• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis peramalan ekspor, konsumsi domestik dan produksi Crude Palm Oil (CPO)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis peramalan ekspor, konsumsi domestik dan produksi Crude Palm Oil (CPO)"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERAMALAN EKSPOR, KONSUMSI DOMESTIK

DAN PRODUKSI

CRUDE PALM OIL

(CPO)

SKRIPSI

GUSTI DIGJA RAMADHAN H34070053

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ANALISIS PERAMALAN EKSPOR, KONSUMSI DOMESTIK

DAN PRODUKSI

CRUDE PALM OIL

(CPO)

GUSTI DIGJA RAMADHAN H34070053

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN

(3)

RINGKASAN

GUSTI DIGJA RAMADHAN. Analisis Peramalan Ekspor, Konsumsi Domestik dan Produksi Crude Palm Oil (CPO). Skripsi. Departemen Agribusines, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan RAHMAT YANUAR)

Pola peningkatan permintaan CPO untuk ekspor maupun konsumsi domestik menunjukkan bahwa komoditas non migas ini memiliki potensi untuk dikembangkan. Konsumsi negara-negara tujuan ekspor rata-rata meningkat dengan laju 26,97 persen dari tahun 1980-2010. Tahun 2010 ekspor CPO sebesar 16.480.000 ton . Konsumsi domestik CPO tercatat juga mengalami kenaikkan dari tahun ke tahun, sampai bulan Agustus tahun 2010 konsumsi CPO dalam negeri tetap mengalami kenaikkan hingga 5.240.000 ton.

Tahun 2009 produksi CPO Indonesia sebesar 21.000.000 ton dan alokasi untuk ekspor adalah 80 persen yaitu 16.938.000 ton, sedangkan konsumsi domestik terus meningkat dari tahun ke tahun. Karena tidak diimbangi dengan produksi CPO, maka tingginya konsumsi domestik ini mengakibatkan Indonesia harus tetap mengimpor CPO dari negara penghasil CPO lainnya. Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis pola data ekspor, konsumsi domestik, dan produksi CPO Indonesia, (2) menetapkan model peramalan tentatif ARIMA yang paling cocok untuk menjelaskan peramalan ekspor, konsumsi domestik dan produksi CPO Indonesia (3) memproyeksikan ekspor, konsumsi domestik, dan produksi CPO Indonesia sampai tahun 2015, dan (5) mengidentifikasi hunungan antara volume ekspor-impor CPO Indonesia terhadap harga CPO internasional dan harga CPO nasional-internasional.

Penelitian ini menggunakan data time series ekspor-impor, konsumsi domestik, produksi dan harga CPO dari berbagai sumber yang berhubungan dengan pusat data komoditas kelapa sawit. Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini, dilakukan dua tahapan pengolahan data, yaitu : (1) peramalan proyeksi ekspor, konsumsi domestik dan produksi CPO menggunakan alat dan metode peramalan Box-Jenkins (ARIMA), (2) korelasi antara ekspor-impor CPO terhadap harga CPO dengan analisis korelasi Rank Spearman, dan (3) metode deskriptif Combining Forecast.

(4)

Judul Proposal Skripsi : Analisis Peramalan Ekspor, Konsumsi Domestik dan Produksi Crude Palm Oil (CPO)

Nama : Gusti Digja Ramadhan

NIM : H34070053

Disetujui, Pembimbing

Rahmat Yanuar, SP, Msi NIP. 19760101 200604 1 010

Diketahui

Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis

Peramalan Ekspor, Konsumsi Domestik dan Produksi Crude Palm Oil (CPO)” adalah karya sendiri dan belum diajukan bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari karya yang diterbitkan dan tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2011

Gusti Digja Ramadhan

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Bojonegoro pada tanggal 25 April 1989 dari pasangan suami-istri Edi Listijanto dan Siti Nurul Wahyu Ningsih. Penulis memiliki saudara laki-laki bernama Galang Sokomukti yang dilahirkan empat tahun setelah kelahiran penulis.

Riwayat pendidikan penulis dimulai sejak tahun 1993 di TK Achmad Yani, Cimanggis Depok. Kemudian penulis melanjutkan pendidikannya di SD Sukamaju Baru II pada tahun 1995-2001. Setelah lulus dari SD penulis melanjutkan sekolah di SMP Negeri 3 Depok pada tahun ajaran 2001-2004, dan selanjutnya meneruskan ke SMA Negeri 5 Depok hingga lulus pada tahun 2007.

(7)

UCAPAN TERIMAKASIH

Penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Rahmat Yanuar, SP, Msi selaku dosen pembimbing skripsi serta pembimbing akademik yang telah memberikan waktunya untuk setiap bimbingan, arahan, motivasi, dorongan menjadi sempurna dan kesabaran kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

2. Ir. Burhanudin, MM dan Dra. Yusalina, MS selaku dosen penguji pada ujian sidang penulis yang telah memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.

3. Orangtua dan adik tercinta untuk setiap doa yang dipanjatkan serta dukungan yang selalu diberikan dengan ikhlas. Semoga ini bisa menjadi persembahan yang terbaik.

4. Pihak Riset Perkebunan Nusantara yang telah memberikan kesempatan dan informasi tentang kelapa sawit dan perdagangan CPO Indonesia.

5. Seluruh dosen dan staf Departemen Agribisnis, serta teman-teman seperjuangan angkatan 44 yang selalu setia menjadi tempat berbagi dan pembangkit semangat selama penelitian hingga penulisan skripsi ini.

Bogor, Juni 2011

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT atas segala berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Peramalan Ekspor, Konsumsi Domestik dan Produksi Crude Palm Oil (CPO) ”.

Penelitian ini bertujuan merekomendasikan kebijakan perdagangan CPO yang bisa diambil untuk meminimalisir impor CPO. Melalui pendekatan analisis hubungan/asosiasi antara ekspor-impor CPO terhadap harga CPO dan pendekatan peramalan ekspor, konsumsi domestik serta produksi CPO serta dianalisis berdasarkan metode Combining Forecast.

Namun demikian, bahwa sangat disadari kekurangan karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun ke arah penyempurnaan skripsi ini, sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Juni 2011

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 11

1.3. Tujuan Penelitian ... 16

1.4. Manfaat Penelitian ... 17

II TINJAUAN PUSTAKA ... 18

2.1. Sejarah dan Perkembangan Kelapa Sawit di Indonesia ... 18

2.2. Crude Palm Oil ... 18

2.3. Pola Kemitraan Perkebunan Kelapa Sawit ... 19

2.4. Konsep Perkebunan yang Berkelanjutan ... 20

2.5. Penelitian Terdahulu ... 21

III KERANGKA PEMIKIRAN ... 25

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 25

3.1.1. Konsep Kondisi Keseimbangan Permintaan-Penawaran ... 25

3.1.2. Ekspor-Impor dan Perdagangan Internasional ... 25

3.1.2.1. Ekspor ... 25

3.1.2.2. Impor ... 26

3.1.2.3. Perdagangan Internasional ... 27

3.1.3. Analisis Asosiasi dan Karakteristik Korelasi ... 29

3.1.4. Korelasi Rank Spearman... 31

3.1.5. Peramalan ... 32

3.1.6. Identifikasi Pola Data ... 33

3.1.7. Metode Peramalan Time Saries ARIMA (Box-Jenkins) ... 35

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 37

IV METODE PENELITIAN ... 42

4.1. Jenis dan Sumber Data ... 42

4.2. Metode Pengolahan Data ... 43

4.2.1. Metode Peramalan Box-Jenkins (ARIMA) ... 43

4.2.2. Metode Analisis Asosiasi Rank Spearman ... 50

4.2.3. Metode deskriptif Combining Forecast ... 52

V ANALISIS POLA EKSPOR, KONSUMSI DOMESTIK DAN PRODUKSI CPO INDONESIA... 53

5.1 Analisis Plot Data ... 53

5.1.1 Ekspor ... 53

(10)

5.1.3 Produksi ... 58

VI IDENTIFIKASI DAN ESTIMASI MODEL PERAMALAN TENTATIF SERTA EVALUASI KELAYAKAN MODEL ... 62

6.1. Ekspor ... 62

6.1.1.Identifikasi Model dan Estimasi Model ... 62

6.1.2. Evaluasi Kelayakan Model ARIMA ... 63

6.1.3. Persamaan Matematik Model ARIMA (2,2,2) ... 65

6.1.4. Ramalan Ekspor CPO ... 66

6.2. Konsumsi Domestik ... 67

6.2.1. Identifikasi Model dan Estimasi Model ... 67

6.2.2. Evaluasi Kelayakan Model ARIMA ... 69

6.2.3. Persamaan Matematik Model ARIMA (1,2,0) ... 72

6.2.4. Ramalan Konsumsi Domestik CPO ... 73

6.3. Produksi ... 74

6.3.1. Identifikasi Model dan Estimasi Model ... 74

6.3.2. Evaluasi Kelayakan Model ARIMA ... 76

6.3.3. Persamaan Matematik Model ARIMA (0,2,1) ... 78

6.3.4. Ramalan Produksi CPO ... 79

VII ANALISIS HASIL RAMALAN EKSPOR, KONSUMSI DOMESTIK DAN PRODUKSI CPO INDONESIA ... 81

7.1. Proyeksi Permintaan dan Penawaran CPO dari Tahun 2011-2015 . 81 7.2. Kebijakan Ekspor ... 82

7.3. Kebijakan Konsumsi Domestik ... 84

7.4. Kebijakan Produksi ... 87

7.4.1. Perluasan Lahan... 87

7.4.2. Peningkatan Produktivitas ... 89

7.4.3. Penguatan Kelembagaan ... 91

VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan ... 94

8.2 Saran ... 95

(11)

ii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Ekspor Minyak Kelapa Sawit Menurut Negara Tujuan Utama

2004-2008 (dalam ribu ton) ... 5 2. Pangsa Konsumsi CPO Terhadap Minyak Nabati Dunia ... 9 3. Potensi Peremajaan Lahan Kelapa Sawit di Beberapa

Provinsi ... 10 4. Impor dan Nilai Impor CPO Tahun 2000-2009 ... 14 5. Kelebihan dan Kelemahan Metode ARIMA (Box-Jenkins) ... 36 6. Penentuan Ordo AR dan MA Untuk Membentuk Model

ARIMA Tentatif Regular dan Seasonal ... 45 7. Beberapa Kemungkinan Model Berdasarkan Pola ACF dan

PACF ... 46 8. Korelasi Antara Konsumsi Domestik dan Harga CPO

Rotterdam ... 57 9. Perbandingan Produktivitas Kebun Inti dan Kebun Plasma di

Beberapa Daerah di Indonesia ... 61 10. Perbandingan Kelayakan Model Antara Lima Model

Alternatif dengan Satu Model Tentatif ARIMA (0,2,1) ... 64 11. Perbandingan Model ARIMA (0,2,1) dengan Sembilan

Metode Peramalan Lainnya ... 65 12. Hasil Ramalan Ekspor CPO Dari Tahun 2011-2015 ... 66 13. Perbandingan Model Tentatif ARIMA (1,2,1) dengan Enam

Model Alternatifnya ... 70 14. Perbandingan Nilai MAPE Antara Model ARIMA (1,2,0)

dengan Sembilan Metode Peramalan Lainnya ... 72 15. Ramalan Konsumsi Domestik CPO Indonesia Tahun

2011-2015 ... 73 16. Perbandingan Model Tentatif ARIMA (0,2,1) dengan Enam

Model Alternatifnya ... 77 17. Perbandingan Antara Model ARIMA (0,2,1) dengan

Sembilan Metode Peramalan Lainnya ... 78 18. Ramalan Produksi CPO Indonesia Tahun 2011-2015 ... 79 19. Selisih Antara Perkiraan Permintaan dan Penawaran CPO

(12)

iii 20. Korelasi Antara Harga CPO Rotterdam dan Selisih Harga Rotterdam-Medan Terhadap Ekspor CPO Indonesia Tahun

1998-2010 ... 82 21. Besaran Pajak Ekspor (PE) Berdasarkan Harga Referensi ... 83 22. Korelasi Antara Harga CPO Malaysia dan Selisih Harga

Medan-Malaysia Terhadap Impor CPO Indonesia Tahun

1998-2010 ... 86 23. Prediksi Perluasan Lahan yang Diperlukan Untuk Mengatasi

Kelangkaan dan Impor CPO ... 88 24. Perkiraan Luas Lahan yang Diperlukan Apabila Produktivitas

Meningkat Menjadi 3 ton/Ha/tahun ... 89 25. Daftar Perusahaan Benih Kelapa Sawit dan Kapasitas

Produksinya ... 90 26. Perkiraan Luas Lahan yang Diperlukan Apabila Produktivitas

(13)

iv

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Luas Areal Perkebunan Indonesia Menurut

PengusahaanTahun 2000-2009 ... 3

2. Perkembangan Produktivitas Kelapa Sawit dari Tahun 2005-2009 (ton/ha/tahun) ... 4

3. ProduksiTotal Negara-Negara Pengekspor CPO Tahun 2010 ... 4

4. Produktivitas Minyak Nabati Utama Dunia Tahun 2005-2007... 8

5. Pola Konsumsi CPO Rata-rata ... 13

6. Kurva Keseimbangan Permintaan-Penawaran ... 25

7. Kurva Impor Penurunan dari Kurva Keseimbangan Pasar ... 26

8. Kurva Keseimbangan Perdagangan Internasional ... 28

9. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Peramalan Ekspor, Konsumsi dan Produksi CPO Indonesia ... 41

10. Ekspor CPO Indonesia Tahun 1981-2010 ... 53

11. Konsumsi CPO Domestik Indonesia Tahun 1980-2010 ... 56

12. Produksi CPO Indonesia Tahun 1980-2010 ... 59

13. Data Ekspor Differencing Pertama dan Kedua ... 62 67 14. Pola Data Konsumsi Domestik Setelah Differencing Sekali... 67

15. Pola Data Konsumsi Domestik Setelah Differencing Kedua ... 69

16. Pola Data Produksi Differencing Pertama ... 75

17. Pola Data Produksi Differencing Kedua ... 75

(14)

v

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Tabel Nilai Kritis Koefisien Korelasi Spearman ... 101

2. Tabel Data CPO Indonesia ... 102

3. Tabel Harga CPO ... 103

4. Daftar Perusahaan-Perusahaan Kelapa Sawit Pemasok CPO untuk Minyak Goreng Menurut Mentan 2007 ... 104

5. Plot Data Autocorrelation Function (ACF) dan Partial Autocorrelation Function (PACF) ... 106

6. Backshift Operation dari Model ARIMA yang terpilih ... 109

7. Output Minitab14.1 Model ARIMA Tentatif dan Terpilih ... 111

8. Tabel Data Impor Margarin Tahun 2001-2010 ... 115

(15)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor pertanian dalam arti luas merupakan salah satu sektor ekonomi yang berbasis sumber daya alam dan menjadi tumpuan utama sebagian besar rakyat Indonesia mencari nafkah kehidupan. Hal ini karena sebagian besar usaha pertanian di Indonesia dilakukan oleh petani kecil, baik petani pangan dari palawija dan hortikultura, serta petani perkebunan dan nelayan baik budidaya maupun tangkap.

Salah satu subsektor dari sektor pertanian yang menarik adalah subsektor perkebunan. Beberapa dari komoditas subsektor perkebunan memberikan sumbangan devisa yang tinggi bagi Indonesia, sebagai contoh tanaman karet, kopi, kelapa, kakao dan kelapa sawit (Badrun, 2010). Tiga dekade ini komoditas perkebunan yang paling gencar pengembanganya karena permintaannya yang tinggi adalah kelapa sawit. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, dari sembilan komoditas unggulan perkebunan, minyak kelapa sawit (CPO) menempati urutan pertama dalam ekspor di tahun 2009 sebesar 21.000.000 ton, kemudian urutan kedua dimiliki oleh karet sebesar 1.991.533 ton, lalu kakao sebesar 535.236 ton, kopi sebesar 510.898 ton, kopra sebesar 209.646 ton dan selanjutnya diikuti oleh teh, tembakau, lada serta gula tebu hablur.

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia yang menjadi primadona di mata internasional. Hasil olahannya berupa minyak kelapa sawit mentah atau disebut juga crude palm oil (CPO) menjadi unggulan dalam ekspor komoditas pertanian Indonesia (Suprihatini, 2001; Badrun, 2010). Tercatat devisa yang dihasilkan dari ekspor CPO pada tahun 2001 sampai 2006 terus meningkat dengan laju peningkatan sebesar 36,189 persen dan terus meningkat sampai tahun 2010. Kontribusi terhadap total ekspor pun terus meningkat dari 2,6 persen sampai 6,1 persen (Badan Pusat Statistik, 2007).

(16)

2

karakteristik tanaman tersebut. Kondisi lahan yang tidak terlalu berkontur dan curah hujan yang sesuai juga banyak dimiliki Indonesia khususnya di pulau Sumatera dan Kalimantan. Selain itu tanaman kelapa sawit cocok tumbuh di tanah gambut seperti yang dimiliki pulau Kalimantan (Pahan, 2006; Semangun et all, 2005). Pengusahaan kelapa sawit secara komersil dimulai pada sejak zaman penjajahan Belanda. Pada mulanya dilakukan di Deli, Sumatera Utara (Wahyono, 2003; Semangun et all, 2005). Tercatat dari tahun ke tahun perkembangan perkebunan kelapa sawit terus meningkat, seiring dengan peningkatan kebutuhan CPO bagi industri di dalam maupun di luar negeri.

Peningkatan luas lahan pengusahaan kelapa sawit menjadi indikator bahwa kelapa sawit sangat menarik untuk diusahakan secara komersial, baik oleh perkebunan yang dikelola oleh negara maupun swasta, bahkan juga perkebunan rakyat. Pada tahun 1990 ada 1.126.677 ha dan terus meningkat pada tahun 2000 seluas 4.158.077 ha, bahkan pada tahun 2008 mencapai angka 7 juta ha (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010).

(17)

3

Gambar 1. Luas Areal Perkebunan Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun 2000-2009

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010

Dilihat dari total luasan lahan, pada tahun 2009 perkebunan swasta menempati urutan pertama dengan persentase 51,75 persen, sedangkan perkebunan rakyat 40,14 persen dan perkebunan negara hanya 8,1 persen saja (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010). Pada tahun yang sama, jika dilihat total produksi sebesar 21.000.000 ton, kontribusi produksi CPO dari setiap perkebunan adalah 50,59 persen untuk perkebunan swasta; 38,88 persen untuk perkebunan rakyat dan 10,52 persen untuk perkebunan negara. Hal ini menunjukkan produktivitas perkebunan kelapa sawit di Indonesia masih rendah, padahal produktivitas ideal kelapa sawit adalah 5,8 ton CPO/ha/tahun (Pahan, 2006; Puwantoro, 2008; Semangun et all, 2005). Dapat dilihat pada Gambar 2 dari tahun ke tahun perkebunan negara memiliki produktivitas yang lebih baik dibandingkan perkebunan rakyat dan swasta. Oleh sebab itu perlu adanya perbaikan dalam peningkatan produktivitas1.

1

Purwantoro. 2008. Sekilas Pandang Industri Sawit. Majalah USAHAWAN LMFEUI edisi No.04/2008

0 500.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000 3.000.000 3.500.000 4.000.000 4.500.000

H

e

kt

ar

(18)

4

Gambar 2. Perkembangan Produktivitas Kelapa Sawit Nasional Tahun 2005-2009

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan dan Pusat Pengembangan Kelapa Sawit, 2010 (diolah).

Produksi CPO Indonesia di dunia adalah yang tertinggi, memang sebelum tahun 2006 volume produksi CPO Indonesia sebesar 14.100.000 ton masih kalah dengan Malaysia dengan volume produksi sebesar 14.962.000 ton (Oil World, 2007). Tetapi pada tahun 2006 sampai 2010 produksi CPO Indonesia nomor satu di dunia. Pada tahun 2010 Indonesia 22.000.000 ton sedangkan Malaysia hanya memproduksi 17.763.000 ton. Menurut Oil World Annual dalam Direktorat Jenderal Perkebunan (2008), diperkirakan posisi Indonesia sebagai produsen CPO dunia berpotensi besar menjadi pemain paling dominan pasar bahkan hingga 50 persen dari pangsa pasar CPO. Pada tahun 2010 produksi CPO yang dihasilkan oleh Indonesia dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Produksi Total Negara-Negara Pengekspor CPO Tahun 2010

Sumber : United State Departement of Agriculture, 2011 0

0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4

2005 2006 2007 2008 2009

to

n/h

a

/t

a

hu

n

Perkebunan Rakyat Perkebunan Negara Perkebunan Swasta

0 5000 10000 15000 20000 25000

Indonesia Malaysia Thailand Nigeria Kolombia Lainnya

ribu

to

(19)

5

Negara-negara tujuan ekspor CPO Indonesia terus meningkatkan permintaannya. Terbukti lebih dari 60 persen hasil produksi dialokasikan untuk ekspor (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2010). Pada tahun 2008 India menempati urutan pertama dalam mengimpor CPO Indonesia dengan total impor sebesar 4,78 juta ton, sedangkan urutan kedua ditempati oleh Cina dengan total impor sebesar 1,76 juta ton dan Belanda pada urutan ketiganya. Ketidaksanggupan negara-negara pengimpor CPO untuk mengembangkan kelapa sawit di negaranya, menjadi peluang bagi Indonesia untuk terus meningkatkan ekspor CPO, seiring dengan peningkatan kebutuhan akan CPO sebagai bahan baku industri dan makanan di negara tujuan ekspor. Negara-negara pengimpor CPO dunia ini ditunjukan pada Tabel 1.

Tabel 1. Ekspor CPO Indonesia Menurut Negara Tujuan Utama Tahun 2004-2008 (ribu ton)

Negara Tujuan 2004 2005 2006 2007 2008

India 2.761,60 2.558,30 2.482,00 3.305,70 4.789,70

Cina 1.083,80 1.354,60 1.758,60 1.441,10 1.766,90

Belanda 799,60 1.101,10 1.212,20 829,30 1.295,90

Pakistan 537,30 850,20 835,00 788,10 409,70

Malaysia 572,80 621,40 660,50 382,70 745,50

Singapura 396,60 467,10 631,60 624,50 600,90

Mesir 78,40 151,30 476,20 408,50 495,90

Bangladesh 260,90 412,70 466,00 520,20 506,80

Srilangka 40,60 308,70 445,00 246,60 48,40

Jerman 247,20 340,40 365,50 504,90 404,80

Lainnya 1.882,80 2.210,40 2.768,30 2.823,80 3.226,20

Jumlah 8.661,60 10.376,20 12.100,90 11.875,40 14.290,70

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008.

Namun dalam perkembangannya, perkebunan kelapa sawit tetap perlu memperhatikan aspek lingkungan. Menurut Greenpeace yaitu lembaga swadaya masyarakat (LSM) dari Belanda, menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit Indonesia dan Malaysia menyumbang emisi CO2 yang menjadi salah satu

penyebab pemanasan global2. Berdasarkan data Kementrian Kehutanan dalam Badrun (2010), saat ini luasan total kawasan hutan seluas 110.842.000 ha. Luasan

2

(20)

6

ini termasuk dengan luas hutan suaka dan lindung sebesar 49.928.000 ha serta hutan produksi tetap dan terbatas sebesar 60.915.000 ha. Sedangkan saat ini perkebunan kelapa sawit hanya mengambil 7 juta ha dari total luas kawasan hutan. Tuduhan Greenpeace bahwa perkebunan kelapa sawit Indonesia sebagai penyumbang emisi CO2 sangat berlebihan karena negara-negara industri seperti

Amerika dan Eropa-lah yang seharusnya lebih pantas menerima tuduhan ini (Solidaritas Petani Sawit Indonesia, 2010).

Isu tentang Renewable Energy Directive (RED) ternyata memiliki kriteria yang dianggap pemerintah merugikan indusri kelapa sawit. Hal ini dapat menjadi hambatan non tarif bagi perdagangan CPO Indonesia ke Eropa. Oleh karena itu pada tahun 2010, Menteri Pertanian Suswono beserta tim melakukan kampanye produk ramah lingkungan dari kelapa sawit ke Madrid, Spanyol dan Paris, Prancis untuk menanggapi isu ini. Akibat isu ini produksi biodiesel akan sulit diekspor ke Eropa3.

Bila dibandingkan dengan kedelai, kelapa sawit 9,5-10 kali lebih baik dalam menghasilkan minyak nabati dari tiap satu hektarnya (Pangaribuan et all,

2001; Oil World, 2007). Jadi jauh lebih menguntungkan apabila membudidayakan sawit dibandingkan kedelai dalam memproduksi minyak, selain itu kelapa sawit merupakan tanaman tahunan yang tidak perlu penanaman ulang di tiap tahunnya. Secara logika kontribusi oksigen satu pohon kelapa sawit pasti jauh lebih besar dibandingkan satu tanaman kedelai.

Pangsa konsumsi minyak kedelai telah tergeser oleh CPO semenjak tahun 2005 (Oil World, 2008). Hal ini membuat aksi black campaign yang menyudutkan Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia (Solidaritas Petani Sawit Indonesia, 2010). Menurut Krisnamurti (2010), penanaman kelapa sawit di lahan yang dahulunya hutan dan dipenuhi alang-alang jauh lebih baik jika ditanami kelapa sawit karena kelapa sawit jauh lebih baik daripada alang-alang.

Namun isu-isu yang menyudutkan Indonesia itu, tetap membuat produsen kelapa sawit Indonesia terus peduli kepada lingkungan terutama dalam hal perluasan lahan. Konsep Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) adalah konsep

3

(21)

7

yang menyelaraskan perkembangan perkebunan kelapa sawit dengan konservasi lingkungan (Kementan, 2011)4. Konsep ini bertujuan meningkatkan tanggung jawab lingkungan dan konservasi kekayaan alam serta keragaman hayati.

Selain isu lingkungan akhir-akhir ini isu tentang penggunaan bahan bakar nabati sangat gencar dibicarakan. Konsep biofuel atau bahan bakar nabati membuat permintaan akan komoditas pertanian yang menjadi sumber bahan baku

biofuel meningkat. Salah satu contoh bahan baku dari biofuel adalah minyak kelapa sawit karena rendemennya yang lebih tinggi daripada kedelai, jarak dan tebu. Redemen minyak yang dihasilkan oleh kelapa sawit sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan kedelai (Pangaribuan et all, 2001; Oil World, 2008).

Saat ini kebutuhan akan hasil kelapa sawit tidak hanya tertumpu pada hasil secara kuantitas saja tetapi juga kepada mutu minyak, antara lain adalah kandungan dan susunan asam-asam lemak. Kualitas dari CPO berpengaruh terhadap harga jualnya (Subronto et all, 2003). Pemanfaatan CPO tidak hanya sebatas menjadi bahan bakar nabati ataupun minyak goreng saja, tetapi juga berguna bagi industri makanan, kosmetika, dan farmasi. Sebagai contoh produk olahan CPO antara lain margarin, asam lemak, ester, pengemulsi dalam industri susu dan es krim, lilin, sabun mandi, lotion dan cream dalam industri kosmetik, salep dalam industri farmasi dan masih banyak lainnya (Poeloengan, et all, 2000). Pentingnya CPO sebagai bahan baku di berbagai industri ini menandakan bahwa CPO merupakan salah satu komoditas ekspor non migas yang diandalkan di Indonesia. Menurut Budiyana (2005), faktor-faktor yang mendukung pengembangan CPO Indonesia selain pemenuhan bahan baku industri antara lain : 1) Secara komparatif, lahan untuk perluasan produksi kelapa sawit di Indonesia

tersedia luas,

2) Kompetitif, pesaing yang dapat menyamai produksi minyak kelapa sawit Indonesia masih sedikit, dan

3) Produktivitas kelapa sawit adalah yang paling dibandingkan tanaman perkebunan lainnya.

4

(22)

8

Secara komparatif, Indonesia adalah nomor satu dalam luasan lahan. Terdapat banyak lahan yang sangat sesuai dengan tanaman kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan. Sedangkan dalam hal kompetitif, negara-negara pesaing yang mampu menyamai produksi CPO Indonesia masih belum banyak (Budiyana, 2005). Malaysia sebagai pesaing utama Indonesia memiliki produktivitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Indonesia, tetapi Malaysia tidak memiliki luasan lahan seluas Indonesia. Hal ini cukup mengkhawatirkan apabila Indonesia tidak segera memperbaiki kelemahan ini, karena bisa jadi Indonesia kembali menempati urutan kedua dalam produksi CPO seperti sebelum tahun 2007.

Produktivitas kelapa sawit dalam menghasilkan minyak nabati jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak lainnya. Tanaman yang lazim diusahakan sebagai sumber minyak nabati adalah kedelai, bunga matahari, rapeseed, kacang tanah, wijen, zaitun dan kelapa. Perbandingan produktvitas antara tanaman utama penghasil minyak nabati dapat dilihat pada Gambar 4 :

Gambar 4. Produktivitas Minyak Nabati Utama Dunia Tahun 2005-2007 Sumber :Oil World (2007); International Potash Institute (2005)

Pangsa konsumsi terbesar minyak nabati dunia saat ini dimiliki oleh minyak sawit (CPO). Sejak tahun 2005 pangsa konsumsi CPO menggeser pangsa konsumsi minyak kedelai. Di tahun tersebut pangsa CPO sebesar 33.156.000 ton atau 24 persen, sedangkan minyak kedelai sebesar 32.879.000 ton atau 23 persen dari total perdagangan minyak nabati dunia yang mencapai 138.028.000 ton.

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4

to

n/h

a

/t

a

hu

(23)

9

Kemudian tahun 2008 pangsa konsumsi CPO sebesar 26 persen sedangkan minyak kedelai 23 persen dari total perdagangan sebesar 159.530.000 ton. Tabel 2 yang menyajikan pangsa konsumsi CPO terhadap minyak nabati dunia :

Tabel 2. Pangsa Konsumsi CPO Terhadap Minyak Nabati Dunia (2002-2008)

Tahun

Konsumsi (ribu ton)

CPO Minyak Kedelai

Minyak Rapeseed

Minyak Bunga Matahari

Minyak

Kelapa Lainnya Dunia

2002 25.595 29.964 13.489 7.721 3.291 41.472 121.532

2003 28.201 31.246 12.716 8.921 3.322 41.287 125.693

2004 30.050 31.163 14.825 9.583 3.054 42.421 131.100

2005 33.156 32.879 15.914 9.546 3.047 43.666 138.208

2006 36.192 34.670 18.196 10.946 3.047 43.666 146.717

2007 37.892 37.067 19.073 11,174 3.153 45.424 153.783

2008 42.500 37.930 19.125 10.326 3.142 45.907 159.530

Sumber :Oil World, 2008

Berdasarkan Tabel 2, pangsa konsumsi CPO terus naik dan semakin meninggalkan pesaingnya. Hal ini menjadi peluang bagi industri pengolahan kelapa sawit untuk terus mengoptimalkan produksi CPO Indonesia. Sehingga perlu ada perbaikkan dari dalam hal produksi CPO Indonesia, baik dari segi hulu berupa budidaya dan SOP pengusahaan kebun kelapa sawit sampai panen tandan buah segar (TBS), juga dari segi hilir yaitu kualitas dan kemampuan meningkatkan bargaining power dalam menentukan harga di pasar dunia.

(24)

10

Tabel 3. Potensi Peremajaan Lahan Kelapa Sawit Tahun 2004 di Beberapa Provinsi

No. Propinsi Pangsa (%) Areal Peremajaan (ha)

1 Sumatera Utara 33,20 6644 – 16.609

2 Riau 25,70 5144 – 12.860

3 Sumatera Selatan 12,60 2520 – 6300

4 Kalimantan Barat 10,40 2080 – 5200

5 Aceh 8 1600 – 4000

6 Lainnya 10,10 2013 – 5031

Sumber : Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, 2009

Perencanaan dalam hal produksi sangat penting dilakukan untuk mempertahankan pangsa pasar CPO Indonesia di pasar dunia. Kebutuhan CPO dunia sebagai bahan baku industri, membuat volume ekspor CPO Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Selain itu harga yang internasional yang lebih tinggi dari harga CPO nasional menjadi pertimbangan pebisnis untuk terus mengekspor produksi CPO nasional (Hansen, 2008). Namun perlu disadari kebutuhan domestik juga perlu diperhatikan, karena ada banyak perusahaan-perusahaan dalam negeri yang memproduksi hasil olahan kelapa sawit dan permintaannya terus meningkat dari tahun ke tahun (Biro Pusat Statistik, 2010). Sampai saat ini kekurangan kebutuhan CPO dalam negeri masih dipenuhi oleh impor, dari negara Malaysia.

(25)

11

staf Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Sumatera Utara, menjadi acuan pengalokasian anggaran kebijakan pemerintah (Hansen, 2008).

1.2 Perumusan Masalah

Pola peningkatan permintaan CPO oleh negara-negara tujuan ekspor menunjukkan bahwa komoditas non migas ini memiliki potensi untuk dikembangkan (Susila, 2007). Konsumsi negara-negara tujuan ekspor rata-rata meningkat dengan laju 26,97 persen dari tahun 1980-2010. Pada tahun 2004 konsumsi negara tujuan ekspor sebesar 8.996.000 ton terus meningkat hingga tahun 2008 sebesar 14.612.000 ton dan meningkat lagi sebesar 16.480.000 ton di tahun 2010 (PPKS, 2011). Ekspor terbesar CPO adalah ke negara India, seperti diketahui jumlah penduduk yang besar dan banyaknya industri dengan bahan baku CPO membuat India menempati urutan pengimpor nomor satu CPO Indonesia. Kemudian menempati urutan kedua adalah Cina, setelah itu negara-negara seperti Belanda, Malaysia, Singapura, Bangladesh, Pakistan, Mesir, Jerman, dan Sri Langka. Sebagaimana diketahui, selain Malaysia, negara-negara tersebut tidak mampu menyediakan CPO secara mandiri sehingga mengandalkan ekspor dari negara-negara produsen CPO seperti Indonesia (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008).

Harga yang terbentuk dari CPO dapat dikatakan cukup fluktuatif dengan

trend meningkat, terbukti pada periode awal 2008 hingga April 2008 ada kenaikan dan penurunan yang tajam dari level 950 US$/ton sampai ke level 1395 US$/ton tetapi kemudian turun hingga 435 US$/ton di bulan Oktober 2008 (Bloomberg, 2009). Keadaan ini disebabkan oleh El Nino yang melanda negara-negara penghasil CPO seperti Indonesia dan Malaysia, selain itu juga disebabkan cadangan minyak kedelai menurun karena gagal panen di Amerika sehingga permintaan minyak kelapa sawit meningkat dan mendorong peningkatan harga CPO5. Ancaman krisis pangan dunia yang disebabkan anomali iklim dan cuaca terutama di Cina dan Rusia, membuat banyak harga komoditi pertanian berspekulasi meningkat, terutama komoditas pertanian yang masuk dalam

5

(26)

12

perdagangan pasar berjangka seperti CPO6. Namun hal ini tidak membuat permintaan ekspor menurun bahkan trend data menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Tercatat di tahun 2008 permintaan ekspor meningkat 15,5 persen dari 12.650.000 ton pada tahun 2007 menjadi 14.612.000 ton pada tahun 2008, dan meningkat lagi hingga 16.480.000 ton di tahun 2009 (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2010).

Minyak kelapa sawit (CPO) juga dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan dalam negeri untuk memproduksi berbagai hasil produk turunannya. Konsumsi domestik permintaan CPO tercatat juga mengalami kenaikkan dari tahun ke tahun. Tahun 2007 konsumsi domestik sebesar 4.065.000 ton dan meningkat 10 persen menjadi 4.472.000 ton di tahun 2008. Sampai bulan Agustus tahun 2010 konsumsi CPO dalam negeri tetap mengalami kenaikkan hingga 5.240.000 ton (PPKS, 2011). Namun berdasarkan prediksi Departemen Perindustrian kebutuhan CPO untuk industri makanan tahun 2010 konsumsi CPO akan lebih dari 5.260.000 ton. Berdasarkan fakta tersebut tampak ada selisih, hal ini hanya mampu dipenuhi oleh impor CPO maupun produk turunannya.

Ada tiga produk utama dari olahan CPO yang penting, yaitu minyak goreng, margarin dan olein. Peningkatan harga minyak goreng selalu terjadi tiap tahunnya hal ini merupakan efek dari kurangnya pasokan CPO dalam negeri sehingga Indonesia masih impor dan harga CPO impor yang terus naik (Bank Indonesia, 2004). Sedangkan untuk margarin sampai sekarang Indonesia masih mengandalkan impor dari Amerika Serikat, Jerman, Belgia, Korea Selatan, Belanda dan Singapura, karena produksi dalam negeri belum mencukupi. Jika dilihat dari data pada Lampiran 8, volume impor margarin terus meningkat bahkan pada tahun 2010 mencapai sebesar 6.441.366 kg (Biro Pusat Statistik, 2010). Gambar 5 menunjukkan tentang persentase pola konsumsi CPO :

6

(27)

13

Gambar 5. Pola Konsumsi CPO Rata-rata

Sumber : Capricorn Indonesia Consult Inc (2008).

Pada tahun 2009 produksi CPO Indonesia sebesar 21.000.000 ton dan alokasi untuk ekspor adalah 80 persen yaitu 16.938.000 ton, sedangkan konsumsi domestik terus meningkat dari tahun ke tahun (PPKS, 2010). Karena tidak diimbangi dengan produksi CPO, maka tingginya konsumsi domestik ini mengakibatkan Indonesia harus tetap mengimpor CPO dari negara penghasil CPO lainnya. Hal ini tentunya sangat ironis sekali dengan status Indonesia yang merupakan negara penghasil CPO nomor satu di dunia, tetapi Indonesia belum mampu menyeimbangkan distribusi CPO untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya dan untuk memenuhi permintaan ekspor. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perkebunan, Indonesia mengimpor 11.861 ton CPO pada tahun 2002, sedangkan pada tahun 2005 Indonesia mengimpor 14.061 ton dan 24.484 ton pada tahun 2009. Rata-rata Indonesia mengimpor CPO sebesar 13.380 ton per tahun dalam tiga tahun belakangan ini. Bahkan pada tahun 2010 Indonesia mengimpor CPO sebesar 70.000 ton, dan itu setara dengan produksi lahan perkebunan kelapa sawit seluas 23.333,34 ha tiap tahun (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2010). Selain itu nilai impor CPO juga mengalami peningkatan, tercatat pada tahun 2009 nilai impor CPO sebesar 16.822.000 US$ yang jauh lebih besar dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 8.953.000 US$ (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010). Data impor dan nilai impor CPO Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.

Ekspor, 60% Minyak

Goreng, 29% Oleochemical,

7%

(28)

14

Tabel 4. Impor dan Nilai Impor Indonesia CPO Tahun 2000-2009

Tahun Impor (Ton) Nilai Impor (ribu US$)

2000 7.988 6.424

2001 5.115 2.524

2002 11.861 4.745

2003 5.606 3.267

2004 7.884 5.094

2005 14.067 8.366

2006 3.031 2.494

2007 4.661 7.036

2008 10.994 8.953

2009 24.484 16.822

Rata-Rata 9.569,10 6.572,50

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010

Berdasarkan data di atas tentunya hal ini menjadi permasalahan, karena sebagian besar pengusaha berproduksi CPO dengan orientasi ekspor, sedangkan dalam negeri masih membutuhkan CPO dalam jumlah yang banyak. Dikhawatirkan apabila kondisi ini terus berlanjut produksi CPO Indonesia tidak akan pernah mencukupi kebutuhan dalam negeri dan Indonesia akan terus impor CPO dari Malaysia. Perkembangan harga CPO dunia adalah yang hal paling mempengaruhi perdagangan ekspor-impor CPO Indonesia (Haryanto, 2008). Permintaan dan harga CPO internasional yang lebih tinggi dari harga CPO nasional menjadi hal yang membuat para pebisnis CPO lebih mengutamakan pasar dunia dibandingkan menjual CPO ke dalam negeri. Oleh karena itu pemerintah menerapkan Pajak Ekspor (PE) bagi komoditas CPO (Hansen, 2008).

(29)

15

yang akan berimbas kepada penurunan devisa negara di sektor ini. Berdasarkan kajian yang dilakukan Oil World di Jerman, peningkatan 1 persen PE CPO Indonesia maka akan menurunkan 0,8 persen pangsa pasar CPO Indonesia (cateris paribus) (Hansen, 2008). Hal ini menjadi dilema bagi pemerintah, karena di satu sisi ingin mempertahankan posisi pangsa pasar CPO di dunia tetapi di lain sisi pemenuhan konsumsi domestik juga dipenuhi.

Swasembada beras yang terjadi pada tahun 2009 seharusnya dapat dijadikan contoh bagi industri kelapa sawit Indonesia. Mengingat bahwa CPO merupakan bahan baku utama minyak goreng dan minyak goreng adalah salah satu golongan sembilan bahan pokok (Sembako). Keseimbangan antara alokasi produksi CPO yang diekspor dan dikonsumsi sendiri perlu dilakukan untuk mewujudkan kemandirian pangan, dalam hal ini adalah minyak goreng. Untuk itu perlu ada perencanaan yang matang kedepannya untuk mengetahui kemampuan produsen CPO untuk mampu memenuhi permintaan CPO.

Sampai saat ini, peramalan mengenai CPO baru dilakukan dalam aspek produksi, harga dan ekspor saja, peramalan konsumsi domestik belum banyak dilakukan. Peramalan produksi dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan mencakup perkiraan produksi Perusahaan Inti Rakyat, Perkebunan Besar Swasta dan Perkebunan Besar Nasional dengan metode Double Exponential Smoothing

karena dianggap paling mudah dan mencerminkan realita yang sebenarnya (Hansen, 2008). Sedangkan peramalan mengenai ekspor dapat ditemui di penelitian skripsi mahasiswa IPB dengan metode ARIMA. Oleh karena itu, sangat menarik apabila kajian peramalan yang dapat mempertemukan proyeksi permintaan ekspor, permintaan domestik, dan produksi CPO dalam lima tahun ke depan, sesuai dengan usia panen kelapa sawit. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kesanggupan produsen CPO untuk memenuhi permintaan CPO baik dalam bentuk ekspor maupun konsumsi domestik.

(30)

16

laju ekspor CPO dan laju permintaan domestik. Melalui cara tersebut Indonesia tetap dapat mempertahankan posisi pangsa pasar CPO Indonesia di dunia bahkan meningkatkannya. Namun konsumsi domestik tidak terabaikan, sehingga Indonesia tidak terus impor CPO. Harapannya, hasil dari penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi para pengambil keputusan untuk membuat kebijakan di bidang perkelapasawitan Indonesia.

Berdasarkan pemaparan di atas permasalahan yang dapat dibahas adalah : 1) Bagaimana pola data ekspor, konsumsi domestik, dan produksi CPO

Indonesia?

2) Apa model peramalan tentatif ARIMA apakah yang paling cocok untuk menjelaskan peramalan ekspor, konsumsi domestik, dan produksi CPO Indonesia?

3) Bagaimana proyeksi ekspor, konsumsi domestik, dan produksi CPO Indonesia sampai tahun 2015?

4) Bagaimana hubungan antara volume ekspor-impor CPO Indonesia terhadap harga CPO internasional dan selisih harga CPO nasional-internasional?

I.3 Tujuan Penelitian

Penelitian mengenai analisis peramalan ekspor, konsumsi domestik, dan produksi Crude Palm Oil (CPO) di Indonesia ini memiliki tujuan diantaranya :

1. Menganalisis pola data ekspor, konsumsi domestik, dan produksi CPO Indonesia.

2. Menetapkan model peramalan tentatif ARIMA yang paling cocok untuk menjelaskan peramalan ekspor, konsumsi domestik, dan produksi CPO Indonesia.

3. Memproyeksikan ekspor, konsumsi domestik, dan produksi CPO Indonesia sampai tahun 2015.

(31)

17

I.4 Manfaat Penelitian

Penelitian tentang analisis peramalan ekspor, konsumsi domestik, dan produksi CPO di Indonesia ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang ingin mengetahui lebih mendalam tentang proyeksi perkembangan CPO di masa yang akan datang. Selain itu penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan pengambilan keputusan perkelapasawitan di Indonesia.

Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai tinjauan pustaka untuk penelitian lain, sedangkan bagi petani dan pebisnis kelapa sawit dapat menjadikan penelitian ini sebagai pertimbangan untuk meningkatkan produksi atau tidak meningkatkan produksi, karena di dalam penelitian ini ada proyeksi ekspor dan konsumsi domestik sebagai pertimbangan untuk berproduksi secara optimal. Begitupun bagi pemerintah yang menjadi penyusun kebijakan, dapat menyusun kebijakan yang berkaitan tentang kuantitas ekspor melalui kebijakan tarif pajak ekspor (PE), kebijakan impor, atau kebijakan yang berkaitan dengan perluasan lahan guna meningkatkan produksi. Peneliti kelapa sawit, khususnya bagi lembaga-lembaga riset dapat menjadikan penelitian ini sebagai gambaran kondisi perkelapasawitan saat ini dan proyeksinya, sehingga dapat melakukan riset berupa peningkatan produktivitas atau pengoptimalan produk turunan dari CPO.

(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah dan Perkembangan Kelapa Sawit di Indonesia

Kelapa sawit diperkirakan berasal dari Afrika Barat dan Amerika Selatan. Tanaman ini lebih berkembang di Asia Tenggara khususnya Indonesia dan Malaysia. Bibit kelapa sawit masuk ke Indonesia pada tahun 1848 yang berasal dari Mauritius dan Amsterdam sebanyak empat tanaman yang kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor dan selanjutnya disebar ke Deli, Sumatera Utara (Lubis, 1992). Kelapa sawit diusahakan secara komersil di Afrika, Amerika, Asia Tenggara, Pasifik Selatan, serta beberapa daerah lain dengan skala yang lebih kecil (Semangun et all, 2005).

Tanaman kelapa sawit memiliki usia produktif 20-25 tahun, setelah usia tersebut tanaman kelapa sawit sudah tidak dianggap menguntungkan secara ekonomis. Pada tiga tahun pertama kelapa sawit disebut pohon muda karena belum menghasilkan buah yang sempurna atau disebut buah pasir. Kelapa sawit sudah mampu berbuah sempurna pada usia 3,5-4 tahun, di masa ini kelapa sawit sudah mampu menghasilkan tandan buah segar (TBS) dengan potensi 25-30 ton/ha/tahun. Kelapa sawit berproduksi secara optimal pada usia 8-14 tahun setelah itu kelapa sawit akan mengalami penurunan jumlah produksi (PPKS, 2008; Semangun et all, 2005). Karena sebagian besar perkebunan kelapa sawit berkembang pada tahun 1970-an, maka pada saat ini banyak tanaman yang potensial untuk dilakukan peremajaan lahan (Susila, 2007).

2.2. Crude Palm Oil

(33)

19

sawit banyak digunakan sebagai bahan baku makanan. Bahan makanan yang berbahan baku kelapa sawit antara lain : minyak goreng, margarin, lemak nabati untuk susu dan es krim, serta masih banyak lainnya. Sebagai bahan makanan, minyak kelapa sawit memiliki dua aspek kualitas. Aspek kualitas pertama berhubungan dengan kadar dan kualitas asam lemak bebas (FFA, Free Fatty Acid), serta kelembaban dan kadar kotor yang terkandung dalam minyak kelapa sawit tersebut. Aspek kualitas yang kedua berhubungan dengan aroma, rasa, kejernihan serta kemurnian dari produk. Minyak kelapa sawit yang bermutu prima (special quality) mengandung asam lemak bebas (FFA) tidak lebih dari dua persen pada saat pengapalan untuk diekspor atau diimpor. Sedangkan untuk kualitas standar minyak kelapa sawit mengandung tidak lebih dari lima persen asam lemak bebas.

2.3. Pola Kemitraan Perkebunan Kelapa Sawit

Pola perusahaan inti rakyat (PIR) adalah pola yang sangat cocok dengan komoditi kelapa sawit (Badrun, 2010). Konsep dari pola ini adalah pola pengembangan perkebunan rakyat di lahan bukaan baru atau di lahan sekitar perkebunan besar dengan mengintegrasikan aktifitas produksi melalui kerjasama yang saling membutuhkan dan menguntungkan. Pola ini mencoba menggabungkan keunggulan yang dimiliki oleh perkebunan rakyat dan perkebunan besar dengan azas kemitraan.

Pengembangan pola PIR melibatkan petani rakyat dengan kepemilikan penuh lahan minimal dua hektar per kepala keluarga, sebagai petani plasma. Dan perusahaan besar yang menjadi intinya berkewajiban membeli hasil panen dari petani plasma. Pola ini sangat sesuai dengan UUD 1945, khususnya pasal 33 ayat (3) yang berbunyi : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat”. Melalui metode ini hanya dalam 25 tahun sudah mampu

(34)

20

Pengembangan pola PIR menurut Badrun (2010), telah banyak memberikan perubahan positif pada pola pengusahaan kelapa sawit. Berikut adalah perubahan positif yang dimaksud :

1. Perubahan bentuk usaha, yang semula hanya dilakukan perusahaan besar sekarang dengan PIR perkebunan rakyat dapat dikembangkan.

2. Perubahan yang mendorong terciptanya kemitraan sehingga ada penggabungan kekuatan dan tidak bekerja sendiri-sendiri.

3. Perubahan arah pengembangan yang dahulu berupa intensifikasi pada lahan yang tetap sekarang mengarah ke perluasan lahan.

4. Tumbuh budaya petani Indonesia yang sadar disiplin, kualitas produk dan paham pasar global.

2.4. Konsep Perkebunan yang Berkelanjutan

Perkembangan kelapa sawit yang memiliki keunggulan kompetitif terhadap minyak nabati lain dan memiliki manfaat ekonomi, bukan berarti menjadikan Indonesia sebagai produsen CPO nomor satu di dunia melakukan pengusahaan kebun yang tidak layak secara lingkungan. Tudingan bahwa pengembangan perkebunan kelapa sawit berdampak merusak sumber daya alam, lingkungan hidup, perubahan iklim dan pemanasan global, menjadi tantangan global yang dapat mengganggu perkembangan kelapa sawit di Indonesia (Badrun, 2010).

Oleh karena itu saat ini dikembangkan suatu langkah sistematis tentang pembangunan kelapa sawit yang berkelanjutan yaitu Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Melalui sistem ini diharapkan masalah-masalah lingkungan hidup serta sosial seperti pengangguran dan kemiskinan daerah sekitar perkebunan mampu diatasi. Inti dari perundangan ini mencakup keterkaitan antara berbagai seri perundang-undangan. Adapun perundang-undangan yang menjadi bagian

(35)

21

pemanfaatan lahan gambut untuk kelapa sawit dan masih banyak peraturan-peraturan lainnya.

Permintaan CPO yang lestari menuntut Indonesia harus menerapkan ISPO secara tegas. Oleh karena itu kepatuhan penerapannya bersifat Mandatory artinya wajib sehingga akan dilakukan penindakan bagi yang melanggar (Badrun, 2010). Sebenarnya ada konsep global tentang perkebunan kelapa sawit yang lestari yaitu

Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) yang bersifat sukarela untuk mematuhinya. Namun bagi beberapa pihak seperti PPKS dan eksportir CPO, RSPO dianggap terlalu mendukung pembeli dari Uni Eropa yang membatasi volume ekspor CPO ke sana, dengan alasan lingkungan1. Sehingga penerapan ISPO cukup strategis dalam memberikan kejelasan hukum yang dianut dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit Indonesia.

2.5. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang peramalan kuantitatif komoditi kelapa sawit sudah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Penelitian peramalan tentang harga produk turunannya CPO yaitu olein di pasar Jakarta dan Rotterdam telah dilakukan oleh Ibrahim (2009) dengan metode Winters-Brown Multiplikatif karena memiliki persentase penyimpangan/ error (MAPE) terkecil dibandingkan dengan metode peramalan lainnya. Ibrahim (2009) menyatakan harga olein

dipengaruhi oleh harga CPO karena olein merupakan produk turunan dari CPO. Hasibuan (2010), Jafarudin (2005) dan Suganda (2006) dalam penelitiannya yang berkaitan dengan peramalan menyatakan metode peramalan yang terbaik adalah ARIMA, karena memiliki penyimpangan atau error terkecil dibandingkan dengan metode peramalan lainnya. Menurut Hanke (1996), metode ARIMA mampu menjelaskan dan meramalkan pola data yang memiliki pola trend dan stasioner sehingga sangat cocok untuk deret data yang panjang.

Penelitian yang lebih lengkap dilakukan oleh Hansen (2008), tentang peramalan produksi dan ekspor CPO dengan model ARIMA untuk merekomendasikan kebijakan yang akan dilakukan oleh stakeholder yang berada dalam bisnis kelapa sawit. Pada penelitian tersebut, peramalan yang dilakukan

1

(36)

22

belum fokus kepada inti permasalahan yang ada di perdagangan CPO yaitu masalah impor CPO yang terus dilakukan yang disebabkan oleh pengutamaan ekspor dibandingkan memenuhi konsumsi domestik Indonesia. Peneliti hanya meramalkan produksi dan ekspor tanpa memperhatikan permintaan domestik dan harga.

Penelitian lain yang dilakukan terkait dengan hubungan harga domestik CPO yang menjadi pertimbangan pebisnis untuk menjual CPO kedalam negeri, dilakukan oleh Drajat (2006), Maulana (1996) dan Haryanto (2008). Drajat (2006) menyatakan pergerakan harga CPO di pasar internasional diproyeksikan ke pasar domestik melalui mekanisme pasar, dan secara umum harga CPO domestik searah dengan harga minyak sawit di pasar internasional. Sedangkan menurut Maulana (1996), faktor-faktor yang mempengaruhi harga domestik CPO adalah permintaan domestik, penawaran domestik dan nilai tukar. Pernyataan yang lebih

komperhensif dinyatakan oleh Haryanto (2008), dia menyatakan korelasi antara produksi, volume ekspor, volume impor, dan konsumsi CPO domestik terhadap harga CPO, selain itu dalam penelitian tersebut dia juga menyatakan hubungan harga CPO nasional dengan harga CPO internasional. Berikut adalah pernyataan Haryanto (2008) :

1. Peningkatan produksi dan volume impor CPO akan menurunkan harga domestik,

2. Peningkatan volume ekspor CPO dan konsumsi CPO dalam negeri menyebabkan peningkatan harga CPO dalam negeri,

3. Harga CPO internasional berbanding lurus dengan harga CPO dalam negeri, sesuai dengan yang dinyatakan Drajat (2006).

Hampir semua pernyataan Haryanto sesuai dengan konsep permintaan dan penawaran dalam teori ekonomi mikro, namun pada kenyataannya permintaan CPO tidak selalu berbanding terbalik dengan harga CPO. Permintaan CPO terus naik dari dari waktu ke waktu begitupun juga harga CPO namun hal ini tidak mengurangi volume permintaan ekspor dan domestik.

(37)

23

memperoleh keuntungan yang lebih besar dengan asumsi tidak dipengaruhi biaya-biaya lainnya, seperti biaya-biaya transportasi (Suganda, 2006). Askadarimi (2007) menyatakan ekspor CPO Indonesia dipengaruhi oleh harga ekspor (internasional), nilai tukar dan pajak produksi, sedangkan impor dipengaruhi oleh produksi CPO, permintaan domestik, serta pajak ekspor. Melalui metode 2SLS penelitian tersebut juga menjelaskan penurunan pajak ekspor lima persen dapat meningkatkan ekspor sebesar 1,19 persen.

Penelitian mengenai permintaan ekspor CPO yang dilakukan oleh Mahisya (2004) berdasarkan data ekspor bulanan yang diperoleh dari tahun 1998 sampai 2003, menunjukkan volume ekspor CPO Indonesia membentuk suatu pola yang khas, yaitu dalam satu tahun jumlah tertinggi volume pemintaan ekspor terjadi pada akhir tahun, antara bulan November dan Desember sedangkan volume permintaan ekspor CPO akan turun drastis pada awal tahun yaitu di bulan Januari. Dalam penelitian tersebut Mahisya menyarankan peningkatan ekspor CPO Indonesia ke pasar dunia sebaiknya dihadapi secara strategis dan proporsional karena harus tetap menganalisis dan mengantisipasi ekspor oleh negara lain dalam seperti Malaysia dalam bentuk processed palm oil (PPO) yang memberikan harga ekspor yang lebih tinggi, melalui pengembangan industri pengolahan CPO untuk meningkatkan produksi produk turunannya. Sedangkan Hansen (2008) menyatakan usaha pemerintah dalam hal menghadapi keseimbangan laju ekspor dan produksi sebagai sumber pemenuhan permintaan CPO domestik, pemerintah harus menerapkan kebijakan Pajak Ekspor (PE). Selain itu petani dan pebisnis perlu meningkatkan produktivitas seperti penggunaan bibit unggul.

(38)

24

(39)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Konsep Kondisi Keseimbangan Permintaan-Penawaran

Keseimbangan antara permintaan dan penawaran ini terjadi ketika kurva permintaan dan penawaran berpotongan sehingga jumlah yang dijual oleh perusahaan sama dengan jumlah yang dibeli oleh konsumen. Dalam kondisi keseimbangan ini (equibrilium condition), efisiensi ekonomi tercapai karena berapapun output yang dihasilkan oleh perusahaan dapat diserap oleh konsumen melalui pasar. Daerah diatas keseimbangan menunjukkan adanya kelebihan penawaran (excess supply). Sedangkan daerah dibawah titik keseimbangan menunjukkan kelebihan permintaan (excess demand). Dalam negara perekonomian terbuka hal ini merupakan dasar tercipta hubungan perdagangan dimana kedua kelebihan tersebut dapat ditutupi dengan melakukan ekspor atau impor.

Gambar 6. Kurva Keseimbangan Permintaan-Penawaran Sumber : Lipsey, et all., 1996

3.1.2. Ekspor-Impor dan Perdagangan Internasional 3.1.2.1.Ekspor

Lipsey (1996) menyatakan ekspor adalah aliran perdagangan suatu komoditi dari dalam negeri ke luar negeri. Ekspor dapat diartikan suatu total penjualan barang yang dapat dihasilkan oleh suatu negara, kemudian diperdagangkan kepada negara lain dengan tujuan mendapatkan devisa. Suatu negara dapat mengekspor barang-barang yang dihasilkan pengekspor. Ekspor

D

Jumlah yang dipertukarkan QE

0 Harga (P)

PE

E

(40)

26

merupakan suatu kegiatan yang banyak memberikan keuntungan-keuntungan bagi para pelakunya, adapun keuntungan-keuntungan tersebut antara lain : meningkatkan laba perusahaan dan devisa negara, dan membiasakan diri bersaing dengan pasar internasional. Ekspor dapat meningkatkan dan menciptakan pembagian lapangan pekerjaan dan skala setiap produsen domestik agar mampu menghadapi persaingan dari yang lainnya (Salvatore, 1997).

3.1.2.2.Impor

Permintaan impor suatu negara terjadi apabila jumlah barang yang diminta oleh konsumen domestik melebihi jumlah barang yang ditawarkan produsen domestik pada suatu barang tertentu (Koo dan Kennedy, 2005). Permintaan dan penawaran domestik melalui analisis keseimbangan pasar. Dapat dilihat di Gambar 6 kurva permintaan dan penawaran saling memotong di titik E dengan harga P0 dan jumlah barang yang diminta dan ditawarkan Q0. Tetapi jika terjadi

penurunan harga dari P0 ke P1, penawaran domestik akan terjadi penurunan

menjadi QS1 sebaliknya permintaan domestik akan naik menjadi QD1 sebagai

transformasi dari mekanisme penyesuaian. Akibat pergerakan tersebut, kelebihan

permintaan dapat dititipi dengan impor sebesar a’b’. Dapat dilihat pada Gambar 7

[image:40.595.106.481.463.635.2]

:

Gambar 7. Kurva Impor Penurunan dari Kurva Keseimbangan Pasar. Sumber : Koo dan Kennedy, 2005

E

Q Q

P P

P1

P2

a’b'

P0

Q0 QD QD

QS1

QS2

c’d’

(41)

27

3.1.2.3.Perdagangan Internasional

Kondisi keseimbangan menandakan suatu keadaan dengan tidak adanya hubungan perdagangan di dalamnya, dikatakan demikian karena seluruh output yang diproduksi oleh seluruh perusahaan dapat diserap oleh konsumen. Dalam perdagangan, keadaan ini disebut kondisi autarki (no trade) dan dalam perekonomian hal ini menandakan belum terjadinya hubungan perdagangan dengan luar negeri atau disebut juga perekonomian tertutup. Ciri dari perekonomian makro dapat dilihat dari aliran ekonomi makro dan mikronya yang tidak melibatkan pihak luar negeri untuk barang-barang impor dan tidak pula pembayaran dari luar negeri ke produsen domestik untuk barang yang diekspor.

Perbedaan penting antara perekonomian terbuka dengan perekonomian tertutup adalah dalam perekonomian terbuka, pengeluaran suatu negara selama periode waktu tertentu tidak perlu sama dengan yang mereka hasilkan dari memproduksi barang dan jasa. Dalam perekonomian tertutup, seluruh output dijual ke pasar domestik dan pengeluaran dibagi menjadi tiga komponen, yaitu konsumsi, investasi, dan belanja pemerintah. Dalam perekonomian terbuka, sebagian ouput dijual ke pasar domestik, sebagian lagi dijual diekspor ke negara lain sehingga terdapat komponen barang ekspor dalam pengeluaran atau pos pendapatan nasional (Mankiw, 2003).

Dasar dari terciptanya hubungan perdagangan internasional ini adalah Hukum Keunggulan Absolut Adam Smith dan Hukum Keunggulan Komparatif dari David Richardo. Keunggulan absolut dapat terjadi apabila negara melakukan spesialisasi pada produk komoditi yang memiliki keunggulan absolut dan menukar sebagian output ini untuk memperoleh output yang memiliki kerugian absolut. Sedangkan menurut David Richardo, perdagangan dapat terjadi meskipun salah satu negara kurang efisien dibandingkan negara lainnya dalam memproduksi kedua komoditi. Negara yang kurang efisien harus berspesialisasi dalam produk dan mengekspor komoditi yang kerugian absolutnya lebih sedikit (yaitu komoditi yang memiliki kenggulan komparatif) (Salvatore, 1997).

(42)

28

suatu negara akan melakukan impor. Dalam model perdagangan internasional, ekspor terjadi ketika suatu negara mengalami kelebihan penawaran (excess supply) yang ditandai dengan terpenuhinya kebutuhan dalam negeri dan sisa barang masih ada dan diekspor ke luar negeri. Sebaliknya, impor terjadi dalam kondisi kelebihan permintaan (excess demand) yang ditandai dengan kekuangan kebutuhan dalam negeri sehingga mengharuskan impor dari luar.

[image:42.595.70.511.506.727.2]

Model yang menjelaskan hubungan perdagangan ini digambarkan dalam analisis keseimbangan parsial dan analisis keseimbangan umum (general equibrilium analysis). Dalam analisis keseimbangan parsial (pendekatan residual) kita hanya melihat hubungan perdagangan melalui satu pasar komoditi saja, sedangkan dalam analisis keseimbangan umum, kita melihat terjadinya hubungan perdagangan dari dua pasar komoditi. Asumsi yang digunakan dalam analisis keseimbangan parsial adalah dengan nilai tukar (term of trade) sama dengan satu, kondisi pasar persaingan sempurna, tidak ada intervensi dari pemerintah dan negara kecil. Dalam analisis keseimbangan parsial, kita menggunakan kurva permintaan dan penawaran untuk setiap komoditi yang diperdagangkan, kurva-kurva itu sendiri merupakan derivasi dari kurva-kurva batas kemungkinan produksi dan peta indeferen yang digunakan dalam analisis keseimbangan umum. Penjelasan terjadinya hubungan perdagangan antara dua negara dijelaskan pada kurva dibawah ini :

Gambar 8. Kurva Keseimbangan Perdagangan Internasional Sumber : Salvatore, 1997

Negara A Keseimbangan Ekspor-Impor Negara B

SA

DA

IM EX

DB

SB

Q1 Q2 Q3 Q1 Q4 Qd Q QB

5 Q6 Q7

EA

Ed

EB

P P P

Pw1

(43)

29

Diasumsikan bahwa negara A adalah negara kecil yang memproduksi suatu komoditi, kondisi keseimbangan sebelum dibukanya hubungan perdagangan (autarki) terletak pada titik EA. Di titik harga domestik yang berlaku di negara A

(Pd) sama dengan harga dunia (Pw) dan jumlah komoditi yang dipertukarkan

adalah Q2. Apabila kemudian terjadi kenaikan harga dunia dari Pd = Pw menjadi

P1w, maka harga dunia yang lebih tinggi dari harga domestik ini memberikan

insentif bagi para produsen di negara A untuk memproduksi lebih banyak. Kelebihan penawaran (excess supply) yang terjadi mendorong produsen untuk menjajaki keuntungan di pasar internasional melalui ekspor. Pada Gambar 8 diatas jumlah yang diekspor adalah sebanyak Q2-Q3 yang sama dengan jumlah di

keseimbangan ekspor-impor dunia (0-Q4) dan yang diterima di negara pengimpor

B (Q5-Q7). Kurva ekspor dunia (EX) merupakan penjumlahan dari ekspor

komoditi sejenis pada negara A dan kurva impor dunia (IM) merupakan penjumlahan dari impor komoditi sejenis pada negara B. Kurva ini dibuat dengan menarik dari titik keseimbangan masing-masing negara.

3.1.3. Analisis Asosiasi dan Karakteristik Korelasi

Sepanjang sejarah manusia selalu mencari adanya hubungan atau tidak antara dua hal baik dalam bentuk peristiwa, kejadian atau fenomena. Berbagai usaha dilakukan peneliti untuk membuat berbagai metode yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang hubungan ini. Penelitian mengenai hal yang dianggap memiliki hubungan antara satu dengan yang lain disebut analisis asosiasi.

Korelasi menunjukan kekuatan hubungan antar dua variabel atau lebih dengan skala-skala data tertentu. Skala-skala tersebut antara lain :

1. Skala nominal, menurut Sarwono (2008) adalah ukuran skala yang paling sederhana, angka tersebut diberikan kepada suatu sebagai suatu label saja dan tidak menunjukkan suatu tingkatan apapun. Ciri-ciri data yang memiliki skala nominal adalah hanya menunjukkan atribut, klasifikasi dan identifikasi atau nama. Data nominal adalah data kontinue yang tidak memiliki urutan.

Misalnya tentang pertanyaan “ya” atau “tidak”, “setuju” atau “tidak setuju”.

(44)

30

mengurutkan atau merangking objek dari yang paling tinggi sampai paling rendah atau sebaliknya. Alat analisis asosiasi yang lazim digunakan adalah

SpearmanRank Correlation dan Kendall Tau.

3. Skala interval. Skala data ini mempunyai sifat-sifat ukuran ordinal dan ditambah satu sifat lain, yakni jarak yang sama pada pengukuran dinamakan data interval. Data ini memperlihatkan jarak yang sama dari ciri atau sifat objek yang diukur. Misalnya tentang nilai ujian 6 orang mahasiswa, yakni A, B, C, D, E dan F diukur dengan ukuran interval pada skala prestasi dengan ukuran 1, 2, 3, 4, 5 dan 6, maka dapat dikatakan bahwa beda prestasi antara C dan A adalah 3 – 1 = 2. Beda prestasi antara C dan F adalah 6 – 3 = 3. Akan tetapi tidak bisa dikatakan bahwa prestasi E adalah 5 kali prestasi A ataupun prestasi F adalah 3 kali lebih baik dari prestasi B.

4. Skala ratio adalah skala data yang meliputi semua ukuran di atas ditambah dengan satu sifat yang lain, yakni ukuran yang memberikan keterangan tentang nilai absolut dari objek yang diukur dinamakan ukuran ratio. Ukuran ratio ini memiliki titik nol. Karenanya, interval jarak tidak dinyatakan dengan beda angka rata-rata satu kelompok dibandingkan dengan titik nol di atas. Oleh karena ada titik nol, maka ukuran ratio dapat dibuat perkalian ataupun pembagian. Angka pada skala dengan ukuran ratio dapat menunjukkan nilai sebenarnya dari objek yang diukur. Misalnya pertanyaan jumlah tanggungan keluarga : <2, antara 2 dan 5, atau >5.

Kekuatan asosiasi atau kekuatan hubungan dapat dilihat melalui koefisien korelasi (rs). Koefesien korelasi ialah pengukuran statistik kovarian atau asosiasi

(45)

31

Berikut ini adalah koefisien korelasi (rs) dalam kisaran korelasi dan

interpretasinya (Sarwono, 2008) :

1. Koefisien korelasi (rs) sama dengan nol (0) berarti antara variabel X dan Y tidak ada hubungan yang signifikan pada taraf nyata α.

2. Koefisien korelasi (rs) sama dengan satu (1) berarti antara variabel X dan Y memiliki korelasi sempurna dan signifikan pada taraf nyata α.

3. Koefisien korelasi 0 < rs < 0,25 berarti antara X dan Y memiliki korelasi yang lemah dan signifikan pada taraf nyata α.

4. Koefisien korelasi 0,25 < rs < 0,75 berarti antara X dan Y memiliki korelasi yang kuat dan signifikan pada taraf nyata α.

5. Koefisien korelasi 0,75 < rs < 0,99 berarti antara X dan Y memiliki korelasi yang sangat kuat dan signifikan pada taraf nyata α.

3.1.4. Korelasi Rank Spearman

Korelasi rank Spearman adalah metode analisis asosiasi/hubungan yang paling awal dikembangkan dan mungkin paling baik dikenal dengan baik hingga ini. Analisis asosiasi ini menuntut variabel data yang dianalisis sekurang-kurangnya adalah skala ordinal, sehingga objek-objek yang ingin diteliti dapat

di-ranking dalam dua rangkaian berurut.

Korelasi rank Spearman mengharuskan kita untuk memenuhi asumsi-asumsi dasar yang mendukung penggunaan alat anlisis ini. Asumsi-asumsi-asumsi yang dipakai antara lain :

1. Data untuk analisis merupakan sebuah sample acak yang terdiri atas n pasang hasil pengamatan numerik atau nonnumerik. Setiap pasangan yang berasal dari dua pengukuran terhadap objek atau individu yang sama, disebut unitasosiasi.

2. Jika data terdiri atas hasil-hasil pengamatan dari suatu populasi yang

bivariate maka ditetapkan ke-n hasil pengamatan dengan (X1 , Y1), (X2 ,

Y2),..., (Xn , Yn).

(46)

32

4. Setiap nilai Y ditetapkan peringkatnya relatif terhadap semua nilai Y yang teramati, dari yang terkecil hingga yang terbesar. Peringkat nilai Y ke-i diberi notasi R(Y1), dan R(Y1) = 1 bila Y1 adalah nilai Yteramati yang paling kecil.

5. Jika di antara nilai-nilai X atau Y terdapat angka sama masing-masing nilai yang sama diberi peringkat rata-rata dari posisi-posisi yang seharusnya. 6. Jika data terdiri atas hasil pengamatan nonnumerik bukan angka, data tersebut

harus dapat diperingkatkan seperti yang telah dijelaskan.

Sedangkan hipotesis-hipotests yang dapat digunakan dalam analisis asosiasi metode rank Spearman antara lain :

1. Dua sisi (A)

Ho : X dan Y saling bebas

H1 : X dan Y entah saling bertalian langsung atau invers. 2. Satu sisi (B)

Ho : X dan Y saling bebas

H1 : Ada suatu bertalian langsung antara X dan Y 3. Satu sisi (C)

Ho : X dan Y saling bebas

H1 : Ada suatu bertalian invers antara X dan Y

Jika sampel-sampel berukuran 4 hingga 30, digunakan tabel nilai kritis korelasi rank Spearman (Lampiran 1). Sedangkan untuk memilih hipotesis ada kaidah-kaidah yang harus dipenuhi. Berikut kaidah-kaidah yang harus dipenuhi untuk memilih hipotesis mana yang signifikan :

1. Untuk A (dua sisi) : Tolak Ho pada taraf nyata α, jika nilai rs hitung lebih

daripada positif nilai rs tabel atau nilai rs hitung lebih kecil daripada negatif nilai

rs tabel pada taraf nyata 1-α/2.

2. Untuk B (satu sisi) : Tolak Ho pada taraf nyata α, jika nilai rs hitung lebih

besar daripada rs tabel pada taraf nyata 1-α.

3. Untuk C (Satu sisi) : Tolak Ho pada nyata α, jika nilai rs hitung lebih kecil

daripada negatif nilai rs tabel pada taraf nyata 1-α.

3.1.5. Peramalan

(47)

33

all., 1981). Peramalan dibutuhkan ketika tidak ada kepastian yang terdapat dalam lingkungan bisnis atau lingkungan bisnis atau ekonomi yang diperlukan dalam perencanaan. Peramalan bukanlah hasil akhir, melainkan sebagai masukan dalam proses pengambilan keputusan. Makridakis et. al. (1999) menyatakan bahwa alasan utama dilakukannya perencanaan dan peramalan adalah adanya selang waktu (time lag) antara kebutuhan mendatang dengan peristiwa yang terjadi sekarang. Dengan semakin meningkatnya aktivitas bisnis, maka peramalan bisnis sangatlah diperlukan.

Peramalan yang hanya didasari hanya pada pendugaan peristiwa yang terjadi di masa yang akan datang hanya didasarkan pada intuisi atau kecermatan peramal yang sering bersifat subjektif. Sering kali pengambil keputusan sadar bahwa dugaannya tidak dapat dijadi

Gambar

Gambar 7. Kurva Impor Penurunan dari Kurva Keseimbangan Pasar.
Gambar 8. Kurva Keseimbangan Perdagangan Internasional
Tabel 5. Kelebihan dan Kelemahan Metode ARIMA (Box-Jenkins)
Gambar 9.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Harga ekspor CPO mempunyai pengaruh positif dan tidak signifikan, nilai tukar mempunyai pengaruh positif dan signifikan, produksi CPO domestik mempunyai pengaruh positif

juga dapat mengurangi kemungkinan bangkrut, memungkinkan perusahaan untuk mendapatkan kredit dari kreditor dengan lebih mudah, menjalin kerjasama yang lebih baik dengan

1 unit gandum diperlukan 10 unit tenaga kerja di Inggris sedangkan di Amerika hanya 8 unit (10 &gt; 8). 1 unit pakaian di Amerika memerlukan 4 unit tenaga kerja sedangkan di

1 unit gandum diperlukan 10 unit tenaga kerja di Inggris sedangkan di Amerika hanya 8 unit (10 &gt; 8). 1 unit pakaian di Amerika memerlukan 4 unit tenaga kerja sedangkan di

Salah satu pengembangan penelitian adalah kelanjutan dari temuan ilmiah dari penelitian ini yaitu menganalisis determinan ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa dengan

VOLUME EKSPOR CRUDE PALM OIL (CPO) INDONESIA PERIODE 1984- 2014” untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi dan

Peningkatan tarif ekspor sebesar satu persen mengakibatkan penurunan volume ekspor CPO, produksi minyak goreng sawit domestik dan permintaan CPO oleh industri

4.Pengaruh antara produksi, harga Internasional dan nilai tukar dengan volume ekspor Indonesia Berdasarkan hasil penelitian ini, nilai signifikansi untuk pengaruh X1, X2 dan X3 secara