PENGARUH LINGKUNGAN RUMAH DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP KEJADIAN CHIKUNGUNYA DI KECAMATAN NISAM
KABUPATEN ACEH UTARA
TESIS
Oleh
IMRAN 117032013/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
THE INFLUENCE OF HOME ENVIRONMENT AND BEHAVIOR OF COMMUNITY ON THE INCIDENT OF CHIKUNGUYA IN
NISAM SUBDISTRICT, ACEH UTARA DISTRICT
THESIS
BY
IMRAN 117032013/IKM
MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN
PENGARUH LINGKUNGAN RUMAH DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP KEJADIAN CHIKUNGUNYA DI KECAMATAN NISAM
KABUPATEN ACEH UTARA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
IMRAN 117032013/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
Judul Tesis : PENGARUH LINGKUNGAN RUMAH DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP KEJADIAN CHIKUNGUNYA DI
KECAMATAN NISAM KABUPATEN ACEH UTARA
Nama Mahasiswa : Imran Nomor Induk Mahasiswa : 117032013
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H) Ketua
(Ir. Evi Naria, M.Kes) Anggota
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
Telah diuji
Pada Tanggal : 24 April 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
PERNYATAAN
PENGARUH LINGKUNGAN RUMAH DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP KEJADIAN CHIKUNGUNYA DI KECAMATAN NISAM
KABUPATEN ACEH UTARA
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Juni 2013
Imran
ABSTRAK
Chikungunya adalah salah satu penyakit menular yang menyebabkan tingginya angka kesakitan serta masalah kesehatan masyarakat di sebagian daerah di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh virus CHIK melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Gejalanya adalah demam mendadak, nyeri pada persendian terutama sendi lutut, pergelangan, jari kaki dan tangan yang disertai ruam pada kulit. Pada tahun 2012, telah terjadi kejadian Chikungnya sebanyak 34 kasus di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh lingkungan rumah dan perilaku masyarakat terhadap kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara. Metode penelitian adalah survei analitik observasional
dengan disain case control. Populasi penelitian adalah seluruh rumah tangga yang
dijumpai anggota keluarganya menderita Chikungunya dan rumah tangga yang anggota keluarganya tidak menderita Chikungunya dengan sampel sebanyak 68 orang terdiri dari 34 kasus dan 34 kontrol. Pengumpulan data melalui wawancara dan observasi yang berpedoman pada kuesioner. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat dengan uji chi-square dan multivariat menggunakan uji regresi logistik berganda pada taraf kepercayaan 95%.
Hasil penelitian menunjukkan variabel lingkungan rumah yaitu kawat kasa pada ventilasi dan variabel perilaku masyarakat yaitu sikap dan tindakan berpengaruh terhadap kejadian Chikungunya, sedangkan kerapatan dinding, langit-langit rumah, TPA dan kelembaban tidak berpengaruh. Hasil uji regresi logistik berganda diketahui bahwa variabel yang dominan berpengaruh terhadap Chikungunya adalah tindakan dengan nilai koefisien Exp (B) 4,779.
Disarankan kepada Dinas Kesehatan dan Puskesmas sebaiknya tetap
mempertahankan upaya health promotion yang telah dilakukan terutama
peningkatan informasi tentang Chikungunya. Meningkatkan penyuluhan yang lebih intensif sehingga dapat mengugah minat masyarakat dalam upaya partisipasi aktif dan peran serta masyarakat. Menganjurkan kepada masyarakat untuk menggunakan kawat kasa pada lubang angin dan jendela.
ABSTRACT
Chikunguya is one of the contageous diseases causing high morbidity rate and problem of community health in some areas in Indonesia. This disease is caused the CHIK virus through the bites of Aedes aegypti and Aedes albopictus with the symptoms of sudden fever, pain in the joints especially in knee joints, ankles, toes and fingers accompanied with a skin rash. In 2012, there were 34 cases of Chikungunya in Nisam Subdistrict, Aceh Utara District.
The purpose of this observational analytical survey study with case-control design was to analyze the influence of home environment and behavior of community on the incident of Chikunguya in Nisam Subdistrict, Aceh Utara District. The population of this study was all of the families whose family members were suffering or not suffering from Chikunguya. The samples for this study were 68 persons consisting 34 for case group and 34 for control group. The data for this study were obtained through observation and questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through univariate analysis, bivariate analysis with Chi-square test, and multivariate analysis with multiple logistic regression tests at level of confidence of 95%.
The result of this study showed that the variable of home environment (wire netting and ventilation) and the variable of behavior of community (attitude and action) had influence on the incident of Chikunguya, while wall density, house ceiling, garbage dump site, and humidity didi have any influence on the incident of Chikunguya. The result of multiple logistic regression tests showed that action with Exp coefficient value (B) of 4.779 was the variable which dominantly influenced the incident of Chikunguya.
The management of Aceh Utara District Health Service and Puskesmas (Community Health Center) should maintain the attempt of health promotion done especially the improvement of information about Chikunguya, should provide a more intensive extension that it can encourage the interest of community in active community participation, and the use of wire nettings on their ventilation and windows.
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan Rahmat dan Hidayah serta Karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “Pengaruh
Lingkungan Rumah dan Perilaku Masyarakat terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara”.
Penyusunan tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian persyaratan
akademik untuk menyelesaikan Pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri Universitas
Sumatera Utara.
Penulis dalam menyusun tesis ini, menyadari begitu banyak mendapat
dukungan, bimbingan, bantuan dan kemudahan dari berbagai pihak sehingga tesis
ini dapat diselesaikan. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan
terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada:
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
4. Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H dan Ir. Evi Naria, M.Kes selaku komisi
pembimbing dengan sabar dan tulus serta banyak memberikan perhatian,
dukungan, pengertian dan pengarahan sejak awal hingga terselesaikannya tesis
ini.
5. dr. Surya Dharma, M.P.H dan drh. Rasmaliah, M.Kes selaku komisi penguji
yang telah memberi masukan sehingga dapat meningkatkan kesempurnaan
tesis ini.
6. Seluruh Dosen Minat Studi Manejemen Kesehatan Lingkungan Industri,
Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara,
semoga ilmu dan pengetahuan yang diberikan selama penulis belajar menjadi
amal ibadah dan mendapat Rahmat dari Allah SWT.
7. M. Nurdin, S.K.M, M.M selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
Aceh Utara yang telah memberikan Tugas Belajar kepada penulis sehingga
penulis dapat melanjutkan Pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.
8. Yanti Herawati, S.K.M selaku Kepala Puskesmas Nisam Kabupaten
Aceh Utara yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di
Wilayah Kerja Puskesmas Nisam Kabupaten Aceh Utara.
9. Para teman sejawat dan rekan-rekan mahasiswa di lingkungan Program
Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya Minat Studi Manajemen
Ucapan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada keluarga tercinta
Ayahanda Tarmizi dan Ibunda Mahmudiah yang telah memberikan dukungan baik
moril dan do‟a restu sehingga penulis mendapatkan pendidikan terbaik.
Teristimewa ucapan terima kasih ini penulis curahkan kepada Isteri
tercinta Marlina dan anakku tersayang Muhammad Nabiel Ghaysan yang penuh
pengertian, kesabaran, pengorbanan dan turut memberikan doa serta rasa cinta
yang dalam setia menunggu, karena kehilangan banyak waktu bersama dalam
masa-masa menempuh pendidikan ini dan banyak sekali memberikan motivasi
serta dukungan moril kepada penulis agar bisa menyelesaikan pendidikan ini tepat
waktu.
Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan dan kekurangan yang
ada, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan tesis ini, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan
di bidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian
selanjutnya.
Medan, Juni 2013 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Imran, lahir pada tanggal 09 Mei 1979 di Lhokseumawe, beragama Islam,
anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Ayahanda Tarmizi dan
Mahmudiah. Mempunyai satu orang putra Muhammad Nabiel Ghaysan, sekarang
menetap di Jalan Jrat Raya Desa Blang Peuria Kecamatan Samudera Kabupaten
Aceh Utara.
Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan di Sekolah Dasar
Negeri (SDN) No. 4 Lhokseumawe selesai tahun 1991, Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama Negeri (SLTPN) 4 Lhokseumawe selesai tahun 1994, Sekolah Menengah
Umum Negeri (SMUN) 1 Lhokseumawe selesai tahun 1997, Akademi Kesehatan
Lingkungan Depkes R.I. Banda Aceh selesai pada tahun 2000, Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Muhammadiyah Aceh di Banda Aceh selesai tahun 2006.
Mulai bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil sejak tanggal 01 Desember
2003 di Puskesmas Syamtalira Bayu sampai dengan Bulan Agustus 2009. Pada
Bulan September 2009 sampai dengan sekarang bekerja di Dinas Kesehatan
Kabupaten Aceh Utara.
Tahun 2011, penulis melanjutkan pendidikan lanjutan di Program Studi S2
Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
DAFTAR ISI
2.5.3. Pengendalian Biologi ... 37
3.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas... 50
3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 52
3.5.1. Variabel ... 52
3.5.2. Definisi Operasional ... 52
3.6. Metode Pengukuran ... 55
3.6.1. Pengukuran Lingkungan Rumah ... 55
3.6.2. Pengukuran Perilaku Masyarakat ... 57
3.7. Metode Analisis Data ... 60
4.2.1. Karakteristik Responden ... 63
4.2.2. Lingkungan Rumah Responden ... 65
4.2.3. Distribusi Perilaku Responden ... 67
4.3. Analisis Bivariat ... 75
4.4. Analisis Multivariat ... 80
4.5. Population Attribute Risk (PAR) ... 85
BAB 5. PEMBAHASAN ... 86
5.1.1. Pengaruh Lingkungan Rumah Berdasarkan Kerapatan
Dinding terhadap Kejadian Chikungunya ... 86
5.1.2. Pengaruh Lingkungan Rumah Berdasarkan Kawat Kasa pada Ventilasi terhadap Kejadian Chikungunya .. 87
5.1.3. Pengaruh Lingkungan Rumah Berdasarkan Langit-langit Rumah terhadap Kejadian Chikungunya ... 89
5.1.4. Pengaruh Lingkungan Rumah Berdasarkan Tempat Penampungan Air terhadap Kejadian Chikungunya... 91
5.1.6. Pengaruh Lingkungan Rumah Berdasarkan Kelembaban terhadap Kejadian Chikungunya ... 92
5.2. Pengaruh Perilaku Responden terhadap Kejadian Chikungunya... 94
5.2.1. Pengaruh Perilaku Responden Berdasarkan Pengetahuan terhadap Kejadian Chikungunya ... 94
5.2.2. Pengaruh Perilaku Responden Berdasarkan Sikap terhadap Kejadian Chikungunya... 96
5.2.3. Pengaruh Perilaku Responden Berdasarkan Tindakan Pencegahan terhadap Kejadian Chikungunya ... 99
5.3. Keterbatasan Penelitian ... 102
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 103
6.1. Kesimpulan ... 103
6.2. Saran ... 104
DAFTAR PUSTAKA ... 105
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
3.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Penelitian ... 51
3.2 Aspek Pengukuran Variabel ... 54
4.1 Distribusi Karakteristik Responden di Kecamatan Nisam Kabupaten
Aceh Utara Tahun 2013 ... 64
4.2 Distribusi Lingkungan Rumah Responden di Kecamatan Nisam
Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013 ... 66
4.3 Distribusi Frekuensi Pendapat Responden Berdasarkan Pengetahuan
terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013 ... 68
4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pengetahuan terhadap
Kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013 ... 69
4.5 Distribusi Frekuensi Pendapat Responden Berdasarkan Sikap
terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013 ... 71
4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Sikap terhadap
Kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013 ... 72
4.7 Distribusi Frekuensi Pendapat Responden Berdasarkan Tindakan
terhadap Kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013 ... 73
4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Tindakan terhadap
Kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013 ... 74
4.9 Lingkungan Rumah dan Perilaku Responden dengan Kejadian
4.10 Hasil Analisis Bivariat yang dijadikan Model Analisis Multivariat .... 81
4.11 Hasil Akhir Uji Regresi Logistik Ganda Pengaruh Kawat Kasa pada
Ventilasi, Sikap dan Tindakan terhadap Kejadian Chikungunya
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Surat Pernyataan Kesediaan menjadi Responden ... 110
2. Kuesioner Penelitian ... 111
3. Tabel Skor ... 115
4. Jadwal Penelitian ... 116
5. Master Data Penelitian ... 117
6. Analisis Univariat ... 119
7. Analisis Bivariat ... 133
8. Analisis Multivariat ... 141
9. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 145
10. Surat Izin Penelitian dari Program Studi S2 IKM USU Medan ... 146
11. Surat Telah Selesai Penelitian dari Puskesmas Nisam... 147
12. Peta Kecamatan Nisam ... 149
ABSTRAK
Chikungunya adalah salah satu penyakit menular yang menyebabkan tingginya angka kesakitan serta masalah kesehatan masyarakat di sebagian daerah di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh virus CHIK melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Gejalanya adalah demam mendadak, nyeri pada persendian terutama sendi lutut, pergelangan, jari kaki dan tangan yang disertai ruam pada kulit. Pada tahun 2012, telah terjadi kejadian Chikungnya sebanyak 34 kasus di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh lingkungan rumah dan perilaku masyarakat terhadap kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara. Metode penelitian adalah survei analitik observasional
dengan disain case control. Populasi penelitian adalah seluruh rumah tangga yang
dijumpai anggota keluarganya menderita Chikungunya dan rumah tangga yang anggota keluarganya tidak menderita Chikungunya dengan sampel sebanyak 68 orang terdiri dari 34 kasus dan 34 kontrol. Pengumpulan data melalui wawancara dan observasi yang berpedoman pada kuesioner. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat dengan uji chi-square dan multivariat menggunakan uji regresi logistik berganda pada taraf kepercayaan 95%.
Hasil penelitian menunjukkan variabel lingkungan rumah yaitu kawat kasa pada ventilasi dan variabel perilaku masyarakat yaitu sikap dan tindakan berpengaruh terhadap kejadian Chikungunya, sedangkan kerapatan dinding, langit-langit rumah, TPA dan kelembaban tidak berpengaruh. Hasil uji regresi logistik berganda diketahui bahwa variabel yang dominan berpengaruh terhadap Chikungunya adalah tindakan dengan nilai koefisien Exp (B) 4,779.
Disarankan kepada Dinas Kesehatan dan Puskesmas sebaiknya tetap
mempertahankan upaya health promotion yang telah dilakukan terutama
peningkatan informasi tentang Chikungunya. Meningkatkan penyuluhan yang lebih intensif sehingga dapat mengugah minat masyarakat dalam upaya partisipasi aktif dan peran serta masyarakat. Menganjurkan kepada masyarakat untuk menggunakan kawat kasa pada lubang angin dan jendela.
ABSTRACT
Chikunguya is one of the contageous diseases causing high morbidity rate and problem of community health in some areas in Indonesia. This disease is caused the CHIK virus through the bites of Aedes aegypti and Aedes albopictus with the symptoms of sudden fever, pain in the joints especially in knee joints, ankles, toes and fingers accompanied with a skin rash. In 2012, there were 34 cases of Chikungunya in Nisam Subdistrict, Aceh Utara District.
The purpose of this observational analytical survey study with case-control design was to analyze the influence of home environment and behavior of community on the incident of Chikunguya in Nisam Subdistrict, Aceh Utara District. The population of this study was all of the families whose family members were suffering or not suffering from Chikunguya. The samples for this study were 68 persons consisting 34 for case group and 34 for control group. The data for this study were obtained through observation and questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through univariate analysis, bivariate analysis with Chi-square test, and multivariate analysis with multiple logistic regression tests at level of confidence of 95%.
The result of this study showed that the variable of home environment (wire netting and ventilation) and the variable of behavior of community (attitude and action) had influence on the incident of Chikunguya, while wall density, house ceiling, garbage dump site, and humidity didi have any influence on the incident of Chikunguya. The result of multiple logistic regression tests showed that action with Exp coefficient value (B) of 4.779 was the variable which dominantly influenced the incident of Chikunguya.
The management of Aceh Utara District Health Service and Puskesmas (Community Health Center) should maintain the attempt of health promotion done especially the improvement of information about Chikunguya, should provide a more intensive extension that it can encourage the interest of community in active community participation, and the use of wire nettings on their ventilation and windows.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Chikungunya sampai saat ini masih tetap menjadi salah satu penyakit
menular yang berisiko menyebabkan tingginya angka kesakitan serta masalah
kesehatan masyarakat di sebagian daerah di Indonesia. Chikungunya adalah suatu
jenis penyakit menular yang disebabkan oleh virus Chikungunya (CHIK)
termasuk dalam genus Alphavirus dari famili Togaviridae. Penyebaran virus
Chikungunya bisa ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus sebagai vektor potensial dalam penyebaran Chikungunya (Depkes,
2007).
Chikungunya merupakan suatu penyakit dimana keberadaannya sudah ada
sejak lama tetapi kemudian merebak kembali (re-emerging disease). Dari
sejarahnya, diduga penyakit Chikungunya pertama kali ditemukan di dunia tahun
1952 di Afrika pada suatu tempat yang dinamakan Makonde Plateau. Tempat ini
merupakan daerah perbatasan Tanzania and Mozambique, kemudian terjadi di
Uganda tahun 1963. Dari tahun 1952 sampai kini virus telah tersebar luas di
daerah Afrika, menyebar ke Amerika dan Asia. Virus Chikungunya menjadi
endemis di wilayah Asia Tenggara sejak tahun 1954. Pada akhir tahun 1960 virus
Angka insidensi di Indonesia sangat terbatas. Di Indonesias, KLB
Chikungunya dilaporkan dan tercatat pertama kali di Samarinda pada tahun 1973.
Sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1983, suatu rentetan epidemi CHIK terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan attack rate sekitar 70 – 90%.
Dalam kurun waktu 5 tahun (2001 – 2005) kasus Chikungunya telah menyebar ke
11 Provinsi, yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam, DKI Jakarta, Jawa Barat,
Banten, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Barat, dengan
jumlah kasus sebanyak 12.695 penderita, yang tersebar di 38 kabupaten/kota,
90 kecamatan dan 134 desa/kelurahan. Pada tahun 2007 di Jawa Tengah, KLB
Chikungunya yang ditemukan di 85 desa/kelurahan merupakan KLB dengan
frekuensi tertinggi ketiga dengan angka serangan kasus (AR) 0,86% dan tidak ada
yang meninggal (Depkes, 2007).
Selama tahun 2008, di Indonesia terjadi KLB Chikungunya di beberapa
provinsi, ditemukan di Jawa Barat (718 kasus), Jawa Tengah (26 kasus) dan Jawa
Timur (368 kasus). di Kalimantan (32 kasus), di Lampung (99 kasus) dan di
Sumatera Selatan (581 kasus) serta di Sumatera Utara tercatat (444 kasus)
(Aditama, 2009).
Penyebaran Chikungunya di Indonesia terjadi pada daerah endemis
penyakit demam berdarah dengue karena vektor pembawa virus ditularkan oleh
nyamuk yang sama yaitu Aedes aegypti dan Aedes albopictus. KLB sering terjadi
berbahaya sekali karena bisa mempengaruhi peningkatan kejadian Chikungunya
dan juga kedekatan tempat perindukan nyamuk tersebut dengan tempat tinggal
manusia merupakan faktor risiko terjadinya Chikungunya (Depkes, 2007).
Di Propinsi Aceh, Chikungunya masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat karena berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan, dimana KLB
Chikungunya pernah dilaporkan pada tahun 2001 kemudian hilang dan muncul
kembali pada tahun 2009. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Propinsi Aceh,
bulan Agustus tahun 2009 penderita Chikungunya mencapai 3.355 kasus
di seluruh kabupaten/kota. Angka tertinggi terdapat di Kabupaten Aceh Tamiang
dengan jumlah 1.200 kasus, menyusul berikutnya Kabupaten Aceh Timur dengan
jumlah 1.100 kasus. Sementara di Kabupaten Pidie Jaya tercatat 128 kasus,
di Lhokseumawe 212 kasus dan di Kabupaten Aceh Utara 715 kasus tanpa ada
laporan kematian (Dinkes Propinsi Aceh, 2009).
Pada tahun 2010, di Aceh Subulussalam ditemukan kasus Chikungunya
sebanyak 20 kasus, dimana prevalens rate 1,68 per 1000 penduduk dan pada tahun
2011, di Kabupaten Aceh Utara ditemukan kasus Chikungunya sebanyak
132 kasus dengan prevalens rate 0,27 per 1000 penduduk dan tidak ada yang
meninggal. Sedangkan pada tahun 2012 di Kabupaten Bireuen ditemukan kasus
Chikungunya sebanyak 123 kasus dengan prevalens rate 0,30 per 1000 penduduk
Pada bulan November – Desember tahun 2012, berdasarkan laporan
Puskesmas Nisam, ditemukan kasus Chikungunya sebanyak 34 kasus tanpa ada
laporan kematian, sebagian besar kasus berumur ≥ 18 tahun yaitu 25 kasus
(74%). Dengan perbandingan penderita Chikungunya antara laki-laki dan
perempuan yaitu 13 kasus (38%) dan 21 kasus (62%). Dengan ditemukannya
kasus baru Chikungunya tersebut, dikhawatirkan dapat memperburuk keadaan
karena daerah tersebut termasuk daerah endemis Demam Berdarah Dengue
(DBD) yang tiap tahunnya terjadi kasus DBD sehingga perlu mendapat perhatian
dalam upaya penanggulangan (Puskesmas Nisam, 2012).
Kasus Chikungunya yang ditemukan di Kecamatan Nisam Kabupaten
Aceh Utara walaupun tidak menyebabkan kematian akan tetapi angka kesakitan
cukup tinggi karena kondisi lingkungan yang mendukung sehingga menimbulkan
keresahan di masyarakat. Masyarakat menjadi cemas karena penyebaran
Chikungunya yang cepat, dalam waktu singkat bisa menyerang banyak orang
disertai dengan keluhan nyeri sendi yang hebat sehingga mengakibatkan
penduduk mengalami kelumpuhan sementara dan produktivitas kerja menurun
yang akhirnya berdampak pada faktor ekonomi masyarakat (Depkes, 2008).
Dalam setiap masalah kesehatan termasuk dalam upaya pemberantasan
Chikungunya bahwasanya faktor lingkungan dan perilaku senantiasa sangat
berperan penting khususnya dalam upaya pencegahan penyakit. Selain kegiatan
pemberantasan sarang nyamuk, upaya pengendalian vektor dalam mencegah
dengan nyamuk dewasa dan dengan memperhatikan faktor kebiasaan keluarga
antara lain; kebiasaan tidur siang, penggunaan kelambu siang hari, pemakaian anti
nyamuk siang hari dan kebiasaan menggantung pakaian bekas pakai yang bisa
diubah ataupun disesuaikan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kasus
Chikungunya terhadap salah satu anggota keluarga.
Penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kasus
Chikungunya pada KLB yang dilakukan oleh Rumatora (2011) di Dusun
Mentubang Desa Harapan Mulia Kabupaten Kayong Utara. Hasil penelitian
diperoleh dua faktor berhubungan dengan kejadian Chikungunya, yaitu kebiasaan
menggunakan kelambu dan kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar.
Variabel yang paling dominan pada kejadian Chikungunya adalah kebiasaan
menggunakan kelambu.
Harahap (2012), dalam penelitiannya menyatakan bahwa pengetahuan,
sikap dan peran petugas kesehatan berhubungan terhadap pemberantasan sarang
nyamuk Chikungunya melalui metode PSN. Variabel yang paling dominan adalah
peran petugas kesehatan.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang
pengaruh lingkungan rumah dan perilaku masyarakat terhadap kejadian
1.2. Permasalahan
Angka kejadian Chikungunya yang terjadi di Kecamatan Nisam
merupakan suatu fenomena yang harus diketahui secara pasti tentang berbagai
faktor risiko yang memengaruhi kejadian Chikungunya. Ada beberapa faktor
risiko yang berhubungan dengan kejadian Chikungunya diantaranya adalah
kondisi lingkungan rumah dan perilaku masyarakat dalam pengendalian penyakit
tersebut.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh lingkungan rumah
(kerapatan dinding, kawat kasa pada ventilasi, langit-langit rumah, tempat
penampungan air (TPA), kelembaban) dan perilaku masyarakat (pengetahuan,
sikap, tindakan) terhadap kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten
Aceh Utara.
1.4. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh lingkungan rumah
(kerapatan dinding, kawat kasa pada ventilasi, langit-langit rumah, tempat
penampungan air, kelembaban) dan perilaku masyarakat (pengetahuan, sikap,
tindakan) terhadap kejadian Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat ke berbagai
pihak antara lain:
1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara dan Puskesmas Nisam sebagai
bahan masukan dalam meningkatkan penyuluhan komunikasi, informasi dan
edukasi (KIE) dan juga sebagai bahan referensi dalam penyusunan program
pengendalian Chikungunya.
2. Bagi masyarakat, sebagai informasi mengenai pentingnya upaya pengendalian
Chikungunya terhadap lingkungan di tempat tinggal mereka.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan tentang
Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri yang berkaitan dengan kejadian
Chikungunya di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara.
4. Bagi penelitian selanjutnya, hasil penelitian diharapkan dapat menambah
sumber kepustakaan dan sebagai data dasar dalam melakukan penelitian sejenis
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Chikungunya
2.1.1. Definisi Chikungunya
Chikungunya adalah sejenis demam virus yang disebabkan alphavirus
yang disebarkan oleh gigitan nyamuk dari spesies Aedes aegypti. Namanya berasal
dari sebuah kata dalam bahasa Swahili yang berarti “yang melengkung ke atas”
merujuk kepada tubuh yang membungkuk akibat gejala-gejala arthritis (Anies,
2006).
Chikungunya adalah penyakit mirip demam dengue yang disebabkan oleh
virus Chikungunya dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
africanus. Chikungunya dalam bahasa Swahili berarti kejang urat. Istilah lain
penyakit ini adalah dengue, dyenge, abu rokap dan demam tiga hari. Penyakit ini
ditandai dengan demam, mialgia atau artralgia, ruam kulit, leukopenia dan
imfadenopati karena vektornya nyamuk maka Chikungunya tergolong
arthropod-borne disease yaitu penyakit yang disebabkan oleh artropoda
(Widoyono, 2008).
Menurut Soedarto (2009), Chikungunya adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh virus Chikungunya yang menimbulkan gejala mirip demam
dengue tetapi jarang menyebabkan pendarahan. Penderita mengeluh nyeri hebat
dikenal sebagai flu tulang. Chikungunya ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti
vektor utama dan Aedes albopictus vektor potensial.
Chikungunya adalah penyakit yang mirip dengan Dengue hemorrhagic
fever. Penyakit ini diidentifikasi dengan timbulnya panas yang disertai arthritis
(radang sendi) yang terjadi pertama pada pergelangan tangan, lutut, pergelangan
kaki dan sendi kecil pada ekstremitas yang berlangsung selama beberapa hari
sampai bulanan (Sarudji, 2010).
2.1.2. Etiologi dan Patogenesis
Virus Chikungunya adalah virus yang termasuk dalam genus virus alfa
dari family Togaviridae. Virus ini berbentuk sferis dengan ukuran diameter
sekitar 42 nm. Virus Chikungunya bersama dengan virus O’nyong-nyong dari
genus virus alfadan virus penyebab penyakit „Demam Nil Barat‟ dari genus virus
flavi menyebabkan gejala penyakit mirip dengue.
Sebelum menyerang manusia 200 – 300 tahun yang lalu, virus ini telah
menyerang primata di hutan dan padang Savana di Afrika. Hewan primata yang
sering terjangkit adalah baboon (Papio sp) dan Cercopithecus sp. Siklus di hutan
diantara satwa primata dilakukan oleh Aedes sp (Widoyono, 2008).
Menurut Soedarto (2009), virus penyebab Chikungunya termasuk
kelompok virus RNA yang mempunyai selubung merupakan anggota grup A
arbovirus, yaitu alphavirus dari Togaviridae. Dengan mikroskop elektron virus
Penyebaran virus Chikungunya tersebar luas di Afrika, Asia Selatan dan Asia
Tenggara. Vektor utama penular Chikungunya adalah nyamuk Aedes aegypti,
sedangkan sumber penularan adalah manusia dan primata.
2.1.3. Gejala Klinis
Masa inkubasi 3 – 5 hari. Permulaan penyakit biasanya; tiba-tiba timbul
panas tinggi, sakit kepala, nyeri otot, nyeri persendian dan timbul bercak
pendarahan (rash). Nyeri sendi pada penderita dewasa umumnya lebih berat
daripada anak-anak. Sendi bekas trauma lebih mudah diserang. Sendi yang
diserang Chikungunya, bengkak dan nyeri bila ditekan. Tanda-tanda peradangan
sendi lain biasanya tidak ditemukan. Rash kulit biasa ditemukan pada permulaan
sakit tetapi biasa juga timbul beberapa hari kemudian. Rash seringnya ditemukan
pada badan dan anggota Limpa dan Liver biasanya tidak teraba (Yatim, 2007).
Demam Chikungunya atau flu tulang (break-bone fever) mempunyai
gejala dan keluhan penderita mirip demam dengue, namun lebih ringan dan jarang
menimbulkan pendarahan. Keluhan utama yang dialami penderita adalah artralgia
yang merasakan nyeri pada tulang-tulang. Selain itu pembuluh konjungtiva mata
penderita tampak nyata dan disertai demam mendadak selama 2 – 3 hari.
Pemeriksaan serum penderita pada uji hemaglutinasi inhibisi atau uji netralisasi
menunjukkan tingginya titer antibodi terhadap virus Chikungunya (Soedarto,
2009).
Menurut Widoyono (2008), masa inkubasi Chikungunya adalah 1 – 6 hari.
ruam kulit dan limfadenopati, artralgia, mialgia atau arthritis yang merupakan
tanda dan gejala khas Chikungunya. Penderita dapat mengeluhkan nyeri atau ngilu
bila berjalan kaki karena serangan pada sendi-sendi kaki. Dibandingkan dengan
DBD, gejala Chikungunya muncul lebih dini. Perdarahan jarang terjadi, diagnosis
ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan laboratorium yaitu adanya antibodi
IgM dan IgG dalam darah.
2.1.4. Cara Penularan
Penularan Chikungunya dapat terjadi bila penderita yang mengandung
virus Chikungunya digigit nyamuk penular maka virus dalam darah akan ikut
terisap masuk dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak
diri dan tersebar diberbagai jaringan tubuh nyamuk didalam kelenjar liurnya.
Kira-kira 1 minggu setelah menghisap darah penderita (extrinsic incubation
period), nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain. Virus ini akan
tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya sehingga selain menjadi
vektor juga menjadi reservoir dari virus Chikungunya (Depkes, 2001).
Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit (menusuk),
sebelum nyamuk menghisap darah akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat
tusuknya (proboscis) agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersama air liur
inilah virus Chikungunya dipindahkan dari nyamuk ke orang lain. Seseorang yang
telah terinfeksi oleh virus Chikungunya melalui gigitan nyamuk akan mengalami
(5 – 7 hari). Penderita yang dalam masa viremia inilah yang dapat menularkan
Chikungunya ke orang lain selama terdapat vektor penular penyakit (Depkes,
2001).
Faktor-faktor yang memegang peranan dalam penularan infeksi virus
Chikungunya yaitu manusia, vektor perantara dan lingkungan. Virus Chikungunya
ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus, nyamuk lain mungkin bisa berperan sebagai vektor namun perlu
penelitian lebih lanjut. Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus tersebut dapat
mengandung virus Chikungunya pada saat menggigit manusia yang sedang
mengalami viremia yaitu 2 hari sebelum demam sampai 5 hari setelah demam
timbul kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembangbiak dalam waktu
8 – 10 hari (extrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit
(Depkes, 2001).
2.1.5. Diagnosis Pasti dan Banding
Diagnosis Chikungunya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan laboratorium. Dari anamnesis ditemukan keluhan demam,
nyeri sendi, nyeri otot, sakit kepala, rasa lemah, mual, muntah, fotofobia serta
daerah tempat tinggal penderita yang berisiko terkena Chikungunya. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya ruam makulopapuler, limfadenopati
servikal dan injeksi konjungtiva. Pada pemeriksaan hitung lekosit, beberapa
menurun sedang dan laju endap darah akan meningkat. C-reactive protein positif
pada kasus-kasus akut (Eppy, 2010).
Berbagai pemeriksaan laboratorium tersedia untuk membantu menegakkan
diagnosis seperti isolasi virus dari darah, tes serologi klasik seperti uji hambatan
aglutinasi/HI, complement fixation/CF dan serum netralisasi; tes serologi modern
dengan teknik IgM capture ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay); teknik
super modern dengan pemeriksaan PCR serta teknik yang paling baru dengan
RT-PCR (2002). Dengan menggunakan tes serologi klasik diagnosis sangat
tergantung pada penemuan peningkatan titer antibodi sesudah sakit. Biasanya
pada serum yang diambil saat hari ke-5 demam tidak ditemukan antibodi HI, CF
ataupun netralisasi. Antibodi netralisasi dan HI baru ditemukan pada serum yang
diambil saat 2 minggu atau lebih sesudah serangan panas timbul. Diagnosis yang
akurat dapat diperoleh dari serum yang sudah diambil sesudah sakit dengan
metode IgM capture ELISA. Isolasi virus dapat dibuat dengan menyuntikkan
serum akut dari kasus tersangka pada mencit atau kultur jaringan. Diagnosis pasti
adanya infeksi virus Chikungunya ditegakkan bila didapatkan salah satu hal antara
lain: 1) Peningkatan titer antibodi 4 kali lipat pada uji hambatan aglutinasi (HI);
2) Virus Chikungunya (CHIK) pada isolasi virus; 3) IgM capture ELISA.
Viral arthropaty dapat diketahui dan dijumpai pada beberapa infeksi virus
seperti dengue, Mayora (Mayora fever, Uruma fever), Ross River, Sindbiss
banding dari penyakit Chikungunya. Diagnosis banding Chikungunya yang paling
mendekati adalah demam dengue atau demam berdarah dengue (Soegijanto,
2004).
2.1.6. Pengobatan
Chikungunya pada dasarnya bersifat self limiting disease artinya penyakit
yang dapat sembuh dengan sendirinya. Hingga saat ini, belum ada vaksin maupun
obat khusus untuk Chikungunya, oleh karenanya pengobatan ditujukan untuk
mengatasi gejala yang mengganggu (simtomatis). Obat-obatan yang dapat
digunakan adalah obat antipiretik, analgetik (non-aspirin analgetik; non steroid
anti inflamasi drug parasetamol, antalgin, natrium diklofenak, piroksikam,
ibuprofen, obat anti mual dan muntah adalah dimenhidramin atau
metoklopramid). Aspirin dan steroid harus dihindari. Terapi lain disesuaikan
dengan gejala yang dirasakan (Soedarto, 2007).
Bagi penderita dianjurkan untuk makan makanan yang bergizi, cukup
karbohidrat terutama protein serta minum sebanyak mungkin. Memperbanyak
konsumsi buah-buahan segar, sebaiknya minum jus buah segar. Vitamin
peningkat daya tahan tubuh dapat bermanfaat untuk menghadapi penyakit ini.
Selain vitamin, makanan yang mengandung cukup banyak protein dan karbohidrat
juga meningkatkan daya tahan tubuh. Daya tahan tubuh yang baik dan istirahat
cukup bisa membuat rasa ngilu pada persendian cepat hilang. Disarankan juga
2.2. Nyamuk Penular Chikungunya 2.2.1. Klasifikasi Nyamuk
Nyamuk yang menjadi vektor penular Chikungunya adalah nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus. Aedes aegypti yang paling berperan utama (primary
vector) dalam penularan Chikungunya karena nyamuk tersebut hidup di dalam
dan sekitar tempat tinggal manusia sehingga banyak kontak dengan manusia.
Aedes aegypti adalah spesies nyamuk yang hidup di dataran rendah beriklim
tropis sampai sub tropis (Anggraeni, 2010).
Menurut Richard dan Davis (1977) dalam Soegijanto (2006), kedudukan
nyamuk Aedes aegypti dalam klasifikasi hewan adalah sebagai berikut:
Filum : Arhropoda
Kelas : Insecta
Bangsa : Diptera
Suku : Culicidae
Marga : Aedes
Jenis : Aedes aegypti L
2.2.2. Morfologi Nyamuk
Nyamuk Aedes aegypti berukuran lebih kecil dibandingkan dengan
rata-rata nyamuk lain. Ukuran badan 3 – 4 mm, berwarna hitam dengan hiasan
bintik-bintik putih di badannya dan pada kakinya warna putih melingkar. Nyamuk
telur. Telur nyamuk Aedes aegypti diletakkan induknya menyebar berbeda dengan
telur nyamuk lain yang dikeluarkan berkelompok. Nyamuk bertelur di air bersih.
Telur menjadi pupa beberapa minggu. Nyamuk Aedes aegypti bila terbang hampir
tidak berbunyi sehingga manusia yang diserang tidak mengetahui kehadirannya,
menyerang dari bawah atau dari belakang dan terbang sangat cepat. Telur nyamuk
Aedes aegypti dapat bertahan lama dalam kekeringan. Nyamuk Aedes aegypti
dapat tahan dalam suhu panas dan kelembaban tinggi (Widoyono, 2008).
2.2.3. Siklus Hidup Nyamuk
Siklus hidup nyamuk adalah proses perkembangbiakan dan pertumbuhan
nyamuk mulai dari telur, jentik, kepompong sampai dengan dewasa. Siklus hidup
nyamuk dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti/Aedes albopictus
Sumber : Anggraeni, 2010
Nyamuk dewasa
Pupa (Kepompong) 1 – 2 hari
1 – 2 hari 5 – 7 hari
Telur
a. Telur
Menurut Anggraeni (2010), nyamuk Aedes aegypti meletakkan telur pada
permukaan air yang bersih atau menempel pada dinding tempat penampung air
secara individual. Telur berbentuk elips berwarna hitam dengan panjang 0,50 mm.
Telur Aedes aegypti tahan kekeringan dan dapat bertahan hingga 1 bulan dalam
keadaan kering. Jika terendam air, telur dapat menetas menjadi jentik. Telur
menetas dalam 1 sampai 2 hari.
b. Jentik
Pada jentik sangat membutuhkan air yang cukup untuk perkembangannya.
Kondisi jentik saat berkembang dapat memengaruhi kondisi nyamuk dewasa yang
dihasilkan. Sebagai contoh, populasi jentik yang meledak sehingga kurang
ketersediaan makanannya akan menghasilkan nyamuk dewasa yang cenderung
lebih rakus dalam menghisap darah. Ada 4 (empat) instar atau tahapan
perkembangan jentik tersebut yaitu: Instar I berukuran paling kecil yaitu
1 – 2 mm; 2) Instar II 2,5 – 3,8 mm; 3) Instar III berukuran besar sedikit dari
larva instar II; 4) Instar IV berukuran paling besar 5 mm. Setelah mencapai instar
ke-4, jentik berubah menjadi pupa dalam 5 sampai 7 hari.
c. Pupa
Pupa berbentuk seperti „koma‟. Bentuknya lebih besar namun lebih
ramping dibanding jentiknya. Pupa berukuran lebih kecil jika dibandingkan
Perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan waktu
7 hingga 8 hari, namun dapat lebih lama jika kondisi lingkungan tidak
mendukung.
d. Nyamuk dewasa
Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata
nyamuk lain dan mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada
bagian badan dan kaki. Sesaat setelah menjadi dewasa, nyamuk akan segera kawin
dan nyamuk betina yang telah dibuahi akan mencari makan dalam waktu
24 sampai 36 jam. Darah merupakan sumber protein terpenting untuk pematangan
telur (Depkes, 2005).
2.2.4. Bionomik Vektor
Bionomik vektor adalah kesenangan memilih tempat perindukan (breeding
place), kesenangan menggigit (feeding habit), kesenangan tempat hinggap
istirahat (resting place) dan jangkauan terbang (flight range) (Depkes, 2007).
a. Tempat Perindukan (Breeding Place)
Tempat perindukan nyamuk ini berupa genangan-genangan air yang
tertampung di suatu wadah yang biasa disebut kontainer dan bukan pada
genangan-genangan air di tanah. Pada waktu survai larva/jentik, kontainer
dibedakan: 1) Tempat penampungan air (TPA) yaitu tempat-tempat untuk
menampung air guna keperluan sehari-hari seperti: drum, tempayan, bak mandi,
bak WC, ember dan lain-lain; 2) Bukan tempat penampungan air (TPA) yaitu
seperti: tempat minum hewan piaraan (ayam, burung dan lain-lain), barang bekas
(kaleng, ban, botol, pecahan gelas dan lain-lain), vas kembang, perangkap semut,
penampungan air dispenser dan sebagainya; 3) Tempat penampungan air buatan
alam (alamiah/natural) seperti: lubang pohon, lubang batu, pelepah daun,
tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon pisang, potongan bambu dan
lain-lain (Depkes, 2007).
Tempat kebiasaan bertelur dari kedua vektor nyamuk Chikungunya agak
berbeda. Untuk Aedes aegypti, tempat yang disenangi untuk bertelur adalah
di Tempat Penampungan Air (TPA) yang jernih dalam rumah dan yang terlindung
dari sinar matahari seperti bak di kamar kecil (WC), bak mandi, tandon air
minum, ember, tempayan, drum dan sejenisnya. Penampungan ini biasanya
dipakai untuk keperluan rumah tangga sehari-hari, sedangkan Aedes albopictus
lebih senang bertelur pada tempat penampungan air yang berada di luar rumah
seperti kaleng, botol, ban bekas yang di buang, lubang pohon, lekukan tanaman,
potongan batang bambu dan buah kelapa yang sudah terbuka. Penampungan ini
bukan dipakai untuk keperluan rumah tangga sehari-hari, hal itu sesuai dengan
sifat Aedes aegypti yang mempunyai kecenderungan sebagai nyamuk rumah dan
Aedes albopictus yang merupakan nyamuk luar rumah (Sutaryo, 2004).
b. Kebiasaan Menggigit (Feeding Habit)
Nyamuk Aedes aegypti bersifat antropofilik yang berarti lebih menyukai
Aedes albopictus merupakan penghisap darah yang acak dan lebih zoofagik
(WHO, 2005).
Untuk mendapatkan inangnya, nyamuk aktif terbang pada pagi hari, yaitu
sekitar pukul 08.00 – 10.00 dan sore hari 15.00 – 17.00. Nyamuk yang aktif
menghisap darah adalah yang betina untuk mendapatkan protein. Protein tersebut
digunakan untuk keperluan produksi dan proses pematangan telur. Tiga hari
setelah menghisap darah, nyamuk betina menghasilkan telur sampai 100 butir
telur kemudian siap diletakkan pada media (Suroso, 2003).
Menurut Depkes (2007), kebiasaan menggigit dari Aedes aegypti pada
pagi hingga sore hari yaitu pada pukul 08.00 – 12.00 dan 15.00 – 17.00 lebih
banyak menggigit di dalam rumah dari pada di luar rumah. Nyamuk ini sangat
menyukai darah manusia dan biasanya menggigit berulang kali, hal ini disebabkan
pada siang hari orang sedang aktif sehingga nyamuk yang mengigit seseorang
belum tentu kenyang. Orang tersebut sudah bergerak, nyamuk terbang menggigit
orang lagi sampai cukup darah untuk pertumbuhan dan perkembangan telurnya.
c. Tempat Istirahat (Resting Place)
Tempat yang disayangi nyamuk untuk beristirahat selama menunggu
bertelur adalah tempat yang gelap, lembab dan sedikit angin. Aedes aegypti lebih
menyukai tempat yang gelap, lembab dan tersembunyi di dalam rumah atau
bangunan sebagai tempat peristirahatannya termasuk di kamar tidur, di kamar
mandi maupun di dapur. Nyamuk ini jarang ditemukan di luar rumah, di tanaman
disukai nyamuk adalah di bawah perabotan, benda-benda yang bergantung seperti
baju dan tirai serta dinding. Sementara nyamuk Aedes albopictus lebih menyukai
tempat di luar rumah yaitu hidup di lubang-lubang pohon, lekukan tanaman dan
kebun atau kawasan pinggir hutan. Oleh karena itu, Aedes albopictus sering
disebut nyamuk kebun (forest mosquito) (WHO, 2005).
Kebiasaan hinggap istirahat lebih banyak di dalam rumah yaitu pada
benda-benda yang bergantungan, berwarna gelap dan tempat-tempat lain yang
terlindung juga di dalam sepatu (Depkes, 2007).
d. Jarak Terbang (Flight Range)
Pergerakan nyamuk Aedes aegypti dari tempat perindukan ke tempat
mencari mangsa dan tempat istirahat ditentukan oleh kemampuan terbang
nyamuk. Jarak terbang (flight range) rata-rata nyamuk Aedes aegypti adalah
sekitar 100 m tetapi pada keadaan tertentu nyamuk ini dapat terbang sampai
beberapa kilometer dalam usahanya untuk mencari tempat perindukan untuk
meletakkan telurnya. Nyamuk Aedes albopictus jarak terbang berkisar antara
400 – 600 m (Soegijanto, 2006).
2.2.5. Ekologi Vektor
Ekologi vektor adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik
antara vektor dan lingkungannya. Lingkungan merupakan interaksi vektor penular
Chikungunya dengan manusia yang dapat mengakibatkan terjadinya
a. Lingkungan fisik
Lingkungan fisik adalah lingkungan sekeliling manusia yang terdiri dari
benda-benda yang tidak hidup (non living things) dan kekuatan-kekuatan fisik
lainnya. Dalam hal ini lingkungan fisik dapat menjadi enviromental reservoir dan
ikut berperan menentukan pola populasi nyamuk. Lingkungan fisik sebagai
berikut:
1. Jarak antara rumah
Jarak rumah memengaruhi penyebaran nyamuk dari satu rumah ke rumah
lain, semakin dekat jarak antara rumah semakin mudah menyebar ke rumah
sebelah. Bahan-bahan rumah, warna dinding dan pengaturan barang-barang dalam
rumah menyebabkan rumah tersebut disenangi atau tidak disenangi oleh nyamuk.
Berbagai penelitian penyakit menular membuktikan bahwa kondisi perumahan
yang berdesak-desakan dan kumuh mempunyai kemungkinan lebih besar
terserang penyakit (Depkes, 1998).
Penelitian Roose (2008), di Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru
menunjukkan bahwa ada hubungan jarak antar rumah ≤ 5 m memberikan
kontribusi dampak/risiko dengan kejadian DBD sebesar 1,79 kali dibanding
dengan jarak antar rumah > 5 m.
2. Macam kontainer
Macam kontainer disini antara lain: jenis/bahan kontainer, letak kontainer,
bentuk, warna, kedalaman air, tutup kontainer dan asal air memengaruhi nyamuk
3. Ketinggian tempat
Keadaan geografis seperti ketinggian memengaruhi penularan penyakit.
Nyamuk Aedes aegypti tidak menyukai ketinggian lebih dari 1000 m di atas
permukaan laut. Kadar oksigen juga memengaruhi daya tahan tubuh seseorang,
semakin tinggi letak pemukiman maka akan semakin rendah kadar oksigennya.
Dataran tinggi juga berhubungan dengan temperatur udara (Widoyono, 2008).
Nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan sub tropis.
Di Indonesia nyamuk ini tersebar luas baik di rumah-rumah maupun di
tempat-tempat umum. Nyamuk ini dapat hidup dan berkembangbiak sampai ketinggian
daerah ± 1.000 m dari permukaan air laut. Di atas ketinggian 1.000 m tidak dapat
berkembangbiak karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah
sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk tersebut (Depkes, 2005).
Tiap kenaikan 100 m maka selisih suhu udara tempat semula adalah 0,5oC.
Bila perbedaan tempat cukup tinggi maka perbedaan suhu udara juga cukup
banyak dan akan memengaruhi faktor-faktor lain seperti penyebaran nyamuk,
siklus pertumbuhan parasit di dalam tubuh nyamuk dan musim penularan
(Depkes, 2007).
4. Iklim
Iklim adalah salah satu komponen pokok lingkungan fisik yang terdiri dari
a. Suhu udara
Nyamuk termasuk binatang berdarah dingin karenanya proses-proses
metabolisme dan siklus kehidupannya tergantung pada suhu
lingkungannya. Nyamuk tidak dapat mengatur suhu tubuhnya. Suhu
rata-rata optimum untuk perkembangan nyamuk adalah 25°C – 27°C. Nyamuk
dapat bertahan hidup dalam suhu rendah tetapi proses metabolismenya
menurun atau bahkan berhenti bila suhu turun sampai di bawah suhu kritis
pada suhu yang sangat tinggi akan mengalami perubahan proses
fisiologinya.
Pertumbuhan nyamuk akan berhenti sama sekali bila suhu kurang dari
10ºC atau lebih dari 40ºC. Toleransinya terhadap suhu tergantung pada
spesies nyamuknya tetapi pada umumnya suatu spesies tidak akan tahan
lama bila suhu lingkungan meninggi 5ºC – 6ºC di atas, dimana spesies
secara normal dapat beradaptasi.
Kecepatan perkembangan nyamuk tergantung dari kecepatan proses
metabolisme sebagian diatur oleh suhu, oleh karena kejadian-kejadian
biologis tertentu seperti lamanya masa pradewasa, kecepatan pencernaan
darah yang dihisap, pematangan idung telur, frekuensi mencari makanan
atau menggigit dan lamanya pertumbuhan parasit di dalam tubuh nyamuk
b. Kelembaban udara
Menurut Gobler dalam Depkes (1998), umur nyamuk dipengaruhi oleh
kelembaban udara. Pada suhu 20ºC kelembaban nisbi 27% umur nyamuk
betina 101 hari dan umur nyamuk jantan 35 hari, kelembaban kurang dari
60% umur nyamuk akan menjadi pendek, tidak bisa menjadi vektor karena
tidak cukup waktu untuk perpindahan virus dari lambung ke kelenjar
ludah.
Menurut Depkes (2007), kelembaban udara adalah banyak uap air yang
terkandung dalam udara yang biasanya dinyatakan dalam persen (%).
Kelembaban udara yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan keadaan
rumah menjadi basah dan lembab yang memungkinkan
berkembangbiaknya kuman atau bakteri penyebab penyakit. Kelembaban
yang baik berkisar antara 40% – 70%. Pada keadaan ini nyamuk tidak
dapat bertahan hidup akibatnya umur nyamuk menjadi lebih pendek
sehingga nyamuk tersebut tidak cukup untuk siklus pertumbuhan parasit
di dalam tubuh nyamuk.
c. Curah hujan
Hujan akan menambah genangan air sebagai tempat perindukan dan
menambah kelembaban udara. Temperatur dan kelembaban selama musim
hujan sangat kondusif untuk kelangsungan hidup nyamuk yang terinfeksi
Hujan akan mempengaruhi naiknya kelembaban nisbi udara dan
menambah jumlah tempat perkembangbiakan. Curah hujan yang lebat
menyebabkan bersihnya tempat perkembangbiakan vektor, oleh karena
jentiknya hanyut dan mati. Kejadian penyakit yang ditularkan nyamuk
biasanya meninggi beberapa waktu sebelum musim hujan lebat. Pengaruh
hujan berbeda-beda menurut banyaknya hujan dan keadaan fisik daerah.
Terlalu banyak hujan akan menyebabkan kekeringan, mengakibatkan
berpindahnya tempat perkembangbiakan vektor tetapi keadaan ini akan
segera pulih cukup bila keadaan kembali normal. Curah hujan yang cukup
dengan jangka waktu lama akan memperbesar kesempatan nyamuk untuk
berkembangbiak secara optimal (Depkes, 2007).
d. Pencahayaan
Cahaya merupakan faktor utama yang memengaruhi nyamuk beristirahat
pada suatu tempat intensitas cahaya yang rendah dan kelembaban yang
tinggi merupakan kondisi yang baik bagi nyamuk intensitas cahaya
merupakan faktor terbesar yang memengaruhi aktivitas terbang nyamuk.
Intensitas pencahayaan untuk kehidupan nyamuk adalah < 60 lux (Depkes,
2007).
e. Kecepatan angin
Kecepatan angin secara langsung berpengaruh pada penguapan
(evaporasi) air dan suhu udara (konveksi), disamping itu angin
11 – 14 meter perdetik atau 25 – 31 mil per jam akan menghambat
penerbangan nyamuk. Dalam keadaan udara tenang mungkin suhu nyamuk
ada beberapa fraksi atau derajat lebih tinggi dari suhu lingkungan, bila ada
angin evaporasi baik dan konveksi baik maka suhu nyamuk akan turun
beberapa fraksi atau derajat lebih rendah dari suhu lingkungan
(Depkes, 2007).
b. Lingkungan biologik
Lingkungan biologik yang memengaruhi penularan Chikungunya adalah
banyaknya tanaman hias dan tanaman pekarangan yang mempengaruhi
pencahayaan dan kelembaban di dalam rumah dan halaman. Bila banyak tanaman
hias dan tanaman pekarangan, berarti akan menambah tempat yang disenangi oleh
nyamuk untuk hinggap istirahat dan juga menambah umur nyamuk (Soegijanto,
2003).
2.3. Lingkungan Rumah
2.3.1. Rumah Sehat dan Persyaratannya
Dalam UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman terdapat
istilah rumah, perumahan dan pemukiman. Rumah adalah bangunan yang
berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaaan keluarga,
sedangkan perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan
Pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung,
baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Menurut WHO dan American Public Health Association (APHA),
perumahan/pemukiman yang sehat harus memenuhi beberapa persyaratan antara
lain: (1) Syarat fisiologis, rumah yang dibangun harus dapat terpenuhi kebutuhan
fisik dasar dari penghuninya diantaranya adalah rumah tersebut harus terjamin
penerangannya yang dibedakan atas cahaya matahari dan lampu, rumah harus
mempunyai ventilasi yang sempurna sehingga aliran udara segar dapat terpelihara
dan rumah tersebut dibangun sedemikian rupa sehingga dapat dipertahankan suhu
lingkungan. (2) Syarat psikologis, rumah yang dibangun harus dapat terpenuhi
kebutuhan kejiwaan dasar dari penghuninya diantaranya adalah terjamin
berlangsungnya hubungan yang serasi antara anggota keluarga yang tinggal
bersama, tersedianya sarana yang memungkinkan dalam pelaksanaan pekerjaan
rumah tangga tanpa menimbulkan kelelahan yang berlebihan. (3) Mencegah
penularan penyakit, rumah yang dibangun harus dapat melindungi penghuni dari
penularan penyakit atau berhubungan dengan zat-zat yang membahayakan
kesehatan diantaranya adalah rumah tersebut di dalamnya tersedia air bersih yang
cukup, ada tempat pembuangan sampah dan tinja yang baik, terlindung dari
pengotoran terhadap makanan, tidak menjadi tempat bersarang binatang melata
yang dibangun harus dapat melindungi penghuninya dari kemungkinan terjadinya
bahaya kecelakaan, jadi rumah tersebut harus kokoh, terhindar dari bahaya
kebakaran, alat-alat listrik yang terlindungi dan juga terlindung dari kecelakaan
lalu lintas.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan R.I. No. 929/Menkes/SK/VII/1999
persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan meliputi parameter diantaranya
(Sarudji, 2010): (1) Lokasi, lokasi perumahan/pemukiman tersebut tidak terletak
pada daerah rawan bencana alam, tidak terletak pada daerah bekas tempat
pembuangan akhir (TPA) sampah atau bekas tambang dan tidak terletak pada
daerah rawan kecelakaan dan daerah kebakaran seperti jalur pendaratan
penerbangan. (2) Prasarana dan sarana lingkungan, meliputi adanya taman
bermain untuk anak, sarana rekreasi keluarga dengan konstruksi yang aman dari
kecelakaan, memiliki sarana drainase yang tidak menjadi tempat perindukan
vektor penyakit, memiliki sarana jalan lingkungan dengan ketentuan konstruksi
jalan tidak menganggu kesehatan, lampu penerangan jalan tidak menyilaukan,
tersedia cukup air bersih sepanjang waktu dengan kualitas air yang memenuhi
persyaratan kesehatan, pengelolaan pembuangan tinja dan air limbah rumah
tangga harus memenuhi persyaratan kesehatan, pengelolaan pembuangan sampah
rumah tangga harus memenuhi persyaratan kesehatan, memiliki akses terhadap
sarana pelayanan kesehatan, komunikasi, tempat kerja, tempat hiburan, tempat
menjamin tidak terjadi kontaminasi makanan yang dapat menimbulkan keracunan.
(3) Vektor penyakit, meliputi indeks lalat harus memenuhi syarat dan indeks
nyamuk di bawah 5%. (4) Kualitas udara, diantaranya suhu udara nyaman antara
18 – 300C dan kelembaban udara 40 – 70%.
Menurut Azwar (1996), rumah harus dibangun sedemikian rupa sehingga
melindungi penghuni dari kemungkinan terjadinya bahaya kecelakaan. Hal ini
perlu diperhatikan juga kondisi fisik rumah berkaitan dengan kejadian
Chikungunya terutama berkaitan dengan mudah atau tidaknya nyamuk masuk
ke dalam rumah adalah ventilasi yang tidak dipasang kawat kasa dapat
mempermudah nyamuk masuk ke dalam rumah.
Langit-langit atau pembatas ruangan dinding atas dengan atap yang terbuat
dari kayu, internit maupun anyaman bambu halus sebagai penghalang masuknya
nyamuk dilihat dari ada tidaknya langit-langit pada semua atau sebagian ruangan
rumah. Kualitas dinding yang tidak rapat bila terbuat dari anyaman bambu kasar
ataupun kayu/papan yang terdapat lubang lebih dari 1,5 mm2 akan mempermudah
nyamuk masuk ke dalam rumah (Darmadi, 2002).
Menurut Machfoed (2008), rumah berdasarkan bahan bangunannya terdiri
dari: 1) Rumah Non Permanen yaitu rumah yang terbuat dari bahan bangunan
kayu, bambu; 2) Rumah Semi Permanen yaitu rumah yang terbuat dari bahan
bangunan kayu dan campuran batu, pasir dan semen; 3) Rumah Permanen yaitu
rumah yang keseluruhan bahan bangunan terbuat dari campuran batu, pasir dan
2.4. Perilaku Kesehatan
Menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2012), perilaku kesehatan
pada dasarnya adalah suatu respons seseorang terhadap stimulus yang berkaitan
dengan sakit atau penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta
lingkungan yang diuraikan antara lain: a) Perilaku seseorang terhadap sakit dan
penyakit yaitu bagaimana manusia merespon baik secara pasif maupun secara
aktif (tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut;
b) Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan adalah respon seseorang terhadap
sistem kesehatan pelayanan kesehatan baik yang modern maupun yang
tradisional; c) Perilaku terhadap makanan adalah respon seseorang terhadap
makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan; d) Perilaku terhadap lingkungan
adalah respon terhadap lingkungan sebagai determinan.
Perilaku dalam penelitian ini adalah perilaku yang berhubungan dengan
kejadian Chikungunya. Perilaku kesehatan tersebut didasarkan pada 3 (tiga)
domain perilaku yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan.
2.4.1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi
melalui pancaindra manusia yakni indra penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh
seseorang. Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai tingkat yang
berbeda-beda termasuk dalam hal ini kemampuan masyarakat dalam menjaga
kesehatan individu dalam pencegahan terjadi keluhan penyakit maupun dalam
pengobatan. Pengetahuan tentang usaha-usaha kesehatan perseorangan untuk
memelihara kesehatan diri sendiri, memperbaiki dan mempertinggi nilai kesehatan
serta mencegah timbulnya penyakit. Pengetahuan dalam penelitian ini adalah
pengetahuan yang berkaitan dengan Chikungunya.
2.4.2. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak langsung dapat dilihat
tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Menurut
Newcomb yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), menyatakan bahwa sikap itu
merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan
pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas,
akan tetapi adalah predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap secara nyata
menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang
ada dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi bersifat emosional terhadap
stimulus sosial.
Menurut Wawan (2011), mengemukakan sikap dapat bersifat positif dan
dapat bersifat negatif. Pada sikap positif kecenderungan tindakan adalah
sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan menerima, menyetujui terhadap