• Tidak ada hasil yang ditemukan

Formulasi, Kandungan Zat Gizi dan Daya Terima Madu-Galohgor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Formulasi, Kandungan Zat Gizi dan Daya Terima Madu-Galohgor"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

FORMULASI, KANDUNGAN ZAT GIZI DAN DAYA TERIMA

MADU-GALOHGOR

ADHI KRISTIANTO

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Formulasi, Kandungan Zat Gizi dan Daya Terima Madu-Galohgor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2013

Adhi Kristianto

NIMI14080094

(3)

ABSTRACT

ADHI KRISTIANTO. Formulation, Nutrients Content and Acceptability of Honey-Galohgor. Under direction of KATRIN ROOSITA and SITI SA’DIAH.

Galohgor is a traditional Sundanese herbal medicine made from 56 kinds of medicinal plants. Galohgor is believed to increase the production of breast milk (ASI), hastened uterus involution and improve physical fitness after delivery (post partum). This research aims to study formulation, acceptability for Honey-Galohgor product, and nutrients content of Honey-Honey-Galohgor product. The research was carried out through several phases, the preparation of Galohgor, followed by the extraction, formulation, analysis of nutrient content, and organoleptic test of the product. Honey-Galohgor was made from honey, Galohgor, water, and Sodium-Carboxy metyl cellulose (CMCNa) as suspending agent. The organoleptic test result showed that Honey-Galohgor powder product is more prefereble compared to Honey-Galohgor extract, regarding its taste and aroma. The nutrient content of Honey-Galohgor Extract is higher compared to Honey-Galohgor Powder, except for its carbohydrate content.

(4)

RINGKASAN

ADHI KRISTIANTO. Formulasi, Kandungan Zat Gizi dan Daya Terima Madu-Galohgor. Di bawah bimbingan KATRIN ROOSITA and SITI SA’DIAH.

Masyarakat yang kurang mampu dan tinggal di daerah pedesaan terkadang sulit untuk mendapatkan obat karena harga obat yang tidak terjangkau dan jarak ke kota atau ke apotik yang jauh. Oleh karena itu, masyarakat pedesaan biasanya lebih sering mengkonsumsi ramuan tradisional daripada obat-obatan ataupun suplemen. Ramuan tradisional ini dapat berupa jamu ataupun tanaman obat yang dimakan langsung (Harmanto dan Subroto 2007). Salah satu contoh ramuan tradisional adalah Galohgor. Galohgor adalah

nutraceutical yang terdiri dari 56 jenis tanaman.Berdasarkan hasil survei, manfaat konsumsi Galohgor pada ibu post partum antara lain meningkatkan produksi air susu ibu (ASI), mempercepat penyembuhan rahim dan meningkatkan kebugaran tubuh.

Madu merupakan produk hewani yang kaya karbohidrat berupa fruktosa dan glukosa serta bermacam-macam mineral seperti kalsium, natrium, kalium, magnesium, besi, chlorine, fosfor, sulfur, garam iodium. Konsumsi madu dapat meningkatkan asupan mineral tubuh pada ibu menyusui sehingga dapat meningkatkan mineral dalam ASI (Winarno 1990). Berdasarkan pertimbangan tentang berbagai macam kandungan serta manfaat madu dan Galohgor, maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan produk Madu-Galohgor.Penambahan madu berfungsi untuk meningkatkan daya terima Galohgor serta meningkatkan kandungan zat gizinya.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari formulasi Madu-Galohgor, daya terima, dan kandungan zat gizinya. Tujuan khususnya adalah membuat Galohgor dengan metode ekstraksi, menganalisis zat gizi jamu Galohgor ekstrak dan serbuk, merancang formulasi produk Madu-Galohgor, membandingkan daya terima produk Madu-Galohgor ekstrak dan serbuk, menganalisis zat gizi produk Madu-Galohgor ekstrak dan serbuk.

Penelitian ini merupakan salah satu bagian dari penelitian tentang khasiat, mekanisme dan saintifikasi produk Galohgor. Penelitian pengembangan produk Madu-Galohgor dilakukan pada bulan April-Juli 2012 di Departemen Gizi Masyarakat, Departemen Teknologi Pangan, dan Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, Bogor.Data hasil penelitian diolah menggunakan Microsoft Excell for Windows, kemudian dianalisis menggunakan uji Mann-Whitney.

Madu-Galohgor dibuat dari Galohgor, madu, dan air dengan perbandingan 10: 15: 75. Suspending agent yang dipakai dalam pembuatan Madu-Galohgor adalah Sodium-Carboxy metyl cellulose (CMCNa). Formula Madu-Galohgor ekstrak (MGE) dapat dibuat menjadi produk yang stabil pada konsentrasi CMCNa 0.125%. Sementara untuk formula Madu-Galohgor serbuk (MGS) dapat dibuat pada konsentrasi CMCNa 0.5%.

Rasa dan aroma dari produk MGS lebih baik daripada MGE. Uji mutu hedonik menunjukkan bahwa produk MGS lebih disukai responden dari produk MGE, namun produk MGE memiliki homogenitas yang lebih baik dibanding produk MGS.

(5)

(bb). Berdasarkan hasil perhitungan, kadar karbohidrat MGS 15.4% (bb) dan MGE 7.1% (bb).

(6)

©HakCipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB

(7)

FORMULASI, KANDUNGAN ZAT GIZI DAN DAYA TERIMA

MADU-GALOHGOR

ADHI KRISTIANTO

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(8)

Judul : Formulasi, Kandungan Zat Gizi dan Daya Terima Madu-Galohgor

Nama : Adhi Kristianto NIM : I14080094

Disetujui oleh

Katrin Roosita, SP MSi. Siti Sa’diah, MSi Apt. Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS. Ketua Departemen

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas segala kasih karunia dan penyertaan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Formulasi, Kandungan Zat Gizi dan Daya Terima Madu-Galohgor”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Gizi dari Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Atas segala bantuan yang telah diberikan selama penyusunan skripsi ini, tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada :

1. Katrin Roosita, SP MSi. dan Siti Sa’diah, MSi Apt. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan serta memberikan semangat kepada penulis.

2. Orang tua serta adik yang selalu mendoakan dan member motivasi agar segera menyelesaikan studi di IPB.

3. Rohadi dan Farida atas bantuan dan kerja samanya dalam melaksanakan penelitian ini.

4. Teman-teman GM 46, GM 45, dan ITP 45 yang telah bersedia menjadi panelis dalam uji organoleptik Madu-Galohgor.

5. Teknisi di laboratorium Gizi, serta semua staff Departemen Gizi Masyarakat yang lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. 6. Teman-teman GM 45 yang telah memberikan masukan serta motivasi

kepada penulis.

Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi penulis dan masyarakat serta memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Tidak lupa penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan hal-hal yang tidak berkenan selama penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini sangat diharapkan.

Bogor, 27 Maret 2013

(10)

RIWAYAT HIDUP

(11)

DAFTAR ISI

Pengolahan dan Analisis Data ... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Serbuk dan Ekstrak Galohgor ... 18

Kandungan Zat Gizi Jamu Galohgor ... 19

Formulasi Madu-Galohgor ... 23

Uji Organoleptik ... 25

Kandungan Zat Gizi Madu-Galohgor ... 27

KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi formula Madu-Galohgor ... 15

2. Penilaian uji hedonik dan mutu hedonik ... 26

3. Kadar abu dan kandungan zat gizi jamu Galohgor ... 21

4. Kandungan mineral jamu Galohgor ... 23

5. Karakteristik formula Madu-Galohgor ... 24

6. Nilai modus hasil uji hedonik Madu-Galohgor ... 26

7. Nilai modus hasil uji mutu hedonik Madu-Galohgor ... 27

8. Kadar abu dan kandungan zat gizi Madu-Galohgor ... 30

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Vacuum evaporator ... 7

2. Drum dryer ... 8

3. Serbuk dan ekstrak Galohgor ... 19

4. Madu-Galohgor serbuk dan Madu-Galohgor ekstrak ... 25

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Bahan dan komposisi Galohgor dari Desa Sukajadi ... 39

2. Prosedur analisis zat gizi ... 41

3. Contoh perhitungan sumbangan zat gizi bagi ibu menyusui ... 44

4. Formulir uji organoleptik ... 45

5. Data hasil uji hedonik dan mutu hedonik Madu-Galohgor ... 47

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kesehatan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas dan kualitas sumber daya manusia. Manusia mampu melaksanakan berbagai aktivitas dalam hidupnya jika mempunyai tubuh yang sehat. Oleh karena itu, manusia selalu berusaha meningkatkan derajat kesehatannya melalui berbagai cara, antara lain dengan mengonsumsi obat-obatan, suplemen, maupun ramuan tradisional. Upaya-upaya tersebut bertujuan untuk mengobati, meringankan gejala, dan mencegah penyakit, sehingga tubuh selalu dalam keadaan sehat (Harmanto et al. 2007).

Masyarakat yang kurang mampu dan tinggal di daerah pedesaan terkadang sulit untuk mendapatkan obat karena harga obat yang tidak terjangkau dan jarak ke kota atau ke apotik yang jauh dapat menyulitkan masyarakat yang tinggal di pedesaan karena umumnya apotik hanya berada di daerah perkotaan. Oleh karena itu, masyarakat pedesaan biasanya lebih sering mengonsumsi ramuan tradisional daripada obat-obatan ataupun suplemen. Ramuan tradisional ini dapat berupa jamu ataupun tanaman obat yang dimakan langsung (Harmanto

et al. 2007) .

Keanekaragaman ramuan obat tradisional di Indonesia berkembang karena ditunjang oleh keanekaragaman hayatinya. Indonesia memiliki ribuan spesies tanaman tropis yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Hal ini menyebabkan adanya berbagai jenis ramuan tradisional yang berbeda antar daerah. Perbedaan kebudayaan dan kepercayaan setempat juga menjadi faktor yang membuat perbedaan ini makin jelas terlihat. Cara pembuatan ramuan obat tradisional ini diturunkan secara turun-temurun dari orang tua ke anaknya (Harmanto et al. 2007).

Salah satu contoh ramuan tradisional adalah Galohgor yang terbuat dari 56 jenis tanaman. Berdasarkan hasil survei, manfaat konsumsi Galohgor pada

ibu post partum antara lain meningkatkan produksi air susu ibu (ASI),

(16)

sehingga dihasilkan serbuk kasar yang dapat dikonsumsi langsung sebagai makanan kudapan. Metode pengeringan dalam pembuatan Galohgor yang telah dikembangkan adalah dengan metode drum drying yang menghasilkan produk berupa serbuk halus (Pajar 2002, Roosita, 2003). Adapun metode ekstraksi untuk menghasilkan ekstrak Galohgor belum pernah dilakukan sebelumnya.

Madu merupakan produk hewani yang kaya karbohidrat berupa fruktosa dan glukosa serta bermacam-macam mineral seperti kalsium, natrium, kalium, magnesium, besi, chlorine, fosfor, sulfur, garam iodium. Konsumsi madu dapat meningkatkan asupan mineral tubuh dimana pada ibu menyusui hal tersebut dapat meningkatkan mineral dalam ASI (Winarno 1990). Berdasarkan pertimbangan tentang berbagai macam kandungan serta manfaat madu dan Galohgor, maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan produk Madu-Galohgor. Penambahan madu berfungsi untuk meningkatkan daya terima Galohgor serta meningkatkan kandungan zat gizinya.

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Penelitian ini untuk mempelajari formulasi Madu-Galohgor, daya terima, dan kandungan zat gizinya.

Tujuan Khusus

1. Mengetahui metode ekstraksi Galohgor.

2. Menganalisis zat gizi ekstrak dan serbuk Galohgor. 3. Merancang formulasi Madu-Galohgor.

4. Membandingkan daya terima Madu-Galohgor ekstrak dan serbuk. 5. Menganalisis zat gizi Madu-Galohgor ekstrak dan serbuk.

Kegunaan

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Galohgor dan Kandungan Gizinya

Galohgor merupakan jamu postpartum yang terdiri dari 56 jenis tanaman dan telah banyak dikenal oleh suku Sunda. Di desa Sukajadi, kecamatan Tamansari, kabupaten Bogor, ibu yang baru saja melahirkan mempunyai kebiasaan mengonsumsi jamu Galohgor. Jamu Galohgor biasanya diminum dua kali sehari (pagi dan sore) setelah melahirkan sampai 40 hari setelah melahirkan. Hasil survey yang dilakukan Pajar (2002) menunjukkan bahwa pengetahuan dan kebiasaan mengonsumsi Galohgor diperoleh dari orang tua dan tetangga. Keadaan ini menyebabkan tradisi turun-temurun. Adapun cara penggunaannya dengan dimakan langsung atau diseduh dengan gula sesuai selera. Secara empirik jamu Galohgor memiliki manfaat antara lain meningkatkan kondisi kesehatan ibu setelah melahirkan dan meningkatkan volume ASI (Roosita 2003 dan Dahlianti 2004).

Pada penelitian sebelumnya telah diteliti kandungan gizi dan senyawa aktif yang dalam jamu Galohgor yang dibuat dengan metode drum drying. Galohgor mengandung senyawa-senyawa aktif antara lain alkaloid, flavonoid, terpenoid (Pajar 2002). Berdasarkan penelitian Masruroh (2004), terdapat kandungan antioksidan yang cukup tinggi pada Galohgor. Hal ini disebabkan oleh bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan jamu tersebut berasal dari 56 jenis tanaman obat yang tinggi senyawa antioksidannya. Galohgor mengandung senyawa antioksidan seperti vitamin C, karotenoid, vitamin E, dan senyawa fenol (Masruroh 2004). Sehingga dapat dikatakan Galohgor berpotensi sebagai obat pencegah kanker atau dapat digunakan sebagai pengobatan segala jenis kanker serta memperlambat proses penuaan dini.

Berbagai macam tanaman yang menjadi bahan Galohgor mempunyai fungsi yang unik dan bermanfaat. Hembing (2001) menyatakan bahwa biji pala mengandung asam linoleat, jahe bermanfaat untuk membersihkan darah kotor setelah melahirkan, kencur dapat mengecilkan rahim setelah melahirkan, kunyit sebagai obat radang rahim, temu hitam dapat mencegah penularan penyakit pada bayi melalui ASI.

(18)

besi, seng dan iodium masing-masing 71.8 ppm (bk), 234.8 ppm (bk), 64.5 ppm (bk), 102.9 ppm (bk).

Karbohidrat dalam sumber pangan nabati umumnya berupa polisakarida. Polisakarida dan disakarida terhidrolisis oleh enzim pencernaan dan diabsorbsi tubuh dalam bentuk monosakarida (Gaman dan Sherrington 1992). Bahan penyusun Galohgor yang mengandung banyak karbohidrat antara lain beras dan jagung.

Sumber protein dari Galohgor antara lain berasal dari kedelai, kacang tanah dan beras. Protein nabati umumnya mempunyai Biological Value (BV) yang lebih rendah dari protein hewani. Jumlah protein yang siap untuk digunakan oleh tubuh tergantung dari Biological Value (BV) protein tersebut. Kekurangan ini dapat ditutupi dengan susunan makanan campuran yaitu mengkonsumsi sumber pangan hewani dan nabati secara seimbang. Selain itu, protein nabati lebih menguntungkan karena lebih murah daripada protein hewani (Winarno 2002).

Jumlah gram protein dalam bahan pangan biasanya dihitung sebagai hasil perkalian jumlah nitrogen dengan faktor 6.25. Konstanta tersebut diperoleh dari asumsi bahwa protein mengandung 16% nitrogen, dan 100 dibagi 16 adalah 6.25. Metode yang biasa digunakan untuk menetapkan kadar nitrogen dalam bahan pangan adalah metode Kjeldahl (Apriyantono et al. 1989).

Lemak mengandung asam- asam lemak yang dapat dibagi menjadi dua yaitu asam lemak esensial dan asam lemak non esensial. Beberapa contoh asam lemak esensial misalnya asam oleat, asam linoleat, asam linolenat, dan asam aracchidonat. Asam lemak non esensial antara lain adalah asam butirat, asam palmitat, asam kaproat dan sebagainya. Asam lemak esensial harus didapatkan dari makanan karena tidak dapat disintesis oleh tubuh (Muchtadi 1989). Sumber lemak dalam Galohgor antara lain berasal dari kedelai dan kacang tanah.

Pengukuran kandungan lemak dalam bahan pangan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu cara yang sering digunakan adalah dengan menggunakan metode soxhletasi. Lemak yang terdapat dalam bahan diekstrak dengan pelarut heksana (Apriyantono et al. 1989).

(19)

Galohgor yang sebagian besar terdiri dari biji-bijian (75.60%) dan daun-daunan (10.94%) dapat dikatakan mengandung serat dan fitat yang dapat menghambat ketersediaan biologis seng (Pratiwi 2010). Konsumsi buah-buahan yang mengandung asam sitrat seperti jambu biji, pisang, papaya dan jeruk dapat meningkatkan ketersediaan biologis seng (Linder 1992).

Galohgor mengandung kacang-kacangan dan serealia yang kaya akan zat besi (Gaman dan Sherrington 1992). Masalah kurang gizi besi dan anemia gizi besi adalah masalah gizi mikro yang banyak terdapat pada bayi, anak pra sekolah, dan wanita usia subur. Pada wanita hamil, kekurangan zat besi dapat berpengaruh terhadap janin yang dikandungnya (Soekirman 2000). Faktor- faktor yang mempengaruhi absorbsi besi antara lain bentuk besi dalam makanan, asam organik seperti vitamin C yang dapat membantu penyerapan besi nonhem, dan keberadaan inhibitor seperti asan fitat, tanin dan asam oksalat (Almatsier 2006).

Sumber utama iodium dalam makanan adalah seafood, serealia, sayuran dan susu. Banyaknya iodium dalam bahan makanan tergantung banyaknya iodium dalam tanah di daerah bahan makanan tersebut dihasilkan (Gaman dan Sherrington 1992).

Madu

Madu merupakan produk yang unik dari hewan, yang mengandung persentase karbohidrat yang tinggi, praktis tidak ada protein maupun lemak. Nilai gizi dari madu sangat tergantung dari kandungan gula-gula sederhana, fruktosa, dan glukosa.

Dilihat dari komposisi kimianya, madu pada umumnya tersusun dari karbohidrat (gula), air serta mineral dan bagian-bagian lain yang sangat kecil jumlahnya. Madu mempunyai sifat sangat higroskopis, yaitu mudah menyerap air dari udara, karena itu dapat digunakan sebagai humektan (Winarno 1990).

(20)

saja. Dianjurkan meminum madu dua sampai tiga sendok makan sehari. (Winarno 1990).

Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengektraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang ditetapkan. Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik semua komponen kimia yang terdapat dalam simplisia. Ekstraksi ini didasarkan pada perpindahan massa komponen zat padat ke dalam pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka, kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Afifah 2003).

Salah satu metode ekstraksi adalah dengan cara maserasi. Penyarian zat aktif dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari yang sesuai selama tiga hari pada temperatur kamar terlindung dari cahaya, cairan penyari akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi rendah. Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya dipekatkan dengan vacuum evaporator (Afifah 2003).

Metode ekstraksi yang lain adalah metode perkolasi, sokletasi dan refluks. Metode-metode ini mempunyai kelemahan dan kelebihan masing-masing. Metode perkolasi lebih baik dibandingkan dengan metode maserasi karena pada metode ini pelarut terus dialirkan secara kontinyu sehingga tidak akan tercapai kesetimbangan konsentrasi antara larutan di dalam dan di luar sel, sehingga simplisia dapat terekstrak dengan sempurna. Ruangan diantara serbuk-serbuk simplisia membentuk saluran tempat mengalir cairan penyari.karena kecilnya saluran kapiler tersebut,maka kecepatan pelarut cukup untuk mengurangi lapisan batas,sehingga dapat meningkatkan perbedaan konsentrasi (Voight 1994).

(21)

penyari akan menetes ke bawah tetes per tetes, sehingga cadangan penyari di atas perkolator akan ikut menetes mengganti pelarut yang keluar berupa ekstrak. Dengan cara ini maka fenomena jenuh seperti halnya terjadi pada metode maserasi tidak akan terjadi dan selama terjadi aliran maka perbedaan konsentrasi antara zat aktif di dalam dan di luar sel akan selalu terjaga (Voight 1994). Paryanto dan Srijanto (2006) menyatakan bahwa suhu optimal untuk proses ekstraksi dengan metode perkolasi adalah 35°C dengan kecepatan alir pelarut 40 ml/menit.

Metode sokletasi menggunakan kertas pembungkus untuk membungkus simplisia yang akan diekstraksi. Simplisia dibungkus menggunakan kertas hulls dan diekstraksi menggunakan pelarut heksana. Metode ini biasa dipakai untuk menganalisis kadar lemak suatu bahan (Apriyantono et al. 1989). Metode refluks merupakan salah satu cara ekstraksi dengan pemanasan. Prinsip dari metode ini adalah menguapkan pelarut yang volatil pada suhu tinggi, lalu didinginkan kembali dengan kondensor sehingga pelarut yang tadinya berbentuk uap akan mengembun dan turun lagi ke dalam wadah reaksi sehingga ekstraksi dapat tetap berlangsung. Kelebihan dari metode ini adalah tidak dibutuhkan banyak pelarut. Kekurangannya adalah dapat merusak komponen zat gizi yang tidak tahan terhadap pemanasan (Voight 1994).

Gambar 1 Vacuum evaporator

Serbuk

(22)

diatas. Serbuk dapat dibuat dengan berbagai cara, salah satunya dengan

metode drum drying. Pengeringan dengan drum (drum drying) secara luas

digunakan dalam pengeringan komersial di industri pangan untuk berbagai jenis produk makanan berpati, makanan bayi, maltodekstrin, suspensi dan pasta dengan viskositas tinggi (heavy pastes), dan dikenal sebagai metode pengeringan yang paling hemat energi untuk jenis produk tersebut. Paparan suhu tinggi hanya dalam beberapa detik, drum drying sangat cocok untuk kebanyakan produk yang sensitif terhadap panas (Muchtadi 2008).

Dalam operasional pengeringan, cairan, bubur, atau materi yang dihaluskan diletakan sebagai lapisan tipis pada permukaan luar drum berputar yang dipanaskan oleh uap. Setelah sekitar tiga per empat dari titik putaran, produk sudah kering dan dipindahkan dengan pisau/scraper statis. Produk kering kemudian ditumbuk menjadi serpih atau bubuk. Pengeringan drum adalah salah satu metode pengeringan yang paling hemat energi dan khususnya efektif untuk mengeringkan cairan dengan viskositas tinggi atau bubur makanan (Muchtadi 2008).

Gambar 2 Drum dryer

Sediaan Cair

Sediaan cair merupakan salah satu bentuk sediaan yang sebagian besar terdiri dari zat cair sebagai pelarut. Keunggulan produk yang berbentuk sediaan cair yaitu lebih mudah ditelan, absorbsi zat gizinya lebih baik, dan dosisnya lebih seragam (Syamsuni 2007). Bentuk sediaan cair dibagi menjadi tiga jenis yaitu larutan, suspensi, dan emulsi.

(23)

homogen, dalam arti komposisinya seragam di semua bagian (Gaman dan Sherrington 1992). Contoh dari larutan adalah larutan garam dalam air. Kelarutan suatu bahan tergantung pada pH, temperatur, jenis pelarut, bentuk dan ukuran partikel, konstanta dielekrik pelarut, dan surfaktan, serta efek garam. Semakin tinggi temperatur maka akan mempercepat kelarutan zat, semakin kecil ukuran partikel zat maka akan mempercepat kelarutan zat, dan dengan adanya garam akan mengurangi kelarutan zat. Kelarutan sampel juga dapat ditingkatkan dengan mengaduk-aduk larutan tersebut (Voight 1994).

Suspensi dan emulsi merupakan sistem dispersi kasar yang terdiri dari fase pendispersi dan fase terdispersi yang tidak saling bercampur. Pada bentuk suspensi, fase terdispersi berupa zat padat sedangkan pada bentuk emulsi, fase terdispersi berupa zat cair. Contoh dari suspensi adalah air kopi, sedangkan contoh dari emulsi adalah minyak yang dicampur dengan air. Bentuk suspensi dan emulsi yang stabil dapat dibuat dengan menambahkan suspending agent

atau emulsifier yang dapat meminimalisasi terjadinya pemisahan fase pendispersi dan fase terdispersi (Fardiaz et al. 1987).

Suspending Agent

Suspending agent merupakan bahan penstabil untuk produk berbentuk suspensi supaya partikel padat tidak mudah terpisah dari pelarutnya. Suspending agent menutupi seluruh permukaan partikel dari bahan padat, sehingga ketika dicampurkan dengan bahan cair tidak mudah mengendap karena partikel padat akan dihambat untuk bersatu dengan partikel padat yang lain sehingga campuran menjadi lebih stabil dan tidak mudah terpisah antara partikel padat dan partikel cair (Fennema, Karen & Lund 1996).

Salah satu jenis suspending agent adalah Sodium-Carboxy metyl cellulose (CMCNa). CMCNa merupakan zat dengan warna putih atau sedikit kekuningan, tidak berbau dan tidak berasa, berbentuk granula yang halus atau bubuk yang bersifat higroskopis (Fardiaz et al 1987). Menurut Tranggono et al.

(1991), CMCNa mudah larut dalam air panas maupun air dingin. Pada pemanasan dapat terjadi pengurangan viskositas yang bersifat dapat balik (reversible).

(24)

pembengkakan. Air yang sebelumnya ada di luar granula dan bebas bergerak, tidak dapat bergerak lagi dengan bebas sehingga keadaan larutan lebih stabil dan terjadi peningkatan viskositas (Fennema, Karen & Lund 1996).

Menurut Fardiaz et al. (1987), ada empat sifat fungsional yang penting dari CMCNa yaitu untuk pengental, stabilisator, pembentuk gel dan suspending

agent. Didalam sistem emulsi hidrokoloid CMCNa tidak berfungsi sebagai

pengemulsi tetapi lebih sebagai senyawa yang memberikan kestabilan.

Pasteurisasi dan Sterilisasi

Pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan yang relatif cukup rendah (umumnya dilakukan pada suhu di bawah 100°C) dengan tujuan untuk mengurangi populasi mikroorganisme pembusuk sehingga bahan pangan yang dipasteurisasi tersebut akan mempunyai daya awet beberapa hari (seperti produk susu pasteurisasi) sampai beberapa bulan (seperti produk sari buah pasteurisasi) (Winarno 2004).

Pasteurisasi sering diaplikasikan terutama jika dikhawatirkan bahwa penggunaan panas yang lebih tinggi akan menyebabkan terjadinya kerusakan mutu (misalnya pada susu), tujuan utama proses pemanasan hanyalah untuk membunuh mikroorganisme patogen (penyebab penyakit, misalnya pada susu) atau inaktivasi enzim-enzim yang dapat merusak mutu (misalnya pada sari buah), diketahui bahwa mikroorganisme penyebab kebusukan yang utama adalah mikroorganisme yang sensitif terhadap panas (misalnya khamir pada sari buah), akan digunakan cara atau metode pengawetan lainnya yang dikombinasikan dengan proses pasteurisasi, sehingga sisa mikroorganisme yang masih ada setelah proses pasteurisasi dapat dikendalikan dengan metode pengawetan tersebut (misalnya pasteurisasi dikombinasikan dengan pendinginan, pengemasan yang rapat tertutup, penambahan gula dan/atau asam, dan lain-lain) (Muchtadi 1993).

Kondisi steril absolut pada produk pangan sulit dicapai, karena itulah digunakan istilah sterilisasi komersial atau sterilisasi praktikal. Sterilisasi komersial yaitu suatu kondisi yang diperoleh dari pengolahan pangan dengan menggunakan suhu tinggi dalam periode waktu yang cukup lama sehingga tidak ada lagi terdapat mikroorganisme hidup (Winarno 2004).

(25)

tersebut spora bakteri non-patogen tersebut bersifat dorman (tidak dalam kondisi aktif bereproduksi), sehingga keberadaannya tidak membahayakan kalau produk tersebut disimpan pada kondisi normal. Dengan demikian, produk pangan yang telah mengalami sterilisasi komersial akan mempunyai daya awet yang tinggi, yaitu beberapa bulan sampai beberapa tahun. Di lain pihak penggunaan suhu yang tinggi pada proses sterilisasi produk pangan secara berlebihan, memungkinkan terjadinya kerusakan nilai gizi maupun organoleptik produk pangan tersebut, sehingga proses sterilisasi komersial perlu dikontrol dengan baik (Winarno 2004).

Uji Organoleptik

Organoleptik merupakan pengujian terhadap bahan makanan berdasarkan kesukaan dan kemauan untuk mempergunakan suatu produk. Sifat yang menentukan diterima atau tidak suatu produk adalah sifat indrawinya (Soekarto 1985). Indra yang digunakan dalam menilai sifat indrawi suatu produk adalah indra penglihatan, indra peraba, indra pembau dan indra pengecap.

Menurut Soekarto (1985), cara utama dalam menilai suatu komoditi adalah indera penglihatan. Warna merupakan atribut utama yang cepat dan mudah memberi kesan dalam menentukan penolakan atau penerimaan konsumen terhadap suatu produk pangan. Warna dalam produk pangan dipengaruhi oleh bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan produk pangan.

Tekstur akan mempengaruhi cita rasa suatu bahan. Perubahan tekstur dan viskositas bahan dapat mengubah rasa dan bau yang timbul, karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya rasa terhadap sel reseptor dan kelenjar air liur. Semakin kental suatu bahan penerimaan terhadap intensitas rasa , bau dan rasa semakin berkurang . Kenaikan temperatur akan menaikkan ransangan pada rasa manis tetapi akan menurunkan ransangan pada rasa asin dan pahit (Soekarto 1985).

(26)

oksidasi yang menghasilkan asam lemak berantai pendek, keton, aldehid yang bersifat volatil dan menimbulkan bau tengik.

Rasa makanan merupakan atribut penilaian makanan yang melibatkan indra pengecap. Rasa makanan dapat dikenali dan dibedakan oleh kuncup kecap yang terletak pada papilla lidah. Rasa menjadi faktor penting dalam menilai suatu produk makanan diterima atau ditolak. Walaupun warna, aroma dan teksturnya baik, jika rasanya tidak enak maka konsumen tidak mau menerima makanan tersebut (Soekarto 1985). Rasa dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa yang lain. Mutu cita rasa nasi terutama sangat ditentukan oleh kepulenan nasi tersebut, kemekaran, aroma, warna nasi dan rasa nasi (Winarno 2002).

Lidah dapat mengecap empat macam rasa yaitu manis, asin, asam dan pahit. Rasa enak pada makanan ditentukan oleh konsentrasi dan kombinasi dari keempat jenis rasa tersebut. Rasa manis pada gula akan bertambah apabila konsentrasi gula semakin tinggi, tetapi sampai pada konsentrasi tertentu rasa enak yang timbul akan berkurang, demikian juga dengan ketiga rasa yang lain, komponen rasa akan berinteraksi dengan komponen rasa primer . Akibat yang ditimbulkan mungkin meningkatkan intensitas rasa atau penurunan intensitas rasa (Soekarto 1985).

Menurut Soekarto (1985), uji organoleptik dapat dilakukan dengan beberapa metode diantaranya uji hedonik dan uji mutu hedonik. Uji hedonik atau uji kesukaan merupakan salah satu uji penerimaan. Dalam uji ini panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau ketidaksukaan, disamping itu juga mengungkapkan tingkat kesukaan atau ketidaksukaan. Tingkat-tingkat kesukaan ini disebut skala hedonik misalnya amat sangat suka, sangat suka, suka, agak suka, netral, agak tidak suka, tidak suka, sangat tidak suka, dan amat sangat tidak suka.

(27)

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini merupakan salah satu bagian dari penelitian tentang khasiat, mekanisme dan saintifikasi produk Galohgor yang telah dilakukan sejak tahun 2002 (Pajar 2002, Roosita 2003, Dahlianti 2004, Pratiwi 2010). Penelitian pengembangan produk Madu-Galohgor dilakukan pada bulan April-Juli 2012 di Departemen Gizi Masyarakat, Departemen Teknologi Pangan, dan Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan pembuatan jamu Galohgor yang terdiri dari 56 jenis tanaman didapatkan dari desa Sukajadi, kecamatan Tamansari, kabupaten Bogor. Rincian jenis tanaman dapat dilihat pada Lampiran 1. Bahan untuk membuat Madu-Galohgor antara lain madu, serbuk Madu-Galohgor, ekstrak Madu-Galohgor, akuades dan

Sodium-Carboxy metyl cellulose (CMCNa). Bahan kimia yang digunakan untuk analisis yaitu selenium mix, indikator metil merah dan metil biru, heksana, asam sulfat pekat, asam nitrat, air bebas ion, larutan stock standar, natrium hidroksida 2%, kalium nitrit 1%, arsenit 0.2 N, cerium sulfat 0.1N, natrium hidroksida 0.1 N.

Alat-alat yang digunakan meliputi alat- alat untuk pembuatan produk jamu Galohgor dan alat- alat untuk analisis. Alat- alat untuk pembuatan jamu Galohgor dan Madu-Galohgor adalah timbangan, blender, drum dryer, maserator, vacuum evaporator, mixer. Alat yang digunakan untuk analisis meliputi timbangan analitik, spektrofotometer, pemanas Kjeldahl lengkap yang dihubungkan dengan penghisap uap melalui aspirator, labu Kjeldahl, alat destilasi lengkap dengan Erlenmeyer berpenampung ukuran 125 mL, alat ekstraksi Soxhlet lengkap dengan kondensor dan labu lemak, alat pemanas listrik atau penangas uap, desikator, kapas wool bebas lemak, kertas saring hulls, oven, tanur, vortex, kuvet, dan alat-alat gelas.

Prosedur

Penelitian ini dilakukan melalui berbagai tahapan. Tahapan- tahapan yang dilakukan meliputi:

Penyiapan bahan baku untuk pembuatan jamu Galohgor

(28)

jamu yang telah diteliti sebelumnya (Roosita 2003, Pratiwi 2010). Perbandingan bahan- bahannya adalah sebagai berikut: daun, batang, buah (10.94%), rempah- rempah (5.84%), biji dan kacang- kacangan (75.60%), temu- temuan (7.62%). Sebelum diproses semua bahan dibersihkan dengan air.

Pembuatan Jamu Galohgor

a. Metode Drum Drying

Teknik pengolahan jamu Galohgor tradisional telah dimodifikasi dengan metode drum drying (Pajar 2002). Tujuannya untuk memperoleh jamu yang bertekstur lebih halus dibandingkan dengan metode tradisional. Khusus untuk bahan jamu yang berupa biji dan kacang-kacangan direndam dalam air panas selama 4 jam. Setelah itu semua bahan dihaluskan dengan blender dan dibuat menjadi pasta (dengan pelarut air). Pasta tersebut dikeringkan dengan drum dryer (tekanan 3 bar dan suhu 60-80°C). Hasilnya digiling dan diayak menjadi serbuk jamu halus. Jamu Galohgor yang dibuat dengan metode drum drying

selanjutnya disebut serbuk Galohgor. b. Metode Ekstraksi

Bahan baku untuk pembuatan ekstrak Galohgor dikeringkan menjadi simplisia kering menggunakan oven. Simplisia kering tersebut digiling sampai halus menggunakan disc mill lalu diekstraksi menggunakan pelarut etanol 30% dengan perbandingan 1:10. Proses ekstraksi dilakukan selama 3x24 jam sambil terus diaduk tiap 6 jam, kemudian disaring hingga diperoleh maserat dan ampas. Maserat dipekatkan menggunakan vacuum evaporator untuk mendapatkan ekstrak Galohgor. Jamu Galohgor yang dibuat dengan metode ekstraksi selanjutnya disebut ekstrak Galohgor.

Analisis Zat Gizi Jamu Galohgor

Analisis zat gizi jamu Galohgor meliputi analisis kadar air dengan metode Gravimetri, kadar abu dengan metode Gravimetri, kadar protein dengan metode

Kjedahl, kadar lemak dengan metode Soxhletasi, kadar karbohidrat dengan metode by diferrence, dan analisis kadar mineral dengan metode AAS (Atomic

Absorbtion Spectrophotometer) meliputi magnesium, besi, seng, iodium.

(29)

Formulasi Produk Madu-Galohgor

Formula Madu-Galohgor dibuat sebanyak enam formula dengan

suspending agent Sodium-Carboxy metyl cellulose (CMCNa) pada berbagai

konsentrasi. Konsentrasi Galohgor sebesar 10%, madu 15%, pengawet (asam sitrat) 0.2%, ditambah air hingga 100% (volume akhir 200 ml). Komposisi keenam formula Madu-Galohgor dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi formula Madu-Galohgor

Komponen F1 (%) F2 (%) F3 (%) F4 (%) F5 (%) F6 (%)

CMCNa ditimbang sesuai dengan komposisi di atas, lalu dikembangkan dulu dengan air panas 50 ml pada suhu 55°C selama 15 menit sambil terus diaduk hingga menjadi bentuk koloid yang jernih. Kemudian campurkan CMCNa dan Galohgor sampai seluruh permukaan Galohgor terbasahi oleh CMCNa, kemudian ditambahkan madu dan asam sitrat sesuai komposisi di atas, kemudian ditambah air hingga volume akhirnya 200 ml. Selanjutnya dikocok menggunakan mixer selama 30 menit. Madu-Galohgor hasil formulasi disimpan dalam botol yang telah disterilisasi dengan autoklaf selama 1 jam pada suhu 110°C. Produk Madu-Galohgor dimasukkan ke dalam botol dan ditutup. Botol beserta isinya dipasteurisasi pada suhu 61°C selama 30 menit.

Uji Organoleptik

(30)

Jumlah panelis 34 orang. Contoh disajikan satu persatu dan secara acak. Uji organoleptik terdiri dari uji hedonik (warna, rasa, aroma, kekentalan) dan uji mutu hedonik (warna, rasa, aroma, homogenitas). Formulir isian dapat dilihat pada Lampiran 3. Penilaian pada uji hedonik dan mutu hedonik dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Penilaian uji hedonik dan mutu hedonik

Numerik

Penilaian

Uji hedonik* Uji mutu hedonik

Rasa Aroma Warna Homogenitas

1 Amat sangat

Keterangan: *) Meliputi aspek rasa, aroma, warna, kekentalan

Analisis Zat Gizi Madu-Galohgor

Analisis zat gizi Madu-Galohgor meliputi analisis kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, dan kadar mineral meliputi magnesium, besi, seng, iodium. Metode yang digunakan sama seperti metode dalam analisis zat gizi jamu Galohgor.

Rancangan Percobaan

(31)

Yi = µ + Ti +

ε

i dimana:

Yi = nilai pengamatan respon karena pengaruh taraf ke-i dari perbedaan jenis

bahan baku Madu-Galohgor µ = nilai rata-rata umum

Ti = pengaruh perbedaan jenis bahan baku Madu-Galohgor

ε

i = kesalahan penelitian karena pengaruh taraf ke-i dari perbedaan jenis bahan baku Madu-Galohgor

i = banyaknya taraf perbedaan jenis bahan baku Madu-Galohgor

Pengolahan dan Analisis Data

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembuatan Serbuk dan Ekstrak Galohgor

Pembuatan jamu Galohgor dilakukan dengan dua cara yaitu dengan menggunakan drum dryer dan proses ekstraksi (Gambar 3). Teknik pengolahan jamu pada penelitian ini berbeda dengan metode tradisional, dimana khusus untuk bahan jamu dalam bentuk kacang-kacangan dan biji direndam dalam air panas selama empat jam. Hal ini dilakukan agar tekstur biji dan kacang-kacangan tersebut menjadi lebih lunak dan memudahkan proses pengolahan selanjutnya yaitu penghalusan dan pembuatan pasta.

Biji-bijian yang mengalami perlakuan penambahan air akan mengalami pelunakan bagian lapis luar dan butir endosperm. Hal ini akan memudahkan penggilingan. Selain itu, perendaman dilakukan untuk menghindari efek oligosakarida flatulensi dari kacang-kacangan (Muchtadi 1993).

Pembuatan jamu Galohgor dengan menggunakan drum dryer dilakukan pada suhu 60-80°C. Kontak produk dengan drum pengering hanya 20 detik dan didapatkan hasil dalam bentuk lembaran kering. Alasan pemilihan drum dryer

sebagai alat pembuatan jamu Galohgor dikarenakan waktunya yang singkat dalam pemaparan panas pada Galohgor. Hal ini memberikan efek positif terhadap kualitas jamu Galohgor yang dihasilkan, baik dari segi gizi maupun penampakannya. Kandungan gizi tetap terjaga serta serbuk yang dihasilkan berwarna kehijauan. Proses pengeringan lain yang dapat menghasilkan produk dengan kualitas yang baik dari segi aroma dan rasa adalah metode freeze drying. Metode ini didasarkan pada prinsip sublimasi pada suhu 0°C dan tekanan 613 Pascal sehingga kristal es akan menjadi uap tanpa melalui fase cair (Muchtadi 2008). Kelemahan dari metode ini adalah membutuhkan biaya operasional yang cukup besar.

Proses ekstraksi Galohgor dilakukan dengan cara maserasi basah. Galohgor diekstraksi dengan pelarut etanol 30% selama 3x24 jam dan dipekatkan dengan vacuum evaporator hingga didapatkan hasil ekstrak Galohgor yang berwarna kecoklatan. Ekstrak Galohgor tersebut masih menggumpal dan partikelnya menempel satu sama lain, sehingga perlu dihaluskan lagi dengan menggunakan blender.

(33)

sehingga tidak akan tercapai kesetimbangan konsentrasi antara larutan di dalam dan di luar sel, sehingga simplisia dapat terekstrak dengan sempurna. Ruangan diantara serbuk-serbuk simplisia membentuk saluran tempat mengalir cairan penyari.karena kecilnya saluran kapiler tersebut,maka kecepatan pelarut cukup untuk mengurangi lapisan batas,sehingga dapat meningkatkan perbedaan konsentrasi (Voight 1994). Kelemahan dari metode ini adalah membutuhkan pelarut dalam jumlah yang lebih banyak dari metode maserasi.

(a) (b)

Gambar 3 Serbuk Galohgor (a) dan ekstrak Galohgor (b)

Kandungan Zat Gizi Serbuk dan Ekstrak Galohgor

Kadar Air

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan diperoleh hasil 5.8% (bb) untuk kadar air ekstrak Galohgor 3.1% (bb) untuk kadar air serbuk Galohgor. Kadar air untuk serbuk Galohgor sudah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-4320-1996 (BSN 1996) untuk serbuk minuman tradisional yaitu maksimal sebesar 3%.

(34)

Kadar Abu

Berdasarkan hasil analisis, kadar abu untuk ekstrak Galohgor adalah 6.7% (bk), kadar abu untuk serbuk Galohgor adalah 1.8% (bk). Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-4320-1996 (BSN 1996) mensyaratkan kadar abu untuk serbuk minuman tradisional maksimal sebesar 1.5%. Tingginya kadar abu dalam ekstrak Galohgor menunjukkan bahwa kandungan mineral jamu Galohgor cukup tinggi. Kadar abu ekstrak Galohgor lebih tinggi daripada serbuk Galohgor. Hal ini menunjukkan bahwa proses ekstraksi mampu menarik komponen mineral dalam tanaman lebih dari proses tanpa ekstraksi. Prinsip proses ekstraksi yaitu perpindahan massa komponen zat padat ke dalam pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka, kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Afifah 2003). Komponen mineral dalam simplisia akan berpindah dari dalam sel ke dalam pelarut. Pelarut kemudian diuapkan dan didapatkan hasil ekstraksi.

Kadar Protein

Protein merupakan penyusun utama sel-sel tubuh. Jumlah sel dalam tubuh meningkat selama masa pertumbuhan (balita, anak-anak dan remaja) sehingga kebutuhan proteinnya sangat tinggi. Protein dalam jaringan selalu mengalami perombakan sehingga perlu diganti dari asam amino yang terdapat dalam makanan (Gaman dan Sherrington 1992).

Kadar protein untuk ekstrak Galohgor adalah 15.49% (bk); kadar protein untuk serbuk Galohgor adalah 13.51% (bk). Galohgor mengandung kedelai, kacang tanah dan beras yang mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi. Kandungan protein kedelai mencapai 40%, kacang tanah 24% dan beras 6,5% (Gaman dan Sherrington 1992).

Kadar Lemak

Kadar lemak ekstrak Galohgor adalah 8.59% (bk); kadar lemak untuk serbuk Galohgor adalah 4.85% (bk). Tingginya kadar lemak dari ekstrak Galohgor karena proses ekstraksi mampu menarik komponen lemak. Isi sel dari bahan makanan yang mengandung lemak (misalnya kacang-kacangan) akan tertarik ke luar oleh pelarut yang digunakan dalam ekstraksi.

(35)

mengandung asam lemak esensial yaitu asam linoleat yang berguna untuk pertumbuhan dan fungsi normal semua jaringan (Hembing 2001).

Kadar Karbohidrat

Berdasarkan hasil perhitungan (Lampiran 2), kadar karbohidrat serbuk Galohgor adalah 79.7% (bk) dan pada ekstrak Galohgor sebesar 68.7% (bk). Kadar karbohidrat pada ekstrak Galohgor lebih rendah dibandingkan serbuk Galohgor karena ekstrak Galohgor didapatkan dari maserat yang telah dipisahkan dari ampasnya. Sebagian besar karbohidrat (dalam bentuk selulosa) terdapat dalam dinding sel tumbuhan yang tertinggal dalam ampas dan terpisah selama proses ekstraksi.

Karbohidrat dalam sumber pangan nabati umumnya berupa polisakarida. Polisakarida dan disakarida terhidrolisis oleh enzim pencernaan dan diabsorbsi tubuh dalam bentuk monosakarida (Gaman dan Sherrington 1992). Bahan penyusun Galohgor yang mengandung banyak karbohidrat antara lain beras dan jagung. Kadar abu dan zat gizi ekstrak Galohgor lebih tinggi daripada serbuk Galohgor, kecuali karbohidrat (Tabel 3).

Tabel 3 Kadar abu dan zat gizi serbuk dan ekstrak Galohgor

Komponen Serbuk Galohgor Ekstrak Galohgor

% bb % bk % bb % bk

(36)

Kadar Zat Besi (Fe)

Kadar zat besi dalam serbuk Galohgor sebesar 150.5 ppm (bk), dalam ekstrak Galohgor sebesar 336.1 ppm (bk). Kadar zat besi dalam minuman serbuk tradisional belum dicantumkan dalam SNI 01-4320-1996 (BSN 1996). Galohgor mengandung bahan-bahan yang mengandung cukup banyak zat besi diantaranya kacang-kacangan dan serealia. Serealia mengandung 1.4 mg besi per 100 gram (setara dengan 14 ppm). Besi dalam serealia umumnya hilang setengahnya dalam proses penggilingan jika bekatul dan lembaganya dibuang (Gaman dan Sherrington 1992).

Kadar Seng (Zn)

Kadar seng serbuk Galohgor sebesar 47.7 ppm (bk); dalam ekstrak Galohgor sebesar 67.1 ppm (bk). Sedangkan dalam SNI 01-4320-1996 (BSN 1996) kadar seng dalam serbuk minuman tradisional maksimal sebesar 50 mg dalam satu kilogram atau 5 mg dalam 100 gram jamu (50 ppm setara dengan 5 mg dalam setiap 100 gram bahan). Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan seng ekstrak Galohgor sedikit lebih besar dari standar seng dalam SNI.

Penyerapan seng mempunyai kompetitor yaitu Fe dan Cu sehingga dapat menjadi faktor yang harus dipertimbangkan jika mengkonsumsi suplemen (Linder 1992). Kalsium juga dapat mengganggu penyerapan seng. Dengan adanya fitat, kalsium akan lebih menghambat penyerapan seng. Sebaliknya penyerapan folat menjadi kurang efisien jika asupan seng rendah (Kartono dan Moesijanti 2004). Penyerapan Zn memerlukan energi dan ditingkatkan oleh sitrat. Dalam ASI, banyak Zn terikat dan daya gunanya lebih tinggi (Linder 1992).

Kadar Iodium (I)

Kadar iodium dalam serbuk minuman tradisional belum dicantumkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-4320-1996 (BSN 1996). Hasil analisis menunjukkan kadar iodium pada serbuk Galohgor sebesar 174.7 ppm (bk), pada ekstrak Galohgor sebesar 182.1 ppm (bk). Sumber utama iodium dalam makanan adalah seafood, serealia, sayuran dan susu. Banyaknya iodium dalam bahan makanan tergantung banyaknya iodium dalam tanah di daerah bahan makanan tersebut dihasilkan (Gaman dan Sherrington 1992).

(37)

dihasilkan oleh hormon tiroid. Iodida ini berperan dalam mengatur suhu tubuh, reproduksi, dan fungsi iodide lainnya (Kartono dan Moesijanti 2004).

Secara keseluruhan seperti tampak pada Tabel 4, kadar mineral ekstrak Galohgor yang meliputi iodium, magnesium, seng, dan besi lebih tinggi daripada serbuk Galohgor.

Tabel 4 Kandungan mineral serbuk dan ekstrak Galohgor

Mineral Serbuk Galohgor Ekstrak Galohgor

ppm (bb) ppm (bk) ppm (bb) ppm (bk)

Formula dibuat dengan perbandingan Galohgor: madu: air adalah 10: 15: 75. Konsentrasi Galohgor hanya 10% dari keseluruhan komposisi produk Madu-Galohgor. Jika produk Madu-Galohgor yang setara dengan 200 gram atau kira-kira 200 ml diminum dalam sehari, maka hal ini sesuai dengan jumlah konsumsi Galohgor yang dianjurkan oleh Roosita (2003) yaitu 20 gram dalam sehari. Konsentrasi madu sebanyak 30 gram sesuai dengan anjuran Winarno (1990) yaitu mengkonsumsi madu 30-45 gram dalam sehari.

Suspending agent yang digunakan dalam pembuatan produk

Madu-Galohgor adalah CMCNa (Sodium-Carboxy metyl cellulose). Tabel 5 menunjukkan bahwa formula Madu-Galohgor serbuk (MGS), produk yang stabil baru dapat dibuat pada konsentrasi CMCNa 0.5%-1%. Pada konsentrasi 1.5%, produk sudah menjadi kental sehingga sulit dituang. Sementara untuk formula Madu-Galohgor ekstrak (MGE) dapat dibuat menjadi produk yang stabil pada konsentrasi CMCNa 0.125%-0.25%. Pada konsentrasi 0.5%, produk sudah menjadi kental sehingga sulit untuk dituang.

(38)

dan tidak mudah terpisah antara partikel padat dan partikel cair (Fennema, Karen & Lund 1996).

Tabel 5 menunjukkan karakteristik formula MGE dan MGS. Rasa MGS manis, sedangkan MGE manis sedikit pahit. Adanya rasa pahit pada MGE kemungkinan disebabkan oleh proses ekstraksi menggunakan pelarut etanol sehingga menarik keluar senyawa metabolit sekunder seperti alkaloid yang memiliki rasa pahit (Egon 1985). Produk yang memiliki kekentalan dengan kategori sedang (produk tersebut mudah dituang) adalah formula MGS konsentrasi 1% dan 0.5% dan MGE konsentrasi 0.125% dan 0.25%. Kekentalan ini menjadi parameter untuk menentukan formula terpilih karena produk Madu-Galohgor akan diminum sebanyak 200 ml sehari, sehingga produk yang dipilih adalah yang tidak terlalu kental dan mudah diminum. Selain itu dengan mempertimbangkan faktor ekonomis maka formula dengan konsentrasi CMCNa terkecil akan digunakan untuk tahap selanjutnya yaitu formula MGS dengan konsentrasi CMCNa 0.5% (Formula I) dan formula MGE dengan konsentrasi CMCNa 0.125% (Formula IV).

Rasa Kekentalan Endapan

I Serbuk 0.5% Manis Sedang Mengendap

Berdasarkan karakteristik diatas, maka untuk uji organoleptik

(39)

dibuat dalam kemasan botol 200 ml yang diproses dengan pasteurisasi.

T

ujuan dari pasteurisasi adalah untuk mengurangi populasi mikroorganisme pembusuk sehingga bahan pangan yang dipasteurisasi tersebut akan mempunyai daya awet sampai beberapa bulan (Winarno 2004).

Pasteurisasi

di

aplikasikan karena

dikhawatirkan bahwa penggunaan panas yang lebih tinggi akan menyebabkan terjadinya kerusakan

mutu.

(a) (b)

Gambar 4 Madu-Galohgor serbuk (MGS) dan Madu-Galohgor ekstrak (MGE) (a) Formula I (CMCNa 0,5%) ; (b) Formula IV (CMCNa 0,125%)

Uji Organoleptik

Uji organoleptik ini melibatkan 34 orang panelis semi terlatih, yaitu mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat angkatan 45, mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat angkatan 46 dan mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan angkatan 45.

Hasil Uji Hedonik Madu-Galohgor Serbuk dan Ekstrak

Variabel respon yang diukur pada uji hedonik adalah rasa, aroma, warna, dan kekentalan. Tabel 6 menunjukkan nilai modus hasil uji hedonik Madu-Galohgor serbuk dan ekstrak. Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata pada p<0.05.

(40)

Hasil uji hedonik terhadap atribut aroma menunjukkan nilai modus yang diperoleh adalah 3 (tidak suka) untuk produk Madu-Galohgor ekstrak dan 7 (suka) untuk produk Madu-Galohgor serbuk. Uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) pada tingkat kesukaan panelis terhadap aroma Madu-Galohgor.

Hasil uji hedonik terhadap atribut warna menunjukkan nilai modus yang diperoleh adalah 7 (suka) untuk produk Madu-Galohgor ekstrak dan 6 (agak suka) untuk produk Madu-Galohgor serbuk. Uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada tingkat kesukaan panelis terhadap warna Madu-Galohgor.

Hasil uji hedonik terhadap atribut kekentalan menunjukkan nilai modus yang diperoleh adalah 6 (agak suka) untuk produk Madu-Galohgor ekstrak dan 6 (agak suka) untuk produk Madu-Galohgor serbuk. Uji Mann-Whitney

menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada tingkat kesukaan panelis terhadap kekentalan Madu-Galohgor.

Tabel 6 Nilai modus hasil uji hedonik produk Madu-Galohgor

Jenis produk Nilai modus

Rasa Aroma Warna Kekentalan

Madu-Galohgor Ekstrak 2b 3b 7a 6a

Madu-Galohgor Serbuk 7a 7a 6a 6a

Keterangan: berbeda nyata pada p<0.05

Gambar 5 menunjukkan persentase penerimaan panelis terhadap produk Madu-Galohgor serbuk (MGS) dan Madu-Galohgor ekstrak (MGE). Persentase panelis yang menyukai rasa dan aroma Madu-Galohgor serbuk lebih tinggi daripada Galohgor ekstrak. Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa Madu-Galohgor serbuk lebih dapat diterima daripada Madu-Madu-Galohgor ekstrak.

Gambar 5 Persentase penerimaan panelis terhadap Madu-Galohgor

(41)

Hasil Uji Mutu Hedonik Madu-Galohgor Serbuk dan Ekstrak

Variabel respon yang diukur pada uji mutu hedonik adalah rasa, aroma, warna, dan homogenitas. Tabel 7 menunjukkan nilai modus hasil uji mutu hedonik Madu-Galohgor serbuk dan ekstrak. Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata pada p<0.05.

Hasil uji mutu hedonik terhadap atribut rasa menunjukkan nilai modus yang diperoleh adalah 4 (agak pahit) untuk produk Madu-Galohgor ekstrak dan 7 (manis) untuk produk Madu-Galohgor serbuk. Uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) pada penilaian panelis terhadap mutu rasa Madu-Galohgor.

Hasil uji mutu hedonik terhadap atribut aroma menunjukkan nilai modus yang diperoleh adalah 5 (netral/tidak beraroma) untuk produk Madu-Galohgor ekstrak dan 7 (wangi) untuk produk Madu-Galohgor serbuk. Uji Mann-Whitney

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) pada tingkat kesukaan panelis terhadap aroma Madu-Galohgor.

Hasil uji mutu hedonik terhadap atribut warna menunjukkan nilai modus yang diperoleh adalah 4 (agak keruh) untuk produk Madu-Galohgor ekstrak dan 4 (agak keruh) untuk produk Madu-Galohgor serbuk. Uji Mann-Whitney

menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada tingkat kesukaan panelis terhadap warna Madu-Galohgor.

Hasil uji mutu hedonik terhadap atribut homogenitas menunjukkan nilai modus yang diperoleh adalah 7 (merata) untuk produk Madu-Galohgor ekstrak dan 4 (agak tidak merata) untuk produk Madu-Galohgor serbuk. Uji

Mann-Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada tingkat

kesukaan panelis terhadap kekentalan Madu-Galohgor.

Tabel 7 Nilai modus hasil uji mutu hedonik produk Madu-Galohgor

Jenis produk Nilai modus

Rasa Aroma Warna Homogenitas

Madu-Galohgor Ekstrak 4a 5b 4a 7b

Madu-Galohgor Serbuk 7a 7a 4a 4a

Keterangan: berbeda nyata pada p<0.05

Kandungan Zat Gizi Madu-Galohgor

Kadar Air

(42)

(MGE) 88.1% (bb). Tingginya kadar air produk Madu-Galohgor disebabkan karena konsentrasi jamu Galohgor dalam produk tersebut hanya 10% dari keseluruhan komposisi produk dan madu juga mengandung air sekitar 23-24% (Winarno 1990). Belum ditemukan ketentuan untuk kadar air pada produk berbentuk cair seperti Madu-Galohgor. Untuk produk berbentuk cair yang harus diperhatikan adalah bahan pengemasnya. Produk yang mengandung madu biasanya dikemas dalam kaleng yang dilapisi pelapis tahan asam karena madu dapat bereaksi dengan udara dan dapat mengoksidasi dinding kaleng yang terbuat dari besi atau kaleng, sehingga biasanya dipilih wadah yang terbuat dari kaca. Wadah pengemasan seharusnya yang kedap air dan mudah dituangkan (Winarno 1990).

Kandungan air dalam bahan makanan akan mempengaruhi daya tahan makanan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan Aw (water activity) yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Berbagai macam mikroba mempunyai aw minimum untuk dapat tumbuh dengan baik, misalnya bakteri aw: 0.90 , khamir aw: 0.80-0.90, kapang aw: 0.6-0.70 (Winarno 2002)

Kadar Abu

Unsur mineral juga dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu (Winarno 2002). Penentuan kadar abu total sangat berguna sebagai parameter nilai gizi dalam makanan, karena merupakan pengujian untuk menentukan bahan-bahan mineral (anorganik).

Kadar abu produk Madu-Galohgor serbuk (MGS) adalah 0.1% (bb), kadar abu untuk produk Madu-Galohgor ekstrak (MGE) adalah 0.4% (bb). Tingginya kadar abu terutama pada MGE menunjukkan bahwa kandungan mineralnya cukup tinggi. Kadar abu MGE lebih tinggi dari MGS. Hal ini sebanding dengan kadar mineral MGE lebih banyak dari kadar mineral pada MGS.

Kadar Protein

(43)

dari MGE sebesar 2.2 gram (3.2% dari kebutuhan sehari) apabila setiap hari ibu nifas mengkonsumsi jamu sebanyak 200 ml. Efisiensi protein makanan menjadi protein susu hanya sekitar 70%, dan terdapat variasi antar individu. Peningkatan kebutuhan protein pada ibu menyusui bukan hanya untuk transformasi menjadi susu, tetapi juga untuk sintesis hormon yang memproduksi ASI (prolaktin) serta yang mengeluarkan ASI (oksitosin) (Arisman 2007).

Kadar Lemak

Kadar lemak produk Madu-Galohgor serbuk (MGS) adalah 1.8% (bb),

kadar lemak untuk produk Madu-Galohgor ekstrak (MGE) adalah 3.1% (bb). Anjuran konsumsi lemak bagi orang dewasa seperti yang tercantum dalam Pedoman Umum Gizi Seimbang adalah 25% dari kecukupan energi. Tambahan kecukupan energi untuk ibu menyusui sebesar 500 kkal maka kecukupan tambahan lemak bagi ibu menyusui sebesar 13.89 gram (WNPG 2004). MGS sebanyak 200 ml sehari akan memberi sumbangan lemak sebesar 3.6 gram dan MGE memberi sumbangan lemak sebesar 6.2 gram.

Lemak membantu transportasi dan absorpsi vitamin larut lemak yaitu A,D,E, dan K (Almatsier 2006). Lemak juga menghemat penggunaan protein untuk sintesis protein, sehingga protein tidak digunakan sebagai sumber energi (Almatsier 2006).

Kadar Karbohidrat

Kadar karbohidrat produk Madu-Galohgor serbuk (MGS) sebesar 15.4% (bb), pada produk Madu-Galohgor ekstrak (MGE) sebesar 7.1% (bb). Ibu menyusui yang mengkonsumsi MGS sebanyak 200 ml dalam sehari akan mendapat tambahan asupan karbohidrat sebesar 30.8 gram (23.6% dari kebutuhan sehari) dan dari MGE sebesar 14.2 gram (10.9% dari kebutuhan sehari). Kontribusi karbohidrat dari Madu-Galohgor lebih besar dari kontribusi lemak dan proteinnya karena madu lebih banyak mengandung karbohidrat dan cenderung tidak mengandung lemak dan protein (Winarno 1990).

(44)

Tabel 8 Kadar abu dan kandungan zat gizi Madu-Galohgor serbuk dan ekstrak

Komponen Serbuk Galohgor Ekstrak Galohgor

% bb % bk % bb % bk

Belum ada ketentuan dalam SNI tentang kadar Magnesium dalam minuman tradisional. Kadar Magnesium dalam produk Madu-Galohgor serbuk (MGS) sebesar 156.3 ppm (bb), pada produk Madu-Galohgor ekstrak (MGE) sebesar 363.1 ppm (bb). Kecukupan magnesium untuk wanita dewasa menurut WNPG (2004) yaitu sebesar 250 mg dan tidak ada kecukupan magnesium bagi ibu menyusui. Sumbangan magnesium dari MGS sebesar 31.2 mg (12.4% dari kebutuhan sehari) dan MGE sebesar 72.6 mg (29% dari kebutuhan sehari) apabila setiap hari ibu nifas mengkonsumsi jamu sebanyak 200 ml dalam sehari.

Magnesium diperlukan bayi untuk pembentukan tulang. Mineral ini terdapat pula pada jaringan lunak. Magnesium merupakan bahan esensial dari cairan sel. Magnesium juga berfungsi untuk kontraksi otot, aktivator enzim, respirasi intrasel dan sintesis protein. Kekurangan Magnesium dapat menyebabkan kontraksi otot, fungsi ginjal terganggu dan dapat berpengaruh terhadap nafsu makan. (Almatsier 2006).

Kadar Zat Besi (Fe)

(45)

MGE sebesar 5.46 mg (14.3 % dari kebutuhan sehari) jika ibu menyusui mengkonsumsinya sebanyak 200 ml dalam sehari.

Zat besi dalam makanan lebih banyak yang diserap dalam keadaan defisiensi dan penyerapannya ke dalam tubuh sangat menurun atau diturunkan jika tubuh mempunyai banyak simpanan besi. Fitat, oksalat, tannin, cenderung membentuk endapan besi yang tidak larut sehingga menyebabkan besi tersebut tidak dapat diserap. Dalam lingkungan alkalis (konsentrasi OH tinggi) seperti usus kecil bagian atas dan terutama dalam kondisi aklorohidria (tidak ada produksi HCl dalam lambung) akan membentuk ikatan hidroksida yang tidak larut. Untuk mencegah pengaruh tersebut digunakan pengkilasi Fe (iron chelating agents) seperti vitamin C, fruktosa, fumarat, dan beberapa asam amino yang menyebabkan besi tersebut dalam keadaan larut sehingga dapat diserap. Secara alamiah kilasi Fe berbentuk grup-heme, terdapat dalam daging dan diserap lebih baik daripada besi yang ada dalam tanaman (Linder 1992).

Walaupun jamu Galohgor mengandung besi namun dayaguna besi tersebut kurang karena tingginya oksalat. Kandungan oksalat pada jagung yang merupakan bahan baku jamu Galohgor dengan komposisi terbesar (37.5%) sebesar 5.6 mg/100g (Linder 1992). Jamu Galohgor yang sebagian besar terdiri dari biji-bijian (75.60%) dan daun-daunan (10.94%) dapat dikatakan mengandung fitat dan tannin yang menyebabkan penyerapan besi menjadi rendah.

Kadar Seng (Zn)

(46)

Seng memiliki berbagai fungsi yang penting, termasuk pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, fungsi sensori, perlindungan antioksidan dan stabilisasi membran. Seng mempunyai peran yang sangat penting terhadap pertumbuhan anak terutama apabila diukur dari berat badan menurut umur dan tinggi badan (panjang badan untuk bayi) menurut umur. Defisiensi seng merupakan salah satu faktor yang dapat menghambat pertumbuhan anak, terutama pada bentuk hambatan gizi kurang dan gizi buruk (Linder 1992).

Konsumsi Madu-Galohgor dapat ditambah dengan mengkonsumsi asam sitrat dari jambu biji, pisang, papaya atau jeruk. Konsumsi buah-buahan tersebut dapat meningkatkan bioavailabilitas seng. Ketersediaan seng dalam tubuh juga dapat ditingkatkan dengan mengkonsumsi protein yang terdapat dalam pangan hewani (Linder 1992).

Kadar Iodium (I)

Hasil analisis menunjukkan kadar iodium pada produk Madu-Galohgor serbuk (MGS) sebesar 69.7 ppm (bb), pada produk Madu-Galohgor ekstrak (MGE) sebesar 71.9 ppm (bb). Kecukupan iodium untuk wanita dewasa menurut WNPG (2004) yaitu sebesar 150 ppm. Selama menyusui, kebutuhan iodium dihitung 3.5 ppm/kg/hari. Angka kecukupan iodium untuk ibu menyusui 0-6 bulan ditambah 50 ppm. Jadi sumbangan iodium dari jamu MGS sebesar 139.5 ppm (69% dari kebutuhan sehari) dan MGE sebesar 143.9 ppm (71.9% dari kebutuhan sehari) jika ibu menyusui mengkonsumsi 200 ml Madu-Galohgor dalam sehari. Sumbangan iodium dari Madu-Galohgor sangat besar karena madu banyak mengandung mineral seperti iodium, kalium, magnesium, besi, chlorine, fosfor, dan sulfur (Winarno 1990).

Faktor yang mempengaruhi kebutuhan iodium adalah bioavailabilitas, zat goitrogenik, dan faktor lain. Beberapa bahan makanan mengandung goitrogenik yaitu zat yang menghambat produksi ataupun penggunaan hormon tiroid. Contohnya singkong yang mengandung tiosianat yang mencegah pemanfaatan iodium. Keberadaan zat goitrogenik akan menjadi nyata jika terjadi kekurangan iodium. Kekurangan vitamin A, selenium, dan besi akan memperparah pengaruh kekurangan iodium (Kartono dan Moesijanti 2004).

(47)

Tabel 9 Kandungan mineral Madu-Galohgor serbuk dan ekstrak

Mineral Serbuk Galohgor Ekstrak Galohgor

ppm (bb) ppm (bk) ppm (bb) ppm (bk)

Iodium 69.7 385.1 71.9 604.2

Magnesium 156.3 863.53 363.1 3051.26

Seng 4.5 24.86 6.1 51.26

(48)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kandungan zat gizi dari Galohgor yang dibuat dengan metode ekstrak lebih tinggi daripada Galohgor yang dibuat dengan metode drum drying kecuali kandungan karbohidratnya. Hal ini menunjukkan bahwa proses ekstraksi dapat membuat zat gizi lebih terkonsentrasi menjadi konsentrat, sehingga tidak bulky.

Formula Madu-Galohgor serbuk (MGS) dan Madu-Galohgor ekstrak (MGE) dibuat dengan perbandingan Galohgor: madu: air adalah 10: 15: 75.

Suspending agent yang digunakan dalam pembuatan Madu-Galohgor adalah

Sodium-Carboxy metyl cellulose (CMCNa). Formula yang terpilih untuk uji

organoleptik adalah formula dengan konsentrasi CMCNa 0.5% untuk MGS dan formula dengan konsentrasi CMCNa 0.125% untuk MGE.

Hasil uji organoleptik menunjukkan produk MGS nampak lebih baik dan lebih disukai responden dari produk MGE, namun produk MGE memiliki homogenitas yang lebih baik dibanding produk MGS.

Kandungan zat gizi Madu-Galohgor ekstrak relatif lebih tinggi daripada Madu-Galohgor serbuk, kecuali kandungan karbohidratnya. Zat gizi yang dominan adalah karbohidrat. MGS memenuhi 23.6% kebutuhan karbohidrat sehari dan MGE memenuhi 10.9% kebutuhan karbohidrat sehari. Kandungan mineral yang dominan adalah magnesium dan iodium. MGS memenuhi 12.4% kebutuhan magnesium sehari dan 69% kebutuhan iodium sehari, sedangkan MGE memenuhi 29% kebutuhan magnesium sehari dan 71.9% kebutuhan iodium sehari.

Saran

(49)

DAFTAR PUSTAKA

Afifah. 2003. Manfaat dan khasiat temulawak. http://books.google.co.id/frontcover=manfaat+dan+khasiat+temulawak [30

Januari 2012].

Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama

Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari N, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989.

Petunjuk Laboratorium: Analisis Pangan. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Arisman. 2007. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1996. Minuman Tradisional- SNI 01-4320-1996. Jakarta (ID): Badan Standarisasi Nasional.

Dahlianti R. 2004. Keragaman Perawatan Masa Nifas dan Pola Konsumsi Jamu Tradisional pada Ibu Nifas di Desa Sukajadi, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Egon. 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Bandung (ID): ITB Bandung.

Fardiaz D, Muchtadi D, Puspitasari N, Apriyantono A. 1987. Risalah Seminar Bahan Tambahan Kimiawi (Food Additive). Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Fennema R, Karen M, Lund D. 1996. Principle of Food Science. Connecticut (GB): The AVI Publishing

Gaman P, Sherrington K. 1992. Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi Edisi Kedua. Garjito M, Naruki S, Murdiati A, Sardjono, penerjemah. Jogjakarta (ID): Gajah Mada Univ Pr. Terjemahan dari: Introduction of Food Science, Nutrition and Microbiology 2nd Edition.

Green B, Salkind J. 2008. Using SPSS for Window and Macintosh: Analyzing and Understanding Data. New York (US): Pearson Prentice Hall.

Hardinsyah, Victor T. 2007. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, dan Serat Makanan. Dalam Prosiding Angka Kecukupan Gizi dan Acuan Label Gizi WNPG VIII 2004. Jakarta (ID): LIPI.

Harmanto N, Subroto M. 2007. Pilih Jamu Herbal Tanpa Efek Samping. Jakarta (ID): Elex Media Komputindo.

Hembing. 2001. Khasiat Tumbuhan Obat sebagai Jamu. Dalam Pajar. 2002. Kandungan Gizi dan Senyawa Aktif Jamu Tradisional untuk Kesehatan Ibu Melahirkan dan Menyusui (Produk Jamu dari Desa Sukajadi, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Kartono, Moesijanti. 2004. Angka Kecukupan Mineral: Besi, Iodium, Seng,

Mangan, Selenium. Dalam Prosiding Angka Kecukupan Gizi dan Acuan

(50)

Linder M. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian Secara Klinis. Parakkasi A, penerjemah. Jakarta (ID): UI Pr. Terjemahan dari:

Biochemical Nutrition and Metabolism in Clinical Use.

Masruroh S. 2004. Analisis Kandungan Antioksidan Alami Jamu Galohgor

[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Mc Clement D. 1999. Food Emulsions Principles, Practice, and Techniques. New York (US): CRC Pr.

Miller A, Bowen JM, Paule E, Brown J. 1981. An in vitro method for estimation for iron availability from meals. Am J Clin Nutr. 36(2): 111-116.

Muchtadi D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Bogor (ID): Direktorat Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB.

_________. 1993. Aspek Biokimia dan Gizi dalam Keamanan Pangan. Bogor (ID): IPB Pr.

_________. 2008. Prinsip Proses Pengolahan Pangan. Bogor (ID): IPB Pr.

Pajar. 2002. Kandungan Gizi dan Senyawa Aktif Jamu Tradisional untuk Kesehatan Ibu Melahirkan dan Menyusui (Produk Jamu dari Desa Sukajadi, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Paryanto I, Srijanto B. 2006. Ekstraksi Kurkuminoid dari Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) Secara Perkolasi dengan Pelarut Etanol. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. 4 (2): 73-77.

Pratiwi A. 2010. Bioavailabilitas Mineral Secara In Vitro dan Kadar Beta Karoten Jamu Galohgor (Produk untuk Kesehatan Ibu Nifas dan Menyusui dari Desa Sukajadi) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Raghuramulu N. 1983. A Manual Lab Techniques. Dalam Rahma. Pengaruh Pengolahan dan Lama Penyimpanan Kecap Manis Fortifikasi Iodium [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rahayu WP. 2003. Food Microbiology. Bogor (ID): IPB Pr.

Rahma. 2003. Pengaruh Pengolahan dan Lama Penyimpanan Kecap Manis Fortifikasi Iodium [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Roosita K. 2003. Efek Jamu Galohgor pada Involusi Uterus dan Produksi Air Susu Tikus Putih (Rattus Sp.) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Santoso, Sardjono O. 1995. Khasiat Tumbuhan Obat sebagai Jamu dan Dalam

Makanan Indonesia. Jakarta (ID): Kantor Kementrian Negara Urusan

Pangan Republik Indonesia.

Sediaoetama. 2008. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi jilid I. Jakarta (ID): Dian Rakyat.

Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta (ID): Bhatara Karya Aksara.

(51)

Tranggono S, Haryadi, Suparmo A, Murdiati S, Sudarmaji K, Rahayu S, Astuti M. 1991. Bahan Tambahan Makanan (Food Additive). Yogyakarta (ID): PAU Pangan dan Gizi UGM.

Voight R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Jakarta (ID): College Univ Pr. Widodo 2003. Teknologi Proses Susu Bubuk. Yogyakarta (ID): Lacticia Pr. Winarno FG. 1990. Madu: Teknologi, Khasiat dan Analisa. Jakarta (ID): Ghalia

Indonesia.

__________. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama.

__________. 2004. Kimia Pangan. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. [WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Prosiding Angka

(52)

Gambar

Gambar 1 Vacuum evaporator
Gambar 2 Drum dryer
Tabel 1. Komposisi formula Madu-Galohgor
Tabel 2. Tabel 2. Penilaian uji hedonik dan mutu hedonik
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Kerupuk merah merupakan makanan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sebagai pelengkap pada saat menyantap nasi goreng, mie goreng dan lain-lain. Zat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan tepung tempe dan ikan teri yang berbeda dalam pembuatan produk serabi berpengaruh terhadap banyaknya jumlah serabi

Kerupuk merah merupakan makanan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sebagai pelengkap pada saat menyantap nasi goreng, mie goreng dan lain-lain. Zat

Kerupuk merah merupakan makanan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sebagai pelengkap pada saat menyantap nasi goreng, mie goreng dan lain-lain. Zat

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumya, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana daya terima dan kandungan zat

Penentuan konsentrasi ini diambil batas bawah dan batas atas adonan, dari hasil percobaan pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti batas bawah ditentukan dengan

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka peneliti akan melakukan modifikasi pengembangan formula bubur instant MP-ASI berbasis pangan local ditinjau dari sifat