• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dekomposisi Serasah Daun Avicennia marina oleh Bakteri dan Fungi Pada Berbagai Tingkat Salinitas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dekomposisi Serasah Daun Avicennia marina oleh Bakteri dan Fungi Pada Berbagai Tingkat Salinitas"

Copied!
243
0
0

Teks penuh

(1)

DEKOMPOSISI SERASAH DAUN

Avicennia marina

OLEH BAKTERI DAN FUNGI

PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS

Y U N A S F I

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS

Y U N A S F I

Disertasi

Sebagai satu di antara beberapa syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Judul Disertasi : DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina OLEH BAKTERI DAN FUNGI PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS

Nama : Y U N A S F I

NRP : 985129

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Soetrisno Hadi, M. Sc.F. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS

Ketua Anggota

Dr. Ir. Lisdar A. Manaf I. Sudirman Dr. Ir. Budi Tjahjono, M.Agr.

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(4)

Penulis dilahirkan di Padang, Sumatra Barat pada tanggal 19 November

1967, sebagai anak pertama dari enam bersaudara, pasangan Djamhar (Alm)

dan Yusiar. Penulis menyelesaikan pendidikan SD, SMP dan SMA di Lubuk

Alung Padang Pariaman.

Pada tahun 1991, penulis memperoleh gelar sarjana Pertanian dari

Fakultas Pertanian, Universitas Andalas di Padang. Pada tahun 1998 penulis

mendapat gelar Magister Sains dari Program Pascasarjana, Institut Pertanian

Bogor. Sejak Februari 1999 penulis mengikuti Program Doktor pada Program

Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Program Pascasarjana, Institut Pertanian

Bogor.

Penulis tahun 1991 pernah bekerja sebagai staf planning PT. Minas Pagai

Lumber Corporation, daerah operasi Pagai Utara-Pagai Selatan dan tahun 1993

sebagai staf planning PT. Inhutani III, kantor Unit Sampit Kalimantan Tengah.

Sejak tahun 2000 penulis adalah staf pengajar pada Jurusan Ilmu Kehutanan,

Fakultas Pertanian Unversitas Sumatera Utara, Medan.

Pada tanggal 6 Agustus 1993 penulis menikah dengan Dra. Herlina Mesta

(5)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahuwata’ala, atas

segala rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah,

penelitian dan penyusunan Disertasi yang berjudul : Dekomposisi Serasah

Daun Avicennia marina oleh Bakteri dan Fungi pada Berbagai Tingkat

Salinitas. Dengan selesainya perkuliahan, penelitian dan penyusunan disertasi ini, izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Soetrisno Hadi, M.Sc.F., Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS,

Dr. Ir. Lisdar I. Sudirman dan Dr. Ir. Budi Tjahjono, M. Agr. atas segala

bimbingannya dan arahannya sejak perkuliahan, penelitian sampai

penyusunan disertasi ini.

2. Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan

bantuan dana perkuliahan dan penelitian selama mengikuti pendidikan

Doktor di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

3. Prof. Dr. Ir. T.M. Hanafiah Oeliem selaku Ketua Program Ilmu Kehutanan

USU sebelum bergabung dengan Fakultas Pertanian, yang telah

mengusahakan berbagai bantuan dana perkuliahan dan penelitian.

4. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana dan Ketua

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan yang telah memberi

kesempatan penulis untuk mengikuti kuliah pada Sekolah Pascasarjana IPB.

5. Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor beserta stafnya yang

telah menyediakan sarana pendidikan (kuliah, praktikum, dan rapat-rapat

komisi) dalam rangka pnyelesaian studi ini.

6. Pimpinan dan staf program Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) atas

sebagian beasiswa yang diberikan kepada penulis

7. Yayasan Beasiswa Universitas Bung Hatta yang telah memberikan bantuan

sebagian biaya hidup.

8. Yayasan Toyota dan Astra yang telah memberikan bantuan sebagian biaya

penelitian.

9. Direktur Perum Perhutani beserta stafnya yang telah memberi izin

penggunaan lokasi penelitian di KPH Purwakarta.

10. Kepala Laboratorium Biokimia dan Mikrobiologi Pusat Studi Ilmu Hayati IPB,

(6)

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Departemen Pertanian, yang telah

memberikan fasilitas dan membantu analisis serasah selama penelitian.

11. Kepada teman-teman Dr. Ir. Abdurrani Muin, MS, Dr.Ir. Hamzah, M.Si, Dr.

Delvian, SP, MP, Dr. Endang Hilmi, S.Hut, M.Si, Dr. Tati Rostiwati, MS, Dr.

Ir. Ervayenri, M.Si. dan teman-teman lainnya atas kerjasama dalam berbagai

kegiatan selama studi Doktor di Sekolah Pascasarjana IPB.

12. Bapak Dalban yang telah membantu kegiatan penelitian di lapangan sejak

dari persiapan sampai selesainya penelitian.

13. Bapanda Djamhar (Alm) dan Ibunda Yusiar yang telah memberikan bantuan

sebagian biaya perkuliahan dan dorongan semangat yang tidak

henti-hentinya kepada penulis.

14. Ayahanda Drs. H. Helmi Muchtar dan Ibunda Hj. Rasimah Taher yang telah

memberikan bantuan sebagian biaya perkuliahan.

15.

Isteri tercinta Dra. Herlina Mesta dan Ananda tersayang Firdha Sekar

Rahayu yang telah memberikan dorongan dan kasih sayangnya kepada

penulis selama mengikuti pendidikan.

Penulis berharap, semoga berbagai pihak yang telah memberikan semua

bentuk bantuan yang telah penulis terima mendapat balasan dari Allah SWT atas

amal shalehnya tersebut. Akhirnya penulis berharap semoga disertasi ini dapat

bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Juni 2006

Yunasfi

(7)

SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam

disertasi saya yang berjudul :

Dekomposisi Serasah Daun Avicennia marina oleh Bakteri dan

Fungi pada Berbagai Tingkat Salinitas

merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan

bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan acuannya.

Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar apapun pada

program sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan

dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Juni 2006

(8)

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR GAMBAR xvi

DAFTAR LAMPIRAN xix

I. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah 3

1.3. Kerangka Pemikiran 5

1.4. Tujuan Penelitian 5

1.5. Manfaat Penelitian 7

1.6. Hipotesis Penelitian 7

II. TINJAUAN PUSTAKA 8

2.1. Pengertian dan Peran Mangrove 8

2.2. Proses Dekomposisi serasah 12

2.3. Peran Mikroorganisme dalam Proses Dekomposisi Serasah 13

III. LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN A. marina PADA BERBAGAI

TINGKAT SALINITAS 16

3.1. Pendahuluan 16

3.1.1. Latar Belakang 16

3.1.2. Tujuan Penelitian 23

3.1.3. Hipotesis 24

3.2. Bahan dan Metode 24

3.2.1. Tempat dan Waktu Penelitian 24

3.2.2. Pengumpulan Serasah Daun A. marina 24

3.2.3. Penempatan Serasah Daun A. marina di Lapangan 24

3.2.4. Pendugaan Laju Dekomposisi Serasah 27

3.3. Hasil 28

3.4. Pembahasan 31

3.5. Kesimpulan 34

IV. KOLONISASI BAKTERI SELAMA PROSES DEKOMPOSISI

SERASAH DAUN Avicennia marina PADA BERBAGAI TINGKAT

SALINITAS 35

(9)

4.1.1. Latar Belakang 35

4.1.2. Tujuan Penelitian 38

4.1.3. Hipotesis 38

4.2. Bahan dan Metode 39

4.2.1. Tempat dan Waktu Penelitian 39

4.2.2. Pengumpulan Serasah Daun A. marina 39

4.2.3. Penempatan Serasah Daun A. marina di Lapangan 39

4.2.4. Isolasi Bakteri dari Serasah Daun A. marina 40

4.2.5. Identifikasi Bakteri 42

4.2.6. Pengumpulan Data 42

4.2.7. Penentuan Indeks Keanekaragaman Jenis Bakteri 43

4.3. Hasil 44

4.3.1. Jenis-jenis Bakteri yang Terdapat pada Serasah Daun

A. marina yang Belum Mengalami Proses Dekomposisi di

Lapangan 44

4.3.2. Jenis-jenis Bakteri yang Terdapat pada Serasah Daun

A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada

Tingkat Salinitas < 10 ppt 45

4.3.3. Jenis-jenis Bakteri yang Terdapat pada Serasah Daun

A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada

Tingkat Salinitas 10 – 20 ppt 49

4.3.4. Jenis-jenis Bakteri yang Terdapat pada Serasah Daun

A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada

Tingkat Salinitas 20 – 30 ppt 49

4.3.5. Jenis-jenis Bakteri yang Terdapat pada Serasah Daun

A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada

Tingkat Salinitas > 30 ppt 52

4.3.6. Perbandingan Antara Jumlah Jenis Bakteri pada Berbagai

Tingkat Salinitas 52

4.3.7. Perbandingan Populasi Bakteri pada Berbagai Tingkat

Salinitas 52

4.3.8. Perbandingan Keanekaragaman Jenis Bakteri pada

Berbagai Tingkat Salinitas 55

4.3.9. Frekuensi Kolonisasi Tiap Jenis Bakteri pada Serasah Daun

A. marina 55

4.4. Pembahasan 56

4.5. Kesimpulan 59

V. KOLONISASI FUNGI SELAMA PROSES DEKOMPOSISI SERASAH

(10)

5.1.3. Hipotesis 67

5.2. Bahan dan Metode 67

5.2.1. Tempat dan Waktu Penelitian 67

5.2.2. Pengumpulan Serasah Daun A. marina 67

5.2.3. Penempatan Serasah Daun A. marina di Lapangan 68

5.2.4. Isolasi Fungi dari Serasah Daun A. marina 68

5.2.5. Identifikasi Fungi 69

5.2.6. Pengumpulan Data 70

5.2.7. Penentuan Indeks Keanekaragaman Jenis Fungi 70

5.3. Hasil 71

5.3.1. Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Serasah Daun

A. marina yang Belum Mengalami Proses Dekomposisi 71

5.3.2. Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Serasah Daun

A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada

Tingkat salinitas < 10 ppt 74

5.3.3. Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Serasah Daun

A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada

Tingkat Salinitas 10 – 20 ppt 83

5.3.4. Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Serasah Daun

A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada

Tingkat Salinitas 20 – 30 ppt 86

5.3.5. Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Serasah Daun

A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada

Tingkat Salinitas > 30 ppt 89

5.3.6. Perbandingan Jumlah Jenis Fungi pada Berbagai Tingkat

Salinitas 92

5.3.7. Perbandingan Populasi Fungi pada Berbagai Tingkat

Salinitas 92

5.3.8. Indeks Keanekargaman Jenis Fungi 93

5.3.9. Frekuensi Kolonisasi Fungi 93

5.4. Pembahasan 95

5.5. Kesimpulan 97

VI. KADAR UNSUR HARA N , P DAN C SERASAH DAUN A. marina

YANG MENGALAMI PROSES DEKOMPOSISI PADA BERBAGAI

(11)

6.1. Pendahuluan 98

6.1.1. Latar Belakang 98

6.1.2. Tujuan Penelitian 101

6.1.3. Hipotesis 101

6.2. Bahan dan Metode 101

6.2.1. Tempat dan Waktu Penelitian 101

6.2.2. Rancangan Percobaan 101

6.2.3. Penentuan Kadar Unsur Hara N, P dan C Serasah Daun

A. marina 102

6.3. Hasil 103

6.3.1. Kadar Unsur Hara N 103

6.3.2. Kadar Unsur Hara P 105

6.3.3. Kadar Unsur Hara C 106

6.4. Pembahasan 108

6.5. Kesimpulan 110

VII. KADAR SELULOSA DAN LIGNIN SERASAH DAUN Avicennia marina

YANG MENGALAMI PROSES DEKOMPOSISI PADA BERBAGAI

TINGKAT SALINITAS 112

7.1. Pendahuluan 112

7.1.1. Latar Belakang 112

7.1.2. Tujuan Penelitian 119

7.1.3. Hipotesis 119

7.2. Bahan dan Metode 119

7.2.1. Tempat dan Waktu Penelitian 119

7.2.2. Rancangan Percobaan 120

7.2.3. Penentuan Kadar Selulosa dan Lignin 120

7.3. Hasil 121

7.4. Pembahasan 125

7.5. Kesimpulan 126

VIII. KADAR KARBOHIDRAT DAN PROTEIN SERASAH DAUN Avicennia

marina YANG MENGALAMI PROSES DEKOMPOSISI PADA

BERBAGAI TINGKAT SALINITAS 127

8.1. Pendahuluan 127

8.1.1. Latar Belakang 127

8.1.2. Tujuan Penelitian 128

(12)

8.2.3. Penentuan Kadar Karbohidrat Total 129

8.2.4. Penentuan Kadar Protein 129

8.3. Hasil 130

8.3.1. Kadar Karbohidrat Total 130

8.3.2. Kadar Protein 132

8.4. Pembahasan 134

8.5. Kesimpulan 135

IX PEMBAHASAN UMUM 136

X KESIMPULAN UMUM DAN SARAN 144

10.1. Kesimpulan 144

10.2. Saran 145

PUSTAKA ACUAN 147

(13)

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Suksesi jenis-jenis fungi yang menghancurkan (breakdown) anakan

Rhizophora mangle di Florida menurut waktu dan kondisi anakan 15

2. Suksesi beberapa jenis fungi pada Pteridium aquilinum (Garet, 1963 diacu

oleh Frankland, 1974) 22

3. Rata-rata laju dekomposisi dan lama masa serasah terdapat di

lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas

30

4. Jumlah koloni rata-rata x 107 (cfu/ml) tiap jenis bakteri pada serasah daun

A. marina yang belum mengalami dekomposisi (kontrol) 44

5. Jumlah koloni rata-rata x 107 (cfu/ml) tiap jenis bakteri tiap 15 hari dan

frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami

proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan salinitas < 10

ppt 46

6. Jumlah koloni rata-rata x 107 (cfu/ml) tiap jenis bakteri tiap 15 hari dan

frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami

proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan salinitas

10 – 20 ppt 50

7. Jumlah koloni rata-rata x 106 (cfu/ml) tiap jenis bakteri tiap 15 hari dan

frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami

proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan salinitas

20 – 30 ppt. 51

8. Jumlah koloni rata-rata x 106 (cfu/ml) tiap jenis bakteri tiap 15 hari dan

frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami

proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan salinitas

> 30 ppt 53

9. Jenis-jenis fungi yang terdapat pada mangrove dan penelitinya 63

10. Jumlah koloni rata-rata x 102 (cfu/ml) tiap jenis fungi pada serasah daun A.

marina yang belum mengalami dekomposisi (kontrol) 71

11. Jumlah koloni rata-rata x 102 (cfu/ml) tiap jenis fungi tiap 15 hari dan

frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami

proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan salinitas

0 < 10 ppt 75

12. Jumlah koloni rata-rata x 102 (cfu/ml) tiap jenis fungi tiap 15 hari dan

frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami

proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan salinitas

10 – 20 ppt 84

13 Jumlah koloni rata-rata x 102 (cfu/ml) tiap jenis fungi tiap 15 hari dan

frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami

proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan salinitas

20 – 30 ppt 87

14. Jumlah koloni rata-rata x 102 (cfu/ml) tiap jenis fungi tiap 15 hari dan

frekuensi kolonisasinya pada serasah daun A. marina yang mengalami

(14)

1. Kerangka pemikiran penelitian 6

2. Bentuk dan ukuran kantong serasah yang terbuat dari nilon yang

digunakan untuk penempatan serasah di beberapa lokasi di lapangan dengan berbagai tingkat salinitas

25

3. Lokasi petak untuk penempatan kantong berisi serasah di lapangan

berdasarkan tingkat salinitas 26

4. Petak-petak penempatan kantong berisi serasah daun A. marina 27

5. Bobot kering sisa serasah daun A. marina yang telah mengalami

proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan berbagai

tingkat salinitas 28

6. Persentase sisa serasah daun A. marina yang mengalami

dekomposisi 15 – 165 hari di lingkungan dengan berbagai tingkat

salinitas 29

7. Bentuk serasah daun A. marina yang mengalami proses

dekomposisi selama 15 sampai 165 hari pada tingkat salinitas

10 – 20 ppt 30

8. Cacing yang ditemukan pada serasah daun A. marina yang telah

mengalami proses dekomposisi selama 45 hari pada tingkat salinitas

< 10 ppt, 10 – 20 ppt, 20 – 30 ppt dan > 30 ppt 32

9. Siput-siput yang ditemukan pada serasah daun A. marina yang

mengalami proses dekomposisi 33

10. Cara pengenceran serasah daun A. marina untuk isolasi bakteri

pada media biakan dalam cawan Petri

41

11. Bentuk koloni berbagai jenis bakteri yang terdapat pada serasah

daun A. marina yang belum mengalami proses dekomposisi di

lapangan

45

12. Bentuk koloni berbagai jenis bakteri pada serasah daun A. marina

yang mengalami dekomposisi dalam lingkungan dengan salinitas < 10 ppt, yang tidak terdapat pada serasah daun yang belum

mengalami proses dekomposisi di lapangan 48

13. Jumlah jenis bakteri pada serasah daun A. marina yang mengalami

proses dekomposisi selama 15 – 165 hari di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas

54

14. Populasi bakteri yang terdapat pada serasah daun A. marina yang

mengalami proses dekomposisi selama 15 – 165 hari di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas

54

15. Aspergillus sp. 1 72

16. Aspergillus sp. 2 72

(15)

18. Curvularia lunata 73

19. Fungi tidak teridentifikasi 1 73

20. Fusarium sp. 1 74

21. Aspergillus sp. 4 76

22. Trichoderma sp. 1 77

23. Fungi tidak teridentifikasi 2 78

24. Fusarium sp. 2 78

25. Penicillium sp. 1 79

26. Trichoderma sp. 2 79

27. Penicillium sp. 2 80

28. Aspergillus sp. 5 81

29. Fusarium sp. 3 81

30. Penicillium sp. 3 81

31. Penicillium sp. 4 82

32. Trichoderma sp. 3 82

33. Aspergillus sp. 6 82

34. Penicillium sp. 5 83

35. Trichoderma sp. 4 85

36. Aspergillus sp. 7 89

37. Penicillium sp. 6 91

38. Fungi tidak teridentifikasi 3 91

39. Jumlah jenis fungi pada serasah daun A. marina yang telah

mengalami proses dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas

92

40. Populasi fungi yang terdapat pada serasah daun A. marina yang

mengalami proses dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas

93

41. Kadar unsur hara N rata-rata serasah daun A. marina yang

mengalami proses dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas

104

42. Kadar unsur hara N rata-rata pada berbagai lama masa dekomposisi

serasah daun A. marina pada berbagai tingkat salinitas

104

43. Kadar unsur hara P rata-rata serasah daun A. marina yang

mengalami proses dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas

105

44. Kadar unsur hara P rata-rata pada berbagai lama masa dekomposisi

serasah daun A. marina pada berbagai tingkat salinitas

106

45. Kadar unsur hara C serasah daun A. marina yang mengalami proses

dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas

(16)

chrysosporium 117

48. Reaksi tahap pertama dan tahap kedua dekomposisi selulosa 118

49. Dekomposisi selulosa (Moore-Landecker, 1990) 118

50. Kadar selulosa rata-rata serasah daun A.marina yang mengalami

proses dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas

122

51. Kadar selulosa rata-rata serasah daun A. marina mulai dari sebelum

serasah ditempatkan di lapangan sampai mengalami proses dekomposisi selama 105 hari, pada berbagai tingkat salinitas

122

52. Kadar lignin rata-rata serasah daun A. marina yang mengalami

proses dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas 123

53. Kadar lignin rata-rata serasah daun A. marina dengan berbagai

lama masa dekomposisi

124

54. Kadar karbohidrat rata-rata serasah daun A. marina yang mangalami

proses dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas 131

55. Kadar karbohidrat rata-rata serasah daun A. marina setelah

mengalami berbagai lama masa dekomposisi dalam lingkungan

dengan berbagai tingkat salinitas 132

56. Kadar protein rata-rata serasah daun A. marina yang mangalami

dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas 133

57. Kadar protein rata-rata serasah daun A. marina pada beberapa lama

masa dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas 133

58. Hubungan laju dekomposisi (A) dengan pola suksesi berbagai jenis

bakteri (B) dan berbagai jenis fungi (C) pada serasah daun A. marina

yang mengalami proses dekomposisi di lingkungan dengan tingkat

salinitas < 10 ppt 140

59. Hubungan laju dekomposisi (A) dengan pola suksesi berbagai jenis bakteri (B) berbagai jenis fungi (C) dan cacing (D) pada serasah

daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi di lingkungan

dengan tingkat salinitas 10 – 20 ppt

141

60. Hubungan laju dekomposisi (A) dengan pola suksesi berbagai jenis bakteri (B) berbagai jenis fungi (C) cacing (D) dan siput (E) pada

serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi di lingkungan

dengan tingkat salinitas 20 – 30 ppt 142

61. Hubungan laju dekomposisi (A) dengan pola suksesi berbagai jenis bakteri (B) berbagai jenis fungi (C) cacing (D) pada serasah daun

A. marina yang mengalami dekomposisi di lingkungan dengan

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman

1. Bobot kering (g) sisa serasah daun A. marina tiap ulangan pada

berbagai tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi

159

2. Persentase bobot kering serasah daun A. marina tiap ulangan pada

berbagai tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi

160

3. Ciri-ciri morfologi dan fisiologi jenis-jenis bakteri yang terdapat

pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi dalam

lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas 161

4. Jumlah koloni x 107 (cfu/ml) berbagai jenis bakteri tiap ulangan pada

serasah daun A. marina yang belum mengalami proses dekomposisi

(kontrol) 165

5. Jumlah koloni x 107 (cfu/ml) berbagai jenis bakteri tiap ulangan pada

serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi

selama 15 sampai 165 hari di lingkungan dengan salinitas 0 < 10 ppt 166

6. Rangkuman ciri-ciri morfologi dan fisiologi berbagai jenis bakteri

(pada media NA) yang terdapat pada serasah daun A. marina yang

belum dan telah mengalami proses dekomposisi di lingkungan

dengan berbagai tingkat salinitas 167

7. Jumlah koloni x 107 (cfu/ml) berbagai jenis bakteri tiap ulangan pada

serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi

selama 15 sampai 165 hari di lingkungan dengan salinitas 10 – 20 ppt

168

8. Jumlah koloni x 107 (cfu/ml) berbagai jenis bakteri tiap ulangan pada

serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi

selama 15 sampai 165 hari di lingkungan dengan salinitas 20 – 30 ppt 169

9. Jumlah koloni x 106 (cfu/ml) berbagai jenis bakteri tiap ulangan pada

serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi

selama 15 sampai 165 hari di lingkungan dengan salinitas > 30 ppt 170

10. Matriks hubungan pengaruh berbagai tingkat salinitas terhadap jumlah koloni rata-rata (cfu/ml) berbagai jenis bakteri pada serasah

daun A. marina yang belum dan telah mengalami proses

dekomposisi selama 165 hari 171

11. Jumlah koloni x 102 (cfu/ml) berbagai jenis fungi tiap ulangan pada

serasah daun A. marina yang belum mengalami proses dekomposisi

(kontrol) 172

12. Ciri-ciri makroskopik dan mikroskopik fungi yang ditemukan pada

serasah daun A. marina yang belum dan telah mengalami proses

dekomposisi di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas 173

13. Jumlah koloni x 102 (cfu/ml) berbagai jenis fungi tiap ulangan pada

serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi

(18)

15. Jumlah koloni x 102 (cfu/ml) berbagai jenis fungi tiap ulangan pada

serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi

selama 15 sampai 165 hari di lingkungan dengan salinitas 20 – 30

ppt 183

16. Jumlah koloni x 102 (cfu/ml) berbagai jenis fungi tiap ulangan pada

serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi

selama 15 sampai 165 hari di lingkungan dengan salinitas > 30 ppt 184

17. Rangkuman ciri-ciri makroskopik dan mikroskopik berbagai jenis fungi

yang ditemukan pada serasah daun A. marina yang belum dan telah

mengalami proses dekomposisi di lingkungan dengan berbagai

tingkat salinitas 185

18. Matriks hubungan pengaruh berbagai tingkat salinitas terhadap

jumlah koloni rata-rata x 102 (cfu/ml) berbagai jenis fungi pada

serasah daun A. marina yang belum dan telah mengalami proses

dekomposisi selama 165 hari 190

19. Kadar unsur hara N (%) serasah daun A. marina yang mengalami

proses dekomposisi selama 15 sampai 135 hari tiap ulangan di

lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas 191

20. Kadar unsur hara P (%) serasah daun A. marina yang mengalami

proses dekomposisi selama 15 sampai 135 hari tiap ulangan di

lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas 192

21. Kadar unsur hara C (%) serasah daun A. marina yang mengalami

proses dekomposisi selama 15 sampai 135 hari tiap ulangan di

lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas 193

22. Nilai absolut kadar unsur hara C (g) serasah daun A. marina yang

mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 135 hari tiap

ulangan di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas 194

23. Kadar selulosa (%) serasah daun A. marina yang mengalami proses

dekomposisi selama 15 sampai 105 hari dalam lingkungan dengan

berbagai tingkat salinitas 195

24. Nilai absolut kadar selulosa (g) serasah daun A. marina yang

mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 105 hari di

lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas 196

25. Kadar lignin (%) serasah daun A. marina yang mengalami proses

dekomposisi selama 15 sampai 105 hari tiap ulangan di lingkungan

dengan berbagai tingkat salinitas 197

26. Nilai absolut kadar lignin (g) serasah daun A. marina yang mengalami

proses dekomposisi selama 15 sampai 105 hari di lingkungan dengan

berbagai tingkat salinitas 198

27. Kadar karbohidrat (%) serasah daun A. marina yang mengalami

proses dekomposisi selama 15 sampai 105 hari tiap ulangan di

(19)

28. Nilai absolut kadar karbohidrat (g) serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 105 hari tiap

ulangan di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas 200

29. Kadar protein (%) serasah daun A. marina yang mengalami proses

dekomposisi selama 15 sampai 105 hari tiap ulangan di lingkungan

dengan berbagai tingkat salinitas 201

30. Nilai absolut kadar protein (g) serasah daun A. marina yang

mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai 105 hari tiap

ulangan di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas 202

(20)

Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir

yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove

yang lebarnya dari beberapa meter sampai puluhan kilo meter. Menurut Sukardjo

(1984), Indonesia terdiri atas 13.677 pulau yang mempunyai garis pantai sekitar

81.000 km, dan di kawasan tersebut terdapat berbagai tipe vegetasi yang

tumbuh, yang di antaranya adalah mangrove. Selain di kawasan pesisir,

ekosistem mangrove juga terdapat di muara-muara sungai dan lahan drainase

yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Menurut Yamada (1997), di Papua

New Guinea mangrove terdapat sampai 300 km ke arah hulu sungai, sedang di

Palembang sampai 100 km.

Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan (1993) menyatakan

bahwa luas hutan mangrove di seluruh wilayah Indonesia diperkirakan 3,7 juta

ha, sedang menurut Bengen (2000), luasnya diperkirakan sekitar 2,3 juta ha. Dari

data luas hutan mangrove Indonesia pada tahun 1993 dan tahun 2000 yang

ditampilkan di atas terlihat adanya penurunan luas hutan mangrove selama tujuh

tahun yang sangat nyata. Hal ini karena terjadi konversi hutan mangrove menjadi

kawasan pemukiman, kawasan industri, tambak dan peruntukan lain yang

berlangsung secara tidak terkendali.

Ekosistem mangrove berperan penting dalam mendukung kehidupan

organisme yang terdapat di dalamnya. Adapun fungsi hutan mangrove menurut

Kusmana dkk. (2005) dapat dibedakan ke dalam tiga macam, yaitu fungsi fisik,

fungsi ekonomi dan fungsi biologi seperti yang berikut.

1. Fungsi fisik :

- Menjaga garis pantai dan tebing sungai dari erosi/abrasi agar tetap

stabil

- Mempercepat perluasan lahan

- Mengendalikan intrusi air laut

- Melindungi daerah belakang mangrove/pantai dari hempasan

gelombang dan angin kencang

- Menjadi kawasan penyangga terhadap rembesan air laut (intrusi)

(21)

2

2. Fungsi ekonomi :

- Merupakan penghasil kayu sebagai sumber bahan bakar (arang,

kayu bakar), bahan bangunan (balok, atap rumah, tikar)

- Memberikan hasil hutan bukan kayu seperti madu, obat-obatan,

minuman serta makanan, tanin dan lain-lain.

- Merupakan lahan untuk produksi pangan dan tujuan lain

(pemukiman, pertambangan, industri, infrastruktur, transportasi,

rekreasi dan lain-lain)

3. Fungsi biologi :

- Merupakan tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah

(spawning ground) dan tempat berkembang biak (nursery ground)

berbagai jenis ikan, udang, kerang dan biota laut lainnya.

- Menjadi tempat bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung

- Merupakan sumber plasma nutfah.

Dari semua fungsi ini yang paling menonjol dan tidak tergantikan oleh bentuk

ekosistem lain adalah kedudukan hutan mangrove sebagai mata rantai yang

menghubungkan kehidupan ekosistem laut dengan ekosistem daratan.

Hutan mangrove menghasilkan bahan pelapukan yang menjadi sumber

makanan penting bagi udang, kepiting, ikan, zooplankton, invertebrata kecil dan

hewan pemakan bahan-bahan hasil pelapukan lainnya. Bahan-bahan hasil

pelapukan mangrove berasal dari berbagai organ pohon mangrove yaitu daun,

bunga, cabang, ranting dan sejumlah bagian pohon lain yang jatuh ke lantai

hutan yang lazim disebut serasah.

Untuk dapat dimanfaatkan oleh organisme yang terdapat dalam hutan

mangrove, serasah tersebut perlu didekomposisi terlebih dahulu menjadi bahan

lain yang dapat menjadi sumber makanan bagi organisme tersebut.

Faktor-faktor yang berperan dalam dekomposisi serasah adalah iklim, kondisi

lingkungan tempat tumbuh, dan organisme. Faktor iklim mencakup curah hujan,

kelembaban nisbi, intensitas cahaya matahari, suhu udara dan lain-lain. Faktor

kondisi lingkungan tempat tumbuh yang berperan adalah suhu air, pH air,

salinitas air dan lain-lain. Adapun jenis organisme yang terdapat dalam

ekosistem mangrove terdiri atas organisme baik yang cukup besar seperti

kepiting, serangga maupun yang kecil seperti bakteri dan fungi. Dalam proses

dekomposisi, semua faktor tersebut saling berinteraksi satu dengan yang lainnya.

(22)

terjadi asosiasi antara faktor-faktor fisik dan faktor-faktor biologis dan di antara

kedua faktor ini, faktor biologis mempunyai peran yang lebih besar dibanding

faktor fisik.

Sebagian serasah mangrove diuraikan oleh bakteri dan fungi menjadi

unsur hara anorganik terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh

fitoplankton ataupun oleh tumbuhan mangrove itu sendiri. Sebagian lagi diubah

menjadi detritus yang dapat dimanfaatkan oleh ikan, udang dan kepiting sebagai

bahan makanannya. Bakteri dan fungi merupakan mikroorganisme primer yang

berperan dalam proses dekomposisi berbagai komponen serasah, yang terdiri

atas daun, bunga, cabang, ranting dan berbagai bagian tumbuhan lainnya.

Di Indonesia banyak terdapat jenis mangrove Avicennia marina, yang

merupakan satu di antara berbagai jenis mangrove yang toleran terhadap kisaran

salinitas yang luas dibandingkan dengan jenis mangrove lainnya. Menurut Mac

Nae (1968), A. marina mampu tumbuh pada kawasan dengan kisaran kondisi

mendekati tawar sampai dengan salinitas kawasan 90 ppt. A. marina

menghasilkan banyak serasah terutama yang berasal dari daun yang berperan

sebagai penyedia unsur hara yang penting bagi produktivitas perairan pesisir.

Menurut Clarke (1994) A. marina dapat menghasilkan serasah daun sebanyak

310 g/m2 tiap bulan. Penelitian untuk mengetahui jenis bakteri dan jenis fungi

yang berperan dalam proses dekomposisi serasah daun A. marina, yang

dihubungkan dengan tingkat salinitas khususnya di Indonesia, belum pernah

dilakukan.

1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Serasah pada hutan mangrove merupakan bahan dasar untuk kehidupan

organisme yang terdapat pada ekosistem mangrove. Selain itu serasah tersebut

juga merupakan bahan penting untuk berlangsungnya siklus unsur hara dan

dinamika ekosistem mangrove. Untuk dapat berperan dan dimanfaatkan oleh

berbagai organisme yang terdapat pada ekosistem mangrove, maka serasah

yang dihasilkan oleh berbagai jenis pohon mangrove perlu terurai dulu menjadi

detritus dan unsur-unsur hara anorganik. Menurut Romimohtarto dan Juwana

(2001), serasah yang berasal dari daun, ranting dan bagian-bagian pohon

mangrove lainnya yang telah mengalami dekomposisi merupakan sumber utama

(23)

4

Penelitian tentang dekomposisi di hutan mangrove ini akan dibatasi pada

serasah daun A. marina. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa, serasah

daun merupakan komponen terbesar dibanding komponen serasah lainnya.

Adapun A. marina dipilih sebagai jenis mangrove yang diteliti karena jenis ini

merupakan jenis pionir dan merupakan vegetasi penentu kualitas ekosistem

mangrove pada tahap awal pertumbuhannya.

Dalam proses dekomposisi serasah daun mangrove terdapat beberapa

faktor dan tahapan yang secara alami dilalui yaitu, setelah daun jatuh di lantai

hutan mangrove, serasah akan dirusak oleh organisme seperti kepiting, cacing

siput dan lain-lain yang mengakibatkan terjadinya luka pada serasah daun

mangrove tersebut. Akibat luka pada serasah daun ini komponen-komponen

penyusun serasah daun tersebut menjadi lebih mudah mengalami penguraian.

Adapun proses penguraian serasah daun mangrove dilakukan oleh

mikroorganisme yaitu bakteri dan fungi yang merupakan mikroorganisme yang

berperan penting dalam proses dekomposisi serasah. Pada penelitian ini dari

sekian banyak faktor lingkungan yang berpengaruh dalam proses dekomposisi

serasah daun mangrove, hanya faktor salinitas air yang akan dipelajari

pengaruhnya terhadap dekomposisi serasah daun A. marina. Hal ini didasarkan

pada kenyataan di lapangan bahwa kehidupan mangrove sangat dipengaruhi

oleh pasang surut air laut yang bersifat salin.

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan

yaitu :

1. Apakah tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh

terhadap jumlah jenis bakteri dan jumlah jenis fungi pada serasah

daun A. marina ?

2. Apakah tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh

terhadap populasi bakteri dan populasi fungi yang terdapat pada

serasah daun A. marina ?

3. Apakah tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh

terhadap keanekaragaman jenis bakteri dan keanekaragaman jenis

fungi pada serasah daun A. marina ?

4. Apakah tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh

terhadap frekuensi kolonisasi bakteri dan frekuensi kolonisasi fungi

(24)

5. Apakah tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh

terhadap laju dekomposisi serasah daun A. marina

6. Apakah tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh

terhadap kadar unsur hara N, P dan C, lignin, selulosa, karbohidrat

total dan protein, yang terdapat pada serasah daun A. marina ?

1.3. Kerangka Pemikiran

Pada ekosistem mangrove terdapat jenis-jenis pohon mangrove seperti

A. marina, Bruguiera sp., Rhizophora sp. dan lain-lain. Satu di antara berbagai

jenis yang banyak terdapat di Indonesia adalah A. marina. Jenis pohon ini

banyak menghasilkan serasah terutama yang berasal dari daun. Serasah

merupakan sumber utama detritus yang terdapat pada ekosistem mangrove yang

mempunyai peran penting dalam pemeliharaan kelangsungan siklus ekosistem

tersebut. Hasil akhir dekomposisi serasah adalah unsur-unsur hara dan

bahan-bahan organik yang sangat diperlukan oleh flora dan fauna akuatik sebagai

bahan makanan, sehingga kelangsungan keberadaan ekosistem mangrove

dapat tetap terjamin. Secara skematis, kerangka berpikir di atas dapat

digambarkan seperti yang terlihat pada Gambar 1.

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat salinitas dan

lama masa dekomposisi terhadap :

1. Jumlah jenis bakteri dan jumlah jenis fungi yang terdapat pada serasah daun

A. marina yang mengalami dekomposisi.

2. Populasi bakteri dan populasi fungi yang terdapat pada serasah daun A.

marina yang mengalami dekomposisi.

3. Keanekaragaman jenis bakteri dan keanekaragaman jenis fungi yang

terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi.

4. Frekuensi kolonisasi berbagai jenis bakteri dan berbagai jenis fungi yang

terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi

5. Laju dekomposisi serasah daun A. marina.

6.

Kadar unsur hara C, N dan P, lignin dan selulosa serta karbohidrat total dan

protein yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mangalami

(25)

6

=

Hubungan antar faktor-faktor yang berperan dalam dekomposisi serasah

=

Faktor-faktor dekomposisi serasah yang diamati dalam penelilitian

Hutan Mangrove

Serasah Daun

Dekomposisi Serasah Daun

- Curah hujan - Kelembaban nisbi

- Intensitas

cahaya

matahari - Suhu udara

Biologi

-Sifat fisik dan kimia tanah

-Salinitas air

-pH air

-

Kepiting

-Serangga

Mikroorganisme -Bakteri

-Fungi

Ketersediaan bahan-bahan organik sebagai makanan fauna akuatik

Iklim Kondisi

Lingkungan tempat tumbuh

Ketersediaan unsur-unsur hara

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian Produktivitas biologis

(26)

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :

1. Mempercepat proses dekomposisi serasah yaitu dengan pemberian jenis

bakteri dan jenis fungi yang sudah diketahui sesuai untuk kawasan mangrove

dengan tingkat salinitas yang ada.

2. Dapat digunakan sebagai satu acuan untuk penentu lokasi yang sesuai untuk

budidaya ikan dan udang.

3. Sebagai satu komponen informasi dasar untuk mempelajari siklus unsur hara

pada ekosistem mangrove.

4. Dapat digunakan sebagai satu acuan dalam pengelolaan ekosistem

mangrove untuk menentukan zonasi pemanfaatan kawasan mangrove.

5. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama yang

berhubungan dengan pengelolaan mangrove.

1.6. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap jumlah

jenis bakteri dan jumlah jenis fungi pada serasah daun A. marina yang

mengalami proses dekomposisi.

2. Tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap populasi

bakteri dan populasi fungi pada serasah daun A. marina yang mengalami

proses dekomposisi.

3. Tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap

keanekaragaman jenis bakteri dan keanekaragaman jenis fungi pada serasah

daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi.

4. Tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap

frekuensi kolonisasi jenis bakteri dan frekuensi kolonisasi jenis fungi, pada

serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi.

5. Tingkat salinitas berpengaruh terhadap laju dekomposisi serasah daun

A. marina.

6. Tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap kadar

unsur hara C, N dan P, lignin dan selulosa serta karbohidrat total dan protein

yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mangalami proses

(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian dan Peran Mangrove

Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan

bahasa Inggris grove (Macnae, 1968). Dalam bahasa Inggris kata mangrove

digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang berada di daerah jangkauan

pasang-surut air laut maupun individu-individu jenis tumbuhan yang menyusun

komunitas tersebut. Adapun dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan

untuk menyatakan individu jenis tumbuhan, sedang kata mangal untuk

menyatakan komunitas tumbuhan tersebut.

Mangrove terdapat di daerah yang relatif terlindung, sepanjang muara,

laguna, pantai dan tempat-tempat dengan aliran pasang dan surut air laut yang

menyebabkan tercampurnya air tawar dari hujan dan saluran sungai dengan air

laut. Mangrove dan berbagai komponen ekosistem yang terdapat di sekitarnya

seperti rumput laut, terumbu karang dan pantai adalah ekosistem yang paling

produktif di dunia (Soesanto dan Sudomo,1994).

Menurut Snedaker (1978), hutan mangrove terbentuk oleh kelompok jenis

tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai subtropis yang

memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan

bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi anaerobik. Adapun menurut

Aksornkoae (1993), hutan mangrove yang tumbuh di daerah tropis dan subtropis

adalah tumbuhan halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi

oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian permukaan rata-rata

air laut.

Menurut Kusmana dkk., (2005) hutan mangrove adalah suatu tipe hutan

yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna,

muara sungai) yang tergenang waktu air laut pasang dan bebas dari genangan

pada saat air laut surut, yang komunitas tumbuhannya toleran terhadap garam.

Adapun ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas

organisme yang berinteraksi dengan faktor lingkungan di dalam suatu habitat

mangrove.

Hutan mangrove adalah satu di antara bentuk berbagai tipe hutan dengan

sifat tetentu dan merupakan ekosistem tersendiri yang berbeda dari tipe hutan

(28)

umumnya terdapat pada delta di muara sungai. Pembentukannya mengikuti pola

sedimentasi tanah yang dibawa oleh aliran sungai ke sepanjang pesisir pantai.

Di pantai yang baru terbentuk dari tanah timbul terdapat jenis-jenis tumbuhan

seperti perepat (Sonneratia alba), api-api hitam (Avicennia alba) atau api-api

merah (A. marina) yang tumbuh sebagai pionir. Jenis-jenis pohon tersebut

membentuk sistem perakaran yang memiliki banyak akar pasak

(pneumatophore) yang berkemampuan menahan benih jenis-jenis tumbuhan

lainnya yang hanyut pada waktu surut. Hutan mangrove berkembang baik pada

pesisir-pesisir yang mendapatkan endapan lumpur (Wirakusumah dan Sutisna,

1980).

Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang mempunyai ciri khusus

karena lantai hutannya secara teratur digenangi oleh air yang dipengaruhi oleh

salinitas serta fluktuasi ketinggian permukaan air karena adanya pasang surut air

laut (Duke, 1992). Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest,

coastal woodland, vloedbos dan hutan payau (Kusmana dkk., 2005) yang terletak

di perbatasan antara darat dan laut, tepatnya di daerah pantai dan di sekitar

muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Sumaharni, 1994).

Hutan mangrove dan perairan di sekitarnya merupakan suatu ekosistem

yang spesifik. Hal ini disebabkan oleh proses kehidupan organisme yang saling

berkaitan baik yang terdapat di daratan maupun di lautan. Selain itu hutan

mangrove sangat berpengaruh terhadap lingkungan sekitarnya, karena hutan

mangrove berperan sebagai penghasil bahan organik yang berguna untuk

menunjang kelestarian organisme (Heald dan Odum, 1972 diacu oleh Djamali,

1994).

Keberadaan, produktivitas dan stabilitas hutan mangrove mempengaruhi

geomorfologi garis pantai (shoreline), produksi ikan untuk kehidupan masyarakat

setempat, sedimentasi dan aliran karbon ke komunitas-komunitas karang dan

rumput laut di sekitarnya (FAO 1994). Chapman (1976) mengemukakan bahwa

prasyarat pokok untuk keberadaan mangrove adalah : (1) suhu udara yang

sesuai, (2) ketersediaan media lumpur, (3) proteksi , (4) air yang mengandung

garam, (5) kejadian pasang surut, (6) terjadi arus laut dan (7) pantai yang

dangkal.

Secara ekologis susunan sebaran jenis pohon di hutan mangrove mulai

dari laut ke arah daratan berturut-turut adalah jenis-jenis Sonneratia, Avicennia,

(29)

10

yang tidak jelas. Pada umumnya hutan mangrove didominasi oleh jenis-jenis

Rhizophora, Bruguiera dan Ceriops yang kayunya mempunyai nilai ekonomi

tinggi. Frekuensi genangan oleh air laut sangat menentukan ragam jenis vegetasi

yang dapat tumbuh dan pada umumnya jenis-jenis bakau (Rhizophora spp.)

tumbuh terbanyak (Perum Perhutani, 1994).

Menurut Bengen (2000), hutan mangrove meliputi pohon dan semak yang

terdiri atas 12 marga tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora,

Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegilitis,

Sneda dan Conocarpus) yang termasuk ke dalam delapan suku. Vegetasi hutan

mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, yaitu

sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana,

44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas. Menurut Noor dkk., (1999)

dari 202 jenis tersebut, 43 jenis (di antaranya 33 jenis pohon dan beberapa jenis

perdu) yang disebut sebagai jenis mangrove sejati (true mangrove), sementara

jenis lain yang ditemukan di sekitar mangrove disebut sebagai jenis mangrove

ikutan (associate mangrove). Chapman (1976) membedakan flora mangrove ke

dalam dua kelompok yaitu :

1. Flora mangrove inti, yakni flora mangrove yang mempunyai peran

ekologi utama dalam formasi mangrove ; sebagai contoh : Rhizophora,

Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Avicennia, Nypa, Xylocarpus,

Derris, Acanthus, Lumnitzera, Scyphyphora, Smythea dan

Dolichandrone.

2. Flora mangrove pinggiran (peripheral) yakni flora mangrove yang secara

ekologi berperan dalam formasi mangrove, tetapi flora tersebut juga

berperan penting dalam formasi hutan lain ; sebagai contoh :

Excoecaria, Acrostichum, Cerbera, Heritiera, Hibiscus dan lain-lain.

Adapun Tomlinson (1986) memisahkan flora mangrove menjadi tiga kelompok

yaitu :

1. Flora mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya) yakni flora yang

banyak terdapat pada habitat mangrove, kelompok ini mempunyai

kemampuan membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan

struktur komunitas. Secara morfologi jenis kelompok flora ini mempunyai

bentuk adaptasi khusus (bentuk akar dan viviparitas) terhadap

lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dalam

(30)

Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan

Nypa.

2. Flora mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu

membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan

dominan dalam struktur komunitas mangrove. Sebagai contoh adalah

Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegiceras, Aegilitis, Acrostichum,

Camptostemon, Scyphiphora, Pemphis, Osbornia dan Pelliciera.

3. Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris,

Hibiscus, Calamus dan lain-lain.

Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat satu di antara berbagai

jenis tumbuhan mangrove sejati yang termasuk ke dalam empat suku yaitu :

Rhizophoraceae (Rhizophora, Bruguiera, dan Ceriops), Sonneratiaceae

(Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia), dan Meliaceae (Xylocarpus) (Bengen,

2000).

Ekosistem mangrove dengan mudah dapat dilihat dan dibedakan dari

ekosistem lainnya, karena bentukan suatu pemandangan yang khas pada garis

pantai atau di kiri kanan bagian muara sungai. Di dalam ekosistem mangrove

terdapat beberapa jenis flora dan fauna baik terestrial maupun akuatik yang

khas, yang merupakan bagian penting ekosistem mangrove, seperti Rhizophora

spp., Avicennia spp., Bruguiera spp., dan lain-lain serta beberapa jenis udang,

moluska, ikan, amfibi, reptilia, burung dan mamalia. Menurut Soesanto dan

Sudomo (1994) ekosistem mangrove juga merupakan tempat tinggal berbagai

jenis kera seperti Prebystis cristata, Macaca fascicularis dan Nasalis larvatus.

Ekosistem mangrove berfungsi sebagai sumber nutrisi untuk kelanjutan

proses ekologis dan biologis, dan merupakan penangkap sedimen yang

diperlukan untuk kelanjutan proses suksesi, pengendali erosi pantai, tempat

pemijahan dan pembesaran berbagai jenis ikan dan udang. Ekosistem mangrove

juga merupakan sumber produksi pangan, obat-obatan dan bahan baku industri.

Ekosistem mangrove memiliki produktivitas yang tinggi, dan oleh

karenanya mampu menopang keanekaragaman jenis yang tinggi. Daun

mangrove yang berguguran akan dimanfaatkan oleh fungi, protozoa dan bakteri

serta diuraikan menjadi komponen bahan-bahan organik yang lebih sederhana

(31)

12

2.2. Proses Dekomposisi Serasah

Menurut Hornby dkk., (1987), dekomposisi adalah kegiatan atau proses

penguraian, pemisahan atau resolusi (dari sesuatu) menjadi bagian-bagian kecil

(constituent elements) ; hancuran (disintegration) ; busuk (putrescence). Menurut

Satchell (1974) dekomposisi adalah kegiatan atau proses penguraian

(decomposing) dan pemisahan (separation) bahan-bahan organik menjadi

bagian-bagian hancur, busuk. Dekomposisi bisa berarti mekanisme

penghancuran struktur tanaman mati dari tahap masih melekat pada kehidupan

tumbuhan sampai menjadi tahap humus dengan struktur sel yang kasar menjadi

bentuk yang hancur (no longer recognizable).

Mason (1977) membagi proses-proses dekomposisi menjadi tiga yaitu

pelindihan (leaching), penghawaan (weathering) dan aktivitas biologi. Ketiga

proses tersebut berlangsung secara simultan. Leaching adalah mekanisme

hilangnya bahan-bahan yang dapat larut dari serasah atau detritus organik oleh

hujan atau aliran air. Weathering adalah mekanisme pelapukan oleh faktor-faktor

fisik, seperti pengikisan dan penguapan air dari serasah oleh angin, es dan

pergerakan gelombang. Aktivitas biologi adalah proses yang menghasilkan

pecahan-pecahan detritus bahan organik secara bertahap oleh mahluk hidup.

Mahluk hidup yang melakukan dekomposisi dikenal sebagai dekomposer,

pengurai atau saproba.

Serasah dalam ekologi digunakan untuk dua pengertian yaitu (1) lapisan

bahan tumbuhan mati yang terdapat pada permukaan tanah dan (2)

bahan-bahan tumbuhan mati yang tidak terikat lagi pada tumbuhan hidup. Daun-daun

mangrove yang jatuh didefinisikan oleh Chapman (1976) sebagai bobot materi

tumbuhan mati yang jatuh dalam satuan luas permukaan tanah dalam periode

waktu tertentu. Brown (1984) mendefinisikan serasah sebagai guguran struktur

vegetatif dan reproduktif yang jatuh disebabkan oleh faktor ketuaan

(senescence), stress oleh faktor mekanik (misalnya angin), kombinasi antara

keduanya, kematian serta kerusakan seluruh bagian tumbuhan oleh iklim.

Produksi serasah dapat diketahui dengan memperkirakan komponen-komponen

dari produksi primer bersih yang dapat terakumulasi pada lantai hutan yang

selanjutnya mengalami remineralisasi melalui tahapan-tahapan dekomposisi.

Serasah atau detritus organik yang berasal dari bahan tumbuhan yang

(32)

menghasilkan energi potensial bagi kehidupan konsumer. Sebutan serasah

biasanya digunakan untuk bahan dalam ekosistem daratan khususnya bahan

yang berasal dari tumbuhan tingkat tinggi, sedang detritus digunakan untuk

bahan dalam ekosistem perairan (Mason, 1977).

Serasah daun mangrove pada lingkungan estuaria merupakan suatu bahan

dasar nutrisi penting. Walaupun miskin nutrisi ketika jatuh dari pohon, daun-daun

mangrove menjadi nutrisi yang diperlukan untuk proses-proses pengkayaan

(enrichment) mikroba (Odum, 1971).

Fell dan Masters (1973) yang mempelajari proses degradasi daun

mangrove, mendapatkan 66 marga fungi dan melihat adanya suatu urutan

infestasi. Pada minggu pertama setelah daun gugur, serasah kebanyakan

diserang oleh Phycomycetes yang terdiri atas Thraustochytrium, Schizochytrium,

Phytophthora vesicola, P. bahamensis, P. epistomium, P. mycoparasitica dan P.

spinosa. Penyerang lainnya adalah Aspergillus, Penicillium, Trichoderma,

Fusarium, Curvularia dan Drechslera. Setelah minggu kedua penyerangan dan

dekomposisi serasah dilakukan oleh Lulworthia dan setelah tiga minggu terdapat

Zalerion varium.

Newel (1976) mendapatkan urutan infestasi pada anakan Rhizophora

mangle (Tabel 1). Jika dibandingkan penyerangan jenis fungi pada semai, daun

dan kayu terlihat perbedaan dalam kemampuan dan jumlah jenis fungi yang

melakukan penyerangan.

2.3. Peran Mikroorganisme dalam Proses Dekomposisi Serasah

Bakteri bersama fungi merupakan komponen penting dalam komunitas

mangrove dan berperan sebagai pengurai dalam ekosistem mangrove. Bakteri

laut umumnya lebih kecil dibanding bakteri non laut, dan proporsi terbesar terdiri

atas bakteri Gram negatif berbentuk batang, serta pada umumnya aktivitas

pergerakan dilakukan dengan bantuan flagella. Bakteri bentuk kokus (cocci)

umumnya lebih sedikit dibanding bakteri yang berbentuk batang. Kebanyakan

bakteri laut terikat, atau bergabung sesamanya untuk membentuk permukaan

yang kuat (solid) karena adanya bahan berlendir yang terbentuk pada

permukaan sel, sehingga sel-sel saling terikat. Dengan cara ini bakteri dapat

membentuk lapisan permukaan yang mengakibatkan bakteri dapat hidup pada

alga, rumput laut dan tumbuhan mangrove (Hutching dan Saenger, 1987). Daya

(33)

14

suhu, cahaya matahari dan populasi bakteri yang berubah dari satu musim ke

musim berikutnya (Bell, 1974).

Fungi memainkan peran penting dalam ekosistem mangrove terutama

dalam hubungannya dengan bakteri untuk mempercepat dekomposisi serasah

daun (Fell dkk., 1975). Fungi merupakan pengurai utama daun-daun mangrove

karena mempunyai kemampuan untuk menguraikan selulosa dan lignin. Seperti

diketahui selulosa dan lignin ini secara bersama merupakan komponen utama

penyusun dinding sel di daun.

Kohlmeyer (1969) meneliti asosiasi fungi dengan mangrove, dan

mendapatkan 31 jenis fungi laut dan 44 jenis fungi terestrial. Umumnya jenis

fungi terestrial berasosiasi dengan daun, sedang jenis fungi laut berasosiasi

dengan akar mangrove. Hutching dan Saenger (1987) menyatakan bahwa

jenis-jenis fungi dapat dikelompokkan berdasarkan mikrohabitat yang ditempatinya

pada pohon mangrove dan terdapat kelompok jenis fungi yang terdapat pada

lebih dari satu mikrohabitat. Dapat dibedakan tiga mikrohabitat utama yaitu (1)

daun mangrove, (2) batang dan akar, serta (3) tanah.

Fungi parasitik dan saprobik sebagian besar terdapat pada daun

mangrove, penyebarannya cukup luas serta sering hidup bersama dengan jenis

patogen pada sejumlah inang. Sebagai contoh adalah marga Pestalotia,

Phyllosticta, Cladosporium, Nigrospora dan Cercospora; yang semua jenisnya

mempengaruhi kehidupan jenis tumbuhan terestrial. Beberapa jenis di samping

mempengaruhi pertumbuhan mangrove juga mempengaruhi perkembangan

tumbuhan terestrial. Sebagai contoh adalah Nigrospora sphaerica penyebab

busuk daun pada Rhizophora mangle dan penyebab penyakit squirter pada

pisang. Jenis fungi tanah mangrove bisa dibagi ke dalam dua kelompok yaitu

yang berada di tanah dan yang berasosiasi dengan daun-daun mangrove yang

hancur di permukaan tanah. Kedua kelompok ini sangat bergantung pada

(34)
(35)
[image:35.842.81.761.150.485.2]

8

Tabel 1. Suksesi jenis-jenis fungi yang menghancurkan (breakdown) anakan Rhizophora mangle di Florida menurut waktu dan kondisi

anakan

Waktu Pengamatan

Data Nov. 1970 Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Juni Juli Agus. Sep. Okt. Nov. Des. 1971 1972

Lokasi anakan Pra-absisi Setelah - absisi, lingkungan estuaria di bahwah permukaan (sub surface)

Kondisi anakan Matang, sehat Semua tumbuh tumbuh-senescence-mati senescence-mati mati

Jenis fungi Cladosporium

cladosporioides Pestalotia sp.

Cladosporium sp.

Alternaria alternata Zygosporium masonii Aureobasidium pullulans

Pestalotia sp.

C. cladosporioides Septonema sp.

Penicillium steckii A . alternata Aspergillus repens Thraustochytrium sp.

Anakan yang mangalami

senescence mati

Anakan yang hidup (viable) mengalami

senescence

Lulworthia grandispora Zalerion varium Flagellospora sp.

L. medusa var. biscaynia Pestalotia sp.

Labyrinthula sp.

Thraustochytrium sp.

Keissleriella blepharospora Cytosporina sp.

Cytospora rhizophorae Pestalotia sp.

Thraustochytrium sp.

Trichoderma viride Penicillium Roseopurpureum Papulospora halima Phytophthora vesicula Tahap penyerangan fungi Pra-absisi Penyerang Superfisial Setelah-absisi Penyerang Superfisial

Penyerang bagian bawah epidermis, pada bagian mati dan jaringan hidup

Penyerang pelapuk jaringan

Tahap analog Parasit lemah + umum

Dan saprobik utama terbatas

Saprobik sekunder tahap II : Ascomycetes dan

Deuteromycetes

Saprobik sekunder tahap III : “ Fungi tanah”

(36)

3.1. Pendahuluan

3.1.1. Latar Belakang

Dekomposisi adalah proses penghancuran tumbuhan mati secara bertahap

yang menyebabkan terurainya struktur organisme yang semula kompleks

menjadi bentuk-bentuk yang sederhana seperti air, karbondioksida dan

unsur-unsur hara mineral.

Penghancuran serasah dapat diartikan sebagai tahapan-tahapan dalam

proses dekomposisi, yang menyebabkan terjadi kehilangan bobot materi

(organik). Hal tersebut seringkali dapat diukur dalam percobaan dekomposisi

serasah (misalnya kehilangan bobot daun) dan umumnya juga terjadi

penghancuran bagian-bagian serasah yang berukuran besar menjadi

partikel-partikel berukuran kecil (Mason, 1974 ; Mason, 1977)

Dekomposisi juga dapat diartikan sebagai pemisahan secara mekanik

struktur tumbuhan mati mulai dari tahap masih terikat pada tumbuhan hidup

sampai menjadi humus yang struktur selnya tidak berbentuk, karena terjadi

pemecahan molekul-molekul organik kompleks menjadi karbondioksida, air dan

komponen-komponen mineral (Satchell, 1974).

Menurut Dix dan Webster (1995) serasah tumbuhan dapat terdekomposisi

menjadi enam kategori, yaitu : (1) selulosa, (2) hemiselulosa, (3) lignin, (4) gula

terlarut, asam amino dan asam alifatik, (5) larutan eter dan alkohol, lemak,

minyak, lilin, resin dan pigmen-pigmen, serta (6) protein. Dekomposisi serasah

dipengaruhi oleh urutan reaksi spesifik dan dengan bantuan sistem enzim -enzim

tertentu yang dipunyai oleh jenis-jenis organisme tertentu.

Karakteristik penguraian serasah beragam, hal ini dipengaruhi oleh jenis

dan bagian organ tumbuhan. Kecepatan penguraian dan pengurangan

kandungan bahan organik dan anorganik pada serasah ditentukan oleh kekuatan

pencucian (leaching). Dari beberapa hasil penelitian tentang penguraian serasah

melalui pencucian antara lain, yang dilakukan secara in-situ dengan

menggunakan serasah daun, dapat diketahui bahwa pemecahan gula terjadi

(37)

17

dengan menggunakan daun Rhizophora sp. menunjukkan bahwa jenis fungi

yang hadir sejak awal berpengaruh besar terhadap proses pencucian dan

terhadap kolonisasi oleh jenis mikroorganisme lainnya serta terhadap kehadiran

invertebrata pemakan serasah (Mason, 1977).

Kecepatan dekomposisi serasah dapat diketahui dengan menempatkan

serasah daun mangrove yang massanya diketahui di dalam kantong serasah

yang tidak dapat dimasuki oleh makrofauna pemakan serasah daun, seperti

Gastropoda dan kepiting. Kantong-kantong berisi serasah daun ini selanjutnya di-

tempatkan di areal mangrove dan pengamatan dilakukan dengan selang waktu

tertentu. Tiap kali pengamatan sisa serasah yang terdapat dalam kantong

tersebut ditimbang (Hogarth, 1999).

Pada hutan mangrove, pasokan serasah daun yang berasal dari berbagai

jenis pohon mangrove tersebut dapat terjadi secara berkelanjutan. Serasah daun

merupakan substrat yang baik bagi berbagai jenis fungi, bakteri dan

mikroorganisme lainnya. Serasah daun mangrove pada air payau terdekomposisi

menjadi potongan-potongan kecil dalam waktu 2 sampai 3 bulan (Nakagiri

dkk.,1996)

Keadaan lingkungan yang selalu basah dan lembab serta suhu yang selalu

tinggi sepanjang tahun, menyebabkan proses dekomposisi serasah hutan

berlangsung sangat cepat, sehingga proses humifikasi (pembentukan humus)

segera dilanjutkan dengan proses mineralisasi (Manan, 1978).

Menurut Sutedjo dkk., (1991) proses dekomposisi bahan-bahan tumbuhan

dipengaruhi oleh kandungan lignin dan lilin dalam bahan tumbuhan, suplai

nitrogen, kondisi lingkungan, aerasi tanah, kelimpahan mikroorganisme, dan

suhu udara. Faktor-faktor yang mempengaruhi dekomposisi menurut Anderson

dan Swift (1979) adalah (1) organisme penghancur (hewan dan jasad renik), (2)

kualitas serasah (sifat bahan organik serasah yang mempengaruhi kecepatan

dekomposisi) dan (3) lingkungan, baik fisik maupun kimia (iklim makro dan

tanah). Dengan demikian proses dekomposisi (D) merupakan fungsi organisme

penghancur (O), kualitas serasah (Q) dan lingkungan (P) atau D = f (O,Q,P).

Menurut Whitmore (1984), peran makrofauna sebagai organisme

penghancur sangat penting. Berbagai jenis hewan tersebut memecah serasah

menjadi partikel-partikel kecil sehingga luas permukaan menjadi lebih besar dan

akibatnya penguraian serasah tersebut oleh bakteri dan fungi menjadi lebih

(38)

Kecepatan dekomposisi bahan-bahan organik secara umum bergantung

pada kualitas dan umur bahan organik itu sendiri (Godshalk dan Wetzel 1978;

Westrich dan Berner, 1984). Kebanyakan bahan-bahan organik yang dihasilkan

di daerah estuarin dan kawasan pesisir didekomposisi oleh mikrorganisme yang

hudup secara aerobik dan anaeobik (Smith 1974).

Laju dekomposisi serasah dipengaruhi oleh jenis serasah, jenis pohon, dan

penggenangan lantai hutan mangrove oleh air laut (Day, 1982 diacu oleh

Alrasjid, 1986). Dekomposisi sempurna membutuhkan waktu beberapa minggu

bahkan ada pula yang sampai bertahun-tahun (Spurr dan Barnes, 1980)

Selama 10 sampai 14 hari, hampir semua kehilangan bobot serasah daun

terjadi oleh proses fisik yang menyebabkan karbon organik terlarut (Dissolved

Organic Carbon) tercuci. Diketahui bahwa sekitar 30 sampai 50 persen

bahan-bahan organik serasah daun hilang dengan cara seperti ini dan sisanya yaitu

karbohidrat seperti selulosa yang tidak larut. Bahan-bahan ini selanjutnya

diuraikan dengan bantuan enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh bakteri atau

fungi. Satu di antara berbagai macam substrat yang banyak terurai di awal

proses dekomposisi adalah tanin. Keberadaan tanin pada serasah daun dapat

menghambat pertumbuhan bakteri penghasil enzim ekstraseluler. Diperkirakan

invasi oleh bakteri pada serasah daun yang mengalami dekomposisi, terjadi

setelah kandungan taninnya berkurang (Gonzales-Farias dan Mee, 1988).

Daun-daun senescence jatuh di permukaan tanah, dan selanjutnya

mengalami pembusukan, melepaskan unsur hara dan secara perlahan menyatu

ke dalam struktur tanah. Fungi berperan penting pada saat ini, tetapi relatif

masih sedikit jenis-jenis fungi yang berperan. Dekomposisi berbagai macam tipe

serasah suatu tumbuhan setelah dikolonisasi fungi sekunder, biasanya

berlangsung satu tahun. Pada tahap ini juga berlangsung sejumlah proses fisika

dan kimia. Serasah tumbuhan berada di permukaan tanah selama beberapa

bulan sampai beberapa tahun sebelum terdekomposisi sempurna dan akhirnya

menyatu ke dalam tanah mineral (Dix dan Webster, 1995).

Menurut Fisher dan Binkley (2000), proses dekomposisi sudah dimulai

sebelum serasah lepas dari pohon. Pada saat melekat, daun menghasilkan

eksudat yang dapat menarik dan memungkinkan diinvasi oleh patogen.

Selanjutnya serasah yang sudah jatuh, pada minggu-minggu awal diinvasi oleh

fungi. Serasah daun yang mulai hancur ini banyak mengandung larutan gula,

(39)

19

tercuci, serasah ini dapat dimanfaatkan oleh Arthropoda dan cacing. Selanjutnya

serasah dihancurkan oleh mikroorganisme dengan populasi yang besar. Tanpa

adanya fragmentasi yang dilakukan oleh hewan tanah tersebut terlebih dahulu,

maka proses penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme akan berlangsung

lambat.

Kecepatan dekomposisi berbagai macam serasah, terutama yang berasal

dari pohon bergantung pada kecepatan serasah tersebut terpecah-pecah

(fragmented). Proses penghancuran ini sebagian besar dilakukan oleh banyak

hewan tanah kecil yang memakan serasah di antaranya siput, cacing kecil

(millipedes) beberapa kutu (mites), Collembola, larva serangga, serangga dan

hewan-hewan tanah yang lebih besar seperti Lumbricus terrestris dan

Allolobophora longa. Berbagai jenis serangga penting pemakan daun meliputi

ordo Hymenoptera, Coleoptera, Lepidoptera, Orthoptera, Diptera dan Hemiptera

(Franklin, 1970 diacu oleh Jensen, 1974).

Pemecahan daun-daun menjadi komponen-komponen serasah yang lebih

kecil ukurannya mempercepat terjadi dekomposisi serasah karena peningkatan

pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme yang disebabkan oleh dua

cara. Pertama, pecahan serasah yang kompak menyebabkan kemudahan dalam

kapasitas pemegangan air serasah. Kedua, fragmentasi atau pemecahan

serasah oleh hewan pemakan serasah dapat meningkatkan luas permukaan

untuk penyerangan oleh mikroorganisme. Hal ini terutama penting untuk

dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri yang tidak mempunyai hifa seperti fungi

yang dapat mempenetrasi jaringan. Pertumbuhan bakteri sebagian besar

terbatas pada permukaan serasah dan sangat bergantung pada luas jaringan

yang terbuka. Pada pecahan serasah daun ini fungi berperan kecil. Ketika hewan

tanah tidak mungkin masuk (exclude) untuk menyerang serasah, maka pada saat

ini proses fis

Gambar

Tabel 1. Suksesi  jenis-jenis fungi yang menghancurkan (breakdown) anakan Rhizophora mangle di Florida menurut waktu dan kondisi anakan
Tabel 2.  Suksesi beberapa jenis fungi pada Pteridium aquilinum (Garrett, 1963 diacu oleh Frankland, 1974)
Gambar 2.  Bentuk dan ukuran kantong serasah yang terbuat dari nilon yang digunakan untuk penempatan serasah di beberapa lokasi di lapangan dengan berbagai tingkat salinitas
Gambar  3.  Lokasi petak untuk penempatan kantong berisi  serasah  di lapangan berdasarkan tingkat salinitas
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara faktor lingkungan fisik dan perilaku dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah kerja Puskesmas

terhadap pH tanah sedangkan pemberian isolat bakteri pereduksi sulfat tidak. berpengaruh nyata terhadap

Ciri ini sangat penting kerana pemimpin sebenarnya adalah seorang daie (pendakwah) yang bertanggungjawab untuk menyeru ummat ke arah penghayatan Islam yang sebenar

Seperti pada blok Way Pemerihan dan Way Canguk yang memiliki satwa mangsa harimau yang cukup banyak, tetapi survai harimau dan satwa mangsanya pada periode pengamatan

Pengembangan Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan Mendukung Ketahanan Pangan dan Pengembangan Agribisnis.. Perancangan Percobaan: Untuk Menganalisis

Kempen Hijaukan Sekolah- Membuat Buku Skrap 9..

Penelitian menggunakan format deskriptif kualitatif bertujuan untuk mendapatkan, gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena recording IB pada ternak

Dendogram berdasarkan penanda morfologi dan pola pita isozim peroksidase, shikimate dehidrogenase, dan esterase menunjukan bahwa talas dengan jenis yang sama dari ketinggian