 wadah yang telah non aktif; namun hasil penelitian juga menemukan adanya bentuk penyimpangan kerjasama atau wanprestasi yang dilakukan oleh wadah seperti penggelapan iuran dan adanya itikad tidak baik terhadap perjanjian tersebut; sehingga bentuk penyelesaian yang dilakukan oleh PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan berupa musyawarah dan apabila tidak tercapai mufakat dapat dilanjutkan ke pengadilan umum serta tidak akan memperpanjang perjanjian kerjasama tersebut; perjanjian kerjasama juga dapat berakhir apabila habisnya
jangka waktu perjanjian, force majeure atau para pihak sepakat mengakhiri
kerjasama.
ABSTRAK
Di Indonesia, Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) memiliki potensi yang lebih besar dibandingkan Tenaga Kerja di Dalam Hubungan Kerja. Dalam UU No 3 Tahun 1992, Tenaga Kerja di Dalam Hubungan Kerja (tenaga kerja yang memiliki hubungan kerja atas unsur perintah, upah dan pekerjaan yang bersifat mengikat) wajib mengikuti program Jamsostek. Sedangkan bagi TK-LHK akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah tersendiri. Oleh karena itu pemerintah telah menetapkan suatu peraturan pelaksanaan program jaminan sosial bagi TK-LHK yakni Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Per-/24/Men/VI/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Yang Melakukan Pekerjaan Di Luar Hubungan Kerja.
Di dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Per-/24/Men/VI/2006 mengatakan bahwa program jaminan sosial bagi TK-LHK dapat diberikan langsung kepada setiap tenaga kerja atau dikoordinir oleh suatu wadah. Atas dasar tersebut, PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan membuat suatu perjanjian kerjasama antara PT. Jamsostek (Persero) dengan setiap wadah yang menjadi binaannya guna memudahkan PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan dalam melakukan perluasan, pembinaan dan pemberian pelayanan bagi setiap peserta Program Jamsostek.
Metode Penelitian terhadap perjanjian kerjasama ini menggunakan normative yuridis yaitu penelitian dengan menggunakan data sekunder berupa peraturan-peraturan hukum atau bahan hukum tertulis yang obyeknya berkaitan dengan Jamsostek, serta data primer yakni dengan melakukan wawancara langsung terhadap pelaksanaan perjanjian kerjasama ini di Kantor Cabang PT. Jamsostek (Persero) Medan.
Berdasarkan penelitian ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa penyelenggaraan Perjanjian Kerja Sama antara wadah TK-LHK dengan PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan telah berjalan dengan baik. Hal ini terlihat dari tingkat pemahaman yang baik terhadap bentuk hak dan kewajiban dari masing-masing para pihak; pelaksanaan perjanjian kerjasama yang efektif dimana dari 80 wadah yang telah terdaftar selama Mei 2007 hingga Oktober 2012 hanya 10 wadah yang telah non aktif; namun hasil penelitian juga menemukan adanya bentuk penyimpangan kerjasama atau wanprestasi yang dilakukan oleh wadah seperti penggelapan iuran dan adanya itikad tidak baik terhadap perjanjian tersebut; sehingga bentuk penyelesaian yang dilakukan oleh PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan berupa musyawarah dan apabila tidak tercapai mufakat dapat dilanjutkan ke pengadilan umum serta tidak akan memperpanjang perjanjian kerjasama tersebut; perjanjian kerjasama juga dapat berakhir apabila habisnya
jangka waktu perjanjian, force majeure atau para pihak sepakat mengakhiri
kerjasama.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tenaga kerja telah menjadi salah satu modal utama dan menduduki
peranan yang sangat penting untuk memajukan pembangunan nasional Indonesia.
Tanpa didukung tenaga kerja yang handal dan berkualitas, pembangunan nasional
Indonesia tidak dapat berjalan lancar sesuai dengan harapan dan cita-cita luhur
bangsa Indonesia dalam mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera
sebagaimana yang dikandung dalam nilai-nilai Pancasila dan Undang Undang
Dasar 1945. Berbicara tentang pembangunan nasional maka hal itu erat kaitannya
terhadap berbagai bidang kehidupan yang bersinggungan dengan aspek hubungan
sosial, ekonomi dan budaya yang harus taat dengan hukum.
Tatanan hubungan tersebut menciptakan sebuah hak dan kewajiban yang
berlandaskan nilai dan norma yang berkembang pada masyarakat itu sendiri,
tetapi haruslah sesuai dengan roh yang terkandung dalam budaya kehidupan
berlandaskan masyarakat Pancasila. Secara garis besarnya, tujuan utama dari
pembangunan masyarakat ini ialah mewujudkan masyarakat yang adil, makmur
dan sejahtera kepada seluruh rakyat termasuk didalamnya tenaga kerja.
Dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 2 secara tegas
menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan. Hal ini berarti setiap warga negara berhak
kehidupannya sebagai warga negara yang dilindungi oleh negara. Dalam rangka
mencapai kesejahteraan penghidupan yang layak tersebut maka setiap orang
haruslah memiliki pekerjaan dan bekerja sesuai dengan keinginan dan
kemampuannya, yang kemudian memperoleh upah untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Namun upah tersebut belumlah dapat menjadi tolak ukur penghidupan
yang layak tanpa pemberian jaminan sosial oleh negara.
Kehadiran UndangUndangNomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja beserta peraturan pelaksanaannya telah menunjukkan era baru bagi
perlindungan tenaga kerja dalam rangka meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja
yang berdampak kepada peningkatan produktivitas kerja secara
nasional.UndangUndang Nomor 3 Tahun 1992 menegaskan bahwa Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) merupakan hak bagi setiap tenaga kerja dan
merupakan kewajiban bagi setiap perusahaan (Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4 ayat1).
Pelaksanaan program jaminan sosial tenaga kerja juga diatur dalam
UndangUndang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa setiap
pekerja/buruh berhak untuk mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja.
Program jaminan sosial memberikan perlindungan dasar, untuk menjaga serta
meningkatkan harkat dan martabat harga diri tenaga kerja dalam mewujudkan
masyarakat sejahtera, adil, makmur dan merata baik materiil maupun spiritual.
Program Jaminan Sosial merupakan program perlindungan yang bersifat
dasar bagi tenaga kerja yang bertujuan untuk menjamin adanya keamanan dan
kepastian terhadap risiko-risiko sosial ekonomi, dan merupakan sarana penjamin
terjadinya risiko-risiko sosial dengan pembiayaan yang terjangkau oleh pengusaha
dan tenaga kerja. Risiko sosial ekonomi yang ditanggulangi oleh program tersebut
terbatas saat terjadi peristiwa kecelakaan, sakit, hamil, bersalin, cacat, hari tua dan
meninggal dunia, yang mengakibatkan berkurangnya atau terputusnya
penghasilan tenaga kerja dan/ atau membutuhkan perawatan medis.1
Dalam arti luas, istilah “jaminan sosial” atau “social security” mencakup
berbagai instrumen publik yang memberikan kemanfaatan tunai (cash benefit)
atau kemanfaatan kebutuhan (in kind benefits) atau kedua-duanya, dalam hal
Hampir secara universal jaminan sosial dapat diterima sebagai program
pengetasan kemiskinan maupun pencegah kemiskinan, sehingga tidak kurang dari
145 negara memiliki sekurang-kurangnya satu dari program jaminan sosial,
bahkan betapa pentingnya program ini hingga kategori jaminan sosial tersebut
juga dicantumkan dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia PBB
(1948).
2
1. Pertama, kemampuan bekerja/berpenghasilan seseorang.
:
a. Terhenti selama-lamanya, karena hari tua, cacat tetap total, atau
meninggal dunia.
b. Terganggu, oleh ketidakmampuan bekerja sementara, cacat tetap
sebagian.
c. Dibebani biaya, seperti perawatan sakit, kehamilam dan persalinan.
2. Kedua, memerlukan pelayanan medis bagi diri dan keluarganya.
1
Agusmidah, Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, USU Press,Medan, 2010,
hal. 115.
2
3. Ketiga, memelihara anak-anak.
Saat ini terdapat 4 (empat) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di
Indonesia yakni, PT. Jamsostek (Persero), PT. Taspen (Persero), PT. Askes
(Persero) , dan PT. Asabri (Persero). Kelompok Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan
TNI/Polri, wajib disertakan sebagai anggota Taspen dan Asabri yang
perlindungannya meliputi program kesehatan dan pensiun,sedangkan para pekerja
atau pegawai di sektor lainnya seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
perusahaan milik swasta nasional atau asing diwajibkan dalam program
Jamsostek.
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan
Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja telah mempercayakan PT.
Jamsostek (Persero) sebagai perusahaan Badan Usaha Milik Negara yang berplat
merah untuk menjadi badan pelaksana program jaminan sosial di Indonesia yang
harus berusaha dan bermitra bersama dengan berbagai pihak antara lain;
pemerintah pusat dan daerah maupun organisasi pengusaha dan pekerja serta
berbagai pihak lainnya untuk meningkatkan serta memperluas jaringan
perlindungan dan pelayanan terhadap tenaga kerja peserta program Jamsostek
sehingga kehadirannya dapat mendukung visinya menjadi lembaga penyelenggara
jaminan sosial tenaga kerja terpercaya yang unggul dalam pelayanan dan
memberikan manfaat optimal bagi seluruh peserta dan keluarganya.
Pengaturan sistem penyelenggaran jaminan sosial tenaga kerja yang diatur
dalam UndangUndang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
“Untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja diselenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja yang pengelolaannya dapat dilaksanakan dengan mekanisme asuransi.”
Mekanisme asuransi yang dilaksanakan dalam program Jamsostek adalah
Asuransi sosial (social insurance), dengan menggunakan metode risiko hubungan
kerja dimana kemanfaatan atau jaminannya didasarkan atas masa kerja atau
kepesertaan dalam sistem ini. Jaminan tersebut bisa berupa santunan tunai, baik
dalam jumlah uang tertentu atau didasarkan presentase penghasilan, berupa
pelayanan (medis) atau kemanfaatan lain (obat-obatan). Pembiayaannya berasal
dari iuran oleh tenaga kerja, pengusaha atau keduanya yang dikelola oleh badan
publik.3
Sedangkan payung hukum jaminan sosial Tenaga Kerja di Luar Hubungan
Kerja (TK-LHK) diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bahwa perusahaan yang
mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 10 (sepuluh) orang atau lebih, atau
membayar total upah paling sedikit Rp. 1.000.000.- (satu juta rupiah) per bulan,
wajib mengikutsertakan tenaga kerjanya dalam program jaminan sosial tenaga
kerja. Kategori perusahaan diatas termasuk yayasan, badan, lembaga ilmiah serta
badan usaha lainnya dengan nama apapun yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan tenaga kerja. Dengan demikian berarti pengaturan perlindungan
ini diberlakukan terhadap tenaga kerja yang memiliki hubungan kerja dengan
unsur adanya perintah, upah dan pekerjaan yang akan dilaksanakan bersifat
mengikat.
3
Republik Indonesia Nomor : Per-24/MEN/VI/2006 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Yang
Melakukan Pekerjaan Diluar Hubungan Kerja. Tenaga kerja di luar hubungan
kerja merupakan setiap tenaga kerja yang melakukan kegiatan ekonomi tanpa
dibantu orang lain, berusaha pada usaha-usaha ekonomi informal berskala mikro
modal kecil, tempat usaha yang tidak tetap, kelangsungan usaha tidak terjamin,
jam kerja tidak teratur tetapi menghasilkan barang atau jasa sebagaimana
lazimnya tenaga kerja lainnya.
Jumlah Tenaga Kerja di Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) di Indonesia
seperti pedagang kaki lima, nelayan, tukang becak dan petani serta pekerja lainnya
sangatlah besar, dan mereka juga membutuhkan jaminan sosial terhadap diri dan
keluarga, namun memiliki keterbatasan untuk membayar iuran karena penghasilan
yang tidak teratur dan sangatlah bergantung pada penghasilan harian sehingga
mereka mendapatkan kesulitan dalam hal pembiayaan jaminan sosial.
Di sisi lain, urusan pendaftaran kepesertaan Jamsostek secara umum bagi
tenaga kerja sektor formal telah ditangani langsung oleh personalia perusahaan
atau langsung pengusaha itu sendiri kepada badan penyelenggara, namun bagi
Tenaga Kerja di Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) memiliki keterbatasan dalam
urusan pendaftaran maupun pembayaran iuran Jamsostek seperti mendaftar,
mengurus dan membayar iuran sendiri langsung ke PT. Jamsostek (Persero)
sehingga diperlukan penanggung jawab wadah/kelompok yang bekerjasama
dengan PT. Jamsostek (Persero) sesuai lokasi kantor cabang dan tempat tinggal
Dalam penanganan Tenaga Kerja di Luar Hubungan Kerja (TK-LHK)
antara wadah dan badan penyelenggara diperlukan adanya suatu Perjanjian
Kerjasama yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam
memberikan perlindungan jaminan sosial itu sendiri yang tentunya harus
memenuhi unsur-unsur perjanjian sebagaimana yang diamanahkan dalam
KUHPerdata.
Tujuan perjanjian kerjasama tersebut untuk memudahkan segala urusan
PT. Jamsostek (Persero) dengan Tenaga Kerja di Luar Hubungan Kerja
(TK-LHK) dalam hal administrasi pendaftaran, pembayaran iuran dan pengajuan
jaminan/santunan program jaminan sosial tenaga kerja dan wadah tersebut
mendapatkan imbalan jasa berupa uang.
Berdasarkan pengamatan lapangan bahwa pada saat ini sudah berlangsung
beberapa perjanjian kerjasama antara wadah Tenaga Kerja di Luar Hubungan
Kerja (TK-LHK) dengan PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan selaku badan
penyelenggara, dimana penulis merasa tertarik untuk mendalaminya dengan
melakukan penelitian menyusun skripsi dengan judul, “TINJAUAN YURIDIS
PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA PT. JAMSOSTEK (PERSERO)
CABANG MEDAN DENGAN WADAH TENAGA KERJA LUAR
HUBUNGAN KERJA (TK-LHK) BINAAN KANTOR PT. JAMSOSTEK
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, hal yang ditinjau pada penulisan ini
adalah berupa tinjauan yuridis dari perjanjian kerjasama, yaitu perjanjian
kerjasama antara PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan dengan wadah Tenaga
Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) yang menjadi binaan kantor PT.
Jamsostek (Persero) Cabang Medan, oleh karena itu penulis merumuskan masalah
antara lain yaitu:
1. Bagaimana bentuk hak dan kewajiban PT. Jamsostek (Persero) Cabang
Medan dan wadah Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK)
binaan kantor PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan ?
2. Sejauh mana pelaksanaan perjanjian kerjasama antara PT. Jamsostek
(Persero) Cabang Medan dengan wadah Tenaga Kerja Luar Hubungan
Kerja (TK-LHK) binaan kantor PT. Jamsostek (Persero) Cabang
Medan saat ini ?
3. Apakah pernah terjadi penyimpangan perjanjian kerjasama
(Wanprestasi) antara PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan dengan
wadah Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) binaan kantor
PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan dan seperti apa bentuk serta
bagaimana kasus penyelesaiannya ?
4. Bagaimana bentuk pengakhiran perjanjian kerjasama antara PT.
Jamsostek (Persero) Cabang Medan dengan wadah Tenaga Kerja Luar
Hubungan Kerja (TK-LHK) binaan kantor PT. Jamsostek (Persero)
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan diatas maka tujuan penelitian ini
ialah:
1. Mengetahui bentuk hak dan kewajiban dalam perjanjian
kerjasamaantara PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan dan wadah
Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) binaan kantor PT.
Jamsostek (Persero) Cabang Medan.
2. Memaparkan sejauh mana pelaksanaan perjanjian kerjasama antara PT.
Jamsostek (Persero) Cabang Medan dengan wadah Tenaga Kerja Luar
Hubungan Kerja (TK-LHK) binaan kantor PT. Jamsostek (Persero)
Cabang Medan.
3. Menganalisa bentuk potensi penyimpangan kerjasama antara PT.
Jamsostek (Persero) Cabang Medan dengan wadah Tenaga Kerja Luar
Hubungan Kerja (TK-LHK) binaan kantor PT. Jamsostek (Persero)
Cabang Medan dan seperti apa penyelesaiannya.
4. Mempelajari proses pengakhiran suatu perjanjian kerjasama antara PT.
Jamsostek (Persero) Cabang Medan dengan wadah Tenaga Kerja Luar
Hubungan Kerja (TK-LHK) binaan kantor PT. Jamsostek (Persero)
Cabang Medan.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini terbagi atas 2 (dua) yaitu manfaat secara teoritis dan
1. Secara Teoritis
Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pembendaharaan ilmu
pengetahuan di bidang hukum perjanjian yaitu perjanjian kerjasama dan
memperkaya khasanah kepustakaan serta menjadi bahan pertimbangan bagi para
akademisi untuk membuat penelitian lanjutan.
2. Secara Praktis
Memberikan masukan kepada PT. Jamsostek (Persero) maupun wadah
Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) mengenai hasil penelitian
perjanjian kerjasama yang dilakukan agar terjadinya keselasaran dan keefektifan
pada perjanjian kerjasama tersebut.
E. Metode Penelitian
Metode yang diterapkan di dalam suatu penelitian adalah kunci utama
untuk menilai baik buruknya suatu penelitan. Metode ilmiah itulah yang
menetapkan alur kegiatannya, mulai dari pemburuan data sampai ke penyimpulan
suatu kebenaran yang diperoleh dalam penelitian itu.4
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali
itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum
tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan. Didalam
4
melakukan penelitan hukum, seorang peneliti seyogianya selalu mengkaitkannya,
dengan arti-arti yang mungkin dapat diberikan pada hukum. Arti- arti tersebut,
merupakan pemahaman-pemahaman yang diberikan oleh masyarakat, terhadap
gejala yang dinamakan hukum, yang kemudian dijadikan suatu pegangan.5
1. Jenis penelitian
Didalam melakukan penelitian hukum ini haruslah menyajikan dan
mengumpulkan suatu data yaitu dengan menggunakan metode pengumpulan data
sebagai berikut :
Sesuai dengan permasalahan penelitian ini maka penulis melakukan jenis
penelitian hukum normatif empiris, yaitu melakukan pendekatan dengan
mempelajari serta menganalisis data sekunder berupa peraturan-peraturan hukum
atau bahan-bahan hukum tertulis yang bisa diperoleh dari dokumen-dokumen
resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku harian, surat kabar, makalah,
dan lain sebagainya yang mengenai permasalahan penelitian ini, serta
menggunakan pendekatan penelitan terhadap hukum tidak tertulis atau data
primer yaitu dapat dilakukan dengan cara wawancara langsung dari sumbernya.
Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif yaitu merupakan suatu
penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis suatu
peraturan hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek pelaksanaan dari hasil
penelitian dilapangan.6
2. Sumber Bahan Hukum
5
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitan Hukum, UI-Press,Jakarta,1984, hal. 43.
6
Sumber bahan hukum ini menggunakan bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, bahan tersier, yaitu :
2.1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang menjadi acuan
masyarakat untuk mentaati hukum itu yang bersifat mengikat,
bahan-bahan hukum yang mengikat didalam penelitian ini yaitu :
a) Undang Undang Dasar Tahun 1945.
b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
c) UndangUndangNomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja.
d) UndangUndang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
e) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang Penetapan
Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
kepada PT. Jamsostek (Persero) selaku perusahaan Badan Usaha
Milik Negara.
f) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
g) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor : Per-24/MEN/VI/2006 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi
Tenaga Kerja Yang Melakukan Pekerjaan Diluar Hubungan
h) Ikatan Kerja Sama (IKS) Antara PT. Jamsostek (Persero)
dengan Wadah Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK)
tentang Pelaksanaan Kepesertaan Jamsostek Tenaga Kerja Luar
Hubungan Kerja.
2.2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang menjelaskan
bahan hukum primer seperti hasil-hasil penelitian dan tulisan-tulisan oleh
ahli hukum, dalam penelitian ini tulisan-tulisan karya ilmiah yang dipakai
yaitu diantaranya buku-buku karya ilmiah tentang perjanjian, tenaga kerja,
Jamsostek, dan sebagainya.
2.3. Bahan Hukum Tersier
Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang dapat memberikan
petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder seperti kamus hukum.
3. Teknik Pengumpulan Data
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif dan
penelitian hukum empiris yang teknik pengumpulan datanya menggunakan 2
(dua) cara, yaitu :
3.1. Penelitian Kepustakaan (library research)
Penelitian ini menggunakan data-data kepustakaan yaitu berupa
bacaan-bacaan hukum atau bahan hukum tertulis yang berupa data
laporan, buku harian, surat kabar, makalah, dan lain sebagainya yang
mengenai permasalahan penelitian ini.
3.2. Penelitian Lapangan (field research)
Pada penelitian ini sang peneliti langsung terjun kelapangan tempat
dimana penelitian ini berlangsung yaitu PT. Jamsostek (Persero) Cabang
Medan. Penelitian lapangan ini merupakan bahan yang berupa tidak
tertulis (data primer) yaitu seperti wawancara. Jadi peneliti melakukan
wawancara kepada pegawai PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan untuk
mendapatkan informasi tentang penelitan ini langsung dari sumbernya
secara akurat.
4. Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis kualitatifyaitu tidak berdasarkan pada
angka-angka (pengukuran) tetapi pengumpulan data menggunakan pedoman
wawancara dan pengamatan yang diuraikan melalui kalimat, jadi disini
memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari
perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, atau
pola-pola yang dianalisis gejala-gejala sosial budaya dengan menggunakan kebudayaan
dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai
pola-pola yang berlaku.7
7
F. Keaslian Penulisan
Penulis menulis judul tentang “TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN
KERJASAMA ANTARA PT. JAMSOSTEK (PERSERO) CABANG MEDAN
DENGAN WADAH TENAGA KERJA LUAR HUBUNGAN KERJA (TK-LHK)
BINAAN KANTOR PT. JAMSOSTEK (PERSERO) CABANG MEDAN”.
Penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir serta syarat agar dapat memperoleh gelar
kesarjanaan di FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.
Penulis telah melakukan proses pemeriksaaan pada bagian administrasi
kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan setelah hasil
pemeriksaan tersebut belum ada satu pun penulis yang melakukan penulisan
penelitan mengenai judul diatas. Penulis melakukan penulisan ini dengan asli
berdasarkan diri sendiri dengan tidak melakukan plagiat atau menjimplak dari
hasil penelitian orang lain, apabila terbukti maka penulis siap untuk
mempertanggungjawabkannya kedepan nanti.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini yaitu menjelaskan tentang runtutan mengenai
pembahasan yang dilakukan setiap babnya, penulisan penelitian ini terdiri dari 5
(lima) bab yang ditelaah lebih mendalam menjadi lebih kecil lagi (sub bab), yaitu
BAB I : PENDAHULUAN
Bab I tentang pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode
penelitian, keaslian penulisan dan sistematikan penulisan.
BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN
Bab II terdiri dari pengertian perjanjian pada umumnya, hak dan
kewajiban para pihak yang melakukan perjanjian, bagaimana
sahnya suatu perjanjian dan berakhirnya suatu perjanjian.
BAB III : PROGRAM TENAGA KERJA LUAR HUBUNGAN KERJA
(TK-LHK) JAMSOSTEK SEBAGAI OBJEK PERJANJIAN
Bab III terdiri dari definisi program Tenaga Kerja Luar Hubungan
Kerja (TK-LHK), latar belakang perjanjian kerjasama, prosedur
pembuatan perjanjian kerjasama, pembinaan serta pengendalian
wadah Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK).
BAB IV : TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA
PT. JAMSOSTEK (PERSERO) DENGAN WADAH TENAGA
KERJA LUAR HUBUNGAN KERJA (TK-LHK) BINAAN
KANTOR PT JAMSOSTEK (PERSERO) CABANG MEDAN
Bab IV terdiri dari hak dan kewajiban para pihak yang melakukan
perjanjian kerjasama, pelaksanaan perjanjian kerjasama, bentuk
penyimpangan perjanjian kerjasama serta penyelesaiannya,
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab V terdiri dari kesimpulan dan saran dari penulis tentang
BAB II
PERJANJIAN PADA UMUMNYA
A. Pengertian Perjanjian
Perjanjian merupakan suatu kata yang sudah tidak asing lagi bagi kita.
Dengan mendengar sebuah kata perjanjian maka kita akan langsung berfikir
bahwa tentang suatu hubungan perikatan yang diperbuat oleh dua belah pihak atau
lebih. Perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) dalam buku ke III tentang perikatan. Buku ke III KUHPerdata
terdiri dari XVIII bab dan terbagi atas 2 (dua) ketentuan yaitu Bab I sampai
dengan Bab IV berisikan tentang ketentuan umum tentang perikatan itu sendiri
dan Bab V sampai dengan Bab XVIII berisikan tentang ketentuan khusus seperti
jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, perjanjian kerja, perseroan perdata, dan
seterusnya.
Adapun yang dimaksudkan dengan “perikatan” oleh buku III B.W itu,
ialah : suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang,
yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang
lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.
Buku II mengatur perihal hubungan-hubungan hukum antara orang dengan benda
(hak perbendaan). Buku III mengatur perihal hubungan-hubungan hukum antara
orang dengan orang (hak-hak perseorangan), meskipun mungkin yang menjadi
obyek juga suatu benda. Oleh karena sifat hukum yang termuat dalam buku III itu
“hukum perhutangan”. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang
atau “kreditur”, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak
berhutang atau “debitur”. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan
“prestasi”, yang menurut undang-undang dapat berupa menyerahkan suatu barang,
melakukan suatu perbuatan dan tidak melakukan suatu perbuatan.8
Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, perikatan adalah hubungan
hukum yang terjadi diantara 2 (dua) orang atau lebih, yang terletak didalam
lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak
lainnya wajib memenuhi prestasi itu. Mr. Dr. H.F. Vollmar didalam bukunya
“Inleiding tot de Studie van het Nedderlands Burgerlijk Recht” mengatakan
ditinjau dari isinya ternyata bahwa perikatan itu ada selama seseorang itu (debitur)
harus melakukan suatu prestasi yang mungkin dapat dipaksakan terhadap kreditur,
kalau perlu dengan bantuan hakim. Dari rumus diatas kita dapat melihat bahwa
unsur-unsur perikatan ada 4 (empat) yaitu9
1. Hubungan hukum
Hubungan hukum adalah hubungan yang menimbulkan adanya suatu hak
pada satu pihak dan menimbulkan suatu kewajiban pada pihak yang lainnya,
8
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan Ke-XXXII, PT. Intermasa, Jakarta,
2005, hal.122.
9
dimana para pihak harus melaksanakan hak dan kewajiban yang ditimbulkan
tersebut. Dalam hal ini jika satu pihak tidak menepati atau melanggar terhadap
hubungan yang timbul tadi maka hukum dapat memaksakan agar hubungan yang
timbul itu dapat dilaksanakan dengan semestinya.
2. Kekayaan
Dalam melakukan perikatan haruslah mempunyai hubungan hukum dan
didalam hubungan hukum ini mempunyai kriteria perikatan. Kriteria perikatan
telah berubah-ubah dari masa kemasa, dahulu kriteria dalam melakukan hubungan
hukum itu haruslah dapat dinilai dengan uang atau tidak. Apabila hubungan
hukum itu dapat dinilai dengan uang, maka dapat dikatakan hubungan hukum itu
dalam suatu perikatan.
Namun kriteria perikatan itu lama kelamaan tidak dapat lagi digunakan,
karena dalam masyarakat terdapat juga suatu hubungan hukum yang tidak dapat
dinilai dengan uang, tetapi jika tidak dipenuhi maka tidak tercapai suatu rasa
keadilan.
3. Pihak-pihak
Didalam melakukan hubungan hukum haruslah terdapat pihak-pihak yang
melaksanakannya minimal terdiri 2 (dua) orang atau lebih. Pihak yang berhak dan
dapat memaksakan suatu prestasi atau pihak yang memberikan hutang
(berpiutang) yaitu disebut sebagai pihak kreditur dan pihak yang wajib
melaksanakan prestasi atau pihak yang melakukan hutang (berutang) yaitu disebut
4. Prestasi (Objek Hukum)
Prestasi atau objek hukum ini terdapat dalam Pasal 1234 KUHPerdata,
yaitu :
“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.
Pasal 1233 KUHPerdata mengatakan bahwa, tiap-tiap perikatan dilahirkan
baik karena persetujuan dan karena undang-undang. Dari Pasal tersebut sumber
dari perikatan itu adalah perjanjian dan undang-undang.
Perikatan yang timbul dari undang- undang disini yaitu perikatan yang
dapat lahir antara orang/pihak yang satu dengan orang/pihak yang lainnya, tanpa
orang-orang yang bersangkutan menghendakinya atau lebih tepat tanpa
memperhitungkan kehendak mereka. Bahkan bisa saja terjadi, bahwa perikatan
timbul tanpa orang-orang/para pihak melakukan suatu perbuatan tertentu dan
perikatan bisa lahir karena kedua pihak berada dalam keadaan tertentu atau
mempunyai kedudukan tertentu.10
Perikatan yang bersumber dari undang-undang semata-mata (uit de wet
allen)adalah perikatan-perikatan yang timbul oleh hubungan kekeluargaan. “Pasal 1352-1353 KUHperdata membagi sumber perikatan dari undang-undang dimana Pasal 1352 KUHPerdata: “Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit de wet ten ten gevolge van’s mensen toedoen) dan Pasal 1353 KUHperdata : “Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad)”.
10
Misalnya : Kelahiran dengan kelahiran anak maka timbul perikatan antara ayah
dan anak, dimana si ayah wajib memelihara anak tersebut.
Perikatan yang bersumber dari undang-undang sebagai akibat perbuatan
orang (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen) adalah perikatan yang timbul
sebagai akibat dengan dilakukannya serangkaian tingkah laku oleh seseorang,
maka undang-undang melekatkan akibat hukum berupa perikatan terhadap orang
tersebut. Tingkah laku seseorang tersebut mungkin merupakan perbuatan yang
menurut hukum (dibolehkan undang-undang) atau mungkin pula merupakan
perbuatan yang tidak diperbolehkan undang-undang (melawan hukum). Perikatan
yang lahir dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang yang menurut
hukum misalnya mengurus kepentingan orang lain secara sukarela
(zaakwaarneming), dimana sebagai akibatnya, undang-undang menetapkan
beberapa hak dan kewajiban, yang harus mereka perhatikan seperti hak dan
kewajiban yang timbul dari perjanjian.11
11
Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., hal. 7.
Perikatan yang timbul dari perjanjian atau persetujuan dapat dilihat dari
contoh pada Pasal 1457 yaitu jual-beli dimana suatu persetujuan dengan mana
pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak
yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan. Dari penjelasan diatas dapat
dikatakan bahwa kedua belah pihak telah sepakat untuk mengikatkan diri satu
sama lain, yaitu pihak yang satu menyerahkan barang yang hendak dijual dan
pihak yang satu lainnya membayarnya dengan harga yang sudah dijanjikan
Berdasarkan pengertian tersebut dapat kita ketahui bahwa perjanjian
merupakan sebagai sumber dari perikatan, karena jika kita mengadakan sebuah
perjanjian maka secara tidak langsung didalamnya kita akan melakukan perikatan
dengan pihak lawan dan perikatan itu sebagai hal yang harus dipenuhi dari suatu
perjanjian. Suatu perikatan juga lebih besar bagian yang dikajinya daripada
perjanjian, bahwa suatu perikatan itu dapat lahir dari perjanjian dan juga dari
undang-undang.
Ditinjau dari sudut istilah bahasa perikatan dan persetujuan juga berbeda,
perikatan dalam Bahasa Belanda menggunakan istilah “Verbitenis” dan perjanjian
atau persetujuan menggunakan istilah “Overeenkomst”.
Berbagai kepustakaan hukum Indonesia memakai bermacam-macam
istilah untuk menerjemahkan “Verbitenis” dan “Overeenkomst”, yaitu :
“1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Subekti dan Tjiptosudibio12
2. Utrecht
menggunakan istilah perikatan untuk “Verbitenis” dan persetujuan
untuk “Overeenkomst”.
13
3. Achmad Ichsan
, dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Indonesia memakai istilah Perhutangan untuk “Verbitenis”, dan Perjanjian untuk “Overeenkomst”.
14
Dari uraian diatas, untuk “Verbitenis” dikenal tiga istilah dalam Bahasa
Indonesia, yaitu: Perikatan, Perhutangan dan Perjanjian, sedangkan untuk
“Overeenkomst” dipakai 2 (dua) istilah yaitu Perjanjian dan Persetujuan.
Verbintenis berasal dari kata kerja Verbinden yang artinya mengikat. Maka dalam bukunya Hukum Perdata IB menerjemahkan “Verbitenis” dengan perjanjian dan “Overeenkomst” dengan persetujuan”.
12
Subekti dan Tjiptosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Paramita,Jakarta, 1974, hal. 291 dan 304.
13
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT.Penerbit Balai Buku Ikhtiar, Cetakan V, Bandung, 1959, hal. 320 dan 621.
14
Verbintenis menunjuk kepada adanya “ikatan” atau “hubungan”. Hal ini sesuai
dengan definisi Verbintenis sebagai suatu hubungan hukum. Atas pertimbangan
tersebut penulis cenderung untuk menggunakan istilah perikatan. Overeenkomst
berasal dari kata kerja Overeenkomen yang artinya setuju atau sepakat.
Overeenkomst mengandung kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme yang
dianut oleh BW. Oleh karena itu, istilah terjemahannya pun harus dapat
mencerminkan asas kata sepakat tersebut. Maka berlandaskan alasan tersebut
penulis menggunakan istilah persetujuan atau perjanjian.15
Pasal 1313 KUHPerdata mengartikan sebuah persetujuan atau perjanjian
yaitu suatu tindakan oleh satu orang atau lebih melakukan perikatan dengan orang
lain. Yang dimaksud perikatan disini bukanlah sebagai perikatan yang timbul
dengan sendirinya seperti yang kita temui dalam harta benda kekeluargaan. Dalam
hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya timbul hubungan hukum
antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam hukum
waris. Lain halnya dalam perjanjian dimana hubungan hukum antara pihak yang
satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta Perjanjian melahirkan sebuah perikatan yang timbul karena berdasarkan
persetujuan. Para pihak setuju dan menghendaki untuk melakukan perikatan satu
sama lainnya, berbeda dengan perikatan yang timbul karena undang-undang yang
belum tentu dikehendaki oleh para pihak. Sesuai dengan pengertian perjanjian
menurut Pasal 1313 KUHPerdata yaitu suatu persetujuan adalah suatu perbuatan
dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
15
oleh karena adanya “tindakan hukum”. Tindakan/perbuatan hukum yang
dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian,
sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh
prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan
“kewajiban” untuk menunaikan prestasi.16
Oleh karena itu pengertian perjanjian atau Verbintenis mengandung
pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau
lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan
sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.17
Dalam perumusan Pasal 1313 KUHPerdata tersebut tidaklah dikatakan apa
yang menjadi tujuan untuk perjanjian, sehingga para pihak tidak jelas tujuan untuk
mengikatkan dirinya. Menurut Rutten, perjanjian adalah perbuatan hukum yang
terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada,
tergantung dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang
ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas
beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak
secara timbal balik.18
Menurut Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji
kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal. Dari peristiwa ini ditimbulkan suatu perhubungan antara dua orang itu
yang dinamakan perikatan. Perjanjian tersebut menerbitkan suatu perikatan antara
16
M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian,Cetakan Kedua, Alumni,Bandung, 1986, hal. 7.
17
Ibid, hal. 6.
18
dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu
rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang
diucapkan atau ditulis.19
Sedangkan menurut Dr. Wirjono SH merumuskan hukum perjanjian
sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam
mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal, atau
untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut
pelaksanaan janji itu. Disini unsur “berjanji atau dianggap berjanji” merupakan
suatu unsur yang esensial, sedangkan bila dianut perumusan menurut hukum
Barat saja unsur yang esensial adalah ikatan pihak kesatu kepada pihak yang lain
untuk melakukan sesuatu, ikatan mana timbul karena persetujuan, permufakatan
atau karena diatur dalam undang-undang.20
Oleh karena itu penulis menyimpulkan pengertian perjanjian adalah suatu
perbuatan atau tindakan hukum yang dilakukan berdasarkan hukum kekayaan atau
hukum benda oleh satu orang atau lebih yang mana para pihak saling mengikatkan
diri terhadap satu sama lainnya berdasarkan penyesuaian kehendak antara para
pihak yang berisi prestasi untuk kepentingan para pihak yang disusun baik secara
tertulis maupun tidak tertulis.
19
F.Subekti, Hukum Perdjandjian, PT. Pembimbing Masa, Cetakan Kedua, Jakarta, 1970, hal. 1.
20
B. Sahnya Perjanjian
Perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum, maka dalam membuat suatu
perjanjian haruslah memenuhi syarat-syarat agar terciptanya perbuatan hukum
bagi para pihak yang ingin melakukannya. Dari suatu perbuatan hukum itu akan
lahir akibat hukum bagi para pihak yang melakukan perjanjian tersebut dan
lahirlah hak dan kewajiban. Tujuan dipenuhinya syarat-syarat suatu perjanjian
agar kita dapat memaksakan hak dan kewajiban para pihak untuk melaksanakan
isi perjanjian tersebut atau kita dapat meminta bantuan hakim untuk
memaksakannya, tetapi jika kita tidak memenuhi syarat-syarat suatu perjanjian itu
maka suatu perjanjian itu dianggap bukan perbuatan hukum dan tidak
menimbulkan akibat hukum sehingga kita tidak dapat memaksakan hak dan
kewajibannya.
Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa suatu perjanjian yang telah
memenuhi syarat-syarat tertentu bisa dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah
dan sebagai akibatnya perjanjian akan mengikat sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Oleh karena itu agar keberadaan suatu perjanjian
diakui oleh undang-undang (Legally concluded contract) haruslah sesuai dengan
syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang.21
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
Syarat sahnya suatu perjanjian ini diatur pada Bab II Bagian Kedua Buku
III di dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu :
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
21
Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
3. Suatu pokok persoalan tertentu;
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
Keempat syarat ini dibagi menjadi dua syarat pokok yaitu syarat subjektif
dan syarat objektif. Syarat subjektif meliputi dua syarat pertama yaitu kesepakan
mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Dikatakan sebagai syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek
perjanjian, sedangkan dikatakan sebagai syarat objektif karena mengenai objek
dari perjanjian. Syarat objektif ini meliputi dua syarat terakhir yaitu suatu pokok
persoalan tertentu dan suatu sebab yang tidak terlarang.
Untuk lebih jelasnya mengenai keempat syarat tersebut maka akan
diuraikan secara satu persatu, yaitu :
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
Suatu perjanjian itu akan timbul jika adanya kesepakatan para pihak untuk
mengikatkan diri satu sama lain. Maksud sepakat disini ialah adanya perjumpaan
dan penyesuaian kehendak kedua belah pihak untuk mengikatkan diri satu sama
lain. Tidaklah mungkin suatu perjanjian itu dapat terlaksana jika para pihak atau
salah satu pihak tidak menyepakati untuk mengikatkan diri satu sama lain.
Penyesuaian kehendak saja antara dua orang belum tentu dapat
menimbulkan suatu perikatan, karena hukum hanya mengatur perbuatan nyata
daripada manusia. Kehendak tersebut haruslah saling bertemu dan agar bisa saling
bertemu haruslah dinyatakan kepada pihak tersebut dan juga dimengerti pihak
tersebut. Maka inti dari kata dari sepakat adalah suatu penawaran yang diakseptir
dari kedua belah pihak secara timbal balik. Dengan demikian suatu penawaran
dan akseptasi merupakan unsur yang sangat penting untuk menentukan lahirnya
perjanjian.22
b. Paksaan
Kesepakatan para pihak ini dapat menimbulkan cacat syarat subjektif yang
terbagi atas beberapa faktor yaitu :
a. Kekhilafan (Kesesatan)
Cacat kesepakatan yang disebabkan karena kekhilafan ini diatur dalam
Pasal 1322 KUHPerdata yaitu :
“Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan, kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan. Kekhilafan tidak mengakibatkan kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai diri orang yang dengannya seseorang bermaksud untuk mengadakan persetujuan, kecuali jika persetujuan itu diberikan terutama karena diri orang yang bersangkutan”.
Jadi kekhilafan itu dapat membatalkan perjanjian jika mengenai hakikat
barang atau objek yang menjadi pokok persetujuan dan mengenai diri orang yang
ingin mengadakan persetujuan, yang mana dapat dibagikan menjadi dua macam
yaitu error in persona dan error in substantia. Error in persona adalah kekhilafan
atau kesesatan mengenai orang yang seharusnya diperjanjikan untuk mengadakan
persetujuan, sedangkan error in substantia adalah kekhilafan mengenai sifat dari
barang yang menjadi pokok persetujuan tersebut.
Mengenai paksaan yang dapat menimbulkan cacat pada persetujuan ini
dirumuskan didalam Pasal 1323 sampai dengan Pasal 1327 KUHPerdata. Pasal
1323 berbunyi sebagai berikut :
22
“Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam persetujuan yang dibuat itu”.
Dari rumusan Pasal diatas dapat dikatakan terdapat 3 (tiga) subyek yang
melakukan pemaksaan yaitu orang yang mengadakan perjanjian tersebut, orang
yang bukan mengadakan perjanjian tersebut tetapi mempunyai kepentingan dalam
perjanjian tersebut dan orang yang bukan mengadakan perjanjian dan tidak
mempunyai kepentingan atas perjanjian tersebut.
Pasal 1324 KUHPerdata juga menjelaskan bagaimana pengertiaan paksaan
tersebut yaitu:
“Paksaaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat. Dalam mempertimbangkan hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang bersangkutan”.
Dari rumusan diatas dapat dikatakan bahwa paksaan itu diberikan dengan
menimbulkan aspek psikologis yang mengancam dirinya dengan berupa
memberikan kekerasan atau berupa ancaman fisik yang dapat menimbulkan
ketakutan baginya, sehingga ia melakukan perjanjian tersebut dibawah tekanan.
Pasal 1325 dan 1326 KUHPerdata menjelaskan mengenai paksaan yang
lahir dari pihak-pihak yang bukan melakukan perjanjian saja tetapi datang dari
pihak keluarga seperti suami atau istri atau sanak keluarga dalam garis keatas
maupun ke bawah, dan paksaan ini bukan dilandaskan karena rasa hormat saja
tetapi haruslah disertai dengan adanya kekerasan. Seperti yang telah dirumuskan
pada Pasal 1325 dan 1326 KUHPerdata yaitu :
melainkan juga bila dilakukan terhadap suami atau istri atau keluarganya dalam garis ke atas maupun ke bawah”.
Pasal 1326 : “Rasa takut karena hormat terhadap ayah, ibu atau keluarga lain dalam garis keatas, tanpa disertai kekerasan, tidak cukup untuk membatalkan persetujuan”.
c. Penipuan
Cacat persetujuan yang berupa penipuan ini diatur dalam Pasal 1328 yaitu
yang berbunyi :
“Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat. Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira, melainkan harus dibuktikan”.
Jadi jika seseorang pihak melakukan tipu muslihat dan pihak yang satu
lainnya melakukan perjanjian dengan tidak menggunakan tipu muslihat maka
perjanjian itu dapat dikatakan batal, karena terdapat unsur kesengajaan untuk
melakukan tipu muslihat sehingga perjanjian itu dapat dilaksanakan. Dalam
menyatakan penipuan tidaklah dapat hanya dikatakan saja atau menuduh bahwa
salah satu pihak melakukan penipuan tetapi haruslah berdasarkan pembuktian di
pengadilan bahwa pihak tersebut telah melakukan penipuan.
Atas dasar 3 (tiga) hal yang menyebabkan kecacatan dalam perjanjian
diatas yaitu Kekhilafan (kesesatan), Paksaan dan Penipuan maka dapat diminta
pembatalan perjanjian tersebut ke Pengadilan Negeri berdasarkan kewenangan
relatifnya, sesuai pada Pasal 1454 KUHPerdata dengan tuntutan pembatalan suatu
perikatan dalam tenggang waktu selama 5 (lima) Tahun dan waktu itu berlaku
dalam hal penyesatan dan penipuan sejak sehari diketahuinya penyesatan dan
penipuan tersebut sedangkan dalam hal paksaan yaitu sejak hari paksaan itu
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Dalam membuat suatu perjanjian haruslah dibutuhkan kecakapan
seseorang, maksud kecakapan seseorang ini adalah orang yang dapat melakukan
perbuatan hukum. Orang yang dapat melakukan perbuatan hukum adalah orang
yang mampu bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya yang menimbulkan
akibat hukum sehingga ia menyandang hak dan kewajiban dan dapat dikatakan
sebagai subjek hukum. Orang yang cakap melakukan perbuatan hukum ditentukan
melalui batas usia dan juga tidak sehat jasmani atau rohaninya, dan ketentuan
cakap melakukan perbuatan hukum ini diatur oleh undang-undang. Dalam hal
melakukan perjanjian, kecakapan untuk membuat suatu perikatan diatur dalam
Pasal 1330 yang mengatur tentang orang yang tidak cakap untuk membuat
persetujuan, yaitu:
a) Anak yang belum dewasa;
b) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan;
c) Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan
undang-undang, dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang
dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.
Oleh karena itu selain orang-orang yang tidak termasuk kriteria diatas
maka mereka dapat melakukan perjanjian atau dikatakan cakap hukum.
Mengenai anak yang belum dewasa diatur didalam Pasal 330 KUHPerdata
yang mengatakan bahwa yang belum dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) Tahun dan tidak kawin sebelumnya dan
mereka tidak akan kembali berstatus belum dewasa lagi. Jadi yang dikatakan
orang yang cakap hukum adalah orang yang sudah berumur 21 (dua puluh satu)
Tahun atau yang belum berumur 21 Tahun tetapi sudah pernah menikah
sebelumnya. Tetapi dengan adanya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang dikatakan pada Pasal 7 maka adanya perbedaan batasan yaitu
pada wanita yang jika ia sudah berumur 16 Tahun maka ia dapat melakukan
pernikahan sedangkan bagi pria yang sudah berumur 19 (sembilan belas) Tahun ia
dapat melakukan pernikahan.
Orang yang tidak cakap hukum lainnya adalah orang yang ditaruh di
bawah pengampuan. Maksud dari pengampuan ini dijelaskan dalam Pasal 433
KUHPerdata yaitu setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu,
gila atau mata gelap walaupun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya,
serta seorang dewasa boleh juga ditempatkan dibawah pengampuan karena
keborosannya. Jika orang yang dibawah pengampuan serta yang belum dewasa
ingin melakukan perjanjian maka dapat diwakili oleh masing-masing orangtua
dan pengampuannya.
Pada ketentuan ketiga yaitu perempuan yang telah kawin dalam hal-hal
yang ditentukan undang-undang atau seorang istri itu tidak cakap melakukan
perjanjian ini telah tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya Surat Edaran
Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 1963 dan lahirnya UndangUndang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 31 Ayat (1 dan 2) yang
Ayat (1) : “Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersaama dalam masyarakat”.
Ayat (2) : “Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum”.
3. Suatu pokok persoalan tertentu
Yang dimaksud dengan suatu pokok persoalan tertentu disini adalah
sesuatu yang didalam perjanjian tersebut harus telah ditentukan dan disepakati.
Ketentuan ini sesuai dengan yang disebutkan pada Pasal 1333 KUHPerdata bahwa
barang yang menjadi obyek suatu perjanjian harus ditentukan jenisnya. Tidak
menjadi halangan bahwa jumlah barangnya tidak tertentu, asal saja jumlah itu
kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Atau barang yang akan ada dikemudian
hari juga bisa menjadi obyek dari suatu perjanjian, ketentuan ini disebutkan pada
Pasal 1334 KUHPerdata ayat 1.23
Suatu perjanjian haruslah mempunyai obyek (bepaald onderwerp)
tertentu, sekurang-kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat
berupa benda yang sekarang ada dan nanti akan ada, yaitu24
a) Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan (Pasal 1332). :
b) Barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum antara lain
seperti jalan, umum, pelabuhan umum, gedung-gedung umum dan
sebagainya tidaklah dapat dijadikan objek perjanjian.
c) Dapat ditentukan jenisnya(Pasal 1333).
d) Barang yang akan datang (Pasal 1334).
23
Djumadi, Op.Cit., hal. 20.
24
4. Suatu sebab yang tidak terlarang
Suatu sebab yang tidak terlarang ini diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata
yang mengatakan suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh
undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan
ketertiban umum. Jika sebab tersebut terjadi maka perjanjian itu dapat dibatalkan
demi hukum.
Menurut Yurisprudensi. yang ditafsirkan dengan kausa adalah isi atau
maksud dari perjanjian. Melalui syarat kausa, didalam praktek maka ia merupakan
upaya untuk menempatkan perjanjian di bawah pengawasan hakim. Oleh karena
itu hakim dapat menguji apakah tujuan dari perjanjian itu dapat dilaksanakan dan
apakah isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum
dan kesusilaan (Pasal 1335 sampai dengan 1337 KUHPerdata).25
Selain syarat sahnya suatu perjanjian diatas, ada beberapa teori yang
menjelaskan saat lahir dan timbulnya suatu perjanjian, yaitu26
a) Teori kehendak (Wilstheori) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi
pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan
menuliskan surat.
:
b) Teori pengiriman (Verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan
terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan dikirim oleh pihak yang
menerima tawaran.
25
Ibid, hal. 81.
26
c) Teori pengetahuan (Vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak
yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya
diterima.
d) Teori kepercayaan (Vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa
kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak
diterima oleh pihak yang menawarkan.
C. Hak dan Kewajiban Para Pihak
Dengan terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, maka perjanjian itu telah
berlaku dan perjanjian tersebut mengikat para pihak serta harus dilaksanakan
sehingga jika tidak dilaksanakan para pihak dapat memaksakan hak dan
kewajiban masing-masing sesuai dengan yang tertuang dalam perjanjian. Seperti
yang telah dikatakan diatas perjanjian adalah suatu perbuatan atau tindakan
hukum yang dilakukan berdasarkan hukum kekayaan atau hukum benda oleh satu
orang atau lebih yang mana para pihak saling mengikatkan diri terhadap satu sama
lainnya berdasarkan penyesuaian kehendak antara para pihak yang berisi prestasi
untuk kepentingan para pihak yang disusun baik secara tertulis maupun tidak
tertulis. Dari pengertian diatas terdapat kata “prestasi”. Pengertian prestasi disini
ialah adanya kesesuaian kehendak yang dituangkan dalam perjanjian yang berisi
kewajiban. Prestasi inilah yang akan menjadi hak oleh satu pihak untuk
memperoleh prestasi, dan menjadi kewajiban oleh pihak yang satunya untuk
Pasal 1234 KUHPerdata menyebutkan prestasi ini dapat berupa
memberikan sesuatu, untuk berbuat atau untuk tidak berbuat sesuatu. Dalam hal
memberikan sesuatu itu maksudnya adalah menyerahkan dan merawat benda
sampai pada waktu dilakukannya penyerahan kembali, seperti dikatakan pada
Pasal 1235 KUHPerdata yaitu:
“Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, termaktub kewajiban untuk menyerahkan barang yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang kepala rumah tangga yang baik, sampai saat penyerahan. Luas tidaknya kewajiban yang terakhir ini tergantung pada persetujuan tertentu; akibatnya akan ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan”.
Dalam hal berbuat sesuatu diatur dalam Pasal 1239 KUHPerdata, yaitu :
“Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitur tidak memenuhinya”.
Dalam hal untuk tidak berbuat sesuatu diatur dalam Pasal 1242
KUHPerdata, yaitu :
“Jika perikatan itu bertujuan untuk tidak berbuat sesuatu, maka pihak manapun yang berbuat bertentangan dengan perikatan itu, karena pelanggaran itu saja, diwajibkan untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga”.
Para pihak yang membuat perjanjian ini dilekatkan hak dan kewajiban
sesuai dengan isi perjanjian. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak
berpiutang atau “kreditur”, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan
dinamakan pihak berhutang atau “debitur”. Pihak debitur dan kreditur haruslah
melakukan hak mereka sesuai dengan apa yang diperjanjikan, jika tidak sesuai
maka pihak kreditur dan debitur dapat memaksakan agar apa yang menjadi
haknya itu dapat terlaksana yaitu dengan melalui bantuan pengadilan. Hak untuk
karena dia sebagai pihak berpiutang sehingga ia dapat menagih agar pihak debitur
memenuhi prestasi, melainkan pihak debitur juga dapat memaksakan
kehendaknya jika pihak kreditur tidak memenuhi seperti apa yang telah
dijanjikan. Sebagai contoh pada perjanjian timbal balik yaitu jual beli Pasal 1457
KUHPerdata mengatakan jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak
yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang
lain untuk membayar harga yang dijanjikan. Dalam hal ini pihak kreditur sebagai
penjual dan pihak debitur sebagai pembeli. Jika pihak debitur tidak membayar
seperti harga yang telah dijanjikan maka pihak kreditur dapat memaksakan
dengan menuntut kepengadilan agar pihak debitur membayarnya. Pihak debitur
juga dapat menggugat atau menuntut pihak kreditur apabila pihak debitur telah
membayar suatu barang seperti yang telah diperjanjikan tetapi pihak kreditur tidak
menyerahkan barang sesuai yang diperjanjikan, maka disini pihak debitur
diberikan hak untuk menuntut atau menggugat pihak kreditur di pengadilan. Jadi
pihak kreditur dan pihak debitur diberi hak untuk menuntut jika salah satu dari
mereka tidak melakukan sesuai dengan yang diperjanjikan.
Dari contoh jual beli diatas kedua belah pihak sama-sama dibebani
“obligatio/schuld” yaitu “kewajiban” melaksanakan pemenuhan prestasi. Serta
sekaligus disamping schuld masing-masing juga dibebani “haftung” yakni
“Tanggung Jawab” hukum untuk memenuhi pelaksanaan prestasi kepada
masing-masing pihak secara sempurna. Dari haftung inilah lahirnya akibat hak materiil
dan kekuasaan menuntut yang diberikan oleh hukum kepada masing-masing