PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP
SELF
REGULATED LEARNING
PADA MAHASISWA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh
PUTRI RATNAISKANA PANDIANGAN
101301126
FAKULTAS PSIKOLOGI
SKRIPSI
PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP
SELF
REGULATED LEARNING
PADA MAHASISWA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dipersiapkan dan disusun oleh:
PUTRI RATNAISKANA PANDIANGAN 101301126
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 9 Juni 2014
Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi
Prof. Dr. Irmawati, psikolog NIP. 195301311980032001
Tim Penguji
1. Dian Ulfasari, M.Psi., psikolog Penguji I/Pembimbing
NIP. 198108242008122002 ________
2. Sri Supriyantini, M.Si.,psikolog Penguji II
NIP. 196204092000122001 ________
3. Etty Rahmawati, M.Si. Penguji III
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:
Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Self Regulated Learning Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara
adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, Mei 2014
Putri Ratnaiskana Pandiangan
Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Self Regulated Learning Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara
Putri Ratnaiskana Pandiangan dan Dian Ulfasari
ABSTRAK
Menjadi seorang mahasiswa yang sukses dalam pendidikannya tentu bukanlah suatu hal yang mudah. Dalam prinsip student-learning yang diterapkan di perguruan tinggi diperlukan sebuah strategi belajar seperti self regulated learning yaitu konsep bagaimana seseorang menjadi pengatur bagi belajarnya sendiri. Penerapan self regulated learning berhubungan positif dengan kecerdasan emosional. Kondisi afeksi atau reaksi-reaksi emosional menurut Pintrich dan Groot (1990), dapat memberi perubahan self regulated learning individu dalam pencapaian tujuan dan pengunaan proses-proses metakognitif. Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada pengaruh kecerdasan emosional terhadap self regulated learning pada mahasiswaUniversitas Sumatera Utara.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode korelasional. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 395 orang yang berasal dari 14 fakultas. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik nonprobabilitas jenis proportional sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala self regulated learning yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan 14 kategori strategi self regulated learning yang dikemukakan oleh Zimmerman (dalam Purdie, Hattie & Douglas, 1996) dan skala kecerdasan emosional yang disusun berdasarkan 5 aspek kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh Goleman (2005).
Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan regresi linear diperoleh bahwa nilai p = 0.000. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh kecerdasan emosional terhadap self regulated learning pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara.
The Effect of Emotional Intelligence on Self Regulated Learning in Students at University Of Sumatera Utara
Putri Ratnaiskana Pandiangan and Dian Ulfasari
ABSTRACT
Being a successful student in education is certainly not an easy thing. In the student-learning principle that is applied in college takes a learning strategies such as self regulated learning, which is the concept of how a person becomes a regulator for their own learning. Application of self regulated learning is positively related to emotional intelligence. Affective conditions or emotional reactions according to Pintrich and Groot (1990), can give the individual changes in self regulated learning to achieve the goals and use metacognitive processes. This study aimed to determine whether there is influence of emotional intelligence on self-regulated learning in students at the University of Sumatera Utara.
This study uses a quantitative approach with a correlation method. The number of participants in this study were 395 people from 14 faculties. Sampling technique that is used is proportional non-random sampling. Measuring instruments used in this study are self-regulated learning scale were compiled by researchers based on 14 categories of self-regulated learning strategies proposed by Zimmerman (in Purdie, Hattie & Douglas, 1996) and emotional intelligence scale which is based on five aspects of emotional intelligence proposed by Goleman (2005).
The results of the analysis of research data using linear regression showed that the value of p = 0.000. This showed that there is the influence of emotional intelligence on self regulated learning in students at the University of Sumatera Utara.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya dalam penyelesaian skripsi yang
berjudul “Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Self Regulated Learning
Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara”. Penyusunan skripsi ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi
di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, baik dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini sangatlah
sulit bagi peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, pada kesempatan
ini, peneliti mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Prof. Irmawati selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera
Utara.
2. Kak Dian Ulfasari, M.Psi., psikolog selaku dosen pembimbing yang telah
banyak memberikan ide, kritik, saran, dan dorongan selama proses
penyusunan skripsi ini. Terima kasih buat kesabaran dan perhatiannya.
3. Ibu Sri Supriyantini, M.Si., psikolog dan Ibu Etty Rahmawati, M.Si selaku
dosen penguji. Terima kasih atas kesediaan ibu untuk menjadi penguji skripsi
dan terima kasih atas masukan yang ibu berikan.
4. Ibu Elvi Andriani Yusuf, M.Psi., psikolog selaku dosen pembimbing
akademik yang telah banyak memberikan arahan dan dukungan selama
5. Teristimewa untuk orang tua peneliti, ayahanda E. Pandiangan, S.Pd. dan
ibunda R. L. Pardosi yang telah membesarkan, memberikan semangat,
motivasi dan pengorbanan, dan dukungan yang luar biasa serta selalu
menyertai peneliti dalam doa selama menjalani perkuliahan hingga
penyelesaian skripsi ini.
6. Untuk abangku Pulo Hardy Christian Pandiangan, S.Kom. dan drg. Chandra
Pebriady Hamonangan Pandiangan, adikku Tito Daniel Pandiangan, Ari Prima
Pandiangan, dan Dwi Lady Pandiangan yang juga turut mendoakan penulis
hingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Terima kasih atas doa,
dukungan, perhatian, semangat, dan kasih sayangnya.
7. Seluruh staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang
telah memberikan ilmunya kepada peneliti selama menjalani pendidikan.
8. Seluruh Pegawai Fakultas Psikologi, Kak Ari, Kak Devi, Kak Ade, Pak
Iskandar dan Pak Aswan yang selalu memberikan kemudahan dalam
mengurus segala keperluan administrasi kemahasiswaan.
9. Sahabat-sahabatku tercinta, Santri Permana Tarigan, Artha Widya
Rumahorbo, S.Psi., Tota Fierda Ria Angelina Simbolon, dan Hespita Nora
Sidabutar, S.Psi. Terima kasih untuk motivasi, semangat, kasih sayang,
perhatian, dan waktu yang berharga, serta semua kebersamaan selama kita
berkuliah mulai dari semester 1 hingga saat ini.
10.Untuk Joni Smith Sinambela, M.Si. terima kasih telah mendengarkan setiap
keluh-kesah dan senantiasa memberikan semangat bagi peneliti dalam
11.Teman-teman seperjuangan angkatan 2010 di Psikologi.
12.Teman-teman yang sudah membantu peneliti dalam menyebar skala
penelitian, terutama untuk Maria Panjaitan, Arnold Panjaitan, Hanky
Tambunan, Ardi Sianipar, Otni Panjaitan, Trifose Pakpahan, S.Psi., Stefen
Sitorus, bang Join Sidabutar, S.Sos., David Siagian, dan semua pihak yang
tidak dapat disebutkan satu per satu.
13.Seluruh subjek dalam penelitian ini yang telah banyak membantu peneliti.
Terima kasih atas waktu dan kesediaannya dalam membantu peneliti.
14.Semua pihak yang terlibat dalam pengerjaan skripsi ini yang tidak dapat dapat
disebutkan satu per satu, dalam kesempatan ini peneliti juga mengucapkan
terima kasih. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua kebaikan yang
telah diberikan kepada peneliti.
Saya menyadari skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya
mengharapkan adanya kritik dan saran agar skripsi ini menjadi lebih baik lagi.
Harapan saya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
Medan, Mei 2014
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II LANDASAN TEORI A. Self Regulated Learning ... 12
1. Definisi Self Regulated Learning... 12
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Regulated Learning ... 13
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional ... 27
4. Ciri-Ciri Kecerdasan Emosional Tinggi dan Rendah ... 30
D. Dinamika Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap
Self Regulated Learning ... 34
E. Hipotesis Penelitian ... 37
BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 38
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 38
C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 40
1. Populasi Sampel Penelitian ... 40
2. Metode Pengambilan Sampel Penelitian ... 41
D. Metode Pengumpulan Data ... 43
F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian... 52
1. Tahap Persiapan ... 53
2. Hasil Penelitian ... 58
a. Hasil Uji Asumsi ... 58
b. Hasil Utama Penelitian ... 60
c. Hasil Penelitian Tambahan ... 62
B. Pembahasan ... 68
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 72
B. Saran ... 72
1. Saran Metodologis ... 73
2. Saran Praktis ... 73
DAFTAR PUSTAKA ... 75
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Mahasiswa Aktif Program S-1 Universitas Sumatera
Utara Tahun 2013/2014... 40
Tabel 2 Pengambilan Sampel Proporsional Pada Masing-Masing Fakultas ... 42
Tabel 3 Blue Print Skala Self Regulated Learning ... 44
Tabel 4 Blue Print Skala Kecerdasan Emosional ... 45
Tabel 5 Blue-Print Skala Self Regulated Learning Setelah Uji Coba ... 49
Tabel 6 Blue Print Skala Self Regulated Learning yang Digunakan Dalam Penelitian ... 50
Tabel 7 Blue Print Skala Kecerdasan Emosional Setelah Uji Coba ... 51
Tabel 8 Blue Print Skala Kecerdasan Emosional yang Digunakan Dalam Penelitian... 51
Tabel 9 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 55
Tabel 10 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Fakultas ... 56
Tabel 11 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tahun Angkatan .. 57
Tabel 12 Nomor Subjek yang Dihapus ... 58
Tabel 13 Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov untuk Uji Normalitas ... 58
Tabel 14 Tabel ANOVA untuk Linearitas ... 59
Tabel 15 Hasil Model Summary Pada Analisa Regresi ... 60
Tabel 16 Tabel ANOVA ... 60
Tabel 17 Hasil Coefficients pada Analisis Regresi Coefficients... 60
Tabel 18 Skor Empirik dan Hipotetik Kecerdasan Emosional ... 61
Tabel 19 Kategorisasi Data Kecerdasan Emosional ... 63
Tabel 20 Skor Empirik dan Hipotetik Self Regulated Learning... 63
Tabel 21 Kategorisasi Data Self Regulated Learning... 65
Tabel 22 Kecerdasan Emosional Berdasarkan Jenis Kelamin ... 66
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Skala Uji Coba Penelitian ... 78
Lampiran 2 Skala Asli Penelitian ... 86
Lampiran 3 Reliabilitas Skala Uji Coba Penelitian ... 92
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Mahasiswa merupakan suatu kelompok individu dalam masyarakat yang
memperoleh statusnya melalui perguruan tinggi tempat mereka menuntut ilmu.
Secara administratif, mahasiswa ialah orang yang terdaftar di perguruan tinggi
(akademik, institut, universitas), mengikuti semester berjalan dan memiliki kartu
mahasiswa untuk pembuktian. Menurut Baharuddin & Makin (dalam Naam,
2009) mahasiswa merupakan subjek yang memiliki potensi untuk
mengembangkan pola kehidupannya, dan sekaligus menjadi objek dalam
keseluruhan bentuk aktivitas dan kreativitasnya, sehingga diharapkan mampu
menunjukkan kualitas daya yang dimilikinya.
Menjadi seorang mahasiswa yang sukses dalam pendidikannya tentu
bukanlah suatu hal yang mudah. Sukadji (2001) menyatakan bahwa untuk sukses
dalam pendidikan dan berhasil menerapkan ilmu yang diperolehnya, mahasiswa
harus menggunakan seluruh potensi yang dimilikinya serta mengatur strategi
belajar yang jitu. Mahasiswa yang sukses akan mengatur diri sendiri, mengontrol
faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar, menciptakan kondisi yang
optimal untuk belajar, dan menghilangkan rintangan yang dapat mengganggu
proses belajar (Dembo, 2004).
Dunia mahasiswa bukan lagi dunia sebagaimana layaknya di SMA dulu
individu untuk mandiri dalam segala hal. Di kampus, ketika ada tugas, dosen
hanya memberikan gambaran umum tentang tugas tersebut, selebihnya
dikembalikan kepada mahasiswa atau ketika dosen menjelaskan pelajaran, mereka
hanya memberikan jalan atau gambaran umum kepada mahasiswa. Berbeda
dengan guru-guru ketika di SMA, mereka benar-benar membimbing (LDK
Al-Uswah, 2010). Oleh karena itu untuk mendapatkan prestasi akademik yang
memuaskan di perguruan tinggi, diperlukan adanya kesiapan belajar yang
mencakup kesiapan mental dan keterampilan belajar (Ginting, 2003).
Universitas Sumatera Utara (USU) adalah salah satu penyelenggara pendidikan tinggi di Indonesia. Universitas yang terletak di kota Medan ini telah berdiri sejak tahun 1952 dan telah menghasilkan banyak alumni dan dipersiapkan menjadi pusat pendidikan tinggi di kawasan Barat Indonesia. Sebagai Badan
Hukum Milik Negara (BHMN) yang menyelenggarakan pendidikan tinggi,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, USU menuntut agar mahasiswa
USU mempersiapkan diri menjadi anggota masyarakat dengan kemampuan
akademik untuk menerapkan, mengembangkan, memperkaya, dan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta pengembangan
aplikasinya untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat (Buku Pedoman
Peraturan Akademik USU). Untuk dapat mencapai tujuan tersebut tentu saja
bukan hal yang mudah, mengingat besarnya tugas dan beban kuliah yang harus
Di bawah ini komunikasi personal peneliti dengan beberapa mahasiswa
tentang beban perkuliahan di USU:
“yang namanya kuliah tiada hari tanpa tugaslah pastinya. Kadang
sepanjang hari itu hanya untuk tugas ajalah, gak di kampus gak di rumah
tugas aja yang mau dikerjain”
(HCT, Komunikasi Personal, 10 Januari 2014)
“dulu mikirnya kuliah itu enak, tugasnya dikit, dan suka-suka. Karena kebetulan aku punya kakak sepupu yang kuliah di salah satu universitas swasta, dan kalo diamat-amati dia selalu santai dan kayaknya gak pernah ada tugas gitu. Jadi aku mikir semua yang kuliah itu gitu. Ternyata gak, kuliah itu benar-benar beda dengan waktu SMA kak. Apalagi kuliahnya di USU, tugasnya banyak banget dan benar-benar menyiksa. Bayangkan dalam seminggu itu, semua dosen kasih tugas. Jadi kadang gak bisa ngatur waktu. Kalo udah kayak gini kak, nanti bawaannya marah-marah sama
sensitif gitu karena otaknya dipaksa terus”
(RM, Komunikasi Personal, 10 Januari 2014).
Dari komunikasi personal yang dilakukan oleh peneliti, diperoleh bahwa
ternyata beban perkuliahan di USU itu memang tinggi, terutama untuk mahasiswa
program studi S-1 (program sarjana) yang dijadwalkan dapat menyelesaikan
studinya dalam 8 (delapan) semester dengan beban kredit 144-148 SKS. Dengan
demikian, dibutuhkan suatu strategi belajar yang dapat membantu mahasiswa
dalam menghadapi tugas-tugas dan beban perkuliahan tersebut.
Selain itu, berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Sumatera Utara
No:1178/H5.1.R/SK/KRK/2008 tentang kebijakan akademik Universitas
Sumatera Utara, pada bab II pasal 2 mengenai kebijakan umum disebutkan bahwa
pelaksanaan pendidikan di lingkungan USU dirancang dengan
mempertimbangkan pergeseran paradigma pendidikan yang semula lebih fokus
pada pengajaran oleh dosen menjadi fokus pada pembelajaran oleh mahasiswa
(student-learning). Menurut Santrock (2004) dalam prinsip student-learning,
(self regulated learning) yang meliputi beberapa faktor, yaitu metakognitif, tujuan
proses pembelajaran, konstruksi pengetahuan, pemikiran strategis, konteks
pembelajaran dan sifat proses pembelajaran. Self regulated learning juga
merupakan salah satu strategi belajar yang mempunyai peran penting dalam
menentukan kesuksesan di perguruan tinggi (Spitzer, 2000).
Zimmerman dan Martinez-Pons (1990) menyatakan bahwa self regulated
learning adalah konsep mengenai bagaimana seorang peserta didik menjadi
pengatur bagi belajarnya sendiri. Schunk (dalam Schunk & Zimmerman, 1998)
menyatakan bahwa self regulated learning dapat dikatakan berlangsung bila
peserta didik secara sistematis mengarahkan perilaku, kognisi, dan afeksinya
dengan cara memberi perhatian pada instruksi tugas-tugas, melakukan proses dan
mengintegrasikan pengetahuan, mengulang-ulang informasi untuk diingat serta
mengembangkan dan memelihara keyakinan positif tentang kemampuan belajar
dan mampu mengantisipasi hasil belajarnya.
Zimmerman (dalam Woolfolk, 2004) menambahkan bahwa dalam
penerapan self regulated learning seorang peserta didik mengaktifkan dan
mendorong kognisi (cognition), perilaku (behaviour) dan perasaannya (affect)
yang secara sistematis berorientasi pada pencapaian suatu tujuan belajar. Agar
mencapai tujuan belajar tersebut, peserta didik yang menerapkan self regulated
learning mendekati tugas belajar dengan berbagai strategi manajemen sumber
daya seperti memilih atau mengatur lingkungan fisik untuk mendukung belajar
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Marpaung (2012) terhadap
270 orang mahasiswa USU menunjukkan bahwa 80 orang (29.6%) memiliki self
regulated learning pada kategori rendah, 116 orang (42.9%) pada kategori sedang,
dan 74 orang (27.4%) pada kategori tinggi. Hasil ini tentu saja masih jauh dari
harapan, terutama bagi mahasiswa yang memiliki self regulated learning pada
kategori rendah, mengingat besarnya tanggung jawab serta beban perkuliahan
yang ditanggung oleh mahasiswa. Seharusnya mahasiswa USU memiliki self
regulated learning yang lebih baik sehingga proses belajarnya dapat berjalan
dengan lebih baik. Apalagi mengacu pada visi universitas yaitu “University for
Industry”. Untuk dapat mencapai visi tersebut mahasiswa USU harus mampu
mengatur proses pembelajarannya dengan baik dengan cara menjadi regulator
bagi belajarnya sendiri, sehingga tujuan belajar yang diharapkan dapat tercapai,
dan akhirnya akan menjadi lulusan yang kompeten dan siap pakai serta
berdayaguna di masyarakat.
Penelitian yang dilakukan Pintrich dan De Groot (dalam Wolters, 1998)
menemukan bahwa peserta didik yang menerapkan strategi self regulated learning
menunjukkan motivasi intrinsik dan self efficacy serta prestasi yang lebih tinggi.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Spitzer (2000) juga menunjukkan
bahwa self regulated learning berkaitan erat dengan performansi akademik pada
mahasiswa di mana mahasiswa yang menerapkan strategi self regulated learning
mengambil alih afeksi, pikiran dan tingkah lakunya sehingga menunjang prestasi
belajar yang baik. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa self regulated
Cox, 2008; Scott, Dearing, Reynolds, Lindsay, Baird & Hamill, 2008; Schunk &
Zimmerman, 2007) dan juga dengan kecerdasan emosional (Declerck, Boone &
De Brabander, 2006; Seligson & McPhee, 2004; West & Albrecht, 2007).
Papalia (dalam Gunarsa, 2004) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang
dapat mengembangkan regulasi diri adalah proses perhatian dan kesadaran
terhadap emosi negatif. Seseorang yang memberikan atensi atau perhatian serta
sadar akan emosi negatif adalah individu yang mengenali diri dan memahami
emosinya sehingga mampu meregulasi dirinya dengan lebih baik. Selanjutnya,
Gilliom (dalam Gunarsa, 2004) mengatakan faktor-faktor yang mempengaruhi
regulasi diri adalah regulasi emosional. Seseorang yang mampu meregulasi
emosinya dengan baik akan mampu meregulasi diri dalam tugas-tugas tertentu.
Hal ini disebabkan karena kondisi emosional akan mempengaruhi bagaimana
seseorang dalam berperilaku sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Dalam penerapan self regulated learning, kemampuan dalam
mengendalikan dan meregulasi emosi menjadi salah satu faktor yang sangat
penting, dimana self regulated learning tidak hanya mengarah pada perilaku dan
kognisi saja, akan tetapi peran afeksi (perasaan) juga turut berkontribusi dalam
mewujudkan tercapainya tujuan belajar. Papalia dan Olds (2001) juga menyatakan
bahwa regulasi diri juga berkaitan dengan kemampuan mental serta pengendalian
emosi, dimana seluruh perkembangan kognitif, fisik, serta pengendalian emosi
dan kemampuan sosialisasi yang baik, membawa seseorang dapat mengatur
dirinya dengan baik. Kemampuan dalam meregulasi emosi ini dikenal dengan
Kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan diri sendiri
dan perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri, serta mengelola emosi dengan
baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain (Goleman, 2005).
Hal ini berkaitan dengan kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam
memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi
dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan
emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang
tepat, memilah kepuasan, dan mengatur suasana hati.
Beberapa penelitian telah menunjukkan pentingnya seseorang memiliki
kecerdasan emosional. Hasil penelitian Gottman (1997) menunjukkan fakta bahwa
pentingnya kecerdasan emosional dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan
mengaplikasikan kecerdasan emosional dalam kehidupan akan berdampak positif
baik dalam kesehatan fisik, keberhasilan akademis, kemudahan dalam membina
hubungan dengan orang lain, dan meningkatkan resiliensi (Gottman, 1997).
Berdasarkan komunikasi personal yang dilakukan peneliti terhadap
beberapa mahasiswa USU, diperoleh informasi bahwa ternyata mengelola emosi
dengan baik memberikan dampak yang baik bagi proses belajarnya.
“pintar saja sebenarnya gak cukup. Tapi bagaimana mengatur diri dan mengatur emosi dengan baik itu gak kalah penting buat saya. Saya gak pintar-pintar kali kok, tapi prestasi saya gak buruk juga, bisa dibilang cukup memuaskan. Kadang-kadang ada hal-hal yang membuat saya bad-mood dan menimbulkan emosi negatif, namun saya selalu berusaha mengatasinya dengan baik agar tidak berdampak pada kuliah saya. Kalo emosinya sudah bagus, tentu akan sangat membantu untuk mengatur
proses belajar saya sendiri.”
Dalam penerapan self regulated learning pada mahasiswa, kecerdasan
emosional menjadi salah satu hal yang penting. Kondisi afeksi atau reaksi-reaksi
emosional menurut Pintrich dan Groot (1990), dapat memberi perubahan self
regulated learning individu dalam pencapaian tujuan dan pengunaan
proses-proses metakognitif. Mahasiswa dengan kecerdasan emosional yang baik
memiliki kesadaran akan kekuatan dan kelemahan diri, serta berorientasi ke arah
perbaikan diri. Kemampuan ini membantu mahasiswa tersebut dalam menghadapi
beban dan tugas-tugas dalam perkuliahan serta mewujudkan proses pembelajaran
yang tepat.
Mahasiswa yang mampu mengelola emosinya dengan baik akan mampu
menahan diri pada waktu emosinya bergejolak. Dengan demikian mereka akan
mengarahkan emosi negatif secara efektif dan mengubahnya menjadi emosi
positif bagi kemajuan dirinya. Selain itu, mereka juga memotivasi dirinya untuk
belajar lebih baik, meninggalkan atau menjauhi hal-hal yang dapat merugikan
dalam belajar (Santoso, 2008). Emosi yang dikelola dengan baik tersebut akan
menjadi sumber energi, autensitas, dan semangat yang kuat yang dapat
memberikan sumber intuitif bagi mahasiswa. Dengan kemampuan mengelola
emosi secara efektif dan baik, seorang mahasiswa akan mampu menjadi pengatur
atau regulator bagi proses belajarnya untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Berdasarkan dinamika di atas dapat dilihat bahwa kecerdasan emosional
yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi bagaimana regulasi diri dalam
kecerdasan emosional terhadap self regulated learning pada mahasiswa
Universitas Sumatera Utara.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Adakah pengaruh kecerdasan emosional terhadap self regulated
learning pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara?
2. Seberapa besar pengaruh kecerdasan emosional terhadap self regulated
learning pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara?
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui apakah terdapat pengaruh kecerdasan emosional terhadap
self regulated learning pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara
2. Mengetahui seberapa besar pengaruh kecerdasan emosional terhadap
self regulated learning pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara
D. MANFAAT PENELITIAN
Apabila rumusan masalah dalam penelitian ini sudah terjawab dan tujuan
penelitian sudah tercapai, maka penelitian yang berjudul “Pengaruh Kecerdasan
Emosional Terhadap Self Regulated Learning Pada Mahasiswa Universitas
Sumatera Utara” ini diharapkan akan membawa manfaat sebagai berikut:
1) Manfaat teoritis
Manfaat teoritis yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah dapat
secara khusus dapat menambah wawasan dalam bidang Psikologi Pendidikan,
terutama mengenai pengaruh kecerdasan emosi terhadap self regulated
learning pada mahasiswa.
2) Manfaat praktis
Manfaat praktis yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah diharapkan dapat
memberikan kontribusi:
a. Bagi peneliti untuk dapat mengembangkan pengalaman langsung dalam
meneliti pengaruh kecerdasan emosional terhadap self regulated learning
pada mahasiswa.
b. Bagi mahasiswa/pelajar akan pentingnya mengelola emosinya dengan baik
sehingga dapat menerapkan self regulated learning dengan cara yang
tepat untuk mencapai kesuksesan dalam pendidikannya.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan berisikan uraian singkat mengenai latar belakang
masalah, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II : Landasan Teori berisi teori-teori yang berkaitan dengan variabel
yang diteliti yaitu tentang kecerdasan emosional dan self
regulated learning, hubungan antar variabel, serta hipotesa
penelitian.
Bab III : Metode Penelitian berisi uraian mengenai variabel penelitian,
sampel, metode pengumpulan data, uji coba alat ukur, prosedur
penelitian dan metode analisa data.
Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan berisi uraian mengenai gambaran
umum subjek penelitian, hasil penelitian, dan pembahasan.
Bab V : Kesimpulan dan Saran berisi mengenai kesimpulan penelitian
BAB II
LANDASAN TEORI
A. SELF REGULATED LEARNING
1. Definisi Self Regulated Learning
Self regulated learning terdiri dari dua kata yaitu self regulated dan
learning. Self regulated berarti terkelola, sedangkan learning adalah
pembelajaran. Jadi dapat disimpulkan bahwa self regulated learning adalah
pengelolaan atau pengaturan diri dalam belajar (Diah, 2004).
Zimmerman dan Martinez-Pons (1990) menyatakan bahwa self regulated
learning adalah sebuah konsep mengenai bagaimana seseorang peserta didik
menjadi regulator atau pengatur bagi belajarnya sendiri. Selain itu, self regulated
learning diartikan juga sebagai pengawasan atas perilaku dalam proses belajar
sebagai hasil dari proses internal dari tujuan, perencanaan, dan penghargaan diri
sendiri atas prestasi yang telah diraih (Friedman, 2006).
Zimmerman (dalam Rose & Winne, 1995) menyatakan bahwa dalam self
regulated learning individu dituntut aktif berpartisipasi dalam aktivitas
belajarnya, memiliki tujuan dalam belajar serta upaya yang terstruktur didasarkan
tujuan yang dimilikinya. Butler dan Winne (1993) menyatakan self regulated
learning merupakan upaya aktif individu untuk meraih tujuan yang dibuatnya
dalam aktivitas belajar dengan menggunakan strategi yang melibatkan
kemampuan kognitif, afektif dan perilaku. Selanjutnya, Zimmerman dan Schunk
pengelolaan diri dalam belajar yang mengikutsertakan kemampuan metakognisi,
motivasi dan perilaku aktif dalam belajar.
Self regulated learning dapat berlangsung apabila peserta didik secara
sistematis mengarahkan perilakunya dan kognisinya dengan cara memberi
perhatian pada instruksi-instruksi, tugas-tugas, melakukan proses dan
menginterpretasikan pengetahuan, mengulang-mengulang informasi untuk
mengingatnya serta mengembangkan dan memelihara keyakinan positifnya
tentang kemampuan belajar dan mampu mengantisipasi hasil belajarnya (Schunk,
dalam Schunk & Zimmerman, 1998).
Berdasarkan definisi self regulated learning yang dikemukakan diatas,
maka dapat disimpulkan bahwa self regulated learning adalah upaya individu
untuk mengatur diri dalam belajar yang melibatkan kognisi, afeksi, dan perilaku
individu dalam mencapai tujuan belajar.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Regulated Learning
Berdasarkan perspektif sosial kognitif yang dikemukakan Bandura
(Zimmerman, 1998) bahwa self regulated learning ditentukan oleh 3 faktor yakni
faktor personal, perilaku, dan lingkungan :
a. Faktor personal
Self regulated learning terjadi dimana siswa dapat menggunakan proses
personal (kognitif) untuk mengatur perilaku dan lingkungan belajar di
sekitarnya secara strategis. Faktor personal melibatkan self efficacy yang
mengacu kepada penilaian individu terhadap kemampuannya untuk
belajar. Pengetahuan self regulated learning harus memiliki kualitas
pengetahuan prosedural dan pengetahuan bersyarat. Pengetahuan prosedural
mengacu kepada pengetahuan bagaimana menggunakan strategi, sedangkan
pengetahuan bersyarat mengarah kepada pengetahuan kapan dan mengapa
strategi tersebut berjalan efektif. Pengetahuan self regulated learning tidak
hanya bergantung kepada pengetahuan siswa tetapi juga proses metakognitif
pada pengambilan keputusan dan perfoma yang dihasilkan dengan melibatkan
perencanaan atau analisis tugas yang berfungsi mengarahkan usaha dalam
mengontrol belajar.
Pengambilan keputusan metakognitif tergantung juga kepada tujuan
jangka panjang siswa dalam belajar. Tujuan merupakan kriteria yang
digunakan siswa untuk memonitor mereka dalam belajar. Tujuan dan
pemakaian proses metakognitif dipengaruhi oleh persepsi terhadap self
efficacy dan afeksi. Afeksi mengacu kepada kemampuan mengatasi emosi
yang timbul dalam diri meliputi kecemasan dan perasaan depresif yang
menghalangi pola pikir dalam mencapai tujuan.
Faktor personal melibatkan penggunaan strategi mengatur materi pelajaran
(organizing & transforming), membuat rencana dan tujuan yang ingin dicapai
(goal setting and planning), mencatat hal-hal penting (keeping record and
monitoring), serta mengulang dan mengingat materi pelajaran (rehearsing and
b. Faktor perilaku
Mengacu kepada kemampuan siswa dalam menggunakan strategi self
evaluation sehingga mendapatkan informasi tentang keakuratan dan mengecek
kelanjutan dari hasil umpan balik. Perilaku siswa dalam berperilaku yang
berhubungan dengan self regulated learning yaitu observasi diri (self
observation), penilaian diri (self-judgment), dan reaksi diri (self-reaction).
Komponen tersebut terdiri dari perilaku yang dapat diamati, dilatih dan saling
mempengaruhi. Oleh karena itu, ketiga komponen tersebut dikategorikan
sebagai faktor perilaku yang mempengaruhi self regulated learning. Faktor
perilaku ini melibatkan penggunaan strategi evaluasi terhadap diri
(selfevaluation) dan konsekuensi terhadap diri (self-consequences).
c. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan berinteraksi secara timbal balik dengan faktor personal
dan perilaku. Mengacu kepada sikap proaktif siswa untuk menggunakan
strategi mengubah lingkungan belajar seperti penataan lingkungan belajar,
mengurangi kebisingan, dan pencarian sumber belajar yang relevan.
Matsumoto (2008), menambahkan bahwa faktor budaya turut mempengaruhi
penerapan self regulated learning. Nilai-nilai budaya yang dianut siswa akan
berperan dalam menerapkan self regulated learning agar tercapainya tujuan
belajar. Individu yang menerapkan self regulated learning biasanya
menggunakan strategi mencari informasi (seeking information), mengatur
(seeking social assistance), serta meninjau kembali catatan, tugas, atau tes
sebelumnya dan buku pelajaran (review record).
Selain itu, Cobb (2003) menyatakan bahwa self regulated learning
dipengaruhi oleh3 faktor yaitu self efficacy, motivasi dan tujuan.
a. Self efficacy
Self efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau
kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, atau
mengatasi hambatan dalam belajar (Bandura dalam Cobb, 2003). Self efficacy
dapat mempengaruhi peserta didik dalam memilih suatu tugas, usaha,
ketekunan, dan prestasi. Peserta didik yang memiliki self efficacy yang tinggi
akan meningkatkan penggunaan kognitif dan strategi self regulated learning.
Peserta didik yang merasa mampu menguasai suatu keahlian atau
melaksanakan suatu tugas akan lebih siap untuk berpartisipasi, bekerja keras,
lebih ulet dalam menghadapi kesulitan, dan mencapai level yang lebih tinggi.
b. Motivasi
Menurut Cobb (2003), motivasi yang dimiliki peserta didik secara positif
berhubungan dengan self regulated learning. Motivasi dibutuhkan peserta
didik untuk melaksanakan strategi yang akan mempengaruhi proses belajar.
Peserta didik cenderung akan lebih efisien mengatur waktunya dan efektif
dalam belajar apabila memiliki motivasi belajar. Motivasi yang berasal dari
dalam diri seseorang (intrinsic) cenderung akan lebih memberikan hasil positif
dalam proses belajar dan meraih prestasi yang baik. Motivasi ini akan lebih
dari luar diri (extrinsic). Walaupun demikian bukan berarti motivasi dari luar
diri (extrinsic) tidak penting. Kedua jenis motivasi ini sangat berperan dalam
proses belajar. Peserta didik kadang termotivasi belajar oleh keduanya,
misalnya mereka mengharapkan pemenuhan kepuasan atas keingintahuannya
dengan belajar giat, namun mereka juga mengharapkan ganjaran (reward) dari
luar atas prestasi yang mereka capai.
c. Tujuan (goals)
Menurut Cobb (2003) goal merupakan penetapan tujuan apa yang hendak
dicapai seseorang. Goal merupakan kriteria yang digunakan peserta didik
untuk memonitor kemajuan mereka dalam belajar. Goal memiliki dua fungsi
dalam self regulated learning yaitu menuntun peserta didik untuk memonitor
dan mengatur usahanya dalam arah yang spesifik. Selain itu goal juga
merupakan kriteria bagi peserta didik untuk mengevaluasi performansi
mereka. Efek dari goal tergantung atas hasil (outcomes) yang diharapkan.
Hasil ini apat dikategorikan menjadi dua orientasi yaitu: orientasi pada
pembelajaran (learning) dan orientasi pada penampilan (performance) (Meece
dalam Cobb, 2003). Orientasi pada pembelajaran (learning goals) fokus pada
proses pencapaian kemampuan dan pemahaman betapapun sulitnya usaha
yang harus dilakukan untuk mencapai goal tersebut. Sedangkan orientasi pada
penampilan (performance goal) fokus pada pencapaian penampilan yang baik
di pandangan orang lain atau penghindaran penilaian negatif dari lingkungan.
tinggi dan menunjukkan penggunaan strategi self regulated learning melalui
proses informasi yang mendalam (deep).
3. Perkembangan Self Regulated Learning
Schunk dan Zimmerman (1998) menyatakan bahwa kondisi individu,
sosial dan lingkungan yang membuat peserta didik memiliki kompetensi self
regulated learning pada awalnya berkembang dari pengaruh sosial lalu kemudian
beralih pada pengaruh diri sendiri. Selanjutnya, ia menyatakan bahwa kemampuan
self regulated learning muncul dalam serangkaian tingkat kemampuan regulasi
yang meliputi empat tingkat perkembangan yaitu tingkat pengamatan, persamaan,
kontrol diri dan regulasi diri.
Pada level perkembangan pengamatan dan peniruan, kompetensi self
regulated learning peserta didik berkembang dari pengaruh sosial yang meliputi
guru, orang tua, pelatih dan teman sebaya. Selanjutnya pada level perkembangan
kontrol diri dan pengaturan diri, peserta didik sudah mampu menerapkan strategi
self regulated learning secara mandiri.
Ada 4 (empat) level perkembangan self regulated learning, antara lain
adalah sebagai berikut:
a. Level Pengamatan (observational)
Pada level pengamatan ini, sebagian peserta didik dapat menyerap ciri-ciri
utama strategi belajar dengan mengamati model. Dalam hal ini guru yang
bertindak sebagai model, menjelaskan bagaimana proses berpikir ketika
sedang mengerjakan tugas. Dengan mempersepsikan kesamaan dengan model
peserta didik (pengamat) termotivasi untuk mengembangkan kemampuan self
regulated learning.
b. Level Persamaan (emulative)
Pada level ini peserta didik menunjukkan performansi yang hampir sama
dengan kondisi umum dari model. Peserta didik (pengamat) tidak secara
langsung meniru model, namun berusaha menyamakan gaya atau pola-pola
yang umum saja. Hal ini penting dalam perkembangan self regulatory karena
peserta didik perlu menunjukkan strategi secara personal agar masuk ke dalam
skema mereka. Pada fase ini bimbingan, umpan balik dan penguatan dari
lingkungan sosial perlu diberikan agar peserta didik dapat melanjutkan
pembelajaran secara fungsional.
c. Level Kontrol Diri (self controlled)
Peserta didik sudah mampu menggunakan sendiri strategi-strategi belajar
ketika mengerjakan tugas. Strategi-strategi yang digunakan sudah
terinternalisasi, namun masih dipengaruhi oleh gambaran standar performansi
yang ditunjukkan oleh model (seperti bayangan akan performansi model
sebelumnya) dan sudah menggunakan proses self reward.
d. Level Pengaturan Diri (self regulated)
Merupakan level terakhir dimana peserta didik mulai menggunakan
strategi-strategi yang disesuaikan dengan situasi dan termotivasi oleh tujuan serta self
efficacy untuk berprestasi. Peserta didik sudah bisa memilih kapan
menggunakan strategi-strategi khusus dan mengadaptasinya untuk kondisi
4. Strategi Self Regulated Learning
Strategi self regulated learning merupakan kompilasi dari perencanaan
yang digunakan peserta didik untuk mencapai tujuan belajar (Cobb, 2003).
Penelitian yang dilakukan oleh Spitzer (2000) menunjukkan bahwa strategi self
regulated learning berkaitan erat dengan performansi akademik dimana peserta
didik yang menerapkan strategi self regulated learning mengambil alih afeksi,
pikiran dan tingkah lakunya sehingga menunjang prestasi belajar yang baik.
Zimmerman dan Martinez-Pons (dalam Purdie, Hattie & Douglas, 1996)
melakukan sebuah penelitian dengan metode wawancara yang telah menghasilkan
14 kategori perilaku belajar sebagai strategi self regulated learning sebagai
berikut :
a. Evaluasi terhadap kemajuan tugas (self evaluating)
Merupakan inisiatif peserta didik dalam melakukan evaluasi terhadap kualitas
tugas dan kemajuan pekerjaannya. Peserta didik memutuskan apakah hal-hal
yang telah dipelajari mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya. Dalam hal
ini peserta didik membandingkan informasi yang didapat melalui self
monitoring dengan beberapa standar atau tujuan yang dimiliki.
b. Mengatur materi pelajaran (organizing & transforming)
Strategi organizing menandakan perilaku overt dan covert dari peserta didik
untuk mengatur materi yang dipelajari dengan tujuan meningkatkan efektivitas
proses belajar. Strategi transforming dilakukan dengan mengubah materi
c. Membuat rencana dan tujuan belajar (goal setting & planning)
Strategi ini merupakan pengaturan peserta didik terhadap tujuan umum dan
tujuan khusus dari belajar dan perencanaan untuk urutan pengerjaan tugas,
bagaimana memanfaatkan waktu dan menyelesaikan kegiatan yang
berhubungan dengan tujuan tersebut. Perencanaan akan membantu peserta
didik untuk menemu-kenali konflik dan krisis yang potensial serta
meminimalisir tugas-tugas yang mendesak. Perencanaan juga memungkinkan
peserta didik untuk fokus pada hal-hal yang penting bagi perolehan
kesuksesan jangka panjang. Untuk mendapatkan manfaat sebesar mungkin
dari perencanaan, maka perencanaan perlu ditinjau kembali secara rutin.
d. Mencari informasi (seeking information)
Peserta didik memiliki inisiatif untuk berusaha mencari informasi di luar
sumber-sumber sosial ketika mengerjakan tugas ataupun ketika mempelajari
suatu materi pelajaran. Strategi ini dilakukan dengan menetapkan informasi
apa yang penting dan bagaimana cara mendapatkan informasi tersebut.
e. Mencatat hal penting (keeping record & monitoring)
Strategi ini dilakukan dengan mencatat hal-hal penting yang berhubungan
dengan topik yang dipelajari, kemudian menyimpan hasil tes, tugas maupun
catatan yang telah dikerjakan.
f. Mengatur lingkungan belajar (environmental structuring)
Peserta didik berusaha memilih dan mengatur aspek lingkungan fisik dengan
g. Konsekuensi setelah mengerjakan tugas (self consequences)
Strategi ini dilakukan dengan mengatur atau membayangkan reward atau
punishment yang didapatkan bila berhasil atau gagal dalam mengerjakan
tugas.
h. Mengulang dan mengingat (rehearsing & memorizing)
Peserta didik berusaha mempelajari ulang materi pelajaran dan mengingat
bahan bacaan dengan perilaku yang overt dan covert.
i. Meminta bantuan teman sebaya (seek peer asistance)
Bila menghadapi masalah yang berhubungan dengan tugas yang sedang
dikerjakan, peserta didik meminta bantuan teman sebaya.
j. Meminta bantuan guru/pengajar (seek teacher assistance)
Bertanya kepada guru atau dosen di dalam atau pun di luar jam belajar dengan
tujuan untuk dapat membantu menyelesaikan tugas dengan baik.
k. Meminta bantuan orang dewasa (seek adult assistance)
Meminta bantuan orang dewasa yang berada di dalam dan di luar lingkungan
belajar bila ada yang tidak dimengerti yang berhubungan dengan pelajaran .
Orang dewasa yang dimaksud dalam hal ini adalah orang yang lebih
berpengalaman, bisa saja senior di kampus.
l. Mengulang tugas atau test sebelumnya (review test/work)
Pertanyaan-pertanyaan ujian terdahulu mengenai topik tertentu dan tugas yang
telah dikerjakan dijadikan sumber informasi untuk belajar.
Sebelum mengikuti tujuan, peserta didik meninjau ulang catatan sehingga
mengetahui topik apa saja yang akan di uji.
n. Mengulang buku pelajaran (review texts book)
Membaca buku merupakan sumber informasi yang dijadikan pendukung
catatan sebagai sarana belajar.
B. KECERDASAN EMOSIONAL
1. Definisi Kecerdasan Emosional
Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990
oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari
University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional
yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Salovey dan Mayer (dalam
Yulisubandi, 2009) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai himpunan
bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan
sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya
dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.
Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat
menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama
orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan
kecerdasan emosional.
Goleman (2005) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai
kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, memotivasi
diri sendiri, serta mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam
dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi
kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan
jiwa. Tidak hanya itu, kecerdasan emosional juga meliputi kemampuan untuk
menilai dengan tepat, menghargai, mengekspresikan emosi, sehingga
memudahkan dalam berpikir dan meningkatkan prestasi (Goleman, 2006).
Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya
pada porsi yang tepat, memilah kepuasan, dan mengatur suasana hati.
Selanjutnya, Davies (dalam Casmini, 2007) menjelaskan bahwa kecerdasan emosi
adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan emosi dirinya sendiri dan
orang lain, membedakan satu emosi dengan lainnya dan menggunakan informasi
tersebut untuk menuntun proses berpikir dan berperilaku seseorang. Dari
pengertian yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan
emosional adalah kemampuan seseorang dalam mengenali perasaan diri sendiri
dan perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri, serta mengelola emosi dengan
baik, serta menjalin hubungan dengan orang lain.
2. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional
Goleman (2005) mencetuskan aspek-aspek kecerdasan emosi sebagai
berikut :
a. Mengenali emosi diri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali
perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Aspek mengenali emosi diri terjadi dari:
dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran
diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri.
Menurut Mayer (Goleman, 2000) kesadaran diri adalah waspada terhadap
suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka
individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi.
Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun
merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga
individu mudah menguasai emosi.
b. Mengelola emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan
agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai
keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap
terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan,
yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan
kita (Goleman, 2009). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk
menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau
ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan
untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.
c. Memotivasi diri sendiri
Dalam mengerjakan sesuatu, memotivasi diri sendiri adalah salah satu kunci
keberhasilan. Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri
kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan
motivasi yang positif, yaitu antusiasme, gairah, optimis dan keyakinan diri.
d. Mengenali emosi orang lain
Kemampuan mengenali emosi orang lain sangat bergantung pada kesadaran
diri emosi. Empati merupakan salah salah satu kemampuan mengenali emosi
orang lain, dengan ikut merasakan apa yang dialami oleh orang lain. Menurut
Goleman (2005) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau
peduli, menunjukkan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan
empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi dan
mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan oleh orang lain sehingga ia lebih
mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasan orang lain
dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.
e. Membina hubungan dengan orang lain
Kemampuan membina hubungan sebagian besar merupakan keterampilan
mengelola emosi orang lain. Keterampilan ini merupakan keterampilan yang
menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antar pribadi. Orang
yang dapat membina hubungan dengan orang lain akan sukses dalam bidang
apa pun yang mengandalkan pergaulan yang mulus dengan orang lain.
Goleman (2009) juga menambahkan, aspek-aspek kecerdasan emosi
a. Kesadaran diri
Mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk
memandu pengambilan keputusan untuk diri sendiri memiliki tolak ukur
realitas atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.
b. Pengaturan diri
Menangani emosi kita sedemikian rupa sehingga berdampak positif kepada
pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup untuk menunda
kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, mampu pulih kembali dari
tekanan emosi.
c. Motivasi
Kemampuan menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan
dan menuntut kita menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan
bertindak sangat efektif dan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan
frustasi.
d. Empati
Merasakan yang dirasakan orang lain, mampu memahami prespektif mereka,
menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan
bermacam macam orang.
e. Keterampilan sosial
Menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan
cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar
menggunakan keterampilan keterampilan ini mempengaruhi dan memimpin,
Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan dapat
disimpulkan aspek-aspek kecerdasan emosi meliputi kemampuan mengenali
emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain,
membina hubungan. Untuk selanjutnya dijadikan indikator alat ukur kecerdasan
emosi dalam penelitian, dengan pertimbangan aspek-aspek tersebut sudah cukup
mewakili dalam mengungkap sejauh mana kecerdasan emosi subjek penelitian.
3. Faktor-Faktor yang Menpengaruhi Kecerdasan Emosional
Goleman (2009) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kecerdasan emosional seseorang yaitu:
a. Lingkungan keluarga
Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari emosi.
Kecerdasan emosi dapat diajarkan pada saat masih bayi dengan cara
contoh-contoh ekspresi. Peristiwa emosional yang terjadi pada masa anak-anak akan
melekat dan menetap secara permanen hingga dewasa kehidupan emosional
yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak dikemudian
hari.
b. Lingkungan non keluarga
Hal ini yang terkait adalah lingkungan masyarakat dan pendidikan.
Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan
mental anak. Pembelajaran ini biasanya ditujukan dalam suatu aktivitas
bermain peran sebagai seseorang di luar dirinya dengan emosi yang menyertai
Menurut Le Dove (dalam Goleman, 2009) bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kecerdasan emosi antara lain:
a. Fisik
Secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling berpengaruh terhadap
kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi saraf emosinya. Bagian otak yang
digunakan untuk berfikir yaitu konteks (kadang kadang disebut juga neo
konteks). Sebagai bagian yang berada dibagian otak yang mengurusi emosi
yaitu system limbic, tetapi sesungguhnya antara kedua bagian inilah yang
menentukan kecerdasan emosi seseorang.
1) Korteks
Bagian ini berupa bagian berlipat-lipat kira kira 3 milimeter yang
membungkus hemisfer serebral dalam otak. Korteks berperan penting
dalam memahami sesuatu secara mendalam, menganalisis mengapa
mengalami perasaan tertentu dan selanjutnya berbuat sesuatu untuk
mengatasinya. Korteks khusus lobus prefrontal, dapat bertindak sebagai
saklar peredam yang memberi arti terhadap situasi emosi sebelum berbuat
sesuatu.
2) Sistem Limbik
Bagian ini sering disebut sebagai emosi otak yang letaknya jauh di dalam
hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas pengaturan
emosi dan implus. Sistem limbik meliputi hyppocampus, tempat
emosi. Selain itu ada amyglada yang dipandang sebagai pusat
pengendalian emosi pada otak.
b. Psikis
Kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian individu, juga dapat
dipupuk dan diperkuat dalam diri individu. Berdasarkan uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan
emosi seseorang yaitu secara fisik dan psikis. Secara fisik terletak dibagian
otak yaitu korteks dan sistem limbik, secara psikis meliputi lingkungan
keluarga dan lingkungan non keluarga.
4. Ciri-Ciri Kecerdasan Emosi Tinggi dan Rendah
Goleman (1995) mengemukakan karakteristik individu yang memiliki
kecerdasan emosi yang tinggi dan rendah sebagai berikut:
a. Kecerdasan emosi tinggi yaitu mampu mengendalikan perasaan marah, tidak
agresif dan memiliki kesabaran, memikirkan akibat sebelum bertindak,
berusaha dan mempunyai daya tahan untuk mencapai tujuan hidupnya,
menyadari perasaan diri sendiri dan orang lain, dapat berempati pada orang
lain, dapat mengendalikan mood atau perasaan negatif, memiliki konsep diri
yang positif, mudah menjalin persahabatan dengan orang lain, mahir dalam
berkomunikasi, dan dapat menyelesaikan konflik sosial dengan cara damai.
b. Kecerdasan emosi rendah yaitu bertindak mengikuti perasaan tanpa
memikirkan akibatnya, pemarah, bertindak agresif dan tidak sabar, memiliki
tujuan hidup dan cita-cita yang tidak jelas, mudah putus asa, kurang peka
perasaan dan mood yang negatif, mudah terpengaruh oleh perasaan negatif,
memiliki konsep diri yang negatif, tidak mampu menjalin persahabatan yang
baik dengan orang lain, tidak mampu berkomunikasi dengan baik, dan
menyelesaikan konflik sosial dengan kekerasan.
C. MAHASISWA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Mahasiswa merupakan suatu kelompok individu dalam masyarakat yang
memperoleh statusnya melalui perguruan tinggi tempat mereka menuntut ilmu.
Secara administratif, mahasiswa ialah orang yang terdaftar di perguruan tinggi
(akademik, institut, universitas), mengikuti semester berjalan dan memiliki kartu
mahasiswa untuk pembuktian. Salim & Salim (2002) mendefinisikan mahasiswa
sebagai orang yang terdaftar dan menjalani pendidikan di perguruan tinggi.
Sementara, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mahasiswa adalah orang
yang belajar di perguruan tinggi. Rentang usia mahasiswa dapat dibagi atas
mahasiswa dari semester I hingga semester IV dengan rentang usia 18-19 sampai
dengan usia 20-21 tahun dan mahasiswa semester V hingga semester VI dalam
rentang usia 21-22 tahun sampai 24-25 (Winkel, 1997).
Universitas Sumatera Utara adalah salah satu universitas negeri yang
terletak di kota Medan. Sejarah Universitas Sumatera Utara (USU) dimulai
dengan berdirinya Yayasan Universitet Sumatera Utara pada tanggal 4 Juni 1952.
Sejak awal pendiriannya, USU dipersiapkan menjadi pusat pendidikan tinggi di
Kawasan Barat Indonesia. Sewaktu didirikan pada tahun 1952, USU merupakan
sebuah Yayasan, kemudian beralih status menjadi perguruan tinggi negeri (PTN)
Hukum Milik Negara (PT-BHMN) pada tahun 2003 (Sumber:
http://www.usu.ac.id)
Visi Universitas adalah "Menjadi Universitas untuk Industri atau
“University for Industry". Misi Universitas adalah menyiapkan mahasiswa
menjadi anggota masyarakat dengan kemampuan akademik dan/atau profesional
untuk menerapkan, mengembangkan dan memperkaya ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni, serta pengembangan aplikasinya untuk meningkatkan
kemakmuran masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional dan memperluas
partisipasi dalam pembelajaran sesuai dengan kebutuhan nasional untuk
pembelajaran, dan memodernisasikan cara penyampaian pembelajaran.
Berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Sumatera Utara
No:1178/H5.1.R/SK/KRK/2008 tentang kebijakan akademik Universitas
Sumatera Utara, pada bab II pasal 2 mengenai kebijakan umum disebutkan bahwa
pelaksanaan pendidikan di lingkungan USU dirancang dengan
mempertimbangkan pergeseran paradigma pendidikan yang semula lebih fokus
pada pengajaran oleh dosen menjadi fokus pada pembelajaran oleh mahasiswa
(student-learning). Menurut Santrock (2004) dalam prinsip student-learning,
peserta didik aktif, memiliki tujuan dan mampu mengatur pembelajaran sendiri
(self regulated learning) yang meliputi beberapa faktor, yaitu metakognitif, tujuan
proses pembelajaran, konstruksi pengetahuan, pemikiran strategis, konteks
merupakan salah satu strategi belajar yang mempunyai peran penting dalam
menentukan kesuksesan di perguruan tinggi (Spitzer, 2000).
Saat ini, USU memiliki 14 fakultas yaitu Kedokteran, Hukum, Pertanian,
Teknik, Kedokteran Gigi, Ekonomi, Sastra, Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Kesehatan Masyarakat, Farmasi,
Psikologi, Keperawatan dan Pascasarjana. Jumlah program studi yang ditawarkan
sebanyak 136, terdiri dari 19 tingkat doktoral, 32 magister, 18 spesialis, 5 profesi,
47 sarjana, dan 15 diploma. Jumlah mahasiswa terdaftar saat ini lebih dari 33.000
orang.
Berdasarkan definisi yang telah diuraikan di atas, mahasiswa merupakan
peserta didik yang terdaftar dan menjalani pendidikan pada perguruan tinggi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa mahasiswa Universitas Sumatera Utara
merupakan peserta didik yang terdaftar dan menjalani pendidikan di Universitas
Sumatera Utara.
D. DINAMIKA PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL
TERHADAP SELF REGULATED LEARNING
Mahasiswa yang sukses akan mengatur diri sendiri, mengontrol
faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar, menciptakan kondisi yang optimal
untuk belajar, dan menghilangkan rintangan yang dapat mengganggu proses
belajar (Dembo, 2004). Dunia mahasiswa juga bukan lagi dunia sebagaimana
layaknya di SMA yang masih dibimbing orang tua dan guru. Mahasiswa dituntut
untuk mandiri dalam segala hal, terutama dalam proses belajarnya. Salah satu
kesuksesan di perguruan tinggi adalah kemampuan meregulasi diri dalam belajar
atau disebut juga dengan self regulated learning (Spitzer, 2000).
Self-regulated learning adalah sebuah konsep mengenai bagaimana
seorang peserta didik menjadi regulator atau pengatur bagi belajarnya sendiri
(Zimmerman & Martinez-Pons, dalam Schunk & Zimmerman, 1998). Hal ini
berkaitan erat dengan performansi akademik pada mahasiswa di mana mahasiswa
yang menerapkan strategi self regulated learning mengambil alih afeksi, pikiran
dan tingkah lakunya sehingga menunjang prestasi belajar yang baik (Spitzer,
2000). Dengan kata lain mereka harus mampu menjadi self regulated learners
yaitu seseorang yang mampu menggabungkan antara kemampuan akademik dan
self control agar membuat belajar menjadi mudah sehingga mereka lebih
termotivasi dengan kata lain mereka memiliki kemampuan (skill) dan keinginan
untuk belajar (Woolfolk, 2004).
Self-regulated learning dapat berlangsung apabila peserta didik secara
sistematis mengarahkan afeksi, perilaku, dan kognisinya dengan cara memberi
perhatian pada instruksi-instruksi, tugas-tugas, melakukan proses dan
menginterpretasikan pengetahuan, mengulang-mengulang informasi untuk
mengingatnya serta mengembangkan dan memelihara keyakinan positifnya
tentang kemampuan belajar dan mampu mengantisipasi hasil belajarnya (Schunk,
dalam Schunk & Zimmerman, 1998).
Papalia (dalam Gunarsa, 2004) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang
dapat mengembangkan regulasi diri adalah proses perhatian dan kesadaran
sadar akan emosi negatif adalah individu yang mengenali diri dan memahami
emosinya sehingga mampu meregulasi dirinya dengan lebih baik. Selanjutnya,
Gilliom (dalam Gunarsa, 2004) mengatakan faktor-faktor yang mempengaruhi
regulasi diri adalah regulasi emosional (emotional regulation). Seseorang yang
mampu meregulasi emosinya dengan baik akan mampu meregulasi diri dalam
tugas-tugas tertentu. Hal ini disebabkan karena kondisi emosional akan
mempengaruhi bagaimana seseorang berperilaku sesuai dengan tujuan yang
hendak dicapai.
Papalia dan Olds (2001) menyatakan bahwa regulasi diri juga berkaitan
dengan kemampuan mental serta pengendalian emosi, dimana seluruh
perkembangan kognitif, fisik, serta pengendalian emosi dan kemampuan
sosialisasi yang baik, membawa seseorang dapat mengatur dirinya dengan baik.
Dalam penerapan regulasi diri dalam belajar (self regulated learning),
kemampuan dalam mengendalikan dan meregulasi emosi menjadi salah satu
faktor yang sangat penting, dimana self regulated learning tidak hanya mengarah
pada perilaku dan kognisi saja, akan tetapi peran afeksi (perasaan) juga turut
berkontribusi dalam mewujudkan tercapainya tujuan belajar. Kemampuan ini juga
dapat membantu mahasiswa dalam menghadapi beban dan tugas-tugas
perkuliahan. Kemampuan dalam meregulasi emosi ini dikenal juga dengan istilah
kecerdasan emosional.
Goleman (2005) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai
kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, memotivasi