• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Karakteristik Penderita Rinosinusitis Tipe Dentogen di RSUP H. Adam Malik Medan 2009-2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Karakteristik Penderita Rinosinusitis Tipe Dentogen di RSUP H. Adam Malik Medan 2009-2012"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN 1 DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Sofina Lusia Harahap

Tempat / Tanggal Lahir : Pematang Siantar / 24 Juli 1992

Agama : Islam

Alamat : Villa Setia Budi Permai no 3B, Jalan Kenanga Sari Pasar VI Setia Budi

Riwayat Pendidikan :

1. Taman Kanak-kanak Alwashliyah (1997-1998) 2. Sekolah Dasar Swasta Taman Asuhan (1998-2004) 3. Sekolah Menengah Swasta Taman Asuhan (2004-2007)

4. Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Pematang Siantar (2007-2010) 5. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (2010 – sekarang)

Riwayat Organisasi :

1. Anggota Seksi Dana HMI FK USU 2010

(2)

LAMPIRAN 3

HASIL OUTPUT DATA SPSS

Frequencies

Statistics umur pasien

yang telah dikelompokkan

jenis kelamin

pasien suku pasien

pekerjaan pasien

keluhan utama pasien

jenis gigi yang terkena

terapi yang diberikan

N Valid 122 122 122 122 122 122 122

Missing 0 0 0 0 0 0 0

Frequency Table

umur pasien yang telah dikelompokkan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

(3)

30-39 30 24.6 24.6 36.9

40-49 40 32.8 32.8 69.7

>50 37 30.3 30.3 100.0

Total 122 100.0 100.0

jenis kelamin pasien

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid laki-laki 51 41.8 41.8 41.8

perempuan 71 58.2 58.2 100.0

Total 122 100.0 100.0

suku pasien

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid aceh 5 4.1 4.1 4.1

(4)

jawa 33 27.0 27.0 92.6

lainnya 4 3.3 3.3 95.9

minang 3 2.5 2.5 98.4

nias 2 1.6 1.6 100.0

Total 122 100.0 100.0

pekerjaan pasien

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid buruh 3 2.5 2.5 2.5

ibu rumah tangga 39 32.0 32.0 34.4

pegawai 42 34.4 34.4 68.9

wiraswasta 26 21.3 21.3 90.2

petani 3 2.5 2.5 92.6

lainnya 9 7.4 7.4 100.0

(5)

keluhan utama pasien

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid hidung berair 20 16.4 16.4 16.4

hidung berbau 18 14.8 14.8 31.1

hidung tersumbat 64 52.5 52.5 83.6

sakit daerah wajah 20 16.4 16.4 100.0

Total 122 100.0 100.0

jenis gigi yang terkena

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid insisivus 1 1 .8 .8 .8

caninus 2 1.6 1.6 2.5

premolar 1 8 6.6 6.6 9.0

premolar 2 31 25.4 25.4 34.4

(6)

molar 2 31 25.4 25.4 95.9

molar 3 5 4.1 4.1 100.0

Total 122 100.0 100.0

terapi yang diberikan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid medikamentosa 90 73.8 73.8 73.8

medikamentosa+operatif 32 26.2 26.2 100.0

(7)

LAMPIRAN 2

(8)

Nomor RM Tahun Usia

Jenis

Kelamin Suku Pekerjaan Keluhan Utama Jenis Gigi Terapi Nama

Pengelompokan Umur

pengelompokan Pekerjaan 19.79.36 2009 25 perempuan batak

pegawai

swasta hidung berair

premolar

2 medikamentosa MN 20-29 pegawai

38.87.20 2009 31 laki-laki batak wiraswasta hidung berair molar 1 medikamentosa+operatif SG 30-39 wiraswasta 38.68.10 2009 56 laki-laki batak wiraswasta hidung berair molar 1 medikamentosa MJ >50 wiraswasta 39.60.06 2009 23 perempuan batak

pegawai

swasta hidung berair

premolar

2 medikamentosa SK 20-29 pegawai

39.78.10 2009 36 laki-laki batak

pegawai

swasta hidung berair molar 1 medikamentosa DH 30-39 pegawai 16.42.53 2009 69 perempuan batak pegawai negeri hidung berair

premolar

2 medikamentosa+operatif BS >50 pegawai 37.54.54 2009 38 laki-laki aceh petani hidung berair molar 2 medikamentosa+operatif M 30-39 petani 37.47.11 2009 51 perempuan batak

ibu rumah

tangga hidung berair molar 2 medikamentosa AN >50 ibu rumah tangga 40.37.78 2009 47 perempuan jawa

ibu rumah

tangga hidung berair molar 1 medikamentosa S 40-49 ibu rumah tangga 39.61.80 2009 57 perempuan batak pegawai negeri hidung berair molar 1 medikamentosa RS >50 pegawai

39.98.86 2009 30 perempuan jawa lainnya hidung berair molar 1 medikamentosa EW 30-39 lainnya 37.00.81 2009 62 perempuan batak

ibu rumah

tangga hidung berair molar 2 medikamentosa MG >50 ibu rumah tangga 38.61.57 2009 49 laki-laki minang wiraswasta hidung berair molar 1 medikamentosa DC 40-49 wiraswasta 38.22.68 2009 46 perempuan batak pegawai negeri hidung berair molar 2 medikamentosa TS 40-49 pegawai 38.28.16 2009 44 perempuan aceh

ibu rumah

tangga hidung berair

premolar

2 medikamentosa+operatif S 40-49 ibu rumah tangga 40.08.72 2009 36 perempuan batak

ibu rumah

(9)

43.24.14 2010 50 perempuan batak

ibu rumah

tangga hidung berair molar 2 medikamentosa PB >50 ibu rumah tangga 01.97.86 2010 49 perempuan batak pegawai negeri hidung berair

premolar

2 medikamentosa AS 40-49 pegawai

42.79.55 2010 72 laki-laki batak lainnya hidung berair molar 2 medikamentosa DS >50 lainnya 39.17.86 2010 52 laki-laki batak wiraswasta hidung berair

premolar

2 medikamentosa+operatif AR >50 wiraswasta 42.55.59 2010 34 perempuan jawa

ibu rumah

tangga hidung berair

insisivus

1 medikamentosa R 30-39 ibu rumah tangga

06.53.56 2010 50 perempuan batak

pegawai

swasta hidung berair caninus medikamentosa RT >50 pegawai 42.00.36 2010 29 perempuan batak

ibu rumah

tangga hidung berair molar 1 medikamentosa+operatif PG 20-29 ibu rumah tangga 39.94.34 2010 26 laki-laki lainnya lainnya hidung berair

premolar

2 medikamentosa TR 20-29 lainnya

41.93.34 2010 45 perempuan jawa lainnya hidung berair molar 2 medikamentosa RB 40-49 lainnya 07.93.84 2010 48 laki-laki batak pegawai negeri hidung berair molar 1 medikamentosa TR 40-49 pegawai 09.95.82 2010 42 laki-laki batak wiraswasta hidung berair

premolar

2 medikamentosa AR 40-49 wiraswasta

20.73.35 2010 25 laki-laki batak wiraswasta hidung berair

premolar

2 medikamentosa KS 20-29 wiraswasta

43.46.78 2010 26 perempuan batak wiraswasta hidung berair molar 1 medikamentosa AS 20-29 wiraswasta 47.60.05 2011 47 perempuan batak pegawai negeri hidung berair molar 2 medikamentosa SK 40-49 pegawai 47.32.33 2011 49 laki-laki jawa pegawai negeri hidung berair

premolar

2 medikamentosa G 40-49 pegawai

46.63.47 2011 46 laki-laki lainnya wiraswasta hidung berair

premolar

1 medikamentosa R 40-49 wiraswasta

46.86.03 2011 30 perempuan jawa

ibu rumah

tangga hidung berair

premolar

(10)

48.27.36 2011 38 laki-laki batak pegawai negeri hidung berair molar 1 medikamentosa TH 30-39 pegawai 48.43.84 2011 36 laki-laki jawa pegawai negeri hidung berair

premolar

2 medikamentosa A 30-39 pegawai

49.16.92 2011 42 laki-laki jawa wiraswasta hidung berair molar 2 medikamentosa H 40-49 wiraswasta 44.30.71 2011 54 perempuan batak

ibu rumah

tangga hidung berair

premolar

2 medikamentosa+operatif HN >50 ibu rumah tangga 44.61.67 2011 38 perempuan batak

ibu rumah

tangga hidung berair molar 2 medikamentosa HS 30-39 ibu rumah tangga 47.82.56 2011 42 perempuan jawa

ibu rumah

tangga hidung berair

premolar

2 medikamentosa+operatif S 40-49 ibu rumah tangga 47.89.14 2011 43 laki-laki lainnya wiraswasta hidung berair molar 2 medikamentosa RM 40-49 wiraswasta 47.10.90 2011 32 perempuan batak

ibu rumah

tangga hidung berair molar 1 medikamentosa GS 30-39 ibu rumah tangga 48.01.46 2011 36 laki-laki jawa wiraswasta hidung berair molar 1 medikamentosa I 30-39 wiraswasta 48.36.85 2011 49 perempuan batak pegawai negeri hidung berair molar 2 medikamentosa+operatif L 40-49 pegawai 50.54.82 2012 50 perempuan nias

ibu rumah

tangga hidung berair molar 1 medikamentosa M >50 ibu rumah tangga 52.53.43 2012 36 perempuan jawa

pegawai

swasta hidung berair molar 2 medikamentosa ES 30-39 pegawai 50.69.90 2012 44 perempuan batak

ibu rumah

tangga hidung berair molar 1 medikamentosa+operatif MS 40-49 ibu rumah tangga 50.56.26 2012 48 laki-laki aceh pegawai negeri hidung berair

premolar

2 medikamentosa CD 40-49 pegawai

46.98.00 2012 50 perempuan batak pegawai negeri hidung berair molar 1 medikamentosa SS >50 pegawai 44.90.39 2012 41 perempuan batak pegawai negeri hidung berair molar 3 medikamentosa+operatif EG 40-49 pegawai 44.54.50 2012 37 laki-laki batak wiraswasta hidung berair

premolar

2 medikamentosa PG 30-39 wiraswasta

(11)

14.80.61 2009 38 perempuan batak wiraswasta hidung berair

premolar

2 medikamentosa+operatif NM 30-39 wiraswasta 12.19.71 2011 33 perempuan batak

pegawai

swasta hidung berair molar 1 medikamentosa EN 30-39 pegawai 42.24.25 2010 33 perempuan nias

ibu rumah

tangga hidung berair

premolar

2 medikamentosa EM 30-39 ibu rumah tangga

20.74.32 2009 25 laki-laki batak wiraswasta hidung berair

premolar

2 medikamentosa KS 20-29 wiraswasta

42.88.35 2010 49 perempuan jawa

ibu rumah

tangga hidung berair molar 1 medikamentosa+operatif N 40-49 ibu rumah tangga 42.99.36 2010 53 perempuan batak

ibu rumah

tangga hidung berair molar 1 medikamentosa MG >50 ibu rumah tangga 42.56.10 2010 44 laki-laki jawa buruh hidung berair

premolar

2 medikamentosa B 40-49 buruh

43.11.26 2010 52 laki-laki batak wiraswasta hidung berair

premolar

2 medikamentosa+operatif SS >50 wiraswasta 42.47.76 2010 52 perempuan batak

ibu rumah

tangga hidung berair molar 1 medikamentosa KS >50 ibu rumah tangga 42.63.68 2010 24 perempuan batak lainnya hidung berair molar 1 medikamentosa AA 20-29 lainnya

42.19.14 2010 48 perempuan jawa

ibu rumah

tangga hidung berair molar 2 medikamentosa P 40-49 ibu rumah tangga 42.09.16 2010 27 perempuan jawa

ibu rumah

tangga hidung berair molar 2 medikamentosa S 20-29 ibu rumah tangga 44.16.21 2010 59 laki-laki batak

ibu rumah

tangga hidung berair molar 3 medikamentosa AS >50 ibu rumah tangga 45.83.39 2011 31 laki-laki batak

pegawai

swasta hidung berair molar 1 medikamentosa SL 30-39 pegawai 45.82.31 2011 46 perempuan jawa

ibu rumah

tangga hidung berair molar 1 medikamentosa S 40-49 ibu rumah tangga 47.81.25 2011 49 perempuan jawa

ibu rumah

(12)

47.16.46 2011 54 laki-laki batak petani hidung berair molar 2 medikamentosa+operatif PE >50 petani 44.00.06 2010 62 laki-laki batak wiraswasta hidung berair molar 1 medikamentosa MS >50 wiraswasta 45.76.56 2011 54 laki-laki batak wiraswasta hidung berair

premolar

2 medikamentosa IS >50 wiraswasta 48.56.99 2011 43 perempuan jawa

ibu rumah

tangga hidung berair

premolar

2 medikamentosa A 40-49 ibu rumah tangga

49.84.14 2011 62 laki-laki batak wiraswasta hidung berair molar 1 medikamentosa TG >50 wiraswasta 49.79.26 2011 26 laki-laki batak wiraswasta hidung berair

premolar

1 medikamentosa+operatif RG 20-29 wiraswasta 49.80.35 2011 47 perempuan batak

ibu rumah

tangga hidung berair molar 2 medikamentosa TK 40-49 ibu rumah tangga 48.55.18 2011 34 laki-laki batak

ibu rumah

tangga hidung berair

premolar

1 medikamentosa RS 30-39 ibu rumah tangga

37.61.03 2011 33 perempuan batak wiraswasta hidung berair molar 2 medikamentosa MS 30-39 wiraswasta 42.31.00 2010 50 perempuan batak

ibu rumah

tangga hidung berair molar 3 medikamentosa MS >50 ibu rumah tangga 52.00.93 2012 55 laki-laki jawa

pegawai

swasta hidung berair

premolar

2 medikamentosa S >50 pegawai 52.54.79 2012 26 laki-laki batak wiraswasta hidung berair molar 1 medikamentosa LT 20-29 wiraswasta 50.19.68 2012 40 perempuan jawa

ibu rumah

tangga hidung berair

premolar

2 medikamentosa HH 40-49 ibu rumah tangga

50.79.89 2012 36 perempuan jawa lainnya hidung berair

premolar

2 medikamentosa+operatif W 30-39 lainnya 50.75.39 2012 34 perempuan jawa

ibu rumah

tangga hidung berair molar 2 medikamentosa+operatif S 30-39 ibu rumah tangga 50.47.32 2012 57 perempuan batak

ibu rumah

tangga hidung berair molar 1 medikamentosa MS >50 ibu rumah tangga 50.98.35 2012 58 perempuan jawa

ibu rumah

(13)

tangga 1

53.04.92 2012 28 perempuan jawa lainnya hidung berair molar 1 medikamentosa+operatif E 20-29 lainnya 53.18.61 2012 47 perempuan jawa

ibu rumah

tangga hidung berair

premolar

1 medikamentosa+operatif J 40-49 ibu rumah tangga 51.95.38 2012 56 perempuan batak

ibu rumah

tangga hidung berair molar 1 medikamentosa NS >50 ibu rumah tangga 51.76.33 2012 55 laki-laki batak wiraswasta hidung berair molar 3 medikamentosa EP >50 wiraswasta 34.43.21 2009 24 perempuan batak

pegawai

swasta hidung berair molar 2 medikamentosa FS 20-29 pegawai 26.97.23 2012 34 laki-laki jawa pegawai negeri hidung berair molar 2 medikamentosa AR 30-39 pegawai 23.23.28 2011 36 perempuan batak pegawai negeri hidung berair molar 1 medikamentosa+operatif EL 30-39 pegawai 13.61.20 2011 63 laki-laki batak

pegawai

swasta hidung berair molar 1 medikamentosa SA >50 pegawai 10.09.24 2012 41 laki-laki batak

pegawai

swasta hidung berair molar 2 medikamentosa LM 40-49 pegawai 35.34.48 2011 36 perempuan jawa

ibu rumah

tangga hidung berair

premolar

2 medikamentosa K 30-39 ibu rumah tangga 19.01.46 2011 48 perempuan batak pegawai negeri hidung berair

premolar

2 medikamentosa MM 40-49 pegawai

11.64.42 2011 45 perempuan jawa

pegawai

swasta hidung berair molar 2 medikamentosa R 40-49 pegawai 09.17.29 2010 46 perempuan batak pegawai negeri hidung berair

premolar

2 medikamentosa+operatif AA 40-49 pegawai 00.01.01 2011 60 laki-laki batak

pegawai

swasta hidung berair molar 1 medikamentosa BS >50 pegawai 04.11.76 2011 47 perempuan minang pegawai negeri hidung berair molar 1 medikamentosa LS 40-49 pegawai 00.12.58 2012 52 perempuan jawa pegawai negeri hidung berair

premolar

2 medikamentosa R >50 pegawai

06.32.67 2010 52 perempuan batak

ibu rumah

(14)

16.57.71 2012 36 perempuan jawa

ibu rumah

tangga hidung berair molar 2 medikamentosa JM 30-39 ibu rumah tangga 42.86.64 2012 55 laki-laki batak pegawai negeri hidung berair molar 2 medikamentosa SS >50 pegawai

43.87.08 2012 58 laki-laki batak pegawai negeri hidung berair

premolar

2 medikamentosa+operatif KS >50 pegawai 05.88.13 2012 28 perempuan batak

pegawai

swasta hidung berair

premolar

1 medikamentosa MG 20-29 pegawai

04.73.57 2011 53 perempuan batak pegawai negeri hidung berair molar 1 medikamentosa BM >50 pegawai 38.12.32 2011 45 perempuan batak

pegawai

swasta hidung berair

premolar

1 medikamentosa+operatif LS 40-49 pegawai 43.00.65 2012 47 perempuan aceh buruh hidung berair molar 1 medikamentosa+operatif H 40-49 buruh 37.25.76 2012 23 laki-laki jawa lainnya hidung berair molar 2 medikamentosa H 20-29 lainnya 23.27.74 2010 40 laki-laki batak petani hidung berair molar 1 medikamentosa+operatif A 40-49 petani 47.23.21 2012 47 perempuan minang

ibu rumah

tangga hidung berair molar 2 medikamentosa TJ 40-49 ibu rumah tangga 32.34.56 2011 37 laki-laki aceh pegawai negeri hidung berair caninus medikamentosa+operatif CA 30-39 pegawai

45.36.71 2012 45 perempuan jawa buruh hidung berair

premolar

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Deepthi, N.V.; Menon, U.K.; Madhumita.K., 2012. Chronic Rhinosinusitis – An Overview. Amrita Journal of Medicine 8(1): 1-44

Douglass, A.B., 2003. Common Dental Emergencies. Available from: http://www.aafp.org/afp/2003/0201/p511.html

Farhat, 2007. Peran Infeksi gigi rahang atas pada kejadian sinusitis maksila di RSUP Haji Adam Malik, Medan. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 (1).

Fehrenbach, M.J., 2008. Dental Anatomy. Missoury: Saunders Elsevier. Hal, 121 Gaillard, F., 2010. Normal Osteomeatal Complex Diagram. Available from:

Hilger, P.A., 1997. Penyakit Sinus Paranasal. Dalam: Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC. Hal, 240-259.

Hoesin, M., 2012. Rinosinusitis Maksilaris Dentogen Dengan Komplikasi Selulitis Periorbita. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Junqueira, L.C. & Carneiro, J., 2003. Histologi Dasar. Jakarta: EGC

Lane, A.P. & Kennedy D.W., 2003. Sinusitis and Polyposis. Dalam: Snow, Jr, J.B. dan Ballenger, J.J. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, Edisi 6. Ontario: Williams & Wilkins. Hal, 761-786.

Lee, K.C. & Lee.S.J., 2010. Clinical Features and Treatments of Odontogenic Sinusitis. Yonsei Med J 51(6): 932-937.

Lund, V.J., 1997. The Complications of Sinusitis. Dalam: Essential Otolaryngology. Edisi 6. Volume 4. Oxford: Scott-Brown’s. P.4/13./1-4/13/11.

(16)

Marambaia, P.P.; Lima, M.G.; Santos, K.P.; Gomes, A.d.M.; Sousa M.M.d.; Marques, M.E.d.M., 2013. Evaluation of the quality of life patients with chronic rhinosinusitis by means of the SNOT-22 questionnaire. Brazilian Journal of

Otorhinolaryngology 79(1): 54-8

Multazar, A., 2011. Karakteristik Penderita Rinosinusitis Kronis di RSUP H.Adam Malik Medan Tahun 2008. Bagian THT Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara.

Netter, F.H., 2011. Atlas of Human Anatomy, Edisi 5. Philadephia: Saunders Elsevier.

Paramasivan K.M., 2011. Gambaran Penderita Sinusitis Maksila Dengan Infeksi Gigi Rahang Atas Di RSUP H. Adam Malik Medan Pada Tahun 2010. Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pederson, G.W., 1996, Bedah Mulut. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Proops DW. The Mouth and Related Faciomaxillary Structures. Dalam: Scott-Brown’s Otolaryngology. Vol 1. Basic Sciences. Sixth Edition. Butterworth-Heinemann. Oxford 1997; 1-23

Septiwati, M.; Taher, A.; Rahayu, U., 2013. Hubungan Infeksi gigi rahang atas dengan kejadian Rhinosinusitis Maksilaris di Rumah Sakit Umum Daerah Raden

Mattaher Jambi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Jambi.

Sherwood, L., 1996. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sihombing, J., 2009. Karakteristik Penderita Karies Gigi Yang Berobat di Rumah Sakit Umum D.r Pirngadi Medan Tahun 2007. Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

(17)

Soetjipto, D & Mangunkusumo, E., 2007. Sinus Paranasal. Dalam: Soepardi, E.A.; Iskandar, N.; Bashiruddin, J.; Restuti,R.D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL, Edisi 6. Jakarta: Balai penerbit FK UI. Hal, 145-149.

Soetjipto, D & Wardani, R.S., 2007. Hidung. Dalam: Soepardi, E.A.; Iskandar, Nurbaiti.; Bashiruddin, Jenny.; Restuti,R.D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL, Edisi 6. Jakarta: Balai penerbit FK UI. Hal, 119-122.

Tucker, M.R. & Schow S.R., 2008. Odontogenic Diseases of the Maxillary Sinus. Dalam: Hupp, J.R.; Ellis, Edward,; Tucker,M.R. Oral and Maxillofacial Surgery, Edisi 5. Missoury: MOSBY ELSEVIER. Hal, 383-395.

(18)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Gambar 3.1 Skema Kerangka Konsep Penelitian

3.2 Variabel Penelitian

Rinosinusitis Tipe Dentogen, usia, jenis kelamin, suku, pekerjaan, keluhan utama, jenis gigi dan terapi.

3.2.1 Definisi Operasional Variabel.

Kejadian Rinosinusitis tipe Dentogen yang diderita oleh pasien adalah berdasarkan diagnosis dokter yang tercatat sesuai status rekam medis pasien.

1. Usia responden adalah jumlah tahun hidup sejak lahir sampai didiagnosis menderita rinosinusitis tipe dentogen dinyatakan dalam satuan hidup dan dikategorikan atas:

a. 20-29 b. 30-39 c. 40-49 d. >50

Gambaran karakteristik penderita rinosinusitis

tipe dentogen

Karakteristik Pasien: 1. Usia

2. Jenis Kelamin 3. Suku

4. Pekerjaan 5. Keluhan utama 6. Jenis gigi yang

terkena 7. Terapi

(19)

Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam Medis Hasil Ukur : Persentase Skala Ukur : Interval

2. Jenis Kelamin adalah jenis kelamin penderita rinosinusitis tipe dentogen yang tercatat di status rekam medis pasien yang dikategorikan atas:

a. Laki-laki b. Perempuan

Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam Medis Hasil Ukur : Persentase

Skala Ukur : Nominal

3. Suku adalah suku penderita yang tercatat dalam rekam medis dan dikategorikan atas:

a. Batak b. Jawa c. Aceh d. Minang e. Tionghoa f. Lainnya

Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam Medis Hasil Ukur : Persentase

Skala Ukur : Nominal

4. Pekerjaan adalah pekerjaan penderita yang tercatat dalam rekam medis dan dikategorikan atas:

a. Buruh b. Pegawai c. Petani d. Wiraswasta

(20)

f. Lainnya

Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam Medis Hasil Ukur : Persentase

Skala Ukur : Nominal

5. Keluhan Utama adalah keluhan yang paling utama yang membuat pasien datang berobat sesuai dengan keluhan utama yang tercatat pada status rekam medis pasien yang dikategorikan atas:

a. Hidung Tumpat b. Hidung Berbau

c. Sakit daerah pipi atau hidung d. Hidung Berair

Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam Medis Hasil Ukur : Persentase

Skala Ukur : Nominal

6. Jenis gigi yang terlibat adalah gigi yang menyebabkan terjadinya rinosinusitis tipe dentogen yang ditentukan melalui pemeriksaan dan tercatat dalam rekam medis yang dikategorikan atas:

a. Insisivus 1 b. Insisivus 2 c. Caninus d. Premolar 1 e. Premolar 2 f. Molar 1 g. Molar 2 h. Molar 3

Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam Medis Hasil Ukur : Persentase

(21)

7. Terapi adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh dokter dalam usaha penyembuhan suatu penyakit berdasarkan jenis terapi yang tercatat pada status rekam medis pasien yang dikategorikan atas:

a. Medikamentosa

b. Medikamentosa + Operatif

Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam Medis Hasil Ukur : Persentase

(22)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif, pendekatan yang digunakan pada desain penelitian ini adalah studi cross sectional retrospektif.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil data rekam medis departemen THT di RSUP H. Adam Malik Medan. Pemilihan lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit pendidikan dan juga merupakan rumah sakit rujukan yang memiliki data rekam medis yang baik. Waktu penelitian dimulai dari bulan Juli - November 2013.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1 Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh penderita rinosinusitis tipe dentogen yang berobat di RSUP H. Adam Malik Medan dari 1 Januari 2009 sampai 31 Desember 2012.

4.3.2 Sampel

Besar sampel diperoleh dengan metode total sampling. Total sampling adalah teknik penentuan sampel dengan mengambil seluruh anggota populasi sebagai responden/sampel. Dalam penelitian ini keseluruhan dari populasi penelitian adalah merupakan sampel karena perlu didapatkan jumlah secara keseluruhan penderita rinosinusitis tipe dentogen.

a. Kriteria inklusi adalah seluruh pasien berumur lebih besar sama dengan 20 tahun dan pasien yang didiagnosis menderita rinosinusitis tipe dentogen

(23)

4.4 Metode Pengumpulan Data

Untuk penelitian ini, data diambil dari rekam medis penderita rinosinusitis tipe dentogen di Instalasi Rekam Medis RSUP H. Adam Malik Medan dari 1 Januari 2009 - 31 Desember 2012. Kartu status penderita rinosinusitis tipe dentogen yang dipilih sebagai sampel, dikumpul dan dilakukan pencatatan tabulasi sesuai variabel yang diteliti.

4.5 Metode Analisis Data

(24)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit milik pemerintah yang dikelola oleh Pemerintah Pusat bersama Pemerintah daerah Provinsi Sumatera Utara. Rumah sakit ini adalah rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SSK/VII/1990 dan juga sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai dengan SK Menkes No. 502/SK/IX/1991 serta merupakan pusat rujukan kesehatan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, D.I. Aceh, Sumatera Barat dan Riau. RSUP H. Adam Malik Medan dibangun di atas tanah seluas ± 10 ha dan terletak di Jalan Bunga Lau No.17 km 12, Kecamatan Medan Tuntungan, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara.

5.1.2 Karakteristik Individu

Berdasarkan data rekam medis, jumlah penderita yang didiagnosis dengan rinosinusitis dan berusia diatas atau sama dengan 20 tahun yang berobat ke Poliklinik THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan selama Januari 2009 sampai Desember 2012 tercatat sebanyak 746 penderita, dan pada penelitian ini didapatkan 122 penderita rinosinusitis tipe dentogen (16,35%).

5.1.3 Distribusi Karakteristik Sampel

(25)

Tabel 5.1. Distribusi penderita rinosinusitis tipe dentogen berdasarkan pengelompokan usia

Pada tabel 5.1. dapat dilihat bahwa dari 122 penderita rinosinusitis tipe dentogen, proporsi terbesar terdapat pada pengelompokan umur 40-49 tahun sebanyak 32,8%, diikuti kelompok umur >50 sebanyak 30.3%, kemudian kelompok umur 30-39 sebanyak 24,6 % serta kelompok umur 20-29 sebanyak 12,3%.

Tabel 5.2. Distribusi penderita rinosinusitis tipe dentogen berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin Jumlah (%)

Laki-Laki 51 41,8

Perempuan 71 58,2

Total 122 100

Pada tabel 5.2. dapat dilihat bahwa dari 122 penderita rinosinusitis tipe dentogen, proporsi terbesar terdapat pada jenis kelamin perempuan yaitu 58,2 % diikuti jenis kelamin laki-laki yaitu 41,8%.

Kelompok Usia (tahun) Jumlah (%)

20-29 15 12,3

30-39 30 24,6

40-49 40 32,8

>50 37 30,3

(26)

Tabel 5.3. Distribusi penderita rinosinusitis tipe dentogen berdasarkan suku

Suku Jumlah (%)

Aceh 5 4,1

Batak 75 61,5

Jawa 33 27,0

Minang 3 2,5

Nias 2 1,6

Lainnya 4 2,3

Total 122 100

Pada tabel 5.3. dapat dilihat bahwa dari 122 penderita rinosinusitis tipe dentogen, proporsi terbesar terdapat pada suku Batak sebanyak 61,5% diikuti suku Jawa sebanyak 27% kemudian suku Aceh sebanyak 4,1%, suku Minang sebanyak 2.5%, suku Nias sebanyak 1,6% dan lainnya 2,3.

Table 5.4. Distribusi penderita rinosinusitis tipe dentogen berdasarkan pekerjaan

Pekerjaan Jumlah (%)

Buruh 3 2,5

Ibu Rumah Tangga 39 32,0

Pegawai 42 34,4

Wiraswasta 26 21,3

Petani 3 2,5

Lainnya 9 7,4

Total 122 100

(27)

Tabel 5.5. Distribusi penderita rinosinusitis tipe dentogen berdasarkan keluhan utama

Keluhan Utama Jumlah (%)

Hidung Berair 20 16,4

Hidung Berbau 18 14,8

Hidung Tersumbat 64 52,5

Sakit Daerah Wajah 20 16,4

Total 122 100

(28)

Tabel 5.6. Distribusi penderita rinosinusitis tipe dentogen berdasarkan jenis gigi yang terkena

Jenis Gigi Jumlah (%)

Insisivus 1 1 0,8

Insisivus 2 0 0

Caninus 2 1,6

Premolar 1 8 6,6

Premolar 2 31 25,4

Molar 1 44 36,1

Molar 2 31 25,4

Molar 3 5 4,1

Total 122 100

(29)

Tabel 5.7. Distribusi penderita rinosinusitis tipe dentogen berdasarkan terapi yang dberikan

Terapi Jumlah (%)

Medikamentosa 90 73,8

Medikamentosa + Operatif 32 26,2

Total 122 100

Pada tabel 5.7. dapat dilihat bahwa dari 122 penderita rinosinusitis tipe dentogen, proporsi terapi yang terbanyak diberikan adalah medikamentosa dengan persentase sebanyak 73,8 % sedangkan terapi medikamentosa+operatif sebanyak 26,2%.

5.2. Pembahasan

5.2.1. Distribusi penderita rinosinusitis tipe dentogen berdasarkan pengelompokan usia

Usia penderita yang dimasukkan dalam penelitian ini adalah diatas atau sama dengan 20 tahun. Pemilihan batas bawah usia ini berdasarkan pertimbangan bahwa pada usia 20 tahun atau diatasnya, sinus maksila sudah dianggap maksimal perkembangannya dan tidak berkembang lagi. Pertimbangan lain adalah berdasarkan pertumbuhan gigi-geligi dianggap telah tumbuh permanen setelah tumbuhnya gigi permanen molar ketiga (Farhat, 2004). Proops juga menyatakan bahwa gigi telah tumbuh lengkap pada usia 18-21 tahun (Proops, 1997).

(30)

Berbeda dengan penelitian diatas, Ugincius di Lithuania pada tahun 2006 mendapatkan distribusi penderita rinosinusitis tipe dentogen terbanyak terdapat pada kelompok umur 31-40 tahun. Farhat pada tahun 2004 di Medan mendapatkan dari 35 penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang, kelompok usia yang terbanyak adalah 30-39 tahun yaitu sebanyak 12 penderita (34,29%).

Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa rinosinusitis tipe dentogen lebih banyak menyerang pada orang dewasa. Hal ini diduga karena pada usia dewasa merupakan usia produktif dan mempunyai aktifitas yang tinggi sehingga lebih sering terpapar zat toksik atau mikroorganisme patogen yang didapat dari berbagai faktor seperti faktor lingkungan (polutan), perubahan gaya hidup (merokok, pola makan, kebersihan yang kurang) yang dapat menginvasi rongga mulut, menyebabkan infeksi pada gigi atau jaringan periodontal. Infeksi ini dapat menyebar secara langsung atau melalui pembuluh darah dan limfe ke sinus maksila. Perbedaan umur oleh masing-masing peneliti lebih didasari oleh pengelompokan umur yang berbeda-beda pada masing-masing peneliti.

5.2.2. Distribusi penderita rinosinusitis tipe dentogen berdasarkan jenis kelamin

Dari hasil penelitian ini dapat dilihat proporsi penderita rinosinusitis tipe dentogen berdasarkan jenis kelamin yang paling banyak adalah perempuan yaitu 71 penderita (58,2%). Hasil yang sama juga diperoleh Farhat pada tahun 2004 di Medan yang mendapati jumlah terbanyak adalah perempuan sebanyak 26 penderita (74,28%) dari total 35 penderita.

(31)

5.2.3. Distribusi penderita rinosinusitis tipe dentogen berdasarkan suku

Pada penelitian ini didapatkan bahwa proporsi penderita rinosinusitis tipe dentogen berdasarkan kelompok suku yang paling banyak adalah suku Batak yaitu 75 penderita (61,5%). Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Frisdiana pada tahun 2011 di Medan yang mendapati suku yang paling banyak adalah suku Batak yaitu 71,6%.

Hal ini hanya menunjukkan penderita rinosinusitis tipe dentogen yang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009-2012 kebanyakan adalah suku Batak, belum ada data yang menunjukkan adanya pengaruh suku terhadap penyakit rinosinusitis tipe dentogen.

RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit kelas A yang dalam pelayanannya lebih mengutamakan masyarakat yang paling membutuhkan tanpa membedakan suku, agama, golongan.

5.2.4. Distribusi penderita rinosinusitis tipe dentogen berdasarkan pekerjaan

Pada penelitian ini dapat dilihat bahwa proporsi penderita rinosinusitis tipe dentogen berdasarkan jenis pekerjaan yang paling banyak adalah pegawai dengan jumlah 42 penderita (42%). Prastyo S.J. tahun 2012 di Medan mendapati pegawai negeri sipil (PNS) sebagai pekerjaan yang paling banyak yaitu (28,7%).

(32)

5.2.5. Distribusi penderita rinosinusitis tipe dentogen berdasarkan keluhan utama

Dari hasil ini dapat dilihat bahwa proporsi penderita rinosinusitis tipe dentogen berdasarkan keluhan utama yang paling banyak adalah hidung tersumbat dengan jumlah 64 penderita (52.5 %). Hal ini sejalan dengan penelitian di Medan yaitu keluhan yang terbanyak adalah hidung tersumbat sebanyak 75,3% (Multazar, 2008). Septiwati pada tahun 2013 di Jambi juga mendapatkan hasil yang sama yaitu hidung tersumbat sebanyak 17 orang (50,0%) sebagai keluhan terbanyak.

Farhat pada tahun 2004 di Medan mendapatkan hasil yang berbeda yaitu keluhan terbanyak pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas adalah hidung berbau sebanyak 22 penderita (62,85%).

Reaksi inflamasi yang memicu edema pada organ sinus maksila akan menyebabkan penyumbatan pada hidung dan kompleks ostio-meatal tertutup sehingga aliran mukus menjadi terhambat. Hal tersebut akan menyebabkan mukus terakumulasi. Dengan demikian, edema yang menyebabkan tertutupnya KOM akan memberikan gejala hidung tersumbat (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007)

5.2.6. Distribusi penderita rinosinusitis tipe dentogen berdasarkan jenis gigi yang terkena

Pada penelitian ini dapat dilihat bahwa proporsi penderita rinosinusitis tipe dentogen berdasarkan jenis gigi paling banyak yang terkena adalah molar 1 sebanyak 44 penderita (36,1%) diikuti premolar 2 dan molar 2 masing-masing 31%. Farhat tahun 2004 di Medan juga mendapatkan berdasarkan lokasi gigi yang terbanyak menyebabkan sinusitis maksila adalah gigi molar pertama sebanyak 28 penderita (80%) dan diikuti premolar kedua sebanyak 17 penderita (48,27%).

(33)

sebagian individu berhubungan langsung dengan mukosa sinus maksila. Sehingga penyebaran infeksi bakteri langsung dari akar gigi ke dalam sinus maksila dapat terjadi.

5.2.7. Distribusi penderita rinosinusitis tipe dentogen berdasarkan terapi yang diberikan

Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa proporsi penderita rinosinusitis tipe dentogen berdasarkan terapi yang paling banyak diberikan adalah terapi medikamentosa yaitu sebanyak 90 penderita (73,8%). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Multazar pada tahun 2008 di Medan yang mendapatkan penatalaksanaan medikamentosa sebagai penatalaksanaan yang paling banyak diberikan yaitu 77,36% sementara penatalaksanaan operasi hanya 22,64%.

(34)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Jumlah penderita yang didiagnosis dengan rinosinusitis di RSUP H. Adam

Malik Medan tahun 2009-2012 sebanyak 746 penderita, dan didapatkan 122 penderita rinosinusitis tipe dentogen (16,35%).

2. Distribusi frekuensi berdasarkan kelompok usia yang paling banyak adalah kelompok umur 40-49 tahun 40 penderita (32,8%).

3. Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin yang paling banyak adalah perempuan 71 penderita (58,2%).

4. Distribusi frekuensi berdasarkan suku yang paling banyak didapatkan adalah suku Batak 75 penderita (61,5%).

5. Distribusi frekuensi berdasarkan keluhan yang paling banyak adalah keluhan hidung tersumbat 64 penderita (52,5%)

6. Distribusi frekuensi berdasarkan jenis gigi yang paling banyak terkena adalah molar 1 44 penderita (36,1%).

(35)

6.2. Saran

Beberapa hal yang dapat disarankan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan antara lain:

1. Menyarankan kepada pihak tenaga kesehatan agar pencatatan status pasien pada rekam medis dilakukan dengan lebih baik untuk mendapatkan data rinosinusitis tipe dentogen yang lengkap dan memudahkan peneliti yang menggunakan rekam medis.

2. Untuk kesempurnaan penanganan penderita rinosinusitis tipe dentogen diperlukan kerjasama antara SMF THT-KL dengan SMF gigi dan mulut. 3. Perlunya penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga

(36)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hidung

2.1.1 Anatomi Hidung 2.1.1.1 Anatomi Hidung Luar

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip), ala nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1)lubang hidung (os nasal), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum (Soetjipto dan Wardani, 2007).

2.1.1.2 Anatomi Hidung Dalam

(37)
[image:37.595.129.490.115.391.2]

Dikutip dari: Atlas of Human Anatomy (Netter, F. H, 2006)

Gambar 2.1 Anatomi Hidung Dalam

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding medial, lateral, inferior dan superior (Soetjipto dan Wardani, 2007).

(38)

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, yang lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid (Soetjipto dan Wardani, 2007).

Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid (Soetjipto dan Wardani, 2007).

2.1.1.3 Batas rongga hidung

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-sarabut saraf olfaktorius. Dibagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid (Soetjipto dan Wardani, 2007).

2.1.2 Fisiologi Hidung

(39)

ujung-ujung neuron aferen khusus dan satu-satunya neuron yang mengalami pembelahan sel. Akson-akson sel reseptor secara kolektif membentuk saraf olfaktorius. Bagian reseptor dari sel olfaktorius terdiri dari sebuah kepala yang menggembung dan berisi beberapa silia panjang yang meluas ke permukaan mukosa. Silia ini mengandung tempat pengikatan untuk melekatnya molekul-molekul odoriferous (pembentuk bau) (Sherwood, 2001).

Agar dapat berikatan dengan sel-sel olfaktorius dan dapat membentuk bau maka suatu bahan harus:

• Cukup mudah menjadi gas (mudah menguap), sehingga sebagian melekulnya dapat masuk ke hidung dalam udara yang dihirup

• Cukup mudah untuk larut-air, sehingga dapat larut kedalam lapisan mukus yang melapisi mukosa olfaktorius (Sherwood, 2001).

Pengikatan suatu molekul odoriferous ke tepat perlekatannya disilia akan menyebabkan pembukaan saluran-saluran Na+ dan K+. Terjadi perpindahan ion-ion yang menimbulkan depolarisasi potensial reseptor yang menyebabkan terbentuknya potensial aksi di serat aferen. Serat-serat aferen berjalan melalui lubang-lubang halus di lempeng tulang datar yang memisahkan mukosa olfaktorius dari jaringan otak diatasnya. Serat-serat tersebut segera bersinaps di bulbus olfaktorius, suatu struktur saraf kompleks yang mengandung beberapa lapisan sel yang berbeda-beda. Serat yang keluar dari bulbus olfaktorius berjalan melalui dua rute:

• Rute subkortikal yang terutama menuju ke daerah-daerah di sistem limbik, khususnya sisi medial bawah lobus temporalis (yang dianggap sebagai korteks olfaktorius primer) (Sherwood, 2001).

(40)

Fungsi Hidung

• Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal (Soetjipto dan Wardani, 2007).

• Fungsi penciuman karena terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidung\fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang (Soetjipto dan Wardani, 2007). • Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi

terhadap trauma dan pelindung panas (Soetjipto dan Wardani, 2007). • Refleks nasal (Soetjipto dan Wardani, 2007).

2.1.3 Persarafan Hidung (Cavum Nasi)

Nervus olfaktorius atau saraf penciuman, merupakan juluran sentral dari sel-sel saraf reseptor olfaktorius didalam membran mukosa bagian atas rongga hidung (diatas konka nasalis superior). Berkas-berkas serabut saraf ini berjalan melalui lubang didalam lamina cribrosa os etmoidalis dan berakhir pada bulbus olfaktorius didalam fossa cranii anterior. Dari ujung posterior bulbus olfaktorius keluar sebuah pita putih yang disebut traktus olfaktorius yang berjalan kebelakang menuju ke area olfaktorius cortex cerebri (Snell, 2006).

Saraf-saraf sensasi umum berasal dari divisi oftalmika dan maxillaris nervus trigeminus. Persarafan bagian anterior cavum nasi berasal dari nervus etmoidalis anterior. Persarafan bagian posterior cavum nasi berasal dari ramus nasalis, ramus nasopalatinus, dan ramus palatinus ganglion pterygopalatinum ( Snell, 2006).

2.1.4 Vaskularisasi Hidung

(41)

sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri Fasialis (Soetjipto dan Wardani, 2007).

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, etmoid, labialis superior, dan palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung) terutama pada anak (Soetjipto dan Wardani, 2007).

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki katup sehingga merupakan predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial (Soetjipto dan Wardani, 2007).

2.2 Sinus Paranasal

2.2.1 Anatomi Sinus Paranasal

Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung. Sinus paranasal terdiri dari empat pasang, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).

(42)
[image:42.595.123.485.122.389.2]

Dikutip dari: Atlas of Human Anatomy (Netter, F. H, 2006)

Gambar 2.2 Anatomi Sinus Paranasal

2.2.1.1 Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml. Sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).

(43)
[image:43.595.174.442.121.384.2]

Dikutip dari: Atlas of Human Anatomy (Netter, F. H, 2006)

Gambar 2.3 Anatomi Sinus Maksila

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah

1) Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol kedalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).

2) Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).

(44)

2.2.2 Kompleks Ostio-Meatal

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat dibelakang prosesus unsinatus, resesus frontallis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium maksila (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).

[image:44.595.180.456.276.484.2]

Dikutip dari: (Gaillard, F., 2010)

Gambar 2.4 Anatomi Kompleks Ostio-Meatal

2.2.3 Sistem Mukosiliar

Seperti pada mukosa hidung, didalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir diatasnya. Didalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).

(45)

infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).

2.2.4 Fungsi Sinus Paranasal

Sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).

Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain: A. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembapan udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus dan rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagi pula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).

B. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).

C. Membantu keseimbangan kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).

D. Membantu resonansi suara

(46)

E. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus(Soetjipto, dan Mangunkusomo, 2007).

F. Membantu produksi mukus

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan efektif mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).

2.3 Gigi

2.3.1 Anatomi Gigi 2.3.1.1 Bagian Gigi

Gigi mempunyai beberapa bagian, yaitu:

a) Bagian akar gigi, adalah bagian dari gigi yang tertanam di dalam tulang dikelilingi (dilindungi) oleh jaringan periodontal.

b) Mahkota gigi adalah bagian dari gigi yang dapat dilihat

c) Cusp adalah tonjolan runcing atau tumpul yang terdapat pada mahkota (Frencken (1997) dalam Sihombing (2009)).

2.3.1.2 Bentuk-bentuk Gigi Permanen

Orang dewasa biasanya mempunyai 32 gigi permanen, 16 ditiap rahang. Di tiap rahang terdapat:

a) Empat gigi depan (gigi insisivus). Bentuknya seperti sekop dengan tepi yang lebar untuk menggigit, hanya mempunyai satu akar. Gigi insisivus atas lebih besar daripada gigi yang bawah (Frencken (1997) dalam Sihombing (2009).

(47)

c) Empat gigi pre-molar/gigi molar kecil. Mahkotanya bulat hampir seperti bentuk kaleng tipis, mempunyai dua tonjolan, satu di sebelah pipi dan satu di sebelah lidah. Kebanyakan gigi pre-molar mempunyai satu akar, beberapa mempunyai dua akar (Frencken (1997) dalam Sihombing (2009). d) Enam gigi molar. Merupakan gigi-gigi besar disebelah belakang didalam

mulut digunakan untuk menggiling makanan. Semua gigi molar mempunyai mahkota persegi seperti blok-blok bangunan. Ada mempunyai tiga, empat atau lima tonjolan. Gigi molar di rahang atas mempunyai tiga akar dan gigi molar rahang bawah mempunyai dua akar (Frencken (1997) dalam Sihombing (2009).

[image:47.595.216.406.311.478.2]

Dikutip dari: Dental Anatomy (Fehrenbach, M.J, 2008)

Gambar 2.5 Bentuk-bentuk Gigi

2.3.1.3 Jaringan Gigi

Gigi terdiri dari beberapa jaringan, yaitu: a. Enamel

(48)

masuk ke enamel bagian dalam dan hal ini memungkinkan terjadinya transport ion-ion melalui permukaan dalam enamel ke permukaan luar sehingga akan terjadi perubahan enamel (Frencken (1997) dalam Sihombing (2009).

b. Dentin

Dentin adalah jaringan berkapur yang lebih keras dari tulang karena kandungan garam kalsiumnya yang lebih tinggi (70%) dari berat kering. Dentin terutama terdiri atas serabut kolagen tipe satu, glikosaminoglikan, fosfoprotein, fosfolipid, dan garam kalsium dalam bentuk kristal hidroksiapatit. Dentin senstitif terhadap beberapa stimulus, seperti panas, dingin, trauma, dan ph asam, dan semua stimulus ini dirasakan nyeri. Dentin memiliki sedikit serabut saraf tak bermielin yang memasuki bagian didalamnya (Janqueira dan Carneiro, 2003).

c. Sementum

Sementum menutupi dentin akar gigi dan susunannya serupa dengan tulang. Sementum bersifat labil dan bereaksi terhadap stres yang dialaminya dengan meresorpsi jaringan tua atau menghasilkan jaringan baru (Janqueira dan Carneiro, 2003).

d. Pulpa

(49)
[image:49.595.199.413.110.307.2]

Dikutip dari : (Douglass, A.B., 2003)

Gambar 2. 6 Anatomi Gigi

2.3.1.4 Hubungan Sinus Maksila dengan Gigi Geligi

Pada orang dewasa, akar dari ketiga molar yang permanen selalu menonjol kedalam lumen, kedua premolar kadang-kadang juga begitu, namun caninus jarang terjadi. Akar gigi dapat menonjol di dasar sinus dan menghasilkan tonjolan-tonjolan yang tajam. Tonjolan dari akar gigi terlihat hanya dilapisi oleh mukosa yang tipis (Lund, 1997).

Kadang kala tonjolan gigi ini bercelah dengan jaringan granulasi atau polip yang terperangkap dan membuat pengeluaran pada waktu pembedahan menjadi sulit. Kedekatan gigi dan lumen sinus dapat menerangkan bahwa sinusitis maksila sering disebabkan oleh faktor gigi (Lund, 1997).

2.4 Rinosinusitis Dentogen 2.4.1 Definisi

(50)

Lokasi gigi yang terbanyak menyebabkan rinosinusitis dentogen adalah gigi molar pertama, premolar kedua, dan premolar pertama. Akar gigi premolar kedua dan molar pertama berhubungan dekat dengan lantai dari sinus maksila dan pada sebagian individu berhubungan langsung dengan mukosa sinus maksila sehingga dapat terjadi penyebaran infeksi bakteri langsung dari akar gigi ke dalam sinus maksila (Farhat, 2007).

2.4.2 Etiologi

Beberapa etiologi dari rinosinusitis dentogen adalah:

• Penjalaran infeksi gigi seperti infeksi periapikal atau abses apikal gigi dari gigi kaninus sampai gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering terjadi pada kasus-kasus akar gigi yang hanya terpisah dari sinus oleh tulang yang tipis, walaupun kadang-kadang ada juga infeksi mengenai sinus yang dipisahkan oleh tulang yang tebal. (Ross (1999) dalam Paramasivan (2011))

• Prosedur ekstraksi gigi, pencabutan gigi ini dapat menyebabkan terbukanya dasar sinus sehingga lebih mudah bagi penjalanan infeksi. ( Saragih (2007) dalam Paramasivan (2011))

• Penjalaran penyakit periodontal yaitu dijumpai adanya penjalaran infeksi dari membran periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus. ( Prabhu et al (2009) dalam Paramasivan (2011))

• Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan sinus maksila. (Ross (1999) dalam Paramasivan (2011))

• Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan tambalan akibat pengisian saluran akar yang berlebihan. (Saragih (2007) dalam Paramasivan (2011))

• Osteomielitis pada maksila yang akut dan kronis (Mangunkusumo & Rifki (2001) dalam Paramasivan (2011))

(51)

• Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat menyebabkan obstruksi ostium yang memicu sinusitis. (Mangukusumo dan Soetjipto (2007) dalam Paramasivan (2011))

2.4.3 Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007).

Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan. (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007).

Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007).

Menurut Kieff & Busaba (2004) dalam Paramasivan (2011) terjadinya obstruksi ostium sinus juga akan menyebabkan hipoksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus.

(52)

Menurut Drakhe (1997) dalam Paramasivan (2011) pulpa terbuka maka kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontial ini kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi sinus serta abnormalitas sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga terjadinya rinosinusitis maksila

2.4.4 Gejala Klinis

Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu. Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas rinosinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred pain). Nyeri pipi menandakan rinosinusitis maksila, nyeri di antara atau di belakang ke dua bola mata menandakan rinosinusitis etmoid, nyeri di dahi atau diseluruh kepala mendandakan rinosinusitis frontal. Pada rinosinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid. Pada rinosinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga. Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia / anosmia, halitosis, post nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak. . (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007).

(53)

Menurut Mansjoer (2001) dalam Paramasivan (2011) rinosinusitis maksilaris dari tipe dentogen harus dapat dibedakan dengan rinogen karena terapi dan prognosis keduanya sangat berlainan. Pada rinosinusitis maksilaris tipe dentogen ini hanya terjadi pada satu sisi serta pengeluaran pus yang berbau busuk. Disamping itu, adanya kelainan apikal atau periodontal mempredisposisi kepada rinosinusitis tipe dentogen. Gejala rinosinusitis dentogen menjadi lebih lambat dari tipe rinogen.

2.4.5 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dalam anamnesis didapati riwayat rinore purulen dan biasanya bau, riwayat infeksi atau trauma pada gigi, sumbatan hidung, nyeri tekanan pada muka, nyeri kepala, demam, ingus belakang hidung (post nasal drip), batuk, anosmia atau hiposmia, nyeri periorbital dan nyeri gigi (Hoesin, 2012).

Pada pemeriksaan fisik mungkin didapati temuan yang terbatas dan tidak spesifik. Pembengkakan periorbital, dahi dan pipi terkadang. Rongga mulut dan orofaring juga harus diperiksa untuk menilai keadaan gigi dan menilai adanya post nasal drip. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior didapati hiperemi mukosa dan edema pada septum dan bagian inferior. Hal ini memungkinkan untuk menilai sekret yang mukopurulen (Lane A.P dan Kennedy D.W, 2003).

(54)

Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto polos posisi waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa. CT scan sinus merupakan baku emas diagnosis rinosinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis rinosinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007).

Pemeriksaaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus medius/superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila. (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007).

Menurut Ross (1999) dalam Paramasivan (2011) kebanyakan rinosinusitis disebabkan infeksi Streptococcus Pneumoniae, Haemophilus Influenza, Moraxella Catarrhalis. Gambaran bakteriologik dari rinosinusitis yang berasal dari gigi

geligi didominasi oleh infeksi gram negatif sehingga menyebabkan pus berbau busuk dan akibatnya timbul bau busuk dari hidung.

Pemeriksaan lanjutan berikutnya yang dapat dilakukan adalah sinuskopi, dimana pemeriksaan ini dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskopi bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007).

(55)

2.4.6 Penatalaksanaan 2.4.6.1 Medikamentosa

Tujuan terapi rinosinusitis ialah: mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi dan mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM (komplek ostiomeatal) sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007)

Rinosinusitis maksila tipe dentogen biasanya melibatkan organisme yang sering dihubungkan sebagai penyebab infeksi pada gigi, termasuk bakteri streptokokus aerob dan anaerob, dan bakteri anaerob seperti Bacteroides dan Enterobactericeae. Karena itu antibiotik yang efektif untuk infeksi dentogen seperti penicillin, clindamycin dan metronidazole. (Tucker, R.M dan Schow, S.R 2008). Secara umum lamanya pemberian bervariasi antara 5 sampai 10 hari, pemberian antibiotik dapat dilanjutkan selama 3 atau 4 hari setelah gejala klinis menghilang (Higler, 1997).

Karena bervariasinya mikroorganisme yang berkontribusi menyebabkan infeksi sinus maksila, maka penting untuk melakukan kultur pada sekret dan tes sensitivitas apabila memungkinkan. Tes sensitivitas memungkinkan perubahan penggunaan antibiotik jika organisme yang dikultur sensitif terhadap antibiotik tertentu dan jika infeksi gagal merespon terhadap pengobatan tertentu. (Tucker, R.M dan Schow, S.R 2008)

(56)

digunakan ialah kombinasi trimethoprim-sulfamethoxazole (Bactrim, Septra) mungkin dapat efektif. Cefaclor atau kombinasi dari amoxicillin dan kalium clavulanate (Augmentin) juga menunjukkan hasil yang efektif (Tucker, R.M dan Schow, S.R 2008).

Terapi lain yang dapat diberikan jika diperlukan seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien mend

Gambar

Gambaran karakteristik
Tabel 5.1. Distribusi penderita rinosinusitis tipe dentogen berdasarkan
Tabel 5.3. Distribusi penderita rinosinusitis tipe dentogen berdasarkan suku
Tabel 5.5.  Distribusi penderita rinosinusitis tipe dentogen berdasarkan
+7

Referensi

Dokumen terkait

To obtain well-distributed, stable and quantity controllable features, UR-SIFT algorithm is adopted in source image, meanwhile, SIFT with lower contrast threshold

 Siswa dapat menceritakan nama istri yang mendampingi Rasulullah waktu wafat.  Siswa dapat Mengamalkan nilai nilai kesalehan

Program dan Jenis Kegiatan Hasil yang diharapkan Waktu Pelaksana an Pelaksa na Sumbe r Dana penyelenggaraan Prakerin 2.3 Pencarian obyek. 2.4   Rapat   pembentukan

[r]

Kreativitas siswa kelas 5 SD Negeri 04 Wonorejo khususnya pada kompetensi dasar menyimpulkan hasil penyelidikan tentang perubahan sifat benda baik sementara maupun

JADWAL PERKULIAHAN SEMESTER 2 (GENAP) KELAS PAGI TAHUN AJARAN 2014/2015. STMIK

Berdasarkan Penetapan Hasil Kualifikasi Nomor : 07/KSTN/SS-U/PKT-03/UIN/2012 tanggal 01 Mei 2012 Paket Pekerjaan Pengadaan Jasa Konsultansi Pengawasan Renovasi Gedung Kuliah

Kode Mata Kuliah SKS Dosen Hari Waktu Ruang.. 1 KK-203 Algoritma dan Pemrograman 2