• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Score Bleachedguide, Nilai Kecerahan Dan Kekerasan Enamel Gigi Sebelum Dan Sesudah Perlakuan Bleaching Dengan Karbamid Peroksida 35%

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perubahan Score Bleachedguide, Nilai Kecerahan Dan Kekerasan Enamel Gigi Sebelum Dan Sesudah Perlakuan Bleaching Dengan Karbamid Peroksida 35%"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

SEBELUM DAN SESUDAH PERLAKUAN

BLEACHING DENGAN KARBAMID

PEROKSIDA 35%

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi

syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

ASHVINAA MORGAN

NIM: 110600186

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Tahun 2015

Ashvinaa Morgan

Perubahan Score Bleachedguide, Nilai Kecerahan Dan Kekerasan Enamel

Gigi Sebelum Dan Sesudah Perlakuan Bleaching Dengan Karbamid Peroksida 35%

xii + 82 halaman

Perawatan bleaching merupakan salah satu perawatan estetik untuk

memperbaiki gigi yang mengalami diskolorisasi. Bleaching dapat memutihkan gigi,

tetapi mempunyai efek negatif terhadap gigi seperti mengurangi nilai kekerasan

enamel akibat proses oksidasi bahan peroksida. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui perubahan score warna berdasarkan VITA Bleachedguide 3D-Master,

nilai kecerahan (L*), dan nilai kekerasan (HV) enamel gigi sebelum dan sesudah

perlakuan bleaching karbamid peroksida 35%. Jenis penelitian ini adalah

eksperimental murni dengan rancangan penelitian pre-post test design. Penelitian ini

dilakukan pada 20 spesimen premolar pertama maksila permanen yang telah

mengalami diskolorisasi dan dipotong dalam ukuran 5x5x4mm kemudian ditanam

dalam resin epoksi. Score warna spesimen gigi diukur dengan menggunakan VITA

Bleachedguide 3D-Master, nilai kecerahan (L*) dengan menggunakan

spektrofotometer warna, dan nilai kekerasan enamel gigi (HV) dengan alat penguji

kekerasan Vicker’s sebelum dan sesudah seluruh sesi perlakuan bleaching karbamid

peroksida 35% yaitu satu jam sehari selama tujuh hari berturut-turut. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa berdasarkan VITA Bleachedguide 3D-Master, terdapat

penurunan yang signifikan pada score warna sebanyak 1,60 ± 0,60 tingkat antara

sebelum dibanding sesudah bleaching pada p<0,05. Nilai kecerahan (L*) meningkat

secara signifikan sebanyak 2,38 ± 0,79 L* antara sebelum dibanding sesudah

(3)

penurunan pada nilai kekerasan gigi setelah dilakukan bleaching dengan karbamid

peroksida 35%.

Kata kunci: Bleaching, Score warna gigi, Nilai kecerahan gigi (L*), Nilai kekerasan

gigi (HV)

(4)

KECERAHAN DAN KEKERASAN ENAMEL GIGI

SEBELUM DAN SESUDAH PERLAKUAN

BLEACHING DENGAN KARBAMID

PEROKSIDA 35%

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi

syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

ASHVINAA MORGAN

NIM: 110600186

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(5)

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan

di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 20 Juni 2015

Pembimbing TandaTangan

1. Rehulina Ginting, drg., M.Si ……….

(6)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji

pada tanggal 25 Juni 2015

TIM PENGUJI

KETUA : Rehulina Ginting, drg., M.Si

ANGGOTA : 1. Yendriwati,drg.,M.Kes

(7)
(8)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu

syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran

Gigi Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Rehulina Ginting, drg., M.Si., selaku

Ketua Departemen Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera

Utara, juga selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan

masukan, bimbingan, arahan, saran dan waktu yang sangat berguna dalam

meningkatkan semangat dan motivasi penulis untuk penyelesaian skripsi ini.

Terisitimewa kepada kedua orang tua penulis tercinta yaitu M. Morgan dan CH

Leong serta adik-adik penulis yaitu Anushiya, Allaghendra, dan Ahvanea yang selalu

mendoakan, memberi dukungan moril, semangat maupun materil selama ini. Pada

kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Prof. Nazruddin, drg., Sp. Ort, Ph.D selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Sumatera Utara.

2. Seluruh staf pengajar Departemen Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi

USU, Yendriwati, drg., M.Kes, Lisna Unita R, drg., M.Kes, Minasari, drg., MM, Dr.

Ameta Primasari, drg., MDSc, M.Kes, Yumi Lindawati, drg., MDSc yang telah

memberikan saran, masukan dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Staf Departemen Biologi Oral, khususnya Ibu Ngaisah dan Kak Dani yang

telah membantu dalam hal administrasi penulis sehingga skripsi ini dapat

diselesaikan.

4. Hendry Rusdy, drg., Sp.BM selaku Dosen Pembimbing Akademis yang telah

memberi bimbingan dan motivasi kepada penulis selama menjalani pendidikan di

(9)

v

5. Fitri Yunita B, drg yang telah memberikan sumbangan ide dan bimbingan

selama penelitian ini.

6. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Gigi USU atas bimbingan yang

telah diberikan selama penulis menjalankan kuliah.

7. Encik Goh selaku teknisi di TUV SUD Sdn Bhd Malaysia yang telah

menolong dalam mendapatkan hasil nilai kecerahan dengan spektrofotometer warna.

8. Bapak Mas’ud selaku operator alat penguji kekerasan Vicker’s di UNIMED

yang telah membantu untuk mendapatkan hasil nilai kekerasan.

9. Bu Maya Fitria yang telah memberikan waktu dan bimbingan dalam

rancangan penelitian dan pengolahan data.

10. Sahabat-sahabat penulis yaitu Yoges, Nirosa, Rogini, Elisabeth, Bowo, Ayu,

Frischa, Agnes, Raeesa, Shinta, Steffi, Melissa, Cassie, Stanley, Widya, Kak

Michelle, Bang Yosua serta seluruh teman-teman seangkatan atas doa, dukungan dan

bantuannya selam pengerjaan skripsi.

Akhir kata, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk

kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran

yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu dan bermanfaat bagi masyarakat.

Akhirnya tiada lagi yang dapat penulis ucapkan selaian ucapan syukur sedalam

dalamnya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Medan,……….2015 Penulis,

(10)

vi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ...

HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

(11)

vii

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 41

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Score warna gigi sebelum dan sesudah perlakuan bleaching dengan karbamid peroksida 35% ... 62

(12)

viii

4.3 Nilai kekerasan gigi sebelum dan sesudah perlakuan bleaching

dengan karbamid peroksida 35% ... 66

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1 Sore warna berdasarkan shade guide sebelum dan sesudah

perlakuan bleaching dengan karbamid peroksida 35% ... 68 5.2 Nilai kecerahan (L*) sebelum dan sesudah perlakuan bleaching

dengan karbamid peroksida 35% ... 71 5.3 Nilai kekerasan (HV) sebelum dan sesudah perlakuan bleaching

dengan karbamid peroksida 35% ... 73

BAB 6 KESIMPULAN

6.1 Kesimpulan ... 76 6.2 Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77

(13)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Gambaran prisma enamel secara cross sectional ... 8

2 Gambaran gigi premolar satu maksila dari beberapa aspek ... 9

3 Variasi ketebalan enamel premolar dari bagian insisal ke servikal ... 11

4 Stein tembakau ... 15

5 Stein klorheksidin ... 16

6 Mekanisme bleaching hidrogen peroksida ... 25

7 VITAPAN Classical shade guide ... 29

8 VITA Bleachedguide 3D-Master ... 29

9 Spektrofotometer warna ... 30

10 Mekanisme kerja spektrofotometer warna ... 31

11 Aksis warna L*, a*, dan b* ... 32

12 Kolorimeter ... 33

13 Kamera digital dengan sofware analisa warna ... 34

14 Bentuk indeentasi alat kekerasan Knoop ... 35

15 Alat penguji kekerasan Vickers ... 36

16 Bentuk indentasi alat kekerasan Vickers ... 36

(14)

x

18 Pemotongan bagian mesial gigi pada mesiobukal developmental

groove ... 48

19 Pemotongan bagian distal sampel yang berlebihan ... 49

20 Pemotongan bagian servikal sampel yang berlebihan ... 50

21 Pemotongan bagian palatal gigi yang berlebihan ... 50

22 Spesimen gigi dengan ukuran 5x5x4mm ... 51

23 Spesimen yang telah ditanam dalam resin akrilik ... 52

24 Evaluasi warna gigi dengan VITA Bleachedguide 3D-Master ... 53

25 Nilai L* yang terpapar pada display screen spektrofotometer warna 53

26 Alat uji kekerasan Vicker’s ... 54

27 Tiga indentasi yang dibuat pada permukaan bukal spesimen ... 54

28 Pengaplikasian karbamid peroksida 35% sebanyak 0,1ml ... 55

29 Karbamid peroksida 35% diratakan dengan mikrobrush ... 56

30 Evaluasi warna gigi dengan VITA Bleachedguide 3D-Master ... 56

31 Pengukuran nilai kecerahan (L*) dengan spektrofotometer warna .... 57

32 Spesimen diberi beban 200g selama 15 detik ... 58

(15)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Distribusi frekuensi karakteristik umum sampel penelitian berdasarkan tingkat warna baseline, umur, dan jenis kelamin

sampel ... 61

2 Rata-rata penurunan score warna sampel antara sebelum dan sesudah

perlakuan bleaching dengan karbamid peroksida 35% ... 63

3 Nilai kecerahan (L*) gigi sebelum perlakuan bleaching berdasarkan

tingkat warna ... 64

4 Nilai kecerahan (L*) gigi sesudah perlakuan bleaching berdasarkan

tingkat warna ... 64

5 Rata-rata peningkatan nilai kecerahan (L*) sampel antara sebelum

dan sesudah perlakuan bleaching dengan karbamid peroksida 35% . 65

6 Rata-rata penurunan nilai kekerasan (HV) gigi antara sebelum dan

(16)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Skema alur pikir

2. Kuesioner penelitian

3. Lembar persetujuan subjek penelitian

4. Lembar penjelasan kepada calon subjek penelitian

5. Prosedur penelitian

6. Surat Persetujuan Komisi Etik Penelitian (Ethical Clearance)

7. Surat keterangan penelitian

8. Data hasil penelitian

(17)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penampilan gigi merupakan salah satu aspek yang penting dalam menentukan

keindahan senyum seseorang, selain memainkan peran kunci dalam interaksi sosial

manusia. Penampilan gigi yang tidak menarik dapat memengaruhi kualitas hidup dan

juga dari segi psikososial seseorang. Antara faktor-faktor yang memengaruhi

penampilan gigi secara keseluruhan adalah warna, bentuk, dan susunan gigi terutama

gigi anterior. Sebuah senyuman yang memperlihatkan gigi yang putih, bersih dan

sehat dapat meningkatkan percaya diri seseorang untuk berkomunikasi dengan orang

lain. Saat ini, persepsi masyarakat terhadap penampilan fisikal juga meliputi gigi

yang putih. Oleh karena itu, permintaan terhadap perawatan pemutihan gigi semakin

meningkat. Menurut Tin-Oo MM et al. (2011), sebanyak 56,2% dari 235 subjek yang

diteliti berasa tidak puas terhadap warna giginya.1 Penelitian Al-Zarea (2013)

mengemukakan bahwa sebanyak 65,9% dari 220 subjek yang diteliti merasakan tidak

puas terhadap warna giginya dan 80,9% subjek menginginkan perawatan untuk

memutihkan gigi.2

Biasanya, gigi permanen berwarna putih keabu-abuan atau putih kekuningan

yang dapat dipengaruhi oleh transluensi dan ketebalan enamel, serta ketebalan dan

warna dentin yang ada dibawahnya. Warna gigi dapat berubah akibat faktor intrinsik

atau ekstrinsik. Diskolorisasi intrinsik adalah perubahan warna gigi yang dapat terjadi

akibat perubahan struktur dentin dan enamel sewaktu odontogenesis atau difusi bahan

kromatogenik yang berasal dari dalam tubuh atau pulpa ke lapisan dentin dan enamel

pasca erupsi. Diskolorisasi ekstrinsik adalah perubahan warna gigi yang terjadi pada

permukaan enamel gigi akibat pigmen warna yang melekat pada pelikel sehingga

menghasilkan stain, atau dapat juga terjadi akibat interaksi kimia yang terjadi pada

(18)

menyirih untuk jangka waktu yang lama, dan konsumsi makanan atau minuman yang

mempunyai potensi pewarnaan yang tinggi seperti teh dan kopi.3

Berbagai perawatan untuk memperbaiki warna gigi telah dikembangkan untuk

memenuhi permintaan masyarakat terhadap gigi putih yang semakin meningkat.

Sejajar dengan perkembangan ilmu kedokteran gigi ke arah pendekatan invasif

minimal, prosedur bleaching merupakan perawatan yang sering dipilih oleh dokter

gigi karena merupakan prosedur estetik yang bersifat konservatif.4 Secara umumnya,

terdapat dua teknik bleaching yang sering dilakukan yaitu in-office atau power

bleaching, dan home bleaching. In-office bleaching biasanya dilakukan dengan

menggunakan bahan bleaching yang berkonsentrasi tinggi seperti hidrogen peroksida

35% - 38% atau karbamid peroksida 35% - 40%.5 Sementara home bleaching

dilakukan dengan bahan bleaching yang berkonsentrasi rendah seperti karbamid

peroksida 10%.6

Bahan dasar yang digunakan untuk perawatan bleaching adalah peroksida yang

merupakan oksidator yang kuat. Radikal bebas yang dihasilkan oleh hidrogen

peroksida saat terjadinya proses oksidasi akan memecahkan molekul pigmen

kromofor menjadi molekul yang kecil atau hidroksil. Molekul pigmen warna yang

tereduksi ini tidak mampu memantulkan cahaya yang banyak sehingga menghasilkan

efek pemutihan.7,8,9 Penilaian efek pemutihan pada gigi dapat dilakukan dengan

beberapa metode. Antaranya adalah shade guide, spektrofotometer, dan kamera

digital. Penelitian da Costa et al. (2012) dan Ontiveros et al. (2009) mengenai efektivitas bahan bleaching berkonsentrasi tinggi terhadap perubahan nilai kecerahan

gigi yang diukur dengan menggunakan spektrofotometer telah membuktikan bahwa

terdapat peningkatan yang signifikan pada nilai kecerahan sesudah perlakuan

bleaching. Namun, oleh karena adanya sifat oksidasi dari bahan bleaching, bahan ini

dapat menimbulkan berbagai efek samping.10,11

Efek samping yang sering dilaporkan adalah perubahan dan pelemahan struktur

enamel. Proses oksidasi bahan peroksida akan menyebabkan pelepasan ion-ion

kalsium dan fosfat. Apabila hidroksiapatit kehilangan ion-ion ini, molekul

(19)

enamel menjadi poreus denga pola honey-comb, dan akan mengurangi kekerasan

enamel.12 Menurut Joiner (2007), pengukuran kekerasan merupakan teknik yang

paling sering digunakan untuk mengevaluasi efek peroksida dan bahan bleaching lain

pada enamel dan dentin.13 Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk

mengevaluasi efek bleaching terhadap kekerasan enamel menemukan bahwa nilai

kekerasan enamel gigi mengalami penurunan ysng signifikan setelah pengaplikasian

bahan bleaching.12,14,15

Dari aspek klinis, dokter gigi seharusnya memilih bahan bleaching yang

menghasilkan nilai kecerahan gigi yang tinggi sementara mempunyai efek samping

terhadap jaringan keras gigi yang seminimal mungkin. Oleh itu, penelitian untuk

mengevaluasi hasil kecerahan gigi pelbagai jenis bahan bleaching dan efek

sampingnya pada enamel perlu dilakukan untuk memberi informasi kepada dokter

gigi dalam perihal pemilihan bahan bleaching yang paling baik untuk pasien.

Menurut penelitian Demarco FF et al. (2013) tentang pilihan bahan bleaching dalam

kalangan dokter gigi, bahan karbamid peroksida merupakan bahan yang paling sering

dipilih karena efek sampingnya lebih sedikit daripada bahan hidrogen peroksida.16

Delfino CS et al. (2009) telah melakukan penelitian untuk mengevaluasi efek

beberapa bahan home bleaching (karbamid peroksida 10%, karbamid peroksida 16%,

dan hidrogen peroksida 6.5%) terhadap kecerahan gigi dan kekerasan enamel.

Hasilnya, didapati bahwa karbamid peroksida 16% merupakan bahan yang paling

efektif dari segi peningkatan nilai kecerahan gigi (∆L*) yaitu sebanyak 11.75 dan perubahan kekerasan enamel ∆KHN sebanyak +6.58.6

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian

untuk mengevaluasi score warna, nilai kecerahan dan kekerasan enamel gigi sebelum

(20)

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang hendak diteliti adalah:

1. Berapakah penurunan score warna gigi berdasarkan VITA Bleachedguide

3D-Master antara sebelum dibanding sesudah bleaching dengan karbamid peroksida

35%?

2. Berapakah peningkatan nilai kecerahan gigi antara sebelum dibanding

sesudah bleaching dengan karbamid peroksida 35%?

3. Berapakah penurunan nilai kekerasan enamel gigi antara sebelum dibanding

sesudah bleaching dengan karbamid peroksida 35%?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui penurunan score warna gigi berdasarkan VITA

Bleachedguide 3D- antara sebelum dibanding sesudah bleaching dengan karbamid

peroksida 35%.

2. Untuk mengetahui peningkatan nilai kecerahan gigi antara sebelum dibanding

sesudah bleaching dengan karbamid peroksida 35%.

3. Untuk mengetahui nilai kecerahan gigi berdasarkan score warna sebelum dan

sesudah dilakukan bleaching dengan karbamid peroksida 35%.

4. Untuk mengetahui penurunan nilai kekerasan enamel gigi antara sebelum

dibanding sesudah bleaching dengan karbamid peroksida 35%.

1.4 Hipotesis

H0 : Tidak terdapat perubahan score warna berdasarkan VITA Bleachedguide

3D-Master, nilai kecerahan dan nilai kekerasan enamel gigi antara sebelum dibanding

sesudah bleaching dengan karbamid peroksida 35%.

: Terdapat perubahan score warna berdasarkan VITA Bleachedguide

3D-Master, nilai kecerahan dan nilai kekerasan enamel gigi antara sebelum dibanding

(21)

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat teoritis

1. Mengetahui penurunan score warna gigi berdasarkan VITA Bleachedguide

3D-Master antara sebelum dibanding sesudah bleaching dengan karbamid peroksida

35%.

2. Mengetahui peningkatan nilai kecerahan gigi antara sebelum dibanding

sesudah bleaching dengan karbamid peroksida 35%.

3. Mengetahui penurunan nilai kekerasan enamel gigi antara sebelum dibanding

sesudah bleaching dengan karbamid peroksida 35%.

1.5.2 Manfaat praktis

(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Enamel

Enamel gigi membentuk lapisan luar dari anatomi mahkota gigi. Enamel

berfungsi sebagai pelindung dentin gigi. Enamel yang matang adalah jaringan

terkalsifikasi yang paling keras dalam tubuh manusia, tetapi tidak mempunyai

pembuluh darah dan sistem saraf. Nilai kekerasan enamel biasanya sekitar 250-360

HV atau 270-350 KHN.15 Enamel merupakan struktur yang poreus dan bersifat

semi-permeabel sehingga memungkinkan ion dan beberapa jenis cairan, bakteri, dan

produk bakteri dalam rongga mulut berdifusi ke dalam enamel.17 Enamel tidak dapat

memperbaharui dirinya apabila menjadi nonvital, tetapi dapat mengalami perubahan

mineralisasi apabila mengalami kehilangan substansi enamel yang ringan. Ameloblast

adalah sel pembentuk enamel dan akan berdiferensiasi pada tahap aposisi enamel.

Ameloblast yang berada di bagian akar gigi tidak akan mengalami diferensiasi. Oleh

karena itu, enamel hanya terbentuk pada mahkota gigi dan tidak di akar.18

Enamel terdiri atas 96% materi anorganik yang termineralisasi (mineral), dan 4%

materi organik dan air.17,18,19 Materi anorganik yang membentuk enamel adalah kristal

submikroskopik yang tersusun erat antara satu sama lain yang dikenali sebagai

hidroksiapatit. Komponen yang termasuk materi organik pula adalah rod sheath dan

protein-protein enamel. Enamel mengandung dua jenis protein yaitu amelogenin dan

enamelin yang akan membantu dalam pembentukan kristal dengan mengikat kalsium

dengan komponen hidroksiapatit yang lain.19,20

2.1.1 Struktur enamel

Struktur utama enamel adalah prisma enamel, interprisma enamel, dan rod

sheath (Gambar 1). Struktur-struktur ini sangat kecil dan hanya dapat dilihat di

bawah mikroskop elektron. Selain itu, enamel juga terbentuk oleh

(23)

enamel tufts, dan enamel spindles. Struktur-struktur ini jelas kelihatan di bawah

mikroskop cahaya.17

Prisma enamel adalah unit sktruktural enamel dan dibentuk oleh sel pembentuk

ameloblast sehingga menyerupai bentuk keyhole. Prisma enamel memanjang dari

batas dentinoenamel ke permukaan luar enamel dan setiap satunya mempunyai

diameter sebesar 4 mikron. Namun setiap prisma enamel mempunyai ukuran panjang

yang berbeda karena berada di lokasi berbeda pada enamel. Batang prisma disusun

sedemikian sehingga saling mengunci untuk menahan gaya mastikasi dan mencegah

fraktur.17,18,18,20

Setiap batang prisma dipenuhi dengan kristal hidroksiapatit kalsium dengan

rumus kimia Ca10(PO4)6(OH)2. Namun apabila gigi berkontak dengan cairan yang

mempunyai pH asam, hidroksiapatit akan melarut dan melepaskan ion-ion Ca2+,

PO43- , dan OH- untuk menyeimbangkan konsentrasi ion di dalam enamel dan

lingkungannya. Komponen kisi-kisi kristal yang hilang dapat diganti dengan ion lain

seperti magnesium, natrium, fluoride, klorida, dan karbonat yang mempunyai ukuran

partikel yang hampir sama dengan ukuran ion yang hilang. Perubahan yang terjadi

pada struktur hidroksiapatit akan memengaruhi kekerasan, kerapuhan, serta

solubilitas enamel.18

Rod sheath adalah suatu lapisan tipis yang mengelilingi prisma. Ia merupakan

struktur organik yang tidak terkalsifikasi dan lebih resisten terhadap asam.

Kadang-kadang, materi organik ini juga dapat dijumpai di antara kristal-kristal hidroksiapatit.

Walaupun enamel merupakan struktur yang keras dan padat, pori-pori di antara

batang prisma enamel dan juga di antara kristal-kristal hidroksiapatit yang dihasilkan

oleh rod sheath menyebabkan enamel bersifat semi-permeabel sehingga ion dan

(24)

Gambar 1. Gambaran prisma enamel secara cross sectional 21

2.2 Morfologi gigi premolar satu maksila

Gigi premolar satu maksila mulai dibentuk sekitar usia 1½ hingga 1¾ tahun dan

erupsi sekitar usia 10 hingga 11 tahun, sementara pembentukan akar giginya selesai

pada usia 12 hingga 13 tahun. Gigi ini terletak di posterior gigi kaninus, yaitu

deretan keempat dari median line. Premolar satu maksila mempunyai dua tonjolan

yaitu tonjol bukal dan tonjol palatal, dimana tonjol bukal biasanya 1mm lebih

panjang dari tonjol palatal. Bentuk mahkota premolar satu maksila mirip dengan gigi

kaninus dari aspek bukal, tetapi gigi ini lebih pendek 1,5mm hingga 2mm daripada

gigi kaninus. Akar gigi premolar satu juga lebih pendek daripada kaninus sebanyak

3mm hingga 4mm. Umumnya gigi premolar satu maksila mempunyai dua akar dan

dua saluran akar. Pada gigi premolar satu dengan satu akar, saluran akarnya tetap dua.

Dari aspek bukal, mahkota gigi premolar satu maksila berbentuk trapesium dengan

(25)

berada di sebelah distal garis pembagi permukaan bukal mahkota gigi. Lebar

mesiodistal mahkota gigi pada bagian servikal lebih kecil dibanding ukuran

mesiodistal terbesar keseluruhan mahkota. Mahkota gigi premolar satu maksila lebih

menyempit ke arah palatal sehingga ukuran mesiodistal tonjol palatal lebih kecil

daripada tonjol bukal. Titik pertemuan lereng mesial dan distal tonjol palatal

membentuk sudut 90o. Apeks akar palatal pada premolar satu maksila yang berakar

dua cenderung lebih bulat daripada apeks akar bukal.22

Dari aspek mesial dan distal gigi ini, garis servikal di bagian distal kurang

melengkung dibandingkan garis di sebelah mesial. Pada gigi yang berakar dua, satu

akar bukal dan satu akar palatal jelas kelihatan. Sementara pada gigi yang berakar

satu, developmental depression sangat jelas di sepanjang akar, dan garis luar akar

bukal dan palatal berakhir di satu ujung apeks. Dari aspek oklusal pula, gigi premolar

satu maksila berbentuk heksagonal dengan enam sisi yaitu mesiobukal, mesial,

mesiopalatal, distopalatal, distal, dan distobukal. Namun keenam sisi ini tidak sama

panjangnya dimana sisi mesiobukal dan distobukal hampir sama panjang, sisi mesial

lebih pendek daripada sisi distal, dan sisi mesiopalatal lebih pendek daripada

distopalatal. Central developmental groove memisahkan bagian bukal dan palatal

pada permukaan oklusal. Tonjol palatal memiliki ujung yang lebih tajam

dibandingkan tonjol bukal.22

Bukal Palatal Oklusal Mesial Distal

(26)

2.3 Warna gigi

Enamel gigi biasanya berwarna putih keabuan hingga kekuningan. Sifat enamel

yang translusen menyebabkan cahaya dapat menembus enamel dan memantul dari

dentin yang berwarna kuning. Hal ini justru menyebabkan gigi kelihatan lebih

kekuningan. Gigi yang berwarna putih keabuan pula menandakan lapisan enamel

yang lebih opak. Translusensi enamel bergantung pada tingkat kalsifikasi dan

homogenitas materi anorganiknya. Selain itu, translusensi enamel juga dipengaruhi

oleh ketebalan lapisan enamel, dimana enamel yang lebih tipis akan lebih translusen

berbanding enamel yang tebal. Ketebalan enamel bervariasi di bagian mahkota yang

berbeda-beda (Gambar 3). Daerah insisal dan cusp mempunyai enamel yang paling

tebal yaitu 2-2.5mm. Hal ini menyebabkan daerah insisal dan cusp biasanya berwarna

putih keabuan dengan sedikit kebiruan, sementara pada daerah servikal gigi biasanya

berwarna lebih kuning karena lapisan enamel lebih tipis di daerah tersebut 17,19,21

Warna gigi juga ditentukan berdasarkan sifat optiknya yaitu pantulan cahaya dari

gigi yang dapat dilihat dengan mata. Umumnya, terdapat tiga faktor yang

memengaruhi penentuan warna gigi. Faktor pertama adalah sumber cahaya, faktor

kedua adalah sifat penyerapan, pantulan, transmisi dan hamburan cahaya oleh gigi,

(27)

Gambar 3. Variasi ketebalan enamel premolar dari bagian insisal ke servikal 19

2.3.1 Diskolorisasi gigi

Diskolorisasi gigi adalah perubahan yang terjadi pada warna gigi. Secara umum,

diskolorisasi gigi diklasifikasikan menjadi dua kelompok berdasarkan faktor

etiologinya, yaitu diskolorisasi intrinsik dan diskolorisasi ekstrinsik.9,24

2.3.1.1 Diskolorisasi intrinsik

Diskolorisasi intrinsik adalah pewarnaan endogen yang terjadi di bagian dalam

struktur gigi sehingga sulit dirawat secara eksternal. Perubahan warna gigi secara

instrinsik dapat terjadi akibat perubahan struktur dentin dan enamel sewaktu

odontogenesis atau difusi bahan kromatogenik yang berasal dari dalam tubuh atau

pulpa ke lapisan dentin dan enamel pasca erupsi. Antara faktor penyebab

diskolorisasi intrinsik adalah: 9

a) Penyakit sistemik

Beberapa penyakit sistemik dapat memengaruhi perkembangan enamel dan

(28)

Erythropoietin porphyria kongenital merupakan gangguan metabolism porfirin yang mengakibatkan diskolorisasi enamel yang berwarna coklat

kemerahan.24,25

Erythroblastosis fetalis merupakan salah satu kelainan darah neonatal akibat dari inkompatibilitas faktor rhesus yang menyebabkan warna gigi menjadi

warna hijau kebiruan, kuning coklat, atau abu-abu. 9

Alkaptonuria adalah gangguan metabolisme kongenital pada tyrosine dan phenylanine sehingga terjadi penumpukan asam homogenistik dalam sel dan

cairan tubuh. Kondisi ini akan menyebabkan gigi kelihatan berwarna coklat

kehitaman.9

b) Gangguan pembentukan struktur gigi

Kelainan pada pembentukan jaringan enamel dan dentin dapat memengaruhi

warna gigi.

Amelogenesis imperfecta merupakan suatu kondisi herediter yang menyebabkan perubahan struktur enamel sewaktu fase sekretori atau maturasi

enamel yang diakibatkan oleh mutasi gen AMEL X. Pasien yang menderita

kelainan ini biasanya memiliki gigi-geligi yang berwarna kuning kecoklatan.26  Dentinogenesis imperfecta adalah suatu kelainan genetik yang mengganggu

pembentukan kolagen tipe I sehingga menyebabkan kalsifikasi dentin tidak

sempurna. Gigi pada penderita dentinogenesis imperfecta biasanya berwarna

biru keabuan sampai kuning coklat dan kelihatan translusen.26

c) Tetrasiklin

Watts et al. (2001) menyatakan bahwa tetrasiklin dapat melewati plasenta

sehingga dapat menyebabkan deposisi tetrasiklin dalam tulang dan jaringan keras gigi

pada janin. Molekul tetrasiklin akan terikat dengan kalsium dalam kristal

hidroksiapatit sehingga membentuk kompleks tetrasiklin orthophosphate yang

menyebabkan diskolorisasi gigi. Pigemen tetrasiklin biasanya lebih banyak

dideposisikan pada incremental line dentin. Gigi yang mengalami pewarnaan akibat

(29)

diskolorisasi gigi tergantung jenis tetrasiklin, dosis dan jangka waktu penggunaan

tetrasiklin.25,26

d) Fluorosis

Fluorosis adalah pewarnaan gigi yang disebabkan oleh konsumsi fluor yang

berlebihan. Pada kasus fluorosis yang ringan, bercak-bercak putih dapat dilihat pada

permukaan gigi. Konsumsi fluor yang berkonsentrasi tinggi (melebihi 6ppm) pula

dapat menyebabkan diskolorisasi gigi berwarna kuning coklat hingga coklat

kehitaman.26

e) Penuaan

Dengan bertambahnya umur, gigi akan mengalami perubahan fisiologis berupa

penipisan lapisan enamel akibat erosi, abrasi dan atrisi gigi secara fisiologis, deposisi

dentin sklerotik dan pembentukan dentin sekunder atau tersier serta pulp stones juga

dapat menyebabkan gigi kelihatan lebih gelap. 26,27

f) Trauma

Cedera pada gigi dapat menyebabkan perubahan degeneratif pada pulpa atau

terjadinya pendarahan dalam pulpa. Biasanya gigi yang mengalami trauma akan

berubah menjadi warna pink dan warna hitam apabila gigi telah nekrosis.24,25

g) Bahan restorasi dan bahan pengisi saluran akar

 Amalgam

Bahan tumpatan amalgam apabila berkontak dengan dinding kavitas untuk

jangka waktu yang lama, lambat laun akan terjadi perubahan warna gigi

menjadi abu-abu gelap.9,24

 Bahan-bahan pengisi saluran akar yang mengandung senyawa iodin, perak

nitrat, atau garam logam, seperti iodoform, gutta percha, dan silver cone dapat

menyebabkan diskolorisasi berwarna abu-abu dalam jangka waktu yang

lama.3,28

 Bahan medikamen endodontik

Bahan medikamen seperti pasta Ledermix dapat menyebabkan terjadinya

diskolorisasi gigi berwarna kekuningan sekiranya ditinggalkan dalam gigi

(30)

h) Iatrogenik

Diskolorisasi dapat terjadi pada kasus endodontik dimana saluran akar tidak

diirigasi dengan baik sebelum penutupan saluran akar atau preparasi kavitas akses

yang tidak adekuat sehingga jaringan pulpa koronal tidak disingkirkan secara

menyeluruh. Darah dan sisa jaringan nekrotik yang tertinggal dalam kamar pulpa

dapat menyebabkan diskolorisasi coklat atau hitam. 28

2.3.1.2 Diskolorisasi ekstrinsik

Diskolorisasi ekstrinsik adalah perubahan warna gigi yang terjadi pada

permukaan enamel gigi. Diskolorisasi ekstrinsik dapat terjadi akibat pigmen warna

yang melekat pada pelikel sehingga menghasilkan stain, atau dapat juga terjadi akibat

interaksi kimia yang terjadi pada permukaan gigi. Seringkali stain ekstrinsik ini dapat

dieliminasi dengan pembersihan permukaan gigi secara mekanis. Faktor-faktor

ekstrinsik yang mengakibatkan diskolorisasi gigi adalah: 9,24

a) Diet

Makanan dan minuman yang mempunyai potensi pewarnaan yang tinggi seperti

teh, kopi, wain, dan sirup yang mengandung senyawa polyphenolic atau makanan

yang mengandung karotin seperti wortel dapat menyebabkan terjadinya stain

ekstrinsik.27 Pigmen warna atau chromophores yang berasal dari sumber luar

berdifusi ke dalam jaringan keras gigi melalui pori-pori kecil di antara struktur kristal

enamel. Apabila pigmen warna menumpuk di dalam jaringan keras gigi untuk jangka

waktu yang lama tanpa pembersihan, gigi akan mengalami diskolorisasi. Perubahan

warna gigi akibat diet bervariasi dan tergantung jenis pigmen warna dari minuman

atau makanan yang dikonsumsi.29

b) Merokok

Merokok dapat menyebabkan diskolorisasi gigi karena rokok mengandung

tembakau. Sewaktu merokok, senyawa nikotin dan tar akan melekat pada permukaan

gigi. Nikotin apabila terpapar oksigen akan berubah warna menjadi kuning,

(31)

senyawa ini untuk jangka waktu yang lama akan mengakibatkan gigi berwarna coklat

muda sampai hitam seperti di gambar 4.

Gambar 4. Stain tembakau29

c) Klorheksidin

Klorheksidin merupakan salah satu antiseptik yang sering digunakan sebagai

obat kumur karena ia memiliki sifat antibakteri yang baik. Penggunaan obat kumur

klorheksidin untuk jangka waktu yang lama dapat menyebabkan diskolorisasi gigi.

Mekanisme penyebab diskolorisasi oleh klorheksidin belum diketahui dengan pasti,

namun terdapat tiga teori yang mungkin dapat menjelaskan mekanisme staning

klorheksidin. Teori yang pertama adalah reaksi Maillard (non-enzymatic browning

reaction) di mana senyawa amine dan karbohidrat pada pelikel mengalami beberapa

reaksi kondensasi dan polimerisasi sehingga menghasilkan pigmen warna yang

mewarnai pelikel. Teori kedua adalah pembentukan sulfide besi dan timah. Teori ini

menyatakan bahwa klorheksidin menguraikan pelikel untuk melepaskan radikal

sulfur, dan radikal yang bebas ini akan bereaksi dengan ion metal untuk membentuk

metal sulphide yang berpigmen abu-abu. Teori presipitasi kromogen dari diet oleh

klorheksidin pula menyatakan bahwa staning kemungkinan disebabkan oleh

presipitasi anion kromogen yang berasal dari diet seperti polyphenol pada kation

(32)

Biasanya stain yang dihasilkan oleh reaksi kimia klorheksidin adalah kuning

kecoklatan seperti di gambar 5.

Gambar 5. Stain klorheksidin29

2.4 Perawatan diskolorisasi gigi

Masalah diskolorisasi gigi dapat diatasi dengan pelbagai cara. Pemilihan

perawatan untuk mengatasi masalah diskolorisasi gigi harus sesuai dengan faktor

penyebabnya supaya dapat mencapai hasil pemutihan gigi yang optimal.

2.4.1 Penyikatan gigi

Metode penyikatan gigi adalah teknik yang telah digunakan sejak zaman dahulu

untuk membersihkan gigi dengan menyingkirkan debris dan stain eksternal pada

permukaan gigi. Penyikatan gigi yang efektif untuk mencegah terbentuknya stain

pada gigi adalah dua kali sehari. Penyikatan gigi sering disertai dengan penggunaan

pasta gigi untuk membantu dalam penyingkiran stain dengan lebih efektif. Pasta gigi

secara umum mengandung beberapa bahan yang dapat membantu dalam

penyingkiran debris dan stain. Antaranya adalah bahan abrasif, bahan peroksida, dan

(33)

2.4.2 Professional tooth cleaning

Professional tooth cleaning adalah prosedur pembersihan gigi yang dilakukan

oleh dokter gigi di praktek. Antara prosedur yang dapat dilakukan adalah polishing

selektif dengan menggunakan bahan abrasif seperti pumice dan rubber cup.

Profilaksis rubber cup dengan pasta pumice dapat menyingkirkan stain pada

permukaan gigi dan juga pelikel yang mengandung kromogen yang melekat pada

gigi. Selain itu, scalling ultrasonik juga dapat dilakukan untuk menyingkirkan

kalkulus dan debris pada permukaan gigi yang menyebabkan diskolorisasi gigi. Alat

skeling ultrasonik menghasilkan getaran berfrekuensi tinggi yaitu 25,000-42,000 Hz.

Getaran ini dapat mengeliminasi kalkulus dan debris dari permukaan enamel dengan

lebih efektif.29

2.4.3 Mikroabrasi

Mikroabrasi adalah suatu prosedur di mana selapis tipis enamel kira-kira 0.1mm

disingkirkan dengan teknik erosi dan abrasi secara simultan. Biasanya permukaan

enamel dietsa dengan asam fosfat 35% atau asam hidroklorik 18% dan dipolis dengan

pumice dan air sehingga berkilat. Teknik ini hanya diindikasikan untuk kasus

diskolorisasi pada enamel superfisial atau diskolorisasi intrinsik akibat

hipomineralisasi dan hipermineralisasi enamel. Diskolorisasi yang parah atau

diskolorisasi pada lapisan dalam enamel dan dentin merupakan kontraindikasi teknik

ini.9,32

2.4.4 Vinir porselen

Vinir porselen merupakan salah satu perawatan diskolorisasi gigi yang

diindikasikan untuk kasus diskolorisasi yang lebih parah dan tidak dapat dirawat

dengan pembersihan profilaksis atau teknik mikroabrasi. Sebelum pemasangan vinir

porselen, gigi seharusnya dipreparasi terlebih dahulu untuk membuang lapisan luar

enamel sedalam 0,3-0,5mm secara merata. Basis preparasi harus pada bagian enamel

(34)

disemenkan pada gigi yang dipreparasi dengan hati-hati. Warna porselen yang

digunakan harus berwarna opak, dan dalam lapisan setipis mungkin tetapi masih

dapat menutupi daerah yang bermasalah.33

2.4.5 Bleaching

International Organization for Standardization (ISO) mendefinisikan bleaching

sebagai proses yang dapat menghilangkan diskolorisasi gigi secara intrinsik atau

ekstrinsik melalui penggunaan bahan kimia, dan kadang-kadang dikombinasikan

dengan sarana tambahan seperti sinar LED dan pemanasan.7 Menurut survei yang

dilakukan oleh Akarslan et al. (2009), bleaching merupakan perawatan untuk

memperbaiki estetik gigi yang paling diinginkan oleh masyarakat (49%) dibanding

metode restorasi estetik yang lain.34 Hal ini mungkin disebabkan oleh pemahaman

mereka bahwa bleaching merupakan suatu prosedur untuk merestorasi estetik gigi

yang tidak rumit dan tidak sakit.35 Perawatan bleaching terbagi menjadi dua, yaitu

bleaching vital dan non-vital. Bleaching vital (bleaching eksternal) merupakan

prosedur pemutihan gigi yang dilakukan pada gigi yang masih vital pada permukaan

gigi, manakala bleaching non-vital (bleaching internal) dilakukan secara intrakoronal

pada gigi yang non-vital dalam kamar pulpa.

2.4.5.1 Bleaching vital

Bleaching vital adalah perawatan pemutihan gigi yang bersifat konservatif.

Bleaching ini dilakukan secara eksternal yaitu dilakukan pada permukaan gigi. Secara

umum, terdapat dua teknik dalam melakukan pemutihan gigi secara vital. Salah

satunya adalah pemutihan gigi yang dilakukan dokter gigi di praktek atau disebut

in-office bleaching, dan yang kedua adalah home bleaching yaitu perawatan pemutihan

gigi yang dilakukan oleh pasien sendiri di rumah tanpa atau dibawah pengawasan

(35)

a) In-office bleaching

In-office bleaching sering disebut sebagai “one-hour bleaching” dan biasanya

dilakukan dengan menggunakan bahan pemutih gigi yang berkonsentrasi tinggi

seperti hidrogen peroksida 35%-38% atau karbamid peroksida 35%-40% yang

dilakukan oleh dokter gigi untuk jangka waktu yang pendek.36 Biasanya in-office

bleaching memerlukan penyinaran atau pemanasan dengan alat-alat khusus seperti

tungsten halogen curing light, xenon plasma arc light, argon and CO2 laser, dan

diode laser light untuk mendapatkan efek pemutihan yang lebih cepat. Indikasi untuk

in-office bleaching adalah stain permukaan gigi yang ringan atau sedang.

Diskolorisasi yang berat seperti stain tetrasiklin, sensitivitas terhadap bahan

peroksida, karies atau restorasi yang meluas merupakan kontraindikasi perawatan

ini.9

Pemutihan gigi secara in-office adalah perawatan yang paling sesuai untuk pasien

sibuk yang tidak mempunyai waktu untuk mengaplikasikan strip atau bleaching tray

setiap hari. Selain itu, teknik pemutihan gigi ini juga tidak memerlukan waktu yang

banyak dan dapat mendapatkan hasil yang memuaskan setelah dua kali kunjungan ke

dokter gigi. Namun, disebabkan oleh penggunaan bahan peroksida yang

berkonsentrasi tinggi dalam perawatan ini, beberapa efek samping harus diperhatikan

setelah melakukan bleaching. Antara efek samping yang paling sering dilaporkan

adalah iritasi mukosa atau gingiva dan sensitivitas gigi. Oleh itu, penggunaan rubber

dam dan bahan pelindung mukosa seperti vaselin atau pelembab bibir diperlukan

selama prosedur bleaching.36

b) Home bleaching

Home bleaching merupakan teknik pemutihan gigi yang lebih sering dipilih oleh

dokter gigi karena teknik ini menggunakan bahan peroksida yang berkonsentrasi

rendah.16 Home bleaching dapat dilakukan oleh pasien sendiri di rumah dengan atau

tanpa pengawasan dokter gigi. Perawatan home bleaching yang dilakukan dibawah

pengawasan dokter gigi dikenali sebagai nightguard vital bleaching yaitu dengan

menggunanakan tray yang berisi bahan pemutih yang diadministrasi oleh dokter gigi

(36)

digunakan dalam teknik ini adalah tray bening dan tipis yang dibuat khusus untuk

setiap pasien dengan bahan ethyl vinyl acetate atau sering juga dikenali sebagai

plastik fleksibel. Bahan bleaching yang digunakan untuk nightguard adalah 10%

-22% karbamid peroksida atau hidrogen peroksida 1-10%.4,9

Home bleaching yang dilakukan tanpa pegawasan dokter gigi pula berupa

penggunaan produk over-the-counter (OTC) seperti pasta gigi, obat kumur, strip, dan

permen karet yang dapat dibeli di pasaran tanpa resep dokter gigi.36 Teknik home

bleaching diindikasikan untuk kasus diskolorisasi tetrasiklin atau fluorosis yang

ringan, stain dari rokok atau tembakau, dan diskolorisasi yang disebabkan oleh

penuaan. Gigi dengan garis fraktur atau retak yang dalam, diskolorisasi berat,

sensitivitas terhadap bahan bleaching, restorasi gigi yang luas, ibu hamil, atau pasien

yang tidak kooperatif merupakan kontraindikasi untuk melakukan home bleaching.9

2.4.5.2 Bleaching nonvital

Bleaching nonvital merupakan teknik pemutihan gigi yang diindikasikan untuk

merawat diskolorisasi gigi yang parah seperti stain tetrasiklin atau diskolorisasi pada

gigi yang telah mengalami degenerasi pulpa. Cara bleaching ini dilakukan secara

internal, yaitu bahan bleaching diaplikasikan di kamar pulpa gigi untuk memutihkan

gigi yang mengalami diskolorisasi internal. Bleaching nonvital mempunyai tingkat

keberhasilan yang tinggi dalam usaha mengembalikan warna gigi yang telah

mengalami diskolorisasi. Beberapa teknik bleaching nonvital yang sering digunakan

adalah walking bleach, thermocatalytic bleaching, dan inside/outside bleaching.9,38,39

a) Walking bleach

Teknik ini pertama kali digunakan oleh Spasser pada tahun 1961. Beliau

menggunakan campuran sodium perborat dan air sebagai bahan pemutih untuk teknik

ini. Teknik ini kemudian dimodifikasi oleh Nutting dan Poe (cit. Plotino et al., 2008)

dengan memasukkan campuran sodium perborat dan 30% hidrogen peroksida ke

dalam kamar pulpa selama 1 minggu. Teknik ini diindikasikan untuk kasus

diskolorisasi yang berasal dari kamar pulpa, pewarnaan akibat tetrasiklin yang sedang

(37)

Campuran sodium perborat dan air dengan perbandingan 2:1 merupakan bahan

bleaching yang cukup bagus. Namun pada kasus diskolorisasi yang berat, sodium

perobrat dapat dicampur dengan hidrogen peroksida 30%. Setelah pengaplikasian

bahan bleaching, kavitas tersebut ditumpat dengan bahan tumpatan sementara untuk

mengelakkan leakage bahan bleaching dan juga untuk memastikan perawatan ini

berhasil. Setelah 3 hingga 7 hari, warna gigi dievaluasi kembali. Sekiranya pasien

masih tidak puas terhadap warna giginya, prosedur ini dapat diulang sehingga

mencapai hasil yang memuaskan. Sesudah itu, kavitas ditumpat dengan komposit

secara permanen.9,38,39

b) Thermocatalytic bleaching

Thermocatalytic bleaching adalah suatu teknik pemutihan gigi dimana 30%-35%

hidrogen peroksida diaplikasikan ke dalam kamar pulpa kemudian diaktivasi dengan

sinar atau pemanasan. Teknik ini merupakan teknik bleaching yang paling efektif

karena pemanasan secara langsung maupun dari penyinaran akan meningkatkan suhu

intrapulpa sehingga memudahkan penetrasi peroksida ke dalam jaringan gigi. Suhu

yang sering digunakan untuk teknik ini adalah sekitar 50 hingga 60 oC selama 5 menit

atau dengan sinar polimerisasi halogen konvensional selama 5 menit. Setelah selesai

pemanasan, bahan bleaching biasanya ditinggalkan dalam kamar pulpa untuk

sementara waktu sampai kunjungan berikutnya supaya mendapat efek pemutihan

yang lebih bagus.32,38,39,40

c) Inside/outside bleaching

Teknik ini merupakan kombinasi bleaching internal secara nonvital dengan

teknik home-bleaching supaya proses bleaching lebih efektif. Teknik kombinasi ini

efektif dalam perawatan diskolorisasi yang berat. Keuntungan dari perawatan ini

adalah waktu perawatan yang lebih singkat berbanding teknik bleaching nonvital

yang lain, dan teknik ini menggunakan karbamid peroksida yang berkonsentrasi

rendah, biasanya 10% sehingga dapat megurangi risiko resorpsi eksternal. Teknik ini

tidak sesuai digunakan pada pasien yang tidak kooperatif karena teknik ini

memerlukan pasien sendiri untuk mengaplikasikan bahan bleaching setiap hari di

(38)

2.4.5.3 Bahan bleaching

Bahan yang digunakan untuk perawatan bleaching umunya mengandung

peroksida dan merupakan zat pengoksidasi. Antara bahan peroksida yang sering

digunakan dalam perawatan bleaching adalah hidrogen peroksida dan karbamid

peroksida.

a) Hidrogen peroksida

Hidrogen peroksida (H2O2) adalah suatu cairan yang bening, tidak berwarna, dan

tidak berbau. Penggunaan hidrogen peroksida dalam perawatan bleaching telah

dimulai sejak lebih dari satu abad yang lalu, tetapi hanya menjadi popular sejak

pengenalan home bleaching oleh Haywood dan Heymann pada tahun 1989. (cit. Li y

dan Greenwall L, 2013).7 Ia merupakan suatu bahan oksidasi yang kuat dan bersifat

asam dengan pH sekitar 5.0-6.0. Hidrogen peroksida yang berkonsentrasi tinggi

bersifat kaustik dan sangat mengiritasi jaringan sehingga pemakaiannya harus

hati-hati. Apabila diaplikasikan di rongga mulut, pemakaian rubber dam diperlukan untuk

melindingi gingiva dan mukosa mulut daripada iritasi. Bahan ini tidak stabil sehingga

pelepasan oksigennya cepat apabila terjebak udara. Oleh itu, ia harus disimpan di

tempat yang teduh dan dingin untuk mengelakkan peledakan.32

Hidrogen peroksida tersedia dalam konsentrasi dan sediaan yang berbeda-beda.

Hidrogen peroksida dengan konsentrasi 30%-35% disebut juga sebagai superoksol

atau perhidrol, biasanya digunakan untuk perawatan bleaching in-office dan didapat

dalam bentuk sediaan gel. Hidrogen peroksida yang digunakan untuk home bleaching

pula mengandung 3%-9% H2O2 dan terdapat dalam bentuk sediaan obat kumur, pasta

gigi, atau strip pemutih. Hidrogen peroksida mampu memberi efek pemutihan gigi

dengan segera karena merupakan bahan oksidator yang kuat dan mengandung bahan

aktif yang konsentrasi tinggi. Namun begitu, kelemahan bahan hidrogen peroksida

adalah memiliki efek negatif terhadap gigi seperti penurunan kekerasan enamel,

perubahan morfologi enamel, hipersensitivitas gigi, toksisitas apabila tertelan, serta

iritasi jaringan mukosa. 4,7,32

Baru-baru ini, beberapa pabrik telah memperkenalkan bahan bleaching yang

(39)

bahwa sinaran cahaya menghasilkan haba yang dapat meningkatkan suhu intrapulpa

sehingga bahan peroksida dapat berpenetrasi ke dalam jaringan keras gigi dengan

lebih cepat dan efektif. Araujo et al. (2010) mengemukakan bahwa sinar halogen dan

LED biru dapat meningkatkan kecerahan gigi.40 Namun hasil ini tidak sama dengan

penelitian Roberto et al. (2011) yang tidak menemukan perbedan yang signifikan

dalam tingkat kecerahan gigi antara kelompok yang tidak menggunakan aktivasi sinar

dan kelompok yang menggunakan aktivasi sinar.41

b) Karbamid peroksida

Karbamid peroksida (CH6N2O3) atau dikenal juga sebagai urea hidrogen

peroksida, biasanya didapati dalam konsentrasi yang bervariasi antara 3% hingga

45%. Karbamid peroksida dengan konsentrasi 10% merupakan bahan bleaching yang

paling sering digunakan untuk perawatan home bleaching dan merupakan bahan

bleaching yang paling aman dan efektif menurut American Dental Association

(ADA). Karbamid peroksida sering digunakan dalam perawatan pemutihan gigi

karena bahan ini mempunyai efektivitas dalam peningkatan kecerahan gigi serta lebih

aman dibanding dengan hidrogen peroksida.4,6

Biasanya karbamid peroksida 35% akan terurai menjadi 23% urea (CH4N2O)

sebagai stabilisator dan 12% hidrogen peroksida (H2O2) sebagai bahan aktif dalam

proses bleaching apabila berkontak dengan saliva atau air.31,32 Efek pemutihan

hidrogen peroksida 35% lebih cepat dibanding karbamid peroksida karena merupakan

bahan oksidator yang kuat, sementara karbamid peroksida 35% hanya mengandung

bahan aktif hidrogen peroksida sebanyak 12% yang akan berdifusi ke dalam jaringan

gigi secara perlahan-lahan. Umumnya, efek pemutihan hidrogen peroksida hampir

sama apabila dibanding dengan karbamid peroksida yang mengandung persentase

hidrogen peroksida yang sama. Contohnya, pada penelitian Nathoo et al. (cit Joiner A,

2006) aplikasi 25% karbamid peroksida atau 8,7% hidrogen peroksida sekali sehari

menghasilkan efek pemutihan yang hampir sama37

Seperti hidrogen peroksida, perawatan bleaching dengan karbamid peroksida

juga dapat menyebabkan efek negatif terhadap gigi dan jaringan sekitarnya seperti

(40)

hipersensitivitas gigi, dan iritasi gingiva. Namun, disebabkan konsentrasi hidrogen

peroksida yang dihasilkan oleh karbamid peroksida lebih rendah, serta adanya urea

sebagai penetralisir pH bahan peroksida, efek negatif yang dihasilkan lebih rendah

sehingga lebih aman digunakan untuk perawatan bleaching dibanding hidrogen

peroksida. Penelitian Pinto et al. (2004) mendapati bahwa sampel gigi yang diaplikasi

hidrogen peroksida mengalami penurunan kekerasan dan perubahan struktur enamel

yang paling tinggi dibanding kelompok kontrol dan karbamid peroksida.14 Sebuah

penelitian studi klinikal yang dilakukan selama 6 bulan mengemukakan bahwa

penggunaan gel bleching karbamid peroksida 10% setiap hari tidak memengaruhi

morfologi permukaan enamel.7 Sementara penelitian Araujo et al. (cit. Joiner, 2007)

mendapati bahwa penggunaan gel karbamid peroksida 10% untuk 1 jam atau 7 jam

selama 21 hari tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap nilai kekerasan

enamel.12

2.3.5.4 Mekanisme bleaching

Mekanisme reaksi pemutihan gigi belum diketahui secara pasti, namun diduga

bahwa efek pemutihan daripada bahan peroksida merupakan hasil kerja radikal bebas

yang dilepaskan sewaktu proses oksidasi. Radikal bebas adalah atom atau molekul

yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya dan harus

berpasangan dengan elektron tunggal lain untuk menjadi molekul yang stabil. Apabila

hidrogen peroksida berdifusi ke dalam jaringan keras gigi, akan terjadi penguraian

menjadi air (H2O), oksigen (O2) dan juga radikal bebas.42

Rumus-rumus di atas adalah mekanisme bahan bleaching hidrogen peroksida.

(41)

radikal bebas seperti hidroksil, radikal perhidroksil, dan anion superoksid. Rumus (b)

pula menggambarkan proses penguraian hidrogen peroksida menjadi komponen yang

paling dasar yaitu air dan oksigan. Rumus (c) adalah mekanisme transformasi

hidrogen peroksida menjadi anion hidrogen peroksida.42

Seperti yang dijelaskan di gambar 6, radikal bebas yang tidak stabil akan

memecahkan molekul kromofor yang kompleks menjadi fragmen kecil. Molekul

kromofor yang tereduksi tidak mampu memantulkan cahaya yang banyak, sehingga

menyebabkan gigi kelihatan lebih cerah dan warna gigi menjadi lebih putih. Hal ini

akan menyebabkan terhasilnya efek pemutihan pada gigi. Efek pemutihan ini

biasanya dibuktikan dengan terjadinya penurunan score warna pada shade guide dan

nilai kecerahan (L*). Reaksi hidrogen peroksida bervariasi tergantung kondisi fisik

dan lingkungannya seperti jenis bahan bleaching, konsentrasi dan lamanya aplikasi

bleaching, keparahan diskolorisasi gigi, dan penggunaan katalis tambahan seperti

sinar LED.7,8,9,27,37

Gambar 6. Mekanisme bleaching hidrogen peroksida42 Diskolorisasi gigi

akibat masuknya

kromofor ke dalam

(42)

2.5 Pengaruh bleaching terhadap gigi

Umumnya, setiap perawatan gigi yang dilakukan pasti ada efeknya terhadap

jaringan gigi dan sekitarnya, begitu juga dengan perawatan bleaching. Pelbagai kajian

telah dilakukan untuk meneliti efek negatif bleaching terhadap enamel gigi. Hal ini

disebabkan oleh sifat bahan bleaching sebagai oksidator kuat, sehingga menimbulkan

kontroversi dalam perawatan bleaching.

Efek negatif yang paling sering berlaku akibat bleaching adalah kehilangan

mineral, perubahan morfologi permukaan enamel, dan perubahan kekerasan enamel

gigi.

a) Pelepasan ion kalsium dan fosfor

Enamel terdiri dari sebagian besar materi anorganik atau mineral. Dalam kondisi

lingungan yang asam, enamel gigi akan mengalami demineralisasi sehingga

menyebabkan kehilangan komponen di enamel seperti ion kalsium dan fosfat.

Demineralisasi enamel gigi akan berlaku apabila pH lingkungan lebih sedikit

daripada 5.5, sementara kebanyakan bahan bleaching mempunyai pH kurang dari

5.5.43

Sun et al. (2011) telah melakukan sebuah penelitian untuk mengevaluasi

perubahan permukaan enamel dengan menggunakan Raman spectroscopy dan

ATR-FTIR setelah dilakukan bleaching dengan hidrogen perkosida 30% yang bersifat

asam (pH 3.6) dan netral (pH 7.0). Hasilnya, ternyata konsentrasi kelompok fosfat

dalam enamel berkurang secara drastis untuk sampel yang diberi hidrogen peroksida

yang bersifat asam, manakala untuk sampel yang diberi bahan yang bersifat netral

pula mengalami perubahan kandungan fosfat yang minimal.44 Selain pH bahan

bleaching, lama pemaparan gigi terhadap bahan bleaching juga dapat memengaruhi

kecepatan kehilangan mineral pada enamel.12

b) Morfologi permukaan enamel

Perubahan morfologi perubahan merupakan salah satu efek negatif bleaching

yang paling sering dilaporkan karena proses oksidasi bahan peroksida berpotensi

menyebabkan erosi enamel. Banyak penelitian telah dilakukan untuk menilai efek

(43)

Elcetron Microscope (SEM). Caballero et al. (2007) dan Dudea et al. (2009)

melaporkan bahwa tidak ada perubahan pada morfologi enamel setelah dilakukan

bleaching dengan karbamid peroksida dan hidrogen peroksida yang berkonsentrasi

rendah.45,46 Manakala penelitian lain pula menyatakan bahwa perubahan morfologi

pada permukaan enamel jelas kelihatan.14,47,48,49

Perubahan morfologi yang sering terjadi pada enamel adalah terpaparnya prisma

enamel, porositas dan erosi enamel, pembentukan kawah, kehilangan lapisan

aprismatik, serta iregularitas pada permukaan enamel.14,47 Perubahan morfologi ini

dipengaruhi oleh beberapa faktor, anataranya adalah konsentrasi dan lama pemaparan

bahan bleaching, serta pH bahan peroksida. Junqueira et al. (2011) telah menganalisa

morfologi enamel setelah bleaching pada konsentrasi karbamid peroksida 16% dan

22% dengan lama pemaparan bahan bleaching yang berbeda. Hasilnya sampel yang

diberi karbamid peroksida yang berkonsentrasi tinggi dan pemaparan bahan

bleaching yang lebih lama mengalami perubahan morfologi enamel yang lebih parah

berbanding kelompok lain.48

c) Kekerasan enamel

Perubahan kandungan organik dan anorganik pada enamel setelah bleaching

dapat dievaluasi melalui ujian kekerasan enamel. Hal ini karena proses oksidasi

bahan peroksida akan melarutkan matriks organik dan menyebabkan pelepasan

ion-ion kalsium dan fosfat. Apabila hidroksiapatit kelihangan ion-ion-ion-ion ini, lattice

hidroksiapatit akan menjadi distorsi sehingga mengakibatkan struktur enamel menjadi

poreus dan mempunyai pola honey-comb. Hal ini dapat menyebabkan penurunan

kekerasan enamel gigi.12

Penelitian Sun et al. (2011) mendapati bahwa sampel yang diberi perlakuan

bleaching dengan 30% hidrogen peroksida mengalami penurunan nilai kekerasan

enamel yang signifikan.44 Demikian juga hasilnya pada penelitian Pinto et al. (2004)

tentang efek karbamid peroksida dan hidrogen dengan konsentrasi berbeda (variasi

antara 10% hingga 35%).13 Namun, beberapa peneliti lain menemukan hasil yang

berbeda. Penelitian Ferreira et al. (2006), Davari et al. (2012) dan Sasaki et al. (2009)

(44)

tidak mengakibatkan penurunan kekerasan enamel, sementara penelitian Delfino et

al. (2009) dan Rodrigues et al. (2003) menunjukkan adanya sedikit penurunan nilai

kekerasan enamel tetapi hasilnya tidak signifikan.6,12,43,49,50

2.6 Metode pengukuran warna gigi

Persepsi warna berbeda untuk setiap individu. Oleh itu untuk menstandardisasi

hasil penilaian warna, beberapa teknik dan peralatan telah dikembangkan untuk

memudahkan dokter gigi dalam perihal penentuan warna gigi. Secara umum,

pengukuran warna gigi terbagi kepada dua kategori, yaitu pengukuran warna secara

subjektif dan pengukuran warna secara objektif.

2.6.1 Metode subjektif

Pengidentifikasian warna gigi dengan metode subjektif adalah cara yang paling

tradisional, yaitu dilakukan secara visual dengan menggunakan shade guide. Usaha

pertama untuk menggambarkan warna gigi dengan akurat dilakukan oleh seorang

dokter gigi yang bernama Dr. E. B. Clark pada tahun 1931 dengan dengan

berdasarkan sistem Munsell yang dilakukan secara visual. Lanjutan itu, VITAPAN

Classical shade guide dengan 16 tab warna gigi telah dihasilkan pada tahun 1956

untuk membantu dokter gigi dalam pengidentifikasian warna gigi dengan lebih akurat

(Gambar 7). Sehingga hari ini, shade guide merupakan alat mengukuran warna gigi

yang sangat popular dan digunakan oleh kebanyakan dokter gigi di seluruh dunia.

Namun, disebabkan warna yang tersedia pada VITAPAN Classical shade guide didapati kurang seragam dengan warna yang terbatas, maka terhasilnya beberapa variasi shade guide seperti VITA Linearguide 3D-Master, VITA Toothguide 3D-Master, dan VITA

Bleachedguide 3D-Master (Gambar 8). VITA Bleachedguide 3D-Master merupakan

shade guide yang didesain khusus untuk mengevaluasi warna gigi yang telah dibleaching,

(45)

Gambar 7. VITAPAN Classical shade guide23

Gambar 8. VITA Bleachedguide 3D-Master23

Menurut Westland et al. (2007), terdapat beberapa kekurangan dalam

penggunaan metode subjektif ini. Pertamanya, warna yang tersedia pada shade guide

tidak adekuat untuk pengidentifikasian warna gigi asli yang bervariasi. Kekurangan

yang kedua adalah kurangnya konsistensi antara dokter gigi dalam penentuan warna

gigi. Hal ini karena setiap individu mempunyai persepsi warna yang berbeda. Selain

itu, Penilaian warna gigi secara visual juga dipengaruhi oleh banyak faktor luar

seperti warna dinding di sekeliling pasien, warna pakaian pasien, pencahayaan di

praktek, dan kelelahan operator.51

2.6.2 Metode objektif

Metode ini dikembangkan untuk mengatasi kekurangan-kekurangan dari metode

(46)

hasil yang lebih akurat dan spesifik berbanding metode subjektif. Alat pengukuran

warna secara objektif antara lain, spektrofotometer warna, kolorimeter, dan kamera

digital.52

a) Spektrofotometer warna

Spektrofotometer merupakan salah satu alat untuk mengukur warna gigi secara

objektif (Gambar 9). Alat ini memberi hasil berdasarkan data spektral cahaya L*, a*,

dan b* serta dapat mengukur tingkat reflektans suatu obyek. Spektrofotometer

merupakan instrument pengukuran warna yang paling akurat dan fleksibel dalam

bidang kedokteran gigi. Alat ini mampu mengukur jumlah cahaya yang dipantulkan

dari obyek pada interval 1-25nm dalam spektrum visibel. Sebuah spektrofotometer

mengukur jumlah hue dan juga nilai value atau kecerahan suatu obyek. Selain itu,

jumlah cahaya yang dipantulkan dari obyek tersebut juga direkam oleh alat ini.52

Gambar 9. Spektrofotometer warna (dok.)

Komponen-komponen dalam sebuah spektrofotometer antara lain, sumber

cahaya, sebuah sistem optik untuk pengukuran, detektor pantulan cahaya, dan sebuah

sistem untuk mengkonversi panjang gelombang cahaya yang dipantul menjadi

(47)

L*, a* dan b*.52 Gambar 10 menunjukkan mekanisme kerja spektrofotometer warna

dimana cahaya akan dipantulkan oleh objek dan ditangkap oleh sensor. Sensor ini

akan mengkonversi panjang gelombang cahaya yang dipantul menjadi spektrum

visibel dan kemudian dikonversi lagi menjadi nilai L*a* dan b* yang akan

dipaparkan pada display screen spektrofotometer.53

Gambar 10. Mekanisme kerja spektrofotometer warna53

Pada tahun 1976, Commision Internationale de l’Eclairage (CIE) telah

mengembangkan sistem warna berdasarkan model warna Munsell, dan

mempublikasikan sistem warna CIELAB. Sistem ini juga mempunyai tiga dimensi

warna, yaitu L*, a*, dan b* (Gambar 11).54 L* mewakili value atau tingkat kecerahan

suatu obyek dan dinilai berdasarkan skala warna yang ditetapkan, dimana L* 0

melambangkan warna hitam sedangkan L* 100 adalah warna putih. ∆L* menunjukkan

perbedaan antara nilai L* standar dan sampel yang diukur, atau dalam bidang kedokteran gigi digunakan untuk menentukan perubahan nilai L* sebelum dan sesudah perlakuan bleaching, yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus:40,44

(48)

Nilai ∆L* positif menandakan adanya peningkatan kecerahan, sementara nilai

∆L* negatif menandakan bahwa gigi tersebut menjadi semakin gelap. Dalam sistem ini, terdapat juga dua komponen yang mewakili kombinasi hue dan kroma yaitu aksis a*

yang mengukur warna merah dan hijau serta aksis b* pula yang mengukur warna

kuning dan biru. Keduadua aksis warna ini memberi hasil angka dari +128 hingga

-128.40 Menurut Dietschi et al. (2006), nilai L* merupakan parameter pengukuran warna yang paling sesuai untuk dilakukan perbandingan dalam kondisi eksperimental untuk menguji keberhasilan perawatan bleaching.55

Gambar 11. Aksis warna L*, a*, dan b* 54

Keuntungan penggunaan spektrofotometer dalam pengukuran perubahan warna

gigi adalah tingkat sensitivitas alat ini yang sangat tinggi sehingga dapat mendapat

hasil yang sangat spesifik. Namun, terdapat juga kekurangan dari penggunaan alat ini.

Salah satunya adalah harga spektrofotometer yang mahal disebabkan oleh presisi dan

akurasinya yang tinggi. Selain itu, posisi spektrofotometer sewaktu mengukur warna

juga harus diperhatikan karena posisi yang salah dapat menyebabkan terjadinya

pembiasan sehingga hasilnya tidak akurat.56

Banyak penelitian untuk mengevaluasi keberhasilan bleaching telah dilakukan

(49)

yang lebih spesifik dibandingkan metode pengukuran warna yang manual yaitu

dengan shade guide. Dari hasil spektrofotometer, nilai kecerahan sebelum dan

sesudah perawatan bleaching dapat dilihat dengan jelas melalui parameter L*. 4,5,6,40

b) Kolorimeter

Kolorimeter adalah salah satu alat yang digunakan untuk mengukur warna gigi.

(Gambar 12) Alat ini merekam cahaya merah, hijau, dan biru pada spektrum visibel.

Kolorimeter tidak mengukur nilai reflektans warna dan hasilnya kurang akurat

dibanding spektrofotometer.52

Gambar 12. Kolorimeter55

c) Kamera digital

Kamera digital boleh digunakan untuk mengukur tingkat warna atau nilai

kecerahan gigi. Alat ini mengaplikasikan sistem warna RGB, yaitu dengan merekam

warna merah, hijau, dan biru suatu obyek. Pengukuran warna gigi dengan metode ini

memerlukan suasana dan pencahayaan yang terkalibrasi untuk mengelakkan bias.

Seluruh permukaan gigi difoto, kemudian dianalisa warnanya di komputer dengan

software pengukur warna yang biasanya berdasarkan sistem CIELab. (Gambar 13)

Kamera digital sering digunakan dalam penelitian untuk mengukur warna gigi karena

dapat mengetahui distribusi warna pada seluruh permukaan gigi dan pernggunaanya

lebih mudah dibanding spektrofotometer dan kolorimeter. Selain itu, metode ini juga

(50)

Gambar 13. Kamera digital dengan software analisa warna57

2.7 Alat pengukur kekerasan enamel

Kekerasan enamel seringkali diukur untuk mengetahui efek samping prosedur

bleaching terhadap enamel gigi. Metode pengukuran nilai kekerasan enamel yang

sering digunakan adalah metode Knoop dan metode Vickers.

a) Metode Knoop

Metode Knoop biasanya digunakan untuk mengukur nilai kekerasan obyek yang

kecil atau tipis. Beban pengujian kekerasan Knoop berkisar antara 10 hingga 1000

gram. Indentor diamond Knoop menghasilkan indentasi kecil yang berbentuk

rhomboid yang elongasi dimana ratio antara diagonal yang panjang dibanding

diagonal pendek adalah 7:1. Hasil pengukuran garis diagonal indentasi kemudian

(51)

Gambar 14. Bentuk indentasi alat kekerasan Knoop57

b) Metode Vickers

Vickers hardness tester adalah salah satu alat yang digunakan untuk mengukur

nilai kekerasan enamel (Gambar 15).Pengujian kekerasan Vickers dilakukan dengan

membuat indentasi pada permukaan obyek yang diuji dengan indentor diamond yang

berbentuk piramida dengan dasar persegi dan sudut 136o antara satu permukaan

dengan permukaan yang berlawanan seperti di gambar 16. Beban yang diinginkan

ditekan pada permukaan obyek selama 10 sampai 15 detik. Setelah itu, panjang kedua

garis diagonal pada lekukan yang terhasil diukur di bawah mikroskop untuk

mendapatkan nilai rata-ratanya. Area setiap permukaan indensasi juga dihitung.

Kemudian, nilai kekerasan Vickers (HV) dihitung dengan rumus:58

Biasanya pengujian kekerasan Vickers digunakan untuk menguji kekerasan gigi dibanding metode Knoop karena bentuk persegi yang dihasilkan oleh indentor Vickers lebih mudah diukur dan hasil juga lebih akurat. Perubahan kecil pada bentuk persegi yang dihasilkan oleh indentor dapat dideteksi dengan mudah, sementara lekukan yang

Petunjuk:

F = beban yang diterapkan d = rata-rata panjang kedua

(52)

dihasilkan oleh indentor Knoop berbentuk rhomboid sehingga pendeteksian kesalahan sulit dilakukan. Untuk menghindari bias nilai kekerasan sampel, beberapa indentasi harus dilakukan pada setiap sampel dan diambil nilai rata-ratanya. 15

Gambar 15. Alat penguji kekerasan Vickers (dok.)

Gambar

Gambaran prisma enamel secara cross sectional ...............................
Gambar 1. Gambaran prisma enamel secara                cross sectional 21
Gambar 4. Stain tembakau29
Gambar 5.  Stain klorheksidin29
+7

Referensi

Dokumen terkait