ARMAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Keterkaitan Ekonomi Interregional ; Kajian Empiris Keterkaitan Pulau Sulawesi, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2015
Arman
Sulawesi, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur. Dibimbing oleh SETIA HADI, NOER AZAM ACHSANI dan AKHMAD FAUZI.
Masalah ketidakmerataan pembangunan antar wilayah Pulau Sulawesi dengan Jawa Timur dan Kalimantan Timur menjadi poin utama dalam penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pola keterkaitan ekonomi antar wilayah Pulau Sulawesi (Sulawesi Lain), Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan Kalimantan
Timur, menganalisis dampak Spillover dan Feedback antar wilayah, menganalisis
nilai tambah dan aliran nilai tambah (upah, pajak dan surplus usaha) di suatu wilayah dan merumuskan kebijakan pembangunan antar wilayah. Lokasi penelitian di Wilayah Sulawesi Lain (Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara), Sulawesi Selatan (Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat), Jawa Timur dan Kalimantan Timur. Data yang digunakan adalah Data IRIO Tahun 2005, selanjutnya data tersebut diprediksi ke Tahun 2011 dengan menggunakan teknik RAS.
Hasil analisis menunjukkan bahwa keterkaitan (hubungan) ekonomi Sulawesi Lain Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan terhadap Jawa Timur relatif tinggi. Hubungan ekonomi tersebut relatif lebih banyak memberikan manfaat ekonomi kepada wilayah Jawa Timur. Wilayah Jawa Timur memberikan
pengaruh spillover yang kecil terhadap seluruh wilayah tetapi memperoleh
pengaruh feedback yang lebih besar. Wilayah Kalimantan Timur memberikan
pengaruh spillover yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah Jawa Timur
(seperti halnya dengan wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Lain).
Wilayah Sulawesi Selatan dianggap mampu menjadi jembatan ekonomi
terhadap wilayah lain karena memberikan pengaruh spillover yang paling besar
terhadap total wilayah. Peran Sulawesi Selatan sebagai jembatan ekonomi dalam rangka mendorong pemerataan pembangunan ekonomi wilayah dan memperkuat keterkaitan ekonomi antar Sulawesi Selatan dengan wilayah Sulawesi Lain, Kalimantan Timur serta Kawasan Timur Indonesia.
Pergerakan arus modal diharapkan mampu meningkatkan investasi pemerintah (melalui Dana Alokasi Khusus), investasi swasta serta ekspor hingga 100%. Sektor primer ditingkatkan outputnya untuk menjadi input antara industri makanan dan minuman, industri pengolahan hasil laut, industri tekstil serta industri kayu dan rotan. Skenario kebijakan wilayah Sulawesi Lain sama dengan Sulawesi Selatan. Skenario kebijakan wilayah Jawa Timur lebih difokuskan pada investasi industri manufaktur.
wilayah tersebut, (4) mendorong interregional capital movement ke wilayah Sulawesi dan Kalimantan Timur dalam rangka pemerataan pembangunan antar wilayah, (5) menciptakan keterkaitan sektor (hilirisasi industri) pertambangan (Kaltim), perkebunan (Sulsel), industri besi (Sulain) di dalam dan antar wilayah
Kalimantan Timur dan (6) memperkuat ekonomi wilayah dari interregional
Linkage menuju Interregional Partnership
ARMAN. Inter-regional Economic Linkages; An Empirical Study on the Economic Linkage of the Sulawesi Islands, East Java and East Kalimantan. Under supervised by SETIA HADI, NOER AZAM ACHSANI and AKHMAD FAUZI..
Uneven development problems among the regions of Sulawesi, East Java and East Kalimantan was the main issue in this study. The purposes of this study were to analyze the pattern of economic linkages among the regions of Sulawesi (Sulawesi Other), South Sulawesi, East Java and East Kalimantan, to analyze the spillover and the feedback effect among the regions; to analyze the value added (wages, taxes and operating surplus) and its distribution in regions; and to formulate the inter-regional development policy. The research was conducted in the Region of Other Sulawesi (North Sulawesi, Gorontalo, Central Sulawesi and Southeast Sulawesi), South Sulawesi (South Sulawesi and West Sulawesi), East Java and East Kalimantan. The data was IRIO data of 2005, which was subsequently predicted into the data of 2011 by using the RAS technique.
The results of analysis show that the level of economic linkages of the Other Sulawesi, East Kalimantan and South Sulawesi against the East Java was relatively high. The economic relationship provides more economic benefits to the East Java. The East Java gives small spillover effect on to the region, but receives higher feedback. East Kalimantan region influences a large spillover effect on East Java (as well as the regions of Other Sulawesi and South Sulawesi).
The South Sulawesi region is considered to play as the economic bridge to the other regions due to its greatest spillover effect against the total regions. The South Sulawesi's role as an economic bridge in order to encourage an evenly economic development of the region and to strengthen the economic relationship between trhe South Sulawesi and Other Sulawesi, East Kalimantan and eastern Indonesia.
The capital flows are expected to increase government investment (through the Special Allocation Fund), private investment and exports up to 100%. The primary sector increased its output to be intermediate input such as food and beverage industry, seafood processing industry, the textile industry as well as industrial wood and rattan. Policy scenarios other Sulawesi region is the same with the South Sulawesi while the East Java policy scenarios is more focused on the manufacturing industry investments.
(5) create a linkage sectors (downstream of mining industry in the East Kalimantan, plantations (Sulawesi), iron industry (Sulain) within and among the East Kalimantan region and (6) reinforce the economic regions from Inter-regional Linkage towards inter-Inter-regional Partnership.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaaan
ARMAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2015
Penguji pada Ujian Tertutup: Prof Dr Ir Muhammad Firdaus, MS
Dr Slamet Sutomo, MS
Penguji pada Sidang Promosi: Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS
Keterkaitan Ekonomi Interregional ; Kajian Empiris Keterkaitan Pulau Sulawesi Jawa Timur dan Kalimantan Timur bermaksud untuk mendorong penguatan
keterkaitan ekonomi wilayah dan interregional capital movement.
Saya ingin menyampaikan terima kasih tak terhingga kepada komisi pembimbing : Dr Setia Hadi (ketua), MS, Prof Dr Noer Azam Achsani (anggota) dan Prof Dr Akmad Fauzi (anggota) yang telah membimbing sejak awal penelitian hingga penulisan disertasi. Komisi pembimbing memberikan banyak ide, saran dan kritik dan solusi dalam proses penelitian hingga penyusunan disertasi.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
1. Prof Dr Bambang Juanda selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan
Wilayah dan Pembangunan Perdesaan (PWD)
2. Penguji Ujian Tertutup Prof Dr Muhammad Firdaus, MS dan Dr Slamet
Sutomo, MS serta Penguji luar komisi pada Sidang Promosi Doktor Prof Dr Bambang Juanda dan Dr Slamet Sutomo
3. Rektor Universitas Trilogi atas kesempatan memberikan kesempatan
penyelesaian Disertasi
4. Ketua STMII tempat awal saya mengabdi sebagai staf pengajar yang telah
memberikan kesempatan melanjutkan program Strata 3 di PWD
5. Staf pengajar dan pegawai Fakultas Bioindustri Universitas Trilogi atas
motivasi dan dorongannya penyelesaian studi
6. Rekan-rekan mahasiswa PWD, terutama mahasiswa program Strata 3 dan
S2 angkatan 2010 atas kerjasama dan bantuan dalam menjalankan studi
7. Seluruh staf sekretariat PWD atas bantuan
8. Ibu dan bapak mertua RA Asnani dan Drs Giartama atas dorongan, doa
dan motivasi dalam menyelesaiakan studi
9. Kedua Orang tua saya Almarhum Hj Ramasiah dan H Amir, BA atas
bimbingan, kasih sayang dan doa yang tiada henti serta adik saya tercinta Arni, MSi yang selalu memberikan motivasi dan Ibu ida
10.Istriku yang amat saya cintai Dian Indrayani Satyatama,STP.,MSi atas
berbagai pengorbanan, kasih sayang dan doanya, serta anakku yang amat saya cintai dan banggakan Ardan Zuhair Ramadhan
11.Disertasi ini saya persembahkan kepada kedua orang tuaku, istriku dan
anakku tercinta
Terima kasih tidak terhingga kepada peneliti dan penulis yang menjadi sumber dan inspirasi penelitian ini sehingga penulis mampu menformulasi sebuah gagasan. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan hidayahnya dalam mencari ilmu pengetahuan.
Bogor, Agustus 2015 Arman
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 7
Keguanaan Penelitian 7
Kebaharuan Penelitian 7
Ruang Lingkup Penelitian 9
2 TINJAUAN PUSTAKA
Perspektif ilmu Wilayah 10
Simetrik dan Asimetrik Wilayah 11
Aglomerasi Ekonomi 12
Keterkaitan Ekonomi Kasus Daerah 13
Keterkaitan dan Interaksi Ekonomi Beberapa Negara 16
Kebijakan Fiskal Sebagai Instrumen 20
Kebijakan Fiskal Daerah 22
Kebijakan Fiskal Negara Maju dan Berkembang 23
MP3EI, Pembangunan Sektor dan Wilayah 26
3 KERANGKA PIKIR
Kerangka Teoritis IO 28
Sistem Ekonomi Nasional 28
Tabungan dan Investasi 29
Transaksi Ekspor dan Impor 30
Peranan Pemerintah 31
Kekayaan Bersih 32
Kerangka Pikir 33
4 METODE
Teknik Pengambilan Data 38
Jenis Data dan Sumber Data 38
Estimasi Koefisien IO Tahun 2010 dengan RAS 39
Lokasi dan Waktu Penelitian 42
Gambaran Umum Analisis IO dan IRIO 43
Konsep Operasional IO 48
Output 48
Struktur Input 48
Input Antara 49
Input Primer 49
Nilai Tambah Bruto 49
Permintaan Akhir Wilayah 50
Struktur Perdagangan Wilayah 51
Analisis Deskriptif 53
Struktur Penawaran dan Permintaan Wilayah 53
Peranan Output Struktural 54
Struktur Nilai Tambah Bruto Sektoral 54
Struktur Permintaan Akhir Sektoral 55
Analisis Dampak 55
Analisis Dampak Output Wilayah 55
Analisis Dampak Nilai Tambah Bruto Wilayah 56
Analisis Dampak Kebutuhan Impor Wilayah 56
Analisis Dampak Kebutuhan Tenaga Kerja Wilayah 56
Keterkaitan Aktifitas dan Indeks Wilayah 57
Skenario dan Simulasi Kebijakan 59
5 GAMBARAN UMUM LOKASI
Kondisi Umum Wilayah dan Penduduk Tenaga Kerja 61
Potensi Sumberdaya Pertanian dan Holtikultura 63
Potensi Sumberdaya Perkebunan 64
Potensi Peternakan 66
Potensi Perikanan 67
Potensi Kehutanan 67
Potensi Pengembangan Industri 68
Ekspor Impor 70
6 HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Analisis Deskriptif dan Keterkaitan Wilayah 71
Struktur Permintaan Akhir 77
Struktur Output Wilayah 83
Indeks Kepekaan dan Daya Sebar Sulawesi Lain 87
Indeks Kepekaan dan Daya Sebar Sulawesi Selatan 89
Indeks Kepekaan dan Daya Sebar Jawa Timur 92
Indeks Kepekaan dan Daya Sebar Kalimantan Timur 95
Pengaruh Spillover, Feedback dan Interregional 97
Analisis Dampak Keterkaitan Langsung Kedepan (KLD) 105
Analisis Dampak Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung Ke
Depan (KLTD) 109
Analisis Dampak Keterkaitan Langsung Ke Belakang (KLB) 113
Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung Kebelakang (KLTB) 118
Nilai Pengganda Pajak Tak Langsung 145
Nilai Pengganda Upah 148
Nilai Pengganda Usaha 151
Analisis Skenario Simulasi Dampak Kebijakan Permintaan Akhir 153
Skenario Simulasi Agregat 162
7 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 165
Saran 167
Implikasi Kebijakan 167
DAFTAR PUSTAKA 168
LAMPIRAN 174
DAFTAR TABEL
1. Nilai PDRB konstan (dalam juta) di masing-masing provinsi
periode Tahun 2009-2011 1
2. Kontribusi sektor terhadap total PDRB konstan (dalam persen)
pada masing-masing wilayah di Tahun 2010 4
3. Nilai PMDN dan PMA di masing-masing provinsi periode
2010-2011 5
4. Nilai interaksi ekonomi antar Sulawesi Lain, Sulawesi Selatan,
Jawa Timur, Kalimantan Timur (dalam juta (Rp) 6
5. Klasifikasi sektor yang akan di analisis 38
6. Research mapping tujuan, data dan metode penelitian 39
7. Struktur ekonomi antar daerah Tahun 2006-2010 (PDRB
Konstan) 39
8. Struktur Dasar IRIO Untuk Unit Analisis 45
9. Luas wilayah, kependudukan dan penduduk bekerja 61
10. Luas panen dan produksi padi di lokasi penelitian Tahun 2013 63
11. Luas areal dan produksi tanaman perkebunan 65
12. Produksi Perikanan Tangkap dan Budidaya 67
13. Potensi industri dari hasil nilai tambah dan output 69
14. Struktur permintaan antara berdasarkan kolom (outflow) Tahun
2005 65
15. Struktur permintaan antara berdasarkan kolom (outflow) Tahun
2011 72
16. Struktur permintaan antara berdasarkan baris(inflow) Tahun 2005 74
17. Struktur permintaan antara berdasarkan baris (inflow) Tahun 2011 76
18. Aliran barang antar wilayah dan internasional Tahun 2011 77
19. Struktur permintaan Tahun 2005 dan 2011 (Juta Rupah) 78
20. Struktur permintaan akhir wilayah Sulawesi Lain Tahun 2005 79
21. Struktur permintaan akhir wilayah Sulawesi Selatan Tahun 2005 80
22. Struktur permintaan akhir wilayah Jawa Timur Tahun 2005 81
23. Struktur permintaan akhir wilayah Kalimantan Timur Tahun 2005 82
24. Sektor yang menghasilkan output terbesar di Sulawesi Lain 83
25. Sektor yang menghasilkan output terbesar di Sulawesi Selatan 84
26. Sektor yang menghasilkan output terbesar di Jawa Timur 85
27. Sektor yang menghasilkan output terbesar di Kalimantan Timur 86
28. Indeks kepekaan aktifitas ekonomi di Sulawesi Lain 87
29. Daya sebar aktifitas ekonomi di Sulawesi Lain 88
30. Indeks kepekaan aktifitas ekonomi di Sulawesi Selatan 89
31. Daya sebar aktifitas ekonomi di Sulawesi Selatan 90
32. Indeks kepekaan aktifitas ekonomi di Jawa Timur 92
33. Daya sebar aktifitas ekonomi di Jawa Timur 93
34. Indeks kepekaan aktifitas ekonomi di Kalimantan Timur 95
35. Indeks daya sebar aktifitas ekonomi di Kalimantan Timur 96
36. Pengaruh interregional, spillover dan feedback di Sulawesi Lain 97
37. Pengaruh interregional, spillover dan feedback Sulawesi Selatan 99
39. Pengaruh interregional, spillover dan feedback Kalimantan Timur 103
40. Keterkaitan langsung kedepan wilayah Sulawesi Lain 2005 dan
2011 105
41. Keterkaitan langsung kedepan wilayah Sulawesi Selatan 2005 dan
2011 106
42. Keterkaitan langsung kedepan wilayah Jawa Timur 2005 dan
2011 107
43. Keterkaitan langsung kedepan wilayah Kalimantan Timur 2005
dan 2011 108
44. Keterkaitan langsung dan tidak langsung kedepan wilayah
Sulawesi Lain 2005 dan 2011 109
45. Keterkaitan langsung dan tidak langsung kedepan wilayah
Sulawesi Selatan 2005 dan 2011 110
46. Keterkaitan langsung dan tidak langsung kedepan wilayah Jawa
Timur 2005 111
47. Keterkaitan langsung dan tidak langsung kedepan wilayah
Kalimantan Timur 2005 dan 2011 112
48. Keterkaitan langsung kebelakang di Sulawesi Lain Tahun 2005 113
49. Keterkaitan langsung kebelakang di Sulawesi Lain Tahun 2011 114
50. Keterkaitan langsung kebelakang di Sulawesi Selatan Tahun 2005 115
51. Keterkaitan langsung kebelakang di Sulawesi Selatan Tahun 2011 115
52. Keterkaitan langsung kebelakang di Jawa Timur Tahun 2005 116
53. Keterkaitan langsung kebelakang di Jawa Timur Tahun 2011 117
54. Keterkaitan langsung kebelakang di Kalimantan Timur Tahun
2005 117
55. Keterkaitan langsung kebelakang di Kalimantan Timur Tahun
2011 118
56. Keterkaitan langsung dan tidak langsung Kebelakang di Sulawesi
Lain Tahun 2005 119
57. Dampak sektor transportasi udara di Sulawesi Lain dan wilayah
lain jika permintaan akhir naik Tahun 2005 120
58. Dampak sektor industri dasar besi, baja & logam dasar bukan besi
di Sulawesi Lain dan wilayah lain jika permintaan akhir naik
Tahun 2005 121
59. Dampak sektor industri barang dari logam di Sulawesi Lain dan
wilayah lain jika permintaan akhir naik 122
60. Keterkaitan langsung dan tidak langsung Kebelakang di Sulawesi
Lain Tahun 2011 122
61. Dampak sektor listrik, gas dan air bersih di Sulawesi Lain dan
wilayah lain jika permintaan akhir naik Tahun 2011 124
62. Dampak sektor bangunan di Sulawesi Lain dan wilayah lain jika
permintaan akhir naik Tahun 2011 124
63. Dampak sektor transportasi udara di Sulawesi Lain dan wilayah
lain jika permintaan akhir naik Tahun 2011 126
64. Keterkaitan langsung dan tidak langsung Kebelakang di Sulawesi
Selatan terhadap daerah lain Tahun 2005 126
65. Dampak sektor Industri makanan dan minuman di Sulawesi
66. Dampak sektor Industri tekstil di Sulawesi Selatan terhadap
wilayah lain jika permintaan akhir naik 129
67. Dampak sektor transportasi udara di Sulawesi Selatan terhadap
wilayah lain jika permintaan akhir naik 130
68. Keterkaitan langsung dan tidak langsung Kebelakang di Sulawesi
Selatan terhadap daerah lain Tahun 2011 131
69. Dampak sektor industri makanan dan minuman di Sulawesi
Selatan terhadap wilayah lain jika permintaan akhir naik Tahun
2011 133
70. Dampak sektor industri tekstil di Sulawesi Selatan terhadap
wilayah lain jika permintaan akhir naik Tahun 2011 133
71. Keterkaitan langsung dan tidak langsung Kebelakang di Jawa
Timur Tahun 2005 134
72. Dampak sektor transportasi udara di Jawa Timur terhadap
wilayah lain jika permintaan akhir naik 136
73. Dampak sektor listrik gas dan air di Jawa Timur terhadap wilayah
lain jika permintaan akhir naik 136
74. Dampak sektor transportasi air di Jawa Timur terhadap wilayah
lain jika permintaan akhir naik 137
75. Keterkaitan langsung dan tidak langsung Kebelakang di Jawa
Timur terhadap daerah lain Tahun 2011 137
76. Dampak sektor industri kelapa sawit di Jawa Timur terhadap
wilayah lain jika permintaan akhir naik 139
77. Dampak sektor transportasi udara di Jawa Timur terhadap
wilayah lain jika permintaan akhir naik 140
78. Keterkaitan langsung dan tidak langsung Kebelakang di
Kalimantan Timur Tahun 2005 140
79. Dampak sektor industri makanan dan minuman di Kalimantan
Timur dan wilayah lain jika permintaan akhir naik Tahun 2005 142
80. Dampak sektor transportasi udara di kalimantan timur dan
wilayah lain jika permintaan akhir naik Tahun 2005 143
81. Dampak sektor listrik, gas dan air bersih di Kalimantan Timur
dan wilayah lain jika permintaan akhir naik Tahun 2005 143
82. Keterkaitan langsung dan tidak langsung Kebelakang di
Kalimantan Timur Tahun 2011 144
83. Nilai pengganda output pajak tak langsung di Sulawesi Lain
Tahun 2005 dan 2011 145
84. Nilai pengganda output pajak tak langsung di Sulawesi Selatan
Tahun 2005 dan 2011 146
85. Nilai pengganda output pajak tak langsung di Jawa Timur Tahun
2005 dan 2011 147
86. Nilai pengganda output pajak tak langsung di Kalimantan Timur
Tahun 2005 dan 2011 147
87. Nilai pengganda upah di Sulawesi Lain Tahun 2005 dan 2011 148
88. Nilai pengganda upah di Sulawesi Selatan Tahun 2005 dan 2011 149
89. Nilai pengganda upah di Jawa Timur Tahun 2005 dan 2011 150
90. Nilai pengganda upah di Kalimantan Timur Tahun 2005 dan 2011 150
92. Nilai pengganda usaha di Sulawesi Selatan Tahun 2005 dan 2011 152
93. Nilai pengganda usaha di Jawa Timur Tahun 2005 dan 2011 152
94. Nilai pengganda usaha di Kalimantan Timur Tahun 2005 dan
2011 153
95. Peningkatan 20% konsumsi, peningkatan investasi pemerintah
dan swasta sektor tertentu serta ekspor tetap di Sulain Tahun 2011 154
96. Peningkatan 20% konsumsi, peningkatan investasi pemerintah
dan swasta sektor tertentu serta ekspor naik di Sulain Tahun 2011 155
97. Peningkatan 20% konsumsi, peningkatan investasi pemerintah
dan swasta sektor tertentu serta ekspor tetap di Sulsel Tahun 2011 156
98. Peningkatan 20% konsumsi, peningkatan investasi pemerintah
dan swasta sektor tertentu serta ekspor naik di Sulsel Tahun 2011 157
99. Peningkatan 20% konsumsi, peningkatan investasi pemerintah
dan swasta sektor tertentu serta ekspor tetap di Jatim Tahun 2011 159
100.Peningkatan 20% konsumsi, peningkatan investasi pemerintah
dan swasta sektor tertentu serta ekspor naik Jatim Tahun 2011 160
101.Peningkatan 20% konsumsi, peningkatan investasi pemerintah
dan swasta serta ekspor tetap di Kaltim Tahun 2011 161
102.Peningkatan 20% konsumsi, peningkatan investasi pemerintah
dan swasta serta ekspor tetap di Kaltim Tahun 2011 161
103.Peningkatan 20% konsumsi, peningkatan investasi pemerintah
dan swasta serta ekspor secara agregat Tahun 2011 162
DAFTAR GAMBAR
1. Kurva leontif fungsi produksi 28
2. Aliran sederhana perekonomian 29
3. Aliran sederhana pola pendapatan dan pengeluaran 29
4. Aliran ekonomi adanya pengaruh tabungan dan investasi 30
5. Aliran ekonomi adanya pengaruh depresiasi 30
6. Aliran ekonomi dengan adanya rest of world 31
7. Aliran ekonomi adanya peran pemerintah 32
8. Aliran ekonomi dengan tambahan aset 33
9. Kerangka Pikir 37
10. Keterkaitan permintaan antara outflow (ekspor domestik) wilayah 2005 72
11. Keterkaitan permintaan antara outflow (ekspor domestik) wilayah 2011 73
12. Keterkaitan permintaan antara inflow (Impor domestik) wilayah 2005 75
13. Keterkaitan permintaan antara inflow (impor domestik) wilayah 2011 76
14. Sektor strategis dan tidak strategis di Sulawesi Lain 89
15. Sektor strategis dan tidak strategis di Sulawesi Selatan 91
16. Sektor strategis dan tidak strategis di Jawa Timur 94
17. Sektor strategis dan tidak strategis di Kalimantan Timur 97
18. Total interregional multiplier, spillover dan feedback di Sulawesi
Lain 99
19. Total interregional multiplier, spillover dan feedback di Sulawesi
20. Total interregional multiplier, spillover dan feedback di Jawa
Timur 103
21. Total interregional multiplier, spillover dan feedback di Kalimantan
Timur 105
22. Total pengganda keterkaitan sektor di Sulawesi Lain 2005 120
23. Total pengganda keterkaitan sektor di Sulawesi Lain 2011 123
24. Total pengganda keterkaitan sektor di Sulawesi Selatan 2005 127
25. Total pengganda keterkaitan sektor di Sulawesi Selatan 2011 132
26. Total pengganda keterkaitan sektor di Jawa Timur 2005 135
27. Total pengganda keterkaitan sektor di Jawa Timur 2011 138
28. Total pengganda keterkaitan sektor di Kalimantan Timur 2005 141
29. Total pengganda keterkaitan sektor di Kalimantan Timur 2011 145
DAFTAR LAMPIRAN
1 Input–Output permintaan antara daerah Asal Sulawesi
Tahun 2005 160
2 Input Sulawesi Lain (inflow) berasal dari Sulawesi Selatan
(outflow) Tahun 2005 161
3 Input Sulawesi Lain (inflow) berasal dari Jawa Timur
(outflow) Tahun 2005 162
4 Input Sulawesi Lain (inflow) berasal dari Kalimantan Timur
(outflow) Tahun 2005 163
5 Input Sulawesi Lain (inflow) berasal dari ROI (outflow)
Tahun 2005 164
6 Inputoutput Sulawesi Selatan berasal dari daerah asal Tahun
2005 165
7 Input Sulawesi Selatan (inflow) berasal dari Sulawesi Lain
(outflow) Tahun 2005 166
8 Input Sulawesi Selatan (inflow) berasal dari Jawa Timur
(outflow) Tahun 2005 167
9 Input Sulawesi Selatan (inflow) berasal dari Kalimantan
Timur (outflow) Tahun 200 168
10 Input Sulawesi Selatan (inflow) berasal dari ROI (outflow)
Tahun 2005 169
11 Inputoutput Jawa Timur berasal dari daerah asal Tahun 2005 170 12 Input Jawa Timur (inflow) berasal dari Sulawesi Lain
(outflow) Tahun 2005 171
13 Input Jawa Timur (inflow) berasal dari Sulawesi Selatan
(outflow) Tahun 2005 172
14 Input Jawa Timur (inflow) berasal dari Kalimantan Timur
(outflow) Tahun 2005 173
15 Input Jawa Timur (inflow) berasal dari ROI (outflow) Tahun
2005 174
Tahun 2011
42 Input Kalimantan Timur (inflow) berasal dari Sulawesi Lain
(outflow) Tahun 2011 201
43 Input Kalimantan Timur (inflow) berasal dari Sulawesi
Selatan (outflow) Tahun 2011 202
44 Input Kalimantan Timur (inflow) berasal dari Jawa Timur
(outflow) Tahun 2011 203
45 Input Kalimantan Timur (inflow) berasal dari ROI (outflow)
Tahun 2011 204
46 Inputoutput ROI berasal dari daerah asal Tahun 2011 205 47 Input ROI (inflow) berasal dari Sulawesi Lain (outflow)
Tahun 2011 206
48 Input ROI (inflow) berasal dari Sulawesi Selatan (outflow)
Tahun 2011 207
49 Input ROI (inflow) berasal dari Jawa Timur (outflow) Tahun
2011 208
50 Input ROI (inflow) berasal dari Kalimantan Timur (outflow)
Tahun 2011 209
51 Total Keterkaitan langsung dan tidak langsung kebelakang
wilayah Sulawesi Lain 2005 210
52 Total Keterkaitan langsung dan tidak langsung kebelakang
wilayah Sulawesi Selatan 2005 211
53 Total Keterkaitan langsung dan tidak langsung kebelakang
wilayah Jawa Timur 2005 212
54 Total Keterkaitan langsung dan tidak langsung kebelakang
wilayah Kalimantan Timur 2005 213
55 Total Keterkaitan langsung dan tidak langsung kebelakang
wilayah ROI 2005 214
56 Total Keterkaitan langsung dan tidak langsung kedepan
wilayah Sulawesi Lain 2005 215
57 Total Keterkaitan langsung dan tidak langsung kedepan
wilayah Sulawesi Selatan2005 216
58 Total Keterkaitan langsung dan tidak langsung kedepan
wilayah Jawa Timur 2005 217
59 Total Keterkaitan langsung dan tidak langsung kedepan
wilayah Kalimantan Timur 2005 218
60 Total Keterkaitan langsung dan tidak langsung kedepan
wilayah ROI 2005 219
61 Total Keterkaitan langsung dan tidak langsung kebelakang
wilayah Sulawesi Lain 2011 220
62 Total Keterkaitan langsung dan tidak langsung kebelakang
wilayah Sulawesi Selatan 2011 221
63 Total Keterkaitan langsung dan tidak langsung kebelakang
wilayah Jawa Timur 2011 222
64 Total Keterkaitan langsung dan tidak langsung kebelakang
wilayah Kalimantan Timur 2011 223
65 Total Keterkaitan langsung dan tidak langsung kebelakang
66 Total Keterkaitan langsung dan tidak langsung kedepan
wilayah Sulawesi Lain 2011 225
67 Total Keterkaitan langsung dan tidak langsung kedepan
wilayah Sulawesi Selatan 2011 226
68 Total Keterkaitan langsung dan tidak langsung kedepan
wilayah Jawa Timur 2011 227
69 Total Keterkaitan langsung dan tidak langsung kedepan
wilayah Kalimantan Timur 2011 228
70 Total Keterkaitan langsung dan tidak langsung kedepan
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Potensi dan dugaan asimetrik pembangunan wilayah menjadi bagian yang cukup penting dalam mengulas sejauh mana perkembangan wilayah koridor ekonomi sulawesi akibat adanya interaksi dengan Jawa Timur dan Kalimantan Timur. Dugaan awal asimetrik pembangunan tercermin pada produktifitas ekonomi antar wilayah relatif cukup berbeda. Perbedaan produktifitas menjadi
dugaan awal untuk menilai bahwa pay off yang diterima salah satu wilayah tidak
memiliki nilai tambah yang cukup besar karena adanya capital flight dan
asimetrik pembangunan ekonomi. Indikasi tersebut dapat dilihat pada produktifitas PDRB di masing-masing wilayah pada Tabel 1.
Penelitian ini menganalisis keterkaitan ekonomi antara wilayah Koridor/Pulau Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Gorontalo) dengan wilayah Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat, Jawa Timur dan Kalimantan Timur (Multi-regional). Wilayah mana yang mendapat manfaat ekonomi merupakan salah satu bagian yang akan diestimasi dalam penelitian ini. Sektor apa yang menjadi domain setiap wilayah dalam mendorong nilai tambah terhadap aktifitas lainnya, menjadi bagian yang cukup menarik dan kontekstual untuk dikaji dalam konfigurasi ekonomi wilayah.
Tabel 1. Nilai PDRB konstan (dalam milyar) di masing-masing provinsi periode Tahun 2009-2013
No Wilayah 2009 2010 2011 2012 2013
1 Sulawesi Selatan 47.326,08 51.199,90 55.093,74 59.718,50 64.284,43
2 Sulawesi Tenggara 10.768,57 11.653,91 12.698,12 14.020,35 15.040,86
3 Sulawesi Utara 17.149,62 18.376,82 19.735,47 21.286,58 22.872,16
4 Sulawesi Tengah 16.207,59 17.626,17 19.230,92 21.007,97 22.979,40
5 Gorontalo 2.710,73 2.917,49 3.141,45 3.383,82 3646.55
6 Kalimantan Timur 105.564,94 110.953,45 115.489,85 120.085,76 121.990,49
7 Jawa Timur 320.861,00 342.280,76 366.983,28 393.662,85 419.428,45
Sumber : BPS, 2014
Wilayah yang fokus pada aktifitas industri akan jauh lebih besar menerima manfaat ekonomi dan perdagangan dari pada wilayah yang jauh dari pusat
pembangunan (LeSage dan Llano ,2007). Meskipun shadow price bahan baku dari
daerah asal ke daerah tujuan akan meningkat akibat pengaruh jarak, wilayah industri (dalam hal ini Jawa Timur) akan tetap menerima manfaat yang lebih besar karena mampu mengolah produk bernilai tambah tinggi dan memberikan efek yang lebih besar pada aktifitas ekonomi lain seperti tenaga kerja, penerimaan daerah dari sisi pajak, output produksi dan pendapatan masyarakat.
Hill, Resosudarmo dan Vidyattama (2008), Priyarsono dan Rustiadi (2010) menyatakan bahwa ketimpangan antar wilayah terus berlangsung hingga saat ini. Pulau Jawa masih sangat mendominasi aktifitas ekonomi (+60% dari total kontribusi ekonomi nasional) sementara wilayah timur indonesia masih jauh tertinggal (Koridor Kalimantan menyumbang +9 %, Sulawesi +4% terhadap nasional). Ketimpangan ekonomi salah satunya disebabkan oleh sentralisasi aktifitas ekonomi bernilai tambah tinggi di Pulau Jawa sedangkan wilayah timur masih lebih banyak pada industri yang sederhana.
Fenomena industrialisasi dan asimetrik pembangunan juga mendorong
terjadinya backwash effect antar daerah dalam unit provinsi (khususnya di wilayah
perkotaan seperti Surabaya, Makassar, Balikpapan dan Kota Industri lainnya).
Myrdal (1970), menyatakan bahwa backwash effect yang terjadi di desa atau
suatu wilayah akibat ketimpangan pembangunan dan menjadi penghambat untuk mencapai simetrik pembangunan. Sumberdaya yang berada di desa atau wilayah tertentu secara massal dan bertahap terus terkuras oleh dampak industrialisasi di kota (wilayah lain). Implikasinya desa menjadi daerah yang jauh tertinggal
dibanding kota. Fenomena backwash effect ditandai dengan sumberdaya manusia
yang terampil di desa (daerah terbelakang) untuk menuju kota (daerah maju). Sumberdaya manusia dan tenaga terampil memilih bermigrasi ke kota (daerah maju) karena kemampuan yang mereka miliki lebih terserap di kota daripada di desa. Mereka yang memiliki kapasitas sumberdaya dan tenaga terampil lemah, lebih memilih bertahan di desa. Jadilah desa sebagai wilayah yang dihuni sumberdaya manusia yang lemah dan kurang terampil. Komposisi masyarakat terampil selanjutnya menjadi cukup besar di kota sehingga rangsangan investasi lebih menarik di wilayah perkotaan. Posisi perkotaan selanjutnya menjadi lokasi yang dipilih untuk berinvestasi karena sumberdaya manusia lebih terjamin di kota dari pada di desa. Kota selanjutnya menjadi tempat investasi beragam jenis aktifitas ekonomi. Sumberdaya alam yang berada di desa mengalir langsung ke kota untuk di olah agar bernilai ekonomis tinggi karena beragam teknologi industri tersedia di kota. Untuk membangun industri yang lebih ekonomis maka sistem jaringan jalan dan infrastruktur menjadi domain dasar untuk dikembangkan di wilayah kota. Fenomena yang terus berlangsung ini mengakibatkan daerah maju semakin berkembang sementara desa mengalami perlambatan.
Adanya kebijakan fiskal untuk mengurai disparitas pembangunan antar wilayah tidak langsung berdampak secara keseluruhan terhadap pembangunan wilayah. Aritenang (2008), menyatakan bahwa kebijakan desentralisasi memberikan dampak terhadap penurunan level kemiskinan dan meningkatnya
pelayanan kesehatan serta human capital. Namun tidak ada fakta secara signifikan
berkurangnya kemiskinan dalam era desentralisasi. Keseluruhan hasil penelitian menunjukkan bahwa disparitas antara provinsi di Indonesia masih sangat kuat meskipun mengalami penurunan sejak Tahun 2002.
Tantangan ke depan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah mendorong pembangunan yang lebih simetrik antar wilayah agar setiap wilayah mampu mandiri. Persoalan pembangunan yang cenderung tidak simetrik tercermin dari segi ekonomi, sumberdaya manusia, infrastruktur dan aksesibilitas. Masalah tersebut harus segera diatasi melalui transformasi pembangunan ekonomi dan percepatan pembangunan ekonomi. Selanjutnya untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi serta percepatan pembangunan wilayah dibutuhkan interkonektifitas
ekonomi antara wilayah melalui penguatan comparative adventage, industrialisasi
dan pembangunan infrastruktur (Menko perekonomian, 2011).
Berbagai studi menunjukkan pada saat pertumbuhan ekonomi nasional tinggi tetapi masalah pemerataan antar wilayah tidak begitu menonjol. Tiap wilayah mengalami pertumbuhan ekonomi, baik karena kekuatan sendiri maupun subsidi pemerintah pusat. Pada saat laju pertumbuhan ekonomi nasional rendah, dapat berlangsung keadaan yang menunjukkan terjadinya pertumbuhan ekonomi di beberapa wilayah dengan mengorbankan pertumbuhan ekonomi wilayah lain.
Perekonomian dalam kondisi ini terjebak dalam zero sum (Azis, 1994). Meskipun
pertumbuhan ekonomi antar wilayah Pulau Sulawesi, Jawa Timur dan Kalimantan Timur relatif hampir sama (6%-7%) namun ketimpangan ekonomi masih terus berlangsung (karena manfaat ekonomi lebih banyak diperoleh wilayah tertentu).
Berdasarkan uraian tersebut maka perlu dilakukan penelitian keterkaitan koridor ekonomi Sulawesi dengan wilayah Jawa Timur dan Kalimantan Timur untuk menjawab berbagai persoalan asimetrik pembangunan antar wilayah. Diperlukan analisis yang tepat agar menghasilkan berbagai rumusan kebijakan simetrik pembangunan dan kerjasama antar wilayah. Sisi lain, mendorong kinerja sektor agar memiliki keterkaitan kuat dengan sektor lainnya di wilayah tertentu. Kerjasama antar wilayah yang perlu dipertimbangkan adalah kerjasama yang
memberikan pay-off yang optimal oleh masing-masing wilayah
Perumusan Masalah
sektor industri masih kecil dari pada sektor pertanian terutama wilayah Sulawesi Lain (7,55%).
Kalimantan Timur sangat dominan akitifitas pertambangan dengan kontribusi sekitar 41,5%. Kontribusi pertambangan diduga tidak menopang sektor industri karena kontribusi sektor pertambangan di daerah Kalimantan Timur jauh lebih besar dari pada industri. Tambang batu bara sejatinya menjadi bahan baku dasar untuk energi industri, tetapi industri di Kalimantan Timur masih kecil sehingga batu bara lebih banyak orientasi ekspor daripada digunakan sebagai bahan dasar energi industri di Kalimantan Timur. Akibatnya potensi tambang di Kalimantan Timur lebih banyak faedah/manfaatnya bagi wilayah industri (terutama di Jawa Timur). Secara rinci kontribusi tiap sektor tersaji pada Tabel 2. Tabel 2. Kontribusi sektor terhadap total PDRB konstan (dalam persen) pada
masing-masing wilayah di Tahun 2010
Sektor Jatim Sul-Sel Kal-Tim Sul-lain
Pertanian 15,00 26,97 6,58 29,84
Pertambangan 2,27 8,77 41,56 4,81
Industri pengolahan 25,39 13,42 27,65 7,55
Listrik dan air bersih 1,36 1,03 0,33 0,74
Bangunan 3,21 5,66 3,91 10,51
Perdagangan, Hotel& Restoran 31,04 16,99 8,89 15,32
Angkutan/komunikasi 7,33 9,02 5,76 10,09
Bank/keu/perum 5,45 7,31 3,23 5,98
Jasa 8,97 10,81 2,09 15,15
Sumber : BPS, 2012
Kekhasan yang dimiliki oleh daerah sangat nampak pada data Tabel 2, dimana suatu daerah memiliki sektor yang unggul. Namun terdapat faktor
imperfect (kendala) yang dimiliki oleh setiap daerah dalam mendorong terjadinya interaksi dan keterkaitan ekonomi. Hoover dan Giarratni (1999), kendala yang
dimiliki oleh sumberdaya alam adalah (1) imperfect factor mobility
(ketaksempurnaan mobilitas faktor produksi), (2) imperfect factor divisibility
(ketaksempurnaan pemisahan/pemilahan antar faktor produksi), dan (3)
imperfectmobility of goods and services (ketaksempurnaan mobilitas barang dan
jasa). Adanya berbagai ketaksempurnaan ini mempertegas pentingnya
pertimbangan kerjasama dalam mengolah berbagai sumberdaya, aktivitas dan kinerja ekonomi dalam perencanaan pembangunan.
Adanya kendala tersebut, sisi lain merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan asimetrik pembangunan dan kebocoran wilayah. Capital flight
terjadi akibat nilai tambah yang sejatinya diterima wilayah asal tidak terjadi akibat bahan dasar dari wilayah asal (tidak melalui pengolahan teknologi menjadi bahan setengah jadi) langsung diekspor ke wilayah lain. Dampak nilai tambah sektor wilayah asal tidak berpengaruh langsung atau sangat kecil terhadap sektor daerah asal, produktifitas tenaga kerja dan output sektor lainnya. Potensi pendapatan
daerah asal dari hasil bahan baku dasar menjadi “hilang” karena dampaknya
terhadap aktifitas ekonomi terjadi di daerah tujuan. Sejatinya nilai tambah tersebut dikembalikan ke daerah asal melalui pengolahan dan industrialisasi komoditas unggulan. Pembangunan pusat-pusat pertumbuhan untuk memperkuat ekonomi
Indikasi simetrik dan keterkaitan ekonomi yang lemah lainnya adalah investasi pembangunan yang tidak terdistribusi secara adil di wilayah. Investasi wilayah melalui Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal dalam Negeri (PMDN) antar wilayah juga masih mencerminkan perbedaan yang cukup signifikan. Investasi PMDN dan PMA sangat dominan di Provinsi Jawa Timur dengan kisaran PMDN 13,33% pada Tahun 2010 dan 12,75% pada Tahun 2011, serta PMA berkisar 10,9% pada Tahun 2010 dan 6,73% pada Tahun 2011. Meskipun investasi di Jawa Timur cenderung menurun tapi persentasinya masih jauh lebih dibandingkan dengan provinsi lainnya.
Tabel 3. Nilai PMDN dan PMA di masing-masing provinsi periode 2010-2011
No Wilayah PMDN (%) PMA(%)
2010 2011 2010 2011
1 Sulawesi Utara 0,16 0,43 1,39 1,13
2 Sulawesi Tengah 0,25 3,45 0,85 1,90
3 Sulawesi Selatan 5,30 5,25 2,72 0,46
4 Sulawesi Tenggara 0,03 0,08 0,08 0,09
5 Gorontalo 0,03 0,02 0,005 0,06
6 Kalimantan Timur 13,00 8,64 6,74 3,09
7 Jawa Timur 13,33 12,75 10,90 6,73
8 Indonesia 100 100 100 100
Sumber ; BKPM, 2012
Wilayah yang rendah PMA dan PMDN cenderung lebih banyak berorientasi ekspor bahan baku karena tidak memiliki investasi pengolahan bahan baku menjadi barang bernilai tambah dan ekonomis. Sumberdaya yang menjadi
basis (comparative adventage) wilayah tersebut diekspor tanpa diolah lebih lanjut
di wilayah basis. Akibatnya nilai tambah yang sejatinya di peroleh wilayah basis justru diperoleh wilayah lain yang mampu mengolah bahan baku tersebut bernilai ekonomi yang tinggi. Nilai tambah yang tidak diperoleh wilayah basis menyebabkan terjadi kebocoran wilayah.
Investasi dan sumberdaya terserap dan konsentrasi di perkotaan dan
wilayah tertentu sementara wilayah hinterland mengalami pengurasan
sumberdaya yang berlebihan. Tidak seimbangnya pembangunan menghasilkan struktur hubungan antarwilayah yang membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah. Tidak seimbangnya pembangunan inter-regional, disamping menyebabkan kapasitas pembangunan regional yang sub-optimal juga berpotensi menihilkan pertumbuhan agregat makro (Rustiadi, et.al 2009).
Saefulhakim (2005) menyatakan bahwa pembangunan yang hanya menekankan laju pertumbuhan ekonomi makro tanpa memperhatikan keterkaitan ekonomi dan interaksi antar wilayah berpotensi menciptakan ketimpangan antar wilayah dan kesenjangan pendapatan antar masyarakat. Wilayah yang maju pesat secara agregat tidak lagi menjadi mitra yang sejajar dengan wilayah tetangga atau sekitarnya melainkan meninggalkan wilayah mitra.
suatu wilayah sudah mampu terkelola potensinya tetapi hanya sebatas ekspor, tanpa ada pengelolahan nilai tambah, menjadi penting dikaji. Pola interaksi sekaligus mencerminkan apakah posisi suatu wilayah (Pulau Sulawesi, Sulawesi Selatan Jawa Timur dan Kalimantan Timur) kuat atau lemah dan timpang atau simetrik dalam berinteraksi. Secara umum pola interaksi total agregat nilai ekonomi antar wilayah di Sulawesi Lain, Kalimantan Timur dan Jawa Timur tercermin pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai interaksi ekonomi antar Sulawesi Lain, Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan Kalimantan Timur (dalam juta (Rp)
Output
Input
Sulain Sulsel Jatim Kaltim Jumlah
Sulain 15.739.614,96 150.136,09 547.168,96 213.685,71 16.650.605,71
Sulsel 327.051,98 9.629.013,95 723.974,09 467.574,70 31.147.614,70
Jatim 1.276.047,18 644.840,81 312.765.695,73 1.445.336,26 316131.919,98
Kaltim 789.089,37 807.951,48 601.159,53 91.593.288,98 93.791.489,36
Jumlah 18.131.803,48 31.231.942,33 314.637.998,31 93.719.885,63 457.721.630
Sumber : Bappenas dan BPS, 2005 setelah diolah
Tabel 4 mencerminkan bahwa nilai perdagangan Sulawesi Lain jauh lebih kecil ke Sulawesi Selatan dari pada Jawa Timur dan Kalimantan Timur. Selanjutnya, nilai interaksi perdagangan Provinsi Sulawesi Selatan ke Provinsi lain di Pulau Sulawesi jauh lebih kecil jika dibandingkan Nilai interaksi perdagangan antar Sulawesi Selatan ke Jawa Timur dan Kalimantan Timur. Fakta tersebut mencerminkan keterkaitan ekonomi Sulawesi Lain sangat kecil dibandingan kedua wilayah lainnya. Interkonektiftas aktifitas ekonomi menjadi
backwash menuju Jawa Timur dan dalam Sulawesi Lain terjadi fenomena zero sum game antara Sulawesi Selatan dengan Sulawesi Lain. Fakta tersebut menjadi masalah karena pembangunan antar wilayah menjadi asimetrik dan beberapa wilayah lain menjadi tertinggal.
Wilayah Sulawesi Lain nampaknya memiliki sektor yang masih sangat tergantung dari luar karena besarnya nilai transaksi ekonomi yang berasal dari luar wilayah (terutama dari Jawa Timur). Ada kecendrungan Sulawesi Lain tergolong
wilayah stimulusi-response atau self referencing. Wilayah tersebut masih perlu
dirangsang dari sisi internal untuk mengoptimalkan potensi sumberdayanya. Berdasarkan penilaian tersebut maka Sulawesi Lain menjadi wilayah yang
cenderung mengelami kebocoran wilayah dan backwash effect.
Interaksi antar wilayah mendorong nilai tambah meningkat pada sektor tertentu. Dampak nilai tambah bisa diperoleh dari output, tenaga kerja, pajak dan peningkatan nilai tambah sektor tertentu. Nilai tambah suatu sektor (termasuk sektor unggulan) memungkinkan diperoleh wilayah tujuan lebih besar dari pada wilayah asal. Wilayah yang tidak memperoleh manfaat yang lebih dari hasil
interaksi akan mengalami gejala negative sum sehingga berpotensi semakin
timpang/tertinggal dengan wilayah lain. Pengembangan sektor unggulan dan kerjasama antar wilayah menjadi signal pemerintah untuk menghindari gejala
negative dan zero sum. Berdasarkan uraian tersebut, pertanyaan masalah tercermin
1. Bagaimana pola keterkaitan ekonomi (kuat atau lemah) antar wilayah Pulau Sulawesi (Sulawesi Lain), Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur ?
2. Bagaimana pengaruh spillover dan feedback antar wilayah ?
3. Sektor apa yang memperoleh aliran nilai tambah (upah, pajak dan usaha)
setiap wilayah ?
4. Bagaimana dampak kebijakan pembangunan antar wilayah ?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Menganalisis pola keterkaitan ekonomi antar wilayah Pulau Sulawesi
(Sulawesi Lain), Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan Kalimantan Timur.
2. Menganalisis pengaruh Spillover dan Feedback antar wilayah
3. Menganalisis aliran nilai tambah (upah, pajak dan usaha) di suatu wilayah.
4. Merumuskan kebijakan pembangunan antar wilayah
Kegunaan Penelitian
Kegunaan yang diharapkan dari penelitian adalah:
1. Studi ini diharapkan dapat memperkaya kajian mengenai keterkaitan ekonomi
antar wilayah (dalam konteks multi-region).
2. Dapat menyajikan informasi yang menjelaskan peluang wilayah untuk
membangun kerjasama dengan wilayah lain serta kebijakan yang tepat untuk membangun wilayah.
3. Studi ini diharapkan dapat memberikan petunjuk dalam memilih opsi
kebijakan yang tepat dalam memperkuat keterkaitan dan kerjasama pembangunan wilayah dan antar wilayah
Kebaharuan Penelitian
Hubungan saling tergantung terhadap berbagai bagian dalam sistem ekonomi merupakan hal yang paling mendasar dalam analisis ekonomi (leontief, 1936). Terdapat 2 hal yang menyebabkan aliran komoditi antar wilayah sebagaimana pendapat Isard (1951) menyatakan bahwa aliran komoditi dikaitkan kedalam 2 hal yaitu (1) karena adanya ketidaksamaan penyebaran penduduk, pendapatan, dalam arti luas sumberdaya dan (2) adanya kegiatan ekonomi skala besar pada wilayah tertentu. Perubahan output sebagian besar industri ditentukan oleh seberapa besar perubahan tingkatan permintaan akhir. Faktor demografi dan perubahan koefisien teknologi menjadi faktor kunci dalam memenuhi perubahan permintaan akhir (Feldman, et al, 1987). Chenery, et al (1962) mengungkap bahwa perubahan output setiap sektor dalam industri disebababkan empat hal
yaitu (1) perubahan komposisi domestic demand, (2) perubahan volume ekspor,
(3) perubahan volume impor dan (4) perubahan teknologi dan organisasi.
Tabel IRIO dapat digunakan untuk mengestimasi besarnya ekternal shock
terhadap indikator ekonomi makro seperti output perekonomian, nilai tambah, pendapatan dan tenaga kerja. Tidak seperti IO single region, IRIO dapat
perubahan eksogenus permintaan beberapa output pada wilayah tertentu. IRIO tidak hanya mengestimasi stimulus produksi wilayah asal akibat adanya kenaikan permintaan akhir wilayah lain, tetapi mampu mengestimasi dampak dari permintaan akhir dari wilayah lain (Kwangmoon, et.al, 2010).
Meng dan Qu (2007) mengatakan pengaruh interregional spillover telah menjadi faktor penting dalam pertumbuhan output wilayah. Kota besar seperti
wilayah Huabei di Cina merupakan wilayah yang memperoleh dampak spillover
yang sangat besar dari wilayah lain tetapi relatif kecil memberikan dampak
spillover kepada wilayah lain, kecuali wilayah Xibei. Temuan Hughes dan Holland (1994) di wilayah Washington menunjukkan telah terjadi dampak
backwash effect dan spread effect antara core-periphery di wilayah tersebut.
Spread effect dari core-region ke periphery tidak kuat. Bagian yang tidak kalah penting adalah kompleksitas ekonomi wilayah. Hausmann dan Hidalgo (2011) mengatakan produktifitas ekonomi wilayah sangat ditentukan dengan kompleksitas ekonominya. Semakin kompleks ekonomi wilayah akan mendorong peningkatan ekspor dan selanjutnya meningkatkan pendapatan.
Penelitian ini memformulasi keterkaitan input-output sektor (ekonomi) antar wilayah berdasarkan karakter dan kekhasan ekonomi wilayah. Penelitian ini
selanjutnya mengurai pengaruh spillover dan feedback ekonomi antar wilayah
untuk mengestimasi dan menaksir pengaruh kebijakan pembangunan wilayah. Peran penghubung ekonomi antar wilayah oleh wilayah tertentu sangat penting dalam mendorong pemerataan pembangunan antar wilayah. Saat ini, output perekonomian wilayah Sulawesi Selatan jauh melampaui output perekonomian wilayah lain di Pulau Sulawesi. Output perekonomian wilayah Sulawesi Selatan mencapai Rp 64,284 triliun (PDRB konstan) sedangkan wilayah lain di Pulau
Sulawesi berkisar Rp 3,6 triliun – Rp 22,979 triliun. Perbedaan output tersebut
menunjukkan bahwa Sulawesi Selatan lebih dominan peranannya dalam perekonomian di Pulau Sulawesi, namun keterkaitan antar wilayah di Pulau Sulawesi masih sangat rendah. Rendahnya output perekonomian wilayah di Sulawesi Selatan, Sulawesi Lain dan Kalimantan Timur dibandingkan dengan Jawa Timur mencerminkan perekonomian antar wilayah masih mengalami
“paradoks”.
Orientasi keterkaitan ekonomi wilayah di Pulau Sulawesi lebih besar dengan wilayah Jawa Timur. Faktor industrialisasi dan aglomerasi ekonomi (menunjukkan kompleksitas ekonomi) menyebabkan output perekonomian di wilayah Jawa Timur jauh lebih besar dibandingkan wilayah lain sehingga mendorong ekspor domestik ke wilayah lain. Peran wilayah Jawa Timur sejatinya
sudah dapat “diambil alih” oleh wilayah Sulawesi Selatan dalam rangka
memperkuat keterkaitan ekonomi di Pulau Sulawesi sekaligus mengalihkan
sebagian “kekuatan” ekonomi di Pulau Jawa ke Pulau Sulawesi. Wilayah
Sulawesi Selatan ditekankan sebagai wilayah yang menjadi “jembatan ekonomi”
dengan wilayah lain di Pulau Sulawesi dan wilayah timur Indonesia. Sebagai upaya mendorong wilayah Sulawesi Selatan sebagai jembatan ekonomi di Pulau
Sulawesi maka interregional capital movement harus lebih besar menuju wilayah
tersebut. Pergerakan arus investasi ke wilayah Sulawesi Selatan terfokus pada
sektor yang mempu mendorong perekonomian wilayah dari sisi demand dan
Hal yang menarik dalam penelitian ini adalah (1) masih terjadi paradoks pembangunan antar wilayah di Indonesia, (2) diperlukan keberpihakan kebijakan
pemerintah melalui interregional capital movement, (3) membangun peran
Sulawesi Selatan sebagai wilayah yang dapat menghubungkan (bridge) ekonomi
antar wilayah Pulau Sulawesi (4) memperkuat keterkaitan ekonomi antar Pulau Sulawesi dengan Sulawesi Selatan. Keempat hal tersebut menjadi kebaharuan dalam penelitian ini.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian adalah menganalisis keterkaitan secara
2 TINJAUAN PUSTAKA
Perspektif Ilmu Wilayah
Wilayah diambil dari bahasa arab (etimologis), akar kata terdiri dari wala,
waliy yang berarti saling tolong menolong. Istilah tolong menolong dapat diartikan saling memperkuat, dengan kata lain terjadi proses pendauran dan siklus. Proses pendauran atau siklus bisa terjadi jika ada interaksi antar wilayah. Istilah
daerah diambil dari akar kata dairah dan idarah (bahasa Arab). Idarah berarti
manajemen atau administratif. Istilah daerah terkait dengan pemerintahan dan pengaturan yang dibuat oleh pemimpin dalam satu daerah yang dibatas oleh
sistem administrasi. Kawasan berasal dari kata khash (bahasa arab), secara
etimologi berarti kekhasan atau dengan kata lain memiliki karakteristik tertentu. (Saefulhakim, 2005).
Wilayah dalam istilah bahasa inggris diambil dari 3 bahasa yaitu region
yang berarti daerah urban (perkotaan) dan rural (perdesaan), kedua diambil dari
kata spatial yang terkait dengan segala entitas yang terdapat dalam ruang (space)
dan yang ketiga adalah lokasi (locality) yang berarti aktifitas tertentu dalam
lokasi. Perdesaan adalah suatu wilayah dengan aktifitas utama adalah pertanian dan pengelolahan sumberdaya alam. Perkotaan adalah aktifitas utamanya adalah jasa. Ilmu wilayah menekankan 3 aspek ilmu yaitu ilmu ekonomi dan sosial, ilmu ruang (geografi) dan teknik kuantitatif sebagai pendekatan utama dan pendekatan kualitatif sebagai pendekatan pendukung.
Ada 4 pendekatan penting dalam rangka membangun falsafah Ilmu
wilayah (regional science). Keempat pendekatan dimulai dengan pertanyaan
what (apa), where dan why (mengapa) dan so what (jadi mengapa), pertama what
yang menyangkut untuk setiap tipe aktivitas ekonomi, tidak hanya hasil produksi
yang hanya terbatas dalam pabrik perusahaan, farm (pertanian) tetapi berbagai
macam bisnis, household (rumah tangga) dan private serta institusi publik. Where
menyangkut lokasi dalam menghubungkan aktifitas ekonomi lain, melibatkan
pertanyaan berdasarkan kedekatan, konsentrasi tempat, dispersion dan kemiripan
atau disparitas pada pola spasial (Hoover dan Giarratni, 1999).
Suatu daerah yang memiliki rasio outflow terhadap total produksi melebihi
rata-rata dan rasio inflow terhadap total permintaan akhir dalam satu wilayah juga
melebihi rata-rata untuk semua wilayah disebut wilayah yang memiliki
interdependent perdagangan. Sementara wilayah yang memiliki rasio outflow
terhadap total produksi yang melebihi rata-rata tetapi rasio inflow yang di bawah rata-rata untuk semua wilayah disebut dengan wilayah yang memiliki hubungan
outflow-dependent. Selanjutnya suatu wilayah yang memiliki rasio outflow
terhadap total produksi di bawah rata-rata dan rasio inflow terhadap permintaan
akhir untuk semua wilayah juga di bawah rata-rata disebut dengan wilayah
selfcontained. Wilayah yang memiliki rasio inflow terhadap total permintaan akhir
di atas rata-rata untuk semua wilayah tetapi memiliki rasio outflow terhadap total
Simetrik dan Asimetrik Wilayah
Ilmu wilayah memiliki dimensi utama (core) interaksi fungsional (spasial),
kedekatan/kemiripan antar bagian (variasi spasial) atau biasa disebut dengan
spatial disparity, siklus tertentu perputaran kehidupan (life cycle) (ekologis dan
ekonomi) atau dengan kata lain dinamika spasial dan kekhasan lokal (uniqeness)
atau (spatial specificacy).
Ilmu wilayah tidak hanya melihat indikator pertumbuhan dan agregat ekonomi sebagai faktor utama kemajuan dalam lingkup negara. Prinsip keterkaitan dan keterpaduan menjadi hal penting dalam wilayah. Pertumbuhan ekonomi wilayah tidak menyebabkan ketimpangan antara wilayah tetapi justru memberi pengaruh positif terhadap pertumbuhan wilayah lain. Dalam hal ini interaksi antara wilayah harus terkait dan terpadu. Wilayah yang tidak merasakan dampak terhadap kemajuan wilayah lain mengindikasikan interaksi wilayah tidak saling memperkuat melainkan saling memperlemah (Azis , 1994).
Rustiadi et al (2009) menyatakan bahwa intsrumen yang perlu untuk diemplementasikan dalam rangka menciptakan keterkaitan wilayah yang kuat adalah (1) mendorong pemerataan investasi, (2) mendorong pemerataan permintaan dan (3) mendorong pemerataan tabungan.
Keterkaitan antar wilayah perlu didukung dengan regulasi kebijakan antar daerah. Regulasi tersebut dibangun secara bersama antar daerah yang memiliki aliansi strategik. Namun kerjasama tersebut seringkali terkendala pada persoalan
kepercaayaan (trust). Rendahnya kepercayaan yang dimiliki oleh pihak yang
berwenang menjadi penghambat yang besar dalam membangun kerjasama antar
daerah. Mistrust menjadi biaya yang besar untuk menciptakan keterkaitan antar
wilayah.
Fukuyama (1999) mengatakan bahwa besarnya biaya transaksi pembangunan salah satu penyebabnya adalah karena rendahnya kepercayaan pada pihak yang akan bekerjasama. Kerjasama yang dilakukan oleh berbagai pihak berusaha untuk membuat legalitas hukum yang rumit dengan biaya yang sangat besar. Lebih jauh, pihak tersebut menyewa beberapa ahli dan pengawas untuk menjamin jalannya kerjasama tersebut. Oleh karena itu, kerjasama antar daerah seyogyanya dibangun berlandaskan kepercayaan yang tinggi antar pemerintah daerah.
Rustiadi (2009) mengatakan bahwa beberapa implikasi pembangunan yang tidak berimbang adalah (1) disparitas pendapatan dan infrastruktur, (2) disparitas desa-kota terkait dengan standar hidup, (3) peran kota yang semakin dominan dan (4) adanya kecendrungan migrasi ke kota.
Upaya penanggulangan disparitas antarwilayah dapat dilakukan dalam beberapa tahap yaitu (1) redistribusi aset, (2) pengembangan lembaga dan pasar finansial, (3) kebijakan insentif lapangan kerja, (4) kebijakan insentif nilai tukar untuk meningkatkan nilai tukar pertanian dan (5) pengendalian kebijakan perpajakan dan monitoring pada lalu lintas devisa dan modal.
menciptakan kebocoran wilayah. Pengendalian arus modal dimaksudkan untuk melakukan reinvestasi di daerah tertinggal atau desa sebagai langkah dasar menciptakan keberimbangan pembangunan.
Langkah lain yang fokus untuk menciptakan keberimbangan antar wilayah adalah dengan mengedepankan perencanaan yang berbasis pengetahuan sebagai landasan keputusan dan kebijakan politik. Persoalan pembangunan seringkali lebih mengutamakan arus kepentingan politik untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan tanpa dibarengi dengan ilmu pengetahuan. Akhirnya yang
terjadi “kesemrawutan” pembangunan wilayah.
LeSage (dalam Seafulhakim 2008) menyatakan bahwa pembangunan wilayah harus memperhatikan fenomena keterkaitan/ ketergantungan antar lokasi seperti ini diformalisasikan dalam berbagai konsep, antara lain: (1) interaksi
spasial (spatial interaction), (2) difusi spasial (spatial diffusion), (3) hirarki
spasial (spatial hierarchies), dan (4) aliran antar daerah (interregional spillover).
Saefulhakim (2008) Kekuatan-kekuatan pengendali (driving forces) dari
berbagai fenomena keterkaitan ini bisa terdiri atas beberapa faktor, antara lain: (1) sistem geografi fisik sumberdaya alam dan lingkungan, (2) sistem ekonomi, (3) sistem sosial budaya, dan (4) sistem politik. Variabel yang diamati pada dua lokasi yang: (1) bertetangga, (2) berdekatan, (3) terkait, atau (4) bermitra, dapat berkorelasi lebih kuat, dibandingkan dengan variabel yang diamati pada dua
lokasi yang tidak demikian. Dengan kata lain autokorelasi spasial (Spatial
Autocorrelationship) dari variabel antar dua lokasi yang: (1) bertetangga, (2) berdekatan, (3) terkait, atau (4) bermitra, tersebut lebih kuat dibandingkan dengan variabel yang diamati pada dua lokasi yang tidak demikian. Matriks kontiguitas spasial dibangun untuk mengakomodasikan berbagai fenomena autokorelasi spasial.
Aglomerasi Ekonomi
Kuncoro (2002) salah satu pendorong disparitas pembangunan wilayah karena ada spesialisasi dan aglomerasi industri manufaktur. Ia menegaskan bahwa aglomerasi industri besar sangat terkonsentrasi di wilayah Pulau Jawa. Aglomerasi berkembang pesat di Wilayah Jabodetabek dan Surabaya. Wilayah tersebut menjadi daya tarik aglomerasi yang kuat sehingga cenderung menyebabkan ketimpangan antar daerah.
Bradley dan Gans (1996) menyatakan bahwa aglomerasi terwujud karena faktor kedekatan aktifitas ekonomi secara geografis. Akibatnya aglomerasi memberikan efek pertumbuhan daerah dimana kegiatan aglomerasi. Daerah yang memiliki aktifitas aglomerasi cenderung memiliki pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih besar dari pada daerah yang tidak memiliki aktifitas aglomerasi. Akibatnya aglomerasi ekonomi menjadi awal mula terjadinya ketimpangan ekonomi.
Aktifitas ekonomi pada suatu perusahaan yang baik adalah perusahaan yang memiliki akses pasar dan pasokan yang lebih baik sehingga mampu membayar upah 20% lebih besar dari pada perusahaan yang tidak memiliki akses pasar dan pasokan yang baik (terutama perusahaan yang berada di wilayah
pada jarak 108 Km, sementara manfaat akses pasokan hanya menyebar pada jarak 262 Km. Perusahaan yang berada di luar Pulau Jawa terlalu jauh untuk mendapatkan keuntungan dari aglomerasi industri di pulau utama jawa. Selanjutnya manfaat dari aglomerasi yang besar menyebabkan perusahaan enggan
untuk beralih ke daerah yang memiliki upah rendah (terutama daerah periphery).
Hal ini menjadi faktor penyebab mengapa pemerintah sangat kesulitan untuk memperluas wilayah ekonomi pada daerah yang belum berkembang dengan baik aktifitas ekonominya. (Amita dan Cameron, 2004)
Mendoza (2002) globalisasi ekonomi cenderung menginginkan re-lokalisasi aktifitas ekonomi manufaktur. Akibatnya re-lokalisasi (spesialisasi) menimbulkan peningkatan aglomerasi manufaktur dan urbanisasi. Aglomerasi memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan manufaktur diwilayah utara Mexico. Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksternalitas disebabkan oleh spesialisasi industri mendorong pertumbuhan tenaga kerja di wilayah tersebut dalam kurun waktu 1988-1993. Nilai koefisien dari spesialisasi mampu menjelaskan pertumbuhan tenaga kerja manufaktur di wilayah tersebut. Penting untuk ditekankan bahwa variabel dependen secara positif dipengaruhi level tenaga kerja dalam Tahun 1993. Perluasan industri manufaktur mendorong pesatnya
perkembangan daerah. Aglomerasi industri sangat mempengaruhi
backward-forward lingkage antara perusahaan dan faktor-faktor produksi di pusat perkotaan. Dampak aglomerasi kecil tetapi positif dan memungkinkan pasar tenaga kerja terkumpul di kota.
Efek spesialisasi menjadi pendorong yang kuat terhadap urbanisasi untuk mencari pekerjaan di kota. Tenaga kerja yang memiliki keterampilan di desa terpicu oleh modernisasi perusahaan yang berada di wilayah perkotaan sehingga mendorong peningkatan perpindahan penduduk ke wilayah spesialisasi. Tenaga kerja terampil di desa menjadi berkurung sepanjang tahun karena keahliannya belum tertampung di desa. Sementara Perusahaan atau aktifitas ekonomi baru lebih cenderung memilih dan mempertahankan aglomerasi karena pertimbangan efisien dan persediaan tenaga kerja terampil. Situasi ini menjadi awal mula
menimbulkan dampak backwash effect.
Keterkaitan Ekonomi Kasus Daerah
Priyarsono dan Rustiadi (2010) juga memperoleh hasil riset yang sama dengan temuan Hill, Resosudarmo dan Vidyattama (2008) yaitu perbedaan wilayah jawa dan luar jawa secara relatif tidak mengalami perubahan dan pergeseran yang cukup besar dari waktu ke waktu. Periode tahun 2000 hingga 2007 pertumbuhan ekonomi di wilayah jawa secara konsisten selalu lebih tinggi dari pada wilayah di luar jawa dan tidak ada perubahan siginifikan dalam polo hubungan antara luar jawa dan jawa dalam pembangunan. Disparitas pembangunan juga terjadi di dalam provinsi jawa, dimana Jabodetabek jauh lebih berkembang dari pada wilayah diluar Jabodetabek. Disparitas pembangunan tertutama nampak terlihat pada aktifitas dan pertumbuhan ekonomi sangat ekspansif dibanding wilayah di luar Jabodetabek.
Dasril (1993) Pendekatan struktural dimana perubahan komponen permintaan mampu merespon pertumbuhan dan perubahan struktur produksi. Metode yang digunakan adalah Metode IO dengan data 1985 selanjutnya di RAS ke Tahun 1990 untuk memperoleh indeks. Hasil penelitian diantaranya sektor pertanian memiliki keterkaitan kebelakang maupun kedepan yang cenderung
meningkat walaupun masih lemah. Lemahnya keterkaitan tersebut
mengindikasikan bahwa industri pengolahan pertanian dihilir belum cukup berkembang. Akibatnya kesempatan kerja di sektor pertanian semakin menurun sehingga mendorong angka pengangguran. Pengembangan industri pertanian dinilai sangat potensial untuk menarik sektor pertanian ke level industrialisasi. Kegiatan industri pengolahan pertanian akan mendorong penyerapan tenaga kerja, pasar bagi komoditi pertanian, kemampuan ekspor yang meningkat dan menurunkan impor.
Wakhidin (2005) hasil penelitian bahwa pola pengalokasian anggaran
Kabupaten Indramayu belum optimal pada penciptaan output, tenaga kerja dan
pajak. Alokasi anggaran masih banyak terdistribusi pada anggaran rutin yang
dampaknya pada penciptaan output, tenaga kerja dan pajak rendah, anggaran lebih
banyak fokus pada kegiatan yang tidak memiliki potensi mendorong produktifitas
ekonomi. Optimalisasi pengalokasian anggaran dapat meningkatkan output,
tenaga kerja dan pajak berkisar antara 0.27 hingga 2.54%.
Antara (1999) Penelitian tentang kinerja perekonomian bali dengan Metode SAM menemukan hasil bahwa produksi tanaman pangan memberikan efek neraca institusi. Peningkatan produksi pada padi mendorong peningkatan industri alat angkutan, sementara peningkatan produksi pada jagung berperan
meningkatkan permintaan industri makanan/minuman dan jasa. Komoditas buah –
buahan juga berefek pada sektor produksi, neraca institusi dan pendapatan faktor produksi. Produksi tanaman perkebunan seperti kelapa, tembakau, kopi dan tanaman perkebunan lainnya, secara umum mendorong peningkatan produk-produk industri makanan/minuman tembakau, industri kimia, industri alat angkutan, jasa perdagangan, jasa transportasi dan jasa keuangan. Fakta tersebut menunjukkan bahwa efek pengganda pertanian dalam arti luas, industri, dan jasa memiliki keterkaitan dalam mendorong peningkatan faktor produksi, pendapatan
rumah tangga dan permintaan output sektor produksi lainnya.