• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kinerja Agroforestri (Kasus Dudukuhan di Desa Parakanmuncang, Kecamatan Nanggung, Bogor, Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kinerja Agroforestri (Kasus Dudukuhan di Desa Parakanmuncang, Kecamatan Nanggung, Bogor, Jawa Barat)"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

KINERJA AGROFORESTRI

(KASUS DUDUKUHAN di DESA PARAKANMUNCANG,

KECAMATAN NANGGUNG, BOGOR, JAWA BARAT)

NURHAYATI PATTISAHUSIWA

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

RINGKASAN

NURHAYATI PATTISSAHUSIWA. Kinerja Agroforestri (Kasus Dudukuhan di Desa Parakanmuncang, Kecamatan Nanggung, Bogor, Jawa Barat). Di bawah Bimbingan Dr. Ir. Didik Suharjito, MS.

Masyarakat pedesaan di Indonesia telah melakukan praktek pengelolaan lahan sejak lama. Bentuk pengelolaan lahan yang masih bertahan hingga saat ini dan menjadi bagian dari kehidupan sosial budaya masyarakat setempat adalah pengelolaan dudukuhan di Jawa Barat. Bagi masyarakat setempat, dudukuhan diposisikan untuk menyediakan berbagai kebutuhan rumah tangga serta menjadi sumber dan cadangan pendapatan tunai pada saat dibutuhkan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kinerja dudukuhan. Penelitian dilakukan di Desa Parakanmuncang, Kecamatan Nanggung, Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja dengan mengambil sampel sebanyak tigapuluh responden. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara semi terstruktur, pengamatan langsung (observasi) dan menggunakan berbagai publikasi dan laporan dari dinas/instansi terkait. Kinerja dudukuhan diidentifikasi berdasarkan indikator produktivitas, keberlanjutan, keadilan manfaat dan efisiensi. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis biaya manfaat. Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis data dan informasi yang bersifat kualitatif serta membahas secara mendalam data hasil pengukuran yang bersifat kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk mengkaji sistem pengelolaan dudukuhan, orientasi usaha, jenis dan keragaman produk, pengaruh variabel tersebut terhadap kinerja dudukuhan serta keberlanjutan dan keadilan manfaat. Analisis biaya manfaat digunakan untuk menghitung produktivitas dudukuhan menggunakan kriteria NPV dan efisiensi dudukuhan menggunakan kriteria Net B/C.

Dudukuhan merupakan sistem pengelolaan lahan yang sudah berlangsung turun-temurun di Desa Parakanmuncang. Dukuh adalah kebun campuran yang berisi berbagai jenis tanaman pepohonan kayu, buah dan tanaman pertanian. Dudukuhan dikelola untuk diambil hasilnya dengan menggunakan input produksi terbatas. Rata-rata luas penguasaan lahan dudukuhan 0,5 ha per keluarga. Pengelolaan dudukuhan masih dilakukan secara sederhana dan tidak intensif. Sistem penguasaan sumberdaya lahan dan hasil bersifat individual. Orientasi pemanfaatan dudukuhan sebagian besar masih bersifat subsisten.

Pada penelitian ini ditemukan beberapa tipe dudukuhan yang dibedakan berdasarkan karakteristik fisik lahan dan jenis tanaman yang dominan. Ketiga tipe dudukuhan tersebut adalah tipe kayuan, tipe buah-kayu dan campuran kayu-buah-tanaman pertanian. Tipe dudukuhan pada sebidang lahan dapat berubah sesuai dengan keputusan petani. Bila lahan tidak dikelola sama sekali karena faktor kemampuan petani maka lahan digolongkan kedalam tipe lahan tidur. Jenis tanaman yang dominan dalam dudukuhan adalah jeunjing, puspa, afrika, duku, manggis, durian, rambutan serta pisang dan bambu. Jenis tanaman pertanian lain yang dominan antara lain jagung, kacang tanah, ubi, dan jenis sayuran.

(3)

kayu sebesar Rp. 959.551, tipe kayu-kayuan Rp. 72.484 dan tipe campuran buah-kayu-tanaman pertanian Rp. 910.068. Usaha meningkatkan produktivitas terlihat dengan penanaman jenis-jenis baru seperti kamper, mahoni, akasia, pinus dan mangga serta mulai dilakukannya upaya pengelolaan lahan secara intensif. Selain memperlihatkan orientasi produktivitas, kegiatan ini menggambarkan usaha masyarakat mempertahankan keberadaan dudukuhan. Hal ini menjamin keberadaan dan keberlanjutan dudukuhan pada masa yang akan datang.

Keadilan manfaat diidentifikasi dengan terbuka dan beragamnya akses kepemilikan dudukuhan bagi masyarakat di dalam dan luar desa. Masyarakat memiliki akses sebagai pemilik, penggarap bagi hasil maupun menjadi buruh tani. Perhitungan efisiensi dudukuhan menggunakan kriteria Net B/C menunjukkan hasil sama dengan 2,8 untuk semua tipe dudukuhan sehingga pengelolaan dudukuhan tergolong efisien. Pengelolaan dudukuhan tergolong efisien karena input produksi yang digunakan terbatas sementara dudukuhan memberikan hasil sepanjang tahun. Analisis efisiensi dengan pendekatan kelembagaan dilakukan berdasarkan empat indikator yaitu universality, transferability, exclusivity dan

(4)

SUMMARY

NURHAYATI PATTISAHUSIWA. Performance of Agroforestry (Case of Dudukuhan in Parakanmuncang Village, Nanggung Sub-district, Bogor, West Java). Under Supervision of Dr. Ir. Didik Suharjito, MS.

Village community in Indonesia already practiced traditional agroforestry since long time ago. One example of this traditional agroforestry systems can be found in Nanggung Sub-district, Bogor, West Java. To local community, dudukuhan provide their family livelyhood and become a source and reserve cash income everytime they need.

The purpose of this research was to analyze performance of dudukuhan. This research was conducted in Parakanmuncang Village, Nanggung Sub-district, Bogor, West Java. Sample village was purposively selected with thirty five respondent were selected to be interviewed. Data collecting was conducted by semi structural intervieuw, observation and using a various publication or report from interrelated official/institute. Performance of dudukuhan identified by using indicator productivity, sustainability, equity and efficiency. Analyze method of this research was using descriptive and benefit-cost analyzes. Descriptive analyze used to explain qualitative data and information and to discuss quantitative...

Dudukuhan was land management systems and already practiced for generations. Dudukuhan are mixed tree garden with high number of wood, fruit trees and annual/seasonal crops. Dudukuhan managed on an extractive basis using limited input production. Average landholding per household is 0,5 ha. Dudukuhan managed still simple and not intensive. Characterized of landholding resources and dudukuhan yield are indidividually and subsistent oriented. According to the result of this research, there is three different type of dudukuhan which can be identified by it’s phisycal characteristic and dominant species. That three type of dudukuhan is wood tree systems, mixed wood-fruit tree systems and mixed wood-fruit tree-anuual/seasonal crops.

(5)

KINERJA AGROFORESTRI

(KASUS DUDUKUHAN di DESA PARAKANMUNCANG,

KECAMATAN NANGGUNG, BOGOR, JAWA BARAT)

Skripsi Sebagai salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan

Pada FakultasKehutanan Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Nurhayati Pattisahusiwa

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(6)

Judul Skripsi : Kinerja Agroforestri (Kasus dudukuhan di Desa

Parakanmuncang, Kecamatan Nanggung, Bogor,

Jawa Barat).

Nama : Nurhayati Pattisahusiwa

NIM : E01499902

Menyetujui : Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS 132 104 680

Mengetahui : Dekan Fakultas Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS 131 430 799

(7)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kinerja Agroforestri

(Kasus Dudukuhan di Desa Parakanmuncang, Kecamatan Nanggung,Bogor, Jawa

Barat) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen

pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan

tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari

karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan

dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar pustaka dibagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2007

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan sebagai anak pertama dari lima bersaudara hasil

pernikahan Bahardjan Pattisahusiwa dengan (Alm) Munira Wattihelu pada

tanggal 20 Agustus 1977.

Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 1989 di SD

Negeri I Galala, Ambon. Selanjutnya penulis menyelesaikan sekolan menegah

pertama tahun 1992 di SMP Negeri IV, Saparua, Maluku Tengah. Pada tahun

1995 penulis menyelesaikan sekolah menengah atas di SMA Negeri I Saparua,

Maluku Tengah.

Tahun 1999 penulis diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa jurusan

Manajemen Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Selama

menjalani pendidikan di IPB, penulis pernah mengikuti praktek umum kehutanan

(PUK) di RPH Blanakan-BKPH Jatiluhur-RPH Tangkubanperahu pada tahun

2001. Pada tahun yang sama penulis juga mengikuti praktek umum pengelolaan

hutan (PUPH) di KPH Banyumas Timur. Tahun 2002 penulis mengikuti praktek

kerja lapang (PKL) di HPH.PT. Ratah Timber (Roda Mas Group), Samarinda

Kalimantan Timur.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan

skripsi dengan judul Kinerja Agroforestri (Kasus Dudukuhan di Desa

Parakanmuncang, Kecamatan Nanggung, Bogor, Jawa Barat) di bawah bimbingan

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya sehingga

penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya ilmiah berjudul Kinerja

Agroforestri (Kasus Dudukuhan di Desa Parakanmuncang, Kecamatan Nanggung,

Bogor,Jawa Barat). Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang dilaksanakan

mulai Bulan April hingga Juni 2006 di Desa Parakanmuncang, Kecamatan

Nanggung, Bogor, Jawa Barat.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.

Ir. Didik Suharjito, MS selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu

untuk memberikan arahan sejak awal penyusunan skripsi ini hingga selesai. Selain

itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sahrudin serta Warga Desa

Parakanmuncang yang telah membantu penulis selama kegiatan penelitian

dilaksanakan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada papa, mamaku

tercinta, Nyong, Asis dan Firda atas segala doa, kasih sayang dan kesempatan

selama ini. Kepada ”Iib”, terima kasih untuk setiap kata-kata dan perbuatan yang

menyejukkan hati, semoga dibalas Allah dengan setimpal.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2007

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.3Tujuan Penelitian ... 2

1.3Manfaat Penelitian ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Dudukuhan ... 3

2.2Kinerja Pengelolaan Kehutanan Masyarakat di Indonesia... 4

2.2.1 Produktivitas ... 7

2.2.2 Keberlanjutan ... 8

2.2.3 Keadilan Manfaat ... 8

2.2.4 Efisiensi ... 9

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 11

3.1Kerangka Pemikiran ... 12

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 12

3.3 Alat ... 12

3.4 Metode Penelitian ... 12

3.4.1 Metode Pengambilan Contoh ... 12

3.4.2 Metode Pengumpulan Data ... 12

3.4.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 13

3.4.5 Definisi Operasional ... 15

BAB IV KEADAAN DESA PARAKANMUNCANG ... 16

4.1 Kondisi Geografis ... 17

4.2 Kependudukan ... 17

4.3 Aksesibilitas ... 18

4.4 Sarana Prasarana ... 19

(11)

5.1 Karakteristik Responden ... 21

5.1.1 Tingkat Pendidikan ... 21

5.1.2 Umur ... 22

5.1.3 Kepemilikan Lahan ... 23

5.2 Pengelolaan Dudukuhan ... 24

5.2.1 Ketersediaan Lahan ... 24

5.2.2 Produksi, pemanfaatan dan Pemasaran Hasil... 27

5.2.2.1 Produksi ... 27

5.2.2.1.1 Penanaman ... 27

5.2.2.1.2 Pemeliharaan ... 32

ƒ Penyiangan ... 32

ƒ Pemupukan ... 32

ƒ Penjarangan ... 33

ƒ Penyulaman dan Pengayaan ... 33

ƒ Penyemprotan Hama dan penyakit ... 33

5.2.2.1.3 Pemanenan ... 34

5.2.2.2Orientasi, Pemanfaatan dan Pengolahan Hasi ... 35

5.2.2.3Pemasaran Hasil ... 35

5.3 Kinerja Pengelolaan dudukuhan ... 37

5.3.1 Produktivitas ... 37

5.3.2 Keberlanjutan ... 40

5.3.3 Keadilan Manfaat ... 41

5.3.4 Efisiensi ... 42

5.3.5 Pengaruh Faktor Bentuk Penguasaan Sumberdaya, Orientasi Usaha serta Jenis dan Keragaman Produk ... 44

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

6.1 Kesimpulan ... 46

6.2 Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47

(12)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Tata Guna Lahan Kecamatan Nanggung (2001) ... 16

2. Tata Guna Lahan Desa Parakanmuncang ... 17

3. Jumlah Penduduk Kecamatan Nanggung berdasarkan Mata Pencaharian ... 18

4. Jumlah Penduduk Desa Parakanmuncang Berdasarkan Kelompok Umur ... 19

5. Distribusi Responden berdasarkan Tingkat Usia ... 22

6. Jenis Pekerjaan Utama Responden ... 23

7. Distribusi Luas Lahan Lahan di Desa Parakanmuncang ... 24

8. Asal Pemilikan Lahan Dudukuhan di Desa Parakanmuncang ... 25

9. Penggunaan Pupuk Berdasarkan Jenis Pupuk yang Digunakan ... 33

10.Produk Utama Dudukuhan di Desa Parakanmuncang ... 36

11.Biaya Pengelolaan/Hektar/Tahun/Tipe Dudukuhan ... 37

12. Pendapatan Kotor/Hektar/Tahun/Tipe Dudukuhan ... 38

13. Produktivitas/Hektar/Tahun/Tipe Dudukuhan ... 39

(13)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Skema Kerangka Pemikiran ... 11

2. Bagian Lahan Dudukuhan yang ditanami padi huma ... 24

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Identitas Responden ... 52

2. Peta Wilayah Desa Parakanmuncang ... 53

(15)

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Petani di pedesaan diketahui melakukan praktek agroforestri tradisional

sejak lama. Bentuk praktek agroforestri tradisional dapat ditemukan di Kecamatan

Nanggung yang berlokasi di Propinsi Jawa Barat, Indonesia. Bagi masyarakat,

dudukuhan menyediakan berbagai kebutuhan keluarganya pada level subsisten

serta menjadi sumber dan cadangan pendapatan tunai pada saat dibutuhkan.

Indonesia memiliki banyak model agroforestri yang terbukti dapat memberikan

secara bersama-sama fungsi ekonomi dan ekologi bagi lingkungan sekitar (de

Foresta et al., 2000).

Pengelolaan dudukuhan yang masih bertahan hingga saat ini menunjukkan

bahwa masyarakat lokal dapat mengelola sumberdaya yang memberikan manfaat

bagi masyarakat dan lingkungan setempat. Pengetahuan masyarakat yang

merupakan hasil proses belajar dan pengalaman dari kehidupan sehari-hari

mampu mewujudkan kelestarian sumberdaya alam. Di sisi lain, meskipun telah

lama dipraktekkan oleh masyarakat setempat dan memberikan manfaat nyata

namun dudukuhan belum berkembang menjadi sistem yang menjadi penopang

utama pendapatan rumah tangga. Sebagian besar petani pengelola menganggap

dudukuhan sebagai pelengkap bagi sistem pertanian monokultur.

Berbagai penelitian tentang agroforestri tradisional telah banyak dilakukan.

Pribadi (2001) mengemukakan pengelolaan kebun campuran di Desa Nanggung

dan Desa Parakanmuncang, Jawa Barat memberikan rata-rata manfaat sebesar Rp.

2.519.598,67 per tahun. Selanjutnya disebutkan bahwa pengelolaan sawah

memberikan manfaat bersih yang jauh lebih kecil sebesar Rp 103.916,42 per

tahun. Hendrik (2002) mengemukakan bahwa kegiatan pengelolaan hutan rakyat

di Desa Manggisan, Kabupaten Jember masih sangat sederhana. Kegiatan

pengelolaan hutan dilakukan dengan sistem monokultur atau berbentuk hutan

rakyat murni. Pengelolaan hutan rakyat memberikan kontribusi sebesar 57,24 %

terhadap total pendapatan rumah tangga di Desa Manggisan. Koswara (2006)

(16)

rata-rata pengelolaan hutan rakyat terhadap pendapatan petani sebesar Rp. 5.241.330

per tahun atau 28,12 % dari pendapatan total masyarakat Pekon Pahmungan. Berbagai penelitian tersebut menilai pengelolaan lahan hutan berdasarkan

besarnya kontribusi yang diperoleh terhadap total pendapatan rumah tangga.

Keberhasilan suatu bentuk pengelolaan lahan tidak dapat hanya diukur dari

kontribusinya terhadap pendapatan saja dan mengabaikan aspek lain. Dengan

demikian penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kinerja pengelolaan hutan

berdasarkan indikator produktivitas, keberlanjutan, keadilan manfaat dan efisiensi.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah menganalisis kinerja

pengelolaan dudukuhan di Desa Parakanmuncang

C. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan melalui penelitian ini adalah :

1. Menyumbangkan informasi tentang pengelolaan dudukuhan.

2. Sebagai referensi bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan dalam usaha

pengelolaan dan pelestarian sumberdaya hutan dan lahan serta peningkatan

kesejahteraan masyarakat Bagi pihak terkait lain seperti LSM dan petugas

penyuluh pertanian diharapkan dapat menjadi masukan dalam upaya

(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

D. Dudukuhan

Berbagai kajian tentang agroforestri tradisional memberikan gambaran

bahwa bentuk pengunaan lahan ini sudah lama dipraktekkan oleh masyarakat

pedesaan dalam berbagai bentuk dan model (de Foresta et al., 2000). Masing-masing bentuk agroforestri tradisional memiliki ciri-ciri yang relevan dengan

karateristik lingkungannya, baik lingkungan alam maupun budaya. Sistem

agroforestri tradisional adalah respon masyarakat lokal di pedesaan terhadap

pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang semakin meningkat pada lahan yang

luasannya semakin sempit. Agroforestri tradisional merupakan hasil

pengembangan serta adaptasi pengetahuan dan pengalaman petani setempat secara

turun-temurun terhadap kondisi lokal lahan yang dikelolanya. Vergara (1987)

dalam Suek (1994) menjelaskan bahwa suatu sistem agroforestri digolongkan

tradisional dicirikan bila sebagian besar tanaman yang diusahakan terutama

ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga pengelolanya

sehari-hari.

Sistem agroforestri tradisional yang saat ini masih dipertahankan oleh

masyarakat petani di di wilayah Kecamatan Nanggung dan sekitarnya adalah

dudukuhan. Dudukuhan adalah tempat berbagai jenis tegakan pepohonan dan

tanaman pertanian/pisang dan palawija ditanam dan dikelola secara turun-temurun

untuk diambil hasilnya (Manurung, 2005). Selanjutnya dikemukakan bahwa

dudukuhan merupakan kebun pepohonan campuran yang dikelola secara

ekstraktif menggunakan input produksi terbatas. Hal ini disebabkan oleh ukuran

lahan yang sempit, status pemilikan lahan kurang jelas, akses pemasaran terbatas

serta kurangnya pengetahuan dan pengalaman petani tentang pengelolaan pohon

secara intensif.

Struktur fisik dudukuhan memiliki kemiripan dengan pekarangan.

Perbedaan dudukuhan dengan pekarangan didasarkan pada letaknya yang jauh

dari rumah pemilik serta intensitas pengelolaannya yang kurang intensif.

Dudukuhan di Desa Parakanmuncang dapat dibedakan kedalam empat tipe yaitu

(18)

palawija serta lahan tidur. Keempat tipe dudukuhan ini dibedakan berdasarkan

struktur fisik serta jenis tanaman dominan. Dudukuhan kayu-kayuan cenderung

mengarah pada penanaman satu atau dua jenis pepohonan kayu untuk tujuan

komersil. Dudukuhan buah-kayu memiliki kerapatan pohon buah dan kayu yang

relatif lebih tinggi. Dudukuhan buah-kayu-pisang/palawija biasanya memberikan

keuntungan yang lebih tinggi dibanding tipe dudukuhan lainnya. Tipe dudukuhan

berupa lahan tidur adalah lahan-lahan yang dibiarkan tidak terurus oleh pemilik

lahan terutama disebabkan lokasinya yang jauh dari desa dan biasanya terletak di

bagian perbukitan dengan tingkat kemiringan cukup curam. Selain didominasi

oleh semak belukar umumnya lahan tidur ditumbuhi bambu yang permudaannya

berlangsung alami dan setiap tahun dipanen hasilnya (Manurung et al., 2003; Manurung, 2005).

Proses terbentuknya dudukuhan dimulai dari pembukaan lahan sebagai

ladang huma. Ladang huma biasanya merupakan integrasi antara penanaman padi

huma dengan jenis tanaman pertanian, tanaman semusim, pisang dan tanaman

pepohonan. Pada tahap selanjutnya padi huma tidak menjadi tanaman pokok

karena tergantikan oleh berbagai jenis tanaman lain. Keadaan ini secara bertahap

akan merubah lahan beralih fungsi menjadi lahan hutan. Dudukuhan

mengembalikan fungsi hutan dan memberikan masukan bagi masyarakat juga

membangun hubungan sosial antar masyarakat (Santosa, 2006).

E. Kinerja Pengelolaan Kehutanan Masyarakat di Indonesia

Ukuran kinerja suatu sistem produksi dapat dianalisis berdasarkan beberapa

karakteristik seperti produktivitas, stabilitas, sustainabilitas, penyebaran dan

kemerataannya. Setiap kegiatan pengelolaan hutan memiliki kinerja yang

berbeda-beda. Kinerja pengelolaan hutan dapat dinilai berdasarkan pada empat

indikator yaitu produktivitas, keberlanjutan, keadilan manfaat dan efisiensi

(Suharjito et al., 2000). Yusran (2005) mengkaji kinerja pengelolaan hutan kemiri di Sulawesi Selatan dari aspek ekonomi, ekologi dan sosial. Kinerja ekonomi

menggambarkan besarnya keuntungan yang diperoleh pemilik sumberdaya.

Kinerja ekologi menggambarkan kemampuan menjaga ekosistim secara

(19)

pengetahuan dan kelembagaan lokal yang berkaitan dengan distribusi manfaat dan

nilai-nilai sosial dalam sistem hutan.

Menurut Conway (1987) dalam Suharjito et al., (2000), produktivitas adalah keluaran produk bernilai per unit input sumber daya. Budidarsono (2002)

mendefinisikan produktivitas wanatani sebagai kemampuan untuk berproduksi

secara finansial dan ekonomi. Produktivitas diukur dari seberapa besar wanatani

mampu memberikan keuntungan berupa pendapatan bersih. Pada dasarnya

besaran fisik produktivitas mempengaruhi besaran pendapatan dan memberi

dampak bagi kesejahteraan petani pengelola.

Keberlanjutan diartikan sebagai kemampuan suatu agroekosistem untuk

menjaga produktivitasnya dari waktu ke waktu. Keberlanjutan diidentifikasi

berdasarkan keberadaan agroekosistim dari waktu ke waktu pada tingkat

produktivitas barang atau jasa tertentu (Suharjito et al., 2000). Salah satu sasaran dalam setiap usaha pertanian adalah produksi yang berkelanjutan yang dicirikan

oleh stabilitas produksi dalam jangka panjang.

Conway (1987) dalam Suharjito et al., (2000) mendefinisikan keadilan manfaat sebagai pemerataan distribusi proyek dari agroekosistem di antara yang

berhak menerima manfaat. Keadilan manfaat diukur berdasarkan tingkat distribusi

penguasaan sumberdaya hutan dan akses terhadap manfaat yang diterima oleh

satuan masyarakat desa atau kampung. Mekanisme keadilan manfaat mendukung

tercapainya keberlanjutan, produktivitas dan efisiensi(Suharjito et al., 2000).

Tietenberg (1992) dalam Yusran(2005) mengemukakan bahwa pengelolaan

suatu sumberdaya akan efisien dan lestari apabila struktur property rights

sumberdaya terdefenisikan dengan baik. Hal ini dicirikan oleh empat komponen

yaitu : (1) universality dimana semua sumberdaya dimiliki secara individu dan seluruh hak-hak atas pemilikan lahan bersifat khusus, (2) transferability yaitu semua hak kepemilikan dapat dipindahtangankan dari satu pemilik kepada

pemilik lainnya secara sukarela, (3) exclusivity dimana semua manfaat dan biaya yang timbul dari kepemilikan dan penggunaan lahan harus dinikmati dan

(20)

penilaian efisiensi suatu sistem agroforestri dapat dilakukan dengan

membandingkan manfaat yang dihasilkan dengan biaya yang sudah dikeluarkan

pengelola sumberdaya. Dapat disimpulkan bahwa Tietenberg (1992) dalam

Suharjito et al., (2000) mengkaji efisiensi pengelolaan sumberdaya dengan menggunakan pendekatan kelembagaan sedangkan Budidarsono mengkaji

efisiensi dengan pendekatan fisik berupa manfaat yang diperoleh pada satu satuan

waktu pengelolaan.

Kinerja pengelolaan hutan dipengaruhi oleh:

1. Sistem pengelolaan, yaitu sistem penguasaan dan pengambilan keputusan,

apakah secara individual atau komunal. Sistem penguasaan dan pengambilan

keputusan pengelolaan mempengaruhi responsibilitas terhadap ekonomi pasar

dan model ekonomi sosialnya.

2. Orientasi usaha, apakah subsisten atau komersial. Tingkat subsistensi dan

komersialisasi merupakan ukuran responsibilitas terhadap ekonomi pasar.

3. Jenis dan keragaman produk yang dikonsumsi dan dipasarkan merupakan

respons terhadap kebutuhan dan pasar yang sekaligus mempengaruhi kinerja

pengelolaannya.

Tingkat produktivitas dan efisiensi sistem pengelolaan secara individual,

dengan orientasi usaha komersial dan jenis produk monokultur cenderung lebih

tinggi. Keberlanjutan dan tingkat pemerataan sistem pengelolaan cenderung lebih

tinggi pada hutan/kebun yang dikelola secara komunal, berorientasi subsisten dan

berbentuk agroforest kompleks sehingga menghasilkan produk dengan jenis dan

tingkat keragaman tinggi (Suharjito et al., 2000).

Kajian kinerja pengelolaan kehutanan masyarakat di beberapa daerah di Indonesia

menjadi bukti kongkrit keberhasilan pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat

(21)

II. Produktivitas

Produktivitas kebun kemenyan di Tapanuli Utara dihitung sebagai hasil

produksi getah kemenyan per kg per hektar per tahun yang dikalikan dengan

harga rata-rata getah kemenyan/kg. Dengan rata-rata penguasaan lahan 2 hektar

serta tingkat harga getah kemenyan rata-rata Rp 4.000 per kg maka pendapatan

rumah tangga yang diperoleh pengelola ± Rp. 2.800.000 per tahun (Suharjito et al., 2000).

Sistem tembawang di Kalimantan Barat menghasilkan biji tengkawang

sebanyak 300 kg per hektar per tahun untuk musim biasa dan 600 kg/ha dalam

siklus 3 – 5 tahun pada musim besar. Momberg dalam de Foresta et al., (2001) mencatat 75 % hasil tengkawang nasional berasal dari pengelolaan tembawang.

Pada awalnya tengkawang merupakan hasil asli hutan. Saat ini hampir seluruh biji

tengkawang dikumpulkan dari hasil budidaya di kebun. Harga jual biji

tengkawang pada musim biasa sekitar Rp. 800/kg sedangkan pada musim besar

harga per kg biji tengkawang sekitar Rp. 500 - 700/kg. Pada tingkat harga tersebut

produktivitas tembawang (dari hasil biji tengkawang) Rp. 240.000 untuk musim

biasa dan antara Rp. 300.000 - Rp. 420.000 untuk musim besar. Hasil buah

dilaporkan mencapai 20 - 50 kg per pohon dengan harga jual Rp. 500/kg

(Sundawati, 1993 dalam Suharjito et al., 2000).

Penilaian produktivitas juga dapat dilihat secara kualitatif. Hal ini

disebabkan karena hal-hal yang berkaitan dengan produktivitas belum

teridentifikasi secara menyeluruh. Suharjito et al., (2000) mengemukakan bahwa produktivitas hutan adat Tenganan di Bali diidentififkasi berdasarkan adanya

beberapa aturan yang membatasi produk buah hanya dapat dikonsumsi secara

bebas atau dipasarkan dengan ijin bila sudah jatuh ke atas tanah. Penebangan kayu

dilakukan sangat terbatas terhadap kayu mati atau kayu hasil penjarangan. Hasil

kayu juga hanya diperuntukkan untuk keperluan lokal setempat. Suharjito et al.,

(2000) juga meninjau produktivitas lembo melalui beragamnya hasil lembo baik

dari jenis kayu atau buah, getah, rotan dan hasil lain. Hasil yang beragam

(22)

Orientasi peningkatan produktivitas juga dilihat dengan berkembangnya

pengetahuan lokal pada berbagai tahapan pengelolaan lahan.

III.Keberlanjutan

Keberlanjutan dinilai berdasarkan keberadaan suatu sistem pengelolaan

lahan dari waktu ke waktu pada tingkat produktivitas tertentu. Repong damar di

Daerah Krui, Lampung merupakan contoh pola pengelolaan yang terbukti mampu

berproduksi dalam jangka panjang, mendatangkan keuntungan ekonomi serta

memiliki landasan sosial yang kokoh (Wijayanto, 2001). Suharjito et al., (2000) mengidentifikasi keberlanjutan sistem ini melalui berkembangnya pengetahuan

tradisional yang berorientasi pada pengaturan dan pembatasan pengambilan hasil

getah damar. Fenomena ini memperlihatkan kecenderungan masyarakat petani

pengelola untuk mempertahankan keberadaan repong damar serta meningkatkan

level produktivitas.

Pengelolaan kebun hutan Durian di Benawai Agung, Kecamatan Sukadana

Kalimantan Barat telah berlangsung lama (Salafsky, 1994 ). Jenis tanaman utama

yang terdapat pada semua tipe kebun pepohonan campuran adalah durian. Durian

memiliki tingkat kepadatan pohon yang paling tinggi dibandingkan dengan jenis

lain. Ukuran diameter pohon durian yang cukup besar menunjukkan bahwa

kebun-kebun durian di Benawai Agung merupakan kebun tua. Pada awalnya hasil

kebun durian hanya digunakan untuk konsumsi sendiri. Saat ini harga kebun dan

nilai pohon buah yang semakin meningkat menyebabkan para petani berupaya

memperluas kebun miliknya. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa kebun

durian sangat menguntungkan sehingga para petani cenderung mempertahankan

keberadaannya.

IV.Keadilan Manfaat

Keadilan manfaat pada sistem pengelolaan repong damar di Krui Lampung

diidentifikasi berdasarkan akses kegiatan pengelolaan yang cukup terbuka

terhadap berbagai pihak, besarnya manfaat atau efek ganda yang diperoleh dari

(23)

kehidupan. Keadilan manfaat juga diidentifikasi dengan terbukanya peluang

berbagai anggota masyarakat manapun untuk terlibat dalam pengelolaan repong

damar.

Tembawang di Kalimantan Barat dibedakan menurut pola pemilikan.

Menurut de Foresta et al., (2000) terdapat empat tipe tembawang. Tipe pertama adalah tembawang milik bersama yang hak pemanfaatannya dimiliki

bersama-sama penduduk satu desa atau lebih. Tipe kedua adalah tembawang waris tua

yang dimiliki oleh kelompok seketurunan dengan usia kepemilikan antara tiga

hingga enam generasi. Tipe ketiga adalah tembawang waris muda yang hak

pemanfaatannya dimiliki secara bersama-sama oleh satu keluarga besar dengan

usia kepemilikan antara satu sampai dua generasi. Tipe terakhir adalah

tembawang pribadi yang merupakan tembawang muda dan dimiliki secara

perorangan. Sistem kepemilikan seperti ini didasarkan pada sistem pewarisan

Dayak Kodan pedalaman yaitu tembawang tidak dibagi ketika sang pemilik

meninggal. Keadilan manfaat dapat diidentifikasi berdasarkan beragamnya akses

kepemilikan sehingga semua bagian masyarakat dan individu dapat menikmati

hasil tembawang.

Pada hutan adat Tenganan di Bali, keadilan manfaat baru dapat diukur pada

tingkat subsisten. Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, penduduk setempat

diperbolehkan mengambil buah-buahan yang sudah jatuh ke atas tanah. Untuk

tujuan komersial, keadilan manfaat belum dapat diukur secara pasti karena

ketidakpastian produktivitas buah dan kayu serta keharusan memperoleh ijin dari

kepala desa untuk pemanfaatan produk lahan.

V. Efisiensi

Penilaian efisiensi hutan kemenyan di Tapanuli Utara didasarkan pada

perhitungan ratio input-output. Perhitungan input produksi dilakukan terhadap

input produksi yang paling intensif yaitu tenaga kerja. Tenaga kerja yang digunakan dalam pengusahaan hutan kemenyan 60 % berasal dari keluarga dan

sisanya 40 % berasal dari tenaga upahan. Komposisi tenaga kerja yang terlibat

(24)

Bila jumlah jam kerja antara 90 – 100 HOK/hektar/tahun dengan upah tenaga

kerja Rp 6.000/HOK maka biaya tenaga kerja dapat mencapai Rp.

600.000/hektar/tahun. Penghasilan yang diperoleh dari getah kemenyan mencapai

Rp. 1.400.000/ha per tahun. Dapat disimpulkan bahwa pengelolaan kebun

kemenyan tergolong efisien karena pendapatan jauh lebih besar dari biaya.

Apabila hasil-hasil suplemen seperti buah nangka, durian dan duku turut

diperhitungkan maka pengusahaan lahan akan memberikan penghasilan yang

lebih tinggi (Suharjito et al., (2000).

Suharjito et al., (2000) mengidentifikasi efisiensi pengelolaan Repong damar di daerah Krui Lampung berdasarkan pendekatan kelembagaan. Efisiensi

teridentifikasi melalui jelasnya hak-hak yang berkaitan dengan pemilikan,

penguasaan dan pengelolaannya. Efisiensi juga tergambar dari tersedia dan

dihormatinya berbagai aturan main yang disepakati bersama antara lain meliputi

pembatasan pengambilan hasil getah damar serta penentuan batas kebun dengan

(25)

III. METODOLOGI PENELITIAN

B. Kerangka Pemikiran

Dudukuhan merupakan bentuk pengelolaan hutan yang secara tradisional

tumbuh dan berkembang di pedesaan di Kecamatan Nanggung. Dalam penelitian

ini variabel yang diduga saling berhubungan adalah bentuk penguasaan sumber

daya, orientasi usaha, bentuk dan keragaman produk, produktivitas, keberlanjutan,

keadilan manfaat serta efisiensi pengelolaan dudukuhan. Pada penelitian ini akan

dikaji bentuk penguasaan sumberdaya, orientasi usaha, dan bentuk serta tingkat

keragaman hasil dudukuhan.

Bentuk pengelolaan, orientasi usaha dan bentuk serta keragaman hasil

dudukuhan akan mempengaruhi kinerja pengelolaan dudukuhan yang

diidentifikasi berdasarkan empat indikator yaitu produktivitas, keberlanjutan,

keadilan manfaat dan efisiensi. Diduga kinerja pengelolaan dudukuhan

digolongkan tinggi bila bentuk pengelolaan individual, orientasi usaha komersial

serta tingkat keragaman jenis dan produk tinggi.

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Pengelolaan Dudukuhan

Sistem Pengelolaan Orientasi Usaha Jenis dan Keragaman Produk

Kinerja Dudukuhan

(26)

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Desa Parakanmuncang yang termasuk wilayah

Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat mulai Bulan April hingga

Juni 2006.

Pemilihan lokasi Desa Parakanmuncang dilakukan secara sengaja dengan

pertimbangan bahwa di desa ini terdapat masyarakat yang mengelola dudukuhan

sejak lama. Sasaran penelitian ini adalah masyarakat Desa Parakanmuncang yang

mengelola dudukuhan.

D. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain daftar pertanyaan

(kuisioner), alat tulis, kalkulator dan kamera.

E. Metode Penelitian

1. Metode Pengambilan Contoh

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

survey yaitu metode yang digunakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala

yang ada dan mencari keterangan secara faktual baik tentang institusi sosial,

ekonomi dan politik dari suatu kelompok atau suatu daerah.

Penentuan responden dalam penentuan ini dilakukan secara sengaja tanpa

dibatasi oleh faktor umur, pendidikan dan luas kepemilikan lahan. Petani

pengelola dudukuhan yang diambil sebagai contoh berjumlah 30 responden

dengan stratifikasi lahan berdasarkan luas penguasaan lahan dudukuhan yaitu

stratum 1 (luas lahan lebih dari 0,5 ha), stratum 2 (luas lahan antara 0,25 – 0,5 ha)

dan stratum 3 (luas lahan kurang dari 0,25 ha).

2. Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan

data sekunder. Pengumpulan data primer menggunakan teknik wawancara semi

terstruktur melalui kuisioner, pengamatan secara langsung di lapangan (observasi)

(27)

dikeluarkan instansi terkait yang berhubungan dengan penelitian. Data primer

terdiri dari :

F. Data karateristik responden : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,

pekerjaan utama dan sampingan, luas lahan, jumlah anggota keluarga

G. Data konsep dasar dudukuhan : definisi, ciri-ciri, asal lahan, ketenagakerjaan,

sistem pewarisan, status lahan

H. Aspek budidaya : jenis tanaman, jarak tanam, komposisi jenis, produksi,

pemanfaatan dan pengolahan serta pemasaran hasil dudukuhan, kendala yang

dihadapi.

- Data kinerja dudukuhan : sistem penguasaan sumberdaya lahan, luas

penguasaan, sistem pengambilan keputusan, sistem pembiayaan, hasil produksi,

jenis produk, pengalihan hak dan pengamanan sumberdaya.

Data sekunder sebagai pendukung penelitian yang diperoleh dari berbagai

publikasi serta laporan dinas/instansi yang terkait, terdiri dari :

I. Monografi Kecamatan Nanggung Tahun 2001

J. Monografi Desa Parakanmuncang Tahun 2005/2006

K. Peta Wilayah Kecamatan Nanggung

- Peta Wilayah Desa Parakanmuncang

3. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data primer dan data sekunder yang diperoleh kemudian diolah dengan

menggunakan metode analisis deskriptif sesuai dengan jenis data dan tujuan

penelitian.

VI.Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis data dan informasi yang

bersifat kualitatif serta membahas secara mendalam data hasil pengukuran

yang bersifat kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk mengkaji sistem

pengelolaan dudukuhan, orientasi usaha, jenis dan keragaman produk,

pengaruh variabel tersebut terhadap kinerja dudukuhan serta keberlanjutan dan

keadilan manfaat. Analisis deskriptif juga digunakan untuk mengkaji secara

mendalam produktivitas dan efisiensi dudukuhan secara kualitatif

(28)

VII. Analisis biaya manfaat dengan menggunakan parameter :

(1) produktivitas dudukuhan, diukur berdasarkan hasil atau pendapatan per

hektar yang diterima pengelola dudukuhan. Analisis produktivitas

menggunakan kriteria net present value (NPV) dengan rumus :

NPV =

=

+

n

t

i

t

Ct

Bt

1

(

1

)

,

Dimana :

NPV = Nilai bersih sekarang

Bt = Manfaat (Benefit) Ct = Biaya (Cost)

i = Tingkat suku bunga

(1+t)t = Faktor nilai sekarang (Present value)

Pengelolaan dudukuhan digolongkan produktif bila hasil perhitungan NPV

menunjukkan nilai lebih besar dari 0. semakin tinggi nilai NPV semakin tinggi

tingkat produktivitas dudukuhan.

(2) efisiensi merupakan ratio perbandingan antara present value manfaat berupa pendapatan dengan present value biaya yang diterima/dibayakan oleh pengelola dudukuhan. Analisis efisiensi dihitung menggunakan

kriteria net B/C ratio (Net B/C) dengan rumus :

Net B/C =

= =

+

+

n t n t

t

i

Ct

t

i

Bt

1 1

)

1

/(

)

1

/(

Dimana :

Net B/C = Ratio present value manfaat dengan present value biaya Bt = manfaat (benefit)

(29)

Pengelolaan dudukuhan tergolong efisien bila hasil perhitungan net B/C

menunjukkan nilai > 1. Semakin besar nilai net B/C semakin tinggi pula tingkat

efisiensi pengelolaan dudukuhan.

3. 1 Definisi Operasional

1. Produktivitas merupakan selisih hasil (pendapatan) yang diperoleh pengelola

dudukuhan dengan biaya yang dibayarkan. Produktivitas dinyatakan dalam

satuan rupiah per hektar per tahun (Rp/ha/tahun).

2. Pendapatan dan biaya dihitung sebagai rata-rata pendapatan dan biaya yang

diperoleh/dibayarkan selama 5 tahun (2002-2005).

3. Hasil dudukuhan diperhitungkan hanya dari produk yang dijual saja.

4. Suku bunga yang digunakan dalam perhitungan NPV dan Net B/C 12 %.

5. Semua harga output-input yang digunakan dalam analisis berdasarkan harga pasar yang berlaku pada saat penelitian berlangsung dengan asumsi harga

konstan sampai penelitian selesai.

6. Keberlanjutan merupakan ukuran kemampuan dudukuhan sebagai sistem

produksi dalam menjaga serta mempertahankan keberadaannya dari waktu ke

waktu pada tingkat produktivitas tertentu.

7. Keadilan manfaat merupakan ukuran pemerataan distribusi manfaat dudukuhan

diantara seluruh warga Desa Parakanmuncang.

8. Keadilan manfaat diidentifikasi dengan menganalisis distribusi penguasaan

sumberdaya dan akses terhadap manfaat dudukuhan.

9. Pengukuran keberlanjutan dan keadilan manfaat dilakukan dengan cara

mengidentifikasi kondisi-kondisi yang secara kualitatif menggambarkan

terwujudnya keadilan serta distribusi manfaat dudukuhan.

10.Efisiensi adalah perbandingan present value manfaat dengan present value

biaya yang diterima dan dibayarkan pengelola dudukuhan dalam jangka

(30)

IV. KEADAAN DESA PARAKANMUNCANG

L. Kondisi Geografis

Kecamatan Nanggung terletak di bagian Barat Propinsi Jawa Barat kurang

lebih 100 Km dari Jakarta dan 45 Km dari Bogor. Kecamatan Nanggung terdiri

atas sepuluh desa dengan luas total 11.646 ha. Sebagian besar areal Kecamatan

Nanggung merupakan lahan hutan (61,42 %) dan sisanya merupakan sawah dan

lahan kering.Tabel 1 menunjukkan secara lengkap tata guna lahan Kecamatan

Nanggung berdasarkan jenis penggunaan.

Tabel 1 Tata guna lahan Kecamatan Nanggung

No Jenis Penggunaan Luas (ha) Persentase (%)

1 2 3 4 5 6 Tanah Sawah Tanah Kering Tanah Basah Tanah Hutan Tanah Perkebunan Fasilitas Umum 1.767 1.538 15 7.153 1.132 41 15,2 13,2 0,1 61,4 9,7 0,4 Jumlah 11.646 100,0 Sumber : Monografi Kecamatan Nanggung (2001)

Kecamatan Nanggung merupakan areal berbukit dengan ketinggian antara

400-1.800 meter diatas permukaan laut. Wilayah Kecamatan Nanggung memiliki

beberapa kisaran topografi yaitu datar sampai berombak (15 %), berombak

sampai berbukit (60 %), dan berbukit sampai bergunung (25 %). Curah hujan

rata-rata tahunan berkisar antara 3.000 - 4.000 mm dan temperatur rata-rata-rata-rata berkisar

antara 22 0 C hingga 34 0 C.

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Parakanmuncang yang termasuk dalam

wilayah Kecamatan Nanggung. Luas wilayah Desa Parakanmuncang 605.179 ha.

Berdasarkan data monografi desa tahun 2005/2006, Parakanmuncang berbatasan

dengan beberapa desa dan kecamatan disekitarnya yaitu :

VIII. Sebelah Utara dengan Desa Kalong I wilayah Kecamatan

Leuwisadeng

IX.Sebelah Selatan dengan Desa Nanggung wilayah Kecamatan Nanggung

X. Sebelah Barat dengan Desa Sukaraksa wilayah Kecamatan Cigudeg

(31)

Ketinggian tempat Desa Parakanmuncang dari permukaan laut adalah

300-400 mdpl. Topografi desa bervariasi antara dataran rendah, berbukit dan

bergunung-gunung dengan kemiringan 10 - 20 0. Curah hujan berkisar antara 500-600 mm/tahun dengan suhu rata-rata berkisar antara 26-30 0C.

Sebagian besar wilayah Desa Parakanmuncang dialokasikan untuk kegiatan

pertanian. Berdasarkan data Monografi Desa Parakanmuncang diketahui 58,8 %

(295,5 ha) areal desa merupakan lahan yang dikelola sebagai kebun dan 34,8 %

merupakan lahan pertanian monokultur berupa sawah yang dikelola untuk

memenuhi kebutuhan rumah tangga petani. Secara rinci tata guna lahan Desa

Parakanmuncang sesuai peruntukan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Tata guna lahan Desa Parakanmuncang

No Penggunaan Luas (ha) Persentase (%)

1 2 3 4 5 6 7 8 Sawah Pekarangan Tegalan/kebun/Dudukuhan Empang Hutan lindung Hutan wisata Fasilitas Umum Pemakaman umum 175,0 15,0 295,5 2,5 5,5 1,0 1,0 7,5 34,8 3,0 58,8 0,5 1,0 0,2 0,2 1,5 Sumber : Monografi Desa Parakanmuncang 2005/2006

Pengelolaan kebun tidak dilakukan secara intensif. Hasil utama dari kebun

adalah kayu, buah, bambu dan pisang. Meskipun pengelolaan kebun dilakukan

secara tradisional dan sederhana, pola pengelolaan lahan ini memberikan manfaat

berupa tersedianya kebutuhan rumah tangga serta pendapatan rumah tangga petani

sepanjang tahun. Kebun dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu pekarangan dan

dudukuhan. Penggunaan tenaga kerja untuk kegiatan pertanian berasal dari

keluarga petani.

M.Kependudukan

Kecamatan Nanggung memiliki 57.528 penduduk terdiri dari 16.352 kepala

keluarga dengan komposisi 33.016 orang pria dan 31.807 orang wanita. Sebagian

besar warga Kecamatan Nanggung (56,5 %) memiliki mata pencaharian sebagai

(32)

pensiunan. Selengkapnya jumlah penduduk Kecamatan Nanggung berdasarkan

mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jumlah Penduduk Kecamatan Nanggung berdasarkan Mata Pencaharian

No Jenis Pekerjaan N

(Jiwa) Persentase (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Petani Pengusaha sedang/Besar Pengrajin/Industri Kecil Buruh Industri Buruh Bangunan Buruh Pertambangan

Buruh Perkebunan (Besar+Kecil) Pedagang

Jasa Transportasi Pegawai Negeri sipil ABRI Pensiunan Peternak 32.475 5.085 129 91 322 1.668 371 4.757 9.971 302 10 103 2.244 56,5 8,8 0,2 0,2 0,6 2,9 0,6 8,3 17,3 0,5 0,0 0,2 3,9

Jumlah 57.528 100,0

Sumber : Monografi Kecamatan Nanggung (2001)

Jumlah penduduk Desa Parakanmuncang 10.837 jiwa (3.015 KK) terdiri dari

5.525 pria (51,9 %) dan 5.312 wanita (49,7 %). Hampir seluruh warga desa

beragama Islam dan semuanya merupakan Warga Negara Indonesia yang berasal

dari warga asli maupun para pendatang dari luar Parakanmuncang. Berdasarkan

data monografi desa tahun 2005/2006, lebih dari separuh penduduk Desa

Parakanmuncang memiliki mata pencaharian sebagai petani (77,3 %). Sisanya

bekerja di berbagai bidang antara lain pengusaha, pengrajin, buruh dan sektor jasa

lainnya. Pada Tabel 4 disajikan data jumlah penduduk Desa Parakanmuncang

(33)
[image:33.612.133.508.97.349.2]

Tabel 4 Jumlah Penduduk Desa Parakanmuncang berdasarkan Kelompok Umur

Kelompok Umur N (Jiwa) Total

Jumlah Jumlah Jumlah Persentase (%)

0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69 > 70 703 352 445 451 429 346 376 319 210 216 553 458 245 219 203 707 318 409 416 413 324 349 308 200 218 523 467 242 214 204 1.410 670 854 867 842 670 725 627 410 434 1.067 925 487 443 407 13,0 6,2 7,9 8,0 7,8 6,2 6,9 5,8 3,8 4,0 9,9 8,5 4,5 4,1 3,8

Jumlah 5.525 5.312 10.837 100,0

Sumber: Monografi Desa Parakanmuncang 2005/2006

N. Aksesibilitas

Hampir seluruh lalu lintas pengangkutan di Kecamatan Nanggung dilakukan

melalui jalur darat. Jalur perhubungan darat yang dapat dilalui meliputi jalan aspal

(sepanjang 79 km), jalan diperkeras (71 Km) dan jalan tanah (12 km). Meskipun

tidak semua jalur perhubungan darat berupa jalan dapat dilalui oleh kendaraan

beroda empat, tersedia pula kendaraan ojeg yang berfungsi sebagai sarana transportasi bagi para penduduk menuju pasar desa terdekat dimana tersedia

kendaraan beroda empat menuju desa-desa maupun kota terdekat.

Jarak tempuh dari Desa Parakanmuncang menuju pasar terdekat sekitar 2

km sementara Pasar Leuwiliang berjarak tempuh 10 km. Prasarana perhubungan

yang dipergunakan di Desa Parakanmuncang terdiri atas 1 jalan provinsi, 1 jalan

kabupaten, 5 jalan desa dan 5 jembatan beton. Hampir seluruh kegiatan lalu lintas

antar desa dan sekitarnya dilakukan melalui jalan darat. Sarana transportasi

(34)

D. Sarana Prasarana

Sarana pemukiman di Desa Parakanmuncang terdiri atas 651 bangunan

rumah permanen, 637 bangunan semi permanen dan 542 bangunan non permanen.

Sarana perhubungan desa sebagian besar sudah berupa jalan aspal dan terdapat

pula jalan tanah. Lembaga keuangan dan sarana perekonomian yang terdapat di

desa Parakanmuncang terdiri dari 1 buah koperasi unit desa (KUD), 2 toko dan 2

kios. Sarana keagamaan yang tersedia di Desa Parakanmuncang cukup memadai

terdiri atas 13 masjid, 17 musholla dan 12 majelis ta’lim.

Sarana pertanian tersedia di Desa Parakanmuncang berupa 6 bendungan.

Untuk sarana pendidikan, terdapat 1 Madrasah Aliyah, 1 Madrasah Tsanawiyah, 6

Madrasah Ibtidaiyah dan 3 TK yang berstatus swasta serta 6 Sekolah Dasar

Negeri. Masyarakat desa memanfaatkan prasarana kesehatan berupa 1 Puskesmas

yang didukung oleh 1 orang dokter, 2 perawat dan 2 bidan serta 10 pos pelayanan

terpadu (Posyandu). Terdapat pula sarana pemerintahan berupa satu buah kantor

(35)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karateristik Responden

Para responden merupakan warga Desa Parakanmuncang yang memiliki

lahan dudukuhan. Penentuan responden terpilih dilakukan secara acak tanpa

dibatasi oleh faktor usia, pendidikan dan luasan kepemilikan lahan. Berdasarkan

hasil identifikasi terhadap para responden diketahui bahwa 28 responden (93,3 %)

merupakan kepala keluarga dan 2 responden (6,7 %) bukan merupakan kepala

keluarga.

1. Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan unsur penting yang dapat mencerminkan suatu

tingkat kesejahteraan masyarakat karena tingkat pendidikan berkorelasi positif

dengan produktivitas seseorang dan kesejahteraannya. Tingkat pendidikan sangat

berpengaruh terutama dalam hal kemampuan untuk menerima suatu proses

perubahan berupa informasi dan inovasi-inovasi baru. Dalam kenyataannya

tingkat pendidikan berpengaruh terhadap kecepatan dalam suatu proses

berlangsung, dimana pendidikan akan menunjang penerimaan hal baru yang

dirasakan penting bagi perwujudan perubahan terhadap nilai-nilai positif yang

menguntungkan.

Pendidikan belum menjadi faktor terpenting dalam kehidupan masyarakat

desa. Diketahui 93,3 % (28 orang) responden berpendidikan sekolah dasar (SD).

Hanya dua responden (6,7 %) yang berpendidikan sekolah menengah atas (SMA).

Hal ini memperkuar hasil survey ICRAF (2006) yang menyebutkan bahwa hanya

2,2 % penduduk kecamatan Nanggung yang menempuh pendidikan setingkat

sekolah menengah atas. Tercatat 5,7 % penduduk tergolong buta aksara (buta

huruf) dan 81,9 % tidak pernah menempuh pendidikan lebih tinggi dari sekolah

menengah pertama (SMP). Berdasarkan hasil wawancara, dapat disimpulkan

bahwa masyarakat setempat umumnya lebih mementingkan pendidikan agama.

Setelah lulus dari ekolah dasar, anak-anak biasanya melanjutkan pendidikan ke

(36)

Parakanmuncang sangat terbuka dalam menerima berbagai masukan dan inovasi

baru.

2. Umur

Umur responden bervariasi antara 37 - 83 tahun dengan umur rata-rata 61

tahun. Berdasarkan hasil identifikasi terhadap para responden, terlihat bahwa para

pengelola dudukuhan sebagian berada diatas umur produktif antara 60 - 69 tahun

(33,3 %). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para petani pengelola

dudukuhan saat ini merupakan petani generasi tua. Para petani muda yang berada

pada usia produktif lebih suka mencari pekerjaan lain di luar bidang pertanian.

Hal ini dipengaruhi oleh adanya luasan lahan yang semakin sempit serta

kecenderungan masyarakat berusia muda untuk mencari pekerjaan diluar

pertanian yang menjanjikan penghasilan yang pasti. Tabel 5 memperlihatkan

[image:36.612.133.510.372.493.2]

secara lengkap data sebaran umur responden.

Tabel 5 Distribusi Responden berdasarkan Tingkat Usia

No Tingkat Usia N

(orang)

Persentase (%)

1 2 3 4 5 6

30 - 39 40 - 49 50 - 59 60 - 69 70 - 79 ≥ 80

1 4 7 11 4 3

5,0 13,3 23,3 33,3 13,3 10,0

Jumlah 30 100,0

Sebagian besar (76,7 %) responden memiliki pekerjaan sebagai petani.

Sisanya bekerja sebagai kuli, buruh, pegawai negeri sipil (PNS) dan swasta serta

Pedagang yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai petani. Tabel 6

(37)
[image:37.612.136.509.97.208.2]

Tabel 6 Jenis Pekerjaan Utama Responden

No Jenis Pekerjaan N (orang) Persentase (%)

1 2 3 4 5 6 Petani Kuli Buruh PNS Pegawai Swasta Pedagang 23 1 3 1 1 2 76,7 3,3 10,0 3,3 3,3 6,7

Jumlah 30 100,0

3. Kepemilikan Lahan

Masyarakat Desa Parakanmuncang umumnya mengelola dudukuhan

berdampingan dengan pertanian monokultur. Bagian lahan yang memungkinkan

akan ditanami padi dan tanaman pertanian lain. Rata-rata luas kepemilikan lahan

dudukuhan di Desa Parakanmuncang 5.394 m2. Perbedaan luas lahan disebabkan oleh adanya perbedaan kemampuan modal petani. Pengalihan hak kepemilikan

sebidang lahan melalui proses jual beli ataupun bagi hasil dapat dilakukan bebas

kepada siapa saja baik sesama warga desa ataupun diluar desa.

Pemilikan lahan responden terpilih tersebar dalam 3 stratum (Sajogyo, 1978

dalam Kartasubrata, 1986). Ketiga stratum tersebut stratum 1 (luas pemilikan

lahan lebih dari 0,5 ha), stratum 2 (luas pemilikan lahan antara 0,25- 0,5 ha) dan

stratum 3 (luas pemilikan lahan kurang 0,25 ha). Letak dudukuhan dapat tersebar

atau terpusat pada satu tempat. Pada Gambar 1 terlihat bahwa pengelola

dudukuhan memanfaatkan sebagian lahan untuk dikelola sebagai lahan pertanian.

Bagian lahan yang memungkinkan memperoleh air pada musim hujan akan

ditanami dengan tanaman pertanian. Pada tahapan awal lahan ditanami padi huma.

Dalam satu musim tanam, padi yang sudah dipanen akan dirotasikan secara

bergiliran dengan jenis tanaman pertanian seperti jagung, ubi dan kacang tanah.

Setelah padi dipanen lahan kemudian ditanami jagung. Ubi baru ditanam setelah

jagung dipanen karena jenis ini membutuhkan waktu panen yang lebih lama

sekitar enam bulan. Pengelolaan dudukuhan di Desa Parakanmuncang

memperkuat hasil penelitian Saptariani (2003) yang menyatakan bahwa

pengelolaan lahan kebun dan dudukuhan tidak lepas dari pengelolaan sawah dan

tanaman pertanian lainnya sehingga merupakan satu kesatuan pengelolaan lahan

(38)

Gambar 2 Bagian lahan dudukuhan yang ditanami padi huma.

Para petani yang memiliki lahan sempit hingga sedang pada umumnya

memperoleh lahan dari hasil warisan. Para petani ini biasanya mengelola

dudukuhan untuk tujuan subsisten atau untuk dikonsumsi sendiri. Orientasi usaha

subsisten dipengaruhi oleh penguasaan lahan sempit dan budaya pembagian hak

waris yang secara langsung semakin mempersempit satuan usaha yang dikuasai

petani. Fenomena ini meningkatkan jumlah petani yang tidak memiliki tanah dan

hanya menjadi petani penggarap. Pada akhirnya kegiatan pembagian lahan dengan

sistem warisan akan ditinggalkan karena satuan usaha yang terfragmentasi

menyebabkan luasan lahan yang dapat dikelola petani semakin sempit sehingga

pengelolaan lahan menjadi tidak ekonomis. Para petani dengan lahan luas

umumnya memperoleh lahan dudukuhan dengan cara membeli. Tabel 7

[image:38.612.187.479.79.240.2]

menggambarkan sebaran luas lahan yang dikelola oleh responden.

Tabel 7 Distribusi Luas Lahan Dudukuhan di Desa Parakanmuncang

Luas Lahan ( ha)

Jumlah Petani Pengelola Dudukuhan Persentase

(%)

Sawah Persentase (%)

> 0,5 0,25 – 0,5

< 0,25

11 9 11

36,7 30,0 33,3

9 8 -

30,0 26,7 -

Jumlah 30 100,0 17 56,7

Mengingat sebagian besar lahan dudukuhan merupakan lahan milik maka

hampir seluruh petani (93,3 % atau 28 responden) mengelola sendiri dudukuhan

(39)

dudukuhan bersifat individual dan menjadi tanggung jawab pemilik lahan. Para

pemilik lahan memiliki hak penuh untuk mengelola, memungut dan melakukan

pengalihan hak penguasaan lahan dan hasil-hasilnya pada orang lain. Tercatat

hanya dua orang petani (6,7 %) yang mengelola lahan dengan sistem bagi hasil.

Lahan tersebut merupakan milik orang lain yang berasal dari luar desa.

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, pemilik lahan memberikan

kebebasan kepada pengelola untuk mengelola lahan termasuk memilih jenis-jenis

tanaman yang akan ditanam.

Letak lahan bervariasi dengan jarak tempuh antara lebih dari 1 km dari

rumah, 100 – 300 m dari rumah atau bahkan terletak berbatasan dengan rumah

pemiliknya. Jarak lahan pada dasarnya tidak mempengaruhi hasil panen

dudukuhan karena kegiatan pengelolaan dilakukan secara tradisional, sederhana

dan kurang intensif.

XII. Pengelolaan Dudukuhan

XIII. Ketersediaan lahan

Akses kepemilikan lahan dudukuhan berasal dari berbagai jalur baik melalui

sistem pewarisan, jual beli maupun penggarapan dengan sistem bagi hasil.

sebagian besar (60 %) petani memperoleh lahan dudukuhan sebagai hasil warisan.

Hal ini menyebabkan luasan lahan yang diwariskan semakin sempit dari generasi

ke generasi sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan jumlah para petani

penggarap yang tidak memiliki lahan. Tabel 8 memperlihatkan secara lengkap

[image:39.612.133.512.548.629.2]

data asal pemilikan lahan dudukuhan di Desa Parakanmuncang.

Tabel 8 Asal Pemilikan Lahan Dudukuhan di Desa Parakanmuncang

No Asal pemilikan lahan Jumlah Petani Persentase (%) 1

2 3 4

Warisan Jual-beli Bagi hasil Warisan+Beli

19 8 2 1

60,0 30,0 6,7 3,3

Jumlah 30 100,0

Berdasarkan data pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa 30 % petani (8

responden) memperoleh dudukuhan dari hasil jual-beli. Hal ini umumnya

(40)

maupun modal finansial. Pengalihan kepemilikan lahan dudukuhan melalui proses

jual beli dapat dilakukan kepada siapa saja yang berminat baik masyarakat dari

dalam desa maupun dari luar desa. Pengelolaan dudukuhan dengan sistem bagi

hasil juga ditemukan di desa Parakanmuncang. Para petani tersebut mengelola

lahan milik orang lain yang berdomisili di luar Desa Parakanmuncang. Para petani

umumnya memiliki keinginan untuk menambah luas lahan dudukuhan miliknya

namun terbentur pada masalah modal.

Berdasarkan hasil pengamatan sebagian besar lahan dudukuhan terletak di

daerah pegunungan yang bertopografi miring. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa dudukuhan umumnya berasal dari lahan hutan atau lahan

kosong yang kemudian ditanami dengan berbagai jenis tanaman untuk

mengurangi bahkan menghilangkan bagian kosong pada lahan garapan.

Dudukuhan berisi berbagai jenis tanaman baik tanaman pertanian maupun

jenis pepohonan buah dan kayu. Sebagian besar tanaman dalam lahan dudukuhan

merupakan jenis asli desa seperti jeunjing, afrika, puspa, manggis, kemang, nangka, melinjo dan lainnya. Jenis tanaman lain yang dominan dalam lahan

dudukuhan adalah pisang dan bambu.

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan para petani, kecuali

untuk dudukuhan tipe kayu-kayuan, jenis pepohonan buah merupakan jenis yang

dominan. Hal ini disebabkan karena jenis buah-buahan mudah dijual dan akses

menuju Desa Parakanmuncang cukup terbuka sehingga produk buah mudah

dipasarkan baik ke pasar-pasar terdekat maupun dijual ke pedagang pengumpul

(tengkulak). Jenis buah-buahan yang biasanya dijual adalah jenis yang sering

berbuah seperti nangka, cempedak, dan melinjo serta jenis yang memiliki nilai

ekonomis cukup tinggi seperti manggis, duku, durian, kemang, petai dan jengkol.

Jenis kayu-kayuan yang cukup dominan adalah jenis kayu jeunjing, puspa dan

afrika. Ketiga jenis kayu ini merupakan jenis asli desa, cepat tumbuh dan tidak

membutuhkan pemeliharaan yang intensif. Jenis bambu merupakan jenis yang

hampir setiap tahun dipanen dan bersama pepohonan kayu seringkali dijadikan

sebagai sumber dan cadangan pendapatan tunai bagi para petani pada saat

(41)

Tanaman pertanian yang dominan dalam lahan dudukuhan adalah kacang

tanah, jagung dan pisang. Beberapa petani mengelola secara bersama-sama atau

bergiliran jenis tanaman pertanian dengan sawah tadah hujan. Hal ini bertujuan

meningkatkan produktivitas lahan serta untuk meningkatkan keragaman hasil

panenan pada satu musim tanam.

XIV. Produksi, Pengolahan dan Pemasaran Hasil

XV. Produksi

Kegiatan produksi dalam pengelolaan dudukuhan terdiri atas penanaman,

pemeliharaan dan pemanenan.

1. Penanaman

Tahapan awal sebelum penanaman dilakukan adalah penyiapan lahan. Lahan

biasanya dibersihkan menggunakan sistem tebas bakar. Petani memilih

menggunakan sistem tebas bakar untuk membersihkan lahan karena pertimbangan

lebih murah dari segi biaya, tenaga kerja dan waktu serta dapat merangsang

permudaan alami beberapa jenis pepohonan kayu asli desa seperti jeunjing, afrika

dan puspa. Pembersihan dan pembukaan lahan dengan sistem tebas bakar

dilakukan pada awal /menjelang musim hujan untuk mencegah terjadinya

kebakaran.

Tahapan selanjutnya adalah tahapan penanaman yang sebagian besar

dilakukan secara tradisional. Bibit tanaman diperoleh dari hasil regenerasi alami

lahan milik, bibit dari lahan tetangga dan biasanya langsung dipindahkan ke

lapangan tanpa perawatan terlebih dahulu. Para petani memperoleh bibit tanaman

dengan berbagai cara. Sebagian besar petani (24 responden) merawat bibit hasil

regenerasi alami dibawah tegakan induk. Beberapa responden (5 orang)

memperoleh bibit tanaman dengan cara membeli sedangkan 1 responden

melakukan pembibitan sendiri dengan cara membuat okulasi dan cangkokan

tanaman. Pengolahan tanah sebelum penanaman dilakukan secara sederhana

berupa pembuatan lubang tanam. Pola tanam yang lazim digunakan adalah kebun

pepohonan campuran.

Para petani pengelola dudukuhan di Desa Parakanmuncang sebagian besar

(42)

m. Kebiasaan ini dilakukan oleh 88,3 % petani (25 orang) dan umumnya

disebabkan karena para petani tidak ingin menyisakan bagian lahan yang kosong.

Meskipun jumlahnya sedikit, tercatat 5 petani (16,7 %) yang menanami pohon

dalam lahan dudukuhan miliknya dengan jarak tanam 4 x 4 m. Jarak tanam yang

cukup renggang ini dimaksudkan untuk memudahkan rotasi atau pergiliran

penanaman tanaman pertanian pada awal pengelolaan dudukuhan.

Pada tahap awal lahan ditanami dengan jenis-jenis tanaman

pertanian/palawija seperti pisang, kacang tanah, singkong, ubi dan jenis lainnya.

Bagian lahan yang pada musim hujan digenangi air akan ditanami padi.

Pengelolaan padi huma ini berlangsung selama 3 bulan. Setelah dipanen, lahan

tersebut kemudian ditanami dengan rotasi jenis-jenis tanaman pertanian seperti

kacang tanah, singkong, ubi jalar, jagung dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan

untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan

pangan rumah tangga/keluarga. Pada tahapan ini lahan disebut huma/tegalan.

Selama dua-tiga tahun para petani mengelola huma/tegalan dan melakukan

kegiatan pengayaan secara terus menerus dengan menanami bagian-bagian

kosong dari lahan dengan jenis pepohonan baik kayu maupun buah. Selanjutnya

tanaman pertanian akan digantikan jenis tanaman lain terutama ketika jenis

pepohonan mulai tumbuh dan menimbulkan naungan yang menghambat

pertumbuhan dan produktivitas tanaman pertanian. Secara bertahap keadaan ini

merubah fungsi lahan menjadi berbagai tipe dudukuhan.

Di Desa Parakanmuncang ditemukan tiga bentuk/tipe dudukuhan yang

dibedakan berdasarkan karateristik fisik lahan dan jenis tanaman dominan. Ketiga

tipe tersebut adalah dudukuhan tipe pohon penghasil kayu-kayuan, campuran

pohon penghasil kayu-buah serta tipe dudukuhan campuran penghasil

kayu-buah-tanaman pertanian. Selain ketiga tipe tersebut terdapat pula tipe dudukuhan lahan

tidur. Lahan tidur terbentuk ketika terhadap lahan dudukuhan tidak dilakukan

pengelolaan dalam bentuk apapun dan lahan dibiarkan terlantar tak terurus.

Secara tradisional jenis-jenis tanaman yang menjadi komponen penyusun

yang dominan pada tipe dudukuhan penghasil kayu-kayuan adalah jeunjing,

afrika, puspa, manggis dan duku. Para petani memilih menanam jenis-jenis

(43)

nilai ekonomis tinggi. Saat ini para petani menanam beberapa jenis baru yang

dulu tidak lazim ditanam di Desa Parakanmuncang yaitu durian, cengkeh, mahoni,

rambutan dan mangga. Motivasi petani menanam jenis mahoni, rambutan, pinus

dan akasia adalah karena adanya kebijakan pemerintah untuk tujuan reboisasi dan

pencegahan erosi. Alasan lain adalah karena nilai ekonomis jenis tersebut cukup

tinggi dan mudah dijual pada saat petani terdesak kebutuhan. Penanaman jenis

mangga saat ini adalah upaya petani untuk melihat kecocokan tanaman ini dengan

jenis tanah di Desa Parakanmuncang serta dipicu oleh tingginya nilai jual dan

peluang pemasaran jenis buah-buahan. Beberapa jenis tanaman yang juga disukai

petani adalah jengkol, petai, nangka, cempedak, kemang dan melinjo (tangkil).

Jengkol dan petai disukai karena memberikan hasil sepanjang tahun juga tidak

membutuhkan perawatan intensif. Jenis buah-buahan seperti nangka, cempedak,

kemang dan melinjo disukai karena mudah berbuah, dapat diambil hasilnya

sepanjang tahun, harganya cukup tinggi dan mudah dijual.

Jenis tanaman yang dominan pada tipe dudukuhan penghasil kayu-kayuan

adalah kayu jeunjing dan kayu afrika. Meskipun puspa juga cukup dominan

namun biasanya tidak dijual. Jenis kayu puspa tidak dijual karena riapnya kecil

dan setelah ditebang tidak dilakukan penanaman sehingga agak jarang ditemui.

Kayu puspa lebih banyak digunakan untuk kebutuhan sendiri. Dudukuhan

didominasi oleh jenis afrika dan jeunjing karena kedua jenis tanaman tersebut

merupakan jenis asli desa, bibit tanamannya mudah diperoleh dan tidak

memerlukan perawatan intensif. Selain untuk tujuan subsisten kedua jenis

tanaman ini dapat dijual dan cukup diminati di pasaran.

Jenis tanaman yang dominan pada tipe dudukuhan campuran

buah-kayu-tanaman pangan antara lain jeunjing, afrika, puspa, manggis, duku, durian,

kemang, melinjo, cempedak, nangka, pisang dan tanaman pertanian. Jenis

tanaman pertanian yang terdapat dalam dudukuhan terdiri dari kelompok Cerealia

(jagung dan padi), kacang-kacangan dan umbi-umbian serta tanaman tahunan

seperti pisang dan bambu. Para petani biasa menanam secara bergiliran jenis

tanaman tersebut dalam satu lahan. Pemilihan jenis tanaman tersebut adalah

(44)

nilai ekonomis tinggi. Jenis tanaman tersebut menyediakan kebutuhan jangka

pendek dan jangka panjang petani.

Jenis tanaman yang juga dominan dalam lahan dudukuhan adalah pisang dan

bambu. Kedua jenis tanaman ini disukai karena mudah tumbuh, tidak

membutuhkan perawatan intensif serta menghasilkan sepanjang tahun. Kedua

jenis tanaman ini selain menjadi sumber pangan dan bahan bangunan juga dapat

dijadikan sumber cadangan pendapatan tunai karena mudah dijual.

Perubahan tipe bentuk lazim terjadi ditandai dengan perubahan jenis

tanaman yang menyusun lahan dudukuhan. Lahan dapat berubah bentuk menjadi

tipe dudukuhan campuran kayu-buah-tanaman pertanian bila selama masa

pengelolaan lahan tegalan petani mengupayakan pengayaan dan penyulaman

lahan secara terus-menerus. Sebaliknya sebidang lahan yang sebelumnya dikelola

dengan tipe kayu-kayuan atau tipe campuran kayu-buah dapat berubah bentuk

menjadi tegalan bila petani melakukan kegiatan pemanenan terhadap jenis

vegetasi yang ada di dalamnya. Pemanenan dengan sistem tebang habis biasanya

dilakukan apabila jenis-jenis kayu dan buah sudah memasuki usia tua sehingga

tidak produktif lagi.

Tipe dudukuhan kayu-kayuan atau campuran kayu-buah yang tidak dikelola

dan dibiarkan terlantar sehingga didominasi oleh bambu dan semak belukar dapat

berubah bentuk menjadi lahan tidur. Berdasarkan hasil wawancara dengan para

responden perubahan bentuk dudukuhan menjadi tipe lahan tidur dipengaruhi oleh

kemampuan petani (usia, kesehatan dan modal) serta jarak tempuh dukuh dari

rumah. Berdasarkan hasil wawancara dengan para responden, perubahan tipe

dudukuhan menjadi lahan tidur disebabkan karena usia dan kesehatan yang

membuat para petani tidak mungkin mengelola lahan.

Alih bentuk/tipe dudukuhan dimaksudkan untuk mempertahankan bahkan

meningkatkan produktivitas dudukuhan serta memenuhi kebutuhan rumah tangga

keluarga. Jenis-jenis pohon asli desa seperti biasanya digunakan untuk memenuhi

kebutuhan sendiri. Jenis-jenis eksotik seperti mahoni, kamper, dan durian dapat

dijual dan menjadi sumber atau cadangan pendapatan yang bisa diambil setiap

(45)

Lahan Tidur

Tegalan Pisang atau Palawija

Tipe Kayu-Buah-Tanaman Pertanian Tipe Kayu-kayuan

[image:45.612.84.548.77.664.2]

Tipe Kayu-Buah

(46)

2. Pemeliharaan

O. Penyiangan

Kegiatan penyiangan dan pembersihan bagian bawah tegakan dilakukan

oleh semua petani. Hal ini disebabkan karena kedua kegiatan ini tidak dilakukan

secara periodik. Biasanya penyiangan dilakukan pada saat petani memiliki waktu

luang diluar pekerjaan rutin sehari-hari. Penggunaan tenaga kerja untuk kegiatan

ini sangat jarang dilakukan.

P. Pemupukan

Sebagian besar petani pengelola dudukuhan tidak melakukan kegiatan

pemupukan. Sejak lama masyarakat menganggap tanah di Desa Parakanmuncang

cukup subur. Pada kenyataannya tanpa pemupukan dudukuhan selalu

menyediakan hasil yang dapat dipanen setiap tahun. Hal ini memperkuat

penelitian Oche dan Terra (1973) dalam Harun (1995). Dalam penelitian tersebut

dikemukakan bahwa tanpa pemupukan sebuah wana tani pekarangan/ kebun

campuran dapat memberikan sumbangan terhadap pendapatan rumah tangga

petani pengelola berkisar antara 20 % hingga 28 %.

Sebelumnya hampir seluruh petani di Desa Parakanmuncang tidak

melakukan kegiatan pemupukan. Hal ini terutama dipengaruhi oleh orientasi

usaha dudukuhan yang lebih banyak ditujukan untuk keperluan subsisten. Saat ini

tercatat 12 responden (40 %) yang melakukan kegiatan pemupukan. Kegiatan

pemupukan dilakukan untuk meningkatkan produktivitas dudukuhan. Pemupukan

dilakukan terutama karena mulai terjadi pe

Gambar

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
Tabel 4  Jumlah Penduduk Desa Parakanmuncang berdasarkan Kelompok Umur
Tabel 5  Distribusi Responden berdasarkan Tingkat Usia
Tabel 6  Jenis Pekerjaan Utama Responden
+7

Referensi

Dokumen terkait

Musharakah. •   Walaubagaimanapun, dari perspektif undang-undang berdasarkan amalan standard di Malaysia, pihak yang terbabit di dalam Musharakah akan bersetuju

Tingginya kebutuhan ruang aktifitas di Kota Makassar serta adanya kompetisi dalam pemanfaatan lahan mengakibatkan naiknya nilai ekonomis untuk lahan-lahan yang

Pemilihan cerita rayat Deleng Pertektekken ini berasal dari Desa Doulu, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo dan merupakan sastra lisan masyarakat Karo.Dalam

rRabnb.&amp;,a'l!h!/gPiP!ru*.

Nakata Rimba (NR) kerusakan terbesar berasal dari intensitas pemanenan tertinggi yaitu 17 pohon/ha dengan kerusakan 35.43% dengan jumlah pohon sebelum pemanenan 748 pohon/ha dan

PENGARUH PELATIHAN CHARACTER BUILDING TERHADAP PENINGKATAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING ANAK JALANAN BINAAN RSPA YAYASAN EMAS. INDONESIA KOTA SEMARANG

Metode Kerja Praktek yang diterapkan untuk dapat mengetahui informasi mengenai sistem pengeluaran pada Kantor Walikota Bekasi adalah dengan melakukan metode objek penelitian

usahanya hanya usaha simpan pinjam. Usaha Simpan Pinjam Koperasi adalah unit usaha koperasi yang bergerak di bidang usaha simpan pinjam sebagai bagian dari kegiatan