5.3 LAMPIRAN
5.3.1 Profile Informan
Subyek dari penelitian ini terdiri dari keluarga anak jalanan yang terdiri dari orang tua
(ayah dan ibu) dan anak-anak yang bekerja di jalanan Kota Medan. Dalam penelitian ini, peneliti
mengambil responden/informan sebanyak lima keluarga anak jalanan yang terdiri dari 4 orang
ibu anak jalanan dan 5 orang ayah dari anak jalanan, dan 9 orang anak jalanan. Untuk lebih
jelasnya data informan orang tua anak jalanan dapat dilihat dari table berikut:
Tabel 4.1
Data Informan Orang Tua ( Ibu ) Dari Keluarga Anak Jalanan di Kota Medan
No. Nama Usia Pekerjaan
Pendidikan
SD SMP SMA
1 Lusi 40 Tahun Pembantu rumah tangga
2 Dewi 32 Tahun Tukang Cuci
3 Saima 42 Tahun Tukang Cuci
Tabel 2
Data Informan Orang Tua ( Ayah ) Dari Keluarga Anak Jalanan di Kota Medan
No. Nama Usia Pekerjaan
Pendidikan
SD SMP SMA
1 Tanehesi 49 Tahun Tukang Becak
2 Yesi 38 Tahun Tukang Becak
3 Sarman 48 Tahun Tukang Becak
4 Udin 34 Tahun Buruh Bangunan
5 Herman 33 Tahun Tukang Botot
Tabel 3
Data Informan Anak Jalanan Dari Keluarga Anak Jalanan di Kota Medan
No Nama Usia Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan
1 Dama 12 Tahun Laki-laki 6 SD pemulung/pencari botot
2 Aditya 9 Tahun Laki-laki 9 SD Pengemis
3 Dabo 16 Tahun Laki-laki 1 SMA Pengamen
4 Irfan 10 Tahun Laki-laki 5 SD Pengamen
5.3.2 Informan Anak Jalanan
Berdasarkan hasil penelitian keluarga anak jalanan di kota Medan, Peneliti mewawancari
4 orang ibu dari anak jalanan dan 4 orang ayah dari anak jalanan, dan 5 orang anak-anak jalanan
yang bekerja di jalanan yang masih memiliki keluarga, dimana anak-anak bekerja di jalanan
dikarenakan ingin membantu perekonomian keluarganya, keinginanan sendiri untuk bekerja di
jalan, dan rendahnya penghasilan orang tuanya sehingga anak harus ikut serta dalam bekerja.
Adapun Responden dari anak-anak yang merupakan keluarga anak jalanan,sebagai berikut :
1. Dabo (Pengamen)
Dabo merupakan anak jalanan yang bekerja di jalan dikarenakan kondisi
perekonomian keluarganya yang rendah. Sehingga dabo harus turun ke jalan untuk
membantu kedua orang tuanya. Dabo bekerja dari pukul 13.00 siang sampai dengan
pukul 17.30 sore. Bekerja dari hari senin sampai sabtu dengan rata-rata penghasilan dari
Rp.70.000 sampai dengan Rp.100.000 dalam sehari.
2. Friska (Pemulung/Pencari Botot)
Friska adalah seorang anak yang bekerja sebagai pemulung/pencari botot, dia
tinggal bersama kedua orang tuanya dan bersama ketika saudaranya, friska merupakan
anak pertama dari empat bersaudara, dia memiliki tiga orang adik, dua adik perempuan
dan satu adik laki-laki. Friska bekerja di jalan hampir setiap hari, sepulang dari sekolah
dia akan bergegas mencari botol-botol bekas yang akan dia berikan kepada orang tua,
dimana orang tuanya juga seorang pemulung. Waktu yang dia habisakan untuk bekerja
adalah dari pukul 13.00 siang dan sampai pada pukul 16.00 sore, dengan rata-rata
3. Irfan (Pengamen)
Irfan tinggal bersama ayahnya dan kedua saudaranya. Kedua orang tuanya sudah
bercerai. Karena kondisi keluarganya, membuat Irfan harus terjun ke jalan untuk mencari
uang yang akan ia gunakan untuk dirinya sendiri. Penghasilan yang ia dapatkan dalam
sehari dapat mencapai Rp.70.000. Waktu yang ia gunakan untuk mengamen dalam sehari
sekitar tujah jam.
4. Aditya (Pengemis)
Aditya tinggal bersama kedua orang tuanya dan juga sauadara perempuannya.
Dimana ia bersama adik dan ibunya bekerja sebagai pengemis. Pekerjaan yang mereka
lakukan tidak menentu terkadang dalam seminggu ia mengemis hanya tiga sampai empat
kali, dan mulai bekerja menjadi pengemis dari pukul 13.30 dan puku 16.00 sore untuk
penghasilan rata-rata mereka adalah sekitar Rp. 70.000/hari.
5. Dama ( Pemulung/pencari botot)
Dama bekerja sebagai pemulung/pencari botot. Kedua orang tuanya juga memiliki
pekerjaan sampingan sebagai pemulung botol-botol bekas. Ia tinggal bersama kedua
orang tuanya, yang beranggota enam anak, , dua saudari perempuan, dan tiga lagi saudara
laki-laki. Dama merupakan anak keenama , ia mulai bekerja di jalan dari pukul 13.00
siang sampai pukul 17.00 sore , dan penghasilan rata-rata untuk Dama Rp.500.000/bulan
5.3.3.Informan Orang Tua Dari Anak Jalanan.
1. Sarman dan Saima
Bekerja sebagai tukang becak, dan isterinya Saima yang bekerja sebagai buruh
cuci. Mempunyai Empat orang anak, dan dua orang anak yang bekerja di jalan yaitu
Dabo usia 16 tahun seorang anak laki-laki, dan Ahmad 8 tahun, bekerja sebagai
pengamen. Keluarga Sarman adalah suku Jawa, dan beragama Islam.
2. Herman dan Sulastri
Herman bekerja sebagai pemulung atau pencari barang bekas, dan isterinya
Sulastri juga bekerja sebagai pemulung. Mereka mempunyai lima orang anak, dan satu
orang anak perempuan yang bekerja di jalanan, yaitu Friska usia 10 tahun bekerja sebagai
pemulung/pencari botot, keluarga Herman merupakan suku Batak yang beragama
Kristen.
3. Udin
Udin yang bekerja sebagi buruh bangunan yang sudah tidak beristeri lagi sekitar tiga
tahun yang lalu, Udin bercerai dengan Isterinya. Pernikahan dikaruniahi tiga orang anak,
dimana dua orang anak yang bekerja di jalanan, yaitu Michael usia 15 tahun dan Irfan
usia 10 tahun bekerja sebagai pengamen dan pemulung/pencari botot, keluarga Udian
merupakan suku Batak yang beragama Kristen
4. Dewi
Yesi yang bekerja sebagai tukang becak dan Dewi yang bekerja sebagi buruh cuci
harian. Mempunyai dua orang yang bekerja di jalan, yaitu Aditya usia 9 tahun laki-laki
dan Santika usia 7 tahun perempuan bekerja sebagai pengemis, Keluaga Yesi adalah suku
5. Tahenesi dan Lusi
Tahenesi yang bekerja sebagai tukang becak, dan isterinya Lusi yang bekerja
sebagai pembantu rumah tangga. Mempunyai enam orang anak dan dua orang anak
laki-laki yang bekerja di jalan yaitu Dama usia 12 tahun dan Aporinus 13 tahun, yang bekerja
sebagai pemulung/pencari botot dan pengamen. Keluarga Tehenesi merupakan suku Ono
Daftar Pustaka
Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Abdulsyani.2002. Sosiologi Skematika, Teori, Dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara
Andari, Soetji, Dkk. 2007. Uji Coba Model Perlindungan Anak Jalanan Terhadap Tindak Kekerasan. Yogyakarta: B2P3KS.
Adriyanto, Ambar. 2005. Sebuah Model Permberdayaan Anak Jalanan Di Bojonegoro.
Semarang: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah Dan Budaya.
Alkotsar, Artidjo. 1984. Advokasi Anak Jalanan. Jakarta: Rajawali.
Arif Gisita. 1989. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademi Pressindo.
Anwar, Evi Nurvidya dan Turro S.Wongkaren.1997 “ Masalah Anak dan Implikasi Ekonomi”, Prisma, No.2, 1997, LP3ES, Jakarta.
Anonym.2006. Pedoman Pelayanan Sosial Anak Jalanan Korban Eksploitasi Ekonomi. Jakarta: Direktorat Pelayanan Sosial Anak, Departeman Republik Indonesia.
Anonimus. 1980. Peraturan Pemerintah No. 31/1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. Jakarta.
Azwab,1986. Gelandangan Menurut Pandangan Ilmuwan Sosial. PT.Pustaka, Jakarta.
Bachtiar, Wardi. 2006. MS. Sosiologi Klasik, Dari Comte hingga Parsons. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Bungin, M. Burhan. Penelitian Kualitatif. Bandung : Kencana Pradana Media
Candraningsih dan Indrasari. 2000. Anak Jalanan, Manifestasi Peningkatan Terhadap Kebersamaan dan Kesetiakawanan Sosial. Yogyakarta.
Coleman,James S.2012. Dasar-Dasar Teori Sosial. (Terjemahan Imam Muttaqien bab 1-5, Derta Sri Widowatie bab 6,15-24, dan Siwi Purwandari bab 7-14). Bandung: Nusa Media.
Direktorat Kesejahteraan Anak. 2000. Keluarga dan Lanjut Usia Deputi Bidang Peningkatan Sosial, Modal Pelatihan Pimpinan Rumah Singgah. Badan Kesejahteraan Sosial. Jakarta.
Dhiny. 2003. Pola Kerja Anak Jalanan (Studi Kasus Pengamen Anak-Anak Jalanan Di Area Tugu Kujang Kota Bogor , Provinsi Jawa Barat). Skripsi. Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Institute Pertanian Bogor.
Dwi Susilo,Rachmad K. 2008. 20 Tokoh Sosiologi Modern. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.
Elmina. 2003. Perempuan, Kekerasan Dan Hukum. Yogyakarta:UII Press.
Ghalia dan Lucie Setiana. 2005. Teknik Penyuluhan Dan Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Pustaka Pelajar
Gosita, Arif. 1998. Masalah perlindungan Anak. Jakarta: Akademika Pressindo
Hanindita, Wiyono, Nurhadi. 1994. Anak-anak Jalanan dalam Warta Demografi Tahun ke 24. Jakarta: Universitas Indonesia
Handayani, K. 2009. Dikutip dari Skripsi “Idenfikasi Anak Jalanan di Kota Medan”. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara.
Handayo dkk. 2004. Profil Anak Jalanan Perempuan Di Kota Semarang (Kebutuhan Motivasi Dan Aspirasi). Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.
Hanandini, Dwiyanti, dan Machdaliza. 2008. Model Pembinaan Anak Jalanan dan Pengemis melalui Pemberdayaan Keluarga Luas dan Institusi Lokal untuk Mengatasi Masalah Anak Jalanan dan Pengemis di Sumatera Barat. Sumatera Barat: Universitas Andalas.
Hariadi, Sutoyo, Sukiadi, Ghosy, Saptansi, Asiyah, Karnaji, Dkk. 1999. Anak Jalanan DI Jawa Timur, Masalah Dan Upaya Penangganannya. Surabaya: Airlangga University Press.
Herlina, Apong, Dkk. 2003. Perlindungan Anak Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Jakarta: Harapan Prima.
Huraerah, Abu,2012, Kekerasan Terhadap Anak, Edisi Ketiga. Bandung: Nuasa Cendikia
Huraerah, A. 2006. Kekerasaan terhadap Anak. Penerbit Nuansa. Bandung.
Iqbali, Saptono. 2005. Gelandangan-Pengemis (GEPENG) di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Denpasar: Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Udayana.
Irwanto dkk, 1995. Pekerja Anak di Tiga Kota Besar : Jakarta, Surabaya, Medan, Jakarta.
Irwanto. 2011. Dikutip dari Tesis “Diskripsi Tentang Lingkungan Tempat Tinggal, Tempat Bekerja dan Sosial Ekonomi Pengemis Di Kota Pekanbaru. Universitas Riau.
Ivan N. Patmadiwiria. 2000. Potret Kehidupan Anak Jalanan Yogyakarta. Yigyakarta: Center Of Southeast Asian Studies, Uw-Madison.
Karjani dkk. 2001. Studi Tentang Penyusunan Model Pembinaan Dan Pemberdayaan Anak Jalanan Dalam Jurnal Penelitian Dinamika Sosial Volume 2 Nomor 3. Fakultas Ilmu Sosial Dan Polotik. Universitas airlangga.
Kartika, Tuti. 1997. Anak Jalanan Dan Model Penangannya (Studi Kualitatif) Tentang Anak Yang Di Bina Oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia Dan Yayasan Amalia di Jakarta. Jakarta, Tesis. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
Kartono, K. 2011. Patologi Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Parsada. Kalida, Muhsin. 2005. Sahabatku Anak Jalanan. Yogyakarta: Alief Press.
Koentjaraningrat, 1989. Methode-Methode Penelitian Masyarakat, Jakarta, Gramedia
Koentjaraningrat,1982, Lima Keluarga Penggali Paris, Dalam Masalah-Masalah Pembangunan: LP3ES, Jakarta.
Marlina, Wina. 2006. Analisis Tingkat kekerasan Pada Anak Jalanan (Kasus Anak Jalanan Binaan RPA Gessang Ghosyaari, Bogor. Jawa Barat). Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian.
IPB
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman. 2007. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Ui Press Maidin Gultom. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak. Dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak Di Indonesia. Bandung: Rifika Aditama
Meleog. Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya.
Merdeka Sirait, Ariest.2000. Perlindungan Anak: Keadaan di Indonesia . Dalam Anak Jalanan Dilecehkan Anak Gendong Dimesinkan. Disunting oleh Maskun Iskandar. Jakarta: Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS).
Nurhadjatmo, Wahyu. 1999. Seksualitas Anak Jalanan. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM.
Triasmoro, Gatot.2005. Kekerasan Terhadap Anak Jalanan. Studi Kasus Terhadap Satu Anak Jalanan Di Wilayah Stasiun Jatinegara. Depok: Fisip Universitas Indonesia.
Oscar Lewis, 1988. Kisah Lima Keluarga, Telaah-Telaah Kasus Orang Meksiko Dalam Kebudayan Kemiskinan: Yayasan Obor Indonesia.
Purwoko. 2013.Analisis Faktor Penyebab Keberadaan Anak Jalanan Kota Balikpapan. Ejournal Sosiologi volume 1, nomor 4, 2013
Purnawati, dkk. 1993. Anak Jalanan. YKKSP. Medan.
Purnama, Dadang H. 2004. Modul Ajar Metode Penelitian Kualitatif. Inderalaya: Universitas Sriwijaya.
Putra, Nusa. 1996. Potret Buram Anak Jalanan. Jakarta: Yayasan Akatiga Dan Gugus Analisis. Poloma, Margaret.M. 2004. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grapindo Persada
Pratama, Agung. 2009. Fenomena pengemis di Bandung. Bandung: Jurnal.
Pramono, Herry, Dkk. 2001. Baseline Survei Untuk Program Dukungan Dan Pemberdayaan Anak Jalanan Di Perkotaan. Jakarta: PKPM Unika Atma Jaya.
Ritzer,George & Goodman, Douglas J.2004. Teori Sosiologi Medern. Jakarta:Prenada Kencana Media.
Ritzer, George, 2012, Teori-Teori Sosiologi dari Klasik, Modern, Posmo, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Riadi, Buyung. 2011. Tindakan Sosial Anak Jalanan (Pengamen)di Kawasan Pantai Losari.
Skripsi 1 Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univeresitas Hasanuddin. Riyanto, Agus, (Ed). 2004. Perlindungan Anak: Sebuah Buku Panduan Bagi Anggota Dewan
Roux, J Le. Street Children:” Running From” or “Runningto”?, Departemen of Psycho& Social
Pedagogics. University Of Pretoria.
Roesmini Dan Riza Risyanti. 2006. Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Hima PSM.
Sanituti, S & Bagong Suyanto dkk, 1999. Anak Jalanan di Jawa Timur (Masalah-Masalah dan Upaya Penanganannya) Surabaya, Airlangga University Press.
Sarifuddin, D. 2009. Model Resosialisasi Anak Jalanan. Laporan Penenlitian. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.
Sallahuddin, Odi. 2000. Anak Jalanan Perempuan. Semarang: Yayasan Setara.
Santoso, P. (2010). Pengambilan Keputusan Tindakan Dalam Pemenuhan Kebutuhan Hidup (Fisik dan Psikologis) Pada Anak Jalanan. Surakarta, Jawa Tengah: Universitas Muhammadiyah Surakarta, Fakultas Psikologi.
Salla, H. N. 2012. Ekspoitasi Anak Jalanan (Studi Kasus Tentang Anak Jalanan di Pantai Losari Kota Makasar. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pilitik: Universitas Hasanudin.
Setiawan,H. 2001. Pengembangan Program Penangan Anak Jalanan Melalui Pendekatan Community Based Jakarta. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik : Universitas Indonesia Sulistyowati. 2004. Faktor-Faktor Yang Perlu Diperhatikan dalam Penanganan Anak Jalanan di
Dki Jakarta (Studi Kasus Penanganan Anak Jalanan di Kawasan Rawa Bunga). Tesis. Bogor: Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Subakti, Dkk. 1997. Pemberdayaan Anak-Anak Terlantar. Surabaya: Airlangga University Press.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta Suyanto, Bagong.2010. Masalah Sosal Anak. Jakarta Kencana.
Suyanto, Bagong, Hariadi, S Saniati. 2002. Krisis dan Child Abuse, Kajian Sosiologis Tentang Kasus Pelanggaran Hak Anak dan Anak Yang Membutuhkan Perlindungan Khusus (Child In Needs of Special Protection). Airlangga University Press. Surabaya.
Suyanto, Bagong. 2000. Tindakan kekerasan Mengintai Anak-anak. Surabaya: Mediatama
Suryanto, Bagong. 2003. Pekerja Anak Dan Kelangsungan Pendidikannya. Surabaya: Airlangga University Press.
Supeno, Hadi. 2010. Kriminalisasi Anak, Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Suparlan, Parsudi. 1984. Gelandangan: Sebuah Konsekuensi Perkembangan Kota, dalam Gelandangan pandangan Ilmu Sosial. Jakarta: LP3ES.
Suhartini, T. 2008. Strategi Bertahan Hidup Anak Jalanan. Skripsi Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Suparlan, Supriadi. 1999. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Supartono. 2004. Bacaan Dasar Pendamping Anak Jalanan. Semarang: Yayasan Setara. Supratiknya. 1995. Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta: Kanisius.
Sutina. 2001. Anak Jalanan Perempuan: Study Kualitatif Tentang Strategi Bertahan Hidup dan Tindak Kekerasan Seksual Yang Dialami Anak Jalanan Perempuan di Kota Surabaya. Dalam Jurnal Penelitian Dinamika Sosial Volume 2 nomor 3. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Airlangga.
Suhendi, Hendi dan Wahyu Ramdani. 2001. Pengantar Studi Sosiologi Keluarga. Bandung: Pustaka Setia
Soenyono. 2011. Pemberdayaan Masyarakat Miskin. Surabaya: Jenggala Pustaka Utama.
Soekanto, Soerjono. 2004. Sosiologi Keluarga Tentang Ikhwal Keluarga Remaja Dan Anak.
Soe’oed, R. Diniarti, F. 1999. Bungan Rampai Sosiologi Keluarga dalam T.O Ilromi (Penyunting). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Soetomo. 2010. Masalah Sosial Dan Upaya Penaganannya. Jogjakarta: Pustaka Belajar.
Siregar, Hairani, dkk. 2006. Faktor Dominan Anak Menjadi Anak Jalanan di Kota Medan. Jurnal. FISIP USU: Medan.
Swasono, Sri-Edi. 1990. Pedoman Menulis Daftar Pustaka, Catatan Kaki Untuk Karya Ilmiah Dan Terbitan Ilmiah. Jakarta: Universitas Indonesia
Silalahi, Ulber. 2010. Metode Penelitian Sosial. Bandung : Refika Aditama.
Turnet, Bryan S. (Ed.). 2012. Teori Sosiologi: Dari Klasik Sampai Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Thalib, Muhammad. 2005. Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak. Yogyakarta: Ma’alimul Usroh.
Usman,Hardius Dan Nachorowi Djal Nachorowi.2004. Pekerja Anak Di Indonesia: Kondisi, Determinan, Dan Eksploitasi (Kajian Kuantitatif). Jakarta: Grasindo
Utami, Andri Yoga dkk.2002. Pekerja Anak di India. Jakarta: Jarak
Wahyu Nurhadjatmo. 1999. Seksualitas Anak Jalanan. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada.
Widjaja.(2006). Permasalahan Anak Jalanan Usia Kanak-Kanak Akhir (10-12 Tahun) Sebagai Pengamen Untuk Membantu Keluarga. Jakarta: Unika Atmajaya.
Wirawan, I.B. 2013.Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma. Jakarta :Kencana Prenada Media Group.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian Kualitatif dengan metode deskriptif.
Pada penelitian sosial dengan menggunakan format deskriptif bertujuan untuk menggambarkan,
meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, berbagai fenomena realitas sosial yang ada di
dalam masyarakat sebagai objek penelitian (Burngin, 2007:68). Pada pendekatan kualitatif
bertujuan untuk memahami secara lebih mendalam bagi permasalahan yang akan diteliti. Bogdan
dan Taylor (Lexy Moleong, 2000) mendefenisikan penelitian kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata (baik secara tertulis dan lisan) dan
pelaku yang dapat diamati. Metode penelitian kualitatif ini dipilih karena dapat menyajikan
secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan informan serta lebih peka dan dapat
menyesuaikan diri dengan pola-pola nilai yang dihadapi (Meleong,2000). Pada penelitian dengan
mengunakan metode deskriptif, dalam hal ini peneliti mencoba menggambarkan bagaimana
gambaran kehidupan keluarga anak jalanan di kota Medan.
Penelitian ini menggunakan metode Life History, dimana dalam penelitian ini metode
yang digunakan adalah semua keterangan mengenai apa yang pernah dialami oleh
individu-individu tertentu sebagai warga dari suatu masyarakatnya yang sedang menjadi objek penelitian.
Jenis penelitian ini adalah studi Life History, yang mengeksplorasi suatu masalah dengan batasan terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam, dan menyertakan berbagai sumber
informasi. Penelitian ini dibatasi oleh waktu dan tempat, dan kasus yang dipelajari berupa,
3.2.Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini berada di titik lampu merah di kota Medan, yang menjadi fokus
penelitian ini adalah di lampu merah Simpang Pos, Amplas dan kawasan Universitas Sumatera
Utara. Penulis juga mendatangi tempat tinggal para keluarga anak jalanan guna untuk melihat
secara langsung kondisi sosial kehidupan para keluarga anak jalanan tersebut. Adapun yang
menjadi alasan peneliti untuk memilih lokasi penelitian ini adalah dikarenakan anak jalanan
selalu berada di perempatan jalan dan di lampu merah dalam melakukan aktivitasnya. Peneliti
ingin mengetahui lebih dalam lagi mengenai bagaimana gambaran kehidupan keluarga anak
jalanan di kota Medan.
3.3 Unit Analisis dan Informan
3.3.1 Unit Analisis
Unit analisis adalah hal-hal yang di perhitungkan menjadi subjek dalam penelitian atau unsur
yang menjadi fokus penelitian (Burgin 2007:76). Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisis
adalah anak-anak yang bekerja di jalan, yang biasanya bekerja sebagai penjual koran, pengamen,
mengemis, pedangan asongan, dan penyapu bus. Biasanya anak-anak ini berada dijalanan sekitar
4-6 jam perharinya, pekerjaan yang dilakukan semata-mata untuk memenuhui kebutuhan hidup
dirinya dan kebutuhan keluarganya. Sebagian juga bekerja karena kemauan dari si anak jalanan
itu sendiri.
3.3.2 Informan
Informan merupakan subjek yang memahami permasalahan penelitian sebagai pelaku
penelitian ini informan adalah anak-anak yang menjadi anak jalanan di Kota Medan. Adapun
kriteria-kriteria yang ditetapkan untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan dengan
masalah penelitian, dengan sumber informanya sebagai berikut :
1. Anak yang berasal dari keluarga miskin sehingga anak bekerja untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya.
2. Anak yang tidak mempunyai orang tua (yatim piatu) yang bekerja untuk mendapat uang
guna untuk membiayai hidupnya sendiri.
3. Anak yang di paksa oleh tuanya.
4. Anak yang diajak teman untuk terjun ke jalan.
5. Kedua orang tua dari anak jalanan.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan oleh peneliti, maka dalam penelitian ini peneliti
menggunakan teknik-teknik sebagai berikut :
3.4.1Data Primer
Data primer adalah merupakan suatu data yang diperoleh langsung dari sumber informan
yang telah ditemukan di lapangan. Adapun langkah-langkah dalam pengumpulan data primer
ini adalah sebagai berikut :
• Observasi
Observasi adalah merupakan suatu pengamatan yang dilakukan secara langsung
terhadap objek yang diteliti untuk mendapatkan gambaran yang tepat mengenai objek yang
diteliti untuk mendapatkan gambaran yang tepat mengenai objek penelitian. Observasi adalah
teknik atau cara pengumpulan data melalui pengamatan fenomena – fenomena sosial dan
terhadap benda, keadaan, kondisi, situasi, kegiatan, proses, dan penampilan tingkah laku
seseorang. Maksudnya disini peneliti ikut turun ke lapangan yang mana untuk memahami
fenomena yang ada dilapangan. Dalam penelitian ini , peneliti langsung mendatangi ke
daerah lampu merah Simpang Pos, Terminal Amplas, dan Universitas Sumatera Utara di
kota Medan. Data yang diperoleh melalui observasi ini terdiri dari rincihan tentang kegiatan,
perilaku, serta tindakan seseorang dengan secara keseluruhan. Kemudian hasil observasi ini
di tungkan dalam catatan lapangan.
• Wawancara mendalam (in-depth interview)
Wawancara adalah merupakan salah satu metode yang sangat penting untuk
digunakan dalam memperoleh data dilapangan. Karena wawancara adalah merupakan sebuah
proses tanya jawab antara peneliti dengan informan yang ada dilapangan. Dimana tujuan dari
wawancara ini adalah untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat dari lapangan.
Wawancara ini adalah untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat dari lapangan.
Wawancara yang dilakukan adalah dengan melakukan wawancara mendalam (in-depth
interview). Agar wawancara tersebut lebih terarah, maka sebaliknya menggunakan instrumen
berupa pedoman wawancara (interview guide), yakni urutan-urutan daftar pertanyaan sebagai
acuan bagi peneliti untuk memperoleh data yang diperlukan.
3.4.2 Data Sekunder
Data sekunder adalah sebuah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek
penelitian atau sumber data lain, yaitu seperti :
• Dokumentasi
Dokumentasi adalah merupakan suatu teknik pengumpulan data yang tidak langsung
berupa laporan, buku, jurnal, majalah, surat kabar, dan internet yang berkaitan langsung dan
dianggap relevan dengan rumusan masalah yang diteliti
3.5 Interpretasi Data
Interpretasi data adalah merupakan suatu tahap proses pengolahan data yang dimulai dari
tahap mengedit data sesuai denga pokok permasalahan yang diteliti kemudian diolah secara
deskriptif berdasarkan apa yang terjadi di lapangan. Menganalisis data menunjuk pada kegiatan
mengorganisasikan data ke dalam susunan-susunan tertentu dalam rangka penginterpretasian
data (Faisal 2007 :34). Analisis data ditandai dengan pengolahan dan penafsiran data yang
diperoleh dari adanya setiap informasi baik pengamatan, wawancara ataupun catatan lapangan
lainnya yang kemudian ditelaah dan dipelajari. Maka pada tahap selanjutnya adalah penyusunan
data dalam satuan-satuan yang kemudian dikategorikan. Kategori tersebut berkaitan antara satu
sama lainnya dan diinterpretasikan secara kualitatif.
3.6 Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini mencakup kemampuan dan pengalaman yang dimiliki
oleh peneliti dalam melakukan penelitian ilmiah. Terutama dalam melakukan wawancara
mendalam terhadap informan. Hal ini karena keterbatasan pengalaman dan keterbatasan waktu
yang dimiliki informan dalam proses wawancara dikarenakan kesibukan informan sehari-hari.
Terlepas dari permasalahan teknis penulisan dan penelitian , peneliti menyadari keterbatasan
mengenai metode menyebabkan lambatnya proses penelitian dilakukan, dan masih ada
keterbatasan bahan pendukung penelitian seperti kurang terbukanya narasumber dalam
memberikan informasi mengenai masalah yang diteliti. Walupun demikian peneliti berusaha
melakukan penelitian semaksimal mungkin agar data bersifat valid dan tujuan yang diinginkan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
4.1.1 Sejarah Singkat Kota Medan
Pada Zaman dahulu kota Medan di kenal dengan nama Tanah Deli dan keadaan tanahnya
berawa-rawa kurang lebih seluas 40.000 Ha. Dahulu orang menamkan Tanah Deli mulai dari
sungai ular (Deli Serdang) sampai ke sungai Wampu di Langkat sedangkan Kesultanan Deli
yang berkuasa pada saat itu wilayah tidak mencakup di antara kedua sungai tersebut. Kampung
Medan Putri di bangun pada tahun 1590 oleh Guru Patimpus, yang merupakan cucu Singa
Maraja yang memerintah Negeri Berkerah di daratan tinggi Karo termasuk dalam wilayah Raja
Urung asal Karo di Deli.
Pada awal pekembangannya kota Medan Merupakan sebuah kampung kecil yang
bernama Medan Putri. Perkembangan Kampung Medan Putri tidak terlepas dari posisinya yang
strategis karena terletak diantara pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura, tidak jauh dari jalan
Putri Ijo sekarang. Kedua sungai tersebut pada zaman dahulu merupakan lalu lintas perdagangan
yang cukup ramai, sehingga dengan demikian kampung Medan Putri yang merupakan cikal
bakal kota Medan, cepat berkembang dan menjadi pelabuhan transit yang sangat penting.
Perkembangan kota Medan selanjutnya tidak terlepas dari keberadaan Kesultanan Deli
yang diproklamirkan oleh Tuanku Panglima Perungit, yang memisahkan diri dari Kesultanan
berdasarkan isi Politiek Contrac antara Kesultanan Deli dengan pemerintah Hindai Belanda pada tahun 1907, daerah kekuasaan Kesultanan Deli meliputi :
1. Wilayah Deli Asli, yaitu wilayah yang sama dari sekitar kiri dan kanan Sungai Deli,
yang didalamnya terdapat bangsa Melayu, termasuk kampung Medan Putri.
2. Wilayah-wilayah Urung yaitu wilayah Hamparan perak, Sunggal, Kampung Baru,
Patumbak, yang didiami suku Melayu Hilir dan suku Karo.
Pesatnya perkembangan Kampung Medan Putri, tidak terlepas dari perkebunan
Tembakau yang sangat di kenal dengan Tembakau Delinya, yang merupakan Tembakau terbaik
untuk pembungkus cerutu. Pada tahun 1863, Sultan Deli memberikan kepada Nienhuys Van Der
Falk dan Eliot dari Firma Van Keeuwen en Mainz & Co, tanah seluas 4.000 bahu denga 1 bahu =
0,74 ha secara erfpacht 20 tahun di Tanjung Sepssi, dekat Labuhan untuk dijadikan lahan
perkebunan Tembakau. Maret 1864, Jannsen, P.W. Cremer dan Nienhuys mendirikan Deli
Maatscapji di Labuhan. Kemudian melakukan ekspansi perkebunan baru di daerah Martubung,
tahun 1869 di Sunggal, tahun 1875 di Sungai Beras dan Klumpang, sehingga jumlahnya
mencapai 22 perusahan perkebunan pada tahun 1874. Mengingat kegiatan perdagangan
Tembakau yang sudah sangat luas dan berkembang. Nienhuys memindahkan kantor
perusahaannya dari Labuhan ke Kampung Medan Putri.
Tahun 1879, ibukota Asisten Residen Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan. Pada
tanggal 1 Maret 1887, ibukota Residen Sumatera Timur dipindahkan pula dari Bengkalis ke
Medan, istana Kesultanan Deli yang semula berada di kampung Bahari Labuhan juga
menjadikan Ibukota Deli resmi pindah ke Medan. Dengan Demikian perkembangan kota Medan
menjadi pusat perdagangan juga telah mendorong menjadi pusat pemerintahan.
Dibukanya perkebunan Tembakau ternyata mempekerjakan orang-orang Cina dari
Swatow (Tiongkok) , Singapura, Malaya Tamil dari Penang dan orang-orang Pribumi yaitu
Minangkabau dan Jawa. Dari kebijakan inilah yang kemudian berdampak beranekaragamannya
etnis yang berdomilisi di kota Medan saat ini. Oleh karena itu, masyarakat kota Medan saat ini
adalah campuran dari berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia seperti suku Melayu, Batak,
Cina, Minang, Karo dan sebagainya. Adanya keterogenitas suku yang berdiam di kota Medan
juga menimbulkan banyaknya corak budaya yang ada sehingga berdampak beragamnya
nilai-nilai budaya yang di kenal.
4.1.2 Demografi Kota Medan
Berdasarkan data kependudukan tahun 2010, penduduk kota Medan pada saat ini
diperkirakan telah mencapai sebanyak 12.985.075. jiwa, dengan jumlah wanita lebih besar dari
pria, wanita sebanyak 6.506.024 jiwa, sedangkan pria 6.479.051 jiwa. Jumlah penduduk tersebut
diketahui merupakan penduduk tetap, sedangkan untuk penduduk tidak tetap di perkirakan lebih
dari 500.000 jiwa yang merupakan penduduk communters. Dengan demikian kota Medan
merupakan salah satu kota dengan jumlah penduduk yang besar, sehingga memiliki deferensiasi
pasar.
Di siang hari, jumlah ini bisa meningkat hingga sekitar 2.5 juta jiwa dengan dihitungnya
jumlah penglaju (komuter). Sebagian besar penduduk Medan berasal dari kelompok umur 0-19
dan 20-29 tahun (masing-masing 41% dan 37,8% dari total penduduk). Dilihat dari struktur umur
Selanjutnya dilihat dari tingkat pendidikan, rata-rata lama sekolah penduduk telah mencapai 10,5
tahun. Dengan demikian kota medan secara relatif tersedia tenaga kerja yang cukup, yang dapat
bekerja pada berbagai jenis perusahaan, baik jasa, perdagangan, maupun industri manufaktur.
Jumlah penduduk paling banyak ada di Kecamatan Medan Deli, di susul Kecamatan
Medan Helvetia dan Medan Tembung. Jumlah penduduk yang sedikit terdapat di Kecamatan
Medan Baru, Medan Maimun, dan Medan Polonia. Tingkat kepadatan penduduk tertinggi ada di
Kecamatan Medan Perjuangan, Medan Area dan Medan Timur.
Mayoritas penduduk kota Medan sekarang adalah suku Jawa dan Batak, tetapi di kota ini
juga banyak tinggal pula orang keturunan India dan Tionghoa. Komunitas Tionghoa di Medan
cukup besar, sekitar 25% jumlah total. Keanekaragaman etnis di Medan terlihat dari jumlah
mesjid, gereja, dan vihara Tionghoa yang banyak tersebar di seluruh kota. Daerah sekitaran jalan
Zainun Arifin bahkan di kenal sebagai kampung Madras (kampung India). Secara historis, pada
tahun 1918 tercatat Medan di huni 43.826 jiwa. Dari jumlah tersebut, 409 orang keturunan
Eropa, 35.009 berketurunan Indonesia, 8.269 berketurunan Tionghoa, dan 139 berasal dari ras
Timur Lainnya.
4.1.3 Geografi Kota Medan
Kota Medan memiliki luas 26.510 Hektar (265,10 Km²) atau 3,6% dari keseluruhan
wilayah Sumatera Utara. Dengan demikian, dibandingkan dengan kota/kabupaten lainya, kota
Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil, tetapi dengan jumlah penduduk yang relatif
besar. Secara geografis kota Medan terletak pada 3ᴼ 30′- 3ᴼ 43′ Lintang Utara dan 98ᴼ 44′ Bujur
Timur. Untuk itu topografi kota Medan cenderung miring ke utara dan berada pada ketinggian
Secara administratif, wilayah kota Medan hampir secara keseluruhan berbatasan dengan
Daerah Kabupaten Deli Serdang, yaitu sebelah Barat, Selatan, dan Timur. Sepanjang wilayah
Utara berbatasaan langsung dengan Selat Malaka, yang diketahui merupakan salah satu jalur lalu
lintas terpadat di dunia. Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan
Sumber Daya Alam (SDA), khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Karenanya secara
geografis kota Medan di dukung oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam seperti Deli
Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo,
Binjai, dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan kota Medan secara ekonomi mampu
mengembangkan berbagai kerja sama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling
memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya.
Di samping itu sebagai daerah yang pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, maka
kota Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiataan perdagangan
barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun luar negeri (ekspor-impor). Posisi geografis
kota Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam 2 kutup pertumbuhan fisik, yaitu
daerah terbangun Belawan dan pusat kota Medan hari ini.
4.2 Anak Jalanan Kota Medan
4.2.1 Simpang Pos
Simpang pos merupakan pertemuan antara jalan Jamin Ginting dan jalan Nguban
Surbakti jalan A. H Nasution. Kondisi Simpang Pos yang sangat padat setiap harinya
memungkinkan untuk melakukan aktifitas yang dapat menghasilkan uang. Aktifitas yang
yang dapat dilakukan oleh anak-anak jalanan di Simpang Pos, dari mengamen menggunakan
kricikan sampai yang menggunakan gitar, menjual Aqua, dan bahkan mengemis.
4.2.2 Terminal Amplas
Terminal Amplas merupakan salah satu terminal strategis yang berada di kota Medan.
Terminal Amplas berada di jalan Panglima Denai, merupakan pintu masuk dan keluar bagi
kendaraan pengangkut baik yang kecil maupun yang besar baik yang datang dari Medan maupun
luar Medan. Ataupun kendaraan yang akan keluar kota bahkan keluar pulau Sumatera semuanya
di tampung di terminal Amplas.
Alhasil, terminal Amplas penuh padat dengan manusia dan kendaraan. Tetapi keadaan
yang seperti itu terkadang memberikan lapangan pekerjaan bagi orang-orang sekitar. Dari yang
membuka kedai nasi, kios rokok dann makanan minuman ringan, penjual koran, TTS, calo dan
lainnya. Keadaan yang seperti itu juga memberikan peluang bagi anak-anak dari menyapu
angkot, pengamen, dan pengemis.
4.2.3 Universitas Sumatera Utara
Kampus Universitas Sumatera Utara (USU), yang berada di jalan Dr. Mansyur yang
merupakan pertemuan antara jalan Jamin Ginting dan Jalan Setia Budi. USU merupakan
Universitas yang terbesar di kota Medan yang memiliki 4 pintu masuk dan 14 fakultas.
Mahasiswa yang USU datang dari berbagai daerah luar ataupun dalam pulau Sumatera. Kampus
ini dapat menjadi salah satu tempat yang memberikan penghasilan bagi orang-orang sekitar. Dari
penjual makanan,minuman, tukang becak, dan penjual alat-alat tulis yang dibutuhkan oleh
mahasiswa. Begitu juga halnya bagi anak-anak jalanan, mereka dapat bekerja sebagai pengamen,
4.3 Tempat Tinggal Keluarga Anak Jalanan.
4.3.1 Medan Johor
Kecamatan Medan Johor adalah salah satu dari 21 kecamatan di kota Medan, Sumatera
Utara, Indonesia. Kecamatan yang berbatasan dengan Medan Tuntungan di sebelah barat, Medan
Amplas di timur, Kabupaten Deli Serdang di selatan, dan Medan Polonia di utara. Kecamatan ini
merupakan daerah resapan air bagi kota Medan. Luasnya adalah 14,58 km². Tempat tinggal dua
keluarga anak jalanan dalam penelitian ini bertempat tinggal di jalan Karya Jaya gang Eka
Warni, kecamatan Medan Johor.
4.3.2 Medan Polonia
Kecamatan Medan Polonia adalah salah satu dari 21 kecamatan di kota Medan, Sumatera
Utara, Indonesia. Kecamatan Medan Polonia, Medan berbatasan dengan Medan Baru, di sebelah
barat, Medan Maimun di timur, Medan Johor di selatan, dan Medan Petisah di utara. Luasnya
adalah 9,01 km². Dua keluarga anak jalanan dalam penelitian ini bertempat tinggal di Jalan
Starban gang Bilal, kecamatan Medan Polonia.
4.3.3 Medan Perjuangan
Kecamatan Medan Perjuangan adalah salah satu dari 21 kecamatan di kota Medan,
Sumatera Utara, Indonesia. Kecamatan Medan Perjuagan berbatasan dengan Medan Timur di
sebelah barat, Medan Tembung dan Kabupaten Deli Serdang di timur , dan Medan Area dan
Medan kota di selatan, dan Medan Timur dan Kabupaten Deli Serdang di Utara. Luasnya adalah
4.4 Interpretasi Data Penelitian
4.4.1. Dabo Masih Memiliki Keluarga Utuh “Bekerja Sebagai Pengamen Untuk Membantu Perekonomian Keluarga”.
Sarman berusia 48 tahun dan isterinya Saima berusia 42 tahun, mempunyai 4 orang anak.
Anak pertama bernama Listi perempuan, berusia 20 tahun sudah menyeselesaikan pendidikannya
di bangku sekolah menengah atas. Anak kedua, bernama Dabo dan berusia 16 tahun sedang
duduk di bangku sekolah menengah pertama. Anak ketiga bernama Ahmad berusia 8 tahun
sedang duduk di bangku sekolah dasar. Anak yang terakhir bernama Pandu berusia 3 tahun.
Pekerjaan Sarman tidak menentu, terkadang dia bekerja sebagai kuli bangunan, buruh angkat
barang, jadi sopir angkot dan truk, dan kadang kala bekerja sebagai tukang becak. Sementara,
Saima tidak bekerja dan hanya sebagai ibu rumah tangga saja.
Keluarga Sarman bertempat tinggal di Kecamatan Medan Johor. Sebelumnya keluarga
Sarman tinggal di rumah kontrakan yang tidak jauh dari rumah yang mereka tempati saat ini.
Tetapi setelah memiliki tiga orang anak, Sarman memutuskan untuk tinggal di rumah yang lebih
besar agar anak-anaknya merasa nyaman, karena rumah yang mereka tempati sebelumnya sangat
sempit dan sudah tidak layak lagi untuk ditempati. Harga sewa rumah Sarman sebelumnya
Rp.300.000 ribu sebulan. Akhirnya Sarman mendirikan rumahnya sendirinya, meskipun rumah
yang ia tempati saat ini tidak terlalu besar dan tidak mewah. Tetapi setidaknya bagi keluarga
Sarman, mereka dapat tinggal di rumah mereka sendiri tanpa harus membayar sewa kepada
orang lain. Keluarga Sarman tinggal di rumah yang mereka tempati saat ini sudah lebih dari 10
tahun.
Perekonomian keluarga Sarman dan Saima bisa diketegorikan sangat rendah. Hal ini
terbukti dari penghasilan yang didapatkan Sarman hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
pangan mereka dalam sehari saja. Uang yang Sarman dapatkan dalam sehari akan mereka
gunakan untuk memenuhui kebutuhan pangan keluarganya. Sarman dan Saima dalam sehari
hanya makan satu kali saja, mereka selalu mendahulukan anakanya agar tidak merasa
kekurangan dan kelaparan.
Sarman harus mampu untuk hidup berhemat, karena penghasilan yang didapatkanya juga
harus ia sisihkan untuk membayar sewa rumah yang mereka tempati saat itu. Keluarga Sarman
hidup dengan serba kekekurangan yang terpenting bagi mereka adalah dapat untuk bertahan dan
melanjutkan hidup mereka meskipun dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sebagai
kepala rumah tangga Sarman harus bekerja keras untuk mencukupi segala kebutuhan
Setelah pernikahan Sarman dan Saima memasuki usia ke dua tahun, kedua pasangan ini
dikaruniai seorang anak perempuan yang bernama Listi. Sarman harus benar-benar bekerja keras
untuk dapat memenuhui segala kebutuhan isteri dan anaknya. Pada masa itu masalah keuangan
keluarga Sarman tidak terlalu bermasalah, karena Sarman masih membiayai dua orang saja, dan
saat itu pun Listi masih balita dan belum bersekolah. Hal ini membuat keluarga Sarman merasa
tidak kekurangan sedikit pun, walaupun hidup dengan sederhana dan pas-pasan. Sarman tetap
bekerja keras untuk dapat menghidupi dan menafkahi keluarga kecilnya, apapun pekerjaannya
yang terpenting baginya dapat menghasilkan uang dengan cara yang halal untuk keluarganya.
Setelah Listi berusia 4 tahun, lahirlah adik laki-lakinya yang bernama Dabo. Pada
akhirnya pasangan ini dikarunia sepasang anak. Hal ini merupakan kebahagian untuk keluarga
kecil Sarman. Namun demikian, hanya beberapa saat saja kebahagian yang dirasakan oleh
keluarga kecil ini. Seiring dengan berlalunya waktu, membuat Sarman harus bekerja keras untuk
dapat bertahan hidup dan membiayai segala kebutuhan anak-anaknya dan juga isterinya. Pada
saat Listi berusia 6 tahun, kedua orang tuanya harus menyekolahkannya. Memang sudah saatnya
Listi memasuki ranah pendidikan seperti teman-teman sebaya yang berada dilingkungan tempat
tinggal mereka.
Sarman dan Saiman pun harus dapat meyekolahkan putri pertama mereka, karena
memang sudah saatnya Listi duduk di bangku sekolah dasar. Untuk dapat bersekolah Listi tentu
membutuhkan seragam dan peralatan sekolah seperti tas, sepatu, dan alat-alat tulis. Sementara
Sarman pada saat itu hanya bekerja sebagai buruh angkat pasar yang tidak memiliki penghasilan
yang tinggi atau yang tetap. Tetapi Sarman harus tetap bekerja agar dapat menyediakan segala
Dengan pekerjaan sebagai buruh angkat pasar Sarman hanya berpenghasilan paling tinggi
dalam sehari mencapai Rp.20.000. Dengan penghasilan yang dapat dikatakan rendah Sarman
sangat mengalami kesulitan dalam menafkahi kedua anak dan isterinya. Tidak ada yang dapat
Sarman lakukan ia hanya bisa terus bekerja dan berusaha. Karena kesulitan yang dialami oleh
suaminya, Saima sangat ingin membantu menangani masalah finansial keluarganya. Akhinya
Saima berniat mencari pekerjaan, dan kebetulan salah satu tetangga mereka menawarkan
pekerjaan kepada Saima, yaitu sebagai tukang cuci. Saima tidak melihat apapun pekerjaan yang
harus ia terima, yang terpenting baginya dapat membantu suaminya dalam menangani
permasalahan perekonomian keluarganya.
Dengan pekerjaan Saima sebagai tukang cuci ia berpenghasilan Rp.150.000/bulan pada
saat itu. Dalam seminggu Saima mencuci hanya tiga kali. Dengan pekerjaan ini, Saima dapat
membantu suaminya dalam memenuhui segala kebutuhan keluarganya. Sementara itu Sarman
tetap mencari pekerjaan lain yang lebih banyak menghasilkan uang, ia sebenarnya tidak ingin
isterinya bekerja sebagai tukang cuci, apalagi anak kedua mereka masih bayi. Tetapi Sarman
tidak mempunyai pekerjaan yang lain. Ia tetap memberikan izin kepada isterinya untuk bekerja.
Dengan penghasilan Sarman dan Saima, mereka dapat memenuhui segala kebutuhan
kedua anaknya, dan juga menyekolahkan anaknya. Sarman tetap berusaha untuk mendapatkan
dan mencari pekerjaan yang lebih berpenghasilan tinggi, jika tetap mengandalkan
penghasilannya hanya dapat memenuhui kebutuhan sehari-hari keluarganya saja, dan untuk
biaya masa depan anak-anaknya tidak akan terjamin. Sarman dan Saima tidak memiliki tabungan
sedikit pun, penghasilan mereka hanya dapat membiayai kebutuhan mereka dalam sehari-hari.
anaknya. Ia harus tetap bekerja dan berusaha agar mampu memberikan yang terbaik untuk
keluarganya.
Mencari pekerjaan yang lebih baik dan berpenghasilan tinggi tentu tidak semudah yang
dibayangkan oleh Sarman, dengan tingkat pendidikan yang rendah dan tanpa kemampuan dan
keterampilan yang khusus membuatnya kesulitan dalam mencari pekerjaan. Sarman pernah
melamar pekerjaan di suatu pabrik, syarat menjadi pekerja harus memiliki ijazah sekolah
menengah akhir. Sementara itu Sarman hanya tamanan sekolah dasar yang tidak memiliki ijazah.
Hal ini sangat mempersulitnya dalam mencari pekerjaan. Hanya pekerjaan seperti tukang becak
dan buruh bangunan yang tidak memiliki persyaratan, tetapi untuk menjadi tukang becak juga
harus membutuhkan biaya yang sangat besar untuk membeli becak, sedangkan untuk buruh
bangunan tidak memiliki penghasilan yang tinggi.
Sarman tak kunjung mendapatkan pekerjaan, hal ini membuatnya menjadi sedikit putus
asa, dan berhenti mencari pekerjaan lain. Dalam benaknya apapun pekerjaan yang sedang ia
kerjakan saat ini adalah pekerjaannya yang harus ia terima berapa pun penghasilan yang
didapatkanya, dan terpenting ia memiliki pekerjaan walaupun hanya sebagai buruh angkat pasar
dan terkadang menjadi buruh bangunan. Daripada sama sekali ia tidak mempunyai pekerjaan,
karena di luar sana masih banyak orang yang menginginkan pekerjaan, namun tidak
mendapatkan. Berapa pun penghasilan yang ia terima dari pekerjaannya adalah rezeki yang
diberikan oleh Tuhan kepadanya, sehingga ia harus menerimanya. Pada akhirnya Sarman
berhenti untuk mencari pekerjaan yang lain.
Setelah beberapa bulan, Sarman mendapat tawaran dari seorang temannya untuk bekerja
begitu tinggi membuat Sarman tergiur oleh ajakan temannya tersebut. Namun, jika Sarman
memilih pekerjaan sebagai TKI ia harus rela berpisah dan meninggalkan isteri dan
anak-anaknya, tentu saja ini merupakan pilihan yang membuat Sarman menjadi dilema. Jika ia tidak
menerima pekerjaan tersebut masa depan anak-anaknya tidak akan terjamin, apalagi harus
mengandalkan pekerjaannya sebagai buruh angkat pasar. Demi anak-anak dan isterinya akhirnya
Sarman harus benar-benar pergi meninggalkan keluarganya. Saima hanya bisa pasrah terhadap
keputusan suaminya tersebut, bagaimana pun menurutnya ini adalah hal yang paling terbaik
untuk keluarganya.
Pada akhirnya Sarman berangkatlah ke Malaysia, hanya satu bulan saja Sarman
menghubungi isterinya. Setelah berbulan-bulan lamanya Saima tetap menunggu suaminya agar
menghubungi mereka, tetapi tetap saja Saima tidak pernah mendapat kabar mengenai suaminya.
Sarman bagaikan hilang di telan bumi. Saima tetap menunggu suaminya pulang kerumah mereka
tetapi penantian Saima hanya berujung sia-sia, suaminya tidak pernah kembali lagi. Sedikit pun
ia tidak mendapat kabar mengenai suaminya, ia tidak mengetahui apakah suami masih dalam
keadaan bernyawa atau tidak. Ia hanya bisa berdoa kepada Tuhan agar suaminya tetap diberikan
kesehatan jika masih hidup, dan jika sudah tiada semoga suaminya mendapatkan tempat yang
terbaik di sisi Tuhan.
Akhirnya Saima harus menghidupi kedua anak-anaknya, ia harus membanting tulang
agar kedua anak-anaknya dapat bertahan hidup. Ia merasa hidupnya begitu tak adil, mengapa ia
harus kehilangan suaminya, dan tanpa mengetahui bagaimana keadaan suaminya. Setiap hari
Saima berharap jika suaminya akan kembali dan pulang kerumah mereka. Penantian Saima
hanya sia-sia saja sudah lebih setahun lamanya Sarma tak kunjung kembali. Selama setahun
tukang cuci Saima juga bekerja di sebuah kedai nasi, sebagai pencuci piring. Jika hanya
mengandalkan pekerjaan sebagai tukang cuci tentu saja tidak akan cukup untuk menghidupi
kedua anaknya, apalagi putri pertamanya sudah bersekolah. Setiap hari Saima harus menguras
seluruh tenaganya untuk bekerja.
Pertumbuhan anak-anak Saima dan Sarman terasa begitu cepat, tidak terasa bahwa anak
pertama mereka kini sudah tumbuh menjadi seorang anak gadis , Listi sudah duduk di kelas 3
sekolah dasar, dan Dabo sudah berusia 5 tahun, sudah lebih dari dua tahun ayah dari
anak-anaknya meninggalkan mereka. Masih jelas dalam ingatan Saima ketika suaminya pergi
meninggalkannya anak bungsu mereka masih berusia 3 tahun dan sekarang sudah memasuki
usia ke 5 tahun. Waktu begitu cepat berlalu, anak-anaknya selalu bertanya kemana perginya ayah
mereka. Saima hanya tersenyum dan berkata kepada kedua anak-anaknya bahwa ayah mereka
sedang bekerja mencari uang yang banyak untuk biaya sekolah anak-anaknya kelak.
Setiap hari Saima harus bekerja di kedai nasi milik tetangganya, walaupun hanya sebagai
tukang cuci piring dan membersihkan kedai tersebut ia tetap bersyukur. Pekerjaan sebagai
tukang cuci tetap dikerjakan olehnya. Untuk mencuci ia selalu datang ke rumah majikannya
setiap pagi sekitar pukul 07.00 wib tiga kali dalam seminggu. Sedangkan bekerja di kedai nasi
tersebut Saima mulai bekerja pada pukul 09.00 wib dan pulang ke rumahnya pada pukul 17.00
wib. Setiap hari Saima membawa Dabo dan Listi ke tempat kerjanya, dan Listi setelah pulang
sekolah biasanya akan datang ke tempat ibunya bekerja. Saima tetap bersyukur bahwa ia masih
mempunyai pekerjaan yang dapat untuk membiayai anak-anaknya. Ia diperkerjakan oleh
tetangganya, karena merasa kasihan terhadap dirinya yang harus membanting tulang seorang diri
Bekerja di kedai nasi adalah pekerjaan yang terbaik baginya. Karena jika ada sisa
makanan dari penjualan kedai nasi tersebut, pemilik kedai selalu memberikanya sebagian kepada
Saima. Dengan begitu Saima tidak perlu membeli atau memasak makanan untuk kedua
anak-anaknya ketika pulang dari bekeja. Makanan yang diberikan kepada Saima dapat membantunya
untuk tetap berhemat, meskipun tidak setiap hari Saima mendapatkan makanan dari kedai
tesebut. Pemilik kedai nasi itu terkadang dengan sengaja memberikan sisa penjulanan yang tidak
habis di jual kepada Saima. Karena merasa kasihan dan iba kepada Saima yang menghidupi
kedua orang anak seorang diri.
Desi pemilik kedai nasi tersebut hanya ingin membantu Saima, namun ia juga tidak dapat
membantu lebih banyak lagi. Hanya dengan memberikan mereka makan saja udah sangat lebih
dari cukup menurut Saima. Ketika Listi pulang dari sekolah, Desi selalu memberikan makan
kepadanya begitu juga dengan Dabo tanpa pernah memotong gaji untuk Saima. Hal ini membuat
Saima benar-benar bersyukur karena masih ada manusia yang peduli akan anak-anaknya.
Terkadang Desi sudah menganggap Listi dan Dabo sebagai anaknya sendiri. Kadang kala Desi
juga memberikan uang jajan kepada Listi dan Dabo.
Sebenarnya Saima tidak ingin terus mendapatkan belas kasihan dari siapa pun, tetapi ia
tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk hal ini, sehingga ia harus menerima segala belas kasihan
orang lain kepada dirinya dan kepada kedua anak-anaknya. Saima merasa bahwa hidupnya dan
kedua anak-anaknya begitu malang. Ia tidak pernah mengetahui bagaimana nasib suaminya, dan
terkadang ia juga tidak dapat menjelaskan kepada anak-anaknya tentang keadaan ayah mereka.
Bertahun-tahun penantian Saima, namun Sarman tak kunjung kembali ke dalam kehidupan
keluarganya. Saima terkadang merasa tidak sanggup untuk bertahan seorang diri dalam merawat
Setelah sekian lamanya Saima berkerja di kedai nasi milik tetangganya itu. Ia selalu
membawa anak-anaknya ke kedai. Dabo hampir setiap hari bersama ibunya di kedai nasi
tersebut, Dabo menghabiskan waktunya bermain-main di sana, jika ibunya sibuk bekerja, Dabo
akan bermain-main di sekitaran kedai tersebut. Dabo banyak melihat hal-hal yang belum pernah
ia lihat di lingkungan tempat tinggalnya. Kedai nasi tempat ibunya bekerja berada di jalan besar
dekat lampu merah Simpang Pos pada saat itu. Hampir setiap hari Dabo melihat
aktivitas-aktivitas manusia yang berada di jalanan. Sebagai seorang anak yang berada dalam masa
pertumbuhan tentu saja Dabo akan terus mengamati kehidupan jalanan.
Di jalanan banyak terlihat manusia yang bekerja mulai dari sopir truk dan angkot,
pedagang asongan, penjual kerupuk, penjulan mainan, penjual koran, pengemis bahkan
pengamen selalu berada di jalanan. Terkadang Dabo berpikir kenapa begitu banyak manusia
yang bekerja di jalanan. Menurutnya, terlalu bahaya sekali jika harus bekerja di jalanan tersebut.
Setiap lampu merah para pedagang akan berlarian ke jalan untuk menawarkan dagangannya,
begitu juga dengan pengemis akan mengetuk pintu mobil yang berhenti di lampu merah dan
berharap mereka akan menerima belas kasihan. Pengamen juga akan berlari ke jalanan, dan
berdiri depan pintu angkutan umum, sambil menyanyikan sebuah lagu dengan gitar. Setelah
selesai bernyanyi para pengamen akan diberikan imbalan berupa uang recehan.
Dabo selalu bertanya mengapa begitu banyak manusia yang bekerja di jalanan, dengan
pekerjaan yang bervariasi. Tetapi Dabo lebih tertarik untuk membahas pengemis dan pengamen
kepada ibunya, karena ia merasa bingung dengan pekerjaan seperti itu. Sebagai pengemis hanya
dengan mengetuk pintu mobil mereka akan diberikan uang, dan pekerjaan seperti itu terlalu
mudah dilakukan oleh siapapun. Begitu juga dengan pengamen, hanya dengan menyanyikan
umun. Dabo selalu merasa heran dengan keadaan jalanan, seperti penjual mainan menurutnya
mengapa harus berada dijalanan, bukan seharusnya berada di pasar. Fenomena-fenomena yang
terlihat oleh kedua mata Dabo membuat selalu berpikir dan bertanya-tanya kenapa mereka lebih
memilih bekerja di jalanan, yang seharusnya menurut Dabo bukan pada tempatnya.
Hampir setiap hari Dabo bertanya kepada ibunya Saima, tentang kenapa banyak orang
yang memilih bekerja di jalanan, Saima selalu mengatakan bahwa mereka tidak punya tempat
untuk berjualan sehingga mereka harus bekerja di jalanan. Sementara untuk pengemis Saima
mengatakan bahwa para pengemis itu tidak mempunyai pekerjaan lain, dan juga karena mereka
malas untuk bekerja, sehingga para pengemis itu harus meminta-minta kepada orang lain. Saima
selalu menjelaskan bahwa pekerjaan itu sangat tidak boleh dikerjakan. Sebagai seorang manusia
seharusnya berusaha untuk bekerja bukan untuk meminta-minta. Mengamen adalah pekerjaan
yang patut untuk di hargai, karena mereka melakukan suatu usaha untuk mendapatkan uang
walaupun hanya dengan bernyanyi dan itu dapat menghibur siapapun.
Setelah mendengar penjelasaan dari ibunya, Dabo selalu memperhatikan para pengamen
dan di jalanan lebih banyak di jumpainya seorang pengamen, dengan berbagai bentuk
penampilan. Ada yang seperti seorang penjahat, dengan penuh tato di tangan, rambut diwarnai,
memakai anting-anting, dan bahkan ada juga yang memakai pakain yang tidak biasa, dan
compang-camping. Terkadang hal ini membuat Dabo merasa takut sendiri dengan pengamen
yang berpenampilan layaknya seorang pencuri. Hal ini membuat Dabo merasa sangat bingung
kenapa penampilan para pengemen tersebut harus bebeda-beda. Menurutnya, apakah para
pengamen itu memiliki keluarga, seperti orang tua ayah dan ibu. Karena pengamen itu juga
Dabo terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah orang tua dari dari para
pengamen itu masih ada atau sudah tiada. Lalu ia bertanya kepada ibunya dan mendapat
jawaban. Bahwa tidak semua orang tua dari pengemen itu masih ada, sebagaian mungkin masih
memiliki keluarga atau orang tua, dan sebagian lagi bisa jadi sudah tidak memiliki keluarga,
sehingga untuk bertahan hidup para pengamen harus bekerja untuk membiayai dirinya sendiri.
Untuk pengamen yang masih memiliki keluarga bekerja di jalanan karena ingin membantu
perekonomian keluarganya. Setiap pengamen pasti memiliki suatu alasan kenapa ia harus bekerja
sebagai pengamen. Dabo akhirnya mengerti mengapa banyak para anak-anak bahkan remaja
sekalipun bekerja sebagai pengamen.
Dabo pernah bertanya kepada Saima kenapa ia harus bekerja sebagai tukang cuci dan
juga bekerja di kedai nasi. Saima lalu menjawab untuk dapat bertahan hidup seseorang harus
berusaha untuk mendapatkan uang guna untuk melanjutkan kehidupan. Untuk dapat bertahan
hidup seseorang haruslah bekerja dan mendapatkan imbalan berupa uang yang akan digunakan
untuk membeli segala kebutuhan yang diperlukan oleh setiap manusia. Sebagai orang tua,
haruslah memenuhuhi segala hak dan kewajiban untuk anak-anaknya. Jika seorang anak sudah
memamasuki dunia pendidikan, maka orang tua haruslah menfasilitasi anak-anaknya.
Perlengkapan dan peralatan sekolah untuk anak haruslah disediakan oleh orang dan itu
semua tidak didapatkan secara gratis. Para orang tua harus mendapatkan dengan cara membeli
dan itu akan membutuhkan uang. Begitu juga untuk mendapatkan tempat berlindung, orang tua
juga harus membayar uang sewa. Hal ini membuat Dabo dapat memahami kenapa semua orang
harus bekerja, yang ia ketahui adalah bahwa untuk bertahan hidup setiap manusia harus memiliki
Kehidupan keluarga Dabo setelah ditinggalkan oleh ayahnya sangatlah berubah. Ibunya
harus bekerja setiap hari agar dapat membiayai segala keperluan dirinya dan kakaknya Listi.
Apalagi Listi sudah bersekolah membuat ibunya harus lebih giat bekerja agar dapat membeli
segala kebutuhan dan keperluan untuk sekolah Listi. Dabo melihat ibunya setiap hari tanpa
mengenal lelah dalam melakukan segala pekerjaannya seorang diri. Hal ini membuat Dabo
bertanya tentang keberadaan ayahnya, karena menurutnya, seorang ayahlah yang harus bekerja
banting tulang untuk menafkahi keluarganya.
Alasan ayahnya pergi hanya untuk bekerja, lalu kenapa tidak pernah kembali dan
memberikan uang kepada ibunya, yang ada malah ibunya yang harus bekerja dari pagi hingga
sore hari. Saima mengatakan bahwa ayah dari kedua anaknya memang pergi untuk bekerja.
Namun, sesuatu telah terjadi kepada ayah mereka, tiada yang tahu bagaimana kondisi Sarman
apakah masih dalam keadaan bernyawa atau sudah tiada. Karena hal ini membuat Saima harus
bekerja sebelum ayah Listi dan Dabo kembali ke rumahnya. Dabo sebagai anak-anak akan sulit
memahami keadaan keluarganya, yang ia ketahui ibunya bekerja semata hanya untuk membantu
ayahnya dalam membiayai kebutuhan dirinya dan kakaknya.
Pada suatu hari Dabo berpikir untuk membantu ibunya dalam menangani permasalahan
perekonomian keluarganya, jika ibunya dapat membantu ayahnya kenapa tidak dengan dirinya,
ia berpikir akan dapat membantu ibunya dalam menghasilkan uang. Dabo sudah lama mengamati
kehidupan dari para pengamen, dalam sehari ia melihat banyak para pengamen mendapat uang
setelah seharian berada di jalanan. Hingga muncul dalam benaknya untuk menjadi seorang
pengamen. Tidak diperlukan memiliki suara yang merdu karena ia sudah sering mendengar para
terpenting mereka berusaha dan mau bekerja untuk mendapatkan uang walaupun dengan
seadanya saja.
Sebenarnya Dabo sudah mengetahui bagaimana keadaan kehidupan jalanan tersebut, ia
juga sering kali melihat pengamen yang lebih tua menyiksa pengamen yang masih
anak-anaknya. Bahkan sampai mengambil dan merampas uang dari pengamen yang lemah. Jika tidak
dapat melawan yang lebih kuat maka akan mendapat perlakuan kasar. Dabo juga melihat jika
tidak mampu melawan pengamen yang lebih kuat, para pengamen yang lemah akan selalu pergi
menghindar dan tidak melawan.
Awal mula Dabo menjadi seorang pengamen ketika ia sering melihat dan memperhatikan
para anak jalanan yang bekerja sebagai pengamen. Di tambah lagi dengan kondisi keuangan
keluarganya, dimana saat itu ibunya harus bekerja seorang diri setelah ditinggalkan oleh ayah
yang sudah lama menghilang. Dabo tidak pernah mendapatkan apa yang ia dan kakaknya
inginkan, karena kondisi ekonomi keluarga mereka yang sangat rendah. Karena melihat para
pengemen banyak mendapatkan uang dari hasil mengamen, timbul dalam benak Dabo bekerja
seperti itu, agar ia juga mendapatkan uang. Dabo juga melihat pekerjaan sebagai pengamen tidak
terlalu sulit, anak-anak seusianya juga banyak bekerja sebagai pengamen.
Jika Dabo harus bekerja menjadi pengamen ia tidak akan mendapatkan izin dari ibunya,
karena ia sering dilarang oleh Saima agar tidak bermain di jalanan. Tetapi Dabo ingin membantu
ibunya, hingga pada suatu hari Dabo tanpa sepengetahuan ibunya, ia bekerja sebagai mengamen.
Ia mengamen tanpa alat bantu satu pun seperti gitar, ia hanya bernyanyi dengan mangandalkan
suaranya saja. Ketika pertama ia mencoba tidak terlalu banyak uang yang ia dapatkan, hanya
ketahuan oleh ibu dan kakaknya. Setiap hari Dabo merasa bosan bermain-main di kedai nasi
tempat ibunya bekerja. Ia sering sendirian bermain-main disekitaran kedai nasi tersebut. Ibunya
Saima terlalu sibuk bekerja didapur untuk mencuci piring, begitu juga Listi setiap pulang dari
sekolah terkadang ia membantu ibunya di dapur. Sehingga membuat Dabo tidak mempunyai
teman untuk bermain-main.
Sudah seminggu lebih Dabo mengamen, ia ingin mengumpulkan uang untuk membeli
gitar kecil, agar ia mengamen menggunakan gitar karena akan lebih banyak uang yang
didapatkan. Dabo tetap berusaha menyembunyikan rahasianya sebagai pengamen kepada ibu dan
kakaknya, ia merasa bahwa mereka tidak akan mengetahui karena mereka terlalu sibuk bekerja
di dapur. Dabo pada saat itu hanya mengamen sekitar dua jam saja dalam sehari karena merasa
takut jika ketahuan oleh ibu dan kakaknya, uang yang ia dapatkan hanya sedikit saja. Dabo tetap
semangat dan berusaha untuk tetap bekerja sebagai pengamen.
Panas terik yang ia rasakan tidak pernah menghalangi niatnya untuk membantu orang
tuanya. Meskipun ia harus berbohong kepada ibunya untuk sementara waktu. Ia harus dapat
membeli gitar dengan uangnya sendiri, jika harus meminta kepada ibunya pasti ia tidak akan
mendapatakannya. Sebelum mendapatkan gitar ia tidak akan memberitahukan kepada ibunya
kalau dirinya bekerja sebagai pengamen. Jika ia tidak memiliki gitar ibunya tidak akan
mengizinkan ia bekerja sebagai pengamen dan ibunya tidak akan membelikan ia gitar.
Suatu hari Saima merasa ada yang aneh dengan anaknya Dabo.Ia selalu berkeringat
setiap pulang dari bermain-main, meskipun Saima tidak pernah mengetahui kemana anaknya itu
pergi setiap harinya. Biasanya jika Dabo pulang dari tempat bermainnya ia tidak pernah
dia selau mengatakan bahwa ia hanya bermain-main bersama teman-teman yang berada disekitar
kedai nasi tempat Saima bekerja. Karena Dabo tidak pernah mengalami hal-hal yang buruk
Saima hanya berpikir bahwa anaknya hanya bermain-main saja, mungkin karena keasyikan
bermain-main bersama temannya.Tidak pernah terlintas dalam benak Saima jika anaknya bekerja
sebagai pengamen.
Dabo tidak selamanya dapat menutupi pekerjaannya sebagai pengamen kepada ibu dan
juga kakaknya. Ia sudah berusaha untuk menenutupi apa yang dilakukanya setiap hari di jalanan.
Hanya berselang beberapa minggu, pada akhirnya Dabo ketahuan oleh kakaknya ketika ia
sedang mengamen di jalanan. Saat itu Dabo benar-benar harus menghadapi kenyataan bahwa
rahasia yang disembunyikan kepada ibu dan kakaknya harus terbongkar.Iatidak dapat lagi
menutupi kebohongannya, Listi sudah melihat langsung apa yang sedang ia kerjakan saat itu.
Ketika Dabo mengamen, langsung saja Listi menyuruh adiknya untuk kembali ke kedai tempat
ibu mereka bekerja. Meskipun dalam hatinya, merasa aneh terhadap apa yang dilakukannya oleh
Dabo. Listi saat itu melihat adiknya sedang bernyanyi-nyanyi di depan pintu angkutan umum,
dan setelah itu adiknya mendapatkan beberapa uang dari para penumpang.
Seperti dugaan Dabo, Listi memang mengatakan kepada ibunya bahwa ia melihat
adiknya bekerja sebagai pengamen. Mendengar hal itu Saima langsung marah besar kepada
Dabo, dan bertanya kepadanya mengapa harus melakukan hal seperti itu dan kenapa harus
bekerja sebagai pengamen.Dabo hanya bisa diam dan tidak berani menjawab pertanyaan ibunya
yang sedang marah kepadanya. Desi pemilik kedai nasi itu mendengar Saima memarahi Dabo
langsung menenangkan Saima, dan bertanya kepada Dabo kenapa ia harus bekerja sebagai
pengamen. Dabo langsung menjawab ia sedang mengumpulkan uang untuk membeli gitar kecil,
perekonomian ibunya dan kakaknya. Mendengar penjelasan dari Dabo, membuat Saima
meneteskan air matanya. Ia sungguh tidak dapat menduga bahwa anaknya ingin membantunya
dalam mencari uang.
Pada akhirnya, Dabo ketahuan juga bekerja sebagai seorang pengamen oleh ibu dan
kakaknya. Hal ini di luar dugaan Dabo, ia benar-benar tidak dapat melakukan apapun setelah itu.
Ia memang di marahi oleh ibunya karena ia bekerja sebagai seorang pengamen. Dabo sudah
berpikir bahwa ia tidak akan dapat kembali bekerja sebagai pengamen. Kemarahan ibunya
membuat ia sangat ketakutan terhadap kesalahan yang ia perbuat, meskipun menurut Dabo
bekerja sebagai pengamen bukan merupakan kesalahan.
Ibunya merasa bahwa apa yang Dabo lakukan itu terlalu berbahaya bagi anak seusianya.
Dengan ketahuannya Dabo menjadi seorang pengamen membuatnya mendapatkan kesempatan
dan izin dari ibunya untuk tetap bekerja di jalanan. Karena tidak ada yang salah dengan
pekerjaannya sebagai pengamen. Alasan Dabo untuk bekerja di jalanan hanya untuk membantu
ibunya dalam menghadapi perekonomian keluarga. Dengan alasan tersebut, Saima harus
memberikan izin kepada Dabo untuk tetap menjadi pengamen.
Setiap orang tua pasti tidak akan menginginkan anaknya yang masih kecil untuk bekerja
apalagi untuk membantu orang tuanya. Saima tidak dapat melarang anaknya jika ingin bekerja
sebab dirinya juga tidak mampu memberikan yang lebih kepada anak-anaknya. Selama suaminya
pergi meninggalkan mereka,ia terkadang tidak mampu mewujudkan segala keinginan dari
anak-anaknya. Akhirnya ia mengizinkan Dabo bekerja sebagai pengamen, ia tidak perlu merasa cemas
karena Dabo bisa ia awasi dari kejauhan. Uang yang dihasilkan Dabo ketika mengamen tanpa
Dabo pun merasa lebih semangat dan tidak perlu merasa takut kepada ibunya. Dengan izin yang
diberikan oleh Saima kepada Dabo untuk bekerja sebagai pengamen, membuat Dabo merasa
lebih berani untuk bekerja sebagai pengamen di jalanan.
Menurut Dabo, bekerja di jalanan memang sedikit berbahaya. Menjadi seorang anak
jalanan yang bekerja sebagai pengamen, tentu harus memiliki keberanian ketika berada di
jalanan. Kehidupan jalanan selalu memberikan dampak yang buruk bagi setiap anak. Selama
menjadi anak jalanan tidak jarang Dabo mendapatkan perlakukan kasar dari sesama anak jalanan
terhadapnya. Anak jalanan yang kuat dan berkuasa akan selalu menindas para anak jalanan yang
lemah. Ketika pertama kali Dabo menjadi seorang pengamen, ia sering di ganggu oleh sesama
anak jalanan lainnya. Bahkan ia sampai dilarang untuk mengamen oleh sesama pengamen di
jalanan. Tidak hanya itu saja, penghasilan yang didapatkan dari mengamen pernah di rampas
oleh pengamen yang lebih tua darinya.
Sebagai anak-anak, Dabo tidak dapat melawan para anak jalanan yang lebih tua darinya.
Ia hanya dapat menerima apapun perlakuan yang tidak sewajarnya ketika bekerja di jalanan.
Untuk menghindari para anak jalanan yang sering menindasnya, biasanya ia akan segera lari ke
tempat yang lebih ramai. Dengan begitu, Dabo dapat lepas dari para anak jalanan yang sering
menganggunya tersebut. Terkadang Dabo merasa jenuh dan bosan ketika ia mendapat perlakuan
kasar oleh sesama para anak jalanan yang bekerja di jalanan. Menurutnya, mengapa mereka
harus saling menganggu, padahal apa yang mereka kerjakan di jalanan hanya satu tujuan yaitu
untuk mendapatkan uang. Dabo tidak pernah menganggu bahkan menindas pengamen lainnya.
Karena seringnya Dabo mendapatkan perlakuan yang tidak baik mengajarkannya menjadi
seorang anak yang berani dan mampu untuk melawan siapapun yang sering menganggu
keamanan dan kenyamananya ketika bekerja di jalanan. Sehingga membuat Dabo tidak pernah
merasa takut kepada siapapun. Tujuannya turun ke jalan hanya untuk bekerja dan mendapatkan
uang. Menurut Dabo bekerja di jalanan tidak berbahaya, semua itu tergantung bagaimana setiap
anak menghadapi ketika mereka bekerja di jalanan dan bagaimana pribadi diri sendiri ketika
bekerja di jalanan. Dabo bekerja di jalanan semata hanya untuk membantu ibunya dalam
menghadapi permasalahan keluarganya. Banyak anak-anak di jalanan menjadi tidak terkendali
dan terjerumus ke dalam hal yang negatif. Dabo tidak ingin membuat dirinya melakukan
hal-hal yang buruk ketika bekerja di jalanan, yang harus dilakukan oleh Dabo adalah bekerja dengan
baik dan benar.
Dabo mulai terjun ke jalan pada usia 6 tahun, setiap hari ia bekerja mulai dari pukul
12.00 wib hingga 16.00 wib, pendapatan yang ia dapatkan pada saat itu hanya sekitaran
Rp.20.000 dalam sehari. Ia menghabiskan sebagian waktu untuk bekerja sebagai pengamen,
uang yang ia dapatkan dari mengamen seutuhnya ia berikan kepada ibunya. Berbagai peristiwa
di jalanan sudah pernah dialami oleh Dabo, mulai dari perlakuan kasar dari sesama pangamen
sudah pernah ia terima, terkadang uang dari hasil ia mengamen juga di minta oleh pengamen
yang lebih tua, Dabo biasaya akan langsung lari ke kedai tempat ibunya bekerja. Perlakuan yang
tidak wajar oleh sesama pengamen hampir setiap hari ia terima. Namun, Dabo merasa bahwa itu
tidak akan menjadi penghalang untuknya agar berhenti bekerja sebagai pengamen.
Setiap anak yang bekerja di jalanan pasti akan selalu mendapatkan perlakukan kasar oleh
sesama pengamen. Hal ini juga sangat dirasakan oleh Dabo, tidak jarang ia mendapatkan