Evaluasi Ruang Terbuka Hijau Kota Pematangsiantar
SKRIPSI
Muhammad Hafidzh Sitompul 081201015/ MANAJEMEN HUTAN
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAK
MUHAMMAD HAFIDZH SITOMPUL : Evaluasi Ruang Terbuka Hijau Kota
Pematangsiantar. Dibimbing oleh : PINDI PATANA dan RAHMAWATY.
Penggunaan lahan seiring pertambahan jumlah penduduk dan aktifitas pembangunan berpengaruh pada kualitas dan kuantitas Ruang Terbuka Hijau. Tujuan penelitian ini adalah memetakan Ruang Terbuka Hijau Kota Pematangsiantar dan mengevaluasi Ruang Terbuka Hijau dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2013 yang
menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan menggunakan applikasi software
Arcview GIS 3.3.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama periode 2003-2013 Kota Pematangsiantar mengalami penurunan Luas RTH sebesar 6,67% dengan faktor Utama aktifitas pembangunan terutama di Kecamatan Siantar Marihat dan Siantar Martoba, luas RTH Kota Pematangsiantar saat ini sebesar 55,47%, akan tetapi masih di atas batas persentase minimum 30%.
ABSTRACT
MUHAMMAD HAFIDZH SITOPUL: Evaluation of Green Open Space in Pematangsiantar. Supervised by: PINDI PATANA and RAHMAWATY.
The use of land as population growth and development activities affect the quality and quantity of green open space. The purpose of this study is to map the green open space and evaluate Pematangsiantar green open space from 2003 to 2013 the use of Geographic Information Systems (GIS) using ArcView GIS 3.3 software application. The results showed that during the period 2003-2013 Pematangsiantar RTH area decreased by 6.67% with Main factors of development activities, especially in the District Siantar Marihat and Siantar Martoba, extensive green space Pematangsiantar currently at 55.47%, but still in upper limit of the minimum percentage of 30%.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pematangsiantar (Sumatera Utara) pada
tanggal 10 September 1990 dari ayah Bambang Waskita Sitompul dan
ibu Masnahwati Panggabean, anak kelima dari lima bersaudara.
Pendidikan formal penulis dimulai dari SDN 122367 Pematangsiantar
pada tahun 1996-2002, kemudian dilanjutkan di SLTP Yayasan
Perguruan Tamansiswa Pematangsiantar pada tahun 2002-2005, lalu
dilanjutkan di SMA Yayasan Perguruan Tamansiswa Pematangsiantar
pada tahun 2005-2008. Pada tahun 2008, penulis diterima di Program
Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara
melalui jalur undangan (PMP).
Penulis telah melaksanakan Praktik Pengenalan Ekosistem
Hutan (P2EH) pada tahun 2010 di Lokasi Gunung Sinabung,
Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Pada tahun 2012 penulis
melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Perum Perhutani unit
II Jawa Timur, KPH Banyuwangi Utara selama satu bulan dimulai Juli
sampai Agustus 2012.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
limpahan berkat dan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Evaluasi Ruang Terbuka Hijau Kota Pematangsiantar”. Skripsi ini
merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Program Studi
Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kedua
orangtua Bambang Waskita Sitompul dan Masnahwati Panggabean atas do’a dan
dukungannya selama ini. Selanjutnya, kepada ketua komisi pembimbing Pindi Patana,
S.Hut, M.Sc. dan anggota Rahmawaty, S.Hut., M.Si., P.hD., yang telah membimbing
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Sumatera Utara, Dinas Tata Ruang dan
Permukiman (TARUKIM) Pematangsiantar, Badan Lingkungan Hidup (BLH)
Pematangsiantar, seluruh staf pengajar dan pegawai di Program Studi Kehutanan, serta
Semua rekan mahasiswa/I yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya
bagi mahasiswa Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Akhir kata penulis mengucapkan
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
RIWAYAT HIDUP...iii
KATA PENGANTAR... iv
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 3
Manfaat ... 3
TINJAUAN PUSTAKA Tata Ruang Kota ... 4
Ruang Terbuka Hijau ... 5
Komponen Ruang Terbuka Hijau ... 8
Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau ... 11
Kebutuhan Luasan Ruang Terbuka Hijau ... 14
Penggunaan Lahan ... 15
Sistem Informasi Geografis ... 16
Sistem Satelit Landsat ... 19
Interpretasi Dan Monogram Dalam Sistem Informasi Geografis ... 20
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 28
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 28
Alat dan Bahan ... 30
Pengumpulan Data ... 30
Pembuatan Peta Penutupan Lahan ... 31
Pembuatan Peta Ruang Terbuka Hijau ... 33
Perubahan Tutupan Lahan ... 34
HASIL DAN PEMBAHASAN Tutupan Lahan Kota Pematangsiantar ... 36
Ruang Terbuka Hijau ... 42
Perubahan Tutupan Lahan ... 48
Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2003-2008 ... 48
Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2008-2013 ... 52
Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2003-2013 ... 56
Evaluasi Ruang Terbuka Hijau Pada Kecamatan... 61
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 69
Saran... 69
DAFTAR PUSTAKA ... 70
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Standar luasan RTH oleh Simonds... 15
2.
Saluran Citra Landsat TM ... 203.
Jenis data, Bentuk data dan Sumbernya ... 304. Luas Dan Persentase Tutupan Lahan Kota Pematangsiantar... 37
5. Komponen Ruang Terbuka Hijau Tahun 2013 ... 42
6. Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2003-2008 ... 50
7. Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2008-2013 ... 54
8. Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2003-2013 ... 59
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Peta lokasi penelitian... 29
2. Diagram Alir Pembuatan Peta Tutupan Lahan ... 32
3. Diagram Alir Pembuatan Peta Ruang Terbuka Hijau ... 33
4. Diagram Alir Analisis Perubahan Tutupan Lahan ... 35
5. Tutupan Lahan Kota Pematangsiantar Tahun 2003, 2008, 2013 ... 38
6. Peta Tutupan Lahan Kota Pematangsiantar Tahun 2003 ... 40
7. Peta Tutupan Lahan Kota Pematangsiantar Tahun 2008 ... 41
8. Peta Tutupan Lahan Kota Pematangsiantar Tahun 2013 ... 42
9. Ruang Terbuka Hijau Kota Pematangsiantar Tahun 2013 ... 44
10.Peta Ruang Terbuka Hijau Kota Pematangsiantar Tahun 2008 ... 46
11.Peta Ruang Terbuka Hijau Kota Pematangsiantar Tahun 2013 ... 47
12.Peta Ruang Terbuka Hijau Kota Pematangsiantar Tahun 2013 ... 48
13.Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2003-2008 ... 49
14.Peta Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2003-2008 ... 52
15.Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2008-2013 ... 53
16.Peta Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2008-2013 ... 56
17.Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2003-2013 ... 57
18.Peta Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2003-2013 ... 61
19.Luas RTH pada tiap Kecamatan Tahun 2003 ... 62
20.Diagram alir penjelasan RTH Kota Pematangsiantar ... 66
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Perubahan Lahan Pada Kecamatan Siantar Martoba dan Siantar Marihat ... 71
1. Sawah Menjadi Perumahan... 71
2. Sawah Menjadi Pertanian Lahan kering ... 71
2. Perubahan Lahan Pada Kecamatan Siantar Utara dan Siantar Barat ... 72
1. Pertaian Lahan Kering ... 72
2. Sawah Menjadi Perkebunan ... 72
3. Perubahan Lahan Pada Kecamatan Siantar Selatan dan Siantar Timur ... 73
1. Pertanian Lahan Kering Menjadi Peukiman ... 73
2. Lapagan Olah Raga ... 73
4. Citra Landsat Path Row 128/58 Kota Pematangsiantar ... 74
1. Citra Landsat path row 128/58 Kota Pematangsiantar Tahun 2003 ... 74
2. Citra Landsat path row 128/58 Kota Pematangsiantar Tahun 2008 ... 74
3. Citra Landsat path row 128/58 Kota Pematangsiantar Tahun 2008 ... 75
5. Perubahan dan Persentase RTH pada tiap Kecamatan ... 76
ABSTRAK
MUHAMMAD HAFIDZH SITOMPUL : Evaluasi Ruang Terbuka Hijau Kota
Pematangsiantar. Dibimbing oleh : PINDI PATANA dan RAHMAWATY.
Penggunaan lahan seiring pertambahan jumlah penduduk dan aktifitas pembangunan berpengaruh pada kualitas dan kuantitas Ruang Terbuka Hijau. Tujuan penelitian ini adalah memetakan Ruang Terbuka Hijau Kota Pematangsiantar dan mengevaluasi Ruang Terbuka Hijau dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2013 yang
menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan menggunakan applikasi software
Arcview GIS 3.3.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama periode 2003-2013 Kota Pematangsiantar mengalami penurunan Luas RTH sebesar 6,67% dengan faktor Utama aktifitas pembangunan terutama di Kecamatan Siantar Marihat dan Siantar Martoba, luas RTH Kota Pematangsiantar saat ini sebesar 55,47%, akan tetapi masih di atas batas persentase minimum 30%.
ABSTRACT
MUHAMMAD HAFIDZH SITOPUL: Evaluation of Green Open Space in Pematangsiantar. Supervised by: PINDI PATANA and RAHMAWATY.
The use of land as population growth and development activities affect the quality and quantity of green open space. The purpose of this study is to map the green open space and evaluate Pematangsiantar green open space from 2003 to 2013 the use of Geographic Information Systems (GIS) using ArcView GIS 3.3 software application. The results showed that during the period 2003-2013 Pematangsiantar RTH area decreased by 6.67% with Main factors of development activities, especially in the District Siantar Marihat and Siantar Martoba, extensive green space Pematangsiantar currently at 55.47%, but still in upper limit of the minimum percentage of 30%.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kemajuan perekonomian dan peningkatan jumlah penduduk menjadi
permasalahan yang banyak terjadi di Indonesia khususnya yang berkaitan dengan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang semakin berkurang dikarenakan oleh proses
pembangunan yang dilakukan tanpa memperhatikan keadaan lingkungan sekitar.
Dampak dari aktivitas pembangunan itu sendiri akan mempengaruhi kualitas
lingkungan, karena itu harus selalu diperhitungkan, baik dampak positif maupun
dampak negatif yang harus selalu dikendalikan. Isu yang berkaitan dengan
lingkungan antara lain RTH secara umum, terkait dengan beberapa tantangan
karakteristik perkotaan seperti menurunnya kualitas lingkungan hidup perkotaan.
oleh karena itu diharapkan pemerintah dapat mengontrol berjalannya poses
pembanguan dan juga bekerjasama langsung dengan masyarakat sebagai pihak
yang terkait langsung dan menjadi sasaran atau objek dalam pembangunan agar
dapat menciptakan lingkungan yang baik dan berkesinambungan.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) di wilayah perkotaan merupakan bagian dari
penataan ruang kawasan perkotaan yang memiliki manfaat kehidupan yang sangat
tinggi, tidak saja dapat menjaga dan mempertahankan kualitas lingkungan tapi
juga dapat menjadi nilai kebanggaan identitas kota. Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan Ruang, menyatakan bahwa penataan
ruang perkotaan diselenggarakan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang
1. Terwujudnya Keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan
buatan ;
2. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan
sumber daya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manuia; dan
3. Terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang
Pematangsiantar adalah kota yang sedang berkembang baik dari segi
pembangunan, perekonomian maupun kebudayaan, dalam aktifitas pembangunan
sejauh ini banyak terlihat penggunaan ruang yang semakin besar sehingga
memicu menurunnya keberadaan RTH dimana pemerintah kota sepertinya kurang
memperhatikan keberadaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Pematangsiantar.
Indikasi penurunan kualitas RTH terlihat jelas dari peningkatan aktifitas
pembangunan di Kota Pematangsiantar, yang dulunya bagian dari RTH kini tahap
demi tahap berubah menjadi bangunan rumah dan pemukiman, dimana perubahan
itu semakin mengarah kepada penurunan kualitas dan kuantitas RTH dan
berdampak buruk pada kualitas lingkungan Kota Pematangsiantar, sehingga kalau
hal seperti ini terus meningkat maka bisa dipastikan Kota Pematangsiantar
semakin lama semakin buruk keadaannya baik dari segi lingkungan maupun
estetikanya.
Penelitian ini bertujuan untuk memetakan Ruang Terbuka Hijau di Kota
Pematangsiantar dan mengetahui perkembangan RTH, tutupan lahan dan
perubahannya dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2013. Dengan penurunan luas
RTH, maka sudah seharusnya pemerintah kota Pematangsiantar memperhatikan
dan manusia dan meningkatkan kembali kualitas lingkungan perkotaan.
Undang-undang No. 26 Tahun 2007 menyebutkan bahwa luas ideal Ruang Terbuka Hijau
kawasan perkotaan (RTHKP) minimal 30 % dari luas kawasan kota. Evaluasi ini
diharapkan membantu pemerintah kota dalam pengembangan, pengelolaan serta
pemanfaatan RTH agar kedepannya bertindak sesuai dengan peraturan dan
ketentuan yang berlaku.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Memetakan luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Pematangsiantar.
2. Mengevaluasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) dari tahun 2003 sampai tahun
2013 di Kota Pematangsiantar.
Manfaat
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi keadaan Ruang Terbuka
Hijau dan perubahan tutupan lahan dari tahun 2003 sampai tahun 2013 dan juga
sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan tata ruang Kota Pematangsiantar
TINJAUAN PUSTAKA
Tata Ruang Kota
Kota adalah sebagai suatu wadah yang mempunyai batasan administrasi
wilayah yang jelas, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang. Kota
sebagai suatu lingkungan dengan rangkaian ekosistem yang kompleks, yang
terdiri dari komponen-komponen fisik, biologis, sosial, budaya dan ekonomi
selalu mengalami perkembangan dan perubahan yang akan berpengaruh pada tata
kota (Nurisjah, 1997).
Tata ruang kota secara fisik dapat dipisahkan menjadi ruang terbangun dan
ruang terbuka. Berdasarkan Depdagri (1998), ruang terbuka adalah ruang-ruang
dalam kota atau wilayah lebih luas, baik dalam area memanjang/jalur yang dalam
penggunaannya bersifat terbuka atau dasarnya tanpa bangunan.
Tata ruang kota penting dalam efisiensi sumberdaya kota dan juga
efektifitas penggunaannya, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya lainnya.
Ruang-ruang kota yang ditata terkait dan saling berkesinambungan ini mempunyai
pendekatan dalam perencanaan dan pembangunannya. Tata guna lahan, sistem
tranportasi, dan sistem jaringan utilitas merupakan tiga factor utama dalam menata
ruang kota. Dalam perkembangan selanjutnya, konsep ruang kota selain dikaitkan
dengan permasalahan utama perkotaan yang akan dicari solusinya juga dikaitkan
dengan pencapaian tujuan akhir dari suatu penataan ruang yaitu untuk
kesejahteraan, kenyamanan, serta kesehatan warga dan kotanya.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan
Ruang dan Peraturan Menteri PU No.05/PRT/M/2008 tentang pedoman
penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan
disebutkan bahwa pengertian Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area
memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat
terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah
maupun yang sengaja ditanam. Dalam UU No. 26 Tahun 2007, secara khusus
mengamanatkan perlunya penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau, yang
proporsi luasannya ditetapkan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas
wilayah kota.
Menurut Intruksi Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 1998, Ruang
Terbuka Hijau merupakan bagian dari ruang terbuka yang pemanfatannya lebih
bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah maupun
bududaya tanaman. Ruang Terbuka Hijau menurut Nurisjah (1997) adalah ruang
terbuka yang ditanami dengan tanaman, mulai dari yang bersifat alami(rumput,
jalur hijau, Taman bermain dan taman lingkungan didaerah pemukiman).
Sedangkan Ruang Terbuka Hijau Menurut Handikto (1997) adalah suatu ruang
terbuka yang ditumbuhi oleh pepohonan, dengan persentase ideal 20-30% dari
luas bidang tanah termasuk yang ditempati bangunan rumah, misalnya halaman
rumah.
Secara umum ruang terbuka publik di perkotaan terdiri dari Ruang
Terbuka Hijau dan Ruang Terbuka non Hijau, Ruang Terbuka Hijau (RTH)
sosial budaya dan arsitektural yang dapat memberi manfaat ekonomi dan
kesejahteraan bagi masyarakatnya, seperti antara lain :
1. Fungsi ekologis, RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah
banjir, mengurangi polusi udara dan pengatur iklim mikro.
2. Fungsi sosial budaya, keberadaan RTH dapat memberikan fungsi sebagai
ruang interaksi sosial. Saranarekreasi dan sebagai landmark kota.
3. Fungsi arsitektural, RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan
kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota dan jalur hijau
jalan kota.
4. Fungsi ekonomi, RTH sebagai pengembangan sarana wisata hijau
perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan.
Berdasarkan luasannya , ruang terbuka hijau dibedakan atas :
1. Ruang Terbuka Makro, mencakup daerah pertanian, perikanan, hutan
lindung, hutan kota, dan pengaman di ujung landasan Bandar Udara.
2. Ruang Terbuka Medium, mencakup pertamanan kota, lapangan olah raga,
Tempat Pemakaman Umum (TPU).
3. Ruang Terbuka Mikro, mencakup taman bermain (playground) dan taman lingkungan (community park).
Haryadi (1993) membagi sistem budidaya dalam ruang terbuka hijau
dengan dua sistem yaitu sistem monokultur dan sistem aneka ragam hayati.
Sistem monokultur hanya terdiri dari satu jenis tanaman saja, sedang sistem aneka
tanaman (kombinasi antar jenis) dan dapat juga kombinasi antar flora dan fauna,
seperti perpaduan antaran taman dengan burung-burung merpati. Banyak pendapat
tentang luas ruang terbuka hijau ideal yang dibutuhkan oleh suatu kota.
Perserikatan Bangsa - Bangsa (PBB) melalui World Development Report
(1984) menyatakan bahwa prosentase ruang terbuka hijau yang harus ada di kota
adalah 50% dari luas kota atau kalau kondisi sudah sangat kritis minimal 15% dari
luas kota. Direktorat Jendral Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum,
menyatakan bahwa luas ruang terbuka hijau yang dibutuhkan untuk satu orang
adalah 1,8 m2. Jadi ruang terbuka hijau walaupun hanya sempit atau dalam bentuk
tanaman dalam pot tetap harus ada di sekitar individu. Lain halnya jika ruang
terbuka hijau akan dimanfaatkan secara fungsional, maka luasannya harus
benar-benar diperhitungkan secara proporsional.
RTH perkotaan mempunyai manfaat kehidupan yang tinggi. Berbagai
fungsi yang terkait dengan keberadaannya (fungsi ekologis, sosial, ekonomi, dan
arsitektural) dan nilai estetika yang dimilikinya (obyek dan lingkungan) tidak
hanya dapat dalam meningkatkan kualitas lingkungan dan untuk kelangsungan
kehidupan perkotaan tetapi juga dapat menjadi nilai kebanggaan dan identitas
kota. Untuk mendapatkan RTH yang fungsional dan estetik dalam suatu sistem
perkotaan maka luas minimal, pola dan struktur, serta bentuk dan distribusinya
harus menjadi pertimbangan dalam membangun dan mengembangkannya.
Karakter ekologis, kondisi dan keinginan warga kota, serta arah dan tujuan
pembangunan dan perkembangan kota merupakan determinan utama dalam
Keberadaan RTH penting dalam mengendalikan dan memelihara
integritas dan kualitas lingkungan. Pengendalian pembangunan wilayah perkotaan
harus dilakukan secara proporsional dan berada dalam keseimbangan antara
pembangunan dan fungsi-fungsi lingkungan. Kelestarian RTH suatu wilayah
perkotaan harus disertai dengan ketersediaan dan seleksi tanaman yang sesuai
dengan arah rencana dan rancangannya.
Komponen Ruang Terbuka Hijau
Ruang terbuka hijau merupakan salah satu bentuk konsep untuk
meningkatkan kualitas hidup di wilayah perkotaan. Pengembangan ruang terbuka
hijau di perkotaan diupayakan membuka peluang terciptanya kawasan hijau
bersifat alami dengan vegetasi jenis tanaman yang merupakan bagian dari
penataan ruang kota sebagai kawasan hijau (Purnomo, 2001).
Dengan keberadaan ruang terbuka hijau yang memadai, warga kota akan
merasakan manfaat ruang terbuka hijau berupa nilai estetis, ekologis, hidrologis,
klimatologis, edhapis, orologis, protektif, higenis, dan edukatif ( Nazaruddin
dalam Aji, 2000).
Rencana umum tata ruang kota menetapkan komponen-komponen ruang
terbuka hijau berdasarkan kriteria, sasaran dan fungsi penting, vegetasi serta
intensitas manajemennya yaitu :
1. Taman, fungsi utamanya adalah menghasilkan oksigen. Oleh karena itu
jenis tanaman yang dibudidayakan dipilih dari jenis-jenis yang
2. Jalur Hijau, termasuk didalamnya adalah pohon peneduh pinggir jalan,
jalur hijau disekitar sungai dan hijauan ditempat parker maupun ruang
terbuka hijau lainnya,
3. Kebun dan pekarangan, selain bertujuan untuk produksi, kebun dan
pekarangan hendaknya ditanam dengan jenis-jenis yang mendukung
kenyamanan lingkungan perkotaan.
4. Hutan kota, merupakan suatu penerapan beberapa fungsi hutan seperti
ameliorasi iklim, hidrologis dan penangkal pencemaran. Fungsi-fungsi ini
bertujuan mengimbangi kecenderungan menurunnya kualitas lingkungan.
Berbagai potensi dan peluang hutan kota akan mengatasi, mencegah, dan
mengendalikan lingkungan.
Sementara itu dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007
disebutkan bahwa komponen pengisi RTH yaitu :
1. Taman Kota.
2. Taman Wisata Alam.
3. Taman Rekreasi.
4. Taman Lingkungan Perumahan dan Pemukiman.
5. Taman Lingkungan Perkantoran dan Gedung Komersial.
6. Taman Hutan Raya.
7. Hutan Kota.
8. Hutan Lindung.
9. Bentang alam seperti gunung, bukit, lereng dan lembah.
11.Kebun Raya.
12.Kebun Binatang.
13.Pemakaman Umum.
14.Lapangan Olah Raga.
15.Lapangan Upacara.
16.Parkir Terbuka.
17.Lahan Pertanian Perkotaan.
18.Jalur dibawah tegangan tinggi (SUUT dan SUTET).
19.Sempadan Sungai, Pantai, Bangunan, Situ dan Rawa.
20.Jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian.
21.Kawasan dan Jalur Hijau.
22.Daerah penyangga (buffer zone) lapangan Udara. 23.Taman Atap (roof garden).
Menurut Grey dan Denneke (1986) dan Fahutan IPB (1987) berdasarkan
kriteria sasaran, fungsi penting, jenis vegetasi, intensitas manajemen, status
pemilik serta pengelolanya; komponen penyusun RTH dapat dikelompokkan
kedalam empat bentuk yaitu butan kota, taman kota, jalur hijau kota serta kebun
dan pekarangan. Selanjutnya menurut Irwan (1997), sempadan sungai, sempadan
pantai, dan lereng/bukit/gunung yang tersebar didalam kota juga merupakan
komponen RTH yang penting keberadaannya.
Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau
Manusia yang tinggal dilingkungan perkotaan membutuhkan suatu
tata ruang kota merupakan wahana untuk mewujudkan suatu kota yang nyaman
asri, dan sehat. Salah satu tolok ukur penataan ruang yang mampu memberikan
kenyamanan, keasrian, dan kesehatan bagi penghuni kota adalah tersedianya
alokasi RTH. RTH dalam hal ini adalah RTH yang mencukupi kebutuhan
lingkungan perkotaan dan berkelanjutan dari waktu ke waktu(Aji, 2000)
Fungsi RTH di perkotaan menurut Simonds (1983), yaitu sebagai penjaga
kualitas lingkungan, penyumbang ruang bernafas yang segar dan keindahan
visual, paru-paru kota, penyangga sumber air dalam tanah, untuk mencegah erosi
dan sarana pendidikan. Ruang terbuka hijau (RTH) memiliki fungsi utama
(intrinsik) yaitu fungsi ekologis, dan fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi
aritektural, sosial, dan fungsi ekonomi. Dalam suatu wilayah perkotaan empat
fungsi utama ini dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, dan
keberlanjutan kota.
RTH berfungsi ekologis, yang menjamin keberlanjutan suatu wilayah kota
secara fisik, harus merupakan satu bentuk RTH yang berlokasi, berukuran. Dan
berbentuk pasti dalam satu wilayah kota, seperti RTH untuk perlindungan
sumberdaya penyangga kehidupan manusia dan untuk membangun jejaring
habitat kehidupan liar. RTH untuk fungsi-fungsi lainnya (sosial, ekonomi,
struktural) merupakan RTH pendukung dan penambah nilai kualitas lingkungan
dan budaya kota tersebut sehingga dapat berlokasi dan berbentuk sesuai dengan
kebutuhan dan kepentingannya, seperti untuk keindahan, rekreasi, dan pendukung
Manfaat RTH berdasarkan fungsinya dibagi atas manfaat langsung (dalam
pengertian cepat dan berifat tangible) seperti mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu dan bunga), kenyamanan fisik (teduh, segar), keinginan dan manfaat
tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible) seperti perlindungan tata air dan konservasi hayati atau keanekaragaman hayati.
Manfaat lain dari ruang terbuka hijau antara lain yaitu :
a. Ameliorasi iklim, artinya dapat mempengaruhi dan memperbaiki iklim
mikro. Ruang terbuka hijau menghasilkan O2 dan uap air (H2O) yang
menurunkan, serta menyerap CO2 yang bersifat gas rumah kaca sehingga
dapat menaikkan suhu udara dan berpengaruh pada iklim mikro setempat.
b. Memberikan perlindungan terhadap terpaan angin kencang dan peredam
suara. Tanaman berfungsi sebagai pematah angin (windbreak) dan peredam suara (soundbreak).
c. Memberikan perlindungan terhadap terik sinar matahari. Kehadiran
tanaman dalam ruang terbuka hijau akan mengintersepsi dan memantulkan
radiasi matahari untuk fotosintesis dan transpirasi sehingga di bawah tajuk
akan terasa lebih sejuk
d. Memberikan perlindungan terhadap asap dan gas beracun, serta penyaring
udara kotor dan debu
f. Merupakan sarana penyumbang keindahan dan keserasian antara struktur
buatan manusia secara alami.
g. Ruang terbuka hijau berfungsi secara tidak langsung untuk memperbaiki
tingkat kesehatan masyarakat.
h. Membantu peresapan air hujan sehingga memperkecil erosi dan banjir
serta membantu penanggulangan intrusi air laut. Tanaman dalam ruang
terbuka hijau yang diperuntukkan untuk mencegah intrusi air laut adalah
jenis tanaman yang berkemampuan dalam menyerap, menyimpan, dan
memasok air. Sebagai sarana rekreasi dan olah raga.
i. Tempat hidup dan berlindung bagi hewan dan pakan mikroorganisme.
j. Sebagai tempat konservasi satwa dan tanaman lain.
k. Sarana penelitian dan pendidikan.
l. Sebagai pelembut, pengikat, dan pemersatu bangunan.
m. Meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar ruang terbuka hijau, apabila
jenis tanaman yang ditanam bernilai ekonomi.
n. Sarana untuk bersosialisasi antar warga masyarakat.
o. Sebagai media pengaman antar jalur jalan.
Kebutuhan Luasan Ruang Terbuka Hijau
Penetapan berapa besar luasan yang harus disediakan untuk menciptakan
(1964) untuk mengakomodasikan kebutuhan 100-300 orang diperlukan paling
sedikit 40.000 m2 luasan RTH. Luasan ini didistribusikan menjadi :
1. Taman lingkungan ketetanggan (neighbourhood parks) ≥ 4.000 m2 dengan jangkauan pelayanan 10-200 m.
2. Taman lingkungan komunitas ≥100.000 m2 dengan jangkauan pelayanan
625-900 m.
3. Taman Kota atau Taman Regional dengan luasan yang lebih besar dan
berada di daerah strategis.
Selain itu standar luasan RTH juga dapat dihitung berdasarkan masalah
penting diwilayah perkotaan antara lain dengan menggunakan pendekatan
perhitungan pemenuhan kebutuhan oksigen untuk warga kota dengan
menggunakan rumus Gerarkis dan metode Kunto, serta dengan perhitungan
pemenuhan kebutuhan air untuk warga kota.
Standar luasan RTH lainnya diajukan oleh Simond (1983) yang secara
hirarki mempertimbangkan kebutuhan dalam suatu wilayah seperti tercantum
pada Tabel 1.
Tabel 1. Standar Luasan RTH oleh Simonds
Hirarki Wilayah
Ketetanggaan 1.200 4.320 12.000 Lapangan Bermain,
Areal rekreai, Taman
Komunitas 10.000 36.000 20.000 Lapangan Bermain atau
taman
Kota 100.000 40.000 RTH umum, taman
areal bermain
Wilayah/Regoinal 1.000.000 80.000 RTH umum, areal
rekreasi, berkemah
Secara singkat dari tabel berikut standar kebutuhan RTH menurut simond
yaitu 40 m2/penduduk. Dalam Penelitian ini penulis mengacu kepada UU No. 26
Tahun 2007 dan Permendagri No.1 Tahun 2007 dimana disebutkan bahwa suatu
kota harus memiliki proporsi luasan RTH minimal 30 % dari luas wilayah kota.
Penggunaan Lahan
Lahan (land) adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya
terhadap penggunaan lahan (Sitorus, 2003). Menurut Lillesand dan Kiefer (1987),
penggunaan lahan (land use) merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan dan terkait dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan.
Pendapat Townshend dan Justice (1981 dalam Hartanto, 2006) mengenai
penutupan lahan, yaitu perwujudan secara fisik (visual) dari vegetasi, benda alam,
dan unsur-unsur budaya yang ada di permukaan bumi tanpa memperhatikan
kegiatan manusia terhadap obyek tersebut.
Menurut Arsyad (1989) penggunaan lahan diartikan sebagai bentuk
intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual. Penggunaan lahan dibagi
kedalam dua kelompok utama yaitu penggunaan lahan pertanian dan non
pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan dalam tegalan, sawah, kebun
karet, hutan produksi dan sebagainya. Sedangkan penggunaan lahan bukan
pertanian dapat dibedakan kedalam penggunaan kota atau desa (pemukiman),
Karateristik lahan merupakan atribut dari lahan yang dapat diukur dan
diduga secara langsung yang berhubungan dengan penggunaan lahan tertentu,
misalnya kemiringan lereng, tekstur tanah, kedalaman efektif, curah hujan dan
sebagainya (FAO, 1976).
Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu sistem yang
berorientasi operasi berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan, dan
manipulasi data yang bereferensi geografis secara konvensional. Operasi ini
melibatkan perangkat komputer (perangkat keras dan perangkat lunak) yang
mampu menangani data mencakup (input), (b) manajemen data (penyimpanan dan
pemanggilan data) dan (c) manipulasi dan analisis, dan (d) pengembangan produk
dan pencetakan (Aronoff, 1989).
Salah satu prosedur kerja yang umum dilakukan dalam SIG adalah
penumpang tindihan beberapa peta untuk mencari suatu wilayah tertentu. Dalam
pekerjaan perencanaan keruangan dimana data-data disajikan dalam bentuk peta,
pendekatan ini sangat biasa dilakukan. Tumpang tindih bukan hanya
menggabungkan garis yang terdapat pada dua atau tiga peta tersebut menjadi
gabungan, karena hal ini hanya bagian kegiatan fisiknya, akan tetapi yang lebih
penting menggali makna yang diakibatkan oleh kegiatan tersebut (Barus dan
Wiradisastra, 2000).
Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) menjanjikan pengelolaan
sumber daya dan pembuatan model terutama model kuantitatif menjadi lebih
mudah dan sederhana. SIG merupakan suatu cara yang efesien dan efektif untuk
Sistem Informasi Geografis dapat dibagi menjadi empat komponen, yaitu :
1. Sistem Komput er
Sistem komputer berupa komputer dan sistem operasi yang digunakan untuk
mengoperasikan SIG.
2. Perangkat Lunak
Perangkat Lunak SIG berupa program dan antarmuka pengguna untuk
menjalankan perangkat keras
3. Perangkat Pikir
Perangkat pikir menunjuk pada tujuan, sasaran, dan alasan penggunaan SIG
4. Infrastruktur
Infrastruktur menunjuk pada kebutuhan fisik yang berhubungan dengan
ketatausahaan organisasi, dan lingkungan penggunaan SIG.
Sub-sistem SIG
Anam (2005) menyatakan bahwa Sistem Informasi Geografis pada
dasarnya dapat dirinci menjadi tiga sub sistem yang saling terkait, yaitu :
1. Input Data
Input data dalam SIG terdiri dari data grafis atau data spasial dan data
atribut. Kumpulan data tersebut disebut database. Database tersebut
melputi data tentang posisinya di muka bumi dan data atribut dari
kenampakan geografis yang disimpan dalam bentuk titik-titik, garis atau
vektor, area dan piksel atau grid. Sumber database untuk SIG secara
konvensional dibagi dalam tiga kategori :
a. Data atribut atau informasi numerik, berasal dari data statistik, data
b. Data grafis atau data spasial, berasal dari peta analog, foto udara dan
citra penginderaan jauh lainnya dalam bentuk cetak kertas.
c. Data penginderaan jauh dalam bentuk digital, seperti yang diperoleh
dari satelit (Landsat, SPOT, NOOA).
2. Pemrosesan Data
Pemrosesan terdiri dari manipulasi dan analisi data. Fungsi dari manipulasi
dan analisi data dilakukan untuk kepentingan geometrik yang digunakan
untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan pencarian lokasi atau
luas areal yang sesuai dengan kriteria tertentu atau dapat pula dalam
pencarian informasi yang ada dalam suatu tempat tertentu. Manipulasi
dilakukan dengan rotasi, pengubahan dan penskalaan koordinat, konversi
koordinat geografi, registrasi, analisis spasial dan statistik. Analisis data
yang ada pada database dilakukan dengan menggunakan overlaying
beberapa layer tematik yang berkaitan.
3. Output Data
Output dari SIG dapat berupa peta hasil cetak warna, peta digital, dan data
tabuler. Peta hasil cetak dapat berupa peta garis (dengan menggunakan
plotter) maupun peta biasa (dengan menggunakan printer).
Sistem Satelit Landsat
Satelit Landsat merupakan salah satu satelit sumber daya bumiyang
dikembangkan NASA dan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat. Satelit ini
pertama adalah satelit Landsat1 sampai 3. Satelit generasi kedua adalah satelit
membawa dua jenis sensor yaitu sensor MMS dan sensor Thematic Mapper (TM). Kelebihan sensor TM adalah menggunakan tujuh saluran, enam saluran
terutama dititikberatkan untuk studi vegetasi dan satu saluran untuk studi geologi,
sedangkan Landsat TM mempunyai 7 band. Untuk lebih singkatnya dapat dilihat
pada tabel 2.
Tabel 2. Saluran Citra Landsat TM (Lillesand dan Kiefer, 1979). Saluran Kisaran
Gelombang (μm) Kegunaan Utama
1 0,45 – 0,52 Penetrasi tubuh air, analisis penggunaan lahan, tanah,
dan vegetasi. Pembedaan vegetasi dan lahan.
2 0,52 – 0,60 Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada saluran
hijau yang terletak diantara dua saluran penyerapan. Pengamatan ini dimaksudkan untuk membedakan jenis vegetasi dan untuk membedakan tanaman sehat terhadap tanaman yang tidak sehat
3 0,63 – 0,69 Saluran terpenting untuk membedakan jenis vegetasi.
Saluran ini terletak pada salah satu daerah penyerapan klorofil
4 0,76 – 0,90 Saluran yang peka terhadap biomasa vegetasi. Juga
untuk identifikasi jenis tanaman. Memudahkan pembedaan tanah dan tanaman serta lahan dan air.
5 1,55 – 1,75 Saluran penting untuk pembedaan jenis tanaman,
kandungan air pada tanaman, kondisi kelembapan tanah.
6 2,08 – 2,35 Untuk membedakan formasi batuan dan untuk
pemetaan hidrotermal.
7 10,40 – 12,50 Klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi.
Pembedaan kelembapan tanah, dan keperluan lain yang berhubungan dengan gejala termal.
8 Pankromatik Studi kota, penajaman batas linier, analisis tata ruang
Citra penginderaan jauh ini sangatlah bermanfaat untuk pemetaan tutupan
lahan karena selain mempermudah dalam hal pengklasifikasian lahan juga
mempermudah dalam hal menganalisis tutupan suatu lahan atau areal tertentu.
Interpretasi citra adalah tindakan mengkaji foto atau citra dengan maksud
untuk mengenali objek dan gejala serta menilai arti pentingnya objek dan gejala
tersebut. Dalam interpretasi citra, penafsir mengkaji citra dan berupaya mengenali
objek melalui tahapan kegiatan, yaitu:
1. Deteksi
2. Identifikasi
3. Analisis
Setelah melalui tahapan tersebut, citra dapat diterjemahkan dan digunakan
ke dalam berbagai kepentingan seperti dalam: geografi, geologi, lingkungan hidup
dan sebagainya. Pada dasarnya kegiatan interpretasi citra terdiri dari 2 proses,
yaitu:
A. Pengenalan objek melalui proses deteksi, yaitu pengamatan atas adanya
suatu objek. Berarti penentuan ada atau tidaknya sesuatu pada citra atau
upaya untuk mengetahui benda dan gejala di sekitar kita dengan
menggunakan alat pengindera (sensor). Untuk mendeteksi benda dan gejala
di sekitar kita, penginderaan tidak dilakukan secara langsung atas benda,
melainkan dengan mengkaji hasil reklamasi dari foto udara atau satelit.
Dalam identifikasi ada tiga ciri utama benda yang tergambar pada citra
berdasarkan cirri yang terekam oleh sensor yaitu sebagai berikut:
1. Spektoral, ciri yang dihasilkan oleh interaksi antara
tenagaelektromagnetikdan benda yang dinyatakan dengan rona dan
warna.
2. Spatial, ciri yang terkait dengan ruang yang meliputi bentuk, ukuran,
3. Temporal, ciri yang terkait dengan umur benda atau saat perekaman.
B. Penilaian atas fungsi objek dankaitan antar objek dengan cara
menginterpretasi dan menganalisis citra yang hasilnya berupa klasifikasi
yang menuju kea rah terorisasi dan akhirnya dapat ditarik kesimpulan dari
penilaian tersebut. Pada tahapan ini interpretasi dilakukan oleh seorang yang
sangat ahli pada bidangnya, karena hasilnya sangat tergantung pada
kemampuan penafsir citra.
Citra dapat diterjemahkan dan digunakan ke dalam berbagai kepentingan
seperti dalam: geografi, geologi, lingkungan hidup, dan sebagainya. Interpretasi
citra berlandaskan 9 metode kunci interpretasi yang dijelaskan oleh Sutanto; 1986
sebagai berikut ini:
a) Rona
Merupakan tingkat kehitaman atau tingkat kegelapan obyek pada citra/ foto,
rona merupakan tingkatan dari hitam ke putih atau sebaliknya, dengan mata
biasa rona dapat dibedakan menjadi 5 tingkatan putih, kelabu-putih, kelabu,
kelabu hitam dan hitam.
b) Warna
Merupakan wujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan spectrum
sempit, lebih sempit dari spectrum tampak, contohnya warna atap pabrik adalah putih, warna taman adalah hijau, dsb.
c) Bentuk
Merupakan atribut yang jelas sehingga banyak obyek yang dapat dikenali
Bangunan Gedung: berbentuk I, L, U, tajuk pohon alma: berbentuk
bintang, Gunung berapi: berbentuk kerucut, dsb.
d) Ukuran
Atribut obyek yang berupa panjang (sungai,jalan), luas (lahan), volume,
ukuran ini merupakan fungsi skala. Misalnya ukuran rumah berbeda
dengan ukuran perkantoran, biasanya rumah berukuran lebih kecil
dibandingkan dengan bangunan perkantoran.
e) Tekstur
Frekuensi perubahan rona pada citra/ foto atau pengulangan rona pada
kelompok objek (permukiman) tekstur dinyatakan dengan kasar (hutan)
sedang (belukar) halus (tanaman padi, permukaan air).
f) Pola
Susunan keruangna merupakan ciri yang menandai bagi banyak objek
bentukan manusia dan bagi beberapa objek bentukan alamiah, contoh;
pola teratur (tanaman perkebunan.Permukiman transmigrasi), pola tidak
teratur: tanaman di hutan, jalan berpola teratur dan lurus berbeda dengan
sungai yang berpola tidak teratur atau perumahan (dibangun oleh
pengembang) berpola lebih teratur jika dibandingkan dengan perumahan
diperkampungan.
g) Bayangan
Merupakan kunci pengenalan objek yang penting untuk beberpa jenis
objek, misalnya, untuk membedakan antara pabrik dan pergudangan,
dimana pabrik akan terlihat adanya bayangan cerobong asap sedangkan
h) Situs
Menjelaskan letak objek terhadap objek lain disekitarnya, contoh pohon
kopi di tanah miring, pohon nipah di daerah payau, sekolah dekat
lapangan olahraga, pemukiman akan memanjang di sekitar jalan utama.
i) Assosiasi
Diartikan sebagai keterkaitan antara objek yang satu dengan objek yang
lain. Sehingga asosiasi ini dapat dikenali 2 objek atau lebih secara
langsung. Contohnya stasiun KA, terdapat jalur rel KA.
j) Konvergensi Bukti
Penggunaan beberapa unsur interpretasi citra sehingga lingkupnya
menjadi semakin menyempit kea rah satu kesimpulan tertentu . Contoh:
Tumbuhan dengan tajuk seperti bintang pada citra, menunjukkan pohon
palem. Bila ditambah unsurinterpretasi lain, seperti situsnya di tanah
becek dan berair payau, maka tumbuhan palma tersebut adalah sagu,
(andimanwno, 2013).
Bentang alam dan bentang budaya merupakan objek dari penginderaan jauh.
Contoh pengenalan unsur bentang alam dan bentang budaya dari citra
penginderaan jauh oleh Prof. Dr. Sutanto dalam bukunya penginderaan jauh,
tahun 1992.
1. Unsur Bentang Alam
a. Sungai, memiliki tekstur permukaan air yang seragam dengan rona yang
gelap jika airnya jernih atau cerah jika keruh. Arah aliran sungai ditandai oleh
sudut lancip sesuai dengan arah aliran, perpindahan meander ke arah samping
dan ke arah bawah (muara).
b. Dataran banjir, memiliki permukaan yang rata dengan posisi lebih rendah dari
daerah sekitar. Dataran banjir memiliki rona yang seragam atau
kadang-kadang tidak seragam, dan terdapat sungai yang posisinya kadang-kadang-kadang-kadang
agak jauh.
c. Guguk pasir, berbentuk sempit dan memanjang, lurus atau melengkung, igir
rendah dengan permukaan air yang datar, sejajar sama lain dan sejajar pantai.
Tak terdapat aliran permukaan dan erosi. Pada kawasan terbukti bentuknya
sesuai garis tinggi.
d. Hutan bakau, memiliki rona sangat hitam karena daya pantul terhadap cahaya
rendah, ketinggian pohon seragam dan tumbuh pada pantai yang becek, tepi
sungai atau peralihan air payau.
e. Hutan rawa, memiliki rona dan tekstur tidak seragam. Hal ini disebabkan
karena ketinggian pohonnya berbeda. Terletak antara hutan bakau dengan
hutan rimba di kawasan pedalaman.
2. Unsur bentang budaya
a. Jalan raya dan jalan kereta api
Jalan raya dan jalan kereta api memiliki bentuk memanjang, lebarnya
seragam dan relative lurus. Tekstur halus serta rona yang kontras dengan
daerah sekitar dan pada umumnya cerah.
b. Terowongan dan jembatan
1. Pada terowongan Nampak seperti jalan atau jalan kereta api yang tiba-tiba
2. Pada jembatan Nampak adanya sungai atau saluran irigasi yang menyilang
jalan, terdapat bayangan karena perbedaan tinggi antara jembatan dengan
sungai.
c. Rumah permukiman
1) Rumah mukim berbentuk empat persegi panjang, terdapat bayangan di
tengah-tengah bagian atapnya, terletak di dekat jalan dan ukuran rumah
relative kecil
2) Gedung sekolah bentuknya seperti I, L atau U dengan halaman yang
teratur dan bersih serta luas.
3) Rumah sakit merupakan bangunan seragam, besar dan memanjang, pola
teratur dengan deretan bangunan yang terpisah satu sama lain yang
dihubungkan oleh bangunan penghubung. Memiliki halaman yang luas
untuk parker dan letaknya di tepi jalan.
4) Pabrik/industri memiliki gedung dengan ukuran besar dan pada umumnya
memanjang, beberapa gedung sering bergabung dengan jarak yang dekat
(rapat). Terletak di pinggir jalan , terdapat tempat bongkar muat barang,
kadang-kadang nampak tangki air/bahan bakar, cerobong asap dan
sebagainya.
5) Pasar memiliki bentuk dan ukuran gedung yang teratur dan seragam. Pola
teratur dengan jarak rapat, terletak di tepi jalan besar dan nampak
konsentrasi kendaraan bermotor dan tidak bermotor.
d. Tanah pertanian dan perkebunan
1) Sawah berupa petak-petak persegi panjang pada daerah datar, pada daerah
irigasi. Jika pada sawah tersebut terdapat tanaman padi, memiliki tekstur
yang halus dengan rona gelap pada usia tua. Jika ditanami tebu, tekstur
lebih kasar dari padi dan tampak jalur lariknya. Tekstur dan rona nampak
seragam pada kawasan yang luas.
2) Perkebunan karet memiliki jalur lurus dengan tinggi pohon seragam, jarak
tanaman dalam jalur teratur demikian juga jarak antar jalur. Tekstur mirip
beledu dengan rona yang gelap.
3) Perkebunan kopi tampak sebagai deretan lurus titik-titik hitam dan latar
belakang cerah. Pohon pelindung lebih tinggi dan lebih jarang.
4) Perkebunan kelapa memiliki pola yang teratur dengan rona yang cerah
dan terdapat pada daerah yang mudah meresap air dengan curah hujan
yang cukup banyak. Tajuk pohon berbentuk bintang.
5) Perkebunan kelapa sawit memiliki tajuk yang rapat dan berbentuk
bintang, teksturnya lebih halus dari tanaman kelapa, (laurentius, 2013).
Monogram adalah suatu tema atau bentuk yang dibuat untuk melengkapi
atau mengkombinasikan dua bentuk citra atau beberapa grafik kedalam satu
symbol. Jenis objek yang ditaksir dalam menyusun monogram ini adalah kelas
potensi penutupan tajuk, kelas diameter tajuk dan jumlah pohon pada citra digital
resolusi tinggi. Penyusunan monogram digunakan sebagai penyajian gambar dari
hasil analisis atau interpretasi citra sehingga dapat dilihat perbandingan kelas
potensi dilapangan dengan di citra. Dalam penafsiran monogram juga
membedakan atas warna, tekstur, rona, dan pola serta bentuk yang terlihar secara
visual pada citra landsat, sehingga membantu dalam penentuan jenis tutupan
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2013 sampai dengan
September 2013. Meliputi persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian di
lapangan, pengolahan data dan penyajian hasil. Penelitian ini dilaksanakan di
Kota Pematangsiantar, Provinsi Sumatera Utara. Analisis data dilakukan di
Laboratorium Manajemen Hutan Terpadu, Program Studi Manajemen Hutan,
Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Peta lokasi penelitian dapat
dilihat pada Gambar 1.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kota Pemataangsiantar, kabupaten simalungun
Propinsi Sumatera Utara, yang secara geografis kota Pematangsiantar berada
diposisi 3001’09”-2054’40” Lintang Utara dan 9906’23”- 9901’10” Bujur Timur,
berada ditengah-tengah wilayah Kabupaten Simalungun. Luas kota
pematangsiantar adalah 76,35 km2 dengan batas wilayah sebagai berikut, sebelah
utara berbatasan dengan kabupaten simalungun, sebelah selatan berbatasan
dengan kabupaten simalungun, sebelah timur berbatasan dengan kabupaten
simalungun dan sebelah barat berbatasan dengan kabupaten sumalungun. Kota
Pematangsiantar terbagi dalam 6 wilayah kecamatan dengan 53 kelurahan, yaitu
Kecamatan Siantar Martoba, Siantar Utara, Siantar Selatan, Siantar Barat, Siantar
Kota Pematangsiantar terletak Pada Ketinggian 400 m dari permukaan
laut, beriklim sedang dengan suhu maksimum rata rata 300C dan suhu minimum
210C, curah hujan rata-rata 257mm, dan kelembaban udara rata-rata 84%, dengan
kecepatan angin 0,05 meter/detik dan penguapan 3,18mm (BPS, 2010).
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain perangkat keras
berupa seperangkat personal komputer, perangkat lunak ArcView versi 3.3,
Global Positioning System (GPS), kamera digital dan alat pendukung lainnya.
Bahan yang digunakan yaitu berupa Citra satelit ETM 7 tahun 2003, 2008
dan 2013, Peta administrasi kota Pematangsiantar, peta administrasi propinsi
sumatera utara dan data-data dari pemerintah kota pematangsiantar tentang ruang
terbuka hijau.
Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data
sekunder, dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Jenis data, Bentuk data Dan Sumbernya
NO JENIS DATA SUMBER SKALA TAHUN
1 Citra Landsat Path/Row 128/58 www.glovis.usgs.gov 1:1.500.000 2003
2 Citra Landsat Path/Row 128/58 www.glovis.usgs.gov 1:1.500.000 2008
3 Citra Landsat Path/Row 128/58 www.glovis.usgs.gov 1:1.500.000 2013
4 Peta Administrasi Pematangsiantar BPKH 1:500.000 2010
5 Peta Administrasi Sumatera Utara BPKH 1:1.500.000 2010
6 Titik sampel Groundcheck GPS 2013
Pembuatan Peta Penutupan Lahan
Pemetaan penutupan lahan (land cover) merupakan suatu upaya dalam menyajikan informasi tentang pola penggunaan atau penutupan lahan di suatu
wilayah spasial. Informasi penutupan lahan diperoleh dengan melakukan
klasifikasi atau penafsiran citra landsat dengan menggunakan software Arcview
3.3.
Proses kegiatan pembuatan peta tutupan lahan adalah sebagai berikut :
1. Citra landsat path/row 128/58 tahun 2003,2008 dan 2013 yang telah di
download dari situs
geometris dan koreksi radiometris. Koreksi geometris yaitu proses
transformasi dari satu sistem grid menggunakan transformasi geometrik
maupun proses resampling untuk melakukan ekstrapolasi nilai data untuk piksel-piksel sistem grid yang baru dari nilai piksel aslinya sedangkan koreksi
radiometris adalah proses untuk meniadakan gangguan (noise) yang terjadi akibat pengaruh atmosferik maupun pengaruh sistematik perekaman citra.
Koreksi dilakukan dengan menggunakan software Envi 4.5.
2. Setelah proses koreksi kemudian dilakukan proses Subset Image
(Pemotongan Citra) sesuai daerah atau peta lokasi penelitian yaitu peta
administrasi kota Pematangsiantar, proses pemotongan ini dilakukan dengan
menggunakan software Arcview 3.3.
3. Setelah proses Subset Image selesai kemudian dilakukan Klasifikasi atau Digitasi on screen yang dilakukan sendiri pada masing-masing citra landsat dengan penyamaan warna dan tekstur serta panduan dari monogram citra.
terklasifikasi kemudian dilakukan proses Interpretasi citra dimana
memberikan penamaan tutupan lahan pada masing masing citra sesuai dengan
panduan dari monogram citra. Dan dengan bantuan dari titik ground check
dari GPS yang telah didapat dari lapangan.
Dimana keabsahan menurut Danoedoro (1996), nilai akurasi yang
mempunyai tingkat ketelitian ≥ 80% sudah dianggap benar. Rumus untuk
menentukan nilai akurasi adalah :
Jumlah titik yang benar di lapangan Jumlah Seluruh titik yang diambil
X100%
4. Kemudian dari hasil tersebut didapatlah peta tutupan lahan.
Untuk mempermudah pemahaman tentang prosedur penelitian diatas maka
akan disajikan dalam bentuk diagram alir pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Peta Tutupan Lahan Citra Landsat Path/Row 128/58 2003.2008.2013
Koreksi
Peta Tutupan Lahan Kota Pemarangsiantar Subset
Geometris/Radio
Citra Terklasifikasi Tutupan Lahan Klasifikasi/Digitasi
Groundcheck
Pembuatan Peta Ruang Terbuka Hijau
Pemetaan Ruang Terbuka Hijau ini dilakukan sama halnya seperti
pembuatan peta tutupan lahan di atas, yang membedakan adalah dalam pembuatan
peta ruang terbuka hijau hanya komponen-komponen pengisi ruang terbuka hijau
saja yang di digitasi on screen, untuk lebih mempermudah dalam pemahaman pembuatan peta Ruang Terbuka Hijau akan disajikan dalam bentuk diagram alir
pada Gambar 3.
Gambar 3. Diagram Alir Pembuatan Peta Ruang Terbuka HIjau Citra Landsat Path/Row 128/58 2013
Koreksi
Peta RTH Kota Pematangsiantar Subset
Geometris/Radio
Citra Terklasifikasi Tutupan Lahan Klasifikasi/Digitasi
Groundcheck
Perubahan Tutupan Lahan
Metode yang digunakan untuk mengetahui perubahan penutupan lahan di kawasan pesisir Medan dan Deli Serdang dari citra Landsat tahun 2003, 2008 dan 2013 adalah dengan bantuan Tools Change detection Arc View 3.3. Change detection adalah suatu analisis deteksi perubahan (change-detection analysis) dilakukan untuk menentukan laju/tingkat perubahan lahan setiap waktu dimana mengguna kan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dalam menentukan perubahan di objek studi khusus diantara dua atau lebih periode waktu. Kegiatan dalam menganalisis perubahan lahan (2003,2008 dan 2013) dapat digambarkan dalam diagram alir.
Kegiatan survey lapangan bertujuan untuk pengecekan kebenaran klasifikasi penggunaan lahan dan mengetahui bentuk-bentuk perubahan fungsi lahan ekosistem pesisir Medan dan Deli Serdang. Pengecekan dilakukan dengan bantuan Global Position System (GPS).
Proses kegiatan dalam menganalisis peta perubahan penutupan lahan
adalah sebagai berikut :
1. Peta perubahan tutupan lahan tahun 2003 dengan peta perubahan tutupan
lahan tahun 2008 dilakukan change detection sehingga diperoleh perubahan tutupan lahan tahun 2003 dan 2008.
2. Peta perubahan tutupan lahan tahun 2008 dengan peta perubahan tutupan
lahan tahun 2013 dilakukan change detection diperoleh perubahan tutupan lahan tahun 2008 dan 2013.
3. Peta perubahan tutupan lahan 2003 dengan Peta perubahan tutupan lahan
Kegiatan dalam menganalisis perubahan lahan (2003,2008 dan 2013)
dapat digambarkan dalam diagram alir seperti Gambar 4.
Gambar 4. Diagram alir analisis perubahan lahan dengan Change Detection
Peta Tutupan Lahan Kota Pematangsiantar
Peta Tahun 2003 Peta Tahun 2008 Peta Tahun 2013
Change Detection
Peta Perubahan Tutupan Lahan Kota Pematangsiantar Peta tahun
2003
Peta Tahun 2008
Peta tahun 2008
Peta Tahun 2013
Peta tahun 2003
Peta Tahun
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tutupan Lahan Kota Pematangsiantar
Berdasarkan data yang didapat dari hasil klasifikasi dan interpretasi pada
citra landsat yang telah di subset menjadi lokasi penelitian, tutupan lahan Kota Pematangsiantar memiliki 6 kelas tutupan lahan yaitu Perkebunan, Pemukiman,
Pertanian Lahan Kering, Persawahan, Tubuh air dan Semak Belukar. Klasifikasi
tersebut dilakukan dengan metode digitasi on screen pada Citra Landsat tahun 2003, 2008 dan 2013. Metode menggunakan indra visual dalam menganalisa
kenampakan rona, warna, ukuran, tekstur, pola dan resolusi pada citra sehingga
dapat diberikan atribut pada tiap polygon hasil klasifikasi.
Dari hasil pengukuran secara digital dengan menggunakan software
ArcView 3.3, Kota Pematangsiantar memiliki luasan 7.655,35 Ha. Dimana pada
tahun 2003, 2008 dan 2013 memiliki perubahan-perubahan yang berbeda-beda,
pada tahun 2003 tutupan lahan yang paling luas ada pada tutupan lahan
pemukiman yaitu sebesar 2832,21 Ha atau sekitar 37,00 % dari luas wilayah kota
dan yang paling sedikit luasnya yaitu pada tutupan lahan tubuh air yaitu 65,35 Ha
atau sekitar 0,85 %. Pada tahun 2008 dan tahun 2013 yang mendominasi tutupan
lahan juga pada tutupan lahan pemukiman dimana pada rentang waku tahun 2003,
2008 dan 2013 terus mengalami peningkatan luasan dan yang paling sedikit juga
tutupan lahan tubuh air dimana luasannya tetap pada tiap tahun atau tidak
mengalami perubahan sama sekali. Untuk lebih jelasnya besarnya luas dan
persentase tutupan lahan pada tahun 2003, 2008 dan 2013 dapat dilihat pada
Tabel 4. Luas dan persentase tutupan lahan Kota Pematangsiantar
Jenis Tutupan Lahan
Luas Tahun 2003 Luas Tahun 2008
Lalu untuk setiap jenis tutupan lahan tahun 2003, 2008 dan 2013 dapat
dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Tutupan Lahan Kota Pematangsiantar Tahun 2003, 2008 dan 2013
Berdasarkan Tabel 4 di atas, Kota Pematangsiantar memiliki 6 tipe tutupan
lahan dengan proporsi luas yang berbeda-beda pada setiap tahunnya. Pada tutupan
lahan perkebunan tahun 2003 memiliki luas 1.452,65 Ha atau sekitar 18,97 % dari
luas total area kota dan pada tahun 2008 mengalami peningkatan menjadi 18,98%
atau 1.453,19 Ha dan pada tahun 2013 mengalami penurunan menjadi 1.339,71
Ha. Tahun 2003 luas tutupan lahan didominasi oleh pemukiman yaitu sebesar
2.832,21 Ha (37,00%) dan kemudian diikuti berturut-turut tutupan lahan Pertanian
Lahan Kering sebesar 1.784,04 Ha (23,83%), Persawahan 1.452,65 Ha (18,97%),
Perkebunan 1.456,80 Ha (19,03%), semak Belukar 100,30 Ha (1,31%) dan Tubuh
Air sebesar 65,35 Ha atau 0,85% dari total luas wilayah Kota Pematangsiantar.
Luas tutupan lahan pada tahun 2003, 2008 dan 2013 (tiga periode
penurunan luas lahan, pemukiman pada tiap tahunnya terus mengalami
peningkatan yang signifikan, pada tahun 2003 pemukiman seluas 2.832,21 Ha dan
pada tahun 2013 mengalami peningkatan yang cukup besar yaitu menjadi
3.343,71 Ha, perubahan seperti ini kerap terjadi seiring penurunan luas tutupan
lahan yang lain seperti pertanian lahan kering dan perkebunan serta persawahan.
Kalau dilihat pada Tabel 3, dari tahun 2003, 2008 dan 2013 pemukiman yang
mendominasi tutupan lahan.
Hal ini terjadi karena faktor sosial dan fisik masyarakat perkotaan seiring
dengan peningkatan kebutuhan ekonomi, hal ini juga sesuai dengan pernyataan
Sandy (1982), bahwa manusia sebagai komponen aktif dan pengelola lingkungan
akan menentukan pola dan corak penggunaan lahan pada suatu wilayah. Demikian
pula pertambahan penduduk identik dengan peningkatan kebutuhan. Hal ini
terkait dengan pernyataan Komarsa (2001), yang menyatakan bahwa Faktor
sosial-budaya masyarakat merupakan salah satu faktor penting yang ikut
memberikan kontribusi bagi penentuan pemanfaatan lahan. Pada umumnya
pola-pola pemanfaatan lahan yang ada di suatu wilayah tidak bertentangan dengan
Ruang Terbuka Hijau
Ruang Terbuka Hijau merupakan salah satu bentuk konsep untuk
meningkatkan kualitas hidup diwilayah perkotaan. Pengembangan Ruang Terbuka
Hijau di perkotaan diupayakan membuka peluang terciptanya kawasan hijau
bersifat alami dengan vegetasi jenis tanaman yang merupakan bagian dari
penataan ruang kota sebagai kawasan hijau (Purnomo, 2001).
Stephen Carr, dkk (1992) melihat ruang terbuka sebagai ruang milik
bersama, tempat masyarakat melakukan aktivitas fungsional dan ritualnya dalam
suatu ikatan komunitas, baik kehidupan sehari-hari maupun dalam perayaan
berkala yang telah ditetapkan sebagai sesuatu yang terbuka, tempat masyarakat
melakukan aktivitas pribadi dan kelompok.
Berdasarkan klasifikasi dan interpretasi pada citra landsat path/row 128/58 tahun 2003, 2008 dan 2013, Kota Pematangsiantar terbagi menjadi 6 (enam) tipe
tutupan lahan yaitu Perkebunan, Pemukiman, Tubuh Air, Pertanian Lahan Kering,
Semak Belukar dan Persawahan. Perkebunan, pertanian lahan kering, semak
belukar dan persawahan merupakan bagian dari komponen Ruang Terbuka Hijau.
Berikut luas dan persentase komponen Ruang Terbuka Hijau pada Tabel 5.
Tabel 5. Komponen Ruang Terbuka Hijau Kota Pematangsiantar
Jenis Tutupan Lahan
Tahun 2003 Tahun 2008 Tahun 2013
Dari tabel diatas, keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota
Pematangsiantar mengalami penurunan luasan pada setiap tahunnya, dimana pada
tahun 2003 luas RTH Kota Pematangsiantar sebesar 4.757,79 Ha atau sebesar
62,14% dan pada tahun 2008 menurun menjadi 4.711,51 Ha atau sekitar 61,54%
dan pada tahun 2013 mengalami penurunan yang signifikan menjadi 4.264,29 Ha
atau sekitar 55,47 Ha. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 9 berikut.
Gambar 9. Komponen Ruang Terbuka Hijau Tahun 2003, 2008 dan 2013
Pada Gambar 9, sangat jelas dilihat perbedaan luasan Ruang Terbuka
Hijau yang ada di Kota Pematangsiantar, dimana pada tahun 2003 yang
mendominasi komponen RTH yaitu pertanian lahan kering dengan luas 1.748,04
Ha kemudian diikuti berturut-turut oleh persawahan sebesar 1.456,80 Ha,
perkebunan seluas 1,452,65 Ha dan semak belukar sebesar 100,30 Ha. Dan pada
tahun 2008 keberadaan RTH semakin menurun luasnya menjadi 4.711,51 Ha yang
didominasi oleh pertanian lahan kering sebesar 1.724,15 Ha dan diikuti berturut
oleh perkebunan, persawahan dan semak belukar. Dan pada tahun 2013 luas RTH
sekitar 55,47 % dimana yang mendominasi yaitu pertanian lahan kering sebesar
1.438,33 dan berturut diikuti oleh persawahan sebesar 1432,05 Ha, perkebunan
sebesar 1.339,71 Ha dan terakhir yaitu semak belukar dengan luas 36,20 Ha.
Perubahan lahan yang mengarah kepada peningkatan areal luasan
pemukiman juga kerap terjadi pada kota-kota besar lainnya, pada penelitian
Monica (2013) tentang perubahan penggunaan lahan di Kota Medan dari tahun
2000 sampai dengan 2010 juga didapatkan hasil bahwa perubahan penggunaan
lahan banyak berubah menjadi areal pemukiman yang disebabkan oleh laju
pertumbuhan penduduk dan tingkat urbanisasi.
Pada Penelitian Erwin (2012) tentang Analisis Kebutuhan Ruang
Terbuka Hijau di Kota Manado juga mendapatkan hasil yang serupa dimana hasil
penelitiannya menyatakan bahwa setiap tahun kebutuhan oksigen di Kota Manado
semakin meningkat dikarenakan peningkatan jumlah penduduk dan laju
urbanisasi yang sejalan dengan penambahan areal pemukiman yang berdampak
Perubahan Tutupan Lahan
Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2003-2008
Berdasarkan data perubahan tutupan lahan kota Medan pada tahun 2003
dan tahun 2008 menunjukkan adanya terdapat perubahan tutupan lahan di Kota
Pematangsiantar baik dari bentuk maupun luasannya dapat dilihat pada Gambar
dan Gambar 13.
Gambar 13. Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2003-2008
Perubahan tutupan lahan yang terjadi selama selang waktu 5 (lima) tahun
mulai dari tahun 2003 sampai 2008 (Gambar 13 ) yaitu adanya perubahan dari
jenis tutupan lahan pertanian lahan kering berubah menjadi pemukiman, semak
belukar berubah menjadi pertanian lahan kering dan persawahan juga berubah
menjadi pemukiman dan perkebunan. Pada Gambar 13 diketahui bahwa
perubahan tutupan lahan yang terbesar terjadi pada jenis tutupan lahan
persawahan yang berkurang sebesar 22,07 Ha, Pertanian lahan kering juga
berkurang sebesar 23,89 Ha, dan semak belukar juga berkurang sebesar 0,54 Ha.
Perubahan kerap terjadi pada setiap tipe penutupan lahan pada tahun 2003
samapai tahun 2008. Penurunan tutupan lahan terbesar dari tahun 2003 sampai
dengan tahun 2008 yaitu pada tutupan lahan pertanian lahan kering yaitu sebesar
23,89 Ha, alih fungsi lahan ini berubah pada persawahan, pemukiman dan semak
belukar. Dan tutupan lahan yang sedikit mengalami perubahan yaitu pada tutupan
lahan perkebunan hanya sebesar 0,54 %. Dari Tabel 6 jumlah komponen pengisi
Ruang Terbuka Hijau pada tahun 2003 yaitu sebesar 4.757,79 Ha atau 62,14%
dari total luas wilayah kota ini menunjukkan bahwa pada tahun 2003 Ruang
Terbuka Hijau yang mendominasi Kota Pematangsiantar, sedangkan kalau dilihat
pada tahun 2006 luas Ruang Terbuka Hijau di Kota Pematangsiantar yaitu sebesar
4.711,51 ha atau sekitar 61,54%. Hal ini menunjukkan adanya penurunan luas
Ruang Terbuka Hijau di Kota Pematangsiantar. Kebutuhan manusia akan tempat
tinggal menjadi salah satu faktor berkurangnya Ruang Terbuka Hijau di Kota
Tabel 6. Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2003-2008
Tutupan Lahan tahun 2003
Tutupan Lahan Tahun 2008
Perkebunan Pemukiman
Tubuh Air
Pertanian Lahan Kering
Semak
Belukar Persawahan
Total Area
Tahun 2003 Proporsi %)
Perkebunan 1.417,15 16,53 18,97 1.452,65 18,98
Pemukiman 2.806,62 3,31 14,75 2.832,21 37,00
Tubuh Air 65.35 65,35 0,85
Pertanian Lahan Kering 0,13 71,87 1.649,47 23,79 1.748,04 22,83
Semak Belukar 0.33 22,80 77,17 100,30 1,31
Persawahan 23.49 4,51 1415.15 1.456,80
Total Area Tahun 2008 1.453,19 2.878,49 65,35 1.724,15 99,44 1.434,73 7.655,35 100,00
Proporsi 18,98 37,60 0,85 22,52 1,30 18,74
Perubahan dari 2003-2008(ha) +0,54 +46,28 0,00 -23,89 -0,86 -22,07
Perubahan dari 2003-2008 (%) +0,04 +1,63 0,00 -1,37 -0,86 -1,51
Keterangan : Tanda (+) mengindikasikan adanya pertambahan jumlah
Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2008 – 2013
Perubahan tutupan lahan pada tahun 2008 sampai tahun 2013 mengarah
kepada penurunan luas Ruang Terbuka Hijau yang diantaranya perkebunan,
pertanian lahan kering, dan semak belukar. Pada perkebunan terjadi penurunan
sebesar 113,48 Ha atau 7,81%, pada tutupan lahan pertanian lahan kering
menurun sebesar 285,82 Ha atau 16,58%, semak belukar sebesar 65,35 Ha atau
sebesar 0,85% , persawahan juga menurun sebesar 2,68 Ha.. Lebih jelasnya dapat
dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Perubahan tutupan lahan tahun 2008-2013
Berdasarkan Gambar diatas yang paling banyak bertambah luasannya yaitu
pada tutupan lahan pemukiman yaitu sebesar 465,22 Ha (16,16%) dan yang paling
banyak berkurang luasannya yaitu pada tutupan lahan pertanian lahan kering yaitu
sebesar 285,82 Ha. Pada Gambar 15 dan Tabel 6 terlihat jelas bahwa semua
komponen pengisi Ruang Terbuka Hijau beralih fungsi menjadi pemukiman.