DEKOMPOSISI SERASAH DAUN
Avicennia marina
OLEH BAKTERI DAN FUNGI
PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS
Y U N A S F I
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS
Y U N A S F I
Disertasi
Sebagai satu di antara beberapa syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Disertasi : DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina OLEH BAKTERI DAN FUNGI PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS
Nama : Y U N A S F I
NRP : 985129
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Soetrisno Hadi, M. Sc.F. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS
Ketua Anggota
Dr. Ir. Lisdar A. Manaf I. Sudirman Dr. Ir. Budi Tjahjono, M.Agr.
Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Penulis dilahirkan di Padang, Sumatra Barat pada tanggal 19 November
1967, sebagai anak pertama dari enam bersaudara, pasangan Djamhar (Alm)
dan Yusiar. Penulis menyelesaikan pendidikan SD, SMP dan SMA di Lubuk
Alung Padang Pariaman.
Pada tahun 1991, penulis memperoleh gelar sarjana Pertanian dari
Fakultas Pertanian, Universitas Andalas di Padang. Pada tahun 1998 penulis
mendapat gelar Magister Sains dari Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor. Sejak Februari 1999 penulis mengikuti Program Doktor pada Program
Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Penulis tahun 1991 pernah bekerja sebagai staf planning PT. Minas Pagai
Lumber Corporation, daerah operasi Pagai Utara-Pagai Selatan dan tahun 1993
sebagai staf planning PT. Inhutani III, kantor Unit Sampit Kalimantan Tengah.
Sejak tahun 2000 penulis adalah staf pengajar pada Jurusan Ilmu Kehutanan,
Fakultas Pertanian Unversitas Sumatera Utara, Medan.
Pada tanggal 6 Agustus 1993 penulis menikah dengan Dra. Herlina Mesta
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahuwata’ala, atas
segala rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah,
penelitian dan penyusunan Disertasi yang berjudul : Dekomposisi Serasah
Daun Avicennia marina oleh Bakteri dan Fungi pada Berbagai Tingkat
Salinitas. Dengan selesainya perkuliahan, penelitian dan penyusunan disertasi ini, izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Soetrisno Hadi, M.Sc.F., Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS,
Dr. Ir. Lisdar I. Sudirman dan Dr. Ir. Budi Tjahjono, M. Agr. atas segala
bimbingannya dan arahannya sejak perkuliahan, penelitian sampai
penyusunan disertasi ini.
2. Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan
bantuan dana perkuliahan dan penelitian selama mengikuti pendidikan
Doktor di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
3. Prof. Dr. Ir. T.M. Hanafiah Oeliem selaku Ketua Program Ilmu Kehutanan
USU sebelum bergabung dengan Fakultas Pertanian, yang telah
mengusahakan berbagai bantuan dana perkuliahan dan penelitian.
4. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana dan Ketua
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan yang telah memberi
kesempatan penulis untuk mengikuti kuliah pada Sekolah Pascasarjana IPB.
5. Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor beserta stafnya yang
telah menyediakan sarana pendidikan (kuliah, praktikum, dan rapat-rapat
komisi) dalam rangka pnyelesaian studi ini.
6. Pimpinan dan staf program Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) atas
sebagian beasiswa yang diberikan kepada penulis
7. Yayasan Beasiswa Universitas Bung Hatta yang telah memberikan bantuan
sebagian biaya hidup.
8. Yayasan Toyota dan Astra yang telah memberikan bantuan sebagian biaya
penelitian.
9. Direktur Perum Perhutani beserta stafnya yang telah memberi izin
penggunaan lokasi penelitian di KPH Purwakarta.
10. Kepala Laboratorium Biokimia dan Mikrobiologi Pusat Studi Ilmu Hayati IPB,
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Departemen Pertanian, yang telah
memberikan fasilitas dan membantu analisis serasah selama penelitian.
11. Kepada teman-teman Dr. Ir. Abdurrani Muin, MS, Dr.Ir. Hamzah, M.Si, Dr.
Delvian, SP, MP, Dr. Endang Hilmi, S.Hut, M.Si, Dr. Tati Rostiwati, MS, Dr.
Ir. Ervayenri, M.Si. dan teman-teman lainnya atas kerjasama dalam berbagai
kegiatan selama studi Doktor di Sekolah Pascasarjana IPB.
12. Bapak Dalban yang telah membantu kegiatan penelitian di lapangan sejak
dari persiapan sampai selesainya penelitian.
13. Bapanda Djamhar (Alm) dan Ibunda Yusiar yang telah memberikan bantuan
sebagian biaya perkuliahan dan dorongan semangat yang tidak
henti-hentinya kepada penulis.
14. Ayahanda Drs. H. Helmi Muchtar dan Ibunda Hj. Rasimah Taher yang telah
memberikan bantuan sebagian biaya perkuliahan.
15.
Isteri tercinta Dra. Herlina Mesta dan Ananda tersayang Firdha SekarRahayu yang telah memberikan dorongan dan kasih sayangnya kepada
penulis selama mengikuti pendidikan.
Penulis berharap, semoga berbagai pihak yang telah memberikan semua
bentuk bantuan yang telah penulis terima mendapat balasan dari Allah SWT atas
amal shalehnya tersebut. Akhirnya penulis berharap semoga disertasi ini dapat
bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Juni 2006
Yunasfi
SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam
disertasi saya yang berjudul :
Dekomposisi Serasah Daun Avicennia marina oleh Bakteri dan
Fungi pada Berbagai Tingkat Salinitas
merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan
bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan acuannya.
Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar apapun pada
program sejenis di perguruan tinggi lain.
Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan
dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Juni 2006
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xvi
DAFTAR LAMPIRAN xix
I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah 3
1.3. Kerangka Pemikiran 5
1.4. Tujuan Penelitian 5
1.5. Manfaat Penelitian 7
1.6. Hipotesis Penelitian 7
II. TINJAUAN PUSTAKA 8
2.1. Pengertian dan Peran Mangrove 8
2.2. Proses Dekomposisi serasah 12
2.3. Peran Mikroorganisme dalam Proses Dekomposisi Serasah 13
III. LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN A. marina PADA BERBAGAI
TINGKAT SALINITAS 16
3.1. Pendahuluan 16
3.1.1. Latar Belakang 16
3.1.2. Tujuan Penelitian 23
3.1.3. Hipotesis 24
3.2. Bahan dan Metode 24
3.2.1. Tempat dan Waktu Penelitian 24
3.2.2. Pengumpulan Serasah Daun A. marina 24
3.2.3. Penempatan Serasah Daun A. marina di Lapangan 24
3.2.4. Pendugaan Laju Dekomposisi Serasah 27
3.3. Hasil 28
3.4. Pembahasan 31
3.5. Kesimpulan 34
IV. KOLONISASI BAKTERI SELAMA PROSES DEKOMPOSISI
SERASAH DAUN Avicennia marina PADA BERBAGAI TINGKAT
SALINITAS 35
4.1.1. Latar Belakang 35
4.1.2. Tujuan Penelitian 38
4.1.3. Hipotesis 38
4.2. Bahan dan Metode 39
4.2.1. Tempat dan Waktu Penelitian 39
4.2.2. Pengumpulan Serasah Daun A. marina 39
4.2.3. Penempatan Serasah Daun A. marina di Lapangan 39
4.2.4. Isolasi Bakteri dari Serasah Daun A. marina 40
4.2.5. Identifikasi Bakteri 42
4.2.6. Pengumpulan Data 42
4.2.7. Penentuan Indeks Keanekaragaman Jenis Bakteri 43
4.3. Hasil 44
4.3.1. Jenis-jenis Bakteri yang Terdapat pada Serasah Daun
A. marina yang Belum Mengalami Proses Dekomposisi di
Lapangan 44
4.3.2. Jenis-jenis Bakteri yang Terdapat pada Serasah Daun
A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada
Tingkat Salinitas < 10 ppt 45
4.3.3. Jenis-jenis Bakteri yang Terdapat pada Serasah Daun
A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada
Tingkat Salinitas 10 – 20 ppt 49
4.3.4. Jenis-jenis Bakteri yang Terdapat pada Serasah Daun
A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada
Tingkat Salinitas 20 – 30 ppt 49
4.3.5. Jenis-jenis Bakteri yang Terdapat pada Serasah Daun
A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada
Tingkat Salinitas > 30 ppt 52
4.3.6. Perbandingan Antara Jumlah Jenis Bakteri pada Berbagai
Tingkat Salinitas 52
4.3.7. Perbandingan Populasi Bakteri pada Berbagai Tingkat
Salinitas 52
4.3.8. Perbandingan Keanekaragaman Jenis Bakteri pada
Berbagai Tingkat Salinitas 55
4.3.9. Frekuensi Kolonisasi Tiap Jenis Bakteri pada Serasah Daun
A. marina 55
4.4. Pembahasan 56
4.5. Kesimpulan 59
V. KOLONISASI FUNGI SELAMA PROSES DEKOMPOSISI SERASAH
5.1.3. Hipotesis 67
5.2. Bahan dan Metode 67
5.2.1. Tempat dan Waktu Penelitian 67
5.2.2. Pengumpulan Serasah Daun A. marina 67
5.2.3. Penempatan Serasah Daun A. marina di Lapangan 68
5.2.4. Isolasi Fungi dari Serasah Daun A. marina 68
5.2.5. Identifikasi Fungi 69
5.2.6. Pengumpulan Data 70
5.2.7. Penentuan Indeks Keanekaragaman Jenis Fungi 70
5.3. Hasil 71
5.3.1. Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Serasah Daun
A. marina yang Belum Mengalami Proses Dekomposisi 71
5.3.2. Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Serasah Daun
A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada
Tingkat salinitas < 10 ppt 74
5.3.3. Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Serasah Daun
A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada
Tingkat Salinitas 10 – 20 ppt 83
5.3.4. Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Serasah Daun
A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada
Tingkat Salinitas 20 – 30 ppt 86
5.3.5. Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Serasah Daun
A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada
Tingkat Salinitas > 30 ppt 89
5.3.6. Perbandingan Jumlah Jenis Fungi pada Berbagai Tingkat
Salinitas 92
5.3.7. Perbandingan Populasi Fungi pada Berbagai Tingkat
Salinitas 92
5.3.8. Indeks Keanekargaman Jenis Fungi 93
5.3.9. Frekuensi Kolonisasi Fungi 93
5.4. Pembahasan 95
5.5. Kesimpulan 97
VI. KADAR UNSUR HARA N , P DAN C SERASAH DAUN A. marina
YANG MENGALAMI PROSES DEKOMPOSISI PADA BERBAGAI
6.1. Pendahuluan 98
6.1.1. Latar Belakang 98
6.1.2. Tujuan Penelitian 101
6.1.3. Hipotesis 101
6.2. Bahan dan Metode 101
6.2.1. Tempat dan Waktu Penelitian 101
6.2.2. Rancangan Percobaan 101
6.2.3. Penentuan Kadar Unsur Hara N, P dan C Serasah Daun
A. marina 102
6.3. Hasil 103
6.3.1. Kadar Unsur Hara N 103
6.3.2. Kadar Unsur Hara P 105
6.3.3. Kadar Unsur Hara C 106
6.4. Pembahasan 108
6.5. Kesimpulan 110
VII. KADAR SELULOSA DAN LIGNIN SERASAH DAUN Avicennia marina
YANG MENGALAMI PROSES DEKOMPOSISI PADA BERBAGAI
TINGKAT SALINITAS 112
7.1. Pendahuluan 112
7.1.1. Latar Belakang 112
7.1.2. Tujuan Penelitian 119
7.1.3. Hipotesis 119
7.2. Bahan dan Metode 119
7.2.1. Tempat dan Waktu Penelitian 119
7.2.2. Rancangan Percobaan 120
7.2.3. Penentuan Kadar Selulosa dan Lignin 120
7.3. Hasil 121
7.4. Pembahasan 125
7.5. Kesimpulan 126
VIII. KADAR KARBOHIDRAT DAN PROTEIN SERASAH DAUN Avicennia
marina YANG MENGALAMI PROSES DEKOMPOSISI PADA
BERBAGAI TINGKAT SALINITAS 127
8.1. Pendahuluan 127
8.1.1. Latar Belakang 127
8.1.2. Tujuan Penelitian 128
8.2.3. Penentuan Kadar Karbohidrat Total 129
8.2.4. Penentuan Kadar Protein 129
8.3. Hasil 130
8.3.1. Kadar Karbohidrat Total 130
8.3.2. Kadar Protein 132
8.4. Pembahasan 134
8.5. Kesimpulan 135
IX PEMBAHASAN UMUM 136
X KESIMPULAN UMUM DAN SARAN 144
10.1. Kesimpulan 144
10.2. Saran 145
PUSTAKA ACUAN 147
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman
1. Suksesi jenis-jenis fungi yang menghancurkan (breakdown) anakan
Rhizophora mangle di Florida menurut waktu dan kondisi anakan 15
2. Suksesi beberapa jenis fungi pada Pteridium aquilinum (Garet, 1963 diacu
oleh Frankland, 1974) 22
3. Rata-rata laju dekomposisi dan lama masa serasah terdapat di
lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas
30
4. Jumlah koloni rata-rata x 107 (cfu/ml) tiap jenis bakteri pada serasah daun
A. marina yang belum mengalami dekomposisi (kontrol) 44
5. Jumlah koloni rata-rata x 107 (cfu/ml) tiap jenis bakteri tiap 15 hari dan
frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami
proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan salinitas < 10
ppt 46
6. Jumlah koloni rata-rata x 107 (cfu/ml) tiap jenis bakteri tiap 15 hari dan
frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami
proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan salinitas
10 – 20 ppt 50
7. Jumlah koloni rata-rata x 106 (cfu/ml) tiap jenis bakteri tiap 15 hari dan
frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami
proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan salinitas
20 – 30 ppt. 51
8. Jumlah koloni rata-rata x 106 (cfu/ml) tiap jenis bakteri tiap 15 hari dan
frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami
proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan salinitas
> 30 ppt 53
9. Jenis-jenis fungi yang terdapat pada mangrove dan penelitinya 63
10. Jumlah koloni rata-rata x 102 (cfu/ml) tiap jenis fungi pada serasah daun A.
marina yang belum mengalami dekomposisi (kontrol) 71
11. Jumlah koloni rata-rata x 102 (cfu/ml) tiap jenis fungi tiap 15 hari dan
frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami
proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan salinitas
0 < 10 ppt 75
12. Jumlah koloni rata-rata x 102 (cfu/ml) tiap jenis fungi tiap 15 hari dan
frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami
proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan salinitas
10 – 20 ppt 84
13 Jumlah koloni rata-rata x 102 (cfu/ml) tiap jenis fungi tiap 15 hari dan
frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami
proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan salinitas
20 – 30 ppt 87
14. Jumlah koloni rata-rata x 102 (cfu/ml) tiap jenis fungi tiap 15 hari dan
frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami
1. Kerangka pemikiran penelitian 6
2. Bentuk dan ukuran kantong serasah yang terbuat dari nilon yang
digunakan untuk penempatan serasah di beberapa lokasi di lapangan dengan berbagai tingkat salinitas
25
3. Lokasi petak untuk penempatan kantong berisi serasah di lapangan
berdasarkan tingkat salinitas 26
4. Petak-petak penempatan kantong berisi serasah daun A. marina 27
5. Bobot kering sisa serasah daun A. marina yang telah mengalami
proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan berbagai
tingkat salinitas 28
6. Persentase sisa serasah daun A. marina yang mengalami
dekomposisi 15 – 165 hari di lingkungan dengan berbagai tingkat
salinitas 29
7. Bentuk serasah daun A. marina yang mengalami proses
dekomposisi selama 15 sampai 165 hari pada tingkat salinitas
10 – 20 ppt 30
8. Cacing yang ditemukan pada serasah daun A. marina yang telah
mengalami proses dekomposisi selama 45 hari pada tingkat salinitas
< 10 ppt, 10 – 20 ppt, 20 – 30 ppt dan > 30 ppt 32
9. Siput-siput yang ditemukan pada serasah daun A. marina yang
mengalami proses dekomposisi 33
10. Cara pengenceran serasah daun A. marina untuk isolasi bakteri
pada media biakan dalam cawan Petri
41
11. Bentuk koloni berbagai jenis bakteri yang terdapat pada serasah
daun A. marina yang belum mengalami proses dekomposisi di
lapangan
45
12. Bentuk koloni berbagai jenis bakteri pada serasah daun A. marina
yang mengalami dekomposisi dalam lingkungan dengan salinitas < 10 ppt, yang tidak terdapat pada serasah daun yang belum
mengalami proses dekomposisi di lapangan 48
13. Jumlah jenis bakteri pada serasah daun A. marina yang mengalami
proses dekomposisi selama 15 – 165 hari di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas
54
14. Populasi bakteri yang terdapat pada serasah daun A. marina yang
mengalami proses dekomposisi selama 15 – 165 hari di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas
54
15. Aspergillus sp. 1 72
16. Aspergillus sp. 2 72
18. Curvularia lunata 73
19. Fungi tidak teridentifikasi 1 73
20. Fusarium sp. 1 74
21. Aspergillus sp. 4 76
22. Trichoderma sp. 1 77
23. Fungi tidak teridentifikasi 2 78
24. Fusarium sp. 2 78
25. Penicillium sp. 1 79
26. Trichoderma sp. 2 79
27. Penicillium sp. 2 80
28. Aspergillus sp. 5 81
29. Fusarium sp. 3 81
30. Penicillium sp. 3 81
31. Penicillium sp. 4 82
32. Trichoderma sp. 3 82
33. Aspergillus sp. 6 82
34. Penicillium sp. 5 83
35. Trichoderma sp. 4 85
36. Aspergillus sp. 7 89
37. Penicillium sp. 6 91
38. Fungi tidak teridentifikasi 3 91
39. Jumlah jenis fungi pada serasah daun A. marina yang telah
mengalami proses dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas
92
40. Populasi fungi yang terdapat pada serasah daun A. marina yang
mengalami proses dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas
93
41. Kadar unsur hara N rata-rata serasah daun A. marina yang
mengalami proses dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas
104
42. Kadar unsur hara N rata-rata pada berbagai lama masa dekomposisi
serasah daun A. marina pada berbagai tingkat salinitas
104
43. Kadar unsur hara P rata-rata serasah daun A. marina yang
mengalami proses dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas
105
44. Kadar unsur hara P rata-rata pada berbagai lama masa dekomposisi
serasah daun A. marina pada berbagai tingkat salinitas
106
45. Kadar unsur hara C serasah daun A. marina yang mengalami proses
dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas
chrysosporium 117
48. Reaksi tahap pertama dan tahap kedua dekomposisi selulosa 118
49. Dekomposisi selulosa (Moore-Landecker, 1990) 118
50. Kadar selulosa rata-rata serasah daun A.marina yang mengalami
proses dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas
122
51. Kadar selulosa rata-rata serasah daun A. marina mulai dari sebelum
serasah ditempatkan di lapangan sampai mengalami proses dekomposisi selama 105 hari, pada berbagai tingkat salinitas
122
52. Kadar lignin rata-rata serasah daun A. marina yang mengalami
proses dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas 123
53. Kadar lignin rata-rata serasah daun A. marina dengan berbagai
lama masa dekomposisi
124
54. Kadar karbohidrat rata-rata serasah daun A. marina yang mangalami
proses dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas 131
55. Kadar karbohidrat rata-rata serasah daun A. marina setelah
mengalami berbagai lama masa dekomposisi dalam lingkungan
dengan berbagai tingkat salinitas 132
56. Kadar protein rata-rata serasah daun A. marina yang mangalami
dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas 133
57. Kadar protein rata-rata serasah daun A. marina pada beberapa lama
masa dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas 133
58. Hubungan laju dekomposisi (A) dengan pola suksesi berbagai jenis
bakteri (B) dan berbagai jenis fungi (C) pada serasah daun A. marina
yang mengalami proses dekomposisi di lingkungan dengan tingkat
salinitas < 10 ppt 140
59. Hubungan laju dekomposisi (A) dengan pola suksesi berbagai jenis bakteri (B) berbagai jenis fungi (C) dan cacing (D) pada serasah
daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi di lingkungan
dengan tingkat salinitas 10 – 20 ppt
141
60. Hubungan laju dekomposisi (A) dengan pola suksesi berbagai jenis bakteri (B) berbagai jenis fungi (C) cacing (D) dan siput (E) pada
serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi di lingkungan
dengan tingkat salinitas 20 – 30 ppt 142
61. Hubungan laju dekomposisi (A) dengan pola suksesi berbagai jenis bakteri (B) berbagai jenis fungi (C) cacing (D) pada serasah daun
A. marina yang mengalami dekomposisi di lingkungan dengan
DAFTAR LAMPIRAN
No. Teks Halaman
1. Bobot kering (g) sisa serasah daun A. marina tiap ulangan pada
berbagai tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi
159
2. Persentase bobot kering serasah daun A. marina tiap ulangan pada
berbagai tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi
160
3. Ciri-ciri morfologi dan fisiologi jenis-jenis bakteri yang terdapat
pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi dalam
lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas 161
4. Jumlah koloni x 107 (cfu/ml) berbagai jenis bakteri tiap ulangan pada
serasah daun A. marina yang belum mengalami proses dekomposisi
(kontrol) 165
5. Jumlah koloni x 107 (cfu/ml) berbagai jenis bakteri tiap ulangan pada
serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi
selama 15 sampai 165 hari di lingkungan dengan salinitas 0 < 10 ppt 166
6. Rangkuman ciri-ciri morfologi dan fisiologi berbagai jenis bakteri
(pada media NA) yang terdapat pada serasah daun A. marina yang
belum dan telah mengalami proses dekomposisi di lingkungan
dengan berbagai tingkat salinitas 167
7. Jumlah koloni x 107 (cfu/ml) berbagai jenis bakteri tiap ulangan pada
serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi
selama 15 sampai 165 hari di lingkungan dengan salinitas 10 – 20 ppt
168
8. Jumlah koloni x 107 (cfu/ml) berbagai jenis bakteri tiap ulangan pada
serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi
selama 15 sampai 165 hari di lingkungan dengan salinitas 20 – 30 ppt 169
9. Jumlah koloni x 106 (cfu/ml) berbagai jenis bakteri tiap ulangan pada
serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi
selama 15 sampai 165 hari di lingkungan dengan salinitas > 30 ppt 170
10. Matriks hubungan pengaruh berbagai tingkat salinitas terhadap jumlah koloni rata-rata (cfu/ml) berbagai jenis bakteri pada serasah
daun A. marina yang belum dan telah mengalami proses
dekomposisi selama 165 hari 171
11. Jumlah koloni x 102 (cfu/ml) berbagai jenis fungi tiap ulangan pada
serasah daun A. marina yang belum mengalami proses dekomposisi
(kontrol) 172
12. Ciri-ciri makroskopik dan mikroskopik fungi yang ditemukan pada
serasah daun A. marina yang belum dan telah mengalami proses
dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas 173
13. Jumlah koloni x 102 (cfu/ml) berbagai jenis fungi tiap ulangan pada
serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi
15. Jumlah koloni x 102 (cfu/ml) berbagai jenis fungi tiap ulangan pada
serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi
selama 15 sampai 165 hari di lingkungan dengan salinitas 20 – 30
ppt 183
16. Jumlah koloni x 102 (cfu/ml) berbagai jenis fungi tiap ulangan pada
serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi
selama 15 sampai 165 hari di lingkungan dengan salinitas > 30 ppt 184
17. Rangkuman ciri-ciri makroskopik dan mikroskopik berbagai jenis fungi
yang ditemukan pada serasah daun A. marina yang belum dan telah
mengalami proses dekomposisi di lingkungan dengan berbagai
tingkat salinitas 185
18. Matriks hubungan pengaruh berbagai tingkat salinitas terhadap
jumlah koloni rata-rata x 102 (cfu/ml) berbagai jenis fungi pada
serasah daun A. marina yang belum dan telah mengalami proses
dekomposisi selama 165 hari 190
19. Kadar unsur hara N (%) serasah daun A. marina yang mengalami
proses dekomposisi selama 15 sampai 135 hari tiap ulangan di
lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas 191
20. Kadar unsur hara P (%) serasah daun A. marina yang mengalami
proses dekomposisi selama 15 sampai 135 hari tiap ulangan di
lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas 192
21. Kadar unsur hara C (%) serasah daun A. marina yang mengalami
proses dekomposisi selama 15 sampai 135 hari tiap ulangan di
lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas 193
22. Nilai absolut kadar unsur hara C (g) serasah daun A. marina yang
mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 135 hari tiap
ulangan di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas 194
23. Kadar selulosa (%) serasah daun A. marina yang mengalami proses
dekomposisi selama 15 sampai 105 hari dalam lingkungan dengan
berbagai tingkat salinitas 195
24. Nilai absolut kadar selulosa (g) serasah daun A. marina yang
mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 105 hari di
lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas 196
25. Kadar lignin (%) serasah daun A. marina yang mengalami proses
dekomposisi selama 15 sampai 105 hari tiap ulangan di lingkungan
dengan berbagai tingkat salinitas 197
26. Nilai absolut kadar lignin (g) serasah daun A. marina yang mengalami
proses dekomposisi selama 15 sampai 105 hari di lingkungan dengan
berbagai tingkat salinitas 198
27. Kadar karbohidrat (%) serasah daun A. marina yang mengalami
proses dekomposisi selama 15 sampai 105 hari tiap ulangan di
28. Nilai absolut kadar karbohidrat (g) serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 105 hari tiap
ulangan di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas 200
29. Kadar protein (%) serasah daun A. marina yang mengalami proses
dekomposisi selama 15 sampai 105 hari tiap ulangan di lingkungan
dengan berbagai tingkat salinitas 201
30. Nilai absolut kadar protein (g) serasah daun A. marina yang
mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 105 hari tiap
ulangan di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas 202
Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir
yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove
yang lebarnya dari beberapa meter sampai puluhan kilo meter. Menurut Sukardjo
(1984), Indonesia terdiri atas 13.677 pulau yang mempunyai garis pantai sekitar
81.000 km, dan di kawasan tersebut terdapat berbagai tipe vegetasi yang
tumbuh, yang di antaranya adalah mangrove. Selain di kawasan pesisir,
ekosistem mangrove juga terdapat di muara-muara sungai dan lahan drainase
yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Menurut Yamada (1997), di Papua
New Guinea mangrove terdapat sampai 300 km ke arah hulu sungai, sedang di
Palembang sampai 100 km.
Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan (1993) menyatakan
bahwa luas hutan mangrove di seluruh wilayah Indonesia diperkirakan 3,7 juta
ha, sedang menurut Bengen (2000), luasnya diperkirakan sekitar 2,3 juta ha. Dari
data luas hutan mangrove Indonesia pada tahun 1993 dan tahun 2000 yang
ditampilkan di atas terlihat adanya penurunan luas hutan mangrove selama tujuh
tahun yang sangat nyata. Hal ini karena terjadi konversi hutan mangrove menjadi
kawasan pemukiman, kawasan industri, tambak dan peruntukan lain yang
berlangsung secara tidak terkendali.
Ekosistem mangrove berperan penting dalam mendukung kehidupan
organisme yang terdapat di dalamnya. Adapun fungsi hutan mangrove menurut
Kusmana dkk. (2005) dapat dibedakan ke dalam tiga macam, yaitu fungsi fisik,
fungsi ekonomi dan fungsi biologi seperti yang berikut.
1. Fungsi fisik :
- Menjaga garis pantai dan tebing sungai dari erosi/abrasi agar tetap
stabil
- Mempercepat perluasan lahan
- Mengendalikan intrusi air laut
- Melindungi daerah belakang mangrove/pantai dari hempasan
gelombang dan angin kencang
- Menjadi kawasan penyangga terhadap rembesan air laut (intrusi)
2
2. Fungsi ekonomi :
- Merupakan penghasil kayu sebagai sumber bahan bakar (arang,
kayu bakar), bahan bangunan (balok, atap rumah, tikar)
- Memberikan hasil hutan bukan kayu seperti madu, obat-obatan,
minuman serta makanan, tanin dan lain-lain.
- Merupakan lahan untuk produksi pangan dan tujuan lain
(pemukiman, pertambangan, industri, infrastruktur, transportasi,
rekreasi dan lain-lain)
3. Fungsi biologi :
- Merupakan tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah
(spawning ground) dan tempat berkembang biak (nursery ground)
berbagai jenis ikan, udang, kerang dan biota laut lainnya.
- Menjadi tempat bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung
- Merupakan sumber plasma nutfah.
Dari semua fungsi ini yang paling menonjol dan tidak tergantikan oleh bentuk
ekosistem lain adalah kedudukan hutan mangrove sebagai mata rantai yang
menghubungkan kehidupan ekosistem laut dengan ekosistem daratan.
Hutan mangrove menghasilkan bahan pelapukan yang menjadi sumber
makanan penting bagi udang, kepiting, ikan, zooplankton, invertebrata kecil dan
hewan pemakan bahan-bahan hasil pelapukan lainnya. Bahan-bahan hasil
pelapukan mangrove berasal dari berbagai organ pohon mangrove yaitu daun,
bunga, cabang, ranting dan sejumlah bagian pohon lain yang jatuh ke lantai
hutan yang lazim disebut serasah.
Untuk dapat dimanfaatkan oleh organisme yang terdapat dalam hutan
mangrove, serasah tersebut perlu didekomposisi terlebih dahulu menjadi bahan
lain yang dapat menjadi sumber makanan bagi organisme tersebut.
Faktor-faktor yang berperan dalam dekomposisi serasah adalah iklim, kondisi
lingkungan tempat tumbuh, dan organisme. Faktor iklim mencakup curah hujan,
kelembaban nisbi, intensitas cahaya matahari, suhu udara dan lain-lain. Faktor
kondisi lingkungan tempat tumbuh yang berperan adalah suhu air, pH air,
salinitas air dan lain-lain. Adapun jenis organisme yang terdapat dalam
ekosistem mangrove terdiri atas organisme baik yang cukup besar seperti
kepiting, serangga maupun yang kecil seperti bakteri dan fungi. Dalam proses
dekomposisi, semua faktor tersebut saling berinteraksi satu dengan yang lainnya.
terjadi asosiasi antara faktor-faktor fisik dan faktor-faktor biologis dan di antara
kedua faktor ini, faktor biologis mempunyai peran yang lebih besar dibanding
faktor fisik.
Sebagian serasah mangrove diuraikan oleh bakteri dan fungi menjadi
unsur hara anorganik terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh
fitoplankton ataupun oleh tumbuhan mangrove itu sendiri. Sebagian lagi diubah
menjadi detritus yang dapat dimanfaatkan oleh ikan, udang dan kepiting sebagai
bahan makanannya. Bakteri dan fungi merupakan mikroorganisme primer yang
berperan dalam proses dekomposisi berbagai komponen serasah, yang terdiri
atas daun, bunga, cabang, ranting dan berbagai bagian tumbuhan lainnya.
Di Indonesia banyak terdapat jenis mangrove Avicennia marina, yang
merupakan satu di antara berbagai jenis mangrove yang toleran terhadap kisaran
salinitas yang luas dibandingkan dengan jenis mangrove lainnya. Menurut Mac
Nae (1968), A. marina mampu tumbuh pada kawasan dengan kisaran kondisi
mendekati tawar sampai dengan salinitas kawasan 90 ppt. A. marina
menghasilkan banyak serasah terutama yang berasal dari daun yang berperan
sebagai penyedia unsur hara yang penting bagi produktivitas perairan pesisir.
Menurut Clarke (1994) A. marina dapat menghasilkan serasah daun sebanyak
310 g/m2 tiap bulan. Penelitian untuk mengetahui jenis bakteri dan jenis fungi
yang berperan dalam proses dekomposisi serasah daun A. marina, yang
dihubungkan dengan tingkat salinitas khususnya di Indonesia, belum pernah
dilakukan.
1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Serasah pada hutan mangrove merupakan bahan dasar untuk kehidupan
organisme yang terdapat pada ekosistem mangrove. Selain itu serasah tersebut
juga merupakan bahan penting untuk berlangsungnya siklus unsur hara dan
dinamika ekosistem mangrove. Untuk dapat berperan dan dimanfaatkan oleh
berbagai organisme yang terdapat pada ekosistem mangrove, maka serasah
yang dihasilkan oleh berbagai jenis pohon mangrove perlu terurai dulu menjadi
detritus dan unsur-unsur hara anorganik. Menurut Romimohtarto dan Juwana
(2001), serasah yang berasal dari daun, ranting dan bagian-bagian pohon
mangrove lainnya yang telah mengalami dekomposisi merupakan sumber utama
4
Penelitian tentang dekomposisi di hutan mangrove ini akan dibatasi pada
serasah daun A. marina. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa, serasah
daun merupakan komponen terbesar dibanding komponen serasah lainnya.
Adapun A. marina dipilih sebagai jenis mangrove yang diteliti karena jenis ini
merupakan jenis pionir dan merupakan vegetasi penentu kualitas ekosistem
mangrove pada tahap awal pertumbuhannya.
Dalam proses dekomposisi serasah daun mangrove terdapat beberapa
faktor dan tahapan yang secara alami dilalui yaitu, setelah daun jatuh di lantai
hutan mangrove, serasah akan dirusak oleh organisme seperti kepiting, cacing
siput dan lain-lain yang mengakibatkan terjadinya luka pada serasah daun
mangrove tersebut. Akibat luka pada serasah daun ini komponen-komponen
penyusun serasah daun tersebut menjadi lebih mudah mengalami penguraian.
Adapun proses penguraian serasah daun mangrove dilakukan oleh
mikroorganisme yaitu bakteri dan fungi yang merupakan mikroorganisme yang
berperan penting dalam proses dekomposisi serasah. Pada penelitian ini dari
sekian banyak faktor lingkungan yang berpengaruh dalam proses dekomposisi
serasah daun mangrove, hanya faktor salinitas air yang akan dipelajari
pengaruhnya terhadap dekomposisi serasah daun A. marina. Hal ini didasarkan
pada kenyataan di lapangan bahwa kehidupan mangrove sangat dipengaruhi
oleh pasang surut air laut yang bersifat salin.
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan
yaitu :
1. Apakah tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh
terhadap jumlah jenis bakteri dan jumlah jenis fungi pada serasah
daun A. marina ?
2. Apakah tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh
terhadap populasi bakteri dan populasi fungi yang terdapat pada
serasah daun A. marina ?
3. Apakah tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh
terhadap keanekaragaman jenis bakteri dan keanekaragaman jenis
fungi pada serasah daun A. marina ?
4. Apakah tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh
terhadap frekuensi kolonisasi bakteri dan frekuensi kolonisasi fungi
5. Apakah tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh
terhadap laju dekomposisi serasah daun A. marina
6. Apakah tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh
terhadap kadar unsur hara N, P dan C, lignin, selulosa, karbohidrat
total dan protein, yang terdapat pada serasah daun A. marina ?
1.3. Kerangka Pemikiran
Pada ekosistem mangrove terdapat jenis-jenis pohon mangrove seperti
A. marina, Bruguiera sp., Rhizophora sp. dan lain-lain. Satu di antara berbagai
jenis yang banyak terdapat di Indonesia adalah A. marina. Jenis pohon ini
banyak menghasilkan serasah terutama yang berasal dari daun. Serasah
merupakan sumber utama detritus yang terdapat pada ekosistem mangrove yang
mempunyai peran penting dalam pemeliharaan kelangsungan siklus ekosistem
tersebut. Hasil akhir dekomposisi serasah adalah unsur-unsur hara dan
bahan-bahan organik yang sangat diperlukan oleh flora dan fauna akuatik sebagai
bahan makanan, sehingga kelangsungan keberadaan ekosistem mangrove
dapat tetap terjamin. Secara skematis, kerangka berpikir di atas dapat
digambarkan seperti yang terlihat pada Gambar 1.
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat salinitas dan
lama masa dekomposisi terhadap :
1. Jumlah jenis bakteri dan jumlah jenis fungi yang terdapat pada serasah daun
A. marina yang mengalami dekomposisi.
2. Populasi bakteri dan populasi fungi yang terdapat pada serasah daun A.
marina yang mengalami dekomposisi.
3. Keanekaragaman jenis bakteri dan keanekaragaman jenis fungi yang
terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi.
4. Frekuensi kolonisasi berbagai jenis bakteri dan berbagai jenis fungi yang
terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi
5. Laju dekomposisi serasah daun A. marina.
6.
Kadar unsur hara C, N dan P, lignin dan selulosa serta karbohidrat total danprotein yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mangalami
6
=
Hubungan antar faktor-faktor yang berperan dalam dekomposisi serasah=
Faktor-faktor dekomposisi serasah yang diamati dalam penelilitianHutan Mangrove
Serasah Daun
Dekomposisi Serasah Daun
- Curah hujan - Kelembaban nisbi
- Intensitas
cahaya
matahari - Suhu udara
Biologi
-Sifat fisik dan kimia tanah
-Salinitas air
-pH air
-
Kepiting-Serangga
Mikroorganisme -Bakteri
-Fungi
Ketersediaan bahan-bahan organik sebagai makanan fauna akuatik
Iklim Kondisi
Lingkungan tempat tumbuh
Ketersediaan unsur-unsur hara
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian Produktivitas biologis
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :
1. Mempercepat proses dekomposisi serasah yaitu dengan pemberian jenis
bakteri dan jenis fungi yang sudah diketahui sesuai untuk kawasan mangrove
dengan tingkat salinitas yang ada.
2. Dapat digunakan sebagai satu acuan untuk penentu lokasi yang sesuai untuk
budidaya ikan dan udang.
3. Sebagai satu komponen informasi dasar untuk mempelajari siklus unsur hara
pada ekosistem mangrove.
4. Dapat digunakan sebagai satu acuan dalam pengelolaan ekosistem
mangrove untuk menentukan zonasi pemanfaatan kawasan mangrove.
5. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama yang
berhubungan dengan pengelolaan mangrove.
1.6. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap jumlah
jenis bakteri dan jumlah jenis fungi pada serasah daun A. marina yang
mengalami proses dekomposisi.
2. Tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap populasi
bakteri dan populasi fungi pada serasah daun A. marina yang mengalami
proses dekomposisi.
3. Tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap
keanekaragaman jenis bakteri dan keanekaragaman jenis fungi pada serasah
daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi.
4. Tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap
frekuensi kolonisasi jenis bakteri dan frekuensi kolonisasi jenis fungi, pada
serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi.
5. Tingkat salinitas berpengaruh terhadap laju dekomposisi serasah daun
A. marina.
6. Tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap kadar
unsur hara C, N dan P, lignin dan selulosa serta karbohidrat total dan protein
yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mangalami proses
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian dan Peran Mangrove
Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan
bahasa Inggris grove (Macnae, 1968). Dalam bahasa Inggris kata mangrove
digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang berada di daerah jangkauan
pasang-surut air laut maupun individu-individu jenis tumbuhan yang menyusun
komunitas tersebut. Adapun dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan
untuk menyatakan individu jenis tumbuhan, sedang kata mangal untuk
menyatakan komunitas tumbuhan tersebut.
Mangrove terdapat di daerah yang relatif terlindung, sepanjang muara,
laguna, pantai dan tempat-tempat dengan aliran pasang dan surut air laut yang
menyebabkan tercampurnya air tawar dari hujan dan saluran sungai dengan air
laut. Mangrove dan berbagai komponen ekosistem yang terdapat di sekitarnya
seperti rumput laut, terumbu karang dan pantai adalah ekosistem yang paling
produktif di dunia (Soesanto dan Sudomo,1994).
Menurut Snedaker (1978), hutan mangrove terbentuk oleh kelompok jenis
tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai subtropis yang
memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan
bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi anaerobik. Adapun menurut
Aksornkoae (1993), hutan mangrove yang tumbuh di daerah tropis dan subtropis
adalah tumbuhan halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi
oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian permukaan rata-rata
air laut.
Menurut Kusmana dkk., (2005) hutan mangrove adalah suatu tipe hutan
yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna,
muara sungai) yang tergenang waktu air laut pasang dan bebas dari genangan
pada saat air laut surut, yang komunitas tumbuhannya toleran terhadap garam.
Adapun ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas
organisme yang berinteraksi dengan faktor lingkungan di dalam suatu habitat
mangrove.
Hutan mangrove adalah satu di antara bentuk berbagai tipe hutan dengan
sifat tetentu dan merupakan ekosistem tersendiri yang berbeda dari tipe hutan
umumnya terdapat pada delta di muara sungai. Pembentukannya mengikuti pola
sedimentasi tanah yang dibawa oleh aliran sungai ke sepanjang pesisir pantai.
Di pantai yang baru terbentuk dari tanah timbul terdapat jenis-jenis tumbuhan
seperti perepat (Sonneratia alba), api-api hitam (Avicennia alba) atau api-api
merah (A. marina) yang tumbuh sebagai pionir. Jenis-jenis pohon tersebut
membentuk sistem perakaran yang memiliki banyak akar pasak
(pneumatophore) yang berkemampuan menahan benih jenis-jenis tumbuhan
lainnya yang hanyut pada waktu surut. Hutan mangrove berkembang baik pada
pesisir-pesisir yang mendapatkan endapan lumpur (Wirakusumah dan Sutisna,
1980).
Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang mempunyai ciri khusus
karena lantai hutannya secara teratur digenangi oleh air yang dipengaruhi oleh
salinitas serta fluktuasi ketinggian permukaan air karena adanya pasang surut air
laut (Duke, 1992). Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest,
coastal woodland, vloedbos dan hutan payau (Kusmana dkk., 2005) yang terletak
di perbatasan antara darat dan laut, tepatnya di daerah pantai dan di sekitar
muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Sumaharni, 1994).
Hutan mangrove dan perairan di sekitarnya merupakan suatu ekosistem
yang spesifik. Hal ini disebabkan oleh proses kehidupan organisme yang saling
berkaitan baik yang terdapat di daratan maupun di lautan. Selain itu hutan
mangrove sangat berpengaruh terhadap lingkungan sekitarnya, karena hutan
mangrove berperan sebagai penghasil bahan organik yang berguna untuk
menunjang kelestarian organisme (Heald dan Odum, 1972 diacu oleh Djamali,
1994).
Keberadaan, produktivitas dan stabilitas hutan mangrove mempengaruhi
geomorfologi garis pantai (shoreline), produksi ikan untuk kehidupan masyarakat
setempat, sedimentasi dan aliran karbon ke komunitas-komunitas karang dan
rumput laut di sekitarnya (FAO 1994). Chapman (1976) mengemukakan bahwa
prasyarat pokok untuk keberadaan mangrove adalah : (1) suhu udara yang
sesuai, (2) ketersediaan media lumpur, (3) proteksi , (4) air yang mengandung
garam, (5) kejadian pasang surut, (6) terjadi arus laut dan (7) pantai yang
dangkal.
Secara ekologis susunan sebaran jenis pohon di hutan mangrove mulai
dari laut ke arah daratan berturut-turut adalah jenis-jenis Sonneratia, Avicennia,
10
yang tidak jelas. Pada umumnya hutan mangrove didominasi oleh jenis-jenis
Rhizophora, Bruguiera dan Ceriops yang kayunya mempunyai nilai ekonomi
tinggi. Frekuensi genangan oleh air laut sangat menentukan ragam jenis vegetasi
yang dapat tumbuh dan pada umumnya jenis-jenis bakau (Rhizophora spp.)
tumbuh terbanyak (Perum Perhutani, 1994).
Menurut Bengen (2000), hutan mangrove meliputi pohon dan semak yang
terdiri atas 12 marga tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora,
Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegilitis,
Sneda dan Conocarpus) yang termasuk ke dalam delapan suku. Vegetasi hutan
mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, yaitu
sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana,
44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas. Menurut Noor dkk., (1999)
dari 202 jenis tersebut, 43 jenis (di antaranya 33 jenis pohon dan beberapa jenis
perdu) yang disebut sebagai jenis mangrove sejati (true mangrove), sementara
jenis lain yang ditemukan di sekitar mangrove disebut sebagai jenis mangrove
ikutan (associate mangrove). Chapman (1976) membedakan flora mangrove ke
dalam dua kelompok yaitu :
1. Flora mangrove inti, yakni flora mangrove yang mempunyai peran
ekologi utama dalam formasi mangrove ; sebagai contoh : Rhizophora,
Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Avicennia, Nypa, Xylocarpus,
Derris, Acanthus, Lumnitzera, Scyphyphora, Smythea dan
Dolichandrone.
2. Flora mangrove pinggiran (peripheral) yakni flora mangrove yang secara
ekologi berperan dalam formasi mangrove, tetapi flora tersebut juga
berperan penting dalam formasi hutan lain ; sebagai contoh :
Excoecaria, Acrostichum, Cerbera, Heritiera, Hibiscus dan lain-lain.
Adapun Tomlinson (1986) memisahkan flora mangrove menjadi tiga kelompok
yaitu :
1. Flora mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya) yakni flora yang
banyak terdapat pada habitat mangrove, kelompok ini mempunyai
kemampuan membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan
struktur komunitas. Secara morfologi jenis kelompok flora ini mempunyai
bentuk adaptasi khusus (bentuk akar dan viviparitas) terhadap
lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dalam
Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan
Nypa.
2. Flora mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu
membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan
dominan dalam struktur komunitas mangrove. Sebagai contoh adalah
Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegiceras, Aegilitis, Acrostichum,
Camptostemon, Scyphiphora, Pemphis, Osbornia dan Pelliciera.
3. Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris,
Hibiscus, Calamus dan lain-lain.
Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat satu di antara berbagai
jenis tumbuhan mangrove sejati yang termasuk ke dalam empat suku yaitu :
Rhizophoraceae (Rhizophora, Bruguiera, dan Ceriops), Sonneratiaceae
(Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia), dan Meliaceae (Xylocarpus) (Bengen,
2000).
Ekosistem mangrove dengan mudah dapat dilihat dan dibedakan dari
ekosistem lainnya, karena bentukan suatu pemandangan yang khas pada garis
pantai atau di kiri kanan bagian muara sungai. Di dalam ekosistem mangrove
terdapat beberapa jenis flora dan fauna baik terestrial maupun akuatik yang
khas, yang merupakan bagian penting ekosistem mangrove, seperti Rhizophora
spp., Avicennia spp., Bruguiera spp., dan lain-lain serta beberapa jenis udang,
moluska, ikan, amfibi, reptilia, burung dan mamalia. Menurut Soesanto dan
Sudomo (1994) ekosistem mangrove juga merupakan tempat tinggal berbagai
jenis kera seperti Prebystis cristata, Macaca fascicularis dan Nasalis larvatus.
Ekosistem mangrove berfungsi sebagai sumber nutrisi untuk kelanjutan
proses ekologis dan biologis, dan merupakan penangkap sedimen yang
diperlukan untuk kelanjutan proses suksesi, pengendali erosi pantai, tempat
pemijahan dan pembesaran berbagai jenis ikan dan udang. Ekosistem mangrove
juga merupakan sumber produksi pangan, obat-obatan dan bahan baku industri.
Ekosistem mangrove memiliki produktivitas yang tinggi, dan oleh
karenanya mampu menopang keanekaragaman jenis yang tinggi. Daun
mangrove yang berguguran akan dimanfaatkan oleh fungi, protozoa dan bakteri
serta diuraikan menjadi komponen bahan-bahan organik yang lebih sederhana
12
2.2. Proses Dekomposisi Serasah
Menurut Hornby dkk., (1987), dekomposisi adalah kegiatan atau proses
penguraian, pemisahan atau resolusi (dari sesuatu) menjadi bagian-bagian kecil
(constituent elements) ; hancuran (disintegration) ; busuk (putrescence). Menurut
Satchell (1974) dekomposisi adalah kegiatan atau proses penguraian
(decomposing) dan pemisahan (separation) bahan-bahan organik menjadi
bagian-bagian hancur, busuk. Dekomposisi bisa berarti mekanisme
penghancuran struktur tanaman mati dari tahap masih melekat pada kehidupan
tumbuhan sampai menjadi tahap humus dengan struktur sel yang kasar menjadi
bentuk yang hancur (no longer recognizable).
Mason (1977) membagi proses-proses dekomposisi menjadi tiga yaitu
pelindihan (leaching), penghawaan (weathering) dan aktivitas biologi. Ketiga
proses tersebut berlangsung secara simultan. Leaching adalah mekanisme
hilangnya bahan-bahan yang dapat larut dari serasah atau detritus organik oleh
hujan atau aliran air. Weathering adalah mekanisme pelapukan oleh faktor-faktor
fisik, seperti pengikisan dan penguapan air dari serasah oleh angin, es dan
pergerakan gelombang. Aktivitas biologi adalah proses yang menghasilkan
pecahan-pecahan detritus bahan organik secara bertahap oleh mahluk hidup.
Mahluk hidup yang melakukan dekomposisi dikenal sebagai dekomposer,
pengurai atau saproba.
Serasah dalam ekologi digunakan untuk dua pengertian yaitu (1) lapisan
bahan tumbuhan mati yang terdapat pada permukaan tanah dan (2)
bahan-bahan tumbuhan mati yang tidak terikat lagi pada tumbuhan hidup. Daun-daun
mangrove yang jatuh didefinisikan oleh Chapman (1976) sebagai bobot materi
tumbuhan mati yang jatuh dalam satuan luas permukaan tanah dalam periode
waktu tertentu. Brown (1984) mendefinisikan serasah sebagai guguran struktur
vegetatif dan reproduktif yang jatuh disebabkan oleh faktor ketuaan
(senescence), stress oleh faktor mekanik (misalnya angin), kombinasi antara
keduanya, kematian serta kerusakan seluruh bagian tumbuhan oleh iklim.
Produksi serasah dapat diketahui dengan memperkirakan komponen-komponen
dari produksi primer bersih yang dapat terakumulasi pada lantai hutan yang
selanjutnya mengalami remineralisasi melalui tahapan-tahapan dekomposisi.
Serasah atau detritus organik yang berasal dari bahan tumbuhan yang
menghasilkan energi potensial bagi kehidupan konsumer. Sebutan serasah
biasanya digunakan untuk bahan dalam ekosistem daratan khususnya bahan
yang berasal dari tumbuhan tingkat tinggi, sedang detritus digunakan untuk
bahan dalam ekosistem perairan (Mason, 1977).
Serasah daun mangrove pada lingkungan estuaria merupakan suatu bahan
dasar nutrisi penting. Walaupun miskin nutrisi ketika jatuh dari pohon, daun-daun
mangrove menjadi nutrisi yang diperlukan untuk proses-proses pengkayaan
(enrichment) mikroba (Odum, 1971).
Fell dan Masters (1973) yang mempelajari proses degradasi daun
mangrove, mendapatkan 66 marga fungi dan melihat adanya suatu urutan
infestasi. Pada minggu pertama setelah daun gugur, serasah kebanyakan
diserang oleh Phycomycetes yang terdiri atas Thraustochytrium, Schizochytrium,
Phytophthora vesicola, P. bahamensis, P. epistomium, P. mycoparasitica dan P.
spinosa. Penyerang lainnya adalah Aspergillus, Penicillium, Trichoderma,
Fusarium, Curvularia dan Drechslera. Setelah minggu kedua penyerangan dan
dekomposisi serasah dilakukan oleh Lulworthia dan setelah tiga minggu terdapat
Zalerion varium.
Newel (1976) mendapatkan urutan infestasi pada anakan Rhizophora
mangle (Tabel 1). Jika dibandingkan penyerangan jenis fungi pada semai, daun
dan kayu terlihat perbedaan dalam kemampuan dan jumlah jenis fungi yang
melakukan penyerangan.
2.3. Peran Mikroorganisme dalam Proses Dekomposisi Serasah
Bakteri bersama fungi merupakan komponen penting dalam komunitas
mangrove dan berperan sebagai pengurai dalam ekosistem mangrove. Bakteri
laut umumnya lebih kecil dibanding bakteri non laut, dan proporsi terbesar terdiri
atas bakteri Gram negatif berbentuk batang, serta pada umumnya aktivitas
pergerakan dilakukan dengan bantuan flagella. Bakteri bentuk kokus (cocci)
umumnya lebih sedikit dibanding bakteri yang berbentuk batang. Kebanyakan
bakteri laut terikat, atau bergabung sesamanya untuk membentuk permukaan
yang kuat (solid) karena adanya bahan berlendir yang terbentuk pada
permukaan sel, sehingga sel-sel saling terikat. Dengan cara ini bakteri dapat
membentuk lapisan permukaan yang mengakibatkan bakteri dapat hidup pada
alga, rumput laut dan tumbuhan mangrove (Hutching dan Saenger, 1987). Daya
14
suhu, cahaya matahari dan populasi bakteri yang berubah dari satu musim ke
musim berikutnya (Bell, 1974).
Fungi memainkan peran penting dalam ekosistem mangrove terutama
dalam hubungannya dengan bakteri untuk mempercepat dekomposisi serasah
daun (Fell dkk., 1975). Fungi merupakan pengurai utama daun-daun mangrove
karena mempunyai kemampuan untuk menguraikan selulosa dan lignin. Seperti
diketahui selulosa dan lignin ini secara bersama merupakan komponen utama
penyusun dinding sel di daun.
Kohlmeyer (1969) meneliti asosiasi fungi dengan mangrove, dan
mendapatkan 31 jenis fungi laut dan 44 jenis fungi terestrial. Umumnya jenis
fungi terestrial berasosiasi dengan daun, sedang jenis fungi laut berasosiasi
dengan akar mangrove. Hutching dan Saenger (1987) menyatakan bahwa
jenis-jenis fungi dapat dikelompokkan berdasarkan mikrohabitat yang ditempatinya
pada pohon mangrove dan terdapat kelompok jenis fungi yang terdapat pada
lebih dari satu mikrohabitat. Dapat dibedakan tiga mikrohabitat utama yaitu (1)
daun mangrove, (2) batang dan akar, serta (3) tanah.
Fungi parasitik dan saprobik sebagian besar terdapat pada daun
mangrove, penyebarannya cukup luas serta sering hidup bersama dengan jenis
patogen pada sejumlah inang. Sebagai contoh adalah marga Pestalotia,
Phyllosticta, Cladosporium, Nigrospora dan Cercospora; yang semua jenisnya
mempengaruhi kehidupan jenis tumbuhan terestrial. Beberapa jenis di samping
mempengaruhi pertumbuhan mangrove juga mempengaruhi perkembangan
tumbuhan terestrial. Sebagai contoh adalah Nigrospora sphaerica penyebab
busuk daun pada Rhizophora mangle dan penyebab penyakit squirter pada
pisang. Jenis fungi tanah mangrove bisa dibagi ke dalam dua kelompok yaitu
yang berada di tanah dan yang berasosiasi dengan daun-daun mangrove yang
hancur di permukaan tanah. Kedua kelompok ini sangat bergantung pada
8
Tabel 1. Suksesi jenis-jenis fungi yang menghancurkan (breakdown) anakan Rhizophora mangle di Florida menurut waktu dan kondisi
anakan
Waktu Pengamatan
Data Nov. 1970 Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Juni Juli Agus. Sep. Okt. Nov. Des. 1971 1972
Lokasi anakan Pra-absisi Setelah - absisi, lingkungan estuaria di bahwah permukaan (sub surface)
Kondisi anakan Matang, sehat Semua tumbuh tumbuh-senescence-mati senescence-mati mati
Jenis fungi Cladosporium
cladosporioides Pestalotia sp.
Cladosporium sp.
Alternaria alternata Zygosporium masonii Aureobasidium pullulans
Pestalotia sp.
C. cladosporioides Septonema sp.
Penicillium steckii A . alternata Aspergillus repens Thraustochytrium sp.
Anakan yang mangalami
senescence mati
Anakan yang hidup (viable) mengalami
senescence
Lulworthia grandispora Zalerion varium Flagellospora sp.
L. medusa var. biscaynia Pestalotia sp.
Labyrinthula sp.
Thraustochytrium sp.
Keissleriella blepharospora Cytosporina sp.
Cytospora rhizophorae Pestalotia sp.
Thraustochytrium sp.
Trichoderma viride Penicillium Roseopurpureum Papulospora halima Phytophthora vesicula Tahap penyerangan fungi Pra-absisi Penyerang Superfisial Setelah-absisi Penyerang Superfisial
Penyerang bagian bawah epidermis, pada bagian mati dan jaringan hidup
Penyerang pelapuk jaringan
Tahap analog Parasit lemah + umum
Dan saprobik utama terbatas
Saprobik sekunder tahap II : Ascomycetes dan
Deuteromycetes
Saprobik sekunder tahap III : “ Fungi tanah”
3.1. Pendahuluan
3.1.1. Latar Belakang
Dekomposisi adalah proses penghancuran tumbuhan mati secara bertahap
yang menyebabkan terurainya struktur organisme yang semula kompleks
menjadi bentuk-bentuk yang sederhana seperti air, karbondioksida dan
unsur-unsur hara mineral.
Penghancuran serasah dapat diartikan sebagai tahapan-tahapan dalam
proses dekomposisi, yang menyebabkan terjadi kehilangan bobot materi
(organik). Hal tersebut seringkali dapat diukur dalam percobaan dekomposisi
serasah (misalnya kehilangan bobot daun) dan umumnya juga terjadi
penghancuran bagian-bagian serasah yang berukuran besar menjadi
partikel-partikel berukuran kecil (Mason, 1974 ; Mason, 1977)
Dekomposisi juga dapat diartikan sebagai pemisahan secara mekanik
struktur tumbuhan mati mulai dari tahap masih terikat pada tumbuhan hidup
sampai menjadi humus yang struktur selnya tidak berbentuk, karena terjadi
pemecahan molekul-molekul organik kompleks menjadi karbondioksida, air dan
komponen-komponen mineral (Satchell, 1974).
Menurut Dix dan Webster (1995) serasah tumbuhan dapat terdekomposisi
menjadi enam kategori, yaitu : (1) selulosa, (2) hemiselulosa, (3) lignin, (4) gula
terlarut, asam amino dan asam alifatik, (5) larutan eter dan alkohol, lemak,
minyak, lilin, resin dan pigmen-pigmen, serta (6) protein. Dekomposisi serasah
dipengaruhi oleh urutan reaksi spesifik dan dengan bantuan sistem enzim -enzim
tertentu yang dipunyai oleh jenis-jenis organisme tertentu.
Karakteristik penguraian serasah beragam, hal ini dipengaruhi oleh jenis
dan bagian organ tumbuhan. Kecepatan penguraian dan pengurangan
kandungan bahan organik dan anorganik pada serasah ditentukan oleh kekuatan
pencucian (leaching). Dari beberapa hasil penelitian tentang penguraian serasah
melalui pencucian antara lain, yang dilakukan secara in-situ dengan
menggunakan serasah daun, dapat diketahui bahwa pemecahan gula terjadi
17
dengan menggunakan daun Rhizophora sp. menunjukkan bahwa jenis fungi
yang hadir sejak awal berpengaruh besar terhadap proses pencucian dan
terhadap kolonisasi oleh jenis mikroorganisme lainnya serta terhadap kehadiran
invertebrata pemakan serasah (Mason, 1977).
Kecepatan dekomposisi serasah dapat diketahui dengan menempatkan
serasah daun mangrove yang massanya diketahui di dalam kantong serasah
yang tidak dapat dimasuki oleh makrofauna pemakan serasah daun, seperti
Gastropoda dan kepiting. Kantong-kantong berisi serasah daun ini selanjutnya di-
tempatkan di areal mangrove dan pengamatan dilakukan dengan selang waktu
tertentu. Tiap kali pengamatan sisa serasah yang terdapat dalam kantong
tersebut ditimbang (Hogarth, 1999).
Pada hutan mangrove, pasokan serasah daun yang berasal dari berbagai
jenis pohon mangrove tersebut dapat terjadi secara berkelanjutan. Serasah daun
merupakan substrat yang baik bagi berbagai jenis fungi, bakteri dan
mikroorganisme lainnya. Serasah daun mangrove pada air payau terdekomposisi
menjadi potongan-potongan kecil dalam waktu 2 sampai 3 bulan (Nakagiri
dkk.,1996)
Keadaan lingkungan yang selalu basah dan lembab serta suhu yang selalu
tinggi sepanjang tahun, menyebabkan proses dekomposisi serasah hutan
berlangsung sangat cepat, sehingga proses humifikasi (pembentukan humus)
segera dilanjutkan dengan proses mineralisasi (Manan, 1978).
Menurut Sutedjo dkk., (1991) proses dekomposisi bahan-bahan tumbuhan
dipengaruhi oleh kandungan lignin dan lilin dalam bahan tumbuhan, suplai
nitrogen, kondisi lingkungan, aerasi tanah, kelimpahan mikroorganisme, dan
suhu udara. Faktor-faktor yang mempengaruhi dekomposisi menurut Anderson
dan Swift (1979) adalah (1) organisme penghancur (hewan dan jasad renik), (2)
kualitas serasah (sifat bahan organik serasah yang mempengaruhi kecepatan
dekomposisi) dan (3) lingkungan, baik fisik maupun kimia (iklim makro dan
tanah). Dengan demikian proses dekomposisi (D) merupakan fungsi organisme
penghancur (O), kualitas serasah (Q) dan lingkungan (P) atau D = f (O,Q,P).
Menurut Whitmore (1984), peran makrofauna sebagai organisme
penghancur sangat penting. Berbagai jenis hewan tersebut memecah serasah
menjadi partikel-partikel kecil sehingga luas permukaan menjadi lebih besar dan
akibatnya penguraian serasah tersebut oleh bakteri dan fungi menjadi lebih
Kecepatan dekomposisi bahan-bahan organik secara umum bergantung
pada kualitas dan umur bahan organik itu sendiri (Godshalk dan Wetzel 1978;
Westrich dan Berner, 1984). Kebanyakan bahan-bahan organik yang dihasilkan
di daerah estuarin dan kawasan pesisir didekomposisi oleh mikrorganisme yang
hudup secara aerobik dan anaeobik (Smith 1974).
Laju dekomposisi serasah dipengaruhi oleh jenis serasah, jenis pohon, dan
penggenangan lantai hutan mangrove oleh air laut (Day, 1982 diacu oleh
Alrasjid, 1986). Dekomposisi sempurna membutuhkan waktu beberapa minggu
bahkan ada pula yang sampai bertahun-tahun (Spurr dan Barnes, 1980)
Selama 10 sampai 14 hari, hampir semua kehilangan bobot serasah daun
terjadi oleh proses fisik yang menyebabkan karbon organik terlarut (Dissolved
Organic Carbon) tercuci. Diketahui bahwa sekitar 30 sampai 50 persen
bahan-bahan organik serasah daun hilang dengan cara seperti ini dan sisanya yaitu
karbohidrat seperti selulosa yang tidak larut. Bahan-bahan ini selanjutnya
diuraikan dengan bantuan enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh bakteri atau
fungi. Satu di antara berbagai macam substrat yang banyak terurai di awal
proses dekomposisi adalah tanin. Keberadaan tanin pada serasah daun dapat
menghambat pertumbuhan bakteri penghasil enzim ekstraseluler. Diperkirakan
invasi oleh bakteri pada serasah daun yang mengalami dekomposisi, terjadi
setelah kandungan taninnya berkurang (Gonzales-Farias dan Mee, 1988).
Daun-daun senescence jatuh di permukaan tanah, dan selanjutnya
mengalami pembusukan, melepaskan unsur hara dan secara perlahan menyatu
ke dalam struktur tanah. Fungi berperan penting pada saat ini, tetapi relatif
masih sedikit jenis-jenis fungi yang berperan. Dekomposisi berbagai macam tipe
serasah suatu tumbuhan setelah dikolonisasi fungi sekunder, biasanya
berlangsung satu tahun. Pada tahap ini juga berlangsung sejumlah proses fisika
dan kimia. Serasah tumbuhan berada di permukaan tanah selama beberapa
bulan sampai beberapa tahun sebelum terdekomposisi sempurna dan akhirnya
menyatu ke dalam tanah mineral (Dix dan Webster, 1995).
Menurut Fisher dan Binkley (2000), proses dekomposisi sudah dimulai
sebelum serasah lepas dari pohon. Pada saat melekat, daun menghasilkan
eksudat yang dapat menarik dan memungkinkan diinvasi oleh patogen.
Selanjutnya serasah yang sudah jatuh, pada minggu-minggu awal diinvasi oleh
fungi. Serasah daun yang mulai hancur ini banyak mengandung larutan gula,
19
tercuci, serasah ini dapat dimanfaatkan oleh Arthropoda dan cacing. Selanjutnya
serasah dihancurkan oleh mikroorganisme dengan populasi yang besar. Tanpa
adanya fragmentasi yang dilakukan oleh hewan tanah tersebut terlebih dahulu,
maka proses penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme akan berlangsung
lambat.
Kecepatan dekomposisi berbagai macam serasah, terutama yang berasal
dari pohon bergantung pada kecepatan serasah tersebut terpecah-pecah
(fragmented). Proses penghancuran ini sebagian besar dilakukan oleh banyak
hewan tanah kecil yang memakan serasah di antaranya siput, cacing kecil
(millipedes) beberapa kutu (mites), Collembola, larva serangga, serangga dan
hewan-hewan tanah yang lebih besar seperti Lumbricus terrestris dan
Allolobophora longa. Berbagai jenis serangga penting pemakan daun meliputi
ordo Hymenoptera, Coleoptera, Lepidoptera, Orthoptera, Diptera dan Hemiptera
(Franklin, 1970 diacu oleh Jensen, 1974).
Pemecahan daun-daun menjadi komponen-komponen serasah yang lebih
kecil ukurannya mempercepat terjadi dekomposisi serasah karena peningkatan
pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme yang disebabkan oleh dua
cara. Pertama, pecahan serasah yang kompak menyebabkan kemudahan dalam
kapasitas pemegangan air serasah. Kedua, fragmentasi atau pemecahan
serasah oleh hewan pemakan serasah dapat meningkatkan luas permukaan
untuk penyerangan oleh mikroorganisme. Hal ini terutama penting untuk
dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri yang tidak mempunyai hifa seperti fungi
yang dapat mempenetrasi jaringan. Pertumbuhan bakteri sebagian besar
terbatas pada permukaan serasah dan sangat bergantung pada luas jaringan
yang terbuka. Pada pecahan serasah daun ini fungi berperan kecil. Ketika hewan
tanah tidak mungkin masuk (exclude) untuk menyerang serasah, maka pada saat
ini proses fis