• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis nilai tambah dan dayasaing serta dampak kebijakan pemerintah terhadap industri tempe di kabupaten Bogor (kasus: desa Citeureup, kecamatan Citeureup)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis nilai tambah dan dayasaing serta dampak kebijakan pemerintah terhadap industri tempe di kabupaten Bogor (kasus: desa Citeureup, kecamatan Citeureup)"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

(Kasus : Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup)

Oleh:

MERIKA SONDANG SINAGA A14304029

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBER DAYA FAKULTAS PERTANIAN

(2)

RINGKASAN

MERIKA SONDANG SINAGA . Analisis Nilai Tambah dan Daya Saing serta Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Indusri Tempe di Kabupaten Bogor (Kasus: Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup). Dibimbing oleh YAYAH K. WAGIONO

Indonesia merupakan negara sedang berkembang dengan karakteristik laju pertumbuhan penduduk yang pesat. Pertambahan jumlah penduduk ini tentu diiringi pula dengan pertambahan kebutuhan akan pangan. Di samping itu terjadi perubahan pola pangan, dari tinggi karbohidrat dan rendah protein menjadi cenderung rendah karbohidrat dan tinggi protein. Fenomena tersebut mengakibatkan permintaan terhadap sumber protein menjadi semakin meningkat. Berdasarkan data dari BPS, diketahui bahwa konsumsi protein penduduk Indonesia per kapita pada tahun 1999, 2002, 2005, dan 2007 secara berturut-turut adalah 50.21 gram, 56.31 gram, 58.63 gram, dan 59.38 gram.

Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang tinggi tingkat permintaannya. Permintaan kedelai sangat tinggi sedangkan produksi kedelai dalam negeri belum mampu mencukupi permintaan terhadap komoditi tersebut. Adanya kesenjangan antara jumlah konsumsi dengan jumlah produksi mengakibatkan Indonesia melakukan impor kedelai. Pemenuhan kebutuhan kedelai Indonesia dilakukan secara impor sekitar 60-65 persen dari total kebutuhan yang ada, sedangkan sisanya sekitar 35-40 persen melalui produksi dalam negeri.

Komoditi kedelai yang pemenuhan kebutuhannya didominasi impor seharusnya digunakan bagi kegiatan yang mampu memberikan nilai tambah yang tinggi. Kedelai tidak hanya digunakan bagi kegiatan konsumsi secara langsung akan tetapi lebih mengarah pada aktifitas yang dapat meningkatkan nilai tambah bagi komoditi tersebut. Pengolahan kedelai pada industri tempe merupakan bentuk alternatif usaha dalam rangka meningkatkan nilai tambah komoditi tersebut.

(3)

permintaan, keberadaan industri tempe juga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap penyerapan tenaga kerja. Keunggulan aktifitas pengolahan kedelai ini penting untuk diperhatikan terkait dengan kondisi bahan baku yang didominasi impor.

Demikian halnya dengan Kabupaten Bogor, menurut Dinas Perindustrian Kabupaten Bogor, kebutuhan kedelai untuk industri olahan di wilayah tersebut tergolong tinggi yaitu 33.960 kg tiap harinya. Sampai dengan Januari 2008 terdapat sekitar 202 pengrajin tempe di kabupaten ini. Dihadapkan pada fenomena tingginya tingkat konsumsi kedelai impor pada industri olahan berbahan baku kedelai, maka tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu menganalisis nilai tambah yang mampu dihasilkan industri tempe; menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif industri tempe; serta menganalisis dampak kebijakan pemerintah pada industri tempe di Kabupaten Bogor. Desa Citeureup dipilih untuk mewakili industri tempe Kabupaten Bogor karena daerah tersebut merupakan sentra produksi tempe terbesar di Kabupaten Bogor dengan jumlah 100 unit usaha tempe.

Tujuan penelitian pertama dijawab dengan menggunakan analisis nilai tambah Meode Hayami. Perhitungan nilai tambah ini didasarkan pada satu satuan bahan baku utama yaitu satu kilogram kedelai. Selain itu, digunakan pula alat analisis Policy Analysis Matrix dan analisis sensitivitas. Melalui pendekatan ini akan dilihat bagaimana keunggulan kompetitif dan komparatif yang dimiliki industri tempe di Kabupaten Bogor sekaligus dampak kebijakan yang diterapkan pemerintah terkait dengan kegiatan produksi pada industri tersebut. PAM bersifat statis sehingga untuk melihat seberapa besar pengaruh dan tingkat kepekaan apabila terjadi perubahan-perubahan baik pada input yang digunakan maupun pada ouput yang dihasilkan akibat perubahan yang terjadi, maka dilakukan analisis sensitivitas sebagai langkah lanjutan.

(4)

bahan baku kedelai (78,44 persen), bahan baku lainnya (5,67 persen), tenaga kerja (8,30 persen), penyusutan peralatan (6,06 persen), pajak (0,78 persen), dan sewa tempat (0,75 persen).

Hasil perhitungan analisis nilai tambah menunjukkan bahwa nilai faktor konversi pada industri tempe sebesar 1,6. Nilai ini menunjukkan bahwa setiap satu kilogram kedelai yang diolah akan menghasilkan 1,6 kilogram tempe. Industri pengolahan kedelai menjadi tempe di Desa Citeureup menunjukkan bahwa industri tersebut mampu menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 2.198,91 per kilogram input kedelai. Rasio nilai tambah yang dimiliki yaitu 21,14 persen. Nilai koefisien tenaga kerja yang diperoleh yaitu 0,02. Nilai ini dapat diinterpretasikan sebagai jumlah Hari Orang Kerja yang diperlukan untuk memproduksi satu kilogram kedelai hingga menjadi tempe adalah 0,02 HOK (1HOK = 7 jam kerja). Apabila nilai koefisien tenaga kerja tersebut dikali dengan banyaknya unit usaha tempe di Indonesia maka dapat dilihat banyaknya jumlah tenaga kerja yang dapat terserap oleh industri tempe.

Industri tempe di desa Citeureup layak untuk dijalankan baik berdasarkan perhitungan pada analisis finansial maupun analisis ekonomi. Di samping itu, industri tersebut dapat dikatakan memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan kompratif. Hal ini terlihat dari nilai PCR dan DRC nya yang lebih kecil dari satu.

Berdasarkan analisis kebijakan pemerintah pada sisi output, industri tempe di daerah penelitian memiliki TO dan NPCO masing-masing senilai Rp -1.555,14 dan 0,8699 (NPCO < 1). Pada analisis kebijakan pemerintah pada sisi input diketahui TI senilai Rp 180,25, NPCI sebesar 1,0765, dan transfer faktor senilai Rp 261,91. Analisis kebijakan input-output dapat didekati dengan menggunakan indikator EPC, TB, PC, dan SRP. Nilai keempat indikator tersebut masing-masing secara berurutan adalah 0,8192; Rp –1.997,30; 0,5274; dan -0,2540.

(5)

daerah penelitian masih tetap memiliki keunggulan komparatif. Hal ini terlihat dari keuntungan sosial senilai Rp 263,69 dengan nilai DRC 0,9680 (DRC < 1).

(6)

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE

DI KABUPATEN BOGOR

(Kasus : Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup)

MERIKA SONDANG SINAGA A14304029

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBER DAYA FAKULTAS PERTANIAN

(7)

Judul : Analisis Nilai Tambah dan Dayasaing serta Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Industri Tempe di Kabupaten Bogor (Kasus: Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup)

Nama : Merika Sondang Sinaga Nomor Registrasi Pokok : A14304029

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Ir. Yayah K. Wagiono, MEc NIP. 130 350 044

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian, IPB

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019

(8)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Mei 2008

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Merika Sondang Sinaga, lahir pada tanggal 25 April 1986 di Desa Poncowarno, Kecamatan Kalirejo, Kabupaten Lampung Tengah, Lampung. Penulis merupakan anak ketiga dari enam bersaudara, dari pasangan Elyas Sinaga dan Maria Turnip.

Riwayat pendidikan penulis dimulai dari menamatkan sekolah di TK Xaverius Kalirejo. Selanjutnya penulis menempuh pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Fransiskus Kalirejo yang diselesaikan pada tahun 1998. Penulis kemudian melanjutkan sekolah ke SLTP Xaverius Kalirejo, lulus pada tahun 2001. Setelah itu penulis kembali melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Kalirejo, Lampung Tengah dan lulus pada tahun 2004.

(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ” Analisis Nilai Tambah dan Daya Saing serta Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Industri Tempe di Kabupaten Bogor (Kasus: Desa Citeurep, Kecamatan Citeureup). Topik ini menarik untuk dianalisis dengan latar belakang bahwa tingkat ketergantungan Indonesia terhadap kedelai sebagai bahan baku utama industri tempe sangatlah tinggi.

Berdasarkan fenomena tingginya tingkat ketergantungan industri tempe terhadap bahan baku impor, maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah menghitung besaran nilai tambah yang mampu diciptakan industri tempe. Di samping itu, dilakukan pula analisis terhadap daya saing serta dampak kebijakan pemerintah terhadap industri tersebut.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Yayah. K. Wagiono, M.Ec atas materi dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi. Akhir kata, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca mengenai tulisan ini agar dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Mei 2008

(11)

(Kasus : Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup)

Oleh:

MERIKA SONDANG SINAGA A14304029

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBER DAYA FAKULTAS PERTANIAN

(12)

RINGKASAN

MERIKA SONDANG SINAGA . Analisis Nilai Tambah dan Daya Saing serta Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Indusri Tempe di Kabupaten Bogor (Kasus: Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup). Dibimbing oleh YAYAH K. WAGIONO

Indonesia merupakan negara sedang berkembang dengan karakteristik laju pertumbuhan penduduk yang pesat. Pertambahan jumlah penduduk ini tentu diiringi pula dengan pertambahan kebutuhan akan pangan. Di samping itu terjadi perubahan pola pangan, dari tinggi karbohidrat dan rendah protein menjadi cenderung rendah karbohidrat dan tinggi protein. Fenomena tersebut mengakibatkan permintaan terhadap sumber protein menjadi semakin meningkat. Berdasarkan data dari BPS, diketahui bahwa konsumsi protein penduduk Indonesia per kapita pada tahun 1999, 2002, 2005, dan 2007 secara berturut-turut adalah 50.21 gram, 56.31 gram, 58.63 gram, dan 59.38 gram.

Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang tinggi tingkat permintaannya. Permintaan kedelai sangat tinggi sedangkan produksi kedelai dalam negeri belum mampu mencukupi permintaan terhadap komoditi tersebut. Adanya kesenjangan antara jumlah konsumsi dengan jumlah produksi mengakibatkan Indonesia melakukan impor kedelai. Pemenuhan kebutuhan kedelai Indonesia dilakukan secara impor sekitar 60-65 persen dari total kebutuhan yang ada, sedangkan sisanya sekitar 35-40 persen melalui produksi dalam negeri.

Komoditi kedelai yang pemenuhan kebutuhannya didominasi impor seharusnya digunakan bagi kegiatan yang mampu memberikan nilai tambah yang tinggi. Kedelai tidak hanya digunakan bagi kegiatan konsumsi secara langsung akan tetapi lebih mengarah pada aktifitas yang dapat meningkatkan nilai tambah bagi komoditi tersebut. Pengolahan kedelai pada industri tempe merupakan bentuk alternatif usaha dalam rangka meningkatkan nilai tambah komoditi tersebut.

(13)

permintaan, keberadaan industri tempe juga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap penyerapan tenaga kerja. Keunggulan aktifitas pengolahan kedelai ini penting untuk diperhatikan terkait dengan kondisi bahan baku yang didominasi impor.

Demikian halnya dengan Kabupaten Bogor, menurut Dinas Perindustrian Kabupaten Bogor, kebutuhan kedelai untuk industri olahan di wilayah tersebut tergolong tinggi yaitu 33.960 kg tiap harinya. Sampai dengan Januari 2008 terdapat sekitar 202 pengrajin tempe di kabupaten ini. Dihadapkan pada fenomena tingginya tingkat konsumsi kedelai impor pada industri olahan berbahan baku kedelai, maka tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu menganalisis nilai tambah yang mampu dihasilkan industri tempe; menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif industri tempe; serta menganalisis dampak kebijakan pemerintah pada industri tempe di Kabupaten Bogor. Desa Citeureup dipilih untuk mewakili industri tempe Kabupaten Bogor karena daerah tersebut merupakan sentra produksi tempe terbesar di Kabupaten Bogor dengan jumlah 100 unit usaha tempe.

Tujuan penelitian pertama dijawab dengan menggunakan analisis nilai tambah Meode Hayami. Perhitungan nilai tambah ini didasarkan pada satu satuan bahan baku utama yaitu satu kilogram kedelai. Selain itu, digunakan pula alat analisis Policy Analysis Matrix dan analisis sensitivitas. Melalui pendekatan ini akan dilihat bagaimana keunggulan kompetitif dan komparatif yang dimiliki industri tempe di Kabupaten Bogor sekaligus dampak kebijakan yang diterapkan pemerintah terkait dengan kegiatan produksi pada industri tersebut. PAM bersifat statis sehingga untuk melihat seberapa besar pengaruh dan tingkat kepekaan apabila terjadi perubahan-perubahan baik pada input yang digunakan maupun pada ouput yang dihasilkan akibat perubahan yang terjadi, maka dilakukan analisis sensitivitas sebagai langkah lanjutan.

(14)

bahan baku kedelai (78,44 persen), bahan baku lainnya (5,67 persen), tenaga kerja (8,30 persen), penyusutan peralatan (6,06 persen), pajak (0,78 persen), dan sewa tempat (0,75 persen).

Hasil perhitungan analisis nilai tambah menunjukkan bahwa nilai faktor konversi pada industri tempe sebesar 1,6. Nilai ini menunjukkan bahwa setiap satu kilogram kedelai yang diolah akan menghasilkan 1,6 kilogram tempe. Industri pengolahan kedelai menjadi tempe di Desa Citeureup menunjukkan bahwa industri tersebut mampu menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 2.198,91 per kilogram input kedelai. Rasio nilai tambah yang dimiliki yaitu 21,14 persen. Nilai koefisien tenaga kerja yang diperoleh yaitu 0,02. Nilai ini dapat diinterpretasikan sebagai jumlah Hari Orang Kerja yang diperlukan untuk memproduksi satu kilogram kedelai hingga menjadi tempe adalah 0,02 HOK (1HOK = 7 jam kerja). Apabila nilai koefisien tenaga kerja tersebut dikali dengan banyaknya unit usaha tempe di Indonesia maka dapat dilihat banyaknya jumlah tenaga kerja yang dapat terserap oleh industri tempe.

Industri tempe di desa Citeureup layak untuk dijalankan baik berdasarkan perhitungan pada analisis finansial maupun analisis ekonomi. Di samping itu, industri tersebut dapat dikatakan memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan kompratif. Hal ini terlihat dari nilai PCR dan DRC nya yang lebih kecil dari satu.

Berdasarkan analisis kebijakan pemerintah pada sisi output, industri tempe di daerah penelitian memiliki TO dan NPCO masing-masing senilai Rp -1.555,14 dan 0,8699 (NPCO < 1). Pada analisis kebijakan pemerintah pada sisi input diketahui TI senilai Rp 180,25, NPCI sebesar 1,0765, dan transfer faktor senilai Rp 261,91. Analisis kebijakan input-output dapat didekati dengan menggunakan indikator EPC, TB, PC, dan SRP. Nilai keempat indikator tersebut masing-masing secara berurutan adalah 0,8192; Rp –1.997,30; 0,5274; dan -0,2540.

(15)

daerah penelitian masih tetap memiliki keunggulan komparatif. Hal ini terlihat dari keuntungan sosial senilai Rp 263,69 dengan nilai DRC 0,9680 (DRC < 1).

(16)

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE

DI KABUPATEN BOGOR

(Kasus : Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup)

MERIKA SONDANG SINAGA A14304029

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBER DAYA FAKULTAS PERTANIAN

(17)

Judul : Analisis Nilai Tambah dan Dayasaing serta Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Industri Tempe di Kabupaten Bogor (Kasus: Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup)

Nama : Merika Sondang Sinaga Nomor Registrasi Pokok : A14304029

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Ir. Yayah K. Wagiono, MEc NIP. 130 350 044

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian, IPB

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019

(18)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Mei 2008

(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Merika Sondang Sinaga, lahir pada tanggal 25 April 1986 di Desa Poncowarno, Kecamatan Kalirejo, Kabupaten Lampung Tengah, Lampung. Penulis merupakan anak ketiga dari enam bersaudara, dari pasangan Elyas Sinaga dan Maria Turnip.

Riwayat pendidikan penulis dimulai dari menamatkan sekolah di TK Xaverius Kalirejo. Selanjutnya penulis menempuh pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Fransiskus Kalirejo yang diselesaikan pada tahun 1998. Penulis kemudian melanjutkan sekolah ke SLTP Xaverius Kalirejo, lulus pada tahun 2001. Setelah itu penulis kembali melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Kalirejo, Lampung Tengah dan lulus pada tahun 2004.

(20)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ” Analisis Nilai Tambah dan Daya Saing serta Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Industri Tempe di Kabupaten Bogor (Kasus: Desa Citeurep, Kecamatan Citeureup). Topik ini menarik untuk dianalisis dengan latar belakang bahwa tingkat ketergantungan Indonesia terhadap kedelai sebagai bahan baku utama industri tempe sangatlah tinggi.

Berdasarkan fenomena tingginya tingkat ketergantungan industri tempe terhadap bahan baku impor, maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah menghitung besaran nilai tambah yang mampu diciptakan industri tempe. Di samping itu, dilakukan pula analisis terhadap daya saing serta dampak kebijakan pemerintah terhadap industri tersebut.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Yayah. K. Wagiono, M.Ec atas materi dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi. Akhir kata, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca mengenai tulisan ini agar dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Mei 2008

(21)

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-singginya, penulis sampaikan kepada:

1. Bapa, Putra, dan Roh Kudus untuk penyertaan dan kasih karunia yang penulis boleh rasakan sepanjang hidup. Penulis percaya bahwa tidak ada yang mustahil bagi-Mu Bapa.

2. Ayahanda Elyas Sinaga dan Ibunda Maria Turnip atas segala kasih sayang, dukungan, doa, motivasi, serta bimbingan sehingga penulis bisa menjadi seperti sekarang.

3. Ir. Yayah K Wagiono, M.Ec yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing penulis selama penyusunan skripsi. Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr selaku dosen penguji utama dan Etriya, SP, MM selaku dosen penguji wakil departemen atas saran dan kritik dalam rangka penyempurnaan tugas akhir penulis. Dr. Ir. M. Parulian. Hutagaol selaku dosen pembimbing akademik atas masukan selama penulis menempuh pendidikan di IPB. 4. Saudara-saudara penulis yang terkasih: Yohannes Sinaga beserta keluarga,

Jonser Sinaga, Ferdinan Sinaga, Fernando Sinaga, Mawar Sari Sinaga. Terimakasih atas dukungan dan kasih sayang yang diberikan. Semoga masing-masing kita menjadi manusia yang berguna dan bisa menjadi saluran berkat bagi lingkungan sekitar.

5. Rolas TE. Silalahi, Martyanti RB. Sianturi, Lenny J. Sinaga, Marlina TJ. Siahaan, Rocky DF. Silalahi, Jimmy A. Siahaan, dan Natalia atas kebersamaan, sukacita dan persahabatan yang ditawarkan kepada penulis selama pendidikan. Selamat berjuang di dunia yang baru!

6. Agus Frans Manalu atas dukungan, motivasi, persahabatan dan kasih sayang yang telah diberikan sejak tingkat satu hingga kini. Terimakasih untuk setiap proses yang boleh kita lewati bersama. Semoga apa yang kita jalani bisa menjadikan kita saling membangun, saling mendukung, saling melengkapi dan saling mendewasakan.

(22)

8. Lestari Girsang, Enie Sidabutar, Mega Indah, Fransius Silitonga atas kebersamaan, keceriaan, dan persahabatannya selama ini. Sukses buat kita semua.

9. Gadis-gadis cantik di Malibu: Margareth, Grace, Febri, Risma, Yuli, Anggie. 10. Rekan-rekan seperjuangan di EPS angkatan 41 yang tidak dapat disebutkan

satu per satu. Sampai bertemu lagi pada 4 Januari 2014!

11. Teman-teman sepelayanan di Kopelkhu yang berperan besar dalam pembentukan karakter penulis.

12. Wanatirta’s crew: Riyanti, Bagus, Arman, Dian Sastrow, Tri Utami.

(23)
(24)

IV METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan waktu penelitian ... 39 4.2 Jenis dan sumber data ... 39 4.3 Metode pengumpulan data ... 39 4.4 Metode analisis data ... 40 4.4.1 Analisis nilai tambah ... 40 4.4.2 Policy Analysis Matrix ... 41 4.4.3 Analisis sensitivitas ... 47 V GAMBARAN UMUM

5.1 Kondisi umum Kabupaten Bogor ... 48 5.2 Kondisi umum Desa Citeureup ... 49 5.3 Kondisi umum industri tempe di Desa Citeureup ... 50 5.3.1 Karakteristik responden ... 50 5.3.2 Keragaan bahan baku ... 53 5.3.3 Gambaran kegiatan produksi ... 56 5.3.4 Pemasaran ... 60 VI PEMBAHASAN

6.1 Analisis nilai tambah pada indusatri tempe di Desa Citeureup. ... 62 6.2 Analisis daya saing indusatri tempe di Desa Citeureup ... 66 6.2.1 Analisis keunggulan kompetitif ... 68 6.2.2 Analisis keunggulan komparatif... 69 6.2.3 Analisis kebijakan pemerintah ... 70 6.3 Analisis sensitivitas pada indusatri tempe di Desa Citeureup ... 74 VII KESIMPULAN DAN SARAN

(25)

DAFTAR TABEL

No. Hal

1. Rata-rata Konsumsi Protein Per Kapita Sehari (dalam gram) 1 2. Data Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di Indonesia

Tahun 1997-2006 2

3. Data Perkembangan Kebutuhan, Produksi dan Impor Kedelai Indonesia

Tahun 2003-2006 3

4. Jumlah Kebutuhan Kedelai Harian untuk Industri Olahan Kabupaten

Bogor Januari 2008 7

5. Jumlah Industri Tempe di Kabupaten Bogor Januari 2008 7 6. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditi 20

7. Matriks Analisis Kebijakan (PAM) 29

8. Kerangka Analisis Nilai Tambah 41

9. Kontribusi Kelompok Sektor dalam Perekonomian Kabupaten Bogor

tahun 2003-2006 49

10. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur 50 11. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan 51 12. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Usaha 51 13. Distribusi Responden Berdasarkan Skala Usaha 52 14. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga 52 15. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tenaga Kerja 53 16. Biaya Produksi pada Industri Tempe dengan Skala Usaha Seratus

Kilogram Kedelai Per Hari 56

17. Harga Tempe Menurut Ukuran pada Harga Pasar 61 18. Hasil Analisis Nilai Tambah pada Industri Tempe di Desa Citeureup

Maret 2008 64

19. Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha Seratus

Kilogram per hari (Rp/kg) 67

20. Indikator Penilaian Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe

(26)

21. Indikator Penilaian Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai

naik 60 Persen. 76

22. Indikator Penilaian Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai Naik 60 Persen diimbangi Harga Output Naik 46 Persen. 77

(27)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang impor

(S+PI) dan (S+CI). 24

2. Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang ekspor

(S+PE) dan (S+CE). 25

3. Dampak hambatan perdagangan pada komoditi impor 26 4. Pajak dan subsidi pada input tradable. 27 5. Pajak dan subsidi pada input nontradable. 28 6. Bagan kerangka pemikiran operasional 38

7. Proses perebusan kedelai 56

8. Kedelai dicuci dan diberi ragi 57

(28)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal

1. Alokasi Biaya Input dan Output dalam Komponen Domestik Asing 82 2. Perhitungan Standar Convertion Factor dan Shadow Exchange Rate

(SER) tahun 2001-2007 (Milyar Rupiah) 83 3. Biaya Produksi Industri Tempe dengan Skala Usaha Seratus Kilogram

Kedelai Per Hari 84

4. Biaya Produksi Industri Tempe dengan Skala Usaha Seratus Kilogram

Kedelai Per Hari 85

5. Perhitungan Biaya Penyusutan Peralatan 86 6. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik

dan Asing Industri Tempe Skala Usaha Seratus Kg Per Hari

Maret 2008 (Rp/kg) 87

7. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing Industri Tempe Skala Usaha Seratus Kilogram Per Hari

Maret 2008 (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai Naik 60 Persen 88 8. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik

dan Asing Industri Tempe Skala Usaha Seratus Kilogram Per Hari

pada Maret 2008 (Rp/kg) apabila Harga Output Naik 46 Persen 89 9. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik

dan Asing Industri Tempe Skala Usaha 100 kilogram Per Hari pada Maret 2008 (Rp/kg) jika Harga Input Kedelai Naik 60 persen

dan Harga Output Naik 46 Persen 90

10. Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai

Naik 60 Persen 91

11. Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai

(29)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara sedang berkembang yang memiliki karakteristik laju pertumbuhan penduduk yang pesat. Peningkatan jumlah penduduk ini berpengaruh pada peningkatan permintaan atau kebutuhan akan pangan. Di samping itu terjadi pula peningkatan pendapatan masyarakat yang berdampak pada perubahan pola pangan, dari tinggi karbohidrat dan rendah protein menjadi cenderung rendah karbohidrat dan tinggi protein. Fenomena perubahan pola pangan tersebut mengakibatkan permintaan terhadap sumber protein menjadi semakin meningkat. Hal ini tercermin pada tabel berikut.

Tabel 1. Rata-rata Konsumsi Protein Per Kapita Sehari

Uraian Konsumsi (gram)

1999 2002 2005 2007

Perkotaan (rural) 48,61 56,55 59,33 59,69 Perdesaan (urban) 51,68 56,05 57,84 58,95

Rural + Urban 50,21 56,31 58,63 59,38

Sumber: BPS, 2007

Kedelai tergolong ke dalam kategori “secondary crop” atau sebagai tanaman pangan kedua setelah padi. Komoditi ini merupakan salah satu sumber protein nabati yang tinggi tingkat permintaannya. Permintaan kedelai akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk, pendapatan, serta pengetahuan kesehatan masyarakat (Amang, 1996). Jumlah permintaan terhadap kedelai meningkat baik untuk pemenuhan kebutuhan protein nabati bagi konsumsi pangan masyarakat, bagi kebutuhan bahan baku industri olahan maupun bagi bahan pakan ternak.

(30)

tersebut. Sejak tahun 2000-2006, produksi kedelai domestik terus menerus mengalami penurunan. Hal ini disebabkan berkurangnya luasan panen. Luasan panen yang berkurang didukung pula oleh faktor iklim Indonesia yang kurang mendukung bagi pertumbuhan tanaman kedelai. Pada dasarnya, kedelai merupakan tanaman subtropis yang membutuhkan lama penyinaran yang panjang. Hal ini tidak ditemui di wilayah Indonesia yang beriklim tropis. Kemampuan Indonesia dalam hal penyediaan kebutuhan kedelai dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2. Data Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di Indonesia Tahun 1997-2006

Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (ton) Produktivitas (kw/ha)

1997 1.119.079 1.356.891 12,13

(31)

sebesar Rp 3 triliun1. Data perkembangan impor kedelai Indonesia dapat dilihat

Kebutuhan akan kedelai meningkat setiap tahunnya sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan perkembangan pabrik pakan ternak. Konsumsi kedelai per kapita saat ini berkisar 8 kg/kapita/tahun. Melihat kandungan gizi yang dimiliki, kedelai memiliki potensi yang amat besar sebagai sumber utama protein nabati bagi masyarakat Indonesia. Sebagai sumber protein yang tidak mahal, kedelai telah lama dikenal dan digunakan dalam beragam produk makanan. Pada dasarnya penggunaan kedelai untuk pangan dapat dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu : (i) pangan yang diolah melalui proses fermentasi seperti tempe, oncom, tauco, dan kecap; (ii) pangan yang diolah tanpa melalui proses fermentasi, seperti tahu, tauge, dan kedelai rebus (Amang, 1996).

Kedelai yang didatangkan secara impor banyak digunakan sebagai bahan baku utama pada industri olahan, salah satunya tempe. Industri tempe merupakan industri yang terkait langsung dengan komoditi kedelai. Tempe telah dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sejak lama. Selain memiliki prospek yang cukup baik akibat selalu adanya permintaan dari pasaran, keberadaan industri tempe juga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap penyerapan tenaga kerja. Industri

1 Farid Akwan. 2007. Kedelai Impor Meningkat. http://www.klipingekonomi.com. Diakses tanggal

(32)

tempe mampu menyerap sejumlah tenaga kerja baik yang terkait secara langsung dalam proses produksi maupun yang terkait dengan perdagangan masukan dan keluaran industri pengolahan tersebut (Amang, 1996).

Pada umumnya industri pengolahan kedelai tersebut menggunakan kedelai impor dan kedelai lokal dengan komposisi 65-35 persen2. Kondisi ini tentu terkait erat dengan kebijakan mengenai impor kedelai yang ditetapkan pemerintah. Ketika pemerintah menetapkan kebijakan bea masuk terhadap impor kedelai, kelompok industri yang bahan bakunya didominasi impor ini mengalami guncangan sehingga sangat berpengaruh terhadap kelangsungan produksi mereka. Besarnya impor kedelai yang terjadi di Indonesia pada akhirnya berpengaruh pada besarnya devisa yang dihabiskan. Oleh karena itu, studi mengenai keunggulan kompetitif dan komparatif pada industri berbahan baku kedelai seperti industri tempe perlu dilakukan. Perlu diketahui pula seberapa besar nilai tambah yang dapat diciptakan dari aktifitas produksi serta bagaimana dampak perubahan kebijakan pemerintah terhadap industri tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan data dari Badan Pusat Satistik (BPS), produksi kedelai dalam negeri hanya mampu mencapai 671 ribu ton kedelai pada tahun 2003. Sedangkan pada tahun yang sama, kebutuhan kedelai jauh lebih besar dari nilai tersebut yaitu 1.863 ribu ton. Perbedaan antara jumlah permintaan dengan penawaran kedelai dalam negeri mengkibatkan impor kedelai sebesar 1.192 ribu ton kedelai. Begitu pula dengan tahun 2004, produksi kedelai domestik yaitu 723 ribu ton sedangkan total kebutuhan kedelai sekitar 1.838 ribu ton dan impor kedelai 1.115 ribu ton

2 Anonim. 2007. Rencana Pengenaan Tarif BM Kedelai dapat Membebani Pengusaha Tempe.

(33)

kedelai. Tidak berbeda jauh dengan kondisi pada tahun 2005, produksi kedelai dalam negeri hanya mampu mencapai 808 ribu ton dari total kebutuhan kedelai sebanyak 2.184 ribu ton sehingga total impor 1.376 ribu ton kedelai. Tahun 2006 nilai kebutuhan, produksi dalam negeri dan impor kedelai secara berturut-turut adalah 2.023 ribu ton, 747 ribu ton dan 1.276 ribu ton kedelai

Fenomena seperti di atas menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor sangat tinggi. Kebutuhan kedelai yang mampu dipenuhi melalui produksi dalam negeri hanya sekitar 35-40 persen sedangkan sisanya yaitu sebanyak 60-65 persen dari total kebutuhan masyarakat dipenuhi melalui impor. Padahal permintaan terhadap komoditi tersebut terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk, pendapatan serta pengetahuan masyarakat akan kesehatan.

(34)

Kedelai yang pemenuhan kebutuhannya didominasi impor seharusnya digunakan bagi kegiatan yang mampu memberikan nilai tambah yang tinggi. Kedelai tidak hanya digunakan bagi kegiatan konsumsi secara langsung akan tetapi lebih mengarah pada aktifitas yang dapat meningkatkan nilai tambah bagi komoditi tersebut. Pengolahan kedelai pada industri tempe merupakan bentuk alternatif usaha dalam rangka meningkatkan nilai tambah komoditi tersebut. Keunggulan aktifitas pengolahan kedelai ini penting untuk diperhatikan terkait dengan kondisi bahan baku yang didominasi impor.

Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50 persen dari konsumsi kedelai Indonesia dilakukan dalam bentuk tempe, 40 persen tahu, dan 10 persen dalam bentuk produk lain (seperti tauco, kecap, dan lain-lain). Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat ini diduga sekitar 6,45 kg3. Konsumsi ini setara dengan 4,76 kg kedelai. Di samping itu, permintaan terhadap tempe cenderung akan tetap ada karena komoditi ini memang telah dikonsumsi masyarakat Indonesia sebagai sumber protein nabati sejak lama.

Industri tempe pada umumnya padat karya dan merupakan industri rumah tangga. Jumlah pengusaha tempe yang telah berproduksi selama ini berpengaruh pula pada banyaknya tenaga kerja berpenghasilan rendah yang dapat ditampung oleh industri ini.

Di Kabupaten Bogor terdapat beberapa indusri pengolahan kedelai, termasuk industri tempe. Hal ini tentu berpengaruh pula pada tingginya tingkat kebutuhan

3 Made Astawan. 2007. Tempe Sumber Antioksidan dan Antibiotika. http://www.gizi.net. Diakses

(35)

kedelai di daerah tersebut. Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa kebutuhan kedelai untuk industri olahan di Kabupaten Bogor sebanyak 33.960 kg tiap harinya. Tabel 4. Jumlah Kebutuhan Kedelai Harian untuk Indusri Olahan di

Kabupaten Bogor

No Kecamatan Kebutuhan kedelai (kg/hari)

1 Dramaga 710

2 Cibungbulang 4.985

3 Cisarua 685

4 Citeureup 11.750

5 Leuwiliyang 1.830

6 Ciampea 955

7 Tajurhalang 4.000

8 Ciomas 100

9 Megamendung 480

10 Ciseeng 800

11 Cibinong 1.795

12 Cileungsi 2.760

13 Tamansari 160

14 Parung 2.960

JUMLAH 33.960

Sumber: Disperindag Kabupaten Bogor, 2008.

(36)

Tabel 5. Jumlah Industri Tempe di Kabupaten Bogor Januari 2008

No Kecamatan Jumlah industri

1 Cibungbulang 21

Dihadapkan pada fenomena tingginya tingkat konsumsi kedelai impor pada industri olahan berbahan baku kedelai, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana nilai tambah yang mampu dihasilkan industri tempe di Kabupaten Bogor?

2. Bagaimana keunggulan komparatif dan kompetitif industri tempe di Kabupaten Bogor?

3. Bagaimana dampak kebijkan pemerintah terhadap industri tempe di Kabupaten Bogor?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dijelaskan, maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:

1. menghitung besaran nilai tambah yang dihasilkan industri tempe di Kabupaten Bogor;

(37)

3. menganalisis dampak kebijakan pemerintah pada industri tempe di Kabupaten Bogor.

(38)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Industri dan Agroindustri

Menurut Badan Pusat Statistik (2007), industri pengolahan merupakan suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah barang dasar menjadi barang jadi atau setengah jadi dan atau barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya. Penggolongan industri oleh BPS menurut banyaknya tenaga kerja adalah sebagai berikut:

1. industri besar, dengan jumlah tenaga kerja 100 orang atau lebih;

2. industri sedang, dengan jumlah tenaga kerja antara 20 sampai 99 orang; 3. industri kecil, dengan jumlah tenaga kerja antara 5 sampai 19 orang; 4. industri rumah tangga, dengan jumlah tenaga kerja 1 sampai 4 orang. Agroindustri merupakan suatu bentuk kegiatan atau aktifitas yang mengolah bahan baku yang berasal dari tanaman maupun hewan. Soekartawi (2000) mendefinisikan agroindustri dalam dua hal, yaitu pertama agroindustri sebagai industri yang berbahan baku utama dari produk pertanian dan kedua agroindustri sebagai suatu tahapan pembangunan sebagai kelanjutan dari pembangunan pertanian tetapi sebelum tahapan pembangunan tersebut mencapai tahapan pembangunan industri.

(39)

Meskipun peranan agroindustri sangat penting, pembangunan agroindustri masih dihadapkan pada berbagai tantangan. Terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi agroindustri dalam negeri, antara lain: 1) kurang tersedianya bahan baku yang cukup dan kontinu; 2) kurang nyatanya peran agroindustri di perdesaan karena masih berkonsentrasinya agroindustri di perkotaan; 3) kurang konsistennya kebijakan pemerintah terhadap agroindustri; 4) kurangnya fasilitas permodalan (perkreditan) dan kalaupun ada prosedurnya amat ketat; 5) keterbatasan pasar; 6) lemahnya infrastruktur; 7) kurangnya perhatian terhadap penelitian dan pengembangan; 8) lemahnya keterkaitan industri hulu dan hilir; 9) kualitas produksi dan prosesing yang belum mampu bersaing; 10) lemahnya

entrepreneurship (Soekartawi, 2000). 2.2 Produksi Tempe

Tempe merupakan makanan tradisional yang telah dikenal masyarakat Indonesia sejak dulu terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Produk ini berbahan baku utama kedelai dan merupakan hasil dari proses fermentasi. Terdapat tiga faktor pendukung dalam proses pembuatan tempe yaitu bahan baku yang diurai, mikroorganisme, dan keadaan lingkungan tumbuh. Bahan baku yang dimaksud yaitu keping-keping biji kedelai yang telah direbus, mikroorganisme berupa kapang tempe Rhizopus oligosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, dan yang terakhir yaitu keadaan lingkungan tumbuh seperti suhu 30° C, pH awal 6,8 serta kelembapan nisbi 70-80 % (Sarwono, 1994).

(40)

dimiliki tempe adalah mengandung viamin B12 yang umumnya terdapat pada

produk-produk hewani, tetapi tidak dijumpai pada makanan nabati (sayuran, buah, dan biji-bijian)4. Dibandingkan dengan kedelai mentah, nilai gizi tempe lebih baik karena pada kedelai mentah terdapat zat-zat antinutrisi seperti antitripsin dan

oligosakarida penyebab flatulensi. Proses fermentasi yang dilakukan dapat menghilangkan kedua senyawa tersebut sehingga meningkatkan daya cerna kedelai (Cahyadi, 2007).

2.3 Studi Terdahulu

2.3.1 Studi Mengenai Indusri Tempe

Studi yang bertujuan untuk menganalisis pendapatan serta nilai tambah yang diciptakan industri tahu dan tempe di Kota Bogor serta kebijakan yang berpengaruh terhadapnya dilakukan oleh Dermawan (1999). Berdasarkan studi tersebut, nilai tambah industri tahu sebesar Rp 2.445,10 per kg kedelai sedangkan nilai tambah industri tempe sebesar Rp 1.741,07 per kg kedelai. Kebijakan pemerintah yang diterapkan selama ini secara konseptual cukup baik namun mengalami kendala dalam pelaksanaannya.

Apretty (2000) melakukan studi mengenai analisis dampak krisis ekonomi pada industri tempe skala kecil di Desa Citeureup, Kabupaten Bogor. Berdasarkan penelitian Apretty, dampak krisis ekonomi bagi industri tempe di daerah penelitian yaitu penurunan produksi. Nilai tambah yang diciptakan pada saat krisis ekonomi meningkat namun tidak diikuti dengan keuntungan bagi pengusaha tempe. Strategi yang dilakukan untuk menghadapi krisis ekonomi yaitu melalui diversifikasi produk dan diversifikasi pasar.

4 Anonim. 2007. Khasiat dan Kandungan Gizi Tempe. http://id.wikipedia.org/wiki/Tempe. Diakses

(41)

Berdasarkan penelitian mereka, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap industri tempe secara umum adalah kedelai sebagai bahan baku utama, ragi, bahan pengemas, bahan bakar, air, listrik, peralatan, dan tenaga kerja. Skala produksi industri tempe pada umumnya tergantung pada ketersediaan bahan baku, permintaan pasar, serta ketersediaan modal.

2.3.2 Studi Mengenai Analisis Nilai Tambah

Berbagai studi mengenai analisis nilai tambah telah dilakukan oleh beberapa akademisi. Studi mengenai analisis usaha dan nilai tambah pengolahan ikan pada industri kerupuk ikan/udang di Indramayu dilakukan oleh Apriyadi (2003). Menurut Apriyadi, usaha ini layak untuk dikembangkan dengan nilai R/C atas biaya tunai maupun biaya total yang lebih besar dari satu. Berdasarkan analisis nilai tambah dapat disimpulkan bahwa semakin besar output yang diproduksi maka semakin besar nilai tambah yang diperoleh, semakin efisien produsen dalam berusaha, serta semakin besar pula dayasaing tenaga kerja.

Analisis nilai tambah pada pengolahan kain tenun sutera alam di Kabupaten Garut dilakukan oleh Muflikh (2003). Untuk menghitung besarnya nilai tambah yang dihasilkan perusahaan, digunakan analisis nilai tambah Metode Hayami. Penelitian ini menyimpulkan bahwa nilai tambah yang dihasilkan perusahaan adalah 60 persen dari nilai output. Penggunaan benang sutera alam dalam negeri memberikan nilai tambah dan tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan benang sutera impor. Nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan kain tenun ikat paling tinggi karena harga jualnya paling mahal.

(42)

digunakan yaitu analisis pendapatan dan analisis nilai tambah. Nilai R/C atas biaya tunai dan biaya total usaha tersebut lebih besar dari satu, yang berarti kedua kegiatan pengolahan sudah efisien, menguntungkan, dan layak untuk dilaksanakan. Kegiatan pengolahan pisang menjadi keripik memberikan nilai tambah yang lebih besar dibandingkan sale.

2.3.3 Studi Mengenai Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Penelitian yang menggunakan analisis keunggulan komparatif dan kompetitif telah banyak dilakukan. Dewi (2004) menggunakan Policy Analysis Matrix dan analisis sensitivitas untuk mengetahui keunggulan komparatif dan kompetitif serta dampak kebijakan pemerintah pada pengusahaan kedelai di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Berdasarkan studi Dewi, diperoleh kesimpulan bahwa pengusahaan kedelai di daerah penelitian memiliki keunggulan kompetitif maupun komparatif dengan nilai PCR dan DRC lebih kecil dari satu. Melemahnya nilai tukar rupiah sebesar empat persen tidak begitu berpengaruh terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif pengusahaan kedelai sedangkan kebijakan subsidi mendorong produsen untuk meningkatkan produksinya.

(43)

penurunan keuntungan sosial dan privat serta peningkatan sumberdaya domestik dan rasio biaya privat pada usaha emping melinjo.

Studi mengenai analisis dayasaing dan dampak perubahan kebijakan pemerintah terhadap komoditi susu sapi di Desa Tajurhalang, Kabupaten Bogor dilakukan oleh Kuraisin (2006). Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah PAM dan analisis sensitivitas. Berdasarkan penelitian Kuraisin disimpulkan bahwa pengusahaan susu sapi menguntungkan dan efisien secara finansial dan ekonomi dengan nilai PCR dan DRC lebih kecil dari satu. Perubahan kebijakan pemerintah seperti peningkatan harga pakan sebesar 30 persen, harga susu sapi sebesar 5 persen serta gabungan keduanya tidak mempengaruhi keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas susu sapi di daerah penelitian.

(44)

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Teoritis 3.1.1 Definisi Dayasaing

Suatu negara dikatakan memiliki dayasaing pada komoditi tertentu apabila negara tersebut mampu memproduksi suatu komoditi dengan lebih efisien dibanding negara lain pada komoditi yang sejenis. Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur dayasaing suatu komoditi adalah tingkat keuntungan serta efisiensi dalam pengelolaan komoditi tersebut. Tingkat keuntungan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sedangkan efisiensi meliputi keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif.

3.1.2 Keunggulan Komparatif

(45)

Pada tahun 1817, David Ricardo menerbitkan buku yang berjudul Principles of Political Economy and Taxation yang memberikan penjelasan mengenai teori perdagangan internasional berdasarkan hukum keunggulan komparatif. Menurut hukum ini, meskipun suatu negara memiliki kerugian absolut terhadap negara lain dalam memproduksi kedua komoditi, akan tetapi masih terdapat kemungkinan bagi kedua negara untuk melakukan perdagangan internasional yang saling menguntungkan (Salvatore, 1997). Suatu negara akan melakukan spesialisasi dengan memproduksi dan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut yang lebih kecil (komoditi dengan keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolut yang lebih besar (komoditi dengan kerugian komparatif).

Asumsi yang digunakan dalam teori perdagangan internasional berdasarkan hukum keunggulan komparatif yaitu : 1. hanya terdapat dua negara dan dua komoditi; 2. perdagangan bersifat bebas; 3. terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara namun tidak ada mobilitas antar keduanya; 4. biaya produksi konstan; 5. tidak terdapat biaya transportasi; 6. tidak ada perubahan teknologi; 7. menggunakan teori nilai tenaga kerja. Asumsi satu sampai enam dapat diterima dengan mudah, asumsi tujuh (teori nilai tenaga kerja) tidaklah berlaku dan seharusnya tidak digunakan untuk menjelaskan keunggulan komparatif (Salvatore, 1997).

(46)

terhadap teori perdagangan internasional berdasarkan keunggulan komparatif yang dicetuskan oleh David Ricardo. Heckscher-Ohlin dalam teoremanya menyebutkan bahwa suatu negara akan mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di negara tersebut dan dalam waktu yang bersamaan akan mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan sumberdaya yang relatif langka dan mahal di negara tersebut.

Keunggulan komparatif merupakan salah satu ukuran dayasaing suatu negara dalam memproduksi komoditi tertentu berdasarkan analisis ekonomi. Dalam perhitungannya, konsep ini menggunakan harga sosial atau harga bayangan yang merupakan harga yang terjadi pada kondisi pasar persaingan sempurna atau dengan kata lain apabila perekonomian tidak terdistorsi sama sekali. Akan tetapi pada kenyataanya, kondisi tanpa distorsi tentu tidak akan ditemui dalam dunia nyata. Oleh karena itu diperlukan juga ukuran dayasaing suatu aktifitas produksi pada kondisi perekonomian yang aktual.

3.1.3 Keunggulan Kompetitif

(47)

keuntungan privat yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha berdasarkan harga pasar.

Konsep keunggulan kompetitif bukanlah suatu konsep yang sifatnya saling menggantikan dengan dengan konsep keunggulan komparatif, akan tetapi suatu konsep yang sifatnya saling melengkapi. Konsep keunggulan komparatif menggambarkan kelayakan suatu kegiatan usaha secara ekonomi dan perhitungannya didasarkan pada harga sosial, sedangkan konsep keunggulan kompetitif menggambarkan kelayakan suatu kegiatan usaha secara finansial dan didasarkan pada harga pasar. Suatu komoditi dapat memiliki keunggulan kompetitif sekaligus keunggulan komparatif, yang mengindikasikan bahwa komoditi tersebut layak untuk diproduksi dan dapat bersaing di pasar internasional.

3.1.4 Kebijakan Pemerintah

Sering kali mekanisme pasar tidak dapat berfungsi secara efisien karena adanya kegagalan pasar sehingga memerlukan suatu bentuk campur tangan dari pemerintah. Kebijakan pemerintah ditujukan untuk peningkatan ekspor ataupun sebagai usaha perlindungan terhadap produk dalam negeri. Intervensi pemerintah ini dapat diterapkan baik pada output maupun input yang pada akhirnya akan menimbulkan perbedaan harga output dan input secara finansial dan secara ekonomi.

(48)

kelompok penerimaan dan tipe komoditi (Monke and Pearson, 1989). Berikut disajikan tabel klasifikasi kebijakan harga komoditi.

Tabel 6. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditi

Instrumen Dampak pada Produsen Dampak pada Konsumen Kebijakan subsidi

PE = Produsen barang orientasi ekspor PI = Produsen barang substitusi impor CE = Konsumen barang orientasi ekspor CI = Konsumen barang substitusi impor TPI = Hambatan barang impor

TCE = Hambatan barang ekspor

Tipe Instrumen

(49)

tarif) maupun pada jumlah yang diperdagangkan (dalam bentuk kuota). Kebijakan perdagangan dan subsidi dapat berbeda dalam tiga hal yaitu:

a. implikasinya pada anggaran pemerintah.

Kebijakan perdagangan tidak berpengaruh pada anggaran pemerintah sedangkan subsidi akan mengurangi anggaran pemerintah apabila berupa subsidi positif dan menambah anggaran pemerintah apabila berupa subsidi negatif.

b. tipe alternatif kebijakan.

Intervensi pemerintah dapat dibedakan menjadi delapan tipe subsidi dan dua hambatan perdagangan (Monke and Pearson, 1989). Delapan tipe subsidi untuk produsen dan konsumen pada barang ekspor maupun impor yaitu:

1. subsidi positif pada produsen barang impor (S+PI) 2. subsidi negatif pada produsen barang impor (S-PI) 3. subsidi positif pada produsen barang ekspor (S+PE) 4. subsidi negatif pada produsen barang ekspor (S-PE) 5. subsidi positif pada konsumen barang impor (S+CI) 6. subsidi negatif pada konsumen barang impor (S-CI) 7. subsidi positif pada konsumen barang ekspor (S+CE) 8. subsidi negatif pada konsumen barang ekspor (S-CE)

(50)

c. tingkat kemampuan penerapan.

Kebijakan subsidi dapat diterapkan pada setiap komoditi baik komoditi

tradable maupun non tradable sedangkan hambatan perdagangan hanya dapat diterapkan pada komoditi tradable.

Kelompok Penerimaan

Klasifikasi kelompok penerimaan pada kebijakan pemerintah dibedakan menjadi dua bagian yaitu bagi produsen dan bagi konsumen. Adanya subsidi maupun kebijakan perdagangan mengakibatkan terjadinya transfer diantara produsen, konsumen, dan pemerintah. Anggaran pemerintah yang tidak dibayarkan seluruhnya mengakibatkan produsen diuntungkan dan konsumen dirugikan, demikian pula sebaliknya. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa keuntungan yang diterima oleh satu pihak merupakan transfer dari kerugian yang diderita oleh pihak lain. Akan tetapi transfer ini disertai pula dengan efisiensi ekonomi yang hilang sehingga keuntungan yang diterima lebih kecil daripada kerugian yang diderita.

Tipe Komoditi

Tipe komoditi dibedakan menjadi komoditi ekspor dan komoditi impor. Apabila tidak ada kebijakan harga, maka harga domestik akan sama dengan harga dunia. Pada kondisi ini, harga yang digunakan untuk barang ekspor adalah harga

fob (free on board) sedangkan untuk barang impor digunakan harga cif (cost insurance freight).

3.1.4.1 Kebijakan Output

(51)

terjadi akibat adanya intervensi pemerintah baik berupa subsidi maupun hambatan perdagangan yaitu perubahan pada harga barang, jumlah barang, surplus produsen serta surplus konsumen (Monke and Pearson, 1989). Ilustrasi penerapan subsidi baik pada barang impor maupun ekspor dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.

Gambar 1(a) menunjukkan subsidi positif untuk produsen barang impor. Harga yang diterima produsen lebih tinggi dibandingkan harga dunia. Subsidi positif sebesar Pd-Pw mengakibatkan output yang diproduksi dalam negeri

meningkat dari Q1 ke Q2 dengan tingkat konsumsi tetap pada Q3. Subsidi ini

menyebabkan impor turun dari Q3 - Q1 menjadi Q3 – Q2. Transfer total dari

pemerintah ke produsen yaitu sebesar Q2 x (Pd-Pw) atau PdABPw. Subsidi

menyebabkan barang yang seharusnya diimpor menjadi diproduksi sendiri dengan biaya korbanan sebesar Q1Q2AC sedangkan jika barang tersebut diimpor biaya

korbanan yang seharusnya yaitu Q1Q2BC sehingga efisiensi ekonomi yang hilang

sebesar CAB.

Gambar 1(b) memperlihatkan subsidi positif untuk konsumen barang impor. Adanya subsidi yang diberikan pemerintah mengakibatkan harga di pasar internasional lebih tinggi dibandingkan harga domestik. Subsidi positif sebesar Pw-Pd mengakibatkan peningkatan konsumsi dari Q3 ke Q4 sedangkan output

produksi dalam negeri menurun dari Q2 ke Q1 sehingga impor mengalami

peningkatan dari Q3-Q2 menjadi Q4-Q1. Transfer yang terjadi sebesar PwGHPd

terdiri dari dua bagian yaitu transfer dari pemerintah pada konsumen sebesar AGHB dan transfer dari produsen pada konsumen sebesar PwABPd. Hal ini

(52)

B

dihemat sebesar Q2Q1BF sehingga terdapat efisiensi ekonomi yang hilang sebesar

FAB. Pada sisi konsumsi, opportunity cost akibat peningkatan konsumsi dari Q3

ke Q4 yaitu Pw x (Q4-Q3) atau sebesar Q3EGQ4 sedangkan kempuan konsumen

untuk membayar sebesar Q3EHQ4 sehingga efisiensi ekonomi yang hilang sebesar

EGH.

P S P S

D B H D Q Q

(a) S + PI (b) S + CI

Gambar 1. Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang impor (S+PI) dan (S+CI)

Sumber: Monke and Pearson, 1989

Gambar 2(a) menerangkan subsidi bagi produsen barang ekspor. Sama dengan subsidi pada produsen barang impor, harga domestik lebih tinggi daripada harga dunia. Hal ini berdampak pada peningkatan jumlah output yang diproduksi dari dari Q3 ke Q4 dan penurunan konsumsi dari Q2 ke Q1 sehingga jumlah ekspor

pun berubah dari Q3-Q2 menjadi Q4-Q1. Subsidi yang diberikan pemerintah yaitu

(53)

B

konsumen sebesar Q1CAQ2 sehingga efisiensi ekonomi yang hilang sebesar CAB.

P S P

G E F A A

D

Q Q

(a) S + PE (b) S + CE

Gambar 2. Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang ekspor (S+PE) dan (S+CE)

Sumber: Monke and Pearson, 1989

Ilustrasi penerapan hambatan perdagangan dengan mengambil contoh pada komoditi impor dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 memperlihatkan bahwa hambatan perdagangan pada barang impor mengakibatkan peningkatan harga baik bagi produsen maupun konsumen. Kondisi harga yang tinggi ini menyebabkan output domestik meningkat dari Q1 ke Q2 dan konsumsi turun dari Q3 ke Q4

sehingga impor berkurang dari Q3-Q1 menjadi Q4-Q2. Terjadi transfer pendapatan

dari konsumen sebesar (Pd-Pw) x Q4 atau PdABPw. Transfer ini terdiri atas transfer

yang diterima produsen sebesar PdEFPw dan yang diterima pemerintah sebesar

FEAB. Efisiensi ekonomi yang hilang dari sisi konsumen yang merupakan perbedaan antara opportunity cost dari perubahan konsumsi Q4BCQ3 dengan

kesediaan membayar Q4ACQ3 adalah sebesar daerah ABC, sedangkan efisiensi

(54)

Gambar 3. Dampak hambatan perdagangan pada komoditi impor Sumber: Monke and Pearson, 1989

3.1.4.2 Kebijakan Input

Input merupakan fakor yang berperan penting dalam aktifitas produksi. Input dapat digolongkan menjadi input tradable dan input non tradable. Kebijakan yang berlaku bagi input tradable dapat berupa kebijakan subsidi baik itu positif maupun negatif dan hambatan perdagangan, sedangkan bagi input non tradable

hanya berlaku kebijakan subsidi baik itu positif maupun negatif. Kebijakan hambatan perdagangan tidak berlaku pada input non tradable karena input tersebut diproduksi dan digunakan dalam domestik.

1. Kebijakan input tradable.

(55)

perbedaan antara nilai output yang hilang atau Q2CAQ1 dengan biaya untuk

memproduksi output tersebut atau Q2BAQ1.

Dampak penerapan subsidi positif bagi input tradable dapat dilihat pada Gambar 4(b). Pada gambar ini, terlihat bahwa kebijakan tersebut menyebabkan peningkatan penggunaan input dari Q1 ke Q2 atau kurva supply bergeser ke kanan

bawah. Efisiensi ekonomi yang hilang yaitu sebesar ABC yang merupakan perbedaan biaya produksi yang semakin bertambah atau Q1ACQ2 dengan

kenaikan nilai output atau Q1ABQ2.

(a) (b)

Gambar 4. Pajak dan subsidi pada input tradable

Sumber: Monke and Pearson, 1989 2. Kebijakan input nontradable.

Efek pengenaan subsidi positif dan negatif pada input non tradable dapat dilihat pada Gambar 5. Pada Gambar 5(a) terlihat bahwa pengenaan pajak (subsidi negatif) sebesar Pc-Pp mengakibatkan produksi turun dari Q1 ke Q2. Harga di

tingkat produsen turun menjadi Pp sedangkan harga di tingkat konsumen naik

menjadi Pc. Efisiensi ekonomi yang hilang dari sisi produsen yaitu sebesar DBA

(56)

Gambar 5(b) menerangkan dampak subsidi positif pada input non tradable. Kebijakan tersebut berdampak pada peningkatan produksi dari Q1 ke Q2. Harga

yang diterima produsen meningkat dari Pd menjadi Pp sedangkan harga yang

diterima konsumen menurun dari Pd menjadi Pc. Efisiensi ekonomi yang hilang

diukur dari perbedaan biaya produksi akibat meningkatnya output yang dihasilkan atau Q1ABQ2 dengan kesediaan membayar konsumen. Total efisiensi yang hilang

yaitu seluas daerah ACD yang terdiri dari inefisiensi ekonomi dari sisi produsen (ACB) dan dari sisi konsumen (ABD).

(a) (b)

Gambar 5. Pajak dan subsidi pada input nontradable

Sumber: Monke and Pearson, 1989 3.1.5 Policy Analysis Matrix

Policy Analysis Matrix (PAM) pertama kali diperkenalkan oleh Eric. A. Monke dan Scott Pearson pada tahun 1989. Hasil analisis PAM ini dapat digunakan untuk melihat dampak kebijakan pemerintah pada suatu sistem komoditi. Menurut Pearson and Gotsch (2004), tiga tujuan utama dari metode PAM pada hakekatnya ialah memberikan informasi dan analisis untuk membantu pengambil kebijakan pertanian terkait dengan isu-isu penting bidang pertanian, menghitung tingkat keuntungan sosial sebuah usahatani, serta menghitung

(57)

transfer effects. Matriks PAM terdiri dari dua identitas yaitu identitas tingkat keuntungan atau profitability identity dan identitas penyimpangan atau

divergences identity (Pearson and Gotsch, 2004).

Asumsi dasar yang digunakan dalam analisis PAM yaitu:

1.pada analisis finansial, perhitungan didasarkan pada harga pasar yang merupakan harga yang benar-benar terjadi dan diterima oleh produsen dan konsumen setelah adanya kebijakan;

2.pada analisis ekonomi, perhitungan didasarkan pada harga sosial yang merupakan harga bayangan atau harga pada kondisi PPS (apabila tidak terdapat distorsi sama sekali);

3.ouput bersifat tradable dan input dapat dipisahkan dalam komponen asing dan domestik;

4. eksternalitas positif dan negatif saling meniadakan.

PAM merupakan suatu analisis yang dapat mengidentifikasi tiga analisis yaitu analisis keuntungan (privat dan sosial); analisis dayasaing (keunggulan kompetitif dan komparatif); analisis dampak kebijakan. Berkut disajikan matriks analisis PAM.

Tabel 7. Matriks Analisis Kebijakan (PAM)

Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan

Input

tradable

Input

nontradable

Harga Privat A B C D

Harga Sosial E F G H

Dampak kebijakan I J K L

(58)

A. Analisis keuntungan

1. Keuntungan Privat (D) = A – B – C

Keuntungan privat menunjukkan selisih antara penerimaan dengan seluruh biaya yang dikeluarkan yang dihitung dengan menggunakan harga pasar. Nilai keuntungan privat yang lebih besar dari nol berarti secara finansial komoditi tersebut layak untuk diusahakan. Demikian sebaliknya, jika nilai keuntungan privat kurang dari nol maka kegiatan usaha tersebut tidak menguntungkan pada kondisi adanya intervensi pemerintah.

2. Keuntungan sosial (H) = E – F – G

Keuntungan sosial merupakan selisih antara penerimaan dengan seluruh biaya yang dikeluarkan yang dihitung dengan menggunakan harga bayangan. Apabila nilai keuntungan sosial lebih besar dari nol berarti pada kondisi pasar persaingan sempurna, aktifitas pengusahaan komoditi tersebut menguntungkan secara ekonomi.

B. Analisis keunggulan kompetitif dan komparatif

1. Rasio Biaya Privat (PCR) = dengan selisih antara penerimaan privat dengan biaya input tradable privat. Jika nilai PCR lebih kecil dari satu berarti aktifitas pengusahaan komoditi tersebut efisien secara finansial atau memiliki keunggulan kompetitif pada kondisi terdapat intervensi pemerintah. Berlaku sebaliknya jika nilai PCR lebih besar dari satu.

2. Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) =

F E

G

(59)

Apabila nilai Domestic Resousce Cost lebih kecil dari satu, maka kegiatan pengusahaan suatu komoditi dikatakan efisien pada kondisi tanpa ada kebijakan pemerintah atau memiliki keunggulan komparatif. Demikian sebaliknya apabila hasil perhitungan DRC lebih besar dari satu.

C. Analisis dampak kebijakan 1. Kebijakan output

~ Transfer output (I) = A – E

Transfer output merupakan selisih antara nilai penerimaan berdasarkan harga finansial dan penerimaan berdasarkan harga sosial. Nilai transfer output positif mencerminkan besarnya transfer dari masyarakat ke produsen karena masyarakat membeli output dengan harga di atas harga yang seharusnya. Sedangkan nilai transfer output negatif menunjukkan bahwa kebijakan yang berlaku mengakibatkan harga output yang diterima produsen lebih rendah dari harga seharusnya.

~ Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) =

E A

Koefisien proteksi output nominal merupakan rasio antara penerimaan berdasarkan harga finansial dan penerimaan berdasarkan harga sosial. Apabila nilai NPCO lebih besar dari satu berarti kebijakan pemerintah mengakibatkan harga output di pasar lokal lebih tinggi dibandingkan harga di pasar dunia.

2. Kebijakan input

~ Transfer input (J) = B – F

(60)

mencerminkan bahwa produsen harus membayar inputnya lebih mahal. Apabila nilai transfer input negatif berarti bahwa produsen tidak perlu membayar secara penuh korbanan sosial yang seharusnya dibayarkan.

~ Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) =

F B

Koefisien proteksi input nominal merupakan rasio antara biaya input tradable

berdasarkan harga finansial dan biaya input tradable berdasarkan harga sosial. Nilai NPCI yang lebih besar dari satu menunjukkan adanya proteksi dari pemerintah terhadap produsen input sehingga sektor yang menggunakan input tersebut terpaksa dirugikan dengan tingginya biaya produksi.

~ Transfer fakor (K) = C – G

Transfer fakor merupakan indikator yang digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap input non tradable. Apabila transfer fakor bernilai positif berarti terdapat kebijakan pemerintah yang sifatnya melindungi produsen input domestik. Nilai transfer faktor diperoleh dari selisih antara biaya input non tradable privat dengan biaya input non tradable sosial.

3. Kebijakan Input-Output ~ Transfer bersih = D – H

Transfer bersih merupakan selisish antara keuntungan bersih yang benar- benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya.

~ Koefisien Proteksi Efektif (EPC) =

F

(61)

~ Koefisien keuntungan =

H D

Apabila nilai koefisien keuntungan lebih besar dari satu, maka berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen. Sebaliknya apabila nilai koefisien keuntungan lebih kecil dari satu, berarti kebijakan pemerintah mengakibatkan keuntungan yang diterima produsen lebih kecil dibandingkan tidak ada intervensi pemerintah.

~ Rasio Subsidi bagi Podusen (SRP) = pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya di atas biaya sosial yang seharusnya dikeluarkan.

3.1.6 Harga Bayangan

Menurut Gittinger (1986), harga bayangan atau shadow prices adalah harga yang terjadi dalam suatu perekonomian bila pasar berada pada keadaan persaingan sempurna dan kondisi keseimbangan. Gray (1993) menyebutkan bahwa shadow prices dari suatu produk atau faktor produksi merupakan social opportunity cost, yaitu nilai tertinggi suatu produk atau faktor produksi dalam penggunaan alternatif terbaik.

(62)

1. harga pasar tidak mencerminkan apa yang sebenarnya dikorbankan seandainya sejumlah sumberdaya yang dipilih dipakai dalam aktifitas tertentu, tetapi tidak digunakan dalam aktifitas lain yang masih memungkinkan bagi masyarakat; 2. harga yang berlaku di pasar tidak mencerminkan apa yang sebenarnya

diperoleh masyarakat melalui produksi yang dihasilkan dari aktifitas tersebut. 3.1.7 Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas merupakan suatu analisis yang dapat membantu untuk mengetahui tingkat kepekaan suatu aktifitas produksi apabila terjadi perubahan-perubahan dalam perhitungan biaya maupun manfaat. Kadariah (2001) menyebutkan bahwa analisis sensitivitas dapat membantu menemukan variabel-variabel penting dalam suatu proyek yang harus diperhatikan untuk memperbaiki perkiraan-perkiraan dan memperkecil bidang ketidakpastian.

Menurut Kadariah (2001), cara melakukan analisis sensitivitas yaitu:

1. mengubah besarnya variabel-variabel penting, masing-masing terpisah, atau beberapa dalam kombinasi, dengan suatu persentase, dan menentukan berapa pekanya hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan tersebut;

2. menentukan dengan berapa sesuatu variabel harus berubah untuk sampai ke hasil perhitungan yang membuat proyek tidak dapat diterima.

3.1.8 Konsep Nilai Tambah

(63)

Terdapat beberapa variabel penting yang terkait dengan analisis nilai tambah yaitu faktor konversi yang menunjuk pada banyaknya output yang dihasilkan dari satu satuan input; faktor koefisien tenaga kerja yang menunjuk pada banyaknya tenaga kerja langsung yang diperlukan untuk mengolah satu satuan input; dan nilai produk yang menunjuk pada nilai output yang dihasilkan dari satu satuan input (Hayami dalam Jati 2005).

3.2 Kerangka Operasional

Kedelai merupakan komoditi yang strategis dilihat dari peranannya dalam perekonomian nasional. Sebagai salah satu sumber protein nabati yang banyak diminati, komoditi ini memiliki tingkat permintaan yang tinggi baik untuk konsumsi masyarakat, kebutuhan bahan baku industri makanan olahan, serta pakan ternak. Permintaan kedelai akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk, pendapatan, serta pengetahuan kesehatan masyarakat (Amang, 1996).

Dari sisi penawaran, tingkat produksi kedelai dalam negeri belum mampu mengimbangi tingginya tingkat permintaan. Terdapat kesenjangan antara jumlah yang diproduksi dengan jumlah kebutuhan dalam negeri. Oleh karena itu, dalam pemenuhan kebutuhan kedelai pemerintah melakukan impor dari luar negeri. Total impor kedelai di Indonesia yaitu sebesar 60-65 persen dari keseluruhan kebutuhan dalam negeri, sisanya yaitu hanya 35-40 persen yang dapat dipenuhi melalui produksi domestik.

Gambar

Tabel 2. Data Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di Indonesia
Tabel 3. Data Perkembangan Kebutuhan, Produksi dan Impor Kedelai di Indonesia Tahun 2003-2006
Tabel 4. Jumlah Kebutuhan Kedelai Harian untuk Indusri Olahan di
Tabel 5. Jumlah Industri Tempe di Kabupaten Bogor Januari 2008
+7

Referensi

Dokumen terkait

Agar jemaah haji Indonesia tetap dapat melaksanakan ibadah haji, dan terdapat kepastian hukum dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji, khususnya terkait dengan penggunaan paspor

1 23 aspek penilaian 20 48 4 0 72 Sangat Baik Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa nilai keaktifan belajar siswa pada siklus II baik pada pertemuan 1 maupun pertemuan

Equity ) pada bank pemerintah selama periode penelitian Triwulan I tahun 2010 sampai dengan Triwulan II tahun 2015 besarnya kontribusi seluruh variabel bebas terhadap

Oleh karena itu, dalam pembelajaran pada mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, diharapkan dapat tercipta situasi belajar mengajar yang memungkinkan peserta didik

Tujuan penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan dan menjelaskan kualitas proses pembelajaran apresiasi drama dengan menerapkan metode kooperatif jigsaw pada siswa kelas V

Sehingga sindrom gradenigo pada kasus ini berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan tomografi komputer kepala telah dapat disingkirkan

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Fakultas Teknologi Pertanian.

yaitu mendapat nilai 50 karena keterampilan siswa dalam membaca aksara Jawa masih kurang dan hasil evaluasi yang diperoleh siswa masih terdapat banyak