BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Prof. Soeharso adalah pemrakarsa, perintis pembangunan dan
pengembangan dari Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat Tubuh dan
lembaga-lembaga lain, termasuk Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) yang dulu
namanya Yayasan Penderita Anak Tjatjat (YPAT). Almarhum Prof. Dr. Soeharso
adalah seorang ahli tulang (Orthopaed) yang pertama kali merilis upaya
rehabilitasi penyandang cacat (Penca). Beliau mendirikan pusat rehabilitasi =
Rehabilitasi Centrum, yang disingkat R.C bagi korban revolusi Kemerdekaan
Republik Indonesia di Solo pada tahun 1952.
Selanjutnya beliau berkeliling ke berbagai kota untuk mengimbau
perorangan maupun organisasi wanita agar mendirikan Yayasan Y.P.A.T guna
memberikan pelayanan rehabilitasi pada anak cacat fisik (tuna daksa). Imbauan
beliau mendapat tanggapan dari masyarakat dan Y.P.A.T berkembang (didirikan)
dibeberapa tempat/ wilayah Indonesia dengan kantor pusat YPAC di Surakarta.
Pada tahun 1977 pusat YPAC Indonesia dipindah ke Ibu Kota Jakarta dengan
demikian Yayasan Pembinaan Anak Cacat Surakarta menjadi YPAC daerah
Surakarta.
YPAC di Malang sendiri didirikan pada tahun 1956 lebih tepatnya pada
tanggal 4 Maret 1956. Sampai saat ini YPAC Malang telah berkembang menjadi
pusat yayasan yang menangani anak cacat yang memiliki pendidikan SLB-D
yaitu pendidikan bagi penyandang cacat tubuh, SLB-D1 yaitu bagi penyandang
cacat tubuh disertai cacat mental, dan inklusi. Tidak hanya pendidikan saja,
YPAC juga memiliki fasilitas asrama.
Anak merupakan karunia terbesar yang diberikan sang pencipta kepada
manusia. Dalam menciptakan manusia, Allah mempunyai rahasia tersendiri, ada
yang dilahirkan normal dan adapula yang dilahirkan tidak normal. Anak-anak
yang dilahirkan tidak normal dapat juga dikatakan sebagai anak cacat (Azwar,
1999).
Salah satu bentuk kecacatan yang sering dijumpai adalah Retardasi Mental.
Menurut PBB, hingga tahun 2000 diperkirakan sekitar 500 juta orang di dunia
mengalami kecacatan dan 80% dijumpai di Negara berkembang. Di Amerika
Serikat, setiap tahun dilahirkan sekitar 3000-5000 anak penyandang Retardasi
Mental. Di Indonesia, data statistik 2004 menunjukkan bahwa sekitar 1-3%
penduduk menderita retardasi mental. Rasio retardasi mental pada laki-laki dan
perempuan di Indonesia adalah 3:2. Hal ini berarti bahwa kemungkinan laki-laki
menderita retardasi mental lebih besar daripada kemungkinan perempuan menderita retardasi mental (“Pahami Anak Down”, 2004).
Retardasi mental merupakan kecacatan yang sering terjadi pada anak. Anak
retardasi mental memperlihatkan fungsi intelektual dan kemampuan dalam
perilaku adaptif di bawah usianya sehingga anak yang mengalami retardasi
mental kurang mampu mengembangkan ketrampilan dan kebiasaan-kebiasaan
yang dimiliki anak usianya. Anak retardasi mental mengalami kesulitan dalam
membina hidup sehari-hari (yang berkaitan dengan mengurus diri, menolong diri,
dan merawat diri), masalah penyesuaian diri (meliputi kemampuan komunikasi
dan sosialisasi yang berkaitan dengan masalah dalam hubungannya dengan
kelompok maupun individu di sekitarnya) (Depdiknas, 2003).
Kelainan ini dapat digolongkan menjadi : a. Penyebab Organik
1. Faktor prenatal :
- Penyakit kromosom, Trisomi 21 (Sindrom Down)
- Sindrom Fragile X
- Gangguan Sindrom, distrofi otot Duchene, Neurofibromatosis (tipe 1)
- Gangguan metabolisme sejak lahir (Fenilketonuria)
2. Faktor Perinatal :
- Abrupsio plasenta - Diabetes maternal
- Kelahiran prematur
3. Faktor Pasca natal :
- Cedera kepala
- Infeksi
- Gangguan degeneratif
b. Penyebab non organik
1. Kemiskinan dan keluarga tidak harmonis
2. Sosial cultural
3. Interaksi anak kurang
4. Penelantaran anak
c. Penyebab lain :
Keturunan, pengaruh lingkungan dan kelainan mental lain.
Retardasi mental dapat juga disebabkan oleh gangguan psikiatris berat
dengan deviasi psikososial atau lingkungan ( Ilmu Kesehatan Anak FKUI,
Jakarta )
Keadaan retardasi mental apabila IQ dibawah 70, retardasi mental tipe
ringan mampu dididik, sedangkan retardasi mental tipe berat dan sangat berat
memerlukan pengawasan dan bimbingan seumur hidup. Prevalensi retardasi
mental di Indonesia hingga saat ini belum diketahui secara pasti. Sekitar 3% dari
populasi umum mempunyai intelegensia (IQ) kurang dari simpang baku dibawah
rata-rata. Diperkirakan bahwa 80-90% individu dalam populasi adalah retardasi
mental dalam kisaran ringan, sementara hanya 5% populasi dengan retardasi
mental yang gangguannya berat sampai sangat berat (Nelson, 2000). Sedangkan
sisanya adalah retardasi mental dalam kisaran sedang. Orang tua selalu
mempunyai pengaruh yang paling kuat pada anak.
Peran wanita sebagai seorang ibu merupakan sumber stress tersendiri dan
stress akan menjadi semakin besar jika ibu memiliki anak penyandang cacat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak cacat cenderung
mengalami stress yang lebih besar daripada ibu yang memiliki anak normal
(Adams, 1999). Stress pada ibu yang memiliki anak cacat, khususnya retardasi
mental berhubungan dengan permasalahan perilaku anak tersebut. Hal ini
retardasi mental dapat menyebabkan ibu mengalami stress. Sebagian besar orang
tua terutama ibu akan mengalami shock bercampur perasaan sedih, khawatir,
cemas, takut, dan marah ketika pertama kali ibu mendengar diagnosis dokter
sebelumnya, bahkan sampai beberapa kali berganti dokter. Hal ini sangat
memukul perasaan ibu. Bagaimana tidak, anak yang sangat dicintainya harus
menderita suatu gangguan yang menyebabkan tidak berkembang sebagaimana
anak-anak semestinya.
Seorang ibu yang kurang bisa menerima keadaan anaknya dan memiliki
kesulitan dalam mengasuh anak cacat maka ibu akan mengalami situasi stress.
Situasi stress ini akan menimbulkan reaksi emosional tertentu pada individu.
Reaksi tersebut dapat meliputi reaksi positif (jika stress dapat ditangani) dan
reaksi negatif seperti kecemasan, kemarahan, dan depresi. Reaksi negatif timbul
jika stress yang dialami individu tidak dapat ditangani (Atkinson, 2000).
Reaksi-reaksi emosi yang mungkin muncul saat menghadapi situasi stres antara lain
kecemasan, kemarahan, dan agresi, apati, dan depresi serta gangguan kognitif.
Stress yang dialami ibu tidak hanya disebabkan oleh permasalahan perilaku
anak saja tetapi juga disebabkan oleh adanya perasaan pesimis ibu akan masa
depan anaknya. Hal ini diperkuat oleh Little (2000) bahwa stress yang dialami
oleh ibu dari anak penyandang cacat berhubungan dengan perasaan pesimis ibu
akan masa depan anak. Seorang memiliki anak penyandang retardasi mental
menganggap bahwa anak cacat memiliki masa depan yang tidak pasti (Liwag,
dalam Daulay, 2004). Faktor penyebab lain yang dapat menyebabkan seorang ibu
mengalami stress adalah harga diri. Kartono (1992) mengatakan bahwa rasa
percaya diri dan harga diri akan muncul setelah wanita melahirkan anak yang
sesuai dengan harapan pasangannya. Seorang ibu akan merasa lebih berharga jika
telah melahirkan anak sesuai dengan harapan pasangan (anak yang normal) dan
sebaliknya seorang ibu cenderung merasakan harga diri yang menurun jika
melahirkan anak yang tidak sesuai dengan harapan pasangannya (anak cacat).
Hal ini diperkuat oleh Telford & Sawrey (dalam Mangunsong, dkk, 1998) bahwa
menurun sehingga akan menimbulkan stress pada orang tua yang memiliki anak
cacat.
Menurut Lazarus dan Folkman (Lazarus dan Folkman), kondisi stress terjadi
bila terdapat kesengajaan atau ketidakseimbangan antara tuntutan dan
kemampuan. Tuntutan merupakan tekanan-tekanan yang tidak dapat diabaikan
karena jika tidak terpenuhi, mengakibatkan konsekuensi yang tidak
menyenangkan bagi individu. Tuntutan dapat diartikan sebagai gejala elemen
fisik atau mental individu, sebagai upaya individu menyesuaikan diri. Jadi,
reaksi stress terjadi pada individu yang menerima atau menilai situasi yang
datang padanya sebagai situasi yang menegangkan.
Lain lagi dengan A. Baum (dalam Abbas, 2007) yang mendefinisikan stress
sebagai pengalaman psikis (emosi) yang tidak menyenangkan yang diikuti
perubahan fisik, kognisi, dan tingkah laku yang ditujukan untuk mengubah stres
atau mengakomodasi akibatnya.
Kamus psikologi (Chaplin, J,P., 1968), mendefinisikan stress sebagai satu
keadaan tertekan, baik fisik maupun psikologis.
Stress pengasuhan menurut Abidin (Ahern, 2004) stress pengasuhan
digambarkan sebagai kecemasan dan ketegangan yang melampaui batas dan
secara langsung berhubungan dengan peran orangtua dan interaksi antara
orangtua dengan anak. Model stress pengasuhan Abidin (Ahern, 2004) juga
memberikan perumpamaan bahwa stress mendorong kearah tidak berfungsinya
pengasuhan orangtua terhadap anak, pada pokoknya menjelaskan ketidaksesuaian
respon orangtua dalam menghadapi konflik dengan anak-anak mereka.
Menurut Petterson, DeBaryshe & Ramsey (Ahern, 2004) mengatakan stress
pengasuhan yaitu stress memberikan peran dalam gangguan praktek pengasuhan
dan tidak berfungsinya manajemen keluarga.
Satidarma (Gunarsa, 2006) menyebutkan stress pengasuhan memiliki
kekhasan sendiri yaitu meliputi:
1.Kondisi anak termasuk perilaku anak yang menyimpang
2.Kondisi kehidupan meyeluruh yang menimbulkan stress
4.Fungsi keluarga, dan
5.Sumber material
Berdasarkan pengertian dan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa
stress pengasuhan yaitu tidak berfungsinya peran orangtua dalam pengasuhan dan
interaksi dengan anak karena ketidaksesuaian respon orangtua dalam menanggapi
konflik dengan anak.
1.Aspek-aspek stress pengasuhan
Model stress pengasuhan Abidin (Ahern, 2004) memberikan
perumpamaan bahwa stress mendorong kearah tidak berfungsinya pengasuhan
orangtua terhadap anak, pada pokoknya menjelaskan ketidaksesuaian respon
orangtua dalam menanggapi konflik dengan anak-anak mereka. Model ini
tentang pengasuhan orangtua yang dicerminkan dalam aspek-aspeknya
meliputi :
1. The parent distress
Stress pengasuhan disini menunjukkan pengalaman perassaan stress
orangtua sebagai sebuah fungsi dari faktor pribadi dalam memecahkan
personal stress lain yang secara langsung dihubungkan dengan peran
orangtua dalam pengasuhan anak. Tingkat stress pengasuhan ini
berhubungan dengan karakteristik individu yang mengalami gangguan.
Indikatornya meliputi :
a. Feelings of competence
Yaitu orangtua diliputi oleh tuntutan dari perannya dan kekurangan
perasaan akan kemampuannya dalam merawat anak. Hal ini dihubungkan
dengan kurangnya pengetahuan orangtua dalam hal perkembangan anak
dan ketrampilan managemen anak yang sesuai.
b. Social isolation
Yaitu orangtua merasa terisolasi secara sosial dan ketidakhadiran
dukungan emosional dari teman sehingga meningkatkan kemungkinan
tidak berfungsinya pengasuhan orangtua dalam bentuk mengabaikan
c. Restriction imposed by parent role
Yaitu adanya pembatasan pada kebebasan pribadi, orangtua melihat
dirinya sebagai hal yang dikendalikan dan yang dikuasai oleh kebutuhan
dan permintaan anaknya. Berhubungan dengan hilangnya penghargaan
terhadap identitas diri yang sering diekspresikan. Seringkali, adanya
kekecewaan dan kemarahan yang kuat yang dihasilkan oleh frustasinya.
d. Relationships with spouse
Yaitu adanya konflik antar hubungan orangtua yang mungkin menjadi
sumber stress utama. Konflik utamanya mungkin melibatkan
ketidakhadiran dukungan emosi dan material dari pasangan serta konflik
mengenai pendekatan dan strategi managemen anak.
e. Health of parent
Yaitu sampai taraf tertentu, efektifitas proses pengasuhan orangtua
terhadap anak dapat mempengaruhi kondisi kesehatan orangtua.
f. Parent depression
Yaitu orangtua mengalami beberapa gejala depresi ringan hingga
menengah dan rasa bersalah (kecewa), yang mana pada suatu waktu dapat
melemahkan kemampuannya untuk menangani tanggungjawabnya
terhadap pengasuhan. Permasalahan ini secara khas dihubungkan dengan
tingkatan depresi meliputi keluhan hilangnya energi.
2. The difficult child
Stress pengasuhan disini digambarkan dengan menghadirkan perilaku
anak sering terlibat dalam mempermudah pengasuhan atau malah lebih
mempersulit karena orangtua merasa anaknya memiliki banyak karakteristik
tingkah laku mengganggu. Indikatornya meliputi:
a. Child adaptability
Yaitu anak menunjukkan karakteristik perilaku yang membuat anak
sulit untuk diatur. Stress orangtua berhubungan dengan tugas pengasuhan
orangtua yang lebih sulit dalam ketidakmampuan anak untuk menyesuaikan
b. Child demands
Yaitu anak lebih banyak permintaan terhadap orangtua berupa
perhatian dan bantuan. Umumnya anak-anak sulit melakukan segala sesuatu
secara mandiri dan mengalami hambatan dalam perkembangannya.
c. Child mood
Yaitu orangtua merasa anaknya kehilangan perasaan akan hal-hal
positif yang biasanya merupakan ciri khas anak yang bisa dilihat dari
ekspresinya sehari-hari.
d. Distractability
Yaitu orangtua merasa anaknya menunjukkan perilaku yang terlalu
aktif dan sulit mengikuti perintah.
3. The parent-child dysfunctional interaction
Stress pengasuhan disini menunjukkan interaksi antara orangtua dan anak
yang tidak berfungsi dengan baik yang berfokus pada tingkat penguatan dari
anak terhadap orangtua serta tingkat harapan orangtua terhadap anak.
Indikatornya meliputi:
a. Child reinforced parent
Yaitu orangtua merasa tidak ada penguatan yang positif dari anaknya.
Interaksi antara orangtua dengan anak tidak menghasilkan perasaan yang
nyaman terhadap anaknya.
b. Acceprability of child to parent
Yaitu stress pengasuhan orangtua karena karakteristik anak seperti
intelektual, fisik, dan emosi yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan
orangtua sehingga lebih besar dapat menyebabkan penolakan orangtua.
c. Attachment
Yaitu orangtua tidak memiliki kedekatan emosional dengan anaknya
sehingga mempengaruhi perasaan orangtua. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa aspek stress pengasuhan khususnya pada ibu yang
memiliki anak retardasi mental. Aspek-aspek stress yang akan dipakai
stress pengasuhan Abidin (Ahern, 2004) yaitu the parent distress, the
difficult child, the parent-child dysfunctional interaction.
Berbagai definisi stress telah dikemukakan oleh beberapa ahli dengan
versinya masing-masing, walaupun pada dasarnya antara satu definisi dengan
yang lainnya terdapat inti persamaannya. Selye (1976) mendefinisikan stress
sebagai “the nonspesific response of the body to any demand”, sedangkan
Lazarus (1976) mendefinisikan “stress accurs where there arehis adjustive resources” demands on the person wich tax or exceed his adjustive resources” (Golberger & Breznitz, 1982). Dari kedua definisi diatas tampak bahwa stress
lebih dianggap respon individu terhadap tuntutan internal yang timbul sebagai
tuntutan fisiologis dan tuntutan eksternal yang muncul dalam bentuk fisik dan
sosial.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Miyahara (2008) didapati bahwa
sebagian keluarga dengan anak keterbelakangan mental terlihat memiliki
kehidupan yang lebih baik dibanding keluarga lain sedangkan di sisi lain
beberapa orang tua terutama ibu merasa terpuruk, mengakibatkan ibu tidak
mampu merawat anaknya dengan baik. Dalam penelitian itu didapatkan temuan
bahwa ibu yang sanggup bangkit untuk memberikan pengasuhan terbaik bagi
anak mereka adalah ibu yang mampu mengatasi stress psikologis mereka.
Hal itu sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Kumar (2008) bahwa
dalam mengatasi stres pengasuhan pada orang tua yang memiliki anak dengan
keterbelakangan mental dipengaruhi oleh sumber daya/kualitas pribadi orang tua,
dimana hal itu meliputi kesehatan fisik, moral yang baik,
kepercayaan/religiusitas, pengalaman dalam menangani masalah, ketrampilan
pengasuhan, kecerdasan, dan karakteristik kepribadian orang tua.
Pada observasi awal yang dilakukan peneliti yaitu dengan cara melakukan
interview awal pada ibu yang memiliki anak cacat, dijelaskan bahwa sebenarnya
awalnya seorang ibu merasa kecewa dan ada sedikit perasaan terpukul karena
anaknya cacat. Dan itu membuat hubungan awal antara ibu dan anak menjadi
kurang dekat. Tetapi lama kelamaan ini ibu menjadi seorang yang bisa menerima
Seorang ibu yang memiliki rasa sayang dan peduli akan mengusahakan
segala cara agar anak dapat mendapatkan lingkungan yang baik serta pendidikan
yang baik pula. Seorang ibu akan menyadari bahwa sekolah luar biasa sangat
perlu dan dapat menunjang perkembangan anaknya menjadi lebih baik.
Dalam memberikan pengasuhan seorang ibu tidak hanya melihat dari apa
yang diinginkan anak saja, tetapi juga apa yang seharusnya didapat dan
dibutuhkan oleh anak terutama pada pengasuhan anak cacat. Seorang anak cacat
seperti retardasi mental akan lebih membutuhkan perhatian khusus pada proses
perkembangannya.
Bardasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan
penelitian dengan judul “Tingkat stress pada ibu pengasuhan anak dengan
retardasi mental”. Yang didefinisikan sebagai,
1. Stress pengasuhan
Stress pengasuhan merupakan tidak berfungsinya peran orang tua dalam
pengasuhan dan interaksi dengan anak karena ketidaksesuaian respon orang tua
dalam menanggapi konflik dengan anak retardasi mental yang menghambat
dalam kelangsungan hidupnya.
2. Retardasi mental
Adalah kelainan dengan kelemahan jiwa dengan intelegensia yang kurang
(subnormal) sejak masa perkembangan (sejak masa lahir atau sejak masa
anak). (www.wordpress.com/2010/03/30/retardasimental)
Sehingga definisi operasional judul ini adalah mengetahui tingkat upaya
orang tua dalam mengasuh anak yang memiliki kelainan berupa retardasi mental,
sehingga memicu psikis orang tua yang berpotensi menimbulkan stress pada
orang tua dengan tingkat yang berbeda.
B.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
tingkat stress ibu dalam pengasuhan anak retardasi mental.
Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memperoleh manfaat sebagai
berikut:
a. Manfaat teoritis
Menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman tentang hal-hal
yang berkaitan dengan ibu yang memiliki anak penyandang cacat dan
mengenali tingkat stress, karena dengan melihat realita yang ada secara
langsung akan memudahkan untuk mengkaji permasalahan tersebut
sehingga dapat mengambil manfaat dari penelitian. Dan juga untuk
menambah wawasan keilmuan dan pengetahuan khususnya di bidang ilmu
psikologi Klinis dan Perkembangan.
b. Manfaat praktis
Bagi pembaca terutama pada ibu dapat dijadikan bahan acuan dan
masukan serta kritik konstruktif terutama dalam mengetahui perasaan dan
kondisi yang dialami seorang ibu jika memiliki anak retardasi mental serta
dapat dijadikan pedoman untuk memberikan pengasuhan yang tepat pada
anaknya yang retardasi mental.
C.Rencana Penelitian
1. Metode pengumpulan data
Dalam penelitian ini digunakan metode pengumpulan data yaitu, metode
skala. Adapun jenis skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala
Likert, dimana responden menanggapi setiap butir itu dengan mengungkapkan
taraf kesetujuan atau ketidaksetujuan.
Pada penelitian ini skala tingkat stress akan dikembangkan dengan
penskalaan yang menggunakan pendekatan respon dengan menggunakan
metode rating yang dijumlahkan (method of summated ratings) atau yang lebih
dikenal dengan dengan skala model Likert. Skala model Likert yang digunakan
ini didasarkan pada dua asumsi (Azwar, 2007), yaitu pernyataan yang
mendukung (favorable) pernyataan yang tidak mendukung (unfavorable) serta
jawaban positif yang diberikan oleh individu harus diberi bobot/nilai yang
a. Metode skala
Menggunakan suatu obyek sikap yang isi pernyataannya berupa
pernyataan langsung yang jelas tujuan ukurannya atau pernyataan yang
berupa pernyataan tidak langsung yang tampak kurang jelas ukurannya bagi
responden.
Karakteristik skala menurut Azwar (1999) adalah stimulusnya berupa
pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang
hendak diukur, melainkan mengungkap indikator perilaku atribut yang
bersangkutan. Atribut psikologis diungkap secara tidak langsung lewat
indikator-indikator perilaku, maka skala psikologis memiliki banyak item.
Respon subyek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban benar atau salah,
tetapi semua jawaban dapat diterima sebagai jawaban dapat diberikan secara
jujur dan sungguh-sungguh.
Tabel I.
Blue print skala tingkat stress
2. The difficult
Skala tingkat stress dikembangkan dengan penskalaan yang menggunakan
pendekatan respon dengan menggunakan skala Likert. Pertanyaan dan pernyataan
yang disajikan telah disertai dengan jawaban yang ditentukan dan memiliki dua
kelompok item, yaitu favorable dan unfavorable.
Pada masing-masing pernyataan dalam skala pengukuran ini mempunyai
empat kemungkinan jawaban, yaitu SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak
Setuju), STS (Sangat Tidak Setuju) sesuai dengan skala Likert (Azwar, 1994).
Subyek hanya memilih satu jawaban yang paling sesuai dengan dirinya.
Nilai yang diperoleh tergantung pada jawaban yang dipilih oleh subyek, dan
Tabel II.
2.Validitas dan reliabilitas alat tes
a. Uji validitas
Validitas menunjukkan bagaimana alat pengukur mampu mengukur
apa yang hendak diukur. Suatu alat tes atau instrument pengukur dapat
dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan
fungsi ukurannya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud
dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2006).
Apabila hubungan dari hasil hitungan dari koefisien korelasi
mempunyai nilai lebih besar dari nilai kritisnya pada taraf nyata 5% maka
dikatakan pertanyaan yang ada disebut valid.
Untuk menguji validitas, digunakan teknik korelasi Product Moment
dari Karl Pearson yaitu dengan cara mengkorelasikan tiap butir dengan skor
totalnya. Rumus yang digunakan (Winarsunu, 2006:74) yaitu :
ΣY = jumlah nilai (skor total) ΣY² = jumlah kuadrat skor total
ΣXY = jumlah perkalian antara skor item dan skor total
Berdasarkan hasil analisis uji validitas dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel III.
Uji validitas skala tingkat stress ibu pada pengasuhan anak retardasi mental
3. The
parent-Tabel hasil perhitungan validitas di atas menunjukkan bahwa skala
tingkat stress ibu pada pengasuhan anak retardasi mental yang berjumlah 50
item diperoleh 46 item valid dan 4 item tidak valid. (berdasarkan hasil olahan
SPSS) r= 0.349. Berdasarkan hasil perhitungan item yang tidak valid yaitu
pada item nomer 46, 47, 48, dan 50.
b. Uji reliabilitas
Reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat
dipercaya, sehingga nantinya hasil pengukurannya dapat dipercaya apabila
dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek
yang sama, maka akan didapatkan hasil yang relatif sama, selama aspek
dalam diri subyek yang di ukur memang belum berubah (Azwar, 2006)
Reliabilitas instrumen menunjukkan bagaimana alat pengukur dapat
diandalkan atau menunjukkan konsistensi alat pengukur dalam pengukuran.
Sebuah alat ukur dikatakan reliabel, andaikan pengulangan pengukuran
untuk subyek penelitian yang sama menunjukkan hasil yang konsisten.
Tingkat reliabilitas suatu alat ukur dapat diketahui dengan menggunakan
metode internal consistency. Metode ini hanya memerlukan satu kali
pengujian tes saja. Karena tes ini diterapkan untuk mengetahui apakah
responden telah menjawab pertanyaan-pertanyaan secara konsisten,
diketahui bahwa nilai r= 0,7048 > 0,6 artinya pertanyaan yang disebar
reliabel.
3. Metode analisa data
Analisa data dan proses mengatur, mengkonstruksi dan mengartikan
sejumlah data yang terkumpul. Adapun untuk mengetahui tingkat stress ibu
pada pengasuhan anak cacat (retardasi mental) maka untuk menentukan dan
mempermudah pengukuran tingkat stress yaitu dengan menggunakan rumus
T-score (Azwar, 2000), yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai
berikut :
S X X 10 + 50 = T
Keterangan:
T = T Skor
X = Skor responden pada skala yang hendak diubah menjadi skor T
X = Mean skor kelompok
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Muhammadiyah Malang Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Akademik Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Psikologi
Disusun Oleh: Widiana Puspitasari
05810257
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Muhammadiyah Malang Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Akademik Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Psikologi
Disusun Oleh: Widiana Puspitasari
05810257
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
Judul Skripsi : Tingkat Stress pada Ibu Pengasuhan Anak dengan Retardasi
Mental
Nama Peneliti : Widiana Pupitasari
No. Induk Mahasiswa : 05810223
Fakultas : Psikologi
Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang
Malang, Agustus 2012
Pembimbing
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Widiana Pupitasari
Tempat, Tanggal Lahir : Malang, 29 April 1987
NIM : 05810257
Fakultas : Psikologi
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
Menyatakan bahwa karya ilmiah (skripsi) dengan judul:
TINGKAT STRES PADA IBU PENGASUHAN ANAK DENGAN RETARDASI MENTAL
1. Adalah bukan karya tulis ilmiah (skripsi) orang lain, baik sebagian ataupun
seluruhnya, kecuali dalam bentuk kutipan yang telah saya sebutkan sumbernya.
2. Hasil tulisan karya ilmiah/ skripsi dari penelitian yang saya lakukan merupakan
Hak bebas Royalti non ekslusif, apabila digunakan sebagai sumber pustaka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila
pernyataan ini tidak benar, saya bersedia mendapatkan sanksi sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Mengetahui.
Ketua Program Studi
M. Salis Yuniardi, S.Psi, M.Psi
Malang, Agustus 2012
Yang Menyatakan
Dipertahankan di depan penguji skripsi Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Malang dan diterima untuk memenuhi syarat
guna memperoleh derajat (S-1) Psikologi
pada tanggal
Dewan Penguji
Ketua Penguji : Tri Dayakisni, Dra. M.Si __________________
Anggota Penguji : 1. Diantini Ida Viatrie, S.Psi. M.Si __________________
2. Adhyatman Prabowo S.Psi M.Psi __________________
Mengesahkan
Dekan Fakultas Psikologi
Segala puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya
yang telah dilimpahkan kepada penulis dan berkat bimbingan bapak dan ibu dosen,
penulis dapat menyusun skripsi dengan judul “Tingkat Stress pada Ibu Pengasuhan Anak dengan Retardasi Mental”
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak dapat selesai tanpa
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis
sampaikan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Psikologi Cahyaning Suryaningrum, Dra. M.Si, Psi yang telah
memberikan kemudahan administrasi.
2. Pembimbing I, Ibu Dra. Tri Dayakisni, M.Si yang telah banyak mengorbankan
waktu dan tenaga untuk memberikan bimbingan, arahan dan masukan dalam
penyusunan skripsi ini. Terima kasih banyak ya bu, maaf selalu salah dan
membutuhkan ekstra kesabaran.
3. Dosen Penguji Ibu Diantini Ida Viatrie, S.Psi. M.Si dan Bapak Adhyatman
Prabowo S.Psi M.Psi. Terima kasih untuk saran dan masukan yang sangat berarti
untuk perbaikan penulis.
4. Bapak Ari Firmanto, S.Psi selaku dosen wali Fakultas Psikologi kelas E angkatan
2005. Terima kasih atas bimbingan akademiknya selama ini.
5. Seluruh dosen dan staf karyawan Fakultas Psikologi UMM.
6. Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Malang yang telah memudahkan
peneliti dalam rangka pengambilan data.
7. Mama Wahyu Widowati , Papa Ahmad Subandi, Rahmad Makhyudin tersayang
dan satu-satunya, terimakasih yaa untuk segala pengorbanannya. Terimakasih
untuk kesabaran, doa, dan kalian merupakan penyemangat terbesarku. Love ya
Edo, Koko, Rifki, Eko, Rahma Amalia, Ayic, Anggun, Bayu, Nevita umpil, Aris
remiyandelan, Okky, Putra, Rezki, Aris Ngawi, makasih smangatnya. Mba Qory
untuk skalanya terimakasih ya.
9. Ardi Mahendra. Temen seperjuangan. Terimakasih supportnya. ☺
10.Mbak Nur buat bimbingannya, yang selalu sabar.
11.Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas
bantuan dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, jika
terdapat kelebihan dalam skripsi ini, maka semua datangnya dari Allah SWT, dan
jika terdapat kekurangan, itu tidak terlepas dari penulis sebagai makhluk
ciptaan-Nya. Kiranya semua pihak yang telah memberikan bantuannnya mendapatkan
rahmat dan hidayah yang melimpah dari Allah SWT. Dan semoga skripsi ini
bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.
Malang, Agustus 2012
Penulis,
v
Kata Pengantar ... i
Intisari ... . iii
Abstract ... iv
Daftar Isi ... v
Daftar Tabel ... vi
Daftar Lampiran ... vii
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10
1. Tujuan Penelitian ... 10
2. Manfaat Penelitian ... 10
C.Rencana Penelitian ... 11
1. Metode Pengumpulan Data ... 11
2. Validitas dan reliabilitas alat tes ... 14
3. Metode Analisa Data ... 17
BAB II PENGUMPULAN DATA A.Prosedur Pengumpulan Data ... 18
B.Deskripsi Data ... 19
1. Subyek Penelitian ... 19
2. Data Penelitian ... 19
3. Permasalahan ... 20
C.Analisa Data ... 21
D.Pembahasan ... 22
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 27
B. Saran ... 27
DAFTAR PUSTAKA ... 29
vi
Halaman Tabel I Blue print skala tingkat stress ... 12
Tabel II Skala pengukuran ... 14
Tabel III Uji validitas skala tingkat stress ibu pada pengasuhan
anak retardasi mental ... 15
vii
Halaman
Tabel I Blue print skala tingkat stress ...13
Tabel II Skala pengukuran ……….14
Tabel III Uji validitas skala tingkat stress ibu pada pengasuhan anak retardasi mental...15
Tabel IV Hasil perhitungan T-Score tingkat stres...22
iii
Puspitasari, Widiana. (2012). Tingkat Stress Ibu pada Pengasuhan Anak Retardasi Mental. Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang, Pembimbing : Tri Dayakisni, Dra. M.Si,
Kata Kunci: Stress pengasuhan.
Memiliki anak yang normal baik fisik maupun mental adalah harapan bagi semua orangtua, sehingga kecatatan fisik maupun mental dianggap sebagai sebuah kelemahan tersendiri, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua pasangan dikaruniai anak yang normal, dalam hal ini mengalami retardasi mental. Salah satu beban fisik penyebab stres pada orang tua dari anak retardasi mental berkaitan dengan ketidakmampuan anak dalam melakukan aktivitas sehari-hari membuat orang tua khususnya ibu harus selalu membantu dan mendampingi anaknya. Hal itu tentu saja menyebabkan kelelahan fisik. Sedangkan beban psikis yang dirasakan orang tua berkaitan dengan proses penerimaan mulai dari rasa kaget, kecewa, rasa bersalah atas kondisi anak, serta ada tidaknya dukungan dari keluarga. Ditambah lagi dengan beban sosial di mana respon yang negatif dari masyarakat membuat orang tua menjadi malu dan menarik diri dari kehidupan social. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak retardasi mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) di kota Malang. Penelitian ini merupakan penelitian Kuantitatif Deskriptif dengan menggunakan T-Score untuk mengetahui tingkat stress ibu pada pengasuhan anak cacat (retardasi mental). Adapun sampel dalam penelitian ini adalah ibu kandung yang memiliki anak retardasi mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) di kota Malang berjumlah 30orang.
iv
Mental Retardation. Thesis, Faculty of Psychology, University of Muhammadiyah Malang, Advisor: Tri Dayakisni, Dra. M.Si,
Keywords: Parenting Stress.
Having normal children physically and mentally is the hope for all parents, so physically and mentally retarded considered as a weakness, but in reality, not all couples are given normal children, in this case mentally retarded. One of the causes of the physical burden on parents with mentally retarded children associated with the children inability to perform daily activities have made parents, especially mothers, should always help and assist the children. This led to physical exhaustion. While the psychological burdens related to the initial stage starting from shocked, disappointment, guilt over the children condition, and the presence or absence of family support. Social burden over negative response from the society have made parents ashamed and withdrew themselves from social life. The purpose of this study was to determine the mothers’ parenting stress on children with mental retardation at the Foundation for Development of Disabled Children (YPAC) in Malang. This is quantitative descriptive research using T-Score to determine the level of mothers parenting stress on children with disabilities (mental retardation). Thirty biological mothers with retarded children were used as samples at the Foundation for Development of Disabled Children (YPAC) Malang.
29
Abbas, Abdullah bin. 2007. Kiat Mengatasi Stres Anak Melalui Sikap Kasih
Sayang Orang tua. Jakarta: Restu Agung.
Atkinson, R.L, dkk (2000). Hilgards Introduction to Psycology. (13th ed). Editor:
Smith, Carolyn D. Harcourt Collage Publishers.
Azwar, S. (1994). Reliabilitas dan validitas (cetakan pertama). Yogyakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
. (1999). Reliabilitas dan validitas: Seri pengukuran Psikologi.
Yogyakarta: Sigma Alpha.
. (2000). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
. (2006). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
. (2007). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Chaplin, JP. 1968. Digtionary of Psycology (Kamus Lengkap Psikologi).
(terjemahan). Jakarta: Rajawali.
Gunarsa, D.S. 2006. Dari Anak Sampai Usia Lanjut : Bunga Rampai Psikologi.
Perkembangan. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
Haidar Putra Daulay, (2004). Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan
Nasional di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, Cet. Ke-1.
Kartono, K. (1992). Psikologi wanita: Mengenal Wanita Sebagai Ibu dan Nenek.
Jilid 2. Bandung: Mandar Maju.
Kerlinger. F. (2004). Asas-asas penelitian behavioral. Edisi III. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
30
Nelson (2000). Ilmu Kesehatan Anak vol. 2. Jakarta: EGC
Prabowo, H& Dwi, R. (1998). Psikologi Umum 2: Seri diktat kuliah. Jakarta: Gunadarma.
Selye, Hans. 1976. The Stres of Life. New York: McGraw-Hill Book Company, Inc.