• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam Proyek Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah ( Studi Putusan No. 64/ Pid.Sus. K/ 2013/ PN.Mdn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam Proyek Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah ( Studi Putusan No. 64/ Pid.Sus. K/ 2013/ PN.Mdn)"

Copied!
181
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU

Ali, Mahrus. 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

Arsyad, H. Jawade Hafidz. 2013. Korupsi Dalam Perspektif HAN. Jakarta: Sinar Grafika.

Butarbutar, Russel. 2015. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah Di Bidang Konstruksi. Bekasi: Gramata Publishing.

Chazawi, Adami. 2005. Hukum Pidana Formil Dan Materiil Korupsi Di Indonesia. Malang: Bayu Media.

Danil, H. Elwi. 2014. Korupsi: Konsep, Tindak Pidana Dan Pemberantasannya (Cetakan Ketiga). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Djaja, Ermansjah. 2010. Tipologi Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Bandung: Mandar Maju.

Effendy, Marwan. 2010. Pemberantasan Korupsi Dan Good Governance. Jakarta: Timpani Publishing.

Farid, H.A. Zainal Abidin. 2011. Hukum Pidana I (Cetakan Kedua). Jakarta: Sinar Grafika.

Eka Putra, Muhammad. 2013. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Medan: USU Press. Hamzah, Andi. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana (Edisi Revisi). Jakarta: Rineka

Cipta.

Harahap, M. Yahya. 2011. Pembahasan Dan Permasalahan KUHAP-Penyidikan Dan Penuntutan (Edisi Kedua, Cetakan Kesebelas). Jakarta: Sinar Grafika.

Huda, Chairul. 2006. “ Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju ‘Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’ ”. Jakarta: Prenada Media.

Jahja, H. Juni Sjafrien. 2012. Say No To Korupsi (Mengenal, Mencegah, Dan Memberantas Korupsi Di Indonesia). Jakarta: Visi Media.

Kamaroesid, Herry dan Muhammad Sutarsa. 2010. Pembuat Komitmen, Wewenang Dan Tanggungjawabnya Dalam Pelaksanaan APBN/APBD. Jakarta: Mitra Wacana Media.

(2)

Klitgaard, Robert,dkk. 2005. Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintah Daerah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Lamintang, P.A.F. 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Cetakan Keempat). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Moeljatno. 2013. Asas-Asas Hukum Pidana (Edisi Revisi, Cetakan Keempat). Jakarta: Rineka Cipta.

Muladi dan Dwidja Priyatno. 2010. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Prenada Media Group.

Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

RM, Suharto. 2002. Hukum Pidana Materil: Unsur-Unsur Obyektip Sebagai Dasar Dakwaan (Edisi Kedua). Jakarta: Sinar Grafika.

Rohim. 2008. Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi. Depok: Pena Multi Media.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2014. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Rajawali Press.

Soesilo, R. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.

Surachmin dan Suhandi Cahaya. 2011. Strategi Dan Teknik Korupsi (Edisi Kedua). Jakarta: Sinar Grafika.

Suswinarno. 2013. Mengantisipasi Resiko Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa. Jakarta: Visi Media.

Sutedi, Adrian. 2008. Aspek Hukum Pengadaan Barang Dan Jasa Dan Berbagai Permasalahannya. Jakarta: Sinar Grafika.

---. 2012. Aspek Hukum Pengadaan Barang Dan Jasa Dan Berbagai Permasalahannya (Edisi Kedua). Jakarta: Sinar Grafika.

Transparency International Indonesia. 2003. Strategi Memberantas Korupsi (Elemen Sistem Integritas Nasional), Jakarta: Yayasan Obor Rakyat.

Waluyo, Bambang. 2004. Pidana Dan Pemidanaan (Cetakan Kedua). Jakarta: Sinar Grafika.

(3)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Juncto Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Juncto Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

C. INTERNET

Laporan Kajian Korupsi

Pengadaan Dan Rekomendasi Sanksi, Diakses Tanggal 2 April 2016.

Pidana Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa, diakses Tanggal 29

Februari 2016.

Jasa, diakses pada Tanggal 27 Februari 2016.

Mencegah Korupsi Dalam

Pengadaan Barang Dan Jasa Publik, diakses Tanggal 29 Februari 2016.

(4)

dan-Jasa.pdf, Kajian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Dari Perspektif Hukum Pidana dan Kriminologi, diakses Tanggal 5 Maret 2016.

Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, diakses Tanggal 16 Maret 2016.

(5)

BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PROYEK PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Jo. UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

A. Konsep Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Indonesia. Pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pengertian pertanggung jawaban pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian dijatuhi pidana, tergantung kepada apakah dalam melakukan perbuatan itu orang tersebut memiliki kesalahan.166

Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut.

167

Dengan kata lain, orang dapat melakukan tindak pidana tanpa mempunyai kesalahan, tetapi sebaliknya orang tidak mungkin mempunyai kesalahan jika tidak melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum.168

166 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 155. 167

Ibid, hlm. 156.

(6)

suatu hal yang sangat penting untuk memidana seseorang. Tanpa itu, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada.169

Berkaitan dengan hal itu, Sudarto sebagaimana dalam buku Muladi dan Dwidja Priyatno170

Mengenai pentingnya unsur kesalahan dalam penjatuhan pidana juga terlihat jelas di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 6 ayat (2)

menyatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi, meskipun pembuatnya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk menjatuhkan

pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus bisa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Disini berlaku apa yang disebut asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (keine strafe ohne schuld atau geen straf zonder schuld atau nulla poena sine culpa).

171

169

Mahrus Ali, op.cit, hlm. 157.

(7)

Kesalahan adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan perbuatan tersebut. Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna perbuatan tersebut, dan karenanya dapat bahkan harus menghindari perbuatan demikian.172

1. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat

Berdasarkan uraian mengenai pengertian kesalahan, dapat dikatakan bahwa pengertian kesalahan adalah dasar untuk pertanggungjawaban pidana. Kesalahan merupakan keadaan jiwa dari si pembuat dan hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya. Adanya kesalahan pada seseorang, maka orang tersebut bisa dicela. Mengenai keadaan jiwa dari seseorang yang melakukan perbuatan merupakan apa yang lazim disebut sebagai kemampuan bertanggung jawab, sedangkan hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya itu merupakan kesengajaan, kealpaan, serta alasan pemaaf. Dengan demikian, untuk menentukan adanya kesalahan seseorang harus memenuhi beberapa unsur, antara lain :

2. Hubungan batin antara sipembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa). Ini disebut bentuk kesalahan.

3. Tidak adanya alasan penghapusan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.173

(8)

Mengenai keadaan batin orang yang melakukan perbuatan adalah apa yang dalam teori merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab (toerekenings vatbaarheid). Ini adalah dasar yang penting untuk adanya kesalahan, sebab

bagaimana pun juga, keadaan jiwa terdakwa harus demikian rupa hingga dapat dikatakan sehat/normal. Hanya terhadap orang-orang yang keadaan jiwanya normal sajalah, dapat kita harapkan akan mengatur tingkah lakunya sesuai dengan pola yang telah dianggap baik dalam masyarakat.174

a. Dalam hal pembuat tidak diberi kemerdekaan memiliki antara berbuat atau tidak berbuat apa yang oleh Undang-Undang dilarang atau diperintahkan, dengan kata lain dalam hal perbuatan yang dipaksa.

Berkaitan dengan kemampuan bertanggungjawab, KUHP tidak memberikan perumusan, dan hanya jika kita temui dalam Memorie van Toelichting (Memori Penjelasan) secara negatif menyebutkan mengenai

pengertian kemampuan bertanggungjawab itu, ada tidak adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat yaitu:

b. Dalam hal pembuat ada dalam suatu keadaan tertentu sehingga ia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan tidak mengerti akibat perbuatannya itu nafsu patologis (pathologische drift), gila, pikiran tersebut, dan sebagainya.175

(9)

(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.176 Mengenai ketentuan Pasal 44 KUHP tersebut, M. Abdul Kholiq sebagaimana dalam buku Mahrus Ali berpendapat bahwa pelaku perbuatan pidana baru bisa dianggap tidak mampu bertanggungjawab atas perbuatannya, apabila dalam dirinya terjadi salah satu diantara dua hal, yaitu sebagai berikut

177

1. Jiwa pelaku mengalami cacat mental sejak pertumbuhannya, hingga akalnya menjadi kurang sempurna untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk. Contohnya adalah orang idiot yang melakukan perbuatan pidana.

:

2. Jiwa pelaku mengalami gangguan kenormalan yang disebabkan oleh suatu penyakit, hingga akalnya menjadi kurang berfungsi secara sempurna atau kurang optimal untuk membedakan hal-hal yang baik dan yang buruk. Contohnya adalah orang gila atau orang yang berpenyakit epilepsy yang melakukan perbuatan pidana.

Yang pertama merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak (volitional factor), yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak.178

176

(10)

Unsur kedua dari kesalahan atau pertanggungjawaban pidana adalah hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa)179. Sehubungan dengan hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya yang berisi menghendaki dan mengetahui, maka dalam ilmu hukum pidana terdapat dua teori, yaitu teori kehendak yang dikemukakan oleh Von Hippel dalam “ Die Grenze von Vorsatz und Fahrlassigkeilm ” (1903) dan teori membayangkan yang dikemukakan oleh Frank dalam “ Festcshrift Gieszen ” (1907). Teori kehendak menyatakan bahwa kehendak membuat suatu

tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat karena tindakan itu. Dengan demikian, “sengaja” adalah apabila akibat suatu tindakan dikehendaki , apabila akibat itu menjadi maksud benar-benar dari tindakan yang dilakukan tersebut. Sedangkan teori membayangkan adalah manusia hanya dapat menghendaki suatu tindakan, manusia tidak mungkin menghendaki suatu akibat, manusia hanya dapat menginginkan, mengharapkan atau membayangkan kemungkinan adanya suatu akibat.180

Kesengajaan yang merupakan corak sikap batin yang menunjukkan tingkatan atau bentuk kesengajaan dibagi menjadi tiga, yaitu kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk), kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidswustzijn), dan kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij

noodzakelijkheids). Kesengajaan sebagai maksud mengandung unsur willes en

(11)

tertentu. Kesengajaan sebagai kepastian adalah dapat diukur dari perbuatan yang sudah mengerti dan menduga bagaimana akibat perbuatannya atau hal-hal mana nanti akan turut serta mempengaruhi akibat perbuatannya. Pembuat sudah mengetahui akibat yang akan terjadi jika ia melakukan suatu perbuatan pidana. Sedangkan kesengajaan sebagai kemungkinan terjadi apabila pelaku memandang akibat dari apa yang akan dilakukannya tidak sebagai hal yang niscaya terjadi, melainkan sekedar sebagai suatu kemungkinan yang pasti.181

KUHP tidak memberikan penjelasan tentang pengertian kealpaan (culpa), sehingga secara formal tidak ada penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan kealpaan. Oleh karena itu, pengertian kealpaan harus dicari di dalam pendapat para ahli hukum pidana dan dijadikan sebagai dasar untuk membatasi apa itu kealpaan.

Meskipun pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan diperlukan adanya kesengajaan, tetapi terhadap sebagian dari padanya ditentukan bahwa di samping kesengajaan itu orang juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya berbentuk kealpaan.

182

Dikatakan culpa jika keadaan batin pelaku perbuatan pidana bersifat ceroboh, teledor, atau kurang hati-hati sehingga perbuatan dan akibat yang dilarang oleh hukum terjadi. Jadi dalam kealpaan ini, pada diri pelaku sama sekali memang tidak ada niat kesengajaan sedikit pun untuk melakukan suatu perbuatan pidana yang dilarang hukum. Meskipun demikian, ia tetap patut dipersalahkan atas terjadinya perbuatan dan akibat yang dilarang hukum itu karena sikapnya

(12)

yang ceroboh tersebut. Hal ini dikarenakan nilai-nilai kepatutan yang ada dalam kehidupan masyarakat mengharuskan agar setiap orang memiliki sikap hati-hati dalam bertindak.183

Van Hammel sebagaimana dikutip dari buku Moeljatno mengatakan bahwa kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu

184

1) Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum. :

2) Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

Dilihat dari bentuknya, Modderman sebagaimana dalam buku Mahrus Ali185 mengatakan bahwa terdapat dua bentuk kealpaan (culpa), yaitu kealpaan yang disadari (bewuste culpa) dan kealpaan yang tidak disadari (onbewuste culpa). Beliau mengatakan bahwa corak kealpaan yang paling ringan adalah orang

melakukan pelanggaran hukum dengan tidak diinsyafi sama sekali. Dia tidak tahu, tidak berpikir dengan panjang atau tidak bijaksana. Tetapi corak kealpaan yang lebih berat adalah yang dinamakan dengan bewuste schuld, yaitu kalau pada waktu berbuat kemungkinan menimbulkan akibat yang dilarang itu telah diinsyafi, tetapi karena kepandaiannya atau diadakannya tindakan-tindakan yang mencegahnya, kemungkinan itu diharapkan tidak akan timbul.

(13)

Apa maksud alasan pemaaf yaitu adalah alasan yang menghapuskan kesalahan dari terdakwa. Jadi, tidak adanya alasan pemaaf tentu berarti tidak adanya alasan untuk menghapuskan kesalahan dari terdakwa.186

Dalam doktrin hukum pidana dibedakan antara alasan yang menghapus sifat melawan hukumnya suatu perbuatan atau dikenal dengan alasan pembenar dengan alasan penghapus kesalahan atau dikenal dengan alasan pemaaf. Dibedakannya alasan pembenar dari alasan pemaaf karena keduanya mempunyai fungsi yang berbeda. Adanya alasan pembenar berujung pada ‘pembenaran’ atas tindak pidana yang sepintas lalu melawan hukum, sedangkan adanya alasan pemaaf berdampak pada ‘pemaafan’ pembuatannya sekalipun telah melakukan tindak pidana yang melawan hukum.187

Dalam hukum pidana yang termasuk ke dalam alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf antara lain daya paksa (over macht), pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer ekses), dan pelaksanaan perintah jabatan tanpa wewenang yang didasari oleh itikad baik.188

Pertama, daya paksa (over macht). Dalam KUHP daya paksa diatur di dalam Pasal 48 KUHP. Secara teoritis, terdapat dua bentuk daya paksa, yaitu vis absoluuta dan vis compulsiva. Vis absoluuta adalah paksaan yang pada umumnya

dilakukan dengan kekuasaan tenaga manusia (fisik) oleh orang lain, sedangkan vis compulsiva adalah paksaan yang kemungkinan dapat dielakkan walaupun secara

perhitungan yang layak, sulit diharapkan bahwa yang mengalami keadaan

186

(14)

memaksa tersebut akan mengadakan perlawanan.189 Umumnya dikatakan bahwa vis absoluuta tidak masuk dalam Pasal 48, tetapi hanya vis compulsiva saja.

Adapun sebabnya ialah bahwa dalam vis absoluuta, orang yang berbuat bukan yang terkena paksaan, tetapi orang yang memberi paksaan fisik.190

Kedua, pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer ekses). Pembelaan terpaksa yang melampaui batas adalah perbuatan pidana yang dilakukan sebagai pembelaan pada saat seseorang mengalami suatu serangan atau ancaman serangan dapat membebaskan pelakunya dari ancaman hukum jika sifat pembelaan tersebut sebanding dengan bobot serangan atau ancaman serangan itu sendiri.191

Menurut Mahrus Ali, Pasal ini menjelaskan bahwa dalam noodweer ekses, perbuatan seseorang hakikatnya merupakan perbuatan melawan hukum, karena memang serangan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang disebabkan oleh kegonjangan jiwa yang hebat adalah melawan hukum. Serangan itu juga disebabkan secara langsung oleh kegonjangan jiwa yang hebat, sehingga fungsi batin orang tersebut tidak berjalan secara normal. Hal demikian inilah yang menyebabkan dalam diri orang itu terdapat alasan pemaaf. Menurut doktrin hukum pidana terdapat tiga unsur yang harus dipenuhi agar perbuatan seseorang

Pembelaan terpaksa yang melampaui batas atau noodweer ekses diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa:

(15)

ekses), yaitu melampaui batas pembelaan yang diperlukan, kegoncangan jiwa

yang hebat, adanya hubungan kausal antara serangan dengan timbulnya kegoncangan jiwa yang hebat.192

Ketiga, pelaksanaan perintah jabatan tanpa wewenang yang didasari oleh itikad baik. Pasal 51 ayat (2) KUHP berbunyi 193

Mengenai isi Pasal 51 ayat (2) KUHP, Moeljatno berpendapat bahwa yang pertama-tama harus ditonjolkan ialah bahwa di situ, meskipun tidak secara terang-terangan tersimpul gagasan penting yaitu bahwa tidak setiap pelaksanaan perintah jabatan melepas orang yang diperintah dan tanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan.

:

“Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang, dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.”

194

Terdapat dua syarat yang harus dipenuhi agar perbuatan orang itu dikategorikan sebagai alasan pemaaf. Pertama, keadaan batin orang yang diperintah harus mengira bahwa perintah tersebut merupakan perintah yang sah baik dilihat dari pejabat yang mengeluarkan perintah itu maupun dilihat dari macamnya perintah itu. Kedua, perintah yang dilaksanakan itu berdasarkan itikad baiknya harus merupakan bagian dari lingkungan pekerjaannya.195

Ketiga unsur dalam kesalahan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Yang satu bergantung pada yang lain, dalam arti demikianlah urutannya dan yang disebut kemudian bergantung kepada yang disebut terlebih dahulu. Konkretnya, tidak mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan

192 Ibid. 193

(16)

ataupun kealpaan jika orang itu tidak mampu bertanggungjawab. Begitu pula tidak dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila ia tidak mampu bertanggung jawab, dan tidak pula adanya kesengajaan ataupun kealpaan.196

Secara singkatnya, asas geen straf zonder schuld tidak menghendaki dipidananya seseorang yang nyata-nyata memang benar telah melakukan pelanggaran peraturan pidana, akan tetapi tanpa kesalahan. Asas termaksud walaupun tidak dimuat dalam KUHP, namun secara umum orang berpendapat asas tadi adalah wajar dan selayaknya harus ada dalam hukum pidana.197

Berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban pidana, Indonesia dewasa ini sudah mengalami perubahan yang signifikan dengan ditetapkannya korporasi sebagai subjek yang bisa diminta pertanggungjawaban pidananya dalam aturan hukum-hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Melihat kenyataan dewasa ini dimana korporasi semakin memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat khususnya dalam bidang ekonomi, sehingga doktrin universitas/societas delinquere non potest (badan hukum tidak dapat melakukan

tindak pidana) sudah mengalami perubahan dengan diterimanya konsep pelaku fungsional dimana pembuat delik memasukkan korporasi kedalam “functioneel daderschap”.198

(17)

bekerja sebagai pengurus korporasi tersebut yang tidak hanya atas nama pribadi saja tetapi juga dari sudut peranannya dalam korporasi tersebut.199

Korporasi sebagai subjek hukum pidana tidak dikenal dalam KUHP, hal ini dikarenakan KUHP adalah warisan dari pemerintah kolonial Belanda. Korporasi sebagai subjek tindak pidana masih merupakan hal yang baru. Korporasi sebagai subjek tindak pidana, terutama berkembang karena adanya pengaruh perkembangan dunia usaha nasional yang semakin berkembang pesat.200

B. Subjek Hukum (Pelaku) Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

Akan tetapi, dalam beberapa Perundang-Undangan Indonesia seperti antara lain Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, korporasi saat ini sudah diterima sebagai subjek hukum layaknya seperti subjek hukum yang lain yakni manusia (natuurlijk persoon).

Pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana adalah manusia (natuurlijk persoon). Hal ini dapat disimpulkan dari rumusan tindak pidana dalam Undang-Undang yang selalu dimulai dengan kata “barang siapa” yang tidak dapat diartikan lain selain orang (manusia). Disamping itu yang dapat di pertanggung jawabkan dalam hukum pidana adalah manusia. Hal itu disebabkan karena kesalahan, baik dalam bentuk kesengajaan maupun kealpaan merupakan sikap

199

(18)

dalam batin manusia. Atas dasar pemikiran seperti itu pula lah, maka dalam penjelasan KUHP (Memorie van Toelichting), yaitu penjelasan atas Pasal 59 KUHP ditegaskan bahwa, suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia. Akan tetapi, didalam perkembangan pemikiran hukum pidana, ajaran seperti itu sudah mulai ditinggalkan.201

Dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, tidak ditemukan adanya ketentuan yang secara khusus mengatur kualifikasi pelaku (pembuat) sebagai subjek tindak pidana korupsi. Artinya, rumusan hukum pidana tentang korupsi sejak semula tidak pernah menentukan subjek dengan kualifikasi tertentu. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam merumuskan tindak pidana korupsi selalu diawali dengan kata “barang siapa”. Demikian pula Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, mengawali rumusan tindak pidana korupsi dengan kata “setiap orang”, yang berarti siapa saja.202

(19)

pegawai negeri mesti dijauhkan dari wilayah itu. Sekalipun pendirian seperti itu tidak begitu dominan, namun fakta itu patut disikapi sebagai suatu problem yuridis yang perlu dipecahkan, sehingga dengan demikian kesenjangan pemahaman selanjutnya dapat dihindari.203

Subjek hukum tindak pidana dalam hukum pidana korupsi Indonesia pada dasarnya adalah orang pribadi sama seperti yang tercantum dalam hukum pidana umum. Hal ini tidak mungkin ditiadakan, namun ditetapkan pula suatu badan yang dapat menjadi subjek hukum tindak pidana korupsi sebagaimana dimuat dalam Pasal 20 jo. Pasal 1 dan 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999.204

Pelaku dalam tindak pidana korupsi, adalah setiap orang, bisa perorangan dan bisa korporasi terdiri atas

205

1. Mereka yang melakukan. :

2. Yang menyuruh melakukan. 3. Yang turut serta melakukan. 4. Penganjur.

5. Mereka yang memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.

6. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Berdasarkan Pasal 55 KUHP pelaku korupsi yang dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana adalah206

203 Ibid, hlm. 106.

204 Adami Chazawi, op.cit, hlm. 341. 205

Surachmin dan Suhandi Cahaya, Strategi dan Teknik Korupsi (Edisi Kedua), (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 31.

(20)

1) Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan itu.

2) Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan.

Yang dihukum sebagai “orang yang melakukan” dapat dibagi atas 4 (empat) macam, yaitu sebagai berikut207

1) Orang yang melakukan (pleger). :

Orang ini ialah seorang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir atau elemen dari peristiwa pidana. Dalam peristiwa pidana yang dilakukan dalam jabatan misalnya orang itu harus pula memenuhi elemen “status sebagai pegawai negeri”.

2) Orang yang menyuruh melakukan (doen pleger).

Disini sedikitnya ada 2 (dua) orang, yang menyuruh (doen pleger) dan yang disuruh (pleger). Jadi, bukan orang itu sendiri yang melakukan peristiwa pidana, tetapi ia menyuruh orang lain, meskipun demikian ia dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri atau melakukan peristiwa pidana. Disuruh (pleger) itu harus hanya merupakan suatu alat (instrument) saja, maksudnya ia tidak dapat dihukum karena tidak dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.

3) Orang yang turut melakukan (medepleger).

(21)

Sedikit-kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari peristiwa pidana itu. Tidak boleh misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk “medepleger”, tetapi dihukum sebagai “membantu melakukan” (medeplichtige) tersebut dalam Pasal 56.

4) Orang yang dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, memakai kekerasan, dan sebagainya.

Dengan sengaja membujuk melakukan perbuatan itu (uitlokker), orang itu harus sengaja membujuk orang lain, sedangkan membujuknya harus memakai salah satu dari jalan-jalan seperti dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, dan sebagainya. Yang disebutkan dalam pasal itu artinya tidak boleh memakai jalan lain. Disini seperti halnya dengan “suruh melakukan” sedikit-dikitnya harus ada dua orang ialah orang yang membujuk dan yang dibujuk, hanya bedanya pada “membujuk melakukan”, orang yang dibujuk itu dapat dihukum juga sebagai pleger, sedangkan pada “suruh melakukan”, orang yang disuruh itu tidak dapat

dihukum.

(22)

1. Penyuapan.

Pemberian dalam bentuk uang, barang, fasilitas, dan janji yang akan berakibat membawa untuk terhadap diri sendiri atau pihak lain yang berhubungan dengan jabatan yang dipegangnya saat itu.

2. Penggelapan.

Perbuatan yang mengambil tanpa hak oleh seorang yang telah diberi kewenangan, untuk mengawasi dan bertanggungjawab penuh terhadap barang milik Negara, oleh pejabat publik maupun swasta.

3. Penerimaan komisi.

Pejabat publik yang menerima sesuatu yang bernilai dalam bantuan uang, saham, fasilitas, barang, dan lain-lain, sebagai syarat untuk memperoleh pekerjaan atau hubungan bisnis dengan pemerintah.

4. Pemerasan.

Memaksa seseorang untuk membayar atau memberikan sejumlah uang atau barang, atau bentuk lain, sebagai ganti dari seorang pejabat publik untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Perbuatan tersebut dapat diikuti dengan ancaman fisik maupun kekerasan.

5. Pilih Kasih.

(23)

6. Penyalahgunaan Wewenang .

Mempergunakan kewenangan yang dimiliki untuk melakukan tindakan yang memihak atau pilih kasih kepada kelompok atau perseorangan, sementara bersifat diskriminatif terhadap kelompok atau perseorangan lainnya.

7. Bisnis “Orang Dalam”.

Melakukan transaksi publik dengan menggunakan perusahaan milik pribadi atau keluarga, dengan cara mempergunakan kesempatan dan jabatan yang dimilikinya untuk memenangkan kontrak pemerintah.

8. Nepotisme.

Tindakan untuk mendahulukan sanak keluarga, kawan dekat, anggota partai politik yang sepaham, dalam penunjukan atau pengangkatan staf, panitia pelelangan atau pemilihan pemenang lelang.

9. Sumbangan Tidak Resmi.

Hal ini terjadi apabila partai politik atau pemerintah yang sedang berkuasa pada waktu itu menerima sejumlah dana sebagai suatu kontribusi dari hasil yang dibebankan kepada kontrak-kontrak pemerintah.

10.Pemalsuan.

(24)

tindak pidana pada pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan secara bersama-sama.209

1. Kumpulan orang dan kekayaan yang terorganisasi berbentuk badan hukum. Pengelola kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang terdiri dari Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Unit Layanan Pengadaan (ULP), dan Panitia Penerima Barang/Jasa (PPHP) merupakan subjek hukum orang-perorangan yang dapat dijerat sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Sedangkan rekanan atau penyedia barang/jasa bisa sebagai orang-perseorangan maupun suatu badan usaha (korporasi).

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Penekanan pada kalimat “dan/atau” dalam ketentuan yang terdapat pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 memberikan arti menjadi beberapa jenis, yaitu:

2. Kumpulan orang dan kekayaan yang terorganisasi yang bukan berbentuk badan hukum.

3. Kumpulan orang yang terorganisasi yang berbentuk badan hukum.

(25)

6. Kumpulan kekayaan yang terorganisasi yang bukan berbentuk badan hukum.210

Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa subjek tindak pidana korupsi adalah setiap orang ataupun korporasi. Hal ini berarti bahwa tidak hanya manusia (recht person) saja yang dapat dijatuhi pidana akan tetapi juga suatu korporasi (legal persoon). Diakuinya korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi lebih lanjut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1)211 dan Pasal 20 ayat (2)212

210 Russel Butarbutar, op.cit, hlm. 35-36. 211

Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 berbunyi: “ Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.”

212 Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 berbunyi: “ Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(26)

1. Supaya pengelola kegiatan pengadaan barang/jasa menerima penawaran barang/jasa yang diajukan oleh rekanan.

2. Supaya pengelola kegiatan pengadaan barang/jasa memenangkan perusahaan penyuap dalam tender/lelang.

3. Supaya pengelola kegiatan pengadaan barang/jasa menerima barang/jasa yang diserahkan oleh rekanan yang kualitas dan/atau kuantitasnya sebenarnya lebih rendah dibandingkan dengan kualitas dan kuantitas barang/jasa yang diperjanjikan dalam kontrak.213

Bentuk tindak pidana korupsi lain adalah Pengguna Anggaran (PA), Panitia Lelang, dan wakil dari Pemerintah di bidang pengadaan barang/jasa melakukan korupsi dengan menyalahgunakan APBN/APBD dan berbagai bentuk penyelewengan keuangan negara dengan alasan kepentingan tugas padahal relatif meragukan dan menguntungkan diri sendiri atau ditempuh dengan cara sistematis dengan memanfaatkan peluang transaksi dalam bisnis mulai perencanaan atau korupsi berencana.214

(27)

Komitmen (PPK) dan panitia lelang berupaya mengakomodasi kepentingan pihak-pihak tertentu dan menghasilkan keputusan yang merugikan para pihak-pihak yang terlibat dalam proses tender. Akomodasi kepentingan dapat bermanifestasi dalam bentuk praktik korupsi atau penyuapan (bribery), nepotisme, atau kroonisme yang memberikan keistimewaan (privilege) pada pihak tertentu untuk memenangkan tender.215

C. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Proyek Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pengkajian mengenai pertanggungjawaban dalam hal pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, akan terkait dengan kapan seorang pejabat terbukti melakukan penyimpangan dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa menjadi pertanggungjawaban jabatan dan kapan ia menjadi pertanggungjawaban pribadi atau pertanggungjawaban pidana.

Pertanggungjawaban jabatan merupakan tanggungjawab menurut hukum yang dibebankan kepada negara/pemerintah atas kesalahan atau akibat dari tindakan jabatan. Sedangkan pertanggungjawaban pribadi merupakan pertanggung jawaban pidana yakni tanggungjawab menurut hukum yang dibebankan kepada seseorang atas kesalahan atau akibat dari perbuatannya secara pribadi.216

215 Ibid, hlm. 178. 216

(28)

Secara hukum administrasi, parameter pertanggungjawaban jabatan yaitu asas legalitas (keabsahan) tindakan pejabat, dan persoalan legalitas tindakan pejabat berkaitan dengan pendekatan kekuasaan. Legalitas tindakan pejabat bertumpu pada wewenang, prosedur dan substansi. Setiap tindakan pejabat termasuk dalam hal pengadaan barang dan jasa harus bertumpu pada wewenang yang sah. Kewenangan tersebut diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi (kewenangan yang di tetapkan oleh peraturan Perundang-Undangan bagi Badan atau Pejabat Pemerintahan), delegasi (bersumber dari pelimpahan), dan mandat (bersumber dari penugasan).

Pertanggungjawaban pribadi merupakan pertanggungjawaban pidana yang berkaitan dengan pendekatan fungsionaris atau pendekatan pelaku. Pertanggung jawaban pribadi atau tanggungjawab pidana ini berkaitan dengan mal administrasi dalam penggunaan wewenang maupun pelayanan publik. Parameter pertanggung jawaban pidana berdasarkan asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). Sehingga berkaitan dengan tindak pidana korupsi dalam pengadaan

barang dan jasa, yang menjadi parameter adanya pertanggungjawaban pribadi dalam pengadaan barang dan jasa yaitu melakukan perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) dan melakukan penyalahgunaan wewenang (detournament de pouvoir). Penyalahgunaan wewenang hanya dapat dilakukan pejabat dan badan

pemerintah.217

(29)

tersebut berimplikasi terhadap pertanggungjawaban pidana, tanggung gugat perdata dan tanggung gugat Tata Usaha Negara (TUN). Oleh sebab itu, parameter untuk menilai pertanggungjawaban jabatan (Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), atau Panitia Pengadaan adalah penggunaan wewenang. Keabsahan (legalitas) penggunaan wewenang pengadaan barang dan jasa bertumpu kepada wewenang, prosedur, substansi tindakan pejabat (PA, KPA, PPK, atau Panitia Pengadaan) merupakan tangung jawab jabatan. Pertanggungjawaban jabatan melahirkan tanggung jawab gugat pemerintah/negara. Sedangkan parameter untuk menilai pertanggung jawaban pribadi pejabat (PA, KPA, PPK atau Panitia Pengadaan) adalah tindakan mal administrasi dalam penggunaan wewenang. Tindakan mal administrasi pejabat merupakan pertanggungjawaban pribadi. Pertanggung jawaban pribadi melahirkan pertanggungjawaban pidana.218

a. Bertentangan dengan peraturan Perundang-Undangan

Parameter penyalahgunaan wewenang terdapat dalam ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Juncto Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang meliputi:

b. Bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

(30)

a. Kepastian hukum.

b. Tertib penyelenggaraan negara. c. Keterbukaan.

d. Proporsionalitas. e. Profesionalitas. f. Akuntabilitas.

Oleh karena itu, untuk menentukan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang jasa, maka harus terlebih dahulu dikaji apakah perbuatan pelaku masuk keranah pertanggungjawaban jabatan atau pertanggungjawaban pribadi, oleh karena dari pertangggungjawaban pribadilah dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Sedangkan pertanggung jawaban jabatan akan melahirkan tanggung gugat perdata dan tanggung gugat Tata Usaha Negara (TUN).

Ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah banyak memiliki banyak Peraturan Perundang-Undangan untuk memberantas korupsi. Diantaranya ada KUHP, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Tetapi walaupun sudah begitu banyak aturan hukum dalam pemberantasan korupsi tetapi belum dapat menyelesaikan permasalahan korupsi di negara ini. Kemudian yang lebih mengkhawatirkan lagi aktor-aktor atau subjek hukum yang sebenarnya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sangat susah untuk dibawa ke muka hukum.219

(31)

dibebankan kepada seseorang atas kesalahan atau akibat dari perbuatannya secara pribadi. Apabila dalam diri sipelaku terdapat unsur kesalahan, barulah si pelaku tersebut dapat dipidana tetapi apabila dalam diri si pelaku tidak terbukti ada unsur kesalahan pada waktu melakukan tindak pidana, maka hakim harus membebaskannya.

Dalam ilmu hukum pidana, kesalahan adalah dasar untuk pertanggung jawaban pidana. Kesalahan merupakan keadaan jiwa dari si pembuat dan hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya. Adanya kesalahan pada seseorang, maka orang tersebut bisa dicela. Mengenai keadaan jiwa dari seseorang yang melakukan perbuatan merupakan apa yang lazim disebut sebagai kemampuan bertanggungjawab, sedangkan hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya itu merupakan kesengajaan, kealpaan, serta alasan pemaaf. Dengan demikian, untuk menentukan adanya kesalahan seseorang harus memenuhi beberapa unsur, antara lain:

1. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat.

2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) ini disebut bentuk kesalahan.

(32)

Dalam KUHP, ketentuan yang menunjuk kearah kemampuan bertanggung jawab ialah dalam buku I Bab III Pasal 44, yang berbunyi:

(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.221

Demikian pula dalam meminta pertanggungjawaban pelaku korupsi pengadaan barang/jasa pemerintah, maka pelaku haruslah orang yang normal jiwanya dalam hal ini tidak memiliki dasar penghapus pidana seperti yang diatur dalam KUHP sehingga pelaku dapat dimintai pertanggung jawaban pidana.222

(33)

atau hal-hal mana nanti akan turut serta mempengaruhi akibat perbuatannya. Pembuat sudah mengetahui akibat yang akan terjadi jika ia melakukan suatu perbuatan pidana. Sedangkan kesengajaan sebagai kemungkinan terjadi apabila pelaku memandang akibat dari apa yang akan dilakukannya tidak sebagai hal yang niscaya terjadi, melainkan sekedar sebagai suatu kemungkinan yang pasti.223

KUHP sendiri tidak memberikan penjelasan tentang pengertian kealpaan (culpa), sehingga secara formal tidak ada penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan kealpaan. Oleh karena itu, pengertian kealpaan harus dicari di dalam pendapat para ahli hukum pidana dan dijadikan sebagai dasar untuk membatasi apa itu kealpaan.

Meskipun pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan diperlukan adanya kesengajaan, tetapi terhadap sebagian dari padanya ditentukan bahwa di samping kesengajaan itu orang juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya berbentuk kealpaan.

224

1) Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum.

Van Hammel sebagaimana dikutip dari buku Moeljatno mengatakan bahwa kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu :

2) Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum. Ini memang dua syarat yang menunjukkan dalam batin terdakwa kurang diperhatikan benda-benda yang dilindungi oleh hukum atau ditinjau dari sudut

(34)

masyarakat, bahwa dia kurang memperhatikan akan larangan-larangan yang berlaku dalam masyarakat.225

Dilihat dari bentuknya, Modderman sebagaimana dalam buku Mahrus Ali226

Dalam kasus-kasus korupsi dalam pengadaan barang dan/jasa maka unsur kesalahan menjadi penting karena selain unsur melawan hukum maka unsur kesalahan ini menentukan apakah pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atau tidak. Berkenaan dengan korupsi pengadaan barang/jasa pemerintah maka bentuk kesalahan yang kerap terjadi adalah bentuk kesengajaan seperti yang dirumuskan dalam Undang-Undang nya.

, mengatakan bahwa terdapat dua bentuk kealpaan (culpa), yaitu kealpaan yang disadari (bewuste culpa) dan kealpaan yang tidak disadari (onbewuste culpa). Beliau mengatakan bahwa corak kealpaan yang paling ringan adalah orang

melakukan pelanggaran hukum dengan tidak diinsyafi sama sekali. Dia tidak tahu, tidak berpikir dengan panjang atau tidak bijaksana. Tetapi corak kealpaan yang lebih berat adalah yang dinamakan dengan bewuste schuld, yaitu kalau pada waktu berbuat kemungkinan menimbulkan akibat yang dilarang itu telah diinsyafi, tetapi karena kepandaiannya atau diadakannya tindakan-tindakan yang mencegahnya, kemungkinan itu diharapkan tidak akan timbul.

227

(35)

(dolus) atau kealpaan (culpa) sebagaimana yang sudah dibahas diatas, syarat lainnya untuk adanya kesalahan adalah tidak ada alasan pemaaf.

Apa maksud alasan pemaaf yaitu adalah alasan yang menghapuskan kesalahan dari terdakwa. Jadi, tidak adanya alasan pemaaf tentu berarti tidak adanya alasan untuk menghapuskan kesalahan dari terdakwa.228 Dalam hukum pidana yang termasuk ke dalam alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf antara lain daya paksa (over macht), pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer ekses), dan pelaksanaan perintah jabatan tanpa wewenang yang didasari oleh itikad baik.229

Ketiga unsur dalam kesalahan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Yang satu bergantung pada yang lain, dalam arti demikian lah urutannya dan yang disebut kemudian bergantung kepada yang disebut terlebih dahulu. Konkretnya, tidak mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan ataupun kealpaan jika orang itu tidak mampu bertanggungjawab. Begitu pula tidak dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila ia tidak mampu bertanggungjawab, dan tidak pula adanya kesengajaan ataupun kealpaan.230

Kalau ketiga-tiga unsur ada maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggung jawaban pidana, sehingga bisa dipidana. Dalam pada itu harus di ingat bahwa untuk adanya kesalahan dalam arti seluas-luasnya (pertanggungjawaban pidana), orang yang bersangkutan harus pula dibuktikan terlebih dahulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum. Kalau ini tidak ada, artinya kalau perbuatannya tidak melawan hukum, maka tidak ada

228

(36)

perlunya untuk menerapkan kesalahan sipelaku. Sebaliknya, seseorang yang melakukan perbuatan yang melawan hukum tidak dengan sendirinya mempunyai kesalahan, artinya tidak dengan sendirinya dapat dicela atas perbuatan itu. Itulah sebabnya, maka kita harus senantiasa menyadari akan dua pasangan dalam syarat- syarat pemidanaan, yaitu:

1) Dapat dipidananya perbuatan (strafbaarheid van het feit).

2) Dapat dipidananya orangnya atau pelakunya (strafbaarheid van de persoon).231

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 menegaskan, bahwa subjek tindak pidana korupsi adalah setiap orang atau korporasi. Pengertian “setiap orang” adalah “orang-perseorangan atau termasuk korporasi”. Dari pengertian ini subjek hukum yang dapat dijerat sebagai pelaku tindak pidana korupsi tidak hanya orang-perseorangan secara individu, apakah kapasitasnya sebagai orang swasta atau pegawai negeri, tetapi juga suatu korporasi.232

(37)

jawabkan jika ia telah melakukan suatu perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Jadi seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan walaupun pada dirinya tidak ada “mens rea”. 233

Sedangkan “vicarious liability” biasanya diartikan sebagai pertanggung jawaban pengganti, dimana seseorang dalam hal-hal tertentu bertanggungjawab atas perbuatan orang lain. Pertanggungjawaban seperti itu biasanya terjadi dalam hal perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain itu berada dalam ruang lingkup jabatan atau pekerjaannya.234

Sistem pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia dewasa ini sudah mengalami perubahan yang signifikan dengan ditetapkannya korporasi sebagai subjek yang bisa diminta pertanggungjawaban pidananya dalam aturan hukum-hukum dan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Melihat kenyataan dewasa ini dimana korporasi semakin memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat khususnya dalam bidang ekonomi, sehingga doktrin universitas delinquere non potest (badan hukum tidak dapat melakukan tindak

pidana) sudah mengalami perubahan dengan diterimanya konsep pelaku fungsional (functioneel daderschap).235

Korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum. Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai

233

(38)

kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum, maka kecuali penciptaannya, kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum.236

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggung jawab.

Dibidang hukum pidana, keberadaan suatu badan hukum atau badan usaha yang menyandang istilah “korporasi” diterima dan diakui sebagai subjek hukum yang dapat melakukan tindak pidana serta dapat pula dipertanggungjawabkan. Dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, ada 3 (tiga) sistem pertanggung jawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana yakni :

2. Korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggungjawab. 3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.237

Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab, kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat alasan yang menghapuskan pidana. Sedangkan dasar pemikirannya adalah korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, melainkan selalu penguruslah yang melakukan delik itu dan karenanya penguruslah yang diancam pidana dan dipidana.238

(39)

apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan orang tertentu sebagai pengurus dari badan hukum tersebut. Sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu adalah onpersoonlijk. Orang yang memimpin korporasi bertanggungjawab pidana,

terlepas dari apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya perbuatan itu.239 Dengan diterimanya korporasi sebagai pelaku tindak pidana sudah tentu timbul konsekuensi khususnya tentang pertanggungjawaban pidananya. Apakah kesalahan terdapat pada korporasi sebagai konsekuensi diterimanya asas kesalahan dalam korporasi dan dengan diterimanya asas kesalahan pada korporasi maka timbul suatu pertanyaan, yaitu apakah korporasi dapat mempunyai kesengajaan atau kelalaian.240

Karena sangat sukar untuk menentukan ada atau tidak adanya kesalahan pada korporasi, ternyata dalam perkembangannya khususnya yang menyangkut pertanggungjawaban pidana korporasi dikenal adanya “pandangan baru” ataupun “pandangan yang berlainan”, bahwa khususnya untuk pertanggungjawaban dari korporasi, asas kesalahan tidak berlaku mutlak, sehingga pertanggungjawaban pidana yang mengacu pada doktrin”strict liability” dan “vicarious liability” yang

Pertanggungjawaban pidana berdasarkan unsur kesalahan terhadap korporasi bukan hal yang mudah, karena korporasi sebagai subjek hukum pidana tidak mempunyai sifat kejiwaan seperti halnya manusia alamiah (natuurlijk persoon).

(40)

pada prinsipnya merupakan penyimpangan dari asas kesalahan, hendaknya dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penerapan tanggungjawab korporasi dalam hukum pidana.

Setidaknya ada 3 (tiga) elemen untuk bisa meminta pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu241

1. Pengurus atau wakil korporasi itu harus mempunyai kewenangan dalam bertindak untuk kepentingan korporasinya dalam lingkup kewenangannya.

:

2. Tindakan pengurus atau wakil itu adalah untuk kepentingan korporasinya. 3. Tindak pidana yang dilakukan tersebut ditoleransi korporasinya.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada dasarnya korporasi juga bisa dibebankan tanggungjawab pidana.

Adapun bunyi Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah :

1. Dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.

2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

(41)

4. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.

5. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.

6. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus ditempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus berkantor.

7. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu per tiga).242

Dari ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diatas, korporasi dapat diminta pertanggungjawabannya. Akan tetapi, masih terlihat keragu-raguan dari pihak pembuat Undang-Undang tersebut dalam menetapkan korporasi sebagai pihak yang dapat dipidana ketika terjadi kasus korupsi, hal ini bisa dilihat pada pidana pokoknya yang hanya berupa pidana denda tanpa merinci hukuman lainnya yang bisa dijatuhkan kepada korporasi ketika melakukan korupsi, khususnya korupsi dibidang pengadaan barang/jasa pemerintah, apakah itu sanksi berupa pembubaran korporasi tersebut, pencabutan izin atau hukuman lainnya yang setimpal untuk mencegah korporasi lainnya melakukan korupsi, khususnya korupsi dibidang pengadaan barang dan jasa.243

Pertumbuhan perilaku koruptif telah menggambarkan potensi korporasi tidak saja sebagai alat untuk melakukan tindak pidana korupsi, tetapi sekaligus juga sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Oleh karena potensi perilaku koruptif dari korporasi sedemikian rupa, maka kebijakan perundang-undangan dalam penanggulangan masalah korupsi telah memposisikan korporasi (recht persoon)

242

(42)
(43)

BAB IV

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Proyek Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Dalam Putusan Nomor 64/ Pid. Sus.

K/ 2013/ PN. Mdn A. Kronologis Kasus.

(44)
(45)
(46)
(47)

B. Dakwaan

Bahwa Terdakwa dr. Haposan Siahaan, M.Kes selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir (Periode Tahun 2011 sampai dengan Tahun 2013), pada hari Kamis tanggal 10 Nopember 2011 atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam Tahun 2011, bertempat di Jalan Sisingamangaraja Balige Kecamatan Balige Kabupaten Toba Samosir atau Lobby Hotel Siantar Hotel di Jalan Wage Rudolf Supratman Nomor 1 Kota Pematang Siantar atau setidak-tidaknya pada tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan telah menerima pemberian atau janji yaitu berupa uang sebesar Rp. 950.000.000,- (sembilan ratus lima puluh juta rupiah) yang terdiri dari uang tunai sebesar Rp. 450.000.000,- (empat ratus lima puluh juta rupiah) dan berbentuk cek senilai Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dari saksi dr. Wesli Napitupulu (tersangka dalam berkas perkara terpisah), dengan maksud supaya terdakwa berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya “atau” karena berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 5 ayat (2) Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(48)

Bahwa Terdakwa dr. Haposan Siahaan, M.Kes selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir (Periode Tahun 2011 sampai dengan Tahun 2013), pada hari Kamis tanggal 10 Nopember 2011 atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam Tahun 2011, bertempat di Jalan Sisingamangaraja Balige Kecamatan Balige Kabupaten Toba Samosir atau Lobby Hotel Siantar Hotel di Jalan Wage Rudolf Supratman Nomor 1 Kota Pematang Siantar atau setidak-tidaknya pada tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan telah menerima hadiah atau janji yaitu berupa uang sebesar Rp. 950.000.000,- (sembilan ratus lima puluh juta rupiah) yang terdiri dari uamg tunai sebesar Rp. 450.000.000,- (empat ratus lima puluh juta rupiah) dan berbentuk cek senilai Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dari saksi dr. Wesli Napitupulu (tersangka dalam berkas perkara terpisah), padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 11 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(49)

Bahwa Terdakwa dr. Haposan Siahaan, M.Kes selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir (Periode Tahun 2011 sampai dengan Tahun 2013), pada hari Kamis tanggal 10 Nopember 2011 atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam Tahun 2011, bertempat di Jalan Sisingamangaraja Balige Kecamatan Balige Kabupaten Toba Samosir atau Lobby Siantar Hotel di Jalan Wage Rudolf Supratman Nomor 1 Kota Pematang Siantar atau setidak-tidaknya pada tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan telah menerima hadiah atau janji yaitu berupa uang sebesar Rp. 950.000.000,- (sembilan ratus lima puluh juta rupiah) yang terdiri dari uang tunai sebesar Rp. 450.000.000,- (empat ratus lima puluh juta rupiah) dan berbentuk cek senilai Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dari saksi dr. Wesli Napitupulu (tersangka dalam berkas perkara terpisah), padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(50)

C. Tuntutan

1. Menyatakan Terdakwa dr. Haposan Siahaan, M.Kes bersalah “melakukan tindak pidana korupsi” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 5 ayat (2) Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah oleh Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dalam surat dakwaan alternatif pertama Jaksa Penuntut Umum. 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dr. Haposan Siahaan, M.Kes berupa

pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.

3. Menyatakan barang bukti berupa:

a) 1 (satu) buah Hand Phone (HP) merk Nokia, yang berisikan rekaman suara pembicaraan yang diduga suara dr. Haposan Siahaan, M.Kes , Maruhum Sinambela, Pamah Pardosi terkait Fee Proyek Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir T.A. 2012.

(51)

c) Surat Petikan Keputusan Bupati Toba Samosir Nomor: 166 Tahun 2011 tanggal 11 Juli 2011 tentang pengangkatan pejabat struktural Eselon II, III, dan IV Lingkungan Pemerintahan Kabupaten Toba Samosir.

d) Daftar Isian Pengguna Anggaran (DIPA) T.A. 2012 Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir.

e) Daftar Kegiatan Fisik Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir Tahun Anggaran 2012.

f) Foto Copy Surat Perjanjian Jual-Beli Truk tertanggal 6 Nopember 2011. g) Rekening Koran Bank Mandiri Nomor 1070100331877 atas nama

Marojahan Pangaribuan yang mengeluarkan cek EF 461014 senilai Rp. 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah).

h) Tanda Transaksi Pencairan Cek Nomor 461014 dari Nomor Rekening 1070100331877 atas nama Marojahan Pangaribuan, yang dikeluarkan dan ditanda tangani oleh Hombar Tua Simanjuntak sebagai Community Branch Balige PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk, dipergunakan dalam perkara lain atas nama tersangka dr. Wesly Napitupulu.

4. Menetapkan agar Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (Lima Ribu Rupiah)

D. Fakta Hukum

(52)

1) Bahwa Terdakwa (dr. Haposan Siahaan, M.Kes) adalah sebagai Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir (Periode tahun 2011 sampai dengan tahun 2013) dimana diketahui berdasarkan adanya dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah terjadi tindak pidana korupsi yang bertempat di Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir Jalan Somba Debata No. 1 Balige Kabupaten Toba Samosir dan juga lobby Hotel Siantar Hotel di Jalan Wage Rudolf Supratman No. 1 kota Pematang Siantar.

2) Bahwa berdasarkan fakta-fakta dipersidangan diketahui bahwa dr. Wesli Napitupulu bersama dengan saksi Maruhum Sinambela, saksi Rommy Simanungkalit, saksi Panal Simanjuntak, Gustaf Manaor Saragi, dan juga Tahan Manullang berangkat ke kota Pematang Siantar guna menemui Terdakwa.

3) Bahwa sekitar dalam tahun 2012 Maruhum Sinambela mengetahui bahwa proyek di Dinas Kesehatan Tobasa telah ditenderkan/ dan telah dibagikan namun sehubungan dengan adanya pihak-pihak pemberi uang kepada Terdakwa tidak mendapat proyek tersebut.

(53)

diketahui oleh Terdakwa dimana atas hasil perekaman tersebut terdapat adanya Terdakwa tidak mengetahui uang siapa itu dan daftar proyek sudah diserahkan kepada dr. Wesli Napitupulu lalu Terdakwa dalam hal ini memerintahkan agar para saksi menghubungi dr. Wesli Napitupulu.

E. Putusan

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan pada persidangan telah menjatuhkan Putusan kepada Terdakwa dr. Haposan Siahaan, M.Kes sebagai berikut :

1) Menyatakan Terdakwa dr. Haposan Siahaan, M.Kes telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “KORUPSI”

2) Mempidana Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar harus diganti dengan pidana kurungan selama 4 (empat) bulan.

3) Menetapkan barang bukti berupa:

a. 1 (buah) Handhone (HP) merk Nokia, yang berisikan rekaman suara pembicaraan yang diduga suara dr. Haposan Siahaan, M.Kes, Maruhum Sinambela, Pamahar Pardosi terkait Fee Proyek Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir T.A. 2012

(54)

c. Surat Petikan Keputusan Bupati Toba Samosir Nomor:166 tahun 2011 tanggal 11 Juli 2011 tentang Pengangkatan Pejabat Struktural Eselon II, III, dan IV Lingkungan Pemerintahan Kabupaten Toba Samosir

d. Daftar pengisian penggunaan anggaran (DIPA) T.A. 2012 Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir

e. Daftar Kegiatan Fisik Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir Tahun Anggaran 2012

f. Foto Copy Suat Perjanjian Jual-Beli Truk tertanggal 8 Nopember 2011

g. Rekening Koran Bank Mandiri Nomor 1070100331877 atas nama Marojahan Pangaribuan yang mengeluarkan cek EF 461014 senilai Rp. 500.000.000,- (Lima ratus juta rupiah)

h. Tanda transaksi pencairan cek Nomor 461014 dari Nomor Rekening 1070100331877 atas Nama Marojahan Pangaribuan, yang dikeluarkan dan ditanda tangani oleh Hombar Tua Simanjuntak sebagai Community Branch Balige PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk, dikembalikan kepada Jaksa Penuntut umum guna dipergunakan dalam perkara lain

4) Menghukum Terdakwa untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah).

F. Analisis Kasus

(55)

M.Kes. Terdakwa adalah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir (periode Tahun 2011 sampai dengan Tahun 2013). Dalam hal ini kedudukan terdakwa dalam pengadaan barang dan jasa di Dinas Kesehatan Toba Samosir ini adalah sebagai Pengguna Anggaran (PA).

Adapun yang menjadi tugas pokok dan kewenangan Pengguna Anggaran (PA) adalah menetapkan Rencana Umum Pengadaan, mengumumkan secara luas Rencana Umum Pengadaan, menetapkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), menetapkan Pejabat Pengadaan, menetapkan Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan, menetapkan pemenang pada Pelelangan atau penyedia pada Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dengan nilai diatas Rp. 100.000.000.000,00 (Seratus Miliar Rupiah) atau pemenang pada Seleksi atau penyedia pada Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan Jasa Konsultasi dengan nilai diatas Rp. 10.000.000.000,00 (Sepuluh Miliar Rupiah), mengawasi pelaksanaan anggaran, menyampaikan laporan keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, menyelesaikan perselisihan antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dengan ULP/Pejabat Pengadaan dalam hal terjadi perbedaan pendapat dan mengawasi penyimpanan dan pemeliharaan seluruh Dokumen Pengadaan Barang/Jasa. Dalam proses pengadaan barang dan jasa terlihat bahwa Pengguna Anggaran (PA) mempunyai tugas dan kewenangan yang sangat besar dan hal ini dapat mengakibatkan rentan terjadi dengan tindak pidana korupsi.

(56)

juta rupiah) yang terdiri dari uang tunai sebesar Rp. 450.000.000,- (empat ratus lima puluh juta rupiah) dan dalam bentuk cek sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), yang mana pemberian suap (fee) ini ditujukan supaya terdakwa membagi-bagikan proyek kepada para pemberi fee tersebut namun faktanya para pemberi fee tersebut tidak pernah mendapatkan proyek.

Dalam pengadaan barang dan jasa, ada 3 kemungkinan yang menjadi tujuan para pelaku melakukan suap-menyuap yaitu:

4. Supaya pengelola kegiatan pengadaan barang/jasa menerima penawaran barang/jasa yang diajukan oleh rekanan.

5. Supaya pengelola kegiatan pengadaan barang/jasa memenangkan perusahaan penyuap dalam tender/lelang.

6. Supaya pengelola kegiatan pengadaan barang/jasa menerima barang/jasa yang diserahkan oleh rekanan yang kualitas dan/atau kuantitasnya sebenarnya lebih rendah dibandingkan dengan kualitas dan kuantitas barang/jasa yang diperjanjikan dalam kontrak.

Dalam kasus ini, yang menjadi tujuan para calon rekanan melakukan penyuapan kepada Kepala Dinas (Terdakwa) adalah supaya Kepala Dinas dapat memenangkan perusahaan para penyuap dalam proses tender/lelang oleh karenya kasus suap ini merupakan kasus korupsi dalam tahap perencanaan pengadaan barang dan jasa.

(57)

pengumuman lelang, peserta lelang dan pengumuman pemenang lelang pada papan pengumuman instansi atau melalui website pengadaan nasional.245

Dalam surat dakwaan alternatif ini, antara dakwaan yang satu dengan yang lain saling mengecualikan dan memberi “pilihan” kepada Hakim atau pengadilan untuk menentukan dakwaan mana yang tepat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang dilakukannya.

Dalam putusan Pengadilan Negeri Medan, yaitu Putusan Nomor : 64/ Pid. Sus. K/ 2013 /PN.Mdn, Terdakwa didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan surat dakwaan yang berbentuk alternatif.

246

Dalam surat dakwaan yang berbentuk alternatif terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya. Dalam dakwaan alternatif ini, meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, hanya satu dakwaan saja yang Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah mendakwa Terdakwa melakukan tindak pidana sebagaimana dalam Pasal 5 ayat (2) Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Pasal 11 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Pasal 12 huruf a Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

245

Rohim, op.cit, hlm. 53-54.

(58)

dibuktikan tanpa harus memperhatikan urutannya dan jika salah satu telah terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi.

Oleh karena dalam dakwaan yang berbentuk alternatif hanya satu dakwaan saja yang dibuktikan tanpa harus memperhatikan urutannya dan jika salah satu telah terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi, maka dalam hal ini akan terlebih dahulu dipertimbangkan dakwaan kesatu yaitu melanggar Pasal 5 ayat (2) Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Untuk membuktikan unsur-unsur Pasal 5 ayat (2) tersebut maka dapat diperoleh dari bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan Terdakwa serta bukti rekaman data atau informasi yang dijadikan sebagai bukti petunjuk (Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) yaitu sebagai berikut :

a) Unsur “Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara”

Bahwa berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan pengertian Pegawai Negeri sebagai berikut :

Referensi

Dokumen terkait

Pokok masalah penelitian ini adalah strategi bimbingan penyuluhan Islam (BPI) dalam menangani masalah sosial di Desa Doridungga Kecamatan Donggo Kabupaten Bima. Pokok

Tempat bongkar muat barang di DAOP III Cirebon, DAOP IV Semarang, DAOP V Purwokerto, DAOP VI Yogyakarta, DAOP VIII Surabaya dan DIVRE I Medan sebagai lahan

Membutuhkan cara penilaian yang menyeluruh, yaitu menetapkan keberhasilan belajar siswa dari bebarapa bidang kajian terkait yang dipadukan. Sesuai pendapat para ahli

Penelitian lain yang dilakukan oleh Dewi (2008), di wilayah kerja Dinas Kesehatan Bojonegoro menyatakan bahwa sosial keluarga memberikan pengaruh 45,2% terhadap variasi

In this research, the researcher used error analysis as design of this research, based on Corder (1967) in Agustina (2016) that was determining the data, identifying the

Dalam pembuatan home page ini, penulisan juga memanfaatkan beberapa software pembantu untuk mengedit gambar seperti Adobe PhotoShop 6.0, ACDSee 4.0. Dan untuk menjelaskan

To conclude, the researchers’ reason to conduct this research are based on the importance subject-verb agreement in the succes of writing, the result of the previous research

ROE merupakan salah satu rasio profitabilitas yang menjadi daya tarik tersendiri bagi investor karena ROE menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba