• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Analysis in Sub Watershed Management of Batulanteh, Sumbawa Regency (Institutional Economics Perspective).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Analysis in Sub Watershed Management of Batulanteh, Sumbawa Regency (Institutional Economics Perspective)."

Copied!
299
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN

SUB DAS BATULANTEH DI KABUPATEN SUMBAWA

(Perspektif Ekonomi Kelembagaan)

YADI HARTONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sub DAS Batulanteh Di Kabupaten Sumbawa (Perspektif Ekonomi Kelembagaan) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2012

(3)

ABSTRACT

YADI HARTONO, 2012. Institutional Analysis in Sub Watershed Management of Batulanteh, Sumbawa Regency (Institutional Economics Perspective). Under direction of ACENG HIDAYAT and AHYAR ISMAIL.

During 21 years (1984 till 2005), more than half of the watershed were demaged (282 of 468 existing watershed). All this time, the secure efforts were limited to optimization natural resources, human resources, and man-made capital. Institutional factor was neglected, so the performance of watershed management has not yet been satisfactory. Therefore, this interesting study done, with the aim are analyzing legislation, the response of government and society to the Act, the variety of property rights, analyze stakeholders, and redesign institutional of sub watershed. The results showed 71,15 percent disposition the authority that was regulated in the Act is not appropriate. This phenomenon means preversi authority and resistive to optimal and sustainability forest management. In the measurement of response rate, both government and community level responses

classified as good butnot effectivelyto solve critical land problemin watershed.

Property rights regime consist of state property and private property. Those regime have three problems : first, private property is not effective in public domain; secondly, there is illegal utilization in state property caused government incapabilty to protect their property rights; last, unclear position KPH organization, due to loss of exclusion. In the stakeholder analysis shows the fact that the overall stakeholder have mutual support against the interes of each other. But overall the stakeholders have not been fully involved in the management of sub watershed, including stakeholders who have great influence. The result from analysis of institutional design recommend to correction the act level and organization structure.

(4)

RINGKASAN

Yadi Hartono, Analisis Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sub DAS Batulanteh Di Kabupaten Sumbawa (Perspektif Ekonomi Kelembagaan). Dibimbing oleh Aceng Hidayat sebagai ketua dan Ahyar Ismail sebagai anggota komisi pembimbing.

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah ekosistem tempat dimana air tersebut mengalir dari hulu hingga hilir. Atas fungsi tersebut, keberadaannya dipandang sangat penting dan strategis bagi kelangsungan pembangunan nasional. Namun pengelolaannya seringkali tidak optimal, sehingga trend kerusakannya, terus meningkat setiap tahun. Dalam kurun waktu 21 tahun (1984 s.d 2005), lebih dari separuh DAS telah rusak (282 dari 468 DAS). Kasus kerusakan tidak hanya terjadi pada DAS di atas yang masuk kategori DAS regional, namun juga melanda DAS lokal, salah satu Sub DAS Batulanteh di Kab. Sumbawa.

Upaya penyelamatan yang telah dilakukan sejak 1980-an, dinilai hanya terbatas pada optimasi tiga faktor (sumber daya alam, sumber daya manusia, dan

man-made capital) dari empat faktor kunci yang mempengaruhi kinerja

keberhasilan pengelolaan DAS. Faktor pranata kelembagaan sedikit diabaikan, sehingga wajar kalau kinerja pengelolaan DAS hingga kini belum memuaskan. Untuk itulah, studi ini ditujukan untuk mempelajari substansi peraturan perundang-undangan yang menjadi aturan main dalam penyelenggaran pengelolaan DAS. Penelitian ini juga dihajatkan untuk melihat respon pemerintah daerah dan masyarakat terhadap amanat peraturan perundang-undangan, kemudian memetakan regim hak kepemilikan lahan, stakeholder yang terlibat dan pada tahap terakhir melakukan redesain kelembagaan pengelolaan Sub DAS Batulanteh.

Untuk menjawab tujuan pertama, menggunakan pendekatan analytic

comparation, dimana dalam analisisnya dilakukan dalam dua tahapan: pertama

mempelajari jenis urusan-urusan yang ditaur; kemudian memetakan peletakan kewenangan atas sejumlah urusan tersebut pada organisasi di tingkat makro, meso dan mikro. Untuk tujuan kedua, sejumlah amanat perundang-undangan tersebut, dilihat kesesuaiannya dengan program kerja pemerintah daerah yang terdokumentasi dalam RENSTRA dan LAKIP Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sumbawa sebagai instansi yang memiliki kesesuaian fungsi pokoknya dengan isu penyelenggaraan DAS. Sedangkan tingkat respon masyarakat diukur dengan melihat keterlibatannya dalam sejumlah program daerah dan inisiatif yang pernah dilakukan bagi kelestarian Sub DAS. Sedangkan untuk pemetaan ragam hak kepemilikan lahan dilakukan dalam tiga tahap: pertama, mengidentifikasi hak kepemilikan yang ada, kedua, melalui pendekatan Hanna (1995), informasi tahap pertama ditindak-lanjuti dengan melihat apakah para pemilik hak telah melaksanakan hak dan kewajibanya atau belum. Terakhir, dilakukan pendalaman lagi dengan melihat strata hak kepemilikan berdasarkan pendekatan Schlager dan Ostrom (1992), yaitu : hak

Acces dan Withdrawal; hak Management, hak Exclusion, dan hak Alienation.

(5)
(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

(7)

ANALISIS KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN SUB

DAS BATULANTEH DI KABUPATEN SUMBAWA

(Perspektif Ekonomi Kelembagaan)

YADI HARTONO

Tesis

Salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr.Ir. M.Parulian Hutagaol, MSIr.

(9)

Judul Tesis : Analisis Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sub DAS Batulanteh Di Kabupaten Sumbawa (Perspektif Ekonomi Kelembagaan) Nama : Yadi Hartono

NRP : H351090071

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT Ketua

Dr. Ir. Ahyar Ismail, M. Agr Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir Akhmad Fauzi, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc, Agr

(10)

PRAKATA

Alhamdulillah, itulah ungkapan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, atas Rahmat dan KaruniaNya tugas akhir ini bisa diselesaikan. Rampungnya tugas ini berarti berakhir pula rangkaian studi pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan di Sekolah Pascasarjan Institut Pertanian Bogor. Penelitian yang mengambil tema: “Analisis Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sub DAS Batulanteh di Kabupaten Sumbawa (Perspektif Ekonomi

Kelembagaan)”, dipilih atas dasar rasa ingin tahu penulis dibalik buruknya

kinerja pengelolaan DAS, khususnya Sub DAS Batulanteh di Kabupaten Sumbawa.

Penulis menyadari, rampungnya penulisan karya ilmiah ini, tidak lepas dari arahan komisi pembimbing. Untuk itu ucapan terima kasih dan penuh hormat penulis haturkan kepada Bapak Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr selaku Anggota yang telah memberikan masukan-masukan yang berharga bagi karya ini. Pada kesempatan ini pula, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan rasa hormat yang setinggi-tingginya juga kepada :

1. Ketua Program Studi ESL sekaligus dosen saya, Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc dan dosen ESL lainnya atas ilmu dan pengetahuan yang telah mereka tularkan selama ini. Kemudian Teh Sofi berserta seluru staf Departemen ESL yang tidak bisa saya sebut satu per satu atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis menempuh pendidikan pascasarjana.

2. Orang-orang istimewa dalam kehidupan saya sejak lahir, masa kanak-kanak, hingga kini yaitu kedua orang tua saya Ayahanda M.Yasin Tahir dan Ibunda Halimah tercinta atas doa dan perjuangannya yang tulus buat anak-anaknya dalam menempuh studi. Kemudian Mertua saya Muzakkir Beddu dan Sahema Dea Manwari atas doanya.

(11)

4. Saudara Bapak saya yaitu Bibi Suryati yang biasa saya panggil iya dan suaminya (Paman Man) serta saudara ibu saya DR. Sanapiah Faesal atas

pamendi ke panulung” selama ini.

5. Teman-teman di Samawa Center, UNSA, Bappeda, Dishutbun, Dinas PU, Dinas Pertanian, DPRD, KSDA, Kades Desa Batudulang atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian.

6. Teman-teman di ESL dan ESK, angkatan 2009, ada Bang Hamdan, Kong Said, Ongen, Novan, Kadek, Maria, Venti, Asti, Rogib, Bundo Eka, Fadli, Irin, Ida, Saipul dan Rio atas semangat kebersamaannya.

7. Teman-teman di asrama NTB, atas candanya; K’ Sukri, Opan, Pak Eni, Anas, Didint, Dedi, Riski dan Taher.

Akhirnya, sebagaimana Albert Einsten pernah mengatakan“ kesempurnaan adalah bukan ketika tidak ada lagi yang ditambahkan, namun ketika tidak ada

lagi yang dikurangi”. Terinspirasi oleh kata-kata Enstein tersebut, maka penulis

memandang karya sederhana ini tidak akan pernah selesai jika harus menunggu kesempurnaan dengan terus menambah dan memperkaya bahasannya, karena memang tidak akan pernah habis. Tetapi paling tidak, dengan temuan yang diungkapkan dalam karya ini, mampu menambah khasanah keilmuan dan pengetahuan.

Bogor, Januari 2012

(12)

RIWAYAT HIDUP

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xxi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

1.4. Definisi Operasional ... 10

1.5. Batasan Operasional ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kelembagaan ... 13

2.2. Teori Perubahan Kelembagaan ... 15

2.3. Kelembagaan Dalam Pengelolaan DAS ... 20

2.4. Hak Kepemilikan Sumber Daya ... 22

2.5. Definisi Stakeholder ... 25

2.6. Analisis Stakeholder ... 27

2.7. Tata kelola Kawasan DAS ... 28

III. KERANGKA PEMIKIRAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 39

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 39

4.3. Metode Pengambilan Sampel ... 39

4.4. Metode Analisis Data ... 42

4.4.1.Analisis Isi/Konten Peraturan ... 42

4.4.2.Analisis Respon Terhadap Peraturan ... 43

4.4.3.Pemetaan Ragam Hak Kepemilikan ... 44

4.4.4.Analisis Stakeholder ... 45

4.4.5.Desain Kelembagaan ... 46

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1. Wilayah Administrasi dan Kependudukan ... 47

5.1.1.Wilayah Administrasi Sub DAS Batulanteh ... 47

5.1.2.Jumlah dan Kepadatan Penduduk ... 49

(14)

5.2. Kondisi Fisik wilayah Sub DAS Batulanteh ... 54

5.4. Nilai Strategis Kawasan Sub DAS Batulanteh ... 62

5.4.1.Taman Wisata Alam Samongkat ... 62

5.4.2.Hasil Hutan Bukan Kayu ... 62

5.5. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam ... 63

VI. ANALISIS URUSAN DAN PELETAKAN KEWENANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 6.1. Urusan yang diatur dalam Undang-Undang No.41/1999 tentang kehutanan; Peraturan Pemerintah No.3/2008 perubahan dari Peraturan Pemerintah No.6/2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan dan Peraturan Pemerintah No.76/2008 tentag rehabilitasi dan reklamasi hutan ... 65

6.1.1.Peletakan wewenang urusan pada hirarki makro, meso dan mikro ... 75

6.2. Urusan yang diatur dalam Undang-Undang No.7/2004 tentang sumber daya air dan Peraturan Pemerintah No.42/2008 tentang pengelolaan sumber daya air... 79

6.2.1.Peletakan wewenang urusan pada hirarki makro, meso dan mikro ... 89

6.3. Implikasi ketidaktepatan peletakan wewenang urusan ... 93

VII. RESPON PEMERINTAH DAERAH DAN MASYARAKAT TERHADAP PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 7.1. Respon pemerintah daerah ... 95

7.1.1. Mempertahankan Kecukupan Hutan Minimal 30 Persendari Total Luas DAS/Sub DAS dengan Sebaran Proporsional (Pasal 18 ayat 1UU No.41/1999 Tentang Kehutanan ... 96

(15)

7.1.3.Perlindungan Hutan di Dalam dan Luar Kawasan (Pasal 48 ayat (1) dan (5) UU No.41/1999 Tentang

kehutanan) ... 100

7.1.4.Perlindungan dan Pelestarian Sumber Air dan Mata Air ( Pasal 21 ayat (1) dan (2) UU No.7/2004 Tentang Sumber Daya Air) ... 102

7.1.5.Membentuk Wadah Koordinasi atau Dengan Nama Lain (Pasal 86 UU No.7/2004 Tentang Sumber Daya Air) ... 103

7.1.6.Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) beserta Infrastrukturnya oleh Pemerintah dan pemerintah Daerah Sesuai Kewenangannya ( Pasal 10 ayat 1 PP No.3/2007 perubahan dari PP No.6/2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan) ... 104

7.1.7.Kepatuhan pemerintah daerah terhadap amanat peraturan ... 105

7.1.8.Relevansi respon terhadap permasalahan Sub DAS ... 108

7.2. Respon Masyarakat ... 110

VIII.STRUKTUR HAK KEPEMILKAN LAHAN DALAM KAWASAN SUB DAS BATULANTEH ... 113

8.1. Private property rights dalam domain publik ... 116

IX. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN SUB DAS BATULANTEH ... 119

X. DESAIN KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN SUB DAS BATULANTEH ... 123

XI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 127

DAFTAR PUSTAKA ... 131

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Perubahan tingkat kekritisan DAS Kabupaten Sumbawa ... 3

2. Tingkat bahaya erosi Sub DAS Batulanteh ... 4

3. Laju deforestasi di 7 pulau besar di Indonesia periode 2000-2005... 4

4. Target ekonomi, tindakan dan kelembagaan pada beberapa level ... 19

5. Tipe hak kepemilikan beserta hak-hak dan kewajibanya... 22

6. Perbandingan antara daerah hulu dan hilir ... 30

7. Tujuan, jenis dan sumber data penelitian ... 38

8. Komposisi responden berdasarkan instansi, jabatan dan jumlah ... 39

9. Strata hak berdasarkan klasifikasi Schlager dan Ostrom ... 42

10. Analisis stakeholder pengelolaan Sub DAS Batulanteh ... 44

11. Wilayah administrasi Sub DAS Batulanteh ... 46

12. Jumlah dan kepadatan penduduk Sub DAS Batulanteh ... 48

13. Persentase penduduk menurut kelompok umur di wilayah Sub DAS Batulanteh ... 49

14. Persentase penduduk usia >15 tahun yang melek huruf menurut kecamatan di wilayah Sub DAS Batulanteh ... 50

15. Persentase rumah tangga menurut lapangan pekerjaan utama di wilayah Sub DAS Batulanteh ... 50

16. Luas lahan berdasarkan tingkat kemiringan lereng... 52

17. Luas Sub DAS Batulanteh berdasarkan ketinggian tempat ... 53

18. Keadaan iklim di wilayah Sub DAS Batulanteh ... 54

19. Neraca sumber daya air di enam SSWS/DAS di Kabupaten Sumbawa ... 55

20. Jenis tata guna lahan Sub DAS Batulanteh ... 58

21. Produksi madu anggota jaringan madu hutan sumbawa tahun 2009 ... 61

22. Luas lahan kritis Kabupaten Sumbawa tahun 2009 ... 97

23. Bentuk pelanggaran dan denda yang dapat dikenakan kepada setiap pelaku tindak pidana kehutanan... 98

24. Jumlah kasus tindak pidana kehutanan periode 2005-2010 berdasarkan jenis pelanggarannya ... 99

(17)

26. Jumlah titik mata air yang direhabilitasi di Kab. Sumbawa periode

2007-2010 ... 101 27. Nama dan luas KPH berdasarkan fungsi hutan di Kabupaten

Sumbawa ... 103 28. Matrik indikator tingkat respon pemerintah daerah dan

masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan ... 105 29. Matrik relevansi antara respon dengan permasalahan Sub DAS ... 107 30. Kelompok konservasi lahan Sub DAS Batulanteh ... 109 31. Idenstifikasi jenis hak kepemilikan atas lahan di kawasan Sub

DAS ... 112

32. Rasio antara personil pengamanan hutan dengan luas hutan ... 113 33. Analisis stakeholder menurut sikap dan pengaruh dalam

(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Laju deforestasi di 7 pulau besar di Indonesia periode 2000-2005... 5

2. Hubungan antara hak kepemilikan dan akses ... 23

3. Kerangka kerja konseptual untuk analisis stakeholder dan manajemen konflik ... 28

4. Sistem pengelolaan DAS secara umum ... 31

5. Hubungan hulu-hilir dalam pengelolaan DAS terpadu ... 32

6. Alur kerangka pemikiran ... 36

7. Matriks peletakan kewenangan urusan berdasarkan peraturan tertentu ... 40

8. Tingkat keterlibatan dan pengaruh stakeholder dalam pengelolaan Sub DAS Batulanteh ... 44

9. Peta sungai utama Sub DAS Batulanteh ... 45

10. Peta wilayah administrasi Sub DAS Batulanteh ... 47

11. Wilayah Desa Pelat (zona tengah Sub DAS Batulanteh) ... 51

12. Peta tingkat kemiringan lahan Sub DAS Batulanteh ... 52

13. Peta ketinggian tempat Sub DAS Batulanteh ... 53

14. Peta jenis tanah pada Sub DAS Batulanteh ... 56

15. Peta tingkat bahaya erosi Sub DAS Batulanteh ... 57

16. Laju erosi pada Sub DAS Batulanteh ... 57

17. Peta tata guna lahan pada kawasan Sub DAS batulanteh ... 59

18. Peta fungsi kawasan Sub DAS Batulanteh ... 59

19. Peta kawasan taman wisata alam Semongkat ... 60

20. Distribusi posisi penempatan kewenangan atas 52 urusan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan ... 76

21. Distribusi posisi penempatan kewenangan atas 47 urusan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan ... 90

22. Tata guna lahan pada wilayah Sub DAS Batulanteh ... 95

23. Pandangan manusia terhadap ruang dan waktu ... 110

24. Ragam hak kepemilikan lahan pada kawasan Sub DAS Batulanteh ... 112

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Daftar amanat UU yang dijadikan acuan penilaian tingkat respon

pemerintah daerah terhadap UU ... 132 2. Pemetaan penempatan kewenangan dari UU No.41/1999; PP

No.3/2008; dan PP No.76/2008 ... 133 3. Pemetaan penempatan kewenangan dari UU No.7/2004 dan PP

No.42/2008 ... 135 4. Nilai sikap, pengaruh dan tingkat keterlibatan stakeholder

berdasarkan penilaian responden ... 137 5. Tingkat pencapain target pelaksanaan program kerja Dinas

Kehutanan dan Perkebunan tahun 2010 ... 138 6. Tingkat pencapain target pelaksanaan program kerja Dinas

(20)

I.

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Enam belas tahun silam, Sarageldin Wakil Presiden Bank Dunia, (1995) memprediksi bahwa perang dimasa depan tidak lagi dipicu oleh kelangkaan sumber daya minyak, melainkan oleh kelangkaan sumber daya air1. Ramalan tersebut, barangkali oleh sebagian orang dinilai berlebihan dan tidak mendasar. Namun kasus konflik pemanfaatan sumber daya air yang terjadi di Nusa Tenggara

Barat (NTB) seakan menegaskan kepada kita bahwa Indonesia sedang menapaki

ramalan tersebut. AUSAID, LP3ES dan BAPPEDA NTB, (2002) melaporkan

bahwa konflik pemanfaatan sumber daya air di NTB terjadi antara petani dengan pemilik kolam ikan, petani dengan PDAM dan antar pengguna irigasi.

Meskipun kasus konflik tersebut, terbilang masih dalam skala kecil, namun konflik dalam skala besarpun sebagaimana ramalannya Sarageldin bisa

saja terjadi bila mencermati trend kebutuhan air dunia saat ini yang terus

meningkat. UNEP (2005) diacu dalam Santoso (2006), melaporkan bahwa

peningkatan akan kebutuhan air mencapai dua sampai tiga persen per tahun,

sementara ketersediaannya senantiasa tetap, bahkan cenderung menurun, terutama ditinjau dari segi kualitas.

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah ekosistem tempat dimana air itu mengalir dari hulu hingga hilir. Hal tersebut dipertegas dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air, yang mendefinisikan DAS sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Selain definisi biofisik sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air, Kartodihardjo et.al, (2004) memandang DAS dari aspek kajian kelembagaan, sebagai sumber daya alam yang berupa stock dengan ragam kepemilikan (private, common, state property), dan berfungsi sebagai penghasil barang dan jasa, baik bagi individu dan/atau

1

(21)

kelompok masyarakat maupun bagi publik secara luas serta menyebabkan interdependensi antar pihak, individu dan/atau kelompok masyarakat.

Kedua definisi di atas, menegaskan kepada kita bahwa keberadaan DAS cukup penting dan strategis bagi kelangsungan pembangunan nasional. “Penting dan strategis” itulah dua kata kunci yang kemudian mendorong pemerintah untuk tetap meningkatkan daya dukung DAS sebagaimana tertuang dalam UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang menyatakan bahwa penyelenggaraan kehutanan yang bertujuan untuk sebesar-sebesarnya kemakmuran rakyat adalah dengan meningkatkan daya dukung DAS dan mempertahankan kecukupan hutan minimal 30% dari luas DAS dengan sebaran proporsional. Dalam rangka memenuhi tuntutan apa yang diamanatkan oleh UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, maka sudah semestinya pengelolaan DAS kedepannya harus didasarkan pada prinsip “satu DAS, satu perencanaan dan satu pengelolaan”. Manik dan Setiawan, (2010) memaknai prinsip tersebut sebagai model pengelolaan yang berbasis ekosistem dan atas asas keterpaduan, kemanfaatan, kelestarian dan keadilan.

Saat ini Indonesia memiliki lebih dari 400 DAS yang pengelolaannya berada ditangan masing-masing pemerintah daerah. Dengan jumlah DAS yang relatif besar, Indonesia kini terlihat kewalahan dalam meminimalisir kerusakan DAS-nya. Menurut Sumampouw et.al (2009), beban pengelolaan DAS yang ditanggung oleh Indonesia memang terbilang cukup tinggi, bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga, dimana satu DAS besar seperti DAS Mekong dikelola secara bersama-sama oleh enam negara, yakini : Laos, Myanmar, Kamboja, China dan Thailand. Beban yang besar tersebut selanjutnya berdampak pada tidak optimalnya pengelolaan, sehingga tidak heran kalau banyak DAS yang kritis dan segera membutuhkan pengelolaan yang terintegrasi dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

(22)

23.714.000 ha, kemudian naik menjadi 62 DAS pada tahun 2002 dan pada tahun 2005 diperkirakan telah meningkat lebih dari 4 kali lipat, yakni sekitar 282 DAS dari 470 DAS yang ada (Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2005). Kondisi kritis tersebut, ditandai dengan menurunnya kemampuan DAS dalam menyimpan air, selanjutnya berdampak pada berkurangnya debit air, terjadinya banjir, longsor pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau (Departemen Kehutanan, 2009).

Trend peningkatan kerusakan DAS, sejatinya tidak hanya terbatas pada

DAS di atas yang notabene masuk kategori DAS regional. Namun, kondisi serupa juga dialami oleh DAS yang masuk kategori DAS lokal, diantaranya DAS Rhee, DAS Moyo Hulu dan DAS Ampang yang ada di Kabupaten Sumbawa. Ketiganya merupakan DAS lokal yang kini tengah menghadapi masalah penurunan fungsi. Tingkat kekritisan dari ketiga DAS tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur NTB No. 393 Tahun 2006 tentang Kondisi DAS Kabupaten Sumbawa. Berikut pada Tabel 1, disajikan perubahan tingkat kekritisan DAS di Kabupaten Sumbawa.

Tabel 1.Perubahan tingkat kekritisan DAS Kabupaten Sumbawa

No DAS Luas

Sumber: SK Gubernur NTB No. 393 Tahun 2006 diacu dalam DPRD Kabupaten

Sumbawa, 2008

Gambaran kekritisan DAS di atas, selanjutnya diperkuat oleh temuan Bappeda Sumbawa et.al (2008), yang menyimpulkan bahwa kawasan Sub DAS Batulanteh yang notabene bagian dari DAS Rhee telah mengalami degradasi lingkungan ekologis yang cukup berat yang tercermin dari tingkat erosi lahan dan

2 Sub DAS Batulanteh masuk dalam wilayah DAS Rhee berdasarkan SK Gubernur No.122 Tahun

(23)

tingkat bahaya erosi yang sudah dalam kategori sedang (lihat Tabel. 2). Degradasi lingkungan tersebut telah berdampak pada menurunnya kemampuan lingkungan dalam fungsinya sebagai kawasan konservasi.

Tabel 2.Tingkat bahaya erosi Sub DAS Batulanteh Tingkat Bahaya Erosi Luas (Ha) Persentase

(%)

Kekritisan Lahan

Sangat ringan 127,383 7,50 Potensial kritis

Ringan 2149,708 12,52 Semi kritis

Sedang 9680,629 56,37 Semi kritis

Berat 3036,868 17,68 Kritis

Sangat berat 1017.672 5,93 Sangat kritis

Jumlah 17172.26 100

Sumber : Bappeda Sumbawa et.al, 2008

Massifnya tingkat kerusakan DAS baik yang terjadi pada DAS regional maupun DAS lokal, umumnya dipicu oleh laju kerusakan hutan yang relatif tinggi, sebagai turunan dari “perilaku menyimpang” masyarakat seperti : illegal

logging dan perambahan hutan. Departemen Kehutanan, (2009) melaporkan

sepanjang tahun 2000-2005, hutan Indonesia telah mengalami kerusakan seluas 5,4 juta Ha, dengan laju kerusakan rat-rata sebesar 1,09 juta Ha/tahun (lihat Tabel 3 dan Gambar 1). Sementara untuk kasus NTB, laju kerusakan hutannya sepanjang tahun 2002 mencapai ± 4 ribu Ha dengan perkiraan kerugiaan negara sekitar Rp. 4,9 miliar (Julmansyah, 2007)

Tabel. 3 Laju deforestasi di tujuh pulau besar di Indonesia periode 2000-2005

(24)

Gambar 1. Laju deforestasi di tujuh pulau besar di Indonesia periode 2000-2005 (Sumber : Kementerian Lingkungan Hidup, 2009)

Maraknya ‘perilaku menyimpang” masyarakat tersebut, diyakini oleh banyak pihak sebagai turunan dari sistem tata kelola yang buruk, penegakan aturan yang lemah, ketidakjelasan property rights, dan mahalnya biaya pengawasan. Sistem tata kelola yang demikian telah berlangsung selama lebih dari tiga dasawarsa dalam sistem tata pemerintahan yang bersifat sentralistik, dimana setiap kebijakan mulai dari perencanaan, implementasi hingga evaluasi dilakukan secara top-down dan cenderung mengabaikan hak-hak masyarakat lokal yang notabene sangat tergantung dengan sumber daya hutan.

Ironisnya, meskipun telah terjadi pergeseran pendekatan pembangunan, dari tata-pemerintahan Orde Baru yang bersifat otoritarian, serba seragam dan cenderung mengabaikan inisiatif lokal menjadi pendekatan yang memiliki semangat partisipatif-kolaboratif dan berbasis pada sumber kekuatan lokal seiring diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tetang pemerintahan daerah, akan tetapi belum menunjukkan adanya perbaikan yang signifikan dalam tata kelola sumber daya alam dan lingkungan termasuk DAS. Hal ini, diduga kuat sebagai akibat masih adanya tumpang tindih kebijakan, kewenangan dan peraturan perundang-undangan yang ada pada setiap level pemerintahan mulai dari level makro (pusat), meso (provinsi) sampai pada mikro (kabupaten/kota), sehingga berdampak pada

(25)

-tidak selaras dan sinkronya antara kebijakan pusat dan daerah. Persoalan lain juga sebagaimana diungkapkan oleh Departemen Kehutanan, (2008) terkait dengan kurangnya pemahaman pemerintah daerah tentang konsep pengelolaan DAS yang berbasis ekosistem dan lintas administrasi, kurang keterpaduan antar sektor dan antar wilayah (hulu-tengah-hilir) dan sikap pemerintah daerah yang cenderung mementingkan peningkatan pendapatan asli daerah.

Beragam upaya dalam rangka penyelamatan DAS, sebetulnya telah dilakukan oleh pemerintah sejak 1980-an diantaranya program penyelamatan hutan, tanah dan air (PHTA), program gerakan nasional rehabiltasi lahan (GNRL) dan program gerakan nasional penyelamatan air (GNPA). Keseriusan pemerintah dalam meminimalisir tingkat kekritisan DAS, juga tercermin dari lahirnya beberapa peraturan perundang-undangan diantaranya : Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air, Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang dan beberapa peraturan pemerintah dan peraturan setingkat menteri. Tidak hanya sebatas di tingkat pusat, pemerintah Kabupaten Sumbawa pun menunjukkan keseriusan dengan menyusun rancangan peraturan daerah (RAPERDA) tentang pengelolaan terpadu Sub DAS Batulanteh.

(26)

Upaya-upaya tersebut, oleh Kartodiharjo et.al (2004) dipandang hanya terbatas pada optimasi tiga faktor dari empat faktor kunci yang berpengaruh terhadap keberhasilan pengelolaan DAS, yaitu : faktor sumber daya alam, sumber daya manusia, man-made capital. Sementara faktor pranata kelembagaan, baik formal maupun informal sedikit diabaikan, sehingga menurutnya wajar kinerja pengelolaan DAS sampai saat ini masih belum memuaskan. Berangkat dari pandangan tersebut, maka dalam pengelolaan DAS termasuk Sub DAS Batulanteh sebaiknya tidak hanya difokuskan pada optimasi natural capital, human capital

dan man-made capital, namun penataan sekaligus penguatan sistem kelembagaan

harus juga dilakukan, agar kedepan dalam pengelolaan DAS dapat berjalan dengan baik dan berkelanjutan. Oleh karena itu, studi “kajian kelembagaan pengelolan DAS ditinjau dari perspektif ekonomi kelembagaan” menarik untuk dilakukan.

1.2Perumusan Masalah

Sub DAS Batulanteh dengan tiga sungai utamanya (Sungai Setongo, Sungai Sampa dan Sungai Batulanteh) memiliki peran yang strategis, karena di samping sebagai pemasok tunggal air bagi PDAM Sumbawa, juga berperan

sebagai sumber air untuk 2 daerah irigasi yaitu 3reban aji dan reban pungka yang

mengairi sekitar 600 ha lahan persawahan yang tersebar diempat kecematan yakni : Kecamatan Sumbawa, Unter Iwis, Labuhan Badas dan Kecamatan Rhee (DPRD Kabupaten Sumbawa, 2008). Kini Sub DAS tersebut tengah menghadapi permasalahan yang cukup serius, ditandai oleh adanya perubahan pada kondisi bio-fisiknya, akibat sebagian dari kawasan hutannya yang terdiri dari hutan produksi dan hutan lindung telah kehilangan vegetasinya. Hal tersebut, umumnya dipicu oleh pemanfaatan yang terus menerus oleh penduduk baik untuk kayu

bakar maupun untuk budidaya tanaman palawija dan sayuran (Bappeda Sumbawa

et.al, 2008).

Bappeda Sumbawa et.al, (2008) lebih lanjut melaporkan bahwa sebagian besar lahan pada zona hulu yang mencakup hutan negara dan lahan milik masyarakat dengan slope >40% dan berada pada ketinggian >500 mdpl sudah dalam kondisi kritis dan vegetasinya tidak lagi menunjang aspek konservasi tanah

3

(27)

dan air sehingga fungsinya sebagai kawasan lindung daerah bawahan dan resapan air tidak lagi optimal. Hal yang sama juga terjadi pada lahan di zona tengah dengan slope 25- 40 % dan berada pada ketinggian <500 mdpl. Lahan yang sebagain besar hak milik masyarakat telah diusahakan secara intesif untuk budidaya pertanian tadah hujan dengan tanaman palawija. Teknologi konservasi tradisional sebetulnya telah dilakukan seperti terasering, namun belum dilengkapi dengan saluran-saluran drainase dan penutup rumput pada tebing teras. Akibatnya

dalam satu dekade terakhir kerap terjadi berbagai kasus seperti lonsor pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau, erosi, banjir yang melanda kota Sumbawa Besar dalam empat tahun terakhir dan debit air yang semakin berkurang yang dialami oleh petani sejak tahun 2007, khususnya bagi petani pengguna air untuk dua daerah irigasi (Aji dan Pungka). Penurunan debit air ini, ditandai dengan perubahan jumlah/pola tanam dari 3 kali (dua kali padi dan satu kali palawija) menjadi 2 kali (1 kali padi dan 1 kali palawija) dan bahkan pada musim tanam pertama (MT I) tahun 2009, diketahui ada 271,25 Ha lahan pertanian yang gagal tanam (JMHS, 2010).

Tekanan yang kini dihadapi oleh Sub DAS Batulanteh, tidak terlepas dari tiga faktor (Bappeda, et.al, 2008) : pertama, kondisi sosial ekonomi masyarakat yang dicirikan dengan tingkat pendidikan rendah dan ketergantungan akan lahan relatif tinggi akibat keterbatasan pilihan dalam mengakses sumber ekonomi lain. Kondisi inilah, yang memaksakan masyarakat untuk tetap memanfaatkan lahan meskipun kemampuan produktivitasnya rendah, berada pada ketinggian >500 mdpl dan tingkat kelerengang >40% dengan topografi yang bergelombang.

(28)

Perkebunan dan Dinas Perkerjaan Umum yang notabene sebagai aktor utama

dengan segala kewenangan dan tanggung jawabnya masih terkesan bekerja

sendiri-sendiri dan belum ada keterpaduan rencana dalam pelaksanaan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya DAS. Meskipun di tingkat pusat diketahui telah dibentuk tim koordinasi kebijaksanaan pendayagunaan sungai dan pemeliharaan kelestarian DAS dengan Kepres No. 9 Tahun 1999 serta tim koordinasi pengelolaan sumber daya air melalui Kepres No. 123 Tahun 2001.

Berdasarkan permasalahan di atas, diduga sistem kelembagaan yang lemah adalah salah satu faktor pemicu dibalik peningkatan kekritisan Sub DAS Batulanteh, selain persoalan-persoalan teknis lainnya. Penelitian ini, diharapkan mampu memberikan gambaran, apakah urusan-urusan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan peletakan kewenangannya mampu menjawab persoalan terkait isu dinamika penggunaan lahan terutama pada kepemilikan masyarakat yang tersebar pada zona hulu dan tengah Sub DAS yang kini tengah kritis? Apakah respon pemerintah dan masyarakat terhadap sejumlah amanat peraturan perundang-undangan, efektif dalam menjawab persoalan lahan kritis pada zona hulu dan tengah dari Sub DAS? Kemudian apakah ragam kepemilikan mampu menjadi insentif bagi pengelolaan lahan di kawasan Sub DAS yang lestari? Apakah stakeholder sudah memainkan peran dan fungsinya secara optimal dalam meminimalisir kekritisan lahan kritis pada zona hulu dan tengah dari kawasan Sub DAS? Dari hasil analisis sebelum, pada bagian akhir studi ini, diharapkan bisa meredesain kelembagaan pengelolaan Sub DAS Batulanteh.

1.3Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah :

1. Menganalisis peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan

DAS menyangkut jenis urusan dan peletakan kewenangan dari urusan-urusan tersebut pada organisasi di tingkat makro, meso dan mikro;

2. Menganalisis respon pemerintah dan masyarakat terhadap amanat peraturan

perundang-undangan tersebut;

3. Memetakan ragam hak kepemilikan sumber daya lahan dalam kawasan Sub

(29)

4. Menganalisis stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan Sub DAS Batulanteh; dan

5. Meredesain kelembagaan pengelolaan Sub DAS Batulanteh

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang

pentingnya kelembagaan yang kuat dan temuannya sekaligus akan menjadi entry

point dalam penyusunan strategi guna penguatan dan penataan kelembagaan pengelolaan DAS khusunya Sub DAS Batulanteh di Kabupaten Sumbawa yang lebih baik, sehingga ke depan diharapkan keberadaan Sub DAS Batulanteh dapat memberikan manfaat secara optimal, berkeadilan dan berkelanjutan.

1.4 Definisi Operasional

1. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi:

undang-undang dan peraturan pemerintah.

2. Stakeholder yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat hulu,

tengah, masyarakat hilir, dan pemerintah daerah

3. Masyarakat hulu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kepala keluarga

yang terdaftar sebagai penduduk Desa Batudulang

4. Masyarakat tengah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat

yang tergabung dalam kelompok konservasi lahan di zona tengah Sub DAS Batulanteh

5. Masyarakat hilir yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kepala keluarga

pengguna jaringan irigasi Aji dan Pungka yang tergabung dalam 5 kelompok P3A serta PDAM Sumbawa

(30)

1.5Batasan Operasional

Peraturan perundang-undangan yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi :

a. Undang-undang

• Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan • Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air

b. Peraturan pemerintah

• Peraturan Pemerintah No.3/2008 perubahan dari Peraturan Pemerintah No. 6/2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan

• Peraturan Pemerintah No.76/2008 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan

• Peraturan Pemerintah No. 42/2008 tentang pengelolaan sumber daya air 2. Analisis respon pemerintah dan masyarakat terhadap peraturan

perundang-undangan dibatasi pada respon pemerintah daerah selaku eksekutor peraturan di daerah dan masyarakat hulu selaku penerima dampak dari pelaksanaan peraturan tersebut. Pembatasan tersebut atas pertimbangan, Sub DAS yang menjadi objek kajian adalah masuk dalam kategori DAS lokal, dimana tanggung jawab pengelolaan sepenuhnya berada ditangan pemerintah daerah Kabupaten Sumbawa.

(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kelembagaan

Keyakinan bahwa kelembagaan (institutions) dapat menjadi sumber efisiensi dan kemajuan ekonomi telah diterima oleh sebagian besar ekonom, bahkan yang paling liberal sekalipun. Hanya saja, sampai saat ini masih belum terdapat kejelasan mengenai makna dan definisi dari kelembagaan (Yustika, 2008).

North (1990), seorang sejarawan ekonomi terkemuka mendefinisikan kelembagaan sebagai batasan-batasan yang dibuat untuk membentuk pola interaksi yang harmonis antara individu dalam melakukan interaksi politik, sosial dan ekonomi. Senada dengan North, Schmid (1972) mengartikan kelembagaan sebagai sejumlah peraturan yang berlaku dalam sebuah masyarakat, kelompok atau komunitas, yang mengatur hak, kewajiban, tanggung jawab, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Sedangkan menurut Schotter (1981), kelembagaan merupakan regulasi atas tingkah laku manusia yang disepakati oleh semua anggota masyarakat dan merupakan penata interaksi dalam situasi tertentu yang berulang.

Sebelum ketiga ilmuwan di atas, Hamilton (1932) mengartikan kelembagaan sebagai cara berfikir dan bertindak yang umum dan berlaku, serta telah menyatu dengan kebiasaan dan budaya masyarakat tertentu. Sementara Commons (1931), lebih berkonsentrasi kepada hukum, hak kepemilikan (property

rights) dan organisasi yang memiliki implikasi terhadap kekuatan ekonomi,

transaksi ekonomi dan distribusi pendapatan. Di sini, kelembagaan dilihat sebagai pencapain dari proses formal dan informal dari resolusi konflik.

(32)

berlaku dalam masyarakat yang disepakati oleh anggota masyarakat tersebut sebagai sesuatu yang harus diikuti dan dipatuhi (memiliki kekuatan sanksi) dengan tujuan terciptanya keteraturan dan kepastian interaksi di antara sesama anggota masyarakat. Interaksi yang dimaksud terkait dengan kegiatan ekonomi, politik maupun sosial (Hidayat, 2007).

North (1990), membagi kelembagaan menjadi dua berdasarkan atas bentuknya (tertulis/tidak tertulis) yaitu: informal dan formal. Kelembagaan informal adalah kelembagaan yang keberadaannya di masyarakat umumnya tidak tertulis. Adat istiadat, tradisi, pamali, kesepakatan, konvensi dan sejenisnya dengan beragam nama dan sebutan dikelompokan sebagai kelembagaan informal. Sedangkan kelembagaan formal adalah peraturan tertulis seperti perundang-undangan, kesepakatan (agreements), perjanjian kontrak, peraturan bidang ekonomi, bisnis, politik dan lain-lain. Kesepakatan-kesepakatan yang berlaku baik pada level internasional, nasional, regional maupun lokal termasuk ke dalam kelembagaan formal. Terkadang kelembagaan formal merupakan hasil evolusi dari kelembagaan informal. Perubahan tersebut merupakan reaksi atas perubahan kehidupan dari masyarakat sederhana menuju masyarakat yang lebih kompleks. Bisa juga dikatakan sebagai tuntutan atas terjadinya perubahan zaman dan dinamika kehidupan. Masyarakat tradisional dengan kehidupannya yang serba sederhana dengan potensi konflik yang sangat minim tentu tidak membutuhkan peraturan tertulis yang rinci. Lain halnya dengan masyarakat modern dengan segala kompleksitas kehidupannya.

Selain North (1990), Kasper dan Streit (1998) juga membagi kelembagaan berdasarkan atas proses kemunculannya menjadi dua, yaitu : internal dan external

institution. Internal institution adalah institusi yang tumbuh dari budaya

masyarakat seperti nilai-nilai kearifan lokal yang hidup di masyarakat. Institusi eksternal adalah institusi yang dibuat oleh pihak luar/ketiga yang kemudian diberlakukan pada suatu komunitas tertentu. Regulasi produk pemerintah termasuk external institution.

(33)

dalam interaksi antar individu (Kasper dan Sterit, 1998). Sedangkan menurut Ostrom (1990), tujuan kelembagaan adalah untuk mengarahkan prilaku individu menuju arah yang diinginkan oleh anggota masyarakat serta untuk meningkatkan kepastian dan keteraturan dalam masyarakat serta mengurangi prilaku oportunis. Selain itu, Libecap (1989), menerangkan kelembagaan juga harus dapat membatasi prilaku manusia yang cenderung berfikir strategik, rasional dan mengutamakan kepentingan diri sendiri serta harus mampu mendistribusikan sumber daya ekonomi secara adil dan merata.

2.2 Teori Perubahan Kelembagaan

Institusi bersifat dinamis. Keberadaannya dalam sebuah komunitas selalu berubah, beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi dalam komunitas tersebut (Hidayat, 2007). Sejalan dengan Hidayat (2007), Yustika (2008) juga menyatakan bahwa kelembagaan tidak bersifat statis, namun dinamis sesuai dengan interaksi ekonomi yang mempertemukan antar kepentingan. Di luar itu, sifat dinamis dari kelembagaan juga disebabkan oleh berubahnya nilai-nilai dan kultur masyarakat seiring dengan perubahan masa. Dengan Begitu, kelembagaan pasti akan berubah sesuai dengan tantangan atau kondisi zaman. Pada titik ini, perubahan kelembagaan memiliki dua dimensi, yaitu pertama, perubahan kepentingan antar pelaku ekonomi akan memicu terjadinya perubahan kelembagaan (institutional

change). Dengan pendekatan ini, perubahan kelembagaan dianggap sebagai

dampak dari perubahan kepentingan pelaku ekonomi. Kedua, perubahan kelembagaan sengaja didesain untuk mempengaruhi atau mengatur kegiatan ekonomi. Pada posisi ini, kelembagaan ditempatkan secara aktif sebagai

instrument untuk mengatur kegiatan ekonomi (termasuk aktor-aktor yang terlibat

di dalamnya).

(34)

kemudian secara simultan menciptakan keseimbangan baru. Dengan pemahaman tersebut, perubahan kelembagaan dapat dianggap sebagai proses terus menerus yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas interaksi (ekonomi) antar pelakunya. Hal ini menunjukkan bahwa transformasi permanen merupakan bagian penting dari perubahan kelembagaan.

Wiliamson (2000), menganalisis perubahan institusi terjadi dalam empat tingkatan, berdasarkan atas cepat atau lambatnya perubahan tersebut, yaitu pada: 1. Level sosial (masyarakat)

Perubahan kelembagaan pada level masyarakat adalah perubahan yang terjadi pada kelembagaan yang keberadaannya telah menyatu dalam sebuah masyarakat (social embeddedness) seperti : norma, kebiasaan, tradisi, hukum adat, dan lain-lain. Pada level ini, perubahan kelembagaan dapat berlangsung dalam waktu yang sangat lama, antara 100 sampai 1000 tahun.

2. Level kelembagaan formal (formal institutional environment).

Perubahan kelembagaan yang terjadi pada lingkungan kelembagaan formal. Yang dimaksud kelembagaan formal adalah kelembagaan yang kelahirannya umumnya dirancang secara sengaja seperti perundang-undangan (konstitusi) yang dibuat oleh lembaga legislatif/pemerintah. Namun demikian, hal ini bukan merupakan kriteria mutlak, karena menurut Ruddle (1993), banyak kasus kelembagaan formal yang merupakan hasil evoluasi dari kelembagaan informal sebagaimana undang-undang perikanan di Jepang yang berasal dari hukum adat atau tradisi yang hidup dan menyatu dalam masyarakat selama ratusan tahun. Perubahan kelembagaan pada level ini dapat berlangsung dalam kurun waktu 10 sampai 100 tahun

3. Level tata kelola (governance)

(35)

baik yang menjamin kepastian interaksi dan transaksi antar aktor/pihak-pihak terkait (yaitu adanya resolusi konflik, kepastian sistem kontrak, dan lain-lain) membutuhkan biaya. Governance akan selalu berubah menuju governance yang lebih efisien, yaitu governance yang dapat meminimumkan biaya transaksi. Perubahan kelembagaan pada level governane berlangsung relatif cepat, yaitu antara 1sampai 10 tahun.

4. Perubahan bersifat kontinyu.

Bila perubahan kelembagaan pada level ketiga masih berlangsung secara

discontinue, perubahan kelembagaan pada level keempat berlangsung kontinyu

(sepanjang waktu) mengikuti perubahan insentif ekonomi, harga alokasi sumber daya dan tenaga kerja. Dengan kata lain, kelembagaan berubah mengikuti perubahan harga input produksi. Perubahan input produski menyebabkan perubahan kelembagaan. Secara teoritis, hal ini dapat dipahami tapi bagaimana mengukur dampak perubahan tersebut terhadap realitas kehidupan ekonomi masih sulit dilakukan.

Analisis perubahan kelembagaan model Williamson ini agak sulit dipahami, karena perbedaan pada setiap level bersifat tidak jelas, kecuali pada level satu dan dua. Oleh karena itu, kerangka analisis tersebut kurang begitu operasional dibandingkan dengan yang dikembang oleh Ostrom (1990), dimana kerangka analisis perubahan kelembagaan dibagi dalam tiga level, yaitu :

1. Operasional rule yang berada pada operasional choice level.

(36)

2. Collective choice rule yang berada pada level collective choice.

Menyangkut aturan mengenai bagaimana operasional rule dibuat atau diubah, siapa yang melakukan perubahan, dan kapan perubahan tersebut harus berlangsung. Hasil pekerjaan aktor-aktor yang bermain pada level collective

choice akan langsung berpengaruh pada opersional rule

3. Constitutional rule yang berada pada level constitutional choice.

Kelembagaan pada constitutional choice level mengatur mengenai siapa yang berwenang bekerja pada level collective choice dan bagaimana mereka bekerja. Constitutional rule merupakan rule tertinggi yang tidak semua kelompok, organisasi atau komunitas memilikinya. Collective choice rule berbeda dengan constitutional rule walaupun aktor yang terlibat dalam pembuatannya kemungkinan sama. Sebagai contoh, Perda mengenai pengelolaan sumber daya air disebuah kabupaten merupakan operasional rule. Perda ini dibuat oleh DPRD yang memiliki aturan main bagaimana Perda tersebut dibuat. Aturan main ini disebut collective choice rule. Selain itu ada juga aturan main yang mengatur tentang anggota DPRD, mengapa seseorang terpilih menjadi anggota DPRD, sampai kapan mereka berhak menjadi anggota DPRD dan lain-lain. Aturan main ini bisa merupakan undang-undang yang kedudukannya lebih tinggi dari sebuah Perda. Menurut kerangka analisis Ostrom, undang-undang yang mengatur tentang anggota DPRD tersebut berada pada level constitutional choice dan disebut

constitutional rule.

Terlepas dari model perubahan kelembagaan yang dikemukan oleh Williamson dan Ostrom, North (1995) menyatakan bahwa karakteristik dasar dari perubahan kelembagaan terdiri dari :

1. Interaksi kelembagaan dan organisasi terjadi secara terus menerus dalam

setting ekonomi kelangkaan dan kemudian diperkuat oleh kompetisi

merupakan kunci terjadinya perubahan kelembagaan;

(37)

persepsi tentang kesempatan dan kemudian pilihan yang akan mengubah kelembagaan;

3. Kerangka kelembagaan mendikte jenis keterampilan dan pengetahuan yang dianggap memiliki pertukaran maksimum;

4. Persepsi berasal dari konstruksi/bangunan mental para pemain/pelaku; dan 5. Cakupan ekonomi, komplementaritas dan eksternalitas jaringan matriks

kelembagaan menciptakan perubahan kelembagaan yang meningkatkan dan memiliki jalur ketergantungan.

Yeager (1999), menyatakan bahwa dalam konteks perubahan kelembagaan diperlukan alat ukur dan variabel-variabel yang terfokus sehingga memudahkan setiap pengambil kebijakan merumuskan jenis kelembagaan yang dibutuhkan. Pada Negara yang sedang melakukan proses transisi atau reformasi ekonomi, biasanya terdapat variabel makro dan mikro untuk mengukur keberhasilan kinerja perekonomian.

(38)

Tabel 4.Target ekonomi, tindakan dan kelembagaan pada beberapa level

Aspek/Level Makro Mikro Meso

Target Stabilitas Efisiensi Inovasi

variabel kunci uang, nilai tukar Harga Pengetahuan

tindakan manajemen

2.3 Kelembagaan Dalam Pengelolaan Daerah Aliaran Sungai (DAS)

Sinukaban (2007), menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan-tujuan dalam pengelolaan DAS dibutuhkan penguatan kelembagaan, karena kelembagaan yang kuat merupakan prasyarat penyelenggaraan pengelolaan DAS yang baik. Yudono dan Iwanudin (2008), menerangkan ada tiga bentuk kelembagaan DAS yaitu :

1. Polycentric, yaitu kelembagaan yang menganggap individu sebagai dasar dari

unit analisis. Otoritas yang dimiliki seseorang itulah yang diartikulasikan kedalam tindakan. Tidak ada supremasi otoritas, otoritas tergantung pada bagaimana mempertemukan kepentingan dalam suatu struktur pengambilan keputusan antar pihak. Kelebihan dari sebuah sistem polycentric yaitu masing-masing wilayah dan masing-masing-masing-masing sektor berkedudukan setara. Salah satu ciri

polycentric adalah mampu untuk menangani sistem yang kompleks dan sistem

biofisik yang dinamik. Sedangkan kelemahan dari sistem polycentric adalah belum adanya saling percaya baik secara hirarki, maupun secara horizontal, lemahnya asas timbal balik, kurangnya arahan pusat dan permasalahan yang terlalu kompleks;

2. Monocentric; dalam kelembagaan ini, otoritas terpusat di satu titik. Hubungan

(39)

sistem ini adalah bersifat sentralistik sehingga memungkinkan dilaksanakannya konsep one river, one plan and multi management, dan ada arahan yang jelas dari pusat. Sedangkan kelemahan kelembagaan monocentric, antara lain : pengelolaan DAS hanya sampai pada tataran formal, kurang implementatif dan mengurangi kewenangan wilayah administrasi, padahal yang diinginkan adalah kerjasama dari mereka; dan

3. Gabungan polycentric dan monocentric; kelembagaan ini merupakan kombinasi antara bentuk lembaga polycentric dengan monocentric. Artinya, masing-masing pihak mempunyai kedudukan yang setara, tetapi masih ada beberapa arahan dari pusat, misalnya dalam hal kebijakan, penyusunan pola perencanaan dan pedoman monitoring dan evaluasi.

Kelembagaan atau institusi oleh Kartodihardjo, et.al (2004), dipandang sebagai modal dasar masyarakat (social capital) dan dapat menjadi aset produktif yang mendorong anggotanya untuk bekerjasama menurut aturan perilaku tertentu yang disetujui bersama untuk meningkatkan produktivitas anggotanya secara keseluruhan. Ikatan institusi masyarakat yang rusak secara langsung akan menurunkan produktivitas masyarakat dan menjadi faktor pendorong percepatan eksploitasi sumber daya alam di sekitarnya.

Perwujudan institusi masyarakat dapat diidentifikasi melalui sifat-sifat kepemilikan (property rights) terhadap sumber daya, batas-batas kewenangan

(jurisdiction boundary) masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya, dan

aturan-aturan perwakilan (rules of representation) dalam pemanfaatan sumber daya, apakah ditetapkan secara individu atau kelompok. Instansi pemerintah merupakan institusi formal yang menjadi agen pembangunan dan berperan sentral dalam menentukan perubahan-perubahan yang diinginkan. Kinerja institusi sangat tergantung dari kapasitas dan kapabilitas yang dimilikinya (Sinukaban, 2007).

(40)

Indonesia belum memiliki peranan yang kuat terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dalam DAS. Pengembangan kelembagaan masih bersifat keproyekan, sehingga intervensi penguatan institusi hanya berjalan selama proyek masih ada.

2.4 Hak Kepemilikan Sumber Daya

Fauzi (2006), menyatakan bahwa ketidakjelasan hak kepemilikan dalam pengelolaan sumber daya alam terutama yang bersifat open acses seringkali menimbulkan dampak negatif berupa ketidak seimbangan antara manfaat yang diperoleh dari sumber daya dengan biaya sosial yang harus ditanggung dan masalah eksternalitas. Fauzi (2006), lebih lanjut menerangkan bahwa sumber daya alam sering dikategorikan “free of gift” dimana hak kepemilikan sering menjadi problematik. Dengan demikian diperlukan adanya kejelasan konsep dari hak kepemilikan dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam.

Fauzi (2006), mendefinisikan hak kepemilikan sebagai klaim yang sah terhadap sumber daya atau pun jasa yang dihasilkan dari sumber daya tersebut. Meskipun hak kepemilikan menyangkut klaim yang sah, hak tersebut tidak bersifat mutlak. Hak kepemilikan sering dibatasi oleh dua hal, yakni hak orang lain4 dan ketidaklengkapan (incompletenss)5. Dari definisi tersebut, Tietenberg (1992), mengidentifikasi ada tiga karakteristik dari hak kepemilikan yaitu:

1. Ekslusifitas yaitu seluruh manfaat dan biaya dari pemanfaatan sumber daya,

secara ekslusif jatuh ke tangan pemilik termasuk keuntungan yang diperoleh dari transfer hak kepemilikan tersebut;

2. Transferability: seluruh hak kepemilikan dapat dipindah-tangankan ke pihak

lain secara suka rela melalui jual beli, sewa, hibah dan lain-lain; dan

3. Enforceability: hak kepemilikan bisa ditegakan, dihormati dan dijamin dari

praktik perampasan/penjarahan pihak lain.

Bromley (1989), menjelaskan bahwa harus dibedakan antara sumber daya dan rezim kepemilikan terhadap sumber daya tersebut. Karena satu sumber daya

4

Fauzi (2006), mencontohkan bahwa seseorang bisa tidak berhak melakukan penambangan mineral dipekarangan rumahnya sendiri, namun pihak lain dapat melakukannya.

5

Fauzi (2006), menyatakan bahwa ketidaklengkapan hak kepemilikan disebabkan oleh mahalnya

biaya enforment, misalnya hutan ditebang secara illegal, maka hak Negara atas hutan dibatasi oleh

(41)

bisa saja mempunyai berbagai hak kepemilikan. Umumnya, ada empat tipe hak kepemilikan terhadap sumber daya, yaitu terdiri dari (Hanna, 1995):

1. Private property, dimana klaim kepemilikan berada pada individu atau

kelompok usaha (korporasi);

2. Common property atau communal property, dimana individu atau kelompok

memiliki klaim atas sumber daya yang dikelola bersama;

3. State property, dimana klaim kepemilikan berada di tangan pemerintah; dan

4. Open acces, dimana tidak memiliki klaim yang sah atas sumber daya.

Karakeristik dari masing-masing tipe hak kepemilikan tersebut berdasarkan unit pemegang hak kepemilikan dan hak pemiliki serta kewajiban pemilik disajikan pada Tabel. 5

Tabel 5.Tipe hak kepemilikan beserta hak-hak dan kewajibannya

Tipe Pemilik Pemilik/pemegang Akses

Hak Kewajiban

Tidak ada Pemanfaatan Tidak ada Sumber : Hanna, 1995.

(42)

1. Hak kepemilikan berada pada komunal atau negara dengan akses yang terbatas. Kombinasi ini memungkinkan pengelolaan sumber daya yang lestari;

2. Sumber daya dimiliki secara individu dengan akses yang terbatas. Kondisi ini, maka karateristik hak kepemilikan terdefinisikan dengan jelas dan pemanfaatan yang berlebihan bisa dihindari;

3. Kombinasi antara hak kepemilikan komunal dan akses terbuka. Kombinasi inilah yang dalam perspektif Hardin (1968) akan melahirkan “the tragedy of

the common”6; dan

4. Sumber daya dimiliki secara individu namun akses dibiarkan terbuka (garis terputus pada Gambar. 2)7. Kombinasi menyebabkan sumber daya tidak akan bertahan lama karena rentan terhadap intrusi dan pemanfaatan yang tidak sah sehingga sumber daya akan cepat terkuras habis.

Gambar 2. Hubungan antara hak kepemilikan dan akses (Sumber : Fauzi, 2006) Saad (2003), memberikan contoh pengalihan status hak atas sumber daya alam, dan mengenai mekanisme pengelolaan sumber daya alam yang diserahkan oleh negara tersebut kepada kelompok masyarakat tertentu, seperti yang terjadi di Benggala Barat (India) dalam bentuk growing associations. Dengan cara melalui sistem pengalihan ini, sekelompok petani tak bertanah atau marginal diberikan petak-petak tanah untuk perkebunan. Meskipun tanah berada dibawah kekuasaan petani, tidak berarti hak milik atas tanah juga beralih kepadanya. Rezim hak

6

Fauzi (2006), menyatakan bahwa tragedi terjadi karena apa yang dihasilkan dari sumber daya dalam jangka panjang tidak lagi sebanding dengan apa yang dimanfaatkan oleh pengguna. 7

Fauzi (2006), menyatakan bahwa kombinasi ini jarang terjadi.

Hak kepemilikan

Komunal

Negara

Individu (privat)

Terbuka

(Open access)

Terbatas

(limited))acces

(43)

penguasaan atas sumber daya alam (lahan) tetap ditangan negara. Sedangkan petani hanya mempunyai hak garap atau hak milik atas hasil dari tanah tersebut.

Selanjutnya mengenai rezim milik pribadi, secara umum sudah diakui bahwa hak milik swasta merupakan rezim yang paling jelas di atas rezim-rezim lainnya. Tietenberg (1992), berpandangan bahwa hak milik swasta memiliki karateristik yang sangat memadai untuk mengelola sumber daya alam yang optimal secara ekonomis dan ekologis.

Namun, menurut Bromley (1988) terdapat dua fenomena yang harus dijawab oleh penganut pandangan tersebut. Pertama, banyak kasus perampasan sumber daya alam (lahan) terjadi di berbagai belahan dunia, bukan sebagai akibat kelangkaan persediaan tanah secara fisik, tetapi karena terjadinya konsentrasi pemilikan lahan di tangan individu-individu dari keluarga yang kuat. Misalnya, yang terjadi di sebagian besar negara-negara bagian ketiga seperti Amerika Latin.

Kedua, hak kepemilikan pribadi seringkali mengarah pada apa yang disebut

highest and best use of land, dimana sebagian besar tanah subur menjadi padang

pengembalaan, sementara tanaman pangan berada di tanah kering. Lahan subur telah diswastakan, sedangkan lahan yang tidak subur dibiarkan menjadi public

domain. Dalam pandangan Bromley (1990), yang termasuk kategori public

domain adalah state property, common property dan open access.

2.5 Definisi Stakeholder

Ramirez (1999) menerangkan bahwa kata stakeholder pertama kali digunakan pada tahun 1708 dengan makna “seseorang yang memegang kartu dalam sebuah pertaruhan”; definisi tersebut sekarang ini berubah makna menjadi “orang yang berkepentingan/peduli terhadap sesuatu. Freeman (1984) mendefinisikan stakeholder sebagai kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu.

(44)

yang memberikan sesuatu yang penting bagi organisasi, tetapi mengharapkan imbalan”. Selanjutnya Meyers (2001) mencontohkan dalam kebijakan kehutanan, dimana stakeholder bisa meliputi masyarakat yang tinggal di hutan atau dekat hutan, orang yang tinggal jauh dari hutan namun memanfaatkan hutan tersebut, pemerintah, perusahan yang bergerak di sektor kehutanan, akademis, LSM, pecinta lingkungan dan lain-lain.

Disamping dua definis di atas, Rolling dan Wagemakers (1998) mendefinisikan stakeholder dalam konteks manajemen sumber daya alam sebagai pengguna dan pengelola sumber daya alam. Stakeholder sering diidentifikasi dengan suatu dasar tertentu, yaitu dari segi kekuatan dan kepentingan relatif aktor terhadap isu atau dari segi posisi penting dan pengaruh yang dimiliki mereka (Ramirez, 1999). Dalam analisis stakeholder untuk suatu kebijakan, Meyers (2001) mengkategorikan stakeholder sebagai berikut :

1. Stakeholder langsung primer adalah pihak penerima langsung keuntungan sebagai dampak dari sebuah kebijakan;

2. Stakeholder sekunder adalah bukan pihak penerima keuntungan, tetapi pihak yang hanya terpengaruh oleh suatu kebijakan; dan

3. Stakeholder sekunder adalah pihak selain kedua kelompok di atas tetapi terlibat dalam proses.

Berdasarkan kekuatan, posisi penting dan pengaruh aktor terhadap suatu isu, stakeholder dapat dikategorikan kedalam beberapa kelompok. ODA (1995), mengelompokkan stakeholder ke dalam stakeholder utama, pendukung dan stakeholder kunci.

1. Stakeholder utama merupakan stakeholder yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program dan proyek. Mereka harus ditempatkan sebagai penentu utama dalam proses pengambilan keputusan, misalnya tokoh masyarakat;

(45)

tanggung jawab langsung; lembaga pemerintah yang terkait dengan isu tetapi tidak memiliki kewenangan secara langsung dalam pengambilan keputusan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) setempat, perguruan tinggi, dan pengusaha (badan usaha) yang terkait; dan

3. Stakeholder kunci merupakan yang memiliki kewenangan secara legal dalam hal pengambilan keputusan. Stakeholder kunci yang dimaksud adalah unsur eksekutif sesuai levelnya, legislatif dan instansi

Kelompok-kelompok stakeholder sering digolongkan menurut aspek sosial ekonomi seperti tingkatan pendidikan, kelompok pekerja dan status ketenaga kerjaan atau menurut tingkat keterlibatan formal di dalam proses pengambilan keputusan, tingkat kohesi kelompok, struktur formal atau informal.

2.6 Analisis Stakeholder

Grimble dan Chan (1995) mendefinisikan analisis stakeholder adalah suatu pendekatan dan prosedur untuk mencapai pemahaman suatu sistem dengan cara mengidentifikasi stakeholder kunci di dalam sistem dan menilai kepentingan masing-masing di dalam sistem tersebut. Sedangkan Ramirez (1999) menerangkan bahwa analisis stakeholder mengacu pada seperangkat alat untuk mengidentifikasi dan mendiskripsikan stakeholder atas dasar atributnya, hubungan timbal baliknya dan kepentingannya dalam kaitannya dengan isu atau sumber daya yang ada. Ramirez (1999) lebih lanjut menerangkan bahwa analisis stakeholder mencakup hal-hal antara lain: kekuatan dan kepentingan relatif masing stakeholder; kepentingan dan pengaruh yang dimiliki masing-masing stakeholder; atribut yang melekat atau dikenakan oleh setiap stakeholder; dan jaringan dan kondisi tempat stakeholder berada.

Beberapa alasan yang mendorong perlunya dilaksanakan analisis stakeholder (Engel, 1997), yaitu :

a. Untuk menemukan pola interaksi yang ada secara empiris; b. Untuk meningkatkan intervensi secara analitis;

c. Sebagai alat manajemen dalam pembuatan kebijakan; dan d. Sebagai alat untuk memprediksi adanya konflik.

(46)

kedua, kembangkan pemahaman sistem dan pembuat keputusan dalam sistem;

ketiga, temukan stakeholder utama; keempat, pelajari kepentingan karakteristik

dan lingkungan stakeholder; kelima, temukan pola dan konteks interaksi antar stakeholder; dan keeman, definisikan pilihan untuk manajemen. Di samping tahapan di atas, dalam kerangka analisis stakeholder dan manajemen konflik, Ramirez (1999) menggambarkan kerangka kerja konseptual untuk analisis stakeholder dan manajemen konflik sebagaimana disajikan pada Gambar 3.

Dalam kerangka kerja konseptual tersebut, diterangkan ada 9 proposisi dan dibagikan dalam dua kelompok proposisi yaitu : pertama, kelompok proposisi 1 sampai 5. Kelompok propisis pertama ini relevan dengan situasi dimana tidak ada krisis, hal ini lebih ditekankan pada usaha satu pihak untuk mencoba memahami dinamika isu manajemen sumber daya alam; dan kedua, kelompok propisisi 6 sampai 9, dimana lebih sfesifik untuk prilaku pembuatan keputusan oleh kelompok-kelompok yang dihadapkan pada konflik sosial.

2.7 Tata Kelola Kawasan DAS

Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas di daratan. Selanjutnya Sub DAS disebut sebagai bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama (Departemen Kehutanan, 2009).

(47)

Gambar 3. Kerangka kerja konseptual untuk analisis stakeholder dan manajemen konflik (Sumber : Ramirez, 1999)

Proposisi 5 :

Stakeholder dapat saja

(48)

Pada daerah hulu umumnya merupakan lahan kering seperti tegalan dan kebun. Adapun daerah hilir umumnya dipergunakan sebagai daerah persawahan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat (lihat Tabel 6). Oleh karena itu, ada keterkaitan yang sangat erat antara hulu dan hilir dalam DAS, dimana hulu sebagai daerah tangkapan air akan memberikan dampak dari pengelolaan yang dilakukan di hulu. Sementara hilir berperan sebagai penerima dampak kegiatan pengelolaan di hulu (dampak baik atau buruk). Namun, tidak selalu daerah hulu menerima dampak dari kegiatan atau aktivitas ekonomi di hilir. Untuk itu diperlukan pengelolaan sumber daya di dalam DAS secara terpadu untuk dapat mengakomodir semua kepentingan (Cahyono dan Purwanto, 2006).

Berdasarkan topografi, dimana DAS dibagi atas daerah hulu, tengah, dan hilir dan memiliki keterkaitan yang erat, maka Gill (1979), memandang DAS sebagai suatu sistem. Oleh karena itu, menurut Gill (1979) dalam pembangunannya, harus diperlakukan sebagai suatu sistem, sehingga sasaran pengembangan DAS akan menciptakan ciri-ciri yang baik yaitu:

1. Mampu memberikan produktivitas lahan yang tinggi. Setiap bidang lahan harus memberikan produktivitas yang cukup tinggi sehingga dapat mendukung kehidupan yang layak bagi petani yang mengusahakannya. Produktivitas yang tinggi dapat diperoleh apabila lahan tersebut digunakan sesuai dengan kemampuannya. Untuk itu harus dipilih komoditas pertanian yang cocok dengan faktor biofisik setempat dan dikelola dengan agroteknologi yang memenuhi persyaratan, sehingga produktivitas tetap tinggi dan kualitas lahan terjaga secara lestari;

2. Mampu mewujudkan pemerataan produktivitas di seluruh DAS. Perencana pengelolaan DAS harus memberikan perhatian serius pada hal ini agar seluruh stakeholder di dalam DAS memperoleh pendapatan yang dapat mendukung kehidupan yang layak. Apabila keadaan seperti ini terwujud maka DAS tersebut akan bersifat lentur, sehingga walaupun ada kegagalan produksi di salah satu bagian DAS akibat bencana alam, maka bagian lain DAS akan dapat membantu bagian yang terkena bencana; dan

(49)

DAS sebagai pengatur tata air yang baik. Oleh sebab itu, fungsi hidrologis DAS harus dapat terjaga secara lestari yang dicirikan oleh ketersediaan sumber daya air yang meliputi kuantitas, kualitas dan distribusi yang baik sepanjang tahun di seluruh DAS.

Tabel 6. Perbandingan antara daerah hulu dan hilir

Hulu Hilir

Masih cukup banyak sisa hutan Lapisan olahnya dangkal, kritis Lapisan olahnya tebal dan subur Umumnya lahan teririgasi Pelayanan penyuluhan kurang baik

Teknologi yang kompleks

Pola tanam intercropping dengan tanaman tahunan

Gambar

Tabel 4.Target ekonomi, tindakan dan kelembagaan pada beberapa level
Tabel 5.Tipe hak kepemilikan beserta hak-hak dan kewajibannya
Gambar 3. Kerangka kerja konseptual untuk analisis stakeholder dan manajemen konflik (Sumber : Ramirez, 1999)
Gambar 4. Sistem pengelolaan DAS secara umum (Sumber : Nugroho et.al, 2008)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hak anak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan terkait Perlindungan Anak, mewajibkan Pemerintah Daerah untuk menjamin pemenuhan hak anak dengan

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan bangunan pengendali banjir di DAS Bengawan Solo Hilir Plangwot-Sedayu Lawas dari segi ekonomi teknik dengan menggunakan

Pertanyaan berkaitan dengan data demografi responden serta opini atau tanggapan terhadap gaya kepemimpinan consideran, gaya kepemimpinan structure, kompleksitas

Pertama dengan penelitian ini diharapkan dapat diperoleh sebagian deskripsi pemilihan bahasa pada masyarakat dwibahasa di Indonesia, khususnya deskripsi tentang

Hasil analisis t test , untuk mengetahui hipotesis yang menyatakan bahwa secara parsial variabel sumber daya manusia, komitmen motivasi berpengaruh terhadap Kinerja pada

persepsi sosial adalah proses menangkap arti objek-objek sosial dan kejadian yang kita alami dalam lingkungan kita. Oleh karena itu manusia bersifat emosional, sehingga

Berdasarkan permasalahan di atas, telah dilakukan penelitian yang berjudul Kepadatan Populasi Spodoptera exigua (Lepidoptera; Noctuide) Pada Tanaman Bawang

Variabel independen audit tenure, debt default, kondisi keuangan, opinion shopping, pertumbuhan perusahaan, ukuran perusahaan hanya memberikan pengaruh sebesar 56,2%