1.1Latar Belakang
Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup
berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan
institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan
ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan
(Todaro dan Smith, 2006). Jadi, kinerja pembangunan bukan hanya diukur dari
pertumbuhan ekonomi saja, tetapi harus tetap mempertimbangkan penurunan
kemiskinan serta penanganan ketimpangan pendapatan.
Penanggulangan kemiskinan merupakan fokus perhatian semua negara di
dunia. Bahkan dari delapan butir Millenium Development Goals (MDGs) yang ditandatangani oleh 189 negara anggota PBB, memberantas kemiskinan dan
kelaparan merupakan butir pertama dari MDGs.
Komitmen semua bangsa di dunia untuk mengentaskan kemiskinan
dikokohkan kembali dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan
Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan, bulan September 2002.
Kesepakatan tersebut dituangkan dalam dokumen "Rencana Pelaksanaan KTT
Pembangunan Berkelanjutan", yang ditandatangani oleh para kepala
negara/pemerintahan dari 165 negara yang hadir dalam KTT tersebut, termasuk
Indonesia. Hal ini menunjukkan komitmen Negara Indonesia untuk memberantas
Perhatian pemerintah Indonesia terhadap kemiskinan dituangkan di dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009.
Penurunan jumlah kemiskinan hingga 8,2 persen pada tahun 2009 merupakan
salah satu sasaran pertama dalam hal agenda pemerintah meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Bahkan untuk mencapai sasaran tersebut pemerintah
merumuskan prioritas pembangunan nasional 2004–2009 adalah penanggulangan kemiskinan dengan kebijakan yang diarahkan untuk menghormati, melindungi
dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin.
Provinsi Maluku Utara merupakan salah satu contoh daerah yang masih
menghadapi permasalahan dalam penanggulangan kemiskinan. Setelah
memisahkan diri dari Provinsi Maluku di tahun 1999, provinsi ini masih
menempati peringkat ke 29 dari 33 provinsi di Indonesia dalam hal pencapaian
pembangunan manusia. Provinsi Maluku Utara juga masih harus menghadapi
penduduk miskin sebesar 99,10 ribu jiwa atau 10,34 persen dari total
penduduknya.
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).
Perkembangan tingkat kemiskinan di Provinsi Maluku Utara dari tahun
2005-2009 memiliki tren yang menurun. Namun jika ditinjau secara spasial,
pencapaian penanggulangan kemiskinan cukup bervariasi. Terdapat
kabupaten/kota yang memiliki persentase penduduk miskin yang masih tinggi
seperti Kabupaten Halmahera Tengah, Kabupaten Halmahera Timur dan
Halmahera Barat. Kabupaten/kota lain seperti Kota Ternate, Kota Tidore
Kepulauan dan Halmahera Utara memiliki persentase penduduk miskin yang
relatif rendah (Tabel 1.1).
Tabel 1.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara Tahun 2009
Provinsi Maluku Utara 99,10 10,34
*Tergabung dengan Kabupaten Pulau Morotai
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).
1.2 Perumusan Masalah
Penanggulangan kemiskinan merupakan permasalahan kompleks yang
dihadapi oleh seluruh negara terutama negara sedang berkembang termasuk
Indonesia. Provinsi Maluku Utara sebagai provinsi yang baru terbentuk di tahun
pembangunan yang berjalan benar-benar dapat memberikan manfaat secara
optimal di segala bidang. Pada tahun 2009 Provinsi Maluku Utara masih harus
menghadapi kemiskinan 99,10 ribu jiwa atau 10,34 persen dari total
penduduknya. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa target penurunan kemiskinan
hingga 8,2 persen pada tahun 2009 masih belum tercapai.
Pencapaian penanggulangan kemiskinan menurut kabupaten/kota di
Maluku Utara masih belum merata. Pada tahun 2009, tiga kabupaten/kota
memiliki persentase penduduk miskin tergolong rendah yaitu Kota Ternate, Kota
Tidore Kepulauan dan Kabupaten Halmahera Utara. Sedangkan kabupaten/kota
lainnya masih relatif tinggi. Bahkan, Kabupaten Halmahera Tengah dan
Halmahera Timur persentase penduduk miskinnya tergolong sangat tinggi.
Identifikasi pola maupun faktor penyebab kemiskinan merupakan salah satu
informasi penting yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk mendukung
program pengurangan kemiskinan.
Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pola kemiskinan (persentase penduduk miskin, tingkat kedalaman
kemiskinan dan keparahan kemiskinan) antarkabupaten/kota dan antarwaktu
di Provinsi Maluku Utara selama tahun 2005-2009?
2. Apakah faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi
1.3Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah:
1. Memberi gambaran pola kemiskinan (persentase penduduk miskin, tingkat
kedalaman dan keparahan kemiskinan) antarkabupaten/kota dan antarwaktu
di Provinsi Maluku Utara tahun 2005-2009.
2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi
Maluku Utara tahun 2005 - 2009.
1.4Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Memberi masukkan bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang tepat
untuk mengurangi kemiskinan dari Provinsi Maluku Utara.
2. Menjadi bahan acuan dan referensi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih
lanjut dan lebih mendalam tentang kemiskinan.
1.5Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penelitian hanya dibatasi di Provinsi Maluku
Utara. Karena keterbatasan ketersediaan data dan adanya pemekaran wilayah,
series penelitian dari tahun 2005-2009. Jumlah kabupaten/kota yang diteliti
sebanyak 6 kabupaten dan 2 kota, yaitu: Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten
Halmahera Tengah, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Halmahera Selatan,
Halmahera Utara, Halmahera Timur, Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan.
Sedangkan Kabupaten Pulau Morotai masih tergabung dengan kabupaten
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Kemiskinan
Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak
mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang bermartabat (Bappenas, 2004). Hak-hak dasar
antara lain (a) terpenuhinya kebutuhan pangan, (b) kesehatan, pendidikan,
pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan
hidup, (c) rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, (d) hak untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik (BPS, 2009).
2.1.2 Jenis-jenis Kemiskinan 2.1.2.1Kemiskinan Relatif
Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan
pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat
sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum
disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian
terfokus pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya 20 persen atau 40 persen
lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut
Dengan menggunakan definisi ini berarti “orang miskin selalu hadir bersama kita”
(BPS, 2009).
Negara yang lebih kaya (sejahtera), cenderung merevisi garis
kemiskinannya menjadi lebih tinggi, dengan pengecualian Amerika Serikat,
dimana garis kemiskinan pada dasarnya tidak berubah selama hampir empat
dekade. Misalnya, Uni Eropa umumnya mendefinisikan penduduk miskin adalah
mereka yang mempunyai pendapatan per kapita di bawah 50 persen dari median
(rata-rata) pendapatan. Ketika median/rata-rata pendapatan meningkat, garis
kemiskinan relatif juga meningkat (BPS, 2009). Jadi, garis kemiskinan relatif
tidak dapat digunakan untuk membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara,
karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama.
2.1.2.2Kemiskinan Absolut
Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk
mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan,
perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.
Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk
uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah
garis kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan
digolongkan sebagai penduduk miskin (BPS, 2009).
Garis kemiskinan absolut tidak berubah dalam hal standar hidup. Sehingga
dengan garis kemiskinan absolut dapat membandingkan tingkat kemiskinan
Bank dunia menghitung garis kemiskinan absolut dengan menggunakan
pengeluaran konsumsi yang dikonversi ke dalam US$ PPP (Purchasing Power Parity/Paritas Daya Beli), bukan nilai tukar US$ resmi. Tujuannya untuk membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara. Angka konversi PPP
menunjukkan banyaknya rupiah yang harus dikeluarkan untuk membeli sejumlah
kebutuhan barang dan jasa dimana jumlah yang sama tersebut dapat dibeli seharga
US$1 di Amerika. Angka konversi ini dihitung berdasarkan harga dan kuantitas di
masing-masing negara yang dikumpulkan dalam suatu survey yang biasanya
dilakukan setiap lima tahun sekali. Pada umumnya ada dua ukuran yang
digunakan oleh Bank Dunia, yaitu: a) US$ 1 PPP per kapita per hari; b) US$ 2
PPP per kapita per hari. Ukuran tersebut sekarang direvisi menjadi US$ 1,25 PPP
dan US$ 2 PPP per kapita per hari (BPS, 2009).
Pendapatan per kapita yang tinggi tidak menunjukkan rendahnya
kemiskinan absolut. Hal ini disebabkan bagian pendapatan yang diterima oleh
kelompok penduduk paling miskin tidak sama antarwilayah.
2.1.3 Pendekatan dalam Pengukuran Kemiskinan
Badan Pusat Statistik (BPS) dalam mengukur kemiskinan menggunakan
konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Kebutuhan dasar ini merupakan kebutuhan minimum seseorang dapat hidup
dengan layak.
Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan
yang diukur dari sisi pengeluaran. Jika rata-rata pengeluaran per kapita suatu
penduduk di bawah garis kemiskinan maka disebut penduduk miskin. Penentuan
indikator yang dapat dijadikan acuan kebutuhan dasar bersifat subyektif karena
dipengaruhi oleh adat, budaya, daerah dan kelompok sosial. Pengukuran
kemiskinan dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar
(basic needs approach) tidak hanya digunakan oleh BPS, tetapi juga oleh negara-negara lain seperti Armenia, Senegal, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Sierra
Leone dan Gambia (BPS, 2007).
Menurut BPS (2009), komponen kebutuhan dasar terdiri dari pangan dan
bukan pangan yang disusun menurut daerah perkotaan dan perdesaan berdasarkan
hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Indikator kebutuhan
minimum untuk masing-masing komponen tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut :
a. Pangan, dinyatakan dengan kebutuhan gizi minimum yaitu perkiraan kalori dan
protein.
b. Sandang, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan
pakaian, alas kaki, dan tutup kepala.
c. Perumahan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk sewa
rumah, listrik, minyak tanah, kayu bakar, arang, dan air.
d. Pendidikan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan
biaya sekolah (uang sekolah, iuran sekolah, alat tulis, dan buku).
e. Kesehatan, dinyatakan dengan Indikator pegeluaran rata-rata untuk penyediaan
2.1.4 Garis Kemiskinan
Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran
per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan (GK). Metode yang digunakan
untuk menghitung Garis Kemiskinan (GK) terdiri dari dua komponen yaitu Garis
Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Nonmakanan (GKNM).
Penghitungan garis kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan
dan perdesaan.
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah nilai pengeluaran kebutuhan
minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilokalori per kapita per hari.
Patokan ini mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi 1978. Paket
komoditi kebutuhan dasar makanan mewakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian,
umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan,
buah-buahan, minyak dan lemak, dan lain-lain). Ke-52 komoditi ini merupakan
komoditi yang paling banyak dikonsumsi oleh orang miskin. Jumlah pengeluaran
untuk 52 komoditi ini sekitar 70 persen dari total pengeluaran orang miskin.
Garis Kemiskinan Nonmakanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum
untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan
dasar nonmakanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis
Formula dasar dalam penghitungan Garis Kemiskinan Makanan (GKM)
= Rata-rata kuantitas komoditi k yang dikonsumsi di daerah j, provinsi p
= Nilai pengeluaran untuk konsumsi komoditi k di daerah j provinsi p
j = Daerah (perkotaan atau perdesaan)
p = Provinsi ke-p
Selanjutnya GKM tersebut disetarakan dengan 2100 kilokalori dengan
mengalikan 2100 terhadap harga implisit rata-rata kalori menurut daerah j dari
penduduk referensi, sehingga:
menghasilkan energi setara dengan 2100 kilokalori per kapita per hari
Formula dasar Garis Kemiskinan Nonmakanan (GKNM) adalah sebagai
berikut :
(2.3)
Dimana :
= Pengeluaran minimum nonmakanan atau garis kemiskinan nonmakanan daerah j (kota/desa) dan provinsi p
= Rasio pengeluaran komoditi/subkelompok nonmakanan k menurut daerah (hasil SPKKD 2004) dan daerah j (kota+desa)
= Nilai pengeluaran perkomoditi/subkelompok nonmakanan daerah j dan provinsi p (dari Susenas modul konsumsi)
k = Jenis komoditi nonmakanan terpilih
2.1.5 Indikator Kemiskinan
Berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar, ada tiga indikator dasar
kemiskinan yang digunakan :
1. Head Count Index (HCI-P0) yaitu persentase penduduk yang berada di
bawah garis kemiskinan.
2. Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) merupakan ukuran
rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin
terhadap garis kemiskinan. Indeks Kedalaman Kemiskinan melihat
seberapa miskin orang miskin itu. Semakin tinggi nilai Indeks Kedalaman
Kemiskinan, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk miskin dari
3. Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2) memberikan
gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin.
Semakin tinggi nilai indeks keparahan kemiskinan menunjukkan semakin
tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.
Angka P1 dan P2 yang besar menunjukkan buruknya kondisi kemiskinan di
suatu wilayah.
Foster-Greer-Thorbecke (1984) dalam BPS (2007) telah merumuskan suatu ukuran yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan, yaitu :
(2.4)
Dimana :
= 0,1,2
= Garis Kemiskinan
= Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada
di bawah garis kemiskinan (i=1,2,…,q)
= Jumlah penduduk
Jika α = 0, diperoleh Head Count Index (P0), jika α = 1 diperoleh Indeks
Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) dan jika α = 2 diperoleh Indeks
Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2).
2.1.6 Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses peningkatan kapasitas
sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional
yang semakin lama semakin besar (Todaro dan Smith, 2006). Pertumbuhan
ekonomi merupakan perubahan nilai PDB (Produk Domestik Bruto) riil
antarwaktu. Sehingga laju pertumbuhan PDB riil (PDB atas dasar harga konstan)
yang berikutnya dijadikan indikator pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. PDB
menyatakan pendapatan total atau pengeluaran total nasional atas output barang
dan jasa (Mankiw, 2006).
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menimbulkan efek
meretas ke bawah (tricke down effect). Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan merangsang penciptaan lapangan pekerjaan sehingga mampu mengurangi
pengangguran, kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Namun
proses trickle down effect ini tidak akan terjadi dengan baik apabila pertumbuhan ekonomi tidak didorong oleh sektor-sektor yang padat karya atau sektor-sektor
dimana orang miskin berada seperti sektor pertanian.
Penelitian yang dilakukan Prasetyo (2010), menemukan bahwa terdapat
hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan.
Kenaikan pertumbuhan ekonomi akan menurunkan tingkat kemiskinan. Hubungan
ini menunjukkan pentingnya mempercepat pertumbuhan ekonomi untuk
menurunkan tingkat kemiskinan.
Ravallion (2006) dalam penelitiannya tentang pengaruh pertumbuhan dan
ketimpangan terhadap kemiskinan di China dan India tahun 1980-2000
menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap pengentasan
menghambat pengentasan kemiskinan. Penelitian yang dilakukan Siregar dan
Wahyuniarti (2007) menyimpulkan bahwa pertumbuhan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap penurunan kemiskinan, namun magnitude pengaruh tersebut
relatif tidak besar.
2.1.7 Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan investasi bagi pembentukan modal manusia yang
berkualitas. Pendidikan akan memudahkan seseorang untuk menyerap teknologi
modern sehingga dapat meningkatkan produktivitas yang bermanfaat bagi
pembangunan.
Investasi pendidikan akan mampu meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia yang diperlihatkan oleh meningkatnya pengetahuan dan keterampilan
seseorang. Peningkatan pengetahuan dan keahlian akan mendorong peningkatan
produktivitas kerja seseorang. Perusahaan akan memperoleh hasil yang lebih
banyak dengan mempekerjakan tenaga kerja dengan produktivitas yang lebih
tinggi, sehingga perusahaan akan bersedia memberikan upah/gaji yang lebih
tinggi kepada yang bersangkutan. Pada akhirnya seseorang yang memiliki
produktivitas yang tinggi akan memperoleh kesejahteraan yang lebih baik, yang
dapat diperlihatkan melalui peningkatan pendapatan maupun konsumsinya.
Rendahnya produktivitas tenaga kerja kaum miskin dapat disebabkan oleh karena
rendahnya akses mereka untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan (Sitepu dan
Siregar dan Wahyuniarti (2007) dalam penelitiannya tenang kemiskinan
di Indonesia menyimpulkan bahwa pendidikan merupakan variabel yang
signifikan terhadap penurunan kemiskinan. Pengaruh tingkat pendidikan relatif
besar terhadap penurunan kemiskinan.
2.1.8 Share PDRB sektor pertanian
Siregar dan Wahyuniarti (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi
merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan kemiskinan. Adapun syarat kecukupannya (sufficient condition) ialah pertumbuhan tersebut hendaklah menyebar di setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan
penduduk miskin (growth in equity). Secara langsung, hal ini berarti pertumbuhan itu perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor dimana penduduk miskin bekerja
(pertanian atau sektor padat karya). Secara tidak langsung, diperlukan pemerintah
yang cukup efektif meredistribusi manfaat pertumbuhan yang boleh jadi
didapatkan dari sektor modern seperti jasa dan manufaktur yang padat modal ke
golongan penduduk miskin.
Suselo dan Tarsidin (2008) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa
sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan tidak saja merupakan sektor usaha
yang paling tinggi tingkat kemiskinannya, tapi juga mempunyai elastisitas
kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi paling tinggi. Di samping itu
mengurangi kemiskinan adalah dengan memberikan perhatian lebih pada sektor
pertanian, perkebunan, dan perikanan.
2.1.9 Pengangguran
Pengangguran adalah mereka yang sedang mencari pekerjaan, yang
mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak
mungkin mendapatkan pekerjaan (sebelumnya dikategorikan sebagai bukan
angkatan kerja), dan yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja
(sebelumnya dikategorikan sebagai bekerja), dan pada waktu bersamaan mereka
tidak bekerja. Penganggur dengan konsep/definisi tersebut biasanya disebut
sebagai pengangguran terbuka (BPS, 2007) . Selain pengangguran terbuka ada
istilah setengah pengangguran, yaitu penduduk yang bekerja kurang dari jam
normal (35 jam seminggu), tidak termasuk yang sementara tidak bekerja.
BPS (2009) dalam publikasi analisis kemiskinan, ketenagakerjaan dan
distribusi pendapatan menyebutkan bahwa pengangguran dilihat dari penyebabnya
dikelompokkan menjadi beberapa jenis:
a. Pengangguran struktural yaitu pengangguran yang terjadi karena adanaya
perubahan dalam struktur perekonomian. Penduduk tidak mempunyai
keahlian yang cukup untuk memasuki sektor baru sehingga mereka
menganggur. Contoh: para petani kehilangan pekerjaan karena daerahnya
b. Pengangguran siklus yaitu pengangguran yang terjadi karena menurunnya
kegiatan perekonomian (misal terjadi resesi) sehingga menyebabkan
berkurangnya permintaan masyarakat (agregat demand).
c. Pengangguran musiman adalah pengangguran yang terjadi karena adanya
pergantian musim misalnya pergantian musim tanam ke musim panen.
d. Pengangguran friksional yaitu pengangguran yang muncul akibat adanya
ketidaksesuaian antara pemberi kerja dan pencari kerja.
e. Pengangguran teknologi yaitu pengangguran yang terjadi karena adanya
penggunaan alat-alat teknologi yang semakin modern menggantikan
tenaga kerja manusia.
Indikator pengangguran terbuka yang digunakan oleh BPS adalah Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT).
(2.5)
Menurut Tambunan (2001), pengangguran dapat mempengaruhi tingkat
kemiskinan dengan berbagai cara, antara lain:
1. Jika rumah tangga memiliki batasan likuiditas, yang berarti bahwa
konsumsi saat ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan saat ini, maka
bencana pengangguran akan secara langsung mempengaruhi income poverty rate dengan consumption poverty rate.
2. Jika rumah tangga tidak menghadapi batasan likuiditas, yang berarti bahwa
konsumsi saat ini tidak terlalu dipengaruhi oleh pendapatan saat ini, maka
dalam jangka panjang, tetapi tidak terlalu berpengaruh dalam jangka
pendek.
Munandar, Kurniawan dan Santoso (2007) dalam BPS (2009) yang melakukan penelitian berdasarkan estimasi perilaku siklikal (cyclical behaviour) kemiskinan dan pengangguran, menyimpulkan bahwa tingkat kemiskinan turun
jika pengangguran turun. Dalam jangka pendek (satu tahun) terdapat hubungan
positif yang signifikan antara perubahan tingkat pengangguran dengan perubahan
tingkat kemiskinan, yaitu one-to-one mapping antara penurunan pengangguran dengan membaiknya tingkat kemiskinan.
Prasetyo (2010) dalam penelitiannya tentang kemiskinan di Propinsi Jawa
Tengah tahun 2003-2007 menyimpulkan bahwa terhadap terdapat hubungan
positif antara tingkat pengangguran dengan tingkat kemiskinan di Jawa Tengah.
Penurunan pengangguran berpengaruh positif terhadap penurunan kemiskinan
atau sebaliknya. Hudayana (2009) dalam penelitiannya tentang kemiskinan di
Indonesia menemukan bahwa pengangguran memiliki pengaruh yang positif
terhadap tingkat kemiskinan.
2.2Penelitian-Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang kemiskinan telah banyak dilakukan, Wijayanto (2010)
dan pengangguran memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap tingkat
kemiskinan.
Penelitian yang dilakukan oleh Siregar dan Wahyuniarti (2007) dengan
judul “Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk
Miskin”. Tulisannya menganalisis tentang pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia dengan analisis deskriptif dan model
regresi panel data yaitu time series 1995-2005 dan cross section 26 Provinsi (sebelum pemekaran-pemekaran dan setelah disintegrasi Timur-Timur)
menghasilkan kesimpulan bahwa :
1. Pertumbuhan berpengaruh signifikan dalam mengurangi kemiskinan,
namun magnitude pengaruh tersebut relatif tidak besar.
2. Inflasi maupun populasi penduduk juga berpengaruh signifikan terhadap
kemiskinan, namun besaran pengaruh masing-masingnya relatif kecil.
3. Peningkatan share sektor pertanian dan share sektor industri juga signifikan mengurangi jumlah kemiskinan.
4. Variabel yang signifikan dan relatif paling besar pengaruhnya terhadap
penurunan kemiskinan ialah pendidikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo (2010) dengan judul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan (Studi Kasus di 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2003-2007) menggunakan alat analisis regresi data panel menyimpulkan bahwa tingkat kemiskinan di Jawa Tengah
dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, upah minimum, pendidikan dan
BPS (2009) dalam penelitiannya tentang kemiskinan di Indonesia tahun
2002-2007 dengan menggunakan alat regresi data panel, menghasilkan
kesimpulan bahwa:
1. PDRB dan Rasio Pengeluaran Nonmakanan mempunyai hubungan terbalik
dengan kemiskinan.
2. Gini Rasio, Tingkat Pengangguran Terbuka dan Indeks Harga Konsumen
Makanan mempunyai hubungan searah dengan tingkat kemiskinan.
Suselo dan Tarsidin (2008) dalam penelitiannya tentang pengaruh
pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi terhadap kemiskinan di Indonesia
menyimpulkan bahwa sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan tidak saja
merupakan sektor usaha yang paling tinggi tingkat kemiskinannya, tapi juga
mempunyai elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi paling tinggi.
Di samping itu, penurunan share sektor usaha tersebut juga turut memperburuk tingkat kemiskinan Indonesia. Dengan demikian, langkah yang paling tepat untuk
mengurangi kemiskinan adalah dengan memberikan perhatian lebih pada sektor
pertanian, perkebunan,dan perikanan.
Hudayana (2009) dalam penelitiannya tentang faktor-faktor yang
memengaruhi tingkat kemiskinan di Indonesia menyimpulkan bahwa faktor-faktor
yang memengaruhi secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan adalah tingkat
2.3 Kerangka Pemikiran
Kerangka penulisan dalam penelitian ini digambarkan dalam bentuk
diagram alur sebagai berikut:
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
Kemiskinan di Maluku Utara
Analisis Deskriptif
Gambaran Pola Kemiskinan
Persentase Penduduk Miskin Jumlah Penduduk Miskin Tingkat Kedalaman Kemiskinan Tingkat keparahan Kemiskinan
Analisis Regresi Data Panel
Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Kemiskinan
Pertumbuhan Ekonomi Tingkat Pendidikan Share PDRB pertanian Pengangguran
2.4Hipotesis
Dengan mengacu pada kerangka pemikiran dan berdasarkan studi empiris
terdahulu yang berkaitan dengan kemiskinan, maka akan diajukan hipotesis
sebagai berikut :
1. Diduga pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh negatif terhadap
tingkat kemiskinan di Maluku Utara.
2. Diduga tingkat pendidikan mempunyai pengaruh negatif terhadap tingkat
kemiskinan di Maluku Utara.
3. Diduga peningkatan share PDRB sektor pertanian mempunyai pengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Maluku Utara.
4. Diduga pengangguran mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat
3.1 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
berasal dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia dan BPS Provinsi Maluku
Utara. Series data yang digunakan dari tahun 2005-2009.
Sumber data yang digunakan BPS untuk mendapatkan angka kemiskinan
yaitu melalui SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional), sebagai
tambahannya digunakan hasil survey SPKKD (Survei Paket Komoditi Kebutuhan
Dasar) untuk memperkirakan proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditi
pokok nonmakanan.
3.2 Metode Analisis
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan analisis regresi data
panel. Pengolahan data menggunakan software Microsoft Excel 2007 dan EViews 6.0.
3.2.1 Analisis Desktiptif
Analisis Deskriptif merupakan analisis sederhana dari suatu sebaran data
dengan penyajian dalam bentuk tabulasi dan grafik/gambar. Analisis deskriptif
dalam penelitian ini digunakan untuk menggambarkan pola kemiskinan (persentase
antarkabupaten/kota dan antarwaktu di Provinsi Maluku Utara. Selain itu, analisis
deskriptif dalam penelitian juga digunakan sebagai pendukung untuk menambah
dan mempertajam analisis inferensia.
3.2.2 Analisis Regresi Data Panel
Data panel merupakan kombinasi data cross section dengan time series. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel (total jumlah observasi = N x T). Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut
unbalanced panel.
Menurut Gujarati (2004), keunggulan penggunaan data panel memberikan
banyak keuntungan diantaranya sebagai berikut:
1. Data panel mampu menyediakan data yang lebih banyak, sehingga dapat
memberikan informasi yang lebih lengkap. Sehingga diperoleh degree of freedom (df) yang lebih besar sehingga estimasi yang dihasilkan lebih baik. 2. Dengan menggabungkan informasi dari data time series dan cross section
dapat mengatasi masalah yang timbul karena ada masalah penghilangan
variabel (omitted variable).
3. Data panel mampu mengurangi kolinearitas antarvariabel.
4. Data panel lebih baik dalam mendeteksi dan mengukur efek yang secara
5. Dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks. Sebagai
contoh, fenomena seperti skala ekonomi dan perubahan teknologi.
6. Data panel dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregat individu,
karena data yang diobservasi lebih banyak.
Analisis regresi data panel memiliki tiga macam model yaitu : model Common Effect, Fixed Effect dan Random Effect.
3.2.2.1Common Effect Model
Model Common Effect merupakan model sederhana yaitu menggabungkan seluruh data time series dengan cross section, selanjutnya dilakukan estimasi model dengan menggunakan OLS (Ordinary Least Square). Model ini menganggap bahwa intersep dan slop dari setiap variabel sama untuk setiap obyek
observasi. Dengan kata lain, hasil regresi ini dianggap berlaku untuk semua
kabupaten/kota pada semua waktu. Kelemahan model ini adalah ketidakseuaian
model dengan keadaan sebenarnya. Kondisi tiap obyek dapat berbeda dan kondisi
suatu obyek satu waktu dengan waktu yang lain dapat berbeda. Model Common Effect dapat diformulasikan sebagai berikut :
(3.1)
Dimana :
= variabel dependen di waktu t untuk unit cross section i = intersep
= variabel bebas j di waktu t untuk unit cross section i = komponen error di waktu t untuk unit cross section i i = urutan kabupaten/kota yang diobservasi (cross section) t = periode waktu (time series)
j = urutan variabel
3.2.2.2Fixed Effect Model (FEM)
Model data panel dengan Fixed Effects Model (FEM) mengasumsikan bahwa perbedaan mendasar antarindividu dapat diakomodasikan melalui
perbedaan intersepnya, namun intersep antarwaktu sama (time invariant). Fixed effect maksudnya bahwa koefisien regresi (slope) tetap antarindividu dan antarwaktu.
Intersep setiap individu merupakan parameter yang tidak diketahui dan akan
diestimasi. Pada umumnya dengan memasukkan variabel boneka (dummy variable), sehingga FEM sering disebut dengan Least Square Dummy Variable
(LSDV).
(3.2)
= variabel terikat di waktu t untuk unit cross section i = intersep yang berubah-ubah antar-cross section unit
= parameter untuk variabel ke-j
= komponen error di waktu t untuk unit cross section i
3.2.2.3Random Effect Model (REM)
Random Effect Model (REM) digunakan untuk mengatasi kelemahan model efek tetap yang menggunakan dummy variable, sehingga model mengalami ketidakpastian. Penggunaan dummy variable akan mengurangi derajat bebas (degree of freedom) yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. REM menggunakan residual yang diduga memiliki hubungan
antawaktu dan antarindividu. Sehingga REM mengasumsikan bahwa setiap
individu memiliki perbedaan intersep yang merupakan variabel random.
Model REM secara umum dituliskan sebagai berikut:
(3.3)
(3.4)
merupakan komponen cross-section error (3.5)
merupakan komponen time series error (3.6)
merupakan time series dan cross section error (3.7)
3.2.3 Metode Pemilihan Model
Keputusan untuk memilih jenis model yang digunakan dalam analisis
panel didasarkan pada dua uji, yakni uji Chow dan uji Hausman. Uji Chow
Prosedur kedua uji adalah sebagai berikut:
1. Uji Chow (Uji Common Effect dengan Fixed Effect)
Hipotesis : H0 : α1 = α2= … = αi (intercept sama)
H1 : sekurang-kurangnya ada 1 intercept yang berbeda
Statistik Uji:
(3.8)
Keputusan : Tolak H0 jika atau jika nilai Probability< α.
Kesimpulan : Jika H0 ditolak maka Model Fixed Effect lebih baik daripada Common Effect
2. Uji Hausman (Uji Fixed Effect dengan Random Effect)
Hipotesis : H0 : E(τi | xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat
H1 : E(τi | xit) ≠ 0 atau FEM adalah model yang tepat
Statistik uji yang digunakan adalah uji Hausman dan keputusan menolak H0
dilakukan dengan membandingkannya dengan Chi square. Jika nilai
maka H0 ditolak sehingga model yang digunakan adalah Fixed Effect,
sebaliknya jika penolakan H0 tidak signifikan maka yang digunakan adalah
3.2.4 Pengujian Asumsi 3.2.4.1Asumsi Normalitas
Pengujian asumsi normalitas dilakukan untuk melihat apakah error term
mengikuti distribusi normal. Jika asumsi tidak terpenuhi maka prosedur pengujian
menggunakan uji-t menjadi tidak sah. Pengujian dilakukan dengan uji Jarque Bera atau dengan melihat plot dari sisaan.
Hipotesis dalam pengujian adalah
H0 : error term mengikuti distribusi normal
H1 : error term tidak mengikuti distribusi normal.
Keputusan diambil dengan membandingkan nilai probabilitas Jarque Bera
dengan taraf nyata α=0,05. Jika nilai probabilitas Jarque Bera lebih dari α=0,05
maka dapat disimpulkan bahwa error term terdistribusi dengan normal.
3.2.4.2Asumsi Homoskedastisitas
Heteroskedastisitas berarti bahwa variasi residual tidak sama untuk semua
pengamatan. Heteroskedastisitas bertentangan dengan salah satu asumsi dasar
regresi homoskedastisitas yaitu variasi residual sama untuk semua pengamatan.
Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dalam model dilakukan
heteroskedastisitas. Untuk mengatasi masalah heteroskedastisitas, dilakukan
dengan mengestimasi GLS menggunakan white-heteroscedasticity
3.2.4.3Asumsi Autokorelasi
Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu
variabel atau korelasi antar error masa yang lalu dengan error masa sekarang. Metode untuk mendeteksi adanya korelasi serial dilakukan dengan dengan
membandingkan nilai Durbin Watson (DW) dari penghitungan dengan nilai DW tabel.
jika 0 < DW < dL maka terdapat korelasi serial negatif
jika 4-dU < DW < 4-dL atau dL < DW < dU maka hasil tidak dapat
disimpulkan
jika dU < DW < 4-dU maka tidak ada autokorelasi
jika 4-dL < DW < 4 maka ada korelasi serial positif.
3.2.4.4Uji Multikolinieritas
Model yang dipilih harus terbebas dari multikolinieritas atau dapat
dikatakan bahwa tidak ada korelasi tinggi antara variabel-variabel independen.
Multikolinieritas dapat dilihat dari koefisien korelasi. Bila koefisien korelasi lebih
kecil dari 0,8 maka tidak terjadi multikolinieritas.
Indikasi multikolinearitas juga tercermin dengan melihat hasil t dan
F-statistik hasil regresi. Jika banyak koefisien parameter dari t-F-statistik diduga tidak
multikolinearitas. Multikolinearitas dapat diatasi dengan menghilangkan variabel
yang tidak signifikan.
3.2.5 Pengujian Parameter Model
Pengujian parameter model bertujuan untuk mengetahui kelayakan model
dan apakah koefisien yang diestimasi telah sesuai dengan teori atau hipotesis.
Pengujian ini meliputi koefisien determinasi (R2), uji koefisien regresi parsial (uji
t) dan uji koefisien regresi secara menyeluruh (F-test/uji F).
3.2.5.1Uji-F
Uji-F digunakan untuk melakukan uji hipotesis koefisien (slope) regresi secara menyeluruh/bersamaan. Uji-F memperlihatkan ada tidaknya pengaruh
variabel independen terhadap variabel dependen secara bersama-sama. Hipotesis
dalam uji-F adalah :
Ho: β1 = β2=….. = 0
H1 : β1 ≠β2 ≠… ≠ 0
Kriteria pengujiannya adalah jika nilai nilai F observasi > F tabel atau
probabilitas F-statistic < taraf nyata, maka keputusannya adalah tolak H0. Dengan
menolak H0 berarti minimal ada satu variabel independen yang berpengaruh nyata
3.2.5.2Uji-t
Setelah melakukan uji koefisien regresi secara keseluruhan, maka langkah
selanjutnya adalah menguji koefisien regresi secara parsial menggunakan uji-t.
Hipotesis pada uji-t adalah : H0 : βi = 0 , H1 : βi≠ 0. Keputusan dalam pengujian
ini dilakukan dengan membandingkan nilai t-hitung dengan t-tabel atau dengan
melihat nilai probabilitas dari t-hitung. Jika nilai t-hitung > t-tabel atau jika nilai
probabilitas t < α=0,05 maka tolak H0, sehingga kesimpulannya adalah variabel
independen secara parsial signifikan memengaruhi variabel dependen.
3.2.5.3Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (Goodness of Fit) merupakan suatu ukuran yang penting dalam regresi, karena dapat menginformasikan baik atau tidaknya model
regresi yang terestimasi. Nilai R2 mencerminkan seberapa besar variasi dari
variabel dependen (Y) dapat diterangkan oleh variavel independen (X) atau seberapa besar keragaman variavel dependen yang mampu dijelaskan oleh model.
Jika R2 = 0, maka variasi dari Y tidak dapat diterangkan oleh X sama sekali dan jika R2 = 100 berarti variasi dari Y secara keseluruhan dapat diterangkan oleh X.
3.2.6 Model Penelitian
Secara matematis dalam penelitian ini pengaruh pertumbuhan ekonomi,
tingkat pendidikan, share PDRB sektor pertanian, pengangguran terhadap tingkat
(3.9)
Keterangan :
MISKINit = Jumlah Penduduk Miskin (ribu jiwa)
PDRBit = Produk Domestik Regional Bruto Riil (dalam juta
rupiah
MYSit =Mean Years School (Rata-Rata Lama Sekolah
dalam tahun)
SHARE_PERTANIANit = Share PDRB Riil Sektor Pertanian (persen)
PENGANGGURANit = Jumlah Pengangguran (dalam ribu jiwa)
i = urutan kabupaten/kota (i=1,2,...,8 kabupaten/kota)
t = series tahun 2005-2009
α = intersep
β1 - β4 = parameter PDRB, rata-rata lama sekolah, share
PDRB sektor pertanian, jumlah pengangguran
= error term
3.3 Definisi Operasional
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan beberapa ukuran yang relevan
digunakan dalam penelitian, diantaranya kemiskinan dan faktor yang berpengaruh
terhadap kemiskinan. Berikut ini didefinisikan beberapa variabel yang digunakan
dalam penelitian:
2. Persentase Penduduk Miskin (Head Count Index-P0), yaitu persentase
penduduk miskin terhadap total jumlah penduduk.
3. Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) merupakan ukuran
rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin
terhadap garis kemiskinan.
4. Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2) memberikan
gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin.
5. Pertumbuhan Ekonomi (Growth) yaitu peningkatan pendapatan dari suatu periode ke periode tertentu, yang dihitung berdasarkan peningkatan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) riil antarwaktu. PDRB
menyatakan pendapatan total atau pengeluaran total suatu wilayah atas
output barang dan jasa
6. Rata-rata lama sekolah adalah nilai rata-rata bagi tiap penduduk dalam
menempuh pendidikan di sekolah. Variabel rata-rata lama sekolah ini
digunakan sebagai proksi tingkat pendidikan.
7. Pengangguran adalah mereka yang sedang mencari pekerjaan, yang
mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak
mungkin mendapatkan pekerjaan (sebelumnya dikategorikan sebagai
bukan angkatan kerja), dan yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum
mulai bekerja (sebelumnya dikategorikan sebagai bekerja), dan pada
waktu bersamaan mereka tidak bekerja.
4.1 Gambaran Umum Provinsi Maluku Utara 4.1.1 Kondisi Geografis
Provinsi Maluku Utara secara geografis terletak antara 30 Lintang Utara –
30 Lintang Selatan dan 1240-1290 Bujur Timur. Provinsi Maluku Utara merupakan
provinsi kepulauan yang dibatasi oleh:
- Samudra Pasifik di sebelah utara
- Laut Halmahera di sebelah timur
- Laut Maluku di sebelah barat
- Laut Seram di sebelah selatan
Luas wilayah Provinsi Maluku Utara secara keseluruhan tercatat
145.801,10 km2, yang terdiri dari luas daratan sebesar 45.069,66 km2 dan luas
lautan sebesar 100.731,44 km2. Provinsi Maluku Utara terdiri dari 395 pulau besar
dan kecil. Pulau yang dihuni sebanyak 64 buah dan yang tidak dihuni sebanyak
331 buah. Wilayah Maluku Utara dengan hampir 70 persen wilayah lautan
menjadikan Provinsi Maluku Utara sebagai provinsi bahari yang kaya akan
potensi kelautan.
Sebagian besar wilayah Maluku Utara bergunung-gunung dan
berbukit-bukit yang terdiri dan pulau-pulau vulkanis dan pulau karang, sedangkan sebagian
lainnya merupakan dataran. Kondisi iklim di Maluku Utara dipengaruhi oleh
oleh lautan dan bervariasi antara tiap bagian wilayah yaitu iklim Halmahera Utara,
Halmahera Tengah, Halmahera Barat, Halmahera Selatan dan Kepulauan Sula.
Tabel 4.1. Luas Wilayah, Luas Wilayah Daratan dan Ibukota Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara Tahun 2009
Kabupaten/Kota Ibukota
Halmahera Barat (Halbar) Jailolo 14.235,66 2.612,24
Halmahera Tengah (Halteng) Weda 8.381,48 2.276,83
Kepulauan Sula (Kepsul) Sanana 24.082,30 9.632,92
Halmahera Selatan (Halsel) Labuha 40.263,72 8.779,32
Halmahera Utara (Halut)* Tobelo 24.983,32 5.447,30
Halmahera Timur (Haltim) Maba 14.202,02 6.506,20
Kota Ternate Ternate 5.795,40 250,85
Kota Tidore Kepulauan (Tikep) Soa Sio 13.857,20 9.564,00
Provinsi Maluku Utara
(Malut) Sofifi 145.801,10 45.069,66
*)Data masih tergabung dengan Kabupaten Pulau Morotai
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010.
4.1.2 Pemerintahan
Provinsi Maluku Utara secara resmi terbentuk pada tanggal 12 Oktober
1999 melalui Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi
Maluku Utara, Kabupaten Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Maluku
Utara beribukota di Desa Sofifi tetapi mengingat infrastruktur yang tersedia di
Desa Sofifi belum memadai, ibukota sementara berada di Kota Ternate. Namun
sejak tanggal 4 Agustus 2010 Ibukota Provinsi Maluku Utara dipindahkan
Pada awal terbentuk, Provinsi Maluku Utara hanya terdiri dari tiga
kabupaten/kota (dua kabupaten dan satu kota) yaitu Kabupaten Maluku Utara,
Kabupaten Halmahera Tengah serta Kota Ternate. Pada tahun 2003 Maluku Utara
terdiri dari delapan kabupaten/kota (enam kabupaten dan dua kota) melalui
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten
Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Halmahera Selatan,
Kabupaten Kepulauan Sula dan Kota Tidore Kepulauan di Provinsi Maluku Utara.
Sedangkan, Kabupaten Maluku Utara berubah nama menjadi Kabupaten
Halmahera Barat. Pada tahun 2008 terbentuk Kabupaten Pulau Morotai yang
merupakan pemekaran dari Kabupaten Halmahera Utara melalui UU No.53 Tahun
2008 tentang Pembentukan Kabupaten Pulau Morotai di Provinsi Maluku Utara.
Seiring dengan adanya pemekaran wilayah, saat ini Provinsi Maluku Utara
terdiri dari sembilan kabupaten/kota (tujuh kabupaten dan dua kota), yaitu
Kabupaten Halmahera Barat, Halmahera Tengah, Kepulauan Sula, Halmahera
Utara, Halmahera Selatan, Halmahera Timur, Pulau Morotai, Kota Ternate serta
Kota Tidore Kepulauan. Wilayah administratif Maluku Utara terbagi dalam 113
kecamatan dan 1.070 desa/kelurahan yang tersebar di sembilan kabupaten/kota.
4.1.3 Kependudukan
Dalam pembangunan, penduduk harus dijadikan sebagai titik sentral yaitu
sebagai subyek pembangunan dan sebagai obyek pembangunan. Sebagai subyek
pembangunan, penduduk merupakan motor penggerak bagi proses pembangunan,
sepenuhnya dinikmati oleh penduduk. Jumlah penduduk yang besar merupakan
modal pembangunan apabila penduduk tersebut berkualitas, sedangkan penduduk
yang besar tetapi tidak berkualitas justru akan menjadi beban bagi pembangunan.
Tabel 4.2. Jumlah Penduduk Provinsi Maluku Utara Menurut Kabupaten/Kota
(jiwa)
Kabupaten/Kota Tahun
2005 2006 2007 2008 2009
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Halmahera Barat 95.662 96.205 96.724 97.424 97.971
Halmahera Tengah 33.159 33.289 33.410 34.410 34.821
Kepulauan Sula 128.437 128.781 129.090 129.871 130.290
Halmahera Selatan 175.966 180.383 184.860 188.156 192.312
Halmahera Utara 179.221 183.277 187.375 190.835 194.778
Halmahera Timur 58.763 61.774 64.922 66.965 69.912
Kota Ternate 162.247 164.385 166.506 170.016 172.604
Kota Tidore Kepulauan 80.671 81.040 81.389 81.921 82.302 Provinsi Maluku Utara 914.126 929.134 944.276 959.598 974.990
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010.
Jumlah penduduk di Provinsi Maluku Utara dari tahun 2005-2009 selalu
mengalami kenaikan di tiap tahunnya, hingga mencapai 974.990 jiwa di tahun
2009. Kenaikan penduduk juga terjadi di level kabupaten/kota.
Kabupaten Halmahera Utara merupakan kabupaten dengan penduduk
terbanyak yaitu 179.221 jiwa di tahun 2005 dan meningkat hingga mencapai
194.778 jiwa di tahun 2009. Kabupaten Halmahera Tengah hanya memiliki
jumlah penduduk 33.159 jiwa di tahun 2005 dan meningkat menjadi 34.821 jiwa
Tabel 4.3. Persentase Luas Wilayah Daratan, Persentase Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara Tahun 2009
Kabupaten/Kota Persentase Luas
Halmahera Selatan 19,48 19,72 21,91
Halmahera Utara 12,09 19,98 35,76
Halmahera Timur 14,44 7,17 10,75
Kota Ternate 0,56 17,70 688,08
Kota Tidore Kepulauan 21,22 8,44 8,61
Provinsi Maluku Utara 100,00 100,00 21,63
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010.
Persebaran penduduk antarkabupaten/kota di Provinsi Maluku Utara
terlihat belum merata. Kota Ternate yang hanya memiliki luas daratan 0,56 persen
dari seluruh luas daratan Maluku Utara, dihuni oleh 17,70 persen total penduduk
Maluku Utara. Hal ini dapat disebabkan karena Kota Ternate merupakan pusat
perekonomian di Maluku Utara, sehingga menjadikan Kota Ternate sebagai daya
tarik bagi penduduk di kabupaten lain untuk bermigrasi. Kepadatan penduduk di
Ternate mencapai 688 jiwa per km2, angka ini jauh di atas kabupaten/kota lain di
Maluku Utara (Tabel 4.3).
Kabupaten Halmahera Timur dengan 14,44 persen luas wilayah, hanya
dihuni oleh 7,17 persen total penduduk Maluku Utara. Kota Tidore Kepulauan
dengan 21,22 luas wilayah, hanya dihuni oleh 8,44 persen penduduk. Masalah
persebaran penduduk yang tidak merata harus menjadi perhatian pemerintah,
sosial seperti berkembangnya pemukiman kumuh, meningkatnya kriminalitas,
pengangguran dan sebagainya.
4.1.4 Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
PDRB merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan dalam
melihat kondisi perekonomian suatu wilayah. Total PDRB Maluku Utara baik
PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK)/PDRB Riil maupun PDRB Atas Dasar
Harga Berlaku (ADHB)/PDRB Nominal dari tahun 2005-2009 mengalami
kenaikan. PDRB Nominal Maluku Utara pada tahun 2009 mencapai 4,69 triliun
rupiah, sedangkan secara riil, dengan mengeluarkan pengaruh inflasi, PDRB
Maluku Utara sebesar 2,81 triliun rupiah (Gambar 4.1).
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010 (diolah).
Gambar 4.1. PDRB ADHB dan PDRB ADHK Provinsi Maluku Utara
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor
penyumbang PDRB terbesar, kemudian sektor perdagangan, hotel dan restoran,
Nominal sektor pertanian sebesar Rp.1,75 triliun, Sektor Perdagangan, Hotel dan
Restoran sebesar Rp. 1,07 triliun dan sektor industri pengolahan sebesar Rp. 611
miliar. PDRB Nominal ketiga sektor tersebut sebesar Rp.3,43 triliun dari total
PDRB Nominal Maluku Utara Rp.4,69 triliun.
Tabel 4.4. PDRB ADHB dan PDRB ADHK Provinsi Maluku Utara Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008-2009 (juta rupiah)
Lapangan Usaha PDRB ADHB PDRB ADHK
2008 2009 2008 2009
(1) (2) (3) (4) (5)
Pertanian 1.529.507,82 1.751.392,06 951.726,34 995.698,21 Pertambangan
dan Penggalian 194.451,94 238.896,18 126.936,22 117.186,04 Industri
Pengolahan 466.869,49 610.889,28 339.297,14 352.601,54
Listrik, Gas dan
Air Bersih 24.192,68 27.892,60 12.890,03 13.163,75
Konstruksi 89.106,85 127.754,71 47.166,48 50.798,65
Perdagangan, Hotel dan Restoran
844.473,54 1.069.036,19 668.172,70 733.421,84
Pengangkutan
dan Komunikasi 323.099,53 375.106,84 209.209,85 228.831,21 Keuangan,
Persewaan dan Jasa Perusahaan
131.359,79 173.305,68 92.465,28 101.673,46
Jasa-Jasa 259.181,49 316.294,19 203.243,71 218.071,07
TOTAL 3.862.243,13 4.690.567,72 2.651.107,75 2.811.445,78
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010 (diolah).
Laju pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara dari tahun 2005-2009 juga
menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Hanya saja pada tahun 2008 laju
pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara lebih lambat dari tahun sebelumnya
(Gambar 4.2). Hal ini disebabkan adanya krisis finansial di dunia yang
yang kurang kondusif pada tahun 2008, dapat diduga menjadi penyebab
penurunan laju pertumbuhan ekonomi.
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010 (diolah).
Gambar 4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Maluku Utara Tahun 2005-2009
4.1.5 Struktur Ekonomi
Struktur ekonomi ditunjukkan melalui peran setiap sektor terhadap total
PDRB. Peran tersebut mencerminkan kemampuan setiap sektor dalam
menciptakan barang dan jasa dalam rangka pembentukan nilai tambah. Informasi
ini penting bagi perencana pembangunan untuk mengetahui sektor-sektor
ekonomi yang menjadi penopang utama perekonomian Maluku Utara.
Tabel 4.5 menggambarkan bahwa dalam kurun waktu 2005-2009 struktur
perekonomian Maluku Utara masih didominasi tiga sektor besar yaitu sektor
pertanian dengan kontribusi rata-rata sebesar 38,10 persen per tahun, sektor
perdagangan hotel & restoran rata-rata sebesar 22,33 persen, dan sektor industri
pengolahan 13,21 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian
merupakan sektor andalan di Provinsi Maluku Utara. Sehingga seharusnya potensi
ini didukung dengan kebijakan pemerintah yang propertanian.
Tabel 4.5. Struktur Perekonomian Provinsi Maluku Utara (Persen)
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010 (diolah).
Bila dilihat tiap subsektor, sektor pertanian di Provinsi Maluku Utara
didukung sebesar 42 persen oleh subsektor perkebunan seperti coklat (kakao),
cengkeh, kelapa, pala dan sebagainya. Sedangkan sekitar 27 persen subsektor
tanaman bahan makanan, 17 persen perikanan. Subsektor kehutanan dan
peternakan masing-masing menyumbang sekitar 9 persen dan 5 persen terhadap
Tabel 4.6. Kontribusi Subsektor terhadap PDRB Sektor Pertanian Provinsi
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010 (diolah).
4.1.6 Kondisi Ketenagakerjaan
Jumlah pengangguran merupakan indikator penting dalam melihat kinerja
pembangunan suatu wilayah. Gambar 4.3. menunjukkan jumlah pengangguran di
Maluku Utara dari tahun 2005-2007 menunjukkan tren yang menurun yaitu 53,14
ribu jiwa ke 23,98 ribu jiwa. Namun, mulai tahun 2007-2009 kecenderungan
jumlah pengangguran maupun Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mengalami
peningkatan. Tingginya angka pengangguran pada tahun 2005 disebabkan PHK
besar-besaran perusahaan industri pengolahan (PT. Taiwi di Sidangoli) pada tahun
2005. Kenaikan angka pengangguran pada tahun 2008 diduga merupakan efek
kenaikan harga BBM pada bulan Mei 2008 serta kondisi pilkada pada tahun 2008
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010 (diolah).
Gambar 4.3. Jumlah Pengangguran dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi Maluku Utara
Pada tahun 2009, jumlah pengangguran di Maluku Utara sebesar 28,56
ribu jiwa sedangkan TPT sebesar 6,76 persen. Hal ini berarti dari seluruh
angkatan kerja di Maluku Utara masih ada 6,76 persen yang menganggur.
4.1.7 Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan merupakan indikator penting untuk melihat kualitas
sumberdaya manusia di suatu wilayah. Tabel 4.7 menunjukkan indikator-indikator
tingkat pendidikan di Kabupaten/Kota di Maluku Utara pada tahun 2009.
Rata-rata lama sekolah di Maluku Utara pada tahun 2009 sebesar 8,61 tahun. Hal ini
berarti rata-rata penduduk Maluku Utara bersekolah sampai kelas 3 SMP. Bila
dilihat tiap kabupaten/kota, rata-rata lama sekolah tertinggi di Kota Ternate yaitu
10,80 tahun atau sekitar kelas 2 SMA. Rata-rata penduduk di Kota Tidore
Kepulauan dan Halmahera Tengah bersekolah sampai kelas 3 SMP, sedangkan
penduduk di lima kabupaten lainnya rata-rata bersekolah hanya sampai kelas 2
Tabel 4.7. Indikator-Indikator Pendidikan di Provinsi Maluku Utara Menurut
Penduduk 10 Tahun ke atas menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan (persen)
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010 (diolah).
Jumlah penduduk 10 tahun ke atas di Maluku Utara yang mampu
membaca dan menulis sebesar 95,74 persen. Angka melek huruf terbesar di Kota
Ternate (98,95 persen) dan Kota Tidore (98,04 persen). Kabupaten Halmahera
Barat dan Hamahera Timur memiliki angka melek huruf di bawah Provinsi
Maluku Utara yaitu masing-masing 95,31 persen dan 95,59 persen.
Jumlah penduduk menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan
merupakan indikator penting dalam menggambarkan mutu sumberdaya manusia
di suatu wilayah. Pada tahun 2009, jumlah penduduk 10 tahun ke atas di Maluku
persen, 20 persen lulus pendidikan menengah atas dan hanya 5,76 persen yang
tamat Perguruan Tinggi.
Kota Ternate memiliki kualitas pendidikan yang paling baik, dengan
jumlah lulusan SMA mencapai 43,92 persen dan lulusan Perguruan Tinggi
sebesar 13,98 persen. Demikian pula dengan Kota Tidore Kepulauan, penduduk
lulusan SMA sebesar 24,41 persen dan lulusan Perguruan Tinggi sebesar 9,83
persen. Sedangkan di kabupaten/kota lainnya persentase lulusan SMA dan
Perguruan Tinggi masih tergolong rendah. Hal ini mengindikasikan kurang
meratanya pembangunan sektor pendidikan di Maluku Utara.
4.2Gambaran Pola Kemiskinan di Provinsi Maluku Utara Tahun 2005-2009 4.2.1 Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Provinsi Maluku Utara
Perkembangan persentase penduduk miskin di Provinsi Maluku Utara dari
tahun 2005-2009 mengalami penurunan, yaitu 13,23 persen pada tahun 2005,
menurun menjadi 12,73 persen tahun 2006, hingga mencapai mencapai angka
10,34 persen pada tahun 2009. Demikian pula dengan jumlah penduduk miskin
yang mengalami penurunan dari 118,6 ribu jiwa pada tahun 2005 menjadi 99,10
ribu jiwa pada tahun 2009 (Gambar 4.4). Hal ini mengindikasikan adanya
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).
Gambar 4.4. Persentase dan Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Maluku Utara Tahun 2005-2009
Tabel 4.8 menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin di Maluku
Utara dari tahun 2005-2009 cukup bervariasi antarkabupaten/kota. Namun secara
umum dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Kota Ternate memiliki
persentase penduduk miskin yang paling rendah dengan tingkat pengurangan
persentase penduduk miskin rata-rata per tahun sebesar 3,4 persen. Kota Tidore
Kepulauan dan Kabupaten Halmahera Utara memiliki tingkat kemiskinan yang
relatif rendah pula. Kedua kabupaten/kota tersebut mampu menurunkan
persentase penduduk miskin lebih dari tujuh persen tiap tahun.
Kabupaten Halmahera Tengah memiliki persentase penduduk miskin
tertinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya yaitu di atas 25 persen.
Kabupaten Halmahera Timur juga memiliki persentase penduduk miskin rata-rata
di atas 20 persen. Namun, laju penurunan persentase penduduk miskin di kedua
kabupaten tersebut cukup tinggi yaitu 4,3 persen di Halmahera Tengah dan 5,4
persen di Halmahera Timur. Diharapkan upaya pengentasan kemiskinan di kedua
kabupaten tersebut dapat segera teratasi.
118,6 116,8
Tabel 4.8. Persentase Penduduk Miskin (HCI) Provinsi Maluku Utara Menurut Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).
Kabupaten Halmahera Barat, Halmahera Selatan dan Kepulauan Sula di
tahun 2005 memiliki tingkat kemiskinan yang cukup tinggi. Namun, laju
penurunan persentase penduduk miskin di Kabupaten Halmahera Selatan dan
Kepulauan Sula cukup tinggi, sehingga pada tahun 2009 kedua kabupaten tersebut
mampu menurunkan angka kemiskinan hingga tinggal sekitar 11 persen.
Kabupaten Halmahera Barat hanya mampu menurunkan tingkat kemiskinannya
rata-rata 3,8 persen tiap tahun, sehingga di tahun 2009 penduduk miskin di
Halmahera Barat masih 14,34 persen.
4.2.2 Perkembangan Tingkat Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan Provinsi Maluku Utara Tahun 2005-2009
Persoalan kemiskinan bukan hanya sekedar jumlah atau persentase
penduduk miskin. Namun, perlu dilihat tingkat kedalaman (poverty gap) dan keparahan kemiskinan (poverty severity). Selain memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan kemiskinan harus dapat mengurangi tingkat kedalaman dan
keparahan kemiskinan.
Indeks kedalaman kemiskinan (P1) menggambarkan rata-rata kesenjangan
pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan, Dengan kata lain,
Indeks Kedalaman Kemiskinan melihat seberapa miskin orang miskin itu.
Sedangkan indeks keparahan kemiskinan (P2) menggambarkan penyebaran
pengeluaran diantara penduduk miskin. Angka P1 dan P2 yang besar menunjukkan
buruknya kondisi kemiskinan di suatu wilayah.
Disaat persentase penduduk miskin di Maluku Utara yang mengalami
penurunan tiap tahunnya, hal ini tidak selalu diikuti dengan penurunan tingkat
kedalaman kemiskinan. Kedalaman kemiskinan di Maluku Utara dari tahun
2005-2009 tercatat cukup berfluktuasi. Hal ini mengindikasikan penurunan persentase
penduduk miskin secara jumlah tidak selalu diikuti dengan perbaikan kualitas
kehidupan penduduk miskin.
Gambar 4.5 menunjukkan tingkat kedalaman kemiskinan di Provinsi
Maluku Utara dari tahun 2005-2009 cukup berfluktuatif. Tingkat kedalaman
kemiskinan dari tahun 2005-2008 cenderung mengalami kenaikan, hanya pada
tahun 2006 sedikit menurun dari tahun sebelumnya. Kemudian pada tahun 2009
tahun 2005-2009 menunjukkan bahwa penduduk miskin makin mendekati garis
kemiskinannya.
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).
Gambar 4.5. Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Keparahan Kemiskinan Provinsi Maluku Utara Tahun 2005-2009
Tingkat keparahan kemiskinan dari tahun 2005-2009 menunjukkan
kecenderungan yang semakin meningkat dari 0,42 pada tahun 2005 menjadi 1,00
pada tahun 2009. Hal ini menunjukkan penurunan persentase penduduk miskin
justru diikuti dengan kesenjangan pendapatan antarpenduduk miskin yang makin
melebar.
4.2.2.1Perkembangan Tingkat Kedalaman Kemiskinan Kabupaten/Kota
Tingkat kedalaman kemiskinan dari tahun 2005-2009 tiap kabupaten/kota
mengalami kenaikan dan penurunan secara fluktuatif. Secara rata-rata
kabupaten/kota yang memiliki tingkat kedalaman kemiskinan tertinggi yaitu
Halmahera Tengah (6,38) dan Halmahera Timur (4,99). Hal ini berarti
kesenjangan antara pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan relatif
lebar. Dengan kata lain, jarak pendapatan orang miskin dengan batas pendapatan
minimal untuk hidup layak cukup jauh. Tentu hal ini mengindikasikan kondisi
kemiskinan yang buruk di kedua wilayah tersebut.
Tabel 4.9. Kedalaman Kemiskinan Provinsi Maluku Utara Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2005-2009
Kabupaten/Kota Tahun
Rata-rata Kedalaman Kemiskinan 2005 2006 2007 2008 2009
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Halmahera Barat 3,68 3,88 3,07 3,28 3,21 3,42
Halmahera Tengah 9,54 5,58 5,58 5,90 5,30 6,38
Kepulauan Sula 2,54 2,15 2,03 2,16 2,31 2,24
Halmahera Selatan 2,44 1,80 1,94 1,82 1,68 1,94
Halmahera Utara 1,97 1,19 1,08 2,04 1,41 1,54
Halmahera Timur 3,82 5,46 3,03 9,61 3,02 4,99
Kota Ternate 0,70 0,53 0,81 0,75 0,65 0,69
Kota Tidore Kepulauan 0,67 1,47 1,08 0,80 0,61 0,93
Provinsi Maluku Utara 2,04 2,01 2,23 2,47 1,93 2,14
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).
Kabupaten/kota yang memiliki rata-rata tingkat kedalaman kemiskinan
yang rendah yaitu Kota Ternate (0,69) dan Kota Tidore Kepulauan (0,93). Hal ini
menunjukkan kondisi orang miskin di Kota Ternate dan Kota Tidore Kepulauan
lebih baik dibandingkan dengan kondisi orang miskin di kabupaten/kota lainnya
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).
Gambar 4.6. Persentase Penduduk Miskin dan Indeks Kedalaman Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota Tahun 2009
Gambar 4.6 menunjukkan sebaran tingkat kemiskinan dan kedalaman
kemiskinan menurut kabupaten/kota tahun 2009. Kabupaten Halmahera Tengah,
Halmahera Timur, Halmahera Barat dan Kepulauan Sula memiliki tingkat
kemiskinan dan kedalaman kemiskinan di atas kemiskinan Provinsi Maluku
Utara. Hal ini menunjukkan buruknya kondisi kemiskinan di
kabupaten-kabupaten tersebut, dimana persentase orang miskin yang besar dan jarak
pendapatan orang miskin dengan pendapatan minimal agar tidak miskin relatif
jauh. Diperlukan upaya yang lebih keras untuk mengentaskan kemiskinan di
wilayah tersebut.
Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan, Kabupaten Halmahera Utara
memiliki kondisi kemiskinan yang cukup baik. Tingkat kemiskinan di wilayah
tersebut rendah dan kesenjangan pendapatan penduduk miskin dengan garis
kemiskinan rendah pula.
Kedalaman Kemiskinan (P1)