• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA PORSA DALAM UPACARA KEMATIAN SAYUR MATUA ETNIK SIMALUNGUN DI DESA DOLOG HULUAN KECAMATAN RAYA KABUPATEN SIMALUNGUN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MAKNA PORSA DALAM UPACARA KEMATIAN SAYUR MATUA ETNIK SIMALUNGUN DI DESA DOLOG HULUAN KECAMATAN RAYA KABUPATEN SIMALUNGUN."

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

MAKNA PORSA DALAM UPACARA KEMATIAN SAYUR MATUA ETNIK SIMALUNGUN DI DESA DOLOG HULUAN KECAMATAN RAYA

KABUPATEN SIMALUNGUN

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar sarjana Pendidikan

Oleh:

DINA SRI REJEKI SAMOSIR 3123122014

Program Studi Pendidikan Antropologi

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Dina Sri Rejeki Samosir. NIM 3123122014. Makna Porsa dalam Upacara Kematian Sayur matua Etnik Simalungun di Desa Dolog Huluan Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun. Skripsi. Jurusan Pendidikan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan. 2016

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang pelaksanaan tradisi pemakaian Porsa di dalam upacara kematian Sayur matua etnik Simalungun, latar belakang dan Filosofi Porsa, simbol-simbol dan makna yang terkandung dalam Porsa dan proses penggunaan dan pemakaian Porsa dalam upacara kematian Sayur matua etnik Simalungun di Desa Dolog Huluan Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun.

Penelitian ini dilaksanakan menggunakan kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Penulis menggunakan penelitian lapangan (field research) dengan teknik observasi non partisipasi (non partisipan observer). Selain field research penulis juga menggunakan teknik pengumpulan data antara lain yaitu: observasi, wawancara (interview), dan dokumentasi untuk menambah data yang relevan dengan penelitian yang dilakukan.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis memperoleh hasil penelitian sebagai berikut: (1) Latar belakang dan Filosofi pemakaian Porsa dalam upacara kematian Sayur matua etnik Simalungun dilaksanakan sesuai dengan tradisi yang telah diturunkan oleh nenek moyang orang Simalungun.(2) Porsa tersebut juga melambangkan bahwa acara yang dilakukan merupakan acara Sayur matua. (3) Porsa sangat penting bagi etnik Simalungun, karena hal ini merupakan tradisi yang sudah mereka jalankan sejak dahulu, sehingga sampai saat ini mereka tidak menghilangkan pemakaian Porsa ini di dalam upacara adat kematian Sayur matua.(4) Di dalam acara pemakaian Porsa yang memakaikan adalah tulang Pamupus kepada anak yang paling besar dari orangtua yang meninggal tersebut, dilanjutkan dengan adik-adiknya dan keluarga dari orang yang berduka.

Kesimpulan menunjukkan bahwa pemakaian Porsa pada upacara kematian Sayur matua adalah warisan dari nenek moyang orang Simalungun terdahulu yang hingga saat ini masih dilaksanakan. Pemakaian Porsa yang dianggap suci ini juga salah satu cara menyampaikan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa mereka mengiklaskan kepergian orang tua dengan hati yang tulus dan bersih.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa dimana atas kasih karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Makna Porsa pada upacara kematian Sayur matua etnik Simalungun di desa Dolog Huluan Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun” dengan baik.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di Program Studi Pendidikan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan. Selama penyusunan skripsi ini penulis banyak memperoleh ilmu pengetahuan, semangat, motivasi dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan penuh ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Rektor Universitas Negeri Medan Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd 2. Ibu Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Dra. Nurmala

Berutu, M.

3. Ibu Ketua Prodi Pendidikan Antropologi Dra. Puspitawati, M.Si

4. Bapak Drs. Payerli Pasaribu, M.Si sebagai Pembimbing Skripsi penulis yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian tugas akhir. Terima kasih untuk motivasi, saran dan masukan yang sangat membangun serta ilmu pengetahuan baru kepada penulis.

(7)

6. Bapak/Ibu Dosen Pendidikan Antropologi yang telah membimbing dan memberikan ilmu pengetahuan serta nasihat kepada penulis.

7. Kepada orangtua tercinta, Bapak M. Samosir dan Mamak R.br. Sihombing yang telah menjadi orangtua terhebat. Terima kasih atas doa, cinta, kasih sayang, semangat, dan motivasi baik secara moril maupun materil bagi penulis.

8. Saudara-saudari penulis abang Jefri Samosir, kakak Ceria Hotni Sarinah Samosir, kakak abang Fiktor Samosir, abang Junedi Hasudungan Samosir yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis.

9. Bapak Pelaksana Sementara Desa Dolog Huluan yang telah memberikan izin penelitian.

10. Seluruh informan yang turut membantu melengkapi data dalam penulisan skripsi ini.

11. Sahabat saat suka dan duka dari semester awal hingga akhir Ira Gusnita Pakpahan, Gracelia Novianti Rambe, Yustri Simamora.

12. Teman-teman satu pembimbing skripsi Rado Artama Panjaitan, Sintauli Situmorang , Rizqa Mulya Sari, Novita Fransiska, Sri Nurjanah, Hartono Situmorang, Herik Simanjuntak dan M.Rendy Suteja.

13. Teman-teman seperjuangan seminar proposal Anwar Sholeh Purba, Yustri Simamora, Novita Fransiska.

(8)

15. Teman-teman PPLT di SMA Swasta Methodist Berastagi dan teman-teman satu posko Tahun 2015 Kirana br.Kacaribu, Kakak Dewi Juwita Zega, Arini Cloudia Tarigan, Betri Sonata br.Pelawi, Clara Florensia Situmeang, Irvan Sihombing, Salomo Purba, Haris Situmeang.

16. Pamong di SMA Swasta Methodist Berastagi Ibu Sintaria Sembiring,SH

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkat berlimpah untuk kita semua. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum begitu sempurnah. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Besar harapan penulis agar skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan serta pengetahuan pembaca.

Medan, Juli 2016 Penulis,

(9)

DAFTAR ISI

1.2 Identifikasi Masalah ... 5

1.3 Pembatasan Masalah ... 5

1.4 Rumusan Masalah ... 6

1.5 Tujuan Penelitian ... 6

1.6 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIS 2.1 Kajian Pustaka ... 8

(10)

2.3.1 “Porsa” ... 17

2.3.2 Upacara Adat Kematian Sayur Matua ... 17

2.3.3 Etnik Simalungun ... 19

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 24

(11)

4.3 Upacara Kematian Sayur matua……….. 47

4.3.1 Latar belakang dan Filosofi Porsa………..47

4.3.2 Simbol dan makna Porsa pada Upacara kematian……….51

4.3.3 Pentingnya Porsa ... 54

4.3.4 Penggunaan atau Pemakaian Porsa………57

4.4 Pembahasan ... 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan……….68

5.2 Saran………...70

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Skema Alur Kerangka Berfikir ... 20 2. Peta Kecamatan Raya………Lampiran

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Etnis Simalungun memiliki kebudayaan yang banyak menghasilkan kesenian daerah dan upacara adat, dan hal tersebut masih dilakukan oleh masyarakat Simalungun sebagai upaya mensyukuri anugerah alam dan berkah yang diberikan oleh Tuhan kepada mereka. Kesenian dan upacara adat yang terdapat dalam masyarakat Simalungun adalah warisan leluhur yang turun temurun dari generasi ke generasi yang masih selalu dilakukan sampai sekarang. Salah satu warisan tersebut adalah upacara adat. Upacara adat pada masyarakat Simalungun terbagi atas beberapa bagian seperti upacara adat Marhajabuan (perkawinan), upacara adat marujung goluh sayur matua (kematian), upacara adat mangongkal holi (mengangkat tulang-belulang orang yang sudah lama meninggal dunia) dan masih banyak upacara yang lainnya.

(15)

2

tersebut bertujuan agar keluarga yang ditinggal tetap terjaga sampai pagi menjelang. Acara Mandingguri dilaksanakan di dalam rumah. Pada adat Mandingguri inilah dilaksanakan acara Padalan Porsa. Porsa dipakai mulai dari pembukaan acara adat mandingguri hingga pada saat proses pemakaman selesai.

Kedua adalah mangiligi yang disebut dengan melayat. Pada acara dilaksanakan oleh seluruh keluarga yang ditinggalkan.

Keduanya ini jelas memiliki perbedaan yakni Upacara adat kematian Mandingguri ini dilakukan pada malam hari dan Upacara adat kematian Mangiligi dilakukan pada siang harinya. Kedua acara tersebut adalah pemberian rasa hormat kepada orang tua yang meninggal tersebut. Selain perbedaan waktu pelaksanaan, Mandingguri dan Mangiligi dibedakan atas bentuk penyajian acara adat yang ada di dalamnya. Pada acara Mandingguri tidak ada acara Mangalo-alo tondong, namun pada acara Mangiligi, mangalo-alo tondong terdapat di dalamnya.

(16)

3

orangtua yang meninggal tersebut. Mandingguri dalam upacara ini bukan hanya sebatas kelengkapan atau kebesaran adat itu sendiri, namun juga sebuah media keluarga untuk mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan umur yang panjang kepada orangtua yang meninggal tersebut dan sudah mengentaskan anaknya pada kemandirian hidup.

Zaman dahulu, yang dapat melaksanakan acara Mandingguri adalah keluarga dimana seluruh anak-anaknya sudah menikah, akan tetapi sesuai berkembangnya zaman dan perubahan masa, masyarakat Simalungun sudah mengadakan upacara adat sayur matua walaupun masih ada anaknya laki-laki ataupun perempuan yang belum menikah, namun demikian walaupun anaknya tersebut belum menikah tetapi sudah dapat menanggung hidupnya sendiri atau sudah dikatakan dewasa dan sudah bekerja, serta umur dari anak-anaknya tersebut minimal sudah berusia tiga puluh tahun.

(17)

4

sendiri. Porsa selalu dipakai dalam setiap Upacara kematian Sayur Matua karena sesuatu yang dianggap penting dan bernilai bagi etnik Simalungun dan hal ini sudah turun-temurun dilaksanakan dan sudah menjadi suatu tradisi. Setiap Upacara Kematian Sayur Matua tersebut, orang yang menghadirinya ada yang memakai Porsa dan ada juga yang tidak. Dalam hal ini Porsa tersebut hanya

dipakai oleh kaum laki-laki dan tidak dengan kaum perempuan.

Setiap Upacara adat Sayur matua yakni mandingguri tersebut tidaklah lepas dari Porsa. Selain itu pemakaian Porsa tersebut juga dilaksanakan berdasarkan aturan dalam sistem kekerabatan mereka. Pada rangkaian adat Padalan Porsa tersebut terdapat proses cara memakaikannya, siapa yang memakaikannya dan siapa yang dipakaikan.

(18)

5

1.2. Identifikasi masalah

Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan penelitian ini dapat diidentifikasikan menjadi beberapa bagian yaitu :

1. Latar belakang Padalan Porsa pada upacara kematian sayur matua masyarakat Simalungun

2. Alasan Padalan Porsa pada upacara kematian sayur matua masyarakat Simalungun

3. Makna Porsa pada Acara mandingguri dalam Upacara adat kematian Sayur matua masyarakat Simalungun.

4. Proses pemakaian Porsa pada acara Mandingguri dalam Upacara Kematian Sayur matua masyarakat Simalungun.

5. Sistem kekerabatan pada proses pemakaian Porsa.

1.3. Pembatasan Masalah

Batasan masalah ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor mana saja yang termasuk dalam ruang lingkup masalah penelitian dan faktor mana saja yang tidak termasuk dalam ruang lingkup masalah penelitian

(19)

6

1.4. Rumusan Masalah

1. Apa Latar belakang dan Filosofi Porsa dalam upacara kematian Sayur matua etnik Simalungun?

2. Apa Simbol dan makna yang terkandung dalam penggunaan dan pemakaian Porsa Pada Upacara kematian etnik Simalungun?

3. Mengapa Porsa dianggap penting dalam Upacara kematian Sayur matua ? 4. Bagaimana Penggunaan / Pemakaian Porsa pada Upacara kematian Sayur

matua etnik Simalungun?

1.5. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan Makna Porsa pada Acara Mandigguri dalam Upacara Kematian Sayur matua etnik Simalungun.

2. Mendeskripsikan penggunaan dan pemakaian Porsa pada upacara kematian Sayur matua etnik Simalungun.

3. Mendeskripsikan pentingnya Porsa bagi etnik Simalungun.

4. Mendeskripsikan Simbol dan makna yang terkandung dalam Porsa pada Upacara kematian Sayur matua masyarakat Simalungun

(20)

7

1.6. Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis :

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan kajian ilmiah bagi Mahasiswa Unimed secara khusus pendidikan Antropologi

2. Sebagai bahan informasi tertulis kepada setiap Pembaca khususnya yang ingin lebih mengetahui dan mendalami mengenai kebuadayaan dan adat Simalungun.

3. Sebagai bahan referensi kepada Pembaca jikalau ada yang ingin mendalami penelitian adat ini lebih lanjut.

Manfaat Praktis :

1. Sebagai masukan bagi penulis dalam menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai Porsa pada Upacara adat kematian Sayur matua etnik Simalungun.

2. Sebagai bahan motivasi kepada setiap pembaca mengenai adat istiadat.

(21)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

1.1Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan penelitian yang bersifat kualitatif dengan pendekatan deskriptif serta melakukan observasi dan wawancara dengan subjek yang mengerti, memahami tentang makna Porsa pada upacara kematian sayur matua etnik Simalungun di Desa Dolog Huluan, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun, maka peneliti merumuskan beberapa kesimpulan, diantaranya :

1. Pemakaian Porsa dalam Upacara kematian Sayur matua etnik Simalungun sudah dilakukan oleh leluhur-leluhur orang Simalungun pada jaman dahulu dan nilai-nilai tradisi ini masih tetap dijalankan dan dilestarikan oleh etnik Simalungun sampai saat ini. Etnik simalungun sangat menghargai dan menjunjung tinggi nilai tradisi yang telah dilakukan sehak dulu oleh leluhur mereka. Porsa merupakan salah satu atribut/ benda kematian yang dipakai pada saat melaksanakan upacara adat kematian Sayur matua, dan dari semua suku- suku, hanya etnik Simalungun lah yang mengenal Porsa tersebut.

(22)

69

mengikhlaskan kepergian orangtua yang meninggal dengan hati yang lapang dan tulus, serta bersih. Mereka sepenuh hati sudah memaafkan kesalahan-kesalahan dari orang tua mereka, maka dari itu Porsa merupakan kain berwarna putih. Kain putih ini melambangkan kebersihan, kesucian, ketulusan serta keikhlasan akan kepergian orang tua mereka. Diikatkan ke kepala karena mereka secara watak harus betul-betul bersih dan tulus maka dari itu selain berwarna putih, kain ini juga diikatkan ke kepala.

3. Pada budaya Simalungun, pemakaian Porsa ini juga memiliki aturan-aturan secara kekerabatan. Kain porsa ini dipakai oleh seluruh kaum laki-laki yang hadir dalam upacara kematian tersebut. Namun yang terutama dan yang paling penting hadir adalah tulang pamupus dari orang tua yang telah meninggal tersebut. Tulang itu kemudian memakaikan Porsa ini kepada anak yang paling besar dari orang tua yang meninggal tersebut kemudian dilanjutkan dengan adik-adiknya. Kain Porsa yang memiliki cap dipakai oleh tulang dan juga anak yang paling besar dari orang tua yang meninggal tersebut. Kain Porsa memiliki dua ukuran yaitu ukuran yang besar sekitar 80 cm dan ukuran yang kecil yaitu 40 cm. Porsa yang berukuran besar dipakai oleh orang-orang penting yakni keluarga yang berduka dan Porsa yang berukuran kecil dipakai oleh seluruh undangan yang hadir. 4. Upacara adat kematian Sayur matua adalah salah satu upacara adat

(23)

70

dilaksanakan jika ada orang tua yang meninggal, dengan ketentuan anak-anak dari orang tua yang meninggal tersebut telah menikah dan memiliki keturunan serta sudah tidak memiliki tanggungan hidup lagi. Pelaksanaan upacara Sayur matua juga bisa dilaksanakan jika anaknya yang paling besar sudah berumur 30 tahun.

1.2Saran

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan ini, peneliti kemudian merumuskan beberapa hal yang diharapkan dapat menjadi saran ataupun masukan yaitu :

1. Dalam rangka pelestarian tradisi, adat dan kebudayaan Etnik Simalungun secara umum di Kabupaten Simalungun dan secara khusus di desa Dolog Huluan Kecamatan Raya, peneliti menyarankan kepada seluruh generasi muda di Desa Dolog Huluan agar tetap menjaga tradisi Pemakaian Porsa dalam upacara kematian Sayur matua karena hal ini berkaitan dengan kepercayaan yang diyakini oleh etnik Simalungun bahwa kegiatan ini adalah kegiatan yang suci yang diturunkan oleh nenek moyang orang Simalungun.

(24)

71

(25)

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan

---. 1994. Kebudayaan dan Mentalitas Pembangunan, Jakarta

---. 1987. Sejarah teori Antropologi I.Jakarta:PT.Rineka Cipta

Moleong, Lexy.2006. Metode Penelitian Kualitatif . Bandung.Rosdakarya

Purba, Mansen, dan Saragih, OE.1994. Horja Sayur Matua. Medan: Bina Budaya Medan.

Sherly Maria, (dkk) .2016. Makna Simbolik Ulos pada masyarakat batak Toba di Palembang.www.univpgri.palembang.ac.id/e_jurnal/index/337(diakses tanggal 27 Februari Pkl. 11.20)

Simatupang, Defry. 2008. Upacara Saur matua : konsep ”kematian ideal” pada masyarakat Batak (Studi Etnoarkeologi). Balai Arkeologi Medan.

Sumbayak , Japiten. 2001. Refleksi Habonaron Do Bona Dalam Adat Budaya Simalungun. Pematang Raya : Japiten Sumbayak.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia.

Tim Saodoran, Lima. 2011. Kabupaten Simalungun, Medan; Mitra Vergouwen, J.C. 2004. Masyarakat dan hukum adat Batak Toba. LKIS.

(26)

Sumber Skripsi :

Irfan, Skripsi Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara “ makna atau arti yang terdapat pada sistem peralatan gondang dan fase-fase dalam upacara kematian pada batak toba” ,2004.

Saragih, Rianti skripsi jurusan etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya: Universitas Sumatera utara „Toping-toping Simalungun: studi deskriptif dan musikologis dalam upacara sayur matua” 1994.

Sumber Internet :

http://mysarimatondang.blogspot.co.id/2006/06/sayur-matua.html diakses pada 12 Februari 2016 Pkl.13.00

http://mistik-gaib.blogspot.co.id/2009/08/ritus-kematian-pada-masyarakat.html diakses pada 15 Februari pkl 11.30

http://www.gentaandalas.com/tradisi-pesta-dalam-upacara-kematian-suku-batak diakses pada 17 Februari pkl 13.00

http://mistik-gaib.blogspot.co.id/2009/08/ritus-kematian-pada-masyarakat.html diakses pada 17 Februari pkl 13.30

http://jogjacultural.blogspot.co.id/2013/04/aspek-aspek-keagamaan-dalam upacara.html diakses pada 27 Februari 2016 pkl.11.00

http://fenboox.blogspot.co.id/2015/04/teori-religi.html diakses pada 1 maret 2016 pkl 10.29

Gambar

Tabel
Gambar

Referensi

Dokumen terkait

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan secara umum perilaku politik etnis Batak Simalungun dalam hubungannya dengan preferensi calon Legislatifnya pada

Kesimpulan menunjukkan bahwa Mahar merupakan hal yang sangat penting dalam suatu pernikahan atau perkawinan masyarakat Etnik Aceh Tamiang, dalam sebuah akad nikah

Seni tari dalam masyarakat Simalungun banyak mengalami penurunan dari segi pertunjukkan dimana pada saat ini sudah jarang dijumpai tor-tor yang sering dilakukan pada

Petani perempuan tidak memiliki kedudukan yang mandiri akan tetapi ia merupakan bagian dari petani yang notabenenya adalah laki-laki, ini terlihat dari KTP petani

kekuasaan yang dimiliki oleh aktor dalam hal ini calon Kepala Desa maka penting. adanya melihat mereka dalam memanfaatkan bentuk-bentuk kekuasaan

Boru 2. Tetapi pada saat sekarang eksistensi alat musik Saligung sudah hampir hilang dari masyarakat Simalungun, untuk penyajiannya hanya bapak Setia Dermawan purba yang

Tradisi manjapuik adat jo pusako pada zaman dahulu hanya dilakukan untuk laki- laki yang masih berumur 30-50 tahun, karena nenek moyang mereka beranggapan bahwa

Hasil penelitian dari perkembangan tradisi makkuliwa lopi masyarakat Banggae sampai saat ini masih melakukan tradisi tersebut, meskipun perkembangan baik dari