• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model of population management for javan rhinoceros (Rhinoceros sondaicus) based on analysis of nutrition and stress levels as health parameters

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model of population management for javan rhinoceros (Rhinoceros sondaicus) based on analysis of nutrition and stress levels as health parameters"

Copied!
228
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PENGELOLAAN POPULASI BADAK

JAWA (

Rhinoceros sondaicus

) BERDASARKAN

ANALISIS NUTRISI DAN TINGKAT CEKAMAN

SEBAGAI PARAMETER KESEHATAN

ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI B361080011

ILMU BIOMEDIS HEWAN

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

MODEL PENGELOLAAN POPULASI BADAK

JAWA (

Rhinoceros sondaicus

) BERDASARKAN

ANALISIS NUTRISI DAN TINGKAT CEKAMAN

SEBAGAI PARAMETER KESEHATAN

ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Ilmu Biomedis hewan

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Judul Penelitian: Model Pengelolaan Populasi Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) berdasarkan Analisis Nutrisi dan Tingkat Cekaman sebagai Parameter Kesehatan

Nama: Adhi Rachmat Sudrajat Hariyadi

NRP: B361080011

Program Studi: Ilmu Biomedis Hewan

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Prof. Drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD Ketua

Dr. Drh. Hera Maheshwari, MSc Prof. Dr. Ir. Hadi S Alikodra MS

Anggota Anggota

Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS Anggota

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

drh.Agus Setiyono, MS, PhD, ApVet Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(4)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:

Model Pengelolaan Populasi Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) Berdasarkan Analisis Nutrisi dan Tingkat Cekaman Sebagai Parameter Kesehatan

Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunkan telah dinyatakan secara jelas dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Bogor, September 2012

Adhi Rachmat Sudrajat Hariyadi

(5)
(6)

ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI. Model of population management for javan rhinoceros (Rhinoceros sondaicus) based on analysis of nutrition and stress levels as health parameters. Under the guidance DONDIN SAJUTHI, HERA MAHESHWARI, HADI SUKADI ALIKODRA, and DEWI APRI ASTUTI.

This research was designed to establish a model for population management for javan rhinoceros (Rhinoceros sondaicus), a critically endangered species inhabiting Ujung Kulon National Park. Population increase by 3% every year had been assigned by the Ministry of forestry and this rate of population increase heavily relied on the ability of this species to survive and to reproduce naturally. The habitat of the rhino has conditions that were not always favourable to the rhinos and these conditions could potentially trigger stress for these animals. The research was divided into three stages consisting of analysis of nutritions and digestibility profiles of three male rhinoceros, analysis of relationship between stress levels on hormone profile of these animals, and stress induction to model animals. Two horses were selected as models for stress on rhinoceros, as the stress induction could not be done on the rhinoceros directly due to their small numbers worldwide; thus designated as a criticaly endangered species. The results of this research showed that the feed profile directly correlated with the home range and the vegetation structure around each individual rhinoceros and there were indications that the rhinos experienced feed

deficit in quantity and quality. Analysis using 3α, 11β-dihydroxy-CM as an

indicator of glucocorticoid stress hormon levels suggested that the rhinos experienced greater stress during the dry season when the water source was significantly depleted. This fact was also consistent with the result from stress induction on horse as model animal suggesting that feed deficit created acute type stress while water deficit created a chronic type stress. Compilations of the results from the research stages were formulated into a model of population management for javan rhinoceros with recommendations such as: habitat enrichment using feed plants high in protein (Moringa citrifolia, Callicarpa longifolia, Chisocheton microcarphus), high in fat (Alstonia angustiloba, Callicarpa longifolia, Macaranga spp), high in energy (Derris thyorsifolia, Pterospermum javanicum, Percampyulus glances) with density of 15 per hectare (tree form) to 5,406 per hectare (seedling form); water availability can be enhanced by replenishing feed plants high in water contents such as: Paederia scandens, Alstonia scholaris, Costus speciosus, as well as maintaining access and trais to water sources that were available year round. The use of 3α, 11β -dihydroxy-CM needs to be validated using biological and chemical measures to investigate its potential use in monitoring stress levels of javan rhinos in the wild; horse can be used as relevant model animal for research in stress and its implications to the javan rhinoceros.

(7)

ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI. Model pengelolaan populasi badak jawa (Rhinoceros sondaicus) berdasarkan analisis nutrisi dan tingkat cekaman sebagai parameter kesehatan. Dibawah bimbingan DONDIN SAJUTHI, HERA MAHESHWARI, HADI SUKADI ALIKODRA, dan DEWI APRI ASTUTI.

Penelitian ini dirancang untuk membangun suatu model pengelolaan populasi untuk badak jawa (Rhinoceros sondaicus) yang merupakan satwa langka yang hidup di Taman Nasional Ujung Kulon. Peningkatan populasi sebesar 3% setiap tahun bergantung pada kemampuan spesies ini untuk bertahan hidup dan berkembang biak secara alami. Habitat yang dihuni oleh badak memiliki kondisi yang tidak selalu mendukung terhadap kesehatan satwa ini dan berpotensi untuk memicu cekaman. Penelitian dibagi menjadi tiga tahap yaitu kajian status nutrisi dan kecernaan, kajian hubungan tingkat cekaman terhadap profil hormon pada tiga ekor badak jantan, serta uji coba cekaman terhadap hewan model. Kuda dipilih sebagai hewan model untuk mewakili fisiologi badak terhadap cekaman karena uji coba cekaman tidak dapat dilakukan langsung terhadap badak jawa yang merupakan satwa yang terancam punah karena jumlahnya yang sangat sedikit di seluruh dunia. Profil pakan badak berkorelasi dengan ruang jelajah yang ditempuhnya dan habitat tumbuhan di sekitarnya. Analisis menggunakan 3α, 11β-dihydroxy-CM sebagai indikator profil hormon glukokortikoid yang merupakan respons terhadap cekaman menunjukkan bahwa badak cenderung menunjukkan tingkat cekaman yang tinggi pada musim kering dimana ketersediaan air sangat berkurang. Hal ini juga konsisten dengan uji coba kuantifikasi yang dilakukan pada hewan model kuda dan berdasarkan parameter hematologi (netrofil:limfosit) hasilnya menunjukkan bahwa defisit pakan merupakan sumber cekaman yang memiliki karakteristik akut sementara defisit air menunjukkan karakteristik kronis. Kompilasi dari simpulan dalam tahapan penelitian ini dirumuskan menjadi suatu model pengelolaan populasi dengan rekomendasi yang terdiri dari: pengkayaan habitat dengan tumbuhan yang kaya protein (Moringa citrifolia, Callicarpa longifolia, Chisocheton microcarphus),

kaya lemak (Alstonia angustiloba, Callicarpa longifolia, Macaranga spp), dan kaya energi (Derris thyorsifolia, Pterospermum javanicum, Percampyulus

glances) dalam kerapatan 15 individu per hektar (untuk jenis pohon) sampai

5,406 individu per hektar (untuk jenis semai); pemenuhan kebutuhan air dilakukan dengan memperbanyak tumbuhan pakan dengan kadar air tinggi seperti

Paederia scandens, Alstonia scholaris, Costus speciosus serta menjamin

akses/jalur ke air yang tersedia sepanjang tahun; 3α, 11β-dihydroxy-CM perlu menjalani validasi lebih lanjut (biologi dan kimia) untuk menjajagi potensi penggunaannya dalam implementasi pemantauan cekaman pada badak; penggunaan kuda sebagai hewan model yang relevan bagi badak dalam penelitian cekaman serta implikasinya.

(8)

ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI. Model pengelolaan populasi badak jawa (Rhinoceros sondaicus) berdasarkan analisis nutrisi dan tingkat cekaman sebagai parameter kesehatan. Dibawah bimbingan DONDIN SAJUTHI, HERA MAHESHWARI, HADI SUKADI ALIKODRA, dan DEWI APRI ASTUTI.

Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan satwa langka yang hanya terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten Indonesia. Kondisi habitat yang ada saat ini diduga mengalami perubahan perlahan akibat suksesi alami yang berakibat pada berubahnya struktur vegetasi yang ada. Sebagai hewan herbivora yang sangat bergantung pada vegetasi sebagai sumber makanannya, maka faktor nutrisi menjadi bagian yang penting untuk dipantau dalam populasi saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk dapat mengetahui pola pergerakan badak di habitatnya dan mengukur kualitas, palatabilitas, serta asupan nutrien dan antinutrisi (toksin) dari badak yang diikuti. Parameter yang dicatat terdiri dari: jalur lintasan badak (trajektori) beserta korelasinya dengan keragaman, palatabilitas, jumlah konsumsi pakan, kualitas nutrien tumbuhan pakan, risiko toksisitas lantaden dari tumbuhan Lantana camara, kecernaan, serta ketersediaan garam di sekitar jalur lintasan dan di dalam ruang jelajah badak tersebut. Palatabilitas ditentukan dengan memilih maksimal lima jenis tumbuhan pakan dengan estimasi jumlah ragutan terbanyak dari setiap badak. Analisis proksimat digunakan untuk mengukur dan menghitung kualitas nutrien yang ada pada setiap pakan badak, sementara risiko toksisitas lantaden dari konsumsi Lantana camara

dihitung berdasarkan estimasi jumlah konsumsi kering tumbuhan Lantana

camara setiap hari. Acid insoluble ash (AIA) digunakan untuk mengukur tingkat

(9)

tinggi bukan merupakan tumbuhan dengan kualitas nutrisi terbaik, serta ada fluktuasi komposisi pakan yang menyebabkan rendahnya kualitas asupan air, nutrien, dan energi pada waktu-waktu tertentu. Dinamika komposisi pakan yang terjadi adalah: asupan air dari pakan berada pada tingkat yang rendah pada bulan November (setelah musim kering di bulan Oktober); asupan protein menunjukkan titik terendah di bulan Oktober (musim kering); asupan lemak menunjukkan titik terendah pada bulan-bulan Oktober, November, Februari, Maret; dan asupan energi terlihat ada pada tingkat terendah pada bulan Desember. Perbandingan konsumsi lantaden pada badak jawa dengan referensi dari literatur yang menyatakan konsumsi lantaden dapat mulai menimbulkan gejala klinis pada kadar 4,000 mg/ekor/hari menunjukkan bahwa risiko toksisitas dari komsumsi lantaden pada badak jawa berada pada tingkatan yang rendah yaitu: 174.15 mg/ekor/hari.

Salah satu aspek penting dalam pengelolaan populasi badak jawa

(Rhinoceros sondaicus) di Taman Nasional Ujung Kulon Banten adalah upaya

(10)

mendalami respons yang ditunjukkan oleh kuda (sebagai hewan model untuk badak) terhadap cekaman tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk melihat respons perilaku, fisiologis (hematologi dan respirasi) pada hewan model kuda akibat cekaman defisit pakan dan air 50% dari kebutuhan normal. Perlakuan yang diberikan adalah pakan kontrol sesuai kebutuhan (K) dan 50% dari kebutuhan (50%K). Jumlah kuda yang dipakai terdiri dari dua ekor kuda jantan berusia dewasa dan muda dengan bobot badan masing-masing 104 dan 98 kg. Induksi cekaman dilakukan pada dua ekor kuda model dengan mengurangi asupan pakan secara bertahap sampai asupan pakan hanya 2.65% dari berat tubuh kuda (defisit pakan) dan pengurangan air minum sampai 50% dari jumlah ad libitum yang biasanya tersedia di kandang. Parameter yang diamati terdiri dari hematologi rutin dan kadar kortisol darah yang diukur selama periode kontrol dan perlakuan induksi cekaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar kortisol dan hematologi (rasio netrofil:limfosit) menunjukkan bahwa defisit pakan merupakan cekaman akut yang dapat diatasi oleh kuda (ditandai dengan penurunan kortisol pada penghujung perlakuan). Kadar kortisol dan hematologi (rasio netrofil:limfosit) menunjukkan bahwa defisit air merupakan cekaman yang bersifat kronis dan tidak dapat diatasi dengan mudah. Dengan defisit pakan dan air, kedua ekor kuda menunjukkan perubahan-perubahan: perilaku (mengurangi aktifitas berjalan dan melakukan aktifitas menggigit ember/pagar / crib biting), peningkatan kadar kortisol, hematologi (perubahan rasio Netrofil/limfosit yang menunjukkan adanya migrasi limfosit/imunosupresi saat cekaman), dan peningkatan respirasi pada kedua ekor kuda saat mengalami cekaman. Penelitian ini menunjukkan bahwa tingginya cekaman (sebagaimana ditunjukkan oleh tingginya kadar indikator hormon cekaman) terjadi bersamaan dengan keterbatasan air di musim kering, dan ini dapat disimpulkan bahwa keterbatasan air tersebut cenderung dapat mengakibatkan cekaman bagi badak jawa.

Untuk memastikan kuantitas dan kualitas pakan yang memadai, perlu ada upaya pengkayaan habitat dengan mengurangi dominasi tumbuhan langkap

(11)

terutama di daerah utara. Intervensi seperti ini akan memicu pertumbuhan jumlah ketersediaan tumbuhan pakan yang disukai badak. Kualitas nutrisi pakan badak dapat ditingkatkan dengan menanam tumbuhan pakan yang terdiri dari: Moringa

citrifolia, Callicarpa longifolia, Chisocheton microcarphus, (protein tinggi);

Alstonia angustiloba, Callicarpa longifolia, Macaranga spp, (lemak tinggi);

Derris thyorsifolia, Pterospermum javanicum, Percampyulus glances, (energy

tinggi); Paederia scandens, Alstonia scholaris, Costus speciosus (kandungan air tinggi).

(12)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisankritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapu tanpa izin tertulis dari

(13)
(14)

JAWA (

Rhinoceros sondaicus

) BERDASARKAN

ANALISIS NUTRISI DAN TINGKAT

CEKAMAN

SEBAGAI PARAMETER KESEHATAN

ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Ilmu Biomedis hewan

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(15)
(16)

Kesehatan

Nama: Adhi Rachmat Sudrajat Hariyadi

NRP: B361080011

Program Studi: Ilmu Biomedis Hewan

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Prof. Drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD Ketua

Dr. Drh. Hera Maheshwari, MSc Prof. Dr. Ir. Hadi S Alikodra MS

Anggota Anggota

Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS Anggota

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

drh.Agus Setiyono, MS, PhD, ApVet Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(17)

Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 28 April 1971 dan merupakan anak pertama dari 2 bersaudara dari ayah yang bernama Hariyadi Suwandar dan ibu bernama Mita Djuwita. Sejak kecil penulis tertarik dengan kegiatan alam terbuka dan juga mempelajari ilmu biologi. Dengan berbekal latar belakang ini, pendidikan S1 di bidang biologi dari University of Alberta, Kanada diselesaikan pada tahun 1994 dengan gelar Bachelor of Science (BSc). Selepas pendidikan, penulis menempuh berbagai pengalaman kerja antara lain sebagai teknisi karantina dan kesehatan ikan di SeaWorld Indonesia, konsultan biologi, sampai akhirnya menangani kegiatan pelestarian satwa badak jawa sebagai manajer proyek WWF Indonesia di Taman Nasional Ujung Kulon. Didorong oleh keinginan untuk mempelajari kesehatan pada satwa liar, penulis mengikuti pendidikan Magister Pascasarjana Program Studi Sains Veteriner di Institut Pertanian Bogor sejak tahun 2004, lulus pada tahun 2006, dan setelah itu membimbing beberapa mahasiswa kedokteran hewan IPB yang memiliki minat untuk mempelajari kesehatan satwa liar.

Untuk lebih memperdalam pengetahuan di bidang kesehatan satwa liar, khususnya badak jawa, penulis bergabung dengan program Doktor dalam bidang Ilmu Biomedis hewan di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor sejak tahun 2008 sambil melibatkan diri untuk bekerja di kawasan konservasi Taman Nasional Ujung Kulon-Banten, Bukit Barisan Selatan-Lampung, dan Kawasan ekosistem Leuser-Aceh dalam upaya melestarikan spesies badak di Indonesia.

(18)
(19)

Penulis mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberi jalan, petunjuk, dan kekuatan selama penulis menempuh studi di sekolah pasca sarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini tidak mungkin dapat tersusun tanpa bantuan dan dukungan moral dari keluarga tercinta yaitu Istri: Indriani Noverita, serta ananda: Rahadrian Ksatria, dan Ayodhya Tangguh yang selalu memberikan motivasi dan juga inspirasi.

Rasa terimakasih dan penghormatan yang sedalam-dalamnya penulis ucapkan kepada para dosen pembimbing: Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD, Prof. Dr. Dewi Apri Astuti, MSc, Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS, dan Dr. drh. Hera maheshwari, MSc, yang dengan penuh kesabaran dan dedikasi memberikan pengarahan dan masukan yang sangat berarti dalam penelitian ini. Terimakasih dan penghormatan juga penuli sberikan kepada Dr. drh. M. Agil yang telah banyak memberi masukan dan arahan selama pendidikan, dan kepada Handayani, drh. Dedi Setiadi, Msi, dan Ir. Ghalib, Msc yang telah banyak membantu kerja penulis di laboratorium, serta kepada ibu Nani di PSSP atas perhatian dan kesabarannya dalam menyusun keadministrasian dan penjadwalan..

(20)

Jaya, kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten memberikan bantuan dan dukungan selama pengambilan data di lapangan dan mendampingi perjalanan menembus belantara Taman Nasional Ujung Kulon untuk mengikuti gerak langkah badak jawa.

Semoga Allah memberikan yang terbaik

(21)

DAFTAR ISI

Pendekatan Konservasi Melalui Aspek Medis... 3

Tujuan Penelitian... ... 4

Habitat Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon... 10

Informasi Umum tentang Badak Jawa... 11

Jenis-jenis Cekaman... 14

Cekaman Akut... 14

Cekaman Kronis... 15

Penyakit-penyakit pada Badak... ... 15

Pengaruh Perubahan Iklim... 16

Mekanisme Fisiologis Terhadap Cekaman Kekeringan... 18

Termoregulasi... 18

Kondisi Kulit... 18

Defisit Glukosa... 24

Lapar Serum... 26

Ambang Batas dan Proses Perbaikan dalam Kondisi Lapar Sel... 27

Peranan dan Interaksi Hormon Kortisol dan Tiroksin sebagai Caraka... 29

Lantana camara sebagai Bahan Toksin / Antinutrisi... 31

Hewan-hewan Model dan Pembanding untuk Badak Jawa... 33

Badak Sumatra (Dicerorhinus bicornis)... 33

Badak India (Rhinoceros unicornis)... 34

Kuda... 34

Analogi Perbandingan... 36

Daftar pustaka... 38

(22)

Bahan dan Metode... 51 Metode AIA (Acid insoluble ash) menurut Van Keulen & Young.. 60 Risiko toksisitas dari konsumsi Lantana camara... 61 Ketersediaan Garam... 61 Analisis Data... 62 Hasil dan Pembahasan... 63

(23)

Hasil Uji Paralelisme... 94 Faktor Pengenceran untuk Kuantifikasi Metabolit

Glukokortikoid (3α, 11β

-dihydroxy-CM)... 94 Profil 3α, 11β-dihydroxy-CM pada Individu Badak & Populasi... 95 Kondisi cekaman... 97 Faktor cekaman dan Profil Glukokortikoid... 98 Simpulan dan saran... 100 Simpulan... 101 Saran... 101 Daftar pustaka... 102 KAJIAN KUANTITATIF MENGGUNAKAN HEWAN MODEL SEBAGAI

PEMBANDING UNTUK BADAK JAWA DALAM PENELITIAN CEKAMAN AKIBAT DEFISIENSI PAKAN DAN DEFISIENSI AIR... 105

Abstrak... 105 Abstract... 106 Pendahuluan... 107 Proses Pemilihan Hewan Model... 108 1) Kelompok Hewan Model Konvensional...... 108 2) Kelompok Hewan Badak (Rhinoceratidae)... 109 Tujuan Penelitian... 110 Bahan dan metoda... 112

(24)

Identifikasi Komponen Pemicu Cekaman………. 132

PEMBAHASAN UMUM: MODEL DALAM PENGELOLAAN POPULASI BADAK JAWA... 141

Pendahuluan... 141 Tekanan yang dihadapi badak jawa... 143 1) Defisit Energi Asal Pakan... 143 2) Defisit Air... 144 Model Pengelolaan Badak Jawa... 145 Komponen 1: Teknik Pemantauan... 146

Pemantauan Status Nutrisi... 146 Pemantauan Cekaman Berdasarkan Profil Hormon... 146 Komponen 2: Pengkayaan Nutrisi... 147

Menekan Laju Invasi dan Dominasi Tumbuhan

Langkap (Arenga obtusifolia)... 147 Pengkayaan Air, Nutrien, & Energi dari Tumbuhan Pakan... 149 Pengendalian Lantana camara... 150 Komponen 3: Mitigasi Cekaman Akibat Defisit Air... 151 Komponen 4: Penggunaan Hewan Model Untuk Riset... 152

(25)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Daftar karakteristik antara badak jawa dengan hewan model yang

digunakan dalam penelitian (kuda dan badak sumatra)... 37 2 Jenis vegetasi tumbuhan paling dominan di lokasi ruang jelajah badak

jawa……… 52

3 Rangkuman luas ruang jelajah dan jarak tempuh tiap ekor badak... 64 4 Badak jawa, lokasi, dan jenis pakan dengan palatabilitas tertinggi

(persentase konsumsi basah rata-rata per hari) selama pengamatan bulan Oktober 2009 sampai April 2010... 67 5 Komposisi nutrien dan energi dari tumbuhan pakan yang disukai badak

jawa (palatabilitas tinggi)... 67 6 Daftar tumbuhan pakan dengan kandungan air, nutrien, dan energi

tertinggi... 68 7 Data asupan nutrisi harian badak

jawa... 70 8 Rataan asupan air, protein, lemak, dan energi per ekor per hari pada tiga

ekor badak yang diamati dalam penelitian... 71 9 Persen kecernaan berat kering dari tiga ekor badak dengan koreksi 10%

menurut Mainka et al. (1989)... 71 10 Estimasi penghitungan asupan antinutrisi lantaden harian melalui

konsumsi tumbuhan Lantana camara pada badak jawa (g/ek/h)... 73 11 Perbandingan hewan model serta kriteria pengamatan yang relevan

dengan penelitian pada badak jawa (dari berbagai sumber)... 110 12 Pemberian air minum untuk setiap ekor kuda pada periode perlakuan

(26)

13 Ethogram (daftar perilaku) berdasarkan pengamatan kuda, badak jawa,

dan badak sumatra. Ethogram badak sumatra disusun berdasarkan Siswandi et al.

(2005)... 119 14 Konsumsi pakan (% bahan kering per berat badan kuda)... 123 15 Konsumsi nutrien setiap ekor kuda selama periode perlakuan defisiensi

pakan... 123 16 Persen kecernaan dua ekor kuda dengan koreksi 10 % menurut Mainka

(27)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Skema alur penelitian serta kontribusi yang dihasilkan terhadap

konservasi badak jawa. Garis putus mewakili aspek konservasi (Pemanfaatan dan Riset) yang tidak secara langsung difokuskan dalam penelitian ini... 7 2 Badak jawa jantan yang tertangkap oleh kamera otomatis (kamera jebak)

di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Foto: WWF Indonesia – Balai Taman Nasional Ujung Kulon... 12 3 Struktur kulit badak afrika dalam keadaan normal yang terdiri dari

lapisan keratin pada bagian terluar. Pada gambar ini terlihat lapisan keratin mengelupas dan digantikan dengan lapisan yang baru. Sumber: Munson et al. (1998)... 19 4 Histopatologi pada epidermis badak (badak afrika) yang menunjukkan

adanya degenerasi hidroskopik, dan pembentukan celah/retakan pada kulit. Tidak ada inflamasi ditemukan pada lesio ini. Pewarnaan HE, bar = 100 mikron. Sumber: Munson et al. (1998)... 20 5 Rangkaian reaksi yang dipicu oleh kondisi lapar sel (menurunnya kadar

gula dalam sel) yang berujung pada pemisahan sel (cell detachments), dan kematian sel. Sumber: Suzuki et al (2003), Wu et al (2001), dan Cavaliere et al (2001)... 29 6 Tumbuhan perdu Lantana camara di habitat badak di Taman Nasional

Ujung Kulon memiliki bunga berwarna cerah. Foto: Ahariyadi – WWF

Indonesia... 32 7 Filogram yang menunjukkan kekerabatan berbagai spesies berdasarkan

(28)

10 Contoh jejak badak yang relatif segar. Badak berada di lokasi ini 12 jam sebelum jejak ditemukan. Foto: Ahariyadi-WWF Indonesia... 59 11 Pola lintasan badak no 13 di Utara (A), badak 18 di Barat (B), dan badak

no 12 di Selatan (C) beserta aktifitas dari masing-masing badak

sebagaimana tercatat dalam survey lapangan... 65 12 Beberapa contoh tumbuhan pakan badak Jawa yang tercatat dalam

pengamatan di lapangan. Foto di atas menunjukkan jenis tumbuhan tepus: Amomum sp (A), Rotan: Calamus sp (B), dan Mara: Mallotus floribundus (C). Foto: Rsetiawan – WWF Indonesia... 66 13 Rentang kandungan NaCl dalam tanah di empat lokasi kubangan yang

berada dalam lingkup ruang jelajah tiga ekor badak jawa yang diamati dalam penelitian... 74 14 Reaksi biokimia yang merupakan proses tanggap terhadap cekaman bagi

mamalia (sumber: Coenen 2005)... 82 15 Grafik paralelisme antara kadar 5-beta androstandiol (5-beta adiol) pada

feses dengan kurva standard berdasarkan hasil uji paralelisme... 95 16 Fluktuasi kadar hormon glukokortikoid pada semua individu badak... 96 17 Rentang kadar metabolit glukokortikoid (5-beta adiol) antar individu

badak... 96 18 Karakteristik musim pada periode pengamatan (bulan Oktober

2009-April 2010) berdasarkan rata-rata jumlah kejadian hujan, cerah, ataupun berawan dalam satu hari... 97 19 Perbandingan tingkat konsumsi energi per berat badan (sumbu x)

dengan kadar metabolit glukokortikoid pada feses……… 99 20 Perbandingan kadar hormon cekaman antar individu badak dengan

asupan berat kering yang berbeda (A) dan antar musim/curah hujan (B)... 99 21 Perbandingan anatomi system pencernaan kuda (A) dan badak (B) yang

menunjukkan karakteristik hewan monogastrik (lambung satu) dan keberadaan sekum untuk pencernaan selulosa. Sumber:

www.wren.aps.uo.guelph.ca... 108 22 Kuda jantan dewasa bernama Garuda (A) dan kuda jantan dewasa muda

bernama Elang (B) yang digunakan sebagai hewan model dalam pengamatan di Rumah Sakit Hewan IPB Darmaga... 113 23 Komposisi aktifitas badak 18 (A), badak 12 (B), dan badak 13 (C)

(29)

24 Komposisi perilaku kuda jantan muda (A) dan jantan dewasa (B) yang

tercatat dalam pengamatan perilaku... 120 25 Komposisi perilaku kuda Dewasa (A) dan kuda remaja (B) selama

periode aklimatisasi di kandang... 122 26 Penurunan kadar kortisol dalam darah pada kedua ekor hewan (Garuda

dan Elang) selama periode aklimatisasi di kandang... 122 27 Fluktuasi kadar kortisol pada hewan pada perlakuan minus pakan... 125 28 Perbandingan perilaku hewan model kuda jantan dewasa (A) dan kuda

jantan muda (B) dalam berbagai perlakuan... 128 29 Trend peningkatan kadar kortisol dalam darah pada perlakuan minus air. 128 30 Trend peningkatan respirasi pada kuda dalam perlakuan defisit pakan

(A) dan defisit air (B) dibanding dengan kondisi normal istirahat... 131 31 Perbandingan peningkatan respirasi badak dan kuda dalam kondisi

normal dan cekaman (stress)... 131 32 Trend kecernaan badak dan kuda dalam kondisi normal dan cekaman

(stress)... 134 33 Lokasi temuan kematian badak Jawa dalam periode tahun 2000-2010.

Titik hijau menunjukkan kasus dengan informasi yang relatif lengkap mengenai penyebab kematian... 142 34 Model pengelolaan populasi dan habitat badak jawa dengan pendekatan

aspek nutrisi, cekaman, dan kesehatan...

146

35 Distribusi badak jawa di semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon (titik merah) berdasarkan hasil survey 2005-2010. (sumber: WWF Indonesia & Balai TNUK)... 148 36 Lokasi ideal untuk plot pengendalian langkap (Arenga obtusifolia) di

semanjung Ujung Kulon ditandai dengan poligon berwarna merah... 149 37 Usulan areal pengendalian tumbuhan Lantana camara di areal pakan

(30)

DAFTAR LAMPIRAN

(31)

Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan mamalia besar yang tergolong langka karena jumlahnya tidak melebihi 60 ekor di seluruh dunia, sehingga IUCN memasukan badak jawa dalam kategori terancam punah. Badak jawa berada pada dua lokasi yaitu: sekitar delapan ekor di Taman Nasional Cat Tien Vietnam dan sekitar 50 ekor di Taman Nasional Ujung Kulon di Indonesia. Tentang jumlah dan keragaman genetika yang ada saat ini, para ahli berpendapat bahwa populasi di Taman Nasional Ujung Kulon adalah satu-satunya populasi yang berpotensi untuk berkembang biak, dan merupakan kunci kelestarian spesies ini di muka bumi. Hal ini bukanlah hal yang ideal dari segi konservasi, karena dengan hanya bertumpu pada satu populasi saja, justru risiko kepunahan akan semakin besar. Satu populasi memiliki tingkat kerentanan yang tinggi, sehingga bencana alam katastropik (gunung berapi, tsunami) dan/atau epidemik yang melanda populasi di Ujung Kulon akan menyebabkan mortalitas massal yang berpotensi melenyapkan spesies ini.

Badak jawa yang telah bertahan hidup di Ujung Kulon dalam waktu yang lama sempat mengalami penurunan jumlah populasi di tahun 1962 mencapai jumlah hanya 25 ekor saja pada saat itu. Saat ini badak jawa telah mengalami peningkatan dari jumlah populasi di tahun 1962 ke jumlah sekitar 50 ekor, dan terbentuk paradigma yang beranggapan bahwa badak jawa merupakan satwa yang tangguh dan selama mereka berada di habitat alami, kesehatan mereka termasuk baik. Upaya pelestarian badak jawa umumnya dititik beratkan pada upaya pengamanan dan pengelolaan habitat, sementara aspek medis konservasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan peluang keberlangsungan spesies ini menjadi terabaikan.

(32)

Sebagai populasi tertutup dimana tidak terjadi proses migrasi keluar atau masuk ke dalam Taman Nasional Ujung Kulon, pertumbuhan populasi badak jawa dapat dicapai dengan dua cara yaitu: meredam tingkat mortalitas dan/atau meningkatkan reproduksi yang ada pada populasi saat ini.

Permasalahan

Dua hal yang besar pengaruhnya terhadap peluang reproduksi dan juga risiko mortalitas adalah aspek asupan nutrisi dan tingkat cekaman. Sejak awal tahun 70an tidak ada lagi terjadi kasus perburuan badak jawa, oleh karena itu slah satu ancaman terbesar yang dapat menyebabkan kematian bagi badak jawa muncul dari risiko penyakit dan perubahan pada komposisi ekosistem baik yang berupa suksesi alami maupun perubahan yang terjadi sebagai dampak dari aktifitas manusia seperti perubahan iklim. Dari sudut pandang epidemiologi, nutrisi dan cekaman merupakan dua aspek yang ada dalam lingkungan / habitat badak yang berperan penting dalam menentukan kemampuan badak untuk menurunkan risiko kematian dengan cara mengatasi penyakit berupa agen infeksius dan non-infeksius.

Dalam dunia medis, agen infeksius didefinisikan sebagai penyebab penyakit yang dapat berpindah atau ditularkan dari satu individu kepada individu lainnya baik secara langsung maupun melalui perantara (vektor). Contoh-contoh agen infeksius terdiri dari: virus, bakteri, dan parasit yang dapat membahayakan kehidupan satwa liar dan juga manusia (Daszak 2000). Sebaliknya, agen non-infeksius didefinisikan sebagai penyebab penyakit yang tidak dapat berpindah atau menular dari satu individu ke individu lainnya seperti toksin (racun) yang menyebabkan penyakit akibat konsumsi ataupun kontaminasi bahan toksin yang berasal dari lingkungan.

(33)

Pendekatan Konservasi Melalui Aspek Medis

Teknik medis konservasi mulai diperlukan dengan mempertimbangkan adanya berbagai ancaman yang dapat mempengaruhi kesehatan dan kelangsungan hidup badak jawa. Secara kualitatif, mortalitas akibat gangguan kesehatan badak jawa pernah terjadi pada lima ekor badak di tahun 1982 (WWF-IUCN 1982), dan satu ekor badak di tahun 2003. Semua kasus kematian diawali dengan gejala klinis kolik yang mengindikasikan adanya gangguan pada sistem pencernaan. Beberapa kemungkinan gangguan kesehatan dapat muncul karena adanya infeksi silang antar satwa liar (banteng dan badak menggunakan areal yang sama di semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon), dan infeksi dari hewan ternak yang lepas dan masuk ke dalam kawasan. Selain ancaman dari agen infeksius, ancaman dari sumber non-infeksius seperti: asupan metabolit sekunder dari sumber makanan dan bahan-bahan yang bersifat toksik juga merupakan aspek yang harus dicermati dalam pengelolaan populasi.

Habitat di Ujung Kulon secara perlahan namun pasti mengalami perubahan akibat berbagai kejadian seperti: invasi tumbuhan langkap Arenga obtusifolia (Putro 1997) dan perubahan iklim. Kedua faktor di atas menyebabkan berkurangnya ketersediaan tumbuhan pakan yang dibutuhkan oleh badak, sementara perubahan iklim ditengarai dapat mengakibatkan perubahan pada iklim mikro (Suprayogi et al. 2006), keragaman jenis tumbuhan (Huxman & Scott 2007), serta perubahan pada mekanisme penyebaran penyakit (Harvell et al. 2002). Suksesi vegetasi alami dapat mendorong terjadinya dominasi tumbuhan tertentu dan dapat mengakibatkan keterbatasan pakan. Beberapa jenis tumbuhan yang mendominasi struktur vegetasi tersebut mengandung antinutrisi/toksin seperti pada jenis Lantana cammara yang mengandung zat yang dikenal dengan nama: lantaden (Sharma et al. 2000). Zat lantaden ini merupakan suatu senyawa yang diproduksi secara alami oleh tumbuhan

Lantana cammara dan bersifat racun hepatotoksin, atau senyawa racun yang dapat

(34)

Sampai saat ini belum ada metode aplikatif yang dapat digunakan untuk memantau kualitas asupan nutrisi dan tingkat cekaman yang dihadapi olah badak jawa. Tingkat kesulitan untuk menemukan badak di habitatnya dan tidak adanya badak jawa di penangkaran mengharuskan peneliti untuk mengembangkan metode pengamatan dan pemantauan dengan menggunakan sampel feses badak yang relatif lebih mudah didapat. Tantangan berikutnya ada pada proses untuk menggali informasi serta memperoleh parameter kesehatan dari feses badak tersebut sebagai indikator yang akurat dan sensitif untuk mencerminkan kesehatan secara umum dan kondisi pencernaan secara khusus. Indikator ini dapat digunakan sebagai baseline, namun informasi mengenai fluktuasi dan ambang batas indikator-indikator terkait masih diperlukan sebagai data pelengkap untuk menjadikan metode ini lebih relevan dan aplikatif sebagai perangkat pemantauan kesehatan badak jawa. Berdasarkan informasi baseline inilah suatu model pengelolaan populasi badak disusun dengan tujuan meningkatkan peluang untuk dapat bertahan terhadap penyakit dengan upaya untuk mengurangi risiko mortalitas serta meningkatkan peluang reproduksi. Selain menjadi bagian dalam upaya pengelolaan populasi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon, perangkat pemantauan kesehatan seperti ini merupakan bagian dari metoda pemantauan populasi yang juga merupakan suatu kebutuhan pengelolaan badak jawa terkait pembentukan populasi ke-2 dimana beberapa ekor badak akan dipindahkan dari habitat yang ada di Taman Nasional Ujung Kulon ke lokasi lain. Melalui upaya pemindahan badak ke habitat baru, perangkat untuk mengukur tingkat cekaman, status/profil nutrisi, dan analisis risiko kesehatan pada badak saat adaptasi, dalam proses, dan pasca pemindahan merupakan suatu keharusan untuk menjamin kelangsungan hidup populasi badak di habitat barunya.

Tujuan Penelitian

(35)

1. Pola pergerakan dan lintasan badak di habitatnya (trajektori) sebagai basis dari pengumpulan informasi daya dukung alam Taman Nasional Ujung Kulon.

2. Palatabilitas, kuantitas, kualitas pakan, kecernaan, risiko toksin lantaden, dan ketersediaan garam bagi badak jawa jantan di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon.

3. Profil hormon glukokortikoid akibat cekaman defisit nutiren dan ketersediaan air dengan menggunakan 5-beta-adiol sebagai indikatornya.

4. Potensi penggunaan hewan model (kuda) sebagai pembanding bagi badak jawa dalam penelitian cekaman akibat defisit pakan dan air.

5. Penyusunan rekomendasi model pengelolaan badak jawa berbasis nutrisi dan ketersediaan air di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon.

Hipotesis Penelitian

1. Kondisi habitat di Taman Nasional Ujung Kulon merupakan daerah dengan daya dukung (ketersediaan pakan dan air) yang kurang memadai bagi badak jawa. Kondisi ini mengakibatkan meningkatnya cekaman pada badak jawa.

2. Metabolit hormon asal feses dapat digunakan sebagai indikator status dan profil glukokortikoid akibat cekaman, mengingat glukokortikoid merupakan indikator aktifitas korteks adrenal yang disebabkan oleh adanya cekaman.

3. Kuda dapat digunakan sebagai hewan model pembanding yang baik untuk penelitian terkait cekaman akibat keterbatasan pakan dan air yang mempengaruhi badak jawa, mengingat kuda memiliki kesamaan genetika, anatomi saluran cerna, dan perilaku dengan badak.

Novelty / Kebaruan

(36)

model tertentu untuk menghindari risiko dan kesulitan yang timbul bila menggunakan badak jawa secara langsung.

Produk nyata yang merupakan novelty atau kebaruan hasil penelitian ini adalah penerapan hasil-hasil penelitian ini untuk kepentingan pengelolaan badak jawa di habitat alaminya. Langkah-langkah penerapan hasil dari penelitian ini terdiri dari:

1. Penggunaan hewan model untuk mensimulasi kondisi habitat serta mempelajari respons yang mungkin terjadi pada badak jawa di habitat alaminya.

2. Rekomendasi pengelolaan vegetasi potensial untuk kehidupan badak jawa. 3. Penggunaan profil glukokortikoid sebagai indikator cekaman pada badak.

Alur Penelitian

(37)

kemungkinan pengembangan metoda pemantauan kesehatan yang dapat dilakukan secara non-invasif terkait tekanan yang dapat terjadi di habitat alami yaitu: akibat keterbatasan pakan (kadar toksisitas dalam pakan) serta minimnya ketersediaan air, maka penelitian ini memiliki kerangka acuan sebagaimana ditampilkan pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Skema alur penelitian serta kontribusi yang dihasilkan terhadap konservasi badak jawa. Garis putus mewakili aspek konservasi (Perlindungan dan Pembuatan kubangan) yang tidak secara langsung difokuskan dalam penelitian ini.

Metode Umum

(38)

Tahap 1: Habitat Badak dan Profil Nutrisi

Tahap ini bertujuan untuk mempelajari profil asupan pada badak jawa di habitat aslinya di Taman Nasional Ujung Kulon sebagai bahan informasi yang digunakan dalam simulasi/induksi cekapam pada tahap tiga. Penguatan analogi antara badak dengan hewan model dilakukan dengan membandingkan hasil dari tahap ini (kecernaan) dengan hasil kecernaan hewan model pada tahap tiga. Tahap ini terdiri dari metoda:

1. Identifikasi ruang jelajah dan ruang pergerakan badak contoh untuk mempelajari kondisi habitat (keragaman pakan, ketersediaan kubangan/air, ketersediaan garam) terkait ruang jelajah dari setiap ekor badak.

2. Identifikasi pakan serta komposisi tumbuhan pakan yang di sukai

3. Identifikasi kualitas pakan serta penghitungan kualitas nutrisi tumbuhan pakan

4. Penghitungan tingkat kecernaan dengan metode AIA

5. Analisis deskriptif untuk mengidentifikasi perbedaan profil asupan dan kecernaan antar individu badak.

Tahap 2: Habitat Badak dan Profil Cekaman

Tahap ini bertujuan untuk mempelajari profil cekaman yang terjadi pada badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. Perbedaan profil cekaman diamati antar individu dan juga antar musim yang berbeda (musim kering dan penghujan). Identifikasi sumber cekaman dalam tahap ini digunakan dalam simulasi/induksi cekaman pada Tahap 3. Informasi mengenai profil cekaman ini dibandingkan dengan hasil induksi cekaman dalam Tahap 3 sebagai bagian dari penguatan analogi hewan model dan badak. Tahap ini terdiri dari metode:

1. Pengumpulan sampel feses dari tiga individu badak contoh pada musim kering dan penghujan.

2. Pemilihan asai hormon yang memadai untuk digunakan pada sampel feses sebagai cara mengidentifikasi tingkat cekaman. Pemilihan asai hormon terdiri dari: pemilihan kit hormon glukokortikoid/metabolitnya, serta validasi dari hormon/metabolit tersebut.

(39)

4. Analisisi deskriptif untuk mempelajari profil cekaman antar individu dan

trend keterkaitan antara profil cekaman dengan musim.

Tahap 3: Simulasi Cekaman pada Hewan Model

Tahap ketiga ini bertujuan untuk memilih hewan model yang sesuai untuk badak jawa dan mensimulasikan cekaman yang teridentifikasi pada Tahap 1 dan 2 serta mengukur reaksi tanggap yang terjadi pada hewan model tersebut. Penguatan analogi hewan model dengan badak jawa dilakukan dengan membandingkan hasil data tahap tiga ini dengan hasil dari tahapan-tahapan sebelumnya. Tahap tiga terdiri dari metode:

1. Pemilihan hewan model berdasarkan kaidah hewan model serta kesamaan/kedekatan genetika, anatomi, dan perilaku.

2. Simulasi dan induksi cekaman yang terjadi di habitat asli badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon (hasil dari tahap satu dan tahap dua) terhadap hewan model.

3. Kuantifikasi reaksi tanggap terhadap induksi cekaman berdasarakan parameter perilaku dan parameter fisiologis (respirasi, kadar hormon kortisol, hematologi, respirasi, dan kecernaan).

4. Penguatan analogi antara hewan model dengan badak melalui perbandingan reaksi tanggap yang terjadi pada hewan model dan reaksi pada badak berdasarakan pengamatan dan literatur.

(40)

TINJAUAN PUSTAKA

Habitat Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon

Dari lima spesies badak di seluruh dunia, badak jawa merupakan satu-satunya spesies yang ditemukan hanya di Indonesia, tepatnya di Taman Nasional Ujung Kulon Banten. Pada tahun 1999 survei menyatakan keberadaan badak jawa di Vietnam dengan jumlah delapan ekor (Polet et al. 1999), namun saat ini populasi tersebut sudah dinyatakan punah (IRF-WWF 2011). Dengan punahnya populasi badak jawa di Vietnam pada tahun 2011, maka keberlangsungan hidup spesies ini hanya bergantung pada populasi yang ada di Ujung Kulon. Ujung Kulon merupakan kawasan lindung yang ditetapkan sebagai Taman Nasional pada tahun 1990 dan diberi status sebagai situs warisan dunia (World heritage site) oleh UNESCO di tahun 1992.

Taman Nasional Ujung Kulon memiliki luasan 120,000 hektar yang terdiri dari kawasan darat dan laut, dan 30,000 hektar dari luasan ini merupakan semenanjung yang dihuni oleh badak jawa. Habitat badak di semenanjung Ujung Kulon ini sebagian besar merupakan dataran dengan tingkat kelerengan yang rendah dan ditumbuhi berbagai jenis vegetasi mulai dari hutan bakau, hutan rawa pantai, hutan pantai, hutan sekunder, dan hutan primer (Hommel 1987). Perbatasan antara hutan sekunder dan hutan primer merupakan area yang sangat disukai oleh badak karena area tersebut biasanya ditumbuhi oleh tumbuhan pakan badak.

Hommel (1987) juga menyebutkan bahwa tipologi tanah di semenanjung Ujung Kulon ini terdiri dari jenis tanah litosol yang memiliki kemampuan untuk menampung air dan menjadikan daerah ini banyak dipenuhi oleh genangan-genangan air yang digunakan sebagai kubangan oleh banyak satwa, termasuk badak jawa.

(41)

pemanfaatan tradisional, dan zona khusus) dengan pengelolaan berbasis resort agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan di masing-masing seksi dan zona tersebut.

Informasi Umum tentang Badak Jawa

Badak jawa pertama kali dikaji secara ilmiah oleh Desmarest di tahun 1822 dan dikategorikan sebagai spesies Rhinoceros sondaicus (Corbett & Hill 1992) dan merupakan merupakan salah satu spesies langka yang dikategorikan sebagai spesies yang terancam punah. Menurut Lekagul & McNeely (1977) taksonomi badak Jawa diklasifikasikan sebagai berikut:

Kerajaan : Animalia

Filum : Chordata

Sub-filum : Vertebrata Super kelas : Gnathostomata

Kelas : Mamalia

Super Ordo : Mesaxonia Ordo : Perissodactyla Super famili : Rhinocerotidae Famili : Rhinocerotidae

Genus : Rhinoceros Linnaeus, 1758

Spesies : Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822

Hoogerwerf (1970) menyebutkan bahwa badak Jawa dewasa memiliki ukuran tinggi (dari telapak hingga bahu): 169-175 cm dan panjang badan (dari moncong hingga ujung ekor): 392 cm, dan berat tubuh pada kisaran 2.280 kg. Dibandingkan dengan badak hitam afrika (Diceros bicornis), badak putih afrika (Ceratoterium

simum) dan badak india (Rhinoceros unicornis), badak jawa merupakan badak yang

(42)

Gambar 2. Badak jawa jantan yang tertangkap oleh kamera otomatis (kamera jebak) di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Foto: WWF Indonesia – Balai Taman Nasional Ujung Kulon (2003).

Di masa lampau badak jawa menghadapi tekanan berupa perburuan dan gangguan langsung dari masyarakat karena waktu itu mereka dianggap sebagai “hama” yang mengganggu lahan perkebunan masyarakat. Hal ini terjadi karena badak jawa memiliki preferensi makanan yang merupakan tumbuhan semak dan perdu yang banyak ditemukan di lahan pertanian masyarakat. Badak jawa yang dahulu tersebar di pulau Jawa, Sumatera, bahkan sampai ke Indocina populasinya makin terdesak dan badak jawa terakhir di pulau Sumatera ditembak mati di Palembang sekitar tahun 1920an dan badak jawa terakhir di luar Ujung Kulon ditembak di daerah Garut pada tahun 1930an. Sejak itu, badak jawa hanya terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten dan di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam. Namun, populasi badak jawa di Vietnam telah dinyatakan punah pada pertengahan tahun 2010 sehingga nasib keberlangsungan spesies ini hanya ada pada populasi di Indonesia. Walaupun perburuan sudah tidak ada lagi, saat ini populasi badak Jawa masih menghadapi tantangan yang dapat membahayakan kehidupan mereka.

(43)

kerentanan satwa ini terhadap cekaman dan risiko kematian akibat tekanan dan/atau proses pemindahannya dari habitat alami. Ilmu biomedis hewan diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk mempelajari aspek fisiologis, kesehatan, dan juga kemungkinan perlakuan untuk mencegah gangguan kesehatan pada spesies langka ini. Penelitian dititik beratkan pada kajian tingkat stres, toksisitas, dan analisis risiko akibat asupan nutrisi dan konsumsi jenis pakan alami tertentu bagi badak jawa yang tersedia di habitatnya. Sebagai hewan yang hidup liar, badak jawa sangat bergantung pada ketersediaan pakan di habitatnya, oleh karena itu, disamping perburuan, faktor lingkungan seperti perubahan iklim dan ketersediaan pakan merupakan penyebab kepunahan satwa ini dari berbagai habitat historisnya seperti di Borneo (Cranbrook & Piper 2007), Kamboja (Poole & Duckworth 2005), Malaysia (Kloss 1927), dan juga di Pulau Jawa (Scheltema 1912; Walcott 1914).

(44)

penggalian informasi dari masyarakat di sekitar zona penyangga Taman Nasional Ujung Kulon, berbagai jenis tumbuhan pakan badak telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber obat tradisional yang memiliki khasiat sebagai anti inflamasi, antipiretika, antiseptik, dan juga sebagai obat untuk memperlancar proses persalinan.

Jenis-jenis Cekaman

Berdasarkan rentang waktu pemaparannya, cekaman dapat dikategorikan ke dalam dua jenis yaitu: cekaman akut yang terjadi dalam waktu yang relatif singkat dalam hitungan detik sampai sekitar 60 menit (Figueiredo et al. 2003) dan cekaman kronis yang berulang setiap hari selama 5 hari (Melia & Duman 1991) sampai waktu yang lebih lama (mingguan, bulanan, tahunan) seperti yang dialami oleh badak di kebun binatang yang mengalami cekaman kronis akibat pengandangan dan kunjungan wisatawan (Carlstead & Brown 2005). Kedua jenis cekaman ini memberikan respons berupa peningkatan aktifitas adrenal korteks yang ditunjukkan dengan adanya peningkatak sekeresi hormon glukokortikoid (Barja et al. 2007) pada berbagai hewan termasuk badak (Turner Jr et al. 2002; Menargues et al. 2008). Selain kadar hormon glukokortikoid, cekaman akut dan kronis menimbulkan reaksi yang berbeda pada metabolisme dan sistem pertahanan tubuh hewan. Selain profil hormon dari kelas glukokortikoid, Davis et al. (2008) menyatakan bahwa profil hematologi khususnya netrofil dan limfosit merupakan indikator akan adanya cekaman pada hewan-hewan vertebrata.

Cekaman Akut

(45)

pembunuh bagi agen-agen asing yang masuk ke dalam tubuh. Sel-sel NK ini berkurang di dalam darah dan paru-paru, namun jumlahnya tidak berkurang di limpa (Kanemi et al. 2005).

Cekaman Kronis

Dhabhar (2000) menunjukkan bahwa cekaman kronis memberikan respons berupa pengurangan distribusi lekosit dari kulit kembali ke dalam darah, hal ini merupakan kebalikan dari respons yang ditunjukkan oleh adanya cekaman akut. Figuireido et al. (2003) menunjukkan bahwa cekaman kronis juga menghasilkan respons berupa sensitisasi aksis HPA terhadap sumber cekaman (biasanya terjadi pada cekaman yang sama dan berulang). Sensitisasi seperti ini merupakan contoh bahwa cekaman kronis dapat memicu dan mempertahankan perubahan pada beberapa proses biokimia yang berujung pada implikasi klinis (Melia & Duman 1991). Perubahan parameter fungsi-fungsi hormonal, sistem pertahanan tubuh, metabolisme, dan sistem kardio vaskular akibat adanya cekaman kronis dapat dirumuskan menjadi sebuah indeks yang dikenal dengan indeks beban allostatic yang dapat menunjukkan kemungkinan cekaman kronis tersebut mendorong terjadinya penyakit (Juster et al. 2009).

Penyakit-penyakit pada Badak

Selain suspect antraks pada kasus kematian badak jawa di tahun 1980an, informasi mengenai agen infeksius yang mengancam kehidupan badak jawa belum dapat diketahui dengan pasti. Salah satu telaah yang pernah dilakukan pada badak jawa adalah telaah endoparasit yang menemukan berbagai parasit cacing

(Strongyloides spp, Bunostomum spp, Trichostrongylus spp, Fasciola spp,

Schistosoma spp) dan protozoa (Balantidium spp, Entamoeba spp, Cryptosporidium

spp, Cycloposthium spp) dalam feses badak (Tiuria et al. 2006). Sebagai

pembanding, beberapa penyakit yang mungkin menyerang badak di populasi alaminya terdiri dari: penyakit darah (parasit protozoa Theileria sp dan Trypanosoma sp), penyakit infeksius (bakteri, fungi, virus), penyakit parasitik (helminth), penyakit reproduksi (brucellosis, vibriosis), luka, leptospirosis (Jessup et al. 1992), infeksi

Cowdria sp (Kock et al. 1992), dan defisiensi nutrisi dalam kasus

(46)

Penyakit yang ditemukan pada badak dalam penangkaran/kebun binatang lebih beragam dibandingkan dengan penyakit pada populasi alami dan ini mengakibatkan kerugian material bagi pengelola kebun binatang serta kerugian ekologis berupa berkurangnya jumlah badak akibat kematian. Hal ini disebabkan oleh

stress dan kondisi habitat buatan manusia yang berbeda dengan habitat alami badak.

Penyakit yang umum ditemukan pada badak dalam penangkaran/kebun binatang antara lain: lingual abscess (Hatt et al. 2004), retak pada kuku, laminitis, chronic foot

disease (Jacobsen 2005), lesio pada mata, katarak (Sanborn 1908), aneurism pada

arteri koroner (Kock et al. 1991), hemolitik anemia (Jessup et al. 1992), degenerasi/nekrosa dengan fibrosis pada purkinje myokardial (Kock 1996), ulcer pada kornea (Gandolf et al. 1999), dermatitis eksudatif (Völlm et al. 2000), dan leukimia limfoblastik akut (Paglia & Radcliffe 2000). Dari beberapa catatan yang ada, dapat dilihat bahwa penyakit pada badak yang hidup liar berbeda dengan penyakit pada badak di kebun binatang. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan pada agen penyebab penyakit, lingkungan, dan juga kondisi fisiologis badak itu sendiri.

Dalam tiga dasawarsa terakhir, banyak muncul jenis-jenis penyakit baru yang menginfeksi manusia maupun hewan termasuk satwa liar. Beberapa contoh dari patogen baru yang muncul adalah: Virus Hendra, Virus Nipah, dan Virus West Nile

(Daszak et al. 2004). Bidang medis konservasi ini menjadi bagian penting dalam proses antisipasi penyakit yang dapat muncul dan menginfeksi populasi satwa liar. Infeksi penyakit pada satwa liar akan menambah rumit upaya konservasi beberapa spesies, karena infeksi penyakit ini dapat menyebabkan kematian dan bahkan dapat meningkatkan risiko kepunahan pada spesies-spesies tertentu. Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Deem et al. (2001), Wildlife Conservation Society (WCS) telah mengidentifikasi pentingnya bidang medis konservasi ini dan telah mempelopori prosedur pemantauan kesehatan pada beberapa spesies satwa liar seperti: Llama guanaco (Lama guanicoe) dan orangutan (Pongo pygmaeus).

Pengaruh Perubahan Iklim

(47)

meningkatnya kadar CO2 di atmosfir dan juga berubahnya keseimbangan air di dalam

tanah (Huxman & Scott 2007). Korelasi antara perubahan iklim dan dinamika vegetasi ditunjukkan pula pada studi yang dilakukan oleh Williams et al. (2002) yang mempelajari perubahan vegetasi dan kondisi atmosferik pada zaman es. Perubahan struktur vegetasi ini dapat menimbulkan berbagai konsekuensi bagi badak jawa, satwa herbivora yang menggantungkan sumber pakan sepenuhnya dari vegetasi yang ada. Perubahan iklim menuju kekeringan seperti ini dapat mengakibatkan perubahan pada jenis-jenis tumbuhan dominan yang kemudian berpotensi pula untuk mengancam keberadaan jenis tumbuhan yang dibutuhkan oleh badak. Apabila jenis tumbuhan pakan badak berkurang akibat perubahan iklim seperti ini, maka defisit pakan akan dialami oleh badak sebagai konsekuensinya. Salah satu contoh kepunahan megaherbivora akibat perubahan iklim adalah kepunahan mammoth di Pulau Wrangle Siberia akibat hilangnya padang rumput serta berbagai tumbuhan yang menjadi bahan makanan mammoth di lokasi tersebut (Martin & Stuart, 1995).

Pemodelan yang dilakukan oleh Permadi (2008) menunjukkan bahwa perubahan iklim berpotensi untuk merubah semenanjung Ujung Kulon menjadi daerah yang lebih kering dengan ketersediaan air yang terbatas. Pemodelan ini menunjukkan bahwa ada risiko kekeringan yang dapat melanda habitat badak di semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon akibat perubahan iklim. Risiko kekeringan merupakan hal yang perlu diperhatikan mengingat bahwa Cameron & Perdue (2005) menunjukkan cekaman kronik yang terjadi pada hewan coba dapat timbul akibat kekeringan atau kelangkaan air (water avoidance stress), dengan demikian perlu dikaji lebih lanjut apakah ketersediaan air yang lebih sedikit pada musim kemarau akan memberikan suatu tekanan pada badak jawa.

(48)

Mekanisme fisiologis terhadap cekaman berupa kekeringan

Ketersediaan air dan aktifitas berkubang pada badak jawa (Rhinoceros

sondaicus) merupakan beberapa syarat penting untuk keberlangsungan hidup badak

jawa di habitat alaminya di semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon. Banyak peneliti badak terdahulu (Schenkel, Hoogerwerf, Van Strien, Sajudin, dan Setiawan) mencatat bahwa badak berkubang lebih dari satu kali dalam sehari dan ditambah dengan aktifitas berendam di sungai maupun di laut (pesisir pantai).

Termoregulasi

Aktifitas berkubang ini erat kaitannya dengan upaya termoregulasi yang dilakukan badak untuk menjaga keseimbangan (homeostasis) tubuh mereka. Termoregulasi merupakan suatu proses yang terkait dengan perilaku hewan untuk berusaha mempertahankan suhu tubuh yang optimal. Suhu yang terlalu tinggi akibat proses metabolisme ataupun suhu tubuh yang terlalu rendah akan mengkibatkan ketimpangan dalam berbagai proses fisiologi tubuh hewan (fungsi dan kinerja berbagai protein) yang akhirnya mendorong kondisi yang tidak seimbang dalam fisiologi hewan tersebut. Badak memiliki kulit berlipat dengan lapisan subkutan yang mengandung banyak pembuluh darah. Lipatan kulit dan pembuluh darah tersebut berfungsi dalam proses termoregulasi pada badak (Endo et al. 2009).

Kondisi kulit

Kelembaban kulit pada badak menjamin kecukupan kadar air yang diperlukan untuk menjaga kulit agar dapat mempertahankan struktur dan berfungsi secara optimal. Struktur kulit badak (badak afrika) disajikan pada Gambar 3, sementara gambaran kulit yang tidak normal (mengalami lesio) disajikan pada Gambar 4.

(49)
(50)

Gambar 4. Histopatologi pada epidermis badak (badak afrika) yang menunjukkan adanya degenerasi hidroskopik, dan pembentukan celah/retakan pada kulit. Tidak ada inflamasi ditemukan pada lesio ini. Pewarnaan HE, bar = 100 mikron. Sumber: Munson et al. (1998).

Kekurangan kadar air pada kulit mengakibatkan kondisi kulit kurang fleksibel/elastis sebagai stimulus bagi sekumpulan sel-sel syaraf yang dikenal dengan istilah neuron pada permukaan kulit yang berfungsi sebagai reseptor mekanis. Woolf & Mannion (1999) menjelaskan bahwa stimulus seperti ini mengakibatkan buka tutup kanal ion yang menyebabkan perubahan kadar ion Na++ dan Cl--pada lingkungan ekstrasel dan intrasel karena adanya aliran ion masuk ataupun keluar. Lebih lanjut Stuart et al. (1997) menjelasakan bahwa perbedaan ion seperti ini (depolarisasi) mengakibatkan terjadinya perubahan resting potential (-70 mV) menjadi action

potential yang menjalar sepanjang neuron. Karena adanya insulasi myelin bagian

akson pada sel neuron, maka “lompatan” elektrik action potential ini terjadi pada

node of Ranvier yang tidak terlapisi oleh myelin. Node of Ranvier merupakan satu

(51)

mengandung rongga di dalam sel yang disebut vesikula berisi zat-zat kimia yang dikenal dengan istilah neurotransmitter yang terbentuk dari senyawa asam amino ataupun mono-amina. Sinapsis yang merupakan jembatan antar serabut syaraf dari sel syaraf perifer seperti ini terdapat di bagian dorsal horn pada tulang belakang atau di dalam sistem susunan syaraf pusat. Action potential yang mencapai bagian ini kemudian memicu pergerakan vesikula ke arah membran sel, peleburan vesikula pada membran yang mengakibatkan terlepasnya neurotransmitter ke celah synapse

(synaptic cleft) untuk mempengaruhi kerja neuron berikut (neuron post-synaptic).

Nyeri pada kulit akibat kekeringan berbeda dengan rasa nyeri akut yang memberikan stimulus dalam intensitas tinggi (seperti tusukan dan panas) yang ditanggapi oleh neuron A-delta, nyeri pada kulit akibat kekeringan terjadi pada neuron tipe C dalam intensitas rendah yang mengakibatkan perasaan tidak nyaman pada badak, namun tidak cukup kuat untuk memicu refleks otot. Proses komunikasi antar neuron pada synapse tidak menimbulkan reaksi adrenergik yang mengakibatkan kontraksi otot, tapi menghantarkan signal nyeri dari saraf perifer ke susunan syaraf pusat dengan bantuan neurotransmitter (Woolf & Mannion 1999). Neurotransmitter asetilkolin pada neuron post-synapse melekat pada reseptor asetilkolin yang ada pada membran sel. Melekatnya asetilkolin menyebabkan terbukanya kanal ion Na++ yang mengakibatkan depolarisasi pada neuron pada susunan syaraf pusat yang mengakibatkan terjadinya action potential yang menjalar pada susunan syaraf pusat menuju sistem korteks pada otak (untuk persepsi) dan berlanjut ke sistem limbik (untuk respons).

(52)

menimbulkan rasa nyaman sebagai bagian dari “imbalan” kegiatan berkubang dan berendam. Perilaku berkubang merupakan suatu dampak reflektif dari adanya nyeri (Bennet 1999) dan merupakan suatu tindakan mempertahankan diri (self preservation) yang difasilitasi oleh neurotransmitter dopamin dan serotonin pada otak.

Dinamika yang terjadi pada ekosistem habitat badak tidak selalu memungkinkan badak untuk dapat segera menghilangkan rasa ketidaknyamanan akibat kekeringan pada kulit. Selama musim kemarau curah hujan jauh berkurang dan menyebabkan berkurangnya sumber air untuk berkubang dan berendam. Dengan berkurangnya sumber air seperti ini, kemungkinan besar badak harus bertahan lebih lama dengan kondisi tidak nyaman akibat kekeringan pada kulit untuk waktu yang relatif lebih lama dibanding pada musim hujan. Rasa tidak nyaman ditambah dengan intensitas kerusakan pada kulit yang makin tinggi menyebabkan impuls nyeri juga makin meningkat intensitasnya disertai meningkatnya durasi dari stimulasi yang terjadi pada reseptor nyeri pada kulit. Kondisi seperti ini menyebabkan otak untuk bekerja menanggapi kondisi yang terjadi dengan aktifasi sistem noradrenergik pada otak yang memicu sekresi hormon norepinefrin (Morilak et al. 2005).

(53)

ACTH didorong juga dengan adanya hormon Corticotropin Releasing Factor (CRF) yang melekat pada reseptor pada membran sel neuron pada bagian otak yang memproduksi ACTH.

ACTH yang beredar di dalam darah mencapai target organnya yaitu kelenjar adrenal yang berada di daerah ginjal. Sebagai kelenjar endokrin, adrenal memiliki sel-sel yang bertugas untuk mentranskripsi hormon berupa protein adrenalin (epinephrin) dan juga glukokortokoid kortisol yang terkait erat dengan kondisi cekaman (stres). ACTH melekat pada reseptor pada membran sel adrenal dan berfungsi sebagai agonis yang memicu hidrolisis fosfatidil inositol menjadi IP3 (Jolles

et al. 1980). IP3 kemudian memicu serangkaian reaksi yang terdiri dari: mobilisasi

ion Ca++ (dari retikulum endoplasmik dan golgi) yang selanjutnya bersama calmodulin mengaktifasi protein calcineurin dengan fosforilasi yang berujung pada transkripsi, translasi dan sekresi hormon-hormon cekaman dari sel-sel kelenjar adrenal. Kortisol yang muncul akibat adanya cekaman, dan hormon tiroksin yang senatiasa dibutuhkan dalam kehidupan sel bekerja secara sinergis dalam memberikan keluaran berupa peningkatan metabolisme lipid (trigliserida) di hati untuk kemudian digunakan dalam proses glukoneogenesis yang terfasilitasi oleh meningkatnya aktifitas (ekspresi) berbagai enzim. Lipid yang terakumulasi kemudian mengalami lipolisis dan terurai menjadi asam lemak sebagai bahan baku dalam proses glukoneogenesis.

(54)

diperlukan dalam proses signalling untuk mendorong berbagai fungsi dan respons selular.

Penelitian yang dilakukan Soto-Gamboa et al. (2009) menunjukkan adanya korelasi antara kadar ACTH dan kadar hormon kortisol di dalam darah. Selain itu, penelitian yang sama juga menunjukkan adanya korelasi antara kadar hormon kortisol dalam darah dengan kadar hormon kortisol beserta metabolitnya dalam feses. Wasser

et al. (2000) menunjukkan bahwa metabolit hormon kortisol yang dapat ditemukan

pada feses terdiri dari: kortisol, kortikosteron, 11-deoksikortisol, deoksikortikosteron, kortison, prednisolon, progesteron, dan prednison. Penelitian yang sama menunjukkan bahwa kortikosteron merupakan metabolit yang lazim dijumpai pada berbagai jenis spesies.

Defisit Glukosa

Monosakarida glukosa merupakan nutrien penting dalam metabolisme karena glukosa merupakan gula sederhana hasil dari pemecahan karbohidrat dalam metabolisme hewan dan merupakan sumber utama produksi NADH yang digunakan dalam sintesa ATP, kebutuhan energi di dalam sel. Penyerapan karbohidrat di dalam usus halus terjadi berkat bantuan protein khusus SGLT1 yang berfungsi sebagai co-transporter yang memerlukan ion Na+ dan glukosa untuk dapat menjadi pintu gerbang terserapnya karbohidrat di dalam usus yang berada pada dinding usus (Dyer et al. 2002). Lebih lanjut Mace et al. (2007) menjelaskan bahwa glukosa masuk ke dalam sel dari lingkungan ekstraseluler melalui protein transport khusus GLUT2 pada membran sel yang berfungsi sebagai kanal masuknya molekul glukosa ke dalam sel dengan bantuan Na. Tanpa adanya protein kanal ini, molekul glukosa yang tidak larut dalam lemak akan mengalami kesulitan untuk menembus membran sel dan masuk ke dalam lingkungan intrasel. Protein transpor ini bekerja secara sinergis dengan resptor insulin yang juga berada pada membran sel untuk membantu penyerapan molekul glukosa ke dalam sel. Hormon insulin sebagai caraka yang disekresikan oleh sel insula (sel β pada pankreas) berfungsi sebagai pemicu terbukanya GLUT2 untuk memfasilitasi masuknya glukosa ke dalam sel.

Gambar

Gambar 3.  Struktur kulit badak afrika dalam keadaan normal yang terdiri dari
Gambar 4.  Histopatologi pada epidermis badak (badak afrika) yang menunjukkan adanya degenerasi hidroskopik, dan pembentukan celah/retakan pada kulit
Gambar 7.  Filogram yang menunjukkan kekerabatan berbagai spesies berdasarkan variasi
Gambar 8. Tiga ekor badak jantan yang dipilih sebagai obyek penelitian: badak nomor 12 (A), nomor 13(B), dan nomor 18(C)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dan dari 24 (dua puluh empat) perusahaan yang mendaftar tersebut terdapat 11 (sebelas) perusahaan yang mengupload tabel kualifikasi, yaitu sebagai berikut :.. Cipta

( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6128).. PERATURAN PEMERINTAH

since it is inevitable that people had different experienced and have heard or read different thing. Berdasarkan beberapa teori dan pendapat para ahli yang telah

Sikap adalah suatu penilaian yang diberikan oleh responden terhadap produk makanan bandeng duri lunak yang terbentuk dari komponen kepercayaan dan komponen

dimaksud dalam huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral

Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk meningkatkan aktivitas belajar siswa di kelas dan meningkatkan hasil belajar siswa

Oleh karena kesuksesan pendidikan multikultural dalam mewujudkan masyarakat sipil yang modern diukur dengan penguasaan nilai-nilai IPTEKS dan soft skils yaitu kemampuan

“Mendidik berarti membantu seseorang kepada kedewasaan, dipahami sebagai tahap hidup manusia ketika dia dapat dengan bebas bertindak dan bersikap secara bertanggung