• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Karakteristik Ruang Terbuka Hijau pada Kota Pulau di Indonesia (Studi Kasus Kota Batam, Kota Tarakan Dan Kota Ternate)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi Karakteristik Ruang Terbuka Hijau pada Kota Pulau di Indonesia (Studi Kasus Kota Batam, Kota Tarakan Dan Kota Ternate)"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Kasus Kota Batam, Kota Tarakan Dan Kota Ternate)

HUDI WIDYARTA

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

Kota Pulau Di Indonesia (Studi Kasus Kota Batam, Kota Tarakan Dan Kota Ternate). Di bawah Bimbingan ALINDA F.M. ZAIN.

Menurut undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang perencanaan tata ruang, pasal 29 menyatakan bahwa proporsi ruang terbuka hijau di daerah perkotaan sekurang-kurangnya 30% dari wilayah kota. Meskipun memiliki kualitas visual yang tinggi nilai, tetapi kota pulau juga rentan terhadap ancaman gempa bumi, tsunami, dan degradasi lingkungan karena kebutuhan pembangunan besar ruang di lahan terbatas. Karena karakter tidak stabil, maka diperlukan pengetahuan tentang karakter lanskap pada kota pulau.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penggunaan dan penutupan lahan pada masing-masing kota dengan analisis spasial, menganalisis distribusi, pola dan luasan RTH pada kota pulau serta mengidentifikasi distribusi ruang terbuka hijau ideal pada kota pulau. Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi empat tahapan yaitu persiapan, pengambilan data sekunder, analisis dan penyajian hasil. Tempat yang dipilih dalam melakukan penelitian ini adalah Kota Batam (Provinsi Kepulauan Riau), Kota Tarakan (Provinsi Kalimantan Timur) dan Kota Ternate (Provinsi Maluku Utara). Masing –masing kota dipilih berdasarkan pembagian wilayah, yaitu Kota Batam untuk wilayah Indonesia barat, Kota Tarakan untuk wilayah Indonesia tengah, dan Kota Ternate untuk wilayah Indonesia timur.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik pengolahan data spasial menggunakan teknik penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Data yang digunakan dalam menganalisis penutupan lahan masing-masing wilayah studi adalah Landsat 7 ETM+ tahun 2009, peta administrasi masing-masing wilayah dan peta rencana tata ruang wilayah masing-masing kota. Keseluruhan data tersebut diolah menggunakan perangkat lunak pengolah data citra satelit digital dan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis. Hasil akhir yang diperoleh dari penelitian ini adalah informasi spasial dan atributnya dalam bentuk peta penggunaan dan penutupan lahan serta peta sebaran ruang terbuka hijau. Bentuk penyajian hasil akhir dari proses penelitian ini tidak hanya dalam bentuk informasi spasial tetapi juga dalam bentuk deskripsi mengenai distribusi, pola penyebaran dan luasan ruang terbuka hijau serta tabulasi.

(3)

(48,7%). Kemudian untuk ruang terbuka hijau dan badan air memiliki luasan lebih kecil dari kawasan terbangun dengan masing-masing luas 22.870,4 ha (44%) dan 3.774,6 ha (7,3%). Berdasarkan rencana tata ruang wilayah Kota Batam tahun 2004 - 2014, yang termasuk kawasan RTH adalah kawasan hutan lindung, kawasan taman wisata alam, kawasan pertanian, kawasan ekowisata, kawasan cagar budaya dan kawasan perlindungan mangrove. Sedangkan kawasan terbangun antara lain kawasan pusat pemerintahan, kawasan perdagangan dan jasa, kawasan industri, kawasan pemukiman, kawasan bandara, lingkungan kerja pelabuhan, dan lingkungan pelayanan industri kelautan. Sedangkan badan air mencakup sungai dan waduk. Hasil pengolahan rencana tata ruang wilayah Kota Batam, menunjukkan bahwa kelas penutupan lahan didominasi oleh kawasan terbangun dengan luas 33.766 ha (65%). Kemudian untuk ruang terbuka hijau dan badan air memiliki luasan lebih kecil dari kawasan terbangun dengan masing-masing luas 17.054,7 ha (32,8%) dan 1.137,2 ha (2,2%).

Letak dan posisi yang strategis telah mampu menjadikan Kecamatan Tarakan sebagai salah satu sentra industri di wilayah Kalimantan Timur bagian utara sehingga pemerintah perlu untuk meningkatkan statusnya menjadi Kota Administratif sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.47 Tahun 1981. Status Kota Administratif kembali ditingkatkan menjadi Kotamadya berdasarkan Undang-Undang RI No.29 Tahun 1997 yang peresmiannya dilakukan langsung oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 15 Desember 1997, sekaligus menandai tanggal tersebut sebagai hari jadi Kota Tarakan.

Kota Tarakan terletak pada path/row: 117/058 Landsat 7 ETM+. Dari hasil pengolahan citra landsat tahun 2009 Pulau Tarakan, meunjukkan bahwa kelas penutupan lahan didominasi oleh kawasan ruang terbuka hijau dengan luas 12.358 ha (49%). Kemudian untuk kawasan terbangun memiliki luas 11.079,9 ha (43,8%) dan badan air memiliki luasan terkecil 1.821,06 ha (7,2%). Badan air pada Pulau Tarakan terletak di pantai, yang kemungkinan besar adalah rawa. Kemungkinan ini didapatkan setelah mengamati komposisi warna pada citra landsat yang berwarna biru kehijau-hijauan. Berdasarkan rencana tata ruang wilayah Kota Tarakan tahun 2006-2013, yang termasuk kawasan RTH adalah lapangan tembak, kawasan hutan lindung, konservasi mangrove, hutan kota. Sedangkan untuk kawasan terbangun antara lain pemukiman, dermaga, terminal, industri kecil, kawasan komersial, industri besar, industri terpadu, kawasan pendidikan, pertambangan dan kawasan perdagangan dan jasa. Dari hasil pengolahan rencana tata ruang wilayah Kota Tarakan, meunjukkan bahwa kelas penutupan lahan didominasi oleh kawasan terbangun dengan luas 14.046,4 ha (55,6%). Kemudian untuk ruang terbuka hijau memiliki luasan lebih kecil dari kawasan terbangun dengan luas 11.212,4 ha (44,4%). Pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tarakan, badan air tidak diikutsertakan dalam dokumen.

(4)

9.181,4 ha (83%). Kemudian untuk kawasan terbangun dan badan air memiliki luasan lebih kecil dari kawasan ruang terbuka hijau dengan masing-masing luas 1.703,8 ha (15,3%) dan 184,6 ha (1,7%). Berdasarkan rencana tata ruang wilayah Kota Ternate tahun 2006-2016, yang termasuk kawasan RTH adalah kawasan lindung, kawasan pertanian, kawasan peternakan. Sedangkan yang termasuk kawasan terbangun antara lain kawasan industri, kawasan bandara, kawasan pemukiman, kawasan perkotaan, kawasan pendidikan. Dari hasil pengolahan rencana tata ruang wilayah Kota Ternate, menunjukkan bahwa kelas penutupan lahan didominasi oleh kawasan ruang terbuka hijau dengan luas 6.452 ha (58,3%). Kemudian untuk kawasan terbangun memiliki luasan lebih kecil dari kawasan ruang terbuka hiaju yakni sebesar 4.617,9 ha (41,7%). Pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Ternate, badan air tidak diikutsertakan dalam dokumen.

(5)

(Studi Kasus Kota Batam, Kota Tarakan Dan Kota Ternate)

HUDI WIDYARTA A44051696

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)

Ternate)

Nama : Hudi Widyarta

NIM : A44051696

Mayor : Arsitektur Lanskap

Disetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Alinda F.M. Zain, Msi NIP: 19660126 199103 2 002

Diketahui,

Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA. NIP: 19480912 197412 2 001

(7)

Penulis dilahirkan di Jember pada tanggal 16 Oktober 1987. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari Bapak Drs. Nurhadi dan Ibu Endang Sri Atuti

Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1999 di SDN Ronggomulyo 1 Tuban, kemudian dilanjutkan di SLTPN 1 Tuban selesai pada tahun 2002. Pada tahun 2005 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan di SMA N 1 Tuban. Pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor (TPB IPB) melalui Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Pada semester ketiga, penulis diterima pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian.

(8)

Puji Tuhan, segala puji dan hormat bagi Allah Bapa atas kasih, berkat, dan karunia yang di berikanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penelitian yang berjudul “Identifikasi Karakteristik Ruang Terbuka Hijau pada Kota Pulau di Indonesia (Studi Kasus Kota Batam, Kota Tarakan dan Kota Ternate)” merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Skripsi yang penulis hasilkan ini tidak terlepas dari bantuan, kritikan, masukan dan saran dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Papa & ibuku, Mas Awin dan Ipung atas segala doa, dorongan dan kasih sayang yang tulus.

2. Ibu Dr.Ir. Alinda F.M. Zain, Msi selaku dosen pembimbing untuk perhatian, waktu dan kesabaran.

3. Mas Miki dan Mas Agus atas ilmunya tentang RS-GIS, Mas Yudi untuk ilmu yang diberikan, segala bantuan dan bimbingan dan waktu luang yang diberikan. 4. Dr.Ir Setia Hadi, MS selaku dosen pembimbing akademik atas perhatian dan

arahan selama penulis menjadi mahasiswa di departemen arsitektur lanskap. 5. Dr.Ir. Nizar Nazrullah,MAgr dan Dr. Syartinilia, SP,MSi selaku dosen penguji

atas segala masukan dan saran.

6. Dhofir, Ian dan Une (“The 4 Team”), untuk kebersamaan selama menjadi anak bimbing ibu.

7. Eympul dan Bapao atas bantuan yang diberikan.

8. Teman-teman seperjuangan di Lanskap 42 atas segala persahabatan dan

kebersamaan yang diberikan selama kuliah serta dukungan dalam penyelesaian tugas akhir.

9. Teman Lanskap lainnya dari angkatan 39, 40, 41, 43, 44

(9)

motivasi yang diberikan.

12.Teman-teman seperatauan OMDA IPMRT (Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Ronggolawe Tuban) atas segala kebersamaan dan bantuan selama kuliah di IPB.

Bogor, Januari 2010

(10)

KATA PENGANTAR ... i

2.4. Sistem Informasi Geografi (SIG) ... 12

       2.4.1. Pengertian SIG ... 12

2.4.2. Komponen SIG ... 13

2.5. Penginderaan Jauh (Remote Sensing)... 14

2.4.1. Definisi Penginderaan Jauh ... 14

2.5.2. Elemen Dasar ... 14

2.5.3. Citra Landsat ... 15

2.6 Aplikasi Sistem Informasi Geografi dan Penginderaan Jauh ... 15

III. KONDISI UMUM WILAYAH STUDI ... 17

3.1. Kota Batam ... 17

3.1.1. Sejarah Terbentuknya Kota ... 17

3.1.2. Letak Geografis dan Administratif... 18

3.1.3. Iklim ... 19

3.1.4. Topografi dan Kemiringan Lereng ... 19

3.1.5. Geologi ... 20

3.1.6. Penduduk ... 20

3.1.7. RTRW ... 21

3.2. Kota Tarakan ... 22

3.2.1. Sejarah Terbentuknya Kota ... 22

(11)

(Studi Kasus Kota Batam, Kota Tarakan Dan Kota Ternate)

HUDI WIDYARTA

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(12)

Kota Pulau Di Indonesia (Studi Kasus Kota Batam, Kota Tarakan Dan Kota Ternate). Di bawah Bimbingan ALINDA F.M. ZAIN.

Menurut undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang perencanaan tata ruang, pasal 29 menyatakan bahwa proporsi ruang terbuka hijau di daerah perkotaan sekurang-kurangnya 30% dari wilayah kota. Meskipun memiliki kualitas visual yang tinggi nilai, tetapi kota pulau juga rentan terhadap ancaman gempa bumi, tsunami, dan degradasi lingkungan karena kebutuhan pembangunan besar ruang di lahan terbatas. Karena karakter tidak stabil, maka diperlukan pengetahuan tentang karakter lanskap pada kota pulau.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penggunaan dan penutupan lahan pada masing-masing kota dengan analisis spasial, menganalisis distribusi, pola dan luasan RTH pada kota pulau serta mengidentifikasi distribusi ruang terbuka hijau ideal pada kota pulau. Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi empat tahapan yaitu persiapan, pengambilan data sekunder, analisis dan penyajian hasil. Tempat yang dipilih dalam melakukan penelitian ini adalah Kota Batam (Provinsi Kepulauan Riau), Kota Tarakan (Provinsi Kalimantan Timur) dan Kota Ternate (Provinsi Maluku Utara). Masing –masing kota dipilih berdasarkan pembagian wilayah, yaitu Kota Batam untuk wilayah Indonesia barat, Kota Tarakan untuk wilayah Indonesia tengah, dan Kota Ternate untuk wilayah Indonesia timur.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik pengolahan data spasial menggunakan teknik penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Data yang digunakan dalam menganalisis penutupan lahan masing-masing wilayah studi adalah Landsat 7 ETM+ tahun 2009, peta administrasi masing-masing wilayah dan peta rencana tata ruang wilayah masing-masing kota. Keseluruhan data tersebut diolah menggunakan perangkat lunak pengolah data citra satelit digital dan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis. Hasil akhir yang diperoleh dari penelitian ini adalah informasi spasial dan atributnya dalam bentuk peta penggunaan dan penutupan lahan serta peta sebaran ruang terbuka hijau. Bentuk penyajian hasil akhir dari proses penelitian ini tidak hanya dalam bentuk informasi spasial tetapi juga dalam bentuk deskripsi mengenai distribusi, pola penyebaran dan luasan ruang terbuka hijau serta tabulasi.

(13)

(48,7%). Kemudian untuk ruang terbuka hijau dan badan air memiliki luasan lebih kecil dari kawasan terbangun dengan masing-masing luas 22.870,4 ha (44%) dan 3.774,6 ha (7,3%). Berdasarkan rencana tata ruang wilayah Kota Batam tahun 2004 - 2014, yang termasuk kawasan RTH adalah kawasan hutan lindung, kawasan taman wisata alam, kawasan pertanian, kawasan ekowisata, kawasan cagar budaya dan kawasan perlindungan mangrove. Sedangkan kawasan terbangun antara lain kawasan pusat pemerintahan, kawasan perdagangan dan jasa, kawasan industri, kawasan pemukiman, kawasan bandara, lingkungan kerja pelabuhan, dan lingkungan pelayanan industri kelautan. Sedangkan badan air mencakup sungai dan waduk. Hasil pengolahan rencana tata ruang wilayah Kota Batam, menunjukkan bahwa kelas penutupan lahan didominasi oleh kawasan terbangun dengan luas 33.766 ha (65%). Kemudian untuk ruang terbuka hijau dan badan air memiliki luasan lebih kecil dari kawasan terbangun dengan masing-masing luas 17.054,7 ha (32,8%) dan 1.137,2 ha (2,2%).

Letak dan posisi yang strategis telah mampu menjadikan Kecamatan Tarakan sebagai salah satu sentra industri di wilayah Kalimantan Timur bagian utara sehingga pemerintah perlu untuk meningkatkan statusnya menjadi Kota Administratif sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.47 Tahun 1981. Status Kota Administratif kembali ditingkatkan menjadi Kotamadya berdasarkan Undang-Undang RI No.29 Tahun 1997 yang peresmiannya dilakukan langsung oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 15 Desember 1997, sekaligus menandai tanggal tersebut sebagai hari jadi Kota Tarakan.

Kota Tarakan terletak pada path/row: 117/058 Landsat 7 ETM+. Dari hasil pengolahan citra landsat tahun 2009 Pulau Tarakan, meunjukkan bahwa kelas penutupan lahan didominasi oleh kawasan ruang terbuka hijau dengan luas 12.358 ha (49%). Kemudian untuk kawasan terbangun memiliki luas 11.079,9 ha (43,8%) dan badan air memiliki luasan terkecil 1.821,06 ha (7,2%). Badan air pada Pulau Tarakan terletak di pantai, yang kemungkinan besar adalah rawa. Kemungkinan ini didapatkan setelah mengamati komposisi warna pada citra landsat yang berwarna biru kehijau-hijauan. Berdasarkan rencana tata ruang wilayah Kota Tarakan tahun 2006-2013, yang termasuk kawasan RTH adalah lapangan tembak, kawasan hutan lindung, konservasi mangrove, hutan kota. Sedangkan untuk kawasan terbangun antara lain pemukiman, dermaga, terminal, industri kecil, kawasan komersial, industri besar, industri terpadu, kawasan pendidikan, pertambangan dan kawasan perdagangan dan jasa. Dari hasil pengolahan rencana tata ruang wilayah Kota Tarakan, meunjukkan bahwa kelas penutupan lahan didominasi oleh kawasan terbangun dengan luas 14.046,4 ha (55,6%). Kemudian untuk ruang terbuka hijau memiliki luasan lebih kecil dari kawasan terbangun dengan luas 11.212,4 ha (44,4%). Pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tarakan, badan air tidak diikutsertakan dalam dokumen.

(14)

9.181,4 ha (83%). Kemudian untuk kawasan terbangun dan badan air memiliki luasan lebih kecil dari kawasan ruang terbuka hijau dengan masing-masing luas 1.703,8 ha (15,3%) dan 184,6 ha (1,7%). Berdasarkan rencana tata ruang wilayah Kota Ternate tahun 2006-2016, yang termasuk kawasan RTH adalah kawasan lindung, kawasan pertanian, kawasan peternakan. Sedangkan yang termasuk kawasan terbangun antara lain kawasan industri, kawasan bandara, kawasan pemukiman, kawasan perkotaan, kawasan pendidikan. Dari hasil pengolahan rencana tata ruang wilayah Kota Ternate, menunjukkan bahwa kelas penutupan lahan didominasi oleh kawasan ruang terbuka hijau dengan luas 6.452 ha (58,3%). Kemudian untuk kawasan terbangun memiliki luasan lebih kecil dari kawasan ruang terbuka hiaju yakni sebesar 4.617,9 ha (41,7%). Pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Ternate, badan air tidak diikutsertakan dalam dokumen.

(15)

(Studi Kasus Kota Batam, Kota Tarakan Dan Kota Ternate)

HUDI WIDYARTA A44051696

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(16)

Ternate)

Nama : Hudi Widyarta

NIM : A44051696

Mayor : Arsitektur Lanskap

Disetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Alinda F.M. Zain, Msi NIP: 19660126 199103 2 002

Diketahui,

Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA. NIP: 19480912 197412 2 001

(17)

Penulis dilahirkan di Jember pada tanggal 16 Oktober 1987. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari Bapak Drs. Nurhadi dan Ibu Endang Sri Atuti

Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1999 di SDN Ronggomulyo 1 Tuban, kemudian dilanjutkan di SLTPN 1 Tuban selesai pada tahun 2002. Pada tahun 2005 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan di SMA N 1 Tuban. Pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor (TPB IPB) melalui Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Pada semester ketiga, penulis diterima pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian.

(18)

Puji Tuhan, segala puji dan hormat bagi Allah Bapa atas kasih, berkat, dan karunia yang di berikanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penelitian yang berjudul “Identifikasi Karakteristik Ruang Terbuka Hijau pada Kota Pulau di Indonesia (Studi Kasus Kota Batam, Kota Tarakan dan Kota Ternate)” merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Skripsi yang penulis hasilkan ini tidak terlepas dari bantuan, kritikan, masukan dan saran dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Papa & ibuku, Mas Awin dan Ipung atas segala doa, dorongan dan kasih sayang yang tulus.

2. Ibu Dr.Ir. Alinda F.M. Zain, Msi selaku dosen pembimbing untuk perhatian, waktu dan kesabaran.

3. Mas Miki dan Mas Agus atas ilmunya tentang RS-GIS, Mas Yudi untuk ilmu yang diberikan, segala bantuan dan bimbingan dan waktu luang yang diberikan. 4. Dr.Ir Setia Hadi, MS selaku dosen pembimbing akademik atas perhatian dan

arahan selama penulis menjadi mahasiswa di departemen arsitektur lanskap. 5. Dr.Ir. Nizar Nazrullah,MAgr dan Dr. Syartinilia, SP,MSi selaku dosen penguji

atas segala masukan dan saran.

6. Dhofir, Ian dan Une (“The 4 Team”), untuk kebersamaan selama menjadi anak bimbing ibu.

7. Eympul dan Bapao atas bantuan yang diberikan.

8. Teman-teman seperjuangan di Lanskap 42 atas segala persahabatan dan

kebersamaan yang diberikan selama kuliah serta dukungan dalam penyelesaian tugas akhir.

9. Teman Lanskap lainnya dari angkatan 39, 40, 41, 43, 44

(19)

motivasi yang diberikan.

12.Teman-teman seperatauan OMDA IPMRT (Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Ronggolawe Tuban) atas segala kebersamaan dan bantuan selama kuliah di IPB.

Bogor, Januari 2010

(20)

KATA PENGANTAR ... i

2.4. Sistem Informasi Geografi (SIG) ... 12

       2.4.1. Pengertian SIG ... 12

2.4.2. Komponen SIG ... 13

2.5. Penginderaan Jauh (Remote Sensing)... 14

2.4.1. Definisi Penginderaan Jauh ... 14

2.5.2. Elemen Dasar ... 14

2.5.3. Citra Landsat ... 15

2.6 Aplikasi Sistem Informasi Geografi dan Penginderaan Jauh ... 15

III. KONDISI UMUM WILAYAH STUDI ... 17

3.1. Kota Batam ... 17

3.1.1. Sejarah Terbentuknya Kota ... 17

3.1.2. Letak Geografis dan Administratif... 18

3.1.3. Iklim ... 19

3.1.4. Topografi dan Kemiringan Lereng ... 19

3.1.5. Geologi ... 20

3.1.6. Penduduk ... 20

3.1.7. RTRW ... 21

3.2. Kota Tarakan ... 22

3.2.1. Sejarah Terbentuknya Kota ... 22

(21)

3.2.6. Penduduk ... 24

3.2.7. RTRW ... 25

3.3. Kota Ternate ... 26

3.3.1. Sejarah Terbentuknya Kota ... 26

3.3.2. Letak Geografis dan Administratif... 27

3.3.3. Iklim ... 27

3.3.4. Topografi dan Ketinggian Wilayah ... 27

3.3.5. Geologi ... 28

4.3. Metode dan Tahapan Penelitian ... 32

4.3.1 Pengumpulan Data Sekunder ... 33

4.3.2 Pengolahan dan Analisis Awal ... 33

4.3.2.1 Penambalan Citra Stripping ... 34

4.3.2.2 Koreksi Geometris ... 35

4.3.2.3 Delineasi Area dan Pemotongan Citra ... 35

4.3.2.4 Interpretasi Visual ... 35

4.3.3 Analisis Lanjutan ... 36

4.3.3.1. Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classification) ... 37

4.3.3.2. Analisis Spasial danTabular ... 37

4.3.3.3. Desk Study ... 38

4.3.4 Penyajian Hasil... 38

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

5.1 Kota Batam (Pulau Batam) ... 40

5.1.1. Hasil Klasifiksi Citra ... 40

5.1.2. Perbandingan Citra Landsat dengan Rencana Tata Ruang Wilayah ... 42

5.1.3. Pola dan Distribusi Ruang Terbuka Hijau ... 43

5.2 Kota Tarakan (Pulau Tarakan) ... 43

5.2.1. Hasil Klasifiksi Citra ... 44

5.2.2. Perbandingan Citra Landsat dengan Rencana Tata Ruang Wilayah ... 46

5.2.3. Pola dan Distribusi Ruang Terbuka Hijau ... 47

5.3 Kota Ternate (Pulau Ternate) ... 48

5.3.1. Hasil Klasifiksi Citra ... 48

5.3.2. Perbandingan Citra Landsat dengan Rencana Tata Ruang Wilayah ... 52

5.3.3. Pola dan Distribusi Ruang Terbuka Hijau ... 52

5.4 Karakteristik RTH Kota Pulau ... 53

5.4.1. Karakteristik Ruang Terbuka Hijau Pulau Kecil ... 54

(22)
(23)
(24)

1. Kerangka pikir penelitian ... 3 2. Konsep Teoritis untuk Pemecahan Masalah Iklim Kota ... 10 3. RTRW Kota Batam 2004-2014 ... 21 4. RTRW Kota Tarakan 2006-2013 ... 25 5. Daya Dukung Profil Pulau Ternate ... 28 6. RTRW Kota Ternate 2006-2016 ... 30 7. Obyek Penelitian ... 31 8. Tahapan Analisis Awal (Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+) ... 33 9. Tahapan Analisis Awal (Pengolahan Peta RTRW) ... 34 10. Diagram Alur Kerja Penelitian ... 39 11. Penutupan Lahan Pulau Batam Tahun 2009 ... 40 12. Peta RTRW Pulau Batam Tahun 2004-2014 ... 41 13. Diagram Perbandingan Citra Landsat dengan RTRW Batam ... 42 14. Ilustrasi Penyebaran RTH Pulau Batam Tahun 2009 ... 43 15. Penutupan Lahan Pulau Tarakan Tahun 2009 ... 44 16. Peta RTRW Pulau Tarakan Tahun 2006-2013 ... 45 17. Diagram Perbandingan Citra Landsat dengan RTRW ... 46 18. Ilustrasi Penyebaran RTH Pulau Tarakan Tahun 2009 ... 47 19. Penutupan Lahan Pulau Ternate Tahun 2009 ... 48 20. Peta RTRW Pulau Ternate Tahun 2006-2016 ... 49 21. Diagram Perbandingan Citra Landsat dengan RTRW Ternate ... 52 22. Ilustrasi Penyebaran RTH Pulau Ternate Tahun 2009 ... 53 23. Pola Zonasi Bakau Klasik ... 55 24. Pemanfaatan Ruang Pulau Kecil Berdasarkan Pembagian Zona ... 61 25. Ilustrasi Model Penyebaran RTH Ideal Bagi Kota Pulau Secara

(25)

1.1. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara kepulauan dengan memiliki pulau yang

berjumlah lebih dari 17.000 dengan 7.000 diantaranya telah memiliki nama 

(Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, 2004). Selain negara kepulauan, Indonesia juga dilintasi deretan pegunungan. Hal ini mengakibatkan Indonesia

memiliki berbagai ruang kehidupan masyarakat yang mencakup daerah pantai

sampai pegunungan. Karena keberagaman lanskap ini, maka perencanaan

terhadap suatu daerah ataupun wilayah memerlukan perlakuan yang berbeda

sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah atau wilayah.

Salah satu fungsi ruang terbuka hijau adalah untuk mempertahankan

kondisi ekologis lingkungan kota. Menurut Simonds (1983) ruang terbuka hijau

(RTH) merupakan bagian yang sangat penting bagi suatu kota. Penanaman

tanaman di perkotaan dalam bentuk ruang terbuka hijau merupakan usaha

bermanfaat untuk penanggulangan berbagai masalah lingkungan. Peran ruang

terbuka hijau dalam memberikan kenyamanan dan kesejahteraan bagi warga kota

adalah penyumbang ruang bernafas yang segar, sebagai paru-paru kota, sumber

air dalam tanah, mencegah erosi, menciptakan iklim serta sebagai unsur

pendidikan.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 26 tahun 2007

tentang penataan ruang, pasal 29 menyebutkan bahwa ruang terbuka hijau terdiri

dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat dengan proporsi

ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari

luas wilayah kota, yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10%

ruang terbuka privat. Hal ini sejalan dengan kesepakatan Hari Bumi di Rio de

Janeiro tahun 1992. Melalui pengaturan ini, pemerintah daerah memiliki

kewajiban untuk mengalokasikan ruang terbuka hijau secara tegas dalam

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK). RTRWK merupakan kebijakan

yang diharapkan sejak lama melihat kodisi lingkungan pada kota-kota besar yang

memang sangat mengkhawatirkan. Ini merupakan salah satu solusi untuk

(26)

meluas. Namun kriteria ruang terbuka hijau yang seperti apa yang seharusnya

diusahakan oleh pemerintah, baik provinsi ataupun kota masih diseragamkan

padahal setiap kota memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Pentingnya acuan standar luas dan persebaran ruang terbuka hijau, yang

harus proporsional dengan luas dan karakteristik wilayah tersebut hendaknya

dapat dijadikan patokan agar dalam pelaksanaan penetapan kawasan ruang

terbuka hijau tidak menimbulkan masalah di masa yang akan datang. Sebagai

contoh perubahan fungsi ruang terbuka hijau menjadi kawasan industri,

pemukiman, tempat tinggal tunawisma, perubahan semacam ini harus dihindarkan

dengan perencanaan wilayah yang tepat. Otonomi daerah mempengaruhi

kebijakan perencanaan ruang terbuka hijau yang membatasi aspek ruang secara

spasial. Pengambil kebijakan daerah administratif hulu sampai hilir tidak

memiliki keterpaduan dalam penetapan kebijakan perencanaan. Perlunya

penentuan karakter pada ruang yang berguna untuk membuat formula kebijakan

perencanaan ruang terbuka hijau secara administratif berdasarkan karakter dari

kota.

Pulau di Indonesia yang berjumlah ribuan, memiliki karakter yang

berbeda-beda dengan luas area yang beragam. Pulau dengan luasan yang besar, di

dalamnya terdapat banyak kota. Selain itu, juga terdapat pulau yang hanya terdiri

dari satu kota. Pulau-pulau kecil yang terdapat di Indonesia, umumnya digunakan

kegiatan wisata maupun pusat kegiatan industri dan perdagangan. Untuk

mengetahui seberapa besar luas, distribusi dan pola ruang terbuka hijau akibat dari

proses urbanisasi dan industrialisasi pada kawasan kota pulau, maka perlu

dilakukan pengidentifikasian dengan menganalisa dari data yang telah tersedia

(data sekunder). Salah satu bentuk data yang telah tersedia adalah citra

penginderaan jauh yang merupakan data mengenai suatu wilayah dalam bentuk

spasial. Meskipun secara kualitas memiliki nilai visual yang tinggi, akan tetapi

kota pulau juga rentan terhadap ancaman berupa gempa bumi, tsunami, dan

degradasi lingkungan akibat kebutuhan ruang yang besar pada lahan terbatas.

Karena karakter yang labil ini, maka diperlukan pengetahuan terhadap karakter

dan kepekaan lanskap pada kota pulau. Kota yang terletak pada pulau-pulau kecil

(27)

1.2. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah

1. Mengidentifikasi penggunaan dan penutupan lahan pada masing-masing

kota dengan analisis spasial.

2. Menganalisis distribusi, pola dan luasan RTH pada kota pulau. 

3. Mengidentifikasi distribusi ruang terbuka hijau ideal pada kota pulau. 

 

1.3. Manfaat

Penelitian ini memberi manfaat terhadap mahasiswa dalam

mengaplikasikan ilmunya dan pihak-pihak pengambil kebijakan evaluasi dan

perencanaan pemanfaatan ruang.

1.4. Kerangka Pikir Penelitian

 

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

RTH Kota minimal 30%

Perencanaan Kota Pulau

Kendala

Faktor Biofisik Faktor Sosial Faktor Ekonomi

Sistem Informasi Geografi (SIG) dan Remote Sensing

Karateristik RTH kota pulau

Distribusi RTH

(28)

II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kota Pulau dan Ekosistemnya 2.1.1. Kota

Kota diartikan sebagai tempat tinggal dari beberapa ribu penduduk atau

lebih. Perkotaan diartikan sebagai area terbangun dengan struktur dan jalan-jalan,

sebagai suatu permukiman yang terpusat pada suatu area dengan kepadatan

tertentu yang membutuhkan sarana dan pelayanan pendukung yang lebih lengkap

dibandingkan dengan daerah pedesaan (Branch, 1995). Sedangkan menurut

Simonds (1983), kawasan perkotaan merupakan suatu bentuk lanskap buatan

manusia yang terjadi akibat manusia dalam mengelola kepentingan hidupnya.

Biasanya, ruang dalam kota dihubungkan melalui koridor yang dapat berupa

pedestrian, jalan, jalur sungai (blueways) ataupun jalur hijau (greenbelt). Kota

merupakan lingkungan fisik yang keberadaanya dipengaruhi oleh faktor-faktor

sosial, ekonomi, budaya, kelembagaan, adat-istiadat, politik, ilmu pengetahuan,

dan teknologi. Perkembangan dan perubahan faktor-faktor tersebut akan

mengakibatkan perkembangan dan perubahan lanskap perkotaan.

2.1.2. Tata Ruang Kota

Menurut Howard dalam Haris (2006) tata ruang dalam lanskap kota

merupakan suatu pembagian wilayah ke dalam suatu kawasan-kawasan tertentu

yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu pula seperti kawasan pemukiman,

industri, perdagangan termasuk juga ruang terbuka hijau.

Tata ruang kota umumnya terdiri dari ruang terbangun dan terbuka. Ruang

terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam

bentuk memanjang atau jalur yang pada dasarnya tanpa bangunan. Menurut

Rahmanto dalam Haris, 2006, peran ruang terbuka dalam suatu perkotaan yaitu: (1) merupakan unsur keindahan disebabkan menciptakan harmoni tata lingkungan

perkotaan, (2) menyediakan ruang terbuka hijau dan (3) memberikan ruang gerak

bagi segenap masyarakat yang membutuhkannya. Dengan demikian bahwa ruang

terbuka hijau tidak hanya merupakan salah satu bentuk ruang terbuka kota tetapi

(29)

2.1.3. Pulau

Pulau adalah sebidang tanah yang lebih kecil dari benua dan lebih besar

dari karang, yang dikelilingi air. Konvensi PBB tentang Hukum Laut

Internasional tahun 1982 (UNCLOS ’82) pasal 121 mendefinisikan pulau sebagai

daratan yang terbentuk secara alami dan dikelilingi oleh air, dan selalu di atas

muka air pada saat pasang naik tertinggi. Dengan kata lain, sebuah pulau tidak

boleh tenggelam pada saat air pasang naik. Implikasinya, ada empat syarat yang

harus dipenuhi agar dapat disebut sebagai pulau, yaitu:

1. Memiliki lahan daratan

2. Terbentuk secara alami, bukan lahan reklamasi

3. Dikelilingi oleh air, baik air asin (laut) maupun tawar

4. Selalu berada di atas garis pasang tinggi.

Dengan demikian, gosong pasir, lumpur ataupun karang, yang terendam

air pasang tinggi, menurut definisi di atas tidak dapat disebut sebagai pulau.

Begitu juga dengan gosong lumpur atau paparan lumpur yang ditumbuhi

mangrove, yang terendam oleh air pasang tinggi, meskipun pohon-pohon

bakaunya selalu muncul di atas muka air. (Anonim, 2009)

2.1.4. Pulau Kecil

Sampai saat ini masih belum ada batasan yang tetap tentang pengertian

pulau kecil, baik di tingkat nasional maupun internasional. Namun demikian,

terdapat suatu kesepakatan umum bahwa yang dimaksud dengan pulau kecil

adalah pulau yang berukuran kecil secara ekologis terpisah dari pulau induknya

dan memiliki batas yang pasti, terisolasi dari habitat lain sehingga mempunyai

sifat insular. Berdasarkan hasil rumusan yang diperoleh dari Semiloka Penentuan

Definisi dan Pendataan Pulau di Indonesia, Dinas Kelautan dan Perikanan, 2003,

didapat suatu kesepakatan bahwa definisi pulau kecil yang operasional di

Indonesia mengacu kepada UNESCO (1991) yaitu pulau dengan luas area kurang

atau sama dengan 2.000 km2.

Pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dari habitat lain sehingga

keterisolasian ini akan organisme yang hidup di pulau tersebut membentuk

(30)

dengan proporsi spesies endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau

kontinen. Akibat ukurannya yang kecil, maka tangkapan air (catchment) pada

pulau ini juga relatif kecil, sehingga air permukaan dan sedimen lebih cepat hilang

kedalam air.

Sedangkan karakteristik pulau-pulau kecil terbagi atas tiga aspek, (Dahuri et

al, 1996) yaitu : 1. Secara fisik :

a. Terpisah dari pulau besar.

b. Dapat membentuk satu gugus pulau atau berdiri sendiri.

c. Lebih banyak dipengaruhi oleh faktor hidroklimat laut.

d. Rentan terhadap perubahan alam atau karena ulah manusia.

e. Substrat pulau kecil bergantung pada jenis biota yang ada disekitar

pulau.

2. Secara ekologis:

a. Memiliki spesies endemik.

b. Memilki resiko perubahan lingkungan yang tinggi.

c. Memiliki keterbatasan daya dukung pulau (air tanah dan hutan).

d. Melimpahnya biodiversitas ekosistem laut .

3. Secara sosial-budaya dan ekonomi:

a. Pulau berpenghuni dan tidak berpenghuni.

b. Memiliki budaya dan kondisi sosial ekonomi yang khas.

c. Kepadatan penduduk terbatas atau rendah.

d. Ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar

pulau.

e. Keterbatasan kualitas SDM.

f. Aksesibitas rendah.

2.1.5. Ekosistem Kota Pulau

Ekosistem kota pulau tidak jauh berbeda dengan ekosistem wilayah

pesisir. Ini dikarenakan pesisir merupakan bagian dari ekosistem kota pulau yang

memiliki luasan yang kecil sehingga masih dipengaruhi keadaan laut. Wilayah

(31)

sebagai daerah ekoton (areal pertemuan antara ekosistem daratan dan lautan). Hal

ini mengakibatkan wilayah pesisir sangat rentan terhadap gangguan dan

perubahan fisik yang bersifat dinamis sehingga secara arsitektural wilayah pesisir

dikenal sebagai suatu bentukan lanskap lanskap pesisir (coastal landscape) yang

tinggi kualitasnya.

Berbagai potensi sumberdaya pesisir dan lautan yaitu (Dahuri et al, 1996):

1. Sumberdaya yang dapat diperbaharui

(perikanan, hutan mangrove, terumbu karang, industri bioteknologi

kelautan, dan pulau-pulau kecil).

2. Sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui

(minyak bumi, gas alam, harta karun, bahan tambang, dan mineral

lainnya).

3. Energi kelautan

[pasang surut, gelombang, angin, dan OTEC (Ocean Thermal Energy

Convertion)].

4. Jasa-jasa lingkungan

(pariwisata, rekreasi, perhubungan dan kepelabuhan,

penampung/penetralisir limbah).

Dengan jumlah penduduk yang meningkat secara cepat dari waktu ke

waktu disertai dengan intensitas pembangunan yang terus meningkat dimana

sumberdaya alam di daratan dan pulau induk sudah mulai menipis dan dengan

kenyataan bahwa 60% dari penduduk Indonesia (kira-kira 185 juta jiwa) dapat

dianggap tinggal di daerah pesisir, tidaklah mengherankan bahwa lingkungan

pesisir dan laut menjadi pusat pemanfaatan sekaligus pengrusakan yang

tingkatnya sudah cukup parah untuk beberapa daerah tertentu. Pulau-pulau kecil

juga semakin mendapat tantangan, dengan semakin padatnya penduduk

pulau-pulau induk.

Selain masalah tekanan penduduk, masalah-masalah yang ada pada

pulau-pulau kecil sebagai akibat dari kondisi biogeofisik pulau-pulau-pulau-pulau tersebut adalah

keberadaan penduduk maupun ekosistem alam laut tersebut. Beberapa

(32)

a. Secara ekologis pulau-pulau kecil amat rentan terhadap pemanasan global,

angin topan dan gelombang tsunami. Erosi pesisir yang disebabkan oleh

kombinasi faktor-faktor tersebut terbukti sangat progresif dalam

mengurangi garis pantai kepulauan kecil. Akibatnya adalah terjadi

penurunan jumlah makhluk hidup, baik flora dan fauna maupun penduduk

yang mendiami pulau tersebut.

b. Pulau-pulau kecil diketahui memilki sejumlah besar spesies endemik dan

keanekaragaman hayati yang tipikal dan bernilai tinggi. Apabila terjadi

perubahan lingkungan pada daerah tersebut, maka akan sangat mengancam

keberadaan spesies-spesies tadi.

c. Pulau kecil yang letaknya jauh dari pusat pertumbuhan, biasanya

pembangunannya tersendat akibat sulitnya transportasi dan sumberdaya

manusia. Pulau ini tetap bisa dikembangkan akan tetapi diperlukan biaya

yang besar untuk pengembangannya.

d. Pulau-pulau kecil memiliki daerah tangkapan tangkapan air yang terbatas

sehingga ketersediaan air tawar merupakan hal yang memprihatinkan.

Untuk kegiatan pengembangan seperti pariwisata, industri dan listrik

tenaga air misalnya, akan sangat terbatas.

e. Pengelolaan pulau-pulau kecil belum terintegrasi dengan pengelolaan

daerah pesisir. Hal lain yang sering menjadi masalah adalah keterbatasan

pemerintah daerah dan kurangnya dana untuk mengembangkan

pulau-pulau sekitar.

f. Sampai saat ini, belum ada klasifikasi menyangkut keadaan biofisik, sosial

ekonomi terhadap pulau-pulau kecil yang dapat digunakan sebagai acuan

dalam pengelolaan atas alokasi sumberdaya alam agar lebih efektif.

2.2. Ruang Terbuka Hijau

2.2.1. Pengertian Ruang Terbuka Hijau

Sebagai salah satu unsur kota yang penting khususnya dilihat dari fungsi

ekologis, maka betapa sempit atau kecilnya ukuran ruang terbuka hijau kota

(Urban Green Open Space) yang ada, termasuk halaman rumah/bangunan pribadi,

(33)

Dari berbagai referensi dan pengertian tentang eksistensi nyata sehari-hari, maka

RTH dapat dijabarkan dalam pengertian, sebagai: (1)Suatu lapang yang ditumbuhi

berbagai tetumbuhan, pada berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak,

perdu dan pohon (tanaman tinggi berkayu); (2)Sebentang lahan terbuka tanpa

bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas geografis tertentu dengan

status penguasaan apapun, yang di dalamnya terdapat tetumbuhan hijau berkayu

dan tahunan (perennial woody plants), dengan pepohonan sebagai tumbuhan

penciri utama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan tumbuhan

penutup tanah lainnya), sebagai tumbuhan pelengkap, serta benda-benda lain yang

juga sebagai pelengkap dan penunjang fungsi ruang terbuka hijau yang

bersangkutan. (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2005)

2.2.2. Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau

Dalam masalah perkotaan, ruang terbuka hijau merupakan bagian atau

salah satu sub-sistem dari sistem kota secara keseluruhan. Ruang terbuka hijau

sengaja dibangun secara merata di seluruh wilayah kota untuk memenuhi berbagai

fungsi dasar yang secara umum dibedakan menjadi (Direktorat Jenderal Penataan

Ruang, 2005):

1. Fungsi bio-ekologis (fisik): memberi jaminan pengadaan ruang terbuka

hijau menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara, pengatur iklim mikro,

agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar,

sebagai peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitat

satwa, penyerap (pengolah) polutan media udara, air dan tanah, serta

penahan angin. (Gambar 2)

2. Fungsi sosial: ekonomi (produktif) dan budaya yang mampu

menggambarkan ekspresi budaya lokal, ruang terbuka hijau merupakan

media komunikasi warga kota, tempat rekreasi, tempat pendidikan, dan

penelitian.

3. Ekosistem perkotaan: produsen oksigen, tanaman berbunga, berbuah dan

berdaun indah, serta bisa mejadi bagian dari usaha pertanian, kehutanan,

(34)

4. Fungsi estetis: meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota

baik (dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukiman, maupun

makro: lanskap kota secara keseluruhan). Mampu menstimulasi kreativitas

dan produktivitas warga kota. Dapat tercipta suasana serasi, dan seimbang

antara berbagai bangunan gedung, infrastruktur jalan dengan pepohonan

hutan kota, taman kota, taman kota pertanian dan perhutanan, taman

gedung, jalur hijau jalan, bantaran rel kereta api, serta jalur biru bantaran

kali.

Gambar 2. Konsep Teoritis untuk Pemecahan Masalah Iklim Kota

Manfaat ruang terbuka hijau berdasarkan fungsinya dibagi atas manfaat

langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat tangible) seperti mendapatkan

bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga), kenyamanan fisik (teduh, segar),

dan manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible) seperti

perlindungan tata air dan konservasi hayati atau keanekaragaman hayati

(35)

2.3. Penggunaan dan Penutupan Lahan

Pada awalnya istilah penggunaan lahan (land use) menjadi perhatian oleh

para ilmuwan-ilmuwan sosial. Istilah tersebut menunjukan hasil pekerjaan

manusia pada lahan tersebut. Dalam hal ini termasuk dalam penggunaan lahan

(land use) adalah pemukiman, pembibitan, penggembalaan, rekreasi, dan lain-lain.

Sedangkan istilah penutupan lahan (land cover) pada prinsipnya menjadi

perhatian ilmu-ilmu alam, menunjukan pada penampakan lahan secara fisik. Hal

ini mencakup, sebagai contoh kuantitas dan tipe permukaan vegetasi, air, dan

material-material tanah. Suatu penggunaan lahan mungkin sangat sesuai dengan

satu kelas penutupan lahan. Satu kelas penutupan lahan mungkin mendukung

berbagai jenis penggunaan lahan. Satu sistem penggunaan lahan dapat meliputi

pengelolaan beberapa penutupan lahan yang berbeda-beda. Batasan penggunaan

dan penutupan lahan adalah terhubung. Perubahan penutupan lahan dibagi

menjadi dua tipe ideal, yaitu konservasi dan modifikasi (Mayer dan Turner, 1994).

Penggunaan lahan merupakan salah satu produk kegiatan manusia

dipermukaan bumi yang memiliki berbagai macam variasi bentuk (Yunus dalam

Hakim 2006). Dalam Meyer dan Turner (1994) dijelaskan, perubahan penutupan

dan penggunaan lahan merupakan kombinasi dari hasil interaksi faktor sosial,

ekonomi, politik dan budaya. Manusia menjadi faktor utama terbentuknya

berbagai macam pola penggunaan dan penutupan lahan serta terhadap

perubahan-perubahan sebagai akibat aktivitasnya di atas permukaan bumi.

Dilihat dari sistem keruangan kota penggunaan lahan memiliki peran yang

berpengaruh terhadap pola tata ruang suatu wilayah. Pengaruh penggunaan lahan

terhadap pola tata ruang tergantung dari beberapa faktor. Kemudahan transportasi

dan komunikasi dari dan ke daerah-daerah di sekitar kota utama, kondisi

topografi, kondisi hidrologi merupakan beberapa faktor yang menentukan

pengaruh penggunaan lahan terhadap pola tata ruang kota. Dalam menganalisis

pengaruh penggunaan lahan terhadap pola tata ruang perlu pemahaman

bentuk-bentuk penggunaan lahan yang mewarnai daerah terbangun (built up area), daerah

(36)

2.4. Sistem Informasi Geografi (SIG) 2.4.1. Pengertian SIG

Prahasta (2002) mendifinisikan Sistem Informasi Geografi sebagai alat

bantu yang sangat penting dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan

menampilkan kembali kondisi alam dengan bantuan data atribut dan spasial.

Sistem Informasi Geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis

untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang

memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi

geografi: 1) masukan, 2) manajemen, 3) analisis dan manipulasi data serta 4)

keluaran (Aronof, 1989 dalam Prahasta, 2002).

Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKORSUTANAL)

dalam Prahasta (2002) menjabarkan SIG sebagai suatu sistem yang saling terkait

antara satu dengan yang lain. SIG sebagai kumpulan data yang teroganisir dari

perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personel yang

didesain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi,

menganalisis serta menampikan semua bentuk informasi yang bereferensi

geografi. Basis analisis SIG adalah data spasial dalam bentuk digital yang

diperoleh melalui data satelit atau data lain yang telah dilakukan digitasi. Analisis

SIG memerlukan tenaga ahli sebagai interpreter, perangkat keras komputer dan

perangkat lunak pendukung.

Menurut Prahasta (2002), sistem informasi geografi dapat diuraikan

menjadi beberapa subsistem berikut:

1. Data input: Subsistem ini bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber. Subsistem

ini pula yang bertanggung jawab dalam mengkonversi atau

mentransformasikan format-format data alinya ke dalam format yang

dapat digunakan oleh SIG.

2. Data output: subsistem ini menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basis data baik dalam bentk softcopy maupun dalam

(37)

3. Data management: subsistem ini mengorganisasikan baik data spasial maupun atribut ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga

mudah untuk dipanggil, di-update, dan di-edit.

4. Data manipulation dan analisys: subsistem ini menentukan informasi yang

dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu, subsistem ini juga melakukan

manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang

diharapkan.

2.4.2. Komponen SIG

SIG merupakan sistem kompleks yang biasanya terintegrasi dengan

lingkungan sistem komputer yang lain di tingat fungsional dan jaringan. SIG

terdiri dari beberapa komponen berikut (Prahasta, 2002):

1. Perangkat keras: pada saat ini SIG tersedia untuk berbagai platform

perangkat keras mulai dari Personal Computer(PC) desktop, workstations,

hingga multi user host yang dapat digunakan oleh banyak orang secara

bersamaan dalam jaringan komputer yang luas, berkemampuan tinggi

memiliki ruang penyimpanan (harddisk) yang besar dan mempunyai

kapasistas memori yang besar. Perangkat keras yang sering digunakan

untuk SIG adalah komputer (PC), mouse, digitizer, printer, plotter, dan scanner.

2. Perangkat lunak: SIG merupakan sistem perangkat lunak yang tersusun

secara modular dimana basis data memegang peranan kunci. Setiap

subsistem diimplementasikan dengan menggunakan perangkat lunak yang

terdiri dari beberapa modul sehingga terdiri dari ratusan modul program

yang masing-masing dapat dieksekusi sendiri.

3. Data dan informasi geografis: SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan

data dan informasi yang diperlukan baik secara tidak langsung dengan

cara meng-import-nya dari perangkat lunak SIG yang lain ataupun secara

langsung dengan mendigitasi data spasialnya dari peta dan memasukkan

(38)

4. Manajemen: satu proyek SIG akan berhasil jika dikelola dengan baik dan

dikerjakan oleh orang yang memiliki keahlian yang tepat pada semua

tingkatan.

2.5. Penginderaan Jauh (Remote Sensing) 2.5.1. Definisi Penginderaan Jauh

Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), penginderaan jauh adalah ilmu dan

seni untuk memperoleh informasi mengenai suatu obyek , daerah atau fenomena

melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung

dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. Penginderaan jauh secara umum

adalah suatu cara mengamati suatu obyek di muka bumi tanpa mengadakan

kontak langsung secara fisik dengan obyek yang diamati tersebut.

Prinsip dari penginderaan jauh dalam pengamatan obyek di muka bumi

dilakukan dengan cara mengukur radiasi gelombang elektromagnetik yang

dipancarkan maupun dipantulkan oleh obyek yang dimaksud. Fenomena alam

memperlihatkan bahwa obyek di muka bumi memancarkan gelombang

elektromagnetik yang khas pada spektrum radiasi gelombang tampak (visible),

infrared, thermal, maupun gelombang mikro. Citra penginderaan jauh merekam interaksi energi elektromagnetik dengan permukaan bumi. Wahana untuk

merekam atau menangkap gelombang elektromagnetik dapat berupa pesawat

udara, satelit atau pesawat ruang angkasa (Lillesand dan Kiefer, 1990).

2.5.2. Elemen Dasar

Secara umum elemen yang terkait di dalam penginderan jauh dengan

gelombang elektromagnetik untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek dan

lingkungannya meliputi : (a) sumber energi, (b) perjalanan energi melalui

atmosfer, (c) interaksi antara energi dengan kenampakan di muka bumi, (d)

sensor wahana pesawat terbang dan/atau satelit dan (e) hasil pembentukan data

dalam bentuk piktoral dan/atau numerik (Lillesand and Kiefer,1990)

Hasil penginderaan jauh umumnya berupa citra yang selanjutnya butuh di

interpretasikan untuk memperoleh informasi atau data yang bermanfaat. Aspek

(39)

analisis data numerik. Interpretasi secara visual telah lama digunakan dalam

penginderaan jauh. Teknik ini menggunakan kemampuan pikir manusia untuk

melakukan evaluasi kualitatif pada spasial yang dikaji, untuk itu diperlukan

latihan ekstensif. Penggunaan teknologi komputer dalam interpretasi

penginderaan jauh membantu mengeliminasi kekurangan teknik secara visual.

2.5.3. Citra Landsat

Citra Landsat adalah jenis citra yang diperoleh dari hasil rekaman semua

objek di permukaan bumi oleh satelit sumberdaya. Jenis sensor yang digunakan

adalah Multi Spectral Scaner (MSS). MSS ini berfungsi sebagai perekam semua

spektral yang dipantulkan oleh objek dari permukaan bumi yang berupa

gelombang elektromagnetik (Lanya,1985 dalam Haris, 2006).

Dalam klasifikasi citra, khususnya citra landsat Thematic Mapper (TM)

koreksi geometrik adalah pross penting yang harus dilakukan. Terdapat beberapa

teknik koreksi geometrik yang dapat dilakukan, termasuk dua diantaranya adalah:

(1) mengidentifikasi Ground Control Points (GCPs), pada citra asli dan pada peta

referensi (peta topografi digital), dan (2) dengan menggunakan ArcView extension

Image Analysis dan beberapa peta referensi seperti sungai dan jalan (Carison dan Sanchez-Azofeifa dalam Haris 2006).

2.6. Aplikasi Sistem Informasi Geografi dan Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh memberikan kemampuan pada kita untuk melihat

sesuatu yang tidak tampak mata. Penggunaan yang tepat akan membantu kita

dalam memperoleh gambaran lingkungan sekitar kita yang lebih baik dibanding

dengan metode pengamatan yang lain. Dari titik pandang penginderaan jauh, baik

udara maupun antariksa, kita dapat memperoleh gambaran utuh bumi kita dan

mulai dapat melihat unsur lingkungan serta mengumpulkan data sumber daya

yang ada (Lillesand dan Kiefer,1990).

Kombinasi penggunaan sistem informasi geografi dan penginderaan jauh

telah banyak diaplikasikan pada berbagai ilmu pengetahuan seperti pertanian,

kehutanan, geologi, geofisika, penutupan dan penggunaan lahan, lanskap, bahkan

(40)

Informasi Geografi dan penginderaan jauh adalah untuk mengumpulkan data

sumberdaya alam dan lingkungan.

Data penutupan dan penggunaan lahan serta perubahannya sangat penting

bagi seorang perencana dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan

pengelolaan sumber daya alam. Data ini pada dipresentasikan dalam bentuk

spasial, berupa peta dan disertai dengan data statistik setiap kelas penutupan dan

penggunaan lahan. Penggunaan sistem informasi geografi dan penginderaan jauh

sangat sesuai dalam memproduksi data tersebut.

Teknologi pengindraan jauh dan sistem informasi geografis mampu

memberikan kombinasi metode dalam menganalisa dan pengambilan keputusan

suatu kasus yang berkaitan dengan keruangan serta sumberdaya di dalamnya.

Pengindraan jauh mampu memberikan data spasial dalam bentuk citra digital yang

berisi informasi nilai digital piksel (digital pixel number) yang disimpan dalam

sifat pantulan maupun pancaran suatu objek. Data ini kemudian diolah dan

dianalisis menggunakan sistem informasi geografis dengan bantuan teknologi

komputer dan perangkat lunak analisis spasial. Pada akhirnya akan ditampilkan

(41)

III. KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

3.1. Kota Batam

3.1.1. Sejarah Terbentuknya Kota

Pengembangan Pulau Batam terbagi dalam beberapa periode. Periode

pertama yaitu tahun 1971-1976 dikenal dengan nama Periode Persiapan yang

dipimpin oleh Dr. Ibnu Sutowo. Periode kedua adalah Periode Konsolidasi

(1976-1978) dipimpin oleh Prof.Dr. JB. Sumarlin. Setelah itu adalah Periode

Pembangunan Sarana Prasarana dan Penanaman Modal yang berlangsung selama

20 tahun, yaitu tahun 1978-1998, yang diketuai Prof.Dr. BJ. Habibie.

Kepemimpinan berikutnya dipegang oleh Prof.Dr. BJ. Habibie yaitu bulan Maret

s/d juli 1998. Periode ini dikenal dengan nama Pembangunan Prasarana dan

Penanaman Modal Lanjutan. Kemudian sejak tahun (1998-2005), dibawah

kepemimpinan Ismeth Abdullah dinamakan Periode Pengembangan

Pembangunan Prasarana dan Penanaman Modal Lanjutan dengan perhatian lebih

besar pada kesejahteraan rakyat dan perbaikan iklim investasi. Kemudian tahun

(2005-2006) dipegang oleh Mustofa Wijaya sebagai pejabat sementara kemudian

dikukuhkan menjadi pejabat permanen.

Pulau Batam yang berstatus sebagai Kawasan Strategis Nasional karena

merupakan kawasan di perbatasan, dibangun dan dikembangkan oleh Pemerintah

secara khas sejak 1973, (Kep.Pres. No.41) sebagai Wilayah Usaha Kawasan

Berikat (Bonded Warehouse) di bawah Badan Pengembangan Kawasan Industri

Batam (Otorita Batam) dengan Kota Batam yang sekarang telah berkembang

menjadi sebuah kota industri, kota dagang dan kota pariwisata dengan penduduk

melebihi 500.000 jiwa.

Sejak tahun 2002 (melalui Kep.Pres No.54) dan dipertegas di tahun 2005

(dengan Kep.Pres. No.24) Kota Batam berkedudukan sebagai National Single

Window dalam perannya sebagai kota industri dan dagang internasional dan menjadi simpul penting di kawasan segitiga emas internasional BatamSingapura

-Johor. Kota Batam sendiri yang semula merupakan kota kecamatan, kini setelah

ada pemekaran Propinsi Riau menjadi dua Propinsi dengan terbentuknya Propinsi

(42)

dan akan dikembangkan terpadu menjadi kawasan Metropolitan

Batam-Rempang-Galang (Barelang) sesuai RTRW Barelang 2004-2014 yang disusun oleh

Pemerintah Kota. Dengan demikian untuk menjaga citra kota dan kawasan

industrinya yang sangat khas dan yang masing-masing diemban oleh Pemerintah

Kota dan Badan Otorita, maka di tahun 2000, di antara keduanya telah dilakukan

kesepakatan pengaturan hubungan kerja yang dituangkan dalam surat keputusan

bersama No.5/SKB/HK/VI/2000.

Kota Batam merupakan sebuah pulau yang terletak sangat strategis di

sebelah utara Indonesia dan terletak di jalur pelayaran internasional. Kota Batam

dengan segala kelebihan dan kekurangannya saat ini telah menjadi kota

metropolis. Harapan masyarakat batam pada khususnya dan Bangsa Indonesia

pada umumnya untuk menjadikan Batam sebagai lokomotif pembangunan

Indonesia, telah menggerakkan kita untuk ikut serta dalam pembangunan, yang

pada akhirnya Kota Batam dapat mewujudkan misinya menuju Bandar Dunia

yang Madani.

Dengan digunakannya Kota Batam sebagai pusat kawasan pembangunan

industri, tidak akan terjadi keberlanjutan jika aspek ekologi yang menopang

seluruh kegiatan ekonomi diabaikan. Untuk itu perlu kebijakan untuk menahan

dan mengurangi laju kerusakan lingkungan.

3.1.2. Letak Geografis dan Administratif

Berdasarkan Kepres No.28 Tahun 1992, Pulau Batam bersama dengan

Pulau Rumpang, Galang, dan beberapa pulau kecil lainnya (wilayah Barelang)

berstastus sebagai Bonded Zone, yang dikelola oleh Otorita Batam. Sejalan

dengan diberlakukannya otonomi daerah, Kota Batam berstatus sebagai kota

administratif yang dibentuk melalui PP No. 34 Tahun 1983 yang terdiri dari 3

kecamatan yaitu Kecamatan Belakang Padang, Kecamatan Batam Barat dan

Kecamatan Batam Timur. Pulau Batam terdiri dari 32 desa/kelurahan. Secara

geografis Kota Batam terletak pada 0°25'29'' - 1°15'00'' Lintang Utara dan

103°34'35'' - 104°26'04'' Bujur Timur. Batas-batas wilayah sebagai berikut :

a. Sebelah Utara : Selat Singapura

(43)

c. Sebelah Selatan : Kabupaten Kepulauan Riau

d. Sebelah Barat : Kabupaten Karimun

3.1.3. Iklim

Kota Batam mempunyai iklim tropis dengan suhu minimum pada tahun

2006 berkisar antara 21,2oC – 24,0oC dan suhu maksimum berkisar antara 29,6o

C-34,1 oC, sedangkan suhu rata rata sepanjang tahun 2006 adalah 25,6oC - 27,8oC.

Keadaan tekanan udara rata rata untuk tahun 2006, minimum 1.006,14 MBS dan

maksimum 1.014,1 MBS.

Sementara kelembaban udara di Kota Batam rata rata berkisar antara 79–

86 % dan kecepatan angin maksimum 15-28 knot. Banyaknya hari hujan selama

setahun di Kota Batam pada tahun 2006 adalah 208 hari dan banyaknya curah

hujan setahun 2.964,7 mm.

3.1.4. Topografi dan Kemiringan Lereng

Wilayah Kota Batam relatif datar dengan variasi berbukit di tengah pulau,

ketinggian antara 7 hingga 160 m di atas permukaan laut (mdpl). Wilayah yang

memiliki elevasi 0 hingga 7 mdpl terdapat di pantai utara dan selatan Pulau Batam

dan sebelah timur Pulau Rempang serta sebelah utara, timur dan selatan Pulau

Galang. Sedangkan pulau-pulau kecil lainnya sebagian besar merupakan kawasan

hutan mangrove. Wilayah yang memiliki ketinggian sampai 100 mdpl dengan

topografi berbukit-bukit yang sangat sesuai untuk kawasan resapan air untuk

cadangan air baku, umumnya berada di bagian tengah Pulau Batam, Rempang dan

Galang serta Galang Baru.

Wilayah Kota Batam yang memiliki kemiringan lereng 0 – 3 % tersebar di

pesisir pantai di Teluk Senimba, Teluk Jodoh, Teluk Tering dan Teluk

Duriangkang. Wilayah yang memiliki kemiringan lereng 3 – 10 % tersebar hampir

di seluruh Pulau Batam mulai dari Perbukitan Dangas Pancurdi Sekupang dan

Tanjung Uncang ke sebelah timur, dari Teluk Jodoh sampai Duriangkang dan

terus ke pesisir timur, sebagian besar dimanfaatkan untuk kegiatan perkotaan.

Lereng antara 10 – 20 % sebagian besar berada di daerah kaki bukit

(44)

besar lainnya. Lereng 20 – 40 % sebaran luasnya membentuk jalur sempit di

punggung bukit sepanjang Bukit Dangas Pancur dan Bukit Senyum. Sedangkan

wilayah dengan kelerengan diatas 40 % berada di sepanjang Bukit Dangas Pancur.

Beberapa puncak bukit di Pulau Batam antara lain Bukit Dangas Pancur 169 m,

Bukit Temiyang 179 m, Bukit Senimba 140 m dan Bukit Tiban 110 m.

3.1.5. Geologi

Wilayah Kota Batam seperti halnya kecamatan-kecamatan di daerah

Kabupaten di Kepulauan Riau, juga merupakan bagian dari paparan kontinental.

Pulau-pulau yang tersebar di daerah ini merupakan sisa-sisa erosi atau penyusutan

dari daratan pra tersier yang membentang dari semenanjung Malaysia ataupun

pulau Singapura di bagian utara sampai dengan pulau-pulau Moro dan Kundur

serta karimun di bagian selatan. Wilayah Pulau Batam dibentuk oleh dominasi

formasi goungon, aluvium, granit dan formasi duriangkang. Berdasarkan struktur

geologinya tersebut, wilayah Pulau Batam dapat dikatakan tidak memiliki potensi

untuk mengkonservasi air tanah, sehingga penyediaan air baku sangat tergantung

pada sumberdaya air permukaan.

3.1.6. Penduduk

Sejak Pulau Batam dan beberapa pulau disekitarnya dikembangkan oleh

Pemerintah Republik Indonesia manjadi daerah Industri, Perdagangan, Alih kapal

dan Pariwisata serta dengan terbentuknya Kotamadya Batam tanggal 24 Desember

1983, laju pertumbuhan penduduk terus mengalami peningkatan dimana dari hasil

sensus penduduk rata-rata per tahunnya selama periode 1990-2000 laju

pertumbuhan penduduk Batam rata-rata sebesar 12,87 persen. Penduduk Kota

Batam sampai dengan Agustus 2007 berjumlah 727.878 jiwa terdiri atas 354.609

(45)

3.1.7. RTRW

Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Batam ditetapkan berdasarkan

Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Kota Batam Tahun 2004 – 2014.

(46)

3.2. Kota Tarakan

3.2.1. Sejarah Terbentuknya Kota

Tarakan menurut cerita rakyat berasal dari bahasa tidung “tarak” (bertemu)

dan “ngakan” (makan) yang secara harfiah dapat diartikan sebagai tempat para

nelayan untuk istirahat makan, bertemu serta melakukan barter hasil tangkapan

dengan nelayan lain. Tarakan merupakan tempat pertemuan arus muara Sungai

Kayan, Sesayap dan Malinau. Ketenangan masyarakat setempat agak terganggu

ketika pada tahun 1896, sebuah perusahaan perminyakan Belanda, BPM

(Bataavishe Petroleum Maatchapij) menemukan adanya sumber minyak di pulau

ini. Banyak tenaga kerja didatangkan terutama dari Pulau Jawa seiring dengan

meningkatnya kegiatan pengeboran. Mengingat fungsi dan perkembangan wilayah

ini, pada tahun 1923 Pemerintah Hindia Belanda merasa perlu untuk

menempatkan seorang Asisten Residen di pulau ini yang membawahi 5 (lima)

wilayah yakni; Tanjung Selor, Tarakan, Malinau, Apau Kayan dan Berau. Namun

pada masa pasca kemerdekaan, Pemerintah RI merasa perlu untuk merubah status

Kawedanan Tarakan menjadi Kecamatan Tarakan sesuai dengan Keppress RI

No.22 Tahun 1963.

Letak dan posisi yang strategis telah mampu menjadikan Kecamatan

Tarakan sebagai salah satu sentra industri di wilayah Kalimantan Timur bagian

utara sehingga pemerintah perlu untuk meningkatkan statusnya menjadi Kota

Administratif sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.47 Tahun 1981. Status Kota

Administratif kembali ditingkatkan menjadi Kotamadya berdasarkan

Undang-Undang RI No.29 Tahun 1997 yang peresmiannya dilakukan langsung oleh

Menteri Dalam Negeri pada tanggal 15 Desember 1997, sekaligus menandai

tanggal tersebut sebagai hari jadi Kota Tarakan.

3.2.2. Letak Geografis dan Administratif

Wilayah Administrasi Kota Tarakan berdasarkan UU No.29 Tahun 1997

dan Peraturan Daerah No.23 Tahun 1999 meliputi 4 Kecamatan dan 18

Kelurahan. Selain itu guna menunjang kelancaran administrasi dan peningkatan

(47)

Kantor berdasarkan Peraturan-peraturan Daerah yang dibuat dalam kurun waktu

tahun 1998-1999.

Kota Tarakan, yang secara geografis terletak pada 3º14'23"-3º26'37"

Lintang Utara dan 117º30'50"-117º40'12" Bujur Timur, terdiri dari 2 (dua) pulau,

yaitu Pulau Tarakan dan Pulau Sadau. Adapun batas-batas wilayah sebagai

berikut:

a. Sebelah Utara : Pesisir Pantai Kecamatan Bunyu

b. Sebelah Timur : Kecamatan Bunyu dan Laut Sulawesi

c. Sebelah Selatan : Pesisir Pantai Kecamatan Tanjung Palas

d. Sebelah Barat : Pesisir Pantai Kecamatan Sesayap

3.2.3. Iklim

Secara umum iklim wilayah Kota Tarakan mempunyai musim yang

hampir sama dengan wilayah Indonesia pada umumnya, yaitu musim penghujan

dan musim kemarau. Musim penghujan biasanya terjadi pada bulan Oktober

sampai dengan bulan April dan musim kemarau yang terjadi pada bulan April

sampai dengan bulan Oktober. Kondisi ini terus berlangsung setiap tahun yang

diselingi dengan musim peralihan pada bulan-bulan tertentu. Namun dalam

tahun–tahun terakhir ini, keadaan musim di Kalimantan Timur termasuk Kota

Tarakan kadang tidak menentu. Pada bulan-bulan yang seharusnya turun hujan

dalam kenyataannya tidak turun hujan sama sekali, begitu juga sebaliknya. Hal ini

telah memberikan julukan tersendiri bagi pulau ini sebagai daerah yang tak kenal

musim.

Suhu udara di suatu tempat antara lain ditentukan oleh tinggi rendahnya

tempat tersebut terhadap permukaan laut dan jaraknya dari pantai. Secara umum

Kota Tarakan beriklim panas dengan suhu udara sepanjang tahun 2005 berkisar

24,2oC hingga 31,1oC. Selain itu, sebagai daerah beriklim tropis, Kota Tarakan

mempunyai kelembaban udara relatif tinggi, berkisar antara 62,3 - 97,7 %

sepanjang tahun 2005. Kelembaban udara paling rendah terjadi pada bulan Januari

yang hanya mencapai 50 %, sedangkan rata – rata kelembaban udara sepanjang

tahun 2005 tercatat sebesar 84,1 %. Curah hujan antara 2001 – 2006 rata-rata

(48)

3.2.4. Topografi dan Kemiringan Lereng

Wilayah Kota Tarakan terdiri atas daerah daratan berupa rawa pantai dan

tegalan serta perbukitan landai. Memiliki struktur tanah aluvial butiran halus dan

kasar serta tanah lempung. Ketinggian wilayah Kota Tarakan berkisar antara 0

sampai 110 meter di atas permukaan air laut. Wilayah paling luas terletak pada

ketinggian 0 sampai dengan 7 meter di atas permukaan laut (mdpl), yaitu seluas

15.697,5 ha atau sekitar 65% dari luas total Kota Tarakan. Sedangkan pada kelas

ketinggian 7 sampai 25 mdpl, pada wilayah Kota Tarakan sebesar 4.830,0 ha atau

sebesar 20%. Paling kecil adalah wilayah yang berada pada ketinggian 100-110

mdpl, yaitu 0,5% atau seluas 120,75 ha. Sedangkan sisanya sebesar 14,5% atau

seluas 3.501,75 ha berada pada ketinggian 25-100 meter di atas permukaan laut.

3.2.5. Geologi

Wilayah Kota Tarakan merupakan salah satu dari 3 (tiga) Cekungan

Tersier utama yang terdapat di bagian timur continental margin Kalimantan (dari

utara ke selatan : Cekungan Tarakan, Cekungan Kutai dan Cekungan Barito),

yang dicirikan oleh hadirnya batuan sedimen klastik sebagai penyusunnya yang

dominan, berukuran halus sampai kasar dengan beberapa endapan karbonat.

Secara fisiografi geologi Kota Tarakan di Bagian Barat dibatasi oleh lapisan

pra-Tesier Tinggian Kuching dan dipisahkan dari Cekungan Kutai oleh kelurusan

timur-barat Tinggian Mangkalihat.

3.2.6. Penduduk

Berdasarkan data yang ada pada Badan Kependudukan, Catatan Sipil dan

Keluarga Berencana Kota Tarakan pada Bulan September 2008, jumlah penduduk

Kota Tarakan mencapai 178.111 jiwa. Sedangkan nilai dari pertumbuhan

penduduk dalam kurun waktu Tahun 1999 -2005 sebesar 7,17% per tahun. Untuk

nilai pendapatan per kapita atas dasar harga berlaku tahun 2006 (dengan Migas)

adalah sebesar Rp 15.783.741,00 dan nilai pertumbuhan ekonomi tahun 2006

(dengan Migas) adalah sebsar 7,51%. Kota Tarakan, yang didiami oleh suku asli

Tidung, dalam perkembangannya sebagaimana daerah lain dihuni pula oleh

(49)

3.2.7. RTRW

Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Tarakan ditetapkan berdasarkan

Peraturan Daerah Kota Tarakan Nomor 03 Tahun 2006 tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Kota Tarakan.

(50)

3.3. Kota Ternate

3.3.1. Sejarah Terbentuknya Kota

Ternate merupakan salah satu kota tertua di Indonesia yang tercatat dalam

sejarah, sebelum Majapahit berkuasa di Nusantara. Nama Ternate tercatat dalam

Kitab Negarakertagama yang di tulis Mpu Tantular. Sampai saat ini Ternate masih

menyimpan cerita sejarah dan budaya yang menjadi bukti kejayaan masa lalu.

Kota Ternate dalam perkembanganya kemudian ditingkatkan statusnya mejadi

sebuah Kota Otonom (Kotamadya) tanggal 27 April 1999 berdasarkan Undang

Undang Nomor 11 Tahun 1999 membawahi 3 kecamatan yaitu Kecamatan Kota

Ternate utara, Kecamatan Kota Ternate Selatan, Kecamatan Pulau Ternate yang

kemudian di tahun 2000 dimekarkan menjadi 4 kecamatan yakni ditambah dengan

Kecamatan Moti.

 

Ternate adalah salah satu pulau yang terletak di sebelah barat pantai

Halmahera dan merupakan salah satu dari deretan pulau-pulau vulkanis yang

masih aktif. Kedudukan Kota Ternate adalah sebagai pusat pemerintahan dan

pusat perdagangan yang sangat strategis dan penting sekali di kawasan ini. Pada

kota ini terdapat Pelabuhan Samudera Ahmad Yani dan Bandar Udara Babullah.

Kota Ternate itu sendiri berlokasi di pesisir timur Pulau Ternate dan menghadap

Pulau Halmahera. Kedudukan yang demikian ini menyebabkan Kota Ternate

memiliki peranan yang sangat penting dalam ekonomi perdagangan lintas

Halmahera. Selain itu, letak Pulau Ternate adalah dekat dengan Kota Manado

ibukota Propinsi Sulawesi Utara. Posisi strategis yang berhadapan dengan

kawasan Dodinga, sebuah persimpangan jalan di pulau Halmahera yang

menyebabkan kota ini berkembang dalam lajur perdagangan di daerah Maluku

Utara.

Mengamati perkembangan global, karakter kota, kultur masyarakat dan

lingkungan serta permasalahan pokok dan menyikapi multi potensi yang dimiliki

Kota Ternate, maka pemerintah kota menetapkan visi Kota Ternate adalah

menjadikan Ternate sebagai Kota Budaya menuju masyarakat madani, sedangkan

misi Kota Ternate adalah membangun Ternate sebagai: Kota Budaya, Kota

Gambar

Gambar 2. Konsep Teoritis untuk Pemecahan Masalah Iklim Kota
Gambar 3. RTRW Kota Batam 2004-2014
Gambar 4. RTRW Kota Tarakan 2006-2013
Gambar 6. RTRW Kota Ternate 2006-2016
+7

Referensi

Dokumen terkait

Metode yang digunakan untuk mengetahui perubahan penutupan lahan di kawasan pesisir Medan dan Deli Serdang dari citra Landsat tahun 2003, 2008 dan 2013 adalah dengan bantuan

Ruang Terbuka Hijau publik yang terdapat pada Kecamatan Banjarmasin Selatan terdiri dari jalur hijau jalan dan sempadan sungai (taman siring) sedangkan RTH Privat

Dari hasil analisis citra Landsat TM 1997 dan ETM+ 2004 diperoleh 9 jenis penutupan lahan yang di klasifikasi ulang menjadi 3 jenis penutupan lahan, yaitu badan air,

Arahan pengembangan ruang terbuka hijau dilakukan pada masing-masing kelurahan di Kecamatan Lubuk Baja sesuai dengan stadar yang berlaku, yaitu sebesar 20% untuk publik,

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Pendugaan Cadangan Karbon Pohon pada Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota di Kodya Jakarta Timur Menggunakan Citra Landsat adalah karya saya

Arahan pengembangan ruang terbuka hijau dilakukan pada masing-masing kelurahan di Kecamatan Lubuk Baja sesuai dengan stadar yang berlaku, yaitu sebesar 20% untuk publik,

Hasil yang diperoleh bahwa kebutuhan ruang terbuka hijau untuk Kota Pekanbaru berdasarkan luas wilayah terdapat kekurangan vegetasi dengan jumlah 12.499,27 hektar,

Berkenaan dengan salah satu dampak negatif dari ruang terbuka hijau yaitu salah memanfaatkan ruang terbuka hijau dengan kenakalan remaja atau berpacaran, sesuai hasil wawancara dengan