• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Self Regulated Learning Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Self Regulated Learning Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP

SELF

REGULATED LEARNING

PADA MAHASISWA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

PUTRI RATNAISKANA PANDIANGAN

101301126

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

SKRIPSI

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP

SELF

REGULATED LEARNING

PADA MAHASISWA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dipersiapkan dan disusun oleh:

PUTRI RATNAISKANA PANDIANGAN 101301126

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 9 Juni 2014

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Dian Ulfasari, M.Psi., psikolog Penguji I/Pembimbing

NIP. 198108242008122002 ________

2. Sri Supriyantini, M.Si.,psikolog Penguji II

NIP. 196204092000122001 ________

3. Etty Rahmawati, M.Si. Penguji III

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Self Regulated Learning Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Mei 2014

Putri Ratnaiskana Pandiangan

(4)

Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Self Regulated Learning Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara

Putri Ratnaiskana Pandiangan dan Dian Ulfasari

ABSTRAK

Menjadi seorang mahasiswa yang sukses dalam pendidikannya tentu bukanlah suatu hal yang mudah. Dalam prinsip student-learning yang diterapkan di perguruan tinggi diperlukan sebuah strategi belajar seperti self regulated learning yaitu konsep bagaimana seseorang menjadi pengatur bagi belajarnya sendiri. Penerapan self regulated learning berhubungan positif dengan kecerdasan emosional. Kondisi afeksi atau reaksi-reaksi emosional menurut Pintrich dan Groot (1990), dapat memberi perubahan self regulated learning individu dalam pencapaian tujuan dan pengunaan proses-proses metakognitif. Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada pengaruh kecerdasan emosional terhadap self regulated learning pada mahasiswaUniversitas Sumatera Utara.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode korelasional. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 395 orang yang berasal dari 14 fakultas. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik nonprobabilitas jenis proportional sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala self regulated learning yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan 14 kategori strategi self regulated learning yang dikemukakan oleh Zimmerman (dalam Purdie, Hattie & Douglas, 1996) dan skala kecerdasan emosional yang disusun berdasarkan 5 aspek kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh Goleman (2005).

Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan regresi linear diperoleh bahwa nilai p = 0.000. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh kecerdasan emosional terhadap self regulated learning pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara.

(5)

The Effect of Emotional Intelligence on Self Regulated Learning in Students at University Of Sumatera Utara

Putri Ratnaiskana Pandiangan and Dian Ulfasari

ABSTRACT

Being a successful student in education is certainly not an easy thing. In the student-learning principle that is applied in college takes a learning strategies such as self regulated learning, which is the concept of how a person becomes a regulator for their own learning. Application of self regulated learning is positively related to emotional intelligence. Affective conditions or emotional reactions according to Pintrich and Groot (1990), can give the individual changes in self regulated learning to achieve the goals and use metacognitive processes. This study aimed to determine whether there is influence of emotional intelligence on self-regulated learning in students at the University of Sumatera Utara.

This study uses a quantitative approach with a correlation method. The number of participants in this study were 395 people from 14 faculties. Sampling technique that is used is proportional non-random sampling. Measuring instruments used in this study are self-regulated learning scale were compiled by researchers based on 14 categories of self-regulated learning strategies proposed by Zimmerman (in Purdie, Hattie & Douglas, 1996) and emotional intelligence scale which is based on five aspects of emotional intelligence proposed by Goleman (2005).

The results of the analysis of research data using linear regression showed that the value of p = 0.000. This showed that there is the influence of emotional intelligence on self regulated learning in students at the University of Sumatera Utara.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang

telah memberikan rahmat dan karunia-Nya dalam penyelesaian skripsi yang

berjudul “Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Self Regulated Learning

Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara”. Penyusunan skripsi ini dilakukan

dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi

di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai

pihak, baik dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini sangatlah

sulit bagi peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, pada kesempatan

ini, peneliti mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Prof. Irmawati selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera

Utara.

2. Kak Dian Ulfasari, M.Psi., psikolog selaku dosen pembimbing yang telah

banyak memberikan ide, kritik, saran, dan dorongan selama proses

penyusunan skripsi ini. Terima kasih buat kesabaran dan perhatiannya.

3. Ibu Sri Supriyantini, M.Si., psikolog dan Ibu Etty Rahmawati, M.Si selaku

dosen penguji. Terima kasih atas kesediaan ibu untuk menjadi penguji skripsi

dan terima kasih atas masukan yang ibu berikan.

4. Ibu Elvi Andriani Yusuf, M.Psi., psikolog selaku dosen pembimbing

akademik yang telah banyak memberikan arahan dan dukungan selama

(7)

5. Teristimewa untuk orang tua peneliti, ayahanda E. Pandiangan, S.Pd. dan

ibunda R. L. Pardosi yang telah membesarkan, memberikan semangat,

motivasi dan pengorbanan, dan dukungan yang luar biasa serta selalu

menyertai peneliti dalam doa selama menjalani perkuliahan hingga

penyelesaian skripsi ini.

6. Untuk abangku Pulo Hardy Christian Pandiangan, S.Kom. dan drg. Chandra

Pebriady Hamonangan Pandiangan, adikku Tito Daniel Pandiangan, Ari Prima

Pandiangan, dan Dwi Lady Pandiangan yang juga turut mendoakan penulis

hingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Terima kasih atas doa,

dukungan, perhatian, semangat, dan kasih sayangnya.

7. Seluruh staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang

telah memberikan ilmunya kepada peneliti selama menjalani pendidikan.

8. Seluruh Pegawai Fakultas Psikologi, Kak Ari, Kak Devi, Kak Ade, Pak

Iskandar dan Pak Aswan yang selalu memberikan kemudahan dalam

mengurus segala keperluan administrasi kemahasiswaan.

9. Sahabat-sahabatku tercinta, Santri Permana Tarigan, Artha Widya

Rumahorbo, S.Psi., Tota Fierda Ria Angelina Simbolon, dan Hespita Nora

Sidabutar, S.Psi. Terima kasih untuk motivasi, semangat, kasih sayang,

perhatian, dan waktu yang berharga, serta semua kebersamaan selama kita

berkuliah mulai dari semester 1 hingga saat ini.

10.Untuk Joni Smith Sinambela, M.Si. terima kasih telah mendengarkan setiap

keluh-kesah dan senantiasa memberikan semangat bagi peneliti dalam

(8)

11.Teman-teman seperjuangan angkatan 2010 di Psikologi.

12.Teman-teman yang sudah membantu peneliti dalam menyebar skala

penelitian, terutama untuk Maria Panjaitan, Arnold Panjaitan, Hanky

Tambunan, Ardi Sianipar, Otni Panjaitan, Trifose Pakpahan, S.Psi., Stefen

Sitorus, bang Join Sidabutar, S.Sos., David Siagian, dan semua pihak yang

tidak dapat disebutkan satu per satu.

13.Seluruh subjek dalam penelitian ini yang telah banyak membantu peneliti.

Terima kasih atas waktu dan kesediaannya dalam membantu peneliti.

14.Semua pihak yang terlibat dalam pengerjaan skripsi ini yang tidak dapat dapat

disebutkan satu per satu, dalam kesempatan ini peneliti juga mengucapkan

terima kasih. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua kebaikan yang

telah diberikan kepada peneliti.

Saya menyadari skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya

mengharapkan adanya kritik dan saran agar skripsi ini menjadi lebih baik lagi.

Harapan saya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Medan, Mei 2014

(9)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN

BAB II LANDASAN TEORI A. Self Regulated Learning ... 12

1. Definisi Self Regulated Learning... 12

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Regulated Learning ... 13

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional ... 27

4. Ciri-Ciri Kecerdasan Emosional Tinggi dan Rendah ... 30

(10)

D. Dinamika Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap

Self Regulated Learning ... 34

E. Hipotesis Penelitian ... 37

BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 38

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 38

C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 40

1. Populasi Sampel Penelitian ... 40

2. Metode Pengambilan Sampel Penelitian ... 41

D. Metode Pengumpulan Data ... 43

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian... 52

1. Tahap Persiapan ... 53

(11)

2. Hasil Penelitian ... 58

a. Hasil Uji Asumsi ... 58

b. Hasil Utama Penelitian ... 60

c. Hasil Penelitian Tambahan ... 62

B. Pembahasan ... 68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 72

1. Saran Metodologis ... 73

2. Saran Praktis ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 75

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Mahasiswa Aktif Program S-1 Universitas Sumatera

Utara Tahun 2013/2014... 40

Tabel 2 Pengambilan Sampel Proporsional Pada Masing-Masing Fakultas ... 42

Tabel 3 Blue Print Skala Self Regulated Learning ... 44

Tabel 4 Blue Print Skala Kecerdasan Emosional ... 45

Tabel 5 Blue-Print Skala Self Regulated Learning Setelah Uji Coba ... 49

Tabel 6 Blue Print Skala Self Regulated Learning yang Digunakan Dalam Penelitian ... 50

Tabel 7 Blue Print Skala Kecerdasan Emosional Setelah Uji Coba ... 51

Tabel 8 Blue Print Skala Kecerdasan Emosional yang Digunakan Dalam Penelitian... 51

Tabel 9 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 55

Tabel 10 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Fakultas ... 56

Tabel 11 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tahun Angkatan .. 57

Tabel 12 Nomor Subjek yang Dihapus ... 58

Tabel 13 Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov untuk Uji Normalitas ... 58

Tabel 14 Tabel ANOVA untuk Linearitas ... 59

Tabel 15 Hasil Model Summary Pada Analisa Regresi ... 60

Tabel 16 Tabel ANOVA ... 60

Tabel 17 Hasil Coefficients pada Analisis Regresi Coefficients... 60

Tabel 18 Skor Empirik dan Hipotetik Kecerdasan Emosional ... 61

Tabel 19 Kategorisasi Data Kecerdasan Emosional ... 63

Tabel 20 Skor Empirik dan Hipotetik Self Regulated Learning... 63

Tabel 21 Kategorisasi Data Self Regulated Learning... 65

Tabel 22 Kecerdasan Emosional Berdasarkan Jenis Kelamin ... 66

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Skala Uji Coba Penelitian ... 78

Lampiran 2 Skala Asli Penelitian ... 86

Lampiran 3 Reliabilitas Skala Uji Coba Penelitian ... 92

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Mahasiswa merupakan suatu kelompok individu dalam masyarakat yang

memperoleh statusnya melalui perguruan tinggi tempat mereka menuntut ilmu.

Secara administratif, mahasiswa ialah orang yang terdaftar di perguruan tinggi

(akademik, institut, universitas), mengikuti semester berjalan dan memiliki kartu

mahasiswa untuk pembuktian. Menurut Baharuddin & Makin (dalam Naam,

2009) mahasiswa merupakan subjek yang memiliki potensi untuk

mengembangkan pola kehidupannya, dan sekaligus menjadi objek dalam

keseluruhan bentuk aktivitas dan kreativitasnya, sehingga diharapkan mampu

menunjukkan kualitas daya yang dimilikinya.

Menjadi seorang mahasiswa yang sukses dalam pendidikannya tentu

bukanlah suatu hal yang mudah. Sukadji (2001) menyatakan bahwa untuk sukses

dalam pendidikan dan berhasil menerapkan ilmu yang diperolehnya, mahasiswa

harus menggunakan seluruh potensi yang dimilikinya serta mengatur strategi

belajar yang jitu. Mahasiswa yang sukses akan mengatur diri sendiri, mengontrol

faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar, menciptakan kondisi yang

optimal untuk belajar, dan menghilangkan rintangan yang dapat mengganggu

proses belajar (Dembo, 2004).

Dunia mahasiswa bukan lagi dunia sebagaimana layaknya di SMA dulu

(15)

individu untuk mandiri dalam segala hal. Di kampus, ketika ada tugas, dosen

hanya memberikan gambaran umum tentang tugas tersebut, selebihnya

dikembalikan kepada mahasiswa atau ketika dosen menjelaskan pelajaran, mereka

hanya memberikan jalan atau gambaran umum kepada mahasiswa. Berbeda

dengan guru-guru ketika di SMA, mereka benar-benar membimbing (LDK

Al-Uswah, 2010). Oleh karena itu untuk mendapatkan prestasi akademik yang

memuaskan di perguruan tinggi, diperlukan adanya kesiapan belajar yang

mencakup kesiapan mental dan keterampilan belajar (Ginting, 2003).

Universitas Sumatera Utara (USU) adalah salah satu penyelenggara pendidikan tinggi di Indonesia. Universitas yang terletak di kota Medan ini telah berdiri sejak tahun 1952 dan telah menghasilkan banyak alumni dan dipersiapkan menjadi pusat pendidikan tinggi di kawasan Barat Indonesia. Sebagai Badan

Hukum Milik Negara (BHMN) yang menyelenggarakan pendidikan tinggi,

penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, USU menuntut agar mahasiswa

USU mempersiapkan diri menjadi anggota masyarakat dengan kemampuan

akademik untuk menerapkan, mengembangkan, memperkaya, dan

menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta pengembangan

aplikasinya untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat (Buku Pedoman

Peraturan Akademik USU). Untuk dapat mencapai tujuan tersebut tentu saja

bukan hal yang mudah, mengingat besarnya tugas dan beban kuliah yang harus

(16)

Di bawah ini komunikasi personal peneliti dengan beberapa mahasiswa

tentang beban perkuliahan di USU:

“yang namanya kuliah tiada hari tanpa tugaslah pastinya. Kadang

sepanjang hari itu hanya untuk tugas ajalah, gak di kampus gak di rumah

tugas aja yang mau dikerjain”

(HCT, Komunikasi Personal, 10 Januari 2014)

“dulu mikirnya kuliah itu enak, tugasnya dikit, dan suka-suka. Karena kebetulan aku punya kakak sepupu yang kuliah di salah satu universitas swasta, dan kalo diamat-amati dia selalu santai dan kayaknya gak pernah ada tugas gitu. Jadi aku mikir semua yang kuliah itu gitu. Ternyata gak, kuliah itu benar-benar beda dengan waktu SMA kak. Apalagi kuliahnya di USU, tugasnya banyak banget dan benar-benar menyiksa. Bayangkan dalam seminggu itu, semua dosen kasih tugas. Jadi kadang gak bisa ngatur waktu. Kalo udah kayak gini kak, nanti bawaannya marah-marah sama

sensitif gitu karena otaknya dipaksa terus”

(RM, Komunikasi Personal, 10 Januari 2014).

Dari komunikasi personal yang dilakukan oleh peneliti, diperoleh bahwa

ternyata beban perkuliahan di USU itu memang tinggi, terutama untuk mahasiswa

program studi S-1 (program sarjana) yang dijadwalkan dapat menyelesaikan

studinya dalam 8 (delapan) semester dengan beban kredit 144-148 SKS. Dengan

demikian, dibutuhkan suatu strategi belajar yang dapat membantu mahasiswa

dalam menghadapi tugas-tugas dan beban perkuliahan tersebut.

Selain itu, berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Sumatera Utara

No:1178/H5.1.R/SK/KRK/2008 tentang kebijakan akademik Universitas

Sumatera Utara, pada bab II pasal 2 mengenai kebijakan umum disebutkan bahwa

pelaksanaan pendidikan di lingkungan USU dirancang dengan

mempertimbangkan pergeseran paradigma pendidikan yang semula lebih fokus

pada pengajaran oleh dosen menjadi fokus pada pembelajaran oleh mahasiswa

(student-learning). Menurut Santrock (2004) dalam prinsip student-learning,

(17)

(self regulated learning) yang meliputi beberapa faktor, yaitu metakognitif, tujuan

proses pembelajaran, konstruksi pengetahuan, pemikiran strategis, konteks

pembelajaran dan sifat proses pembelajaran. Self regulated learning juga

merupakan salah satu strategi belajar yang mempunyai peran penting dalam

menentukan kesuksesan di perguruan tinggi (Spitzer, 2000).

Zimmerman dan Martinez-Pons (1990) menyatakan bahwa self regulated

learning adalah konsep mengenai bagaimana seorang peserta didik menjadi

pengatur bagi belajarnya sendiri. Schunk (dalam Schunk & Zimmerman, 1998)

menyatakan bahwa self regulated learning dapat dikatakan berlangsung bila

peserta didik secara sistematis mengarahkan perilaku, kognisi, dan afeksinya

dengan cara memberi perhatian pada instruksi tugas-tugas, melakukan proses dan

mengintegrasikan pengetahuan, mengulang-ulang informasi untuk diingat serta

mengembangkan dan memelihara keyakinan positif tentang kemampuan belajar

dan mampu mengantisipasi hasil belajarnya.

Zimmerman (dalam Woolfolk, 2004) menambahkan bahwa dalam

penerapan self regulated learning seorang peserta didik mengaktifkan dan

mendorong kognisi (cognition), perilaku (behaviour) dan perasaannya (affect)

yang secara sistematis berorientasi pada pencapaian suatu tujuan belajar. Agar

mencapai tujuan belajar tersebut, peserta didik yang menerapkan self regulated

learning mendekati tugas belajar dengan berbagai strategi manajemen sumber

daya seperti memilih atau mengatur lingkungan fisik untuk mendukung belajar

(18)

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Marpaung (2012) terhadap

270 orang mahasiswa USU menunjukkan bahwa 80 orang (29.6%) memiliki self

regulated learning pada kategori rendah, 116 orang (42.9%) pada kategori sedang,

dan 74 orang (27.4%) pada kategori tinggi. Hasil ini tentu saja masih jauh dari

harapan, terutama bagi mahasiswa yang memiliki self regulated learning pada

kategori rendah, mengingat besarnya tanggung jawab serta beban perkuliahan

yang ditanggung oleh mahasiswa. Seharusnya mahasiswa USU memiliki self

regulated learning yang lebih baik sehingga proses belajarnya dapat berjalan

dengan lebih baik. Apalagi mengacu pada visi universitas yaitu “University for

Industry”. Untuk dapat mencapai visi tersebut mahasiswa USU harus mampu

mengatur proses pembelajarannya dengan baik dengan cara menjadi regulator

bagi belajarnya sendiri, sehingga tujuan belajar yang diharapkan dapat tercapai,

dan akhirnya akan menjadi lulusan yang kompeten dan siap pakai serta

berdayaguna di masyarakat.

Penelitian yang dilakukan Pintrich dan De Groot (dalam Wolters, 1998)

menemukan bahwa peserta didik yang menerapkan strategi self regulated learning

menunjukkan motivasi intrinsik dan self efficacy serta prestasi yang lebih tinggi.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Spitzer (2000) juga menunjukkan

bahwa self regulated learning berkaitan erat dengan performansi akademik pada

mahasiswa di mana mahasiswa yang menerapkan strategi self regulated learning

mengambil alih afeksi, pikiran dan tingkah lakunya sehingga menunjang prestasi

belajar yang baik. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa self regulated

(19)

Cox, 2008; Scott, Dearing, Reynolds, Lindsay, Baird & Hamill, 2008; Schunk &

Zimmerman, 2007) dan juga dengan kecerdasan emosional (Declerck, Boone &

De Brabander, 2006; Seligson & McPhee, 2004; West & Albrecht, 2007).

Papalia (dalam Gunarsa, 2004) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang

dapat mengembangkan regulasi diri adalah proses perhatian dan kesadaran

terhadap emosi negatif. Seseorang yang memberikan atensi atau perhatian serta

sadar akan emosi negatif adalah individu yang mengenali diri dan memahami

emosinya sehingga mampu meregulasi dirinya dengan lebih baik. Selanjutnya,

Gilliom (dalam Gunarsa, 2004) mengatakan faktor-faktor yang mempengaruhi

regulasi diri adalah regulasi emosional. Seseorang yang mampu meregulasi

emosinya dengan baik akan mampu meregulasi diri dalam tugas-tugas tertentu.

Hal ini disebabkan karena kondisi emosional akan mempengaruhi bagaimana

seseorang dalam berperilaku sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.

Dalam penerapan self regulated learning, kemampuan dalam

mengendalikan dan meregulasi emosi menjadi salah satu faktor yang sangat

penting, dimana self regulated learning tidak hanya mengarah pada perilaku dan

kognisi saja, akan tetapi peran afeksi (perasaan) juga turut berkontribusi dalam

mewujudkan tercapainya tujuan belajar. Papalia dan Olds (2001) juga menyatakan

bahwa regulasi diri juga berkaitan dengan kemampuan mental serta pengendalian

emosi, dimana seluruh perkembangan kognitif, fisik, serta pengendalian emosi

dan kemampuan sosialisasi yang baik, membawa seseorang dapat mengatur

dirinya dengan baik. Kemampuan dalam meregulasi emosi ini dikenal dengan

(20)

Kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan diri sendiri

dan perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri, serta mengelola emosi dengan

baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain (Goleman, 2005).

Hal ini berkaitan dengan kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam

memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi

dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan

emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang

tepat, memilah kepuasan, dan mengatur suasana hati.

Beberapa penelitian telah menunjukkan pentingnya seseorang memiliki

kecerdasan emosional. Hasil penelitian Gottman (1997) menunjukkan fakta bahwa

pentingnya kecerdasan emosional dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan

mengaplikasikan kecerdasan emosional dalam kehidupan akan berdampak positif

baik dalam kesehatan fisik, keberhasilan akademis, kemudahan dalam membina

hubungan dengan orang lain, dan meningkatkan resiliensi (Gottman, 1997).

Berdasarkan komunikasi personal yang dilakukan peneliti terhadap

beberapa mahasiswa USU, diperoleh informasi bahwa ternyata mengelola emosi

dengan baik memberikan dampak yang baik bagi proses belajarnya.

“pintar saja sebenarnya gak cukup. Tapi bagaimana mengatur diri dan mengatur emosi dengan baik itu gak kalah penting buat saya. Saya gak pintar-pintar kali kok, tapi prestasi saya gak buruk juga, bisa dibilang cukup memuaskan. Kadang-kadang ada hal-hal yang membuat saya bad-mood dan menimbulkan emosi negatif, namun saya selalu berusaha mengatasinya dengan baik agar tidak berdampak pada kuliah saya. Kalo emosinya sudah bagus, tentu akan sangat membantu untuk mengatur

proses belajar saya sendiri.”

(21)

Dalam penerapan self regulated learning pada mahasiswa, kecerdasan

emosional menjadi salah satu hal yang penting. Kondisi afeksi atau reaksi-reaksi

emosional menurut Pintrich dan Groot (1990), dapat memberi perubahan self

regulated learning individu dalam pencapaian tujuan dan pengunaan

proses-proses metakognitif. Mahasiswa dengan kecerdasan emosional yang baik

memiliki kesadaran akan kekuatan dan kelemahan diri, serta berorientasi ke arah

perbaikan diri. Kemampuan ini membantu mahasiswa tersebut dalam menghadapi

beban dan tugas-tugas dalam perkuliahan serta mewujudkan proses pembelajaran

yang tepat.

Mahasiswa yang mampu mengelola emosinya dengan baik akan mampu

menahan diri pada waktu emosinya bergejolak. Dengan demikian mereka akan

mengarahkan emosi negatif secara efektif dan mengubahnya menjadi emosi

positif bagi kemajuan dirinya. Selain itu, mereka juga memotivasi dirinya untuk

belajar lebih baik, meninggalkan atau menjauhi hal-hal yang dapat merugikan

dalam belajar (Santoso, 2008). Emosi yang dikelola dengan baik tersebut akan

menjadi sumber energi, autensitas, dan semangat yang kuat yang dapat

memberikan sumber intuitif bagi mahasiswa. Dengan kemampuan mengelola

emosi secara efektif dan baik, seorang mahasiswa akan mampu menjadi pengatur

atau regulator bagi proses belajarnya untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Berdasarkan dinamika di atas dapat dilihat bahwa kecerdasan emosional

yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi bagaimana regulasi diri dalam

(22)

kecerdasan emosional terhadap self regulated learning pada mahasiswa

Universitas Sumatera Utara.

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Adakah pengaruh kecerdasan emosional terhadap self regulated

learning pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara?

2. Seberapa besar pengaruh kecerdasan emosional terhadap self regulated

learning pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara?

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui apakah terdapat pengaruh kecerdasan emosional terhadap

self regulated learning pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara

2. Mengetahui seberapa besar pengaruh kecerdasan emosional terhadap

self regulated learning pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara

D. MANFAAT PENELITIAN

Apabila rumusan masalah dalam penelitian ini sudah terjawab dan tujuan

penelitian sudah tercapai, maka penelitian yang berjudul “Pengaruh Kecerdasan

Emosional Terhadap Self Regulated Learning Pada Mahasiswa Universitas

Sumatera Utara” ini diharapkan akan membawa manfaat sebagai berikut:

1) Manfaat teoritis

Manfaat teoritis yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah dapat

(23)

secara khusus dapat menambah wawasan dalam bidang Psikologi Pendidikan,

terutama mengenai pengaruh kecerdasan emosi terhadap self regulated

learning pada mahasiswa.

2) Manfaat praktis

Manfaat praktis yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah diharapkan dapat

memberikan kontribusi:

a. Bagi peneliti untuk dapat mengembangkan pengalaman langsung dalam

meneliti pengaruh kecerdasan emosional terhadap self regulated learning

pada mahasiswa.

b. Bagi mahasiswa/pelajar akan pentingnya mengelola emosinya dengan baik

sehingga dapat menerapkan self regulated learning dengan cara yang

tepat untuk mencapai kesuksesan dalam pendidikannya.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan berisikan uraian singkat mengenai latar belakang

masalah, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori berisi teori-teori yang berkaitan dengan variabel

yang diteliti yaitu tentang kecerdasan emosional dan self

regulated learning, hubungan antar variabel, serta hipotesa

penelitian.

Bab III : Metode Penelitian berisi uraian mengenai variabel penelitian,

(24)

sampel, metode pengumpulan data, uji coba alat ukur, prosedur

penelitian dan metode analisa data.

Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan berisi uraian mengenai gambaran

umum subjek penelitian, hasil penelitian, dan pembahasan.

Bab V : Kesimpulan dan Saran berisi mengenai kesimpulan penelitian

(25)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. SELF REGULATED LEARNING

1. Definisi Self Regulated Learning

Self regulated learning terdiri dari dua kata yaitu self regulated dan

learning. Self regulated berarti terkelola, sedangkan learning adalah

pembelajaran. Jadi dapat disimpulkan bahwa self regulated learning adalah

pengelolaan atau pengaturan diri dalam belajar (Diah, 2004).

Zimmerman dan Martinez-Pons (1990) menyatakan bahwa self regulated

learning adalah sebuah konsep mengenai bagaimana seseorang peserta didik

menjadi regulator atau pengatur bagi belajarnya sendiri. Selain itu, self regulated

learning diartikan juga sebagai pengawasan atas perilaku dalam proses belajar

sebagai hasil dari proses internal dari tujuan, perencanaan, dan penghargaan diri

sendiri atas prestasi yang telah diraih (Friedman, 2006).

Zimmerman (dalam Rose & Winne, 1995) menyatakan bahwa dalam self

regulated learning individu dituntut aktif berpartisipasi dalam aktivitas

belajarnya, memiliki tujuan dalam belajar serta upaya yang terstruktur didasarkan

tujuan yang dimilikinya. Butler dan Winne (1993) menyatakan self regulated

learning merupakan upaya aktif individu untuk meraih tujuan yang dibuatnya

dalam aktivitas belajar dengan menggunakan strategi yang melibatkan

kemampuan kognitif, afektif dan perilaku. Selanjutnya, Zimmerman dan Schunk

(26)

pengelolaan diri dalam belajar yang mengikutsertakan kemampuan metakognisi,

motivasi dan perilaku aktif dalam belajar.

Self regulated learning dapat berlangsung apabila peserta didik secara

sistematis mengarahkan perilakunya dan kognisinya dengan cara memberi

perhatian pada instruksi-instruksi, tugas-tugas, melakukan proses dan

menginterpretasikan pengetahuan, mengulang-mengulang informasi untuk

mengingatnya serta mengembangkan dan memelihara keyakinan positifnya

tentang kemampuan belajar dan mampu mengantisipasi hasil belajarnya (Schunk,

dalam Schunk & Zimmerman, 1998).

Berdasarkan definisi self regulated learning yang dikemukakan diatas,

maka dapat disimpulkan bahwa self regulated learning adalah upaya individu

untuk mengatur diri dalam belajar yang melibatkan kognisi, afeksi, dan perilaku

individu dalam mencapai tujuan belajar.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Regulated Learning

Berdasarkan perspektif sosial kognitif yang dikemukakan Bandura

(Zimmerman, 1998) bahwa self regulated learning ditentukan oleh 3 faktor yakni

faktor personal, perilaku, dan lingkungan :

a. Faktor personal

Self regulated learning terjadi dimana siswa dapat menggunakan proses

personal (kognitif) untuk mengatur perilaku dan lingkungan belajar di

sekitarnya secara strategis. Faktor personal melibatkan self efficacy yang

mengacu kepada penilaian individu terhadap kemampuannya untuk

(27)

belajar. Pengetahuan self regulated learning harus memiliki kualitas

pengetahuan prosedural dan pengetahuan bersyarat. Pengetahuan prosedural

mengacu kepada pengetahuan bagaimana menggunakan strategi, sedangkan

pengetahuan bersyarat mengarah kepada pengetahuan kapan dan mengapa

strategi tersebut berjalan efektif. Pengetahuan self regulated learning tidak

hanya bergantung kepada pengetahuan siswa tetapi juga proses metakognitif

pada pengambilan keputusan dan perfoma yang dihasilkan dengan melibatkan

perencanaan atau analisis tugas yang berfungsi mengarahkan usaha dalam

mengontrol belajar.

Pengambilan keputusan metakognitif tergantung juga kepada tujuan

jangka panjang siswa dalam belajar. Tujuan merupakan kriteria yang

digunakan siswa untuk memonitor mereka dalam belajar. Tujuan dan

pemakaian proses metakognitif dipengaruhi oleh persepsi terhadap self

efficacy dan afeksi. Afeksi mengacu kepada kemampuan mengatasi emosi

yang timbul dalam diri meliputi kecemasan dan perasaan depresif yang

menghalangi pola pikir dalam mencapai tujuan.

Faktor personal melibatkan penggunaan strategi mengatur materi pelajaran

(organizing & transforming), membuat rencana dan tujuan yang ingin dicapai

(goal setting and planning), mencatat hal-hal penting (keeping record and

monitoring), serta mengulang dan mengingat materi pelajaran (rehearsing and

(28)

b. Faktor perilaku

Mengacu kepada kemampuan siswa dalam menggunakan strategi self

evaluation sehingga mendapatkan informasi tentang keakuratan dan mengecek

kelanjutan dari hasil umpan balik. Perilaku siswa dalam berperilaku yang

berhubungan dengan self regulated learning yaitu observasi diri (self

observation), penilaian diri (self-judgment), dan reaksi diri (self-reaction).

Komponen tersebut terdiri dari perilaku yang dapat diamati, dilatih dan saling

mempengaruhi. Oleh karena itu, ketiga komponen tersebut dikategorikan

sebagai faktor perilaku yang mempengaruhi self regulated learning. Faktor

perilaku ini melibatkan penggunaan strategi evaluasi terhadap diri

(selfevaluation) dan konsekuensi terhadap diri (self-consequences).

c. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan berinteraksi secara timbal balik dengan faktor personal

dan perilaku. Mengacu kepada sikap proaktif siswa untuk menggunakan

strategi mengubah lingkungan belajar seperti penataan lingkungan belajar,

mengurangi kebisingan, dan pencarian sumber belajar yang relevan.

Matsumoto (2008), menambahkan bahwa faktor budaya turut mempengaruhi

penerapan self regulated learning. Nilai-nilai budaya yang dianut siswa akan

berperan dalam menerapkan self regulated learning agar tercapainya tujuan

belajar. Individu yang menerapkan self regulated learning biasanya

menggunakan strategi mencari informasi (seeking information), mengatur

(29)

(seeking social assistance), serta meninjau kembali catatan, tugas, atau tes

sebelumnya dan buku pelajaran (review record).

Selain itu, Cobb (2003) menyatakan bahwa self regulated learning

dipengaruhi oleh3 faktor yaitu self efficacy, motivasi dan tujuan.

a. Self efficacy

Self efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau

kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, atau

mengatasi hambatan dalam belajar (Bandura dalam Cobb, 2003). Self efficacy

dapat mempengaruhi peserta didik dalam memilih suatu tugas, usaha,

ketekunan, dan prestasi. Peserta didik yang memiliki self efficacy yang tinggi

akan meningkatkan penggunaan kognitif dan strategi self regulated learning.

Peserta didik yang merasa mampu menguasai suatu keahlian atau

melaksanakan suatu tugas akan lebih siap untuk berpartisipasi, bekerja keras,

lebih ulet dalam menghadapi kesulitan, dan mencapai level yang lebih tinggi.

b. Motivasi

Menurut Cobb (2003), motivasi yang dimiliki peserta didik secara positif

berhubungan dengan self regulated learning. Motivasi dibutuhkan peserta

didik untuk melaksanakan strategi yang akan mempengaruhi proses belajar.

Peserta didik cenderung akan lebih efisien mengatur waktunya dan efektif

dalam belajar apabila memiliki motivasi belajar. Motivasi yang berasal dari

dalam diri seseorang (intrinsic) cenderung akan lebih memberikan hasil positif

dalam proses belajar dan meraih prestasi yang baik. Motivasi ini akan lebih

(30)

dari luar diri (extrinsic). Walaupun demikian bukan berarti motivasi dari luar

diri (extrinsic) tidak penting. Kedua jenis motivasi ini sangat berperan dalam

proses belajar. Peserta didik kadang termotivasi belajar oleh keduanya,

misalnya mereka mengharapkan pemenuhan kepuasan atas keingintahuannya

dengan belajar giat, namun mereka juga mengharapkan ganjaran (reward) dari

luar atas prestasi yang mereka capai.

c. Tujuan (goals)

Menurut Cobb (2003) goal merupakan penetapan tujuan apa yang hendak

dicapai seseorang. Goal merupakan kriteria yang digunakan peserta didik

untuk memonitor kemajuan mereka dalam belajar. Goal memiliki dua fungsi

dalam self regulated learning yaitu menuntun peserta didik untuk memonitor

dan mengatur usahanya dalam arah yang spesifik. Selain itu goal juga

merupakan kriteria bagi peserta didik untuk mengevaluasi performansi

mereka. Efek dari goal tergantung atas hasil (outcomes) yang diharapkan.

Hasil ini apat dikategorikan menjadi dua orientasi yaitu: orientasi pada

pembelajaran (learning) dan orientasi pada penampilan (performance) (Meece

dalam Cobb, 2003). Orientasi pada pembelajaran (learning goals) fokus pada

proses pencapaian kemampuan dan pemahaman betapapun sulitnya usaha

yang harus dilakukan untuk mencapai goal tersebut. Sedangkan orientasi pada

penampilan (performance goal) fokus pada pencapaian penampilan yang baik

di pandangan orang lain atau penghindaran penilaian negatif dari lingkungan.

(31)

tinggi dan menunjukkan penggunaan strategi self regulated learning melalui

proses informasi yang mendalam (deep).

3. Perkembangan Self Regulated Learning

Schunk dan Zimmerman (1998) menyatakan bahwa kondisi individu,

sosial dan lingkungan yang membuat peserta didik memiliki kompetensi self

regulated learning pada awalnya berkembang dari pengaruh sosial lalu kemudian

beralih pada pengaruh diri sendiri. Selanjutnya, ia menyatakan bahwa kemampuan

self regulated learning muncul dalam serangkaian tingkat kemampuan regulasi

yang meliputi empat tingkat perkembangan yaitu tingkat pengamatan, persamaan,

kontrol diri dan regulasi diri.

Pada level perkembangan pengamatan dan peniruan, kompetensi self

regulated learning peserta didik berkembang dari pengaruh sosial yang meliputi

guru, orang tua, pelatih dan teman sebaya. Selanjutnya pada level perkembangan

kontrol diri dan pengaturan diri, peserta didik sudah mampu menerapkan strategi

self regulated learning secara mandiri.

Ada 4 (empat) level perkembangan self regulated learning, antara lain

adalah sebagai berikut:

a. Level Pengamatan (observational)

Pada level pengamatan ini, sebagian peserta didik dapat menyerap ciri-ciri

utama strategi belajar dengan mengamati model. Dalam hal ini guru yang

bertindak sebagai model, menjelaskan bagaimana proses berpikir ketika

sedang mengerjakan tugas. Dengan mempersepsikan kesamaan dengan model

(32)

peserta didik (pengamat) termotivasi untuk mengembangkan kemampuan self

regulated learning.

b. Level Persamaan (emulative)

Pada level ini peserta didik menunjukkan performansi yang hampir sama

dengan kondisi umum dari model. Peserta didik (pengamat) tidak secara

langsung meniru model, namun berusaha menyamakan gaya atau pola-pola

yang umum saja. Hal ini penting dalam perkembangan self regulatory karena

peserta didik perlu menunjukkan strategi secara personal agar masuk ke dalam

skema mereka. Pada fase ini bimbingan, umpan balik dan penguatan dari

lingkungan sosial perlu diberikan agar peserta didik dapat melanjutkan

pembelajaran secara fungsional.

c. Level Kontrol Diri (self controlled)

Peserta didik sudah mampu menggunakan sendiri strategi-strategi belajar

ketika mengerjakan tugas. Strategi-strategi yang digunakan sudah

terinternalisasi, namun masih dipengaruhi oleh gambaran standar performansi

yang ditunjukkan oleh model (seperti bayangan akan performansi model

sebelumnya) dan sudah menggunakan proses self reward.

d. Level Pengaturan Diri (self regulated)

Merupakan level terakhir dimana peserta didik mulai menggunakan

strategi-strategi yang disesuaikan dengan situasi dan termotivasi oleh tujuan serta self

efficacy untuk berprestasi. Peserta didik sudah bisa memilih kapan

menggunakan strategi-strategi khusus dan mengadaptasinya untuk kondisi

(33)

4. Strategi Self Regulated Learning

Strategi self regulated learning merupakan kompilasi dari perencanaan

yang digunakan peserta didik untuk mencapai tujuan belajar (Cobb, 2003).

Penelitian yang dilakukan oleh Spitzer (2000) menunjukkan bahwa strategi self

regulated learning berkaitan erat dengan performansi akademik dimana peserta

didik yang menerapkan strategi self regulated learning mengambil alih afeksi,

pikiran dan tingkah lakunya sehingga menunjang prestasi belajar yang baik.

Zimmerman dan Martinez-Pons (dalam Purdie, Hattie & Douglas, 1996)

melakukan sebuah penelitian dengan metode wawancara yang telah menghasilkan

14 kategori perilaku belajar sebagai strategi self regulated learning sebagai

berikut :

a. Evaluasi terhadap kemajuan tugas (self evaluating)

Merupakan inisiatif peserta didik dalam melakukan evaluasi terhadap kualitas

tugas dan kemajuan pekerjaannya. Peserta didik memutuskan apakah hal-hal

yang telah dipelajari mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya. Dalam hal

ini peserta didik membandingkan informasi yang didapat melalui self

monitoring dengan beberapa standar atau tujuan yang dimiliki.

b. Mengatur materi pelajaran (organizing & transforming)

Strategi organizing menandakan perilaku overt dan covert dari peserta didik

untuk mengatur materi yang dipelajari dengan tujuan meningkatkan efektivitas

proses belajar. Strategi transforming dilakukan dengan mengubah materi

(34)

c. Membuat rencana dan tujuan belajar (goal setting & planning)

Strategi ini merupakan pengaturan peserta didik terhadap tujuan umum dan

tujuan khusus dari belajar dan perencanaan untuk urutan pengerjaan tugas,

bagaimana memanfaatkan waktu dan menyelesaikan kegiatan yang

berhubungan dengan tujuan tersebut. Perencanaan akan membantu peserta

didik untuk menemu-kenali konflik dan krisis yang potensial serta

meminimalisir tugas-tugas yang mendesak. Perencanaan juga memungkinkan

peserta didik untuk fokus pada hal-hal yang penting bagi perolehan

kesuksesan jangka panjang. Untuk mendapatkan manfaat sebesar mungkin

dari perencanaan, maka perencanaan perlu ditinjau kembali secara rutin.

d. Mencari informasi (seeking information)

Peserta didik memiliki inisiatif untuk berusaha mencari informasi di luar

sumber-sumber sosial ketika mengerjakan tugas ataupun ketika mempelajari

suatu materi pelajaran. Strategi ini dilakukan dengan menetapkan informasi

apa yang penting dan bagaimana cara mendapatkan informasi tersebut.

e. Mencatat hal penting (keeping record & monitoring)

Strategi ini dilakukan dengan mencatat hal-hal penting yang berhubungan

dengan topik yang dipelajari, kemudian menyimpan hasil tes, tugas maupun

catatan yang telah dikerjakan.

f. Mengatur lingkungan belajar (environmental structuring)

Peserta didik berusaha memilih dan mengatur aspek lingkungan fisik dengan

(35)

g. Konsekuensi setelah mengerjakan tugas (self consequences)

Strategi ini dilakukan dengan mengatur atau membayangkan reward atau

punishment yang didapatkan bila berhasil atau gagal dalam mengerjakan

tugas.

h. Mengulang dan mengingat (rehearsing & memorizing)

Peserta didik berusaha mempelajari ulang materi pelajaran dan mengingat

bahan bacaan dengan perilaku yang overt dan covert.

i. Meminta bantuan teman sebaya (seek peer asistance)

Bila menghadapi masalah yang berhubungan dengan tugas yang sedang

dikerjakan, peserta didik meminta bantuan teman sebaya.

j. Meminta bantuan guru/pengajar (seek teacher assistance)

Bertanya kepada guru atau dosen di dalam atau pun di luar jam belajar dengan

tujuan untuk dapat membantu menyelesaikan tugas dengan baik.

k. Meminta bantuan orang dewasa (seek adult assistance)

Meminta bantuan orang dewasa yang berada di dalam dan di luar lingkungan

belajar bila ada yang tidak dimengerti yang berhubungan dengan pelajaran .

Orang dewasa yang dimaksud dalam hal ini adalah orang yang lebih

berpengalaman, bisa saja senior di kampus.

l. Mengulang tugas atau test sebelumnya (review test/work)

Pertanyaan-pertanyaan ujian terdahulu mengenai topik tertentu dan tugas yang

telah dikerjakan dijadikan sumber informasi untuk belajar.

(36)

Sebelum mengikuti tujuan, peserta didik meninjau ulang catatan sehingga

mengetahui topik apa saja yang akan di uji.

n. Mengulang buku pelajaran (review texts book)

Membaca buku merupakan sumber informasi yang dijadikan pendukung

catatan sebagai sarana belajar.

B. KECERDASAN EMOSIONAL

1. Definisi Kecerdasan Emosional

Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990

oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari

University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional

yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Salovey dan Mayer (dalam

Yulisubandi, 2009) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai himpunan

bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan

sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya

dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.

Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat

menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama

orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan

kecerdasan emosional.

Goleman (2005) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai

kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, memotivasi

diri sendiri, serta mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam

(37)

dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi

kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan

jiwa. Tidak hanya itu, kecerdasan emosional juga meliputi kemampuan untuk

menilai dengan tepat, menghargai, mengekspresikan emosi, sehingga

memudahkan dalam berpikir dan meningkatkan prestasi (Goleman, 2006).

Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya

pada porsi yang tepat, memilah kepuasan, dan mengatur suasana hati.

Selanjutnya, Davies (dalam Casmini, 2007) menjelaskan bahwa kecerdasan emosi

adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan emosi dirinya sendiri dan

orang lain, membedakan satu emosi dengan lainnya dan menggunakan informasi

tersebut untuk menuntun proses berpikir dan berperilaku seseorang. Dari

pengertian yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan

emosional adalah kemampuan seseorang dalam mengenali perasaan diri sendiri

dan perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri, serta mengelola emosi dengan

baik, serta menjalin hubungan dengan orang lain.

2. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional

Goleman (2005) mencetuskan aspek-aspek kecerdasan emosi sebagai

berikut :

a. Mengenali emosi diri

Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali

perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Aspek mengenali emosi diri terjadi dari:

(38)

dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran

diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri.

Menurut Mayer (Goleman, 2000) kesadaran diri adalah waspada terhadap

suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka

individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi.

Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun

merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga

individu mudah menguasai emosi.

b. Mengelola emosi

Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan

agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai

keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap

terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan,

yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan

kita (Goleman, 2009). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk

menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau

ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan

untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.

c. Memotivasi diri sendiri

Dalam mengerjakan sesuatu, memotivasi diri sendiri adalah salah satu kunci

keberhasilan. Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri

(39)

kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan

motivasi yang positif, yaitu antusiasme, gairah, optimis dan keyakinan diri.

d. Mengenali emosi orang lain

Kemampuan mengenali emosi orang lain sangat bergantung pada kesadaran

diri emosi. Empati merupakan salah salah satu kemampuan mengenali emosi

orang lain, dengan ikut merasakan apa yang dialami oleh orang lain. Menurut

Goleman (2005) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau

peduli, menunjukkan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan

empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi dan

mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan oleh orang lain sehingga ia lebih

mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasan orang lain

dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.

e. Membina hubungan dengan orang lain

Kemampuan membina hubungan sebagian besar merupakan keterampilan

mengelola emosi orang lain. Keterampilan ini merupakan keterampilan yang

menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antar pribadi. Orang

yang dapat membina hubungan dengan orang lain akan sukses dalam bidang

apa pun yang mengandalkan pergaulan yang mulus dengan orang lain.

Goleman (2009) juga menambahkan, aspek-aspek kecerdasan emosi

(40)

a. Kesadaran diri

Mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk

memandu pengambilan keputusan untuk diri sendiri memiliki tolak ukur

realitas atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.

b. Pengaturan diri

Menangani emosi kita sedemikian rupa sehingga berdampak positif kepada

pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup untuk menunda

kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, mampu pulih kembali dari

tekanan emosi.

c. Motivasi

Kemampuan menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan

dan menuntut kita menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan

bertindak sangat efektif dan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan

frustasi.

d. Empati

Merasakan yang dirasakan orang lain, mampu memahami prespektif mereka,

menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan

bermacam macam orang.

e. Keterampilan sosial

Menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan

cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar

menggunakan keterampilan keterampilan ini mempengaruhi dan memimpin,

(41)

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan dapat

disimpulkan aspek-aspek kecerdasan emosi meliputi kemampuan mengenali

emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain,

membina hubungan. Untuk selanjutnya dijadikan indikator alat ukur kecerdasan

emosi dalam penelitian, dengan pertimbangan aspek-aspek tersebut sudah cukup

mewakili dalam mengungkap sejauh mana kecerdasan emosi subjek penelitian.

3. Faktor-Faktor yang Menpengaruhi Kecerdasan Emosional

Goleman (2009) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang

mempengaruhi kecerdasan emosional seseorang yaitu:

a. Lingkungan keluarga

Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari emosi.

Kecerdasan emosi dapat diajarkan pada saat masih bayi dengan cara

contoh-contoh ekspresi. Peristiwa emosional yang terjadi pada masa anak-anak akan

melekat dan menetap secara permanen hingga dewasa kehidupan emosional

yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak dikemudian

hari.

b. Lingkungan non keluarga

Hal ini yang terkait adalah lingkungan masyarakat dan pendidikan.

Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan

mental anak. Pembelajaran ini biasanya ditujukan dalam suatu aktivitas

bermain peran sebagai seseorang di luar dirinya dengan emosi yang menyertai

(42)

Menurut Le Dove (dalam Goleman, 2009) bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi kecerdasan emosi antara lain:

a. Fisik

Secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling berpengaruh terhadap

kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi saraf emosinya. Bagian otak yang

digunakan untuk berfikir yaitu konteks (kadang kadang disebut juga neo

konteks). Sebagai bagian yang berada dibagian otak yang mengurusi emosi

yaitu system limbic, tetapi sesungguhnya antara kedua bagian inilah yang

menentukan kecerdasan emosi seseorang.

1) Korteks

Bagian ini berupa bagian berlipat-lipat kira kira 3 milimeter yang

membungkus hemisfer serebral dalam otak. Korteks berperan penting

dalam memahami sesuatu secara mendalam, menganalisis mengapa

mengalami perasaan tertentu dan selanjutnya berbuat sesuatu untuk

mengatasinya. Korteks khusus lobus prefrontal, dapat bertindak sebagai

saklar peredam yang memberi arti terhadap situasi emosi sebelum berbuat

sesuatu.

2) Sistem Limbik

Bagian ini sering disebut sebagai emosi otak yang letaknya jauh di dalam

hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas pengaturan

emosi dan implus. Sistem limbik meliputi hyppocampus, tempat

(43)

emosi. Selain itu ada amyglada yang dipandang sebagai pusat

pengendalian emosi pada otak.

b. Psikis

Kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian individu, juga dapat

dipupuk dan diperkuat dalam diri individu. Berdasarkan uraian tersebut dapat

disimpulkan bahwa terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan

emosi seseorang yaitu secara fisik dan psikis. Secara fisik terletak dibagian

otak yaitu korteks dan sistem limbik, secara psikis meliputi lingkungan

keluarga dan lingkungan non keluarga.

4. Ciri-Ciri Kecerdasan Emosi Tinggi dan Rendah

Goleman (1995) mengemukakan karakteristik individu yang memiliki

kecerdasan emosi yang tinggi dan rendah sebagai berikut:

a. Kecerdasan emosi tinggi yaitu mampu mengendalikan perasaan marah, tidak

agresif dan memiliki kesabaran, memikirkan akibat sebelum bertindak,

berusaha dan mempunyai daya tahan untuk mencapai tujuan hidupnya,

menyadari perasaan diri sendiri dan orang lain, dapat berempati pada orang

lain, dapat mengendalikan mood atau perasaan negatif, memiliki konsep diri

yang positif, mudah menjalin persahabatan dengan orang lain, mahir dalam

berkomunikasi, dan dapat menyelesaikan konflik sosial dengan cara damai.

b. Kecerdasan emosi rendah yaitu bertindak mengikuti perasaan tanpa

memikirkan akibatnya, pemarah, bertindak agresif dan tidak sabar, memiliki

tujuan hidup dan cita-cita yang tidak jelas, mudah putus asa, kurang peka

(44)

perasaan dan mood yang negatif, mudah terpengaruh oleh perasaan negatif,

memiliki konsep diri yang negatif, tidak mampu menjalin persahabatan yang

baik dengan orang lain, tidak mampu berkomunikasi dengan baik, dan

menyelesaikan konflik sosial dengan kekerasan.

C. MAHASISWA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Mahasiswa merupakan suatu kelompok individu dalam masyarakat yang

memperoleh statusnya melalui perguruan tinggi tempat mereka menuntut ilmu.

Secara administratif, mahasiswa ialah orang yang terdaftar di perguruan tinggi

(akademik, institut, universitas), mengikuti semester berjalan dan memiliki kartu

mahasiswa untuk pembuktian. Salim & Salim (2002) mendefinisikan mahasiswa

sebagai orang yang terdaftar dan menjalani pendidikan di perguruan tinggi.

Sementara, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mahasiswa adalah orang

yang belajar di perguruan tinggi. Rentang usia mahasiswa dapat dibagi atas

mahasiswa dari semester I hingga semester IV dengan rentang usia 18-19 sampai

dengan usia 20-21 tahun dan mahasiswa semester V hingga semester VI dalam

rentang usia 21-22 tahun sampai 24-25 (Winkel, 1997).

Universitas Sumatera Utara adalah salah satu universitas negeri yang

terletak di kota Medan. Sejarah Universitas Sumatera Utara (USU) dimulai

dengan berdirinya Yayasan Universitet Sumatera Utara pada tanggal 4 Juni 1952.

Sejak awal pendiriannya, USU dipersiapkan menjadi pusat pendidikan tinggi di

Kawasan Barat Indonesia. Sewaktu didirikan pada tahun 1952, USU merupakan

sebuah Yayasan, kemudian beralih status menjadi perguruan tinggi negeri (PTN)

(45)

Hukum Milik Negara (PT-BHMN) pada tahun 2003 (Sumber:

http://www.usu.ac.id)

Visi Universitas adalah "Menjadi Universitas untuk Industri atau

University for Industry". Misi Universitas adalah menyiapkan mahasiswa

menjadi anggota masyarakat dengan kemampuan akademik dan/atau profesional

untuk menerapkan, mengembangkan dan memperkaya ilmu pengetahuan,

teknologi dan seni, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan,

teknologi dan seni, serta pengembangan aplikasinya untuk meningkatkan

kemakmuran masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional dan memperluas

partisipasi dalam pembelajaran sesuai dengan kebutuhan nasional untuk

pembelajaran, dan memodernisasikan cara penyampaian pembelajaran.

Berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Sumatera Utara

No:1178/H5.1.R/SK/KRK/2008 tentang kebijakan akademik Universitas

Sumatera Utara, pada bab II pasal 2 mengenai kebijakan umum disebutkan bahwa

pelaksanaan pendidikan di lingkungan USU dirancang dengan

mempertimbangkan pergeseran paradigma pendidikan yang semula lebih fokus

pada pengajaran oleh dosen menjadi fokus pada pembelajaran oleh mahasiswa

(student-learning). Menurut Santrock (2004) dalam prinsip student-learning,

peserta didik aktif, memiliki tujuan dan mampu mengatur pembelajaran sendiri

(self regulated learning) yang meliputi beberapa faktor, yaitu metakognitif, tujuan

proses pembelajaran, konstruksi pengetahuan, pemikiran strategis, konteks

(46)

merupakan salah satu strategi belajar yang mempunyai peran penting dalam

menentukan kesuksesan di perguruan tinggi (Spitzer, 2000).

Saat ini, USU memiliki 14 fakultas yaitu Kedokteran, Hukum, Pertanian,

Teknik, Kedokteran Gigi, Ekonomi, Sastra, Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam, Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Kesehatan Masyarakat, Farmasi,

Psikologi, Keperawatan dan Pascasarjana. Jumlah program studi yang ditawarkan

sebanyak 136, terdiri dari 19 tingkat doktoral, 32 magister, 18 spesialis, 5 profesi,

47 sarjana, dan 15 diploma. Jumlah mahasiswa terdaftar saat ini lebih dari 33.000

orang.

Berdasarkan definisi yang telah diuraikan di atas, mahasiswa merupakan

peserta didik yang terdaftar dan menjalani pendidikan pada perguruan tinggi.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa mahasiswa Universitas Sumatera Utara

merupakan peserta didik yang terdaftar dan menjalani pendidikan di Universitas

Sumatera Utara.

D. DINAMIKA PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL

TERHADAP SELF REGULATED LEARNING

Mahasiswa yang sukses akan mengatur diri sendiri, mengontrol

faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar, menciptakan kondisi yang optimal

untuk belajar, dan menghilangkan rintangan yang dapat mengganggu proses

belajar (Dembo, 2004). Dunia mahasiswa juga bukan lagi dunia sebagaimana

layaknya di SMA yang masih dibimbing orang tua dan guru. Mahasiswa dituntut

untuk mandiri dalam segala hal, terutama dalam proses belajarnya. Salah satu

(47)

kesuksesan di perguruan tinggi adalah kemampuan meregulasi diri dalam belajar

atau disebut juga dengan self regulated learning (Spitzer, 2000).

Self-regulated learning adalah sebuah konsep mengenai bagaimana

seorang peserta didik menjadi regulator atau pengatur bagi belajarnya sendiri

(Zimmerman & Martinez-Pons, dalam Schunk & Zimmerman, 1998). Hal ini

berkaitan erat dengan performansi akademik pada mahasiswa di mana mahasiswa

yang menerapkan strategi self regulated learning mengambil alih afeksi, pikiran

dan tingkah lakunya sehingga menunjang prestasi belajar yang baik (Spitzer,

2000). Dengan kata lain mereka harus mampu menjadi self regulated learners

yaitu seseorang yang mampu menggabungkan antara kemampuan akademik dan

self control agar membuat belajar menjadi mudah sehingga mereka lebih

termotivasi dengan kata lain mereka memiliki kemampuan (skill) dan keinginan

untuk belajar (Woolfolk, 2004).

Self-regulated learning dapat berlangsung apabila peserta didik secara

sistematis mengarahkan afeksi, perilaku, dan kognisinya dengan cara memberi

perhatian pada instruksi-instruksi, tugas-tugas, melakukan proses dan

menginterpretasikan pengetahuan, mengulang-mengulang informasi untuk

mengingatnya serta mengembangkan dan memelihara keyakinan positifnya

tentang kemampuan belajar dan mampu mengantisipasi hasil belajarnya (Schunk,

dalam Schunk & Zimmerman, 1998).

Papalia (dalam Gunarsa, 2004) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang

dapat mengembangkan regulasi diri adalah proses perhatian dan kesadaran

(48)

sadar akan emosi negatif adalah individu yang mengenali diri dan memahami

emosinya sehingga mampu meregulasi dirinya dengan lebih baik. Selanjutnya,

Gilliom (dalam Gunarsa, 2004) mengatakan faktor-faktor yang mempengaruhi

regulasi diri adalah regulasi emosional (emotional regulation). Seseorang yang

mampu meregulasi emosinya dengan baik akan mampu meregulasi diri dalam

tugas-tugas tertentu. Hal ini disebabkan karena kondisi emosional akan

mempengaruhi bagaimana seseorang berperilaku sesuai dengan tujuan yang

hendak dicapai.

Papalia dan Olds (2001) menyatakan bahwa regulasi diri juga berkaitan

dengan kemampuan mental serta pengendalian emosi, dimana seluruh

perkembangan kognitif, fisik, serta pengendalian emosi dan kemampuan

sosialisasi yang baik, membawa seseorang dapat mengatur dirinya dengan baik.

Dalam penerapan regulasi diri dalam belajar (self regulated learning),

kemampuan dalam mengendalikan dan meregulasi emosi menjadi salah satu

faktor yang sangat penting, dimana self regulated learning tidak hanya mengarah

pada perilaku dan kognisi saja, akan tetapi peran afeksi (perasaan) juga turut

berkontribusi dalam mewujudkan tercapainya tujuan belajar. Kemampuan ini juga

dapat membantu mahasiswa dalam menghadapi beban dan tugas-tugas

perkuliahan. Kemampuan dalam meregulasi emosi ini dikenal juga dengan istilah

kecerdasan emosional.

Goleman (2005) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai

kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, memotivasi

Gambar

Tabel 1. Mahasiswa Aktif Program S-1 Universitas Sumatera Utara Tahun 2013/2014
Tabel 2. Pengambilan Sampel Proporsional Pada Masing-Masing Fakultas
Tabel 3. Blue Print Skala Self Regulated Learning
Tabel 4. Blue Print Skala Kecerdasan Emosional
+7

Referensi

Dokumen terkait

Terapi realitas dianggap dapat menjadi salah satu metode yang tepat untuk meningkatkan self regulated learning pada mahasiswa underachiever dikarenakan menggunakan

Peneliti membagikan kedua alat ukur kepada 78 subjek penelitian. Alat ukur pertama, yaitu Tes Kreativitas Figural, sedangkan alat ukur kedua, yaitu Skala Kecerdasan Emosional

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang bermakna antara self-regulated learning, self-efficacy, motivasi, dan kecerdasan

Alat ukur yang digunakan adalah Skala Self-Image yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan 3 aspek self-image, yaitu perceptual component, conceptual component dan

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala yaitu skala motivasi belajar yang disusun berdasarkan indexes of motivation Pintrich (2002) dan skala dukungan

Berdasar beberapa temuan di atas, beberapa poin penting yang dapat disimpulkan bahwa strategi experiential learning berpengaruh terhadap self regulated learning mahasiswa

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara konsep diri akademik dengan self-regulated learning pada mahasiswa penghuni Asrama Mahasiswa Universitas

Penelitian ini dilakukan untuk melihat adanya hubungan antara Konsep Diri Akademik terhadap Self Regulated Learning pada mahasiswa penghuni asrama mahasiswa Universitas