• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Tingkat Kemiskinan Di Provinsi Maluku Utara Tahun 2005-2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Tingkat Kemiskinan Di Provinsi Maluku Utara Tahun 2005-2009"

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)

1.1Latar Belakang

Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup

berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan

institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan

ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan

(Todaro dan Smith, 2006). Jadi, kinerja pembangunan bukan hanya diukur dari

pertumbuhan ekonomi saja, tetapi harus tetap mempertimbangkan penurunan

kemiskinan serta penanganan ketimpangan pendapatan.

Penanggulangan kemiskinan merupakan fokus perhatian semua negara di

dunia. Bahkan dari delapan butir Millenium Development Goals (MDGs) yang ditandatangani oleh 189 negara anggota PBB, memberantas kemiskinan dan

kelaparan merupakan butir pertama dari MDGs.

Komitmen semua bangsa di dunia untuk mengentaskan kemiskinan

dikokohkan kembali dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan

Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan, bulan September 2002.

Kesepakatan tersebut dituangkan dalam dokumen "Rencana Pelaksanaan KTT

Pembangunan Berkelanjutan", yang ditandatangani oleh para kepala

negara/pemerintahan dari 165 negara yang hadir dalam KTT tersebut, termasuk

Indonesia. Hal ini menunjukkan komitmen Negara Indonesia untuk memberantas

(2)

Perhatian pemerintah Indonesia terhadap kemiskinan dituangkan di dalam

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009.

Penurunan jumlah kemiskinan hingga 8,2 persen pada tahun 2009 merupakan

salah satu sasaran pertama dalam hal agenda pemerintah meningkatkan

kesejahteraan rakyat. Bahkan untuk mencapai sasaran tersebut pemerintah

merumuskan prioritas pembangunan nasional 2004–2009 adalah penanggulangan kemiskinan dengan kebijakan yang diarahkan untuk menghormati, melindungi

dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin.

Provinsi Maluku Utara merupakan salah satu contoh daerah yang masih

menghadapi permasalahan dalam penanggulangan kemiskinan. Setelah

memisahkan diri dari Provinsi Maluku di tahun 1999, provinsi ini masih

menempati peringkat ke 29 dari 33 provinsi di Indonesia dalam hal pencapaian

pembangunan manusia. Provinsi Maluku Utara juga masih harus menghadapi

penduduk miskin sebesar 99,10 ribu jiwa atau 10,34 persen dari total

penduduknya.

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).

(3)

Perkembangan tingkat kemiskinan di Provinsi Maluku Utara dari tahun

2005-2009 memiliki tren yang menurun. Namun jika ditinjau secara spasial,

pencapaian penanggulangan kemiskinan cukup bervariasi. Terdapat

kabupaten/kota yang memiliki persentase penduduk miskin yang masih tinggi

seperti Kabupaten Halmahera Tengah, Kabupaten Halmahera Timur dan

Halmahera Barat. Kabupaten/kota lain seperti Kota Ternate, Kota Tidore

Kepulauan dan Halmahera Utara memiliki persentase penduduk miskin yang

relatif rendah (Tabel 1.1).

Tabel 1.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara Tahun 2009

Provinsi Maluku Utara 99,10 10,34

*Tergabung dengan Kabupaten Pulau Morotai

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).

1.2 Perumusan Masalah

Penanggulangan kemiskinan merupakan permasalahan kompleks yang

dihadapi oleh seluruh negara terutama negara sedang berkembang termasuk

Indonesia. Provinsi Maluku Utara sebagai provinsi yang baru terbentuk di tahun

(4)

pembangunan yang berjalan benar-benar dapat memberikan manfaat secara

optimal di segala bidang. Pada tahun 2009 Provinsi Maluku Utara masih harus

menghadapi kemiskinan 99,10 ribu jiwa atau 10,34 persen dari total

penduduknya. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa target penurunan kemiskinan

hingga 8,2 persen pada tahun 2009 masih belum tercapai.

Pencapaian penanggulangan kemiskinan menurut kabupaten/kota di

Maluku Utara masih belum merata. Pada tahun 2009, tiga kabupaten/kota

memiliki persentase penduduk miskin tergolong rendah yaitu Kota Ternate, Kota

Tidore Kepulauan dan Kabupaten Halmahera Utara. Sedangkan kabupaten/kota

lainnya masih relatif tinggi. Bahkan, Kabupaten Halmahera Tengah dan

Halmahera Timur persentase penduduk miskinnya tergolong sangat tinggi.

Identifikasi pola maupun faktor penyebab kemiskinan merupakan salah satu

informasi penting yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk mendukung

program pengurangan kemiskinan.

Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pola kemiskinan (persentase penduduk miskin, tingkat kedalaman

kemiskinan dan keparahan kemiskinan) antarkabupaten/kota dan antarwaktu

di Provinsi Maluku Utara selama tahun 2005-2009?

2. Apakah faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi

(5)

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah:

1. Memberi gambaran pola kemiskinan (persentase penduduk miskin, tingkat

kedalaman dan keparahan kemiskinan) antarkabupaten/kota dan antarwaktu

di Provinsi Maluku Utara tahun 2005-2009.

2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi

Maluku Utara tahun 2005 - 2009.

1.4Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Memberi masukkan bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang tepat

untuk mengurangi kemiskinan dari Provinsi Maluku Utara.

2. Menjadi bahan acuan dan referensi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih

lanjut dan lebih mendalam tentang kemiskinan.

1.5Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penelitian hanya dibatasi di Provinsi Maluku

Utara. Karena keterbatasan ketersediaan data dan adanya pemekaran wilayah,

series penelitian dari tahun 2005-2009. Jumlah kabupaten/kota yang diteliti

sebanyak 6 kabupaten dan 2 kota, yaitu: Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten

Halmahera Tengah, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Halmahera Selatan,

Halmahera Utara, Halmahera Timur, Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan.

Sedangkan Kabupaten Pulau Morotai masih tergabung dengan kabupaten

(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Kemiskinan

Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak

mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan

mengembangkan kehidupan yang bermartabat (Bappenas, 2004). Hak-hak dasar

antara lain (a) terpenuhinya kebutuhan pangan, (b) kesehatan, pendidikan,

pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan

hidup, (c) rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, (d) hak untuk

berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik (BPS, 2009).

2.1.2 Jenis-jenis Kemiskinan 2.1.2.1Kemiskinan Relatif

Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan

pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat

sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum

disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian

terfokus pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya 20 persen atau 40 persen

lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut

(7)

Dengan menggunakan definisi ini berarti “orang miskin selalu hadir bersama kita”

(BPS, 2009).

Negara yang lebih kaya (sejahtera), cenderung merevisi garis

kemiskinannya menjadi lebih tinggi, dengan pengecualian Amerika Serikat,

dimana garis kemiskinan pada dasarnya tidak berubah selama hampir empat

dekade. Misalnya, Uni Eropa umumnya mendefinisikan penduduk miskin adalah

mereka yang mempunyai pendapatan per kapita di bawah 50 persen dari median

(rata-rata) pendapatan. Ketika median/rata-rata pendapatan meningkat, garis

kemiskinan relatif juga meningkat (BPS, 2009). Jadi, garis kemiskinan relatif

tidak dapat digunakan untuk membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara,

karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama.

2.1.2.2Kemiskinan Absolut

Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk

mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan,

perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.

Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk

uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah

garis kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan

digolongkan sebagai penduduk miskin (BPS, 2009).

Garis kemiskinan absolut tidak berubah dalam hal standar hidup. Sehingga

dengan garis kemiskinan absolut dapat membandingkan tingkat kemiskinan

(8)

Bank dunia menghitung garis kemiskinan absolut dengan menggunakan

pengeluaran konsumsi yang dikonversi ke dalam US$ PPP (Purchasing Power Parity/Paritas Daya Beli), bukan nilai tukar US$ resmi. Tujuannya untuk membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara. Angka konversi PPP

menunjukkan banyaknya rupiah yang harus dikeluarkan untuk membeli sejumlah

kebutuhan barang dan jasa dimana jumlah yang sama tersebut dapat dibeli seharga

US$1 di Amerika. Angka konversi ini dihitung berdasarkan harga dan kuantitas di

masing-masing negara yang dikumpulkan dalam suatu survey yang biasanya

dilakukan setiap lima tahun sekali. Pada umumnya ada dua ukuran yang

digunakan oleh Bank Dunia, yaitu: a) US$ 1 PPP per kapita per hari; b) US$ 2

PPP per kapita per hari. Ukuran tersebut sekarang direvisi menjadi US$ 1,25 PPP

dan US$ 2 PPP per kapita per hari (BPS, 2009).

Pendapatan per kapita yang tinggi tidak menunjukkan rendahnya

kemiskinan absolut. Hal ini disebabkan bagian pendapatan yang diterima oleh

kelompok penduduk paling miskin tidak sama antarwilayah.

2.1.3 Pendekatan dalam Pengukuran Kemiskinan

Badan Pusat Statistik (BPS) dalam mengukur kemiskinan menggunakan

konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Kebutuhan dasar ini merupakan kebutuhan minimum seseorang dapat hidup

dengan layak.

Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan

(9)

yang diukur dari sisi pengeluaran. Jika rata-rata pengeluaran per kapita suatu

penduduk di bawah garis kemiskinan maka disebut penduduk miskin. Penentuan

indikator yang dapat dijadikan acuan kebutuhan dasar bersifat subyektif karena

dipengaruhi oleh adat, budaya, daerah dan kelompok sosial. Pengukuran

kemiskinan dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar

(basic needs approach) tidak hanya digunakan oleh BPS, tetapi juga oleh negara-negara lain seperti Armenia, Senegal, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Sierra

Leone dan Gambia (BPS, 2007).

Menurut BPS (2009), komponen kebutuhan dasar terdiri dari pangan dan

bukan pangan yang disusun menurut daerah perkotaan dan perdesaan berdasarkan

hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Indikator kebutuhan

minimum untuk masing-masing komponen tersebut dapat dijelaskan sebagai

berikut :

a. Pangan, dinyatakan dengan kebutuhan gizi minimum yaitu perkiraan kalori dan

protein.

b. Sandang, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan

pakaian, alas kaki, dan tutup kepala.

c. Perumahan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk sewa

rumah, listrik, minyak tanah, kayu bakar, arang, dan air.

d. Pendidikan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan

biaya sekolah (uang sekolah, iuran sekolah, alat tulis, dan buku).

e. Kesehatan, dinyatakan dengan Indikator pegeluaran rata-rata untuk penyediaan

(10)

2.1.4 Garis Kemiskinan

Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran

per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan (GK). Metode yang digunakan

untuk menghitung Garis Kemiskinan (GK) terdiri dari dua komponen yaitu Garis

Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Nonmakanan (GKNM).

Penghitungan garis kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan

dan perdesaan.

Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah nilai pengeluaran kebutuhan

minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilokalori per kapita per hari.

Patokan ini mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi 1978. Paket

komoditi kebutuhan dasar makanan mewakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian,

umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan,

buah-buahan, minyak dan lemak, dan lain-lain). Ke-52 komoditi ini merupakan

komoditi yang paling banyak dikonsumsi oleh orang miskin. Jumlah pengeluaran

untuk 52 komoditi ini sekitar 70 persen dari total pengeluaran orang miskin.

Garis Kemiskinan Nonmakanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum

untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan

dasar nonmakanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis

(11)

Formula dasar dalam penghitungan Garis Kemiskinan Makanan (GKM)

= Rata-rata kuantitas komoditi k yang dikonsumsi di daerah j, provinsi p

= Nilai pengeluaran untuk konsumsi komoditi k di daerah j provinsi p

j = Daerah (perkotaan atau perdesaan)

p = Provinsi ke-p

Selanjutnya GKM tersebut disetarakan dengan 2100 kilokalori dengan

mengalikan 2100 terhadap harga implisit rata-rata kalori menurut daerah j dari

penduduk referensi, sehingga:

menghasilkan energi setara dengan 2100 kilokalori per kapita per hari

(12)

Formula dasar Garis Kemiskinan Nonmakanan (GKNM) adalah sebagai

berikut :

(2.3)

Dimana :

= Pengeluaran minimum nonmakanan atau garis kemiskinan nonmakanan daerah j (kota/desa) dan provinsi p

= Rasio pengeluaran komoditi/subkelompok nonmakanan k menurut daerah (hasil SPKKD 2004) dan daerah j (kota+desa)

= Nilai pengeluaran perkomoditi/subkelompok nonmakanan daerah j dan provinsi p (dari Susenas modul konsumsi)

k = Jenis komoditi nonmakanan terpilih

2.1.5 Indikator Kemiskinan

Berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar, ada tiga indikator dasar

kemiskinan yang digunakan :

1. Head Count Index (HCI-P0) yaitu persentase penduduk yang berada di

bawah garis kemiskinan.

2. Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) merupakan ukuran

rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin

terhadap garis kemiskinan. Indeks Kedalaman Kemiskinan melihat

seberapa miskin orang miskin itu. Semakin tinggi nilai Indeks Kedalaman

Kemiskinan, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk miskin dari

(13)

3. Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2) memberikan

gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin.

Semakin tinggi nilai indeks keparahan kemiskinan menunjukkan semakin

tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.

Angka P1 dan P2 yang besar menunjukkan buruknya kondisi kemiskinan di

suatu wilayah.

Foster-Greer-Thorbecke (1984) dalam BPS (2007) telah merumuskan suatu ukuran yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan, yaitu :

(2.4)

Dimana :

= 0,1,2

= Garis Kemiskinan

= Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada

di bawah garis kemiskinan (i=1,2,…,q)

= Jumlah penduduk

Jika α = 0, diperoleh Head Count Index (P0), jika α = 1 diperoleh Indeks

Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) dan jika α = 2 diperoleh Indeks

Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2).

2.1.6 Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses peningkatan kapasitas

(14)

sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional

yang semakin lama semakin besar (Todaro dan Smith, 2006). Pertumbuhan

ekonomi merupakan perubahan nilai PDB (Produk Domestik Bruto) riil

antarwaktu. Sehingga laju pertumbuhan PDB riil (PDB atas dasar harga konstan)

yang berikutnya dijadikan indikator pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. PDB

menyatakan pendapatan total atau pengeluaran total nasional atas output barang

dan jasa (Mankiw, 2006).

Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menimbulkan efek

meretas ke bawah (tricke down effect). Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan merangsang penciptaan lapangan pekerjaan sehingga mampu mengurangi

pengangguran, kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Namun

proses trickle down effect ini tidak akan terjadi dengan baik apabila pertumbuhan ekonomi tidak didorong oleh sektor-sektor yang padat karya atau sektor-sektor

dimana orang miskin berada seperti sektor pertanian.

Penelitian yang dilakukan Prasetyo (2010), menemukan bahwa terdapat

hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan.

Kenaikan pertumbuhan ekonomi akan menurunkan tingkat kemiskinan. Hubungan

ini menunjukkan pentingnya mempercepat pertumbuhan ekonomi untuk

menurunkan tingkat kemiskinan.

Ravallion (2006) dalam penelitiannya tentang pengaruh pertumbuhan dan

ketimpangan terhadap kemiskinan di China dan India tahun 1980-2000

menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap pengentasan

(15)

menghambat pengentasan kemiskinan. Penelitian yang dilakukan Siregar dan

Wahyuniarti (2007) menyimpulkan bahwa pertumbuhan memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap penurunan kemiskinan, namun magnitude pengaruh tersebut

relatif tidak besar.

2.1.7 Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan investasi bagi pembentukan modal manusia yang

berkualitas. Pendidikan akan memudahkan seseorang untuk menyerap teknologi

modern sehingga dapat meningkatkan produktivitas yang bermanfaat bagi

pembangunan.

Investasi pendidikan akan mampu meningkatkan kualitas sumberdaya

manusia yang diperlihatkan oleh meningkatnya pengetahuan dan keterampilan

seseorang. Peningkatan pengetahuan dan keahlian akan mendorong peningkatan

produktivitas kerja seseorang. Perusahaan akan memperoleh hasil yang lebih

banyak dengan mempekerjakan tenaga kerja dengan produktivitas yang lebih

tinggi, sehingga perusahaan akan bersedia memberikan upah/gaji yang lebih

tinggi kepada yang bersangkutan. Pada akhirnya seseorang yang memiliki

produktivitas yang tinggi akan memperoleh kesejahteraan yang lebih baik, yang

dapat diperlihatkan melalui peningkatan pendapatan maupun konsumsinya.

Rendahnya produktivitas tenaga kerja kaum miskin dapat disebabkan oleh karena

rendahnya akses mereka untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan (Sitepu dan

(16)

Siregar dan Wahyuniarti (2007) dalam penelitiannya tenang kemiskinan

di Indonesia menyimpulkan bahwa pendidikan merupakan variabel yang

signifikan terhadap penurunan kemiskinan. Pengaruh tingkat pendidikan relatif

besar terhadap penurunan kemiskinan.

2.1.8 Share PDRB sektor pertanian

Siregar dan Wahyuniarti (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi

merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan kemiskinan. Adapun syarat kecukupannya (sufficient condition) ialah pertumbuhan tersebut hendaklah menyebar di setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan

penduduk miskin (growth in equity). Secara langsung, hal ini berarti pertumbuhan itu perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor dimana penduduk miskin bekerja

(pertanian atau sektor padat karya). Secara tidak langsung, diperlukan pemerintah

yang cukup efektif meredistribusi manfaat pertumbuhan yang boleh jadi

didapatkan dari sektor modern seperti jasa dan manufaktur yang padat modal ke

golongan penduduk miskin.

Suselo dan Tarsidin (2008) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa

sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan tidak saja merupakan sektor usaha

yang paling tinggi tingkat kemiskinannya, tapi juga mempunyai elastisitas

kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi paling tinggi. Di samping itu

(17)

mengurangi kemiskinan adalah dengan memberikan perhatian lebih pada sektor

pertanian, perkebunan, dan perikanan.

2.1.9 Pengangguran

Pengangguran adalah mereka yang sedang mencari pekerjaan, yang

mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak

mungkin mendapatkan pekerjaan (sebelumnya dikategorikan sebagai bukan

angkatan kerja), dan yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja

(sebelumnya dikategorikan sebagai bekerja), dan pada waktu bersamaan mereka

tidak bekerja. Penganggur dengan konsep/definisi tersebut biasanya disebut

sebagai pengangguran terbuka (BPS, 2007) . Selain pengangguran terbuka ada

istilah setengah pengangguran, yaitu penduduk yang bekerja kurang dari jam

normal (35 jam seminggu), tidak termasuk yang sementara tidak bekerja.

BPS (2009) dalam publikasi analisis kemiskinan, ketenagakerjaan dan

distribusi pendapatan menyebutkan bahwa pengangguran dilihat dari penyebabnya

dikelompokkan menjadi beberapa jenis:

a. Pengangguran struktural yaitu pengangguran yang terjadi karena adanaya

perubahan dalam struktur perekonomian. Penduduk tidak mempunyai

keahlian yang cukup untuk memasuki sektor baru sehingga mereka

menganggur. Contoh: para petani kehilangan pekerjaan karena daerahnya

(18)

b. Pengangguran siklus yaitu pengangguran yang terjadi karena menurunnya

kegiatan perekonomian (misal terjadi resesi) sehingga menyebabkan

berkurangnya permintaan masyarakat (agregat demand).

c. Pengangguran musiman adalah pengangguran yang terjadi karena adanya

pergantian musim misalnya pergantian musim tanam ke musim panen.

d. Pengangguran friksional yaitu pengangguran yang muncul akibat adanya

ketidaksesuaian antara pemberi kerja dan pencari kerja.

e. Pengangguran teknologi yaitu pengangguran yang terjadi karena adanya

penggunaan alat-alat teknologi yang semakin modern menggantikan

tenaga kerja manusia.

Indikator pengangguran terbuka yang digunakan oleh BPS adalah Tingkat

Pengangguran Terbuka (TPT).

(2.5)

Menurut Tambunan (2001), pengangguran dapat mempengaruhi tingkat

kemiskinan dengan berbagai cara, antara lain:

1. Jika rumah tangga memiliki batasan likuiditas, yang berarti bahwa

konsumsi saat ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan saat ini, maka

bencana pengangguran akan secara langsung mempengaruhi income poverty rate dengan consumption poverty rate.

2. Jika rumah tangga tidak menghadapi batasan likuiditas, yang berarti bahwa

konsumsi saat ini tidak terlalu dipengaruhi oleh pendapatan saat ini, maka

(19)

dalam jangka panjang, tetapi tidak terlalu berpengaruh dalam jangka

pendek.

Munandar, Kurniawan dan Santoso (2007) dalam BPS (2009) yang melakukan penelitian berdasarkan estimasi perilaku siklikal (cyclical behaviour) kemiskinan dan pengangguran, menyimpulkan bahwa tingkat kemiskinan turun

jika pengangguran turun. Dalam jangka pendek (satu tahun) terdapat hubungan

positif yang signifikan antara perubahan tingkat pengangguran dengan perubahan

tingkat kemiskinan, yaitu one-to-one mapping antara penurunan pengangguran dengan membaiknya tingkat kemiskinan.

Prasetyo (2010) dalam penelitiannya tentang kemiskinan di Propinsi Jawa

Tengah tahun 2003-2007 menyimpulkan bahwa terhadap terdapat hubungan

positif antara tingkat pengangguran dengan tingkat kemiskinan di Jawa Tengah.

Penurunan pengangguran berpengaruh positif terhadap penurunan kemiskinan

atau sebaliknya. Hudayana (2009) dalam penelitiannya tentang kemiskinan di

Indonesia menemukan bahwa pengangguran memiliki pengaruh yang positif

terhadap tingkat kemiskinan.

2.2Penelitian-Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang kemiskinan telah banyak dilakukan, Wijayanto (2010)

(20)

dan pengangguran memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap tingkat

kemiskinan.

Penelitian yang dilakukan oleh Siregar dan Wahyuniarti (2007) dengan

judul “Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk

Miskin”. Tulisannya menganalisis tentang pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia dengan analisis deskriptif dan model

regresi panel data yaitu time series 1995-2005 dan cross section 26 Provinsi (sebelum pemekaran-pemekaran dan setelah disintegrasi Timur-Timur)

menghasilkan kesimpulan bahwa :

1. Pertumbuhan berpengaruh signifikan dalam mengurangi kemiskinan,

namun magnitude pengaruh tersebut relatif tidak besar.

2. Inflasi maupun populasi penduduk juga berpengaruh signifikan terhadap

kemiskinan, namun besaran pengaruh masing-masingnya relatif kecil.

3. Peningkatan share sektor pertanian dan share sektor industri juga signifikan mengurangi jumlah kemiskinan.

4. Variabel yang signifikan dan relatif paling besar pengaruhnya terhadap

penurunan kemiskinan ialah pendidikan.

Penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo (2010) dengan judul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan (Studi Kasus di 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2003-2007) menggunakan alat analisis regresi data panel menyimpulkan bahwa tingkat kemiskinan di Jawa Tengah

dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, upah minimum, pendidikan dan

(21)

BPS (2009) dalam penelitiannya tentang kemiskinan di Indonesia tahun

2002-2007 dengan menggunakan alat regresi data panel, menghasilkan

kesimpulan bahwa:

1. PDRB dan Rasio Pengeluaran Nonmakanan mempunyai hubungan terbalik

dengan kemiskinan.

2. Gini Rasio, Tingkat Pengangguran Terbuka dan Indeks Harga Konsumen

Makanan mempunyai hubungan searah dengan tingkat kemiskinan.

Suselo dan Tarsidin (2008) dalam penelitiannya tentang pengaruh

pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi terhadap kemiskinan di Indonesia

menyimpulkan bahwa sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan tidak saja

merupakan sektor usaha yang paling tinggi tingkat kemiskinannya, tapi juga

mempunyai elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi paling tinggi.

Di samping itu, penurunan share sektor usaha tersebut juga turut memperburuk tingkat kemiskinan Indonesia. Dengan demikian, langkah yang paling tepat untuk

mengurangi kemiskinan adalah dengan memberikan perhatian lebih pada sektor

pertanian, perkebunan,dan perikanan.

Hudayana (2009) dalam penelitiannya tentang faktor-faktor yang

memengaruhi tingkat kemiskinan di Indonesia menyimpulkan bahwa faktor-faktor

yang memengaruhi secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan adalah tingkat

(22)

2.3 Kerangka Pemikiran

Kerangka penulisan dalam penelitian ini digambarkan dalam bentuk

diagram alur sebagai berikut:

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

Kemiskinan di Maluku Utara

Analisis Deskriptif

Gambaran Pola Kemiskinan

 Persentase Penduduk Miskin  Jumlah Penduduk Miskin  Tingkat Kedalaman Kemiskinan  Tingkat keparahan Kemiskinan

Analisis Regresi Data Panel

Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Kemiskinan

 Pertumbuhan Ekonomi  Tingkat Pendidikan  Share PDRB pertanian  Pengangguran

(23)

2.4Hipotesis

Dengan mengacu pada kerangka pemikiran dan berdasarkan studi empiris

terdahulu yang berkaitan dengan kemiskinan, maka akan diajukan hipotesis

sebagai berikut :

1. Diduga pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh negatif terhadap

tingkat kemiskinan di Maluku Utara.

2. Diduga tingkat pendidikan mempunyai pengaruh negatif terhadap tingkat

kemiskinan di Maluku Utara.

3. Diduga peningkatan share PDRB sektor pertanian mempunyai pengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Maluku Utara.

4. Diduga pengangguran mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat

(24)

3.1 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

berasal dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia dan BPS Provinsi Maluku

Utara. Series data yang digunakan dari tahun 2005-2009.

Sumber data yang digunakan BPS untuk mendapatkan angka kemiskinan

yaitu melalui SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional), sebagai

tambahannya digunakan hasil survey SPKKD (Survei Paket Komoditi Kebutuhan

Dasar) untuk memperkirakan proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditi

pokok nonmakanan.

3.2 Metode Analisis

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan analisis regresi data

panel. Pengolahan data menggunakan software Microsoft Excel 2007 dan EViews 6.0.

3.2.1 Analisis Desktiptif

Analisis Deskriptif merupakan analisis sederhana dari suatu sebaran data

dengan penyajian dalam bentuk tabulasi dan grafik/gambar. Analisis deskriptif

dalam penelitian ini digunakan untuk menggambarkan pola kemiskinan (persentase

(25)

antarkabupaten/kota dan antarwaktu di Provinsi Maluku Utara. Selain itu, analisis

deskriptif dalam penelitian juga digunakan sebagai pendukung untuk menambah

dan mempertajam analisis inferensia.

3.2.2 Analisis Regresi Data Panel

Data panel merupakan kombinasi data cross section dengan time series. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel (total jumlah observasi = N x T). Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut

unbalanced panel.

Menurut Gujarati (2004), keunggulan penggunaan data panel memberikan

banyak keuntungan diantaranya sebagai berikut:

1. Data panel mampu menyediakan data yang lebih banyak, sehingga dapat

memberikan informasi yang lebih lengkap. Sehingga diperoleh degree of freedom (df) yang lebih besar sehingga estimasi yang dihasilkan lebih baik. 2. Dengan menggabungkan informasi dari data time series dan cross section

dapat mengatasi masalah yang timbul karena ada masalah penghilangan

variabel (omitted variable).

3. Data panel mampu mengurangi kolinearitas antarvariabel.

4. Data panel lebih baik dalam mendeteksi dan mengukur efek yang secara

(26)

5. Dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks. Sebagai

contoh, fenomena seperti skala ekonomi dan perubahan teknologi.

6. Data panel dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregat individu,

karena data yang diobservasi lebih banyak.

Analisis regresi data panel memiliki tiga macam model yaitu : model Common Effect, Fixed Effect dan Random Effect.

3.2.2.1Common Effect Model

Model Common Effect merupakan model sederhana yaitu menggabungkan seluruh data time series dengan cross section, selanjutnya dilakukan estimasi model dengan menggunakan OLS (Ordinary Least Square). Model ini menganggap bahwa intersep dan slop dari setiap variabel sama untuk setiap obyek

observasi. Dengan kata lain, hasil regresi ini dianggap berlaku untuk semua

kabupaten/kota pada semua waktu. Kelemahan model ini adalah ketidakseuaian

model dengan keadaan sebenarnya. Kondisi tiap obyek dapat berbeda dan kondisi

suatu obyek satu waktu dengan waktu yang lain dapat berbeda. Model Common Effect dapat diformulasikan sebagai berikut :

(3.1)

Dimana :

= variabel dependen di waktu t untuk unit cross section i = intersep

(27)

= variabel bebas j di waktu t untuk unit cross section i = komponen error di waktu t untuk unit cross section i i = urutan kabupaten/kota yang diobservasi (cross section) t = periode waktu (time series)

j = urutan variabel

3.2.2.2Fixed Effect Model (FEM)

Model data panel dengan Fixed Effects Model (FEM) mengasumsikan bahwa perbedaan mendasar antarindividu dapat diakomodasikan melalui

perbedaan intersepnya, namun intersep antarwaktu sama (time invariant). Fixed effect maksudnya bahwa koefisien regresi (slope) tetap antarindividu dan antarwaktu.

Intersep setiap individu merupakan parameter yang tidak diketahui dan akan

diestimasi. Pada umumnya dengan memasukkan variabel boneka (dummy variable), sehingga FEM sering disebut dengan Least Square Dummy Variable

(LSDV).

(3.2)

= variabel terikat di waktu t untuk unit cross section i = intersep yang berubah-ubah antar-cross section unit

= parameter untuk variabel ke-j

(28)

= komponen error di waktu t untuk unit cross section i

3.2.2.3Random Effect Model (REM)

Random Effect Model (REM) digunakan untuk mengatasi kelemahan model efek tetap yang menggunakan dummy variable, sehingga model mengalami ketidakpastian. Penggunaan dummy variable akan mengurangi derajat bebas (degree of freedom) yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. REM menggunakan residual yang diduga memiliki hubungan

antawaktu dan antarindividu. Sehingga REM mengasumsikan bahwa setiap

individu memiliki perbedaan intersep yang merupakan variabel random.

Model REM secara umum dituliskan sebagai berikut:

(3.3)

(3.4)

merupakan komponen cross-section error (3.5)

merupakan komponen time series error (3.6)

merupakan time series dan cross section error (3.7)

3.2.3 Metode Pemilihan Model

Keputusan untuk memilih jenis model yang digunakan dalam analisis

panel didasarkan pada dua uji, yakni uji Chow dan uji Hausman. Uji Chow

(29)

Prosedur kedua uji adalah sebagai berikut:

1. Uji Chow (Uji Common Effect dengan Fixed Effect)

Hipotesis : H0 : α1 = α2= … = αi (intercept sama)

H1 : sekurang-kurangnya ada 1 intercept yang berbeda

Statistik Uji:

(3.8)

Keputusan : Tolak H0 jika atau jika nilai Probability< α.

Kesimpulan : Jika H0 ditolak maka Model Fixed Effect lebih baik daripada Common Effect

2. Uji Hausman (Uji Fixed Effect dengan Random Effect)

Hipotesis : H0 : E(τi | xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat

H1 : E(τi | xit) ≠ 0 atau FEM adalah model yang tepat

Statistik uji yang digunakan adalah uji Hausman dan keputusan menolak H0

dilakukan dengan membandingkannya dengan Chi square. Jika nilai

maka H0 ditolak sehingga model yang digunakan adalah Fixed Effect,

sebaliknya jika penolakan H0 tidak signifikan maka yang digunakan adalah

(30)

3.2.4 Pengujian Asumsi 3.2.4.1Asumsi Normalitas

Pengujian asumsi normalitas dilakukan untuk melihat apakah error term

mengikuti distribusi normal. Jika asumsi tidak terpenuhi maka prosedur pengujian

menggunakan uji-t menjadi tidak sah. Pengujian dilakukan dengan uji Jarque Bera atau dengan melihat plot dari sisaan.

Hipotesis dalam pengujian adalah

H0 : error term mengikuti distribusi normal

H1 : error term tidak mengikuti distribusi normal.

Keputusan diambil dengan membandingkan nilai probabilitas Jarque Bera

dengan taraf nyata α=0,05. Jika nilai probabilitas Jarque Bera lebih dari α=0,05

maka dapat disimpulkan bahwa error term terdistribusi dengan normal.

3.2.4.2Asumsi Homoskedastisitas

Heteroskedastisitas berarti bahwa variasi residual tidak sama untuk semua

pengamatan. Heteroskedastisitas bertentangan dengan salah satu asumsi dasar

regresi homoskedastisitas yaitu variasi residual sama untuk semua pengamatan.

Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dalam model dilakukan

(31)

heteroskedastisitas. Untuk mengatasi masalah heteroskedastisitas, dilakukan

dengan mengestimasi GLS menggunakan white-heteroscedasticity

3.2.4.3Asumsi Autokorelasi

Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu

variabel atau korelasi antar error masa yang lalu dengan error masa sekarang. Metode untuk mendeteksi adanya korelasi serial dilakukan dengan dengan

membandingkan nilai Durbin Watson (DW) dari penghitungan dengan nilai DW tabel.

 jika 0 < DW < dL maka terdapat korelasi serial negatif

 jika 4-dU < DW < 4-dL atau dL < DW < dU maka hasil tidak dapat

disimpulkan

 jika dU < DW < 4-dU maka tidak ada autokorelasi

 jika 4-dL < DW < 4 maka ada korelasi serial positif.

3.2.4.4Uji Multikolinieritas

Model yang dipilih harus terbebas dari multikolinieritas atau dapat

dikatakan bahwa tidak ada korelasi tinggi antara variabel-variabel independen.

Multikolinieritas dapat dilihat dari koefisien korelasi. Bila koefisien korelasi lebih

kecil dari 0,8 maka tidak terjadi multikolinieritas.

Indikasi multikolinearitas juga tercermin dengan melihat hasil t dan

F-statistik hasil regresi. Jika banyak koefisien parameter dari t-F-statistik diduga tidak

(32)

multikolinearitas. Multikolinearitas dapat diatasi dengan menghilangkan variabel

yang tidak signifikan.

3.2.5 Pengujian Parameter Model

Pengujian parameter model bertujuan untuk mengetahui kelayakan model

dan apakah koefisien yang diestimasi telah sesuai dengan teori atau hipotesis.

Pengujian ini meliputi koefisien determinasi (R2), uji koefisien regresi parsial (uji

t) dan uji koefisien regresi secara menyeluruh (F-test/uji F).

3.2.5.1Uji-F

Uji-F digunakan untuk melakukan uji hipotesis koefisien (slope) regresi secara menyeluruh/bersamaan. Uji-F memperlihatkan ada tidaknya pengaruh

variabel independen terhadap variabel dependen secara bersama-sama. Hipotesis

dalam uji-F adalah :

Ho: β1 = β2=….. = 0

H1 : β1 ≠β2 ≠… ≠ 0

Kriteria pengujiannya adalah jika nilai nilai F observasi > F tabel atau

probabilitas F-statistic < taraf nyata, maka keputusannya adalah tolak H0. Dengan

menolak H0 berarti minimal ada satu variabel independen yang berpengaruh nyata

(33)

3.2.5.2Uji-t

Setelah melakukan uji koefisien regresi secara keseluruhan, maka langkah

selanjutnya adalah menguji koefisien regresi secara parsial menggunakan uji-t.

Hipotesis pada uji-t adalah : H0 : βi = 0 , H1 : βi≠ 0. Keputusan dalam pengujian

ini dilakukan dengan membandingkan nilai t-hitung dengan t-tabel atau dengan

melihat nilai probabilitas dari t-hitung. Jika nilai t-hitung > t-tabel atau jika nilai

probabilitas t < α=0,05 maka tolak H0, sehingga kesimpulannya adalah variabel

independen secara parsial signifikan memengaruhi variabel dependen.

3.2.5.3Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi (Goodness of Fit) merupakan suatu ukuran yang penting dalam regresi, karena dapat menginformasikan baik atau tidaknya model

regresi yang terestimasi. Nilai R2 mencerminkan seberapa besar variasi dari

variabel dependen (Y) dapat diterangkan oleh variavel independen (X) atau seberapa besar keragaman variavel dependen yang mampu dijelaskan oleh model.

Jika R2 = 0, maka variasi dari Y tidak dapat diterangkan oleh X sama sekali dan jika R2 = 100 berarti variasi dari Y secara keseluruhan dapat diterangkan oleh X.

3.2.6 Model Penelitian

Secara matematis dalam penelitian ini pengaruh pertumbuhan ekonomi,

tingkat pendidikan, share PDRB sektor pertanian, pengangguran terhadap tingkat

(34)

(3.9)

Keterangan :

MISKINit = Jumlah Penduduk Miskin (ribu jiwa)

PDRBit = Produk Domestik Regional Bruto Riil (dalam juta

rupiah

MYSit =Mean Years School (Rata-Rata Lama Sekolah

dalam tahun)

SHARE_PERTANIANit = Share PDRB Riil Sektor Pertanian (persen)

PENGANGGURANit = Jumlah Pengangguran (dalam ribu jiwa)

i = urutan kabupaten/kota (i=1,2,...,8 kabupaten/kota)

t = series tahun 2005-2009

α = intersep

β1 - β4 = parameter PDRB, rata-rata lama sekolah, share

PDRB sektor pertanian, jumlah pengangguran

= error term

3.3 Definisi Operasional

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan beberapa ukuran yang relevan

digunakan dalam penelitian, diantaranya kemiskinan dan faktor yang berpengaruh

terhadap kemiskinan. Berikut ini didefinisikan beberapa variabel yang digunakan

dalam penelitian:

(35)

2. Persentase Penduduk Miskin (Head Count Index-P0), yaitu persentase

penduduk miskin terhadap total jumlah penduduk.

3. Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) merupakan ukuran

rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin

terhadap garis kemiskinan.

4. Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2) memberikan

gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin.

5. Pertumbuhan Ekonomi (Growth) yaitu peningkatan pendapatan dari suatu periode ke periode tertentu, yang dihitung berdasarkan peningkatan

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) riil antarwaktu. PDRB

menyatakan pendapatan total atau pengeluaran total suatu wilayah atas

output barang dan jasa

6. Rata-rata lama sekolah adalah nilai rata-rata bagi tiap penduduk dalam

menempuh pendidikan di sekolah. Variabel rata-rata lama sekolah ini

digunakan sebagai proksi tingkat pendidikan.

7. Pengangguran adalah mereka yang sedang mencari pekerjaan, yang

mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak

mungkin mendapatkan pekerjaan (sebelumnya dikategorikan sebagai

bukan angkatan kerja), dan yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum

mulai bekerja (sebelumnya dikategorikan sebagai bekerja), dan pada

waktu bersamaan mereka tidak bekerja.

(36)

4.1 Gambaran Umum Provinsi Maluku Utara 4.1.1 Kondisi Geografis

Provinsi Maluku Utara secara geografis terletak antara 30 Lintang Utara –

30 Lintang Selatan dan 1240-1290 Bujur Timur. Provinsi Maluku Utara merupakan

provinsi kepulauan yang dibatasi oleh:

- Samudra Pasifik di sebelah utara

- Laut Halmahera di sebelah timur

- Laut Maluku di sebelah barat

- Laut Seram di sebelah selatan

Luas wilayah Provinsi Maluku Utara secara keseluruhan tercatat

145.801,10 km2, yang terdiri dari luas daratan sebesar 45.069,66 km2 dan luas

lautan sebesar 100.731,44 km2. Provinsi Maluku Utara terdiri dari 395 pulau besar

dan kecil. Pulau yang dihuni sebanyak 64 buah dan yang tidak dihuni sebanyak

331 buah. Wilayah Maluku Utara dengan hampir 70 persen wilayah lautan

menjadikan Provinsi Maluku Utara sebagai provinsi bahari yang kaya akan

potensi kelautan.

Sebagian besar wilayah Maluku Utara bergunung-gunung dan

berbukit-bukit yang terdiri dan pulau-pulau vulkanis dan pulau karang, sedangkan sebagian

lainnya merupakan dataran. Kondisi iklim di Maluku Utara dipengaruhi oleh

(37)

oleh lautan dan bervariasi antara tiap bagian wilayah yaitu iklim Halmahera Utara,

Halmahera Tengah, Halmahera Barat, Halmahera Selatan dan Kepulauan Sula.

Tabel 4.1. Luas Wilayah, Luas Wilayah Daratan dan Ibukota Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara Tahun 2009

Kabupaten/Kota Ibukota

Halmahera Barat (Halbar) Jailolo 14.235,66 2.612,24

Halmahera Tengah (Halteng) Weda 8.381,48 2.276,83

Kepulauan Sula (Kepsul) Sanana 24.082,30 9.632,92

Halmahera Selatan (Halsel) Labuha 40.263,72 8.779,32

Halmahera Utara (Halut)* Tobelo 24.983,32 5.447,30

Halmahera Timur (Haltim) Maba 14.202,02 6.506,20

Kota Ternate Ternate 5.795,40 250,85

Kota Tidore Kepulauan (Tikep) Soa Sio 13.857,20 9.564,00

Provinsi Maluku Utara

(Malut) Sofifi 145.801,10 45.069,66

*)Data masih tergabung dengan Kabupaten Pulau Morotai

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010.

4.1.2 Pemerintahan

Provinsi Maluku Utara secara resmi terbentuk pada tanggal 12 Oktober

1999 melalui Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi

Maluku Utara, Kabupaten Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Maluku

Utara beribukota di Desa Sofifi tetapi mengingat infrastruktur yang tersedia di

Desa Sofifi belum memadai, ibukota sementara berada di Kota Ternate. Namun

sejak tanggal 4 Agustus 2010 Ibukota Provinsi Maluku Utara dipindahkan

(38)

Pada awal terbentuk, Provinsi Maluku Utara hanya terdiri dari tiga

kabupaten/kota (dua kabupaten dan satu kota) yaitu Kabupaten Maluku Utara,

Kabupaten Halmahera Tengah serta Kota Ternate. Pada tahun 2003 Maluku Utara

terdiri dari delapan kabupaten/kota (enam kabupaten dan dua kota) melalui

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten

Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Halmahera Selatan,

Kabupaten Kepulauan Sula dan Kota Tidore Kepulauan di Provinsi Maluku Utara.

Sedangkan, Kabupaten Maluku Utara berubah nama menjadi Kabupaten

Halmahera Barat. Pada tahun 2008 terbentuk Kabupaten Pulau Morotai yang

merupakan pemekaran dari Kabupaten Halmahera Utara melalui UU No.53 Tahun

2008 tentang Pembentukan Kabupaten Pulau Morotai di Provinsi Maluku Utara.

Seiring dengan adanya pemekaran wilayah, saat ini Provinsi Maluku Utara

terdiri dari sembilan kabupaten/kota (tujuh kabupaten dan dua kota), yaitu

Kabupaten Halmahera Barat, Halmahera Tengah, Kepulauan Sula, Halmahera

Utara, Halmahera Selatan, Halmahera Timur, Pulau Morotai, Kota Ternate serta

Kota Tidore Kepulauan. Wilayah administratif Maluku Utara terbagi dalam 113

kecamatan dan 1.070 desa/kelurahan yang tersebar di sembilan kabupaten/kota.

4.1.3 Kependudukan

Dalam pembangunan, penduduk harus dijadikan sebagai titik sentral yaitu

sebagai subyek pembangunan dan sebagai obyek pembangunan. Sebagai subyek

pembangunan, penduduk merupakan motor penggerak bagi proses pembangunan,

(39)

sepenuhnya dinikmati oleh penduduk. Jumlah penduduk yang besar merupakan

modal pembangunan apabila penduduk tersebut berkualitas, sedangkan penduduk

yang besar tetapi tidak berkualitas justru akan menjadi beban bagi pembangunan.

Tabel 4.2. Jumlah Penduduk Provinsi Maluku Utara Menurut Kabupaten/Kota

(jiwa)

Kabupaten/Kota Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Halmahera Barat 95.662 96.205 96.724 97.424 97.971

Halmahera Tengah 33.159 33.289 33.410 34.410 34.821

Kepulauan Sula 128.437 128.781 129.090 129.871 130.290

Halmahera Selatan 175.966 180.383 184.860 188.156 192.312

Halmahera Utara 179.221 183.277 187.375 190.835 194.778

Halmahera Timur 58.763 61.774 64.922 66.965 69.912

Kota Ternate 162.247 164.385 166.506 170.016 172.604

Kota Tidore Kepulauan 80.671 81.040 81.389 81.921 82.302 Provinsi Maluku Utara 914.126 929.134 944.276 959.598 974.990

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010.

Jumlah penduduk di Provinsi Maluku Utara dari tahun 2005-2009 selalu

mengalami kenaikan di tiap tahunnya, hingga mencapai 974.990 jiwa di tahun

2009. Kenaikan penduduk juga terjadi di level kabupaten/kota.

Kabupaten Halmahera Utara merupakan kabupaten dengan penduduk

terbanyak yaitu 179.221 jiwa di tahun 2005 dan meningkat hingga mencapai

194.778 jiwa di tahun 2009. Kabupaten Halmahera Tengah hanya memiliki

jumlah penduduk 33.159 jiwa di tahun 2005 dan meningkat menjadi 34.821 jiwa

(40)

Tabel 4.3. Persentase Luas Wilayah Daratan, Persentase Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara Tahun 2009

Kabupaten/Kota Persentase Luas

Halmahera Selatan 19,48 19,72 21,91

Halmahera Utara 12,09 19,98 35,76

Halmahera Timur 14,44 7,17 10,75

Kota Ternate 0,56 17,70 688,08

Kota Tidore Kepulauan 21,22 8,44 8,61

Provinsi Maluku Utara 100,00 100,00 21,63

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010.

Persebaran penduduk antarkabupaten/kota di Provinsi Maluku Utara

terlihat belum merata. Kota Ternate yang hanya memiliki luas daratan 0,56 persen

dari seluruh luas daratan Maluku Utara, dihuni oleh 17,70 persen total penduduk

Maluku Utara. Hal ini dapat disebabkan karena Kota Ternate merupakan pusat

perekonomian di Maluku Utara, sehingga menjadikan Kota Ternate sebagai daya

tarik bagi penduduk di kabupaten lain untuk bermigrasi. Kepadatan penduduk di

Ternate mencapai 688 jiwa per km2, angka ini jauh di atas kabupaten/kota lain di

Maluku Utara (Tabel 4.3).

Kabupaten Halmahera Timur dengan 14,44 persen luas wilayah, hanya

dihuni oleh 7,17 persen total penduduk Maluku Utara. Kota Tidore Kepulauan

dengan 21,22 luas wilayah, hanya dihuni oleh 8,44 persen penduduk. Masalah

persebaran penduduk yang tidak merata harus menjadi perhatian pemerintah,

(41)

sosial seperti berkembangnya pemukiman kumuh, meningkatnya kriminalitas,

pengangguran dan sebagainya.

4.1.4 Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

PDRB merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan dalam

melihat kondisi perekonomian suatu wilayah. Total PDRB Maluku Utara baik

PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK)/PDRB Riil maupun PDRB Atas Dasar

Harga Berlaku (ADHB)/PDRB Nominal dari tahun 2005-2009 mengalami

kenaikan. PDRB Nominal Maluku Utara pada tahun 2009 mencapai 4,69 triliun

rupiah, sedangkan secara riil, dengan mengeluarkan pengaruh inflasi, PDRB

Maluku Utara sebesar 2,81 triliun rupiah (Gambar 4.1).

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010 (diolah).

Gambar 4.1. PDRB ADHB dan PDRB ADHK Provinsi Maluku Utara

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor

penyumbang PDRB terbesar, kemudian sektor perdagangan, hotel dan restoran,

(42)

Nominal sektor pertanian sebesar Rp.1,75 triliun, Sektor Perdagangan, Hotel dan

Restoran sebesar Rp. 1,07 triliun dan sektor industri pengolahan sebesar Rp. 611

miliar. PDRB Nominal ketiga sektor tersebut sebesar Rp.3,43 triliun dari total

PDRB Nominal Maluku Utara Rp.4,69 triliun.

Tabel 4.4. PDRB ADHB dan PDRB ADHK Provinsi Maluku Utara Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008-2009 (juta rupiah)

Lapangan Usaha PDRB ADHB PDRB ADHK

2008 2009 2008 2009

(1) (2) (3) (4) (5)

Pertanian 1.529.507,82 1.751.392,06 951.726,34 995.698,21 Pertambangan

dan Penggalian 194.451,94 238.896,18 126.936,22 117.186,04 Industri

Pengolahan 466.869,49 610.889,28 339.297,14 352.601,54

Listrik, Gas dan

Air Bersih 24.192,68 27.892,60 12.890,03 13.163,75

Konstruksi 89.106,85 127.754,71 47.166,48 50.798,65

Perdagangan, Hotel dan Restoran

844.473,54 1.069.036,19 668.172,70 733.421,84

Pengangkutan

dan Komunikasi 323.099,53 375.106,84 209.209,85 228.831,21 Keuangan,

Persewaan dan Jasa Perusahaan

131.359,79 173.305,68 92.465,28 101.673,46

Jasa-Jasa 259.181,49 316.294,19 203.243,71 218.071,07

TOTAL 3.862.243,13 4.690.567,72 2.651.107,75 2.811.445,78

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010 (diolah).

Laju pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara dari tahun 2005-2009 juga

menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Hanya saja pada tahun 2008 laju

pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara lebih lambat dari tahun sebelumnya

(Gambar 4.2). Hal ini disebabkan adanya krisis finansial di dunia yang

(43)

yang kurang kondusif pada tahun 2008, dapat diduga menjadi penyebab

penurunan laju pertumbuhan ekonomi.

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010 (diolah).

Gambar 4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Maluku Utara Tahun 2005-2009

4.1.5 Struktur Ekonomi

Struktur ekonomi ditunjukkan melalui peran setiap sektor terhadap total

PDRB. Peran tersebut mencerminkan kemampuan setiap sektor dalam

menciptakan barang dan jasa dalam rangka pembentukan nilai tambah. Informasi

ini penting bagi perencana pembangunan untuk mengetahui sektor-sektor

ekonomi yang menjadi penopang utama perekonomian Maluku Utara.

Tabel 4.5 menggambarkan bahwa dalam kurun waktu 2005-2009 struktur

perekonomian Maluku Utara masih didominasi tiga sektor besar yaitu sektor

pertanian dengan kontribusi rata-rata sebesar 38,10 persen per tahun, sektor

perdagangan hotel & restoran rata-rata sebesar 22,33 persen, dan sektor industri

pengolahan 13,21 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian

merupakan sektor andalan di Provinsi Maluku Utara. Sehingga seharusnya potensi

ini didukung dengan kebijakan pemerintah yang propertanian.

(44)

Tabel 4.5. Struktur Perekonomian Provinsi Maluku Utara (Persen)

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010 (diolah).

Bila dilihat tiap subsektor, sektor pertanian di Provinsi Maluku Utara

didukung sebesar 42 persen oleh subsektor perkebunan seperti coklat (kakao),

cengkeh, kelapa, pala dan sebagainya. Sedangkan sekitar 27 persen subsektor

tanaman bahan makanan, 17 persen perikanan. Subsektor kehutanan dan

peternakan masing-masing menyumbang sekitar 9 persen dan 5 persen terhadap

(45)

Tabel 4.6. Kontribusi Subsektor terhadap PDRB Sektor Pertanian Provinsi

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010 (diolah).

4.1.6 Kondisi Ketenagakerjaan

Jumlah pengangguran merupakan indikator penting dalam melihat kinerja

pembangunan suatu wilayah. Gambar 4.3. menunjukkan jumlah pengangguran di

Maluku Utara dari tahun 2005-2007 menunjukkan tren yang menurun yaitu 53,14

ribu jiwa ke 23,98 ribu jiwa. Namun, mulai tahun 2007-2009 kecenderungan

jumlah pengangguran maupun Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mengalami

peningkatan. Tingginya angka pengangguran pada tahun 2005 disebabkan PHK

besar-besaran perusahaan industri pengolahan (PT. Taiwi di Sidangoli) pada tahun

2005. Kenaikan angka pengangguran pada tahun 2008 diduga merupakan efek

kenaikan harga BBM pada bulan Mei 2008 serta kondisi pilkada pada tahun 2008

(46)

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010 (diolah).

Gambar 4.3. Jumlah Pengangguran dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi Maluku Utara

Pada tahun 2009, jumlah pengangguran di Maluku Utara sebesar 28,56

ribu jiwa sedangkan TPT sebesar 6,76 persen. Hal ini berarti dari seluruh

angkatan kerja di Maluku Utara masih ada 6,76 persen yang menganggur.

4.1.7 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan indikator penting untuk melihat kualitas

sumberdaya manusia di suatu wilayah. Tabel 4.7 menunjukkan indikator-indikator

tingkat pendidikan di Kabupaten/Kota di Maluku Utara pada tahun 2009.

Rata-rata lama sekolah di Maluku Utara pada tahun 2009 sebesar 8,61 tahun. Hal ini

berarti rata-rata penduduk Maluku Utara bersekolah sampai kelas 3 SMP. Bila

dilihat tiap kabupaten/kota, rata-rata lama sekolah tertinggi di Kota Ternate yaitu

10,80 tahun atau sekitar kelas 2 SMA. Rata-rata penduduk di Kota Tidore

Kepulauan dan Halmahera Tengah bersekolah sampai kelas 3 SMP, sedangkan

penduduk di lima kabupaten lainnya rata-rata bersekolah hanya sampai kelas 2

(47)

Tabel 4.7. Indikator-Indikator Pendidikan di Provinsi Maluku Utara Menurut

Penduduk 10 Tahun ke atas menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan (persen)

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010 (diolah).

Jumlah penduduk 10 tahun ke atas di Maluku Utara yang mampu

membaca dan menulis sebesar 95,74 persen. Angka melek huruf terbesar di Kota

Ternate (98,95 persen) dan Kota Tidore (98,04 persen). Kabupaten Halmahera

Barat dan Hamahera Timur memiliki angka melek huruf di bawah Provinsi

Maluku Utara yaitu masing-masing 95,31 persen dan 95,59 persen.

Jumlah penduduk menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan

merupakan indikator penting dalam menggambarkan mutu sumberdaya manusia

di suatu wilayah. Pada tahun 2009, jumlah penduduk 10 tahun ke atas di Maluku

(48)

persen, 20 persen lulus pendidikan menengah atas dan hanya 5,76 persen yang

tamat Perguruan Tinggi.

Kota Ternate memiliki kualitas pendidikan yang paling baik, dengan

jumlah lulusan SMA mencapai 43,92 persen dan lulusan Perguruan Tinggi

sebesar 13,98 persen. Demikian pula dengan Kota Tidore Kepulauan, penduduk

lulusan SMA sebesar 24,41 persen dan lulusan Perguruan Tinggi sebesar 9,83

persen. Sedangkan di kabupaten/kota lainnya persentase lulusan SMA dan

Perguruan Tinggi masih tergolong rendah. Hal ini mengindikasikan kurang

meratanya pembangunan sektor pendidikan di Maluku Utara.

4.2Gambaran Pola Kemiskinan di Provinsi Maluku Utara Tahun 2005-2009 4.2.1 Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Provinsi Maluku Utara

Perkembangan persentase penduduk miskin di Provinsi Maluku Utara dari

tahun 2005-2009 mengalami penurunan, yaitu 13,23 persen pada tahun 2005,

menurun menjadi 12,73 persen tahun 2006, hingga mencapai mencapai angka

10,34 persen pada tahun 2009. Demikian pula dengan jumlah penduduk miskin

yang mengalami penurunan dari 118,6 ribu jiwa pada tahun 2005 menjadi 99,10

ribu jiwa pada tahun 2009 (Gambar 4.4). Hal ini mengindikasikan adanya

(49)

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).

Gambar 4.4. Persentase dan Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Maluku Utara Tahun 2005-2009

Tabel 4.8 menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin di Maluku

Utara dari tahun 2005-2009 cukup bervariasi antarkabupaten/kota. Namun secara

umum dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Kota Ternate memiliki

persentase penduduk miskin yang paling rendah dengan tingkat pengurangan

persentase penduduk miskin rata-rata per tahun sebesar 3,4 persen. Kota Tidore

Kepulauan dan Kabupaten Halmahera Utara memiliki tingkat kemiskinan yang

relatif rendah pula. Kedua kabupaten/kota tersebut mampu menurunkan

persentase penduduk miskin lebih dari tujuh persen tiap tahun.

Kabupaten Halmahera Tengah memiliki persentase penduduk miskin

tertinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya yaitu di atas 25 persen.

Kabupaten Halmahera Timur juga memiliki persentase penduduk miskin rata-rata

di atas 20 persen. Namun, laju penurunan persentase penduduk miskin di kedua

kabupaten tersebut cukup tinggi yaitu 4,3 persen di Halmahera Tengah dan 5,4

persen di Halmahera Timur. Diharapkan upaya pengentasan kemiskinan di kedua

kabupaten tersebut dapat segera teratasi.

118,6 116,8

(50)

Tabel 4.8. Persentase Penduduk Miskin (HCI) Provinsi Maluku Utara Menurut Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).

Kabupaten Halmahera Barat, Halmahera Selatan dan Kepulauan Sula di

tahun 2005 memiliki tingkat kemiskinan yang cukup tinggi. Namun, laju

penurunan persentase penduduk miskin di Kabupaten Halmahera Selatan dan

Kepulauan Sula cukup tinggi, sehingga pada tahun 2009 kedua kabupaten tersebut

mampu menurunkan angka kemiskinan hingga tinggal sekitar 11 persen.

Kabupaten Halmahera Barat hanya mampu menurunkan tingkat kemiskinannya

rata-rata 3,8 persen tiap tahun, sehingga di tahun 2009 penduduk miskin di

Halmahera Barat masih 14,34 persen.

(51)

4.2.2 Perkembangan Tingkat Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan Provinsi Maluku Utara Tahun 2005-2009

Persoalan kemiskinan bukan hanya sekedar jumlah atau persentase

penduduk miskin. Namun, perlu dilihat tingkat kedalaman (poverty gap) dan keparahan kemiskinan (poverty severity). Selain memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan kemiskinan harus dapat mengurangi tingkat kedalaman dan

keparahan kemiskinan.

Indeks kedalaman kemiskinan (P1) menggambarkan rata-rata kesenjangan

pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan, Dengan kata lain,

Indeks Kedalaman Kemiskinan melihat seberapa miskin orang miskin itu.

Sedangkan indeks keparahan kemiskinan (P2) menggambarkan penyebaran

pengeluaran diantara penduduk miskin. Angka P1 dan P2 yang besar menunjukkan

buruknya kondisi kemiskinan di suatu wilayah.

Disaat persentase penduduk miskin di Maluku Utara yang mengalami

penurunan tiap tahunnya, hal ini tidak selalu diikuti dengan penurunan tingkat

kedalaman kemiskinan. Kedalaman kemiskinan di Maluku Utara dari tahun

2005-2009 tercatat cukup berfluktuasi. Hal ini mengindikasikan penurunan persentase

penduduk miskin secara jumlah tidak selalu diikuti dengan perbaikan kualitas

kehidupan penduduk miskin.

Gambar 4.5 menunjukkan tingkat kedalaman kemiskinan di Provinsi

Maluku Utara dari tahun 2005-2009 cukup berfluktuatif. Tingkat kedalaman

kemiskinan dari tahun 2005-2008 cenderung mengalami kenaikan, hanya pada

tahun 2006 sedikit menurun dari tahun sebelumnya. Kemudian pada tahun 2009

(52)

tahun 2005-2009 menunjukkan bahwa penduduk miskin makin mendekati garis

kemiskinannya.

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).

Gambar 4.5. Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Keparahan Kemiskinan Provinsi Maluku Utara Tahun 2005-2009

Tingkat keparahan kemiskinan dari tahun 2005-2009 menunjukkan

kecenderungan yang semakin meningkat dari 0,42 pada tahun 2005 menjadi 1,00

pada tahun 2009. Hal ini menunjukkan penurunan persentase penduduk miskin

justru diikuti dengan kesenjangan pendapatan antarpenduduk miskin yang makin

melebar.

4.2.2.1Perkembangan Tingkat Kedalaman Kemiskinan Kabupaten/Kota

Tingkat kedalaman kemiskinan dari tahun 2005-2009 tiap kabupaten/kota

mengalami kenaikan dan penurunan secara fluktuatif. Secara rata-rata

kabupaten/kota yang memiliki tingkat kedalaman kemiskinan tertinggi yaitu

Halmahera Tengah (6,38) dan Halmahera Timur (4,99). Hal ini berarti

kesenjangan antara pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan relatif

lebar. Dengan kata lain, jarak pendapatan orang miskin dengan batas pendapatan

(53)

minimal untuk hidup layak cukup jauh. Tentu hal ini mengindikasikan kondisi

kemiskinan yang buruk di kedua wilayah tersebut.

Tabel 4.9. Kedalaman Kemiskinan Provinsi Maluku Utara Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2005-2009

Kabupaten/Kota Tahun

Rata-rata Kedalaman Kemiskinan 2005 2006 2007 2008 2009

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Halmahera Barat 3,68 3,88 3,07 3,28 3,21 3,42

Halmahera Tengah 9,54 5,58 5,58 5,90 5,30 6,38

Kepulauan Sula 2,54 2,15 2,03 2,16 2,31 2,24

Halmahera Selatan 2,44 1,80 1,94 1,82 1,68 1,94

Halmahera Utara 1,97 1,19 1,08 2,04 1,41 1,54

Halmahera Timur 3,82 5,46 3,03 9,61 3,02 4,99

Kota Ternate 0,70 0,53 0,81 0,75 0,65 0,69

Kota Tidore Kepulauan 0,67 1,47 1,08 0,80 0,61 0,93

Provinsi Maluku Utara 2,04 2,01 2,23 2,47 1,93 2,14

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).

Kabupaten/kota yang memiliki rata-rata tingkat kedalaman kemiskinan

yang rendah yaitu Kota Ternate (0,69) dan Kota Tidore Kepulauan (0,93). Hal ini

menunjukkan kondisi orang miskin di Kota Ternate dan Kota Tidore Kepulauan

lebih baik dibandingkan dengan kondisi orang miskin di kabupaten/kota lainnya

(54)

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).

Gambar 4.6. Persentase Penduduk Miskin dan Indeks Kedalaman Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota Tahun 2009

Gambar 4.6 menunjukkan sebaran tingkat kemiskinan dan kedalaman

kemiskinan menurut kabupaten/kota tahun 2009. Kabupaten Halmahera Tengah,

Halmahera Timur, Halmahera Barat dan Kepulauan Sula memiliki tingkat

kemiskinan dan kedalaman kemiskinan di atas kemiskinan Provinsi Maluku

Utara. Hal ini menunjukkan buruknya kondisi kemiskinan di

kabupaten-kabupaten tersebut, dimana persentase orang miskin yang besar dan jarak

pendapatan orang miskin dengan pendapatan minimal agar tidak miskin relatif

jauh. Diperlukan upaya yang lebih keras untuk mengentaskan kemiskinan di

wilayah tersebut.

Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan, Kabupaten Halmahera Utara

memiliki kondisi kemiskinan yang cukup baik. Tingkat kemiskinan di wilayah

tersebut rendah dan kesenjangan pendapatan penduduk miskin dengan garis

kemiskinan rendah pula.

Kedalaman Kemiskinan (P1)

Gambar

Tabel 4.1. Luas Wilayah, Luas Wilayah Daratan dan Ibukota Kabupaten/Kota di
Tabel 4.2. Jumlah Penduduk Provinsi Maluku Utara Menurut Kabupaten/Kota
Tabel 4.3. Persentase Luas Wilayah Daratan, Persentase Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara Tahun 2009
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor
+7

Referensi

Dokumen terkait

students’ responses to the speaking class taught by using group discussion. Due to the constraint time, the study is limited to

Analisis konten juga menunjukkan bahwa data adalah kata kunci yang paling banyak ditemukan karena sejatinya log book terdiri dari beberapa jenis data seperti

The cost of land under development consists of the cost of land for development, direct and indirect real estate development costs and capitalized borrowing

Pendidikan karakter merupakan bentuk pendidikan yang mengedepankan nilai moral dan nilai keagamaan melalui berbagai aspek kehidupan mulai dari kesopanan serta

Faktor Penghambat partisipasi politik pemilih pemula dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah tahun 2015 di Desa Kendalrejo Kecamatan Durenan Kabupaten Trenggalek adalah

dilakukan dari waktu ke waktu pada sediaan yang disimpan pada temperatur ruang menunjukkan bahwa ketika radioaktivitas 99m Tc yang ditambahkan dalam kit kering kanamycin lebih

Hal-hal yang harus dicantumkan dalam tinjauan pustaka merupakan hal yang berkaitan dengan dasar teori yang berhubungan dengan kegiatan Kerja Praktik yang

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa: adanya pengaruh secara bersama-sama dari variabel persepsi resiko, variabel kualitas, variabel harga dan variabel nilai terhadap