SEBELUM DAN SESUDAH PERLAKUAN
BLEACHING DENGAN KARBAMID
PEROKSIDA 35%
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh:
ASHVINAA MORGAN
NIM: 110600186
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Tahun 2015
Ashvinaa Morgan
Perubahan Score Bleachedguide, Nilai Kecerahan Dan Kekerasan Enamel
Gigi Sebelum Dan Sesudah Perlakuan Bleaching Dengan Karbamid Peroksida 35%
xii + 82 halaman
Perawatan bleaching merupakan salah satu perawatan estetik untuk
memperbaiki gigi yang mengalami diskolorisasi. Bleaching dapat memutihkan gigi,
tetapi mempunyai efek negatif terhadap gigi seperti mengurangi nilai kekerasan
enamel akibat proses oksidasi bahan peroksida. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui perubahan score warna berdasarkan VITA Bleachedguide 3D-Master,
nilai kecerahan (L*), dan nilai kekerasan (HV) enamel gigi sebelum dan sesudah
perlakuan bleaching karbamid peroksida 35%. Jenis penelitian ini adalah
eksperimental murni dengan rancangan penelitian pre-post test design. Penelitian ini
dilakukan pada 20 spesimen premolar pertama maksila permanen yang telah
mengalami diskolorisasi dan dipotong dalam ukuran 5x5x4mm kemudian ditanam
dalam resin epoksi. Score warna spesimen gigi diukur dengan menggunakan VITA
Bleachedguide 3D-Master, nilai kecerahan (L*) dengan menggunakan
spektrofotometer warna, dan nilai kekerasan enamel gigi (HV) dengan alat penguji
kekerasan Vicker’s sebelum dan sesudah seluruh sesi perlakuan bleaching karbamid
peroksida 35% yaitu satu jam sehari selama tujuh hari berturut-turut. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa berdasarkan VITA Bleachedguide 3D-Master, terdapat
penurunan yang signifikan pada score warna sebanyak 1,60 ± 0,60 tingkat antara
sebelum dibanding sesudah bleaching pada p<0,05. Nilai kecerahan (L*) meningkat
secara signifikan sebanyak 2,38 ± 0,79 L* antara sebelum dibanding sesudah
penurunan pada nilai kekerasan gigi setelah dilakukan bleaching dengan karbamid
peroksida 35%.
Kata kunci: Bleaching, Score warna gigi, Nilai kecerahan gigi (L*), Nilai kekerasan
gigi (HV)
KECERAHAN DAN KEKERASAN ENAMEL GIGI
SEBELUM DAN SESUDAH PERLAKUAN
BLEACHING DENGAN KARBAMID
PEROKSIDA 35%
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh:
ASHVINAA MORGAN
NIM: 110600186
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan
di hadapan tim penguji skripsi
Medan, 20 Juni 2015
Pembimbing TandaTangan
1. Rehulina Ginting, drg., M.Si ……….
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji
pada tanggal 25 Juni 2015
TIM PENGUJI
KETUA : Rehulina Ginting, drg., M.Si
ANGGOTA : 1. Yendriwati,drg.,M.Kes
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu
syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Sumatera Utara.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Rehulina Ginting, drg., M.Si., selaku
Ketua Departemen Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera
Utara, juga selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan
masukan, bimbingan, arahan, saran dan waktu yang sangat berguna dalam
meningkatkan semangat dan motivasi penulis untuk penyelesaian skripsi ini.
Terisitimewa kepada kedua orang tua penulis tercinta yaitu M. Morgan dan CH
Leong serta adik-adik penulis yaitu Anushiya, Allaghendra, dan Ahvanea yang selalu
mendoakan, memberi dukungan moril, semangat maupun materil selama ini. Pada
kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Prof. Nazruddin, drg., Sp. Ort, Ph.D selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Sumatera Utara.
2. Seluruh staf pengajar Departemen Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi
USU, Yendriwati, drg., M.Kes, Lisna Unita R, drg., M.Kes, Minasari, drg., MM, Dr.
Ameta Primasari, drg., MDSc, M.Kes, Yumi Lindawati, drg., MDSc yang telah
memberikan saran, masukan dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Staf Departemen Biologi Oral, khususnya Ibu Ngaisah dan Kak Dani yang
telah membantu dalam hal administrasi penulis sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan.
4. Hendry Rusdy, drg., Sp.BM selaku Dosen Pembimbing Akademis yang telah
memberi bimbingan dan motivasi kepada penulis selama menjalani pendidikan di
v
5. Fitri Yunita B, drg yang telah memberikan sumbangan ide dan bimbingan
selama penelitian ini.
6. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Gigi USU atas bimbingan yang
telah diberikan selama penulis menjalankan kuliah.
7. Encik Goh selaku teknisi di TUV SUD Sdn Bhd Malaysia yang telah
menolong dalam mendapatkan hasil nilai kecerahan dengan spektrofotometer warna.
8. Bapak Mas’ud selaku operator alat penguji kekerasan Vicker’s di UNIMED
yang telah membantu untuk mendapatkan hasil nilai kekerasan.
9. Bu Maya Fitria yang telah memberikan waktu dan bimbingan dalam
rancangan penelitian dan pengolahan data.
10. Sahabat-sahabat penulis yaitu Yoges, Nirosa, Rogini, Elisabeth, Bowo, Ayu,
Frischa, Agnes, Raeesa, Shinta, Steffi, Melissa, Cassie, Stanley, Widya, Kak
Michelle, Bang Yosua serta seluruh teman-teman seangkatan atas doa, dukungan dan
bantuannya selam pengerjaan skripsi.
Akhir kata, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk
kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran
yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu dan bermanfaat bagi masyarakat.
Akhirnya tiada lagi yang dapat penulis ucapkan selaian ucapan syukur sedalam
dalamnya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Medan,……….2015 Penulis,
vi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...
HALAMAN PERSETUJUAN ...
HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
vii
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 41
BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Score warna gigi sebelum dan sesudah perlakuan bleaching dengan karbamid peroksida 35% ... 62
viii
4.3 Nilai kekerasan gigi sebelum dan sesudah perlakuan bleaching
dengan karbamid peroksida 35% ... 66
BAB 5 PEMBAHASAN
5.1 Sore warna berdasarkan shade guide sebelum dan sesudah
perlakuan bleaching dengan karbamid peroksida 35% ... 68 5.2 Nilai kecerahan (L*) sebelum dan sesudah perlakuan bleaching
dengan karbamid peroksida 35% ... 71 5.3 Nilai kekerasan (HV) sebelum dan sesudah perlakuan bleaching
dengan karbamid peroksida 35% ... 73
BAB 6 KESIMPULAN
6.1 Kesimpulan ... 76 6.2 Saran ... 76
DAFTAR PUSTAKA ... 77
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1 Gambaran prisma enamel secara cross sectional ... 8
2 Gambaran gigi premolar satu maksila dari beberapa aspek ... 9
3 Variasi ketebalan enamel premolar dari bagian insisal ke servikal ... 11
4 Stein tembakau ... 15
5 Stein klorheksidin ... 16
6 Mekanisme bleaching hidrogen peroksida ... 25
7 VITAPAN Classical shade guide ... 29
8 VITA Bleachedguide 3D-Master ... 29
9 Spektrofotometer warna ... 30
10 Mekanisme kerja spektrofotometer warna ... 31
11 Aksis warna L*, a*, dan b* ... 32
12 Kolorimeter ... 33
13 Kamera digital dengan sofware analisa warna ... 34
14 Bentuk indeentasi alat kekerasan Knoop ... 35
15 Alat penguji kekerasan Vickers ... 36
16 Bentuk indentasi alat kekerasan Vickers ... 36
x
18 Pemotongan bagian mesial gigi pada mesiobukal developmental
groove ... 48
19 Pemotongan bagian distal sampel yang berlebihan ... 49
20 Pemotongan bagian servikal sampel yang berlebihan ... 50
21 Pemotongan bagian palatal gigi yang berlebihan ... 50
22 Spesimen gigi dengan ukuran 5x5x4mm ... 51
23 Spesimen yang telah ditanam dalam resin akrilik ... 52
24 Evaluasi warna gigi dengan VITA Bleachedguide 3D-Master ... 53
25 Nilai L* yang terpapar pada display screen spektrofotometer warna 53
26 Alat uji kekerasan Vicker’s ... 54
27 Tiga indentasi yang dibuat pada permukaan bukal spesimen ... 54
28 Pengaplikasian karbamid peroksida 35% sebanyak 0,1ml ... 55
29 Karbamid peroksida 35% diratakan dengan mikrobrush ... 56
30 Evaluasi warna gigi dengan VITA Bleachedguide 3D-Master ... 56
31 Pengukuran nilai kecerahan (L*) dengan spektrofotometer warna .... 57
32 Spesimen diberi beban 200g selama 15 detik ... 58
xi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1 Distribusi frekuensi karakteristik umum sampel penelitian berdasarkan tingkat warna baseline, umur, dan jenis kelamin
sampel ... 61
2 Rata-rata penurunan score warna sampel antara sebelum dan sesudah
perlakuan bleaching dengan karbamid peroksida 35% ... 63
3 Nilai kecerahan (L*) gigi sebelum perlakuan bleaching berdasarkan
tingkat warna ... 64
4 Nilai kecerahan (L*) gigi sesudah perlakuan bleaching berdasarkan
tingkat warna ... 64
5 Rata-rata peningkatan nilai kecerahan (L*) sampel antara sebelum
dan sesudah perlakuan bleaching dengan karbamid peroksida 35% . 65
6 Rata-rata penurunan nilai kekerasan (HV) gigi antara sebelum dan
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Skema alur pikir
2. Kuesioner penelitian
3. Lembar persetujuan subjek penelitian
4. Lembar penjelasan kepada calon subjek penelitian
5. Prosedur penelitian
6. Surat Persetujuan Komisi Etik Penelitian (Ethical Clearance)
7. Surat keterangan penelitian
8. Data hasil penelitian
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penampilan gigi merupakan salah satu aspek yang penting dalam menentukan
keindahan senyum seseorang, selain memainkan peran kunci dalam interaksi sosial
manusia. Penampilan gigi yang tidak menarik dapat memengaruhi kualitas hidup dan
juga dari segi psikososial seseorang. Antara faktor-faktor yang memengaruhi
penampilan gigi secara keseluruhan adalah warna, bentuk, dan susunan gigi terutama
gigi anterior. Sebuah senyuman yang memperlihatkan gigi yang putih, bersih dan
sehat dapat meningkatkan percaya diri seseorang untuk berkomunikasi dengan orang
lain. Saat ini, persepsi masyarakat terhadap penampilan fisikal juga meliputi gigi
yang putih. Oleh karena itu, permintaan terhadap perawatan pemutihan gigi semakin
meningkat. Menurut Tin-Oo MM et al. (2011), sebanyak 56,2% dari 235 subjek yang
diteliti berasa tidak puas terhadap warna giginya.1 Penelitian Al-Zarea (2013)
mengemukakan bahwa sebanyak 65,9% dari 220 subjek yang diteliti merasakan tidak
puas terhadap warna giginya dan 80,9% subjek menginginkan perawatan untuk
memutihkan gigi.2
Biasanya, gigi permanen berwarna putih keabu-abuan atau putih kekuningan
yang dapat dipengaruhi oleh transluensi dan ketebalan enamel, serta ketebalan dan
warna dentin yang ada dibawahnya. Warna gigi dapat berubah akibat faktor intrinsik
atau ekstrinsik. Diskolorisasi intrinsik adalah perubahan warna gigi yang dapat terjadi
akibat perubahan struktur dentin dan enamel sewaktu odontogenesis atau difusi bahan
kromatogenik yang berasal dari dalam tubuh atau pulpa ke lapisan dentin dan enamel
pasca erupsi. Diskolorisasi ekstrinsik adalah perubahan warna gigi yang terjadi pada
permukaan enamel gigi akibat pigmen warna yang melekat pada pelikel sehingga
menghasilkan stain, atau dapat juga terjadi akibat interaksi kimia yang terjadi pada
menyirih untuk jangka waktu yang lama, dan konsumsi makanan atau minuman yang
mempunyai potensi pewarnaan yang tinggi seperti teh dan kopi.3
Berbagai perawatan untuk memperbaiki warna gigi telah dikembangkan untuk
memenuhi permintaan masyarakat terhadap gigi putih yang semakin meningkat.
Sejajar dengan perkembangan ilmu kedokteran gigi ke arah pendekatan invasif
minimal, prosedur bleaching merupakan perawatan yang sering dipilih oleh dokter
gigi karena merupakan prosedur estetik yang bersifat konservatif.4 Secara umumnya,
terdapat dua teknik bleaching yang sering dilakukan yaitu in-office atau power
bleaching, dan home bleaching. In-office bleaching biasanya dilakukan dengan
menggunakan bahan bleaching yang berkonsentrasi tinggi seperti hidrogen peroksida
35% - 38% atau karbamid peroksida 35% - 40%.5 Sementara home bleaching
dilakukan dengan bahan bleaching yang berkonsentrasi rendah seperti karbamid
peroksida 10%.6
Bahan dasar yang digunakan untuk perawatan bleaching adalah peroksida yang
merupakan oksidator yang kuat. Radikal bebas yang dihasilkan oleh hidrogen
peroksida saat terjadinya proses oksidasi akan memecahkan molekul pigmen
kromofor menjadi molekul yang kecil atau hidroksil. Molekul pigmen warna yang
tereduksi ini tidak mampu memantulkan cahaya yang banyak sehingga menghasilkan
efek pemutihan.7,8,9 Penilaian efek pemutihan pada gigi dapat dilakukan dengan
beberapa metode. Antaranya adalah shade guide, spektrofotometer, dan kamera
digital. Penelitian da Costa et al. (2012) dan Ontiveros et al. (2009) mengenai efektivitas bahan bleaching berkonsentrasi tinggi terhadap perubahan nilai kecerahan
gigi yang diukur dengan menggunakan spektrofotometer telah membuktikan bahwa
terdapat peningkatan yang signifikan pada nilai kecerahan sesudah perlakuan
bleaching. Namun, oleh karena adanya sifat oksidasi dari bahan bleaching, bahan ini
dapat menimbulkan berbagai efek samping.10,11
Efek samping yang sering dilaporkan adalah perubahan dan pelemahan struktur
enamel. Proses oksidasi bahan peroksida akan menyebabkan pelepasan ion-ion
kalsium dan fosfat. Apabila hidroksiapatit kehilangan ion-ion ini, molekul
enamel menjadi poreus denga pola honey-comb, dan akan mengurangi kekerasan
enamel.12 Menurut Joiner (2007), pengukuran kekerasan merupakan teknik yang
paling sering digunakan untuk mengevaluasi efek peroksida dan bahan bleaching lain
pada enamel dan dentin.13 Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk
mengevaluasi efek bleaching terhadap kekerasan enamel menemukan bahwa nilai
kekerasan enamel gigi mengalami penurunan ysng signifikan setelah pengaplikasian
bahan bleaching.12,14,15
Dari aspek klinis, dokter gigi seharusnya memilih bahan bleaching yang
menghasilkan nilai kecerahan gigi yang tinggi sementara mempunyai efek samping
terhadap jaringan keras gigi yang seminimal mungkin. Oleh itu, penelitian untuk
mengevaluasi hasil kecerahan gigi pelbagai jenis bahan bleaching dan efek
sampingnya pada enamel perlu dilakukan untuk memberi informasi kepada dokter
gigi dalam perihal pemilihan bahan bleaching yang paling baik untuk pasien.
Menurut penelitian Demarco FF et al. (2013) tentang pilihan bahan bleaching dalam
kalangan dokter gigi, bahan karbamid peroksida merupakan bahan yang paling sering
dipilih karena efek sampingnya lebih sedikit daripada bahan hidrogen peroksida.16
Delfino CS et al. (2009) telah melakukan penelitian untuk mengevaluasi efek
beberapa bahan home bleaching (karbamid peroksida 10%, karbamid peroksida 16%,
dan hidrogen peroksida 6.5%) terhadap kecerahan gigi dan kekerasan enamel.
Hasilnya, didapati bahwa karbamid peroksida 16% merupakan bahan yang paling
efektif dari segi peningkatan nilai kecerahan gigi (∆L*) yaitu sebanyak 11.75 dan perubahan kekerasan enamel ∆KHN sebanyak +6.58.6
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
untuk mengevaluasi score warna, nilai kecerahan dan kekerasan enamel gigi sebelum
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang hendak diteliti adalah:
1. Berapakah penurunan score warna gigi berdasarkan VITA Bleachedguide
3D-Master antara sebelum dibanding sesudah bleaching dengan karbamid peroksida
35%?
2. Berapakah peningkatan nilai kecerahan gigi antara sebelum dibanding
sesudah bleaching dengan karbamid peroksida 35%?
3. Berapakah penurunan nilai kekerasan enamel gigi antara sebelum dibanding
sesudah bleaching dengan karbamid peroksida 35%?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui penurunan score warna gigi berdasarkan VITA
Bleachedguide 3D- antara sebelum dibanding sesudah bleaching dengan karbamid
peroksida 35%.
2. Untuk mengetahui peningkatan nilai kecerahan gigi antara sebelum dibanding
sesudah bleaching dengan karbamid peroksida 35%.
3. Untuk mengetahui nilai kecerahan gigi berdasarkan score warna sebelum dan
sesudah dilakukan bleaching dengan karbamid peroksida 35%.
4. Untuk mengetahui penurunan nilai kekerasan enamel gigi antara sebelum
dibanding sesudah bleaching dengan karbamid peroksida 35%.
1.4 Hipotesis
H0 : Tidak terdapat perubahan score warna berdasarkan VITA Bleachedguide
3D-Master, nilai kecerahan dan nilai kekerasan enamel gigi antara sebelum dibanding
sesudah bleaching dengan karbamid peroksida 35%.
Hα : Terdapat perubahan score warna berdasarkan VITA Bleachedguide
3D-Master, nilai kecerahan dan nilai kekerasan enamel gigi antara sebelum dibanding
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat teoritis
1. Mengetahui penurunan score warna gigi berdasarkan VITA Bleachedguide
3D-Master antara sebelum dibanding sesudah bleaching dengan karbamid peroksida
35%.
2. Mengetahui peningkatan nilai kecerahan gigi antara sebelum dibanding
sesudah bleaching dengan karbamid peroksida 35%.
3. Mengetahui penurunan nilai kekerasan enamel gigi antara sebelum dibanding
sesudah bleaching dengan karbamid peroksida 35%.
1.5.2 Manfaat praktis
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Enamel
Enamel gigi membentuk lapisan luar dari anatomi mahkota gigi. Enamel
berfungsi sebagai pelindung dentin gigi. Enamel yang matang adalah jaringan
terkalsifikasi yang paling keras dalam tubuh manusia, tetapi tidak mempunyai
pembuluh darah dan sistem saraf. Nilai kekerasan enamel biasanya sekitar 250-360
HV atau 270-350 KHN.15 Enamel merupakan struktur yang poreus dan bersifat
semi-permeabel sehingga memungkinkan ion dan beberapa jenis cairan, bakteri, dan
produk bakteri dalam rongga mulut berdifusi ke dalam enamel.17 Enamel tidak dapat
memperbaharui dirinya apabila menjadi nonvital, tetapi dapat mengalami perubahan
mineralisasi apabila mengalami kehilangan substansi enamel yang ringan. Ameloblast
adalah sel pembentuk enamel dan akan berdiferensiasi pada tahap aposisi enamel.
Ameloblast yang berada di bagian akar gigi tidak akan mengalami diferensiasi. Oleh
karena itu, enamel hanya terbentuk pada mahkota gigi dan tidak di akar.18
Enamel terdiri atas 96% materi anorganik yang termineralisasi (mineral), dan 4%
materi organik dan air.17,18,19 Materi anorganik yang membentuk enamel adalah kristal
submikroskopik yang tersusun erat antara satu sama lain yang dikenali sebagai
hidroksiapatit. Komponen yang termasuk materi organik pula adalah rod sheath dan
protein-protein enamel. Enamel mengandung dua jenis protein yaitu amelogenin dan
enamelin yang akan membantu dalam pembentukan kristal dengan mengikat kalsium
dengan komponen hidroksiapatit yang lain.19,20
2.1.1 Struktur enamel
Struktur utama enamel adalah prisma enamel, interprisma enamel, dan rod
sheath (Gambar 1). Struktur-struktur ini sangat kecil dan hanya dapat dilihat di
bawah mikroskop elektron. Selain itu, enamel juga terbentuk oleh
enamel tufts, dan enamel spindles. Struktur-struktur ini jelas kelihatan di bawah
mikroskop cahaya.17
Prisma enamel adalah unit sktruktural enamel dan dibentuk oleh sel pembentuk
ameloblast sehingga menyerupai bentuk keyhole. Prisma enamel memanjang dari
batas dentinoenamel ke permukaan luar enamel dan setiap satunya mempunyai
diameter sebesar 4 mikron. Namun setiap prisma enamel mempunyai ukuran panjang
yang berbeda karena berada di lokasi berbeda pada enamel. Batang prisma disusun
sedemikian sehingga saling mengunci untuk menahan gaya mastikasi dan mencegah
fraktur.17,18,18,20
Setiap batang prisma dipenuhi dengan kristal hidroksiapatit kalsium dengan
rumus kimia Ca10(PO4)6(OH)2. Namun apabila gigi berkontak dengan cairan yang
mempunyai pH asam, hidroksiapatit akan melarut dan melepaskan ion-ion Ca2+,
PO43- , dan OH- untuk menyeimbangkan konsentrasi ion di dalam enamel dan
lingkungannya. Komponen kisi-kisi kristal yang hilang dapat diganti dengan ion lain
seperti magnesium, natrium, fluoride, klorida, dan karbonat yang mempunyai ukuran
partikel yang hampir sama dengan ukuran ion yang hilang. Perubahan yang terjadi
pada struktur hidroksiapatit akan memengaruhi kekerasan, kerapuhan, serta
solubilitas enamel.18
Rod sheath adalah suatu lapisan tipis yang mengelilingi prisma. Ia merupakan
struktur organik yang tidak terkalsifikasi dan lebih resisten terhadap asam.
Kadang-kadang, materi organik ini juga dapat dijumpai di antara kristal-kristal hidroksiapatit.
Walaupun enamel merupakan struktur yang keras dan padat, pori-pori di antara
batang prisma enamel dan juga di antara kristal-kristal hidroksiapatit yang dihasilkan
oleh rod sheath menyebabkan enamel bersifat semi-permeabel sehingga ion dan
Gambar 1. Gambaran prisma enamel secara cross sectional 21
2.2 Morfologi gigi premolar satu maksila
Gigi premolar satu maksila mulai dibentuk sekitar usia 1½ hingga 1¾ tahun dan
erupsi sekitar usia 10 hingga 11 tahun, sementara pembentukan akar giginya selesai
pada usia 12 hingga 13 tahun. Gigi ini terletak di posterior gigi kaninus, yaitu
deretan keempat dari median line. Premolar satu maksila mempunyai dua tonjolan
yaitu tonjol bukal dan tonjol palatal, dimana tonjol bukal biasanya 1mm lebih
panjang dari tonjol palatal. Bentuk mahkota premolar satu maksila mirip dengan gigi
kaninus dari aspek bukal, tetapi gigi ini lebih pendek 1,5mm hingga 2mm daripada
gigi kaninus. Akar gigi premolar satu juga lebih pendek daripada kaninus sebanyak
3mm hingga 4mm. Umumnya gigi premolar satu maksila mempunyai dua akar dan
dua saluran akar. Pada gigi premolar satu dengan satu akar, saluran akarnya tetap dua.
Dari aspek bukal, mahkota gigi premolar satu maksila berbentuk trapesium dengan
berada di sebelah distal garis pembagi permukaan bukal mahkota gigi. Lebar
mesiodistal mahkota gigi pada bagian servikal lebih kecil dibanding ukuran
mesiodistal terbesar keseluruhan mahkota. Mahkota gigi premolar satu maksila lebih
menyempit ke arah palatal sehingga ukuran mesiodistal tonjol palatal lebih kecil
daripada tonjol bukal. Titik pertemuan lereng mesial dan distal tonjol palatal
membentuk sudut 90o. Apeks akar palatal pada premolar satu maksila yang berakar
dua cenderung lebih bulat daripada apeks akar bukal.22
Dari aspek mesial dan distal gigi ini, garis servikal di bagian distal kurang
melengkung dibandingkan garis di sebelah mesial. Pada gigi yang berakar dua, satu
akar bukal dan satu akar palatal jelas kelihatan. Sementara pada gigi yang berakar
satu, developmental depression sangat jelas di sepanjang akar, dan garis luar akar
bukal dan palatal berakhir di satu ujung apeks. Dari aspek oklusal pula, gigi premolar
satu maksila berbentuk heksagonal dengan enam sisi yaitu mesiobukal, mesial,
mesiopalatal, distopalatal, distal, dan distobukal. Namun keenam sisi ini tidak sama
panjangnya dimana sisi mesiobukal dan distobukal hampir sama panjang, sisi mesial
lebih pendek daripada sisi distal, dan sisi mesiopalatal lebih pendek daripada
distopalatal. Central developmental groove memisahkan bagian bukal dan palatal
pada permukaan oklusal. Tonjol palatal memiliki ujung yang lebih tajam
dibandingkan tonjol bukal.22
Bukal Palatal Oklusal Mesial Distal
2.3 Warna gigi
Enamel gigi biasanya berwarna putih keabuan hingga kekuningan. Sifat enamel
yang translusen menyebabkan cahaya dapat menembus enamel dan memantul dari
dentin yang berwarna kuning. Hal ini justru menyebabkan gigi kelihatan lebih
kekuningan. Gigi yang berwarna putih keabuan pula menandakan lapisan enamel
yang lebih opak. Translusensi enamel bergantung pada tingkat kalsifikasi dan
homogenitas materi anorganiknya. Selain itu, translusensi enamel juga dipengaruhi
oleh ketebalan lapisan enamel, dimana enamel yang lebih tipis akan lebih translusen
berbanding enamel yang tebal. Ketebalan enamel bervariasi di bagian mahkota yang
berbeda-beda (Gambar 3). Daerah insisal dan cusp mempunyai enamel yang paling
tebal yaitu 2-2.5mm. Hal ini menyebabkan daerah insisal dan cusp biasanya berwarna
putih keabuan dengan sedikit kebiruan, sementara pada daerah servikal gigi biasanya
berwarna lebih kuning karena lapisan enamel lebih tipis di daerah tersebut 17,19,21
Warna gigi juga ditentukan berdasarkan sifat optiknya yaitu pantulan cahaya dari
gigi yang dapat dilihat dengan mata. Umumnya, terdapat tiga faktor yang
memengaruhi penentuan warna gigi. Faktor pertama adalah sumber cahaya, faktor
kedua adalah sifat penyerapan, pantulan, transmisi dan hamburan cahaya oleh gigi,
Gambar 3. Variasi ketebalan enamel premolar dari bagian insisal ke servikal 19
2.3.1 Diskolorisasi gigi
Diskolorisasi gigi adalah perubahan yang terjadi pada warna gigi. Secara umum,
diskolorisasi gigi diklasifikasikan menjadi dua kelompok berdasarkan faktor
etiologinya, yaitu diskolorisasi intrinsik dan diskolorisasi ekstrinsik.9,24
2.3.1.1 Diskolorisasi intrinsik
Diskolorisasi intrinsik adalah pewarnaan endogen yang terjadi di bagian dalam
struktur gigi sehingga sulit dirawat secara eksternal. Perubahan warna gigi secara
instrinsik dapat terjadi akibat perubahan struktur dentin dan enamel sewaktu
odontogenesis atau difusi bahan kromatogenik yang berasal dari dalam tubuh atau
pulpa ke lapisan dentin dan enamel pasca erupsi. Antara faktor penyebab
diskolorisasi intrinsik adalah: 9
a) Penyakit sistemik
Beberapa penyakit sistemik dapat memengaruhi perkembangan enamel dan
Erythropoietin porphyria kongenital merupakan gangguan metabolism porfirin yang mengakibatkan diskolorisasi enamel yang berwarna coklat
kemerahan.24,25
Erythroblastosis fetalis merupakan salah satu kelainan darah neonatal akibat dari inkompatibilitas faktor rhesus yang menyebabkan warna gigi menjadi
warna hijau kebiruan, kuning coklat, atau abu-abu. 9
Alkaptonuria adalah gangguan metabolisme kongenital pada tyrosine dan phenylanine sehingga terjadi penumpukan asam homogenistik dalam sel dan
cairan tubuh. Kondisi ini akan menyebabkan gigi kelihatan berwarna coklat
kehitaman.9
b) Gangguan pembentukan struktur gigi
Kelainan pada pembentukan jaringan enamel dan dentin dapat memengaruhi
warna gigi.
Amelogenesis imperfecta merupakan suatu kondisi herediter yang menyebabkan perubahan struktur enamel sewaktu fase sekretori atau maturasi
enamel yang diakibatkan oleh mutasi gen AMEL X. Pasien yang menderita
kelainan ini biasanya memiliki gigi-geligi yang berwarna kuning kecoklatan.26 Dentinogenesis imperfecta adalah suatu kelainan genetik yang mengganggu
pembentukan kolagen tipe I sehingga menyebabkan kalsifikasi dentin tidak
sempurna. Gigi pada penderita dentinogenesis imperfecta biasanya berwarna
biru keabuan sampai kuning coklat dan kelihatan translusen.26
c) Tetrasiklin
Watts et al. (2001) menyatakan bahwa tetrasiklin dapat melewati plasenta
sehingga dapat menyebabkan deposisi tetrasiklin dalam tulang dan jaringan keras gigi
pada janin. Molekul tetrasiklin akan terikat dengan kalsium dalam kristal
hidroksiapatit sehingga membentuk kompleks tetrasiklin orthophosphate yang
menyebabkan diskolorisasi gigi. Pigemen tetrasiklin biasanya lebih banyak
dideposisikan pada incremental line dentin. Gigi yang mengalami pewarnaan akibat
diskolorisasi gigi tergantung jenis tetrasiklin, dosis dan jangka waktu penggunaan
tetrasiklin.25,26
d) Fluorosis
Fluorosis adalah pewarnaan gigi yang disebabkan oleh konsumsi fluor yang
berlebihan. Pada kasus fluorosis yang ringan, bercak-bercak putih dapat dilihat pada
permukaan gigi. Konsumsi fluor yang berkonsentrasi tinggi (melebihi 6ppm) pula
dapat menyebabkan diskolorisasi gigi berwarna kuning coklat hingga coklat
kehitaman.26
e) Penuaan
Dengan bertambahnya umur, gigi akan mengalami perubahan fisiologis berupa
penipisan lapisan enamel akibat erosi, abrasi dan atrisi gigi secara fisiologis, deposisi
dentin sklerotik dan pembentukan dentin sekunder atau tersier serta pulp stones juga
dapat menyebabkan gigi kelihatan lebih gelap. 26,27
f) Trauma
Cedera pada gigi dapat menyebabkan perubahan degeneratif pada pulpa atau
terjadinya pendarahan dalam pulpa. Biasanya gigi yang mengalami trauma akan
berubah menjadi warna pink dan warna hitam apabila gigi telah nekrosis.24,25
g) Bahan restorasi dan bahan pengisi saluran akar
Amalgam
Bahan tumpatan amalgam apabila berkontak dengan dinding kavitas untuk
jangka waktu yang lama, lambat laun akan terjadi perubahan warna gigi
menjadi abu-abu gelap.9,24
Bahan-bahan pengisi saluran akar yang mengandung senyawa iodin, perak
nitrat, atau garam logam, seperti iodoform, gutta percha, dan silver cone dapat
menyebabkan diskolorisasi berwarna abu-abu dalam jangka waktu yang
lama.3,28
Bahan medikamen endodontik
Bahan medikamen seperti pasta Ledermix dapat menyebabkan terjadinya
diskolorisasi gigi berwarna kekuningan sekiranya ditinggalkan dalam gigi
h) Iatrogenik
Diskolorisasi dapat terjadi pada kasus endodontik dimana saluran akar tidak
diirigasi dengan baik sebelum penutupan saluran akar atau preparasi kavitas akses
yang tidak adekuat sehingga jaringan pulpa koronal tidak disingkirkan secara
menyeluruh. Darah dan sisa jaringan nekrotik yang tertinggal dalam kamar pulpa
dapat menyebabkan diskolorisasi coklat atau hitam. 28
2.3.1.2 Diskolorisasi ekstrinsik
Diskolorisasi ekstrinsik adalah perubahan warna gigi yang terjadi pada
permukaan enamel gigi. Diskolorisasi ekstrinsik dapat terjadi akibat pigmen warna
yang melekat pada pelikel sehingga menghasilkan stain, atau dapat juga terjadi akibat
interaksi kimia yang terjadi pada permukaan gigi. Seringkali stain ekstrinsik ini dapat
dieliminasi dengan pembersihan permukaan gigi secara mekanis. Faktor-faktor
ekstrinsik yang mengakibatkan diskolorisasi gigi adalah: 9,24
a) Diet
Makanan dan minuman yang mempunyai potensi pewarnaan yang tinggi seperti
teh, kopi, wain, dan sirup yang mengandung senyawa polyphenolic atau makanan
yang mengandung karotin seperti wortel dapat menyebabkan terjadinya stain
ekstrinsik.27 Pigmen warna atau chromophores yang berasal dari sumber luar
berdifusi ke dalam jaringan keras gigi melalui pori-pori kecil di antara struktur kristal
enamel. Apabila pigmen warna menumpuk di dalam jaringan keras gigi untuk jangka
waktu yang lama tanpa pembersihan, gigi akan mengalami diskolorisasi. Perubahan
warna gigi akibat diet bervariasi dan tergantung jenis pigmen warna dari minuman
atau makanan yang dikonsumsi.29
b) Merokok
Merokok dapat menyebabkan diskolorisasi gigi karena rokok mengandung
tembakau. Sewaktu merokok, senyawa nikotin dan tar akan melekat pada permukaan
gigi. Nikotin apabila terpapar oksigen akan berubah warna menjadi kuning,
senyawa ini untuk jangka waktu yang lama akan mengakibatkan gigi berwarna coklat
muda sampai hitam seperti di gambar 4.
Gambar 4. Stain tembakau29
c) Klorheksidin
Klorheksidin merupakan salah satu antiseptik yang sering digunakan sebagai
obat kumur karena ia memiliki sifat antibakteri yang baik. Penggunaan obat kumur
klorheksidin untuk jangka waktu yang lama dapat menyebabkan diskolorisasi gigi.
Mekanisme penyebab diskolorisasi oleh klorheksidin belum diketahui dengan pasti,
namun terdapat tiga teori yang mungkin dapat menjelaskan mekanisme staning
klorheksidin. Teori yang pertama adalah reaksi Maillard (non-enzymatic browning
reaction) di mana senyawa amine dan karbohidrat pada pelikel mengalami beberapa
reaksi kondensasi dan polimerisasi sehingga menghasilkan pigmen warna yang
mewarnai pelikel. Teori kedua adalah pembentukan sulfide besi dan timah. Teori ini
menyatakan bahwa klorheksidin menguraikan pelikel untuk melepaskan radikal
sulfur, dan radikal yang bebas ini akan bereaksi dengan ion metal untuk membentuk
metal sulphide yang berpigmen abu-abu. Teori presipitasi kromogen dari diet oleh
klorheksidin pula menyatakan bahwa staning kemungkinan disebabkan oleh
presipitasi anion kromogen yang berasal dari diet seperti polyphenol pada kation
Biasanya stain yang dihasilkan oleh reaksi kimia klorheksidin adalah kuning
kecoklatan seperti di gambar 5.
Gambar 5. Stain klorheksidin29
2.4 Perawatan diskolorisasi gigi
Masalah diskolorisasi gigi dapat diatasi dengan pelbagai cara. Pemilihan
perawatan untuk mengatasi masalah diskolorisasi gigi harus sesuai dengan faktor
penyebabnya supaya dapat mencapai hasil pemutihan gigi yang optimal.
2.4.1 Penyikatan gigi
Metode penyikatan gigi adalah teknik yang telah digunakan sejak zaman dahulu
untuk membersihkan gigi dengan menyingkirkan debris dan stain eksternal pada
permukaan gigi. Penyikatan gigi yang efektif untuk mencegah terbentuknya stain
pada gigi adalah dua kali sehari. Penyikatan gigi sering disertai dengan penggunaan
pasta gigi untuk membantu dalam penyingkiran stain dengan lebih efektif. Pasta gigi
secara umum mengandung beberapa bahan yang dapat membantu dalam
penyingkiran debris dan stain. Antaranya adalah bahan abrasif, bahan peroksida, dan
2.4.2 Professional tooth cleaning
Professional tooth cleaning adalah prosedur pembersihan gigi yang dilakukan
oleh dokter gigi di praktek. Antara prosedur yang dapat dilakukan adalah polishing
selektif dengan menggunakan bahan abrasif seperti pumice dan rubber cup.
Profilaksis rubber cup dengan pasta pumice dapat menyingkirkan stain pada
permukaan gigi dan juga pelikel yang mengandung kromogen yang melekat pada
gigi. Selain itu, scalling ultrasonik juga dapat dilakukan untuk menyingkirkan
kalkulus dan debris pada permukaan gigi yang menyebabkan diskolorisasi gigi. Alat
skeling ultrasonik menghasilkan getaran berfrekuensi tinggi yaitu 25,000-42,000 Hz.
Getaran ini dapat mengeliminasi kalkulus dan debris dari permukaan enamel dengan
lebih efektif.29
2.4.3 Mikroabrasi
Mikroabrasi adalah suatu prosedur di mana selapis tipis enamel kira-kira 0.1mm
disingkirkan dengan teknik erosi dan abrasi secara simultan. Biasanya permukaan
enamel dietsa dengan asam fosfat 35% atau asam hidroklorik 18% dan dipolis dengan
pumice dan air sehingga berkilat. Teknik ini hanya diindikasikan untuk kasus
diskolorisasi pada enamel superfisial atau diskolorisasi intrinsik akibat
hipomineralisasi dan hipermineralisasi enamel. Diskolorisasi yang parah atau
diskolorisasi pada lapisan dalam enamel dan dentin merupakan kontraindikasi teknik
ini.9,32
2.4.4 Vinir porselen
Vinir porselen merupakan salah satu perawatan diskolorisasi gigi yang
diindikasikan untuk kasus diskolorisasi yang lebih parah dan tidak dapat dirawat
dengan pembersihan profilaksis atau teknik mikroabrasi. Sebelum pemasangan vinir
porselen, gigi seharusnya dipreparasi terlebih dahulu untuk membuang lapisan luar
enamel sedalam 0,3-0,5mm secara merata. Basis preparasi harus pada bagian enamel
disemenkan pada gigi yang dipreparasi dengan hati-hati. Warna porselen yang
digunakan harus berwarna opak, dan dalam lapisan setipis mungkin tetapi masih
dapat menutupi daerah yang bermasalah.33
2.4.5 Bleaching
International Organization for Standardization (ISO) mendefinisikan bleaching
sebagai proses yang dapat menghilangkan diskolorisasi gigi secara intrinsik atau
ekstrinsik melalui penggunaan bahan kimia, dan kadang-kadang dikombinasikan
dengan sarana tambahan seperti sinar LED dan pemanasan.7 Menurut survei yang
dilakukan oleh Akarslan et al. (2009), bleaching merupakan perawatan untuk
memperbaiki estetik gigi yang paling diinginkan oleh masyarakat (49%) dibanding
metode restorasi estetik yang lain.34 Hal ini mungkin disebabkan oleh pemahaman
mereka bahwa bleaching merupakan suatu prosedur untuk merestorasi estetik gigi
yang tidak rumit dan tidak sakit.35 Perawatan bleaching terbagi menjadi dua, yaitu
bleaching vital dan non-vital. Bleaching vital (bleaching eksternal) merupakan
prosedur pemutihan gigi yang dilakukan pada gigi yang masih vital pada permukaan
gigi, manakala bleaching non-vital (bleaching internal) dilakukan secara intrakoronal
pada gigi yang non-vital dalam kamar pulpa.
2.4.5.1 Bleaching vital
Bleaching vital adalah perawatan pemutihan gigi yang bersifat konservatif.
Bleaching ini dilakukan secara eksternal yaitu dilakukan pada permukaan gigi. Secara
umum, terdapat dua teknik dalam melakukan pemutihan gigi secara vital. Salah
satunya adalah pemutihan gigi yang dilakukan dokter gigi di praktek atau disebut
in-office bleaching, dan yang kedua adalah home bleaching yaitu perawatan pemutihan
gigi yang dilakukan oleh pasien sendiri di rumah tanpa atau dibawah pengawasan
a) In-office bleaching
In-office bleaching sering disebut sebagai “one-hour bleaching” dan biasanya
dilakukan dengan menggunakan bahan pemutih gigi yang berkonsentrasi tinggi
seperti hidrogen peroksida 35%-38% atau karbamid peroksida 35%-40% yang
dilakukan oleh dokter gigi untuk jangka waktu yang pendek.36 Biasanya in-office
bleaching memerlukan penyinaran atau pemanasan dengan alat-alat khusus seperti
tungsten halogen curing light, xenon plasma arc light, argon and CO2 laser, dan
diode laser light untuk mendapatkan efek pemutihan yang lebih cepat. Indikasi untuk
in-office bleaching adalah stain permukaan gigi yang ringan atau sedang.
Diskolorisasi yang berat seperti stain tetrasiklin, sensitivitas terhadap bahan
peroksida, karies atau restorasi yang meluas merupakan kontraindikasi perawatan
ini.9
Pemutihan gigi secara in-office adalah perawatan yang paling sesuai untuk pasien
sibuk yang tidak mempunyai waktu untuk mengaplikasikan strip atau bleaching tray
setiap hari. Selain itu, teknik pemutihan gigi ini juga tidak memerlukan waktu yang
banyak dan dapat mendapatkan hasil yang memuaskan setelah dua kali kunjungan ke
dokter gigi. Namun, disebabkan oleh penggunaan bahan peroksida yang
berkonsentrasi tinggi dalam perawatan ini, beberapa efek samping harus diperhatikan
setelah melakukan bleaching. Antara efek samping yang paling sering dilaporkan
adalah iritasi mukosa atau gingiva dan sensitivitas gigi. Oleh itu, penggunaan rubber
dam dan bahan pelindung mukosa seperti vaselin atau pelembab bibir diperlukan
selama prosedur bleaching.36
b) Home bleaching
Home bleaching merupakan teknik pemutihan gigi yang lebih sering dipilih oleh
dokter gigi karena teknik ini menggunakan bahan peroksida yang berkonsentrasi
rendah.16 Home bleaching dapat dilakukan oleh pasien sendiri di rumah dengan atau
tanpa pengawasan dokter gigi. Perawatan home bleaching yang dilakukan dibawah
pengawasan dokter gigi dikenali sebagai nightguard vital bleaching yaitu dengan
menggunanakan tray yang berisi bahan pemutih yang diadministrasi oleh dokter gigi
digunakan dalam teknik ini adalah tray bening dan tipis yang dibuat khusus untuk
setiap pasien dengan bahan ethyl vinyl acetate atau sering juga dikenali sebagai
plastik fleksibel. Bahan bleaching yang digunakan untuk nightguard adalah 10%
-22% karbamid peroksida atau hidrogen peroksida 1-10%.4,9
Home bleaching yang dilakukan tanpa pegawasan dokter gigi pula berupa
penggunaan produk over-the-counter (OTC) seperti pasta gigi, obat kumur, strip, dan
permen karet yang dapat dibeli di pasaran tanpa resep dokter gigi.36 Teknik home
bleaching diindikasikan untuk kasus diskolorisasi tetrasiklin atau fluorosis yang
ringan, stain dari rokok atau tembakau, dan diskolorisasi yang disebabkan oleh
penuaan. Gigi dengan garis fraktur atau retak yang dalam, diskolorisasi berat,
sensitivitas terhadap bahan bleaching, restorasi gigi yang luas, ibu hamil, atau pasien
yang tidak kooperatif merupakan kontraindikasi untuk melakukan home bleaching.9
2.4.5.2 Bleaching nonvital
Bleaching nonvital merupakan teknik pemutihan gigi yang diindikasikan untuk
merawat diskolorisasi gigi yang parah seperti stain tetrasiklin atau diskolorisasi pada
gigi yang telah mengalami degenerasi pulpa. Cara bleaching ini dilakukan secara
internal, yaitu bahan bleaching diaplikasikan di kamar pulpa gigi untuk memutihkan
gigi yang mengalami diskolorisasi internal. Bleaching nonvital mempunyai tingkat
keberhasilan yang tinggi dalam usaha mengembalikan warna gigi yang telah
mengalami diskolorisasi. Beberapa teknik bleaching nonvital yang sering digunakan
adalah walking bleach, thermocatalytic bleaching, dan inside/outside bleaching.9,38,39
a) Walking bleach
Teknik ini pertama kali digunakan oleh Spasser pada tahun 1961. Beliau
menggunakan campuran sodium perborat dan air sebagai bahan pemutih untuk teknik
ini. Teknik ini kemudian dimodifikasi oleh Nutting dan Poe (cit. Plotino et al., 2008)
dengan memasukkan campuran sodium perborat dan 30% hidrogen peroksida ke
dalam kamar pulpa selama 1 minggu. Teknik ini diindikasikan untuk kasus
diskolorisasi yang berasal dari kamar pulpa, pewarnaan akibat tetrasiklin yang sedang
Campuran sodium perborat dan air dengan perbandingan 2:1 merupakan bahan
bleaching yang cukup bagus. Namun pada kasus diskolorisasi yang berat, sodium
perobrat dapat dicampur dengan hidrogen peroksida 30%. Setelah pengaplikasian
bahan bleaching, kavitas tersebut ditumpat dengan bahan tumpatan sementara untuk
mengelakkan leakage bahan bleaching dan juga untuk memastikan perawatan ini
berhasil. Setelah 3 hingga 7 hari, warna gigi dievaluasi kembali. Sekiranya pasien
masih tidak puas terhadap warna giginya, prosedur ini dapat diulang sehingga
mencapai hasil yang memuaskan. Sesudah itu, kavitas ditumpat dengan komposit
secara permanen.9,38,39
b) Thermocatalytic bleaching
Thermocatalytic bleaching adalah suatu teknik pemutihan gigi dimana 30%-35%
hidrogen peroksida diaplikasikan ke dalam kamar pulpa kemudian diaktivasi dengan
sinar atau pemanasan. Teknik ini merupakan teknik bleaching yang paling efektif
karena pemanasan secara langsung maupun dari penyinaran akan meningkatkan suhu
intrapulpa sehingga memudahkan penetrasi peroksida ke dalam jaringan gigi. Suhu
yang sering digunakan untuk teknik ini adalah sekitar 50 hingga 60 oC selama 5 menit
atau dengan sinar polimerisasi halogen konvensional selama 5 menit. Setelah selesai
pemanasan, bahan bleaching biasanya ditinggalkan dalam kamar pulpa untuk
sementara waktu sampai kunjungan berikutnya supaya mendapat efek pemutihan
yang lebih bagus.32,38,39,40
c) Inside/outside bleaching
Teknik ini merupakan kombinasi bleaching internal secara nonvital dengan
teknik home-bleaching supaya proses bleaching lebih efektif. Teknik kombinasi ini
efektif dalam perawatan diskolorisasi yang berat. Keuntungan dari perawatan ini
adalah waktu perawatan yang lebih singkat berbanding teknik bleaching nonvital
yang lain, dan teknik ini menggunakan karbamid peroksida yang berkonsentrasi
rendah, biasanya 10% sehingga dapat megurangi risiko resorpsi eksternal. Teknik ini
tidak sesuai digunakan pada pasien yang tidak kooperatif karena teknik ini
memerlukan pasien sendiri untuk mengaplikasikan bahan bleaching setiap hari di
2.4.5.3 Bahan bleaching
Bahan yang digunakan untuk perawatan bleaching umunya mengandung
peroksida dan merupakan zat pengoksidasi. Antara bahan peroksida yang sering
digunakan dalam perawatan bleaching adalah hidrogen peroksida dan karbamid
peroksida.
a) Hidrogen peroksida
Hidrogen peroksida (H2O2) adalah suatu cairan yang bening, tidak berwarna, dan
tidak berbau. Penggunaan hidrogen peroksida dalam perawatan bleaching telah
dimulai sejak lebih dari satu abad yang lalu, tetapi hanya menjadi popular sejak
pengenalan home bleaching oleh Haywood dan Heymann pada tahun 1989. (cit. Li y
dan Greenwall L, 2013).7 Ia merupakan suatu bahan oksidasi yang kuat dan bersifat
asam dengan pH sekitar 5.0-6.0. Hidrogen peroksida yang berkonsentrasi tinggi
bersifat kaustik dan sangat mengiritasi jaringan sehingga pemakaiannya harus
hati-hati. Apabila diaplikasikan di rongga mulut, pemakaian rubber dam diperlukan untuk
melindingi gingiva dan mukosa mulut daripada iritasi. Bahan ini tidak stabil sehingga
pelepasan oksigennya cepat apabila terjebak udara. Oleh itu, ia harus disimpan di
tempat yang teduh dan dingin untuk mengelakkan peledakan.32
Hidrogen peroksida tersedia dalam konsentrasi dan sediaan yang berbeda-beda.
Hidrogen peroksida dengan konsentrasi 30%-35% disebut juga sebagai superoksol
atau perhidrol, biasanya digunakan untuk perawatan bleaching in-office dan didapat
dalam bentuk sediaan gel. Hidrogen peroksida yang digunakan untuk home bleaching
pula mengandung 3%-9% H2O2 dan terdapat dalam bentuk sediaan obat kumur, pasta
gigi, atau strip pemutih. Hidrogen peroksida mampu memberi efek pemutihan gigi
dengan segera karena merupakan bahan oksidator yang kuat dan mengandung bahan
aktif yang konsentrasi tinggi. Namun begitu, kelemahan bahan hidrogen peroksida
adalah memiliki efek negatif terhadap gigi seperti penurunan kekerasan enamel,
perubahan morfologi enamel, hipersensitivitas gigi, toksisitas apabila tertelan, serta
iritasi jaringan mukosa. 4,7,32
Baru-baru ini, beberapa pabrik telah memperkenalkan bahan bleaching yang
bahwa sinaran cahaya menghasilkan haba yang dapat meningkatkan suhu intrapulpa
sehingga bahan peroksida dapat berpenetrasi ke dalam jaringan keras gigi dengan
lebih cepat dan efektif. Araujo et al. (2010) mengemukakan bahwa sinar halogen dan
LED biru dapat meningkatkan kecerahan gigi.40 Namun hasil ini tidak sama dengan
penelitian Roberto et al. (2011) yang tidak menemukan perbedan yang signifikan
dalam tingkat kecerahan gigi antara kelompok yang tidak menggunakan aktivasi sinar
dan kelompok yang menggunakan aktivasi sinar.41
b) Karbamid peroksida
Karbamid peroksida (CH6N2O3) atau dikenal juga sebagai urea hidrogen
peroksida, biasanya didapati dalam konsentrasi yang bervariasi antara 3% hingga
45%. Karbamid peroksida dengan konsentrasi 10% merupakan bahan bleaching yang
paling sering digunakan untuk perawatan home bleaching dan merupakan bahan
bleaching yang paling aman dan efektif menurut American Dental Association
(ADA). Karbamid peroksida sering digunakan dalam perawatan pemutihan gigi
karena bahan ini mempunyai efektivitas dalam peningkatan kecerahan gigi serta lebih
aman dibanding dengan hidrogen peroksida.4,6
Biasanya karbamid peroksida 35% akan terurai menjadi 23% urea (CH4N2O)
sebagai stabilisator dan 12% hidrogen peroksida (H2O2) sebagai bahan aktif dalam
proses bleaching apabila berkontak dengan saliva atau air.31,32 Efek pemutihan
hidrogen peroksida 35% lebih cepat dibanding karbamid peroksida karena merupakan
bahan oksidator yang kuat, sementara karbamid peroksida 35% hanya mengandung
bahan aktif hidrogen peroksida sebanyak 12% yang akan berdifusi ke dalam jaringan
gigi secara perlahan-lahan. Umumnya, efek pemutihan hidrogen peroksida hampir
sama apabila dibanding dengan karbamid peroksida yang mengandung persentase
hidrogen peroksida yang sama. Contohnya, pada penelitian Nathoo et al. (cit Joiner A,
2006) aplikasi 25% karbamid peroksida atau 8,7% hidrogen peroksida sekali sehari
menghasilkan efek pemutihan yang hampir sama37
Seperti hidrogen peroksida, perawatan bleaching dengan karbamid peroksida
juga dapat menyebabkan efek negatif terhadap gigi dan jaringan sekitarnya seperti
hipersensitivitas gigi, dan iritasi gingiva. Namun, disebabkan konsentrasi hidrogen
peroksida yang dihasilkan oleh karbamid peroksida lebih rendah, serta adanya urea
sebagai penetralisir pH bahan peroksida, efek negatif yang dihasilkan lebih rendah
sehingga lebih aman digunakan untuk perawatan bleaching dibanding hidrogen
peroksida. Penelitian Pinto et al. (2004) mendapati bahwa sampel gigi yang diaplikasi
hidrogen peroksida mengalami penurunan kekerasan dan perubahan struktur enamel
yang paling tinggi dibanding kelompok kontrol dan karbamid peroksida.14 Sebuah
penelitian studi klinikal yang dilakukan selama 6 bulan mengemukakan bahwa
penggunaan gel bleching karbamid peroksida 10% setiap hari tidak memengaruhi
morfologi permukaan enamel.7 Sementara penelitian Araujo et al. (cit. Joiner, 2007)
mendapati bahwa penggunaan gel karbamid peroksida 10% untuk 1 jam atau 7 jam
selama 21 hari tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap nilai kekerasan
enamel.12
2.3.5.4 Mekanisme bleaching
Mekanisme reaksi pemutihan gigi belum diketahui secara pasti, namun diduga
bahwa efek pemutihan daripada bahan peroksida merupakan hasil kerja radikal bebas
yang dilepaskan sewaktu proses oksidasi. Radikal bebas adalah atom atau molekul
yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya dan harus
berpasangan dengan elektron tunggal lain untuk menjadi molekul yang stabil. Apabila
hidrogen peroksida berdifusi ke dalam jaringan keras gigi, akan terjadi penguraian
menjadi air (H2O), oksigen (O2) dan juga radikal bebas.42
Rumus-rumus di atas adalah mekanisme bahan bleaching hidrogen peroksida.
radikal bebas seperti hidroksil, radikal perhidroksil, dan anion superoksid. Rumus (b)
pula menggambarkan proses penguraian hidrogen peroksida menjadi komponen yang
paling dasar yaitu air dan oksigan. Rumus (c) adalah mekanisme transformasi
hidrogen peroksida menjadi anion hidrogen peroksida.42
Seperti yang dijelaskan di gambar 6, radikal bebas yang tidak stabil akan
memecahkan molekul kromofor yang kompleks menjadi fragmen kecil. Molekul
kromofor yang tereduksi tidak mampu memantulkan cahaya yang banyak, sehingga
menyebabkan gigi kelihatan lebih cerah dan warna gigi menjadi lebih putih. Hal ini
akan menyebabkan terhasilnya efek pemutihan pada gigi. Efek pemutihan ini
biasanya dibuktikan dengan terjadinya penurunan score warna pada shade guide dan
nilai kecerahan (L*). Reaksi hidrogen peroksida bervariasi tergantung kondisi fisik
dan lingkungannya seperti jenis bahan bleaching, konsentrasi dan lamanya aplikasi
bleaching, keparahan diskolorisasi gigi, dan penggunaan katalis tambahan seperti
sinar LED.7,8,9,27,37
Gambar 6. Mekanisme bleaching hidrogen peroksida42 Diskolorisasi gigi
akibat masuknya
kromofor ke dalam
2.5 Pengaruh bleaching terhadap gigi
Umumnya, setiap perawatan gigi yang dilakukan pasti ada efeknya terhadap
jaringan gigi dan sekitarnya, begitu juga dengan perawatan bleaching. Pelbagai kajian
telah dilakukan untuk meneliti efek negatif bleaching terhadap enamel gigi. Hal ini
disebabkan oleh sifat bahan bleaching sebagai oksidator kuat, sehingga menimbulkan
kontroversi dalam perawatan bleaching.
Efek negatif yang paling sering berlaku akibat bleaching adalah kehilangan
mineral, perubahan morfologi permukaan enamel, dan perubahan kekerasan enamel
gigi.
a) Pelepasan ion kalsium dan fosfor
Enamel terdiri dari sebagian besar materi anorganik atau mineral. Dalam kondisi
lingungan yang asam, enamel gigi akan mengalami demineralisasi sehingga
menyebabkan kehilangan komponen di enamel seperti ion kalsium dan fosfat.
Demineralisasi enamel gigi akan berlaku apabila pH lingkungan lebih sedikit
daripada 5.5, sementara kebanyakan bahan bleaching mempunyai pH kurang dari
5.5.43
Sun et al. (2011) telah melakukan sebuah penelitian untuk mengevaluasi
perubahan permukaan enamel dengan menggunakan Raman spectroscopy dan
ATR-FTIR setelah dilakukan bleaching dengan hidrogen perkosida 30% yang bersifat
asam (pH 3.6) dan netral (pH 7.0). Hasilnya, ternyata konsentrasi kelompok fosfat
dalam enamel berkurang secara drastis untuk sampel yang diberi hidrogen peroksida
yang bersifat asam, manakala untuk sampel yang diberi bahan yang bersifat netral
pula mengalami perubahan kandungan fosfat yang minimal.44 Selain pH bahan
bleaching, lama pemaparan gigi terhadap bahan bleaching juga dapat memengaruhi
kecepatan kehilangan mineral pada enamel.12
b) Morfologi permukaan enamel
Perubahan morfologi perubahan merupakan salah satu efek negatif bleaching
yang paling sering dilaporkan karena proses oksidasi bahan peroksida berpotensi
menyebabkan erosi enamel. Banyak penelitian telah dilakukan untuk menilai efek
Elcetron Microscope (SEM). Caballero et al. (2007) dan Dudea et al. (2009)
melaporkan bahwa tidak ada perubahan pada morfologi enamel setelah dilakukan
bleaching dengan karbamid peroksida dan hidrogen peroksida yang berkonsentrasi
rendah.45,46 Manakala penelitian lain pula menyatakan bahwa perubahan morfologi
pada permukaan enamel jelas kelihatan.14,47,48,49
Perubahan morfologi yang sering terjadi pada enamel adalah terpaparnya prisma
enamel, porositas dan erosi enamel, pembentukan kawah, kehilangan lapisan
aprismatik, serta iregularitas pada permukaan enamel.14,47 Perubahan morfologi ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor, anataranya adalah konsentrasi dan lama pemaparan
bahan bleaching, serta pH bahan peroksida. Junqueira et al. (2011) telah menganalisa
morfologi enamel setelah bleaching pada konsentrasi karbamid peroksida 16% dan
22% dengan lama pemaparan bahan bleaching yang berbeda. Hasilnya sampel yang
diberi karbamid peroksida yang berkonsentrasi tinggi dan pemaparan bahan
bleaching yang lebih lama mengalami perubahan morfologi enamel yang lebih parah
berbanding kelompok lain.48
c) Kekerasan enamel
Perubahan kandungan organik dan anorganik pada enamel setelah bleaching
dapat dievaluasi melalui ujian kekerasan enamel. Hal ini karena proses oksidasi
bahan peroksida akan melarutkan matriks organik dan menyebabkan pelepasan
ion-ion kalsium dan fosfat. Apabila hidroksiapatit kelihangan ion-ion-ion-ion ini, lattice
hidroksiapatit akan menjadi distorsi sehingga mengakibatkan struktur enamel menjadi
poreus dan mempunyai pola honey-comb. Hal ini dapat menyebabkan penurunan
kekerasan enamel gigi.12
Penelitian Sun et al. (2011) mendapati bahwa sampel yang diberi perlakuan
bleaching dengan 30% hidrogen peroksida mengalami penurunan nilai kekerasan
enamel yang signifikan.44 Demikian juga hasilnya pada penelitian Pinto et al. (2004)
tentang efek karbamid peroksida dan hidrogen dengan konsentrasi berbeda (variasi
antara 10% hingga 35%).13 Namun, beberapa peneliti lain menemukan hasil yang
berbeda. Penelitian Ferreira et al. (2006), Davari et al. (2012) dan Sasaki et al. (2009)
tidak mengakibatkan penurunan kekerasan enamel, sementara penelitian Delfino et
al. (2009) dan Rodrigues et al. (2003) menunjukkan adanya sedikit penurunan nilai
kekerasan enamel tetapi hasilnya tidak signifikan.6,12,43,49,50
2.6 Metode pengukuran warna gigi
Persepsi warna berbeda untuk setiap individu. Oleh itu untuk menstandardisasi
hasil penilaian warna, beberapa teknik dan peralatan telah dikembangkan untuk
memudahkan dokter gigi dalam perihal penentuan warna gigi. Secara umum,
pengukuran warna gigi terbagi kepada dua kategori, yaitu pengukuran warna secara
subjektif dan pengukuran warna secara objektif.
2.6.1 Metode subjektif
Pengidentifikasian warna gigi dengan metode subjektif adalah cara yang paling
tradisional, yaitu dilakukan secara visual dengan menggunakan shade guide. Usaha
pertama untuk menggambarkan warna gigi dengan akurat dilakukan oleh seorang
dokter gigi yang bernama Dr. E. B. Clark pada tahun 1931 dengan dengan
berdasarkan sistem Munsell yang dilakukan secara visual. Lanjutan itu, VITAPAN
Classical shade guide dengan 16 tab warna gigi telah dihasilkan pada tahun 1956
untuk membantu dokter gigi dalam pengidentifikasian warna gigi dengan lebih akurat
(Gambar 7). Sehingga hari ini, shade guide merupakan alat mengukuran warna gigi
yang sangat popular dan digunakan oleh kebanyakan dokter gigi di seluruh dunia.
Namun, disebabkan warna yang tersedia pada VITAPAN Classical shade guide didapati kurang seragam dengan warna yang terbatas, maka terhasilnya beberapa variasi shade guide seperti VITA Linearguide 3D-Master, VITA Toothguide 3D-Master, dan VITA
Bleachedguide 3D-Master (Gambar 8). VITA Bleachedguide 3D-Master merupakan
shade guide yang didesain khusus untuk mengevaluasi warna gigi yang telah dibleaching,
Gambar 7. VITAPAN Classical shade guide23
Gambar 8. VITA Bleachedguide 3D-Master23
Menurut Westland et al. (2007), terdapat beberapa kekurangan dalam
penggunaan metode subjektif ini. Pertamanya, warna yang tersedia pada shade guide
tidak adekuat untuk pengidentifikasian warna gigi asli yang bervariasi. Kekurangan
yang kedua adalah kurangnya konsistensi antara dokter gigi dalam penentuan warna
gigi. Hal ini karena setiap individu mempunyai persepsi warna yang berbeda. Selain
itu, Penilaian warna gigi secara visual juga dipengaruhi oleh banyak faktor luar
seperti warna dinding di sekeliling pasien, warna pakaian pasien, pencahayaan di
praktek, dan kelelahan operator.51
2.6.2 Metode objektif
Metode ini dikembangkan untuk mengatasi kekurangan-kekurangan dari metode
hasil yang lebih akurat dan spesifik berbanding metode subjektif. Alat pengukuran
warna secara objektif antara lain, spektrofotometer warna, kolorimeter, dan kamera
digital.52
a) Spektrofotometer warna
Spektrofotometer merupakan salah satu alat untuk mengukur warna gigi secara
objektif (Gambar 9). Alat ini memberi hasil berdasarkan data spektral cahaya L*, a*,
dan b* serta dapat mengukur tingkat reflektans suatu obyek. Spektrofotometer
merupakan instrument pengukuran warna yang paling akurat dan fleksibel dalam
bidang kedokteran gigi. Alat ini mampu mengukur jumlah cahaya yang dipantulkan
dari obyek pada interval 1-25nm dalam spektrum visibel. Sebuah spektrofotometer
mengukur jumlah hue dan juga nilai value atau kecerahan suatu obyek. Selain itu,
jumlah cahaya yang dipantulkan dari obyek tersebut juga direkam oleh alat ini.52
Gambar 9. Spektrofotometer warna (dok.)
Komponen-komponen dalam sebuah spektrofotometer antara lain, sumber
cahaya, sebuah sistem optik untuk pengukuran, detektor pantulan cahaya, dan sebuah
sistem untuk mengkonversi panjang gelombang cahaya yang dipantul menjadi
L*, a* dan b*.52 Gambar 10 menunjukkan mekanisme kerja spektrofotometer warna
dimana cahaya akan dipantulkan oleh objek dan ditangkap oleh sensor. Sensor ini
akan mengkonversi panjang gelombang cahaya yang dipantul menjadi spektrum
visibel dan kemudian dikonversi lagi menjadi nilai L*a* dan b* yang akan
dipaparkan pada display screen spektrofotometer.53
Gambar 10. Mekanisme kerja spektrofotometer warna53
Pada tahun 1976, Commision Internationale de l’Eclairage (CIE) telah
mengembangkan sistem warna berdasarkan model warna Munsell, dan
mempublikasikan sistem warna CIELAB. Sistem ini juga mempunyai tiga dimensi
warna, yaitu L*, a*, dan b* (Gambar 11).54 L* mewakili value atau tingkat kecerahan
suatu obyek dan dinilai berdasarkan skala warna yang ditetapkan, dimana L* 0
melambangkan warna hitam sedangkan L* 100 adalah warna putih. ∆L* menunjukkan
perbedaan antara nilai L* standar dan sampel yang diukur, atau dalam bidang kedokteran gigi digunakan untuk menentukan perubahan nilai L* sebelum dan sesudah perlakuan bleaching, yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus:40,44
Nilai ∆L* positif menandakan adanya peningkatan kecerahan, sementara nilai
∆L* negatif menandakan bahwa gigi tersebut menjadi semakin gelap. Dalam sistem ini, terdapat juga dua komponen yang mewakili kombinasi hue dan kroma yaitu aksis a*
yang mengukur warna merah dan hijau serta aksis b* pula yang mengukur warna
kuning dan biru. Keduadua aksis warna ini memberi hasil angka dari +128 hingga
-128.40 Menurut Dietschi et al. (2006), nilai L* merupakan parameter pengukuran warna yang paling sesuai untuk dilakukan perbandingan dalam kondisi eksperimental untuk menguji keberhasilan perawatan bleaching.55
Gambar 11. Aksis warna L*, a*, dan b* 54
Keuntungan penggunaan spektrofotometer dalam pengukuran perubahan warna
gigi adalah tingkat sensitivitas alat ini yang sangat tinggi sehingga dapat mendapat
hasil yang sangat spesifik. Namun, terdapat juga kekurangan dari penggunaan alat ini.
Salah satunya adalah harga spektrofotometer yang mahal disebabkan oleh presisi dan
akurasinya yang tinggi. Selain itu, posisi spektrofotometer sewaktu mengukur warna
juga harus diperhatikan karena posisi yang salah dapat menyebabkan terjadinya
pembiasan sehingga hasilnya tidak akurat.56
Banyak penelitian untuk mengevaluasi keberhasilan bleaching telah dilakukan
yang lebih spesifik dibandingkan metode pengukuran warna yang manual yaitu
dengan shade guide. Dari hasil spektrofotometer, nilai kecerahan sebelum dan
sesudah perawatan bleaching dapat dilihat dengan jelas melalui parameter L*. 4,5,6,40
b) Kolorimeter
Kolorimeter adalah salah satu alat yang digunakan untuk mengukur warna gigi.
(Gambar 12) Alat ini merekam cahaya merah, hijau, dan biru pada spektrum visibel.
Kolorimeter tidak mengukur nilai reflektans warna dan hasilnya kurang akurat
dibanding spektrofotometer.52
Gambar 12. Kolorimeter55
c) Kamera digital
Kamera digital boleh digunakan untuk mengukur tingkat warna atau nilai
kecerahan gigi. Alat ini mengaplikasikan sistem warna RGB, yaitu dengan merekam
warna merah, hijau, dan biru suatu obyek. Pengukuran warna gigi dengan metode ini
memerlukan suasana dan pencahayaan yang terkalibrasi untuk mengelakkan bias.
Seluruh permukaan gigi difoto, kemudian dianalisa warnanya di komputer dengan
software pengukur warna yang biasanya berdasarkan sistem CIELab. (Gambar 13)
Kamera digital sering digunakan dalam penelitian untuk mengukur warna gigi karena
dapat mengetahui distribusi warna pada seluruh permukaan gigi dan pernggunaanya
lebih mudah dibanding spektrofotometer dan kolorimeter. Selain itu, metode ini juga
Gambar 13. Kamera digital dengan software analisa warna57
2.7 Alat pengukur kekerasan enamel
Kekerasan enamel seringkali diukur untuk mengetahui efek samping prosedur
bleaching terhadap enamel gigi. Metode pengukuran nilai kekerasan enamel yang
sering digunakan adalah metode Knoop dan metode Vickers.
a) Metode Knoop
Metode Knoop biasanya digunakan untuk mengukur nilai kekerasan obyek yang
kecil atau tipis. Beban pengujian kekerasan Knoop berkisar antara 10 hingga 1000
gram. Indentor diamond Knoop menghasilkan indentasi kecil yang berbentuk
rhomboid yang elongasi dimana ratio antara diagonal yang panjang dibanding
diagonal pendek adalah 7:1. Hasil pengukuran garis diagonal indentasi kemudian
Gambar 14. Bentuk indentasi alat kekerasan Knoop57
b) Metode Vickers
Vickers hardness tester adalah salah satu alat yang digunakan untuk mengukur
nilai kekerasan enamel (Gambar 15).Pengujian kekerasan Vickers dilakukan dengan
membuat indentasi pada permukaan obyek yang diuji dengan indentor diamond yang
berbentuk piramida dengan dasar persegi dan sudut 136o antara satu permukaan
dengan permukaan yang berlawanan seperti di gambar 16. Beban yang diinginkan
ditekan pada permukaan obyek selama 10 sampai 15 detik. Setelah itu, panjang kedua
garis diagonal pada lekukan yang terhasil diukur di bawah mikroskop untuk
mendapatkan nilai rata-ratanya. Area setiap permukaan indensasi juga dihitung.
Kemudian, nilai kekerasan Vickers (HV) dihitung dengan rumus:58
Biasanya pengujian kekerasan Vickers digunakan untuk menguji kekerasan gigi dibanding metode Knoop karena bentuk persegi yang dihasilkan oleh indentor Vickers lebih mudah diukur dan hasil juga lebih akurat. Perubahan kecil pada bentuk persegi yang dihasilkan oleh indentor dapat dideteksi dengan mudah, sementara lekukan yang
Petunjuk:
F = beban yang diterapkan d = rata-rata panjang kedua
dihasilkan oleh indentor Knoop berbentuk rhomboid sehingga pendeteksian kesalahan sulit dilakukan. Untuk menghindari bias nilai kekerasan sampel, beberapa indentasi harus dilakukan pada setiap sampel dan diambil nilai rata-ratanya. 15
Gambar 15. Alat penguji kekerasan Vickers (dok.)