• Tidak ada hasil yang ditemukan

Korelasi Konsep Diri dengan Kepatuhan Pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Korelasi Konsep Diri dengan Kepatuhan Pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

KORELASI KONSEP DIRI DENGAN KEPATUHAN PASIEN

TB PARU DALAM MENJALANI PENGOBATAN DI

RUMAH SAKIT GRAND MEDISTRA

LUBUK PAKAM

TESIS

Oleh

GRACE ERLYN DAMAYANTI S

127046025 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KORELASI KONSEP DIRI DENGAN KEPATUHAN PASIEN

TB PARU DALAM MENJALANI PENGOBATAN DI

RUMAH SAKIT GRAND MEDISTRA

LUBUK PAKAM

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep) dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah pada Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara

Oleh

GRACE ERLYN DAMAYANTI S

127046025 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)
(4)
(5)
(6)

Judul Tesis : Korelasi Konsep Diri dengan Kepatuhan Pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan

di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam

Nama Mahasiswa : Grace Erlyn Damayanti S

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2014

ABSTRAK

Kepatuhan merupakan kunci keberhasilan penanganan penyakit TB paru.

Aspek psikososial turut memegang peranan terhadap kepatuhan pasien TB paru

dalam menjalani pengobatannya. Salah satu aspek psikososial yang penting adalah

konsep diri pasien TB paru. Konsep diri adalah gabungan dari keyakinan dan

perasaan yang seseorang pegang mengenai dirinya pada suatu waktu, dibentuk

dari persepsi internal dan reaksi terhadap persepsi orang lain. Tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui distribusi frekuensi konsep diri, kepatuhan pasien TB

paru, dan korelasi konsep diri dengan kepatuhan. Sampel penelitian berjumlah 62

orang pasien TB paru yang diambil dengan cara purposive sampling. Instrumen

yang digunakan kuisioner data demografi, konsep diri pasien dengan kuisioner

yang dikembangkan sendiri oleh peneliti dan kepatuhan menggunakan TB

Medical Adherence Scale (TB-MAS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

(7)

(51,6%) dan yang mengalami ancaman terhadap konsep diri yaitu 30 orang

(48,4%) dengan nilai mean 42,48 dan standar deviasi 6,169. Sebanyak 32

responden (51,6%) patuh dalam menjalani pengobatan dan 30 responden (48,4%)

tidak patuh dalam menjalani pengobatannya dengan nilai mean 109,24 dan

standar deviasi 8,552. Uji hipotesis dengan menggunakan uji korelasi Spearman.

Berdasarkan analisa data, diperoleh nilai p value < 0,05, yang menunjukkan

bahwa ada korelasi antara konsep diri dengan kepatuhan pasien TB paru dalam

menjalani pengobatan. Nilai r didapatkan0,744 yang bermakna korelasi memiliki

keeratan yang sangat kuat dan berpola positif yang berarti semakin tertantang

konsep diri pasien TB paru maka pasien akan semakin patuh dalam menjalani

pengobatannya. Perawat diharapkan tidak hanya memperhatikan adaptasi fisik

pasien terhadap penyakitnya namun juga adaptasi psikologis dengan memfasilitasi

pasien untuk memiliki tantangan terhadap konsep dirinya, agar pasien dapat

beradaptasi positif terhadap penyakit dan pengobatannya.

(8)

Thesis Title : The Correlation of Self-concept and the Adherence of Lung Tuberculosis Patient in

Treatment at Grand Medistra Lubuk Pakam

Hospital

Name : Grace Erlyn Damayanti S

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

Compliance is the key to success in handling lung tuberculosis. Psychological

aspect also plays its role in lung tuberculosis patients’ compliance in the

treatment. One of the psychological concepts is self-concept in lung tuberculosis

patients. Self-concept is the combination of a person’s confidence and feeling

about himself toward other people. The objective of the research was to find out

the distribution of patients’ self-concept, patients’ compliance, the correlation

between self-concept and compliance. 62 lung tuberculosis patients enrolled into

this study, by purposive sampling technique. The instruments of the research were

questionnaires on demographic data, self-concept were assessed by questionnaires

while compliance by TB-MAS (Medical Adherence Scale Tuberculosis). Result

showed that 32 respondents (51.6%) had to challenge the self-concept, 30 of them

(9)

(51.6%) complied with the treatment, and 30 of them (48.4%) did not comply

with the treatment at X = 109,24; SD = 8,552. The hypothesis was tested using

Spearman correlation test. It was found that there is a correlation between

self-concept and lung tuberculosis patients’ compliance in the treatment. R-value was

0.744 which indicated that there was positive and significant correlation which

also indicated that the more challenging the self-concept of lung tuberculosis

patients were, the more obedient they were to the treatment. It is recommended

that nurses should not only pay attention to the physical adaptation of the patients

to their illness, but also to psychological adaptation by facilitating them to have

challenge the self-concept so that they can adapt positively to the illness and the

treatment.

(10)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa

atas berkat dan kasihNya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul

“Korelasi Konsep Diri dengan Kepatuhan Pasien TB Paru dalam Menjalani

Pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam”.

Selama menyusun tesis ini, penulis mengalami banyak pengalaman yang

berharga dari berbagai pihak. Sehingga, pada kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. dr. Dedi Ardinata., M. Kes., selaku Dekan Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara.

2. Setiawan, S.Kp., MNS., Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu

Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Achmad Fathi, S.Kep, Ns, MNS selaku Sekretaris Program Studi Magister

Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

4. dr. Putri Chairani Eyanoer, MS. Epi., Ph.D selaku dosen pembimbing

pertama, yang telah senantiasa memberikan waktu untuk membimbing,

memberikan arahan, ilmu dan saran yang sangat berharga dalam proses

penyusunan hasil tesis ini.

5. Iwan Rusdi, SKp, MNS selaku dosen pembimbing kedua, yang juga telah

senantiasa memberikan waktu untuk membimbing, memberikan arahan,

ilmu dan saran yang sangat berharga dalam proses penyusunan hasil tesis

(11)

6. Dr. dr. Amira Permatasari, M.Ked, Sp.P (K) selaku penguji I dan Ns.

Mahnum Lailan Nasution, M.Kep selaku penguji II yang telah memberikan

saran dan kritik yang sangat berguna untuk memperbaiki kekurangan yang

terdapat dalam pembuatan tesis ini.

7. dr. Arif Sujatmiko selaku Direktur Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk

Pakam yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan

penelitian.

8. Keluarga yang selalu memberikan semangat, motivasi dan dukungan yang

begitu besar sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian ini.

9. Teman-teman mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Keperawatan

Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan terkhusus

teman-teman Konsentrasi Keperawatan Medikal Bedah angkatan pertama yang

telah saling mengingatkan dan mendukung selama penyusunan tesis ini.

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah

membantu penulis dalam penyusunan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa hasil tesis ini masih ada kekurangan, baik dari

aspek bahasa maupun isinya. Oleh karena itu penulis akan menerima saran dan

masukan yang sifatnya memperbaiki hasil tesis ini.

Akhirnya penulis berharap semoga hasil tesis ini dapat memberikan

kontribusi bagi profesi keperawatan dan bagi masyarakat.

Medan, 12 September 2014 Penulis

(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Grace Erlyn Damayanti Sitohang

Tempat Tanggal Lahir : Simalungun, 5 Juli 1987

Alamat : Jln. Sudirman No. 38 Lubuk Pakam

No. Telp/HP : 085217067452

Riwayat Pendidikan :

Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulus

SD SD Negeri 066045 Medan 1998

SLTP SLTP Negeri 18 Medan 2001

SMA SMA Negeri 4 Medan 2004

Ners Fakultas Ilmu Keperawatan

Universitas Indonesia

2009

Magister Fakultas Keperawatan Universitas

Sumatera Utara

2014

Riwayat Pekerjaan :

Bekerja sebagai Staf Dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

(13)

Kegiatan Akademik Selama Studi :

Peserta pada acara “Seminar Penelitian Kualitatif Sebagai Landasan

Pengembangan Pengetahuan Disiplin Ilmu Kesehatan & Workshop

Analisis Data dengan Content Analysis & Weft-QDA”, 31 Januari 2012,

Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Peserta Seminar Keperawatan Nursing Leadership menyongsong Asean

Community 2015, 30 Januari 2013 Fakultas Keperawatan, USU.

Peserta pada 2013 MEDAN INTERNATIONAL NURSING CONFERENCE

“The Application of Nursing Education Advanced Research and Clinical

Practice”, 1 – 2 April 2013, Hotel Garuda Plaza, Medan, Sumatera

Utara.

Peserta “Seminar & Workshop Diagnostic Reasoning NANDA dan ISDA Basic,

24 November 2014, Fakultas Keperawatan, USU.

Peserta “Pelatihan Perawatan Luka Dasar Certified Wound Care Clinician

(14)

DAFTAR ISI

3.5Variabel dan Defenisi Operasional ... 41

3.6Metode Pengukuran ... 43 4.1 Karakteristik Responden ... 50

4.2Konsep Diri Pasien TB Paru ... 51

4.3Kepatuhan Pasien TB Paru ... 53

(15)

BAB 5. PEMBAHASAN

5.1 Konsep Diri Pasien TB Paru ... 59

5.2Kepatuhan Pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan ... 62

5.3Korelasi Konsep Diri dengan Kepatuhan Pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan ... 66

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 69

6.2Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... . 72

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Perbedaan pada Fase Tuberkulosis... 10

Tabel 3.1 Besar Sampel Rerata yang Dibutuhkan untuk Mendapatkan Level Kekuatan yang Dipilih Sebagai Fungsi dari Korelasi

Populasi yang Diperkirakan, dengan α= 0.05...

40

Tabel 3.2 Defenisi Operasional... 41

Tabel 4.1 Karakteristik Pasien TB Paru yang Menjalani Pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam...

51

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Konsep Diri Pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Berdasarkan Item Pertanyaan (n=62)...

52

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Konsep Diri Pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam (n=62)...

53

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Kepatuhan pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Berdasarkan Item Pertanyaan (n=62)...

54

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Kepatuhan pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam (n=62)...

57

Tabel 4.6 Tabulasi Silang Konsep Diri dengan Kepatuhan Pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam...

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Instrumen Penelitian ... 75

a. Lembar Penjelasan tentang Penelitian ... 76

b. Lembar Persetujuan Menjadi Responden ... 78

c. Kuesioner Data Demografi ... 79

d. Kuisioner Konsep Diri ... 80

e. Kuisioner Kepatuhan Pasien ... 81

Lampiran 2 Biodata Expert ... 83

Lampiran 3 Izin Penelitian ... 85

a. Surat Pengambilan Data dari Dekan Fakultas Keperawatan ... 86

b. Surat Persetujuan Etik Peneltian ... 87

(19)

Judul Tesis : Korelasi Konsep Diri dengan Kepatuhan Pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan

di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam

Nama Mahasiswa : Grace Erlyn Damayanti S

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2014

ABSTRAK

Kepatuhan merupakan kunci keberhasilan penanganan penyakit TB paru.

Aspek psikososial turut memegang peranan terhadap kepatuhan pasien TB paru

dalam menjalani pengobatannya. Salah satu aspek psikososial yang penting adalah

konsep diri pasien TB paru. Konsep diri adalah gabungan dari keyakinan dan

perasaan yang seseorang pegang mengenai dirinya pada suatu waktu, dibentuk

dari persepsi internal dan reaksi terhadap persepsi orang lain. Tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui distribusi frekuensi konsep diri, kepatuhan pasien TB

paru, dan korelasi konsep diri dengan kepatuhan. Sampel penelitian berjumlah 62

orang pasien TB paru yang diambil dengan cara purposive sampling. Instrumen

yang digunakan kuisioner data demografi, konsep diri pasien dengan kuisioner

yang dikembangkan sendiri oleh peneliti dan kepatuhan menggunakan TB

Medical Adherence Scale (TB-MAS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

(20)

(51,6%) dan yang mengalami ancaman terhadap konsep diri yaitu 30 orang

(48,4%) dengan nilai mean 42,48 dan standar deviasi 6,169. Sebanyak 32

responden (51,6%) patuh dalam menjalani pengobatan dan 30 responden (48,4%)

tidak patuh dalam menjalani pengobatannya dengan nilai mean 109,24 dan

standar deviasi 8,552. Uji hipotesis dengan menggunakan uji korelasi Spearman.

Berdasarkan analisa data, diperoleh nilai p value < 0,05, yang menunjukkan

bahwa ada korelasi antara konsep diri dengan kepatuhan pasien TB paru dalam

menjalani pengobatan. Nilai r didapatkan0,744 yang bermakna korelasi memiliki

keeratan yang sangat kuat dan berpola positif yang berarti semakin tertantang

konsep diri pasien TB paru maka pasien akan semakin patuh dalam menjalani

pengobatannya. Perawat diharapkan tidak hanya memperhatikan adaptasi fisik

pasien terhadap penyakitnya namun juga adaptasi psikologis dengan memfasilitasi

pasien untuk memiliki tantangan terhadap konsep dirinya, agar pasien dapat

beradaptasi positif terhadap penyakit dan pengobatannya.

(21)

Thesis Title : The Correlation of Self-concept and the Adherence of Lung Tuberculosis Patient in

Treatment at Grand Medistra Lubuk Pakam

Hospital

Name : Grace Erlyn Damayanti S

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

Compliance is the key to success in handling lung tuberculosis. Psychological

aspect also plays its role in lung tuberculosis patients’ compliance in the

treatment. One of the psychological concepts is self-concept in lung tuberculosis

patients. Self-concept is the combination of a person’s confidence and feeling

about himself toward other people. The objective of the research was to find out

the distribution of patients’ self-concept, patients’ compliance, the correlation

between self-concept and compliance. 62 lung tuberculosis patients enrolled into

this study, by purposive sampling technique. The instruments of the research were

questionnaires on demographic data, self-concept were assessed by questionnaires

while compliance by TB-MAS (Medical Adherence Scale Tuberculosis). Result

showed that 32 respondents (51.6%) had to challenge the self-concept, 30 of them

(22)

(51.6%) complied with the treatment, and 30 of them (48.4%) did not comply

with the treatment at X = 109,24; SD = 8,552. The hypothesis was tested using

Spearman correlation test. It was found that there is a correlation between

self-concept and lung tuberculosis patients’ compliance in the treatment. R-value was

0.744 which indicated that there was positive and significant correlation which

also indicated that the more challenging the self-concept of lung tuberculosis

patients were, the more obedient they were to the treatment. It is recommended

that nurses should not only pay attention to the physical adaptation of the patients

to their illness, but also to psychological adaptation by facilitating them to have

challenge the self-concept so that they can adapt positively to the illness and the

treatment.

(23)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

World Health Organization (WHO) telah menyatakan bahwa tuberkulosis

(TB) telah menjadi kedaruratan bagi kemanusiaan sejak tahun 1993. WHO telah

merekomendasikan strategi DOTS (Directly observed treatment short course)

untuk mengontrol angka kejadian TB paru, namun TB paru tetap menjadi masalah

kesehatan global. Pada tahun 2012, diperkirakan 8,6 juta orang dengan kejadian

TB paru baru dan 1,3 juta meninggal dengan penyakit TB paru. Prevalensi

penduduk Indonesia pada tahun 2013 yang didiagnosis TB paru oleh tenaga

kesehatan yaitu sebesar 0,4% dan prevalensi nasional TB paru berdasarkan

diagnostik tenaga kesehatan dan keluhan responden adalah 6, 7 %. Di Sumatera

Utara terjadi peningkatan prevalensi TB paru pada tahun 2013 dimana prevalensi

TB paru 0, 2 % yang didiagnosa oleh tenaga kesehatan dan 3,8 % dengan gejala

batuk >2 minggu dan 2,7% dengan gejala batuk darah (Kemenkes, 2013).

Deli Serdang sebagai salah satu kabupaten di Sumatera Utara juga

mendapatkan peningkatan kasus penderita TB paru baik yang merupakan

penderita baru maupun pasien berulang. Rumah Sakit Grand Medistra (RSGM)

Lubuk Pakam sebagai salah satu rumah sakit swasta di Deli Serdang yang

menyediakan berbagai layanan kesehatan juga mendapatkan peningkatan

kunjungan untuk angka penderita TB paru baik penderita baru maupun TB paru

(24)

dan rawat jalan. RSGM juga telah mengembangkan program penanggulangan TB

paru seperti pengisian obat yang dilakukan per minggu dan adanya pengawas

minum obat (PMO).

Program pemberantasan TB paru menghadapi berbagai macam tantangan,

salah satunya adalah TB paru dengan Multi drug resistance (MDR). Kepatuhan

terhadap pengobatan tuberkulosis merupakan hal yang penting dalam mengobati

pasien, membatasi angka kejadian MDR dan menurunkan penyebaran TB paru di

masyarakat luas. Kepatuhan ini mungkin saja tidak menjadi keharusan pada

penyakit kronis lainnya. Oleh karena itu, pemahaman terhadap faktor-faktor yang

berkontribusi terhadap kepatuhan pasien pada pengobatannya penting untuk

mencapai hasil yang baik (Khezerloo, Rahmani & Jafarizadeh, 2012).

Masalah psikososial adalah salah satu rintangan yang mempengaruhi

keberhasilan penderita TB paru dalam menjalani terapi. Stigma, isolasi dan

diskriminasi yang diberikan oleh masyarakat terhadap pasien TB paru

menyebabkan penurunan harga diri. Hal ini yang menjadi perbedaan penyakit TB

paru dari penyakit kronis lainnya. Penyakit TB paru dan pengobatannya dapat

mengganggu seluruh aspek dari diri seseorang. Perubahan fisik, pandangan

negatif masyarakat mengenai penyakit ini, dan keterbatasan dalam melakukan

aktivitas dan sosialisasi mempengaruhi seluruh bagian dari konsep diri pasien TB

paru. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Raynel (2010)

mengenai gambaran konsep diri pada penderita TB paru yang menunjukkan

bahwa sebagian besar penderita TB paru memiliki gambaran diri negatif, ideal diri

(25)

Aspek psikologis dalam perawatan pasien TB paru seringkali menjadi hal

yang terlupakan. Perawat sering lebih berfokus terhadap adaptasi fisik yang

dilalui pasien dan cenderung mengesampingkan adaptasi psikologisnya ketika

menderita TB paru. Roy (1999) dalam teori adaptasinya mengatakan bahwa

pengalaman individu dan interpretasi dari lingkungan membentuk persepsi diri.

Pada pasien TB paru sendiri, penyakit TB paru dan program pengobatan yang

harus dijalani dalam jangka waktu yang lama serta stigma yang didapatkan dari

masyarakat terkait penyakit TB paru dapat mempengaruhi konsep diri dan

perilaku pasien TB paru. Ketika pasien TB paru menganggap penyakit dan

pengobatannya menjadi suatu tantangan terhadap konsep dirinya maka pasien

akan mematuhi semua regimen terapi pengobatan untuk mencapai kesembuhan.

Sebaliknya jika pasien TB paru mengganggap penyakit dan pengobatannya

sebagai ancaman terhadap konsep dirinya, maka pasien akan menolak atau

menghindari penyakit dan pengobatan untuk melindungi harga dirinya.

Penelitian yang dilakukan Khezerloo, et al (2012) tentang hubungan antara

konsep diri dengan kepatuhan terhadap regimen pengobatan pada pasien

hipertensi didapatkan adanya hubungan antara konsep diri sebagai peluang dan

kepatuhan regimen medikasi yang diresepkan. Konsep diri sebagai ancaman

memiliki hubungan terbalik dengan kepatuhan. Sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Thomas (2007) mengenai pengaruh konsep diri terhadap

kepatuhan regimen kesehatan yang direkomendasikan pada orang dewasa dengan

gagal jantung mendapatkan bahwa kepatuhan dan tantangan terhadap sensasi

(26)

yang positif ditemukan antara kepatuhan dan tantangan terhadap sensasi tubuh,

citra tubuh, konsistensi diri, ideal diri dan moral etik spiritual diri.

Berdasarkan data di atas didapatkan bahwa konsep diri memiliki hubungan

dan pengaruh terhadap kepatuhan minum obat pada penyakit kronis, namun

belum ada penelitian yang menilai kaitan antara konsep diri dengan kepatuhan

pengobatan pada pasien TB paru. Kepatuhan pada pasien TB paru merupakan

kunci utama dalam penanggulangan TB paru dan tidak selalu pada penyakit

lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian yang melihat korelasi konsep diri

terhadap kepatuhan pasien TB paru dalam menjalani pengobatan yang pada

penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam.

1.2.Permasalahan

Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka masalah penelitian yang akan

diteliti adalah apakah ada korelasi konsep diri dengan kepatuhan pasien TB paru

dalam menjalani pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam

1.3.Tujuan Penelitian

1.3.1. Untuk mengetahui karakteristik penderita TB paru berdasarkan usia, jenis

kelamin, pendidikan, status perkawinan, penyakit penyerta lain dan suku

1.3.2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi konsep diri atas ancaman dan

tantangan pada penderita TB paru

1.3.3. Untuk mengetahui distribusi frekuensi berdasarkan kepatuhan pasien TB

paru dalam menjalani pengobatan

1.3.4. Untuk mengetahui korelasi antara konsep diri dengan kepatuhan pasien

(27)

1.3.5. Untuk mengetahui kekuatan dan arah korelasi antara konsep diri dengan

kepatuhan pasien TB paru dalam menjalani pengobatan

1.4. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Ada korelasi antara

konsep diri dengan kepatuhan pasien TB paru dalam menjalani pengobatannya”.

Tantangan terhadap konsep diri akan meningkatkan kepatuhan pasien TB paru

dalam menjalani pengobatan dan sebaliknya ancaman terhadap konsep diri akan

menyebabkan ketidakpatuhan pasien TB paru dalam menjalani pengobatan.

1.5.Manfaat Penelitian

1.5.1. Pelayanan Keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi evidence based practice yang dapat

digunakan dalam pemberian asuhan keperawatan holistik terhadap pasien dengan

gangguan TB paru sehingga dapat meningkatkan pelayanan keperawatan yang

optimal.

1.5.2. Institusi Pendidikan

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian di bidang pendidikan

sebagai evidence based practice yang dapat digunakan dalam pembelajaran

asuhan keperawatan holistik terhadap pasien dengan gangguan TB paru.

1.5.3. Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dan dasar bagi peneliti

selanjutnya dalam pengembangan penelitian yang berfokus terhadap aspek

psikologis pada penderita TB paru untuk mendapatkan pendekatan yang terbaik

(28)

BAB 2

TINJAUAN TEORITIS

2.1. Tuberkulosis (TB) Paru 2.1.1. Definisi TB Paru

Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis yang merupakan bakteri aerob berbentuk batang dan tidak berbentuk

spora (Knechel, 2009). Tuberculosis merupakan penyakit menular yang

disebabkan oleh M. Tuberculosis, suatu bakteri aerob yang tahan asam (acid-fast

bacillus). TB merupakan infeksi melalui udara dan umumnya didapatkan dengan

inhalasi partikel kecil (diameter 1 hingga 5 mm) yang mencapai alveolus (Black

& Hawks, 2012).

2.1.2. Transmisi TB paru

Mycobacterium tuberculosis menyebar melalui droplet di udara, yang disebut

nukleus droplet, disebabkan oleh batuk, bersin, berbicara atau nyanyian dari orang

dengan tuberkulosis paru atau laring. Droplet yang sangat kecil tinggal di udara

selama beberapa menit hingga jam setelah meludah. Jumlah basil pada droplet,

virulensi basil, terpaparnya basil pada sinar ultraviolet, dan derajat ventilasi

mempengaruhi transmisi. Masuknya M tuberculosis ke paru memicu infeksi

sistem pernafasan; meskipun organisme dapat menyebar ke organ lain, seperti

limpa, tulang/sendi, atau meningen dan menyebabkan tuberkulosis

(29)

2.1.3. Patofisiologi

Sekali dihirup, droplet infeksius diam di sepanjang jalan nafas. Sebagian

besar basil tertahan di bagian atas jalan nafas dimana terdapat sel goblet yang

mensekresi mukus. Mukus yang dihasilkan menangkap substansi asing, dan silia

pada permukaan sel secara terus menerus mendorongpartikel yang terjebak untuk

berpindah. Sistem ini menyebabkan tubuh mengeluarkan pertahanan fisik awal

yang mencegah infeksi pada sebagian besar orang yang terkena tuberkulosis

(Knechel, 2009).

Bakteri pada droplet yang melewati sistem mukosiliari dan mencapai alveoli

dengan cepat dikelilingi dan ditelan oleh makrofag alveolar, sel efektor imunitas

yang paling banyak di rongga alveolar. Makrofag ini, garis pertahanan host

berikutnya, adalah bagian dari sistem imunitas bawaan dan memberikan

kesempatan bagi tubuh untuk merusak mycobakteria yang masuk dan mencegah

infeksi. Makrofag memiliki sel fagosit yang melawan banyak patogen tanpa

membutuhkan pajanan terhadap patogen sebelumnya. Beberapa mekanisme dan

reseptor makrofag terlibat dalam penangkapan mycobacteria. Lipoarabinomannan

mycobacterial adalah kunci untuk reseptor makrofag (Knechel, 2009).

Sistem tambahan juga memainkan peranan dalam fagositosis bakteri. Protein

C3 terikat pada dinding sel dan meningkatkan pengenalan makrofag terhadap

mycobakteri. Opsonisasi oleh C3 terjadi cepat, meskipun di ruang udara host

dengan tidak ada pajanan terhadap M tuberculosis sebelumnya. Fagositosis

(30)

infeksi yang berhasil pada tuberkulosis laten, atau kemajuan penyakit aktif, yang

disebut tuberkulosis progresif primer. Hasil utama ditentukan oleh kualitas dari

pertahanan host dan keseimbangan yang terjadi antara pertahanan host dan invasi

mikobakteri (Knechel, 2009).

Setelah dicerna oleh makrofag, mikobakteria terus bermultiplikasi dengan

lambat, dengan pembelahan sel setiap 25 sampai 32 jam. Dengan menghiraukan

apakah infeksi terkontrol atau berkembang, perkembangan awal terkait produksi

enzim proteolitik dan sitokin oleh makrofag sebagai usaha untuk menurunkan

bakteri. Pelepasan sitokin menarik limfosit T pada bagian sel dimana merupakan

imunitas sel. Makrofag kemudian menghadirkan antigen mikobakteria pada

permukaan sel T (Knechel, 2009).

Proses imun awal berlanjut hingga 2 sampai 12 minggu, mikroorganisme

terus bertumbuh sampai mereka mencapai jumlah yang cukup untuk mendapatkan

respon imun sel segera yang dapat terdeteksi dengan tes kulit. Untuk orang

dengan imunitas sel yang lengkap, langkah pertahanan berikutnya adalah

pembentukan granuloma di sekitar organisme M tuberculosis. Lesi tipe nodular

ini terbentuk melalui akumulasi dari aktivasi limfosit T dan makrofag, yang

membentuk lingkungan mikro yang membatasi replikasi dan penyebaran

mikobakteri. Lingkungan ini merusak makrofag dan menghasilkan nekrosis solid

awal pada pusat lesi meskipun basilus mampu beradaptasi untuk dapat bertahan.

Pada kenyataannya M tuberculosis dapat mengubah fenotipe, seperti regulasi

(31)

Dalam 2 atau 3 minggu, lingkungan nekrotik menyerupai keju lunak, selalu

menyerupai nekrosis seperti kayu, dan dikarakteristikkan degan level oksigen

yang rendah, pH rendah, dan nutrisi yang terbatas. Kondisi ini membatasi

perkembangan lebih lanjut dan tetap tersembunyi. Lesi pada orang dengan sistem

imun yang adekuat umumnya mengalami fibrosis dan kalsifikasi, secara sukses

mengontrol infeksi sehingga basilus terkandung di dalam dorman, lesi yang

sembuh. Lesi pada orang dengan sistem imun yang kurang efektif berlanjut

menjadi tuberkulosis progresif primer. Untuk orang dengan kemampuan imun

yang rendah, pembentukan granuloma yang dimulai akhirnya tidak berhasil

mengisi basilus. Jaringan nekrotik mengalami pencairan, dan dinding fibrosa

kehilangan integritas struktural (Knechel, 2009).

Material nekrotik semiliquid dapat dialirkan ke bronkus atau dekat dengan

pembuluh darah, meninggalkan kavitas yang dipenuhi udara pada bagian semula.

Jika keluarnya melalui pembuluh darah terjadi, kemungkinan besar terjadi

tuberkulosis ekstrapulmonal. Basilus juga dapat dialirkan ke sistem limfatik dan

terkumpul di nodus limfa trakeobronkial pada paru yang terkena, dimana

organisme dapat membentuk granula baru seperti kayu (Knechel, 2009).

2.1.4. Manifestasi Klinis

Knechel (2009) mengatakan Tuberkulosis berkembang berbeda-beda pada

setiap pasien, tergantung kepada status sistem imun pasien. Tahapan terdiri dari

fase laten, penyakit primer, penyakit primer progresif, dan penyakit

ekstrapulmonal. Masing-masing tahap memiliki manifestasi klinis yang

(32)

Tabel 2.1

Perbedaan pada fase Tuberkulosis (Zumla, Raviglione, Hafner dan Reyn, 2013).

(33)

Tampilan klinis klasik dari Tuberkulosis paru yaitu batuk kronis, produksi

sputum, kehilangan nafsu makan, kehilangan berat badan, demam, keringat

malam, dan hemoptisis. TB ekstrapulmonal terjadi 10-42 % pasien, tergantung

pada ras dan latar belakang etnik, usia, ada atau tidaknya penyakit penyerta,

genotipe dari M. tuberculosis strain, dan status imun (Zumla, et al., 2013).

2.1.4. Diagnosis a. Infeksi laten

Skreening dan pengobatan untuk infeksi M. Tuberculosis laten diindikasikan

untuk kelompok dimana prevalensi infeksi laten tinggi (contoh. Orang asing yang

berasal dari daerah endemik tuberkulosis), kelompok dengan resiko tinggi

berulang kembalinya penyakit (cth. Pasien dengan infeksi HIV atau diabetes dan

pasien yang menerima terapi imunosupresi), dan kelompok dengan kedua faktor

tersebut (cth. Interaksi dengan pasien tuberkulosis). Infeksi laten dapat didiagnosa

dengan tes kulit tuberkulin atau menguji kadar pelepasan interferon-gamma. Tes

kulit tuberkulin lebih murah dan oleh karena itu dianjurkan pada daerah ekonomi

rendah. Sensitifitas tes kulit tuberkulin sama dengan uji kadar pelepasan

interferon-gamma tetapi kurang spesifik (Zumla, et al., 2013).

b. Tuberkulosis Aktif

Kultur dan mikroskopik sputum pada medium cair dengan uji kerentanan obat

berikutnya adalah rekomendasi sebagai metode standar untuk mendiagnosa

tuberkulosis aktif. Uji kada interferon-gamma dan tes kulit tuberkulin tidak

(34)

citraan, dan pemeriksaan histopatologi dari sampel biopsi mendukung evaluasi.

Diagnostik molekular baru yang disebut uji sesitifitas Xpert MTB/RIF mendeteksi

M. Tuberculosis komplek dalam 2 jam, dengan uji sensitifitas yang lebih tinggi

dari usapan mikroskopi. Uji molekular ini potensial untuk meningkatkan (Zumla

et al., 2013).

c. Drug-Resistant Tuberculosis

Standar terkini uji kerentanan obat utama merupakan sistem kultur liquid

otomatis, yang membutuhkan 4 sampai 13 hari untuk hasilnya. Dalam 2 jam, uji

kadar Xpert MTB/RIF secara bersamaan memberi hasil terhadap resistensi

rifampin, mewakili multidrug resistant tuberkulosis pada tempat dimana

prevalensi tnggi dari resistensi obat, sejak resistensi rifampin pada ketiadaan

resistensi isoniazid luar biasa (Zumla et al., 2013).

Modifikasi uji kadar telah diperkenalkan untuk menurunkan kesalahan positif

WHO telah merekomendasikan bahwa ketika uji kerentanan obat dilakukan

diwaktu yang sama juga dilakukan uji kadar Xpert MTB/RIF untuk

mengkonfirmasi resistensi rifampicin dan kerentanan M.tuberculosis terhadap

obat lain. Uji skreening lain untuk resistensi obat yaitu uji kadar

microscopic-observation drug-susceptibility (MODS), uji kadar nitrat reduktase, dan metode

reduktase colorimetric. Uji kadar MODS secara simultan mendeteksi M.

Tuberculosis bacilli, pada dasar pembentukan ikatan, resistensi isoniazid dan

rifampicin. Sejak hampir semua dari metode ini tidak tersedia di negara-negara

(35)

resistant TB terdiagnosa di seluruh dunia dan hanya setengahnya yang menerima

pengobatan yang tepat (Zumla et al., 2013).

2.1.5. Pengobatan a. Infeksi Laten

Pasien dengan infeksi M tuberculosis laten berisiko tinggi terhadap

tuberkulosis aktif sehingga memerlukan pengobatan preventif. Regimen yang

dianjurkan adalah isoniazid saja untuk 9 bulan atau durasi yang lebih lama pada

pasien yang terinfeksi HIV di daerah dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi.

Baru-baru ini observasi langsung setiap minggu untuk pemberian isoniazid dan

rifapentine untuk 12 minggu telah menunjukkan keefektifan isoniazid saja pada

dewasa tanpa infeksi HIV di negara dengan beban tuberkulosis yang rendah.

Pedoman WHO terbaru merekomendasikan bahwa semua orang yang terinfeksi

HIV dengan hasil tes tuberkulin kulit positif atau tidak diketahui dan tanpa

tuberkulosis aktif yang tinggal di negara dengan beban tuberkulosis yang tinggi

menerima terapi pencegahan dengan isoniazid paling sedikit 6 bulan. Tiga

regimen efektif untuk mencegah tuberkulosis aktif pada orang yang terinfeksi

HIV yaitu isoniazid yang dikonsumsi setiap hari untuk 6 sampai 9 bulan, rifampin

yang dikonsumsi setiap hari untuk 3 bulan, dan rifampin dan isoniazid dua kali

seminggu untuk 3 bulan. Regimen yang berisi rifampin memiliki angka toksisitas

obat yang lebih tinggi dengan yang tidak berisi rifampin. Kesulitan mendiagnosa

tuberkulosis aktif pada pasien dengan koinfeksi HIV menyebabkan lambatnya

terapi pencegahan isoniazid pada praktik klinik. Hanya pasien dengan tes

(36)

angka tuberkulosis aktif dan kematian, dan perlindungan terhadap tuberkulosis

menurun dalam beberapa bulan setelah berhentinya terapi isoniazid (Zumla et al.,

2013).

b. Drug-Sensitive Active Tuberculosis

Pengobatan tuberkulosis yang efektif membutuhkan diagnosis yang akurat

dan dini, skreening untuk resistensi obat dan HIV, pemberian regimen yang

efektif di bawah supervisi, dan adanya dukungan pada pasien untuk memenuhi

seluruh rangkaian pengobatan. Standar terbaru regimen pengobatan dengan empat

obat (isoniazid, rifampin, pyrazinamide, dan ethambutol) mencapai angka

kesembuhan lebih dari 95% pada kondisi percobaan dan lebih dari 90% pada

pengobatan dengan kelalaian program kontrol tuberkulosis. Pengobatan

membutuhkan minimum 6 bulan dengan 2 fase: 2 bulan dengan semua obat pada

fase intensif dan 4 bulan dengan isoniazid dan rifampin pada fase lanjutan. Faktor

risiko kekambuhan mencakup kavitasi, luasnya penyakit, imunosupresi, dan

kultur sputum yang tetap positif pada 8 minggu. Jika ada dari faktor risiko

tersebut, terapi dapat diperpanjang hingga 9 bulan (Zumla et al., 2013).

Tantangan terapi mencakup ketidakkonsistenan kualitas obat, kebutuhan

untuk menjamin pemberian obat diobservasi secara langsung dan bahwa

dukungan lain disediakan bagi pasien, gangguan pengobatan dan perubahan

regimen karena efek samping, efek toksik, interaksi farmakokinetik (terutama

dengan terapi antiretroviral pada pasien dengan koinfeksi HIV), dan isu

(37)

c. Multidrug-Resistant Tuberculosis(MDR TB)

Pengobatan MDR TB berdasarkan pada opini para ahli dan membutuhkan

ciptaan kombinasi regimen obat yang dipilih dari lima kelompok hirarki

obat-obatan dari garis pertama dan garis kedua. Terapi berkaitan dengan risiko tinggi

terhadap intoleransi dan efek toksik serius. Regimen dapat dipilih berdasarkan

standar atau empiris dan kemudian diganti pada terapi individu setelah data

dianggap uji kerentanan obat menjadi ada. Akan tetapi, uji kerentanan obat yang

reliabel tidak secara luas tersedia ada di daerah dimana endemik tuberkulosis,

terutama pada obat garis kedua (Zumla et al., 2013).

Pedoman pengobatan WHO untuk MDR TB merekomendasikan bahwa pada

fase intensif terapi diberikan paling sedikit 8 bulan. Fluoroquinolone dan agen

yang dapat diinjeksikan secara rutin dimasukkan untuk menghasilkan regimen

dengan sedikitnya empat obat pada garis kedua yang akan memiliki kepastian dan

hampir pasti efektif, seperti pyrazinamide. Terapi harus diberikan untuk

sekurangnya 20 bulan pada pasien yang tidak menerima pengobatan untuk MDR

TB sebelumnya dan sampai 30 bulan bagi mereka yang sudah menerima

pengobatan sebelumnya (Zumla et al., 2013).

Sebuah penelitian observasional menunjukkan bahwa regimen yang lebih

pendek, dengan pengobatan yang diberikan 9 sampai 12 bulan, memiliki efikasi

yang dapat diterima dan beberapa reaksi merugikan pada populasi dengan pajanan

terhadap obat garis kedua. Regimen ini lebih luas dievaluasi terus menerus dengan

(38)

obat yang direkomendasikan memiliki efek samping yang serius yang membuat

kesulitan pada pengobatan, kosultasi pada para ahli selalu disarankan untuk

pengobatan MDR TB (Zumla et al., 2013).

2.2. Konsep Diri

2.2.1 Definisi konsep diri

Konsep diri merupakan citra mental individu. Konsep diri yang positif

penting untuk kesehatan mental dan fisik individu. Individu yang memiliki konsep

diri yang positif lebih mampu mengembangkan dan mempertahankan hubungan

interpersonal dan lebih tahan terhadap penyakit psikologis dan fisik. Individu

yang memiliki konsep diri yang kuat seharusnya lebih mampu menerima atau

beradaptasi dengan perubahan yang mungkin terjadi sepanjang hidupnya. Cara

pandang individu terhadap dirinya mempengaruhi interaksinya dengan orang lain

(Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2010).

Roy (1999) dalam Marriner Tomey dan Alligood (2006) mengatakan bahwa

konsep diri adalah gabungan dari keyakinan dan perasaan yang seseorang pegang

mengenai dirinya pada suatu waktu; dibentuk dari persepsi internal dan reaksi

terhadap persepsi orang lain. Pengalaman individu dan interpretasi dari

lingkungan membentuk persepsi diri. Oleh karena itu, perasaan yang diterima oleh

karena penyakit dan pengobatan dapat mempengaruhi konsep diri dan perilaku

seseorang. Roy dan Andrew mengidentifikasi 5 aspek yang berbeda dari konsep

diri, yang terdiri dari citra tubuh, sensasi tubuh, ideal diri, konsistensi diri dan

moral-etik-spiritual diri. Sensasi tubuh adalah bagaimana perasaan seseorang dan

(39)

terhadap dirinya secara fisik dan pandangan seseorang terhadap penampilan

personal. Konsistensi diri adalah bagian dari diri yang berusaha untuk

mempertahankan organisasi diri yang konsisten dan mencegah

ketidakseimbangan. Ideal diri adalah apa yang seseorang inginkan atau mampu

lakukan. Moral-etikal-spiritual diri adalah aspek dari diri yang terdiri dari sistem

kepercayaan dan evaluasi dari relasi di seluruh bidang.

2.2.2. Dimensi Konsep Diri

a. Pemahaman diri: pemahaman yang dimiliki individu mengenai dirinya,

termasuk daya tilik diri terhadap kemampuan, sifat, dan keterbatasan

dirinya

b. Pengharapan diri: harapan individu, mungkin berupa harapan realistis atau

tidak realistis

c. Sosial diri: cara pandang orang lain dan masyarakat terhadap individu

d. Evaluasi sosial: penilaian individu dalam hubungan dengan orang lain,

kejadian, atau situasi (Kozier et al., 2010).

2.2.3. Komponen Konsep Diri

Konsep diri mencakup semua persepsi diri yaitu penampilan, nilai dan

keyakinan, yang memengaruhi perilaku dan ditunjukkan ketika menggunakan

kata-kata saya atau aku (Kozier et al., 2010). Konsep diri yang positif

memberikan rasa berarti, menyeluruh, dan konsisten pada seseorang. Konsep diri

yang sehat memiliki derajat stabilitas yang tinggi dan menghasilkan perasaan

positif terhadap diri. Komponen konsep diri yang sering dipertimbangkan adalah

(40)

konsep diri. Harga diri berasal dari konsep diri, dan harga diri mempengaruhi

konsep diri (Potter & Perry, 2009).

a. Identitas

Identitas meliputi perasaan internal akan individualitas, menyeluruh, dan

konsistensi seseorang pada waktu dan situasi yang berbeda. Identitas

menunjukkan batasan dan pemisahan dari yang lainnya. Menjadi “diri sendiri”

atau hidup dalam kehidupan nyata merupakan dasar dari identitas yang benar

(Potter & Perry, 2009).

Identitas personal individu merupakan sensasi individualitas dan keunikan

yang disadari dan secara kontinu muncul sepanjang hidup. Individu sering kali

memandang identitas mereka dari nama, jenis kelamin, usia, ras, asal etnis atau

budaya, pekerjaan atau peran, bakat, dan karakteristik situasional lainnya (Kozier

et al., 2010).

Stuart & Laraia (2005) dalam Potter & Perry (2009) mengatakan bahwa

pencapaian identitas merupakan hal penting dalam menjalin hubungan dekat,

karena individu mengekspresikan identitas mereka saat berhubungan dengan

orang lain. Semakin individu dikenal oleh kelompok sosial, maka akan semakin

besar harga dirinya. Seorang individu yang mengalami diskriminasi, prasangka,

atau tekanan lingkungan biasanya akan menempatkan dirinya secara berbeda dari

individu yang memiliki kondisi kehidupan sebaliknya [Ruiz et al., (2002) dalam

Potter & Perry (2009)].

Individu yang memiliki rasa identitas yang kuat mengintegrasikan citra tubuh,

(41)

ini memberi individu sensasi kontinuitas dan kesatuan kepribadian. Selain itu,

individu memandang dirinya sendiri sebagai orang yang unik (Kozier et al.,

2010).

b. Citra Tubuh

Citra tubuh (body image) meliputi perilaku yang berkaitan dengan tubuh,

termasuk penampilan, struktur, atau fungsi fisik. Rasa terhadap citra tubuh

termasuk semua yang berkaitan dengan seksualitas, feminitas dan maskulinitas,

berpenampilan muda, kesehatan dan kekuatan (Potter & Perry, 2009).

Citra fisik diri, atau citra tubuh, adalah cara individu mempersepsikan ukuran,

penampilan, dan fungsi tubuh dan bagian-bagiannya. Citra tubuh memiliki aspek

kognitif dan afektif. Kognitif adalah pengetahuan materi tubuh dan kelekatannya,

afektif mencakup sensasi tubuh, seperti nyeri, kesenangan, keletihan, dan gerakan

fisik. Citra tubuh adalah gabungan dari sikap, kesadaran dan ketidaksadaran, yang

dimiliki seseorang terhadap tubuhnya (Kozier et al., 2010).

Citra tubuh mencakup fungsi tubuh dan bagian-bagiannya termasuk pakaian,

riasan, gaya rambut, perhiasan dan hal lain yang melekat pada diri individu. Citra

tubuh juga mencakup prostese tubuh, seperti kaki palsu, gigi palsu dan wig, juga

semua alat yang dibutuhkan untuk fungsi, seperti kursi roda, tongkat dan

kacamata. Persepsi masa lalu dan saat ini serta bagaimana tubuh berkembang

sepanjang waktu merupakan bagian citra tubuh seseorang (Kozier et al., 2010).

Citra tubuh individu berkembang sebagian dari sikap dan respons orang lain

terhadap tubuh individu tersebut dan sebagian lagi dari eksplorasi individu

(42)

individu. Beragam informasi dan media hiburan selama bertahun-tahun

memengaruhi cara individu memandang diri mereka dengan orang lain. Apabila

citra tubuh individu mendekati ideal dirinya, individu tersebut cenderung berpikir

positif tentang komponen fisik dan nonfisik diri (Kozier et al., 2010).

Individu yang memiliki citra tubuh yang sehat biasanya menunjukkan

kekhawatiran baik terhadap kesehatan maupun penampilan. Individu ini akan

mencari bantuan apabila sakit dan melakukan praktik promosi kesehatan dalam

aktivitas sehari-hari. Individu yang memiliki citra tubuh yang tidak sehat

cenderung terlalu mengkhawatirkan penyakit minor dan mengabaikan aktivitas,

seperti tidur dan diet sehat yang penting untuk kesehatan (Kozier et al., 2010).

Individu yang mengalami gangguan citra tubuh mungkin menyembunyikan

atau tidak melihat atau menyentuh bagian tubuh yang strukturnya telah berubah

akibat penyakit atau trauma. Beberapa individu dapat juga mengekspresikan

perasaan tidak berdaya, putus asa, tidak mampu mengendalikan situasi, dan

kerapuhan. Individu tersebut kemungkinan juga menunjukkan perilaku destruktif,

seperti usaha bunuh diri atau makan sangat sedikit atau makan sangat berlebihan

(Kozier et al., 2010).

c. Penampilan peran

Potter & Perry (2009) mengatakan bahwa Penampilan peran (role

performance) merupakan cara individu melakukan peran yang berarti. Peran yang

dimaksud mencakup peran sebagai orang tua, pengawas, atau teman dekat. Peran

yang diikuti individu dalam berbagai situasi mencakup sosialisasi terhadap

(43)

selama masa dewasa. Individu mengembangkan dan menjaga perilaku yang

disetujui masyarakat melalui proses-proses berikut ini.

1) Penguatan-pemadaman : Perilaku khusus menjadi biasa atau dihindari,

tergantung apakah mereka setuju dan diperkuat, atau diperkecil dan dihukum.

2) Hambatan: Individu belajar untuk menahan diri dari suatu perilaku, meskipun

saat digoda untuk ikut serta di dalamnya.

3) Substitusi: Individu menggantikan satu perilaku dengan perilaku lainnya, yang

memberikan kepuasan personal yang sama

4) Imitasi: Individu membutuhkan pengetahuan, keterampilan, atau perilaku dari

anggota masyarakat atau kelompok budaya

5) Identifikasi: Individu memasukkan kepercayaan, perilaku, dan nilai-nilai dari

model peran ke dalam suatu ekspresi personal diri yang unik.

Peran merupakan sekumpulan harapan mengenai bagaimana individu yang

menempati satu posisi tertentu berperilaku. Performa peran menghubungkan apa

yang dilakukan individu dalam peran tertentu dengan perilaku yang diharapkan

oleh peran tersebut. Penguasaan peran berarti bahwa perilaku individu memenuhi

harapan sosial. Harapan, atau standar perilaku peran, ditetapkan oleh masyarakat,

kelompok budaya, atau kelompok yang lebih kecil yang salah satu anggotanya

adalah individu tersebut (Kozier et al., 2010).

Konsep diri juga dipengaruhi oleh ketegangan peran dan konflik peran.

Individu yang mengalami ketegangan peran frustasi karena merasa atau dibuat

merasa tidak adekuat atau tidak cocok dengan satu peran. Konflik peran muncul

(44)

individu memiliki harapan yang berbeda mengenai peran tertentu. Dalam konflik

antarperan, harapan peran seseorang atau kelompok berbeda dari harapan orang

lain atau kelompok lain (Kozier et al., 2010).

d. Harga diri

Harga diri (self-esteem) adalah perasaan individu secara keseluruhan tentang

harga diri atau pernyataan emosional dari konsep diri. Hal ini merupakan dasar

dari evaluasi diri karena mewakili keseluruhan pendapat tentang penghargaan atau

nilai personal. Harga diri bersifat positif saat seseorang merasa mampu, berguna,

dan kompeten [Rosenberg (1965) dalam Potter & Perry (2009)].

Harga diri adalah penilaian individu akan harga dirinya, yaitu bagaimana

standar dan penampilan dirinya dibandingkan dengan standar dan penampilan

orang lain dengan ideal dirinya sendiri. Apabila harga diri seseorang tidak sesuai

dengan ideal dirinya, terjadi penurunan konsep diri (Kozier et al., 2010).

Terdapat dua jenis harga diri: umum dan spesifik. Harga diri umum adalah

seberapa besar individu menyukai dirinya sendiri secara keseluruhan. Harga diri

spesifik adalah seberapa besar individu menerima bagian tertentu dari dirinya.

Harga diri berasal dari diri sendiri dan orang lain Pada saat bayi, harga diri

dikaitkan dengan orang lain. Sebagai orang dewasa, seseorang yang memiliki

harga diri tinggi merasa berarti, kompoten, mampu menghadapi kehidupan, dan

mengendalikan takdirnya sendiri (Kozier et al., 2010).

Landasan harga diri dibangun selama pengalaman hidup awal, biasanya

dalam struktur keluarga. Akan tetapi, tingkat fungsi orang dewasa pada

(45)

ke waktu. Harga diri fungsional adalah hasil evaluasi kontinu individu terhadap

interaksinya dengan orang lain dan objek. Harga diri fungsional dapat lebih tinggi

dari harga diri dasar, atau dapat juga mundur ke tingkat di bawah harga diri dasar.

Stres berat, misalnya stres akibat penyakit kronis dapat menurunkan harga diri

individu. Individu sering kali berfokus pada aspek negatif mereka dan

menghabiskan lebih sedikit waktu untuk menghargai aspek positif mereka (Kozier

et al., 2010).

2.2.4. Stresor yang memengaruhi Konsep Diri

Stresor konsep diri adalah perubahan yang nyata atau dapat diterima yang

mengancam identitas, citra tubuh, atau penampilan peran. Persepsi individu

terhadap tekanan merupakan faktor penting dalam menentukan responnya.

Kemampuan untuk menyeimbangkan tekanan yang ada berkaitan dengan

beberapa faktor, termasuk jumlah tekanan, lamanya tekanan dan status kesehatan.

Tekanan dapat mengganggu kemampuan adaptasi seseorang. Perubahan yang

terjadi pada kesehatan fisik, spiritual, emosional, seksual, keturunan, dan sosial

budaya akan memengaruhi konsep diri. Dapat beradaptasi terhadap tekanan akan

menimbulkan rasa diri yang positif, sedangkan kegagalan beradaptasi sering

menyebabkan konsep diri yang negatif (Potter & Perry, 2009).

Beberapa perubahan dalam kesehatan merupakan stresor dan dapat

memengaruhi konsep diri. Perubahan fisik tubuh terkadang menyebabkan

perubahan citra tubuh, memengaruhi identitas dan harga diri. Penyakit kronis

biasanya akan mengganggu penampilan peran, yang selanjutnya dapat mengubah

(46)

2.2.5. Faktor yang memengaruhi konsep diri

Konsep diri individu dipengaruhi oleh banyak faktor. Kozier et al. (2010)

mengatakan bahwa faktor utama adalah perkembangan, keluarga dan budaya,

stresor, sumber, riwayat keberhasilan dan kegagalan serta penyakit.

a. Perkembangan

Saat individu berkembang, faktor yang memengaruhi konsep diri berubah.

Sebagai contoh, bayi membutuhkan lingkungan yang suportif dan penuh kasih

sayang, sementara anak-anak membutuhkan kebebasan untuk menggali dan

belajar.

b. Keluarga dan budaya

Nilai yang dianut anak kecil sangat dipengaruhi oleh keluarga dan budaya.

Selanjutnya teman sebaya memengaruhi anak dan dengan demikian

mempengaruhi rasa dirinya. Ketika anak berkonfrontasi dengan membedakan

harapan dari keluarga, budaya dan teman sebaya, rasa diri anak sering kali

membingungkan.

c. Stresor

Stresor dapat menguatkan konsep diri saat individu berhasil menghadapi

masalah. Di pihak lain, stresor yang berlebihan dapat menyebabkan respon

maladaptif termasuk penyalahgunaan zat, menarik diri, dan ansietas. Kemampuan

individu untuk menangani stresor sangat bergantung pada sumber daya personal.

d. Sumber daya

Individu memiliki sumber daya internal dan eksternal. Contoh sumber daya

(47)

meliputi jaringan dukungan, pendanaan yang memadai, dan organisasi. Secara

umum, semakin besar jumlah sumber daya yang dimiliki dan digunakan individu,

pengaruhnya pada konsep diri semakin positif.

e. Riwayat keberhasilan dan kegagalan

Individu yang pernah mengalami kegagalan menganggap diri mereka sebagai

orang yang gagal, sementara individu yang memiliki riwayat keberhasilan

memiliki konsep diri yang lebih positif, yang kemungkinan dapat mencapai lebih

banyak keberhasilan.

f. Penyakit

Penyakit dan trauma juga dapat memengaruhi konsep diri. Individu berspon

terhadap stresor, seperti penyakit dan gangguan fungsi akibat penuaan dalam

berbagai cara: menerima, menyangkal, menarik diri, dan depresi adalah reaksi

yang umum.

2.2.6. Konsep Diri Pada Pasien TB paru

Masalah psikososial adalah salah satu rintangan yang mempengaruhi

keberhasilan penderita TB dalam menjalani terapi. Stigma, isolasi dan

diskriminasi yang diberikan oleh masyarakat terhadap pasien TB menyebabkan

penurunan harga diri. Hal ini merupakan perbedaan penyakit TB dari penyakit

kronis lainnya.

Raynel (2010) dalam penelitiannya mengenai gambaran konsep diri pada

penderita TB paru menunjukkan sebesar 56,8% memiliki gambaran diri negatif,

54,1% memiliki ideal diri negatif, 51,4% memiliki harga diri tinggi, 54,1%

(48)

Penurunan harga diri karena penyakit menyebabkan hilangnya kepercayaan diri,

hubungan sosial yang memburuk dan menyerah untuk berjuang melawan

penyakit. Pengangguran dan ibu rumah tangga, tidak memiliki pekerjaan, efek

pada status ekonomi pasien, tidak memiliki harapan untuk sembuh, perubahan

dalam keluarga dan hubungan sosial dan tidak memiliki dukungan sosial

menurunkan harga diri pasien (Erdem & Tasci, 2003).

2.3. Kepatuhan

2.3.1. Definisi Kepatuhan

Kepatuhan pengobatan adalah pasien mengikuti pengobatan yang

direkomendasikan dengan meminum seluruh obat yang diresepkan selama

panjangnya waktu yang dibutuhkan. Kepatuhan penting karena TB hampir selalu

teratasi jika pasien patuh terhadap regimen pengobatan TB (Centers for Disease

Control and Prevention [CDC], 1999).

Ketidakpatuhan adalah ketidakmampuan pasien atau penolakan untuk

mengkonsumsi obat sesuai dengan resep. Ketika pengobatan medis sulit dan

berakhir untuk waktu yang lama, seperti pengobatan pada penyakit TB, pasien

selalu tidak mengkonsumsi bat mereka sesuai instruksi. Perilaku ini adalah salah

satu masalah terbesar dalam pengendalian TB dan dapat mengarah pada

konsekuensi yang serius. Pasien yang tidak patuh dapat menyebarkan ke orang

lain, tetap sakit untuk waktu yang lebih lama atau memiliki penyakit yang lebih

berat, mengembangkan dan menyebarkan resristensi obat TB, dan meninggal

(49)

2.3.2. Faktor yang mempengaruhi kepatuhan

Banyak alasan mengapa seseorang terhambat dalam memenuhi regimen

pengobatan TB paru.

a. Usia

Penelitian yang dilakukan oleh Mkopi, et al. (2012) menunjukkan bahwa usia

berhubungan dengan kepatuhan terapi. Kelompok pasien umur 25 tahun ke bawah

lebih patuh dari kelompok pasien yang berumur 35-44 tahun (OR: 0,77; 95% CI:

0,99; p<0,049). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Anyaike et al.

(2013) yang dalam penelitiannya mendapatkan ada hubungan signifikan atara usia

dengan kepatuhan terapi pasien TB (p=0.0165).

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Bello & Itiola (2010) dengan

menggunakan uji chi square didapatkan bahwa usia tidak memiliki hubungan

yang signifikan degan kepatuhan (p=0,844). Hal ini juga didukung oleh penelitian

yang dilakukan oleh Anyaike et al. (2013) yang mendapatkan bahwa ada

hubungan antara kurangnya uang transportasi dengan kepatuhan pasien

(p=0.0001).

b. Jenis Kelamin

Penelitian yang dilakukan ole Mkopi, et al (2012) menunjukkan bahwa jenis

kelamin dan usia berhubungan dengan kepatuhan terapi. Pasien perempuan lebih

patuh 2 kali dibanding dengan pasien laki-laki (OR= 2,04; 95% CI: 1.24-3,02; p =

0.003). Anyaike et al. (2013) dalam penelitiannya mendapatkan ada hubungan

(50)

c. Dukungan Sosial

Anyaike et al. (2013) dalam penelitiannya mendapatkan ada hubungan

signifikan antara dukungan teman dan keluarga dan kepatuhan pasien (p=0.042).

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Solarte & Barona (2008) yang

mendapatkan bahwa salah satu faktor yang berhubungan signifikan dengan

kepatuhan penderita TB adalah kurangnya dukungan keluarga.

d. Pasien tidak lagi merasa sakit

Ketika pasien tidak lagi merasa sakit, pasien selalu berpikir tidak mengapa

jika tidak melanjutkan konsumsi obat TB. Gejala TB dapat bertambah baik secara

dramatis selama fase awal pengobatan (8 minggu pertama) (CDC, 1999).

Anyaike et al. (2013) dalam penelitiannya mendapatkan ada hubungan

signifikan antara perasaan membaik dan tidak ingin melanjutkan terapi serta

merasa sakit dan depresi juga memiliki hubungan dengan kepatuhan (p=0.0001).

e. Kurangnya pengetahuan

Pasien terkadang tidak mengerti secara penuh mengenai regimen pengobatan,

atau alasan durasi pengobatan TB yang panjang. Kurangnya pengetahuan dapat

menyebabkan ketidakmampuan dan kurangnya motivasi untuk memenuhi

regimen (CDC, 1999).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Gopi et al. (2007) didapatkan faktor

yang berhubungan dengan ketidakpatuhan adalah tidak sekolah sebanyak 39%

yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mengenai pentingnya terapi

dibawah pengawasan. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bello &

(51)

kepatuhan pengobatan pasien. Lebih lanjut dengan menggunakan uji chi square

didapatkan bahwa edukasi berhubungan signifikan dengan kepatuhan (p=0,001).

Zhou, et al. (2012) dalam penelitiannya juga mendapatkan bahwa pasien yang

tidak patuh tidak mengetahui TB sebelum diagnosa (P=0.05) dan tidak mendapat

edukasi TB terkait kesehatan sebelum terapi (p=0.01). Lebih lanjut, dengan

menggunakan analisis multivariat dengan regresi logistik didapatkan edukasi

kesehatan terkait TB sebelum terapi adalah faktor yang berhubungan secara

signifikan dengan kepatuhan pasien.

f. Nilai personal dan budaya

Beberapa pasien memiliki kepercayaan personal dan budaya yang kuat

mengenai penyakit TB, bagaimana pengobatannya, dan siapa yang dapat dicari

untuk pertolongan. Ketika pengobatan TB bertentangan dengan keyakinan, pasien

menjadi takut, cemas, atau terasing dari orang yang memberikan pelayanan

kesehatan pada pasien, seperti dokter, asisten dokter dan perawat) (CDC, 1999).

g. Kurangnya keterampilan

Pasien-pasien khusus memiliki keterampilan yang kurang untuk mengikuti

instruksi dan patuh terhadap regimen yang diresepkan. Pasien lansia dengan

keterbatasan mobilitas, pasien dengan penyalahgunaan obat atau masalah

kesehatan mental, dan anak muda yang berisiko memiliki masalah untuk

(52)

h. Kurangnya akses pada pelayanan kesehatan

Kurangnya akses terhadap pelayanan kesehtan dapat menjadi hambatan yang

signifikan terhadap keberhasilan pemenuhan regimen TB. Usaha khusus harus

dibuat untuk menjangkau dan memberikan pelayanan bagi pasien yang tidak

memiliki alamat tetap dan alat transportasi. Pasien yang bekerja kemungkinan

memiliki jadwal kerja yang bertentangan dengan jam klinik (CDC, 1999).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Gopi et al. (2007) didapatkan faktor

yang berhubungan dengan ketidakpatuhan adalah kesulitan mengakses fasilitas

kesehatan sebanyak 57% karena kurangnya keuangan dan jarak dari tempat

tinggal pasien ke fasilitas kesehatan dan pusat DOT swasta (43%). Sejalan dengan

hasil penelitian yang dilakukan oleh Nezenega, Gacho & Tafere (2013) dengan

menggunakan analisis multivariat didapatkan area tempat tinggal, waktu bersama

tim kesehatan, kemudahan menjangkau, waktu tunggu, pelayanan profesional dam

semua kepuasan pasien berhubungan secara signifikan dengan kepatuhan terapi

TB ( p < 0,05).

i. Hubungan yang buruk dengan petugas kesehatan

Beberapa pasien memiliki hubungan yang buruk dengan petugas kesehatan.

Ketika pasien dan petugas kesehatan gagal untuk membangun hubungan saling

percaya, kurangnya hubungan dapat mempengaruhi kepatuhan pasien, Jika pasien

percaya atau merasa nyaman dengan perugas kesehatan, mereka lebih mengikut

intruksi dan nasehat dan mampu bekerja sama dengan petugas kesehatan (CDC,

(53)

j. Motivasi yang rendah

Pasien mungkin memiliki motivasi yang rendah untuk patuh terhadap

regimen TB. Jika pasien memiliki banyak prioritas yang bersaing dalam hidupnya

seperti penyalahgunaan obat, tuna wisma, penyakit lain (cth. HIV), konsumsi obat

TB mungkin tidak menjadi prioritas bagi pasien (CDC, 1999).

2.3.4. Kepatuhan Pasien Tuberkulosis Paru

Penelitian yang dilakukan oleh Gopi et.al (2007) didapatkan dari 1666

partisipan yang diwawancarai, 1108 (67%) patuh dan 558 (33%) tidak patuh. Hal

yang sama didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh Mkopi, et al (2012)

yang mendapatkan dari 645 pasien yang diuji, 617 pasien (95,7%; 90% CI

94,3%-96,9%) menunjukkan kepatuhan terhadap terapi TB. Dari 617 pasien yang patuh,

563 (91,2%) melengkapi terapi dengan lengkap, 19 (3,1%) meninggal, 6 (1,0 %)

dipindahkan dari tempat penelitian. Solarte & Barona (2008) juga mendapatkan

dari seluruh responden, kelengkapan terapi dicapai oleh 65,6 % pasien.

Bello & Itiola (2010) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa mayoritas

pasien (94,6%) patuh terhadap pengobatannya. Dengan uji regresi parsial

didapatkan ada pengaruh positif dari konseling terhadap kepatuhan pengobatan

pasien. Pada uji chi square didapatkan bahwa usia tidak memiliki hubungan yang

signifikan degan kepatuhan (p=0,844) dan edukasi berhubungan signifikan

dengan kepatuhan (p-0,001).

Penelitian yang dilakukan oleh Nezenega et al. (2013) didapatkan hanya 26%

dari responden memiliki kepatuhan yang buruk terhadap terapi mereka. Shargie &

Gambar

Tabel 2.1
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian Korelasi Konsep diri dengan Kepatuhan pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan
Tabel 3.2 Definisi operasional
Tabel 4.1
+6

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui implementasi program Jamkesmas di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam sebagai pemberi pelayanan kesehatan (PPK) pada peserta

“ Karakteristik Penderita TB Paru Kategori 2 Rawat Jalan di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Lubuk Alung, Sumatera Barat Tahun 2015- Juni 2016” ini beserta

HUBUNGAN TINGKAT STRES DENGAN MEKANISME KOPING PADA PASIEN TB PARU YANG SEDANG MENJALANI PENGOBATAN. Oleh : Ayu Kurnia

Dapat dijelaskan bahwa responden yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang TB Paru akan lebih mematuhi program pengobatan TB Paru, sedangkan yang

Tujuan: untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB Paru di Rumah Sakit Khusus Paru Provinsi Sumatera Selatan.. Metode: Penelitian

Penyebab penderita TB Paru tidak mengkonsumsi OAT yaitu lama pengobatan dan efek samping yang dirasakan ketika minum obat TB Paru, penderita TB paru sering

Kepatuhan pengobatan pasien TB di wilayah kerja Puskesmas Perak Timur sebagian besar pasien patuh dalam menjalani pengobatan dibandingkan dengan pasien yang tidak patuh..

supervisi kepala ruangan dengan kinerja perawat di Rumah Sakit Grand Medistra.. Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang dengan tingkat kekuatan