• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penambahan Bit (Beta Vulgaris L.) Sebagai Pewarna Alami Terhadap Daya Terima dan Kandungan Zat Gizi Kerupuk Merah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penambahan Bit (Beta Vulgaris L.) Sebagai Pewarna Alami Terhadap Daya Terima dan Kandungan Zat Gizi Kerupuk Merah"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1

FORMULIR

UJI KESUKAAN (UJI HEDONIK)

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin : Petunjuk

1. Cicipilah sampel kerupuk merah satu persatu.

2. Berikan penilaian anda dengan cara mengisi kolom kode sampel pada tabel berdasarkan tingkat kesukaan anda (lihat keterangan yang ada dibawah tabel). 3. Netralkan indera pengecap anda dengan air putih setelah selesai mencicipi

satu sampel.

Indikator Kode sampel

P1 P2

Aroma Warna Rasa Tekstur Keterangan :

- Sangat suka/Sangat menarik = 4

- Suka/Menarik = 3

(2)

Lampiran 2

Perhitungan nilai ekonomis kerupuk merah dengan penambahan sari bit 50 %

- Tepung tapioka 1 kg = Rp. 8.000,- - Bit 1 kg = Rp. 15.000,- - Garam 1 bungkus = Rp. 1.000,-

Total = Rp. 24.000,-

Perhitungan harga kerupuk merah dengan penambahan sari bit dalam 200 gr bahan.

Bahan-Bahan Jumlah Harga

Tepung tapioka 100 gr Rp. 800,-

Sari bit 100 cc Rp. 1500,-

Garam ½ sdt -

Total Rp. 2.300,-

(3)

Lampiran 3

Rekapitulasi Data Skor Hasil Penilaian Organoleptik terhadap Aroma Kerupuk Merah dengan Penambahan Sari Bit

No. Panelis Jenis kelamin Umur (tahun) Perlakuan

(4)

Lampiran 4

Rekapitulasi Data Skor Hasil Penilaian Organoleptik terhadap Warna Kerupuk Merah dengan Penambahan Sari Bit

No. Panelis Jenis kelamin Umur (tahun) Perlakuan

(5)

Lampiran 5

Rekapitulasi Data Skor Hasil Penilaian Organoleptik terhadap Rasa Kerupuk Merah dengan Penambahan Sari Bit

No. Panelis Jenis kelamin Umur (tahun) Perlakuan

(6)

Lampiran 6

Rekapitulasi Data Skor Hasil Penilaian Organoleptik terhadap Tekstur Kerupuk Merah dengan Penambahan Sari Bit

No. Panelis Jenis kelamin Umur (tahun) Perlakuan

(7)

Lampiran 14

Dokumentasi penelitian

Gambar 1. Bit segar Gambar 2. Bit yang telah dicuci dan di kupas

Gambar 3. Proses pengukusan bit Gambar 4. Proses penghalusan bit

Gambar 6. Adonan kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % Gambar 5. Sari bit yang telah di

(8)

Gambar 7. Adonan kerupuk dengan penambahan sari bit 25 %

Gambar 9. Kerupuk merah mentah yang sudah kering

Gambar 10. Penggorengan kerupuk

Gambar 8. Pencetakan kerupuk / dodolan kerupuk

(9)

Gambar 12. Uji daya terima pada mahasiswa/i FKM-USU

Gambar 13. Uji daya terima pada mahasiswa/i FKM-USU

Gambar 13. Uji daya terima pada mahasiswa/i FKM-USU

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Agusman. 2013. Pengujian Organoleptik. http://tekpan.unimus.ac.id/wp-content/uploads/2014/03/Uji-Organoleptik-Produk-Pangan.pdf, di akses pada 1 September 2015

Almatsier, S. 2006. Penuntun Diet Edisi Baru. Jakarta : Gramedia Pustaka _________ . 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka

Andarwulan, N dan Faradila, RH. F. 2012. Pewarna Alami Untuk Pangan. Bogor : South East Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, Institut Pertanian Bogor

Astawan, M. 2009. Sehat dengan Hidangan Kacang dan Biji-Bijian. Depok : Penebar Swadaya

Ayustaningwarno, F. 2014. Teknologi Pangan (Teori Praktis dan Aplikasi). Cetakan Pertama. Yogyakarta : Graha Ilmu

Badan Standarisasi Nasional. 1999. Standarisasi Nasional Indonesia. 01-2713-1999. Kerupuk. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional

Budiyanto, M. A. K. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Malang : UMM Press

Dalimunthe, I. 2010. Analisis Rhodamin B Pada Jajanan Anak Sekolah Dasar di Kabupaten Labuhan Batu Selatan, Sumatera Utara. Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan

Guyton, A.C. dan J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC

Hanafiah, K.A. 2014. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Cetakan ke-15. Jakarta : Rajawali Pers

Heath, H. B. 1981. SourceBook of Flavors. AVI Publishing Company: Westport, Connecticut

Hidayat, Nur dan Suhartini, S. 2006. Membuat Aneka Kerupuk. Surabaya : Trubus Agrisarana

Hidayat, N dan Saati, E.A. 2006. Membuat Pewarna Alami. Cetakan Pertama. Surabaya : Trubus Agrisarana

Kartika dan Bambang. 1998. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. Yogyakarta : UGM

(11)

Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Teknologi Jakarta : UI Press

Khomsan, A. 2007. Sehat Dengan Makanan Berkhasiat. Jakarta : Kompas

Koswara, S. 2009. Pengolahan Aneka Kerupuk. http://tekpan.unimus.ac.id/wp-content/uploads/2013/07/Pengolahan-Aneka-Kerupuk.pdf, diakses pada 7 September 2015

_______ . 2009. Pewarna Alami. http://tekpan.unimus.ac.id/wp-content/uploads/2013/07/Pewarna-Pangan.pdf, diakses pada 7 September 2015

Kusumaningrum, I. 2009. Analisa Faktor Daya Kembang Dan Daya Serap Kerupuk Rumput Laut Pada Variasi Proporsi Rumput Laut. Jurnal Teknologi Pertanian Vol. IV No. 2

Lean, E. J. Michael. 2003. Ilmu Pangan, Gizi Dan Kesehatan. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar

Lingga, L. 2010. Cerdas Memilih Sayuran. Cetakan Pertama. Jakarta : Agro Media Pustaka

Mahmud, M., Hermana, dkk. 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia (TKPI). Jakarta : PT Elex Media Komputindo

Muchtadi, T. R. 1989. Teknologi Pengolahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor

Murtiyanti, M.F. 2012. Identifikasi Penggunaan Zat Pewarna Pada Pembuatan Kerupuk Dan Faktor Perilaku Produsen. Skripsi Fakultas Keolahragaan Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang, Semarang

Nurhadi, B. dan Nurhasanah, S. 2010. Sifat Fisik Bahan Pangan. Bandung : Widya Padjadjaran

Piliang, W. G dan S. Djojosoebagio. 1996. Fisiologi Nutrisi Edisi Kedua. Jakarta: UI- Press

Rimbawan dan Siagian, A. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Jakarta : Penebar Swadaya

Rohaendi, D. 2009. Seri Usaha Kecil Menengah (UKM) Daerah Memproduksi Kerupuk Sangrai. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

(12)

Sentra Informasi Keracunan (SIker) Nasional. 2015. Berita Keracunan Bulan April Sampai Juni 2015. http://ik.pom.go.id/v2014/, di akses pada 7 September 2015

Setiawan, I.A. 1995. Sayuran Dataran Tinggi. Jakarta : Penebar Swadaya

Setyaningsih, D., Apriyanto, A., dan Sari, M. P. 2010. Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Agro. Bogor : IPB Press

Solihin, M. A. 2005. Substitusi Tepung Terigu dengan Pati Sagu dalan Proses Pembuatan Cake. Skripsi. Riau : Fakultas Teknologi Agrikultur Universitas Riau

Sunarjono, H.H. 2013. Bertanam 36 Jenis Sayur. Cetakan Pertama. Jakarta : Penebar Swadaya

Suprapti, M.L. 2005. Tepung Tapioka (Pembuatan dan Pemanfaatannya). Cetakan Kelima. Yogyakarta : Kanisius

Wahyono, R., Marzuki. 2000. Pembuatan Aneka Kerupuk. Surabaya : Trubus Agrisarana

Widowati, T. 1987. Pembuatan kerupuk kimpul. Skripsi Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor

Winarno, F.G, Fardiaz, S. dan Fardiaz, D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta : Gramedia.

Winarno. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Cetakan Keenam. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

______ . 1997. Kimia Pangan. Pusat Pengembangan Teknologi Pangan. Institut Pertanian Bogor

______ . 2002. Pangan Bagi Kesehatan dan Vitalitas. Bogor : M-Brio Press. ______ . 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka.

Winarti, S. (2010). Makanan Fungsional. Yogyakarta : Graha Ilmu

Wirakusumah, E. 1995. Buah Dan Sayur Untuk Terapi. Jakarta : Penerbit Swadaya

______________ . 2007. Jus Buah dan Sayuran. Jakarta : Niaga Swadaya

Wiriano, H. 1984. Mekanisasi dan Teknologi Pembuatan Kerupuk. Balai Besar Industri Hasil Pertanian. Bogor : Departemen Perindustrian.

(13)
(14)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis eksperimen, dimana hanya memilki satu perlakuan yaitu penambahan sari bit pada pembuatan kerupuk merah, yang berbeda hanya konsentrasi yang digunakan dalam penelitian. Konsentrasi yang dipilih yaitu 25 % dan 50 %. Selanjutnya konsentrasi tersebut diberi kode P1,

(15)

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian kandungan gizi di Laboratorium Biokimia Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara (FMIPA-USU) pada tanggal 17-23 Desember 2015 dan penelitian uji daya terima kepada panelis dilakukan pada tanggal 18-22 Desember 2015.

3.3. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah kerupuk dengan penambah sari bit dengan konsentrasi 25 % dan 50 %. Batas bawah ditentukan dengan konsentrasi 25 % hal ini disesuaikan dengan jumlah air yang digunakan yaitu sama dengan jumlah sari bit, sedangkan untuk batas atas ditentukan dengan konsentrasi 50 % yaitu untuk menghasilkan warna yang lebih merah pada kerupuk.

3.4. Definisi Operasional

1. Kerupuk adalah makanan ringan yang dibuat dari adonan tepung tapioka, garam dan pewarna. Kerupuk dibuat dengan mengukus adonan sebelum dipotong tipis-tipis, dikeringkan dibawah sinar matahari dan digoreng. 2. Tepung tapioka adalah tepung yang terbuat dari ubi kayu atau singkong. 3. Uji daya terima adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui tingkat

daya terima konsumen dengan mempergunakan skala hedonik empat titik acuan.

(16)

4. Warna adalah corak rupa yang dihasilkan oleh kerupuk yang dirasakan secara subyektif oleh indera pengelihatan.

5. Rasa adalah daya terima panelis terhadap kerupuk yang dirasakan secara subyektif oleh indera pengecap.

6. Aroma adalah bau khas yang dihasilkan oleh kerupuk yang dibedakan oleh indera penciuman.

7. Tekstur adalah tingkat kerenyahan dari kerupuk. 3.5. Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam pembuatan kerupuk dengan penambahan sari bit dalam penelitian ini yaitu :

3.5.1. Alat

Alat untuk pembuatan kerupuk merah :

1. Kompor 7. Blender

2. Plastik (Cetakan) 8. Telenan

3. Baskom 9. Sendok

4. Panci 10. Timbangan

5. Dandang 11. Kuali

6. Pisau 12. Nampan

3.5.2. Bahan

(17)

pembuatan kerupuk dalam penelitian ini terdiri dari tepung tapioka, air, garam dan sari bit.

Tabel 3.2. Jumlah Pemakaian Bahan yang Digunakan dalam Pembuatan Kerupuk Hasil Modifikasi Resep

Bahan Perlakuan

P1 P2

Tepung Tapioka 100 gram 100 gram

sari bit 50 ml 100 ml

Air 50 ml 0 ml

Garam ½ sdt ½ sdt

Keterangan :

Berat bahan utama = 200 gram

P1 Sari bit 25 % = 25 % x 200 gram = 50 ml Tepung tapioka 50 % = 50 % x 200 gram = 100 gram Garam 1 % = 1 % x 200 gram = 2 gram (½ sdt)

Air 50 % = 50 % x 200 gram = 50 ml

P2 Sari bit 50 % = 50 % x 200 gram = 100 ml Tepung tapioka 50 % = 50 % x 200 gram = 100 gram Garam 1 % = 1 % x 200 gram = 2 gram (½ sdt)

(18)

3.6. Tahapan Penelitian

3.6.1. Proses Pembuatan Sari Bit

Prosedur pembuatan sari bit dapat dilihat pada gambar 3.1.

Gambar 3.1. Diagram Alir Pembuatan Sari Bit

Bagan diatas menjelaskan bahwa pembuatan sari bit dimulai dengan mengupas bit terlebih dahulu. Kemudian bit di cuci dan dikukus selama 5 menit, setelah itu bit diblender dengan air (jumlah air setengah dari berat bit). Bubur bit yang diperoleh dari pemblenderan disaring sehingga hanya tinggal ampas dan diperoleh sari bit. Panaskan sari bit untuk pasteurisasi dari mikrobia.

Bit segar

Pengupasan

Pencucian

Penghalusan

Kulit

Pengukusan

Sari bit Penyaringan

(19)

3.6.2. Proses Pembuatan Kerupuk

Proses pembuatan kerupuk dengan penambahan sari bit sebagai bahan pewarna dalam penelitian ini melalui beberapa tahap yaitu : tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap penyelesaian.

1. Tahap Persiapan

a. Menyiapkan semua alat, bahan utama dan bahan tambahan yang diperlukan dalam pembuatan kerupuk dengan penambahan sari bit sebagai pewarna. b. Menimbang bahan-bahan yang diperlukan dalam pembuatan kerupuk. 2. Tahap Pelaksanaan

Tahap pelaksanaan dalam pembuatan kerupuk dengan penambahan sari bit sebagai pewarna meliputi tahap pembuatan adonan, pencetakan, pengukusan, pendinginan, pemotongan, pengeringan dan penggorengan.

a. Pembuatan adonan

Garam dicampur dengan sepertiga bagian tepung tapioka kemudian dilarutkan dengan sari bit yang di panaskan terlebih dahulu, sambil diaduk hingga diperoleh campuran berbentuk bubur. Selanjutnya sisa tepung tapioka di ditambahkan kedalam adonan kemudian diuleni dengan tangan sehingga dihasilkan adonan yang liat dan homogen.

b. Pencetakan adonan

(20)

c. Pengukusan adonan

Adonan kerupuk merah yang sudah dicetak kemudian dikukus selama 2 jam didalam uap panas. Untuk mengetahui adonan sudah matang tusukkan lidi ke adonan jika tidak lengket lagi maka adonan sudah matang.

d. Pendinginan adonan

Adonan yang telah matang diangkat dan selanjutnya didinginkan dan dibiarkan selama satu hari di dalam lemari pendingin sehingga mengeras, dengan demikian mudah saat akan dipotong.

e. Pengirisan adonan

Adonan kerupuk merah yang sudah dingin kemudian diiris dengan pisau, dalam penelitian ini ketebalan irisan kerupuk yaitu 1 mm.

f. Pengeringan

Pengeringan kerupuk dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 70°C selama 4 jam.

g. Penggorengan

Setelah benar-benar kering kemudian kerupuk merah mentah sudah dapat digoreng. Dalam penelitian ini ½ kg minyak dipanaskan dengan api kecil dalam waktu 5 menit. Untuk melihat minyak sudah dapat digunakan dilakukan percobaan terhadap satu kerupuk jika mengembang maka sudah dapat dilakukan penggorengan.

3. Tahap Penyelesaian

(21)
(22)

Proses pembuatan kerupuk dapat dilihat pada gambar 3.2.

Gambar 3.2. Diagram Alir Pembuatan Kerupuk Pembuatan Adonan

Pencetakan Adonan

Pengukusan Adonan 2 jam

Pendinginan Adonan

Pengirisan Adonan

Pengeringan

Kerupuk merah mentah

Kerupuk merah matang

Garam 1 % - Sari bit 25 %

- Sari bit 50 %

- Tepung tapioka 50 % - Tepung tapioka 50 %

(23)

3.6.3. Uji Daya Terima

Untuk mengetahui hasil dari percobaan perlu dilaksanakan penilaian kepada masyarakat dengan uji daya terima (uji organoleptik). Jenis uji daya terima yang digunakan adalah uji kesukaan atau hedonik menyatakan suka atau tidak sukanya terhadap suatu produk.

Uji hedonik adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui tingkat daya terima konsumen dengan mempergunakan skala empat titik acuan yaitu dengan skor yang paling rendah adalah 1 dan skor yang paling tinggi adalah 4. Berdasarkan tingkatannya, tingkat penerimaan konsumen dapat diketahui sesuai dengan Tabel 3.3. berikut :

Tabel 3.3. Tingkat Penerimaan Konsumen

Organoleptik Skala Hedonik Skala Numerik

Warna Sangat menarik 4

(24)

Panelis dalam penelitian ini adalah panelis yang tidak terlatih yang diambil dari mahasiswa/i Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sebanyak 30 orang dengan kriteria sebagai berikut :

a. Sehat lahir dan batin (terutama organ untuk menguji) b. Tidak sakit

c. Tidak lelah d. Bisa bekerja sama

Adapun langkah-langkah dalam melakukan uji organoleptik yaitu :

a. Memperkenalkan diri dan memberitahukan maksud peneliti kepada panelis b. Membagikan sampel, air minum dalam kemasan, formulir penilaian dan alat

tulis.

c. Memberikan penjelasan singkat kepada panelis tentang cara memulai dan cara pengisian formulir.

d. Memberikan kesempatan kepada panelis untuk memulai dan menuliskan penilaian pada lembar formulir penilaian.

e. Mengumpulkan formulir yang telah diisi oleh panelis.

f. Setelah formulir penilaian dikumpulkan kemudian dianalisis. 3.7. Analisis Kimia

3.7.1. Analisis Kadar Air (Metode Thermogravimetri) Cara kerja :

1. Dimasukkan 2 gram sampel kedalam cawan porselen yang telah diketahui beratnya

(25)

3. Didinginkan dalam desikator selama 30 menit 4. Ditimbang berat sampel kering

5. Diulangi sampai berat konstan 6. Dihitung kadar airnya

Perhitungan:

% Kadar Air = w0+ ws − wi

ws x 100%

Keterangan :

Wo : Berat cawan porselen

Wi : Berat cawan + sampel setelah dikeringkan Ws : Berat sampel

3.7.2. Analisis Kadar Abu (Metode Destruksi) Cara kerja :

1. Ditimbang sampel sebnayak 3 gram 2. Ditimbang cawan kosong

3. Dikeringkan dalam oven selama 3 jam pada suhu 105°C 4. Didinginkan dalam desikator

5. Ditanur selama 2 jam pada suhu 600°C 6. Ditimbang berat abu

Perhitungan:

% Kadar Abu =w1− w0

(26)

Keterangan :

Wo : Massa cawan

Wi : Massa cawan + Massa abu Ws : Massa sampel

3.7.3. Analisis Kadar Serat (Metode Crude Fiber) Cara kerja :

1. Dimasukkan sampel yang telah dihilangkan kandungan lemaknya kedalam beaker glass

2. Ditambahkan 50 ml H2S04 1,25 %

3. Dididihkan selama 30 menit sambil ditutup dengan cawan petri 4. Ditambahkan 50 ml NaOH 3,25 %

5. Dididihkan selama 30 menit sambil ditutup dengan cawan petri 6. Disaring dengan kertas saring whatman No 41

7. Dicuci dengan H2S04 1,25 % panas

8. Dicuci dengan aquades 9. Dicuci dengan etanol 96 %

10. Dimasukkan kedalam cawan timbang yang telah diketahui beratnya 11. Dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C

12. Didinginkan didalam desikator 13. Ditimbang sampai berat konstan 14. Dihitung kadar seratnya

Perhitungan:

% Kadar serat =w1x wo

(27)

Berat residu = berat serat kasar Keterangan:

Wo : Berat kertas saring

Wi : Berat kertas saring + berat residu Ws : Berat sampel

3.7.4. Analisis Kadar Protein (Metode Kjeldhal) Cara kerja :

1. Timbang seksama 0,51 g cuplikan, masukkan ke dalam labu kjeldahl 100 ml.

2. Tambahkan 2 g campuran selen dan 25 ml H2SO4 pekat.

3. Panaskan di atas pemanas listrik atau api pembakar sampai mendidih dan larutan menjadi jernih kehijau-hijauan (sekitar 2 jam).

4. Biarkan dingin, kemudian encerkan dan masukkan ke dalam labu ukur 100 ml, tepatkan sampai tanda garis.

5. Pipet 5 ml larutan dan masukkan ke dalam alat penyuling tambahkan 5 ml NaOH 30% dan beberapa tetes indikator PP.

6. Sulingkan selama lebih kurang 10 menit, sebagai penampung gunakan 10 ml larutan asam borat 2% yang telah dicampur indikator.

7. Bilas ujung pendingin dengan air suling. 8. Titar dengan larutan HCl 0.01 N

9. Kerjakan penetapan blanko.

Perhitungan:

�� � � � = V1−V2 x N x 0,014 x f. k. x f. p.

(28)

Keterangan :

W : Bobot cuplikan

V1 : Volume HCl 0,01 N yang dipergunakan penitaran contoh V2 : Volume HCl yang diperguakan penitaran blanko

N : Normalitas HCl f.k. : Protein dari :

- makanan secara umum 6,25 - susu dan hasil olahannya 6,38 - minyak kacang 5,46

f.p. : Faktor pengenceran

3.7.5. Analisis Kadar Lemak (Metode Sokhletasi) Cara kerja :

1. Dibungkus sampel yang telah dihilangkan kandungan airnya dengan menggunakan kertas saring biasa

2. Dimasukkan kedalam alat sokhlet

3. Diekstraksi dengan menggunakan larutan n-heksan selama 6 jam pada suhu 80°C

4. Didestilasi larutan n-heksan dan ekstrak lemak pada suhu 100-105°C 5. Didinginkan didalam desikator

6. Ditimbang hingga berat sampel konstan 7. Dihitung kadar lemaknya

Perhitungan:

% Kadar Lemak =w1− w0

(29)

Keterangan :

Wi : Berat labu talas + ekstrak lemak Wo : Berat labu talas

Ws : Berat sampel

3.7.6. Analisis Kadar Vitamin C (Titrasi Iodimetri) Cara kerja :

1. Dimasukkan sampel kedalam Erlenmeyer 2. Ditambahkan tiga tetes indicator amilum 1%

3. Dititrasi dengan larutan standar I2 0,01N sampai terjadi perubahan warna

dari bening menjadi biru pada akhir titrasi 4. Dicatat volume larutan standar yang digunakan 5. Diulangi percobaan yang sama sebanyak tiga kali

Perhitungan:

�� � �� � � � = Vrata−rata x 0,88 x FP

V sampel x 100 %

Keterangan :

V rata-rata : Volume I2 0,01 N untuk titrasi

0,88 : Ketetapan

FP : Faktor Pengencer

V : Volume sampel

3.8. Pengolahan dan Analisa Data

(30)

data kuantitatif (Hanafiah, 2014). Skor nilai untuk mendapatkan persentase dirumuskan sebagai berikut :

% = n

N X 100%

Keterangan :

% = Skor persentase

n = Jumlah skor yang diperoleh

N = Skor ideal (skor tertinggi x jumlah panelis)

Untuk mengubah data skor persentase menjadi nilai kesukaan konsumen, analisisnya sama dengan analisis kualitatif dengan nilai yang berbeda, yaitu sebagai berikut :

Nilai tertinggi = 4 (suka) Nilai terendah = 1 (tidak suka) Jumlah kriteria yang ditentukan = 4

Jumlah panelis = 30 orang

a. Skor maximum = jumlah panelis x nilai tertinggi = 30 x 4 = 120

b. Skor minimum = jumlah panelis x nilai terendah = 30 x 1 = 30

c. Persentase maximum = � ���

� ��� x 100%

= 120

120 x 100% = 100%

d. Persentase minimum = � � �

(31)

= 30

120 x 100% = 25%

e. Rentangan = persentase maximum - persentase minimum = 100% - 25% = 75%

f. Interval persentase = rentangan : jumlah kriteria = 75% : 4 = 18,75%

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, maka dapat dibuat interval persentase dan kriteria kesukaan sebagai berikut.

Tabel 3.4. Interval Persentase dan Kriteria Kesukaan

Persentase (%) Kriteria Kesukaan

81,25 – 100,00 Sangat suka/Sangat menarik

62,50 – 81,24 Suka/Menarik

43,75 – 62,49 Kurang suka/Kurang menarik

(32)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Karakteristik Kerupuk dengan Penambahan Sari Bit

Berdasarkan kedua perlakuan yang telah dilakukan terhadap kerupuk dengan penambahan sari bit maka dihasilkan kerupuk yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada gambar dan tabel 4.1 berikut ini :

P1 (25 %) P2 (50%)

Gambar 4.1. Kerupuk dengan penambahan sari bit Tabel 4.1. Karakteristik Kerupuk dengan Penambahan Sari Bit

Karakteristik Kerupuk

P1 P2

Aroma Khas kerupuk Khas kerupuk

Warna Merah muda keputihan Merah

Rasa Gurih khas kerupuk Gurih dan berasa manis bit

Tekstur Renyah Renyah

Keterangan :

P1 : Kerupuk dengan penambahan sari bit 25%

P2 : Kerupuk dengan penambahan sari bit 50%

4.2. Deskriptif Panelis

(33)

secara visual panelis tidak dalam keadaan sakit, tidak mengalami cacat fisik pada organ yang dipakai untuk menilai dan dalam keadaan emosional yang stabil.

4.3. Analisis Organoleptik Aroma Kerupuk dengan Penambahan Sari Bit Hasil analisis organoleptik aroma kerupuk dengan skala hedonik dapat dilihat pada tabel 4.2. berikut ini :

Tabel 4.2. Hasil Analisis Organoleptik Aroma Kerupuk

Aroma Perlakuan

Kriteria Skor P1 P2

Panelis Skor % Panelis Skor %

Sangat suka 4 0 0 0 6 24 20,0

Suka 3 22 66 55,0 19 57 47,5

Kurang suka 2 7 14 11,6 4 8 6,6

Tidak suka 1 1 1 0,8 1 1 0,8

Total 30 81 67,4 30 90 74,9

Keterangan :

P1 : Kerupuk dengan penambahan sari bit 25%

P2 : Kerupuk dengan penambahan sari bit 50%

(34)

Gambar 4.2. Histogram Hasil Analisis Organoleptik Aroma Kerupuk 4.4. Analisis Organoleptik Warna Kerupuk dengan Penambahan Sari Bit

Hasil analisis organoleptik warna kerupuk dengan skala hedonik dapat dilihat pada tabel 4.3. berikut ini :

Tabel 4.3. Hasil Analisis Organoleptik Warna Kerupuk

Warna Perlakuan

P1 : Kerupuk dengan penambahan sari bit 25%

P2 : Kerupuk dengan penambahan sari bit 50%

Berdasarkan tabel 4.3. diatas dapat dilihat dari total skor kedua perlakuan dalam uji organoleptik terhadap warna, kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % memiliki total skor tertinggi yaitu 98 (81,6 %) dengan kriteria

Sangat suka Suka Kurang suka Tidak suka

(35)

sangat menarik, sedangkan kerupuk dengan penambahan sari bit 25 % memiliki kriteria menarik. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar panelis menyukai warna kerupuk dengan penambahan sari bit 50 %. Untuk melihat perbedaan persentase jumlah skor setiap sampel dapat dilihat seperti pada gambar 4.3. berikut ini.

Gambar 4.3. Histogram Hasil Analisis Organoleptik Warna Kerupuk 4.5. Analisis Organoleptik Rasa Kerupuk dengan Penambahan Sari Bit

Hasil analisis organoleptik rasa kerupuk dengan skala hedonik dapat dilihat pada tabel 4.4. berikut ini :

Tabel 4.4. Hasil Analisis Organoleptik Rasa Kerupuk

Rasa Perlakuan

Sangat menarik Menarik Kurang menarik Tidak menarik

(36)

Keterangan :

P1 : Kerupuk dengan penambahan sari bit 25%

P2 : Kerupuk dengan penambahan sari bit 50%

Berdasarkan tabel 4.4. diatas dapat dilihat dari total skor kedua perlakuan dalam uji organoleptik terhadap rasa, kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % memiliki total skor tertinggi yaitu 91 (75,7 %). Apabila dilihat dari kriteria kesukaan, kedua sampel memiliki kriteria suka. Untuk melihat perbedaan persentase jumlah skor setiap sampel dapat dilihat seperti pada gambar 4.4. berikut ini.

Gambar 4.4. Histogram Hasil Analisis Organoleptik Rasa Kerupuk

10

Sangat suka Suka Kurang suka Tidak suka

(37)

4.6. Analisis Organoleptik Tekstur Kerupuk dengan Penambahan Sari Bit Hasil analisis organoleptik tekstur kerupuk dengan skala hedonik dapat dilihat pada tabel 4.5. berikut ini :

Tabel 4.5. Hasil Analisis Organoleptik Tekstur Kerupuk

Tekstur Perlakuan

Kriteria Skor P1 P2

Panelis Skor % Panelis Skor %

Sangat suka 4 5 20 16,6 8 32 26,6

Suka 3 16 48 40,0 19 57 47,5

Kurang suka 2 9 18 15,0 3 6 5,0

Tidak suka 1 0 0 0 0 0 0

Total 30 86 71,6 30 95 79,1

Keterangan :

P1 : Kerupuk dengan penambahan sari bit 25%

P2 : Kerupuk dengan penambahan sari bit 50%

(38)

Gambar 4.5. Histogram Hasil Analisis Organoleptik Tekstur Kerupuk 4.7. Analisis Kandungan Zat Gizi Kerupuk dengan Penambahan Sari Bit

Hasil analisis kandungan gizi kerupuk dengan penambahan sari bit 25 % dan 50 %, dapat dilihat pada tabel 4.6 dibawah ini :

Tabel 4.6. Hasil Analisis Kandungan Zat Gizi Kerupuk

Zat Gizi Perlakuan penambahan sari bit, kadar serat, protein dan vitamin c pada kerupuk meningkat sesuai dengan semakin tinggi konsentrasi sari bit dalam pembuatan kerupuk. Kadar lemak lebih tinggi pada kerupuk P1 dari pada kerupuk P2, dikarenakan

Sangat suka Suka Kurang suka Tidak suka

(39)

tinggi pada kerupuk P1 dari pada kerupuk P2, dikarenakan pada kerupuk P1

(40)

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Kerupuk yang Dihasilkan

Dari hasil penelitian, karakteristik kerupuk dengan penambahan sari bit 25 % (perbandingan antara tepung tapioka 50 % dan sari bit 25 %) bewarna merah muda keputihan, beraroma khas kerupuk, rasanya gurih dan khas kerupuk, dan teksturnya renyah. Sedangkan kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % (perbandingan antara tepung tapioka 50 % dan sari bit 50 %) bewarna merah, beraroma khas kerupuk, rasanya gurih dan berasa manis bit, teksturnya renyah.

5.2. Daya Terima Panelis Terhadap Aroma Kerupuk

Aroma merupakan sifat sensori yang paling sulit untuk diklasifikasikan dan dijelaskan, karena ragamnya yang begitu besar dan karena terdapat banyak sekali jenis bebauan yang dapat dikenali oleh panca indera penciuman yaitu sekitar 17.000 senyawa volatile (senyawa kimia yang berperan memberikan rasa bau, memberikan kesan awal dan menguap dengan cepat) dengan tingkat kepekaan yang lebih tinggi dibanding indera pencicipan (10.000 kali) (Setyaningsih, 2010).

(41)

%), sedangkan total skor pada kerupuk dengan penambahan sari bit 25 % yaitu 85 (70,7 %).

Kerupuk dengan penambahan sari bit 25 % dan kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % menghasilkan aroma seperti aroma kerupuk pada umumnya. Pada dasarnya bit memiliki bau yang langu, namun pada proses pembuatan sari bit, bit dikukus sehingga dapat menghilangkan bau langu. Sesuai dengan Astawan (2009) bahwa bau langu dapat hilang ketika terkena suhu panas atau proses pemasakan dengan suhu tinggi.

Menurut Kartika (1998) dalam menilai kualitas aroma biasanya menimbulkan pendapat yang berlainan. Perbedaan pendapat disebabkan setiap orang memiliki perbedaan penciuman, meskipun mereka dapat membedakan aroma namun setiap orang mempunyai kesukaan yang berlainan.

5.3. Daya Terima Panelis Terhadap Warna Kerupuk

(42)

Dari hasil penilaian terhadap daya terima warna kerupuk oleh panelis menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai warna kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % dengan total skor yaitu 98 (81,6 %). Hal ini dikarenakan kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % memiliki warna yang lebih merah dibandingkan kerupuk dengan penambahan sari bit 25 %.

Perbedaan warna yang dihasilkan pada kedua perlakuan dikarenakan, kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % penggunaan air digantikan seluruhnya oleh sari bit sehingga menghasilkan warna kerupuk yang lebih merah. Sedangkan kerupuk dengan penambahan sari bit 25 % adanya pencampuran sari bit dengan air sehingga pada saat dilakukan pemanasan pada adonan akan menghasilkan warna yang kurang merah.

Menurut Winarno (1992) warna pada bahan pangan dapat berasal dari pigmen alami bahan pangan itu sendiri, reaksi karamelisasi, reaksi maillard, reaksi senyawa organik dengan udara, dan penambahan zat warna, baik alami maupun sintetik. Menurut Nurhadi (2010) karakteristik warna bahan pangan sangat berhubungan dengan kualitas bahan tersebut. Perubahan warna yang terjadi pada bahan pangan melibatkan reaksi-reaksi kimia seperti hidrolisis dan oksidasi.

(43)

(Tarigan, 2010). Salah satu sumber pewarna alami yang dapat digunakan sebagai pewarna makanan adalah pigmen betalain yang terdapat pada bit. Betalain yang terkandung dalam bit telah digunakan sebagai pewarna makanan, seperti pada es krim dan makanan penutup beku (Rahayu, 2010). Hal ini dibuktikan dengan dengan tidak adanya efek karsinogenik atau efek toksik lainnya sehingga bit aman sebagai pewarna makanan (Francis, 2002). Pigmen betalain dari bit menunjukan sifat antiradikal dan antioksidan yang tinggi. Kandungan betalain pada bit juga bermanfaat untuk mencegah penyakit kanker, terutama kanker kolon (usus besar).

Penentuan mutu pangan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor diantaranya cita rasa, warna, tekstur dan nilai gizinya. Tetapi sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan, secara visual faktor warna tampil lebih dahulu dan terkadang sangat menentukan, selain faktor yang menentukan mutu, warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan (Winarno, 2004).

5.4. Daya Terima Panelis Terhadap Rasa Kerupuk

(44)

Berdasarkan hasil pengujian organoleptik terhadap rasa kerupuk oleh panelis menunjukkan bahwa panelis menyukai rasa kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % dengan total skor yaitu 91 (75,7 %), sedangkan untuk kerupuk dengan penambahan sari bit 25 % memiliki total skor 78 (64,9%). Walaupun hasil penilaian kedua perlakuan berada pada kriteria suka, tetapi apabila dilihat dari total skor, kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % memiliki total skor lebih tinggi.

Rasa pada kerupuk merah dalam penelitian ini dihasilkan dari penggunaan garam dan sari bit. Secara alami bit mengandung sukrosa sehingga memiliki rasa manis. Perbedaan rasa pada kerupuk terjadi karena adanya penambahan sari bit yang berbeda pada setiap perlakuan. Hal tersebut disebabkan, karena semakin tinggi proporsi penambahan sari bit juga akan mempengaruhi rasa dari kerupuk.

Menurut Hidayat (2006) rasa suatu bahan makanan dipengaruhi oleh senyawa kimia, suhu, konsentrasi, dan interaksi dengan komponen rasa lain. Menurut Solihin (2005) bahwa umumnya bahan pangan tidak hanya terdiri dari salah satu rasa tetapi merupakan gabungan dari berbagai macam rasa terpadu, sehingga menimbulkan cita rasa yang utuh.

(45)

Perbedaan sensasi yang terjadi di antara dua orang dapat disebabkan oleh adanya perbedaan sensasi yang diterima, karena perbedaan tingkat sensitivitas organ penginderaanya atau karena kurangnya pengetahuan terhadap rasa tertentu.

5.5. Daya Terima Panelis Terhadap Tekstur Kerupuk

Tekstur bersifat kompleks dan terkait dengan struktur bahan yang terdiri dari tiga elemen yaitu mekanik (kekerasan, kekenyalan), geometrik (berpasir, beremah), dan mouthfeel (berminyak, berair) (Setyaningsih, 2010). Tekstur merupakan sensasi tekanan yang dapat diamati dengan mulut (pada waktu digigit, dikunyah, dan ditelan) ataupun perabaan dengan jari (Kartika, 1998).

Berdasarkan hasil pengujian organoleptik terhadap tekstur kerupuk oleh panelis menunjukkan bahwa panelis menyukai tekstur kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % dengan total skor yaitu 95 (79,1 %), sedangkan untuk kerupuk dengan penambahan sari bit 25 % memiliki total skor 86 (71,6 %). Walaupun hasil penilaian kedua perlakuan berada pada kriteria suka, tetapi apabila dilihat dari total skor, kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % memiliki total skor lebih tinggi.

(46)

Amilopektin berfungsi memberikan sifat renyah pada kerupuk. Kerupuk dengan kandungan amilopektin yang lebih tinggi akan memiliki pengembangan yang tinggi, karena pada saat proses pemanasan akan terjadi proses geletinisasi dan akan terbentuk struktur yang elastis yang kemudian dapat mengembang pada tahap penggorengan sehingga kerupuk dengan volume pengembangan yang tinggi akan memiliki kerenyahan yang tinggi (Zulfiani, 1992).

Menurut Winarno (1997), tekstur dan konsistensi suatu bahan akan memengaruhi cita rasa yang ditimbulkan bahan tersebut karena dapat memengaruhi kecepatan timbulnya rangsangan terhadap sel reseptor olfaktori dan kelenjar air liur.

5.6. Hasil Analisis Kandungan Gizi Kerupuk dengan Penambahan Sari Bit

Nilai gizi suatu produk makanan merupakan faktor yang sangat rentan terhadap perubahan perlakuan sebelum, selama, dan sesudah proses pengolahan. Umumnya selama proses pengolahan terjadi kerusakan gizi secara bertahap pada bahan pangan. Kandungan gizi pada kerupuk dengan penambahan sari bit merupakan gabungan dari bahan bit itu sendiri dan kandungan gizi yang diperoleh dari tepung tapioka.

5.6.1 Kadar Air

(47)

untuk mengetahui jumlah air yang terdapat pada produk kerupuk merah yang dihasilkan.

Berdasarkan hasil analisis laboratorium, dapat dilihat perbedaan kadar air dalam kerupuk merah dengan penambahan sari bit 25 % dan 50 %. Kadar air pada kerupuk merah dengan penambahan sari bit 25 % sebesar 0,24 %, sedangkan kadar air pada kerupuk merah dengan penambahan sari bit 50 % sebesar 0,03 %. Kerupuk dengan penambahan sari bit 25 % memiliki kadar air yang lebih tinggi, dikarenakan adanya tambahan air pada adonan kerupuk selain dari sari bit. Sedangkan pada kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % tidak ditambahkan air lagi pada adonan kerupuk, sehingga memiliki kadar air yang lebih sedikit.

Apabila kerupuk merah dengan penambahan sari bit dibandingan dengan kerupuk menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), kadar air kerupuk pada kedua perlakuan yaitu P1 sebesar 0,24 % dan P2 sebesar 0,03 % masih

dalam standar SNI yaitu sebesar maksimal 12 % ketika kerupuk sudah digoreng. Makin rendah kadar airnya maka umur simpan akan semakin lama.

(48)

(2004), suatu bahan pangan yang tinggi kadar airnya akan semakin cepat busuk daripada bahan pangan dengan kadar air yang rendah.

5.6.2 Kadar Abu

Abu merupakan partikel halus dan bewarna putih yang merupakan residu proses pembakaran bahan-bahan organik atau merupakan zat anorganik yang tidak terbakar selama proses pembakaran pada suatu bahan pangan. Kadar abu dipengaruhi unsur-unsur mineral yang ada dalam suatu bahan pangan (Winarno, 2008).

Berdasarkan hasil analisis laboratorium, dapat dilihat kadar abu dalam kerupuk merah dengan penambahan sari bit 25 % dan 50 % memiliki kadar yang sama yaitu 0,33 %. Apabila dibandingkan dengan kerupuk menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), Kadar abu dari kerupuk merah dengan penambahan sari bit pada kedua perlakuan (25 % dan 50 %) yaitu sebesar 0,33 %, masih dalam ketentuan SNI yaitu sebesar maksimal 2 %.

Penentuan kadar abu dilakukan dengan tujuan untuk menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, serta dijadikan parameter nilai gizi bahan makanan (Budiyanto, 2002). Menurut Muchtadi (1989) kandungan abu dari suatu bahan menunjukkan kadar mineral dalam bahan tersebut.

(49)

5.6.3 Kadar Serat

Secara alami serat makanan ada di dalam sumber makanan yang berasal dari tumbuhan. Serat makanan adalah komponen dalam tanaman yang tidak tercerna secara enzimatik menjadi bagian-bagian yang tidak diserap oleh saluran pencernaan manusia (Rimbawan, 2004). Serat sangat penting dalam proses pencernaan makanan dalam tubuh. Kekurangan serat dapat menyebabkan konstipasi, kanker koloni, penyakit jantung koroner, batu ginjal, dan diabetes mellitus. Kekurangan serat juga dihubungkan dengan berbagai penyakit gastrointestinal (Almatsier, 2003).

Berdasarkan hasil analisis laboratorium, dapat dilihat perbedaan kadar serat dalam kerupuk merah dengan penambahan sari bit 25 % dan 50 %, dimana kadar serat kerupuk merah per 100 gram yaitu pada penambahan sari bit 25 % sebesar 6,7 % dan pada penambahan sari bit 50 % sebesar 8,5 %. Kadar serat yang terkandung pada kerupuk merah ini dipengaruhi oleh kandungan serat dalam bit, semakin tinggi konsentrasi penambahan sari bit pada kerupuk, semakin tinggi pula kandungan serat yang terkandung pada kerupuk. Perbedaan kadar serat pada tiap perlakuan kerupuk ini diakibatkan oleh konsentrasi sari bit yang berbeda antara kerupuk P1 dan kerupuk P2.

(50)

tiap 100 gram kerupuk merah dengan penambahan sari bit 50 % memberikan kontribusi serat sebesar 8,5 gram.

5.6.4 Kadar Protein

Protein merupakan zat makanan yang penting bagi tubuh manusia, karena berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh dan juga sebagai bahan pembangun dan pengatur (Winarno, 2004). Protein didapat dalam tumbuhan (biji-bijian, serealia, padi-padian) dan hewan (susu, keju, daging, unggas).

Berdasarkan hasil analisis laboratorium, dapat dilihat perbedaan kadar protein dalam kerupuk dengan penambahan sari bit 25 % dan 50 %, dimana kadar protein kerupuk merah per 100 gram pada penambahan sari bit 25 % sebesar 0,7875 % dan pada penambahan sari bit 50 % sebesar 0,8750 %. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi kenaikan kadar protein seiring dengan tingginya proporsi penambahan sari bit pada kerupuk.

(51)

menyebabkan terjadinya perubahan nilai gizi. Zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan akan rusak pada sebagian besar proses pengolahan, karena sensitif PH, oksigen, sinar, dan panas atau kombinasi diantaranya.

Akan tetapi, bila diperhatikan bahwa fungsi kerupuk hanya sebagai makanan tambahan lauk pauk atau sebagai makanan kecil, maka jumlah yang dikonsumsinya pun hanya sedikit saja. Sehingga dalam hal ini kerupuk tidak dapat dikategorikan sebagai sumber protein. Artinya walaupun ada, peranannya kecil sekali dalam mensuplai protein (Koswara, 2009).

5.6.5 Kadar Lemak

Lemak yang terdapat didalam makanan, berguna untuk meningkatkan jumlah energi, membantu penyerapan vitamin A, D, E dan K, serta menambah lezatnya hidangan. Konsumsi makanan yang mengandung lemak secara berlebihan dapat meningkatkan nilai persen lemak tubuh dan berakibat pada kegemukan (Winarti, 2010).

(52)

menyerap banyak minyak, berbeda jika kerupuk memiliki daya serap minyak yang kecil, hal ini akan menyebabkan kerupuk berada dalam kondisi yang kurang mengembang.

Besarnya kadar lemak pada kerupuk merah ini, karena dipengaruhi oleh proses penggorengan yang menggunakan minyak goreng. Menurut Ketaren (1986) pada saat penggorengan berlangsung sebagian minyak goreng yang digunakan akan masuk kedalam bagian kerak (permukaan luar) dan lapisan luar sehingga mengisi ruang kosong yang mulanya diisi oleh air. Menurut Koswara (2009) kerupuk yang telah digoreng ditinjau dari nilai gizinya hanya berupa penambahan sumber kalori yang berasal dari minyak yang terserap, sedangkan nilai gizi protein maupun zat pati kelihatannya tidak terlalu banyak berubah.

Anjuran konsumsi lemak dan minyak tidak boleh lebih dari 25 % dari kebutuhan energi sehari-hari (PUGS, 2014). Konsumsi tiap 100 gram kerupuk merah dengan penambahan sari bit 50 % dapat memberikan kontribusi lemak sebesar 54,1 gram. Karena sebagian besar lemak yang terdapat pada kerupuk merah ini berasal dari minyak goreng, sehingga konsumsinya juga tetap harus dibatasi.

5.6.6. Kadar Vitamin C

Vitamin C atau asam askorbat merupakan padatan bewarna putih yang dapat larut dalam air . Vitamin C ditemukan terutama pada makanan nabati

(53)

sari bit 25 % sebesar 1,49 % dan pada penambahan sari bit 50 % sebesar 3,3 %. Perbedaan kadar vitamin C pada tiap perlakuan kerupuk ini diakibatkan oleh konsentrasi sari bit yang berbeda antara kerupuk P1 dan kerupuk P2. Semakin

tinggi konsentrasi penambahan sari bit pada kerupuk, semakin tinggi pula kadar vitamin C yang terkandung pada kerupuk.

Penurunan kandungan vitamin C dikarenakan bit segar mengalami beberapa proses pengolahan seperti pemotongan, pengukusan dan penghancuran. Menurut Lean (2003) vitamin C merupakan vitamin yang paling tidak stabil, dan mudah mengalami kerusakan akibat oksidasi, panas dan alkali. Menurut Almatsier (2009) vitamin C dalam keadaan larut mudah rusak karena bersentuhan dengan udara, terutama apabila terkena panas.

Angka kecukupan vitamin C yang dianjurkan bagi anak-anak sebanyak 45 mg per hari, remaja laki-laki sebanyak 75 mg per hari dan 65 mg per hari untuk remaja perempuan, laki-laki dewasa sebanyak 90 mg per hari dan 75 mg per hari untuk wanita dewasa (PUGS, 2014). Sehingga dengan konsumsi tiap 100 gram kerupuk merah dengan penambahan sari bit 50 % memberikan kontribusi vitamin C sebesar 3,3 mg.

(54)

5.7. Analisa Nilai Ekonomis Kerupuk dengan Penambahan Sari Bit

Pada pembuatan kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % diperlukan 100 gr bit segar untuk dapat menghasilkan 100 cc sari bit. Kemudian dari 200 gr adonan kerupuk (tepung tapioka + sari bit + garam) dapat menghasilkan ± 100 gr kerupuk mentah yang telah kering. Perhitungan biaya kerupuk dengan penambahan sari bit dapat dilihat pada tabel 5.1.

Tabel 5.1. Perhitungan Biaya Kerupuk dengan Penambahan Sari Bit 50 % Dalam 200 gr Bahan.

Bahan-Bahan Jumlah Harga

Tepung tapioka 100 gr Rp. 800,-

Sari bit 100 cc Rp. 1500,-

Garam ½ sdt -

Total Rp. 2.300,-

(55)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Berdasarkan uji daya terima terhadap aroma, warna, rasa dan tekstur kerupuk yang disukai oleh panelis adalah kerupuk P2 yaitu kerupuk dengan

perbandingan 50 % sari bit dan 50 % tepung tapioka.

2. Kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % memiliki kadar serat, protein, dan vitamin C yang lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan sari bit 25 %.

3. Kerupuk dengan penambahan sari bit 25 % memiliki kadar lemak dan air yang lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan sari bit 50 %.

4. Kerupuk terbaik diperoleh dari kerupuk P2 yaitu kerupuk dengan

perbandingan 50 % sari bit dan 50 % tepung tapioka, menghasilkan kerupuk dengan warna merah, beraroma khas kerupuk, berasa gurih serta renyah.

6.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :

1. Agar masyarakat menjadikan kerupuk dengan penambahan sari bit sebagai alternatif variasi pangan ditingkat rumah tangga ataupun tingkat industri. 2. Perlu dilakukan upaya untuk lebih memperkenalkan kerupuk dengan

(56)

bekerjasama dengan produsen kerupuk merah untuk memproduksi kerupuk merah dengan menggunakan pewarna dari bit.

(57)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerupuk

Kerupuk adalah suatu jenis makanan kering yang terbuat dari bahan-bahan yang mengandung pati cukup tinggi. Pengertian lain menyebutkan bahwa kerupuk merupakan jenis makanan kecil yang mengalami pengembangan volume membentuk produk yang porus dan mempunyai densitas rendah selama proses penggorengan. Demikian juga produk ekstrusi akan mengalami pengembangan pada saat pengolahannya. Pengembangan kerupuk merupakan proses ekspansi tiba-tiba dari uap air dalam struktur adonan sehingga diperoleh produk yang volumenya mengembang dan porus. Pada dasarnya kerupuk mentah diproduksi dengan gelatinisasi pati adonan pada tahap pengukusan, selanjutnya adonan dicetak dan dikeringkan. Pada proses penggorengan akan terjadi penguapan air yang terikat dalam gel pati akibat peningkatan suhu dan dihasilkan tekanan uap yang mendesak gel pati sehingga terjadi pengembangan dan sekaligus terbentuk rongga-rongga udara pada kerupuk yang telah digoreng (Koswara, 2009).

(58)

Adapun syarat mutu kerupuk menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Syarat Mutu Kerupuk Menurut SNI Kriteria Uji Satuan Persyaratan Kerupuk

Non Protein

Dari segi gizi, apabila diamati komposisinya, kerupuk dapat merupakan sumber kalori yang berasal dari pati (dan lemak apabila telah digoreng), serta sumber protein (apabila ikan dan udang benar-benar ditambahkan). Dari hasil analisis di laboratorium ditemukan bahwa kadar protein kerupuk mentah bervariasi dari 0,97 % sampai 11,04 % berat basah (dengan kadar air yang bervariasi dari 9,91 % sampai 14 %). Sedangkan kadar patinya bervariasi dari 10,27 % sampai 26,37 % berat basah. Sesudah digoreng, komposisinya berubah karena hilangnya sebagian kadar airnya (karena menguap) dan masuknya minyak goreng ke dalam kerupuk. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa kadar air kerupuk yang telah digoreng berkurang menjadi sekitar 1,05 % sampai 5,48 %, sedangkan kadar lemak yang asalnya sekitar 1,40 % sampai 12,10 % menjadi sekitar 14,83% sampai 25,33 % berat basah (Koswara, 2009). 2.1.2. Jenis Kerupuk

(59)

disebut kerupuk ikan atau udang, kerupuk mie, kerupuk gendar (dibuat dari nasi), kerupuk kulit (dibuat dari kulit kerbau atau sapi), kerupuk sayuran dan sebagainya. Dilihat dari namanya saja jelas bahwa masing-masing mempunyai kekhususan. Berdasarkan bahan-bahan pemberi rasa yang digunakan dalam pengolahannya, dikenal kerupuk udang, kerupuk ikan, kerupuk terasi dan beberapa jenis lainnya. Berdasarkan cara pengolahan, rupa dan bentuk kerupuk dikenal beberapa kerupuk seperti kerupuk mie, kerupuk kemplang, kerupuk atom, kerupuk merah dan lain sebagainya (Koswara, 2009).

2.2. Kerupuk Merah

Kerupuk merah merupakan kerupuk khas dari padang, dan biasanya di gunakan sebagai makanan pelengkap pada nasi goreng, lontong, soto, gado-gado dan makanan lainnya. Kerupuk merah hanya dibuat dari adonan tepung tapioka, garam, pewarna makanan dan tidak diberi bumbu apa-apa (rasanya tawar), jadi tidak ada warung atau restoran menjual kerupuk merah yang sudah digoreng. Kerupuk merah yang ada di pasaran di jual dalam bentuk mentah, sehingga lebih tahan lama, namun kalau sudah digoreng kerupuk merah harus segera dikonsumsi atau dapat disimpan dalam toples atau wadah yang tertutup (Rohaendi, 2009).

2.2.1. Bahan-Bahan Pembuatan Kerupuk Merah

(60)

Bahan baku utama dalam pembuatan kerupuk merah adalah tepung tapioka yang berasal dari ketela pohon. Sedangkan sebagai bahan pelengkapnya adalah garam, dan zat warna.

1. Tepung Tapioka

Tepung tapioka banyak digunakan sebagai bahan baku dalam proses pembuatan kerupuk. Menurut Widowati (1987), tepung tapioka digunakan untuk membuat kerupuk dikarenakan harganya yang relatif murah, mempunyai daya ikat yang tinggi, serta membentuk tekstur yang kuat. Menurut Wiriano (1984), tepung tapioka adalah pati yang diperoleh dari ubi kayu atau singkong segar setelah melalui proses pemarutan, penyairan serta penyaringan, pengendapan pati dan kemudian pengeringan.

Tepung tapioka merupakan salah satu contoh bahan makanan yang banyak mengandung karbohidrat. Jenis karbohidrat yang terdapat dalam tepung tapioka adalah pati. Komposisi kimia tepung tapioka per 100 gram bahan dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Komposisi Zat Gizi Tepung Tapioka Per 100 gram Bahan

Komposisi Zat Gizi kadar

(61)

2. Bahan Tambahan

Bahan tambahan atau pembantu adalah bahan yang sengaja ditambahkan sewaktu pengolahan makanan untuk meningkatkan mutu termasuk di dalamnya penyedap rasa, pewarna, pengawet, pengental dan lain-lain (Winarno, 1992).

Bahan tambahan yang diperlukan dalam pembuatan kerupuk merah antara lain garam dan pewarna.

a. Garam

Istilah garam biasanya digunakan untuk garam dapur dengan nama kimia natrium chlorida (NaCl). Pemakaiannya dipilih yang mempunyai mutu yang baik, warna putih mengkilat, kotorannya sedikit dan sesuai dengan syarat mutu garam yang telah ditentukan (Wiriano, 1984).

Garam mungkin terdapat secara alamiah dalam makanan atau ditambahkan pada waktu pengolahan dan penyajian makanan. Makanan yang mengandung kurang dari 0,3% garam akan terasa hambar dan tidak disukai (Winarno dkk, 1980).

(62)

b. Pewarna

Menurut Suprapti (2005) dalam pembuatan kerupuk juga dapat ditambahkan pewarna. Bahan pewarna yang digunakan adalah bahan pewarna yang diizinkan untuk makanan. Penambahan sari bit dalam adonan kerupuk merah berperan sebagai bahan pewarna alami sehingga dapat menghasilkan kerupuk dengan warna yang menarik.

2.2.2. Proses Pembuatan Kerupuk Merah

Komposisi bahan yang diperlukan dalam proses pembuatan kerupuk merah menurut Suprapti (2005) adalah sebagai berikut :

1. Tepung tapioka 1 kg

2. Garam 30 gr

3. Air bersih 650 ml

4. Pewarna merah (Secukupnya)

Menurut Suprapti (2005) dalam pembuatan kerupuk merah terdapat beberapa langkah yaitu pembuatan adonan, pencetakan adonan dan pengukusan, pendinginan dan pengerasan, pengirisan, pengeringanan dan pengemasan. 1. Pembuatan adonan kerupuk

(63)

2. Pencetakan adonan kerupuk dan pengukusan

Pencetakan adonan kerupuk dimaksudkan untuk memperoleh bentuk dan ukuran yang seragam. Keseragaman ukuran penting untuk memperoleh penampakan dan penetrasi panas yang merata sehingga memudahkan proses penggorengan dan menghasilkan kerupuk dengan warna yang seragam. Pencetakan adonan kerupuk dapat dibuat menjadi bentuk silinder, lembaran dan melingkar. Adonan kerupuk merah yang sudah jadi dibentuk silinder diameter 1,5-3 cm kemudian dimasukkan kedalam kantung plastik atau dibungkus daun pisang. Kemudian dikukus hingga matang selama 2 jam.

3. Pendinginan dan Pengerasan

Adonan yang telah matang diangkat didinginkan dan dibiarkan selama satu hari di suhu ruang atau di dalam lemari pendingin sehingga mengeras, dengan demikian mudah saat akan dipotong.

4. Pengirisan

Setelah cukup keras, adonan diiris dengan ketebalan 1-2 mm. Pisau yang digunakan untuk memotong sesekali diolesi minyak goreng agar adonan tidak lengket. Minyak yang dioleskan pada pisau adalah minyak goreng buatan pabrik, bukan minyak tradisional karena mudah tengik dan menyebabkan kualitas kerupuk rendah.

5. Pengeringan dan Pengemasan

(64)

6. Penggorengan

Penggorengan kerupuk bertujuan untuk menghasilkan kerupuk goreng yang mengembang dan renyah. Pada proses penggorengan, kerupuk mentah mengalami pemanasan sehingga air yang terikat pada jaringan dapat menguap dan menghasilkan tekanan uap untuk mengembangkan struktur elastis jaringan kerupuk tersebut. Secara umum cara penggorengan kerupuk ada dua macam, yaitu penggorengan langsung dalam minyak yang telah dipanaskan dan penggorengan dengan mencelupkan terlebih dahulu kerupuk mentah yang akan digoreng dalam minyak dingin atau hangat, baru kemudian digoreng dalam minyak yang telah dipanaskan untuk mendapatkan pengembangan kerupuk (Koswara, 2009).

2.3. Pewarna Alami

(65)

Sejak dulu zat pewarna alami (pigmen) telah banyak digunakan sebagai bahan pewarna bahan makanan. Daun suji telah lama digunakan untuk mewarnai kue pisang, serabi, bikang, dan dadar gulung. Kunyit untuk mewarnai nasi kuning, tahu serta hidangan dan masakan lain. Kecenderungan penggunaan bahan pewarna alami dalam produk makanan terus berkembang. Hal ini dapat dilihat dengan permintaan akan makanan berbahan pewarna alami dan berbagai peraturan nasional yang secara menyeluruh ataupun selektif dalam membatasi pewarna sintetik pada makanan (Koswara, 2009).

Pembuatan bahan pewarna alami sebenarnya sangatlah mudah. Bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai pewarna alami ditumbuk, dapat pula menggunakan blender atau penumbuk biasa dengan sedikit ditambah air, lalu diperas dan disaring dengan alat penyaring. Agar warnanya cerah dapat ditambah sedikit air kapur atau air jeruk nipis. Setelah diperoleh air perasan pewarna, lalu disimpan di dalam lemari es atau freezer jika menginginkan disimpan lebih lama (Hidayat 2007).

Bit merupakan pewarna alami makanan yang bewarna merah. Pewarna ini memiliki rasa sedikit manis dan merupakan alternatif pengganti pewarna merah sintetik yang dapat menyebabkan alergi pada beberapa orang.

2.4. Bit (Beta Vulgaris L.)

Bit adalah umbi dari tanaman Beta Vulgaris L. Tanaman dari keluarga Chenopodiaceae ini merupakan jenis sayuran subtropis yang sangat terkenal.

(66)

Bit merupakan tanaman semusim yang berbentuk rumput. Batang bit sangat pendek, hampir tidak terlihat. Akar tunggangnya tumbuh menjadi umbi. Daunnya tumbuh terkumpul pada leher akar tunggang (pangkal umbi) dan bewarna kemerahan. Tanaman bit dapat dipanen hasilnya setelah berumur 2,5-3 bulan dari waktu tanam. Tanaman bit yang terawat baik dapat menghasilkan lebih dari 30 ton umbi per hektar. Semakin tua tanaman bit, semakin manis rasanya dan kadar vitamin C juga semakin tinggi (Sunarjono, 2013).

2.4.1. Jenis Bit

Menurut Sunarjono (2013) Ada beberapa varietas bit (Beta vulgaris L.) yang dikenal. Jenis itu dikelompokkan menjadi dua yaitu :

1. Bit merah (Beta vulgaris L. Var. Rubra L.)

Bit merah umbinya bewarna merah tua. Bit merah banyak ditanam di daerah dataran tinggi dengan ketinggian lebih dari 1.000 m dpl.

2. Bit putih (B. vulgaris L. var. cicla L)

(67)

2.4.2. Kandungan Gizi Bit

Bit mempunyai kandungan gizi yang baik, berikut adalah kandungan gizi bit dalam 100 gram bdd (bagian yang dapat dimakan) :

Tabel 2.3. Kandungan Gizi Bit Dalam 100 gram BDD

Komponen Gizi Kadar

Sumber : Tabel Komposisi Pangan Indonesia (2009) 2.4.3. Manfaat Bit

Tanaman dengan nama latin Beta Vulgaris ini masih merupakan tanaman baru di Indonesia yang belum banyak dimanfaatkan. Padahal di balik warna merah tuanya, bit menyimpan banyak kandungan gizi yang bermanfaat. Adapun beberapa manfaat dari bit adalah sebagai berikut (Lingga, 2010) : a. Memperkuat Susunan Tulang

Bit mengandung banyak kalium (Potassium). Kadarnya sebesar 518,6 mg/cup dan masuk dalam kategori unggul. Keberadaan kalium dalam bit dapat memperkokoh matrik tulang. Tanpa kalium yang cukup, tulang yang terbentuk tidak dapat tumbuh sempurna karena ikatan antarselnya longgar.

b. Pembersih Darah yang Ampuh

(68)

yang tidak diresepkan oleh dokter, alkohol dan zat adiktif makanan yang berbahaya.

c. Memaksimalkan Perkembangan Otak Bayi

Bit mengandung folat dalam jumlah cukup banyak sehingga berguna bagi perkembangan janin. Folat diperlukan pada minggu-minggu awal kehamilan dalam jumlah memadai agar perkembangan otak bayi normal.

d. Mengatasi Anemia

Folat yang terkandung dalam bit juga bermanfaat untuk pembentukan darah merah. Bit merupakan obat alami yang ampuh untuk anemia dan memperkuat daya tahan tubuh.

e. Antikanker

(69)

f. Menu Rendah kalori

Umbi bit sering direkomendasikan ahli nutrisi dalam daftar menu diet bagi pengidap hiperkolesterol (kelebihan kolesterol dalam darah) dan hiperlipemia (akibat kelainan metabolisme lemak darah). Rujukan ini diberikan karena bit merupakan menu rendah kalori. Energi yang diberikan per satuan beratnya rendah, tetapi tetap mengenyangkan karena mengandung cukup banyak serat. g. Menurunkan Kadar Lemak dan Kolesterol

Bit juga mampu menurunkan kadar lemak dan kolesterol dalam tubuh. Uji laboratorium pada binatang menunjukkan bahwa mengonsumsi bit secara teratur dapat menurunkan kadar kolesterol total sebesar 30%. Penurunan kolesterol total diikuti dengan peningkatan jumlah kolesterol baik (HDL). Penelitian lain membuktikan bahwa dengan mengonsumsi bit secara rutin, kadar trigliserida dalam darah akan mengalami penurunan secara nyata.

h. Melancarkan BAB

Umbi bit mengandung selulosa yang dapat dimanfaatkan sebagai obat wasir. Selulosa adalah serat makanan larut dalam air yang berfungsi meningkatkan peristaltik usus besar sehingga BAB menjadi lancar.

2.4.4. Pigmen Warna Bit

(70)

sebuah jenis pigmen dan merupakan induk dari kelompok betasianin yang bewarna merah violet dan betaxantin yang bewarna kuning. Dalam banyak kasus, tidak mungkin membedakan betalain dan antosianin pada tumbuhan hanya secara visual. Dibutuhkan serangkaian tes untuk membedakan kedua jenis pigmen ini. Namun demikian, keberadaan pigmen betalain disuatu tanaman tidak mungkin bersamaan dengan adanya antosianin. Saat ini diketahui bahwa perbedaan paling mencolok antara betalain dan antosianin adalah distribusinya di tanaman. Antosianin atau flavonoid tersebar luas dalam dunia tumbuhan, sedangkan betalain secara eksklusif hanya terdapat pada kelompok Angiospermae, khususnya Caryophyllales (termasuk didalamnya tumbuhan bit).

Kelompok betalain terdiri dari sekitar 50 pigmen merah betasianin dan 20 pigmen kuning betaxantin (Andarwulan, 2012).

(71)

saring untuk mendapatkan air yang bewarna merah baru kemudian diaplikasikan ke bahan makanan (Andarwulan, 2012).

2.5. Daya Terima

Daya terima atau preferensi makanan dapat didefinisikan sebagai tingkat kesukaan atau ketidaksukaan individu terhadap suatu jenis makanan. Diduga tingkat kesukaan ini sangat beragam pada setiap individu, sehingga akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan (Suhardjo, 1989).

Menurut Wirakusumah (1990) yang dikutip oleh Mulyaningrum (2007) kesukaan terhadap makanan didasari oleh sensorik, social, psikologi, agama, emosi, budaya, kesehatan, ekonomi, cara persiapan dan pemasakan makanan, serta faktor-faktor terkait lainnya. Penilaian seseorang terhadap kualitas makanan berbeda-beda tergantung selera dan kesenangannya. Perbedaan suku pengalaman, umur dan tingkat ekonomi seseorang mempunyai penilaian tertentu terhadap jenis makanan, sehingga standar kualitas makanan sulit untuk ditetapkan. Walaupun demikian ada beberapa aspek yang dapat dinilai yaitu persepsi terhadap 2 cita rasa makanan, nilai gizi dan hygiene atau kebersihan makanan tersebut.

1. Penampilan dan cita rasa makanan

(72)

2. Konsistensi atau tekstur makanan

Konsistensi atau tekstur makanan juga merupakan komponen yang turut menentukan cita rasa makanan karena sensitifitas indera cita rasa dipengaruhi oleh konsistensi makanan. Makanan yang berkonsistensi padat atau kental akan memberikan rangsangan lebih lambat terhadap indera kita.

3. Rasa Makanan

Rasa makanan merupakan faktor kedua yang menentukan cita rasa makanan setelah penampilan makanan itu sendiri. Apabila penampilan makanan yang disajikan merangsang saraf melalui indera penglihatan sehingga mampu membangkitkan selera untuk mencicipi makanan itu, maka pada tahap selanjutnya rasa makanan itu akan ditentukan oleh rangsangan terhadap indera penciuman dan indera perasa.

4. Aroma makanan

Aroma yang disebarkan oleh makanan merupakan daya tarik yang sangat kuat dan mampu merangsang indera penciuman sehingga membangkitkan selera. Timbulnya aroma makanan disebabkan oleh terbentuknya senyawa yang mudah menguap, dapat sebagai akibat atau reaksi karena pekerjaan enzim atau dapat juga terbentuk tanpa bantuan reaksi enzim.

(73)

indera bahkan memiliki ketelitian yang lebih baik dibandingkan dengan alat ukur yang paling sensitif. Penerapan penilaian organoleptik pada prakteknya disebut uji organoleptik yang dilakukan dengan prosedur tertentu. Uji ini akan menghasilkan data yang penganalisisan selanjutnya menggunakan metode statistika (Soekarto, 2000).

Pada prinsipnya terdapat 3 jenis uji organoleptik, yaitu uji pembedaan, uji deskripsi dan uji afektif. Uji pembedaan digunakan untuk memeriksa apakah ada perbedaan diantara contoh-contoh yang disajikan. Uji deskripsi digunakan untuk menentukan sifat dan intensitas perbedaan tersebut. Kedua kelompok uji di atas membutuhkan panelis yang terlatih atau berpengalaman. Sedangkan uji afektif didasarkan pada pengukuran kesukaan (atau penerimaan). Pengujian ini membutuhkan jumlah panelis yang tidak dilatih. Uji afektif terdiri atas Uji Perbandingan Pasangan, Uji Hedonik dan Uji Ranking. Uji hedonik merupakan pengujian yang paling banyak digunakan untuk mengukur tingkat kesukaan terhadap produk. Tingkat kesukaan ini disebut skala hedonik, misalnya sangat suka, suka, agak suka, agak tidak suka, tidak suka, sangat tidak suka dan lain-lain. Skala hedonik dapat direntangkan atau diciutkan menurut rentangan skala yang dikehendaki. Dalam analisis datanya, skala hedonik ditransformasikan ke dalam skala angka dengan angka menaik menurut tingkat kesukaan (dapat 5, 7 atau 9 tingkat kesukaan). Dengan data ini dapat dilakukan analisa statistik (Agusman, 2013).

(74)

bertindak sebagai instrumen atau alat. Panel ini terdiri dari orang atau kelompok yang bertugas menilai sifat atau mutu komoditi berdasarkan kesan subjektif. Orang yang menjadi anggota panel disebut panelis (Agusman, 2013).

2.6. Panelis

Panelis merupakan anggota panel atau orang yang terlibat dalam penilaian organoleptik dari berbagai kesan subjektif produk yang disajikan. Panelis merupakan instrument atau alat untuk menilai mutu dan analisa sifat-sifat sensorik suatu produk. Dalam pengujian organoleptik dikenal beberapa macam panel. Penggunaan panel-panel ini berbeda tergantung dari tujuan pengujian tersebut (Ayustaningwarno, 2014).

Dalam penilaian organoleptik dikenal tujuh macam panel, yaitu panel perseorangan, panel terbatas, panel terlatih, panel agak terlatih, panel tidak terlatih, panel konsumen dan panel anak-anak. Perbedaan ketujuh panel tersebut didasarkan pada keahlian dalam melakukan penilaian organoleptik (Agusman, 2013).

1. Panel Perseorangan

(75)

2. Panel Terbatas

Panel terbatas terdiri dari 3-5 orang yang mempunyai kepekaan tinggi sehingga bias lebih di hindari. Panelis ini mengenal dengan baik faktor-faktor dalam penilaian organoleptik dan mengetahui cara pengolahan dan pengaruh bahan baku terhadap hasil akhir. Keputusan diambil berdiskusi diantara anggota-anggotanya.

3. Panel Terlatih

Panel terlatih terdiri dari 15-25 orang yang mempunyai kepekaan cukup baik. Untuk menjadi terlatih perlu didahului dengan seleksi dan latihan-latihan. Panelis ini dapat menilai beberapa rangsangan sehingga tidak terlampau spesifik. Keputusan diambil setelah data dianalisis secara bersama.

4. Panel Agak Terlatih

Panel agak terlatih terdiri dari 15-25 orang yang sebelumya dilatih untuk mengetahui sifat-sifat tertentu.. panel agak terlatih dapat dipilih dari kalangan terbatas dengan menguji datanya terlebih dahulu. Sedangkan data yang sangat menyimpang boleh tidak digunakan dalam keputusannya. 5. Panel Tidak terlatih

(76)

untuk itu panel tidak terlatih biasanya dari orang dewasa dengan komposisi panelis pria sama dengan panelis wanita.

6. Panel Konsumen

Panel konsumen terdiri dari 30 hingga 100 orang yang tergantung pada target pemasaran komoditi. Panel ini mempunyai sifat yang sangat umum dan dapat ditentukan berdasarkan perorangan atau kelompok tertentu.

7. Panel Anak-anak

Panel yang khas adalah panel yang menggunakan anak-anak berusia 3-10 tahun. Biasanya anak-anak digunakan sebagai panelis dalam penilaian produk-produk pangan yang disukai anak-anak seperti permen, es krim dan sebagainya.

2.7. Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Gambar

Gambar 4. Proses penghalusan bit
Gambar 10.
Gambar 13. Uji daya terima pada
Tabel 3.2. Jumlah Pemakaian Bahan yang Digunakan dalam Pembuatan Kerupuk Hasil Modifikasi Resep
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen, menggunakan rancangan penelitian acak lengkap yang terdiri dari tepung umbi bit dengan 2

Pengeringan dengan metode oven drying dengan perlakuan pendahuluan perendaman dalam asam sitrat dan larutan maltodekstrin berpotensi untuk mendapatkan pewarna bit merah

Berdasarkan analisis menggunakan Uji Friedman dengan tingkat kepercayaan 95% diperoleh adanya perbedaan kualitas dari kedua bubur bayi instan ditinjau dari

Bubur instan merupakan bahan makanan yang mengalami proses pengeringan air sehingga mudah larut dan mudah disajikan hanya dengan menambahkan air panas.Beberapa kriteria

Formulasi Bubur Bayi Instan Dengan Substitusi Tepung Tempe dan Tepung Labu Kuning Sebagai Alternatif Makanan Pendamping ASI. Faktor-faktor yang Menyebabkan Pemberian

Pada kolom kode sampel berikanlah penilaian anda dengan cara memberikan nilai sesuai skala hedonik (pada keterangan) berdasarkan tingkat kesukaan anda.. Netralkan

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ DAYA TERIMA BUBUR BAYI INSTAN DENGAN PENAMBAHAN UMBI BIT( Beta vulgaris L ) SERTA KANDUNGAN ZAT GIZI”

Pengeringan dengan metode oven drying dengan perlakuan pendahuluan perendaman dalam asam sitrat dan larutan maltodekstrin berpotensi untuk mendapatkan pewarna bit merah