• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Penentu Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik dan Keberdayaan Petani di Provinsi Sumatera Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor Penentu Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik dan Keberdayaan Petani di Provinsi Sumatera Barat"

Copied!
190
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR PENENTU ADOPSI SISTEM PERTANIAN

SAYURAN ORGANIK DAN KEBERDAYAAN PETANI

DI PROVINSI SUMATERA BARAT

ZULVERA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Faktor Penentu Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik dan Keberdayaan Petani di Provinsi Sumatera Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Zulvera

(4)
(5)

RINGKASAN

ZULVERA. Faktor Penentu Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik dan Keberdayaan Petani di Provinsi Sumatera Barat. Dibimbing oleh SUMARDJO, MARGONO SLAMET, dan BASITA GINTING SUGIHEN.

Pertanian berkelanjutan merupakan tantangan dalam dunia pertanian yang menuntut petani untuk memiliki perilaku yang berbeda dari pengetahuan, sikap dan praktek sistem usahatani yang terbangun selama ini. Salah satu sistem pertanian yang merupakan implementasi dari pertanian berkelanjutan adalah sistem pertanian organik. Pertanian organik merupakan salah satu sistem bertani yang ramah lingkungan dan mengoptimalkan penggunaan input lokal non kimiawi. Sistem pertanian organik diyakini dapat melepaskan petani dari ketergantungan terhadap faktor-faktor produksi yang merusak lingkungan. Hal ini diperkuat oleh hasil-hasil penelitian yang mengatakan bahwa pertanian organik dapat menjadi strategi pembangunan yang memberdayakan petani. Sejak dicanangkannya program Go Organic 2010 pada tahun 2001 oleh pemerintah, berbagai upaya telah dilakukan untuk pengembangan sistem pertanian organik di kalangan petani, baik oleh pemerintah pusat melalui Departemen Pertanian maupun pemerintah daerah. Provinsi Sumatera Barat sebagai salah satu daerah percontohan pertanian organik di Indonesia telah mengembangkan sistem pertanian organik secara intensif mulai tahun 2008, salah satu kegiatannya adalah pengembangan kawasan sayuran organik. Berdasarkan pengamatan lapangan dan informasi berbagai sumber ternyata perkembangan sistem pertanian sayuran organik di kalangan petani bervariasi dan berjalan lambat.

(6)

penentu dalam tingkat adopsi sistem pertanian organik dan keberdayaan petani serta melihat kecocokan model empirik.

Sikap petani terhadap sistem pertanian sayuran organik tergolong baik, namun pengetahuan petani tentang sistem pertanian sayuran organik tergolong sedang dan diikuti oleh keterampilan petani yang rendah. Faktor-faktor yang berhubungan erat positif dengan perilaku petani melalui indikator pengetahuan, sikap dan keterampilan petani dalam sistem pertanian sayuran organik adalah: (1) karakteristik petani yang terdiri dari kekosmopolitan, keberanian menanggung resiko dan motivasi berusaha tani, (2) intensitas belajar petani yang terdiri dari kesesuaian materi belajar, intensitas interaksi dengan kelompok dan sumber belajar, dan (3) intensitas penyuluhan yang terdiri dari kesesuaian materi dan model komunikasi dalam penyuluhan, kompetensi penyuluh serta frekuensi penyuluhan. Perubahan perilaku petani kearah yang lebih baik dalam sistem pertanian sayuran organik dapat dilakukan dengan peningkatan intensitas belajar dan penyuluhan, serta mendorong kemauan petani untuk lebih terbuka terhadap sumber informasi.

Tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik tergolong rendah, begitu juga halnya dengan tingkat keberdayaan petani juga rendah. Faktor-faktor yang berhubungan erat dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani terdiri dari: karakteristik internal petani, dukungan lingkungan, sifat inovasi sistem pertanian sayuran organik, dan dukungan penyuluhan. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat keberdayaan petani sayuran adalah: karakteristik internal petani, dukungan penyuluhan, dan dukungan lingkungan. Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa faktor penentu rendahnya tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani adalah perilaku petani berkaitan dengan sistem pertanian sayuran organik, dukungan lingkungan, sifat inovasi dan dukungan penyuluhan. Hasil uji persamaan struktural juga memperlihatkan bahwa rendahnya tingkat keberdayaan petani dipengaruhi secara nyata oleh tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik dan dukungan lingkungan.

Strategi peningkatan adopsi sistem pertanian sayuran organik untuk pengembangan keberdayaan petani sayuran dilakukan dengan pendekatan penguatan terhadap faktor-faktor penentu dalam adopsi sistem pertanian sayuran organik. Penguatan perilaku petani dapat dilakukan melalui penguatan dukungan penyuluhan dan fasilitasi intensitas belajar petani. Penguatan dukungan lingkungan dan sifat inovasi dapat dilakukan melalui penyusunan dan pelaksanaan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan sistem pertanian sayuran organik, pengembangan lembaga-lembaga pertanian terkait usahatani organik serta pelaksanaan penelitian oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga-lembaga penelitian bersama petani berkaitan dengan teknologi pertanian organik.

(7)

SUMMARY

ZULVERA. Determinants Factor of the Adoption of an Organic Vegetable Farming System and Farmer Empowerment in West Sumatra Province. Supervised by SUMARDJO, MARGONO SLAMET, and BASITA GINTING SUGIHEN.

Sustainable agriculture is a challenge in the world of agriculture which requires farmers to have a different behavior from the knowledge, attitude and practice of the farming systems that have been built up all this time. One of the agricultural systems which is the implementation of sustainable agriculture is an organic farming system. It is an environmentally friendly farming system that optimizes the use of local non-chemical inputs and is believed to be able to release farmers from dependence on the factors of production that damage the environment. As confirmed by the results of researches, organic farming can be a development strategy to empower farmers. Since Go Organic program 2010 was launched by the government in 2001, various attempts have been made to develop the organic agriculture system among farmers, both by the central government through the Ministry of Agriculture and local governments. West Sumatra Province as one of the pilot areas for organic farming in Indonesia has developed a system of intensive organic farming since 2008, and one of the activities is to develop regional organic vegetables. However, based on field observations and various sources of information, the developments of the organic vegetable farming system among the farmers varied and went relatively slowly.

(8)

The result of the research showed that the farmer attitude toward organic vegetable farming system was categorized as good although the farmer knowledge about the organic vegetable farming system was categorized as medium with low skills. The factors positively closely related with farmer behavior through such indicators as education, attitude, and farmer skills in organic vegetable farming system were: (1) farmer characteristics consisting of cosmopolitant oriented, the bravery to take risk and work motivation; (2) farming learning intensity consisting of the relevance of study material, interaction intensity with the group and learning sources; and (3) extension intensity including material suitability and communication model in extension activity, extension competency, extension frequency. The change in farmer behavior into a better one in the system of organic vegetable farming could be done by increasing learning intensity and extension, and by encouraging farmers to be more open to information sources.

The adoption level of farmers toward the organic vegetable farming system was categorized as low. Similarly, farmer empowerment level was also low. The factors closely related to the adoption level of the organic vegetable farming system by farmers consisted of: farmer internal characteristics, external environment support, and extension support. The factors closely related to the empowement level of vegetable farmers were: farmer external characteristics, extension support, and external environment support. The SEM analysis result indicated that the factors determining the low adoption level of organic vegetable farming by the farmers were farmer behavior related to the organic vegetable farming system, external environment support, innovativeness, and extension support. The test result of structural equation also showed that the low empowerment level of farmers was significantly affected by the adoption level of the organic vegetable farming system and external environment support.

The strategy of increasing the organic vegetable farming system to improve vegetable farmer empowerment was developed by a strengthening approach to determinants in the organic vegetable farming system. The strengthening of farmer behavior could be done through strengthening extension support and farmer learning intensity facility. The strengthening of external environment support and innovativeness could be carried out through the formulation and implementation of the regulations related to the organic vegetable farming system, the development of agricultural institutions involving organic farming and the researches by universities and research institutions together with the farmers related to organic farming technology.

Keyword: adoption, agricultural extension, farmer behavior, organic vegetable farming system

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

FAKTOR PENENTU ADOPSI SISTEM PERTANIAN

SAYURAN ORGANIK DAN KEBERDAYAAN PETANI

DI PROVINSI SUMATERA BARAT

ZULVERA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH

PASCASARJANA

INSTITUT

PERTANIAN

BOGOR

BOGOR

(12)

Penguji Luar Komisi:

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof (R) Dr Ign Djoko Susanto, SKM

Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB 2. Dr Lukman Effendy, MSi

Staf Pengajar Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Bogor

Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Prof (R) Dr Ign Djoko Susanto, SKM

Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB 2. Dr Ir Ranny Mutiara Chaidirsyah

Kepala Bidang Pemberdayaan Kelembagaan Petani dan Usahatani Pusat Penyuluhan

(13)

Judul Disertasi : Faktor Penentu Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik dan Keberdayaan Petani

di Provinsi Sumatera Barat

Nama : Zulvera

NIM : I361090051

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Sumardjo, MS Ketua

Prof Dr R Margono Slamet, MSc Dr Ir Basita Ginting Sugihen, MA Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Prof Dr Ir Sumardjo, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul: “Faktor Penentu Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik dan Keberdayaan Petani di Provinsi Sumatera

Barat” berhasil diselesaikan.

Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof Dr Ir Sumardjo, MS, Bapak Prof Dr R Margono Slamet, MSc dan Bapak Dr Ir Basita Ginting Sugihen, MA selaku Komisi Pembimbing yang telah mengarahkan dan membimbing penulis mulai dari penyusunan proposal penelitian hingga penyusunan disertasi ini.

Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB, Ketua Departemen Sain Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, dan Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan IPB beserta dosen dan staf kependidikan. Kepada Bapak Prof (R) Dr Ign Djoko Susanto, SKM dan Bapak Dr Lukman Effendy, MSi selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup; Ibu Dr Ir Ranny Mutiara Chaidirsyah dan Bapak Prof (R) Dr Ign Djoko Susanto, SKM selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka, penulis mengucapkan terimakasih.

Terimakasih penulis sampaikan kepada pihak Dikti Kemendiknas sebagai pemberi dana beasiswa studi bagi penulis. Tidak lupa ucapan terimakasih kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk melakukan penelitian serta seluruh responden dan enumerator yang telah membantu sehingga data penelitian dapat dikumpulkan. Kepada rekan-rekan seangkatan PPN 2009 terimakasih atas kebersamaan, dukungan dan semangatnya. Tak lupa buat rekan-rekan KMP dan PPN 2010, serta Pak Herry terimakasih atas motivasinya.

Ayahanda Asgul terimakasih atas dukungan dan doa yang tiada lelah bagi keberhasilan penulis dan Ibunda (alm) Zuraida yang mendampingi separuh perjalanan studi penulis semoga Allah SWT menempatkan pada tempat yang sebaik-baiknya. Terimakasih tak hingga kepada semua saudara dan keluarga besar yang selalu mendoakan dan menyemangati penulis dalam penyelesaian studi. Kepada suami tercinta Dr Admi Nazra, MSc dan anakku Muhammad Hazim Vemi Khairy terimakasih atas kesabaran, pengertian, kesetiaan, dan doanya selama penulis menjalankan pendidikan S3.

Penulis tetap membuka diri untuk semua saran dan kritik yang membangun untuk menambah makna disertasi ini. Harapan penulis, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(15)

DAFTAR ISI

2 TINJAUAN TEORITIS DAN EMPIRIS

Tinjauan pustaka 3 PERILAKU PETANI DALAM MERESPON SISTEM PERTANIAN

SAYURAN ORGANIK DI KABUPATEN AGAM DAN TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT 4 TINGKAT ADOPSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT ADOPSI SISTEM PERTANIAN SAYURAN ORGANIK DI KABUPATEN AGAM DAN TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT

Abstrak 5 TINGKAT KEBERDAYAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEBERDAYAAN PETANI SAYURAN DI KABUPATEN AGAM DAN TANAH DATAR

(16)

6 FAKTOR PENENTU DAN MODEL PENINGKATAN ADOPSI SISTEM PERTANIAN SAYURAN ORGANIK MENUJU

KEBERDAYAAN PETANI SAYURAN DI PROVINSI SUMATERA BARAT

Abstrak Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan

102

102 102 104 105 125

7 PEMBAHASAN UMUM 127

8 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Saran

133 133 134

DAFTAR PUSTAKA 136

LAMPIRAN 143

RIWAYAT HIDUP 169

DAFTAR TABEL

1 Karakteristik dari Centralized Diffusion system dan Decentralized Diffusion System

12 2 Perkembangan Masyarakat ditinjau dari Perspektif Kemandirian

(modern, efisien dan daya saing)

25 3 Hasil-hasil penelitian terkait dengan adopsi inovasi pertanian organik 39

4 Sebaran sampel penelitian 51

5 Indikator, definisi operasional, parameter peubah karakteristik petani ( X1)

54 6 Indikator, Definisi operasional, dan parameter peubah intensitas

proses pembelajaran petani ( X2)

55 7 Indikator, definisi operasional, dan parameter peubah dukungan

penyuluhan (X3)

56 8 Indikator, definisi operasional, dan parameter peubah perilaku petani 57 9 Indikator, definisi operasional, dan parameter peubah persepsi petani

tentang sifat inovasi (X4)

58 10 Indikator, definisi operasional, dan parameter peubah lingkungan

(X5)

59 11 Definisi operasional dan parameter peubah tingkat adopsi sistem

pertanian organik (Y2)

(17)

DAFTAR TABEL (lanjutan)

12 Definisi operasional, parameter dan pengukuran peubah tingkat keberdayaan petani (Y3)

61 13 Sebaran sampel berdasarkan karakteristik internal 67 14 Sebaran sampel berdasarkan intensitas belajar 68 15 Sebaran sampel berdasarkan dukungan penyuluhan 69 16 Sebaran sampel berdasarkan perilaku petani dalam sistem pertanian

sayuran organik

71 17 Koefisien korelasi antara karakteristik individu petani dengan

perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik

72 18 Koefisien korelasi antara intensitas belajar petani dengan perilaku

petani dalam sistem pertanian sayuran organik

73 19 Koefisien korelasi antara intensitas penyuluhan dengan perilaku

petani dalam merespon sistem pertanian sayuran organik

74 20 Sebaran sampel berdasarkan rataan skor karakteristik internal 79 21 Sebaran sampel berdasarkan rataan skor dukungan penyuluhan 80

22 Sebaran sampel berdasarkan sifat inovasi 81

23 Sebaran sampel berdasarkan dukungan lingkungan 82 24 Sebaran sampel berdasarkan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran

organik

83 25 Koefisien korelasi antara karakteristik individu petani dengan tingkat

adopsi sistem pertanian sayuran organik

85 26 Koefisien korelasi antara intensitas penyuluhan dengan tingkat

adopsi sistem pertanian sayuran organik

86 27 Koefisien korelasi antara kompetensi penyuluh dengan metode,

materi, model komunikasi dan intensitas penyuluhan

87 28 Koefisien korelasi antara sifat inovasi dengan tingkat adopsi sistem

pertanian sayuran organik

88 29 Koefisien korelasi antara dukungan lingkungan dengan tingkat

adopsi sistem pertanian sayuran organik

(18)

DAFTAR TABEL (lanjutan)

32 Koefisien korelasi antara karakteristik internal petani dengan keberdayaan petani

98 33 Koefisien korelasi antara dukungan penyuluhan dengan

keberdayaan petani

99 34 Koefisien korelasi antara dukungan lingkungan dengan

keberdayaan

100 35 Dekomposisi pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung

antar peubah penelitian

107 36 Rancangan strategi peningkatan adopsi sistem pertanian sayuran

organik melalui penguatan dukungan penyuluhan pertanian

126 37 Deskripsi rancangan strategi peningkatan adopsi sistem pertanian

sayuran organik dalam pengembangan keberdayaan petani

131

DAFTAR GAMBAR

1 Model inovasi linear (diadopsi dari Leeuwis 2009) 10

2 Model inovasi non linear 11

3 Centralized diffusion systems (diadopsi dari Rogers 2003) 11

4 Decentralized diffusion system (diadopsi dari Rogers, 2003) 12

5 Tahapan proses keputusan inovasi (Rogers 2003) 15 6 Variabel-variabel yang menentukan kecepatan adopsi dari inovasi

(Rogers, 2003)

16 7 Model variabel dasar yang relevan terhadap pemahaman praktek

dan respon petani secara individu terhadap alternatif yang diusulkan (diadopsi dari Leeuwis,2009)

20

8 Alur berpikir penelitian faktor penentu dalam tingkat adopsi sistem pertanian organik

48 9 Hubungan antar variabel penelitian faktor penentu dalam tingkat

adopsi sistem pertanian organik dan keberdayaan petani

49 10 Hubungan antara variabel penelitian perilaku petani dalam sistem

pertanian sayuran organik

(19)

DAFTAR GAMBAR (Lanjutan)

11 Hubungan antara peubah penelitian faktor yang berhubungan dengan tingkat adopsi

78 12 Kerangka pemikiran faktor-faktor yang berhubungan dengan

tingkat keberdayaan

93 13 Kerangka hubungan antara peubah penelitian faktor penentu dalam

tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik dan keberdayaan petani

104

14 Model struktural faktor penentu adopsi sistem pertanian sayuran organik dan keberdayaan petani

106 15 Model pengembangan keberdayaan petani sayuran melalui adopsi

sistem pertanian sayuran organik

116 16 Rancangan strategi pengembangan adopsi sistem pertanian

sayuran organik menuju keberdayaan petani

120

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta Provinsi Sumatera Barat 143

2 Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Agam 144

3 Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Tanah Datar 145 4 Hasil Uji Validitas Reliabilitas Instrumen 146

5 Diagram Jalur Model Hipotetik Persamaan Struktural 147

6 Pengembangan Sistem Pertanian Organik Di Provinsi Sumatera Barat

150

(20)
(21)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sektor pertanian memegang peranan yang penting dalam pembangunan Negara Indonesia dari dulu dan pada masa yang akan datang. Arti penting pertanian dapat dilihat secara proporsional dan kontekstual (Krisnamurthi 2006). Secara proporsional pertanian memiliki arti penting dalam posisinya bersama dengan sektor lain dilihat dari perannya bagi kesejahteraan dan berbagai dimensi kehidupan manusia. Arti penting pertanian secara kontekstual sesuai dengan perkembangan masyarakat, bukan hanya karena pertimbangan masa lalu, namun berkaitan dengan pemahaman atas kondisi saat ini dan antisipasi masa depan dalam masyarakat yang mengglobal, semakin modern, dan menghadapi persaingan yang semakin ketat (Krisnamurthi 2006). Peran penting sektor pertanian tersebut menyebabkan pembangunan pertanian menjadi prioritas dalam setiap langkah pembangunan.

Seiring dengan perkembangan lingkungan global yang dinamis, sektor pertanian dewasa ini dan masa yang akan datang menghadapi tantangan yang besar. Salah satu tantangan yang dihadapi petani dan dunia pertanian dewasa ini adalah berkaitan dengan keberlanjutan, ekosistem dan manajemen sumberdaya alam (Leeuwis 2009). Diseluruh dunia, pertanian mendapat kritik tajam karena aktivitas pertanian yang selama ini dilakukan sarat dengan penggunaan input kimia dalam jumlah yang relatif tinggi, sehingga telah mengakibatkan rusaknya lingkungan alam. Hal ini menimbulkan seruan terhadap dunia pertanian untuk tidak eksploitatif dan harus berkelanjutan, yang berarti bahwa pertanian harus dilakukan dengan cara-cara yang ramah lingkungan, memanfaatkan sumberdaya daya alam dan input yang tersedia dengan sebaik-baiknya (Leeuwis 2009). Sistem ini dikenal dengan sistem pertanian yang berkelanjutan, yaitu sistem pertanian yang tidak merusak, tidak mengubah, serasi, selaras dengan lingkungan (Salikin 2003).

Keberlanjutan atau sustainabilitas saat ini menjadi issu penting yang sangat diperhatikan dalam pembangunan pertanian di seluruh dunia. Pertanian dengan penggunaan input eksternal rendah telah menyebar secara cepat keberbagai belahan dunia sebagai alternatif yang menantang terhadap sistem revolusi hijau yang telah membuat petani terbiasa dengan penggunaan input luar tinggi. Revolusi hijau telah menjadikan petani tidak mandiri dan terjadinya pengabaian terhadap aspek lingkungan hidup. Kebergantungan petani pada input pertanian dari luar yang tinggi selama ini, menyebabkan hilangnya keberdayaan petani. Petani menjadi sangat rentan terhadap kondisi saprotan dari luar, padahal di sekitar lahan petani melimpah sumberdaya yang dapat dijadikan alternatif untuk mengatasi langkanya sarana produksi (Sulaiman 2009).

(22)

dapat mengancam keberlanjutan pembangunan pertanian (Chambers 1993, Uphoff dalam Sadono 2008).

Menurut Leeuwis (2009) praktek pertanian berkelanjutan menjadikan petani harus memiliki pengetahuan dan kesadaran tentang situasi lokal, dan banyak pengetahuan yang harus dikembangkan atau diadaptasi sesuai dengan kondisi karena situasi ekologis yang berbeda dalam wilayah individu petani, dan ini harus ditunjang dengan kerjasama yang erat antara petani, peneliti dan pelaku penyuluhan pertanian. Tantangan dalam dunia pertanian ini hanya dapat ditangani jika pelaku pertanian mampu menggunakan pengetahuan dan informasi yang diadaptasikan dengan lebih baik.

Salah satu sistem pertanian yang merupakan implementasi dari sistem pertanian berkelanjutan adalah sistem pertanian organik. Konsep sistem pertanian organik sudah sering dibahas pada berbagai pertemuan ilmiah, dan secara teoritis banyak pakar pertanian dan ekologi yang sepaham bahwa sistem pertanian organik merupakan salah satu alternatif solusi atas kegagalan sistem pertanian industrial (Salikin 2003). Hasil survei yang dilakukan di Negara-negara Eropa menunjukkan bahwa 94 persen responden membeli produk organik karena mereka sangat peduli dengan kesehatan pribadi dan anggota keluarganya. Permintaan konsumen terhadap produk organik terus meningkat, hingga dapat mencapai 20 sampai 30 persen pertahun, bahkan dibeberapa Negara dapat mencapai 50 persen pertahun (Pangan ... 2008). Peningkatan konsumsi produk organik juga diperkuat oleh Ketua Umum Masyarakat Pertanian Organik Indonesia yang menyatakan bahwa konsumsi produk organik secara nasional dan global mengalami peningkatan antara 20 – 25 persen pertahun (Pangan ... 2008).

Pertanian organik merupakan salah satu sistem bertani yang diyakini dapat melepaskan petani dari ketergantungan terhadap faktor-faktor produksi yang merusak lingkungan, sebagaimana yang dialami petani selama tiga dasawarsa ini (semenjak diterapkannya revolusi hijau di kalangan petani), senada dengan pernyataan Beban (2008) yang mengatakan bahwa pertanian organik dapat menjadi strategi pembangunan yang memberdayakan petani. Penerapan prinsip-prinsip sistem pertanian organik yang kembali pada alam dan ramah lingkungan, akan membuat petani berdaya dalam arti mampu menyediakan input-input pertaniannya sendiri, yang selama ini merupakan biaya produksi yang harus dibayar tunai oleh petani. Biaya-biaya tunai yang dapat dikurangi oleh petani tersebut adalah penyediaan benih yang sifatnya lokal, pemberantasan hama secara alami, dan pemupukan secara organik atau non kimiawi yang selama ini menjadi beban biaya produksi yang memberatkan petani. Apabila biaya produksi dapat dikurangi, tentu harga produk yang dihasilkan akan lebih kompetitif, sehingga petani akan memiliki daya kompetisi yang lebih baik dengan produk-produk sejenis lainnya. Disamping hal itu, dengan dihasilkannya produk pertanian yang ramah lingkungan, sesuai dengan tuntutan dan selera konsumen, maka usaha petani akan mempunyai posisi tawar yang bagus, kondisi ini merupakan salah satu faktor yang akan membuat usahatani akan berkelanjutan. Kemampuan petani memenuhi sarana produksi, kompetitif dan berkelanjutan dalam berusahatani merupakan ciri yang menunjukkan keberdayaan petani.

(23)

telah menyebabkan petani berdaya, mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia, petani menemukan cara pemupukan alami secara mandiri tanpa bantuan pemerintah. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa target pengembangan padi organik di Sragen secara ekonomi telah memberikan surplus pendapatan bagi daerah karena nilai jual padi organik lebih tinggi dibandingkan padi non organik, usaha tani padi organik mampu menyerap tenaga kerja terbesar dibandingkan dengan usaha komoditas pertanian lainnya. Penyediaan lapangan kerja usaha padi organik mulai dari hulu hingga hilir adalah berupa pengolahan limbah tanaman padi seperti, jerami, sekam padi, disertai pula makin berkembangnya pengolahan pupuk kandang dari hasil peternakan hewan. Petani menjadi berdaya, dan dapat memberi kesempatan kerja bagi penduduk di daerah tersebut, sehingga dapat mengurangi pengangguran (Widodo 2010).

Indonesia sebagai negara agraris, memiliki potensi besar mengembangkan pertanian organik. Indonesia memiliki 17 juta hektar lahan kosong dan masih luasnya pertanian tradisional yang dikelola tanpa menggunakan bahan sisntetis, menjadi salah satu modal penting dalam mengembangkan pertanian organik (Pangan ... 2008). Pemerintah Indonesia mendukung trend pertanian organik dengan mengeluarkan kebijakan pemerintah yang disebut Go Organik 2010. Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan, memfasilitasi, mengarahkan dan mengatur perkembangan pertanian organik. Pencanangan Program Go Organik 2010 oleh Departemen Pertanian sudah dilakukan sejak tahun 2001 dengan visi mewujudkan Indonesia sebagai salah satu produsen pangan organik terbesar di dunia. Pengembangan pertanian organik dirancang dalam enam tahapan mulai dari tahun 2001 hingga 2010 (Departemen Pertanian 2009). Dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011 tentang Pupuk Organik, Pupuk hayati dan Pembenah tanah menunjukkan pentingnya perhatian terhadap pertanian organik.

Sayuran sebagai salah satu produk hortikultura merupakan salah satu subsektor non pangan utama yang sangat rentan dengan penggunaan zat kimia dan perlu mendapat perhatian. Koordinasi Pengembangan Sayuran Organik yang diadakan di Bali pada bulan Juli 2012, menyimpulkan bahwa masalah dan tantangan pengembangan sayuran dan tanaman obat saat ini diantaranya adalah : (1) Paradigma kegiatan budidaya dan produksi yang aman konsumsi, bermutu,

ramah lingkungan dan berkelanjutan, (2) Gerakan gaya hidup sehat “back to nature” untuk sayuran, obat-obatan, kosmetika, keasrian dan kenyamanan lingkungan, dan (3) Impor sayuran cukup besar dan cenderung meningkat, atau ada upaya luar untuk meningkatkan dan membuat ketergantungan, termasuk sayuran organik. Produk yang sehat dan terhindar dari kandungan zat-zat kima serta ramah lingkungan merupakan selera konsumen dan tantangan pasar yang harus mampu dipenuhi oleh petani sayuran saat ini agar dapat bersaing di pasar. Peningkatan permintaan produk organik secara nasional yang mencapai angka 20-25 persen pertahun merupakan gambaran semakin terbukanya peluang pasar bagi produsen sayuran organik.

(24)

(Bahan ... 2011). Rendahnya penerapan pertanian organik di Provinsi Sumatera Barat juga diperkuat oleh informasi dari Media Medan Bisnis (Pertanian ... 2011) yang mengutip pernyataan Gubernur Sumatera Barat yang menyatakan,“Saat ini jumlah petani organik di Sumbar baru mencapai satu persen karena sebagian besar petani lainnya masih membutuhkan pupuk dan pestisida dalam menggarap lahan pertanian mereka,".

Penelitian Reflinaldon et al. (2009) tentang Penggunaan Pestisida dan Dampaknya Terhadap Keanekaragaman Hayati serta Upaya Restorasi Agroekosistim di Kawasan Sentra Sayuran Kecamatan Lembah Gumanti Sumatera Barat menunjukkan bahwa ditemukan residu pestisida berbahan aktif diazinon, propenofos, dimetoat (organoposfat) dan sipermetrin (piretroid) pada bawang merah, kubis dan tomat. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kualitas lingkungan kawasan Lembah Gumanti (merupakan salah satu daerah sentra sayuran di Provinsi Sumatera Barat) masih rendah dan memerlukan perhatian untuk upaya restorasi melalui peningkatan kepedulian lingkungan dan pengetahuan tentang cara pertanian yang ramah lingkungan sehingga akan dapat menghasilkan komoditi sayuran berkualitas dan aman bagi konsumen (Reflinaldon et al. 2009).

Keputusan petani untuk tidak menerapkan inovasi yang diperkenalkan dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Selama ini petani menjadi pihak yang selalu disalahkan dengan tidak berkembangnya suatu inovasi. Sikap petani yang menolak untuk mengadopsi inovasi dianggap semata-mata merupakan kesalahan petani. Namun terdapat hal lain yang dilupakan berkaitan dengan keputusan petani untuk mengadopsi atau tidak mengadopsi suatu inovasi, yang berada diluar diri individu petani. Proses keputusan inovasi tidak sesederhana yang dibayangkan oleh berbagai pihak selama ini. Berbagai hasil penelitian yang berkaitan dengan fenomena perubahan perilaku menunjukkan bahwa proses perubahan perilaku petani tidaklah terjadi secara linear. Berdasarkan beberapa hasil penelitian tentang keputusan adopsi inovasi dapat disimpulkan mengenai fakta di tengah masyarakat menunjukkan bahwa apa yang disampaikan kepada petani tidak selalu didengar oleh petani, dan jika didengar tidak selalu dipahami petani, apabila mereka memahami belum tentu petani setuju dengan hal tersebut, dan meskipun mereka setuju dengan apa yang disampaikan, ternyata petani belum tentu melakukannya. Terakhir, jikalau mereka menerapkan apa yang disampaikan, dalam banyak kasus ternyata penerapan inovasi tersebut tidak selalu dipertahankan atau tidak berkelanjutan (Prager dan Posthumus 2010).

(25)

lebih baik (Slamet 2003). Penyuluhan dapat menjalankan fungsinya dalam membantu petani melakukan perubahan jika terdapat pemahaman yang benar tentang peubah-peubah yang memainkan peran dalam pembentukan kebiasaan manusia. Tanpa adanya pemahaman yang benar tentang mengapa seseorang melakukan sesuatu (atau tidak melakukan sesuatu) pada waktu tertentu, maka tidak akan mungkin kita dapat memberikan bantuan untuk perubahan yang efektif (Leeuwis 2009).

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam suatu sistem sosial sebagai hasil dari penerapan suatu inovasi atau kebiasaan baru yang dilakukan oleh anggota sistem sosialnya merupakan konsekwensi dari suatu inovasi. Keberdayaan petani sayuran merupakan konsekwensi yang diharapkan setelah petani mengadopsi sistem pertanian sayuran organik di lahannya.

Masalah Penelitian

Sistem pertanian organik merupakan salah satu sistem bertani yang dapat menjawab tuntutan dan tantangan dunia pertanian saat ini. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menerapkan sistem pertanian organik, petani akan memperoleh manfaat, diantaranya mengurangi biaya produksi, mendapatkan harga yang lebih tinggi dari produk konvensional, meningkatkan pendapatan, menghindari ketergantungan dari pihak penyalur input dan meningkatkan keberlanjutan ekonomi petani serta meningkatkan kesehatan petani dan keluarganya (Beban 2008, Widodo 2010, Widiarta dan Adiwibowo 2011). Sistem pertanian organik telah mengalami perkembangan pesat di Negara-negara Eropah dan Amerika. Laju penjualan pangan organik di Negara-negara tersebut berkisar dari 20-25% pertahun selama dekade terakhir (Apriantono 2006). Permintaan pertanian organik di seluruh dunia juga tumbuh 20% per tahun (Damardjati 2006)

Indonesia sebagai negara agraris juga diharapkan mampu menjadi salah satu produsen organik terkemuka di dunia sebagaimana yang dinyatakan dalam Program Go Organik 2010. Namun berdasarkan berbagai survei dan hasil pengamatan di lapangan, ternyata pertanian organik mengalami perkembangan yang lambat di tengah-tengah masyarakat petani. Perkembangan yang lambat tersebut juga diikuti dengan terjadinya penurunan luas area pertanian organik di Indonesia pada tahun 2010 sampai 2012. Berdasarkan data statisitik pertanian organik Indonesia 2012, total luas area pertanian organik Indonesia tahun 2012 adalah 213.023,55 ha, menurun sekitar 10 persen dari tahun sebelumnya (Ariesusanty 2012).

(26)

Institut Pertanian Organik (IPO) yang saat ini dijadikan sebagai pusat magang para petugas dan petani serta TOT penggiat organik di Sumatera Barat. Upaya lain yang dilakukan Pemda Sumatera Barat adalah pembuatan leaflet, brosur, banner serta mengadakan pameran produk pertanian organik (Daniel 2011).

Usaha untuk mengembangkan sistem pertanian organik dan merangsang semangat petani melakukan usahatani dengan sistem organik dari segi finansial juga diupayakan, Pemda Sumatera Barat melakukan pemberian insentif sebesar Rp 250,00 per kilogram dari setiap produk pertanian organik. Namun berdasarkan pengamatan ternyata perkembangan pertanian organik di Sumatera Barat ini lambat sekali, bahkan ada petani yang awalnya telah bertani secara organik, namun balik lagi ke sistem pertanian yang menggunakan zat kimia secara berlebihan (Daniel 2011). Setelah berjalan lebih kurang delapan tahun gerakan Go Organik 2010, hanya sekitar satu persen dari petani di Sumatera Barat yang menerapkan pertanian organik pada usaha taninya (Pertanian ... 2011).

Petani sayuran merupakan pengguna pestisida kimia terbanyak dan tertinggi dibandingkan dengan petani tanaman pangan. Penggunaan pestisida kimia dijadikan sebagai tindakan preventif oleh petani, dengan cara melakukan penyemprotan 1-7 hari setelah tanam (Ameriana 2008). Hasil penelitian Ameriana (2008) menyatakan bahwa penggunaan pestisida pada usahatani sayuran menghabiskan 20-30 persen dari total biaya produksi. Mengantisipasi tingginya resiko penggunaan pestisida kimia dalam usahatani sayuran menyebabkan Pemda Sumatera barat memberi perhatian cukup besar pada pengembangan sistem sayuran organik oleh petani. Berbagai upaya dilakukan untuk mengembangkan sistem pertanian sayuran organik (tersaji pada lampiran 6).

Berkaitan dengan kondisi yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana perilaku petani dalam merespon inovasi sistem pertanian sayuran organik? Faktor penentu apakah yang menyebabkan petani mengadopsi sistem pertanian sayuran organik? Apakah sistem pertanian sayuran organik dapat meningkatkan keberdayaan petani dalam berusahatani dan bagaimana model yang efektif untuk mengembangkan dan meningkatkan adopsi inovasi sistem pertanian sayuran organik di tengah masyarakat? Semua itu merupakan fenomena yang harus dicarikan jawabannya.

Berbagai permasaalahan tersebut menimbulkan beberapa pertanyaan spesifik yang diidentifikasi sebagai berikut:

1. Bagaimanakah perilaku petani dalam merespon sistem pertanian sayuran organik?

2. Sejauhmanakah tingkat adopsi dan faktor-faktor apakah yang berhubungan dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani?

3. Sejauhmanakah tingkat keberdayaan petani dan faktor-faktor apakah yang berhubungan dengan tingkat keberdayaan petani sayuran?

(27)

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan :

1. Menganalisis perilaku petani dalam adopsi sistem pertanian sayuran organik dan faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku petani.

2. Menganalisis tingkat adopsi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik.

3. Menganalisis tingkat keberdayaan dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat keberdayan petani sayuran.

4. Menganalisis faktor penentu dan merumuskan model yang efektif dalam meningkatkan adopsi sistem pertanian sayuran organik untuk mengembangkan keberdayaan petani sayuran di Provinsi Sumatera Barat Kebaruan Penelitian

Penelitian tentang faktor penentu dalam tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik dan keberdayaan petani di Sumatera Barat ini menghasilkan kebaruan (novelty) sebagai berikut:

1. Dari aspek teoritis adopsi dan difusi inovasi, penelitian ini memasukkan faktor perilaku sebagai salah satu peubah yang mempengaruhi adopsi inovasi yang belum dikaji pada penelitian sebelumnya.

2. Mengungkapkan dan memperkuat pernyataan bahwa adopsi inovasi sistem pertanian sayuran organik dengan dukungan berbagai aspek pemberdayaan dapat mewujudkan keberdayaan petani dalam menjalankan usahataninya, sehingga sistem pertanian organik dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam pembangunan pertanian yang memberdayakan petani.

3. Model dan rancangan strategi yang efektif untuk mengembangkan keberdayaan petani melalui adopsi sistem pertanian sayuran organik di Provinsi Sumatera Barat. Hal ini diharapkan juga dapat meningkatkan konsumsi sayuran oleh masyarakat Sumatera Barat.

Manfaat Penelitian

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan secara ilmiah dan secara praktis. Dari sisi ilmiah hasil penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya khasanah keilmuan khususnya ilmu penyuluhan pembangunan, yang berkaitan dengan konsep-konsep keputusan inovasi, difusi inovasi dan keberdayaan.

Secara praktis, beberapa hasil penelitian ini harapannya dapat digunakan oleh berbagai pihak, antara lain:

(28)

2. Bagi penyuluh pertanian (baik penyuluh pemerintah, swadaya atau swasta) hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan atau informasi dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran bersama petani

3. Bagi perguruan tinggi, hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi peneliti lain yang tertarik untuk mengkaji topik-topik yang berkaitan dengan proses keputusan inovasi dan difusi inovasi serta pengembangan sumberdaya manusia petani organik.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada kajian adopsi petani sayuran terhadap sistem pertanian sayuran organik dan tingkat keberdayaan petani sayuran serta faktor-faktor penentu dalam tingkat adopsi dan keberdayaan petani sayuran di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat. Dipilihnya sayuran sebagai komoditi yang dikembangkan untuk sistem pertanian organik pada penelitian ini disebabkan sayuran merupakan komoditi strategis yang bernilai ekonomis tinggi, rentan terhadap serangan hama dan penyakit sehingga berpotensi tinggi dalam penggunaan pestisida kimia, dan hal ini sangat berbahaya bagi konsumen karena sayuran banyak yang dikonsumsi dalam keadaan mentah. Usahatani sayuran yang jauh dari sistem pertanian berkelanjutan ini dapat diperbaiki dengan penerapan sistem pertanian sayuran organik oleh petani.

Hasil penelitian disusun dalam rangkaian penelitian yang terdiri dari (1) perilaku petani sayuran organik dan faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku petani, (2) tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat adopsi sistem pertanian organik, (3) tingkat keberdayaan petani dan faktor-faktor yang berhubungan dengan keberdayaan petani, dan (4) faktor penentu dalam tingkat adopsi dan keberdayaan petani sayuran serta model peningkatan adopsi sistem pertanian sayuran organik dalam mengembangkan keberdayaan petani sayuran di Provinsi Sumatera Barat.

(29)

2 TINJAUAN TEORITIS DAN EMPIRIS

Tinjauan Pustaka Konsep Inovasi

Inovasi menurut Rogers (2003) adalah ide-ide baru, praktek-praktek baru, atau objek yang dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau masyarakat . van den Ban dan Hawkins (1999) menyatakan bahwa inovasi adalah suatu gagasan, metode atau objek, yang dianggap sebagai sesuatu yang baru, tetapi tidak selalu merupakan hasil dari penelitian mutakhir.

Lionberger (1960) dan Mardikanto (2009) memperjelas bahwa inovasi tidak hanya sekedar sebagai sesuatu yang baru, akan tetapi lebih luas, yaitu sesuatu yang dimulai baru atau dapat mendorong pembaharuan dalam masyarakat atau pada lokalitas tertentu. Jadi pengertian baru mengandung makna bukan sekedar baru diketahui oleh pikiran (cognitif) akan tetapi juga baru karena belum dapat diterima secara luas oleh masyarakat dalam arti sikap dan juga baru dalam pengertian belum diterima dan dilaksanakan atau diterapkan oleh seluruh warga masyarakat.

Leeuwis (2009) menyatakan bahwa inovasi dipahami sebagai keseluruhan kerja baru, yang dapat merupakan cara baru melakukan sesuatu atau melakukan hal-hal baru, dan hal tersebut baru dapat dianggap sebuah inovasi jika betul-betul dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh dikatakan bahwa melihat inovasi dengan cara ini akan membantu kita untuk memahami bahwa suatu inovasi tidak hanya terdiri atas peralatan teknis atau prosedur baru, namun juga praktek-praktek baru yang diadaptasi manusia, serta kondisi-kondisi yang mendukung terlaksananya praktek-praktek tersebut.

Mardikanto (2009) menyatakan bahwa inovasi adalah sesuatu ide, produk, informasi teknologi, kelembagaan, perilaku nilai-nilai dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima dan digunakan/diterapkan/dilaksanakan oleh sebahagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan disegala aspek kehidupan masyarakat demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan. Purnaningsih et al. (2006) dalam hasil penelitiannya tentang adopsi inovasi pola-pola kemitraan agribisnis sayuran, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pola kemitraan sebagai suatu inovasi adalah terkandung makna terjadinya proses pembaharuan terhadap pola kemitraan agribisnis sayuran, yang berarti bahwa pola kemitraan bukan sesuatu yang baru sama sekali didunia petani, namun telah mengalami perubahan.

(30)

sebahagian besar inovasi ditingkat lahan petani juga sering tergantung pada faktor-faktor yang melampau tingkat lahan pertanian petani, misalnya pasokan input, pemasaran, dukungan masyarakat, transportasi dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa inovasi tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang bersifat individu, namun memiliki dimensi kolektif, yang memerlukan bentuk-bentuk interaksi baru, pengorganisasian dan kesepakatan diantara banyak pelaku (Leeuwis 2009).

Jika kita berbicara inovasi secara lengkap, berarti ada campuran dan keseimbangan yang cocok antara peralatan teknis baru dan pengorgansasian sosial baru. Dan jika melakukan penelitian tentang inovasi kita harus memperhatikan hal yang berkaitan dengan menciptakan jaringan pendukung dan menegosiasikan pengaturan baru diantara berbagai pemangku kepentingan. Permasaalahan yang yang diharapkan dapat dijawab oleh inovasi, menurut Leeuwis (2009) di antaranya adalah: (1) persepsi tentang realitas yang berubah, (2) aspirasi manusia yang berubah, (3) lingkungan sosial yang berubah, (4) sifat fisik yang berubah, dan (5) kesempatan teknis yang berubah.

Berdasarkan beberapa pengertian tentang inovasi , dapat dikatakan bahwa inovasi terdiri dari : komponen idea atau gagasan, komponen metode atau praktek, dan komponen produk atau jasa. Komponen- komponen ini dapat dikatakan inovasi jika memiliki sifat baru, yang kebaruannya itu dipandang dari sisi masyarakat petani, bukan dari waktu kapan inovasi tersebut dihasilkan. Sistem pertanian sayuran organik dapat dianggap sebagai sesuatu inovasi dalam system pertanian, karena cara-cara atau komponen-komponen yang dikandung oleh pertanian organik sebahagiannya masih baru, dan belum bisa diterima dan diterapkan oleh sebahagian besar petani sayuran di provinsi Sumatera Barat, meskipun pertanian organik telah diperkenalkan pada masyarakat beberapa tahun belakangan ini.

Difusi inovasi

Difusi inovasi merupakan proses dimana inovasi disebarkan kepada anggota suatu sistem sosial (Rogers 2003). Selama ini dalam berbagai penelitian inovasi terdapat asumsi bahwa inovasi berasal dari ilmuwan, yang ditransfer oleh penyuluh atau perantara lain, dan kemudian diterapkan oleh pelaku utama pertanian, hal ini disebut dengan model inovasi linear (Kline dan Rosenberg dalam Leeuwis 2009). Model inovasi linear ini digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Model inovasi linear (diadopsi dari Leeuwis 2009)

Namun berdasarkan perkembangan yang terjadi dan ketika ilmuwan mulai menganalisa tentang inovasi dalam prakteknya, ternyata mulai terdapat penyimpangan dari model linear ini. Beberapa fakta lapangan menunjukkan bahwa para peneliti sering mendapatkan ide-ide inovatif dari para praktisi, petani membuat adaptasi dari paket teknologi yang dibuat oleh ilmuwan (Leeuwis 2009).

Ilmu

Fundamental

Ilmu Terapan Pendidikan dan Penyuluhan

(31)

Bahkan di lapangan juga ditemui bahwa inovasi sudah mulai dihasilkan oleh petani sendiri, kemudian disebarkan pada petani lain. Hal ini sejalan dengan pendapat van den Ban dan Hawkins (1999) yang menyatakan inovasi sering berkembang dari penelitian dan juga petani. Model inovasi diatas bisa menjadi seperti gambar berikut:

Gambar 2. Model inovasi non linear

Rogers (2003) mengemukakan istilah centralized diffusion system untuk inovasi yang berasal dari peneliti, dan decentralized diffusion system untuk inovasi yang berkembang dari petani. Kedua system difusi inovasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Opinion Leaders

Adopters

Gambar 3. Centralized diffusion systems (diadopsi dari Rogers 2003)

Gambar 3 menunjukkan bahwa inovasi dihasilkan oleh peneliti di lembaga-lembaga penelitian. Inovasi yang dihasilkan ini diteruskan kepada penyuluh pertanian sebagai agen perubahan dan selanjutnya penyuluh menyampaikan inovasi tersebut kepada petani. Sistem ini menggambarkan difusi inovasi yang bersifat top-down.

Difusi inovasi yang berkembang dari petani ke petani menurut Rogers (2003) dilukiskan pada Gambar 4. Inovasi dihasilkan oleh petani-petani ahli yang berada di tengah-tengah masyarakat, kemudian disebarkan atau menyebar kepada petani-petani lain yang ada dalam sistem sosial.

Lembaga penelitian

Agent perubahan Praktek Praktek

Praktek Petani Praktek

(32)

Gambar 4. Decentralized diffusion system (diadopsi dari Rogers 2003) Karakteristik masing-masing difusi dijelaskan pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik dari Centralized Diffusion system dan Decentralized Diffusion System

Arah difusi -Top down dari ahli ke pengguna lokal

-Melalui jaringan yang horizontal Sumber inovasi -Ahli pertanian -Bukan dari ahli

pertanian, tapi dari

-Pemimpin formal dan Ahli pertanian

-Kelembagaan local berdasarkan evaluasi informal

Tingkan re invention -Tingkat adaptasi lokal dari inovasi rendah

-Tingkat adaptasi lokal dari inovasi tinggi

Dibandingkan dengan sistem terpusat, inovasi yang disebarkan oleh sistem desentralisasi cenderung cocok dan lebih dekat dengan masalah dan kebutuhan pengguna. Pengguna merasakan kontrol atas sistem difusi desentralisasi ketika mereka berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang sangat penting, seperti dalam hal : menetapkan masalah mereka yang paling membutuhkan perhatian, inovasi terbaik yang memenuhi kebutuhan tersebut, bagaimana mencari informasi tentang inovasi dan dari sumber apa, dan berapa banyak kegiatan untuk memodifikasi suatu inovasi akibat mereka menerapkannya dalam lingkungan mereka. Tingginya tingkat kontrol pengguna atas keputusan-keputusan kunci berarti bahwa sistem difusi desentralisasi diarahkan erat dengan kebutuhan lokal.

Meskipun terdapat keunggulan dari decentralized diffusion system, namun menurut Rogers (2003) terdapat kelemahan dari sistem difusi ini antara lain sebagai berikut. Pertama, ahli teknis sulit untuk membawa keputusan tentang inovasi dan proses adopsi, dan adalah mungkin bagi inovasi tidak efektif untuk menyebar melalui sistem desentralisasi karena kurangnya kontrol kualitas. Jadi,

Lokal innovator Lokal innovator Lokal innovator

(33)

ketika sebuah sistem difusi yang menyebarkan inovasi yang melibatkan keahlian tingkat tinggi, sistem difusi desentralisasi kurang tepat dari pada sistem difusi lebih terpusat. Kedua, tidak ada ahli dalam sistem difusi desentralisasi menyebabkan kurangnya pemahaman strategi difusi yang harus dimanfaatkan. Dan ketiga, kadang-kadang pemerintah nasional menginginkan inovasi disebarkan ditempat-tempat dimana orang tidak merasa memerlukannya. Dalam sistem yang sangat desentralisasi, inovasi seperti itu tidak akan menyebar.

Berkaitan dengan hal di atas maka Rogers (2003) menyarankan: (1) Sistem difusi desentralisasi paling tepat digunakan dalam kondisi tertentu, seperti untuk menyebarkan inovasi yang tidak melibatkan tingkat keahlian teknis yang tinggi antara sekelompok pengguna dengan kondisi dan kebutuhan yang relatif homogen. (2) Unsur-unsur tertentu dari sistem difusi sentralisasi dan desentralisasi dapat dikombinasikan untuk membentuk sistem difusi yang unik sesuai situasi tertentu.

Adopsi Inovasi

Soekartawi (1988) menyatakan bahwa proses adopsi merupakan proses mental dalam diri seseorang melalui pertama kali mendengar tentang suatu inovasi sampai akhirnya mengadopsi. van den Ban dan Hawkins (1999), menyatakan bahwa adopsi merupakan suatu kondisi dimana petani mulai menerapkan inovasi pada skala yang besar setelah ia membandingkannya dengan metode atau cara-cara lama ataupun teknologi lama yang pernah diterapkan.

Adopsi inovasi merupakan suatu proses mental atau perubahan perilaku baik berupa pengetahuan (cognitive), sikap (afektif) maupun keterampilan (psycomotorik) pada diri seseorang sejak ia mengenal inovasi sampai memutuskan untuk mengadopsi inovasi tersebut (Rogers 2003). Lebih lanjut Rogers (2003) menyatakan bahwa dalam pandangan tradisional proses keputusan inovasi disebut dengan proses adopsi. Proses adopsi merupakan serangkaian kegiatan dalam memutuskan untuk menerima atau menolak suatu inovasi selama periode waktu tertentu.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, Rogers (2003), menetapkan lima tahap proses adopsi inovasi, yaitu (1) pengenalan adanya inovasi atau sesuatu yang baru, (2) persuasi, seseorang membentuk sikap terhadap inovasi, (3) keputusan, (4) Implementasi, di mana seseorang mulai menerapkan inovasi dan (5) konfirmasi.

(34)

keempat adalah penggunaan (implementation) merupakan saat dimana seseorang menggunakan atau mengimplementasikan inovasi tersebut dalam kegiatan nyata. Tahap kelima adalah konfirmasi (confirmation) yang merupakan tahap dimana seseorang mencari penegasan kembali terhadap keputusan inovasi yang telah dibuat yang kemungkinan dapat mengubah keputusan yang telah dibuat jika ia diterpa informasi yang berlawanan terhadap inovasi (Rogers 2003, Purnaningsih

et al. 2006, Mulyandari 2011a).

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi individu atau seseorang dalam proses adopsi inovasi tersebut diatas, yaitu: dipengaruhi oleh saluran atau sumber informasi, kondisi awal sebelum masuknya inovasi, karakteristik dari unit pembuat keputusan, dan persepsi terhadap ciri inovasi itu sendiri. Disisi lain, Mardikanto (2009) menyatakan bahwa adopsi dalam proses penyuluhan pertanian, pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses penerimaan inovasi dan atau perubahan perilaku, baik yang berupa pengetahuan, sikap, maupun keterampilan pada diri seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan penyuluh kepada masyarakat target penyuluhannya.

Lebih lanjut dikatakan bahwa, penerimaan artinya bukan hanya sekedar tahu, tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakan atau menerapkannya dengan benar, serta menghayatinya dalam kehidupan dan usahanya. Penerimaan inovasi oleh petani ini biasanya dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung oleh orang lain, sebagai wujud dari adanya perubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan.

Dari beberapa literatur dan penelitian yang berkaitan dengan teori adopsi inovasi, dapat ditarik kesimpulan bahwa implemetasi keputusan adopsi adalah suatu kondisi dimana penerima inovasi memutuskan untuk menerima dan menerapkan suatu inovasi.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Adopsi Inovasi

Rogers (2003) menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi, terdiri dari: (1) ciri-ciri inovasi, (2) tipe keputusan inovasi, (3) saluran komunikasi, (4) ciri-ciri sistem sosial, dan (5) kegiatan penyuluhan. masing-masing peubah yang mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi menurut Rogers (2003) ini dapat dilihat pada Gambar 6.

(35)

Kondisi awal

1. Praktek sebelumnya 2. Kebutuhan yang dirasakan

3. Innovativeness 4. System social

Karakteristik 1. Mengadopsi. - Melanjutkan adopsi

Pengambilan Keputusan: - Mengadopsi kemudian

 Karakterisatik - Tidak melanjutkan

sosial ekonomi 2. Menolak - Melanjutkan/menolak

 Peubah individu

 Perilaku komunikasi

Persepsi mengenai karakteristik inovasi:

Relative advantage

Compatibility

Complexity

Trialability

Gambar 5. Tahapan Proses Keputusan Inovasi (Rogers 2003)

V. Confirmation IV.

Implementation III.

Decision I.

Knowlegde

II. Persuation

(36)

Tingkat keuntungan relatif ini seringkali dinyatakan dalam bentuk keuntungan ekonomi (biaya lebih rendah atau lebih tinggi, keuntungan lebih rendah atau lebih tinggi dibanding dengan teknologi sebelumnya), teknis (produktivitas, tahan terhadap resiko kegagalan dan gangguan yang menyebabkan ketidakberhasilan), dan sosial psikologis pemenuhan kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis. Ciri-ciri inovasi yang kedua adalah kesesuaian (Compatibily) merupakan tingkat kesesuaian suatu inovasi dengan kebutuhan, pengalaman masa lalu, kepercayaan, sistem nilai dan norma penerima. Inovasi yang tidak sesuai dengan ciri-ciri sistem sosial tidak akan diadopsi secepat inovasi yang sesuai. Ketiga, yaitu kerumitan (complexity), merupakan tingkatan suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dimengerti dan digunakan jika dibandingkan dengan inovasi sebelumnya. Semakin rumit suatu inovasi bagi seseorang maka makin lambat proses adopsinya. Ciri keempat adalah dapat dicoba (triabilitiy), merupakan tingkat suatu inovasi dapat dicoba dalam skala kecil. Inovasi yang dapat dicoba biasanya lebih cepat diadopsi daripada inovasi yang tidak dapat dicoba lebih dahulu, karena ketercobaan dalam skala kecil ini akan dapat memperkecil resiko kegagalan bagi adopter.

Peubah-peubah yang Peubah tak bebas

Menentukan yang diterangkan

Kecepatan adopsi

I. Atribut-atribut inovasi 1. Keuntungan relatif 2. Compatibility 3. Complexity 4. Trialability 5. Observability

II. Tipe-tipe keputusan Tingkat dari Adopsi Inovasi

1. optional 2. kolektif 3. otoritas

III. Saluran-saluran komunikasi.

IV. System sosial .

V. Penyebaran dari agen-agen perubahan

“usaha promosi”

Gambar 6. Peubah-peubah yang menentukan kecepatan adopsi dari inovasi (Rogers 2003)

(37)

suatu inovasi dapat diamati dan dikomunikasikan, maka semakin cepat proses adopsinya di tengah masyarakat.

Menurut Rogers (2003) pola keputusan inovasi dapat dibagi atas tiga yaitu: (a) keputusan individual, yaitu keputusan yang dibuat dengan mengabaikan keputusan orang lain dalam masyarakat sekitarnya, (b) keputusan kolektif, yaitu keputusan yang dibuat oleh individu-individu dalam suatu masyarakat yang setuju dengan membuat keputusan bersama melalui suatu konsensus, dan (c) keputusan otoritas, yaitu keputusan yang dipaksakan terhadap individu oleh orang yang mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi.

Keberadaan saluran komunikasi juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi, baik melalui saluran media massa ataupun saluran pribadi. Saluran pribadi yang umumnya digunakan dalam menyampaikan inovasi adalah penyuluh, dan pemimpin-pemimpin lokal. Dan berdasarkan beberapa penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa sesama penerima inovasi, misal sesama petani, merupakan saluran yang efektif dalam menyampaikan informasi tentang inovasi.

Keberadaan sistem sosial merupakan salah satu aspek yang cukup penting yang dapat mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi. Rogers (2003) menyatakan bahwa struktur sosial dapat merintangi atau mempermudah penyebaran dan pengadopsian suatu inovasi, karena mereka mendapat pengaruh dari sistem sosial yang telah mengadopsi inovasi tersebut lebih dahulu.

Norma atau kebiasaan adalah pedoman tingkah laku yang telah mapan dan diakui bersama, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu sistem sosial. Norma-norma tersebut akan membatasi boleh tidaknya suatu prilaku dilakukan dalam suatu sistem sosial. Norma-norma ini akan dapat mempengaruhi perilaku seseorang atau masyarakat dalam mengadopsi suatu inovasi, yaitu dapat menunjang atau merintangi masuknya suatu inovasi kedalam suatu sistem sosial (Rogers 2003).

Kegiatan penyuluhan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi di tengah masyarakat. Lebih lanjut Rogers (2003) menyatakan bahwa penyuluh bertugas untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh petani dalam mengadopsi inovasi. Penyuluh harus mampu menggunakan metode penyuluhan yang tepat untuk membantu petani membentuk pendapat dan mengambil keputusan yang benar.

Slamet (Mardikanto 2009) menyatakan bahwa karakteritik individu sangat besar pengaruhnya terhadap cepat atau lambatnya proses adopsi inovasi, yaitu seperti umur, pendidikan, status sosial ekonomi, pola hubungan (lokalit/kosmopolit), keberanian mengambil resiko, sikap terhadap inovasi, motivasi berkarya, fatalism atau ketidakmampuan membaca masa depan, system kepercayaan yang tertutup. Menurut Bordenave (1985) mengadopsi suatu inovasi adalah keputusan manusiawi, dan keputusan itu didasarkan kepada empat komponen, yaitu; (1) kemauan untuk melakukan sesuatu, (2) tahu apa yang akan dilakukan, (3) tahu bagaimana melakukannya, dan (4) mempunyai sarana untuk melakukannya.

(38)

kepada: (a) apa yang mereka yakini benar tentang dunia biofisik dan sosial ( apa yang mereka tahu), (b) apa yang mereka cita-citakan apa yang akan dicapai (apa yang mereka inginkan), (c) apa yang mereka pikir bahwa mereka mampu melakukannya, dan (d) apa yang mereka pikir bahwa mereka diperbolehkan atau diharapkan untuk melakukan. Peubah-peubah ini dikembangkan oleh Leeuwis (2009) secara terpisah, yang mengindikasikan pembentukan sosial dalam praktek pertanian. Dalam modelnya Leeuwis (2009) menggambarkan peubah-peubah; hubungan sosial dan

tekanan sosial yang berhubungan dengan “yang diperbolehkan dan atau yang diharapkan untuk”, keefektifan yang dirasakan dari lingkungan sosial berhubungan dengan “bisa untuk”, keberhasilan diri yang dirasakan berhubungan dengan “ bisa untuk”,dan kerangka acuan evaluatif memasukkan “percaya dan bercita-cita”.

Secara lengkap model yang disampaikan Leeuwis (2009) berkaitan dengan peubah yang relevan terhadap pemahaman dan respon petani secara individu terhadap inovasi atau alternatif yang ditawarkan, terlihat pada Gambar 7.

Kerangka acuan evaluatif, berkaitan dengan : (a) bagaimana persepsi petani tentang berbagai konsekuensi dari praktek suatu inovasi, (b) bagaimana kemungkinan yang dirasakan munculnya konsekuensi-konsekuensi tersebut, (c) bagaimana evaluasi petani tentang konsekuensi tersebut, hubungannya dengan aspirasi-aspirasi yang ada. Dapat disimpulkan bahwa kerangka acuan evaluative berhubungan dengan pengetahuan dan cara pemikiran petani terhadap alam, ekonomi dan sosial.

Pengetahuan dan kepercayaan petani dapat berasal dari berbagai sumber, seperti pengalaman, percobaan sendiri, dan dari pengalaman dimana saja dan diperoleh dari siapa saja serta dari penelitian pertanian. Keefektifan lingkungan sosial yang dirasakan berkaitan dengan persepsi petani tentang apakah lingkungan sosial ekonomi mereka dapat mendukung praktek baru yang akan mereka lakukan nantinya. Hal ini disebabkan untuk aplikasi inovasi yang berhasil, petani sering tergantung pada pihak lainnya (Leeuwis 2009). Hubungan sosial dan tekanan sosial yang dirasakan berhubungan dengan keinginan dan harapan yang dirasakan dari pihak-pihak lain diluar individu petani, sumberdaya yang dirasakan yang akan mendorong praktek pertanian serta penilaian petani berkaitan dengan hubungan antara harapan dan sumberdaya tersebut.

Keberhasilan diri yang dirasakan mengacu kepada kekuatan diri sendiri yang dirasakan oleh petani untuk melaksanakan inovasi. Merasakan kekuatan sendiri merupakan peubah yang berkaitan dengan kekuatan petani untuk memobilisir sumberdaya, ketersediaan keterampilan dan kompetensi yang dirasakan, keabsahan kerangka acuan evaluatif yang dirasakan, dan kemampuan untuk mengontrol atau mengakomodasi resiko yang dirasakan. Menurut Leeuwis (2009) pertanian merupakan bisnis yang beresiko, karena berhubungan dengan komponen-komponen yang hidup dan kondisi cuaca. Jadi dalam melakukan kegiatannya petani tidak dapat melarikan diri dari resiko-resiko tertentu, namun harus menerima resiko-resiko tertentu sebagai konsekuensi sebagai seorang petani.

(39)

resiko, (2) kemampuan yang dirasakan petani untuk menyampaikan konsekuensi resiko atau berbagi dengan pihak lain, (3) kemampuan petani mengakomodasi resiko, (4) kemampuan yang dirasakan petani dalam mengurangi resiko, dan (5) kemampuan yang dirasakan petani dalam meramalkan resiko.

(40)

Gambar 7. Model peubah dasar yang relevan terhadap pemahaman praktek dan respon petani secara individu terhadap alternatif yang diusulkan (diadopsi dari Leeuwis 2009)

tekanan sosial yang dirasakan

Praktek teknik dan sosial petani

Umpan balik yang dirasakan dari dunia

ekologis dan sosial

Kerangka acuan evaluatif

Keberhasilan diri yang dirasakan Keefektifan lingkungan

yang dirasakan K

O N T E K S H I S T O R I S

M E N U J U M A S A D E P A N

(41)

Leeuwis (2009) mengungkapkan beberapa faktor yang berkaitan dengan adopsi atau penerimaan inovasi oleh petani, yaitu: (1) berkaitan dengan penerimaan petani terhadap masalah yang mendasari lahirnya suatu inovasi, (2) faktor yang berhubungan dengan tekanan/intervensi sosial dari agen-agen luar yang dirasakan oleh petani, (3) penerimaan petani tentang kredibilitas dan kelayakan dari pihak yang melakukan penyebaran inovasi, (4) penerimaan petani terhadap berbagai konsekuensi dari inovasi dan (5) penerimaan petani terhadap resiko yang dirasakan dari adopsi inovasi. Faktor-faktor ini menggambarkan bahwa adopsi inovasi tidak hanya dibentuk oleh property yang kompleks dalam inovasi, namun juga oleh karakteristik dari dinamika sosial di sekitar inovasi tersebut disebarkan.

Pemahaman terhadap karakteristik individu dan kapasitas diri petani akan menentukan tingkat potensi atau kesiapan petani dalam menerima teknologi yang dikenalkan kepadanya; sebaliknya dengan mengetahui potensi dan tingkat kesiapan petani dalam menerima teknologi pertanian, maka teknologi pertanian yang akan dikenalkan akan dapat disesuaikan dengan potensi dan kesiapan diri petani tersebut (Tjitropranoto 2005). Lebih lanjut dinyatakan bahwa dengan pendekatan ini, maka petani tidak hanya akan menerapkan teknologi baru secara berkelanjutan, tetapi juga akan mengembangkan usaha pertaniannya selalu dengan menerapkan teknologi baru. Hal ini menunjukkan pula bahwa teknologi pertanian yang diperkenalkan kepada petani harus disesuaikan dengan kapasitas diri dan kapasitas sumberdaya dan sarana yang dimilikinya. Penyesuaian dengan kapasitas petani, baik kapasitas diri maupun kapasitas sumberdaya dan sarana, akan menjamin keberlanjutan adopsi teknologi tersebut, bahkan akan dikembangkan sendiri oleh petani yang bersangkutan (Tjitropranoto, 2005).

Menurut Purnaningsih et al. (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam mengadopsi inovasi adalah, kepastian pasar dari produk yang dihasilkan, tingkat kebutuhan akan inovasi, ketersediaan sarana transportasi dan telekomunikasi, ketersediaan sarana pembelajaran dan sarana kredit. Penelitian yang dilakukan oleh Bellaaj et al. (2008), menunjukkan bahwa persepsi penerima inovasi tentang karakteristik dari inovasi mempunyai pengaruh yang signifikant terhadap keputusan adopsi inovasi. Karakteristik inovasi tersebut terdiri dari tingkat relatif advantage, kompleksitas, kompatibilitas, keteramatan dan triability. Pandangan sasaran terhadap karakteristik ini dapat mempengaruhi sikapnya terhadap inovasi, dan sikap tersebut akan mempengaruhi niatnya untuk menerapkan inovasi. Faktor lain yang mempengaruhi petani untuk mengadopsi inovasi pertanian organik adalah perhatiannya terhadap faktor lingkungan dan faktor untuk memperoleh produk yang sehat (Lopez et al. 2007).

Berkaitan dengan sumber informasi tentang inovasi, kecenderungan petani untuk memperoleh informasi berasal dari sesama petani (Thapa dan Rattanasuteerakul 2010). Difusi inovasi lebih efektif dari kalangan petani ke petani, sementara peranan lembaga pertanian, ilmuwan, penyuluh kelihatan tidak begitu penting. Pertukaran informasi diantara sesama petani merupakan faktor yang utama dari difusi, setelah inovasi disebarkan oleh pemerintah. Difusi inovasi lebih efektif dari kalangan petani ke petani (Lopez et al. 2007).

Gambar

Gambar 4. Decentralized diffusion system (diadopsi dari Rogers 2003)
Gambar 5. Tahapan Proses Keputusan Inovasi (Rogers 2003)
Gambar 6. Peubah-peubah yang menentukan kecepatan adopsi dari inovasi (Rogers 2003)
Gambar  7. Model peubah dasar yang relevan terhadap pemahaman praktek dan respon petani secara individu terhadap alternatif yang diusulkan (diadopsi dari Leeuwis 2009)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sikap petani terhadap penerapan pertanian organik adalah kecenderungan responden/petani untuk suka atau tidak suka, mendukung atau tidak mendukung yang dilakukan

Jaringan Komunikasi Petani dalam Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian (Kasus Adopsi Inovasi Traktor Tangan di Desa Neglasari, Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur, Propinsi

Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang bertujuan untuk mengkaji pengambilan keputusan petani dalam penerapan pertanian padi organik., faktor- faktor yang

Hasil Uji F menunjukkan bahwa secara simultan variabel umur (X1), tingkat pendidikan (X2), pengalaman usahatani sayuran konvensional (X3), pengalaman usahatani sayuran organik (X4),

Hasil Uji F menunjukkan bahwa secara simultan variabel umur (X1), tingkat pendidikan (X2), pengalaman usahatani sayuran konvensional (X3), pengalaman usahatani sayuran organik (X4),

Penelitian ini menitikberatkan pada Analisis Bentuk Partisipasi Petani dalam Pengembangan Agribisnis Pertanian Sayuran Organik di Kelompok Tani Tranggulasi Desa

Skripsi ini berjudul “ Tingkat Adopsi Petani terhadap Teknologi Pertanian Terpadu Usahatani Padi Organik “ (Studi Kasus di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan

1.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah: 1 menganalisis karakteristik petani laki- laki dan perempuan dan jenis kelompok yang terdapat pada komunitas petani sayuran organik, 2