• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Konsentrasi Tapioka Dan Sorbitol Sebagai Zat Pemlastis Dalam Pembuatan Edible Coating Pada Penyimpanan Buah Melon.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Konsentrasi Tapioka Dan Sorbitol Sebagai Zat Pemlastis Dalam Pembuatan Edible Coating Pada Penyimpanan Buah Melon."

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KONSENTRASI TAPIOKA DAN SORBITOL SEBAGAI ZAT PEMLASTIS DALAM PEMBUATAN EDIBLE COATING PADA

PENYIMPANAN BUAH MELON

LUTHFI HADI CHANDRA 050305033

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

(2)

PENGARUH KONSENTRASI TAPIOKA DAN SORBITOL SEBAGAI ZAT PEMLASTIS DALAM PEMBUATAN EDIBLE COATING PADA

PENYIMPANAN BUAH MELON

SKRIPSI

Oleh :

LUTHFI HADI CHANDRA 050305033

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

(3)

PENGARUH KONSENTRASI TAPIOKA DAN SORBITOL SEBAGAI ZAT PEMLASTIS DALAM PEMBUATAN EDIBLE COATING PADA

PENYIMPANAN BUAH MELON

SKRIPSI

Oleh :

LUTHFI HADI CHANDRA

050305033/ TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana teknologi pertanian di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

(4)

PENGARUH KONSENTRASI TAPIOKA DAN SORBITOL SEBAGAI ZAT PEMLASTIS DALAM PEMBUATAN EDIBLE COATING PADA

PENYIMPANAN BUAH MELON

SKRIPSI

Oleh :

LUTHFI HADI CHANDRA 050305033

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Dapat Memperoleh Gelar Sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara Medan

Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing :

Ir. Sentosa Ginting, MP

Ketua Anggota

Ir. Lasma Nora Limbong

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

(5)

Judu l Skripsi : Pengaruh konsentrasi tapioka dan sorbitol sebagai zat pemlastis dalam pembuatan edible coating pada penyimpanan buah melon

Nama : Luthfi Hadi Chandra NIM : 050305033

Departemen : Teknologi Pertanian Program Studi : Teknologi Hasil Pertanian

Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing :

Ir. Sentosa Ginting, MP

Ketua Anggota

Ir. Lasma Nora Limbong

Mengetahui,

Ketua Departemen (Ir. Saipul Bahri Daulay, M.Si)

(6)

ABSTRAK

LUTHFI HADI CHANDRA : Pengaruh Konsentrasi Tapioka dan Sorbitol Sebagai Zat Pemlastis dalam Pembuatan Edible Coating pada Penyimpanan Buah Melon. Dibimbing oleh SENTOSA GINTING dan LASMA NORA LIMBONG.

Pelapisan buah dengan edible coating digunakan untuk memperlambat penurunan mutu, karena edible coating dapat berfungsi sebagai penahan difusi gas oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi tapioka memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap semua parameter kecuali total asam dan nilai organoleptik (rasa dan tekstur). Konsentrasi sorbitol memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap semua parameter. Interaksi kedua faktor memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap susut bobot dan total padatan terlarut. Konsentrasi tapioka 4 % w/v dan konsentrasi sorbitol 5 % w/v menghasilkan edible coating yang lebih baik untuk penyimpanan buah melon.

), difusi uap air serta komponen aroma. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan konsentrasi tapioka dan konsentrasi sorbitol sebagai zat pemlastis yang terbaik dalam pembuatan edible coating pada penyimpanan buah melon.. Penelitian ini menggunakan metode rancangan acak lengkap dengan dua faktor, yaitu konsentrasi tapioka (P) : (4, 5, 6 dan 7 % w/v) dan konsentrasi sorbitol (S) : (5, 6, 7 dan 8 % w/v). Parameter yang dianalisa adalah kadar vitamin C, susut bobot, total asam, total padatan terlarut dan nilai organoleptik (rasa dan tekstur).

Kata kunci : melon, edible coating, tapioka, sorbitol.

ABSTRACT

LUTHFI HADI CHANDRA : The Influence of Tapioca Concentration and Sorbitol as Platicizer in the Making of Edible Coating for Melon Storage. Under the supervision of SENTOSA GINTING and LASMA NORA LIMBONG.

Coating a fruit with edible coating is used to delay the quality decrease because edible coating can be used as a barrier, for the diffusion of oxygen, carbondioxside and water vapor as well as vapor and flavor component. The aim of this research was to find the best tapioca concentration and sorbitol concentration as the plasticizer in the making of edible coating for melon storage. The research had been performed using factorial completely randomized design with two factors, i.e.: tapioca concentration (P) : 4, 5, 6 and 7 % w/v) and sorbitol concentration (S) : (5, 6, 7 and 8 % w/v). Parameter analyzed were vitamin C content, weight lost, total acid, total soluble solid and organoleptic values (taste and texture).

(7)

RIWAYAT HIDUP

Luthfi Hadi Chandra, lahir di Payakumbuh pada tanggal 17 September 1987. Anak ketiga dari empat bersaudara dari ayahanda H. Chandra Warman dan

ibunda Hj. Yusniar Hamid, S.Pd. Beragama Islam.

Pada tahun 2002 penulis memasuki jenjang pendidikan SMA di

SMA Negeri 2 Payakumbuh dan lulus pada tahun 2005. Penulis memasuki

Departemen Teknologi Pertanian dengan Program Studi Teknologi Hasil

Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur PMP

pada tahun 2005.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai pengurus IMTHP

(Ikatan Mahasiswa Teknologi Hasil Pertanian) pada tahun 2007-2008. Penulis

pernah mengikuti Praktek Kerja Lapangan di PT. Multimas Nabati Asahan pada

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat

dan berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun judul skripsi ini

adalah ”Pengaruh Konsentrasi Tapioka Dan Sorbitol Sebagai Zat Pemlastis

Dalam Pembuatan Edible Coating Pada Penyimpanan Buah Melon”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ir. Sentosa Ginting, MP, selaku

ketua komisi pembimbing dan Ir. Lasma Nora Limbong selaku anggota komisi

pembimbing atas arahan dan bimbingan yang diberikan selama penyusunan

skripsi ini.

Penulis juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

yang tersayang Ayahanda Chandra, Ibunda Yusniar, Kakanda Artha dan Ratih

serta Adinda Wafi yang mendo’akan dengan tulus dan memberikan semangat

dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih yang terkhusus untuk

Nurizni Adinda, selanjutnya kepada rekan-rekan THP angkatan 2005

seperjuangan, asisten Laboratorium AKBP dan Mikrobiologi serta semua pihak

yang telah ikut menyukseskan pelaksanaan penelitian penulis.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Medan, September

(9)

DAFTAR ISI

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Konsentrasi Tapioka terhadap Parameter yang Diamati .... 33

Pengaruh Konsentrasi Sorbitol terhadap Parameter yang Diamati ... 34

Kadar Vitamin C Pengaruh konsentrasi tapioka terhadap kadar vitamin C ... 35

Pengaruh konsentrasi sorbitol terhadap kadar vitamin C ... 37

(10)

Susut Bobot

Pengaruh konsentrasi tapioka terhadap susut bobot ... 39

Pengaruh konsentrasi sorbitol terhadap susut bobot ... 41

Pengaruh interaksi antara konsentrasi tapioka dan sorbitol terhadap susut bobot ... 42

Total Asam Pengaruh konsentrasi tapioka terhadap total asam ... 44

Pengaruh konsentrasi sorbitol terhadap total asam ... 44

Pengaruh interaksi antara konsentrasi tapioka dan sorbitol terhadap total asam ... 46

Total Padatan Terlarut Pengaruh konsentrasi tapioka terhadap total padatan terlarut 46

Pengaruh konsentrasi sorbitol terhadap total padatan terlarut ... 48

Pengaruh interaksi antara konsentrasi tapioka dan sorbitol terhadap total padatan terlarut ... 50

Organoleptik Rasa dan Tekstur Pengaruh konsentrasi tapioka terhadap organoleptik rasa dan tekstur ... 52

Pengaruh konsentrasi sorbitol terhadap organoleptik rasa dan tekstur ... 54

Pengaruh interaksi antara konsentrasi tapioka dan sorbitol terhadap organoleptik rasa dan tekstur ... 55

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 56

Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58

(11)

DAFTAR TABEL

No. Hal

1. Komposisi kimia buah melon / 100 g bahan ... 20

2. Skala uji hedonik (Rasa) ... 29

3. Skala uji hedonik (Tekstur) ... 29

4. Pengaruh konsentrasi tapioka terhadap parameter yang diamati ... 33

5. Pengaruh konsentrasi sorbitol terhadap parameter yang diamati ... 34

6. Uji LSR efek utama pengaruh konsentrasi tapioka terhadap

9. Uji LSR efek utama pengaruh konsentrasi sorbitol terhadap susut bobot (%) ... 41

10. Uji LSR efek utama pengaruh interaksi konsentrsi tapioka dan sorbitol terhadap susut bobot (%) ... 43 dan sorbitol terhadap total padatan terlarut (0Brix) ... 50

15. Uji LSR efek utama pengaruh konsentrasi tapioka terhadap organoleptik rasa dan tekstur (Numerik) ... 52

(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal

1. Reaksi pembentukan D-sorbitol ... 12

2. Skema ekstraksi tapioka ... 30

3. Skema pembuatan edible coating ... 31

4. Skema pencelupan buah melon pada edible coating ... 32

5. Grafik pengaruh konsentrasi tapioka terhadap kadar vitamin C ... 36

6. Grafik pengaruh konsentrasi sorbitol terhadap kadar vitamin C ... 38

7. Grafik pengaruh konsentrasi tapioka terhadap susut bobot ... 40

8. Grafik pengaruh konsentrasi sorbitol terhadap susut bobot ... 42

9. Grafik pengaruh interaksi antara konsentrasi tapioka dan sorbitol terhadap susut bobot ... 44

10. Grafik pengaruh konsentrasi sorbitol terhadap total asam ... 46

11. Grafik pengaruh konsentrasi tapioka terhadap total padatan terlarut ... 48

12. Grafik pengaruh konsentrasi sorbitol terhadap total padatan terlarut ... 49

13. Grafik pengaruh interaksi antara konsentrasi tapioka dan sorbitol terhadap total padatan terlarut ... 52

14. Grafik pengaruh konsentrasi tapioka terhadap organoleptik rasa dan tekstur ... 53

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal

1. Data pengamatan analisa kadar vitamin C (mg/ 100 g) ... 61

2. Data pengamatan analisa susut bobot (%) ... 62

3. Data pengamatan analisa total asam (%) ... 63

4. Data pengamatan analisa total padatan terlarut (0

5. Data pengamatan analisa organoleptik rasa dan tekstur ... 65 Brix) ... 64

6. Kandungan gizi buah melon sebelum perlakuan kontrol (Tanpa pencelupan) ... 66

7. Gambar buah melon yang dilapisi edible coating pada 0 hari... 67

(14)

ABSTRAK

LUTHFI HADI CHANDRA : Pengaruh Konsentrasi Tapioka dan Sorbitol Sebagai Zat Pemlastis dalam Pembuatan Edible Coating pada Penyimpanan Buah Melon. Dibimbing oleh SENTOSA GINTING dan LASMA NORA LIMBONG.

Pelapisan buah dengan edible coating digunakan untuk memperlambat penurunan mutu, karena edible coating dapat berfungsi sebagai penahan difusi gas oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi tapioka memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap semua parameter kecuali total asam dan nilai organoleptik (rasa dan tekstur). Konsentrasi sorbitol memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap semua parameter. Interaksi kedua faktor memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap susut bobot dan total padatan terlarut. Konsentrasi tapioka 4 % w/v dan konsentrasi sorbitol 5 % w/v menghasilkan edible coating yang lebih baik untuk penyimpanan buah melon.

), difusi uap air serta komponen aroma. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan konsentrasi tapioka dan konsentrasi sorbitol sebagai zat pemlastis yang terbaik dalam pembuatan edible coating pada penyimpanan buah melon.. Penelitian ini menggunakan metode rancangan acak lengkap dengan dua faktor, yaitu konsentrasi tapioka (P) : (4, 5, 6 dan 7 % w/v) dan konsentrasi sorbitol (S) : (5, 6, 7 dan 8 % w/v). Parameter yang dianalisa adalah kadar vitamin C, susut bobot, total asam, total padatan terlarut dan nilai organoleptik (rasa dan tekstur).

Kata kunci : melon, edible coating, tapioka, sorbitol.

ABSTRACT

LUTHFI HADI CHANDRA : The Influence of Tapioca Concentration and Sorbitol as Platicizer in the Making of Edible Coating for Melon Storage. Under the supervision of SENTOSA GINTING and LASMA NORA LIMBONG.

Coating a fruit with edible coating is used to delay the quality decrease because edible coating can be used as a barrier, for the diffusion of oxygen, carbondioxside and water vapor as well as vapor and flavor component. The aim of this research was to find the best tapioca concentration and sorbitol concentration as the plasticizer in the making of edible coating for melon storage. The research had been performed using factorial completely randomized design with two factors, i.e.: tapioca concentration (P) : 4, 5, 6 and 7 % w/v) and sorbitol concentration (S) : (5, 6, 7 and 8 % w/v). Parameter analyzed were vitamin C content, weight lost, total acid, total soluble solid and organoleptic values (taste and texture).

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pelapisan buah dengan edible coating merupakan salah satu teknik yang

digunakan untuk memperlambat penurunan mutu, karena edible coating dapat

berfungsi sebagai penahan (barrier) difusi gas oksigen (O2), karbondioksida

(CO2

Komponen penyusun edible film mempengaruhi secara langsung bentuk

morfologi maupun karakteristik pengemas yang dihasilkan. Bahan-bahan

tambahan yang sering dijumpai dalam pembuatan edible film adalah antimikrobia,

antioksidan, flavour, pemlastis dan pewarna. Komponen pemlastis merupakan

bahan yang meningkatkan fleksibilitas dan ekstensibilitas film, menghindari film

dari keretakan, meningkatkan permeabilitas terhadap gas, uap air dan zat terlarut,

dan meningkatkan elastisitas film. Beberapa jenis plasticizer yang dapat

digunakan dalam pembuatan edible film adalah gliserol, lilin lebah, polivinil

alkohol dan sorbitol. Sedangkan komponen utama penyusun edible film

dikelompokkan menjadi tiga, yaitu hidrokoloid, lipida dan komposit. ) dan uap air serta komponen flavour.

Hidrokoloid yang cocok digunakan dalam edible coating diantaranya

adalah bersumber dari protein, derivat sellulosa, alginat, pektin, pati dan

polisakaridanya. Dalam hal ini tapioka mengandung pati yang baik digunakan

sebagai edible coating. Tapioka memiliki pati yang baik karena memiliki warna

yanng tidak coklat kehitaman. Pati merupakan bagian dari karbohidrat jenis

(16)

tekstur ini sulit dicerna tubuh namun memiliki serat-serat yang dapat

menstimulasi enzim-enzim pencernaan.

Kandungan serat dapat bersumber dari buah-buahan. Selain serat, di dalam

buah-buahan terkandung juga sumber nutrisi yang sangat diperlukan oleh tubuh

contohnya vitamin dan mineral. Banyak masalah kesehatan yang mungkin timbul

akibat kurang mengkonsumsi buahan. Oleh karena itu mengkonsumsi

buah-buahan adalah mutlak bagi tubuh dan kesehatan.

Dalam bentuk segar, tidak semua bagian dari buah itu yang dapat

dimakan. Sebagian besar buah-buahan mempunyai pelindung alami yang

melindungi bagian dalam buah-buahan itu sendiri, biasanya pelindung itu untuk

melindungi biji buah yang merupakan bakal tumbuhan yang baru, pelindung

biasanya disebut kulit. Pada sebagaian besar buah-buahan, kulitnya tidak dapat

dimakan dan terpaksa dibuang dan dipisahkan dari bagain yang dapat dimakan.

Misalnya kulit melon, pepaya dan durian.

Untuk dapat mengkonsumsi buah melon dalam bentuk segar, maka

terlebih dahulu dilakukan pengupasan kulit, memotong menjadi bagian-bagian

yang lebih kecil, kemudian biji yang berada di dalam buah itu dibuang. Mungkin

bagi orang yang mempunyai waktu yang cukup luang, mereka dapat melakukan

hal tersebut di atas sendirian, akan tetapi untuk sebagian masyarakat yang

mempunyai jadwal kegiatan yang padat, kegiatan yang dilakukan di atas akan

terasa menyita waktu dan dapat menikmati buah melon tersebut.

Kelemahan yang ditemui pada melon adalah singkatnya masa simpan yang

dimiliki. Kesegaran buah melon yang dapat dipertahankan apabila buah tersebut

(17)

Perubahan yang terjadi antara lain perubahan kadar air yang menyebabkan melon

akan terlihat keriput dan penampilannya menjadi kurang menarik, perubahan

kandungan gula dan juga perubahan kadar vitamin C.

Untuk mengatasi kerusakan diatas, maka dilakukan pengemasan sebagai

usaha untuk memperpanjang masa simpan buah tersebut. Sebelum menentukan

pilihan jenis dan cara pengemasan yang akan dilakukan maka perlu diketahui

persyaratan kemasan yang dibutuhkan yaitu penampilan, perlindungan, fungsi,

harga serta biaya penanganan limbah kemasan.

Oleh karena itu, penggunaan edible coating dapat dimanfaatkan sebagai

bahan pengemas dengan memperhatikan sifat fisik dan kimia. Sifat fisik dari

edible coating adalah permeabilitas terhadap uap air yang relatif kecil.

Penanganan produk buah dengan edible coating (bahan yang dapat dimakan)

merupakan salah satu alternatif yang aman bagi kesehatan konsumen serta ramah

lingkungan. Selain mampu menurunkan kecepatan respirasi, edible coating juga

dapat ditambah senyawa antioksidan yang dapat mencegah pencoklatan enzimatis

buah. Dalam rangka meningkatkan pemanfaatan edible coating dalam

penyimpanan buah melon, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang

“Pengaruh Konsentrasi Tapioka dan Sorbitol sebagai Zat Pemlastis dalam Pembuatan Edible Coating pada Penyimpanan Buah Melon”.

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi tapioka dan sorbitol sebagai zat

(18)

Kegunaan Penelitian

Sebagai sumber informasi tentang pengaruh edible coating pada

penyimpanan buah melon dan sebagai sumber data dalam penyusunan skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Teknologi Pertanian di

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Hipotesis Penelitian

Ada pengaruh konsentrasi tapioka dan sorbitol yang paling tepat untuk

menghasilkan edible coating yang tepat pada penyimpanan buah serta ada

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Edible Film

Edible film merupakan nama ilmiah bagi kemasan yang bisa dimakan. Saat

ini gencar dikembangkan bersamaan dengan kemasan yang gampang tururai atau

yang diberi nama biodegradable film. Edible film sudah sudah pasti tergolong

biodegradable film, namun tidak sebaliknya. Batasan makna kemasan bisa

dimakan bergantung pada proses peracikan, proses pengemasan dan segala

modifikasi perlakuan yang terkait. Jika bahan baku dan bahan racikannya adalah

bahan yang bisa dimakan dan hanya perubahan struktur bahan baku yang terjadi

selama proses pemasakan, perubahan pH atau modifikasi enzimatis, maka

kemasan tersebut digolongkan kemasan bisa dimakan (Bardant dan Dewi, 2007).

Pelapis edibel adalah lapisan tipis dan kontinu yang dibuat dari bahan

yang dapat dimakan, dibentuk di atas komponen makanan yang berfungsi sebagai

penghambat terhadap transfer massa (misalnya kelembapan, oksigen, lipid dan zat

terlarut), sebagai carrier bahan makanan (aditif) dan untuk meningkatkan

penanganan makanan (Krocha, 1994).

Beberapa makanan kadang-kadang dibungkus atau dilapisi dengan suatu

lapisan film yang dapat dimakan yang disebut edible film, misalnya permen dan

sosis. Lapisan film ini dapat melindungi makanan terhadap penguapan atau reaksi

dengan makanan lainnya. Beberapa bahan pelapis tersebut, misalnya gelatin dan

gum arab dapat dilapiskan pada makanan (Winarno, et al, 1980).

Prinsip pembentukan edible film adalah interaksi rantai polimer

(20)

secara spesifik dilakukan untuk mencari pengganti plastik pembungkus bumbu

kering, yang akan menjadi sampah. Dengan plastik biodegradable, bungkus ini

dapat langsung dimasak dan tidak menjadi sampah (Pikiran Rakyat, 2009).

Kondisi penyimpanan buah-buahan segar telah dikenal dengan teknologi

baru, misalnya penyimpanan buah apel di dalam kemasan film edibel yang

fleksibel. Dengan teknik ini buah-buahan dapat disimpan dalam kondisi yang

lebih baik untuk jangka waktu yang lebih lama. Kemasan film yang digunakan

mempunyai kecepatan transimisi uap air yang rendah, pertukaran oksigen yang

baik dan pertukaran karbondioksida yang rendah terhadap udara di dalam ruang

penyimpanan. Kecepatan respirasi yang terjadi di dalam kemasan film menjadi

berkurang yang menyebabkan kehilangan air menjadi sedikit (Desrosier, 1988).

Film-film tertentu

Komponen pelapis edibel dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu

hidrokoloid, lipid dan komponen campurannya. Hidrokoloid yang cocok

diantaranya adalah protein, derivat sellulosa, alginat, pektin, pati dan

polisakaridanya. Lipid yang cocok adalah lilin, asilgliserol dan asam lemak.

Pelapis campuran dapat berbentuk bilayer, dimana lapisan yang satu hidrokoloid

bercampur dalam lapisan hidrofobik (Paramawati, 2001).

pada suhu rendah akan memiliki sifat permeabilitas

yang baik untuk hasil-hasil pertanian. Berdasarkan pengalaman diketahui bahwa

pada musim lain dengan buah yang berbeda, edible film mungkin tidak dapat

mempertahankan atmosfer yang menguntungkan. Penggunaan kemasan film yang

ditutup rapat pada suhu rendah akan memperlihatkan adanya variasi kegiatan

(21)

Pelapisan atau coating tidak hanya melapisi metal dari korosi, tetapi juga

mencegah kontak antara makanan dengan logam yang dapat menghasilkan warna

atau cita rasa yang tidak diinginkan. Sebagai contoh misalnya warna hitam yang

dihasilkan dari reaksi antara besi atau timah dengan sulfida pada makanan yang

berasam rendah atau pemucatan pigmen merah pada sayuran atau buah-buahan

misalnya bit atau anggur karena reaksi dengan baja, timah dan aluminium. Bahan

yang digunakan sebagai pelapis adalah oleoresin, zat penolik, polibutadiena, epon,

vinil dan malam (honey wax). Yang paling banyak digunakan adalah oleoresin

dan hampir semua pelapis dibuat dari pelapis buatan (sintetik)

(Winarno, et al, 1980).

Kelebihan edible film yang dibuat dari hidrokolid diantaranya memiliki

kemampuan yang baik untuk melindungi produk terhadap oksigen,

karbondiokasida dan lipid serta memiliki sifat mekanis yang diinginkan dan dapat

meningkatkan kesatuan struktural produk (Syamsir, 2008).

Pelapis yang dibuat dari hidrokoloid mempunyai beberapa kekurangannya

yaitu bungkus dari karbohidrat kurang bagus digunakan untuk mengatur migrasi

uap air dan bungkus protein biasanya sangat dipengaruhi oleh perubahan pH.

Pelapis edibel dari lipid mempunyai kelebihan yaitu baik digunakan untuk

melindungi produk konfeksioneri. Sedangkan kekurangannya yaitu kegunaannya

dalam bentuk murni sebagai pelapis terbatas, karena cukup banyak kekurangan

integritas dan ketahanannya (Paramawati, 2001).

Berbagai film yang mempunyai sifat larut air sangat cocok untuk jenis

makanan yang praktis atau dikenal dengan convenience foods. Sebagai contoh

(22)

serta kolagen. Amilosa film yan dibuat dari pati jagung yang banyak dimakan

banyak digunakan sebgai pembungkus permen. Kemasan yang dapat dimakan ini

dikenal dengan nama ediplex (Syarief dan Irawati, 1988).

Edible film diaplikasikan pada makanan dengan cara pembungkusan,

pencelupan, penyikatan dan penyemprotan. Bahan hidrokoloid dan lemak maupun

campuran keduanya dapat digunakan untuk membuat edible film. Hidrokoloid

yang dapat digunakan untuk membuat edible film adalah protein (gelatin, kasein,

protein kedelai, protein jagung dan glutein gandum) serta karbohidrat (pati,

alginat, pektin,, gum arab dan modifikasi lainnya), sedangkan lipid yang

digunakan adalah lilin, gliserol dan asam lemak (Syamsir, 2008).

Aplikasi dari pelapis edibel dapat dilakukan dengan pencelupan dan

penyemprotan untuk melapisi buah-buahan dan sayuran. Penelitian tentang

penggunaan pelapis edibel ini sudah dilakukan pada buah apel dan buah pir. Hasil

penelitian tersebut adalah diperoleh bahwa pelapis dari bahan carboxymethyl

cellulose ini dapat memperlambat perubahan warna dan menahan asam pada buah

(Krocha, et al, 1992).

Aplikasi dari edible film atau edible coating dapat dikelompokkan atas :

1. Sebagai kemasan primer dari produk pangan.

Contoh dari penggunaan edible film sebagai kemasan primer adalah pada

permen, sayur-sayuran dan buah-buahan segar, sosis, daging dan produk hasil

laut.

2. Sebagai barrier.

Penggunaan edible film sebagai barrier dapat dilihat dari contoh-contoh

(23)

Gellan gum yang direaksikan dengan garam mono atau bivalen yang

membentuk film, diperdagangkan dengan nama dagang Kelcoge merupakan

barrier yang baik untuk absorbsi minyak pada bahan pangan yang digoreng,

sehingga menghasilkan bahan dengan kandungan minyak yang rendah. Di Jepang

bahan ini digunakan untuk menggoreng tempura.

Edible coating yang terbuat dari zein (protein jagung) dengan nama

dagang Z`coat TM (Cozean) dari Zumbro Inc., Hayfielf, MN terdiri dari zein,

minyak sayuran, BHA, BHT dan eti lakohol, digunakan untuk produk-produk

konfiksionari seperti permen dan cokelat.

Fry Shield yang dipatenkan oleh Kerry Ingradient, Beloit, WI dan

Hercules, Wilmington, DE, terdiri dari pektin, remah-remahan roti dan kalsium,

digunakan untuk mengurangi lemak pada saat penggorengan, seperti pada

penggorengan french fries.

Film Zein dapat bersifat sebagai barrier untuk uap air dan gas pada

kacang-kacangan atau buah-buahan, diaplikasikan pada kismis untuk sereal dan

sarapan siap santap (ready to eat-breakfast cereal).

3. Sebagai pengikat (Binding).

Edible film juga dapat diaplikasikan pada snack atau crackers yang diberi

bumbu yaitu sebagai pengikat atau adesif dari bumbu yang diberikan agar dapat

lebih merekat pada produk. Pelapisan ini bergunak untuk mengurangi lemak pada

bahan yang dengan penambahan bumbu.

4. Sebagai Pelapis (Glaze).

Edible film dapat bersifat pelapis untuk meningkatkan penampilan dari

(24)

Keuntungan dari palapisan ini adalah dapat menghindari masuknya mikroba yang

dapat terjadi jika dilapisi dengan telur

(Julianti dan Nurminah, 2007).

Zat Pemlastis

Komponen penyusun edible film mempengaruhi secara langsung bentuk

morfologi maupun karakteristik pengemas yang dihasilkan. Komponen utama

penyusun edible film dikelompokkan menjadi tiga, yaitu hidrokoloid, lipida dan

komposit. Bahan-bahan tambahan yang sering dijumpai dalam pembuatan edible

film adalah antimikrobia, antioksidan, flavour dan pewarna. Komponen yang

meningkatkan fleksibilitas dan ekstensibilitas film, menghindari film dari

keretakan, meningkatkan permeabilitas terhadap gas, uap air dan zat terlarut, dan

meningkatkan elastisitas film. Beberapa jenis plasticizer yang dapat digunakan

dalam pembuatan edible film adalah gliserol, lilin lebah, polivinil alkohol dan

sorbitol (Julianti dan Nurminah, 2007).

Plasticizer didefinisikan sebagai bahan non volatil, bertitik didih tinggi

jika ditambahkan pada material lain sehingga dapat merubah sifat material

tersebut. Penambahan plasticizer dapat menurunkan kekuatan intermolekuler dan

meningkatkan fleksibilitas film dan menurunkan sifat barrier film. Gliserol dan

sorbitol merupakan plasticizer yang efektif karena memiliki kemampuan untuk

mengurangi ikatan hidrogen internal pada ikatan intermolekuler, plasticizer

ditambahkan pada pembuatan edible film untuk mengurangi kerapuhan,

meningkatkan fleksibilitas dan ketahanan film terutama jika disimpan pada suhu

(25)

Plasticizer adalah bahan organik dengan berat molekul rendah yang

ditambahkan dengan maksud untuk memperlemah kekakuan dari polimer,

sekaligus meningkatkan flesibilitas dan sekstensibilitas polimer. Plasticizer larut

dalam tiap-tiap rantai polimer sehingga akan mempermudah gerakan molekul

polimer dan bekerja menurunkan suhu transisi gelas (Tg), suhu kristalisasi atau

suhu pelelehan dari polimer. Pada daerah diatas Tg, bahan polimer menunjukkan

sifat fisik dalam keadaan lunak (soft) seperti karet, sebaliknya dibawah Tg

polimer dalam keadaan sangat stabil seperti gelas (Paramawati, 2001).

Rumus umum dari monosakarida sebagai CnH2nOn atau (CH2O)n

Menurut Sulaiman, (1995), aldosa juga dapat direduksi, misalnya dengan

memakai H

jika

dimulai dari n=3 maka terbentuklah deret, deret dengan gugus fungsi aldehid

disebut golongan aldosa dan deret dengan gugus fungsi keton disebut golongan

ketosa. Dari semua aldosa yang ada, yang perlu untuk diketahui adalah

gliseraldehid, eritrosa, treosa, ribosa, arabinosa, xilosa, liksosa, glukosa, manosa,

galaktosa, ribulosa, xilulosa dan fruktosa (Sulaiman, 1995).

2 atau NaBH4

Berikut reaksi pembentukan D-sorbitol ;

(Natrium borohidrida) atau dengan memakai enzim.

Dalam reaksi ini akan dihasilkan alkohol polihidroksida yang disebut dengan

alkohol gula (Sugar alkohol), misalnya D-sorbitol atau D-glusitol dari gluko sa,

manitol dari manosa dan sebagainya.

H2 NaBH4

enzim

(26)

Tapioka

Pati merupakan simpanan karbohidrat dalam tumbuh-tumbuhan dan

merupakan karbohidrat utama yang dimakan manusia di seluruh dunia. Komposisi

amilopektin dan amilosa berbeda dalam pati berbagai bahan makanan.

Amilopektin pada umumnya terdapat dalam jumlah lebih besar. Sebagian besar

pati mengandung antara 15% dan 35% amilosa. Dalam butiran pati, rantai-rantai

amilosa dan amilopektin tersusun dalam bentuk semi kristal, yang

menyebabkannya tidak larut dalam air dan memperlambat pencernaannya oleh

amilase di pankreas (Almatsier, 2004).

Pati adalah cadangan makanan utama pada tanaman. Senyawa ini

sebenarnya campuran dua polisakarida, yaitu amilosa yang terdiri dari 70 hingga

350 unit glukosa yang berikatan membentuk garis lurus dan amilopektin yang

terdiri hingga 100.000 unit glukosa yang berikatan membentuk struktur rantai

bercabang. Kira-kira 20% dari pati adalah amilosa. Pati berwarna putih, berbentuk

serbuk bukan kristal yang tidak larut dalam air dingin. Tidak seperti monosakarida

dan disakarida, pati dan polisakarida lain tidak mempunyai rasa manis. Hidrolisis

pati dapat dilakukan oleh asam atau enzim (Gaman dan Sherrington, 1992).

Pati merupakan bentuk karbohidrat yang ditimbun di dalam tanaman dan

sebagai sumber energi pada makanan. Pati terdiri dari rantai molekul-molekul

glukosa yang panjang dengan 2 jenis, yaitu amilosa dari rantai molekul glukosa

yang panjang dan lurus serta amilopektin yang terdiri dari rantai molekul glukosa

yang lebih pendek dan bercabang. Apabila pati dipanasi dengan panas basah atau

direbus, butir-butir pati tersebut akan menyerap air dan mengembang dan diniding

(27)

pencerna. Amilopektin mempunyai sifat koloidal sehingga jika dipanaskan,

campuran air dengan pati akan menjadi kental (thickening). (Purba, et al, 1984).

Pati dapat digolongkan berdasarkan sifat-sifat pasta yang dimasak. Pati

serealia (jagung, gandum, beras dan sorghum) membentuk pasta kental yang

mengandung bagian-bagian pendek dan pada pendinginan membentuk gel yang

buram. Pati akar dan umbi (kentang, ketela dan tapioka) membentuk pasta sangat

kental dan mengandung bagian-bagian panjang. Pasta ini biasanya jernih dan pada

pendinginan hanya membentuk gel lunak. (deMan, 1997).

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik.

Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C, serta

apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri dari dua fraksi yang

dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi yang

tidak terlarut dinamakan amilopektin. Amilosa memiliki struktur lurus dengan

ikatan α-(1,4)-D-glukosa sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan

ikatan α-(1,6)-D-glukosa sebanyak 4-5 dari berat total (Winarno, 1997).

Apabila pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin, granula patinya akan

menyerap air dan membengkak. Namun demikian jumlah air yang terserap dan

pembengkakannya terbatas. Air yang terserap tersebut hanya dapat mencapai

30%. Peningkatan volume granula pati yang terjadi di dalam air pada suhu antara

550C sampai 650C merupakan pembengkakan yang sesungguhnya, dan setelah

pembengkakan ini granula pati dapat kembali pada kondisi semula. Granula pati

dapat dibuat membengkak luar biasa, tetapi bersifat tidak dapat kembali lagi pada

kondisi semula. Perubahan tersebut dinamakan gelatinisasi. Suhu gelatinisasi

(28)

lambat tercapai, sampai suhu tertentu kekentalan tidak bertambah, bahkan

kadang-kadang turun (Winarno, 1997).

Pada fraksinasi diketahui kandungan amilosa pati hanya sedikit,

perbadingan amilosa : amilopektin sekitar 1 : 3. beberapa varietas genetik dari

jagung, barley dan beras tidak mempunyai amilosa tetapi hanya amilopektin.

Namun lebih banyak jenis kacang polong, jagung dan barley yang mempunyai

karakteristik genotip dengan kandungan amilosa yang tinggi (60-80%)

(Whistler, et al, 1984).

Beberapa sifat pati adalah mempunyai rasa yang tidak manis, tidak larut

dalam air dingin tetapi di dalam air panas dapat membentuk gel atau sol yang

bersifat kental. Sifat kekentalannya ini dapat digunakan untuk mengatur tekstur

makanan dan sifat gelnya dapat diubah oleh gula atau asam. Penguraian tidak

sempurna dari pati dapat menghasilkan dekstrin yaitu suatu bentuk oligosakarida

(Winarno, et al, 1980).

Meskipun suatu gel adalah sistem dispersi koloid zat cair dalam zat padat

namun tidak berarti zat cair sebagai fase dispersinya harus lebih sedikit daripada

zat padat sebagai medium dispersi. Pada kenyataannya malah dijumpai bahwa

persentase zat padat pada hampir semua gel adalah jauh lebih kecil dari pada

persentase zat cairnya. Semua gel mempunyai konsistensi padat atau hampir padat

dengan harga plastisitas yang tinggi. Dan gel pati merupakan golongan gel elastis,

reversibel yang dapat kembali membentuk sol (Sulaiman, 1995).

Tapioka yang dibuat dari ubi kayu mempunyai banyak kegunaan, antara

lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri. Dibandingkan dengan

(29)

baik sehingga mengurangi kerusakan tenun, juga digunakan sebagai bahan bantu

pewarna putih. Tapioka juga banyak digunakan sebagai bahan pengental, bahan

pengisi dan bahan pengikat dalam industri makanan seperti dalam pembuatan

puding, makanan bayi, es krim, pengolahan sosis daging dan industri farmasi

(Teknopangan dan Agroindustri, 2008).

Tapioka banyak digunakan dalam berbagai industri karena kandungan

patinya yang tinggi dan sifat patinya yang mudah membengkak dalam air panas

dengan membentuk kekentalan yang dikehendaki. Selain itu pemakaian tapioka

disukai karena memiliki larutan yang jernih, daya gel yang baik, rasa yang netral,

warna yang terang dan daya lekatnya yang sangat baik (Somaatmadja, 1984).

Bahan yang Ditambahkan

Bahan baku yang ditambahkan dalam pembuatan edible film antara lain

antimikroba, antioksidan, flavour, pewarna dan plasticizer. Bahan antimikroba

yang umumnya sering digunakan adalah asam benzoat, asam askorbat, kalium

sorbat dan asam propionat. Antioksidan diperlukan untuk melindungi dari reaksi

oksidasi, degradasi dan pemudaran. Antioksidan yang sering digunakan berupa

senyawa asam dan senyawa fenolik. Senyawa asam yang digunakan antara lain

asam sitrat dan asam sorbat. Sedangkan senyawa fenolik yang dipakai adalah

BHA, BHT, propil galat, dan tokoferol. Plasticizer yang dipakai adalah sorbitol

(Mumtaaz, 2006).

Antioksidan adalah bahan yang digunakan untuk mencegah oksidasi

lemak, misalnya digunakan pada bahan pangan yang akan digoreng, makanan dari

biji-bijian dan makanan-makanan lain yang banyak mengandung lemak dan

(30)

(BHA), butylated hidroxy-toluena (BHT), propil galat dan nondihydrogualaretic

(NDGA). Sulfur dioksida selain berfungsi sebagai pengawet juga digunakan

sebagai antioksidan (Winarno, et al, 1980).

Asam askorbat adalah antioksidan yang sekarang telah dapat dihasilkan

secara sintetik. Asam askorbat atau vitamin C ini bisa ditambahkan kedalam

daging sebagai antioksidan, tetapi tidak akan menambah nilai vitaminnya karena

asam askorbat akan rusak oleh pemanasan (Winarno, et al, 1980).

Vitamin C memegang peranan penting dalam metabolisme lemak, protein,

asam amino, besi dan tembaga serta dalam fungsi sel darah merah. Dalam bentuk

kimia aslinya, jika kering vitamin C adalah betul-betul stabil, akan tetapi jika

dalam bentuk larutan seperti halnya dengan vitamin C dalam bahan pangan, bahan

tersebut adalah yang paling tidak stabil. Vitamin C mudah rusak jika dibiarkan

terkena udara, panas, tembaga atau alkali (Suhardjo, et al, 1982).

Asam askorbat berwarna putih, membentuk kristal putih dan sangat larut

dalam air. Dalam semua vitamin, asam askorbat adalah yang paling mudah rusak.

Asam askorbat sangat larut dalam air dan oleh karena itu terlarutkan ke dalam air

masakan. Asam askorbat juga mudah teroksidasi. Oksidasinya sangat cepat

apabila kondisinya alkalis, pada suhu tinggi dan terkena sinar serta logam-

logam berkadar sangat rendah seperti seng, besi dan terutama tembaga

(Gaman dan Sherrington, 1992).

Bahan-bahan yang termasuk kedalam bahan pengental diantaranya adalah

gum, pati, dekstrin, turunan-turunan dari protein dan bahan-bahan lainnya yang

dapat menstabilkan, memekatkan atau mengentalkan makanan yang dicampur

(31)

misalnya saus selada, susu cokelat, jeli, puding dan lain-lainnya adalah makanan

yang mengandung bahan pengental misalnya gum arab, CMC (carboxymethyl

cellulose), karagenan, pektin, amilosa dan gelatin (Winarno, et al, 1980)

Karboksimetil selulosa (CMC) merupakan eter polimer linier dan berupa

senyawa anion yang bersifat biodegredable, tidak berbau, tidak berwarna, tidak

beracun, butiran atau bubuk yang larut dalam air, memiliki rentang pH sebesar

6,5-8,0 dan stabil pada rentang pH 2-10. Karboksimetil selulosa berasal dari

selulosa kayu dan kapas yang diperoleh dari reaksi antara selulosa dengan asam

monokloroasetat dengan katalis berupa senyawa alkali. Karboksimetil selulosa

juga merupakan senyawa serbaguna yang memiliki sifat penting seperti kalarutan,

reologi dan adsorpsi dipermukaan (Deviwings, 2008).

Turunan selulosa yang dikenal dengan carboxylmetyl cellulose (CMC)

sering dipakai dalam industri makanan untuk mendapatkan tekstur yang baik.

Misalnya pada pembuatan es krim. Pemakaian CMC akan memperbaiki tekstur

dan kristal laktosa yang terbentuk akan lebih halus. CMC juga sering dipakai

dalam bahan makanan untuk mencegah terjadinya retrogradasi. CMC memiliki

gugus karboksil, maka viskositasnya dipengaruhi oleh pH larutan, pH optimum

adalah 5 dan apabila pH terlalu rendah (<3) maka CMC akan mengendap

(Winarno, 1997).

Etanol adalah turunan dari etana dan tersusun dari induk hidrokarbon yang

mengandung dua atom karbon (C2H5-) dan satu gugus hidroksil (-OH). Rumus

dari etanol adalah C2H5OH. Etanol yang juga disebut etil alkohol adalah alkohol

yang terdapat dalam bir, anggur dan spiritus. Senyawa dihasilkan dengan proses

(32)

etanol dan karbondioksida. Metanol dan etanol adalah alkohol monohidrat yaitu

tiap molekul memiliki sebuah gugus hidroksil (Gaman dan Sherrington, 1992).

Tingkat polaritas aseton lebih tinggi dari etanol. Perbedaan tingkat

polaritas ini menyebabkan film zein dengan pelarut aseton lebih cepat terbentuk

daripada denga pelarut etanol. Namun hasil film dengan pelarut aseton

menunjukkan kemampuannya sebagai sekat lintas terhadap uap air lebih jelek

dibandingkan film zein dengan pelarut etanol (Paramawati, 2001).

Melon

Tanaman melon (Cucumis melo L.) termasuk famili Cucurbitaceae.

Tanaman melon berasal dari Turki dan India. Melon termasuk tanaman semusim

yang bersifat merambat. Melon memiliki akar tunggang dan akar cabang yang

menyebar pada kedalaman lapisan tanah antara 30 hingga 50 cm. Batang tanaman

biasanya mencapai ketinggian (panjang) antara 1,5 sampai 3 meter, berbentuk segi

lima, lunak, berbuku-buku sebagai tempat melekatnya tangkai daun. Helai daun

berbentuk bundar bersudut lima dan berlekuk, diameternya antara 9 sampai 15 cm

dan letak antara satu daun dengan daunnya saling berselang (Tjahjadi, 1995).

Buah melon sangat bervariasi, baik bentuk, warna kulit, warna daging

buah maupun bobotnya. Bentuk buah melon antara bulat, bulat oval sampai

lonjong atau selindris. Warna kulit buah antara, putih krem, hijau krem, hijau

kekuning-kuningan, hijau muda, kuning, kuning muda, hingga kombinasi dari

warna lainnya. Bahkan ada yang bergaris-garis, totol-totol, dan juga struktur kulit

(33)

Berdasarkan Prajnanta, (2003) secara lengkap dilihat dari segi taksonomi

tumbuhan, tanaman melon diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Platae

Divisio : Spematophyta

Sub-divisio : Angiospremae

Kelas : Dikotil

Sub-kelas : Sympetalae

Ordo : Cucurbitales

Famili : Cucurbitaceae

Genus : Cucumis

Spesies : Cucumis melo L.

Adapun kandungan gizi buah melon/ 100 g bahan yang dapat dimakan

dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini :

Tabel 1. Komposisi kimia buah melon/ 100 g bahan

Komposisi Jumlah

Energi (kal) 21,0

Sumber : Wirakusumah, (2000).

Total gula pada buah-buahan selalu meningkat karena terjadinya degradasi

dari karbohidrat dan menurun pada hari tertentu karena gula digunakan untuk

proses respirasi akan diubah menjadi senyawa lainnya. Total gula tersebut

selanjutnya digunakan untuk melakukan aktivitas seluruh sisa hidup dari buah

(34)

Pola penimbunan gula pada sebangsa semangka sangat penting untuk

menegakkan peraturan pemasaran. Gula total pada PMR 45 dan honneydew boleh

dikatakan tetap (4 sampai 6%) sampai 4 minggu setelah mekarnya bunga

kemudian meningkat cepat sampai 1% setelah 1 minggu. Bertambahnya jumlah

gula dengan cepat terutama disebabkan adanya peningkatan sintesis sukrosa.

Jumlah glukosa dan frukstosa berkurang dengan bertambahnya sukrosa

(Pantastico, 1997).

Menurut Samadi, (1995) vitamin dan mineral yang terkandung dalam buah

melon sangat baik untuk kesehatan tubuh manusia. Kandungan protein dan

karbohidrat yang terkandung dalam buah melon sangat penting bagi tubuh

manusia untuk pembentukan jaringan sel.

Sumber vitamin C sebagian besar berasal dari sayuran dan buah-buahan.

Buah yang masih mentah lebih banyak kandungan vitamin C-nya, makin tua buah

makin berkurang kandungannya (Winarno, 1997).

Kandungan vitamin C pada melon akan mencegah terjadinya sariawan dan

meningkatkan ketahanan tubuh terhadap penyakit. Buah melon mengandung

banyak zat gizi yang cukup beragam sehingga tidak mengherankan apabila melon

merupakan sumber gizi yang sangat baik (Prajnanta, 2003).

Buah melon bersifat cepat matang dan mudah masak, sehingga teknik

penyimpanan yang baik adalah diruang dingin, baik berupa cold storage maupun

lemari pendingin. Suhu pada ruang dingin biasanya mendekati ± 00

Salah satu faktor penyebab kerusakan bahan pangan adalah suhu, hal ini

dikarenakan suhu dapat mempengaruhi kelayuan dan laju kehilangan air, laju C, sehingga

(35)

respirasi dan kecepatan reaksi biokimia serta laju pertumbuhan mikroba

(Budaraga, 1998).

Penyimpanan pada suhu rendah atau penyimpanan dingin (chilling

storage) pada umumnya menggunakan suhu dibawah 15 0

Menurut Pantastico, (1997) agar keawetan dari buah yang disimpan pada

suhu dingin maksimum, maka perlu diusahakan agar respirasi aerobik

berlangsung pada laju yang rendah, sehingga proses yang berhubungan dengan

pemeliharaan kehidupan sel dapat tetap utuh. Demikian juga suhu rendah yang

cocok diusahakan tetap terjaga, sehingga reaksi-reaksi penyebab kerusakan dapat

dihambat.

C dan diatas titik beku.

Pada suhu tersebut penurunan mutu buah-buahan akan dapat dihambat, karena

terhambatnya laju respirasi, laju kehilangan air bahan dan reaksi biokimia serta

(36)

BAHAN DAN METODE

Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah melon yang

diperoleh dari Deli Tua dan ubi kayu yang diperoleh dari Pasar Sore, Padang

Bulan, Medan. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah sorbitol, CMC

(carboxylmetyl cellulose), asam askorbat, etanol 98 % dan akuades.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2009 di Laboratorium

Mikrobiologi Departemen Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas

Sumatera Utara, Medan.

Bahan Kimia

Adapun bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah

NaOH 0,1 N, Pati 1 %, Indikator phenolpthalein 1 %, Iodine 0,01 % dan Natrium

metabisulfit 0,3 %

Alat Penelitian

Adapun alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Beaker

glass, Oven, Loyang, Erlemeyer , Styrofoam, Penjepit, Gelas ukur, Sendok,

Piring, Kertas saring, Ayakan 100 mesh, Corong, Pipet Tetes, Handrefraktometer,

Pipet skala, Desikator, Oven, Mortal, Alu, Talenan, Timbangan, Panci stainless

steel, Kain saring, Plastik Poliethylen, Pisau stainless steel, Aluminium foil dan

(37)

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL)

faktorial yang terdiri dari 2 faktor, yaitu :

Faktor I : Konsentrasi Tapioka (P) (bk)

P1

Faktor II : Konsentrasi Sorbitol (S) (bk) = 7 % w/v

Banyaknya kombinasi perlakuan (Tc) adalah 4 x 4 = 16, maka jumlah ulangan

(38)

Model Rancangan

Penelitian ini dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial

dengan model :

: Hasil pengamatan dari faktor P pada taraf ke-i dan faktor S pada taraf ke-j

dengan ulangan ke-k

: Efek interaksi faktor P pada taraf ke-i dan faktor S pada taraf ke-j

ijk

Apabila diperoleh hasil yang berbeda nyata atau sangat nyata maka

dilanjutkan dengan uji LSR (Least Significant Range).

: Efek galat dari faktor P pada taraf ke-i dan faktor S pada taraf ke-j dalam

ulangan ke-k

Pelaksanaan Penelitian Ekstraksi tapioka

Umbi ubi kayu segar dikupas, dicuci sampai bersih kemudian direndam

dalam larutan natrium metabisulfit 0,3 % selama 1 jam. Diparut hingga menjadi

bubur kasar. Kemudian ditambah air (untuk mengekstrak patinya) dengan

perbandingan 1 : 1 lalu diaduk-aduk. Selanjutnya disaring dengan kain saring dan

hasilnya disebut filtrat I. Ampas yang diperoleh ditambah air dengan

perbandingan yang sama dengan perbandingan sebelumnya dan disaring kembali

(39)

Penyaringan dilakukan berulang-ulang sampai hasil saringannya tampak

jernih. Hasil saringan (filtrat I dan filtrat II) kemudian diendapkan kurang lebih 3

jam. Air yang sudah bening dibuang dan endapan patinya diambil dan dikeringkan

dalam oven pada suhu 40o

Pembuatan edible coating

C selama 48 jam. Endapan yang telah kering diblender

dan diayak dengan ayakan 100 mesh. Pati yang telah dihasilkan disimpan dalam

wadah tertutup.

Ekstraksi pati sesuai perlakuan dilarutkan dalam 35 ml etanol 98 % dan

100 ml akuades. Setelah itu ditambah 2,5 gram CMC dan zat pemlastis sesuai

perlakuan, yaitu sorbitol. Diaduk sampai semuanya tercampur. Setelah itu

dipanaskan sampai suhu 80OC sambil diaduk selama 15 menit, kemudian

didinginkan sampai suhu 30O

Pencelupan buah melon pada edible coating

C dan ditambah antioksidan asam askorbat sebanyak

1,3 gram.

Disiapkan buah melon yang masih segar, kemudian buah dipisahkan dari

kulit dengan cara dikupas dan dipotong membentuk kubus. Buah yang telah

dipotong kemudian dicuci menggunakan air yang telah dimasak sebelumnya, lalu

diangkat dan ditiriskan. Kemudian dicelupkan ke dalam larutan edible coating

tersebut hingga merata. Kemudian dimasukkan dalam styrofoam dan ditutup

dengan poliethylen. Lalu disimpan dalam refrigerator selama kurang lebih 1

(40)

Pengamatan dan Pengukuran Data

Pengamatan dan pengukuran data dilakukan dengan cara analisis terhadap

parameter :

1. Penentuan kadar vitamin C

2. Penentuan susut bobot

3. Penentuan total asam

4. Penentuan total padatan terlarut

5. Organoleptik rasa dan tekstur

Penentuan kadar vitamin C (Sudarmadji, dkk., 1984)

Kandungan vitamin C ditentukan dengan cara titrasi yaitu diambil

sebanyak 10 g contoh yang telah dihaluskan, dimasukkan ke dalam beaker glass

ukuran 100 ml dan ditambahkan aquadest hingga 50 ml kemudian diaduk hingga

merata dan disaring dengan kertas saring. Filtrat diambil sebanyak 10 ml dengan

menggunakan gelas ukur kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan

ditambahkan 2-3 tetes larutan pati 1% lalu dititrasi dengan menggunakan larutan

iodine 0,01 N hingga terjadi perubahan warna biru sambil dicatat berapa ml iodine

yang terpakai.

Kadar vitamin C dapat dihitung dengan menggunakan rumus yaitu :

ml iodine 0,01 N x 0,88 x FP x 100 Kadar vitamin C (mg/ 100 g bahan) =

Berat contoh (g)

(41)

Penentuan susut bobot

Pengukuran susut bobot dapat dilakukan dengan cara menimbang bahan

sebelum penyimpanan dan sesudah penyimpanan. Kemudian dilakukan

perhitungan sebagai berikut :

X – Y % Susut Bobot = x 100 %

X

Dimana :

X = Berat bahan sebelum penyimpanan

Y = Berat bahan setelah penyimpanan

Penentuan total asam (Ranganna, 1978)

Ditimbang contoh sebanyak 10 g yang telah dihaluskan, dimasukkan ke

dalam beaker glass dan ditambahi aquadest sampai volume 100 ml. Diaduk

hingga merata dan disaring dengan kain saring. Diambil filtratnya sebanyak 10 ml

dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu ditambahkan indikator phenolpthalein

1% sebanyak 2-3 tetes kemudian dititrasi dengan menggunakan NaOH 0,1 N.

Titrasi dihentikan setelah timbul warna merah jambu yang stabil.

Total asam dapat dihitung dengan menggunakan rumus yaitu :

ml NaOH x N NaOH x BM Asam Dominan x FP

Total Asam = x 100 %

Berat Contoh x 1000 x Valensi

Dimana :

FP = Faktor Pengencer (10)

Asam Dominan = Asam Tartarat (C4H6O6

BM = 150 g/ Mr

)

(42)

Penentuan total padatan terlarut (AOAC, 1970)

Buah melon dihaluskan terlebih dahulu. Diambil setetes larutan dan

diletakkan pada lensa hand-refraktometer. Lalu dilihat batas terang dan gelap.

Angka yang tertera pada batas tersebut merupakan nilai total padatan terlarut.

o

dimana FP = Faktor Pengencer (10) Brix = Nilai yang tertera x FP

Organoleptik rasa dan tekstur (Soekarto, 1985)

Uji organoleptik digunakan dengan menggunakan panelis sebanyak 10

orang. Pengujian dilakukan secara inderawi (organoleptik) yang ditentukan

berdasarkan skala numerik. Untuk skala uji hedonik rasa adalah sebagai berikut :

Tabel 2. Skala uji hedonik (Rasa)

Skala hedonik Skala numerik

Sangat suka 4

Suka 3

Agak suka 2

Tidak suka 1

Untuk skala uji hedonik tekstur adalah sebagai berikut :

Tabel 3. Skala uji hedonik (Tekstur)

Skala hedonik Skala numerik

Sangat lembut 4

Lembut 3

Agak keras 2

(43)

Ubi kayu segar

Pengupasan

Pencucian

Perendaman dalam larutan natrium metabisulfit 0,3 % selama 1 jam

Pemarutan

Bubur kasar

Penambahan air dengan perbandingan 1 : 1 sambil diaduk

Penyaringan

Filtrat I

Penyaringan

Filtrat II Ampas

Penyaringan sampai jernih

Pengendapan lebih kurang 3 jam

Pengeringan 40 oC, 48 jam

Penambahan air 1 : 1

Penghalusan

Pengayakan 100 mesh

Tapioka

(44)

Konsentrasi Tapioka:

P1 = 4 % w/v

P2 = 5 % w/v

P3 = 6 % w/v

P4 = 7 % w/v

Tapioka + 35 ml etanol 98 % + 100 ml akuades

Konsentrasi sorbitol :

S1 = 5 % w/v

S2 = 6 % w/v

S3 = 7 % w/v

S4 = 8 % w/v

Penambahan 2,5 gram CMC

Penambahan sorbitol

Pemanasan 80oC selama 15 menit sambil diaduk

Pendinginan hingga 30oC

Penambahan 1,3 gram asam askorbat

Edible coating

(45)

Analisa :

- Penentuan kadar vitamin C - Penentuan susut bobot - Penentuan total asam - Penentuan total padatan

terlarut

- Organoleptik rasa dan tekstur

Penyimpanan Melon

Dipotong berbentuk kubus Dikupas

Dicuci dengan air masak

Ditiriskan

Pencelupan buah

(46)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi tapioka dan konsentrasi

sorbitol memberikan pengaruh terhadap parameter yang diamati. Pengaruh

konsentrasi tapioka dan sorbitol terhadap parameter yang diamati dapat dijelaskan

di bawah ini.

Pengaruh Konsentrasi Tapioka terhadap Parameter yang Diamati

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi tapioka memberikan

pengaruh terhadap kadar vitamin C, susut bobot, total asam, total padatan terlarut

dan organoleptik warna dan tekstur dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh konsentrasi tapioka terhadap parameter yang diamati

Konsentrasi

Dari Tabel dapat dilihat bahwa konsentrasi tapioka memberikan pengaruh

terhadap parameter yang diuji. Kadar vitamin C tertinggi terdapat pada perlakuan

konsentrasi tapioka 4 % w/v (P1) yaitu sebesar 24,750 mg/ 100 g bahan

dan terendah terdapat pada perlakuan konsentrasi tapioka 7 % w/v (P4) yaitu

sebesar 18,700 mg/ 100 g bahan. Susut bobot tertinggi terdapat pada perlakuan

konsentrasi tapioka 7 % w/v (P4) yaitu sebesar 22,195 % dan terendah terdapat

pada perlakuan konsentrasi tapioka 4 % w/v (P1) yaitu sebesar 20,085 %.

(47)

% w/v (P1) yaitu sebesar 0,244 %. Total padatan terlarut tertinggi terdapat pada

perlakuan konsentrasi tapioka 7 % w/v (P4) yaitu sebesar 8,875 0Brix dan

terendah terdapat pada perlakuan konsentrasi tapioka 4 % w/v (P1) yaitu sebesar

6,500 0Brix. Nilai organoleptik rasa dan tekstur tertinggi terdapat pada perlakuan

konsentrasi tapioka 4 % w/v (P1) yaitu sebesar 2,925 dan terendah terdapat pada

perlakuan konsentrasi tapioka 7 % w/v (P4) yaitu sebesar 2,650.

Pengaruh Konsentrasi Sorbitol terhadap Parameter yang Diamati

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi sorbitol memberikan

pengaruh terhadap kadar vitamin C, susut bobot, total asam, total padatan terlarut

dan organoleptik warna dan tekstur dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Pengaruh konsentrasi sorbitol tehadap parameter yang diamati

Konsentrasi

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa konsentrasi sorbitol memberikan

pengaruh terhadap parameter yang diuji. Kadar vitamin C tertinggi terdapat pada

perlakuan konsentrasi sorbitol 5 % w/v (S1) yaitu sebesar 26,938 mg/ 100 g bahan

dan terendah terdapat pada perlakuan konsentrasi sorbitol 8 % w/v (S4) yaitu

sebesar 16,500 mg/ 100 g bahan. Susut bobot tertinggi terdapat pada

perlakuan konsentrasi sorbitol 8 % w/v (S4) yaitu sebesar 25,211 % dan terendah

terdapat pada perlakuan konsentrasi sorbitol 5 % w/v (S1) yaitu sebesar 18,478 %.

Total asam tertinggi terdapat pada perlakuan konsentrasi sorbitol 5 % w/v (S1)

(48)

8 % w/v (S4) yaitu sebesar 0,216 %. Total padatan terlarut tertinggi terdapat pada

perlakuan konsentrasi sorbitol 5 % w/v (S1) yaitu sebesar 8,875 0Brix

dan terendah terdapat pada perlakuan konsentrasi sorbitol 8 % w/v (S4) yaitu

sebesar 7,000 0Brix. Nilai organoleptik rasa dan tekstur tertinggi terdapat pada

perlakuan konsentrasi sorbitol 5 % w/v (S1) yaitu sebesar 3,100 dan terendah

terdapat pada perlakuan konsentrasi sorbitol 8 % w/v (S4) yaitu sebesar 2,425.

Kadar Vitamin C

Pengaruh konsentrasi tapioka terhadap kadar vitamin C

Dari daftar analisis sidik ragam (Lampiran 1) dapat dilihat bahwa konsentrasi tapioka memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01)

terhadap kadar vitamin C. Hasil uji LSR pengaruh konsentrasi tapioka terhadap

kadar vitamin C dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Uji LSR efek utama pengaruh konsentrasi tapioka terhadap kadar vitamin C (mg/ 100 g)

Jarak LSR Konsentrasi Rataan Notasi

0,05 0,01 tapioka 0,05 0,01

- - - P1 = 4 % w/v 24,750 a A

2 2,327 3,203 P2 = 5 % w/v 24,738 a A

3 2,443 3,366 P3 = 6 % w/v 19,800 b B

4 2,505 3,452 P4 = 7 % w/v 18,700 b B

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%.

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa perlakuan P1 berbeda tidak nyata dengan

perlakuan P2, namun berbeda sangat nyata dengan perlakuan P3 dan P4. Perlakuan

P2 berbeda sangat nyata dengan perlakuan P3 dan P4. Perlakuan P3 berbeda tidak

(49)

Kadar vitamin C tertinggi terdapat pada perlakuan konsentrasi tapioka 4 %

w/v (P1) yaitu sebesar 24,750 mg/ 100 g bahan dan yang terendah terdapat pada

perlakuan konsentrasi tapioka 7 % w/v (P4

Makin tinggi konsentrasi tapioka yang digunakan maka kadar vitamin C

dari bahan makin menurun dan tidak dapat dipertahankan. Penurunan ini

mengikuti garis regresi linier yang terlihat pada Gambar 5. Pantastico, (1997)

menyatakan bahwa apabila konsentrasi CO

) yaitu sebesar 18,700 mg/ 100 g bahan.

2

Pernyataan ini memperkuat dugaan bahwa makin tebalnya konsentrasi

tapioka yang digunakan, maka bahan akan mengalami proses respirasi anaerob

karena CO

yang dimiliki suatu bahan kemasan

tinggi, hal ini dapat mengakibatkan matinya sel-sel buah akibat terhambatnya

aktivitas enzim pada proses respirasi dan pembentukan asam organik.

2

Konsent rasi t apioka (% w/v)

K

yang dihasilkan dari proses respirasi menjadi terhambat

pengeluarannya akibat makin tebalnya lapisan film. Hal inilah yang membuat

kadar vitamin C bahan menjadi menurun. Hubungan antara konsentrasi tapioka

terhadap kadar vitamin C dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Grafik pengaruh konsentrasi tapioka terhadap kadar vitamin C

(50)

Pengaruh konsentrasi sorbitol terhadap kadar vitamin C

Dari daftar analisis sidik ragam (Lampiran 1) dapat dilihat bahwa

konsentrasi sorbitol memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01)

terhadap kadar vitamin C. Hasil uji LSR pengaruh konsentrasi sorbitol terhadap

kadar vitamin C yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Uji LSR efek utama pengaruh konsentrasi sorbitol terhadap kadar vitamin C (mg/ 100 g)

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%.

Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa perlakuan S1 berbeda nyata terhadap

perlakuan S2, berbeda sangat nyata dengan perlakuan S3 dan S4. Perlakuan S2

berbeda nyata dengan perlakuan S3 dan berbeda sangat nyata dengan perlakuan

S4. Perlakuan S3 berbeda sangat nyata dengan perlakuan S4

Kadar vitamin C tertinggi terdapat pada perlakuan konsentrasi tapioka 5 %

w/v (S

.

1) yaitu sebesar 26,938 mg/ 100 g bahan dan yang terendah terdapat pada

perlakuan konsentrasi tapioka 8 % w/v (S4

Makin tinggi konsentrasi sorbitol yang digunakan maka kadar vitamin C

dari bahan makin menurun. Penurunan ini mengikuti garis regresi linier yang

dapat dilihat pada Gambar 6. Hal diatas dapat terjadi karena ketebalan edible

coating dipengaruhi oleh konsentrasi sorbitol dimana makin tebal film, maka

bahan dapat mengalami respirasi anaerob karena CO

) yaitu sebesar 16,500 mg/ 100 g bahan.

2 yang dihasilkan dari proses

(51)

memperkuat dugaan diatas dimana apabila konsentrasi CO2

Hubungan antara konsentrasi sorbitol terhadap kadar vitamin C dapat

dilihat pada Gambar 6.

yang tinggi dalam

kemasan akan mengakibatkan matinya sel-sel buah akibat terhambatnya aktivitas

enzim pada proses respirasi dan pembentukan asam organik.

Ý = -3,4062S + 44,137

Konsent rasi sorbit ol (% w/v)

K Gambar 6. Grafik pengaruh konsentrasi sorbitol terhadap kadar vitamin C

Pengaruh interaksi antara konsentrasi tapioka dan sorbitol terhadap kadar vitamin C

Dari daftar analisis sidik ragam (Lampiran 1) menunjukkan bahwa

konsentrasi tapioka dan sorbitol memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata

(P>0,05) terhadap kadar vitamin C, sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

Susut Bobot

Pengaruh konsentrasi tapioka terhadap susut bobot

Dari daftar analisis sidik ragam (Lampiran 2) dapat dilihat bahwa

konsentrasi tapioka memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01)

terhadap susut bobot. Hasil uji LSR pengaruh konsentrasi tapioka terhadap susut

bobot yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 8.

(52)

Tabel 8. Uji LSR efek utama pengaruh konsentrasi tapioka terhadap susut bobot (%)

Jarak LSR Konsentrasi Rataan Notasi

0,05 0,01 tapioka 0,05 0,01

- - - P1 = 4 % w/v 20,085 b B

2 0,715 0,985 P2 = 5 % w/v 21,980 a A

3 0,751 1,035 P3 = 6 % w/v 22,098 a A

4 0,770 1,061 P4 = 7 % w/v 22,195 a A

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%.

Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa perlakuan P1 berbeda sangat nyata

dengan perlakuan P2, P3 dan P4. Perlakuan P2 berbeda tidak nyata dengan

perlakuan P3 dan P4. Perlakuan P3 berbeda tidak nyata dengan perlakuan P4

Susut bobot tertinggi terdapat pada perlakuan konsentrasi tapioka 7 % w/v

(P

.

4) yaitu sebesar 22,195 % dan yang terendah terdapat pada konsentrasi tapioka

4 % w/v (P1

Makin tinggi konsentrasi tapioka maka susut susut bobot yang dihasilkan

menjadi makin meningkat. Hal ini disebabkan karena adanya perombakan gula

bahan melalui respirasi yang terjadi pada bahan. Dimana buah secara alami akan

mengalami proses respirasi setelah dipetik yang bertujuan untuk menghasilkan

energi yang akan dipakai dalam mempertahankan kehidupannya. ) yaitu sebesar 20,085 %.

Glukosa yang dirombak ini lambat laun akan habis dan buah mengalami

kebusukan akibat tidak adanya lagi kandungan gula yang dimiliki bahan sebagai

cadangan makanan. Proses inilah yang menjadi penyebab utama pengurangan

susut bobot yang dialami bahan. Pernyataan ini sesuai dengan pernyataan

Sjaifullah, (1996) yang menyatakan bahwa gula yang dihasilkan pada proses

(53)

Lama kelamaan buah akan kehabisan gula sebagai cadangan makanan, sehingga

berat buah berkurang akibat tidak adanya gula dan zat-zat penyusun buah tersebut.

Edible coating yang dibentuk dari tapioka mempunyai kelemahan dalam

menghambat atau mengatur migrasi uap air karena tapioka yang bersifat hidrofil

sehingga makin tinggi konsentrasi tapioka yang digunakan maka akan makin

banyak air yang hilang yang menyebabkan makin tingginya susut bobot bahan.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Paramawati, (2001) yang mengungkapkan

bahwa pelapis yang dibuat dari hidrokoloid (tapioka) mempunyai beberapa

kekurangannya yaitu bungkus dari karbohidrat kurang bagus digunakan untuk

mengatur migrasi uap air. Hubungan antara konsentrasi tapioka terhadap susut

bobot dapat dilihat pada Gambar 7.

Ý = 0,6448P + 19,978

Konsent rasi t apioka (% w/v)

S

Gambar 7. Grafik pengaruh konsentrasi tapioka terhadap susut bobot

Pengaruh konsentrasi sorbitol terhadap susut bobot

Dari daftar analisis sidik ragam (Lampiran 2) dapat dilihat bahwa

konsentrasi sorbitol memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01)

terhadap susut bobot. Hasil uji LSR pengaruh konsentrasi sorbitol terhadap susut

bobot yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 9.

(54)

Tabel 9. Uji LSR efek utama pengaruh konsentrasi sorbitol terhadap

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%.

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa perlakuan S1 berbeda sangat nyata

dengan perlakuan S2, S3 dan S4. Perlakuan S2 berbeda sangat nyata dengan

perlakuan S3 dan S4. Perlakuan S3 berbeda sangat nyata dengan perlakuan S4

Susut bobot tertinggi terdapat pada perlakuan konsentrasi sorbitol 8 % w/v

(S

.

4) yaitu sebesar 25,211 % dan yang terendah terdapat pada konsentrasi sorbitol

5 % w/v (S1

Makin tinggi konsentrasi sorbitol yang digunakan maka susut bobot yang

dihasilkan menjadi makin tinggi. Peningkatan ini mengikuti garis regresi linier

seperti pada Gambar 8. Hal ini disebabkan sifat sorbitol yang menurunkan sifat

barrier film sehingga kemampuan migrasi uap air bahan menjadi meningkat.

Dimana Teknopangan dan Agroindustri, (2008) berpendapat bahwa penambahan

plasticizer dapat meningkatkan fleksibilitas film namun dapat menurunkan sifat

barrier film. Dengan makin rendahnya sifat barrier film, maka kemampuan

migrasi uap air film menjadi meningkat yang berpengaruh besar terhadap

(55)

Hubungan antara konsetrasi sorbitol terhadap susut bobot dapat dilihat

pada Gambar 8.

Ý = 2,199S + 16,092 r = 0,9927

16,000 18,000 20,000 22,000 24,000 26,000

4 5 6 7 8 9

Konsent rasi sorbit ol (% w/v)

S

us

ut

bobot

(

%

)

Gambar 8. Grafik pengaruh konsentrasi sorbitol terhadap susut bobot

Pengaruh interaksi antara konsentrasi tapioka dan sorbitol terhadap susut bobot

Dari daftar analisis sidik ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa

konsentrasi tapioka dan sorbitol memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata

(P<0,01) terhadap susut bobot yang dihasilkan.

Hasil pengujian LSR pengaruh interaksi antara konsentrasi tapioka dan

sorbitol terhadap susut bobot yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 10.

(56)

Tabel 10. Uji LSR efek utama pengaruh interaksi konsentrsi tapioka dan sorbitol terhadap susut bobot (%)

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%.

Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa kombinasi perlakuan antara konsentrasi

tapioka dan sorbitol memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap susut

bobot. Susut bobot tertinggi terdapat pada perlakuan interaksi antara konsentrasi

tapioka 7 % w/v dan sorbitol 8 % w/v (P4S4) adalah sebesar 26,255 % dan

terendah terdapat pada perlakuan interaksi antara konsentrasi tapioka 4 % w/v dan

sorbitol 5 % w/v (P1S1

Makin tinggi konsentrasi tapioka dan sorbitol maka susut bobot yang

dihasilkan makin meningkat. Peningkatan ini mengikuti garis regresi linier seperti

Gambar 9. Hal ini disebabkan karena makin tinggi konsentrasi sorbitol maka sifat

barrier film makin menurun, yang kemudian diikuti dengan kemampuan migrasi

uap air film yang juga akan makin tinggi, sehingga pada akhirnya berpengaruh

Gambar

Grafik pengaruh konsentrasi tapioka terhadap kadar vitamin C  ...............   36
Gambar buah melon yang dilapisi edible coating pada 0 hari..........
Gambar 1. Reaksi pembentukan D-sorbitolD-sorbitol D sorbitol H COH 2D sorbitol HCOH 2
Tabel 1. Komposisi kimia buah melon/ 100 g bahan
+7

Referensi

Dokumen terkait

PENERAPAN MEDIA PEMBELAJARAN ANIMASI UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN KONSTRUKSI BANGUNAN DI SMK PEKERJAAN UMUM NEGERI BANDUNG Universitas

[r]

Teknologi ini dapat dimanfaatkan untuk bidang periklanan, khususnya iklan ponsel yang disajikan melalui sebuah sistem yang dapat diakses secara mandiri oleh masyarakat umum

3.. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Tata Kerja dan Susunan Organisasi Lembaga Kerja Sama Tripartit {Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 24,

Perangkat Daerah dan Peraturan Kepala BKPM Nomor 7 Tahun 2016 tentang Penetapan Hasil Pemetaan Urusan Pemerintahan Daerah Di Bidang Penanaman Modal serta Peraturan Menteri Dalam

[r]

[r]

Penulisan ini akan membahas tentang pembuatan situs Sistem Informasi Geografis Kabupaten Cianjur, khususnya dalam bidang peternakan, dengan menggunakan data-data yang tersedia pada