Oleh
ARIF SYARIFUDDIN
NIM. 203046101781
KONSENTRASI PERBANKAN SYARI
’
AH
PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM
FAKULTAS SYARI
’
AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
MEKANISME PEMBIAYAAN MUDHARABAH BAGI USAHA KECIL
DAN MENENGAH PADA BMT AL-KARIM
CIPULIR
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Ekonomi Islam (S.E.I)
Oleh
Arif Syarifuddin
NIM. 203046101781
Dibawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., MA
KONSENTRASI PERBANKAN SYARI
’
AH
PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
i
KATA PENGANTAR
Puja dan puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas
selesainya penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
pendidikan pada Program Studi Muamalat Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Tema skripsi ini penulis pilih atas
pertimbangan pentingnya mekanisme pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan
menengah dalam upaya meningkatkan ekonomi kerakyatan. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat untuk kemajuan dan perkembangan BMT Al-Karim
dalam meningkatkan ekonomi usaha kecil dan menengah.
Penyusunan skripsi ini dapat penulis selesaikan berkat bantuan dan
dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu sangatlah wajar bila penulis
menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan mengucapkan terima kasih
yang setulus-tulusnya, khususnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA, MM, Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staf yang telah memberikan tugas kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibu Dr. Euis Amalia, M.Ag, Ketua Program Studi Muamalat Ekonomi Islam yang
telah meluangkan waktunya bagi penulis, sehingga sangat membantu penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Dr. H. Mukri Adji, MA Dosen Pembimbing Akademik yang telah
ii
meluangkan waktunya demi membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama belajar di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Bapak Pimpinan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta
staf yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk memanfaatkan dan
meminjam buku-buku yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.
7. Bapak Andrie, Staf HRD dan Administrasi Pembiayaan BMT Al-Karim dan
seluruh jajaran karyawan BMT Al-Karim yang telah memberikan data dan
kontribusinya dalam rangka penyelesaian skripsi ini.
8. Ayah dan Ibunda serta adik dan kakakku yang senantiasa berusaha dan berdo’a serta mendidik penulis dengan penuh tanggung jawab dan selalu memberikan
bantuan baik moril maupun materil. Semoga ilmu yang penulis peroleh dapat
menjadi bekal untuk membalas budi dan pengorbanan yang telah mereka berikan.
9. Sanak famili dan handai taulan serta rekan-rekan mahasiswa angkatan 2003
Program Studi Mu’alamat khusus Perbankan Syari’ah A Program Non Reguler Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dengan sukarela dalam
iii
10.Sahabat dekatku Vini Oktaviani yang telah memberikan saran dan dukungannya
kepada penulis, sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
11.Keluarga Besar LMC yang telah banyak memberikan dorongan dan motivasi,
sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan.
12.Teman sejawat dan karib kerabat serta rekan guru-guru yang telah banyak
memberikan bantuan baik moril maupun materil, sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Semoga semua yang telah mereka berikan baik berupa bimbingan dan
bantuan maupun pengorbanan dalam rangka penyusunan skripsi ini, mendapat
imbalan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin ya rabbal ‘alamin.
Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan
dan kelemahan. Oleh karenanya sumbangsih dan pemikiran, kritik dan saran yang
konstruktif dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk perbaikan pada
kajian-kajian dengan tema yang sama pada masa yang akan datang.
1 Agustus 2009 M Jakarta,
10 Sya’ban 1430 H
Penulis
iv
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10
D. Review Studi Terdahulu ... 11
E. Metode Penelitian ... 13
F. Sistematika Penyusunan ... 15
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBIAYAAN MUDHARABAH DAN USAHA KECIL MENENGAH A. Pembiayaan Mudharabah ... 17
1. Pengertian Pembiayaan Mudharabah ... 17
2. Landasan Hukum Pembiayaan Mudharabah ... 22
3. Jenis-Jenis Pembiayaan Mudharabah ... 26
4. Tujuan dan Fungsi Pembiayaan Mudharabah ... 29
v
B. Usaha Kecil dan Menengah ... 38
1. Pengertian Usaha Kecil dan Menengah ... 38
2. Manajemen Usaha Kecil dan Menengah ... 42
3. Jenis-Jenis Usaha Kecil dan Menengah ... 44
4. Kendala Bagi Usaha Kecil dan Menengah ... 47
5. Solusi Bagi Usaha Kecil dan Menengah ... 49
BAB III : GAMBARAN UMUM BMT Al-KARIM A. Sejarah Singkat BMT Al-Karim ... 54
B. Visi dan Misi BMT Al-Karim ... 55
C. Prinsip Operasional BMT Al-Karim ... 56
D. Produk Pembiayaan BMT Al-Karim ... 57
E. Struktur Organisasi BMT Al-Karim ... 58
BAB IV : PROSEDUR PEMBIAYAAN MUDHARABAH BAGI USAHA KECIL DAN MENENGAH PADA BMT AL-KARIM A. Praktek Pembiayaan Mudharabah Bagi Usaha Kecil dan Menengah Pada BMT Al-Karim ... 62
B. Distribusi Pembiayaan Mudharabah Bagi Usaha Kecil dan Menengah Pada BMT Al-Karim ... 66
C. Proses Pembiayaan Mudharabah Bagi Usaha Kecil dan Menengah Pada BMT Al-Karim ... 71
vi
B. Saran-saran ... 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tantangan berat yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini adalah tidak
hanya menanggulangi krisis ekonomi, tetapi juga mengubah paradigma ekonomi
konglomerasi menjadi ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan itu sendiri adalah
sistem ekonomi yang mencakup konsep, kebijaksanaan dan strategi
pengembangannya. Ekonomi rakyat merupakan pelaku ekonomi yakni rakyat itu
sendiri baik dalam bentuk koperasi, usaha menengah, usaha kecil maupun usaha
gurem. Perekonomian rakyat merupakan gambaran kondisi atau keadaan ekonomi
rakyat.1
Dalam rangka membangun ekonomi rakyat, maka sektor yang diharapkan
mampu memberikan pembiayaan adalah sektor perbankan. Namun permasalahannya
sekarang ini adalah praktek pembiayaan pada perbankan belum berhasil menyentuh
kebutuhan para pengusaha kecil dan menengah karena dilihat dari banyaknya
persyaratan yang diajukan oleh bank untuk memperoleh pembiayaan tersebut.
Kondisi ini mengakibatkan sektor usaha kecil dan menengah lemah yang seharusnya
menjadi tulang punggung ekonomi yang kuat meskipun usaha kecil dan menengah
atau ekonomi rakyat memang tidak diandalkan sebagai penggerak utama
1
Baihaqi Abdul Madjid, et.al., Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistem Syari’ah;
pertumbuhan ekonomi dan tumpuan untuk keluar dari krisis ekonomi yang
berkepanjangan. Tanpa disadari ekonomi rakyat dapat meningkatkan distribusi
pendapatan yang lebih merata dan kemampuan daya beli masyarakat lebih meningkat.
Jika kesulitan mendapatkan permodalan untuk meningkatkan usahanya,
sehingga yang terjadi adalah adanya ketidakadilan dalam pendistribusian modal.
Pemberi pinjaman modal menginginkan keuntungan tanpa terlibat resiko bisnis
adalah irrasional baginya. Untuk memberikan pinjaman kepada orang-orang miskin
sama banyaknya dengan yang diberikan kepada orang-orang kaya dengan persyaratan
yang sama. Untuk itu, praktek perbankan konvensional pada umumnya hanya
memberikan pinjaman kepada individu-individu dan perusahaan-perusahaan yang
memiliki jaminan kolateral dan memiliki jumlah tabungan internal yang besar, tanpa
memperhatikan apakah mereka menghasilkan keuntungan di atas rata-rata investasi
modal mereka.2
Bahkan Morgan Guarantee Trust Company, bank terbesar ke-6 di Amerika
Serikat, mengakui bahwa sistem perbankan telah gagal membiayai
perusahaan-perusahaan kecil yang sedang berkembang atau para kapitalis venture. Meskipun
kebanjiran dana, sistem ini tidak berniat untuk menyalurkan dana dengan harga
kompetitif, kecuali kepada perusahaan-perusahaan besar dan berkantong tebal.3 Kondisi seperti ini menggambarkan bahwa para pengusaha kecil dan menengah tidak
diberi kesempatan untuk memperoleh pembiayaan guna mempertahankan usahanya.
2
Ikhwan Abidin Basri, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 326
3
3
Melihat permasalahan yang terjadi, maka dirasakan perlu adanya lembaga
keuangan non bank yang dapat menjangkau kebutuhan masyarakat pada skala mikro.
Dalam kondisi seperti ini, suatu paradigma baru bagi pengembangan usaha kecil dan
menengah sangat diperlukan. Pemberdayaan ekonomi rakyat perlu dilaksanakan lebih
konsisten dan lebih berpihak pada rakyat kecil yang nota bene merupakan sumber
nafkah bagi mayoritas rakyat Indonesia dapat terselamatkan dari kondisi krisis
ekonomi akibat tidak diberikannya kesempatan oleh lembaga keuangan tertentu pada
usaha kecil dan menengah.
Di antara lembaga alternatif pengembangan usaha kecil dan menengah adalah
Baitul Maâl Wattamwil (BMT) yang merupakan lembaga keuangan non bank dengan
prinsip-prinsip syari’ah. Cita-cita lembaga ini adalah membantu masyarakat ekonomi lemah serta pengusaha kecil dan menengah dalam memberikan modal atau
pembiayaan agar usaha yang mereka tekuni dapat berkembang dan menjadi produktif
tanpa membebani masyarakat yang menggunakan jasa BMT.
BMT merupakan lembaga keuangan syari’ah yang tumbuh seiring dengan perkembangan lembaga keuangan maupun non keuangan syari’ah di Indonesia. BMT
didefinisikan sebagai lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil dengan
berlandaskan syari’ah.4
Peran umum BMT adalah melakukan pembinaan dan
pendanaan berdasarkan sistem syari’ah. Peran ini menegaskan arti penting prinsip
-prinsip syari’ah dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Sebagai lembaga keuangan syari’ah yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat kecil yang serba
4
cukup baik ilmu pengetahuan maupun materi, maka BMT mempunyai tugas penting
dalam mengemban misi ke-Islaman dalam segala aspek kehidupan masyarakat.5 Pada dasarnya BMT adalah lembaga swadaya masyarakat. Artinya lembaga
ini didirikan dan dikembangkan oleh masyarakat. Terutama pada awal berdiri,
biasanya dilakukan dengan menggunakan sumber daya termasuk dana atau modal
dari masyarakat setempat itu sendiri.6 Pendirian BMT memang cukup banyak yang dibantu oleh pihak luar masyarakat lokal, namun hal itu lebih bersifat bantuan teknis.
Bantuan dari luar sering bersifat konsepsional atau stimulan, umumnya dari lembaga
atau asosiasi yang peduli pada BMT atau masalah pemberdayaan ekonomi rakyat.7 Sejak awal berdirinya, BMT dirancang sebagai lembaga ekonomi. Dapat
dikatakan bahwa BMT merupakan suatu lembaga ekonomi rakyat yang secara
konsepsi dan secara nyata memang lebih fokus kepada masyarakat bawah yang
miskin dan nyaris miskin. BMT berupaya membantu mengembangkan usaha mikro
dan usaha kecil, terutama melalui bantuan permodalan. Untuk melancarkan usaha
membantu permodalan tersebut yang dalam khazanah keuangan modern dikenal
dengan istilah pembiayaan, maka BMT juga berupaya menghimpun dana, terutama
yang berasal dari masyarakat lokal di sekitarnya. Dengan kata lain, BMT pada
5
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah; Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta: Ekonosia, 2003), Cet. ke-2, h. 96
6
M. Amin Azis, Pedoman Pendirian BMT, (Jakarta: PINBUK Press, 2006), h. 1
7
5
prinsipnya berupaya mengorganisasi usaha saling tolong menolong antar warga
masyarakat suatu komunitas dalam masalah ekonomi.8
Salah satu bentuk tolong menolong antar warga masyarakat dalam masalah
ekonomi adalah terwujudnya lebih dari sekitar tiga juta orang telah mendapatkan
layanan dari BMT. Sebagian besar dari mereka adalah orang yang bergerak pada
bidang usaha kecil, bahkan usaha mikro atau usaha sangat kecil. Cakupan bidang
usaha dan profesi dari mereka yang dilayani sangat luas mulai dari pedagang sayur,
penarik becak, pedagang asongan, pedagang kelontongan, penjahit rumahan,
pengrajin kecil, tukang batu, petani, peternak sampai dengan kontraktor dan usaha
jasa yang relatif modern.9 Semua cakupan bidang usaha dan profesi merupakan salah satu jenis layanan dari BMT.
Sesuai dengan pengertian terminologisnya, BMT melaksanakan dua jenis
kegiatan yaitu Baitul Maâl dan Baitut Tamwil. Sebagai Baitul Maal, BMT menerima
titipan zakat, infaq dan shadaqah serta menyalurkannya sesuai dengan peraturan dan
amanahnya. Sedangkan sebagai Baitut Tamwil, kegiatan BMT mengembangkan
uaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan pengusaha
kecil dan sangat kecil dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang
pembiayaan ekonomi.10
8
Awalil Rizky, Fakta dan Prospek Baitul Maal Wattamwil, (Yogyakarta: UCY Press, 2007), Cet. ke-1, h. 4
9
Awalil Rizky, Fakta dan Prospek Baitul Maal Wattamwil, h. 2
10
Sebagai Baitul Maâl, beberapa kegiatan dari BMT dijalankan tanpa orientasi
mencari keuntungan. BMT berfungsi sebagai pengemban amanah yang serupa
dengan amil zakat yaitu menyalurkan bantuan dana secara langsung kepada pihak
yang berhak dan membutuhkan. Sumber dana kebanyakan berasal dari zakat, infaq
dan shadaqah serta dari bagian laba BMT yang disisihkan untuk tujuan ini. Adapun
bentuk penyaluran dana atau bantuan yang diberikan beragam. Ada yang murni
bersifat hibah dan ada pula yang merupakan pinjaman bergulir tanpa dibebani biaya
dalam pengembaliannya. Pinjaman yang bersifat hibah sering berupa bantuan
langsung untuk kebutuhan hidup yang mendesak atau darurat dan diperuntukkan bagi
mereka yang memang sangat membutuhkan, di antaranya adalah bantuan untuk
berobat, biaya sekolah, sumbangan bagi korban bencana, dan lain sebagainya.11 Sedangkan sebagai Baitut Tamwil, BMT terutama berfungsi sebagai suatu
lembaga keuangan syari’ah. lembaga keuangan syari’ah yang melakukan upaya penghimpunan dan penyaluran dana berdasarkan prinsip syari’ah. Prinsip syari’ah
yang paling mendasar dan yang sering digunakan adalah sistem mudharabah atau
bagi hasil.12 Sistem bagi hasil menjadi karakteristik tersendiri yang memiliki keunggulan dibanding bunga. Keunggulan ini tidak hanya karena telah sesuai dengan
aqidah Islam, tetapi secara ekonomi juga memiliki keunggulan. Oleh karenanya,
lembaga keuangan syari’ah semestinya tidak hanya menjadi lembaga keuangan
alternatif, melainkan menjadi suatu keharusan sebagaimana keharusan umat Islam
11
Awalil Rizky, Fakta dan Prospek Baitul Maal Wattamwil, h. 6
12
7
terhadap pilihan barang konsumsi yang harus halal, memakan makanan yang
baik-baik, cara mencari rizki harus benar, dan lain-lain.13
Dalam mekanisme keuangan syari’ah, model bagi hasil ini berhubungan
dengan usaha pengumpulan dana dan pembiayaan, terutama yang berkaitan dengan
produk penyertaan atau kerja sama usaha. Dalam pengembangan produknya, dikenal
dengan istilah shâhib al-maâl dan mudhârib. Shâhib al-maâl merupakan pemilik dana
yang mempercayakan dananya pada lembaga keuangan syari’ah seperti BMT untuk
dikelola sesuai dengan perjanjian. Sedangkan mudhârib merupakan kelompok orang
atau badan yang memperoleh dana untuk dijadikan modal usaha atau investasi.14 Kerja sama seperti dalam Islam dikenal dengan istilah mudhârabah.
Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh lembaga
keuangan syari’ah kepada pihak lain untuk sesuatu usaha yang produktif.15 Menurut
Muhammad, pembiayaan mudharabah adalah pernjanjian antara penanam dana
dengan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian
keuntungan antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati
sebelumnya.16 Dari sekian banyaknya lembaga keuangan syari’ah yang melakukan
upaya penghimpunan dan penyaluran dana berdasarkan prinsip syari’ah dengan
sistem mudharabah adalah BMT.
13
Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wattamwil, (Yogyakarta: UII Press, 2004), Cet. ke-1, h. 119
14
Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wattamwil, h. 120
15
Karnaen Perwaatmadja, et.al., Apa dan Bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Primayasa, 1992), Cet. ke-1, h. 89
16
Salah satu BMT yang menyalurkan pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil
dan menengah adalah BMT Al-Karim Cipulir – Kebayoran Lama – Jakarta Selatan. Sistem yang digunakan BMT Al-Karim adalah sistem mudharabah. Dengan sistem
ini, para pengusaha kecil dan menengah tidak dipusingkan dengan bentuk setoran tiap
bulan, sebagaimana lembaga keuangan konvensional yang besarnya sudah ditentukan
berapa persen oleh lembaga keuangan yang bersangkutan. Untuk itu, kehadiran BMT
Al-Karim sangat dinantikan oleh masyarakat sekitarnya.
Masyarakat Cipulir khususnya para pengusaha kecil dan menengah dalam
menggunakan jasa BMT ini tidak terbebani perasaan takut ataupun cemas untuk tidak
bisa mengembalikan pinjamannya, karena model yang digunakan adalah sistem
mudharabah. Masyarakat Cipulir tidak merasa ngeri dengan debt collector yang biasa
dipakai oleh lembaga keuangan konvensional terhadap para debitur yang tidak lancar
dalam menunaikan setorannya. Hal ini tentu sangat berbeda dengan BMT Al-Karim.
Dalam perjalanannya, BMT Al-Karim ini sangat berperan dalam
menumbuhkembangkan ekonomi umat, agar umat tidak terjerat oleh lembaga
keuangan konvensional yang bisa menjerat debitur disebabkan usahanya macet.
Kehadiran BMT Al-Karim dirasakan memberi angin segar bagi pengusaha kecil dan
menengah yang ingin mengembangkan usahanya. Pembiayaan mudharabah yang
diberikan BMT Al-Karim sudah barang tentu menggunakan mekanisme agar kedua
belah pihak tidak merasa saling dirugikan terutama pihak BMT Al-Karim.
Keberadaan BMT Al-Karim semakin diakui oleh masyarakat pengguna jasa
9
usaha. Masyarakat mengakui bahwa BMT Al-Karim di samping alasan ideologis,
juga karena manfaat nyata yang telah dilakukan oleh BMT Al-Karim.
Berdasarkan ilustrasi di atas, maka penulis merasa tertarik untuk menuangkan
sebuah obsesi yang terdapat dalam diri penulis yang kemudian diwujudkan dalam
bentuk skripsi yang diberi judul : “MEKANISME PEMBIAYAAN MUDHARABAH
BAGI USAHA KECIL DAN MENENGAH PADA BMT AL-KARIM CIPULIR”.
Topik ini menarik untuk dikaji, karena implikasinya sangat luas sehingga dapat
menjadi gambaran bagi bank konvensional untuk tidak menjerat debitur terutama
pengusaha kecil dan menengah.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Beragam jenis pembiayaan yang disalurkan oleh lembaga-lembaga keuangan
syari’ah banyak menarik perhatian masyarakat, terutama para pengusaha kecil dan
menengah. Hal ini disebabkan di samping model yang digunakan adalah sistem
mudharabah, persyaratan untuk memperoleh jenis-jenis pembiayaan ini juga dianggap
relatif mudah. Untuk itu, banyak hal yang dapat diangkat dalam persoalan
pembiayaan seperti pembiayaan musyarakah, muzara’ah, musaqah, dan lain
sebagainya.
Agar dapat memberikan fokus masalah, maka pembahasan skripsi ini dibatasi
hanya pada mekanisme pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah
pada BMT Al-Karim. Dalam hal ini, penulis merumuskan permasalahannya yaitu :
konteks penyaluran pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah, dengan
rumusan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana mekanisme pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah
pada BMT Al-Karim ?
2. Bagaimana praktek pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah pada
BMT Al-Karim ?
3. Kendala apa saja yang dihadapi BMT Al-Karim dalam memberikan pembiayaan
mudharabah pada usaha kecil dan menengah ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sejalan dengan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
maka penelitian skripsi ini memiliki tujuan di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Memperoleh gambaran tentang mekanisme pembiayaan mudharabah bagi usaha
kecil dan menengah pada BMT Al-Karim.
2. Memperoleh gambaran tentang strategi yang dapat dilakukan BMT Al-Karim
dalam hal pemberian pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah.
3. Mengetahui solusi dari kendala yang dihadapi BMT Al-Karim dalam memberikan
pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah.
Adapun manfaat dari penelitian skripsi ini di antaranya adalah sebagai
11
1. Manfaat akademis
Penelitian skripsi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa
buku bacaan perpustakaan di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, khususnya di Fakultas Syari’ah dan Hukum Program Studi
Perbankan Syari’ah. 2. Manfaat praktis
Penelitian skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan
yang berarti bagi lembaga-lembaga non bank, khususnya BMT dan sekaligus
dapat memberikan penjelasan tentang mekanisme pembiayaan mudharabah bagi
usaha kecil dan menengah.
3. Masyarakat umum
Penelitian skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan penjelasan bagi
masyarakat umum, khususnya para pengusaha kecil dan menengah untuk selalu
memiliki rasa tanggung jawab dalam hal mengembalikan pembiayaan yang telah
disalurkan oleh pihak BMT sesuai dengan kesepakatan bersama.
D. Review Studi Terdahulu
Secara umum, penelitian tentang pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil
dan menengah telah dilakukan oleh banyak peneliti sebelumnya. Adapun di antara
para peneliti tersebut adalah sebagai berikut :
Syari’ah, Jakarta: Program Studi Ekonomi Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006.
Skripsi ini membahas tentang beragam jenis pembiayaan bagi usaha kecil
dan menengah, namun tidak membahas tentang mekanisme pembiayaan
mudharabah bagi usaha kecil dan menengah.
2. Ria Julianti, 103046128350, Kebijakan Bank Muamalat Indonesia Dalam
Pembiayaan Kepada UKM Tahun 2003 – 2007, Jakarta: Program Studi Ekonomi
Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008.
Skripsi ini hanya membahas tentang kebijakan Bank Muamalat Indonesia
dalam pemberian pembiayaan kepada usaha kecil dan menengah, namun
kajiannya tidak difokuskan pada pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan
menengah.
3. Andi Irmansyah, 203046101670, Strategi Koperasi Industri Kayu dan Meubel Jakarta Timur Dalam Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah Perspektif
Ekonomi Islam, Jakarta: Program Studi Ekonomi Islam Fakultas Syari’ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
Kajian skripsi ini hanya membahas tentang tata cara koperasi industri
kayu dan meubel dalam rangka memberdayakan usaha kecil dan menengah
menurut ekonomi Islam dan sama sekali tidak bersentuhan dengan masalah
13
Berdasarkan penelitian penulis, secara khusus sampai saat ini belum ada yang
membahas tentang mekanisme pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan
menengah pada suatu lembaga keuangan seperti BMT. Atas dasar itu, penulis tertarik
untuk melakukan penelitian tentang mekanisme pembiayaan mudharabah bagi usaha
kecil dan menengah pada suatu lembaga keuangan mikro syari’ah seperti BMT.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yakni penelitian tentang hubungan
fenomena sosial tertentu dengan menganalisa dan menginterpretasikan data yang
ada.17 Metode deskriptif adalah upaya untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan keadaan sesuatu, digambarkan dengan kalimat atau kata-kata yang
dipisah-pisahkan menurut kategori tertentu agar memperoleh kesimpulan.18 Sedangkan jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah jenis penelitian
kualitatif.19 Penelitian ini menggabungkan studi lapangan dan studi kepustakaan. Untuk memperoleh data lapangan ini, penulis mengadakan pendekatan secara
langsung dengan cara mengunjungi obyek yang diteliti seperti gambaran umum
lokasi penelitian pada BMT Al-Karim Cipulir – Kebayoran Lama – Jakarta Selatan.
17
Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu pertama untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena sosial tertentu dengan mengembangkan konsep dan menghimpun fakta, tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa. Kedua untuk memprediksi fenomena sosial tertentu. Lihat Masri Singarimbun, et.al., Metodologi Penelitian Survey, (Jakarta: LP3ES, 1999), Cet. ke-1, h. 4 - 5
18
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), h. 254
19
Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya adalah
sebagai berikut :
1. Observasi, penulis mengadakan pengamatan langsung ke BMT Al-Karim untuk
memperoleh data yang akurat tentang gejala, peristiwa dan kondisi aktual lainnya
yang terjadi pada masa kini.
2. Wawancara, penulis mengadakan tanya jawab langsung dengan Personalia BMT
Al-Karim.
3. Dokumenter, yaitu melengkapi data-data yang telah ada yang kemudian
dipublikasikan.
Sementara itu, data yang diperoleh melalui studi kepustakaan adalah berupa
informasi yang diperoleh dengan cara mempelajari, menela’ah dan mengkaji buku
-buku yang erat kaitannya dengan masalah yang akan dikaji. Sedangkan teknik yang
digunakan dalam pengolahan data adalah teknik context analysis, yaitu dengan cara
menganalisis teori yang ada pada literatur kepustakaan terutama yang berkaitan erat
dengan masalah pembiayaan mudahrabah. Data-data yang telah diperoleh kemudian
disinkronkan dengan teori-teori yang berkaitan dengan pembiayaan mudharabah
tersebut.
Adapun teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
15
F. Sistematika Penyusunan
Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini secara keseluruhan, maka
diperlukan suatu sistematika penyusunan. Adapun sistematika penyusunan yang
dimaksud adalah seperti yang akan diuraikan di bawah ini.
Bab I menguraikan tentang pokok-pokok pikiran yang tertuang dalam
pembahasan skripsi ini yang terdiri atas latar belakang masalah yang bertujuan untuk
memberikan alasan yang jelas tentang pemilihan judul, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian
dipergunakan dalam rangka memudahkan penulisan dan sistematika penyusunan
dipergunakan untuk memberikan penjelasan secara garis besar tentang pembahasan
yang akan diuraikan dalam skripsi ini.
Bab II berisikan tentang tinjauan literatur yang pembahasannya meliputi
pembiayaan mudahrabah serta usaha kecil dan menengah. Ruang lingkup dari
pembiayaan mudharabah terdiri atas pengertian pembiayaan mudharabah, landasan
hukum pembiayaan mudharabah, jenis-jenis pembiayaan mudharabah, tujuan dan
fungsi pembiayaan mudharabah dan rukun serta syarat pembiayaan mudharabah.
Sedangkan ruang lingkup dari usaha kecil dan menengah terdiri atas pengertian usaha
kecil dan menengah, manajemen usaha kecil dan menengah, jenis-jenis usaha kecil
dan menengah, kendala bagi usaha kecil dan menengah serta solusi bagi usaha kecil
dan menengah.
Bab III menguraikan tentang gambaran umum BMT Al-Karim yang
Al-Karim, prinsip operasional BMT Al-Al-Karim, produk pembiayaan BMT Al-Karim dan
struktur organisasi BMT Al-Karim.
Bab IV membahas inti persoalan yang diperbincangkan dalam skripsi ini,
yaitu prosedur pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah pada BMT
Al-Karim yang pembahasannya meliputi praktek pembiayaan mudharabah bagi usaha
kecil dan menengah pada BMT Al-Karim, distribusi pembiayaan mudharabah bagi
usaha kecil dan menengah pada BMT Al-Karim, proses pembiayaan mudharabah
bagi usaha kecil dan menengah pada BMT Al-Karim dan kendala BMT Al-Karim
dalam memberlakukan pembiayaan mudharabah bagi usaha kecil dan menengah.
Bab V merupakan bab penutup dari skripsi ini yang di dalamnya memuat
beberapa kesimpulan dan saran-saran yang kemudian diakhiri dengan daftar
17
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBIAYAAN MUDHARABAH DAN
USAHA KECIL MENENGAH
A. Pembiayaan Mudharabah
1. Pengertian Pembiayaan Mudharabah
Pembiayaan mudharabah terdiri atas dua kata yaitu pembiayaan dan
mudharabah. Secara luas, pembiayaan berarti financing atau pembelanjaan,
yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah
direncanakan baik dilakukan sendiri maupun dijalankan oleh orang lain.
Dalam arti sempit, pembiayaan dipakai untuk mendefinisikan pendanaan yang
dilakukan oleh lembaga pembiayaan seperti bank syari’ah kepada nasabah.
Dalam kondisi ini, arti pembiayaan menjadi sempit dan pasif. Tetapi bisa jadi
penyempitan arti ini juga disebabkan keterbatasan pemahaman para pelaku
bisnisnya.1
Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 pasal 1 ayat 12 tentang
perbankan dinyatakan bahwa pembiayaan adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang
dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka
1
waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.2 Menurut Antonio, pembiayaan adalah pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi
kebutuhan pihak-pihak yang merupakan definisit unit.3
Menurut ketentuan Bank Indonesia, pembiayaan adalah penanaman
dana bank syari’ah baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk
pembiayaan, piutang, qardh, surat berharga syari’ah, penempatan, penyertaan
modal sementara, komitmen dan kontinjensi pada rekening administratif serta
sertifikat wadi’ah Bank Indonesia.4
Muhammad mendefinisikan bahwa
pembiayaan adalah penyediaan dana dan/atau tagihan berdasarkan aqad
mudharabah dan/atau musyarakah dan/atau pembiayaan lainnya berdasarkan
prinsip bagi hasil.5 Dengan demikian, pembiayaan adalah pendapatan atau memberi biaya terhadap suatu aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh orang
atau perusahaan.
Dari uraian-uraian di atas, dapat dipahami bahwa pembiayaan dapat
berupa uang atau tagihan yang nilainya diukur dengan uang misalnya bank
membiayai pembelian rumah atau mobil. Kemudian adanya kesepakatan
antara bank dengan nasabah penerima pembiayaan dengan perjanjian yang
telah disepakati bersama. Dalam perjanjian pembiayaan tercakup hak dan
kewajiban masing-masing pihak, termasuk jangka waktu serta perolehan
2
Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), Cet. ke-1, h. 10
3Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah
; Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), Cet. ke-1, h. 160
4
Peraturan Bank Indonesia No. 5/7/PBI/2003, tanggal 19 Mei 2003
5
19
keuntungan yang ditetapkan bersama berdasarkan kesepakatan kedua belah
pihak. Demikian pula dengan masalah sanksi, jika debitur ingkar janji
terhadap perjanjian yang telah dibuat bersama pada saat aqad kredit.
Pada dasarnya konsep kredit pada bank konvensional dan pembiayaan
pada bank syari’ah tidak jauh berbeda. Namun yang menjadi perbedaan antara
kredit yang diberikan oleh bank konvensional dengan pembiayaan yang
diberikan oleh bank syari’ah adalah terletak pada keuntungan yang
diharapkan. Bagi bank konvensional keuntungan diperoleh melalui bunga,
sedangkan bagi bank syari’ah keuntungan dapat berupa imbalan atau bagi
hasil6 yang dalam bahasa agama dikenal dengan istilah mudharabah.
Secara etimologis, mudharabah berasal dari kata adharbu fil ardhi,
yaitu berpergian untuk urusan dagang. Istilah mudharabah juga bisa disebut
dengan qiradh yang berasal dari kata al-qardhu yang berarti al-qath’u yang
bermakna potongan, karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk
diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungan.7 Dalam kamus A
Modern Arabic-English Dictionary, idiom kata mudharabah adalah bisahmin
wa nasubin yang berarti to participate in share or take part in.8 Dengan
demikian, secara etimologis kata mudharabah dapat dipahami sebagai
aktivitas keikutsertaan atau partisipasi dalam suatu usaha atau kegiatan bisnis.
6
Kasmir, Manajemen Perbankan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 73
7
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), Juz XII, h. 31
8
Jadi partisipasi seseorang dalam melakukan bisnis secara bersamaan dapat
dikatakan mudharabah.
Sedangkan secara terminologis, mudharabah adalah salah satu jenis
transaksi musyarakah di mana pihak yang bersyirkah adalah pemilik dana atau
shohibul maal dan pemilik tenaga atau mudharib.9 Para ulama mendefinisikan
mudharabah atau qiradh dengan pemilik modal yang menyertakan modalnya
kepada pengusaha untuk diinvestasikan, sedangkan keuntungan yang
diperoleh menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan bersama.10 Secara teknis, mudharabah adalah aqad kerja sama usaha antara dua
pihak di mana pihak pertama atau shohibul maal menyediakan seluruh modal,
sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.11 Keuntungan usaha secara
mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak,
sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu
bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan
karena kekurangan atau kelalaian si pengelola, maka ia harus bertanggung
jawab atas kerugian tersebut.12
9
Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2007), Cet. ke-3, h. 56
10
Azharuddin Lathif, Fiqh Mu’amalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet. ke-1, h. 134
11
Perbedaan yang esensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi atas manajemen dan keuangan atau salah satu di antara itu. Dalam mudharabah, modal hanya berasal dari satu pihak sedangkan dalam musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih.
Musyarakah dan mudharabah dalam literatur fiqh berbentuk perjanjian kepercayaan yang menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan menjunjung keadilan. Untuk itu, masing-masing pihak harus menjaga kejujuran untuk kepentingan bersama.
12
Ahmad Al-Syarbasi, Al-Mu’jam Al-Iqtishad Al-Islam, (Beirut: Daar Al-‘Alamil Kutub,
21
Dalam literatur fiqh, istilah mudharabah digunakan oleh mazhab
Hanafiyah, Hanabilah dan Zaidiyah. Sedangkan dalam mazhab Syafi’iyah dan
Malikiyah, mudharabah dikenal dengan istilah qirad.13 Menurut Lathif,
mudharabah termasuk dalam kategori salah satu bentuk kerja sama dalam
perdagangan. Beliau menyebut mudharabah sebagai bentuk kerja sama antara
pemilik modal dengan seseorang yang pakar dalam perdagangan.14
Bila ditinjau dari aspek hukum, maka mudharabah dapat
didefinisikan sebagai suatu kontrak di mana suatu kekayaan atau persediaan
tertentu ditawarkan oleh pemiliknya atau pengurusnya kepada pihak lain
untuk membentuk suatu kemitraan yang di antara kedua belah pihak dalam
kemitraan itu akan berbagi keuntungan dengan pihak lain yang berhak
mendapatkan keuntungan karena terjadinya pengelolaan kekayaan itu.
Perjanjian seperti ini disebut sebagai contract of copartner ship.15
13
M. Umar Chapra, Toward a Just Monetary System, (London: The Islamic Foundation, 1985), h. 248
14
Menurut ulama Hanabilah, mudharabah termasuk salah satu bentuk perserikatan (syirkah al-uqud) yang mereka bagi ke dalam lima bentuk yaitu (1) syirkah al-‘inan, (2) syirkah al-mufawadhah, (3) syirkah al-abdan, (4) syirkah al-wujuh dan (5) syirkah mudharabah. Hal ini disebabkan menurut mereka, mudharabah termasuk ke dalam syarat-syarat itu adalah (a) pihak-pihak yang berserikat cakap bertindak sebagai wakil; (b) modalnya berbentuk uang tunai; (c) jumlah modal jelas; (d) diserahkan langsung kepada pengelola dagang itu setelah aqad disetujui; (e) pembagian keuntungan diambil dari hasil perserikatan itu, bukan dari harta lain. Akan tetapi Jumhur Ulama seperti Malikiyah, Hanafiyah, Syafi’iyah, Zahiriyah dan Syi’ah Imamiyah, tidak memasukkan transaksi mudharabah sebagai salah satu bentuk syirkah, karena menurut mereka, mudharabah merupakan aqad tersendiri dalam bentuk kerja sama lain, dan tidak dinamakan dengan perserikatan. Dalam buku karangan Nasrun Haroen dapat dilihat tentang definisi mudharabah. Menurut hemat penulis, beliau cenderung memasukannya ke dalam bentuk syirkah walaupun ia memisahkan pembahasan mudharabah dengan pembahasan syirkah. Lihat Azharuddin Lathif, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 135
15
Dari beberapa definisi baik ditinjau dari aspek etimologis maupun
terminologis seperti dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
mudharabah adalah kerja sama antara kedua belah pihak yang memiliki dan
menyediakan modal guna membiayai suatu usaha, pihak penyedia modal
disebut shohibul maal dan pihak pengelola yang usahanya dibiayai disebut
sebagai mudharib. Dengan demikian, pembiayaan mudharabah adalah
perjanjian antara penanam dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan
usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan antara kedua belah pihak
berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
2. Landasan Hukum Pembiayaan Mudharabah
Mudharabah16 adalah aqad yang telah dikenal oleh umat muslim sejak zaman Nabi, bahkan telah dipraktekkan oleh bangsa Arab sebelum turunnya
Islam. Ketika Rasulullah SAW berprofesi sebagai pedagang,17 ia melakukan aqad mudharabah dengan Khadijah. Dengan demikian ditinjau dari aspek
hukum Islam, maka praktek mudharabah ini dibolehkan baik menurut
Al-Qur’an, hadits maupun ijma’ ulama.18
16
Mudharabah disebut juga qiradh atau muqaradhah dan makna dari keduanya adalah sama.
Mudharabah adalah istilah yang digunakan di Irak, sedangkan istilah qiradh digunakan oleh masyarakat Hijaz. Lihat Azharuddin Lathif, Fiqh Mu’amalat, h. 134
17
Saat itu Rasulullah SAW berusia kira-kira 25 tahun, dan belum menjadi nabi. Lihat M. Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Bandung: Mizan, 1997), h. 75
18
M. Anwar Ibrahim, Konsep Profit and Loss Sharing System Menurut Empat Mazhab, makalah tidak diterbitkan, h. 1 – 2. Menurut Al-Qur’an, lihat misalnya dalam surat Al-Mujammil ayat 20. Menurut Hadits, di antaranya adalah hadits Ibnu Abbas ra bahwa Nabi mengakui syarat-syarat
mudharabah yang ditetapkan Al-‘Abbas bin Abdul Muthalib kepada mudharib. Menurut ijma’ ulama,
23
Adapun landasan hukum dari pembiayaan mudharabah adalah firman
Allah SWT sebagai berikut :
(
ةسكبلا
:
.)
Artinya : “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia dari Tuhanmu, maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, ingatlah kepada Allah di Masy'arilharam, dan ingatlah kepada Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum
itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat” (QS. Al
-Baqarah : 198).
Dalam ayat lain yang masih berkaitan dengan landasan hukum
pembiayaan mudharabah adalah firman Allah SWT sebagai berikut :
(
ةعنجا
:
.)
Artinya : “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah kepada Allah
sebanyak-banyak agar kamu beruntung” (QS. Al-Jum’ah : 10).
Ayat lainnya yang menjadi landasan hukum pembiayaan mudharabah
adalah firman Allah SWT sebagai berikut :
...
(....
لمزما
:
.)
Artinya : “… dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian
Pembiayaan mudharabah tidak hanya diabadikan dalam Al-Qur’an,
tetapi juga terdapat dalam hadits Rasulullah SAW sebagai berikut :
ًَِع
ًِِبِا
ٍساَبَع
ٌَِضَز
ُها
َهِيَع
َلاَق
:
اَذِا
َعَفَد
ُلاَنِلا
ّةَبَزاَضَم
َطَسَتِشِا
ىَلَع
ِهِبِحاَص
ٌَِا
َا
َكَلِشَي
ِهِب
،اّسِحَب
َاَو
ُلِزِيَي
ِهِب
،اّيِداَو
َاَو
ىِسَتِصَي
ِهِب
ّةَبأَد
َتاَذ
ٍدِبَك
،ٍةَبِطَز
ٌِِإَف
َلَعَف
َكِلاَذ
،ًَِنُض
ُغَلَبَف
ُهُطِسَش
َلِىُسَز
ِها
ىَلَص
ُها
ِهًَِلَع
َهَلَسَو
ُهَقَدَصَف
(
هاوز
ىىارطلا
.)
19Artinya : “Dari Ibni ‘Abbas ra. berkata : Ibnu ‘Abbas pernah menyerahkan
harta sebagai mudharabah, namun ia mesnyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah serta tidak membeli binatang ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, maka mudharib harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan itu sampai kepada Rasulullah SAW,
beliau kemudian membenarkannya”. (HR. Thabrani).
Dalam hadits lain yang menjadi landasan hukum pembiayaan
mudharabah adalah sabda Rasulullah SAW sebagai berikut :
ًَِع
ٍبًَِهُص
ٌَِضَز
ُها
ُهِيَع
ٌََأ
ٌَِبَيلا
ىَلَص
ُها
ِهًَِلَع
َهَلَسَو
َلاَق
:
ُثَاَث
ًَِهًِِف
ُةَكَسَبِلا
:
ُعًَِبِلَا
ىَلِا
،ٍلَجَآ
،ِةَضَزاَكُنِلاَو
ُطِلُخَو
ِسُبِلا
ِسًِِعَصلاِب
ِتًَِبِلِل
َا
ِعًَِبِلِل
(
هاوز
ًبا
هجام
.)
20Artinya : “Dari Suhaeb ra. sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda : Ada tiga hal yang mengandung berkah yaitu jual beli tidak secara tunai, mudharabah dan mencampuri gandum dengan tepung untuk
keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual” (HR. Ibnu Majah).
Kemudian hadits lain yang erat kaitannya dengan masalah
pembiayaan mudharabah adalah sabda Rasulullah SAW sebagai berikut :
19
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Maktabah Al-Syiriyah, 1997), Jilid II, h. 753
20
25
ًَِع
ُسَنُع
ًُِبا
ٍفِىَع
ٌُِضَز
ُها
ُهِيَع
،َلاَق
َلاَق
ُلِىُسَز
ِها
ىَلَص
ُها
ِهًَِلَع
َهَلَسَو
:
ُحِلُصلَا
زْئِاَج
ًًََِب
ًًَِِنِلِشُنِلا
ُاِا
اّحِلُص
َوَسَح
ّاَاَح
ِوَا
َلَحَا
اّماَسَح
ٌَِىُنِلِشُنِلاَو
ىَلَع
ِهِهِطِوُسُش
َاِا
اّطِسَش
َوَسَح
ِوَا
َلَحَا
اّماَسَح
(
هاوز
ىرًمرلا
.)
21Artinya : “Dari Amr bin Auf ra. berkata, bersabda Rasulullah SAW : Perdamaian itu dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram” (HR. Turmudzi).
Beberapa ayat Al-Qur’an an hadits Rasulullah SAW yang dijadikan
dalil pembiayaan mudharabah seperti yang telah dipaparkan di atas memang
sangat berkaitan dengan permasalahan mudharabah. Hal ini dapat dilihat pada
surah Al-Mujammil ayat 20 yang dalamnya terdapat kata
ٌىبسضي
yangdipahami sebagai usaha untuk mencari rizki. Demikian pula dalam salah
hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Thabrani terdapat kata
ةبزاضم
yang diartika bahwa Rasulullah SAW pernah menyerahkan harta sebagai
mudharabah. Dengan demikian, terdapat hubungan yang positif antara
dalil-dalil tersebut dengan permasalahan mudharabah.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa landasan hukum
pembiayaan mudharabah tidak hanya tertera dalam Al-Qur’an, tetapi juga
terdapat dalam hadits Rasulullah SAW sebagai landasan yang kedua setelah
21
Al-Qur’an serta ijma’ para ulama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
landasan hukum pembiayaan mudharabah adalah Al-Qur’an dan hadits
Rasulullah SAW serta ijma’ ulama.
3. Jenis-jenis Pembiayaan Mudharabah
Ditinjau dari aspek transaksi yang dilakukan pemilik modal dengan
pengelola, para ulama fiqh mengklasifikasikan aqad mudharabah ke dalam
dua jenis, yaitu mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah.22
Mudharabah mutlaqah adalah salah satu jenis mudharabah di mana pemilik
usaha atau mudharib diberikan hak yang tidak terbatas untuk melakukan
investasi oleh pemilik modal atau shohibul maal. Sedangkan mudharabah
muqayyadah merupakan salah satu jenis mudharabah di mana pemilik usaha
dibatasi haknya oleh pemilik modal yang antara lain dalam hal jenis usaha,
waktu, tempat usaha, dan lain-lain.23
Penerapan mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito
sehingga terdapat dua jenis himpunan dana yaitu tabungan mudharabah dan
deposito mudharabah. Berdasarkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi
BMT dalam menggunakan dana yang dihimpun.24 Dengan demikian, jenis-jenis mudharabah itu terdiri atas mudharabah mutlaqah dan mudharabah
muqayyadah.
22
Azharuddin Lathif, Fiqh Mu’amalah, h. 137
23
Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah, h. 57
24
27
Mudharabah muqayyadah terbagi ke dalam dua bagian yaitu
mudharabah muqayyadahon balance-sheet dan mudharabah muqayyadah off
balance-sheet. Dalam mudharabah muqayyadah on balance-sheet, aliran dana
terjadi dalam satu nasabah investor ke sekelompok pelaksana usaha dalam
beberapa sektor terbatas misalnya pertanian, manufaktur dan jasa. Nasabah
investor lainnya mungkin mensyaratkan dananya hanya boleh dipakai untuk
pembiayaan di sektor pertimbangan, property dan pertanian. Selain
berdasarkan sektor, nasabah investor dapat saja mensyaratkan berdasarkan
jenis aqad yang digunakan misalnya hanya boleh digunakan berdasarkan aqad
penjualan cicilan, penyewaan cicilan saja atau kerja sama usaha saja. Skema
ini disebut on balance-sheet karena dicatat dalam neraca bank.25
Dalam mudharabah muqayyadah off balance-sheet, aliran dana
berasal dari suatu nasabah investor kepada satu nasabah pembiayaan dalam
bank konvensional disebut debitur. Di sini, bank syari’ah bertindak hanya
sebagai arranger. Pencatatan transaksinya di bank syari’ah dilakukan secara
off balance-sheet. Sedangkan bagi hasilnya hanya melibatkan nasabah
investor dan pelaksana usaha. Besarnya bagi hasil tergantung pada
kesepakatan antara nasabah investor dan nasabah pembiayaan. Bank hanya
memperoleh arranger fee. Skema ini disebut off balance-sheet karena
transaksi ini tidak dicatat dalam neraca bank, tetapi hanya dicatat dalam
25
rekening administratif.26 Untuk lebih jelasnya tentang jenis-jenis mudharabah
ini dapat disajikan pada gambar berikut ini.
JENIS-JENIS MUDHARABAH
Dari gambaran di atas, dapat dipahami bahwa secara garis besar
jenis-jenis pembiayaan mudharabah dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk
yakni mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah. Mudharabah
mutlaqah bersifat mutlak di mana shohibul maal tidak menetapkan restriksi
atau syarat-syarat tertentu kepada mudharib.27 Namun demikian, jika dipandang perlu, shohibul maal boleh menetapkan batasan-batasan atau
syarat-syarat tertentu guna menyelamatkan modalnya dari resiko kerugian,
dan syarat-syarat atau batasan ini harus dipenuhi oleh mudharib. Jika
mudharib melanggar batasan ini, maka ia harus bertanggung jawab atas
kerugian yang timbul. Jenis mudharabah seperti ini disebut mudharabah
muqayyadah.
26
Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam; Analisis Fiqh dan Keuangan, h. 185
27
Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam; Analisis Fiqh dan Keuangan, h. 184 Mudharabah
Off-Balance Sheet
On-Balance Sheet
Muqayyadah
(RIA: Restricted Investment Account)
Mutlaqah
29
4. Tujuan dan Fungsi Pembiayaan Mudharabah
Tujuan pembiayaan mudharabah yang dilaksanakan lembaga
keuangan syari’ah terkait dengan stake holder salah satunya adalah pemilik.28
Dari sumber pendapatan di atas, para pemilik mengharapkan akan
memperoleh penghasilan atas dana yang ditanamkan pada bank tersebut.
Tujuan pembiayaan lainnya yang terkait dengan stake holder adalah pegawai.
Para pegawai mengharapkan dapat memperoleh kesejahteraan dari bank yang
dikelolanya.
Tujuan pembiayaan mudharabah selanjutnya yang terkait dengan
stake holder adalah masyarakat yang terdiri atas pemilik dana. Sebagaimana
pemilik, mereka mengharapkan dari dana yang diinvestasikan akan diperoleh
bagi hasil. Selain pemilik dana, maka hal yang berkaitan dengan ini adalah
debitur yang bersangkutan. Para debitur, dengan penyediaan dana baginya,
mereka terbantu guna menjalankan usahanya atau terbantu untuk pengadaan
barang yang diinginkannya. Kemudian hal lain yang berkaitan dengan tujuan
pembiayaan mudharabah yang masuk dalam kategori ini adalah konsumen.
Konsumen ini dapat memperoleh barang-barang yang dibutuhkannya.
Tujuan pembiayaan mudharabah yang dilaksanakan perbankan
syari’ah terkait dengan stake holder berikutnya adalah pemerintah. Akibat
penyediaan pembiayaan mudharabah, pemerintah terbantu dalam pembiayaan
pembangunan negara, di samping itu akan diperoleh pajak yang berupa pajak
28
penghasilan atas keuntungan yang diperoleh bank dan juga
perusahaan-perusahaan.
Tujuan pembiayaan mudharabah yang dilaksanakan perbankan
syari’ah terkait dengan stake holder yang tidak kalah pentingnya adalah
lembaga bank itu sendiri. Bagi bank yang bersangkutan, hasil dari penyaluran
pembiayaan mudharabah, diharapkan bank dapat meneruskan dan
mengembangkan usahanya agar tetap survival dan meluas jaringan usahanya,
sehingga semakin banyak masyarakat yang dapat dilayaninya. Selain memiliki
tujuan pembiayaan mudharabah, bank syari’ah juga harus menentukan fungsi
pembiayaan mudharabah itu sendiri.
Menurut Sinungan, ada beberapa fungsi dari pembiayaan mudharabah
yang diberikan oleh bank syari’ah kepada masyarakat penerima yang salah
satu di antara fungsi pembiayaan mudharabah adalah meningkatkan daya
guna uang.29 Para penabung menyimpan uangnya di bank dalam bentuk giro, tabungan dan deposito. Uang tersebut dalam prosentase tertentu ditingkatkan
kegunaannya oleh bank guna suatu usaha peningkatan produktivitas. Para
pengusaha menikmati pembiayaan mudharabah dari bank untuk memperluas
atau memperbesar usahanya bak untuk peningkatan produksi, perdagangan
maupun untuk usaha-usaha rehabilitasi ataupun memulai usaha baru. Pada
dasarnya melalui pembiayaan mudharabah terdapat suatu usaha peningkatan
29
31
produktivitas secara menyeluruh. Dengan demikian dana yang mengendap di
bank tidaklah diam dan disalurkan untuk usaha-usaha yang bermanfaat baik
kemanfaatan bagi pengusaha maupun kemanfaatan bagi masyarakat.
Fungsi lainnya dari pembiayaan mudharabah adalah meningkatkan
daya guna barang. Produsen dengan bantuan pembiayaan mudharabah bank
dapat memproduksi bahan mentah menjadi bahan jadi sehingga utility dari
bahan tersebut meningkat, misalnya peningkatan utility kelapa menjadi kopra
dan selanjutnya menjadi minya kelapa atau minyak goreng, peningkatan
utility dari padi menjadi beras, benang menjadi tekstil, dan lain sebagainya.
Selain itu, produsen dengan bantuan pembiayaan mudharabah dapat
memindahkan barang dari suatu tempat yang kegunaannya kurang ke tempat
yang lebih bermanfaat. Seluruh barang-barang yang dipindahkan atau dikirim
dari suatu daerah ke daerah lain yang kemanfaatan barang itu lebih terasa,
pada dasarnya meningkatkan utility barang itu. Pemindahan barang-barang
tersebut tidaklah dapat diatasi oleh keuangan para distributor saja dan oleh
karenanya mereka memerlukan bantuan permodalan dari bank yang berupa
pembiayaan mudharabah.
Fungsi pembiayaan mudharabah selanjutnya adalah meningkatkan
peredaran uang. Pembiayaan mudharabah yang disalurkan melalui
rekening-rekening koran pengusaha menciptakan pertambahan peredaran uang giral dan
sejenisnya seperti cek, bilyet giro, wesel, promes, dan lain sebagainya.
lebih berkembang oleh karena pembiayaan mudharabah menciptakan suatu
kegairahan berusaha sehingga penggunaan uang akan bertambah baik
kualitatif apalagi secara kuantitatif. Hal ini selaras dengan pengertian bank
selaku money creator. Penciptaan uang itu selain dengan cara substitusi;
penukaran uang kartal yang disimpan di giro dengan uang giral, maka ada
juga exchange of claim, yaitu bank memberikan pembiayaan mudharabah
dalam bentuk uang giral. Selain itu, dapat pula dilakukan dengan cara
transformasi yaitu bank membeli surat-surat berharga dan membayarnya
dengan uang giral.
Fungsi pembiayaan mudharabah berikutnya adalah menimbulkan
kegairahan berusaha. Setiap manusia adalah makhluk yang selalu melakukan
kegiatan ekonomi yaitu berusaha untuk memenuhi kebutuhannya. Kegiatan
usaha sesuai dengan dinamikanya akan selalu meningkat, akan tetapi
peningkatan usaha tidaklah selalu diimbangi dengan peningkatan
kemampuannya yang berhubungan dengan manusia lain yang mempunyai
kemampuan. Karena itu pula, maka pengusaha akan selalu berhubungan baik
untuk memperoleh bantuan permodalan guna peningkatan usahanya. Bantuan
pembiayaan mudharabah yang diterima pengusaha dari bank inilah kemudian
yang digunakan untuk memperbesar volume usaha dan produktivitasnya. Bila
ditinjau dari hukum permintaan dan penawaran, maka terhadap segala macam
dan ragamnya usaha, permintaan akan terus bertambah jika masyarakat telah
33
semakin besarnya permintaan sehingga secara berantai kemudian
menimbulkan kegairahan yang meluas di kalangan masyarakat untuk
sedemikian rupa meningkatkan produktivitas. Secara otomatis kemudian
timbul pula kesan bahwa setiap usaha untuk peningkatan produktivitas,
masyarakat tidak perlu khawatir kekurangan modal oleh karena masalahnya
dapat diatasi oleh bank dengan pembiayaan mudharabahnya.
Fungsi pembiayaan mudharabah berikutnya adalah adanya stabilitas
ekonomi. Dalam ekonomi yang kurang sehat, langkah-langkah stabilisasi pada
dasarnya diarahkan pada usaha-usaha antara lain untuk pengendalian inflansi,
peningkatan ekspor, rehabilitasi prasarana dan pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan pokok rakyat. Untuk menekan arus inflansi dan terlebih lagi untuk
usaha pembangunan ekonomi, maka pembiayaan mudharabah memegang
peranan yang sangat penting.
Selanjutnya fungsi pembiayaan mudharabah adalah sebagai jembatan
untuk meningkatkan pendapatan nasional. Para usahawan yang memperoleh
pembiayaan mudharabah tentu saja berusaha untuk meningkatkan usahanya.
Peningkatan usaha berarti peningkatan profit. Bila keuntungan ini secara
kumulatif dikembangkan lagi dalam arti kata dikembalikan lagi ke dalam
struktur permodalan, maka peningkatan akan berlangsung terus menerus.
Dengan pendapatan yang terus meningkat berarti pajak perusahaan pun akan
terus bertambah. Pada pihak lain, pembiayaan mudharabah yang disalurkan
pertambahan devisa negara. Selain itu dengan makin efektifnya kegiatan
swasembada kebutuhan-kebutuhan pokok, berarti akan dihemat devisa
keuangan negara dan akan dapat diarahkan pada usaha-usaha kesejahteraan
ataupun ke sektor-sektor lain yang lebih berguna. Jika rata-rata pengusaha,
pemilik tanah, pemilik modal dan karyawan mengalami peningkatan
pendapatan, maka pendapatan negara melalui pajak akan bertambah,
penghasilan devisa bertambah dan penggunaan devisa untuk urusan konsumsi
berkurang, sehingga langsung atau tidak melalui pembiayaan mudharabah,
pendapatan nasional akan bertambah.
Fungsi pembiayaan mudharabah yang tidak kalah pentingnya adalah
sebagai alat hubungan ekonomi internasional. Bank syari’ah sebagai salah
satu lembaga pembiayaan mudharabah tidak hanya bergerak di dalam negeri,
tetapi juga bergerak di luar negeri. Amerika Serikat yang telah sedemikian
maju organisasi dan sistem perbankannya telah melebarkan sayap
perbankannya ke seluruh pelosok dunia. Demikian pula beberapa negara maju
lainnya. Negara-negara kaya atau yang kuat ekonominya, demi persahabatan
antar negara banyak memberikan bantuan kepada negara-negara yang sedang
berkembang atau sedang membangun. Bantuan-bantuan tersebut tercermin
dalam bentuk bantuan kredit dengan syarat-syarat yang ringan yaitu bunga
yang relatif murah dan jangka waktu penggunaan yang panjang. Melalui
35
penerima kredit akan bertambah erat terutama yang menyangkut hubungan
perekonomian dan perdagangan.
Dari beberapa tujuan dan fungsi pembiayaan mudharabah seperti
yang telah dipaparkan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tujuan
pembiayaan mudharabah adalah untuk menggabungkan masing-masing
potensi, yakni potensi modal yang tidak memiliki keahlian usaha dengan
pemilik proyek yang tidak memiliki modal untuk sama-sama mendapatkan
keuntungan.30
5. Rukun dan Syarat Pembiayaan Mudharabah
Menurut Zulkifli, rukun mudharabah terdiri atas pemilik modal,
pemilik usaha, proyek, modal, ijab dan qabul serta nisbah bagi hasil.31 Sedangkan menurut Adiwarman, rukun mudharabah itu terdiri atas pelaku,
objek, ijab dan qabul serta nisbah keuntungan.32 Ulama Hanafiyah mengemukakan bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qabul. Sedangkan
menurut Jumhur rukun mudharabah itu terdiri atas shohibul maal dan
mudharib, modal dan pekerjaan serta keuntungan, ijab dan qabul.33
Adapun syarat-syarat mudharabah sesuai dengan rukun yang
dikemukakan Jumhur Ulama di atas adalah hal-hal yang berkaitan dengan
orang yang melakukan aqad, harus orang yang cakap hukum dan cakap
30
Warkum Sumitro, Azas-Azas Perbankan Islam dan Lembaga Terkait di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 36
31
Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah, h. 57
32
Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam; Analisis Fiqh dan Keuangan, h. 177
33
diangkat sebagai wakil, karena pada satu sisi lain posisi orang yang akan
mengelola modal adalah wakil dari pemilik modal. Itulah sebabnya
syarat-syarat seorang wakil juga berlaku bagi pengelola modal dalam aqad
mudharabah.
Kemudian hal lain yang terkait dengan modal disyaratkan berbentuk
uang, jelas jumlahnya, tunai dan diserahkan sepenuhnya kepada pengelola
modal. Oleh karenanya, jika modal itu berbentuk barang, menurut mayoritas
ulama tidak dibolehkan karena sulit untuk menentukan keuntungannya dan
cenderung menimbu