KARAKTERISTIK PENDERITA SPONDILITIS TUBERKULOSIS
DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
PERIODE JANUARI 2010 – JUNI 2013
TESIS MAGISTER
OLEH:
MOHAMMAD SHAHREZA
PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERNYATAAN
KARAKTERISTIK PENDERITA SPONDILITIS TUBERKULOSIS
DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
PERIODE JANUARI 2010 – JUNI 2013
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 9 April 2015
PROFIL PENDERITA SPONDILITIS TUBERKULOSIS
DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PERIODE JANUARI 2010 – JUNI 2013
ABSTRAK
Tujuan: Untuk mengetahui profil / karakteristik penderita spondilitis tuberkulosis di RSUP H. Adam Malik pada kurun waktu Januari 2010 – Juni 2013.
Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif, dan data sekunder diambil dari rekam medis pasien dan dokumentasi pasien. Kriteria inklusi adalah semua pasien spondilitis tuberkulosis yang ditatalaksana di Departemen/SMF Orthopaedi dan Traumatologi FKUSU/RSUP H. Adam Malik Medan.
Hasil: Dari penelitian ini didapatkan 66 orang penderita. Setiap variabel diolah dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi, diagram dan persentase. Dilakukan juga tabel silang untuk menganalisis dan melihat proporsi beberapa variabel.
Kesimpulan: Pada penelitian ini, dijumpai penderita berjenis kelamin laki-laki 36 orang dan perempuan 30 orang. Penderita terbanyak adalah berusia 26 – 45 tahun (kategori usia dewasa menurut Depkes RI) yakni sebanyak 46%. Indeks massa tubuh penderita yang terbanyak adalah normoweight yakni sebanyak 67%. Dari seluruh penderita, lebih banyak penderita yang tidak pernah didiagnosa TB paru sebelumnya, yakni sebanyak 8%. Semua penderita tidak pernah didiagnosa tuberkulosis ekstra paru yang lain. Keluhan utama penderita yang terbanyak adalah nyeri (53%). Level keterlibatan tulang belakang yang terbanyak adalah lumbal (39,4%). Derajat frankel yang terbanyak adalah Frankel Excellent (tidak ada defisit neurologis), yakni sebanyak 47%. Dari seluruh penderita, lebih banyak penderita yang ditatalaksana secara non-operatif (59,09%).
PROFILE OF SPINAL TUBERCULOUS PATIENT IN H. ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL DURING JANUARY 2010 – JUNE 2013
ABSTRACT
Purpose: To acquire profile / characteristic of spinal tuberculous patient in H. Adam Malik General Hospital during January 2010 – June 2013.
Method: The design of this study is descriptive. The secondary data was obtained from medical record and patient documentation. Inclusion criteria ia all spinal tuberculous patient that was treated by the Department of Orthopaedic and Traumatology, USU Faculty of Medicine / H. Adam Malik General Hospital.
Result: From this study, 66 patients was obtained. Each of the variable is studied and served in the form of distribution table, diagram and percentage. Cross tabulation also done to analayze and see the proportion af certain variables.
Conclusion: In this study, 36 male and 30 female patients were found.. Most of the patients is in 36-45 years of age (adult criteria according to Ministry of Health), which is 46%. Most patients has a nomoweight body mass index, which is 67%. Most of the patients has never been diagnosed with lung tuberculosis before (8%), and oll of the paients have no other extra pulmonary tuberculosis. Most of the patients complain of pain (53%). The most involved spine is the lumbar spine (39,4). Most patients has no neurological deficit (47%), and most of them was treated non-operatively (59,09%).
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan pembuatan penelitian magister yang berjudul KARAKTERISITK PENDERITA SPONDILITIS TUBERKULOSIS DI RSUP H. ADAM MALIK PERIODE JANUARI 2010 – JUNI 2013.
Proposal ini merupakan rangkaian kegiatan akademis dalam rangka menyelesaikan pendidikan jenjang magister di Program Pendidikan Doketr Spesialis Ilmu Orthopaedi dan Traumatologi FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan.
Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para guru kami di Departemen Orthopaedi dan Traumatologi FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, yakni Prof. dr. Hafas Hanafiah, Sp.B, Sp.OT(K), FICS, Prof. dr. Nazar Moesbar, Sp.B, Sp.OT(K), dr. Chairiandi Siregar, Sp.OT, dr. Otman Siregar, Sp.OT(K), dr. Husnul Fuad Albar, Sp.OT, dr. Pranajaya Dharma Kadar, Sp.OT, dr. Aga Shahri Putera Ketaren, Sp.OT, dan dr. Heru Rahmadhany, Sp.OT, dr. Iman Dwi Winanto, Sp.OT.
Akhirnya, penulis menghrapkan kritik, saran dan masukan terhadap hasil penelitian magister ini.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Penulis,
Daftar Grafik
No Grafik Judul Grafik Hal.
Grafik 1 Distribusi jenis kelamin penderita spondilitis TB 28 Grafik 2 Distribusi usia penderita spondilitis TB 28 Grafik 3 Distribusi usia penderita spondilitis TB berdasarkan kategori
Departemen Kesehatan
29
Grafik 4 Distribusi jenis kelamin penderita spondilitis TB berdasarkan kelompok usia
29
Grafik 5 Distribusi indeks massa tubuh penderita spondilitis TB 30 Grafik 6 Distribusi indeks massa tubuh penderita berdasarkan usia 30 Grafik 7 Distribusi penderita berdasarkan pernah atau tidaknya
didiagnosis TB paru
31
Grafik 8 Distribusi penderita berdasarkan pernah atau tidaknya didiagnosis TB ekstra paru lainnya
31
Grafik 9 Proporsi keluhan utama penderita 32
Grafik 10 Proporsi keluhan utama penderita berdasarkan jenis kelamin 32
Grafik 11 Level Keterlibatan Tulang Belakang. 33
Grafik 12 Tabel silang antara level keterlibatan tulang belakang dengan keluhan utama pasien
33
Grafik 13 Proporsi derajat defisit neurologis penderita 34 Grafik 14 Grafik 14. Proporsi derajat defisit neurologis penderita
berdasarkan letak lesi
34
Grafik 15 Grafik 15. Proporsi tatalaksana penderita spondilitis TB 35 Grafik 16 Proporsi tatalaksana penderita spondilitis TB berdasarkan level
keterlibatan tulang belakang
35
Grafik 17 Proporsi tatalaksana penderita spondilitis TB berdasarkan level keterlibatan tulang belakang
36
PROFIL PENDERITA SPONDILITIS TUBERKULOSIS
DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PERIODE JANUARI 2010 – JUNI 2013
ABSTRAK
Tujuan: Untuk mengetahui profil / karakteristik penderita spondilitis tuberkulosis di RSUP H. Adam Malik pada kurun waktu Januari 2010 – Juni 2013.
Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif, dan data sekunder diambil dari rekam medis pasien dan dokumentasi pasien. Kriteria inklusi adalah semua pasien spondilitis tuberkulosis yang ditatalaksana di Departemen/SMF Orthopaedi dan Traumatologi FKUSU/RSUP H. Adam Malik Medan.
Hasil: Dari penelitian ini didapatkan 66 orang penderita. Setiap variabel diolah dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi, diagram dan persentase. Dilakukan juga tabel silang untuk menganalisis dan melihat proporsi beberapa variabel.
Kesimpulan: Pada penelitian ini, dijumpai penderita berjenis kelamin laki-laki 36 orang dan perempuan 30 orang. Penderita terbanyak adalah berusia 26 – 45 tahun (kategori usia dewasa menurut Depkes RI) yakni sebanyak 46%. Indeks massa tubuh penderita yang terbanyak adalah normoweight yakni sebanyak 67%. Dari seluruh penderita, lebih banyak penderita yang tidak pernah didiagnosa TB paru sebelumnya, yakni sebanyak 8%. Semua penderita tidak pernah didiagnosa tuberkulosis ekstra paru yang lain. Keluhan utama penderita yang terbanyak adalah nyeri (53%). Level keterlibatan tulang belakang yang terbanyak adalah lumbal (39,4%). Derajat frankel yang terbanyak adalah Frankel Excellent (tidak ada defisit neurologis), yakni sebanyak 47%. Dari seluruh penderita, lebih banyak penderita yang ditatalaksana secara non-operatif (59,09%).
PROFILE OF SPINAL TUBERCULOUS PATIENT IN H. ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL DURING JANUARY 2010 – JUNE 2013
ABSTRACT
Purpose: To acquire profile / characteristic of spinal tuberculous patient in H. Adam Malik General Hospital during January 2010 – June 2013.
Method: The design of this study is descriptive. The secondary data was obtained from medical record and patient documentation. Inclusion criteria ia all spinal tuberculous patient that was treated by the Department of Orthopaedic and Traumatology, USU Faculty of Medicine / H. Adam Malik General Hospital.
Result: From this study, 66 patients was obtained. Each of the variable is studied and served in the form of distribution table, diagram and percentage. Cross tabulation also done to analayze and see the proportion af certain variables.
Conclusion: In this study, 36 male and 30 female patients were found.. Most of the patients is in 36-45 years of age (adult criteria according to Ministry of Health), which is 46%. Most patients has a nomoweight body mass index, which is 67%. Most of the patients has never been diagnosed with lung tuberculosis before (8%), and oll of the paients have no other extra pulmonary tuberculosis. Most of the patients complain of pain (53%). The most involved spine is the lumbar spine (39,4). Most patients has no neurological deficit (47%), and most of them was treated non-operatively (59,09%).
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
Tuberkulosis masih menjadi salah satu penyakit paling mematikan di seluruh
dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat
lebih dari 8 juta kasus baru tuberkulosa dan lebih kurang 3 juta orang meninggal akibat
penyakit ini.1 Tuberkulosis sering dijumpai di daerah dengan penduduk yang padat,
sanitasi yang buruk dan malnutrisi.2 Walaupun manifestasi tuberkulosis biasanya
terbatas pada paru, penyakit ini dapat mengenai organ apapun, seperti tulang,traktus
genitourinarius dan sistem saraf pusat.3
Tuberkulosa tulang dan sendi merupakan 35% dari seluruh kasus tuberkulosa
ekstrapulmonal dan paling sering melibatkan tulang belakang
4
, yaitu sekitar 50% dari
seluruh kasus tuberkulosa tulang.5 Keterlibatan spinal biasanya merupakan akibat dari
penyebaran hematogen dari lesi pulmonal ataupun dari infeksi pada sistem
genitourinarius.
Percival Pott pertama kali menguraikan tentang tuberkulosa pada tulang
belakang pada tahun 1779. Destruksi pada diskus dan korpus vertebra yang berdekatan,
kolapsnya elemen spinal dan kifosis berat dan progresif kemudian dikenal sebagai
Pott’s disease. 6
6
Walaupun begitu tuberkulosa spinal telah diidentifikasi pada mumi di
Mesir sejak 3000 tahun sebelum masehi dengan lesi skeletal tipikal dan analisis DNA.
Spondilitis tuberkulosa memiliki distribusi di seluruh dunia dengan prevalensi
yang lebih besar pada negara berkembang. Tulang belakang adalah tempat keterlibatan
tulang yang paling sering, yaitu 5-15% dari seluruh pasien dengan tuberkulosis.
7
Spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit yang dianggap paling berbahaya
karena keterlibatan medula spinalis dapat menyebabkan gangguan neurologis. Daerah
lumbal dan torakal merupakan daerah yang paling sering terlibat, sedangkan insidensi
keterlibatan daerah servikal adalah 2-3%.
8
Defisit neurologis pada spondilitis tuberkulosa terjadi akibat pembentukan abses
dingin, jaringan granulasi, jaringan nekrotik dan sequestra dari tulang atau jaringan
diskus intervertebralis, dan kadang-kadang trombosis vaskular dari arteri spinalis.
Spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit kronik dan lambat berkembang
dengan gejala yang telah berlangsung lama. Riwayat penyakit dan gejala klinis pasien
adalah hal yang penting, namun tidak selalu dapat diandalkan untuk diagnosis dini.
Nyeri adalah gejala utama yang paling sering. Gejala sistemik muncul seiring dengan
perkembangan penyakit. Nyeri punggung persisten dan lokal, keterbatasan mobilitas
tulang belakang, demam dan komplikasi neurologis dapat muncul saat destruksi
berlanjut. Gejala lainnya menggambarkan penyakit kronis, mencakup malaise,
penurunan berat badan dan fatigue. Diagnosis biasanya tidak dicurigai pada pasien
tanpa bukti tuberkulosa ekstraspinal.
10
Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosa meliputi pemberian obat-obatan dan
juga dengan intervensi bedah. Dekompresi agresif, pemberian obat anti tuberkulosis
selama 9-12 bulan dan stabilisasi tulang belakang dapat memaksimalkan terjaganya
fungsi neurologis.
6,10
I.2. Rumusan Masalah 9
Dari latar belakang diatas, maka timbul permasalahan yang dapat dianalisis yaitu bagaimana gambaran karakteristik penderita spondilitis tuberkulosis di RSUP H. Adam Malik Medan periode Januari 2010 – Juni 2013.
I.3. Tujuan Penelitian
Tujuan Khusus:
1. Mengetahui karakteristik sosiodemografi (jenis kelamin, usia, tingkat
pendidikan) penderita
2. Mengetahui karakteristik indeks massa tubuh penderita
3. Mengetahui karakteristik riwayat penyakit tuberkulosis paru
4. Mengetahui karakteristik riwayat penyakit tuberkulosisb ekstra paru selain
spondilitis tuberkulosis
5. Mengetahui karakteristik keluhan utama penderita
6. Mengetahui karakteristik lokasi infeksi penderita
7. Mengetahui karakteristik defisit neuorologis penderita
8. Mengetahui karakteristik tatalaksana penderita
I.4. Manfaat Penelitian
I.4.1. Manfaat Teoritik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai spondilitis tuberkulosis, sehingga dapat menyadari pentingnya penanganan awal pada kasus spondilitis tuberkulosis.
I.4.2. Manfaat Praktik Langsung
I.4.3. Manfaat Bagi Peneliti
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Kerangka Teoritis
II.1.1. Definisi
Spondilitis tuberkulosa adalah suatu peradangan tulang vertebra yang
disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosa. 11
II.1.2. Insidensi
Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya
berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia
serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan
sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan sedang
berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih
menjadi masalah utama.
Berdasarkan data surveilans dan survei, WHO memperkirakan terdapat 9.27
juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2007 (139 per 100.000 populasi). Dari 9.27
kasus baru ini, diperkirakan 44% atau 4.1 juta (61 per 100.000 populasi) adalah kasus
baru dengan smear-positif. India, China, Indonesia, Nigeria dan Afrika Selatan
menduduki peringkat pertama hingga kelima dalam hal jumlah total insiden kasus.
Menurut laporan WHO tahun 2009, insidensi tuberkulosa di Indonesia pada tahun 2007
adalah 528.000 kasus atau 228 per 100.000 populasi per tahun. Dari jumlah ini, 236.000
merupakan kasus dengan smear positif atau 102 per 100.000. Prevalensi tuberkulosis di
Indonesia pada tahun 2007adalah 566.000 atau 244 per 100.000 populasi per tahun. 13
Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi
terjadi pada kurang lebih 10% kasus
14
13
, dan lebih kurang 50% kasus tuberkulosa tulang
mengalami defisit neurologis.6 Tulang belakang adalah daerah yang paling sering
terlibat, yaitu 50% dari seluruh kasus tuberkulosa tulang, 15% dari kasus tuberkulosa
ekstrapulmonal dan 3-5% dari seluruh kasus tuberkulosa.
Walaupun setiap tulang atau sendi dapat terkena, namun tulang yang
mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight bearing) dan mempunyai pergerakan
cukup besar (mobile) lebih sering terkena dibandingkan dengan bagian yang lain.
Tulang belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang,
diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki, sedangkan
tulang di lengan dan tangan jarang terkena.
15
13
Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah (umumnya T10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering terlibat
9,13
karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai maksimum, lalu diikuti dengan area servikal dan sakral.13 Insidensi keterlibatan daerah servikal adalah 2-3%.9 Pada penelitian oleh Androniku, et al (2002), terhadap 42 pasien spondilitis tuberkulosa, destruksi korpus vertebra paling sering melibatkan vertebra torakalis (83%), diikuti vertebra lumbal (23%) dan vertebra servikal (13%).
II.1.3. Patogenesa
8
Tuberkulosis biasanya memiliki pola seperti yang diuraikan oleh
Wallgreen, yang membagi perkembangan dan resolusi penyakit menjadi 4 tahap. Tahap
pertama, yang berlangsung dari 3 hingga 8 minggu setelah Mt yang terhirup tertahan di
alveoli, bakteri tersebar melalui sirkulasi limfatik ke kelenjar limfe regional di paru,
membentuk apa yang disebut sebagai kompleks Ghon atau kompleks primer. Pada saat
ini, terdapat konversi reaktivitas tuberkulin.12
Individu dengan tuberkulosa paru aktif mengeluarkan droplet yang mengandung
basil tuberkul yang dapat dihirup oleh individu lain (gambar 1). Jika droplet ini
memasuki ruang alveolar, sel dendritik paru dan makrofag akan menangkap
mikroorganisme. Beberapa makrofag yang terinfeksi akan tetap pada jaringan paru,
kelenjar limfe akan teraktivasi dan bermigrasi untuk mengenali fokus mycobacteria di
paru. Lesi granulomatosa terbentuk dan mengandung bakteri, mencegah perkembangan
penyakit. Pada pasien dengan imunokompeten, infeksi berhenti pada tahap ini. Walapun
begitu, kontrol infeksi tidak lengkap dan patogen tidak dimusnahkan, sehingga terdapat
risiko reaktivasi, bahkan bertahun-tahun setelah infeksi.19
Gambar 1. Infeksi, perjalanan penyakit dan mekanisme imun pada tuberkulosis
Dikutip dari : Kaufmann S H. New Issue in tuberculosis. Ann Rheum Dis. 2004 ;63(Suppl II) : ii50-ii56)
Tahap kedua, berlangsung selama 3 bulan, ditandai oleh penyebaran bakteri
secara hematogen ke berbagai organ; pada saat ini pada beberapa individu, dapat terjadi
penyakit akut dan kadang-kadang fatal, dalam bentuk meningitis tuberkulosa atau
tuberkulosa milier. Inflamasi pada pleura dapat terjadi pada tahap ketiga, yang
berlangsung 3 hingga 7 bulan dan menyebabkan nyeri dada berat, namun tahap ini dapat
berlangsung hingga 2 tahun. Tahap akhir atau resolusi kompleks primer, dimana
penyakit ini tidak berkembang, dapat berlangsung hingga 3 tahun. Pada tahap ini, lesi
ekstrapulmonal yang lebih perlahan berkembang, misalnya pada tulang dan sendi, yang
Spondilitis tuberkulosa biasanya terjadi akibat penyebaran hematogen atau
penyebaran langsung dari nodus limfatikus paraorta atau melalui jalur limfatik ke tulang
dari fokus infeksi tuberkulosa ekstraspinal.13,21 Sumber infeksi yang paling sering
adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius.
Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri interkostalis atau lumbal yang
memberikan suplai darah ke dua vertebra yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah
vertebra di atasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batson’s
yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang
terkena.
13
Lesi mendasar pada spondilitis tuberkulosa adalah kombinasi dari osteomielitis
dan artritis yang biasanya melibatkan lebih dari satu vertebra. Aspek anterior dari
corpus vertebra yang berdekatan dengan subchondral plate biasanya terkena.
Tuberkulosa dapat menyebar dari daerah tersebut ke diskus intervertebralis di dekatnya.
Pada orang dewasa, penyakit pada diskus terjadi sekunder akibat penyebaran infeksi
dari korpus vertebra. Pada anak-anak, karena vaskularisasinya, diskus dapat merupakan
tempat infeksi primer. 13,22
Seperti yang diuraikan sebelumnya, penyebaran basil tuberkulosa secara
hematogen merupakan hal utama dalam patogenesis spondilitis tuberkulosa.
Keterlibatan langsung dari suatu tempat paraspinal yang berdekatan jarang dijumpai.
Penyebaran vena retrograde melalui pleksus Batson’s, yang berjalan secara
subchondral pada korpus vertebra dan mengalirkan darah pada vena basivertebral di
tengah korpus vertebra, telah diusulkan, namun tampaknya kurang diterima. Hal yang
lebih umum diterima adalah bahwa penyebaran hematogen terjadi melalui jalur arteri.
Pada orang dewasa, korpus vertebra memiliki suplai arteri anterior dan posterior. Di
anterior, arteri lumbal, interkostal atau vertebra yang berdekatan bercabang menjadi
sepasang arteri segmental yang menembus ke korteks vertebra tanpa arteriol
anostomose. Di posterior, arteri spinal bercabang pada tiap foramen intervertebral dan
membentuk jaringan anastomotik kraniokaudal dengan level yang berdekatan. (gambar
2a). Arteri nutrien, yang mensuplai vertebra, bercabang menjadi end arterioles yang
berakhir ke aspek anterior dari vertebral end plates. Mycobacteria dapat terperangkap
mengganggu korteks dan menyebar ke celah diskus yang berdekatan (gambar 2c). Ini
menyebabkan sedikit penyempitan celah diskus, namun sangat minimal jika
dibandingkan dengan penyempitan diskus pada spondilitis piogenik. Seiring dengan
perkembangan infeksi, bagian lateral dan anterior dari korpus vertebra dapat hancur dan
menyebabkan kolaps angular. Penyebaran subligamentosa lebih lanjut di bawah
ligamen longitudinalis anterior menyebabkan perluasan kraniokaudal dari infeksi ke
multipel korpus vertebra yang berdekatan, dengan ciri destruksi tulang anterior.5
Gambar 2. Patogenesis Spondilitis Tuberkulosa
Dikutip dari : Vuyst D, Vanhoenacker F, Gielen J, et al. Imaging features of musculoskeletal tuberculosis. Eur Radiol. 2003 ; 13 : 1809-1819.
Terjadinya nekrosis perkijauan yang meluas mencegah pembentukan tulang baru
dan pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avaskular sehingga
menimbulkan tuberculous sequestra, terutama di regio torakal. Diskus intervertebralis
diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal ke dalam ruang diskus, hilangnya
tulang subchondral disertai dengan kolapsnya corpus vertebra karena nekrosis dan lisis
ataupun karena dehidrasi diskus,sekunder karena perubahan kapasitas fungsional dari
end plate. Suplai darah juga akan semakin terganggu dengan timbulnya end arteritis
yang menyebabkan tulang menjadi nekrosis.
Bersamaan dengan perubahan pada tulang, terdapat infeksi jaringan lunak
dengan pembentukan abses ’dingin’ paravertebral dan/atau keterlibatan epidural. Abses
paraspinal dapat menjadi sangat besar sehingga menekan struktur sekitarnya. 13
5
Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus. Dengan kolapsnya
korpus vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahan perkijuan, dan tulang
nekrotik akan menonjol keluar melalui korteks dan berakumulasi di bawah ligamentum
longitudinalis anterior.13 Pada kasus infeksi servikalis atas, abses paravertebral dapat
Gambar 3. Penyebaran basil tuberkel pada vertebra
McLain RF, Isada C. Spinal Tuberculosis Deserves A Place On The Radar Screen. Cleveland Clinic Journal of Medicine.2004; 71:537-49.
Infeksi Bakteri dan Patologi Tulang
Sejumlah bakteri, termasuk Mt, tampaknya terlibat dalam patologi tulang.
Terdapat tiga kemungkinan bagaimana bakteri menyebabkan hilangnya tulang yang
patologis yaitu : (1) bakteri secara langsung menghancurkan komponen nonseluler
tulang dengan membebaskan asam dan protease; (2) bakteri menyebabkan proses seluler
yang menstimulasi degradasi tulang, atau (3) bakteri menghambat sintesis matriks
tulang (gambar 4).23
Gambar 4. Komponen Bakteri dan Patologi Tulang
Nair S P, Meghi S, Wilson M, et al. Bacterially induced bone destruction : mechanisms and misconceptions. Infection and Immunity. 1997 ; 64 (7) : 2371-2380.
Mt pada tulang belakang tampaknya mengubah keseimbangan dinamis ini, menyebabkan hilangnya matriks ekstraseluler dari tulang vertebra dan kolaps vertebra. 24
Sekarang telah diketahui bahwa bakteri yang terlibat dalam penyakit tulang mengandung atau memproduksi molekul dengan efek poten terhadap sel tulang. Salah satu dari molekul ini adalah chaperonin, yang merupakan subgrup chaperones.
24
Chaperones atau protein stres atau heat-shock protein adalah protein yang disintesis sebagai respon terhadap stres. Chaperone terlibat dalam berbagai fungsi seluler esensial, seperti metabolisme, pertumbuhan, diferensiasi dan kematian sel terprogram, dan mempengaruhi aktivasi enzim dan reseptor. Salah satu subgrup chaperone, yaitu chaperonin , kini banyak menjadi fokus perhatian. Chaperonin terdiri dari dua kelompok protein, yaitu chaperonin 60 (cpn60) dan chaperonin 10 (cpn10).
Bukti menunjukkan bahwa molekul chaperone memiliki aksi biologis selain aktivitas untuk protein-folding intraseluler.
25
24
Aktivitas yang sangat poten dari cpn60 adalah resorpsi tulang. Hilangnya tulang adalah faktor kunci pada penyakit spondilitis tuberkulosa.25 Chaperonin60 adalah faktor osteolitik yang aktif. Telah dilaporkan bahwa cpn60 tertentu juga dapat menstimulasi sintesis sitokin. Penelitian terkini menunjukkan bahwa kerja dari cpn60 pada tulang mungkin disebabkan oleh aktivasi langsung osteoklas dan perekrutan osteoklas.
Dalam suatu studi ditemukan bahwa aktivitas resorpsi tulang dari Mt disebabkan oleh cpn10 yang sama aktifnya dengan sitokin osteolitik yang paling poten, interleukin-1. Chaperonin 10 dari Mt juga menghambat proliferasi dari osteoblas yang dikultur.
23
24
Selain menstimulasi penghancuran tulang secara in vitro dan pada kultur sel, cpn10 Mt juga menginduksi monosit secara invitro untuk mensintesa dan mensekresi sitokin pro-inflamasi.25 Cpn10 dipostulasikan sebagai komponen utama yang bertanggung jawab terhadap resorpsi tulang pada spondilitis tuberkulosa.
Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut
akan menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan
sehingga kemudian akan terjadi kolaps vertebra dan timbul deformitas berbentuk kifosis
(angulasi posterior) yang progresifitasnya tergantung dari derajat kerusakan,level lesi
dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila sudah timbul deformitas ini, maka hal tersebut
merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah meluas.
26
Deformitas kifosis disebabkan kolaps pada vertebra anterior. Suatu abses dingin
dapat terbentuk jika infeksi meluas ke ligamen dan jaringan lunak di dekatnya. 13
21 Di
lumbal hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbar lordosis dimana sebagian
besar dari berat badan akan ditransmisikan ke posterior sehingga terjadi parsial kolaps;
sedangkan di bagian servikal, kolaps hanya bersifat minimal.
Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul pada
pasien dengan spondilitis tuberkulosa.Kompresi syaraf sendiri dapat terjadi karena
kelainan pada tulang (kifosis) atau pada kanalis spinalis (karena perluasan langsung dari
infeksi granulomatosa) tanpa keterlibatan tulang. Kanalis spinalis dapat menyempit oleh
abses, jaringan granulasi atau invasi dura secara langsung, menyebabkan kompresi
medula spinalis dan defisit neurologis.
13,21
Fakta bahwa defisit neurologis sering dijumpai pada daerah servikal dapat
dijelaskan oleh diameter melintang kanalis spinalis yang relatif kecil terhadap diameter
medula spinalis servikalis. Gejala neurologis dapat disebabkan oleh satu atau lebih
penjelasan berikut : subluksasi vertebra, penekanan medula spinalis oleh tulang, diskus
atau abses, respon inflamasi lokal dan vaskulitis tuberkulosa. 13,27,28
9
II.1.4. Gambaran Klinis
Gambaran klinis dari spondilitis tuberkulosa sangat bervariasi. Tipe dan
intensitas gejala bergantung pada level keterlibatan spinal, keparahan penyakit dan
durasi infeksi.6 Pasien biasanya muncul dengan kombinasi dari manifestasi sistemik
seperti penurunan berat badan, demam, fatigue dan malaise dan nyeri punggung.1,6 Rasa
nyeri bervariasi dari ringan dan menetap hingga berat dan berhubungan dengan
aktivitas. Nyeri biasanya terlokalisir pada tempat yang terlibat dan paling sering
dijumpai pada vertebra torakalis. Nyeri dapat bersifat konstan dan ringan,
menggambarkan destruksi progresif dari celah diskus dan elemen vertebra yang terlibat,
atau dapat juga berat dan secara langsung berhubungan dengan pergerakan spinal dan
weight-bearing, yang disebabkan oleh disrupsi diskus lebih lanjut dan instabilitas
spinal, kompresi akar saraf atau fraktur patologis.
Abses dalam kanalis spinalis dapat menekan medula spinalis, dan gejala
neurologis dapat muncul dengan cepat. Bergantung pada level keterlibatan,abses spinal
menyebabkan kompresi medula spinalis yang progresif menyebabkan paraplegia atau
tetraplegia jika tidak ditangani.
Gejala neurologis dari keterlibatan spinal tampak tidak jelas pada awalnya,
namun akan berkembang seiring waktu. Level keterlibatan medula spinalis menentukan
level gangguan. Jika tuberkulosis servikal berkembang dan menyebabkan kompresi
medula spinalis atau akar saraf, tanda-tanda awal adalah kelemahan, nyeri, dan kebas
pada ekstremitas atas dan bawah. Deformitas atau abses progresif kemudian akan
meningkatkan tekanan pada medula spinalis, dan gejala akhirnya berkembang menjadi
tetraplegi.
6
Spondilitis tuberkulosa servikalis merupakan gambaran yang jarang dijumpai,
namun lebih serius karena komplikasi neurologis yang serius lebih cenderung terjadi.
Kondisi ini dicirikan dengan nyeri dan kaku pada leher. Pasien dengan lesi yang
melibatkan vertebra servikal bawah dapat mengalami disfagi atau stridor. Gejala dapat
mencakup tortikolis, suara parau dan defisit neurologis. 6
Hampir semua pasien dengan spondilitis tuberkulosa menunjukkan berbagai derajat deformitas vertebra (kifosis). Defisit neurologis dapat terjadi pada awal perjalanan penyakit, yang bergantung pada level kompresi medula spinalis. Spondilitis tuberkulosa yang melibatkan vertebra servikalis atas dapat menyebabkan gejala yang berkembang cepat. Abses retrofaring dijumpai pada hampir semua kasus. Manifestasi neurologis terjadi pada awal penyakit dan bervariasi dari kelumpuhan saraf tunggal hingga hemiparese atau tetraparese.
21
21
Banyak penderita spondilitis tuberkulosa (62-90% pasien pada suatu studi) tidak menunjukkan bukti adanya tuberkulosis ekstraspinal, yang menyulitkan diagnosis yang segera.
II.1.5. Pemeriksaan Penunjang
21
Diagnosis spondilitis tuberkulosa harus dijajaki jika terdapat kecurigaan klinis, bahkan
jika tidak dijumpai gambaran radiologi paru yang mendukung. Spondilitis tuberkulosa
juga harus selalu diduga jika gambaran radiologis menunjukkan proses destruksi
vertebra.21
Algoritma diagnostik untuk infeksi tulang belakang dapat dilihat pada gambar 5.
Terlepas dari agen penyebabnya, gejala klinis yang paling sering adalah nyeri punggung
Gambar 5. Algoritma Diagnostik Infeksi Tulang Belakang
Kourbeti IS, Tsiodras S, Boumpas DT. Spinal infections : evolving concepts. Curr Opin Rheumatol. 2008 ; 20 (4) : 471-479.
Dapat dijumpai peningkatan laju endap darah (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari 100mm/jam. Pemeriksaan apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat relatif.
Foto polos anterior-posterior dan lateral merupakan pemeriksaan imejing awal yang
dilakukan pada tiap pasien dengan nyeri punggung kronis dan progresif. Pada pasien
dengan spondilitis tuberkulosa, gambaran radiologis bergantung pada luas dan durasi
infeksi. Gambaran radiologis awal dapat terlihat normal pada penyakit tuberkulosis,
namun seiring perjalanan waktu, penyempitan celah diskus dan reaksi end-plate dapat
menjadi gambaran yang menonjol.
13
Foto polos harus dievaluasi untuk destruksi tulang, sklerosis tulang, disrupsi
end-plate,destruksi pedikel, diskus intervertebralis dan jaringan lunak paravertebral. 6
28
Gambaran radiologis yang mendukung diagnosis tuberkulosis mencakup keterlibatan
banyak level, relatif tidak terkenanya diskus intervertebralis, abses paravertebral yang
Gambar 6. Foto Polos Vertebra pada Spondilitis Tuberkulosa
Dikutip dari : Harisinghani M G, McLoud T C, Shepard J, et al. Tuberculosis from Head to Toe. Radiographics. 2000 ; 20 : 449-470
Destruksi endplate dan destruksi korpus vertebra adalah dua tanda yang paling
bermanfaat pada foto polos untuk mendiagnosa spondilitis tuberkulosa dengan
sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi (>79%). Adanya jaringan lunak paravertertebral
dan destruksi pedikel memiliki spesifisitas yang tinggi namun sensitifitas yang rendah,
sedangkan penyempitan diskus memiliki sensitifitas yang tinggi namun spesifisitas yang
rendah. Secara keseluruhan, sensitifitas dan spesifisitas dari foto polos adalah 82.8%
dan 83.9% secara berurutan. (tabel 1)
Tabel 1. Sensitifitas dan Spesifisitas Gambaran Foto Polos Vertebra Pada Spondilitis Tuberkulosa
Dikutip dari : Danchaivijitr N, Temram S, Thepmongkhol K, et al. Diagnostic accuracy of MR imaging in tuberculous spondylitis. J Med Assoc Thai. 2007 ; 90(8) : 1581- 1589
Pada foto polos, temuan dini yang paling sering adalah penyempitan diskus dan osteolisis vertebra. Kemudian diikuti dengan bayangan paravertebra, kolaps vertebra dan angulasi vertebra pada kasus lanjut. Abnormalitas ini mungkin tidak dijumpai pada foto polos hingga 8 minggu.
Kalsifikasi di sekitar paraspinal paling baik terlihat dengan CT Scan, yang juga
paling baik untuk menunjukkan sejumlah fragmen tulang kecil yang mungkin masih
berada di daerah tulang yang rusak. CT scan juga paling baik menunjukkan perluasan
anatomis dari destruksi tulang, terutama elemen posterior dan juga membantu untuk
mengklarifikasi apakah gangguan pada kanalis spinalis disebabkan oleh keterlibatan
jaringan lunak atau tulang. 28,30
Magnetic resonance imaging (MRI) adalah modalitas pilihan untuk evaluasi adanya infeksi tulang belakang.
30
31
Magnetic resonance imaging adalah metode investigasi pilihan untuk diagnosis spondilitis karena berbagai keuntungannya, mencakup sensitifitas yang tinggi pada tahap awal, gambaran epidural dan paravertebral yang lebih jelas, keterlibatan medula spinalis dan kemungkinan untuk membedakan infeksi tuberkulosa dari yang lain.
Mycobacterium tuberculosis membentuk tuberkel dengan nekrosis central
caseating yang menunjukkan intensitas sinyal intermediat pada gambaran T2-weighted.
Spondilitis tuberkulosa menunjukkan derajat edema marrow yang kurang luas
dibandingkan spondilitis piogenik.
28
Pada MRI, berbagai gambaran yang perlu dievaluasi adalah intensitas sinyal dari
contrast-enhanced, destruksi korpus vertebra dan vertebral end plate, luasnya
keterlibatan korpus vertebra, massa jaringan lunak paraspinal atau pembentukan abses,
derajat gangguan kanalis spinalis dengan atau tanpa kompresi akar saraf atau medula
spinalis dan alignment vertebra.
Penelitian oleh Kotze dkk (2006) terhadap gambaran MRI 23 pasien spondilitis
tuberkulosa yang telah dikonfirmasi secara histologis dan menemukan gambaran
sebagai berikut : pembentukan abses paravertebral yang melibatkan banyak level,
penyebaran subligamentosa ke berbagai level, hiperintensitas pada vertebra yang
terkena pada gambaran T2 dan hipointensitas vertebra yang terkena pada gambaran
T1.
28
Perubahan radiologis tipikal adalah perubahan pada dua korpus vertebra yang berdekatan dengan destruksi diskus intervertebralis dan adanya abses paravertebral. Gambaran MRI dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi (>80%) adalah disrupsi endplate
(100%,81.4%), jaringan lunak paravertebral (96.8%, 85.3%) dan intensitas sinyal tinggi pada diskus intervertebralis pada T2W (80.6%, 82.4%). Tanda pada MRI dengan sensitifitas tinggi namun spesifisitas rendah adalah edema bone marrow (90.3%, 76.5%), bone marrow enhancement (100%, 42.5%), keterlibatan elemen posterior (93.5%, 76.5%), stenosis kanalis (87.1%, 26.5%) dan kompresi medula spinalis atau akar saraf 980.6%, 38.2%). Gambaran MRI dengan sensitifitas yang rendah namun spesifisitas tinggi adalah enhancement diskus intervertebralis (63.3%, 84.2%), kolaps vertebra (58.1%, 85.3%), dan deformitas kifosis (67.7%, 82.4%). Detail sensitifitas dan spesifisitas tiap gambaran MRI terlihat pada tabel 2. Secara keseluruhan, sensitifitas dan spesifisitas MRI untuk spondilitis tuberkulosa adalah 100% dan 88.2% secara berturut-turut.
27
28
Tabel 2. Sensitifitas dan Spesifisitas Gambaran MRI pada Spondilitis Tuberkulosa
Gambar 7. Gambaran MRI Spondilitis Tuberkulosa
Dikutip dari :Vuyst D, Vanhoenacker F, Gielen J, et al. Imaging features of musculoskeletal tuberculosis. Eur Radiol. 2003 ; 13 : 1809-1819.
Jika terdapat kecurigaan klinis terhadap adanya suatu spondilitis tuberkulosa
dan gambaran radiologis menunjukkan lesi destruktif yang membutuhkan terapi bedah,
maka debridement lesi akan menyediakan materi yang cukup banyak untuk kultur dan
diagnosis. Namun, jika ditemukan pada awal perjalanan penyakit, mungkin tidak ada
indikasi untuk intervensi bedah. Untuk kasus ini, biopsi jarum yang diarahkan dengan
CT atau MRI dapat memberikan material diagnostik. Dengan arahan imejing, jarum
halus dapat ditujukan ke rongga abses melalui dinding otot posterior. Jika didapatkan
cairan abses, cairan ini dapat ditarik melalui jarum halus tanpa kesulitan. Jika dijumpai
jaringan granulasi, mungkin diperlukan suatu trocar untuk memperoleh spesimen
jaringan.
II.I.6. Penanganan Spondilitis tuberkulosis 6
Pada pasien dengan infeksi spinal, tujuan terapi adalah untuk menghilangkan
penyakit dan untuk mencegah atau memperbaiki defisit neurologis dan deformitas
spinal.6 Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosa masih kontroversi; beberapa penulis
menganjurkan pemberian obat-obatan saja sedangkan yang lain merekomendasikan
pemberian obat-obatan dengan intervensi bedah. Penatalaksanaan optimal spondilitis
pada luas dan lokasi destruksi tulang, adanya deformitas spinal dan instabilitas, dan
keparahan gangguan neurologis.9 Dekompresi agresif, pemberian obat antituberkulosa
selama 9-12 bulan dan stabilisasi spinal dapat memaksimalkan terjaganya fungsi
neurologis.9
II.1.7. Penatalaksanaan Medis/Konservatif
1. Pemberian Nutrisi yang Bergizi
2. Istirahat dan Immobilisasi 13
Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang belakang
dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif. Pemberian gips
ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas
lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung 3-4 minggu, sampai dicapai
keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda klinis, radiologis dan laboratorium. 13
Immobilisasi leher dapat dilakukan dengan menggunakan cervical brace selama 6-18
bulan.20
3. Pemberian Obat Anti Tuberkulosa
Pemberian obat-obatan tetap menjadi prinsip utama penatalaksanaan pada
individu dengan tuberkulosis. Awalnya dianggap bahwa tuberkulosa skeletal
memerlukan penatalaksanaan selama 12-18 bulan akibat penetrasi yang buruk dari obat
antituberkulosis ke struktur tulang; walaupun begitu terdapat penelitian yang
menunjukkan bahwa tuberkulosa skeletal dapat diterapi dengan pemberian obat yang
lebih singkat. Untuk infeksi spondilitis tuberkulosa tanpa komplikasi, British and
American Thoracic Societies merekomendasikan pengobatan selama 6 bulan. Respon
pengobatan dapat dinilai dengan radiologis, perbaikan nyeri punggung, dan kembalinya
defisit neurologis,jika ada. Jika pasien tidak menunjukkan respon terhadap terapi,
pengobatan harus diperpanjang hingga 9-12 bulan. Terapi untuk individu yang sensitif
terhadap obat terdiri dari 2 fase yaitu fase inisial atau intensif selama 2 bulan dengan 4
jenis obat, yaitu isoniazid (H) (5mg/kgBB/hari 10 mg/kgBB/hari hingga 300 mg/hari) ,
mg/kgBB/hari) dan etambutol (E) (15-25 mg/kgBB/hari) , diikuti dengan fase lanjutan
4-7 bulan, dengan isoniazid dan rifampicin.
Menurut The Medical Research Council, terapi pilihan untuk spondilitis
tuberkulosa di negara yang sedang berkembang adalah isoniazid dan rifampicin selama
6-9 bulan.
13,15,21
13
Menurut pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia, lama
pengobatan untuk tuberkulosa tulang adalah 9-12 bulan, dengan panduan OAT yang
diberikan adalah 2 RHZE/ 7-10 RH. 18
II.1.8. Penatalaksanaan Bedah
Intervensi bedah diperlukan pada kasus lanjut dengan destruksi tulang ekstensif,
pembentukan abses atau gangguan neurologis. Tujuan pembedahan adalah untuk
mencegah atau memperbaiki defisit neurologis dan deformitas spinal. Pembedahan juga
memfasilitasi kemoterapi yang sukses, karena kavitas abses menimbulkan lingkungan
yang melindungi basil dari antibiotik sistemik. Ketika diperlukan pembedahan, hasilnya
paling baik jika dilakukan pada awal proses penyakit, sebelum terbentuk fibrosis dan
jaringan parut. Selanjutnya,pembentukan jaringan parut yang padat menyebabkan
perlekatan ke pembuluh darah besar atau struktur vital, menyebabkan diseksi dan
paparan pembedahan menjadi berbahaya. Respon klinis terhadap pembedahan juga
lebih cepat dan lebih lengkap pada pasien dengan penyakit aktif jika dibandingkan
dengan pasien dengan penyakit kronis dan deformitas.
Indikasi untuk pembedahan pada spondilitis tuberkulosa secara umum
mencakup defisit neurologis (perburukan neurologis akut, paraparesis), deformitas
spinal dengan instabilitas atau nyeri, tidak menunjukkan respon terhadap terapi medis
(kifosis atau instabilitas yang terus berlanjut), abses paraspinal yang besar, biopsi
diagnsotik.
6,36
Indikasi pembedahan mencakup faktor klinis (keterlibatan saraf, paraplegia, dan
abses retrofaring besar yang menyebabkan gangguan ventilasi atau menelan), faktor
pengobatan (defisit persisten atau progresif saat pemberian terapu konservatif yang
sesuai, faktor imejing yaitu keterlibatan panvertebral (skoliosis atau kifosis berat pada
medula spinalis akibat jaringan granulasi pada MRI) dan faktor pasien (spasme yang
menyakitkan atau kompresi akar saraf).
Keterlibatan vertebra servikalis cukup jarang dan pasien biasanya menunjukkan gejala nyeri, kaku dan tortikolis. Abses yang besar dapat menyebabkan suara serak, stridor dan disfagia. Indikasi untuk pembedahan adalah jika abses menyebabkan disfagia, stridor, atau kesulitan bernafas.
2
2
Pada spondilitis tuberkulosa yang melibatkan vertebra servikalis, faktor yang membenarkan intervensi bedah dini adalah defisit neurologis dengan frekuensi dan keparahan yang berat, kompresi abses yang berat yang menyebabkan disfagi atau asfiksia, instabilitas vertebra servikalis.
Dengan indikasi yang tepat, tindakan bedah lebih unggul dalam mencegah
perburukan neurologis, mempertahankan stabilitas, pemulihan dan mobilisasi segera.
Oguz et al (2008) menerapkan suatu sistem klasifikasi untuk panduan terapi dan
membagi spondilitis tuberkulosa menjadi tiga tipe. (table 6)
21
37
II.2. Kerangka Konsepsional
Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Definisi Operasional
1. Penderita Spondilitis Tuberkulosis
Adalah semua pasien yang berobat di departemen/SMF Orthopaedi dan
Traumatologi RSUP H.Adam Malik, baik di poliklinik maupun rawat inap, pada
periode Januari 2010- Juni 2013 yang didiagnosis menderita Spondilitis
tuberkulosis
2. Jenis kelamin
Jenis kelamin dikelompokkan menjadi skala ordinal, yaitu pria atau wanita
Penderita
Spondilitis
Karakteristik:
-
Jenis kelamin
-
Usia
-
Indeks massa tubuh
-
Riwayat penyakit TB paru
-
Riwayat penyakit TB ekstra
paru selain spondilitis TB
-
Keluhan utama
-
Lokasi infeksi
-
Defisit neurologis
3. Usia
Usia adalah usia responden penelitian saat pertama kali didiagnosis dengan
Spondilitis Tuberkulosis. Usia dikelompokkan dalam skala nominal,
berdasarkan kriteria Depkes, yaitu:
a. Balita (0-5 tahun)
b. Kanak-kanak (5-11 tahun)
c. Remaja (12-25 tahun)
d. Dewasa (26-45 tahun)
e. Lansia (46-65 tahun)
4. Indeks massa tubuh
Indeks massa tubuh adala perbandingan antara berat badan dalam satuan
kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam satuan m2
Besarnya nilai IMT dikelompokkan ke dalam skala nominal, yaitu:
. Data berat badan dan
tinggi badan yang diambil adalah data saat pertama kali pasien didiagnosis
menderita spondilitis tuberkulosis.
a. Underweight (IMT < 18,5)
b. Normoweight (IMT antara 18,5 – 22,9)
c. Overweight (IMT antara 23 – 24,9)
d. Obesitas (IMT lebih dari atau sama dengan 25)
5. Riwayat penyakit TB paru
Riwayat penyakit TB paru adalah parameter yang menjelaskan apakah
responden pernah atau sedang menderita TB paru atau tidak. Diagnosis TB paru
dapat saja ditegakkan secara klinis, pemeriksaan sputum ataupun radiologis,
selama ditegakkan oleh dokter atau dokter spesialis.
Riwayat penyakit TB paru dikelompokkan dalam skala nominal, yaitu:
a. Pernah atau sedang didiagnosis TB paru
6. Riwayat penyakit TB ekstra paru selain spondilitis TB
Riwayat penyakit TB ekstra adalah parameter yang menjelaskan apakah
responden juga pernah atau sedang menderita infeksi TB di tempat lain selain di
paru dan tulang belakang. Dalam hal ini, infeksi TB dapat berupa pleuritis TB,
limfadenitis TB, meningitis TB, laringitis TB, kolitis TB, atau infeksi TB di
tempat manapun selain paru dan tulang belakang, selama diagnosis ditegakkan
oleh dokter atau dokter spesialis.
Riwayat penyakit TB ekstra paru selain spondilitis TB dikelompokkan dalam
skala nominal, yaitu:
a. Pernah atau sedang didiagnosis TB ekstra paru selain spondilitis TB
b. Tidak pernah didiagnosis TB ekstraparu selain spondilitis TB
7. Keluhan utama
K eluhan utama adalah keluhan yang dirasakan paling mengganggu hingga
membuat pasien datang berobat. Keluhan utama dikelompokkan ke dalam skala
ordinal, yatu:
a. Nyeri pinggang
b. Benjolan di tulang belakang
c. Abses atau fistel
d. Deformitas
8. Lokasi infeksi
Lokasi infeksi adalah bagian dari vertebra yang mengalami infeksi tuberkulosis.
Lokasi infeksi dikelompokkan ke dalam skala ordinal, yaitu:
a. Cervical (C1 – C8)
b. Thorakal (Th1 – Th12)
c. Lumbal (L1 – L5)
d. Sakral (S1 – S5)
Defisit neurologis adalah paramaeter yang menjelaskan apakah pasien
menunjukkan kelainan pada fungsi neurologis baik defisit sensorik (kebas, mati
rasa), defisit motorik (kelumpuhan), defisit autonom (inkontinensia, retensio,
anhidrosis), atau ketiganya.
Defisit neurologis dikelompokkan ke dalam skala nominal, yaitu:
a. Ada defisit neurologis
b. Tidak ada defisit neurologis
10.Tatalaksana
Tata laksana adalah jenis penatalaksanaan yang diberikan pada pasien, baik
berupa tatalaksana operatif (apapun metode operasinya), ataupun non operatif,
yaitu hanya mengonsumsi obat anti tuberkulosis saja.
Tatalaksana dikelompokkan ke dalam skala ordinal, yaitu:
a. Tatalaksana operatif
b. Tatalaksana non-operatif
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan desain cross sectional (potong lintang). Dengan satu kali pengamatan, melalui telaah rekam medik, akan didapatkan data karakterisitik penderita spondilitis tuberkulosis pada penderita yang menjadi sampel dalam penelitian ini.
3.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan berdasarkan data pada rekam medis penderita yang di diagnosa dengan osteomielitis kronik yang berobat pada rentang waktu Januari 2010 – Juni 2013.
3.3. Sasaran Penelitian
Pasien yang melakukan pengobatan baik berupa rawat jalan di poliklinik Orthopaedi maupun pasien yang rawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan pada rentang waktu Januari 2010 – Juni 2013.
3.4. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilakukan pada penderita yang datang berobat di RSUP Haji Adam Malik medan dan diagnosis dengan Spondilitis Tuberkulosis pada rentang periode waktu Januari 2010 – Juni 2013 yang datanya diambil melalui telaah rekam medis.
Populasi terjangkau dalam peneitian ini adalah semua penderita yang pernah berobat di bagian Orthopedi RSUP H. Adam Malik Medan baik berobat jalan ke poliklinik maupun rawat inap dari periode Januari 2010-Juni 2013.
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu hingga
dianggap dapat mewakili populasinya. Sampel pada penelitian ini dipilih dengan
menggunakan metode total sampling. Pada teknik ini semua subyek yang datang dan
memenuhi kriteria pemilihian dimasukkan menjadi sampel penelitian.
Adapun kriteria inklusi dalam pemilihan sampel diantaranya:
(1) Rekam medis dari penderita yang didiagnosis dengan spondilitis tuberkulosis
(2) Rekam medis yang datanya diisi dengan lengkap
3.6. Analisis Data
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan metode yang diuraikan pada Bab 3, peneliti berhasil mendapatkan data 66 pasien yang termasuk ke dalam kriteria inklusi. Adapun karakteristik pasien sebagai berikut.
4.1 Karakteristik Jenis Kelamin
Grafik 1. Distribusi jenis kelamin penderita spondilitis TB
4.2 Karakteristik Usia 4.2.1 Distribusi usia
55% 45%
Laki-Laki (n=36)
Grafik 2. Distribusi usia penderita spondilitis TB 4.2.2 Distribusi usia berdasarkan kategori Departemen Kesehatan
Grafik 3. Distribusi usia penderita spondilitis TB berdasarkan kategori Departemen Kesehatan
4.2.3 Distribusi jenis kelamin berdasarkan usia
Grafik 4. Distribusi jenis kelamin penderita spondilitis TB berdasarkan kelompok usia
12%
6%
18%
52% 12%
Balita (n=8) Kanak-Kanak (n=4) Remaja (n=12) Dewasa (n=35) Lansia (n=8)
1 2
7
22
4 7
2
5
12
4
Balita Kanak-Kanak Remaja Dewasa Lansia
4.3 Karakteristik Indeks Massa Tubuh 4.3.1 Distribusi Indeks Massa Tubuh
Grafik 5. Distribusi indeks massa tubuh penderita spondilitis TB
4.3.2 Distribusi Indeks Massa Tubuh berdasarkan usia
Grafik 6. Distribusi indeks massa tubuh penderita berdasarkan usia 16%
67% 17%
0%
Underweight (n=11)
Normoweight (n=44) Overweight (n=11)
Obesitas (n=0)
5
1 1
4
0 2
1
8
27
6
1 2
3 3
2
0 0 0 0 0
Balita Kanak-Kanak Remaja Dewasa Lansia
4.4 Karakteristik Pernah atau Tidak Menderita TB Paru
Grafik 7. Distribusi penderita berdasarkan pernah atau tidaknya didiagnosis TB paru
4.5 Karakteristik Pernah atau Tidak Menderita TB Ekstra Paru Lainnya
Grafik 8. Distribusi penderita berdasarkan pernah atau tidaknya didiagnosis TB ekstra paru lainnya
8%
92%
Menderita (n=5)
Tidak menderita (n=61)
0%
100%
Menderita (n=5)
4.6 Karakteristik keluhan utama 4.6.1 Proporsi keluhan utama penderita
Grafik 9. Proporsi keluhan utama penderita
4.6.1 Proporsi keluhan utama penderita berdasarkan jenis kelamin
Grafik 10. Proporsi keluhan utama penderita berdasarkan jenis kelamin 23%
53% 20%
4%
Kelemahan (n=15)
Nyeri (n=35)
Deformitas (n=13)
Abses (n=3)
9
18
6
3 6
17
7
0
Lemah Nyeri Deformitas Abses
4.7 Karakteristik level keterlibatan tulang belakang 4.7.1 Proporsi level keterlibatan tulang belakang
Grafik 11. Level Keterlibatan Tulang Belakang.
4.7.2 Proporsi lebel keterlibatan tulang belakang berdasarkan keluhan utama penderita
Grafik 12. Tabel silang antara level keterlibatan tulang belakang
dengan keluhan utama pasien 2%
Cervical Torakal Torako-Lumbal Lumbal Sacral
4.8 Karakteristik derajat deficit neurologis berdasarkan kategori frankel 4.8.1 Proporsi derajat defisit neurologis penderita
Grafik 13. Proporsi derajat defisit neurologis penderita
4.8.2 Proporsi derajat defisit neurologis penderita berdasarkan letak lesi
Grafik 14. Proporsi derajat defisit neurologis penderita berdasarkan letak lesi 3%
Cervical Torakal Torako-lumbal Lumbal Sacral
4.9 Karakteristik tatalaksana
4.9.1 Proporsi tatalaksana penderita spondilitis TB
Grafik 15. Proporsi tatalaksana penderita spondilitis TB
4.9.2 Proporsi tatalaksana penderita spondilitis TB berdasarkan level keterlibatan tulang belakang
Grafik 16. Proporsi tatalaksana penderita spondilitis TB berdasarkan level keterlibatan tulang
belakang
41%
59%
Operatif (n=27) Nonoperatif (n=39)
0
7 7
13
0 1
14
9
13
2
Cervical Torakal Torako-lumbal Lumbal Sacral
4.9.3 Proporsi tatalaksana penderita spondilitis TB berdasarkan derajat frankel
Grafik 17. Proporsi tatalaksana penderita spondilitis TB berdasarkan level keterlibatan tulang
belakang
4.9.3 Tatalaksana penderita berdasarkan keluhan utama
Grafik 18. Tatalaksana penderita berdasarkan keluhan utama pasien.
0 1
9
6
11
2 3
5
9
20
Frankel A Frankel B Frankel C Frankel D Frankel E
Operatif Non Operatif
5
16
4
3 10
19
9
0
Lemah Nyeri Deformitas Abses
BAB 5
PEMBAHASAN
5.1 Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian ini, didapati 66 orang penderita spondilitis TB dengan
proporsi sebanyak 36 orang laki-laki (54,5%) dan 30 orang perempuan (45,5%). Data
ini menunjukkan bahwa penyakit ini tidak mendominasi satu jenis kelamin saja,
sehingga baik laki-laki maupun perempuan dapat terkena.
5.2 Usia
Berdasarkan hasil penelitian, maka didapati bahwa usia penderita spondilitis TB
bervariasi, dengan penderita termuda berusia 2 tahun, dan yang tertua berusia 65 tahun,
dengan rata-rata usia penderita 28 tahun.
Lebih lanjut, jika umur dikelompokkan menjadi kategori sesuai dengan
Departemen Kesehatan, maka dari keseluruhan 66 orang penderita, maka didapati
penderita yang termasuk kategori balita adalah sebanyak 8 orang, kategori kanak-kanak
4 orang, kategori remaja sebanyak 12 orang, kategori dewasa 35 orang, kategori lanjut
usia 8 orang.
Kelompok penderita terbanyak adalah kategori dewasa, yakni berusia 26 – 45
tahun, yakni sebanyak 35 orang atau 46 persen dari total sampel. Pada kelompok usia
ini, terdapat penderita dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 22 orang dan jenis
kelamin perempuan sebanyak 12 orang.
Terlihat bahwa spondilitis TB banyak menyerang penderita laki-laki dengan usia
yang produktif, sehingga hal ini dapat menurunkan produktivitas penderita sehingga
berakibat bagi terputusnya mata pencaharian penderita dan membuat beban ekonomi
keluarga yang semakin bertambah.
5.3 Indeks Massa Tubuh
Berdasarkan indeks massa tubuh, maka didapati pasien yang berada dalam kategori
underweight sebanyak 11 orang (16%), normoweight sebanyak 44 orang (67%),
obesitas. Dari data ini terlihat bahwa mayoritas penderita berada dalam status gizi
normoweight. Hal ini merupakan kebalikan dari asumsi bahwa tuberculosis erat
kaitannya dengan status gizi yang buruk.
Jika dilakukan tabel silang antara indeks massa tubuh dan kelompok usia, maka
didapati data-data sebagai berikut. Pada kelompok balita, dari keseluruhan 8 pasien,
didapati status gizi penderita yang terbanyak adalah underweight, yakni berjumlah 5
orang (62,5%); lalu diikuti oleh status gizi normoweight sebanyak 2 orang (25%) dan
Pada kelompok kanak-kanak, dari keseluruhan 4 pasien, dijumpai 2 orang
berada dalam status gizi overweight (50%), 1 orang dalam status gizi underweight
(25%), dan 1 orang lagi dalam status gizi normoweight (25%).
Pada kelompok remaja, dari keseluruhan 12 pasien, maka status gizi
normoweight sebanyak 8 orang (66,6%), dan status gizi overweight sebanyak 3 orang
(25%), dan underweight sebanyak 1 orang (8,3%).
Pada kelompok usia dewasa, yang merupakan kelompok dengan persentase
penderita terbanyak pada populasi penderita spondilitis TB, maka dari 34 orang,
ditemukan status gizi yang terbanyak adalah normoweight, yakni 27 orang (79%),
diikuti status gizi underweight sebanyak 4 orang (11,7%), lalu status gizi overweight
sebanyak 3 orang (2,9%).
Pada kelompok usia lansia, dari 8 orang penderita, maka status gizi terbanyak
adalah normoweight, sebanyak 6 orang (75%), dan overweight sebanyak 2 orang (25%).
Dari data di atas, dapat dilihat bahwa status gizi penderita pada setiap kelompok
usia didominasi oleh status gizi normoweight. Hal ini mencerminkan bahwa penderita
spondilitis TB dapat saja terlihat sehat dan baik jika dinilai melalui indeks massa tubuh.
5.4 TB Paru
Berdasarkan pernah atau tidaknya penderita didiagnosa mengalami tuberculosis paru,
maka sebanyak 5 orang menderita TB paru (8%) dan sebanyak 61 orang tidak menderita
TB paru (92%). Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas penderita spondilitis TB yang
berobat ke poliklinik orthopaedi tidak mengalami gejala-gejala TB paru.
Berdasarkan pernah atau tidaknya penderita didiagnosa mengalami tuberculosis ekstra
paru, maka keseluruhan 66 orang penderita tidak menderita tuberculosis ekstra paru.
Hal ini mungkin disebabkan oleh karena manifestasi TB ekstrapulmonal memang yang
terbanyak adalah berupa spondilitis TB.
5.6 Keluhan Utama
Berdasarkan keluhan utama penderita, maka didapati penderita dengan keluhan utama
berupa kelemahan tungkai sebanyak 15 orang (23%), keluhan nyeri sebanyak 35 orang
(53%), keluhan deformitas atau gibbus sebanyak 13 orang (20%), dan keluhan abses
sebanyak 3 orang (4%). Dari data di atas, terlihat bahwa hal yang paling banyak
dikeluhkan oleh penderita adalah nyeri pada punggung.
Jika dielaborasi lebih lanjut, berdasarkan jenis kelamin penderita, maka dari 36
orang penderita laki-laki, maka sebanyak 18 orang (50%) mengeluhkan nyeri, 9 orang
mengeluhkan lemah (25%) mengeluhkan lemah, 6 orang mengeluhkan deformitas
(16,6%), dan 3 orang menluhkan abses (8%). Dari 30 orang penderita perempuan, maka
sebanyak 17 orang (56,6%) mengeluhkan nyeri, sebanyak 7 orang (23,3%)
mengeluhkan deformitas/gibbus, dan sebanyak 6 orang (020%) mengeluhkan lemah.
Maka dari data di atas, baik pada penderita laki-laki dan perempuan, yang menjadi
keluhan terbanyak adalah nyeri.
5.7 Level Keterlibatan
Berdasarkan level keterlibatan tulang belakang, maka dijumpai penderita dengan letak
lesi di cervical sebanyak 1orang (1,5%), lesi torakal sebanyak 21 orang (31,8%), lesi
torako-lumbal sebanyak 16 orang (24,2%), lumbal 26 orang (39,4%) dan sacral
sebanyak 2 orang (3,0%). Dari data di atas, maka level keterlibatan tulang belakang
yang terbanyak adalah lumbal (39%) lalu diikuti torakal (32%); dan yang paling sedikit
adalah cervical (2%). Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian yang menyebutkan
bahwa pada tulang belakang cervical jarang dijumpai spondilitis TB, jika dibandingkan
dengan torakal dan lumbal.
Jika dilakukan tabel silang antara level keterlibatan tulang belakang dengan
kelemahan tungkai. Pada letak lesi torakal, dari 21 pasien, maka 11 orang (52,3%)
mengeluhkan kelemahan tungkai sebagai keluhan utamanya, lalu diikuti nyeri sebanyak
6 orang (28,5%), lalu deformitas sebanyak 3 orang (14,2%), dan abses sebanyak 1 orang
(0,4%). Pada letak lesi torako-lumbal, maka dari 16 pasien, keluhan terbanyak adalah
nyeri, yakni sebanyak 8 orang (50%), diikuti dengan deformitas sebanyak 6 orang
(37,5%), lalu abses sebanyak 2 orang (12,5%). Pada letak lesi lumbal, dari total 26
pasien, maka keluhan terbanyak adalah berupa nyeri, yakni sebanyak 19 orang (73%),
diikuti deformitas sebanyak 4 orang (15,3%), dan kelemahan tungkai sebanyak 3 orang
(11,5%). Pada letak lesi sacral, dari total 2 pasien, maka kedua-duanya mengeluhkan
nyeri sebagai keluhan utama.
Dari data di atas, maka didapatkan data bahwa pada letak lesi torakal, maka
kelamahan tungkai menjadi keluhan utama terbanyak; pada letak lesi torako-lumbal dan
lesi lumbal, maka nyeri menjadi keluhan utama terbanyak. Hal ini dapat dijelaskan oleh
karena volume kanal vertebrae torakal yang lebih sempit dibandingkan lumbal sehingga
kemungkinan untuk mendapatkan kompresi dari spinal cord menjadi lebih bermakna.
5.8 Derajat deficit neurologis
Berdasarkan derajat deficit neurologis berdasarkan kategori frankel, maka didapati
penderita dengan kategori frankel A sebanyak 2 orang (3%), frankel B sebanyak 4 orang
(6%), frankel C sebanyak 14 orang (21,2%), frankel D sebanyak 15 orang (22,7%) dan
frankel E sebanyak 31 orang (47%).
Jika dilakukan tabel silang antara derajat frankel dan letak lesi tulang belakang,
maka didapati data sebagai berikut. Pada letak lesi cervical, dijumpai satu-satunya
penderita berada dalam kategori frankel D.
Pada letak lesi torakal, maka dari 21 penderita, dijumpai penderita dengan
frankel C sebanyak 9 orang (42,8%), diikuti dengan frankel D sebanyak 4 orang (19%),
lalu frankel E sebanyak 6 orang (28,5%) dan frankel B sebanyak 2 orang (0.9%). Lalu
jika digabungkan antara frankel A,B,C,D, maka dijumpai proporsi pasien sebanyak 15
orang dari seluruh 21 penderita (71,4%). Hal ini menunjukkan bahwa pada letak lesi
torakal, maka sebesar 71,4% penderita berada dalam keadaan deficit neurologis,
Pada letak lesi torako-lumbal, maka dijumpai proporsi derajat frankel yang
terbanyak adalah frankel D, sebanyak 6 orang dari total 16 orang (37,5%), diikuti
frankel E sebanyak 5 orang (31,2%), lalu diikuti frankel C sebanyak 3 orang (18,7%),
dan frankel A sebanyak 2 orang (12,5%). Jika proporsi frankel A,B,C,D digabungkan
maka didapati penderita sejumlah 11 orang dari total 16 orang (68,75%). Hal ini
menunjukkan bahwa pada letak lesi torakal, maka sebesar 68,75% penderita mengalami
deficit neurologis, dibandingan dengan 31,2 % yang tidak mengalami deficit neurologis.
Pada letak lesi lumbal, maka dari 26 penderita, dijumpai sebanyak 18 orang
termasuk kategori frankel E (69,2%), diikuti frankel D sebanyak 4 orang (15,3%),
frankel B sebanyak 2 orang (7,6%), dan frankel C sebanyak 2 orang (7,6%). Jika
proporsi frankel A,B,C,D digabungkan maka didapati penderita sejumlah 8 orang, dari
total 26 orang (30,07%). Hal ini menunjukkan bahwa pada letak lesi lumbal, sebesar
69,2% penderita berada dalam kondisi tanpa deficit neurologis, dibandingkan dengan
30,07% yang mengalami deficit neurologis.
Pada letak lesi sacrum, maka dari total 2 penderita, kedua-duanya berada pada
ketegori frankel E.
Dari data di atas, maka dapat dilihat bahwa pada letak lesi torakal dan
torako-lumbal, maka lebih banyak penderita yang berada dalam keadaan deficit neurologis,
sedangkan pada letak lesi lumbal, maka lebih banyak penderita yang berada dalam
keadaan tanpa desifit neurologis.
5.9 Tatalaksana
Berdasarkan tatalaksana, maka dijumpai sebanyak 27 orang (40,9%) penderita
menjalani tindakan operatif, dan sebanyak 39 orang (59,09%) tidak menjalani tindakan
operatif. Dari 27 orang yang menjalani tindakan operatif, maka 20 orang menjalani
tindakan operasi prosedur stabilisasi posterior dan fusi tulang belakang, lalu sebanyak 7
orang, menjalani tindakan debridement.
Jika dilakukan tabel silang antara tatalaksana penderita berdasarkan level
keterlibatan tulang belakang, maka dijumpai data sebagai berikut. Pada letak lesi
pada letak lesi cervical ini berada pada kategori frankel D, dan mengeluhkan kelemahan
tungkai. Pada letak lesi torakal, maka dari 21 pasien, dijumpai bahwa sebanyak 7 orang
(33,3%) ditatalaksana secara oepratif, dan 14 orang (66,6%) ditatalaksana secara
non-operatif. Pada letak lesi torako-lumbal, maka dari 16 pasien, dijumpai sebanyak 7 orang
(43,7%) ditatalaksana secara operatif, dan sebanyak 9 orang (56,2%) ditatalaksana
secara non-operatif. Pada letak lesi lumbal, maka dari 26 pasien, maka sebanyak 13
orang ditatalaksana secara operatif dan 13 orang secara non-operatif. Pada letak lesi
sacral, dari 2 penderita, kesemuanya ditatalksana secara non-operatif.
Jika dilakukan tabel silang antara tatalaksana penderita berdasarkan derajat
frankel, maka didapati data sebagai berikut. Pada penderita frankel A, maka dari 2
penderita, kedua-duanya ditatalaksana secara non-operatif. Pada penderita frankel B,
dari 4 penderita, maka 3 orang (75%0 ditatalaksana secara non-operatif, dan 1 orang
(25%) ditatalaksana secara operatif. Pada penderita frankel C, maka dari 14 penderita, 9
orang (64,2%) ditatalaksana secara operatif, dan 5 orang (35,7%) ditatalaksana secara
non-operatif. Pada penderita frankel D, maka dari 15 pendertia, 9 orang (60%)
ditatalaksana secara non-operatif, sedangkan 6 orang (40%) ditatalaksana secara
operatif. Pada 31 orang penderita dengan frankel E, maka sebanyak 20 orang (64,5%)
ditatalaksana secara non-operatif, dan sebanyak 11 orang (35,4%) ditatalaksana secara
oepratif. Jika proporsi frankel A,B,C,D digabungkan, maka dijumpai penderita yang
menjalani tindakan operatif sebanyak 16 orang dari 35 orang (45,7%) dan yang
menjalani tatalaksana non-operatif sebanyak 19 orang dari 35 orang (54,2%). Artinya
pada penderita dengan deficit neurologis, dijumpai lebih banyak penderita yang
menjalani tatalaksana non-operatif. Demikian juga pada penderita dengan frankel E,
atau tanpa deficit neurologis, dijumpai lebih banyak penderita yang menjalani
tatalaksana non-operatif (20 orang berbanding dengan 11 orang, atau 64,5% berbanding
35,4%).
Jika dilakukan tabel silang antara tatalaksana dengan keluhan utama, maka dari
15 orang penderita yang mengeluhkan kelemahan, maka 10 orang (66,6%) tidak
menjalani pembedahan dan 5 orang (33,3%) ditatalaksana secara operatif. Dari
kelompok penderita yang mengeluhkan nyeri, yakni sebanyak 35 orang, maka 19 orang
pembedahan. Dari 13 orang penderita yang mengeluhkan deformitas, maka sebanyak 9
orang (69,2%) ditatalaksana secara non-oepratif, dan sebanyak 4 orang (30,7%)
ditatalaksana secara operatif. Dari 3 orang yang mengeluhkan abses, maka semuanya