• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee (Terwaralaba) Dalam Pengaturan Franchise (Waralaba) Di Indonesia"

Copied!
192
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN HUKUM UKM SELAKU FRANCHISEE

(TERWARALABA) DALAM PENGATURAN FRANCHISE

(WARALABA) DI INDONESIA

TESIS

Oleh

DUPA ANDHYKA S. KEMBAREN 077005116/HK

S

E K O L A H

P A

S C

A S A R JA NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KEDUDUKAN HUKUM UKM SELAKU FRANCHISEE

(TERWARALABA) DALAM PENGATURAN FRANCHISE

(WARALABA) DI INDONESIA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

DUPA ANDHYKA S. KEMBAREN 077005116/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : KEDUDUKAN HUKUM UKM SELAKU

FRANCHISEE (TERWARALABA) DALAM

PENGATURAN FRANCHISE (WARALABA) DI

INDONESIA

Nama Mahasiswa : Dupa Andhyka S. Kembaren Nomor Pokok : 077005116

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum) Ketua

(Dr.T.Keizerina Devi A.,SH,CN,M.Hum)(Dr. Mahmul Siregar,SH,M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof.Dr.Ir. T.Chairun Nisa B., MSc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 03 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum

2. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

(5)

ABSTRAK

Pertumbuhan dunia bisnis dewasa ini begitu pesat berkembang, didukung pula usaha memperluas bisnis kian bervariatif. Salah satu bentuk pengembangan atau upaya memperluas bisnis yaitu dengan menggunakan sistem waralaba (franchising). Pendekatan bisnis melalui sistem waralaba (franchising) merupakan salah satu strategi alternatif bagi pemberdayaan UKM untuk mengembangkan ekonomi dan usaha UKM di masa mendatang. Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas, selanjutnya dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut: bagaimana pengaturan bisnis waralaba (franchise) dalam aspek kontraktual dan teknis prosedural, bagaimana kedudukan franchisee (UKM) dalam kontrak-kontrak standar/baku franchise (waralaba), bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh UKM sebagai franchisee dalam menyelesaikan sengketa yang lahir dari pelaksanaan kontrak franchise (waralaba).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

(6)

apabila proses ini tidak berhasiil, maka dapat diupayakan upaya hukum lewat jalur pengadilan. Adapun proses penyelesaian sengketa yang terjadi di luar Indonesia dilakukan dengan arbitrase.

(7)

ABSTRACT

Nowadays, business, supported by various attempts to expand it, quickly develops. One of the attempts to expand the business is the system of

franchising. Approaching business through. franchising system is one of the

alternative strategies to empower and economically develop UKM (Small and Medium Scale Business) in the future. Based on the background above, the purpose of this doctrinal study with normative juridical method is to find out how the franchise is regulated in the contractual and procedural aspects, to find out the position of franchisee (UKM) in the franchise standard contract, and to find out the attempt which can be taken by the UKM in its capacity as

the franchisee in solving the, dispute resulted from the implementation of

franchise contract.

The data for this study were base on the secondary data focused on the speculative-theoretical steps such as the law as written in the book and the law as what decided by the judge through judicial process which were then normatively and qualitatively analyzed.

In connection with the protection for the UKM businessmen through the Law on Small Scale Business, it is stated that the government intends to empower small scale businesses in order to be able to compete in facing the era of free trade. This UKM empowerment is implemented through the program of partnership whose regulation will be further regulated in the Government Regulation. In fact, the Government Regulation on UKM pays less attention to the development of and the protection for UKM. It is seen in its regulation that requires UKM to run several shops or business stands. If the available standard franchise contracts are analyzed, many imbalances will be exposed such as the position of franchisor is more dominant than that of franchisee especially UKM that it is felt unfair. Even though Article 1338 and Article 1320 of the Indonesian Civil Code state that the making of contract or agreement is based on the agreement made by the parties involved, but, in practice, the regulation of agreement is more dominated by the franchisor while the interest of franchise is ignored. In the contract or agreement, it is stated that the process of solving the dispute occured is conducted based on deliberations or negotiation, if failes, the dispute will be brought to trial. The solution process of the dispute occured outside of Indonesia is done through arbitratio.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,Tuhan Yesus Kristus yang telah memberi kekuatan jasmani dan rohani dan atas rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Pembuatan tesis ini adalah sebagai suatu persyaratan untuk kelak memperoleh gelar Magister Humaniora untuk jurusan Hukum Bisnis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

Adapun judul yang penulis angkat adalah: "KEDUDUKAN HUKUM UKM SELAKU FRANCHISEE (TERWARALABA) DALAM

PENGATURAN FRANCHISE (WARALABA) DI INDONESIA".

Di sini penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa dalam penulisan tesis ini masih banyak dijumpai berbagai kekurangan. Kiranya terhadap hal ini penulis mohon dengan segala kerendahan hati,untuk dimaklumi dan apabila ada kritik dan saran yang membangun berkenaan dengan penulisan tesis ini penulis ucapkan banyak terima kasih.

Selanjutnya dalam rangka penyelesaian tesis ini penulis menyampaikan hormat dan terimakasih kepada:

(9)

2. Ibu Prof. Dr. 1r. T. Chairun Nisa B.,M.Sc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, atas kesediaannya menerima penulis sebagai mahasiswa di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, M.H., selaku Dosen dan Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, atas bimbingan dan ilmu yang diberikannya selama perkuliahan dan atas pimpinannya yang baik,teratur dan berdedikasi sehingga proses belajar di Sekolah Pascasarjana Hukum ini dapat berlangsung tertib, tenang, teratur dan penuh dengan rasa kekeluargaan

4. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku Dosen dan Sekretaris Sekolah Pascasarjana Hukum Universitas Sumatera Utara ini, atas ilmu yang diajarkan dan ketulusannya yang membantu penulis dalam konsultasi dan konselling tentang berbagai hal tentang pelajarannya,beliau bagaikan ibu yang mengayomi kami selama perkuliahan;

(10)

bisa berdoa dan memohon kepada Tuhan kiranya para pembimbingku selalu diberkati dan disertai dengan hikmat dan marifat sehingga dapat dengan tulus, ikhlas menurunkan ilmunya untuk cikal bakal mahasiswa-mahasiswa lainnya pada massa mendatang.

6. Para Bapak dan Ibu Dosen serta Staff yang ada di Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, penulis ucapkan banyak terima kasih.

7. Teman-Temanku baik di program S-1I dahulu ataupun yang sekarang di Pascasarjana i n i y a n g s a n g a t b a n y a k y a n g t i d a k d a p a t k u s e b u t k a n s a t u p e r s a t u namanya, terimakasih atas dukungan dan semangat yang kalian berikan padaku.

8. Keluargaku Tercinta, baik Munthe maupun Kembaren, penulis ucapkan banyak terima kasih, terutama Opungku tercinta Gustina Purba yang benar-benar mendukungku, aku berterima kasih atas dukungannya dalam penulisan tesis ini, Tuhan memberkati opungku yang tercinta ini dengan berkat kesehatan dan hikmat marifat.

(11)

memberikan ilmu pengetahuan yang mantap dibarengi dengan nilai estetika yang memberi kedamaian jiwa....Dengan musik menjadikan seorang yang berilmu semakin rendah hati dan sadar diri serta mengingat penciptanya ... terimakasih miss atas nasehatnya;

10. Bapak Pdt. Daniel Tanzil, S.Th, M.Th dan Ibu Pdt. Rulhann Tanzil, sebagai pribadi yang selalu mendoakan penulis dalam hal kerohanian, terima kasih, penulis rasakan lewat firman dan ajaran yang didengar, penulis lebih lagi beriman dan bertakwa serta rendah hati di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa.

11. Untuk adik-adikku tercinta: Sara Sulaimi Gabriella Eufratnia

(12)

les yang kau tekuni. Pelajaran sekolah dibarengi dengan vocal, piano, dan berbagai kemampuan lain yang kau peroleh adalah bekal yang baik untuk massa depanmu. Terutama bakatmu di bidang vocal dan piano, peliharalah itu.. sebab Tuhan telah memberi talenta itu kepadamu. Terima kasih adik-adikku, aku sayang kalian, doakan abangmu ini bisa berhasil dan menjadi berkat bagi banyak orang terutama di tengah keluarga kita. Camkanlah adinda berdua bahwa Tuhan dapat membuat hal yang mustahil menjadi nyata. Walau kita belum melihat rencana Tuhan itu, tapi kita tahu semua indah pada waktunya, Tuhan memberkati adinda berdua.

(13)

tetapi kau sudah senang di pangkuan Tuhan yang Maha Kuasa dan selalu mendoakan kami di sini. Aku teringat pada awal tahun 2006, aku katakan bahwa aku akan menyelesaikan S-1 ku dengan nilai memuaskan dan tepat waktu, dan aku ingin pagi mami mendampingiku wisuda, tetapi kau hanya berkata: "Biar mami saja yang dampingi". Kemudian enam bulan sebelum hari wisudaku....entah sudah pertanda atau Secara kebetulan saja ... kata-katamu terbukti, pada bulan Juli tahun 2006, papi pergi meninggalkanku untuk pergi ke rumah Bapa di Sorga selamanya.

(14)
(15)

Akhimya penulis mengharapkan agar tesis ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak,khusunya pars pihak yang hendak menambah bahan-bahan masukan yang berkaitan dengan Bisnis franchise dan berbagai pengaturannya di Indonesia. Dan penulis berdoa agar kiranya ilmu yang penulis peroleh dalam pendidikannya selama mengikuti perkuliahan di tingkat sarjana dan tingkat magister ini dapat dipergunakan untuk kepentingan bangsa,negara,agama dan doakanlah penulis dapat dipakai sebagai alai perpanjangan kasih Tuhan untuk sesama.

Medan, Juli 2009

Hormat Penulis,

(16)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Dupa Andhyka S. Kembaren

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 05 April 1986 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Jalan Tomat No.5/18 Medan

Pendidikan : SD St Anthonius 1 Medan Tamat Tahun 1991-1997

SLTP Putri Cahaya Medan Tamat Tahun 1997-2000

SMU Methodist 1 Medan Tamat Tahun 2000-2003

Strata Satu (S1) Universitas Sumatera Utara Fakultas Hukum Tamat Tahun 2003-2007

(17)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

RIWAYAT HIDUP ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Keaslian Penulisan ... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 15

G. Metode Penelitian ... 22

BAB II PENGATURAN BISNIS FRANCHISE (WARALABA) DALAM ASPEK KONTRAKTUAL DAN TEKNIS PROSEDURAL ..……… 29

A. Asas-Asas Franchise ... 29

B. Pengaturan Franchise (waralaba) di Eropa ………. 35

(18)

D. Pengaturan Hukum Mengenai Franchise Di

Indonesia ... 42

E. Perlindungan Hukum Bagi Pengusaha Kecil dan Menengah Berdasarkan UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil ……… 51

BAB III KEDUDUKAN FRANCHISEE (TERWARALABA) UKM DALAM KONTRAK-KONTRAK STANDAR/ BAKU FRANCHISE (WARALABA) ……….. 59

A. Perjanjian Franchise ... ... 59

B. Analisis Mengenai Perjanjian Franchise ... 78

C. Kedudukan UKM selaku franchisee berdasarkan Analisis Perjanjian franchise ……… 90

BAB IV UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH UKM SEBAGAI FRANCHISEE DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA YANG LAHIR DARI PELAKSANAAN KONTRAK FRANCHISE (WARALABA) ……… 108

A. Penyelesaian Sengketa ... 108

B. Proses Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Kontrak …. 121 C. Perlunya Perlindungan Hukum Terhadap Franchisee Dalam Perjanjian Franchise ……….. 123

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……… 137

A. Kesimpulan ... 137

B. Saran ... 138

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman 1. Perjanjian Kemitraan Nomor : 032/ MOU/ 6/2009 ... 148

(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Istilah waralaba berakar dari sejarah masa silam praktek bisnis di Eropa. Pada masa lalu, bangsawan diberikan wewenang oleh raja untuk menjadi tuan tanah pada daerah-daerah tertentu. Pada daerah tersebut, dapat memanfaatkan tanah yang dikuasainya dengan imbalan pajak/ upeti yang dikembalikan kepada kerajaan. Sistem tersebut menyerupai royalti, seperti layaknya bentuk waralaba saat ini.1

Sistem waralaba berkembang pesat dan menarik perhatian media, baik secara positif maupun negatif.2 Waralaba (franchise) adalah istilah yang menunjuk hubungan antara dua pihak atau lebih dalam pendistribusian barang atau jasa. Ada tiga jenis waralaba di Amerika, yaitu waralaba produk atau merek dagang, waralaba format bisnis, dan waralaba konversi.3

Waralaba produk atau merek dagang adalah waralaba yang sangat terbatas. Alasannya, pabrik memberikan lisensi ke pihak lain untuk menjual produknya. Misalnya, penjualan mobil melalui dealer. Jenis waralaba format bisnis, yang selanjutnya akan disebut dengan waralaba saja. Dalam waralaba format bisnis ini, manajer atau pemilik bisnis (franchisor) memberi ijin kepada seseorang untuk

1

Rizal Calvary Marimbo, Rasakan Dahsyatnya Usaha Franchise !, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2007), hal. 1.

2

Joseph Mancuso & Donald Boroian, Peluang Sukses Bisnis Waralaba, Bagaimana Membeli dan Mengelola Bisnis Waralaba, (Jakarta: Dolphin Books, 2006), hal. 13.

3

(21)

memasarkan produk atau jasa menggunakan nama, merek dagang, dan format bisnis franchisor. Seringkali produk yang dijual tidak disediakan franchisor. Sedangkan jenis ketiga adalah waralaba konversi, yaitu waralaba format bisnis yang diadaptasi untuk mengangkat nama pendiri bisnis dalam iklan. Misalnya century 21, afiliasi agen restoran yang sukses dalam waralaba.4

Ciri-ciri franshising antara lain: pertama, pewaralaba memiliki trade name (nama perniagaan), trade atau service mark (merek atau jasa dagang), patent, trade secret (rahasia dagang), dan know-how (pengetahuan); Kedua, terwaralaba

diijinkan untuk menggunakan hak-hak yang disebutkan poin pertama, biasanya dalam daerah tertentu, dan selama periode waktu tertentu; Ketiga, operasi usaha waralaba di bawah pengarahan pewaralaba melalui beberapa klausul tertentu dan kontrak waralaba; Keempat, terwaralaba akan membayar royalti, dan sering disebut pula initial fee, untuk hak melakukan usaha di bawah nama dan sistem pewaralaba.5

Berdasarkan data Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI), di Indonesia, pada tahun 2006, kurang lebih terdapat 70 jaringan waralaba lokal dan 237 waralaba asing. Pertumbuhan rata-rata waralaba lokal sekitar 7% per tahun, sedangkan waralaba asing mencapai 15%. Penjualan waralaba ini diperkirakan mampu menampung 4 juta tenaga kerja. Namun perlu dicatat bahwa tingkat keberhasilan gerai baru waralaba di tanah air terhitung sangat rendah,

4

Ibid., hal. 15. 5

(22)

yaitu hanya 48%. Artinya setengah lebih gerai baru berakhir dengan gulung tikar. Sementara itu, tingkat keberhasilan di luar negeri telah mencapai 92%. Kegagalan waralaba lokal di Indonesia, karena pewaralaba kurang bonafide, sekitar 60% pewaralaba lokal tidak memiliki model bisnis yang mantap dan teruji (proven).6

Dalam jangka panjang, harus diakui bahwa peran usaha kecil dan menengah (UKM) yang jumlahnya sangat dominan dalam struktur perekonomian Indonesia sangat strategis dan seharusnya dijadikan landasan pembangunan ekonomi nasional. Namun fakta menunjukan perekonomian nasional lebih dikuasai oleh segelintir penguasa besar yang ternyata sangat labil terhadap goncangan ekonomi global.

Masalahnya adalah, bagaimana memperluas dan memberdayakan UKM yang cenderung masih menerapkan manajemen tradisional, lemah terhadap akses permodalan, teknologi cenderung konvensional, miskin inovasi dan jaringan, sehingga mampu bersama-sama tumbuh dengan perusahaan besar terutama yang berkelas dunia serta bervisi global.7

Dalam konteks demikian, pendekatan bisnis melalui sistem waralaba (franchising) merupakan salah satu strategi alternatif bagi pemberdayaan UKM untuk mengembangkan ekonomi dan usaha UKM di masa mendatang. UKM harus mampu membesarkan dirinya secara bersinergi dengan pengusaha besar yang

6

Hadi Setia Tunggal (II), Frequently Ask Questions (FAQs) Franchising, (Jakarta: Harvarindo, 2006), hal. iv-v.

7

(23)

lebih kuat dalam hal manajemen, teknologi produk, akses permodalan. Pemasaran dan lain-lain, sekurang-kurangnya pada tahap awal perkembangannya. Melalui proses kemitraan waralaba yang saling menguntungkan antara UKM (selaku penerima waralaba/ franchisee) dengan pemberi waralaba (franchisor) yang umumnya adalah pengusaha besar, diharapkan dapat membuat UKM selaku franchisee menjadi lebih kuat dan mandiri.

Waralaba menjadi alternatif pilihan, karena melalui bisnis waralaba UKM franchisee akan mendapatkan: 1) transfer manajemen; 2) kepastian pasar; 3)

promosi; 4) pasokan bahan baku; 5) pengawasan mutu; 6) pengenalan dan pengetahuan tentang lokasi bisnis; 7) pengembangan kemampuan sumber daya manusia, dan yang paling terpenting adalah resiko dalam bisnis waralaba sangat kecil.8

Di Indonesia usaha waralaba ini sudah mulai berkembang sejak tahun 1985 pada berbagai skala usaha terutama bisnis makanan seperti: Pizza Hut, Kentucky Fried Chicken (KFC), Mc Donald, dalam bisnis eceran seperti: Carrefour, Smart, Alfamart, Teh Poci, Es Teller 77, Dawet, Bakso, Tela-tela, Burger Mega dan lainnya. Fakta menunjukkan, bahwa waralaba yang lebih berkembang di Indonesia adalah waralaba yang sumber teknologinya datang dari luar negeri sebagai pemilik Hak atas Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right). Implikasinya, sebagian besar pendapatan yang diperoleh dari bisnis waralaba tersebut mengalir ke kantong pengusaha di luar negeri untuk pembayaran royalti

(24)

secara terus menerus. Maka dalam rangka memperkuat perekonomian negara perlu dikembangkan bisnis waralaba lokal.

Ada lima syarat minimal suatu usaha dapat diwaralabakan yaitu: a) memiliki keunikan, b) terbukti telah berhasil, c) standar kualitas tetap, d) dapat diajarkan/diaplikasikan dan, e) menguntungkan.9

Kriteria pertama menunjuk pada keunggulan spesifik yang tidak dipunyai oleh pesaing-pesaing di dalam industrinya dan tidak mudah ditiru. Usaha yang akan diwaralabakan harus terbukti dan teruji (track record), misalnya terbukti menguntungkan dan teruji dapat bertahan dalam masa-masa sulit. Usaha waralaba sangat memerlukan standarisasi sehingga kerangka kerjanya harus jelas dan sama. Harus mudah diaplikasikan (applicable) dan mudah dijalankan oleh orang lain (transferable), serta harus menguntungkan yang dibuktikan dengan penerimaan produknya oleh pelanggan (consumers base).10

Beberapa hal yang juga harus diperhatikan calon terwaralaba antara lain, usaha waralaba yang diliriknya harus memiliki ciri khas usaha, terbukti telah memberikan keuntungan, memberikan standar pelayanan barang dan jasa secara tertulis, sudah diajarkan dan diterapkan, serta adanya dukungan pihak pewaralaba secara kontiniu, dan, HKI telah terdaftar.11

9 Ibid. 10

Ibid. 11

(25)

Saat ini di Indonesia berkembang dua jenis waralaba yaitu: 1) Waralaba produk dan merek dagang yaitu pemberian hak izin dan pengelolaan dari franchisor kepada penerima waralaba (franchisee) untuk menjual produk dengan

menggunakan merek dagang dalam bentuk keagenan, distributor atau lesensi penjualan. Franchisor membantu franchisee untuk memilih lokasi yang aman dan showroom serta menyediakan jasa orang untuk membantu mengambil keputusan “do or not”. 2) Waralaba format bisnis yaitu sistem waralaba yang tidak hanya menawarkan merek dagang dan logo tetapi juga menawarkan sistem yang komplit dan komprehenshif tentang tatacara menjalankan bisnis. Jenis waralaba yang banyak berkembang di Indonesia saat ini adalah jenis waralaba format bisnis.12

Untuk memilih bentuk dan jenis waralaba yang akan dibeli, setiap UKM harus memperhatikan manajemen, prosedur, etika dan filosofi dari waralaba yang ingin dipilih, yaitu bagamana jaringan waralaba dimulai, seberapa luas jaringan waralaba, apakah waralaba tersebut sudah mapan di pasar atau sedang bertumbuh, investasi seperti apa yang dibutuhkan, dan sebagainya. Untuk itu hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum UKM memasuki bisnis waralaba adalah:13

1) Menyeleksi waralaba yang akan dipilih;

2) Meyakinkan motivasi untuk berbisnis waralaba;

3) Menghubungi waralaba yang mempunyai prospektif baik; 4) Menyelidiki sistem waralaba yang akan dipilih;

12

Herustiati dan Victoria Simanungkalit, Op. Cit., hal. 2. 13

(26)

5) Mengevaluasi kesempatan dan tantangan waralaba yang bersangkutan; 6) Mempelajari sistem manajemen korporasinya;

7) Memilih format bisnis waralaba yang akan dijalankan; 8) Melakukan kontrak kerjasama bisnis waralaba.

Adapun peluang keuntungan UKM apabila menjalankan bisnis waralaba sebagai penerima waralaba (franchisee) adalah sebagai berikut:

1) Memperoleh program pelatihan yang terstruktur dari franchisor;

2) Memperoleh insentif memiliki bisnis sendiri dengan bantuan manajemen secara terus-menerus;

3) Mendapat keuntungan dari kegiatan operasional di bawah nama dagang yang telah mapan di masyarakat;

4) Membutuhkan modal yang lebih kecil; 5) Resiko bisnis relatif kecil;

6) Memperoleh dukungan riset dan pengembangan dari franchisor; 7) Mendapat dukungan untuk akses ke sumber-sumber pinjaman modal.

Sedangkan peluang kerugian UKM sebagai franchisee adalah:14

1) Adanya keharusan untuk membayar royalti fee kepada franchisor untuk penggunaan sistem waralaba;

2) Kemungkinan kerjasama dan kualitas dukungan franchisor yang tidak konsisten sesuai kontrak kerjasama;

(27)

3) Ketergantungan yang besar kepada franchisor sehingga menjadi kurang mandiri;

4) Reputasi dan citra bisnis yang diwaralabakan menurun di luar kontrol franchisor dan franchisee.

Agar waralaba dapat berkembang dengan pesat, maka persyaratan utama yang harus dimiliki satu teritori adalah kepastian hukum yang mengikat baik bagi franchisor maupun franchisee. Karenanya, dapat dilihat bahwa di negara yang

memiliki kepastian hukum yang jelas, waralaba berkembang pesat, misalnya di AS dan Jepang. Tonggak kepastian hukum akan format waralaba di Indonesia dimulai pada tanggal 18 Juni 1997, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba. PP No. 16 Tahun 1997 tentang waralaba ini telah dicabut dan diganti dengan PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Selanjutnya ketentuan-ketentuan lain yang mendukung kepastian hukum dalam format bisnis waralaba adalah sebagai berikut:

1) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 259/MPP/KEP/7/1997 Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba;

2) Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba;

3) Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten; 4) Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek;

(28)

Banyak orang masih skeptis dengan kepastian hukum terutama dalam bidang waralaba di Indonesia. Namun saat ini kepastian hukum untuk berusaha dengan format bisnis waralaba jauh lebih baik dari sebelum tahun 1997. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya payung hukum yang dapat melindungi bisnis waralaba tersebut. Perkembangan waralaba di Indonesia, khususnya di bidang rumah makan siap saji sangat pesat. Hal ini ini dimungkinkan karena para pengusaha yang berkedudukan sebagai penerima waralaba (franchisee) diwajibkan mengembangkan bisnisnya melalui master franchise yang diterimanya dengan cara mencari atau menunjuk penerima waralaba lanjutan. Dengan mempergunakan sistem piramida atau sistem sel, suatu jaringan format bisnis waralaba akan terus berekspansi.

Sekarang ini, ada beberapa asosiasi waralaba di Indonesia antara lain APWINDO (Asosiasi Pengusaha Waralaba Indonesia), WALI (Waralaba & License Indonesia), AFI (Asosiasi Franchise Indonesia). Ada beberapa konsultan waralaba di Indonesia antara lain IFBM, The Bridge, Hans Consulting, FT Consulting, Ben WarG Consulting, JSI dan lain-lain. Ada beberapa pameran Waralaba di Indonesia yang secara berkala mengadakan road show di berbagai daerah dan jangkauannya nasional antara lain International Franchise and Business Concept Expo, Franchise License Expo Indonesia (Panorama convex), Info Franchise Expo (Neo dan Majalah Franchise Indonesia).15

15

(29)

Bisnis franchise itu berbeda dibandingkan bisnis lainnya. Karena bisnis franchise tidak hanya sekedar menjual produk, tetapi juga bisnis franchise itu

menjual HKI (Hak atas Kekayaan Intelektual). Inilah salah satu keunggulan bisnis franchise, sehingga tidak mudah ditiru oleh pelaku bisnis lain. HKI berperan

penting dalam melindungi pemilik produk atau bisnis aslinya supaya tetap dapat berproduksi atau melakukan bisnisnya secara eksklusif.16

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang berisi 22 pasal dan mengganti peraturan sebelumnya, yakni PP No 16 Tahun 1997 tentang Waralaba, itu diterbitkan dengan maksud untuk menertibkan bisnis waralaba. Namun banyak kalangan pelaku usaha franchisee justru kecewa, karena PP Waralaba ini kurang mendukung keberlangsungan pertumbuhan sektor UKM.17

PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba hanya baik untuk pelaku usaha bermodal kuat. Ketua Perhimpunan Waralaba Indonesia (WALI), Amir Karamoy, kepada INN Channels mengatakan, jika ditelaah lebih dalam secara normatif PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba tidak memberikan prospek keadilan yang lebih baik bagi perkembangan waralaba di Indonesia. Bahkan PP No. 42 Tahun 2007 te

ntang Waralaba akan menghambat bisnis waralaba di tanah air.

16

Suryono Ekotama, Cara Gampang Bikin Bisnis Franchise, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2008), hal. 57.

17

(30)

Menurut Amir Karamoy, PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba ditujukan untuk men-support perkembangan bisnis waralaba dari UKM untuk perkembangan lebih pesat. Terdapat beberapa klausul yang tidak menguntungkan bagi kalangan UKM. Pasal-pasal yang dirasa menghambat perkembangan waralaba itu misalnya Pasal 3 PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang menyebutkan, kriteria waralaba harus memiliki ciri khas usaha dan terbukti sudah memiliki keuntungan. Pasal tersebut jelas tidak menguntungkan UKM, dengan kata lain pasal tersebut mengharuskan pewaralaba memiliki beberapa gerai usaha.18

PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, menurut Amir Karamoy sebagai peraturan yang lebih mengedepankan calon franchisee (terwaralaba). Logika yang dipakai pemerintah tidak tepat. Harusnya PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba juga harus berorientasi kepada franchisor (pewaralaba), bukan kepada franchisee (terwaralaba) saja. Bila franchisor-nya (hulu) bagus, maka franchisee-nya (hilir) juga bagus. Dengan demikian, pemerintah harus berangkat dari hulu alias franchisor, baru hilir alias franchisee. Di samping ada klausul yang tidak

pro-UKM, dalam PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba terdapat juga item yang selama ini diperjuangkan pelaku waralaba akhirnya terakomodasi. Seperti pada Bab III perihal Perjanjian dalam Pasal 4 ayat 1 dan 2 PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Artinya penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian menjadi penting untuk melindungi franchisee (terwaralaba) dalam negeri. Yang

(31)

penting juga waralaba dapat terselenggara berdasarkan perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba berdasarkan hukum di Indonesia.

Perjanjian tersebut juga harus memuat klausul nama dan alamat para pihak, jenis hak kekayaan intelektual, kegiatan usaha, hak dan kewajiban semua pihak. Juga wilayah usaha, jangka waktu perjanjian, tatacara pembayaran imbalan, kepemilikan dan ahli waris, penyelesaian sengketa, tata cara perpanjangan dan pemutusan perjanjian. Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW) berlaku selama lima tahun dan dapat diperpanjang, proses ini tidak dipungut biaya. Menteri, gubernur, bupati, atau walikota sesuai kewenangannya dapat mengenakan sanksi adminsitratif bagi pemberi maupun penerima waralaba yang melanggar ketentuan.19

masalahan sebagai berikut:

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas, selanjutnya dapat dirumuskan permasalahan-per

1. Bagaimana Pengaturan bisnis waralaba ( franchise) dalam aspek kontraktual dan teknis prosedural?

2. Bagaimana kedudukan franchisee/ Usaha Kecil Menengah (UKM) dalam kontrak-kontrak standar/ baku franchise (waralaba)?

19

(32)

3. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh UKM sebagai franchisee

aralaba)?

C

d

(terwaralaba) UKM dalam kontrak-kontrak standar/ baku franchise (waralaba).

ahui upaya yang dapat dilakukan oleh UKM sebagai

ntrak franchise (waralaba).

D. Manfat

adala

1. itis

litian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu hukum khus

(terwaralaba) dalam menyelesaikan sengketa yang lahir dari pelaksanaan kontrak franchise (w

. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan dalam penelitian ini dapat iuraikan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaturan bisnis franchise (waralaba) dalam aspek kontraktual dan teknis prosedural.

2. Untuk mengetahui kedudukan franchisee

3. Untuk menget

franchisee (terwaralaba) dalam menyelesaikan sengketa yang lahir dari

pelaksanaan ko

Penelitian

Manfaat penulisan yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini h sebagai berikut:

Secara Teor Hasil pene

(33)

dapat dijadikan sebagai landasan untuk melakukan penelitian lebih mendalam.

Secara Praktis

Dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui lebih lanjut mengen

2.

ai hubungan hukum franchise (waralaba) dengan kedudukan UKM sebagai penerima waralaba berdasarkan kontrak franchise (waralaba). danya penulisan ini pemerintah dapat dilihat bagaimana k

Sehingga dengan a

edudukan UKM selaku terwaralaba (franchisee) dalam kontrak standar yang dibuat oleh pewaralaba (franchisor) dan UKM selaku terwaralaba (franchisee).

E. Keaslian Penulisan

Proposal penelitian yang berjudul “Kedudukan Hukum UKM Selaku Franchisee (terwaralaba) dalam Pengaturan Franchise (waralaba) di Indonesia”,

(34)

dengan perkembangan kesejahteraan UKM melalui tinjauan terhadap kedudukan UKM selaku penerima waralaba (franchisee) dalam analisis terhadap kontrak standar waralaba (franchise). Penulis menyusun penelitian ini berdasarkan referensi buku-buku, media cetak dan media elektronik, juga melalui bantuan dari

apat disebut asli dan sesuai dengan azas-azas r, rasional dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan implika

ring dianggap franchi

berbagai pihak. Jadi penelitian ini d keilmuan yang juju

si etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori kontrak menjelaskan bahwa tiap orang mempunyai kedudukan yang sama, tetapi pada dasarnya sering terjadi ketidaksetaraan kedudukan antara para pihak. Namun kedudukan UKM selaku franchisee (terwaralaba) se

sor (pewaralaba) sebagai pihak pengusaha kecil yang mempunyai

kedudukan yang lemah. Dimana hal-hal yang berkaitan dengan perjanjian franchise (waralaba) di dalam KUH Perdata diatur dalam buku III mengisyaratkan

bahwa kontrak menganut sistem terbuka kepada para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut dan menganut pula asas kebebasan berkontrak.20

20

(35)

Adapun nilai dari teori kebebasan berkontrak ini adalah memberikan pilihan yang bebas kepada tiap orang, tetapi pada kenyataannya ada pihak yang diperlakukan tidak adil, maka dalam hal ini pihak UKM menjadi pihak yang lemah terhadap pihak pemberi waralaba (franchisor) sebagai perusahaan besar. Dimana perjanjian yang telah mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan kekuatan suatu undang-undang. Sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata: “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebaga

hanya mengandung unsur perlindungan dan kepentingan tetapi juga unsur i undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.21 Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) tersebut, para pihak diberikan kebebasan dalam hal menentukan isi, bentuk, serta macam perjanjian untuk mengadakan perjanjian, akan tetapi isinya tidak bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum juga harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata.22

Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice), Smith mengatakan bahwa “tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian” (the end of the justice to secure from

enjury).23 Menurut G.W. Paton, hak yang diberikan oleh hukum ternyata tidak

21

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III: Hukum Perikatan dengan Penjelas

a “Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara”,

annya, (Bandung: Alumni, 1983), hal. 89. 22

P. Lindawaty S. Sewu, Op. Cit., hal. 31. 23

Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, disampaikan pad

(36)

kehendak (the element of will).24 Maka teori hukum perlindungan dan kepentingan bertujuan untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-d

asar filsafatnya yang paling dalam. Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, namun dalam manifestasinya dapat berwujud konkrit. Suatu ketentuan hukum dapat dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan.25

Akan tetapi menurut John Rawls ada ketidaksamaan antara tiap orang, contohnya dalam hal tingkat perekonomian, ada tingkat perekonomian lemah dan ada tingkat perekonomian kuat. Jadi negara harus bertindak sebagai penyeimbang terhadap ketidaksamarataan kedudukan dari status ini dan negara harus melindungi hak dan kepentingan pihak yang lemah. Lalu Rawls mengoreksi juga bahwa ketidakmerataan dalam pemberian perlindungan kepada orang-orang yang tidak beruntung itu.26 Teori ini menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun terdapat perbedaan bangsa, kekuasaan, jabatan, kedudukan, dan lain-lain. Teori ini sangat penting terutama dalam perjanjian franchise yang bersifat internasional, karena dalam perjanjian franchise

internasional pihak-pihak yang terlibat terdiri dari subjek-subjek hukum yang berlainan negara, kewarganegaraan, maupun geografis. Contoh penyimpangan

24

George Whitecross Paton, A Text-Book of Jurisprudence, edisi kedua, (London: Oxford University Press, 1951), hal. 221.

25

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 79.

26

(37)

dari teori ini yaitu apabila terbentuk perjanjian franchise (waralaba) antara A (franchisor pengusaha dari Amerika) dengan B (franchisee pengusaha dari Indonesia), maka dalam hal terjadi perselisihan franchisor (pewaralaba) seringkali menginginkan penyelesaian dengan menggunakan hukum franchisor (pewaralaba). Padahal penggunaan hukum franchisor seringkali merugikan bagi franchi

alam hal pendirian waralaba merupakan cermin dari utilitarianisme. Teori tersebu

Teori utilitarianisme ini juga mendapat dukungan dari Thomas Hobbes (1588-1679).30 Filsafat Hobbes nyaris sepenuhnya ditinjau berdasarkan prinsip

see. Sehingga, teori ini sering menjadi masalah terutama dalam perjanjian

franchise internasional.27 Dalam hal ini Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun

2007 tentang Waralaba harus bisa memberi manfaat bagi UKM sehingga ada kesamarataan hak dan kewajiban antara pihak pemberi waralaba (franchisor) dan pihak penerima waralaba (franchisee) yakni UKM.

D

t untuk pertama kalinya dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832)28. Teori utilitarianisme menyatakan bahwa suatu kebijaksanaan atau tindakan dinilai baik secara moral kalau tidak hanya mendatangkan manfaat terbesar, melainkan kalau mendatangkan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang.29

., hal. 34.

30

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius , 1982), hal. 63.

27

P. Lindawaty S. Sewu, Loc. Cit 28

A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hal. 93.

29

(38)

utilitas.31 Ia menyatakan bahwa manusia siap untuk menerima hukum dan mematuhi undang-undang hanya karena mereka telah mengakui perdamaian dan ketentr

ara an Usaha Waralaba dan Peraturan Menteri Perindustrian

asalahan dapat

rhadap sistem bisnis dengan ciri khas

aman sebagai hal yang bermanfaat.32 Hal ini dapat dipahami dari salah satu fungsi waralaba tersebut yaitu untuk tercapainya kemakmuran bagi masyarakat khususnya pengusaha waralaba dengan UKM.

Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 259/MPP/KEP/7/1997 Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata C Pelaksanaan Pendaftar

dan Perdagangan RI No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba, telah menunjukkan implementasi dari teori utilitarianisme tersebut. 2. Kerangka Konsepsi

Penelitian ini menggunakan sejumlah konsep hukum yang berhubungan satu dengan yang lain. Hubungan antar konsep tersebut akan dijalin dengan menggunakan kerangka teoritis yang relevan, sehingga perm

dijawab. Oleh karena itu, untuk menghindari kesalahpahaman terhadap makna konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka berikut ini akan diuraikan defenisi operasional dari masing-masing konsep, sebagai berikut:

a) Waralaba (franchise) adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha te

31

Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: PNM, 2004), hal. 109.

Ibid. 32

(39)

usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/ atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba;33

b) Pemberi waralaba (franchisor) adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimilikinya kepada penerima waralaba;34

c) Penerima waralaba (franchisee) adalah orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh pemberi waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimiliki pemberi waralaba;35

d) Pemberi waralaba lanjutan adalah orang perseorangan atau badan usaha

pemberi waralaba untuk menunjuk

kti pendaftaran prospektus atau pendaftaran perjanjian yang diberikan kepada

yang menerima hak dari pemberi waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimiliki

penerima waralaba lanjutan;36

e) Perjanjian waralaba adalah perjanjian secara tertulis antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba;37

f) Surat Tanda Pendaftaran Waralaba selanjutnya disebut STPW adalah bu

33

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, Pasal 1 angka 1.

34

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, Pasal 1 angka 2.

35

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, Pasal 1 angka 3.

36

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba, Pasal 1 angka 4.

37

(40)

pemberi waralaba dan/atau penerima waralaba setelah memenuhi persyaratan pendaftaran yang ditentukan dalam Peraturan Menteri ini.38 g) Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang

dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha

menen kriteria usaha kecil

juta

ebih dari Rp 300.000.000,00 (tiga

merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung

gah atau usaha besar yang memenuhi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini;39

Kriteria usaha kecil adalah sebagai berikut:40

(1)Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00 (lima puluh rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau (2)Memiliki hasil penjualan tahunan l

ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).

h) Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan

38

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba, Pasal 1 angka 10.

39

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah, Pasal 1 angka 2.

40

(41)

dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini;41

Kriteria usaha menengah adalah sebagai berikut:42

(1)Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau (2)Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000,00 (dua

milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).

G. Metode Penelitian

Metode penelitian digunakan dalam suatu penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah ialah penalaran yang mengikuti suatu alur berfikir atau logika yang tertentu dan yang menggabungkan metode induksi (empiris), karena penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian empiris dan hipotesis-hipotesis atau teori yang disusun secara deduktif.43 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is

41

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah, Pasal 1 angka 3.

42

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah, Pasal 6 angka (3).

43

(42)

written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses

pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process)44 Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.45

Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, wawancara, kontrak waralaba, serta sumber data sekunder lain yang dibahas oleh penulis. Digunakan pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan yang lainnya.

Jadi disimpulkan bahwa metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.46 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Penelitian hukum ini dikatakan juga penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan perundang-undangan, yang dilakukan secara vertikal dan horizontal. Ditelaah secara vertikal berarti akan dilihat

44

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Grafitti Press, 2006), hal. 118.

45

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 3. 46

(43)

bagaimana hirarkisnya, sedangkan secara horizontal adalah sejauh mana peraturan perundang-undangan yang mengatur pelbagai bidang itu mempunyai hubungan fungsional secara konsisten.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau norma-norma dalam hukum positif. Penelitian ini bersifat deskriptif. Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu.47 Deskriptif analitis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang pengaturan sistem franchise (waralaba) di Indonesia.

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Penelitian ini menggunakan pendekatan tersebut karena yang

akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.48 Analisis hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan, akan menghasilkan suatu penelitian yang akurat. Pendekatan tersebut melakukan

47

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Prenada Media, 1997), hal. 42.

48

(44)

pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pengaturan hukum dan implikasi pelaksanaan sistem franchise (waralaba) di Indonesia.

Di samping itu, dipergunakan juga pendekatan conten analisis untuk menganalisis content (kandungan) dari kontrak franchise yang melibatkan UKM. Hasil analisis terhadap kandungan kontrak-kontrak tersebut kemudian di analisis dengan menggunakan perundang-undangan, teori dan analisis-analisis hukum. 3. Sumber Data Penelitian

Sumber-sumber penelitian dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder, yang digunakan dalam penelitian ini.

a. Bahan Hukum Primer terdiri dari:

(45)

Penyelenggaraan Waralaba; Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah; Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil; atau peraturan suatu badan hukum atau lembaga negara.

b. Bahan Hukum Sekunder:

Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, kontrak mengenai franchise dan komentar-komentar mengenai kasus waralaba yang ada

di Indonesia. Bahan hukum sekunder terutama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi.49

c. Bahan hukum tersier:

Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah.50

Jadi penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tertier sebagai sumber penelitian.

49

Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2006), hal 141. 50

(46)

4. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data ialah teknik atau cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Metode atau teknik menunjuk suatu kata yang abstrak dan tidak diwujudkan dalam benda, tetapi hanya dapat dilihatkan penggunaannya melalui pengamatan, ujian, dokumen dan lainnya.51

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan serta wawancara dan studi kasus. Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini.

5. Metode analisis Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaedah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan: 52

51

Riduan, Metode & Teknik Menyusun Tesis, (Bandung : Bina Cipta, 2004), hal. 97. 52

(47)

a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut;

b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah terhadap pengaturan mengenai sistem waralaba di Indonesia;

c. Menemukan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan kemudian diolah;

d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan.53

Keseluruhan data diorganisasikan dan diurutkan ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hasil seperti yang disarankan oleh data yang dianalisa secara kualitatif.54

53

Ibid., hal. 226. 54

(48)

BAB II

PENGATURAN BISNIS WARALABA (FRANCHISE) DALAM ASPEK KONTRAKTUAL DAN TEKNIS PROSEDURAL

A. Asas-Asas Franchise

Franchise merupakan sistem pemasaran barang dan atau jasa dan atau

teknologi yang didasarkan pada kerjasama yang erat dan terus menerus antara para pelaku (franchisor dan franchisee) yang terpisah baik secara hukum maupun keuangan, dimana franchisor memberikan hak (untuk menggunakan merek dagang dan atau merek jasa, know-how, metode teknis, dan sistem prosedural dan atau hak milik intelektual) kepada franchisee dengan dukungan bantuan teknis dan komersial, serta untuk semua hal tersebut franchisee dibebani kewajiban untuk melaksanakan bisnisnya sesuai dengan konsep dari franchisor dan membayar biaya yang diterapkan.

Franchisor dan franchisee dalam mengatur hubungannya seringkali

mewujudkannya dalam suatu perjanjian tertentu. Perjanjian dalam hukum Indonesia tunduk pada pengaturan buku III KUH Perdata. Karena itu, franchise merupakan kerjasama bisnis yang tunduk pada pengaturan buku III KUH Perdata. Ada sejumlah asas-asas hukum penting yang dikenal dalam ilmu hukum pada umumnya, selain itu hukum perjanjian memuat beberapa asas yang penting pula, oleh sebab itu kerjasama bisnis franchise hendaknya didasarkan pada:55

55

(49)

1. Asas Keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Franchisor dinilai mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi namun franchisor memikul pula beban melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.

Kedudukan franchisor yang kuat apabila diimbangi pula dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, maka kedudukan franchisor dan franchisee dapat seimbang. Asas keseimbangan menekankan pada keseimbangan

antara hak dan kewajiban dari para pihak secara wajar dengan tidak membebani salah satu pihak saja.

Asas keseimbangan di dalam bisnis merupakan unsur yang cukup penting untuk diperhatikan. Pada hakekatnya, bisnis dijalankan dengan tujuan untuk mendatangkan keuntungan secara ekonomis.

Keuntungan secara ekonomis ini akan lahir apabila kedua belah pihak dalam bisnis tersebut mendapatkan kesempatan yang seimbang di dalam berusaha. Sehingga, suatu transaksi bisnis ataupun kerjasama bisnis akan terjalin apabila memperhatikan unsur ini.56

56

(50)

2. Asas Konsesualitas

Menurut asas konsesualitas, maka perjanjian sudah dianggap ada saat tercapainya kesepakatan tentang hal-hal yang diperjanjikan. Asas ini perlu diperhatikan dalam hal akan memperbaharui perjanjian lama perlu ditentukan kembali dalam perjanjian pembaharuan.

Hal ini dapat menimbulkan persengketaan karena suatu syarat yang telah disepakati dalam perjanjian terdahulu padahal syarat tersebut mengalami perubahan maka secara otomatis kesepakatan terdahulu akan berlaku kembali padahal syarat tersebut tidak ingin dipertahankan.

Selain hal tersebut di atas terdapat satu masalah yang sensitif sehubungan dengan masalah konsesualitas ini. Praktek dewasa ini banyak menggunakan perjanjian-perjanjian yang telah distandardisasi sebelumnya oleh franchisor (pewaralaba). Dalam hal terjadinya penandatanganan perjanjian standar maka asas konsesualitas telah disimpangi karena pihak franchisee tidak turut serta dalam proses penyusunan perjanjian yang disepakati.

Walaupun asas konsesualitas telah sedikit disimpangi akan tetapi hal ini masih dapat ditolerir, karena apabila franchisee merasa keberatan akan apa yang tertulis dalam perjanjian standar maka ia masih mempunyai hak untuk tidak menandatangani perjanjian tersebut (dalam arti tidak akan terjadi perjanjian).57

57

(51)

3. Asas Itikad Baik

Persetujuan tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pelaksanaan perjanjian franchise merupakan suatu rangkaian proses timbal balik antara franchise dengan franchisee.

Selain itu, perjanjian ini seringkali dilaksanakan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Oleh karena itu, maka kedua pihak harus menjunjung tinggi asas ini sehingga baik hak maupun kewajiban yang harus diberikan kepada franchisor dengan baik serta dengan itikad baik.

Rooseno58 menyatakan bahwa dalam pelaksanaan perjanjian franchise, franchisor dengan itikad baik harus menjamin hak-hak yang akan diberikan

kepada franchisee itu benar-benar miliknya bukan sebagai hasil kejahatan, dan pihak franchisee harus mewujudkan kewajiban yang harus diberikan kepada franchisor dengan baik serta dengan itikad baik.

Contoh dari penyimpangan asas itikad baik yang terjadi dalam praktek: franchisor membebankan target pembukaan 3 (tiga) outlet baru kepada

franchisee dalam jangka waktu 1 (satu) tahun pertama. Franchisee melihat

bahwa potensi pasar yang ada sangat baik dan merasa dapat melampaui target yang dibebankan kepadanya, tetapi karena itikad yang kurang baik maka secara sengaja franchisee melanggar target yang ada. Sehingga, franchisor mengakhiri perjanjian franchise karena menilai franchisee tidak dapat memenuhi target yang ditetapkan. Franchisee tersebut melakukan kerjasama dengan pihak lain, serta

58

(52)

memakai nama pihak lain membuka bisnis yang sejenis dengan bidang usaha franchisor terdahulu.

Jadi, hal-hal yang menyangkut asas itikad baik ini perlu dicermati agar tidak terjadi hal yang dapat merugikan kedua belah pihak.

4. Asas Kerahasian

Asas ini menurut Rooseno, pada dasarnya mewajibkan kepada para pihak (franchisor dan franchisee) untuk menjaga kerahasiaan data ataupun ketentuan-ketentuan yang dianggap rahasia, misalnya masalah trade secret know-how atau resep makanan/ minuman, dan tidak dibenarkan untuk memberitahukan kepada pihak ketiga, kecuali undang-undang menghendakinya.59

Asas kerahasiaan ini merupakan hal yang esensial dalam suatu perjanjian franchise. Pada dasarnya bisnis dengan pola franchise sangat mengandalkan ciri

khas dari suatu produk barang/jasa.

Sehingga apabila unsur kerahasiaan dari trade secret know-how tidak dijaga dengan baik hal ini akan merugikan franchisor karena mengakibatkan ciri khas dari franchise yang ada diketahui oleh pihak ketiga.

Lolosnya informasi yang sangat penting dapat mengakibatkan kerugian baru bagi franchisor karena menimbulkan kompetitor/ pesaing baru dalam bidang bisnis yang sama. Apabila kompetitor/ pesaing baru muncul dan dapat menyajikan barang/ jasa yang sama dengan bisnis franchise tersebut, maka

59

(53)

hampir dapat dipastikan maka bisnis franchise yang telah ada akan kehilangan keunikannya.60

Pesaing baru dalam bisnis yang sejenis tentu saja baik secara langsung ataupun tidak langsung akan mempengaruhi daya tarik dari konsumen, yang pada gilirannya dapat menurunkan pendapatan dari usaha franchise yang pertama.

5. Asas Persamaan Hukum61

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain.

Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengahruskan kedua pihak utnuk menghormati satu sama lain.

Asas ini penting terutama dalam perjanjian franchise yang bersifat internasional, karena dalam perjanjian franchise internasional pihak-pihak yang terlibat terdiri dari subjek-subjek hukum yang berlainan baik negara, kewarganegaraan maupun geografis.

Perjanjian franchise yang bersifat internasional seringkali mengabaikan asas ini. Contoh penyimpangan dari asas persamaan ini yaitu apabila terbentuk perjanjian franchise antara A (franchisor dari negara Amerika) dengan B (franchisee dari UKM di negara Indonesia), maka dalam hal terjadi perselisihan

60

Ibid., hal. 15. 61

(54)

antara kedua belah pihak, seringkali menginginkan penyelesaian dengan menggunakan hukum franchisor. Padahal penggunaan hukum franchisor seringkali merugikan bagi franchisee. Sehingga asas kesamaan ini seringkali menjadi masalah terutama dalam perjanjian franchise internasional.

6. Asas Kebebasan Berkontrak

Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Menurut Mariam Darus Badrulzaman62, semua mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Perjanjian franchise merupakan perjanjian yang namanya tidak dikenal oleh undang-undang namun diatur sesuai Pasal 1338 KUH Perdata.

B. Pengaturan Franchise (Waralaba) di Eropa

Bisnis waralaba di Eropa terdapat pengaturan yang dimuat dalam

European Code Of Ethics For Franchising.63 Pengaturan ini berlaku sebagai

kode etik dan dijunjung tinggi dalam membina hubungan franchise di negara-negara Eropa dan negara-negara lainnya yang menundukkan diri terhadap pengaturan ini.

62

Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 109-110. 63

(55)

Secara garis besar isi dari pengaturan franchise ini memuat hal-hal mengenai: definition of franchising, guiding principles, recruitments, advertising and disclosure, selection of individual franchisees, the franchise

agreement, the code of ethics and the master franchise system.

Hal yang patut mendapat perhatian dari pengaturan franchise ini yakni dimuatnya hal-hal yang menjadi syarat minimum yang harus ada dalam suatu perjanjian franchise. Syarat-syarat minimum yang harus ada, sebagai berikut:64 1) The rights granted to the franchisor;

2) The rights granted to the individual franchisee;

3) The goods and/or service to be provided to the individual franchisee;

4) The obligations of franchisor;

5) The obligations of individual franchisee;

6) The duration of agreement which should be long enough to allow individual

franchisees to amortize their initial investments specific to the franchise;

7) The basis for any renewal of the agreement;

8) The term upon which the individual franchisee may seel of transfer the

franchised business and the franchisor’s possible preemption rights in this

respect;

9) Provisions relevant to the use by the individual franchisee of the

franchisor’s distinctive signs, trade name, trade mark, service mark, store

sign, logo, or other distinguishing identification;

(56)

10)The franchisor’s right to adapt the franchise system to new or change methods;

11)Provisions for termination pf the agreement;

12)Provisions for surrendering promptly upon termination of the franchise

agreement any tangible and intangible property belonging to franchisor or

other owner thereof.

Pencantuman syarat minimum yang harus tercantum dalam suatu perjanjian franchise tentu saja akan memberikan perlindungan bagi kedua belah pihak yang terikat dalam perjanjian itu, dan akan memperkecil kemungkinan bagi salah satu pihak untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya akibat perjanjian yang tidak seimbang dan tidak adil.

Hal tersebut telah diupayakan pembentukannya melalui organisasi atau badan internasional pengendali perdagangan internasional, yang menunjukkan hasil dengan terbentuknya World Trade Organization (WTO). WTO merupakan organisasi perdagangan internasional. Pembentukan WTO didasari oleh General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yaitu persetujuan internasional

multilateral mengenai tarif dan perdagangan yang disahkan pada tahun 1947.65 WTO merupakan forum bagi negara-negara anggota untuk saling berinteraksi mengenai perdagangan internasional, termasuk di dalamnya perdagangan sektor jasa, investasi dalam pengembangan usaha franchise dan

65

(57)

saham serta hak-hak milik intelektual yang berkaitan dengan perdagangan dengan sistem franchise. Selain itu berfungsi pula sebagai forum penyelesaian sengketa perdagangan internasional yang terjadi antara negara anggota, misalnya sengketa dalam franchise internasional.

Kawasan perdagangan bebas sebagai wujud liberalisasi perdagangan menurut WTO, bagi negara berkembang seperti Indonesia baru akan diwujudkan pada tahun 2020. Liberalisasi perdagangan tingkat regional untuk kawasan ASEAN dan Asia Psifik sudah mulai dipersiapkan dengan disepakatinya ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC).

AFTA atau kawasan perdagangan bebas ASEAN, bertujuan untuk mewujudkan liberalisasi perdagangan dan investasi di kawasan Asia Tenggara yang harus diwujudkan pada tahun 2003. Sedangkan tujuan jangka panjang APEC adalah menciptakan perdagangan dan investasi yang bebas dan terbuka di kawasan Asia Pasifik, yang pelaksanaannya dibagi dalam dua tahap yaitu tahun 2010 untuk negara-negara industri serta tahun 2020 untuk negara-negara berkembang.66

Sebagai salah satu negara anggota AFTA, APEC, dan WTO, maka sudah dipastikan bahwa Indonesia terikat untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh ketiga organisasi internasional tersebut, terlebih lagi karena Indonesia telah menyatakan kesiapannya sebagai anggota WTO berdasarkan UU

(58)

No. 7 tahun 1994 tentang Ratifikasi Agreement on Establishing the World Trade Organization67

C. Prospek Pengaturan Hukum Franchise Dalam Kerangka Hukum Nasional Indonesia

Franchise merupakan suatu bidang usaha yang tergolong masih baru

berkembang di Indonesia, pada tahun-tahun terakhir ini menunjukkan angka perkembangan yang sangat pesat.

Kemajuan bisnis dengan menggunakan pola bisnis franchise ini harus diimbangi dengan pengaturan hukum yang baik, Sunaryati Hartono berpendapat bahwa:68 “… penegakan asas-asas hukum yang sesuai akan memperlancar terbentuknya struktur ekonomi yang dikehendaki. Tetapi sebaliknya penegakkan asas-asas hukum yang tidak sesuai justru akan menghambat terciptanya struktur ekonomi yang dicita-citakan.”

Jadi perkembangan di bidang ekonomi yang tidak dibarengi dengan perkembangan pembangunan hukum akan menghambat pembangunan struktur ekonomi yang dicita-citakan. Franchise sebagai salah satu pola bisnis yang berkembang dan menunjang kemajuan perekonomian Indonesia baru akan tercapai apabila dibarengi oleh kemajuan pembangunan hukum. Karena itu, pembangunan hukum di Indonesia harus memperhatikan kepentingan masyarakat

67 Ibid. 68

(59)

Indonesia dengan tanpa mengabaikan kedudukan Indonesia sebagai bagian dari dunia internasional.

Manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial dalam arti sejak ia dilahirkan saling membutuhkan satu sama lain atau tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan dan berhubungan dengan manusia lainnya. Begitu pula dengan negara di dalam rangka memenuhi kebutuhannya harus mengadakan hubungan dengan negara lain. Indonesia di dalam pergaulan dunia perdagangan internasional negara-negara harus mampu untuk saling menciptakan suatu konsep yang dapat menjadi acuan bagi jaringan kegiatan perdagangan internasional tersebut.

Hal tersebut telah diupayakan pembentukannya melalui organisasi atau badan internasional pengendali perdagangan internasional, yang menunjukkan hasil dengan terbentuknya World Trade Organization (WTO). WTO merupakan organisasi perdagangan internasional. Pembentukan WTO didasari oleh General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yaitu persetujuan internasional

multilateral mengenai tarif dan perdagangan yang disahkan pada tahun 1947.69 Hal ini merupakan tantangan baru bagi Indonesia, karena baik secara langsung maupun tidak langsung, keadaan ini pasti akan mempengaruhi sistem perekonomian di Indonesia. Sistem perekonomian di Indonesia secara utuh termasuk di dalamnya perangkat hukum yang mengatur mekanisme

69

Referensi

Dokumen terkait

Kapling ini telah mengalami 4 kali intervensi, yang mengakibatkan makin berkurangnya luas kapling, yaitu pertama dengan dibangunnya jalan gang di muka bangunan, sebagai prakarsa

Pertimbangan hukum dalam Putusan Pengadilan Tinggi Nomor : 12/PDT/2014/PT.DPS oleh majelis hakim dalam hal pembelian tanah sengketa dengan menggunakan perjanjian

Untuk pembuatan sistem secara keseluruhan dilakukan beberapa proses, mulai dari input login admin untuk masuk ke dalam aplikasi, kemudian input data pelaku, input kriminal, input

meningkatnya sinergitas   antara eksekutif   dan legislatif   serta kerja   sama   antar pemerintah daerah. RAPREDA yang 

Analisis faktor kualitas produk dalam pengembangan bisnis Healthy Red Velvet Cake melalui pendekatan strategi Blue Ocean.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Berdasarkan penelitian ini, yang menjadi objek penelitian adalah Kampung Belekok Rancabayawak atau yang lebih dikenal dengan Kampung Wisata Kreatif Belekok,

Pada responden dengan jumlah perokok aktif lebih dari 1 di dalam rumah, terpapar asap rokok 3-4 jam per hari dan dengan intensitas paparan setiap hari, lebih banyak

Sebagaimana diketahui diatas bahwa setiap kegiatan atau aktifitas tersebut saling berhubungan antara satu dengan lainnya ditinjau dari beberapa